Anda di halaman 1dari 174

Ridwan, S.Psi., M.Psi.

, Psikolog
Indra Bangsawan, M.Pd

PENDIDIKAN
ANAK BERKEBUTUHAN

KHUSUS

i
PENDIDIKAN ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS

Penulis :
Ridwan, S.Psi., M.Psi., Psikolog
Indra Bangsawan, M.Pd

ISBN : 978-623-96856-5-2

Editor :
Anhar, SE

Penyunting :
Anhar, SE

Desain Sampul dan Tata Letak :


Sukron

Penerbit :
Anugerah Pratama Press
Jl. Pekan Baru RT. 08 No. 01 Kel. Rawasari
Kec. Alam Barajo Kota Jambi
Email: anugerahgrafika2015@gmail.com
Telp: (0741) 3069708 / Hp. 0852 66 177 280

Cetakan Pertama 2021

Copyright © 2021
Hak cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin
tertulis dari penerbit. Isi di luar tanggung jawab penerbit. Ketentuan pidana
terkait pelanggaran hak cipta diatur di dalam pasal 113 Undang-Undang
Nomor 28 tahun 2014 tentang Hak Cipta

ii
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT segala karunia-Nya


sehingga buku ini bisa diselesaikan sebaik mungkin, shalawat
dan salam atas nabi Muhammad SAW sebagai manusia yang
berpengaruh besar pada peradaban manusia hingga menjadi
sekarang ini sehingga penulis berhasil menyelesaikan buku yang
berjudul “Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus” ini dengan
tepat waktu tanpa adanya kendala yang berarti. Tujuan dari
penyusunan buku ini adalah untuk memudahkan para pembaca
dalam memahami konsep Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus
yang kesannya cukup rumit sehingga menjadi lebih mudah.
Keberhasilan penyusunan buku ini tentunya bukan atas
usaha penulis saja namun ada banyak pihak yang turut
membantu dan memberikan dukungan untuk suksesnya
penulisan buku ini. Untuk itu, penulis mengucapkan terima
kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah
memberikan dukungan baik secara moril ataupun material
sehingga buku ini berhasil disusun.
Buku yang ada di hadapan pembaca ini tentu tidak luput
dari kekurangan, selalu ada celah untuk perbaikan. Sehingga,
kritik, saran serta masukan dari pembaca sangat kami harapan
dan kami sangat terbuka untuk itu supaya buku ini semakin
sempurna dan lengkap, semoga buku ini dapat memberi manfaat
bagi semua pihak yang membutuhkan.

Jambi, Juli 2021

Ridwan, S.Psi., M.Psi., Psikolog


Indra Bangsawan, M.Pd

iii
DAFTAR ISI

BAB I ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS (ABK) ................... 1


A. Pengertian anak berkebutuhan khusus ............................ 1
B. Klasifikasi anak berkebutuhan khusus .............................. 4
C. Definisi Faktor-Faktor Anak Berkebutuhan Khusus ... 10
D. Reaksi Orang Tua Anak Berkebutuhan Khusus ............. 16

BAB II ANAK YANG BERKELAINAN ATAU


ABNORMAL ............................................................................. 21
A. Pengertian Abnormal ................................................................. 21
B. Penyebab Perilaku Abnormal ................................................. 26
C. Model Perilaku Abnormal ........................................................ 28
D. Gejala Gangguan Kepribadian Berdasarkan Jenisnya . 30
E. Penyebab Gangguan Berdasarkan Kepribadiannya .... 34

BAB IV LAYANAN DAN MODEL LAYANAN


PENDIDIKAN ABK ................................................................. 37
A. Pengertian Layanan..................................................................... 37
B. Model Layanan Pendidikan Bagi Anak Berkebutuhan
Khusus ............................................................................................... 39
C. Model Layanan Pendidikan Anak Berkelainan Fisik ... 55

BAB V ANAK DENGAN GANGGUAN MOTORIK ..................... 60


A. Pengertian Dispraksia ................................................................ 60
B. Pengertian Cerebral Palsy ........................................................ 64

BAB VI ANAK DENGAN KETERBATASAN FISIK ................. 69


A. Tunanetra, ....................................................................................... 69
B. Tunarungu, ..................................................................................... 71
C. Tunawicara, .................................................................................... 74
iv
D. Tunadaksa ........................................................................................ 75
E. Tunagrahita ..................................................................................... 79

BAB VII GANGGUAN INTERAKSI SOSIAL (ADHD)................ 90


A. Pengertian ADHD ......................................................................... 90
B. Karakteristik ADHD ..................................................................... 93
C. Permainan terhadap anak hiperaktif .................................. 96
D. Faktor-faktor Penyebab ADHD .............................................. 97
E. Pengobatan dan Penanganan ADHD ................................... 100
F. Perbedaan ADHD dan Autisme .............................................. 101

BAB VIII ANAK DENGAN GANGGUAN BELAJAR....................106


A. Down Syndrom .............................................................................. 106
B. Kesulitan Belajar ........................................................................... 110
C. Disleksia ........................................................................................... 112
D. Disgrafia ........................................................................................... 116
E. Diskalkulia ....................................................................................... 118

BAB IX ANAK DENGAN GANGGUAN EMOSI, PERILAKU DAN


BERBAKAT...............................................................................121
A. Gangguan Emosi Dan Perilaku Anak .................................. 121
B. Agresi ................................................................................................. 122
C. Depresi .............................................................................................. 127
D. Tantrum ............................................................................................ 131
E. Kecerdasan Gifted And Talented .......................................... 134

BAB X ANAK DENGAN AUTISME ...............................................139


A. Pengertian Autisme ..................................................................... 139
B. Ciri-ciri Autisme ............................................................................ 143
C. Penanganan anak autism .......................................................... 151

v
vi
BAB I
ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS (ABK)

A. Pengertian Anak Berkebutuhan Khusus


Fenomena gangguan perkembangan pada anak akhir-
akhir ini seolah membuka mata kita bahwa masih
banyaknya kesimpangsiuran informasi mengenai status dan
keberadaan mereka. Banyak kemudian istilah disematkan
yang pada akhirnya mengacaukan pikiran kita tentang
kebermaknaan istilah tersebut. Dengan berbagai istilah
yang ada dan kekhususan pada mereka pula, maka anak ini
membutuhkan pendekatan yang berbeda dari anak
umumnya yang kita sebut sebagai Anak Berkebutuhan
Khusus atau Student With Special Needs.
Mereka Anak Berkebutuhan Khusus merupakan
bagian atau sekumpulan dari anak yang memiliki
kekhususan dibandingkan dengan anak normal lainnya.
Anak Berkebutuhan Khusus ini dianggap berbeda oleh
masyarakat pada umumnya dibandingkan anak-anak seusia
mereka. Anak Berkebutuhan Khusus dapat dimaknai dengan
anak-anak yang tergolong cacat atau penyandang ketunaan
ataupun juga anak yang memiliki kecerdasan atau bakat
istimewa (Mulyono, 2003:26).
Sama seperti mulyono, dijelaskan lebih lanjut oleh
Ramadhan (2013:10) bahwa Anak Berkebutuhan Khusus
adalah mereka yang memiliki perbedaan dengan rata-rata
anak seusianya atau anak-anak pada umumnya. Perbedaan
yang dialami Anak Berkebutuhan Khusus ini terjadi pada
beberapa hal, yaitu proses pertumbuhan dan
perkembangnnya yang mengalami kelainan atau
penyimpangan baik secara fisik, mental, intelektual, sosial
maupun emosional. Sedangkan menurut penjelasan
Suharlina dan Hidayat (2010:5), Oleh karenanya, Anak
Berkebutuhan Khusus merupakan anak yang memerlukan
penanganan khusus sehubungan dengan gangguan
perkembangan dan kelainan yang dialami anak.
Anak berkebutuhan khusus merupakan anak yang
memiliki kelainan fisik, mental, tingkah laku (behavioral)
atau inderanya memiliki kelainan yang sedemikian rupa
sehingga untuk mengembangkan secara maksimum
kemampuannya (capacity) membutuhkan pendidikan luar
biasa yang beda dari anak kebanyakan. Mereka pada
dasarnya memiliki hak yang sama dengan anak normal
untuk dapat tumbuh dan berkembang ditengah lingkungan
keluarga, maka sekolah luar biasa sebagai salah satu wadah
bagi pembinaan anak berkebutuhan khusus harus dikemas
dan dirancang sedemikian rupa sehingga program dan
layanannya dekat dengan lingkungan anak berkebutuhan
khusus. (Zakiah Daradjat, 2011: hal.128)
Anak berkebutuhan khusus merupakan bagian dari
anak dengan memiliki karakteristik khusus yang berbeda
dengan anak pada umumnya tanpa selalu menunjukkan
pada ketidak mampuan mental, emosi, atau fisik. Anak
berkebutuhan khusus juga dapat diartikan sebagai seorang
anak yang memerlukan pendidikan yang disesuaikan
dengan hambatan belajar dan kebutuhan masing-masing
anak secara individual.

2
Disamping itu, beberapa pendapat ahli tentang anak
berkebutuhan khusus, sebagai berikut:
a. Menurut Hargio, anak berkebutuhan khusus adalah anak
yang memiliki perbedaan dalam keadaan dimensi
penting dari fungsi kemanusiaannnya, mereka adalah
secara fisik, psikologis, kognitif, atau sosial terhambat
dalam mencapai tujuan atau kebutuhan dan potensinya
secara maksimal, sehingga memerlukan penanganan
yang terlatih dari tenaga profesional. (Hargio, 2012: hal.
30)
b. Menurut Mulyono Abdurrahman, anak berkebutuhan
khusus atau anak luar biasa adalah anak yang
menyimpang dari rata-rata anak normal dalam hal ciri-
ciri mental, kemampuan-kemampuan sensorik, fisik,
perilaku sosial dan emosional, kemampuan
berkomunikasi, maupun kombinasi dua atau lebih dari
hal-hal diatas. Sejauh ia memerlukan modifikasi dari
tugas-tugas sekolah, metode belajar atau pelayanan
terkait lainnya, yang ditujukan untuk pengembangan
potensi atau kapasitasnya secara maksimal. (Mulyono
Abdurrahman, 2011: hal. 15)
c. Menurut Alimin Zaenal, anak berkebutuhan khusus
adalah anak dengan karakteristik khusus yang berbeda
dengan anak pada umumnya tanpa selalu menunjukkan
pada ketidakmampuan mental, emosi atau fisik. Yang
termasuk kedalam anak berkebutuhan khusus antara
lain: tunanetra, tunarungu, tunagrahita, tunadaksa,
tunalaras, kesulitan belajar, gangguan perilaku, anak

3
berbakat, anak dengan gangguan kesehatan. Istilah lain
bagi anak berkebutuhan khusus adalah anak luar biasa
dan anak cacat. Karena karakteristik dan hambatan yang
dimiliki, anak berkebutuhan khusus memerlukan bentuk
pelayanan pendidikan khusus yang disesuaikan dengan
kemampuan dan potensi mereka, contohnya bagi
tunanetra memerlukan modifikasi teks bacaan menjadi
tulisan Braille dan tunarungu berkomunikasi dengan
menggunakan bahasa isyarat. (Alimin Zaenal, 2013: hal.
22)
Jadi dari berbagai pendapat, dapat disimpulkan
bahwasanya Anak berkebutuhan khusus juga diartikan
sebagai seorang anak yang memerlukan pendidikan yang
disesuaikan dengan hambatan belajar dan kebutuhan
masing-masing anak secara individual. Mereka secara fisik,
psikologis, kognitif atau sosial terhambat dalam mencapai
tujuan kebutuhan dan potensinya secara maksimal,
sehingga memerlukan penanganan yang terlatih dari tenaga
profesional. Anak berkebutuhan khusus merupakan kondisi
di mana anak memiliki perbedaan dengan kondisi anak
pada umumnya, baik dalam faktor fisik, kognitif maupun
psikologis, dan memerlukan penanganan semestinya sesuai
dengan kebutuhan anak tersebut.

B. Klasifikasi Anak Berkebutuhan Khusus


Anak Berkebutuhan Khusus sangatlah beragam,
keberagaman tersebut dikarenakan Anak Berkebutuhan

4
Khusus memiliki kekhususannya masing-masing.
Disebutkan melalui Peraturan Pemerintah No. 17 tahun
2010 pasal 129 ayat (3) klasifikasi ABK adalah “ABK terdiri
dari: a) tunanetra; b) tunarungu; c) tunawicara; d)
tunagrahita; e) tunadaksa; f) tunalaras; g) berkesulitan
belajar; h) lamban belajar; i) autis; j) memiliki gangguan
motorik; k) menjadi kerban penyalahgunaan narkotika, obat
terlarang, dan zat adiktif lain; l) memiliki kelainan lain”.
Maka dapat diketahui bahwa Anak Berkebutuhan Khusus
bukan hanya anak yang mengalami cacat fisik saja, anak
yang memiliki kelemahan pada intelektual dan sosialnya
juga termasuk Anak Berkebutuhan Khusus. Menurut
Garnida (2015:3-4) Anak Berkebutuhan Khusus
dikelompokkan menjadi sembilan diantaranya, yaitu (1)
Tunanetra, (2) Tunarungu, (3) Tunagrahita, (4) Tunadaksa,
(5) Tunalaras, (6) Anak gangguan belajar spesifik, (7)
Lamban Belajar, (8) Cerdas istimewa dan bakat istimewa,
dan (9) Autis.
Secara singkat dijelaskan klasifikasi Anak
Berkebutuhan Khusus menurut Garnida dapat dijelaskan
sebagai berikut:
1. Tunanetra
Anak tunanetra adalah anak yang mengalami
gangguan daya penglihatannya, berupa ketidak
mampuan melihat secara menyeluruh atau sebagian
sehingga membutuhkan layanan khusus dalam
pendidikan maupun kehidupannya. Berdasarkan

5
kemampuan daya melihatnya, anak tunanetra
diklasifikasikan sebagai berikut:
a. Anak kurang awas (low vision): Penyandang low
vision masih mampu melakukan kegiatan yang
berhubungan dengan penglihatan. Namun
penyandang low vision memiliki persepsi yang
berbeda.
b. Anak tunanetra total (totally blind): Penyandang
tunanetra blind atau buta total adalah tunanetra
yang sama sekali tidak memiliki persepsi visual.
2. Tunarungu
Tunarungu adalah anak yang kehilangan seluruh
atau sebagian daya pendengarannya sehingga
mengalami gangguan berkomunikasi secara verbal. Anak
tunarungu memilki gangguan pada pendengarannya
sehingga tidak mampu mendengarkan bunyi secara
menyeluruh atau sebagian. Meskipun telah diberikan
alat bantu dengar, mereka tetap memerlukan layanan
pendidikan khusus.
3. Tunagrahita
Anak tunagrahita adalah anak yang secara nyata
mengalami hambatan dan keterbelakangan
perkembangan mental-intelektual di bawah rata-rata,
sehingga mengalami kesulitan dalam menyelesaikan
tugas-tugasnya. Seseorang dikatakan tunagrahita
apabila memiliki tiga indikator, yaitu: (1) keterhambatan
fungsi kecerdasan secara umum atau di bawah rata-rata,
(2) Ketidakmampuan dalam perilaku sosial/adaptif, dan

6
(3) Hambatan perilaku sosial/adaptif terjadi pada usia
perkembangan yaitu sampai dengan usia 18 tahun.
4. Tunadaksa
Rachmayana (2013) dalam Pratiwi dan Afin
(2013:27) mendefinisikan tunadaksa/cacat fisik adalah
sebutan bagi orang yang mengalami kesulitan
mengoptimalkan fungsi anggota tubuhnya karena faktor
bawaan sejak lahir. Gangguan yang dialami menyerang
kemampuan motorik mereka. Gangguan yang terjadi
mulai dari gangguan otot, tulang, sendi dan atau sistem
saraf yang mengakibatkan kurang optimalnya fungsi
komunikasi, mobilitas, sosialisasi dan perkembangan
keutuhan pribadi.
5. Tunalaras
Anak tunalaras adalah anak yang berperilaku
menyimpang baik pada taraf sedang, berat dan sangat
berat sebagai akibat terganggunya perkembangan emosi
dan sosial atau keduanya sehingga merugikan dirinya
sendiri maupun lingkungan (Direktorat PSLB dalam
Gunahardi dan Esti, 2011).
6. Anak gangguan spesifik
Anak berbakat adalah anak yang memiliki potensi
kecerdasan (inteligensi), kreativitas, dan tanggungjawab
di atas anak-anak normal seusianya, sehingga untuk
mewujudkan potensinya menjadi prestasi nyata
memerlukan pelayanan khusus. Anak CIBI dibagi
menjadi tiga golongan sesuai dengan tingkat intelegensi
dan kekhasan masing-masing, diantaranya (1) Superior,

7
(2) Gifted (Anak Berbakat), dan (3) Genius. (Pratiwi dan
Afin, 2013:70)
7. Lamban belajar
Lamban belajar (slow learner) adalah anak yang
memiliki potensi intelektual sedikit di bawah normal
tetapi belum termasuk tunagrahita. Dalam beberapa hal
mengalami hambatan atau keterlambatan berpikir,
merespon rangsangan dan adaptasi sosial, tetapi
masih jauh lebih baik dibanding dengan yang
tunagrahita, lebih lamban dibanding dengan yang
normal, mereka butuh waktu yang lebih lama dan
berulang-ulang untuk dapat menyelesaikan tugas-tugas
akademik maupun non akademik.
8. Cerdas istimewa dan bakat istimewa
Anak yang berkesulitan belajar spesifik adalah
anak yang secara nyata mengalami kesulitan dalam
tugas-tugas akademik khusus, terutama dalam hal
kemampuan membaca, menulis dan berhitung atau
matematika. Hal tersebut disebabkan karena faktor
disfungsi neurologis, bukan disebabkan karena faktor
inteligensi.
9. Autisme
Autisme adalah gangguan perkembangan yang
kompleks, meliputi gangguan komunikasi, interaksi
sosial, dan aktivitas imaginatif, yang mulai tampak
sebelum anak berusia tiga tahun, bahkan anak yang
termasuk autisme infantil gejalanya sudah muncul
sejak lahir.

8
Klasifikasi gangguan anak berkebutuhan khusus
menurut Davidson dkk (2006) terdiri dari gangguan
pemusatan perhatian atau hiperaktivitas, gangguan tingkah
laku, disabilitas belajar, retardasi mental, dan gangguan
autistic. Sedangkan Syamsul (2010) mengklasifikasikan
anak berkebutuhan khusus apabila termasuk kedalam
salah satu atau lebih dari kategori berikut ini:
a. Kelainan sensori, seperti cacat penglihatan atau
pendengaran
b. Deviasi mental, termasuk gifted dan retardasi mental
c. Kelainan komunikasi, termasuk problem bahasa dan
ucapan
d. Ketidak mampuan belajar, termasuk masalah belajar
yang serius karena kelainan fisik
e. Perilaku menyimpang, termasuk gangguan emosional
f. Cacat fisik dan Kesehatan, termasuk kerusakan
neurologis, ortopedis, dan penyakit lainnya, seperti
leukimia dan gangguan perkembangan.
Adapun anak berkebutuhan khusus yang paling banyak
mendapat perhatian guru menurut Kauff dan Hallan
(dikutip Bandi, 2006) antara lain:
a. Tunagrahita atau Retardasi Mental
b. Kesulitan Belajar (learning disability)
c. Hiperaktif (ADHD dan ADD)
d. Tunalaras
e. Tunarungu
f. Tunanetra
g. Autis

9
h. Tunadaksa
i. Tunaganda
j. Anak berbakat dan gangguan bicara/bahasa.

C. Definisi Faktor-Faktor Anak Berkebutuhan Khusus


Anak berkebutuhan khusus (ABK) diartikan sebagai
individu-individu yang mempunyai karakteristik yang
berbeda dari individu lainnya yang dipandang normal oleh
masyarakat pada umumnya. Secara lebih khusus anak
berkebutuhan khusus menunjukkan karakteristik fisik,
intelektual, dan emosional yang lebih rendah atau lebih
tinggi dari anak normal sebayanya atau berada diluar
standar normal. Sehingga mengalami kesulitan dalam
meraih kesuksesan baik dari segi sosial, personal, maupun
aktivitas Pendidikan (Bachri, 2010). Kekhususan yang
mereka miliki menjadikan anak berkebutuhan khusus
memerlukan pendidikan dan layanan khusus untuk
mengoptimalkan potensi dalam diri mereka secara
sempurna.
Suran dan Rizzo (dikutip Semiawan dan Manguson,
2010) anak berkebutuhan khusus adalah anak yang secara
signifikan berbeda dalam beberapa dimensi yang penting
dari fungsi kemanusiaannya. Mereka yang secara fisik,
psikologis, kognitif, atau sosial terlambat dalam mencapai
tujuan-tujuan atau kebutuhan dan potensinya secara
maksimal, meliputi mereka yang tuli, buta, gangguan bicara,
cacat tubuh, retardasi mental, gangguan emosional, juga
anak-anak berbakat dengan intelegensi tinggi juga termasuk

10
kedalam kategori anak berkebutuhan khusus karena
memerlukan penanganan dari tenaga professional terlatih.
Ada beberapa istilah lain yang digunakan untuk
menyebut anak berkebutuhan khusus, antara lain anak
cacat, anak tuna, anak berkelainan, anak menyimpang, dan
anak luar biasa. Selain itu WHO juga merumuskan beberapa
istilah yang digunakan untuk menyebutkan anak
berkebutuhan khusus, yaitu:
a. Impairement, merupakan suatu keadaan atau kondisi
dimana individu mengalami kehilangan atau
abnormalitas psikologi, fisiologi atau fungsi struktur
anatomi secara umum pada tingkat organ tubuh.
b. Disability, merupakan suatu keadaan dimana individu
menjadi “kurang mampu” melakukan kegiatan sehari-
hari karena adanya keadaan impairement, seperti
kecacatan pada organ tubuh.
c. Handicaped, suatu keadaan dimana individu mengalami
ketidak mampuan dalam bersosialisasi dan berinteraksi
dengan lingkungan. Hal ini dimungkinkan karena adanya
kelainan dan berkurangnya fungsi organ individu.
Selain istilah yang digunakan WHO, ada juga yang
menggunakan istilah anak difabel yang merupakan
kependekan dari diference ability. Istilah ini digunakan
untuk menyebut mereka yang memiliki kemampuan di atas
rata-rata orang pada umumnya. Misalnya pada anak
tunagrahita dan gifted. Anak berkebutuhan khusus berbeda
dengan anak-anak pada umumnya mereka berproses dan
tumbuh tidak dengan modal fisik yang wajar. Karenanya

11
mereka cenderung (menghindar), rendah diri, atau mungkin
agresif, serta memiliki semangat belajar yang rendah.
Penyebab gangguan pada anak berkebutuhan khusus
memang beragam. Hallan dkk (2009), mengemukakan
beberapa faktor yang menyebabkan gangguan pada anak
berkebutuhan khusus (ABK) secara umum, yaitu:
1. Faktor Neurologi
Yaitu adanya disfungsi pada Central Nervous System
(CNS) atau sistem saraf pusat, sementara Carlson (2007)
mennyatakan adanya kelainan dalam jaringan otak yang
melibatkan stratum (caudate inti dan putamen) dan
prefrontal cortex. Lebih jauh dia menjelaskan bahwa
otak orang-orang dengan ADHD kira-kira 4% lebih kecil
dibanding normal, dengan pengurangan yang paling
besar di prefrontal cortex dan caudate inti. Dan otak
anak ADHD terlihat kecil dengan aktifitas metabolik
yang sedikit.
2. Faktor Genetik
Faktor genetik diduga menjadi bagian dari
penyebab gangguan pada anak berkebutuhan khusus,
seperti pada gangguan kesulitan belajar (learning
disability) diketahui merupakan gangguan yang sifatnya
herediter. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa
35-45% dari individu yang mengalami kesulitan belajar
memiliki orangtua dan saudara yang kesulitan belajar
pula.

12
3. Faktor Teratogenetic
Yaitu kerusakan perkembangan janin dimana faktor
perantara yang dapat menyebabkan cacat atau
kerusakan dalam perkembangan janin seperti Fetal
Alcholol syndrome (FAS) yaitu suatu kondisi dimana bayi
lahir dengan berat badan kurang, kemunduran
intelektual, dan ketidaksempurnaan bentuk fisik yang
merupakan penyebab utama dari kesulitan intelektual,
toxin yaitu keracunan timah yang merupakan faktor
yang menyebabkan kesalahan pembentukan
(malformation) pada perkembangan fetus pada wanita
hamil.
4. Faktor Medis
Faktor medis biasanya karena kelahiran prematur
dan komplikasi pada saat lahir, rendahnya berat badan,
dan kekurangan oksigen pada saat proses kelahiran. Dan
menempatkan anak dalam resiko disfungsi neurology
dan pediatric yang menyebabkan kerusakan syaraf. Ada
dua faktor resiko yang membuat anak-anak memiliki
pengalaman buruk yang kemudian membutuhkan
Pendidikan khusus yaitu faktor internal dimana
rendahnya kontrol emosi dalam diri, pengalaman
negative disekolah dan rendahnya harga diri. Sementara
faktor eksternalnya adalah rendahnya sosial ekonomi
orangtua, rendahnya pendidikan, kekerasan dalam
keluarga dan keluarga yang alkolisme.
Hasil penelitian Biederman dkk (2002) pada kelas
sosial yang rendah, ibu yang mengalami psikopatologi

13
dan kerusakan atau pelemahan fungsional di dalam otak
(meningkatkan resiko ADHD), selain itu disebabkan juga
orangtua atau ibu yang selama kehamilan merupakan
perokok aktif. Menurut Friend (2005) faktor lingkungan
berupa pola asuh yang permisif, ibu hamil yang
merokok, minum, alkohol atau menggunakan obat-
obatan sebagai penyebab gangguan pada perkembangan
anak.
5. Faktor Internal dan Eksternal
Faktor dari dalam diri yaitu hambatan yang
dimiliki anak yang berasal dari dalam diri atau karena
adanya gangguan dalam diri anak pada saat belajar,
berkesulitan belajar, gangguan penglihatan, gangguan
pendengaran, gangguan emosi dan perilaku, gangguan
fisik dan motorik, gangguan intelektual, gangguan
autistik, berkelainan majemuk dan berbakat, sementara
faktor eksternal yaitu hambatan yang dimiliki anak
karena faktor diluar diri anak, faktor tersebut dapat
berupa bencana alam, kemiskinan, narkotik dan obat-
obatan terlarang, terisolir dan lain-lain. Dari hasil
laporan penelitian menunjukkan sebagian besar siswa
yang terindentifikasi anak berkebutuhan khusus di
Amerika berasal dari kelompok etnis minoritas dan
keluarga yang berpenghasilan rendah sehingga mereka
kurang mendapatkan jaminan kesehatan yang memadai,
hidup dalam lingkungan tercemar, tekanan hidup yang
tinggi dan kurangnya akses untuk memperoleh layanan
pendidikan prasekolah sehingga mengakibatkan

14
kemampuan intelektual yang lebih rendah dan dapat
menimbulkan masalah perilaku yang serius.
Sedangkan, Menurut Irwanto, Kasim, dan
Rahmi (2010), secara garis besar faktor penyebab anak
berkebutuhan khusus jika dilihat dari masa terjadinya
dapat dikelompokkan menjadi 3 macam yaitu:
1. Pra Kelahiran (Sebelum Lahir),
Yaitu masa anak masih berada dalam
kandungan telah diketahui mengalami kelainan dan
ketunaan. Kelainan yang terjadi pada masa prenatal
berdasarkan periodisasinya dapat terjadi pada
periode embrio, periode janin muda, dan periode
aktini (sebuah protein yang penting dalam
mempertahankan bentuk sel dan bertindak
Bersama-sama dengan mioin untuk menghasilkan
gerakan sel). Antara lain: Ganggguan Genetika
(kelainan kromosom, transformasi), Infeksi
kehamilan, Usia Ibu Hamil (High risk group),
Keracunan Saat Hamil, Pengguguran, dan Lahir
Prematur.
2. Terjadi Selama Proses Kelahiran
Adalah dimana anak mengalami kelainan pada
saat proses melahirkan. Ada beberapa sebab
kelainan saat anak dilahirkan, antara lain anak lahir
sebelum waktunya, lahir dengan bantuan alat, posisi
bayi tidak normal, penggunaan obat analgesik
(penghilang nyeri), dan anesthesia (keadaan
narkosis), kelainan ganda atau karena kesehatan

15
bayi yang kurang baik. Proses kelahiran lama
(Anoxia), premature, kekurangan oksigen, kelahiran
dengan alat bantu (vacum), kehamilan terlalu lama
atau lebih 40 minggu.
3. Terjadi Setelah Proses Kelahiran
Yaitu, dimana kelainan itu terjadi setelah bayi
dilahirkan, atau saat anak dalam masa
perkembangan. Ada beberapa sebab kelainan
setelah anak dilahirkan antara lain infeksi bakteri
(TBC/Virus), kekurangan zat makanan (gizi, nutrisi),
kecelakaan, dan keracunan.

D. Reaksi Orang Tua Anak Berkebutuhan Khusus


Pada umumnya, reaksi pertama orang tua adalah tak
percaya (shock). Selaras dengan apa yang disampaikan oleh
Rogers (dalam Mashita, 2015), bahwa banyak keluarga
yang merasa sedih karena harapan dan impian mereka
akan masa depan anak harus tertunda setelah mengetahui
anaknya terdiagnosa sebagai anak berkebutuhan khusus.
Beberapa orang melihat hal ini sebagai tekanan yang
membuat orang tua menjadi depresi. Didukung dengan
teori menurut Hurlock (2001), bahwa respon orang tua
terhadap anggota keluarga yang mengalami psikopatologis
akan mempengaruhi sikap orang tua terhadap anggota
keluarga yang mengalami psikopatologis, selain itu
persepsi orang tua mengenai konsep “keluarga idaman”
yang terbentuk secara turun temurun akan didasarkan
pada gambaran keluarga ideal, dalam hal ini adalah kondisi

16
anak sebagai “anak sempurna” yang normal dan
berkembang dengan baik. Kemudian hal tersebut juga
didukung oleh Kubler (2008) bahwa sebelum mencapai
tahap penerimaan individu akan melalui beberapa tahap ,
salah satunya adalah denial (penolakan) tahap ini dimulai
dari rasa tidak percaya saat menerima diagnosa dari
seorang ahli.
Sesudah perasaan shock tersebut mulai teratasi,
bergantian muncul berbagai rasa di bawah ini:
1) limbung, tidak tahu harus berbuat apa, merasa tak
berdaya
2) merasa bersalah, menyalahkan diri sendiri
3) marah kepada diri sendiri, pasangan, anak tersebut
bahkan kepada Tuhan
4) sedih sekali, putus asa yang dapat berkembang menjadi
depresi dan stres berkepanjangan
5) merasa tidak diperlakukan dengan adil
6) tidak percaya pada fakta dan berpindah dari satu dokter
ke dokter lain untuk menegaskan bahwa dokter
tersebut salah; tawar menawar diagnosa
7) menolak kenyataan/fakta lalu bersikukuh bahwa anak
tidak bermasalah dan pada akhirnya: menerima
kenyataan Sebelum sampai pada tahap terakhir:
penerimaan(= acceptance)
Orang tua tidak serta merta menerima kondisi
anaknya, kondisi anak yang demikian membuat orang tua
perlu bergelut dengan keadaan sebelum akhirnya
menerima sepenuh hati. Hal ini sesuai dengan Kübler-Ross

17
Model yang pertama kali dicetuskan oleh psikiater
bernama Elisabeth Kübler-Ross dalam bukunya On Death
and Dying. Tahapan penerimaan tersebut dikenal dengan
istilah DABDA. Adapun tahapan-tahapanya sebagai berikut:
1. Denial atau penolakan
Tahapan ini biasanya dimulai dari rasa tidak
percaya bahwa dokter memberikan vonis bahwa si
Kecil adalah anak berkebutuhan khusus. Menghadapi
kenyataan tersebut, orang tua akan merasa bingung dan
malu terhadap keadaan anak. Bahkan, bisa tidak
mengakui adanya kondisi ini. Jika ada tekanan sosial
dari lingkungan, keadaan tahapan penolakan ini akan
bertambah buruk dengan mudah.
2. Angry atau kemarahan
Tahapan kedua biasanya terjadi saat orang tua
menyadari bahwa kondisi anak sudah tidak
terbantahkan. Alhasil, orang tua menjadi marah dan
melakukan pelampiasan terhadap hal-hal yang tidak
jelas. Kemarahan bisa dilampiaskan kepada dokter
yang memberikan vonis, diri sendiri, pasangan, bahkan
pada sang anak sendiri. Bentuk kemarahan lain, yaitu
menolak mengasuh anak tersebut.
3. Bargaining atau tawar-menawar
Ini adalah tahapan di mana orang tua berusaha
untuk menawar kondisi yang terjadi pada anak. Hal ini
dilakukan sebagai upaya menghibur diri dan bersyukur
atas segala sesuatu yang dikaruniakan oleh Tuhan Yang
Maha Esa.

18
4. Depression atau depresi
Pada tahap ini, orang tua merasa putus asa,
tertekan dan kehilangan harapan. Oleh sebab itu,
orang tua dengan anak berkebutuhan khusus akan
menarik diri dari lingkungan. Terkadang, orang tua
juga malah mengalami masalah pada kehidupan
sehari-hari lantaran tekanan demi tekanan yang tidak
bisa dibantah.
5. Acceptance atau penerimaan
Ini adalah tahapan penerimaan kondisi si Kecil. Pada
tahap ini, orang tua menerima sepenuh hati bahwa
dirinya memiliki anak berkebutuhan khusus. Memang
tidak mudah, tetapi kenyataannya tidak bisa dibantah.
Meski si Kecil berbeda dari anak lain sesuianya, ia
tetap buah hati Anda yang memerlukan kasih sayang
dan dukungan penuh dari kedua orang tua, keluarga
maupun orang-orang di sekitarnya.
Sebagai orang tua yang kebetulan memiliki anak
berkebutuhan khusus sebaiknya menghadapinya dengan
penuh kesabaran dan yakinkan diri sendiri maupun orang-
orang di sekitar kita bahwa anak berkebutuhan khusus
adalah titipan Tuhan yang tetap harus disayangi sepenuh
hati. Memang butuh banyak proses sampai akhirnya kita,
pasangan dan anggota keluarga lainnya menerima bahwa si
kecil adalah anak berkebutuhan khusus. Tetap berlapang
dada dan jangan pernah menyerah menghadapi kenyataan.
Jika menemukan kendala dalam prosesnya, jangan
biarkan menjadi berkepanjangan dan segeralah untuk

19
berkonsultasi pada psikiater maupun psikolog. Dengan
begini, orang tua akan mendapatkan dukungan untuk
melewati tahapan penerimaan anak berkebutuhan khusus
dan mendukung tumbuh kembang anaknya menjadi lebih
baik lagi kedepannya.

20
BAB II
ANAK YANG BERKELAINAN ATAU ABNORMAL

A. Pengertian Abnormal
Kondisi abnormal yang terjadi pada diri manusia
merupakan sesuatu yang seringkali dibahas dalam
pendekatan psikologi terutama psikologi abnormal.
Psikologi abnormal sendiri merupakan salah satu cabang
dari ilmu psikologi yang khusus membahas perilaku-
perilaku abnormal manusia. Sulit memang untuk
mendefinisikan apa itu Psikologi abnormal. karena ada
begitu banyak kriteria yang harus dipertimbangkan antara
lain dari sudut pandang statistik, sosial dan budaya, suatu
perilaku pada budaya lain dianggap normal tapi di budaya
lain bisa dianggap abnormal.
Menurut Coleman, dkk dalam bukunya Sarlito (2007),
kondisi abnormali terdapat banyak sekali pendekatan
sehingga pengertian abnormal mengacu pada pendekatan
tersebut, diantaranya :
a. Kenisbian cultural (cultural relativism)
mendefinisikan abnormal berdasarkan pemahaman
norma suatu budaya sebagai standar perilaku normal,
sehingga abnormal hanya dapat didefinisikan dalam
referensi norma-norma ini. Sebagai contoh disuatu
daerah menjadi suatu yang budaya saling menghabisi
satu sama lain ketika menyinggung tentang harga diri
maka normal baginya tetapi belum tentu normal
didaerah lain. Normal atau tidak normal menjadi

21
berlaku dikebudayaan itu sendiri tapi tidak untuk
budaya yang ada didaerah lain yang saling
menghormati satu dengan yang lainnya serta
menyelesaikan suatu perkara dengan jalan
musyawarah dan mufakat.
b. Ketidakbiasaan (unusualness), yang sering juga disebut
sebagai pendekatan statistik, mengemukakan perilaku
abnormal sebagai penyimpangan dari rata-rata.
Unusualness merupakan definisi perilaku abnormal
yang jarang atau tidak sering terjadi. Definisi ini
banyak mengacu pada pendekatan statistic
(berdasarkan kurva normal).
c. Penyimpangan sosial atau social deviation. Maksud dari
pendekatan ini adalah bahwa orang yang terlihat
berperilaku dan bersikap secara sosial berbeda dengan
umumnya orang lain, digolongkan sebagai orang yang
abnormal.
d. Discomfort. Merupakan pendekatan berdasarkan
ketidakenakan atau ketidaknyamanan sering juga
disebut sebagai pendekatan distress. Seorang disebut
abnormal kalua secara personal ia merasakan dirinya
berada dalam situasi penuh tekanan (stressfull
situation) baik karena sumber stress dari lingkungan
ataupun disebabkan oleh kondisi diri sendiri. Ada
tekanan-tekanan yang tidak dapat ia kuasai, misalnya
memiliki banyak keinginan yang bertentangan, atau
lingkungan menuntut sesuatu yang lebih besar, tidak
sebanding dengan kemampuan yang dimilikinya. Sakit

22
mental berdasarkan kriteria ini, menggambarkan
bahwa perilaku yang muncul dianggap merupakan
akibat dari suatu penyakit atau disease. Discomfort atau
tidak nyaman terjadi karena individu merasakan
adanya tekanan, pemaksaan, dari dalam maupun luar
diri. Pemaksaan yang tidak sesuai dengan potensi dan
kekuatan diri membuat orang tersebut merasa
tertekan, tidak nyaman (distress).
e. Mental illness. Merupakan implikasi perilaku terhadap
proses fisikal yang jelas dimana seseorang
menyimpang dari situasi dan kondisi sehat, yang
memungkinkan tampilnya perilaku atau simtom yang
spesifik, Sakit mental mengartikan perilaku abnormal
sebagai hasil atau akibat dari sakit mental yang
merupakan kebalikan dari mental yang sehat. Mental
tidak sehat dimaksudkan sebagai kondisi dimana orang
tidak mampu mengaktualisasikan potensinya secara
optimal, sedangkan sakit mental adalah kondisi
struktural komponen-komponen dalam diri yang saling
menghancurkan atau saling merusak.
f. Maladaptif. Merupakan kriteria yang paling dapat
diterima oleh para akademisi. Adapun yang menjadi
penyebab dari perilaku dan perasaan maladptif itu
bervariasi. Perilaku yang menyebabkan seseorang
secara fisik atau emosional terganggu, terlalu menjaga
diri dalam hal pemfungsian sehari-hari, kehilangan
sentuhan dengan realitas, tidak dapat mengendalikan
pikiran secara tepat, tidak dapat berperilaku sesuai

23
dengan tuntutan lingkungan maupun tuntutan dari
dalam dirinya sendiri yang mana tuntutan dari
lingkungan bersifat objektif sementara tuntutan dari
dalam merupakan pemikiran subjektif meskipun baik
itu objektif maupun subjektif sebenarnya tidak
menunjukkan apakah sesuatu itu mengandung
kebenaran atau tidak.
Psikologi abnormal kadang-kadang disebut juga
psikopatologi. Dalam bahasa Inggris dinyatakan dengan
istilah Abnormal Psychology. Menurut Kartini Kartono,
psikologi abnormal adalah salah satu cabang psikologi yang
menyelidiki segala bentuk gangguan mental dan
abnormalitas jiwa.
Singgih Dirgagunarsa mendefinisikan psikologi
abnormal atau psikopatologi sebagai lapangan psikologi
yang berhubungan dengan kelainan atau hambatan
kepribadian yang menyangkut proses dan isi kejiwaan.
Psikologi abnormal merupakan salah satu cabang psikologi
yang berupaya untuk memahami pola perilaku abnormal
dan cara menolong orang-orang yang mengalaminya.
1. Psychopathic Personality
Dalam gejala Psichopathic Personality, seseorang
yang dikatakan abnormal biasanya memiliki ego yang
sangat tinggi. Mereka tidak mau tahu (karena memang
mereka tidak mengerti) apapun tentang keadaan orang
lain, yang terpenting bagi mereka adalah kepuasan
terhadap ego.

24
Saat sedang tertawa dan bahagia, beberapa detik
atau menit kemudian tiba-tiba menangis dan bersedih.
Mungkin gejala perubahan emosi ini dipengaruhi pula oleh
halusinasi. Mereka pun tidak jarang mengekspresikankan
perasaan mereka, seperti cinta, marah, bahagia, sedih, atau
takut dengan bentuk-bentuk perilaku yang sulit
dikendalikan.
2. Deliquen Personality
Gejala ini ditampilkan dengan sikap pertahanan
diri yang sangat kuat. Mereka yang abnormal seringkali
mengunci diri dalam lingkungan yang sepi dan sendiri.
Mereka seolah tidak ingin ada serangan yang datang
terhadap dirinya sehingga mereka selalu mempertahankan
diri atau membuat benteng pertahanan terhadap segala hal
yang ada.
Gejala lain yang ditunjukkan adalah hiper-sensitif.
Mereka dengan sangat cepat mengekspresikan rasa sedih,
marah, takut, atau senang dengan hal-hal yang oleh orang
normal biasa-biasa saja. Gejala hiper-sensitif inilah yang
perlu diperhatikan ketika invidu abnormal berhubungan
dengan orang lain, bisa-bisa terjadi pertengkaran karena
yang satu tidak mengetahui dan memahami yang lainnya.
Bentuk lain dari Deliquen Personality adalah
ketidakmampuan menurut terhadap peraturan yang
disebut juga Diciplin Problems. Baik itu masalah kedisplinan
yang berkaitan dengan aturan yang di rumah, ataupun di
lingkungan masyarakat.

25
B. Penyebab Perilaku Abnormal
Menurut tahap-tahapnya, sebab-sebab perilaku
abnormal dapat dibedakan sebagai berikut:

1. Penyebab Primer (Primary Cause)


Penyebab primer adalah kondisi yang tanpa
kehadirannya suatu gangguan tidak akan muncul. Misalnya
infeksi sipilis yang menyerang system syaraf pada kasus
paresis general yaitu sejenis psikosis yang disertai
paralysis atau kelumpuhan yang bersifat progresif atau
berkembang secara bertahap sampai akhirnya penderita
mengalami kelumpuhan total. Tanpa infeksi sipilis
gangguan ini tidak mungkin menyerang seseorang.
2. Penyebab yang Menyiapkan (Predisposing Cause)
Kondisi yang mendahului dan membuka jalan bagi
kemungkinan terjadinya gangguan tertentu dalam kondisi-
kondisi tertentu di masa mendatang. Misalnya anak yang
ditolak oleh orang tuanya (rejected child) mungkin menjadi
lebih rentan dengan tekanan hidup sesudah dewasa
dibandingkan dengan orang-orang yang memiliki dasar
rasa aman yang lebih baik
3. Penyebab Pencetus (Preciptating Cause)
Penyebab pencetus adalah setiap kondisi yang tak
tertahankan bagi individu dan mencetuskan gangguan.
Misalnya seorang wanita muda yang menjadi terganggu
sesudah mengalami kekecewaan berat ditinggalkan oleh
tunangannya atau seorang anak yang secara tiba-tiba
ditinggalkan oleh kedua orangtuanya.

26
4. Penyebab Yang Menguatkan (Reinforcing Cause)
Kondisi yang cenderung mempertahankan atau
memperteguh tingkah laku maladaptif yang sudah terjadi.
Misalnya perhatian yang berlebihan pada seorang anak
yang ”sedang sakit” justru dapat menyebabkan yang
bersangkutan kurang bertanggung jawab atas dirinya dan
menunda kesembuhannya.
Berdasarkan sumber asalnya, sebab-sebab perilaku
abnormal dapat digolongkan sedikitnya menjadi tiga yaitu:
1. Faktor Biologis
Adalah berbagai keadaan biologis atau jasmani
yang dapat menghambat perkembangan ataupun fungsi
sang pribadi dalam kehidupan sehari-hari seperti
kelainan gen, kurang gizi, penyakit dsb. Pengaruh-
pengaruh faktor biologis lazimnya bersifat menyeluruh.
Artinya mempengaruhi seluruh aspek tingkah laku,
mulai dari kecerdasan sampai daya tahan terhadap
stress.
2. Faktor-faktor psikososial
Trauma Psikologis adalah pengalaman yang
menghancurkan rasa aman, rasa mampu dan harga diri
sehingga menimbulkan luka psikologis yang sulit
disembuhkan sepenuhnya. Trauma psikologis yang
dialami pada masa kanak-kanak cenderung akan terus
dibawa sampai ke masa dewasa.
3. Deprivasi Parental
Tiadanya kesempatan untuk mendapatkan
rangsangan emosi dari orang tua, berupa kehangatan,

27
kontak fisik, rangsangan intelektual, emosional dan
sosial bisa sebagai pemicu permasalahan pada anak.
Ada beberapa kemungkinan sebab misalnya:
Dipisahkan dari orang tua dan dititipkan dipanti
asuhan, Kurangnya perhatian dari pihak orang tua
kendati tinggal bersama orang tua di rumah.
1) Hubungan orangtua anak yang patogenik
Hubungan patogenik adalah hubungan yang tidak
serasi, dalam hal ini hubungan antara orang tua dan
anak yang berakibat menimbulkan masalah atau
gangguan tertentu pada anak.
2) Struktur keluarga yang patogeni.
Struktur keluarga sangat menentukan corak
komunikasi yang berlangsung diantara para
anggotanya. Struktur keluarga tertentu melahirkan
pola komunikasi yang kurang sehat dan selanjutnya
muncul pola gangguan perilaku pada sebagian
anggotanya.

C. Model Perilaku Abnormal


1. Model Psikoanalitik
Pendekatan yang dipelopori oleh Sigmund freud
ini memberikan tekanan pada peranan dorongan-
dorongan dasar yang bersifat naluriah dan tidak
disadari yang terdapat pada manusia umumnya, seperti
dan terutama dorongan seks, sebagai penyebab utama
terjadinya perilaku, termasuk perilaku yang
menyimpang atau gangguan jiwa. Dalam pandangan ini

28
kesehatan mental dipandang sebagai kondisi yang
memungkinkan individual mampu untuk meredakan
dan menyalurkan dorongan-dorongan dasar ini dalam
batas-batas yang dilanjutkan atau diminta masyarakat
atau society dengan agama dan budayanya. Tingkah
laku abnormal dilihat sebagai hasil dari perkembangan
yang salah atau penggunakan defence mechinsm yang
berlebihan ketika individu menanggulangi kecemasan
(anxiety) yang dihayatinya.
2. Model Behavioritik
Model ini menekankan pada perilaku yang over
atau terbuka serta objektif. Tingkah laku ini dilihat
sebagai upaya organisme untuk menyesuaikan diri
dengan rangsangan-rangsangan-rangsangan di
lingkungan, yang disebut stimulus. Abnormalitas dilihat
sebagai adaptasi yang tidak efektif atau menyimpang,
sebagai hasil belajar atau respon-respon maladaptif dan
atau untuk mempelajari apa atau kemampuan apa yang
dibutuhkan, atau dapat dikatakan salah dalam
mempelajari suatu yang baik atau berhasil dalam
mempelajari hal-hal yang tidak benar.
3. Model Humanistik
Model ini menekankan pada kecenderungan-
kecenderungan alamiah manusia dalam hal pengarahan
diri yang bertanggungjawab dan kepuasan diri.
Abnormalitas dilihat sebagai upaya untuk
mengembangkan humanitas seseorang secara penuh
atau lengkap sebagai akibat dari adanya blocking atau

29
distorsy serta terdapat asumsi bahwa pada dasarnya
manusia mampu mencapai apa yang ingin ia capai
melalui proses yang disebut aktualisasi diri.
4. Model Eksistensial
Model ini menekankan pada realitas primer
kesadaran atau pengalaman dan keputusan-keputusan
individual yang dilakukan secara sadar. Aliran ini yakin
bahwa pada dasarnya manusia adalah makhluk yang
ingin eksis. Abnormalitas dipandang sebagai kegagalan
untuk mencapai eksistensi diri dan mencapai identitas
diri yang adekuat serta cara hidup yang penuh makna.
5. Model Interpersonal
Model ini pada peran relasi antar pribadi dalam
membentuk perkembangan dan perilaku individual.
Abnormalitas dipandang sebagai hasil atau berasal dari
relasi antar individu atau akomodasi tipe yang
patologis, gagal sebagai subjek yang membangun
interaksi dengan sesamanya, sehingga kualitas
pribadinya menurun. Manusia menurut aliran ini pada
dasarnya adalah makhluk sosial (homo socius) yang
hanya dapat hidup kalau berada dalam hubungan
pribadi dengan orang lain.

D. Gejala Gangguan Kepribadian Berdasarkan Jenisnya


Berdasarkan jenisnya, gangguan kepribadian dibagi
menjadi tiga kelompok. Pertama adalah gangguan
kepribadian kelompok A. Seseorang dengan gangguan
kepribadian kelompok ini biasanya memiliki pemikiran dan

30
perilaku yang aneh. Jenis-jenis gangguan kepribadian
kelompok A terdiri dari:
1. Gangguan kepribadian skizotipal
Selain tingkah laku yang aneh dan cara bicara
mereka yang tidak wajar, penderita gangguan
kepribadian jenis ini kerap terlihat cemas atau tidak
nyaman dalam situasi sosial. Penderita juga kerap
berkhayal, misalnya percaya bahwa dirinya memiliki
kekuatan telepati yang mampu memengaruhi emosi dan
tingkah laku orang lain atau percaya bahwa suatu tulisan
di koran adalah sebuah pesan tersembunyi bagi mereka.
2. Gangguan kepribadian skizoid
Ciri utama penderita gangguan kepribadian jenis
ini adalah sifat yang dingin. Mereka seperti sukar
menikmati momen apa pun, tidak bergeming saat
dikritik atau dipuji, dan tidak tertarik menjalin
hubungan pertemanan dengan siapa pun, bahkan
dengan lawan jenis. Mereka cenderung penyendiri dan
menghindari interaksi sosial.
3. Gangguan kepribadian paranoid
Ciri-ciri utama gangguan kepribadian jenis ini
adalah kecurigaan dan ketidakpercayaan terhadap orang
lain secara berlebihan, termasuk pada pasangan mereka.
Mereka selalu takut bahwa orang lain akan
memanipulasi atau merugikan mereka, dan mereka
takut pasangan mereka akan berkhianat.
Kedua adalah gangguan kepribadian kelompok B. Ciri-
cirinya adalah pola pikir dan perilaku yang tidak bisa

31
diprediksi, serta emosi yang berlebihan dan dramatis. Jenis-
jenis gangguan kepribadian kelompok B terdiri dari:
1. Gangguan kepribadian ambang (borderline)
Orang yang menderita kondisi ini biasanya
memiliki emosi yang tidak stabil dan memiliki dorongan
untuk menyakiti diri sendiri, misalnya dengan meminum
banyak alkohol atau melakukan seks bebas. Penderita
gangguan ini juga merasa kesulitan untuk berinteraksi
dengan orang lain. Mereka merasa tidak dianggap baik
dalam lingkungan keluarga maupun di masyarakat.
2. Gangguan kepribadian antisosial
Orang yang menderita kondisi ini kerap
mengabaikan norma sosial yang berlaku dan tidak
memiliki rasa simpati terhadap orang lain. Penderita
cenderung menyalahkan orang lain atas masalah yang
terjadi dalam hidup mereka. Mereka gemar
mengintimidasi orang lain dan tidak menyesali
perbuatan mereka. Mereka juga tidak mampu
mengendalikan amarah dan mempertahankan
hubungan.
3. Gangguan kepribadian narsistik
Orang yang menderita kondisi ini merasa yakin
bahwa dirinya lebih istimewa dibandingkan orang lain.
Mereka cenderung arogan dan terus-menerus
mengharapkan pujian dari orang lain. Mereka akan
membanggakan dan melebih-lebihkan prestasi yang
dicapai. Ketika merasa ada orang lain yang lebih unggul

32
daripada mereka, penderita gangguan kepribadian
narsistik akan merasa sangat iri.
4. Gangguan kepribadian histrionik
Orang yang menderita kondisi ini biasanya terlalu
mencemaskan penampilan, cenderung dramatis dalam
berbicara, dan selalu mencari perhatian. Apabila
menjalin hubungan pertemanan, penderita gangguan ini
akan menganggap hubungan pertemanan tersebut
sangat erat, meskipun orang lain menganggapnya tidak.
Ketiga adalah gangguan kepribadian kelompok C.
Meski ciri-ciri tiap gangguan yang masuk dalam kelompok
ini berbeda-beda, ada satu komponen yang sama, yaitu rasa
cemas dan ketakutan. Gangguan kepribadian kelompok C
terdiri dari:
1. Gangguan kepribadian dependen
Penderita kondisi ini akan merasa sangat
tergantung pada orang lain dalam hal apa pun. Mereka
tidak bisa hidup mandiri dan selalu diliputi rasa takut
akan ditinggalkan orang lain. Saat mereka sedang
sendiri, mereka akan merasa tidak nyaman dan tidak
berdaya. Akibat ketergantungan yang berlebihan ini,
penderita gangguan kepribadian dependen tidak akan
bisa membuat keputusan dan mengemban tanggung
jawab sendiri tanpa petunjuk dan bantuan orang lain.
2. Gangguan kepribadian menghindar
Penderita kondisi ini sering menghindari kontak
sosial, terutama dalam kegiatan baru yang melibatkan
orang asing. Tidak sama seperti gangguan kepribadian

33
skizoid, penghindaran ini dilakukan penderita karena
mereka malu dan tidak percaya diri. Sebenarnya mereka
ingin sekali menjalin hubungan dekat, namun mereka
merasa tidak pantas berbaur dan khawatir mengalami
penolakan.
3. Gangguan kepribadian obsesif kompulsif
Orang yang mengalami kondisi ini bisa dikatakan
“gila kendali”. Mereka sulit untuk bisa bekerja sama
dengan orang lain dan lebih memilih untuk mengatur
atau menyelesaikan tugasnya sendiri. Karena
kepribadian mereka yang perfeksionis, sering kali
mereka stres apabila hasil pekerjaan tidak sesuai dengan
standar mereka yang tinggi.

E. Penyebab Gangguan Berdasarkan Kepribadiannya


Kasus gangguan kepribadian umumnya dimulai
pada usia remaja dan saat memasuki usia dewasa. Ada
beberapa faktor yang diduga dapat memicu atau
meningkatkan risiko terjadinya kondisi ini, di antaranya:
1. Adanya kelainan pada struktur atau komposisi kimia di
dalam otak.
2. Adanya riwayat gangguan kepribadian atau penyakit
mental dalam keluarga.
3. Menghabiskan masa kecil di dalam kehidupan keluarga
yang kacau.
4. Perasaan sering diabaikan sejak masa kanak-kanak.
5. Mengalami pelecehan sejak kanak-kanak, baik verbal
maupun fisik.

34
6. Tingkat pendidikan yang rendah.
7. Hidup di tengah-tengah keluarga berekonomi sulit.
Sebagian besar para ahli berpendapat bahwa
gangguan kepribadian disebabkan oleh kombinasi dari
situasi-situasi di lingkungan dengan faktor keturunan. Gen
yang diwariskan dari orang tua sangat berpengaruh pada
gangguan kepribadian, sedangkan lingkungan berpotensi
memicu perkembangan gangguan tersebut.
1. Diagnosis Gangguan Kepribadian
Untuk mendiagnosis gangguan kepribadian,
dokter maupun psikolog mungkin akan menyarankan
pasien untuk menjalani evaluasi psikologis mengenai
cara berpikir dan bertindak, serta perasaan yang mereka
rasakan. Keterangan dari pasien bisa didapat dokter dan
psikolog dengan cara bertanya langsung pada pasien
atau melalui kuesioner.
Selain evaluasi psikologis, pemeriksaan fisik juga
diperlukan untuk mengetahui apakah gangguan
kepribadian pasien disebabkan oleh adanya gangguan
pada kesehatan fisik mereka. Dalam hal ini, dokter
mungkin akan menanyakan gejala-gejala apa saja yang
dirasakan pasien atau melakukan pemeriksaan darah di
laboratorium.
Selain dua hal di atas, metode diagnosis yang
tidak kalah penting untuk dilakukan untuk memastikan
terjadinya gangguan kepribadian adalah pemeriksaan
kadar alkohol atau obat-obatan terlarang di dalam tubuh

35
pasien. Bisa saja hal itulah yang memicu munculnya
gejala-gejala gangguan kepribadian.
2. Pengobatan Gangguan Kepribadian
Cara utama dalam menangani gangguan
kepribadian adalah melalui terapi psikologis atau
kejiwaan di bawah bimbingan psikiater maupun
psikolog. Terapi ini bertujuan untuk meningkatkan
kemampuan pasien dalam mengendalikan emosi serta
pikirannya secara lebih baik. Umumnya terapi ini
dilakukan setidaknya selama enam bulan, namun
durasinya bisa lebih panjang jika kondisi kejiwaan
pasien cukup memprihatinkan sehingga dibutuhkan
penanganan yang intensif.

36
BAB IV
LAYANAN DAN MODEL LAYANAN PENDIDIKAN ANAK
BERKEBUTUHAN KHUSUS

A. Pengertian Layanan
Konsep layanan memiliki arti yang sama meskipun
dalam konteks kegiatan yang berbeda, yaitu suatu jasa yang
diberikan oleh seseorang kepada orang lain untuk
memenuhi kebutuhannya. Dalam beberapa terminologi,
Istilah layanan diartikan sebagai (1) cara melayani; (2)
usaha melayani kebutuhan orang lain dengan memperoleh
imbalan (uang); (3) kemudahan yang diberikan sehubungan
dengan jual beli jasa atau barang.
Sebagaimana telah dijelaskan pada unit terdahulu,
bahwa anak berkebutuhan khusus adalah anak-anak yang
mengalami keterbatasan atau hambatan dalam segi fisik,
mental-intelektual, maupun sosial emosional. Kondisi yang
demikian, baik secara langsung atau tidak berdampak pada
berbagai aspek kehidupan mereka. Untuk itu pemberian
layanan yang baik sangat diperlukan bagi mereka, untuk
dapat menjalani kehidupannya secara wajar. Secara umum
kondisi anak-anak berkebutuhan khusus memang berbeda
dengan anak-anak pada umumnya. Namun keadaan yang
demikian, bukan berarti layanan yang diberikan selalu
berbeda dengan anak-anak pada umumnya. Mungkin saja
anak-anak berkebutuhan khusus secara umum memerlukan
layanan sebagaimana anak-anak pada umumnya, dan hanya
pada beberapa bidang yang memerlukan layanan atau

37
pendampingan khusus. Artinya, untuk beberapa jenis anak
berkebutuhan tersebut sebagian besar dapat mengikuti
layanan pendidikan sebagaimana anak-anak normal pada
umumnya.
Kendati demikian, tentu ada anak-anak
berkebutuhan khusus yang memang memerlukan layanan
individual, karena kondisi dan keadaannya yang tidak
memungkinkan untuk mengikuti layanan sebagaimana
anak-anak normal. Dari segi waktu, pemberian layanan
pada anak berkebutuhan khusus juga sangat bervariasi.
Tidak semua anak-anak berkebutuhan khusus memerlukan
layanan sepanjang hidupnya, ada kalanya layanan bagi
mereka bersifat temporer. Anak-anak berkebutuhan khusus
mungkin hanya membutuhkan layanan dalam beberapa
periode waktu tertentu.
Contohnya, anak-anak tunanetra membutuhkan
layanan orientasi dan mobilitas hanya diperlukan pada
tingkat satuan pendidikan Sekolah Dasar. Demikian juga
bina komunikasi untuk anak tunarungu, bina diri dan gerak
untuk anak tunadaksa, bina diri dan sosial untuk anak
tunalaras. Namun untuk anak-anak yang berklasifikasi
berat, memerlukan berbagai layanan yang lebih lama untuk
menumbuhkan kemandirian mereka. Ada beberapa jenis
layanan yang bisa diberikan kepada anak-anak
berkebutuhan khusus, sesuai dengan kebutuhannya masing-
masing. Namun secara umum akan mencakup (1) layanan
medis dan fisiologis, (2) layanan sosial psikologis, dan (3)
layanan pedagogis/pendidikan. Beberapa jenis layanan

38
tersebut diberikan oleh para ahli yang kompeten pada
bidangnya masing-masing, dan dilakukan berdasarkan
kebutuhan anak yang terlebih dahulu sudah didiagnosis
dengan baik.

B. Model Layanan Pendidikan Bagi Anak Berkebutuhan


Khusus
ABK memiliki tingkat kekhususan yang amat beragam,
baik dari segi jenis, sifat, kondisi maupun kebutuhannya,
oleh karena itu, layanan pendidikannnya tidak dapat dibuat
tunggal/seragam melainkan menyesuaiakan diri dengan
tingkat keberagaman karakteristik dan kebutuhan anak.
Dengan beragamnya model layanan pendidikan tersebut,
dapat lebih memudahkan anak-anak ABK dan orangtuanya
untuk memilih layanan pendidikan yang sesuai dengan
karakteristik dan kebutuhannya. Ada beberapa model
layanan pendidikan bagi ABK yang ditawarkan mulai dari
yang model klasik sampai yang modern/terkini.
Menurut Hallahan dan Kauffman (1991) bentuk-
bentuk layanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus
dapat dikelompokkan menjadi 3 kelompok besar, yaitu:
a. Bentuk Layanan Pendidikan Segregrasi
Model segregasi merupakan model layanan
pendidikan yang sudah lama dikenal dan diterapkan pada
anak-anak berkebutuhan khusus di Indonesia. Sistem
layanan pendidikan segregasi adalah sistem pendidikan yang
terpisah dari sistem pendidikan anak normal. Model ini
mencoba memberikan layanan pendidikan secara khusus

39
dan terpisah dari kelompok anak normal maupun ABK
lainnya. Pendidikan anak berkebutuhan khusus melalui
sistem segregasi maksudnya adalah penyelenggaraan
pendidikan yang dilaksanakan secara khusus, dan terpisah
dari penyelenggaraan pendidikan untuk anak normal. Dalam
praktiknya, masing-masing kelompok anak dengan jenis
kekhususan yang sama dididik pada lembaga pendidikan
yang melayani sesuai dengan kekhususanya tersebut.
Sebagai contoh: SLB/A, lembaga pendidikan untuk anak tuna
netra; SLB/B, lembaga pendidikan untuk Anak tunarungu;
SLB/C, lembaga pendidikan untuk anak tuna grahita, SLB/D
lembaga pendidikan untuk anak tuna daksa, dan SLB/E
lembaga pendidikan untuk anak tuna laras, sekolah autisme,
sekolah anak ber IQ sedang, sekolah anak berbakat, dan
sebagainya. Dengan kata lain anak berkebutuhan khusus
diberikan layanan pendidikan pada lembaga pendidikan
khusus yang telah tersedia dan dengan fasilitas yang
memadai, seperti Sekolah Luar Biasa atau Sekolah Dasar
Luar Biasa, Sekolah Menengah Pertama Luar Biasa, Sekolah
Menengah Atas Luar Biasa.
Pada awal pelaksanaan, sistem ini diselenggarakan
karena adanya kekhawatiran atau keraguan terhadap
kemampuan anak berkebutuhan khusus untuk belajar
bersama dengan anak normal. Selain itu, adanya kelainan
fungsi tertentu pada anak berkebutuhan khusus
memerlukan layanan pendidikan dengan menggunakan
metode yang sesuai dengan kebutuhan khusus mereka.
Misalnya, untuk anak tunanetra, mereka memerlukan

40
layanan khusus berupa penggunaan hurup braille dan
orientasi mobilitas. Anak tunarungu memerlukan
komunikasi total, bina tentang persepsi bunyi; anak
tunadaksa memerlukan layanan mobilisasi dan aksesibilitas
serta layanan terapi untuk mendukung fungsi fisiknya.
Ada empat bentuk penyelenggaraan pendidikan
dengan sistem segregasi, yaitu:
1) Sekolah Luar Biasa (SLB)
Bentuk Sekolah Luar Biasa merupakan bentuk
sekolah yang telah lama ada. Bentuk SLB merupakan
bentuk unit pendidikan. Artinya, penyelenggaraan
sekolah mulai dari tingkat persiapan sampai dengan
tingkat lanjutan diselenggarakan dalam satu unit sekolah
dengan satu kepala sekolah. Pada awalnya
penyelenggaraan sekolah dalam bentuk unit ini
berkembang sesuai dengan kelainan yang ada (satu
kelainan saja), sehingga ada SLB untuk tunanetra (SLB-
A), SLB untuk tunarungu (SLB-B), SLB untuk tunagrahita
(SLB-C), SLB untuk tunadaksa (SLB-D), dan SLB untuk
tunalaras (SLB-E). Di setiap SLB tersebut ada tingkat
persiapan, tingkat dasar, dan tingkat lanjut. Sistem
pengajarannya lebih mengarah ke sistem individualisasi.
Selain itu, ada SLB yang hanya mendidik satu kelainan
saja, ada pula SLB yang mendidik lebih dari satu kelainan,
sehingga muncul SLB-BC yaitu SLB untuk anak tunarungu
dan tunagrahita; SLB-ABCD, yaitu SLB untuk anak
tunanetra, tunarungu, tunagrahita, dan tunadaksa. Hal ini

41
terjadi karena jumlah anak yang ada di unit tersebut
sedikit dan fasilitas sekolah terbatas.
2) Sekolah Luar Biasa Berasrama
Sekolah Luar Biasa Berasrama merupakan
bentuk sekolah luar biasa yang dilengkapi dengan
fasilitas asrama. Peserta didik SLB berasrama tinggal
diasrama. Pengelolaan asrama menjadi satu kesatuan
dengan pengelolaan sekolah, sehingga di SLB tersebut
ada tingkat persiapan, tingkat dasar, dan tingkat lanjut,
serta unit asrama. Bentuk satuan pendidikannyapun
juga sama dengan bentuk SLB di atas, sehingga ada SLB-
A untuk anak tunanetra, SLB-B untuk anak tunarungu,
SLB-C untuk anak tunagrahita, SLB-D untuk anak
tunadaksa, dan SLB-E untuk anak tunalaras, serta SLB-
AB untuk anak tunanetra dan tunarungu. Pada SLB
berasrama, terdapat kesinambungan program
pembelajaran antara yang ada di sekolah dengan di
asrama, sehingga asrama merupakan tempat pembinaan
setelah anak belajar di sekolah. Selain itu, SLB
berasrama merupakan pilihan sekolah yang sesuai bagi
peserta didik yang berasal dari luar daerah, karena
mereka terbatas fasilitas antar jemput sehingga
memudahkan dalam proses pendidikannya.
3) Kelas jauh/Kelas Kunjung
Kelas jauh atau kelas kunjung adalah lembaga
yang disediakan untuk memberi pelayanan pendidikan
bagi anak berkebutuhan khusus yang tinggal jauh dari
SLB atau SDLB. Penyelenggaraan kelas jauh/kelas

42
kunjung merupakan kebijaksanaan pemerintah dalam
rangka menuntaskan wajib belajar serta pemerataan
kesempatan belajar. Anak berkebutuhan khusus
tersebar di seluruh pelosok tanah air, sedangkan
sekolah-sekolah yang khusus mendidik mereka masih
sangat terbatas di kota/kabupaten. Oleh karena itu,
dengan adanya kelas jauh/kelas kunjung ini diharapkan
layanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus
semakin luas. Dalam penyelenggaraan kelas jauh/kelas
kunjung menjadi tanggung jawab SLB terdekatnya.
Tenaga guru yang bertugas di kelas tersebut berasal dari
guru SLB-SLB di dekatnya. Mereka berfungsi sebagai
guru kunjung (itenerant teacher). Kegiatan
administrasinya dilaksanakan di SLB terdekat tersebut.
4) Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB)
Dalam rangka menuntaskan kesempatan belajar
bagi anak berkebutuhan khusus, pemerintah mulai pada
pembangunan lima tahun (Pelita II) menyelenggarakan
Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB). Di SDLB merupakan
unit sekolah yang terdiri dari berbagai kelainan yang
dididik dalam satu atap. Dalam SDLB terdapat anak
tunanetra, tunarungu, tunagrahita, dan tunadaksa.
Tenaga kependidikan di SDLB terdiri dari kepala
sekolah, guru untuk anak tunanetra, guru untuk anak
tunarungu, guru untuk anak tunagrahita, guru untuk
anak tunadaksa, guru agama, dan guru olahraga. Selain
tenaga kependidikan, di SDLB dilengkapai dengan
tenaga ahli yang berkaitan dengan kelainan mereka

43
antara lain dokter umum, dokter spesialis, fisiotherapis,
psikolog, speech therapist, audiolog dan lain-lain sesuai
kebutuhan. Selain itu ada tenaga administrasi dan
penjaga sekolah. Kurikulum yang digunakan di SDLB
adalah kurikulum yang digunakan di SLB untuk tingkat
dasar yang disesuaikan dengan kekhususannya.
Kegiatan belajar dilakukan secara individual, kelompok,
dan klasikal sesuai dengan ketunaan masing-masing.
Pendekatan yang dipakai juga lebih ke pendekatan
individualisasi. Selain kegiatan pembelajaran, dalam
rangka rehabilitasi di SDLB juga diselenggarakan
pelayanan khusus sesuai dengan ketunaan anak. Anak
tunanetra memperoleh latihan menulis dan membaca
braille dan orientasi mobilitas; anak tunarungu
memperoleh latihan membaca ujaran, komunikasi total,
bina persepsi bunyi dan irama; anak tunagrahita
memperoleh layanan mengurus diri sendiri; dan anak
tunadaksa memperoleh layanan fisioterapi dan latihan
koordinasi motorik. Lama pendidikan di SDLB sama
dengan lama pendidikan di SLB konvensional untuk
tingkat dasar, yaitu anak tunanetra, tunagrahita, dan
tunadaksa selama 6 tahun, dan untuk anak tunarungu 8
tahun.
SDLB keberadaannya hampir mirip dengan SLB,
akan tetapi SDLB adalah sekolah yang diperuntukkan
dan untuk menampung anak-anak berkebutuhan khusus
usia sekolah dasar dari berbagai jenis dan tingkat
kekhususan yang dialaminya. Oleh karena itu, dalam

44
SDLB ada Anak Berkebutuhan Khusus kategori tuna
netra, tuna rungu, tuna grahita, dan sebagainya. Mereka
belajar di kelas masing-masing yang disesuaikan dengan
jenis kekhususannya, akan tetapi mereka bersosialisasi
secara bersama-sama dalam satu naungan sekolah. SDLB
pada hakikatnya adalah SD Negeri Inpres biasa tetapi
diperuntukkan bagi anak usia wajib belajar yang
memerlukan pendidikan khusus. Dilihat dari keragaman
anak di SDLB dengan berbagai jenis kekhususannya
tersebut, maka SDLB sebenarnya termasuk sekolah
terpadu, akan tetapi terpadu secara fisik bukan terpadu
secara akademik. (Dwidjo Sumarto, 1988).

Kebaikan/Kelebihan Model ini adalah :


a. anak merasa berada dalam dunia yang lebih luas,
tidak hanya terbatas pada jenis kelainan tertentu
saja
b. dalam perkembangan sosial, anak lebih leluasa
mengadakan interaksi dan komunikasi dengan
sesama teman yang sangat bervariasi jenis
ketunaannya,
c. secara psikologis, anak dapat lebih mudah
meningkatkan rasa percaya diri, menebalkan
semangat, dan motivasi berprestasi.
d. anak merasa senasib, sehingga dapat menghilangkan
rasa minder, rasa rendah diri, dan membangkitkan
semangat menyongsong kehidupan di hari-hari
mendatang,

45
e. anak lebih mudah beradaptasi dengan temannya
yang sama-sama mengalami/menyandang ketunaan,
f. anak termotivasi dan bersaing secara sehat dengan
sesama temannya yang senasib di sekolahnya, dan
anak lebih mudah bersosialisasi tanpa dibayangi
rasa takut bergaul, minder, dan rasa kurang percaya
diri.
Kekurangan/Kelemahan adalah :
1. anak masih merasakan bahwa mereka hidup dalam
lingkungan yang terpisah dari anak yang lainnya
sehingga anak sulit bergaul dan menjalin komunikasi
dengan mereka yang normal karena kesempatan itu
menjadi tidak ada. Anak merasakan terbatas dalam
mengembangkan interaksi dan komunikasi dengan
mereka yang berkategori normal, karena anak-anak
dikelompokkan berdasarkan jenis ketunaan tertentu,
sehingga kadang-kadang timbul sikap permusuhan
diantara kelompok mereka.
2. anak merasa terpasung dan dibatasi pergaulanya
dengan anak yang cacat saja sehingga pada giliranya
dapat menghambat perkembangan sosialisasinya di
masyarakat.
3. anak merasakan ketidakadilan dalam kehidupan di
sekolah yang terbatas bagi mereka yang tergolong
berkelainan.
b. Bentuk Layanan Pendidikan Terpadu/Integrasi
Bentuk layanan pendidikan terpadu/integrasi adalah
sistem pendidikan yang memberikan kesempatan kepada

46
anak berkebutuhan khusus untuk belajar bersama-sama
dengan anak biasa (normal) di sekolah umum. Dengan
demikian, melalui sistem integrasi, anak berkebutuhan
khusus bersama-sama dengan anak normal belajar dalam
satu atap. Sekolah terpadu pada hakikatnya merupakan
sekolah normal biasa yang telah ditetapkan untuk
menerima Anak Berkebutuhan Khusus. Mereka belajar
bersama-sama dengan anak-anak normal, dengan diajar
oleh guru umum sedangkan materi-materi yang memiliki
sifat kekhususan diberikan oleh guru pendamping.
Sistem pendidikan integrasi disebut juga sistem
pendidikan terpadu, yaitu sistem pendidikan yang
membawa anak berkebutuhan khusus kepada suasana
keterpaduan dengan anak normal. Keterpaduan tersebut
dapat bersifat menyeluruh, sebagian, atau keterpaduan
dalam rangka sosialisasi. Pada sistem keterpaduan secara
penuh dan sebagaian, jumlah anak berkebutuhan khusus
dalam satu kelas maksimal 10 % dari jumlah siswa
keseluruhan. Selain itu dalam satu kelas hanya ada satu
jenis kelainan. Hal ini untuk menjaga agar beban guru kelas
tidak terlalu berat, dibanding jika guru harus melayani
berbagai macam kelainan.
Untuk membantu kesulitan yang dialami oleh anak
berkebutuhan khusus, di sekolah terpadu disediakan Guru
Pembimbing Khusus (GPK). GPK dapat berfungi sebagai
konsultan bagi guru kelas, kepala sekolah, atau anak
berkebutuhan khusus itu sendiri. Selain itu, GPK juga

47
berfungsi sebagai pembimbing di ruang bimbingan khusus
atau guru kelas pada kelas khusus. Model Kelas Khusus.
Dalam pelaksanaannya pendidikan terpadu dapat
berlangsung secara : Terpadu penuh/sepanjang hari
pelajaran dan secara terpadu sebagian/khsusus bidang
studi tertentu.
Pada tipe sekolah terpadu penuh, Anak Berkebutuhan
Khusus belajar bersama-sama dengan mereka yang bukan
Anak Berkebutuhan Khusus dengan mengikuti semua
pelajaran tanpa terkecuali. Meskipun demikian tipe sekolah
ini tetap membutuhkan kehadiran guru pendamping khusus
di kelas/sekolah tersebut. Guru khusus ini bisa menjadi
mitra kerja bagi guru umum yang mengajar. Jika guru umum
menghadapi kesulitan berkaitan dengan Anak
Berkebutuhan Khusus maka ia dapat meminta bantuan pada
guru khusus.
Di sekolah terpadu sebagian Anak Berkebutuhan
Khusus mengikuti mata pelajaran bersama-sama, misalnya
Matematika, IPA, IPS, dan lain-lain. Sedangkan untuk mata
pelajaran yang tidak bisa diikuti oleh Anak Berkebutuhan
Khusus, maka Anak Berkebutuhan Khusus dilayani
tersendiri sesuai dengan karakteristik kekhususannya,
seperti kegiatan: olahraga, kerajinan tangan, latihan
orientasi dan mobilitas, dan lain-lain. Pendidikan/Sekolah
Terpadu pada awalnya hanya menerima murid Anak
Berkebutuhan Khusus kategori tunanetra, namun untuk
sekarang dan yang akan datang pendidikan terpadu sudah

48
tampak bisa menerima murid dari semua jenis Anak
Berkebutuhan Khusus dengan sistem yang lebih baik lagi.
Kebaikan/ kelebihan model ini adalah : anak merasa
dihargai harkat dan martabatnya sehinga mereka bisa
belajar bersama-sama dengan anak normal tanpa dibatasi
oleh dinding tembok pemisah yang tegas, dari
perkembangan sosial, anak lebih mudah berinteraksi dan
berkomunikasi secara luas dengan mereka/anak-anak yang
normal di sekolah tersebut, secara psikologis, anak merasa
percaya diri dan dapat menimbulkan semangat/motivasi
untuk bersaing secara sehat dengan mereka yang
berkategori normal.
Kekurangan / kelemahan, adalah : anak kadang merasa
rendah diri sehingga dapat meruntuhkan semangat belajar,
dalam kondisi tertentu, anak menjadi bahan olok-olokan
egative dari temannya yang normal sehingga kondisi
kejiwaan ABK menjadi tertekan, dan ketersediaan guru GPK
(Guru Pendamping Khusus) bagi anak ABK di sekolah
tersebut tidak selalu ada.
Ada tiga bentuk keterpaduan dalam layanan
pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus menurut
Depdiknas (1986). Ketiga bentuk tersebut adalah:
1) Bentuk Kelas Biasa
Dalam bentuk keterpaduan ini anak
berkebutuhan khusus belajar di kelas biasa secara
penuh dengan menggunakan kurikulum biasa. Oleh
karena itu sangat diharapkan adanya pelayanan dan
bantuan guru kelas atau guru bidang studi semaksimal

49
mungkin dengan memperhatikan petunjuk-petunjuk
khusus dalam melaksanakan kegiatan belajar-mengajar
di kelas biasa. Bentuk keterpaduan ini sering juga
disebut keterpaduan penuh. Dalam keterpaduan ini guru
pembimbing khusus hanya berfungsi sebagai konsultan
bagi kepala sekolah, guru kelas/guru bidang studi, atau
orangtua anak berkebutuhan khusus. Sebagai konsultan,
guru pembimbing khusus berfungsi sebagai penasehat
mengenai kurikulum, maupun permasalahan dalam
mengajar anak berkebutuhan khusus. Oleh karena itu
perlu disediakan ruang konsultasi untuk guru
pembimbing khusus. Pendekatan, metode, cara penilaian
yang digunakan pada kelas biasa ini tidak berbeda
dengan yang digunakan pada sekolah umum. Tetapi
untuk beberapa mata pelajaran yang disesuaikan dengan
ketunaan anak. Misalnya, anak tunanetra untuk
pelajaran menggambar, matematika, menulis, membaca
perlu disesuaikan dengan kondisi anak. Untuk anak
tunarungu mata pelajaran kesenian, bahasa
asing/bahasa Indonesia (lisan) perlu disesuaikan
dengan kemampuan wicara anak.
2) Kelas Biasa dengan Ruang Bimbingan Khusus
Pada keterpaduan ini, anak berkebutuhan khusus
belajar di kelas biasa dengan menggunakan kurikulum
biasa serta mengikuti pelayanan khusus untuk mata
pelajaran tertentu yang tidak dapat diikuti oleh anak
berkebutuhan khusus bersama dengan anak normal.
Pelayanan khusus tersebut diberikan di ruang

50
bimbingan khusus oleh guru pembimbing khusus (GPK),
dengan menggunakan pendekatan individu dan metode
peragaan yang sesuai. Untuk keperluan tersebut, di
ruang bimbingan khusus dilengkapi dengan peralatan
khusus untuk memberikan latihan dan bimbingan
khusus. Misalnya untuk anak tunanetra, di ruang
bimbingan khusus disediakan alat tulis braille, peralatan
orientasi mobilitas. Keterpaduan pada tingkat ini sering
disebut juga keterpaduan sebagian.
3) Bentuk Kelas Khusus
Dalam keterpaduan ini anak berkebutuhan
khusus mengikuti pendidikan sama dengan kurikulum di
SLB secara penuh pada kelas khusus di sekolah umum
yang melaksanakan program pendidikan terpadu.
Keterpaduan ini disebut juga keterpaduan lokal/
bangunan atau keterpaduan yang bersifat sosialisasi.
Pada tingkat keterpaduan ini, guru pembimbing khusus
berfungsi sebagai pelaksana program di kelas khusus.
Pendekatan, metode, dan cara penilaian yang digunakan
adalah pendekatan, metode, dan cara penilaian yang
biasa digunakan di SLB. Keterpaduan pada tingkat ini
hanya bersifat fisik dan sosial, artinya anak
berkebutuhan khusus dapat dipadukan untuk kegiatan
yang bersifat non akademik, seperti olahraga,
keterampilan, juga sosialisasi pada waktu jam-jam
istirahat atau acara lain yang diadakan oleh sekolah.
Sesuai dengan namanya, keberadaan kelas khusus
tidak berdiri sendiri seperti halnya sekolah khusus

51
(SLB), melainkan berada di sekolah umum/regular.
Keberadaan kelas khusus tidak bersifat permanen,
melainkan didasarkan pada ada / tidaknya anak-anak
yang memerlukan pendidikan/ pembelajaran khusus di
sekolah tersebut. Pada kelas khusus biasanya terdapat
beberapa siswa yang memiliki derajat kekhususan yang
relatif sama antara anak yang satu dengan anak yang
lainnya.
Untuk menanganinya digunakan pembelajaran
individual (individualized instruction) karena masing-
masing anak memiliki kekhususan. Tujuan pembentukan
kelas khusus adalah untuk membantu anak-anak agar
tidak terjadi tinggal kelas/ drop out atau untuk
menemukan gejala keluarbiasaan secara dini pada anak.
Dalam praktiknya kelas khusus bersifat fleksibel, ada
kelas khusus sepanjang hari, dan kelas khusus untuk
bidang studi tertentu.
Dalam kelas khusus sepanjang hari, Anak
Berkebutuhan Khusus dididik oleh guru khusus di
ruangan/kelas yang khusus pula. Pada jam-jam istirahat,
anak-anak ini dapat berinteraksi dengan mereka yang
bukan Anak Berkebutuhan Khusus, sedangkan pada jam-
jam pelajaran mereka, hanya berinteraksi dengan
sesama mereka yang berkategori Anak Berkebutuhan
Khusus. Kelas khusus ini hampir mirip dengan sekolah
segregasi, hanya lokasinya berada dalam satu naungan
sekolah induk/reguler. Untuk bidang studi tertentu

52
Anak Berkebutuhan Khusus belajar bidang studi yang
tidak dapat mereka ikuti di kelas reguler.
Adapun untuk bidang studi tertentu, seperti
olahraga, kerajinan tangan, musik, dan lain-lain dapat
dilakukan secara bersama-sama dengan anak-anak yang
bukan Anak Berkebutuhan Khusus.
Di kelas khusus ini biasanya anak-anak mendapat
mata pelajaran yang bersifat akademik seperti
membaca, menulis, dan berhitung atau aspek-aspek lain
yang sesuai dengan kekhususannya. Kebaikan/
kelebihan model ini adalah:
1. anak lebih mendapatkan perlakuan dan pelayanan
pendidikan yang sesuai dengan karakteristik dan
kebutuhannya karena anak dikelompokkan relative
homogen
2. potensi anak dapat lebih cepat berkembang karena
pembelajarannya menggunakan pendekatan
individual atau kelompok kecil
3. secara sosial, anak dapat lebih mudah
mengembangkan diri karena berada dalam
lingkungan yang normal.
Kekurangan/Kelemahannya adalah:
1. Anak Berkebutuhan Khusus kadang masih
mendapatkan stigma negative dari sebagian
temannya sehingga dapat mengganggu/
menghambat perkembangan belajarnya.
2. Anak Berkebutuhan Khusus dalam bersosialisasi
kadang-kadang masih enggan untuk bergaul dengan

53
mereka yang bukan kategori Anak Berkebutuhan
Khusus.
3. sebahagian orangtua kadang-kadang tidak terima
bila anaknya dicap sebagai Anak Berkebutuhan
Khusus apalagi kalau dikelompokkan dengan sesama
Anak Berkebutuhan Khusus dalam kelas khusus.

c. Model Guru Kunjung


Model guru kunjung dapat diterapkan untuk melayani
pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus yang ada atau
bermukim di daerah terpencil, daerah perairan, daerah
kepulauan atau tempat-tempat yang sulit dijangkau oleh
layanan pendidikan khusus yang telah ada, misalnya SLB,
SDLB, kelas khusus, dsb. Di tempat-tempat tersebut dibentuk
sanggar/kelompok-kelompok belajar tempat anak-anak
memperoleh layanan pendidikan. Guru kunjung secara
periodik mengunjungi kelompok belajar yang menjadi
binaannya. Program pendidikannya meliputi pembelajaran
dengan materi praktis dan pragmatis, seperti keterampilan
kehidupan sehari-hari, membaca, menulis, dan berhitung
sederhana. Kelompok belajar ini dapat dikatakan sebagai
kelas jauh yang menginduk kepada SLB,SDLB, SD terdekat.
Guru kunjung tersebut biasanya diambilkan dari guru
khusus yang mengajar di sekolah induknya atas penunjukan
dari dinas pendidikan setempat.
Kebaikan / Kelebihan model ini adalah: Anak dapat lebih
mendapat layanan pendidikan dengan tidak perlu datang ke
jauh karena sudah ada petugas/guru khusus yang

54
mendatanginya, anak-anak bisa saling berkomunikasi
dengan sesama Anak Berkebutuhan Khusus dari
daerah/tempat yang lain yang saling berjauhan sehingga
dapat memicu semangat belajar, anak-anak memperoleh
pengetahuan dan keterampilan praktis dan pragmatis yang
mereka butuhkan sehari-hari.
Kelemahannya adalah : layanan pendidikan dengan guru
kunjung dalam banyak hal masih sulit diterapkan karena
memerlukan jaringan kerjasama berbagai pihak, Anak
Berkebutuhan Khusus di daerah terpencil, pedalaman, atau
di tempat terasing lain keberadaannya terpencar-pencar
sehingga menyulitkan dalam koordinasi dalam pelaksanaan
pembelajaran, orangtua anak Anak Berkebutuhan Khusus di
daerah terpencil umumnya masih rendah kesadarannya
untuk mengirimkan anaknya ke sanggar belajar, dan
masalah transportasi adalah persoalan klasik yang menjadi
kendala orangtua untuk mengirimkan anaknya belajar ke
sanggar belajar.

C. Model Layanan Pendidikan Berkelainan Fisik


Secara umum dikenal 2 pendekatan yang sering
dilakukan dalam memberikan layanan pendidikan bagi
anak-anak berkebutuhan khusus, yaitu: pendekatan
kelompok/klasikal dan pendekatan individual dan beberapa
beberapa pendekatan lain yang juga mengarah pada
kegiatan individu maupun kelompok .
1. Pendekatan Kelompok adalah pendekatan yang
dilakukan secara kelompok. Pendekatan ini memiliki

55
kelebihan dalam hal waktu, tenaga, dan biaya.
Disamping kelebihan juga ada kelemahannya yaitu
kurang efektif dalam proses pembelajarannya.
2. Pendekatan individual yang dilakukan secara individu.
Pendekatan ini memiliki kelebihan dalam hal waktu,
tenaga dan biaya.
3. Pendekatan remidial bertujuan untuk membantu anak
berkebutuhan khusus dalam upaya mencapai
kompetensi yang ditentukan dengan lebih
mengfokuskan pada hambatan atau kekurangan yang
ada pada anak berkebutuhan khusus. Pendekatan
remidial didasarkan pada bagian-bagian sub kompetensi
yang belum di capai oleh anak. Pendekatan ini dapat
melatih dan mendorong anak untuk menutup
kekurangan yang ada pada dirinya dengan
memperhatikan kemampuan yang dimilikinya.
Sedangkan pendekatan ekseleratif bertujuan untuk
mendorong anak berkebutuhan khusus yang memiliki
bakat untuk lebih khusus lagi menguasai kompetensi
yang dimilikinya yang ditetapkan berdasarkan asesmen
kemampuan anak.
Secara umum anak-anak berkebutuhan khusus yang
mengalami kelainan fisik membutuhkan layanan pendidikan
dengan pendekatan dan strategi khusus, yang dapat
dikemukakan sebagai berikut.
1. Anak Tuna Netra
Pengertian tuna netra menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia adalah tidak dapat melihat (KBBI, 1989: 971)

56
Strategi khusus dan isi layanan pendidikan bagi anak tuna
netra menurut Hardman (dalam Suparno, 2008), meliputi 3
hal, yaitu sebagai berikut.
a. Mobility training and daily living skill, yaitu latihan
untuk berjalan dan orientasi tempat dan ruang dengan
berbagai sarana yang diperlukan serta latihan
keterampilan kehidupan keseharian yang berkaitan
dengan pemahaman uang, belanja, mencuci, memasak,
kebersihan diri, dan membersihkan ruangan.
b. Traditional curriculum content area, yaitu orientasi dan
mobilitas, keterampilan berbahasa termasuk
ekspresinya dan keterampilan berhitung.
c. Communication media, yaitu penguasaan braille dalam
komunikasi.

2. Anak Tunarungu
Layanan pendidikan yang spesifik bagi anak
Tunarungu adalah terletak pada pengembangan persepsi
bunyi dan komunikasi. Ada beberapa cara mengembangkan
kemampuan komunikasi anak tunarungu, yaitu:
a. Metode Oral
Cara ini dapat melatih anak tunarungu supaya
dapat berkomunikasi secara lisan (verbal) dengan
normal. Dalam hal ini perlu partisipasi lingkungan
dimana anak tunarungu berada agar dapat berbahasa
secara verbal untuk dapat dilihat dan ditiru oleh anak.
Menggunakan kemampuan mulut dan tenggorokan
untuk menghasilkan suara.

57
b. Membaca Ujaran
Kegiatan yang mencangkup pengamatan visual
yang dilakukan anak dari bentuk dan gerak bibir lawan
bicaranya sewaktu dalam proses berbicara. Membaca
ujaran memiliki kelamah antara lain;
tidak semua bunyi bahasa dapat terlihat pada bibir, ada
persamaan antara berbagai bunyi bentuk bahasa, lawan
bicara harus berhadapan dan tidak terlalu jauh dan
pengucapan harus pelan dan lugas sehingga
memudahkan bagi anak menangkap apa yang
disampaikan.
c. Metode manual
Cara mengajar atau melatih anak tunarungu
berkomunikasi dengan penggunaan isyarat atau ejaan
jari. Bahasa isyarat ini mempunyai komponen yaitu:
Bahasa ungkapan badaniyah, adalah bahasa yang
dilakukan dengan cara menggunakan keseluruhan
ekspresi badan.
1. Bahasa isyarat lokal, suatu ungkapan manual dalam
bentuk isyarat konvensional berfungsi sebagai
pengganti kata.
2. Bahasa isyarat formal, bahasa nasional dalam isyarat
biasanya menggunakan kosa kata isyarat dan dengan
berstruktur bahasa yang sama persis dengan bahasa
lisan.
3. Ejaan jari. Penunjang bahasa isyarat dengan
menggunakan ejaan jari. Dalam penggunaan bahasa
ejaan jari dapat dikelompokan menjadi tiga, yaitu :

58
ejaan jari dengan satu tangan, ejaan jari dengan dua
tangan, dan ejaan jari campuran.
4. Komunikasi total. Cara berkomuniksasi dengan
menggunakan salah satu modus atau semua cara
berkomuniksai digunakan (bahasa isyarat, ejaan jari,
verbal, bacaan ujaran, dan lain sebagainya). Hal ini
digunakan untuk memperbaiki dalam mengajarkan
komunikasi bagi anak yang menderita tunarungu.

59
BAB V
ANAK DENGAN GANGGUAN MOTORIK DISPRAKSIA,
CELEBRAL PALSY

A. Pengertian dispraksia
Dispraksia adalah suatu bentuk gangguan
perkembangan koordinasi motorik halus dan kasar pada
anak. Kondisi ini disebabkan oleh gangguan pada saraf yang
menyebabkan otak sulit memproses sinyal perintah gerak.
Sederhananya, dispraksia membuat anak kesulitan
memikirkan, merencanakan, mengeksekusi, dan mengatur
gerakan sehingga membuat mereka tidak mampu melakukan
aktivitas fisik umum seperti berjalan, melompat, atau
memegang alat tulis sebaik anak-anak lain yang usianya
seumuran. Dispraksia juga menyebabkan seorang anak
memiliki postur dan pergerakan yang janggal. Selain
mengganggu koordinasi gerak tubuh, dispraksia juga dapat
memengaruhi artikulasi dan ucapan, persepsi dan
pemikiran. Meski begitu, dispraksia berbeda dari gangguan
motorik lain seperti cerebral palsy yang dapat menyebabkan
penurunan fungsi kognitif otak dan tingkat intelegensia.
Dispraksia adalah kondisi seumur hidup. Meski begitu, ada
banyak jenis terapi yang bisa membantu anak beradaptasi
untuk beraktivitas sehari-hari.
a. penyebab dispraksia?
Dispraksia adalah gangguan koordinasi gerak tubuh
yang disebabkan oleh gangguan saraf pengirim sinyal
dari otak ke otot anggota gerak. Banyak pakar kesehatan

60
yang percaya bahwa kondisi ini diakibatkan oleh faktor
genetik. Risiko dispraksia dilaporkan meningkat jika ibu
terbiasa minum alkohol saat hamil, atau bayi lahir
prematur dengan berat rendah. Meski begitu, mekanisme
yang menyebabkan belum diketahui pasti.
b. Jenis dispraksia
Berdasarkan jenis gerakan fisik yang mengalami
gangguan, dispraksia dapat dibedakan menjadi beberapa
kategori, yaitu:
1. Dispraksia ideomotor: kesulitan melakukan gerakan
satu tahap, seperti menyisir rambut dan melambaikan
tangan.
2. Dispraksia ideational: kesulitan untuk melakukan
gerakan berurutan, seperti saat menyikat gigi atau
membereskan tempat tidur.
3. Dispraksia oromotor: kesulitan menggerakan otot
untuk berbicara dan mengucapkan kalimat sehingga
hal yang diucapkan tidak dapat terdengar jelas dan
sulit dipahami.
4. Dispraksional constructional: kesulitan untuk
memahami bangun ruang atau spasial sehingga anak
sulit memahami dan membuat gambar geometris dan
menyusun balok.
c. Tanda-tanda anak mengalami dispraksia
Dispraksia lebih sering ditemukan pada anak laki-
laki daripada perempuan. Variasi gejala yang muncul dan
tingkat keparahannya bisa berbeda pada setiap anak.
Gejala paling awal bisa sudah muncul sejak bayi, seperti

61
bayi yang terlambat untuk berbalik tengkurap atau
berjalan.
Berikut beberapa tanda dispraksi pada usia tiga tahun
hingga usia sekolah.
a) Dispraksia pada usia tiga tahun:
 Kesulitan menggunakan alat makan dan lebih suka
menggunakan tangan.
 Tidak bisa naik sepeda roda tiga atau bermain
dengan bola.
 Terlambat dalam kemampuan menggunakan
toilet.
 Tidak menyukai puzzle dan mainan yang
menyusun lainnya.
 Terlambat bicara hingga usia tiga tahun.
b) Dispraksia pada usia sebelum sekolah hingga sekolah
dasar:
 Sering menabrak orang atau benda.
 Kesulitan untuk melompat.
 Terlambat dalam menggunakan tangan yang
dominan.
 Kesulitan menggunakan alat tulis.
 Kesulitan menutup dan membuka kancing.
 Kesulitan mengucapkan kata-kata.
 Kesulitan berinteraksi dengan anak lainnya.
c) Dispraksia pada usia sekolah menengah (SMP dan
SMA):
 Menghindari pelajaran olahraga.
 Kesulitan berolahraga.

62
 Kesulitan mengikuti perintah yang memerlukan
koordinasi mata dan tangan.
 Kesulitan mengikuti instruksi dan mengingatnya.
 Tidak dapat berdiri dalam waktu yang lama.
 Sangat mudah lupa dan sering kehilangan banyak
benda.
 Kesulitan memahami bahasa non-verbal dari
orang lain.
Gangguan koordinasi gerak tubuh kemungkinan juga
dapat menyebabkan beberapa hal berikut:
1. Gangguan komunikasi
mulai dari kesulitan berkata-kata hingga
mengekspresikan ide/gagasan. Mereka juga kesulitan
untuk mengatur volume suara.
2. Gangguan perilaku dan emosi
salah satunya adalah perilaku kurang dewasa serta
kesulitan untuk berteman dengan orang lain. Mereka juga
cenderung memiliki kecemasan untuk bersosialisasi
dengan orang lain khususnya saat mereka bertambah
dewasa.
3. Gangguan akademis
hal ini pada umumnya berkaitan dengan kemampuan
menulis dengan cepat untuk mencatat pelajaran dan juga
menyelesaikan soal ujian dengan menulis tangan.
d. Diagnosis dan penanganan
Gangguan koordinasi gerak tubuh ini sudah dapat
diamati gejalanya sejak anak berusia 3 tahun, tapi sebagian
besar kasusnya mendapat diagnosis resmi pada usia di atas

63
lima tahun. Dokter juga mungkin akan memeriksa kondisi
penyakit saraf lainnya untuk memastikan gangguan
koordinasi tubuh anak memang disebabkan oleh dispraksia.
Jika seorang anak sudah diketahui mengalami dispraksia,
maka terdapat beberapa hal yang dapat dilakukan untuk
membantunya beraktivitas. Antara lain:
1) Terapi okupasi untuk meningkatkan kemampuan
beraktivitas, seperti menggunakan alat dan menulis.
2) Terapi bicara untuk melatih kemampuan anak
berkomunikasi dengan lebih jelas.
3) Terapi motor perceptual untuk meningkatkan
kemampuan bahasa, visual, gerakan serta mendengarkan
dan memahami.
Selain terapi bersama dokter, beberapa cara yang
dapat kita lakukan di rumah untuk membantu anak dengan
dispraksia adalah:
a) Mendorong anak aktif bergerak, dengan cara bermain
atau olahraga ringan seperti berenang.
b) Bermain puzzle untuk membantu kemampuan persepsi
visual dan spasial anak.
c) Mendorong anak untuk aktif menulis dan menggambar
dengan alat tulis seperti pulpen, spidol dan pensil warna.
d) Bermain lempar bola untuk membantu koordinasi mata
dengan tangan.

B. Pengertian Cerebral Palsy


Cerebral palsy adalah kelainan gerakan, tonus otot,
ataupun postur yang disebabkan oleh kerusakan yang

64
terjadi pada otak yang belum matang dan berkembang,
paling sering sebelum kelahiran.
a. Gejala Cerebral Palsy
Pada anak yang terkena cerebral palsy, dapat
timbul sejumlah gejala berikut ini:
1) Kecenderungan menggunakan satu sisi tubuh.
Misalnya, menyeret salah satu tungkai saat
merangkak atau menggapai sesuatu hanya dengan
satu tangan.
2) Terlambatnya perkembangan kemampuan gerak
(motorik), seperti merangkak atau duduk.
3) Kesulitan melakukan gerakan yang tepat, misalnya
saat mengambil suatu benda.
4) Gangguan penglihatan dan pendengaran.
5) Gaya berjalan yang tidak normal, seperti berjinjit,
menyilang, misalnya gunting, atau dengan tungkai
terbuka lebar.
6) Otot kaku atau malah sangat lunglai.
7) Tremor.
8) Gerakan menggeliat yang tidak terkontrol (athetosis).
9) Kurang merespons terhadap sentuhan atau rasa
nyeri.
10)Masih mengompol walaupun usianya sudah lebih
besar, akibat tidak bisa menahan kencing
(inkontinensia urine).
11)Gangguan kecerdasan.
12)Gangguan berbicara (disartria).
13)Kesulitan dalam menelan (disfagia).

65
14)Terus-menerus mengeluarkan air liur atau ngiler.
15)Kejang.

b. Penyebab Cerebral Palsy


Telah dijelaskan bahwa cerebral palsy adalah salah
satu penyebab paling umum dari kecacatan yang terjadi
pada anak-anak. Biasanya, adanya kelainan ini pada anak
dapat terdeteksi saat anak mulai berusia 3 tahun.
Penyebab cerebral palsy adalah cedera otak atau masalah
yang terjadi selama kehamilan, kelahiran atau dalam usia
2–3 tahun kehidupan seorang anak.
Berikut penyebab cerebral palsy lainnya:
a) Masalah kelahiran premature
b) Tidak cukup darah, oksigen, atau nutrisi lain sebelum
atau selama kelahiran
c) Cedera kepala yang serius
d) Infeksi serius yang dapat memengaruhi otak, seperti
meningitis
e) Beberapa masalah menurun dari orangtua ke anak
(kondisi genetik) yang memengaruhi perkembangan
otak.

c. Faktor Risiko Cerebral Palsy


Ada banyak faktor risiko yang meningkatkan risiko
cerebral palsy, seperti:
1. Ibu mengalami cedera atau infeksi selama kehamilan.
2. Anak tidak mendapatkan cukup oksigen di dalam
kandungan.

66
3. Cedera atau infeksi pada masa awal kanak-kanak.
d. Diagnosis Cerebral Palsy
Dokter akan menduga seorang anak mengalami cerebral
palsy, apabila terdapat sejumlah gejala yang telah dijelaskan
sebelumnya. Namun untuk memastikannya, dokter akan
menyarankan pemeriksaan lanjutan, seperti:
a) Elektroensefalografi (EEG).
EEG bertujuan untuk melihat aktivitas listrik otak,
dengan menggunakan bantuan alat khusus yang
disambungkan ke kulit kepala.
b) Uji pencitraan.
Uji pencitraan dilakukan untuk melihat area otak yang
rusak atau berkembang tidak normal. Sejumlah uji
pencitraan yang dapat dilakukan adalah MRI, CT scan,
dan USG.
Dokter saraf juga dapat menjalankan pemeriksaan
keberfungsian otak untuk menemukan adanya gangguan
kecerdasan, serta gangguan dalam bicara, mendengar,
melihat, dan bergerak.
e. Pencegahan Cerebral Palsy
Berikut beberapa langkah yang dapat membantu
pencegahan cerebral palsy atau terjadinya kelainan
perkembangan otak ini pada anak-anak untuk
meminimalkan risiko mendapatkan cedera otak, yaitu :
1. Mengambil langkah-langkah untuk mencegah kecelakaan.
2. Pastikan orang tua sudah familiar dengan tanda-tanda
penyakit kuning pada bayi baru lahir.
3. Tahu bagaimana mencegah keracunan timah.

67
4. Jauhkan anak dari orang-orang yang memiliki penyakit
menular yang serius, seperti meningitis.
5. Pastikan imunisasi anak lengkap dan tepat waktu.

f. Pengobatan Cerebral Palsy


Cerebral palsy adalah kondisi yang tidak dapat
disembuhkan, tapi gejala dan cacat dapat dibantu dengan
terapi fisik, terapi okupasi, konseling psikologi, dan operasi
Terapi fisik membantu anak mengembangkan otot yang
lebih kuat dan bekerja dengan keahlian, seperti berjalan,
duduk, dan keseimbangan. Alat tertentu, misalnya
penyangga logam untuk kaki, atau pembebat, mungkin juga
bermanfaat bagi anak.
Dengan terapi okupasi, anak mengembangkan
kemampuan motorik yang baik, misalnya untuk memakai
baju, makan, dan menulis. Terapi bicara dan bahasa
membantu anak meningkatkan kemampuan berbicara. Anak
dan keluarga dibantu dengan pendukung, pendidikan
khusus, dan pelayanan yang terkait dengan gangguannya.

68
BAB VI
ANAK DENGAN KETERBATASAN FISIK (TUNANETRA,
TUNARUNGU, TUNAWICARA, TUNADAKSA, TUNAGRAHITA)

A. Tunanetra
Dimata masyarakat umum, tunanetra atau yang lebih
dikenal dengan buta adalah seseorang yang tidak bisa
melihat atau seseorang yang telah kehilangan fungsi
penglihatannya, padahal pengertian tunanetra tidak
sesempit itu, karena anak yang hanya mampu melihat
dengan keterbatasan (low vision) juga disebut tunanetra,
Seperti yang didefinisikan oleh Somantri (1996:54) anak
tunanetra adalah anak yang mengalami gangguan
penglihatan, baik sebagian atau menyeluruh yang
menyebabkan proses penerimaan informasi kurang optimal.
Gangguan penglihatan atau kebutaan karena
kerusakan/kelainan pada mata seseorang, menyebabkan
kemampuan indera penglihatan seseorang tidak dapat
berfungsi dengan baik atau bahkan tidak dapat
berfungsi sama sekali. Karena tunanetra memiliki
keterbatasan dalam hal penglihatan, maka dalam proses
pembelajarannya lebih menekankan pada alat indera yang
lain yaitu indera perabaan dan pendengaran.
Sesuatu yang bisa menjadi acuan bagi kita ketika
melihat sesuatu yang dialami oleh anak yang mengalami
tunanetra. Menurut Murtie (2014:285) perlu kita perhatikan
hal-hal sebagai berikut:

69
1. Saat masih bayi, anak tidak merespon saat digoda dengan
wajah lucu, dan mainan berwarna mencolok yang
biasanya disukai oleh anak lainnya.
2. Saat diajak berbicara, arah mata tidak tertuju kepada
lawan yang diajak berbicara, melainkan tertuju kearah
lainnya.
3. Anak suka berkedip dan menyipitkan matanya.
4. Mata berair, infeksi, dan bengkak didekat bulu mata.
5. Secara psikis, anak-anak yang mengalami tunanetra akan
lebih mudah tersinggung, dikarenaka ia merasa memiliki
kekurangan dibandingkan anak lainnya.
Untuk mengenali anak tunanetra dapat dilihat ciri-
ciri sebagai berikut:
a. Tidak mampu melihat
b. Kurang melihat (kabur), tidak mampu mengenali pada
jarak enam meter.
c. Kesulitan mengambil benda kecil di dekatnya.
d. Sering meraba-raba dan tersandung waktu berjalan.
e. Bagian bola yang hitam berwarna keruh/bersisik kering
f. Peradangan hebat pada kedua bola mata
g. Mata selalu bergoyang
Penyebab tunanetra bisa disebabkan oleh beberapa
faktor, diantaranya (Murtie ,2014):
1. Faktor keturunan atau genetis.
2. Faktor penyakit saat dalam kandungan.
3. Kurangnya nutrisi pada saat ibu hamil.
4. Faktor gangguan pada saat persalinan.

70
5. Faktor penyakit tertentu, misalnya xeropthalmia,
trachoma, katarak, glaucoma, diabetes, dan macular
degeneration.
6. Faktor kecelakaan.
Upaya penanganan bagi penyandang tunantera yaitu
sebagai berikut (Murtie, 2014) :
1. Mengasuh sendiri dan memilih sekolah terbaik.
2. Menerima kenyataan bahwa anak lemah dalam
penglihatan dan memberi pemahaman terhadap mereka.
3. Kesabaran untuk membangun kemandirian pada
penyandang tunanetra.
4. Menumbuhkan kemampuan untuk berinteraksi secara
sosial.
Menurut Garnida (2015:5) layanan khusus dalam
pendidikan bagi anak tunanetra, yaitu dalam membaca,
menulis, dan berhitung diperlukan huruf braille bagi yang
tunanetra total, dan bagi mereka yang masih memiliki sisa
penglihatan diperlukan kaca pembesar atau huruf cetak
besar, media yang dapat diraba dan didengar atau
diperbesar. Selain itu diperlukan latihan orientasi dan
mobilitas.

B. Tunarungu
Istilah tunarungu berasal dari kata “tuna” dan
“rungu”, tuna artinya rusak atau cacat dan rungu artinya
pendengaran, seseorang dapat dikatakan tunarungu apabila
ia memiliki kerusakan/kelainan pada organ pendengarannya
yang menyebabkan ia tidak dapat mendengar atau kurang

71
mampu mendengar suara yang seharusnya mampu didengar
orang normal.
“Tunarungu berarti kekurangan atau kehilangan
kemampuan mendengar yang disebabkan oleh kerusakan
seluruh alat pendengaran yang mengakibatkan hambatan
dalam perkembangan bahasa sehingga memerlukan
bimbingan dan pelayanan khusus”. ( Salim,1984 : 8).
Dikalangan masyarakat umum, tunarungu lebih dikenal
dengan kata tuli, yaitu seseorang yang tidak mampu
mendengar atau memiliki kerusakan pada organ dengarnya.
Namun istilah tuli dimasyarakat kadang lebih sering menuju
kearah mengejek atau mencaci.
Menurut Murtie (2014:291), perlu kita perhatikan hal-
hal yang mendasar pada anak tunarungu diantaranya:
1. Saat baru lahir tidak menangis.
2. Kurangnya respon saat dipanggil.
3. Sulit berbicara atau berbicara tanpa arti dan nada.
4. Sering memiringkan kepala saat diajak berbicara.
5. Terdapat kelainan fisik pada telinga.
Adapun ciri-ciri anak tunarungu sebagai berikut:
a. Sering memiringkan kepala dalam usaha mendengar.
b. Banyak perhatian terhadap getaran.
c. Terlambat dalam perkembangan bahasa.
d. Tidak ada reaksi terhadap bunyi dan suara
e. Sering menggunakan isyarat dalam berkomunikasi.
f. Kurang atau tidak tanggap dalam diajak bicara,
g. Ucapan kata tidak jelas, kualitas suara aneh/monoton.

72
Penyebab tunarungu dapat dijabarkan sebagai berikut
(Murtie, 2014:292):
1. Faktor genetis atau keturunan.
2. Faktor penyakit saat ibu masih mengandung.
3. Faktor infeksi pada saat bayi lahir.
4. Faktor penyakit radang telinga.
5. Faktor penyakit meningitis atau radang selaput otak.

Penanganan yang dapat dilakukan dalam menangani


penyandang tunarungu dalah sebagai berikut (Murtie,
2014:293):
1. Sabar dan ikhlas menghadapi amanah anak penyandang
tunarungu.
2. Memeriksa anak dengan seksama dan memberikan sarana
penunjang untuk mendengar.
3. Terapi visual.
4. Terapi musik.
5. Terapi bermain.
6. Terapi wicara.
7. Terapi terpadu (terapi visual, terapi mendengar, terapi
wicara).
Kebutuhan anak tunarungu secara umum tidak
berbeda dengan anak pada normal lainnya, tetapi mereka
memerlukan perhatian dalam kegiatan pembelajaran, antara
lain:
a. Tidak mengajak anak untuk berbicara dengan cara
membelakanginya.

73
b. Anak hendaknya didudukkan paling depan, sehingga
memiliki peluang untuk mudah membaca bibir guru.
c. Perhatikan postur anak yang sering memiringkan kepala
untuk mendengarkan.
d. Dorong anak untuk selalu memperhatikan wajah guru,
berbicara dengan anak dengan posisi berhadapan dan bila
memungkinkan kepala guru sejajar dengan kepala anak.
e. Guru berbicara dengan suara biasa tetapi dengan gerakan
bibirnya yang harus jelas.

C. Tunawicara
Menurut Murtie (2014:295) tunawicara adalah
individu yang mengalami gangguan pada hal berbicara
sehingga sulit untuk menghasilkan suara atau mengatakan
sesuatu dalam berkomunikasi.
Ciri-ciri anak tunawicara dalah sebagai berikut
(murtie, 2014:295), yakni:
1. Bayi usia diatas 3 bulan ketika disapa tidak bisa
tersenyum dan tidak mengeluarkan suara apapun saat
dipanggil namanya.
2. Bayi usia diatas 6 bulan tidak memalingkan kepala
ketika ada suara yang dtang dari samping atau belakang.
3. Bayi usia diatas 10 bulan belum memahami namanya
dan tidak bereaksi saat dipanggil dengan namanya
sendiri.
4. Sulit mengucapkan kata-kata padahal sudah menginjak
usia diatas 2 tahun.

74
5. Diatas usia 2 tahun masih belum mahir mengucapkan
banyak kata-kata.
6. Diatas usia 3 tahun bahasa anak masih belum dimengerti
oleh keluarganya sendiri.
7. Diatas usia 7 tahun anak masih sulit mengucapkan kata
dengan benar.
8. Mengalami suara sengau dan bindeng sampai dewasa.
9. Tidak mampu menirukan bahasa yang diucapkan oleh
orang tua dan keluarga dalam kesehariannya.
10. Tidak adanya pengecapan yang baik pada saat makan.
Penyebab tunawicara dapat dijabarkan sebagai
berikut (Murtie, 2014:296), diantaranya:
1. Faktor genetis.
2. Adanya kekurangan oksigen saat janin berada dalam
kandungan ibu, sehingga menyebabkan anoxia,
tergantungnya sistem saraf karena kekurangan oksigen.
3. Bayi premature, lahir sebelum waktunya sehingga lahir
tidak sempurna
4. Adanya penyakit atau infeksi setelah anak lahir.

D. Tunadaksa
Ketika kita bergaul dengan teman atau masyarakat
sekitar sesekali kita akan bertemu dengan orang yang
memiliki anggota tubuh tidak sempurna, seperti berjalan
menggunakan bantuan kursi roda karena tidak memiliki kaki
ataupun memiliki kaki yang tidak mampu menopang berat
tubuhnya, tidak dapat memegang gelas karena bentuk

75
tangan yang tidak normal dan lain sebagainya. Seseorang
yang seperti itu disebut dengan tunadaksa.
Istilah tunadaksa berasal dari kata “tuna” dan “daksa”,
tuna yang berarti rusak atau cacat dan “daksa” yang berarti
tubuh. Menurut Sutjihati Somantri tunadaksa adalah suatu
keadaan yang terganggu atau rusak sebagai akibat dari
gangguan bentuk atau hambatan pada otot, sendi dan tulang
dalam fungsinya yang normal.
Dimasyarakat sendiri istilah tunadaksa masih belum
terlalu familiar, masyarakat menyebut tunadaksa dengan
kata cacat atau cacat tubuh. Padahal kata cacat adalah kata
yang kurang baik untuk di ucapkan, apalagi untuk anak
berkebutuhan khusus.Tunadaksa yang dialami seseorang
dapat terjadi karena bawaan dari lahir ataupun disebabkan
oleh penyakit dan kecelakaan.
Ciri-ciri anak tunadaksa dapat digambarkan sebagai
berikut:
a. Jari tangan kaku dan tidak dapat menggenggam.
b. Terdapat bagian anggota gerak yang tidak lengkap/tidak
sempurna/lebih kecil dari biasa.
c. Kesulitan dalam gerakan (tidak sempurna, tidak
lentur/tidak terkendali, bergetar).
d. Terdapat cacat pada anggota gerak.
e. Anggota gerak layu, kaku, lemah/lumpuh.
Sebelum memberikan pelayanan dan pembelajaran
bagi anak tunadaksa harus memperhatikan hal-hal berikut:

76
a. Segi kesehatan anak Kelainan khusus seperti kencing
manis atau pernah dioperasi, sakit sendi, dan masalah
lain seperti harus meminum obat dan sebagainya.
b. Kemampuan gerak dan mobilitas Penggunaan
transportasi untuk pergi ke sekolah, alat bantu gerak, dan
sebagainya. Hal ini berhubungan dengan lingkungan yang
harus dipersiapkan.
c. Kemampuan komunikasi Ada tidaknya kelainan dalam
berkomunikasi, dan alat komunikasi yang digunakan
seperti lisan, tulisan, isyarat dan sebagainya.
d. Kemampuan dalam merawat diri Mampu tidaknya
melakukan perawatan diri dalam aktivitas sehari-hari.
Misalnya; dalam berpakaian, makan, mandi dan lain-lain.
e. Posisi anak pada waktu menggunakan alat bantu, duduk
pada saat menerima pembelajaran, pada waktu istirahat,
di kamar kecil (toilet), saat makan dan sebagainya,
sehingga physical therapis sangat diperlukan.
Menurut Murtie (2014:259), ciri-ciri yang dimiliki
oleh penyandang tunadaksa dapat dijabarkan sebagai
berikut:
a. Mengalami hambatan dari segi fisik, baik disalah satu
atau beberapa bagian tubuh. Seperti memiliki kelemahan
pada kaki, tangan, jari-jari atau bagian tubuh lainnya.
b. Mengalami hambatan dalam faktor motorik, seperti
berpindah tempat dari suatu tempat ke tempat lainnya,
bergerak, berjalan, dan tidak mampu mengontrol
tubuhnya.

77
c. Memiliki rasa kurang percaya diri karena faktor nomor 1
dan 2. Sehingga potensi yang dimiliki semestinya bisa
berkembang menjadi terhambat karena merasa malu.
d. Mengalami hambatan dalam faktor sensorik yang
meliputi pengendalian tubuh oleh otak.
e. Mengalami hambatan dalam faktor kognisi yang
membuat penyandang tunadaksa memiliki kecerdasan
dibawah rata-rata dibandingkan anak lainnya.
f. Mengalami ambatan dalam mempersepsi sesuatu hal
dengan tepat.
g. Mengalami hambatan dari segi emosi dan sosial.

Penyebab terjadinya tunadaksa menurut Murtie


(2014:258) yaitu:
1. Faktor kelahiran
Beberapa masalah dalam kelahiran yang menyebabkan
tunadaksa yaitu,
a. Pinggul ibu yang terlalu sempit membuat bayi menjadi
sulit keluar dan terjepit.
b. Pemberian injeksi yang berlebihan untuk mendorong
bayi keluar mempengaruhi sistem saraf otaknya.
c. Treatment untuk mengekuarkan bayi yang dilakukan
secara ditarik juga mempengaruhi saraf bayi.
2. Faktor kecelakaan
Faktor kecelakaan bisa menjadi hal yang utama penyebab
tunadaksa pada seseorang. Kecelakaan bisa terjadi pada
semasih bayi, misalnya terjatuh pada saat digendong. Bisa
juga terjadi pada saat anak sudah bisa berjalan, misal

78
terjatuh dari tangga, terjatuh dari sepeda atau mengalami
kecelakaan dengan orang lain.
3. Terkena virus
Tunadaksa juga bisa disebabkan oleh virus yang mungkin
menggerogoti tubuhnya. Sehingga salah satu atau
beberaspa organ tubuh menjadi tidak berfungi. Misalnya
polio dan beberapa virus lainnya.
Penanganan yang dapat dilakukan terhadap anak
penyandang tunadaksa menurut Murtie (2014:260) adalah
sebagai berikut:
1. Orangtua perlu menyadari dan menerima sepenuhnya
keadaan anak.
2. Mencari info yang sebanyak-banyaknya tentang hal yang
terkait dengan penanganan terhadap penyandang
tunadaksa.
3. Memberikan ruang gerak dan sekolah yang sesuai bagi
anak agar mereka mampu mengembangkan potensi yang
dimilikinya.
4. Stimulasi kemampuan anak dalam bidang yang dikuasai
dan digemarinya.

E. TUNA GRAHITA
Tunagrahita memiliki IQ (intelligence quotient) di bawah
rata-rata yaitu memiliki IQ ≤ 70. Sedangkan ciri-ciri fisik dan
penampilan anak tunagrahita sebagai berikut:
a. Penampilan fisik tidak seimbang, misalnya kepala terlalu
kecil/besar.
b. Tidak dapat mengurus diri sendiri sesuai usia.

79
c. Tidak ada/kurang sekali perhatiannya terhadap lingkungan.
d. Koordinasi gerakan kurang (gerakan sering tidak
terkendali).
Karena keterlambatan dalam perkembangan
kecerdasannya, siswa tunagrahita akan mengalami berbagai
hambatan dalam upaya memenuhi kebutuhan-kebutuhan
tersebut, bahkan diantara mereka ada yang mencapai
sebagaian atau kurang, tergantung pada berat ringannya
hambatan yang dimiliki anak serta perhatian yang diberikan
oleh lingkungannya. Menurut Witmer & Kotinsky (Frampton &
Gail, 1955: 117-119) menjabarkan kedelapan kebutuhan
tersebut, yaitu2 :
1. Perasaan terjamin kebutuhannya akan terpenuhi (The
Sense of Trust)
2. Perasaan Berwenang mengatur diri (The Sense of
Autonomy)
3. Perasaan dapat berbuat menurut prakarsa sendiri (The
Sense of Intiative)
4. Perasaan puas telah melaksanakan tugas (The Sense of Duty
and Accomplisment)
5. Perasaan bangga atas identitas diri (The Sense of Identity)
6. Perasaan Keakraban (The Sense of Intimacy)
7. Perasaan Keorangtuaan (The Parental Sense)
8. Perasaan Integritas (Integrity Sense)
Selain itu, menurut Astati adapula kebutuhan anak
tunagrahita secara garis besar dapat dikelompokan menjadi
kebutuhan fisik dan kebutuhan kejiwaan. Kebutuhan-
kebutuhan tersebut merupakan hal yang cukup penting bagi

80
anak penyandang tunagrahita, agar anak tersebut dapat
tumbuh dan berkembang secara normal dengan bantuan setiap
orang disekitarnya.
Seseorang dikategorikan berkelainan mental dalam arti
kurang atau tunagrahita, yaitu anak yang diidentifikasi
memiliki tingkat kecerdasan yang sedemikian rendahnya (di
bawah normal), sehingga untuk meniti tugas
perkembangannya memerlukan bantuan atau layanan secara
khusus, termasuk didalamnya program pendidikan dan
bimbingannya (Mohammad Efendi, 2006: 9). Sedangkan
tunagrahita menurut Lee Willerman (dalam Tin Suharmini,
2009: 41-42) adalah sebagai berikut: Mental defiency, “refers
to signnificantly sub average intellectual functioning existing
concurrently with deficits in adaptive behavior and manifested
during the developmental period”. The most important point to
note in this definition is that the diagnosis of mental retardation
requires deficits in both intellectual functioning and adaptive
behavior. Adaptive behavior refers to the capacity to perform
various duties and social roles approciate to age and sex. Among
the adaptive behavior indices for the young child might be self-
help skills such as bowel control or dressing oneself; for the adult
one index might be the extend to which the individual can work
independently on a job”. Jadi menurut Lee Willerman bahwa
penyandang tunagrahita adalah seseorang yang memiliki
fungsi intelektual dibawah normal sehingga menyebabkan
kesulitan dalam perilaku adaptif dan berlangsung selama 15
periode perkembangan. Poin terpenting dari definisi tersebut
adalah seseorang tersebut merupakan tunagrahita atau tidak,

81
dilihat dari fungsi intelektual dan perilaku adaptifnya. Perilaku
adaptif merujuk pada kemampuan untuk melakukan berbagai
hal dan mengikuti aturan sosial sesuai dengan usia dan jenis
kelamin. Perilaku adaptif yang dapat diamati seperti
kemampuan anak kecil dalam mengontrol buang air atau
berpakaian sendiri, untuk orang yang lebih dewasa misalnya
saja dapat bekerja secara mandiri.
Roiss et. al (1977) mengemukakan anak tunagrahita
adalah anak yang mempunyai gangguan dalam intelektual
sehingga menyebabkan kesulitan dalam melakukan adaptasi
dengan lingkungan sosialnya (dalam Tin Suharmini, 2009: 42)
Secara basis, terdapat lima basis yang dapat dijadikan pijakan
konseptual dalam memahami tunagrahita (Herbart J. Prehm
dalam Endang Rochyadi, 2005: 11) yaitu;
a. tunagrahita merupakan kondisi,
b. kondisi tersebut ditandai oleh adanya kemampuan mental
jauh dibawah rata-rata,
c. memiliki hambatan dalam penyesuaian diri secara sosial,
d. berkaitan dengan adanya kerusakan organik pada susunan
syaraf, dan
e. tunagrahita tidak dapat disembuhkan.
Definisi mengenai tunagrahita dalam American Assosiation
of Intellectual Develompental Disability (AAIDD) mendefinisikan
“Intellectual disability is a disability characterized by significant
limitations in both intelllectual functioning and inadaptive
behavior, which cover many 16 everyday social and practical
skills. This disability originates before the age of 18.”
Bahwasanya tunagrahita adalah suatu kondisi dimana

82
seseorang mengalami hambatan dalam perkembangan
intelektual dan perilaku adaptif dalam masa perkembangan.
Ada berbagai cara pandang dalam mengklasifikasikan anak
tunagrahita. Pengklasifikasian tunagrahita ini akan
memudahkan dalam penyusunan program layanan
pendidikan/pembelajaran yang akan diberikan secara tepat.
Mumpuniarti (2007: 13-17) mengklasifikasikan tunagrahita
dilihat dari berbagai pandangan, yaitu: klasfikasi berpandangan
medis, pendidikan, sosiologis, dan klasifikasi.
Menurut Mumpuniarti (2007: 15) mengklasifikasikan anak
tunagrahita berdasarkan kemampuannya dalam mengikuti
pendidikan atau bimbingan. Pengelompokan berdasarkan
klasifikasi ini, adalah tunagrahita mampu didik, mampu latih,
dan perlu rawat. Pengklasifikasian tersebut dapat dikaji sebagai
berikut:
a. Mampu didik, tunagrahita yang masuk dalam penggolongan
mampu didik ini setingkat mild, borderline, marginally
dependent, moron, dan debil. IQ mereka berkisar 50/55-
70/75.
b. Mampu latih, kemampuan tunagrahita pada golongan ini
setara dengan moderate, semi dependent, imbesil, dan
memiliki tingkat kecerdasan IQ berkisar 20/25-50/55.
c. Perlu rawat, yang termasuk dalam penggolongan perlu
rawat adalah anak yang termasuk totally dependent or
profoundly mentally retarded, severe, idiot, dan tingkat
kecerdasannya 0/5-20/25.

83
Pengklasifikasian anak tunagrahita berdasarkan
keperluan dalam pembelajaran menurut Nunung Apriyanto
(2012: 31-32) adalah sebagai berikut:
a. Educable, anak dalam kelompok ini memiliki kemapuan
akademik setara dengan anak pada kelas 5 Sekolah Dasar.
b. Trainable, penyandang tunagrahita dalam kelompok ini
masih mampu dalam mengurus dirinya sendiri dan
mempertahankan diri. Dalam mendapatkan pendidikan dan
penyesuaian dalam lingkungan sosial dapat diberikan
walau sangat terbatas.
c. Custodia, pembelajaran dapat diberikan secara terus
menerus dan khusus. Tunagrahita dalam kelompok ini
dapat diajarkan bagaimana cara menolong dirinya sendiri
dan mengembangkan kemampuan yang lebih bersifat
komunikatif.
Sedangkan penggolongan atau klasifikasi tunagrahita
untuk keperluan pembelajaran menurut B3PTKSM (Nunung
Apriyanto, 2012: 32), adalah sebagai berikut:
a. Taraf perbatas (borderline) dalam pendidikan disebut
sebagai lamban belajar atau slow learner dengan IQ 70-85,
b. Tunagrahita mampu didik (educabie mentally retarded)
memiliki IQ 50- 70 atau 75,
c. Tunagrahita mampu latih (trainabie mentally retarded)
memiliki IQ 30-50 atau 35-55,
d. Tunagrahita butuh rawat (dependent or protoundly
mentally retarded) memiliki IQ dibawah 25 atau 30.
Seorang pedagog mengklasifikasikan tunagrahita
berdasarkan pada penilaian program pendidikan yang

84
disajikan pada anak. Berdasarkan penilaian tersebut
tunagrahita diklasifikasikan menjadi tunagrahita mampu didik,
mampu latih, dan mampu rawat (Mohammad Mohammad
Efendi, 2006: 90-91).
a. Tunagrahita mampu didik (debil). Tidak mampu mengikuti
program pada sekolah reguler, tapi masih dapat
mengembangkan kemampuan melalui pendidikan walapun
hasilnya tidak dapat maksimal. kemampuan yang dapat
dikembangkan pada anak tunagrahita mampu didik antara
lain: (a) membaca, menulis, mengeja, dan berhitung; (b)
menyesuaikan diri dan tidak menggantungkan diri kepada
orang lain; (c) keterampilan sederhana untuk kepentingan
kerja dikemudian hari.
b. Tunagrahita mampu latih (imbecil). Memiliki kecerdasan
yang rendah, sehingga tidak dapat mengikuti program
pembelajaran seperti pada tunagrahita mampu didik.
Keterampilan anak tunagrahita mampu latih yang dapat
diberdayakan, adalah (a) belajar mengurus diri sendiri,
misalnya makan, pakaian, tidur, atau mandi sendiri; (b)
belajar menyesuaikan di lingkungan rumah atau
sekitarnya; (c) mempelajari kegunaan ekonomi dirumah,
dibengkel kerja (sheltered workshop), atau di lembaga
khusus.
c. Tunagrahita mampu rawat (idiot). Tunagrahita dengan
tingkat kecerdasan yang sebegitu rendahnya sehingga tidak
dapat mengurus dirinya sendiri atau melakukan interaksi
sosial. Tunagrahita dalam golongan ini adalah mereka yang
membutuhkan bantuan orang lain dalam segala aktivitas

85
hidupnya. A child who is an idiot is so intellectually that he
does not learn to talk and usually does learn to take care of
his bodily need (Kirk & Johnson dalam Mohammad Efendi,
2006: 90).
Dapat dikatakan tunagrahita perlu rawat adalah seorang
yang tidak dapat hidup tanpa bantuan orang lain. Klasifikasi
retardasi mental menurut Sugihartono dkk (2007: 45) adalah
sebagai berikut:
1) Mild Retardation (IQ 50-70). Secara fisik tidak nampak
seperti seorang dengan ketunagrahitaan. Dapat diajarkan
keterampilan-keterampilan praktis, dapat juga membaca
dan menulis tapi hanya sampai pada level kelas 6 Sekolah
Dasar. Selain itu, mampu dibimbing untuk melakukan
penyesuaian sosial.
2) Moderate (IQ 36-50). Kemampuan gerak, khususnya
berbicara nampak lambat. Dapat dilatih pekerjaan-
pekerjaan sederhana, seperti latihan merawat diri.
3) Severe Retardation (IQ 20-36). Perkembangan motorik
lambat, kemampuan komunikasi rendah. Dapat dilatih
keterampilan dasar sseperti menolong diri, membutuhkan
pengawasan dan petunjuk dalam lingkungan yang aman.
4) Profound Retardation (IQ dibawah 20). Lemah dalam
semua aspek perkembangan. membutuhkan pengawasan
yang ketat, tidak dapat merawat diri ataupun melakukan
pertolongan diri sendiri.
Selanjutnya adalah sistem pengklasifikasian tunagrahita
berpandangan sosiologis. Pengelompokan ini berdasarkan atas
kemampuan penyandang tunagrahita dalam kemampuannya

86
untuk mandiri di masyarakat atau apa yang dapat dilakukannya
dimasyarakat. Diklasifikasikan sebagai tunagrahita ringan,
tunagrahita sedang, tunagrahita berat dan sangat berat
(Mumpuniarti. 2007: 15)
1) Tunagrahita ringan, tingkat kecerdasan IQ mereka berkisar
50-70, lebih mudah dalam hal penyesuaian sosial maupun
bergaul dengan orang normal yang lain, mampu
menyesuaikan diri pada lingkungan sosial yang lebih luas
dan mampu melakukan pekerjaan setingkat semi terampil.
2) Tunagrahita sedang, tingkat IQ mereka berkisar antara 30-
50, mampu mengurus dirinya sendiri, dapat beradaptasi
dengan lingkungan terdekat, dapat melakukan pekerjaan
yang dilkukan secara terus menerus tapi tetap memerlukan
pengawasan.
3) Tunagrahita berat dan sangat berat, tingkat kecerdasan IQ
pada tunagrahita ini dibawah 30. Sepanjang hidup mereka
bergantung pada orang lain. Mereka hanya dapat
berkomunikasi secara sederhana dan dalam batasan
tertentu.
Berdasarkan pengklasifikasian yang telah dikemukakan, dapat
disimpulkan bahwa tunagrahita dapat diklasifikasikan menjadi
beberapa jenis, tergantung dari sudut pandangnya.
Kebutuhan pembelajaran anak tunagrahita, yaitu:
a. Perbedaan tunagrahita dengan anak normal dalam proses
belajar adalah terletak pada hambatan dan masalah atau
karakteristik belajarnya.
b. Perbedaan karakteristik belajar anak tunagrahita dengan
anak sebayanya adalah anak tunagrahita mengalami

87
masalah dalam hal, yaitu: (1) Tingkat kemahirannya dalam
memecahkan masalah; (2) Melakukan generalisasi dan
mentransfer sesuatu yang baru; dan (3) Minat dan
perhatian terhadap penyelesaian tugas.
Materi pembelajaran bagi tunagrahita disesuaikan dengan
kurikulum sekolah. Akan tetapi, perlu dilakukan
pengorganisasian dalam penyampaian materi. Materi yang
diberikan harus disesuaikan dengan karakteristik dari masing-
masing individu. Untuk pengembangan dan pengorganisasian
dalam penyampaian materi diperlukan pedoman-pedoman
yang harus dipatuhi, yakni (Mumpuniarti, 2007: 75)
a. Materi yang disajikan harus mendukung tercapainya tujuan
khusus yang telah ditetapkan.
b. Materi yang disajikan harus berada dalam batas-batas
kemampuan siswa untuk mempelajarinya. Hal ini berkaitan
langsung dengan potensi yang ada pada siswa berkelainan,
sesuai dengan kelainan yang disandangnya.
c. Materi yang disampaikan haruslah bermanfaat bagi
kehidupan siswa berkelainan.
d. Materi harus disusun dari mudah ke yang sukar, yang
sederhana ke yang kompleks, dan dari yang konkret ke
yang abstrak. Materi pembelajaran bagi siswa
berkebutuhan khusus berbeda dengan siswa reguler pada
umumnya, khususnya pada siswa tunagrahita.
Materi yang diberikan pada siswa tunagrahita idealnya
tiap siswa berbeda, hal ini dikarenakan tiap siswa tunagrahita
mempunyai kebutuhan pendidikan yang berbeda secara
individual (dalam Mumpuniarti, 2007: 77). Pengajaran

88
individual diberikan berdasarkan atas hasil asesmen yang
dilakukan sebelumnya

89
BAB VII
GANGGUAN INTERAKSI SOSIAL (ADHD)

A. Pengertian ADHD
Saat ini banyak dijumpai berbagai macam gangguan
psikologis yang terjadi pada anak-anak, diantaranya adalah
ganguan konsentrasi (Attention Deficit Disorder) atau yang
disebut ADD, Attention Deficit Hyperactif Disorder(ADHD),
autis, gangguan komunikasi, disleksia atau gangguan
membaca dan lain sebagainya. Diantara beberapa gangguan
tersebut seringkali mengalami tumpang tindih dalam
pemaknaannya.
Ciri dari Attention Deficit Hyperactif Disorder yang
utama adalah rentang perhatian yang kurang, impulsive
yang berlebihan, dan adanya hiperaktifitas. Gejala-gejala
dari rentang perhatian yang kurang meliputi gerak yang
kacau, cepat lupa, mudah bingung, kesulitan dalam
mencurahkan perhatian terhadap tugas-tugas atau kegiatan
bermain. Sedangkan gejala-gejala impulsivitas dan perilaku
hiperaktif adalah meliputi emosi gelisah, mengalami
kesulitan bermain dengan tenang, mengganggu anak lain,
dan selalu bergerak (Baihaqi & Sugiarmin, 2006:2).
ADHD atau Attention-deficit hyperactivity disorder,
adalah gangguan jangka panjang yang menyerang anak-
anak, yang ditandai dengan perilaku impulsif, hiperaktif,
dan kurangnya perhatian. Meskipun ADHD umumnya
menyerang pada masa kanak-kanak, gejala yang

90
ditimbulkan dapat menetap hingga masa remaja dan
dewasa.
ADHD (Attention Deficit Hyperactivity Disorder)
adalah gangguan perkembangan dalam peningkatan
aktivitas motorik anak-anak hingga menyebabkan aktivitas
anak-anak yang tidak lazim dan cenderung berlebihan. Hal
ini ditandai dengan berbagai keluhan perasaan gelisah,
tidak bisa diam, tidak bisa duduk dengan tenang, dan selalu
meninggalkan keadaan yang tetap seperti sedang duduk,
atau sedang berdiri. Beberapa kriteria yang lain sering
digunakan adalah suka meletup-letup, aktivitas berlebihan,
dan suka membuat keributan.
Pengertian itu didukung oleh hasil observasi yang
dipimpin Russell Barkley dan kawan-kawan (dalam
Kutscher, 2005:43) yang menggambarkan ADHD sebagai
ketidakmampuan untuk menghambat, bukan
ketidakmampuan memperhatikan dalam diri mereka. Anak
ADHD yang tidak mampu melakukan pengereman, maka
mereka:
1. Tidak mampu menahan gangguan: kurang
memperhatikan
2. Tidak mampu mengontrol pemikiran: Impulsif
3. Tidak mampu mengontrol tindakan seperti gangguan
atau: pikiran
ADHD merupakan kependekan dari Attention deficit
hyperactivity disorder, (Attenttion = perhatian, Deficit =
berkurang, Hyperacifiy = hiperakif, Disorder = gangguan)
atau dalam bahasa Indonesia ADHD berarti gangguan

91
pemusatan perhatian disertai hiperakif. Orang awam sering
menyebutnya dengan anak hiperakif saja. Sebenarnya
hiperakif bukan nama penyakitnya, tetapi hanya salah satu
gejalanya.
Istilah hiperaktif dipakai untuk anak dengan
kelainan prilaku. Sebenarnya anak normal pun pada tahap
perkembangan tertentu, juga mengalami semacam
hiperaktifitas, tetapi istilah yang dipakai untuk anak normal
adalah overaktif. Memang agak sulit untuk membedakan
kedua gejala ini. Diperlukan suatu kejelian untuk
membedakan keduanya, anak hiperaktif kelihatan sibuk
tapi seolah tanpa tujuan tertentu, karena terlalu sering
berpindah aktivitas. Sedangkan anak yang overaktif
sekalipun tampak sibuk, terlihat bahwa mereka bermaksud
mempelajari sesuatu. Hiperaktif adalah perilaku motorik
yang berlebihan.
Anak ADHD mempunyai problem motorik, problem
tidak mau diam dan problem interaksi sosial termasuk
didalamnya dalam hal berkomunikasi. Anak dengan ADHD
memiliki keterbatasan dalam hal berkomunikasi, dengan
orang lain. Karena perilaku motorik anak hiperaktif
berlebihan maka dalam berkomunikasi anak hiperaktif
cenderung tidak bisa tahan lama terutama dengan hal-hal
yang membuatnya bosan. Namun anak hiperaktif perlu
banyak diberi kesempatan untuk bicara hal ini
berhubungandengan keterbatasan komunikasinya.
Dengan melatih anak hiperaktif banyak berbicara
maka memungkinkan perilaku motoriknya berkurang dan

92
anak hiperaktif dapat terfokus dengan interaksi. Memberi
pertanyaan, memberinya waktu untuk bercerita di depan
kelas, serta mendengarkan pertanyaannya merupakan
teknik mendidik anak yang baik. Bila anda menghargai
pembicaraanya, dia akan belajar cara menghargai
pembicaraan orang lain. Terdapat 3 subtipe ADHD, yaitu:
a. Dominan hiperaktif-impulsif. Pada tipe ini, pengidap
umumnya memiliki masalah hiperaktivitas dan perilaku
impulsif.
b. Dominan inatentif. Pada tipe ini, pengidap umumnya
memiliki gejala tidak dapat memperhatikan dengan
baik.
c. Kombinasi hiperaktif-impulsif dan inatentif. Pada
tipe ini, pengidap mengalami gejala hiperaktif, impulsif,
dan tidak dapat memperhatikan dengan baik.

B. Karakteristik ADHD (Attention Deficit Hyperactive


Disorder)
Menurut DSM IV (dalam Baihaqi & Sugiarman, 2006: 8)
kriteria ADHD adalah sebagai berikut:
1. Kurang Perhatian
Pada kriteria ini, penderita ADHD paling sedikit mengalami
enam atau lebih dari gejala-gejala berikutnya, dan
berlangsung selama paling sedikit 6 bulan sampai suatu
tingkatan yang tidak konsisten dengan tingkat
perkembangan.
a. Seringkali gagal memerhatikan baik-baik terhadap
sesuatu yang detail atau membuat kesalahan yang

93
sembrono dalam pekerjaan sekolah dan kegiatan-
kegiatan lainnya.
b. Seringkali mengalami kesulitan dalam memusatkan
perhatian terhadap tugas-tugas atau kegiatan bermain.
c. Seringkali tidak mendengarkan jika diajak bicara secara
langsung
d. Seringkali tidak mengikuti baik-baik intruksi dan gagal
dalam menyelesaikan pekerjaan sekolah, pekerjaan, atau
tugas ditempat kerja (bukan disebabkan karena perilaku
melawan atau gagal untuk mengerti intruksi).
e. Seringkali mengalami kesulitan dalam menjalankan
tugas dan kegiatan
f. Sering kehilangan barang/benda penting untuk tugas-
tugas dan kegiatan, misalnya kehilangan permainan;
kehilangan tugas sekolah; kehilangan pensil, buku, dan
alat tulis lainnya.
g. Seringkali menghindar, tidak menyukai atau enggan
untuk melaksanakan tugas-tugas yang menyentuh usaha
mental yang didukung, seperti menyelesaikan pekerjaan
sekolah atau pekerjaan rumah.
h. Seringkali bingung/terganggu oleh rangsangan dari luar,
dan
i. Sering lekas lupa dan menyelesaikan kegiatan sehari-
hari.
2. Hiperaktivitas Impulsifitas
Prasetyono (2008: 100-101) berpendapat bahwa,
hiperaktif adalah suatu peningkatan aktivitas motorik
hingga pada tingkatan tertentu dan menyebabkan gangguan

94
perilaku yang terjadi pada dua tempat dan suasana yang
berbeda.
Aktivitas anak tidak lazim, cenderung berlebihan dan
ditandai dengan gangguan perasaan gelisah, selalu
menggerak-gerakkan jari-jari tangan, kaki, pensil, tidak
dapat duduk dengan tenang, dan selalu meninggalkan
tempat duduknya meskipun seharunya ia duduk dengan
tenang. Paling sedikit enam atau lebih dari gejala-gejala
hiperaktivitas impulsifitas berikutnya bertahan selama
paling sedikit 6 samapai dengan tingkat yang tidak dengan
tingkat perkembangan.
a. Hiperaktivitas
1) Seringkali gelisah dengan tangan atau kaki mereka,
dan sering menggeliat di kursi
2) Sering meninggalkan tempat duduk di dalam kelas
atau dalam situasi lainnya dimana diharapkan anak
tetap duduk
3) Sering berlarian atau naik-naik secara berlebihan
dalam situasi dimana hal ini tidak tepat. (pada masa
remaja atau dewasa terbatas pada perasaan gelisah
yang subjektif)
4) Sering mengalami kesulitan dalam bermain atau
terlibat dalam kegiatan senggang secara tenang
5) Sering bergerak atau bertindak seolah-olah
dikendalikan oleh motor, dan
6) Sering berbicara berlebihan

95
b. Impulsifitas
1) Mereka sering memberi jawaban sebelum
pertanyaan selesai
2) Mereka sering mengalami kesulitan menantigiliran
3) Mereka sering menginterupsi atau mengganggu
orang lain, misalnya memotong pembicaraan atau
permainan.
Beberapa gejala hiperaktivitas impulsifitas atau
kurang perhatian yang menyebabkan gangguan muncul
sebelum anak berusia 7 tahun
Ada suatu gangguan di dua atau lebih setting/situasi.
a. Harus ada gangguan yang secara klinis, signifikan di
dalam fungsi sosial, akademik, atau pekerjaan.
b. Gejala-gejala tidak terjadi selama berlakunya PDD,
skizofrenia, atau gangguan psikotik lainnya, dan
tidak dijelaskan dengan lebih baik oleh gangguan
mental lainnya.

C. Permainan terhadap anak hiperaktif


Salah satu teknik konseling individu adalah
permainan sosial. Bermain adalah dunia anak-anak dan
bermain pula merupakan sebuah kegiatan yang dapat
mengungkapkan suatu bahasa yang paling universal bagi
anak sehingga melalui sebuah permainan anak dapat
mengekspresikan apapun yang diinginkannya.
Sehingga dapat dikatakan bahwa kegiatan bermain
dapat dijadikan sebagai salah salah satu teknik konseling
atau treatment perlakuan bagi individu. Ada beberapa jenis

96
permainan yang dapat digunakan untuk anak hiperaktif,
yaitu permainanan imajinatif, teka-teki (puzzle) dan
permainan sosial. Dasar permainan sosial adalah adanya
interaksi antara dua orang atau lebih. Permainan sosial
merupakan hal yang penting bagi perkembangan anak pada
umumnya atau anak dengan kebutuhan khusus. Hal itu
disebabkan permainan sosial mempunyai keuntungan-
keuntungan seperti: Permainan sosial memberikan
kesempatan pada anak untuk berinteraksi dan belajar dari
orang lain. Permainan sosial akan meningkatkan
kemampuan anak dalam berkomunikasi, serta permainan
sosial membuat anak untuk lebih bersosialisasi.

D. Faktor-faktor Penyebab ADHD


Penelitian terhadap penyebab ADHD terus saja
berlangsung hingga saat ini. Laporan mengenai ADHD
semakin hari juga semakin banyak. Sudah sejak lama
didiskusikan sama seperti gangguan psikiatrik lainnya
apakah ADHD sebenarnya. Pada dasarnya ADHD adalah
gangguan yang berasal dari gangguan neurologis di otak,
atau disebabkan oleh faktor pengasuhan orang tua yang
kurang tepat.
Beberapa hal sebagai faktor penyebab ADHD kini
sudah semakin jelas, yaitu:
1. Faktor genetik (Keturunan)
Dari penelitian faktor keturunan pada anak kembar dan
anak adopsi, tampak bahwa faktor keturunan membawa
peran sekitar 80%. Dengan kata lain bahwa sekitar 80%

97
dari perbedaan antara anak-anak yang mempunyai
gejala ADHD di kehidupan bermasyarakat akan
ditentukan oleh faktor genetik. Anak dengan orang tua
yang menyandang ADHD mempunyai delapan kali
kemungkinan mempunyai resiko mendapatkan anak
ADHD. Namun, belum diketahui gen mana yang
menyebabkan ADHD (Paternotte & Buitelaar, 2010:17).
2. Faktor Fungsi otak
Secara sederhana dapat dikatakan bahwa secara biologis
ada dua mekanisme di dalam otak yaitu pengaktifan sel-
sel saraf (Eksitasi) dan penghambat sel-sel saraf
(Inhibisi). Pada reaksi eksitasi sel-sel saraf terhadap
adanya rangsangan dari luar adalah melalui pancaindra.
Dengan reaksi inhibisi, sel-sel saraf akan mengatur bila
terlalu banyak eksitasi. Pada perkembangan seorang
anak pada dasarnya mengaktifkan sistem-sistem ini
adalah perkembangan terbanyak. Pada anak kecil,
sistem pengereman atau sistem hambatan belumlah
cukup berkembang: setiap anak balita bereaksi impulsif,
sulit menahan diri, dan menganggap dirinya pusat dari
dunia. Umumnya sistem inhibisi akan mulai pada usia 2
tahun, dan pada usia 4 tahun akan berkembang secara
kuat. Tampaknya pada anak ADHD perkembangan
sistem ini lebih lambat, dan juga dengan kapasitas yang
lebih kecil.Sistem penghambat atau pengereman di otak
bekerja kurang kuat atau kurang mencukupi. Dari
penelitian juga disebutkan bahwa adanya neuro-anatomi
dan neuro-kimiawi yang berbeda antara anak yang

98
menyandang ADHD dan tidak (Paternotte & Buitelaar,
2010:19).
3. Faktor Lingkungan
Lingkungan yang dimaksud adalah lingkungan secara
luas, termasuk lingungan psikologis (relasi dengan orang
lain, berbagai kejadian dan penanganan yang telah
diberikan), lingkungan fisik (makanan, obat-obatan,
menyinaran), lingkungan biologis (cedera otak, radang
otak, komplikasi saat melahirkan) (Paternotte &
Buitelaar, 2010:18). Sedangakan dalam Flanagen
(2002:3) disebutkan bahwa pada dasarnya penyebab
ADHD belum pasti, namun beberapa ilmuan yakin
bahwa ADHD bukan disebabkan oleh kerusakan otak
atau alergi makanan. Beberapa hipotesis penelitian
menyebutkan penyebab dari ADHD adalah
a. Keturunan/faktor genetik, banyak anak yang
menderita ADHD mempunyai kerabat dekat yang
tampaknya memiliki gejala serupa.
b. Defisit neurotransmiter, dua neurotransmiter pada
otak tampaknya berperan dalam regulasi jumlah
pembangkitan dan perhatian. Kedua
neurotransmiter tersebut noradrenaline dan
dopamine. Konsumsi obat mempengaruhi regulasi
keduanya.
c. Kelambatan perkembangan sistem pembangkitan
diotak, pengobatan stimulan meningkatkan
pembangkitan, ada beberapa indikasi bahwa
kemungkinan anak-anak ADHD menderita

99
kelambatan pembangkitan yang membuat mereka
tidak sensitif terhadap rangsang yang datang.
d. Perkembangan otak yang abnormal, tidak
berfungsinya lobus frontal. Lobus frontal adalah area
pada otak yang mengumpulkan input auditori dan
visual yang berlebihan. Hal ini menunjukkan bahwa
lobus ini didombardir dengan banyak informasi yang
tidak tersaring dan tidak sesuai.
Dari gambaran diatas terlihat ADHD tidak hanya
disebabkan oleh satu faktor saja melainkan multi faktor
yang satu dengan yang lainnya saling berhubungan.

E. Pengobatan dan Penanganan ADHD


ADHD hingga saat ini memang belum dapat
disembuhkan. Penanganan yang tepat sedini mungkin
dilakukan untuk menolong agar dapat beradaptasi dengan
penyakitnya sehingga memiliki kualitas hidup yang lebih
baik. Beberapa upaya pengobatan ADHD antara lain:
a. Obat-obatan yang umum digunakan untuk mengatasi
ADHD. Obat-obatan ini digunakan untuk membantu
pengidap lebih tenang dan mengurangi sikap impulsif
sehingga dapat lebih memusatkan perhatian. Segera
konsultasikan ke dokter untuk menentukan obat yang
tepat.
b. CBT (cognitive behavioural therapy). Terapi ini
dilakukan untuk menolong pengidap ADHD mengubah
pola pikir dan perilaku saat mengalami masalah dalam
hidupnya.

100
c. Konseling psikologi. Konseling ini bertujuan supaya
pengidap ADHD dapat menemukan solusi untuk
mengatasi gejala penyakitnya.
d. Pelatihan interaksi sosial. Pelatihan ini bertujuan untuk
menolong pengidap ADHD dalam memahami perilaku
sosial yang dapat diterima dalam masyarakat.
Selain pengidap ADHD, orang tua dan keluarga juga
sebaiknya menjalani beberapa terapi supaya dapat
beradaptasi dan menerima gejala pengidap ADHD.
1. Terapi perilaku. Terapi ini bertujuan supaya orang tua
atau pengasuh dapat memiliki strategi untuk menolong
pengidap ADHD dalam menjalani kehidupan sehari-hari
atau mengatasi keadaan yang sulit.
2. Pelatihan untuk orang tua pengidap ADHD. Pelatihan ini
bertujuan supaya orang tua lebih memahami perilaku
pengidap dan memberikan bimbingan bagi orang tua
untuk menjalani hidup dengan pengidap ADHD.

F. Perbedaan ADHD dan Autisme


Anak dengan ADHD dan autisme sama-sama memiliki
masalah dengan pemusatan perhatian. Perilaku mereka
suka berubah tiba-tiba (impulsif) dan juga sulit
berkomunikasi dengan baik yang lebih inten. Mereka
mempunyai masalah dalam berhubungan dengan orang lain.
Karena terlihat mirip, kadang orang menyamakan kondisi
ADHD dengan autisme. Tapi, sebenarnya keduanya
merupakan dua hal yang berbeda.

101
Jika diperhatikan dengan seksama, anak dengan ADHD
akan berbeda dengan anak dengan autisme. ADHD lebih
memengaruhi bagaimana cara otak tumbuh dan
berkembang. Sedangkan, autisme adalah rangkaian
gangguan perkembangan yang memengaruhi kemampuan
bahasa, perilaku, interaksi sosial, dan kemampuan belajar.

1. Dari segi perhatian


Anak ADHD cenderung menghindari hal-hal yang
perlu fokus tinggi, seperti membaca buku. Mereka
bahkan dari awal sudah terlihat tidak minat dengan hal-
hal tersebut. Sedangkan, anak dengan autisme
cenderung ingin berusaha untuk fokus pada hal-hal yang
mereka sukai. Mereka bisa mempelajari hal-hal yang
mereka sukai dengan baik, seperti bermain dengan
mainan tertentu.
2. Dari segi interaksi dan komunikasi dengan orang lain
Anak dengan ADHD cenderung berbicara tanpa
henti. Mereka bisa mengganggu saat orang berbicara
dan suka jika ia menjadi dominan saat diskusi.
Sedangkan, anak dengan autisme sering mengalami
kesulitan memasukkan kata-kata ke dalam pikiran dan
perasaan. Sehingga, mereka mungkin akan lebih sulit
dalam mengutarakan pendapatnya. Mereka juga sulit
untuk melakukan kontak mata.
3. Dalam segi rutinitas
Anak dengan ADHD cenderung tidak suka jika
melakukan rutinitas yang sama setiap hari atau dalam

102
waktu lama. Sedangkan anak dengan autisme cenderung
suka dengan hal-hal yang sudah tertata, mereka suka
dengan ketertiban, dan tidak suka jika rutinitas mereka
tiba-tiba berubah.
4. Genetik
ADHD mungkin sangat diwariskan, tetapi faktor
genetik tertentu belum ditegakkan. Kerabat tingkat
pertama pasien dengan ADHD dilaporkan 2-8 kali lebih
mungkin untuk mengidap ADHD.
Lingkungan/psikososial
a. Konflik keluarga.
b. Sosial ekonomi keluarga yang tidak memadai.
c. Jumlah keluarga yang terlalu besar.
d. Orang tua terkena kasus kriminal.
e. Orang tua dengan gangguan jiwa (psikopat).
f. Anak yang diasuh di penitipan anak.
g. Riwayat kehamilan dengan eklampsia, perdarahan
antepartum, fetal distress, bayi lahir dengan berat
badan lahir rendah, ibu merokok saat hamil, dan
alkohol.
5. Gejala Klinis
Gejala yang timbul dapat bervariasi mulai dari
yang ringan hingga yang berat, gejala ADHD sudah dapat
dilihat sejak usia bayi, gejala yang harus dicermati
adalah sensitif terhadap suara dan cahaya, menangis,
suka menjerit dan sulit tidur. Waktu tidur yang kurang
sehingga bayi seringkali terbangun. Sulit makan dan

103
minum ASI. Tidak senang digendong, suka
membenturkan kepala, dan sering marah berlebihan.
Keluhan yang terlihat pada anak yang lebih besar
adalah, tampak canggung, sering mengalami kecelakaan,
perilaku berubah-ubah, gerakan konstan atau monoton,
lebih ribut dibandingkan anak-anak lainnya, kurang
konsentrasi, tidak bisa diam, mudah marah, nafsu makan
buruk, koordinasi mata dan tangan tidak baik, suka
menyakiti diri sendiri, dan gangguan tidur.
Untuk mempermudah diagnosis pada ADHD harus
memiliki tiga gejala utama yang tampak pada perilaku
seorang anak yaitu inatensi, hiperaktif, dan impulsif.
1) Inatensi
Kurangnya kemampuan untuk memusatkan
perhatian misalnya jarang menyelesaikan perintah
sampai tuntas, mainan sering tertinggal, sering
membuat kesalahan, mudah beralih perhatian
(terutama oleh rangsang suara).
2) Hiperaktif
Perilaku yang tidak bisa diam, seperti banyak bicara,
tidak dapat tenang/diam (mempunyai kebutuhan
untuk selalu bergerak), sering membuat gaduh
suasana, selalu memegang apa yang dilihat, sulit
untuk duduk diam, lebih gelisah dan impulsif
dibandingkan dengan mereka yang seusia, suka
teriak-teriak.

104
3) Impulsif
Kesulitan untuk menunda respon (dorongan untuk
mengatakan/melakukan sesuatu yang tidak sabar)
seperti sering mengambil mainan teman dengan
paksa, tidak sabaran, reaktif, sering bertindak tanpa
dipikir dahulu.
Gejala-gejala lainnya yaitu sikap menentang,
cemas, dan memiliki masalah sosial.
1. Sikap menentang seperti sering melanggar
peraturan, bermasalah dengan orang-orang yang
memiliki otoritas, lebih mudah merasa terganggu,
mudah marah (dibandingkan dengan mereka yang
seusia).
2. Rasa cemas seperti banyak mengalami rasa khawatir
dan takut, cenderung emosional, sangat sensitif
terhadap kritikan, mengalami kecemasan pada
situasi yang baru atau yang tidak familiar, terlihat
sangat pemalu dan menarik diri.
3. Masalah sosial seperti hanya memiliki sedikit teman,
sering memiliki rasa rendah diri dan tidak percaya
diri.

105
BAB IX
ANAK DENGAN GANGGUAN BELAJAR

A. Down Syndrom
Down Syndrom adalah kelainan genetic yang
menyebabkan penderitanya memiliki tingkat kecerdasan
yang rendah, dan kelainan fisik yang khas. Sebagian
penderita dapat mengalami kelainan yang ringan, tetapi
sebagian lainya dapat mengalami gangguan yang berat
hingga menimbulkan penyakit jantung. Berikut ini adalah
gejala, penyebab, dan pengobatan down syndrome,
Penderita down syndrome memiliki fisik khas, yang kadang
bisa dideteksi sebelum lahir, antara lain:
1) Ukuran kepala lebih ukuran normal biasanya
2) Bagian belakang kepala datar.
3) Sudut mata luar naik keatas.
4) Bentuk telinga kecil atau tidak normal.
5) Lidah pecah- pecah
Down Syndrom terjadi ketika ada satu kelainan
ekstra dari kromosom,. Kromosom atau struktur
pembentuk gen normalnya berpasangan, dan diturunkan
dari masing-masing orang tua. Ada beberapa faktor yang
berisiko menimbulkan salinan ekstra pada kromosom 21,
antara lain ibu sudah cukup berumur saat hamil atau
memiliki penderita down syndrome lain dalam keluarga.
Pengobatan untuk penderita down syndrome
dilakukan agar penderita bisa menjalani aktivitas sehari-
hari secara mandiri. Pengobatan itu dapat berupa:

106
1) Fisioterapi
2) Terapi bicara
3) Terapi okupasi
4) Terapi perilaku
Down syndrome memang tidak bisa diobati. Namun
dengan dukungan yang baik dari keluarga, serta rutin
menjalani terapi dan pemeriksaan ke dokter, penderita
down syndrome dapat hidup mandiri dan terhindar dari
komplikasi.
Sindrom Down atau Down syndrome adalah kelainan
genetik yang menyebabkan penderitanya memiliki tingkat
kecerdasan yang rendah, dan kelainan fisik yang khas.
Sebagian penderita dapat mengalami kelainan yang ringan,
tetapi sebagian lainnya dapat mengalami gangguan yang berat
hingga menimbulkan penyakit jantung.
Down syndrome adalah salah satu penyakit
akibat kelainan kromosom. Down syndrome merupakan
kelainan genetik yang cukup sering terjadi. Data WHO
memperkirakan 3000 hingga 5000 bayi terlahir dengan
kondisi ini setiap tahunnya. Dengan penanganan yang
tepat, penderita dapat hidup dengan sehat dan mampu
menjalani aktivitas dengan mandiri, walaupun kelainan
belum dapat disembuhkan.
Gejala Down Syndrome
Penderita Down syndrome memiliki kelainan fisik
khas, yang kadang bisa dideteksi sebelum lahir, antara lain:
 Ukuran kepala lebih

107
 Bagian belakang kepala datar.
 Sudut mata luar naik ke atas.
 Bentuk telinga kecil atau tidak normal.
 Lidah pecah-pecah
Penyebab Down Syndrome
Down syndrome terjadi ketika ada satu salinan ekstra dari
kromosom nomor 21. Kromosom atau struktur pembentuk
gen normalnya berpasangan, dan diturunkan dari masing-
masing orang tua.
Ada beberapa faktor yang berisiko menimbulkan salinan
ekstra pada kromosom 21, antara lain ibu sudah cukup
berumur saat hamil atau memiliki penderita Down
syndrome lain dalam keluarga.
Pengobatan Down Syndrome
Pengobatan untuk penderita Down syndrome dilakukan
agar penderita bisa menjalani aktivitas sehari-hari secara
mandiri. Pengobatan itu dapat berupa:
 Fisioterapi.
 Terapi bicara.
 Terapi okupasi.
 Terapi perilaku.
Down syndrome memang tidak bisa diobati. Namun dengan
dukungan yang baik dari keluarga, serta rutin menjalani
terapi dan pemeriksaan ke dokter, penderita Down
syndrome dapat hidup mandiri dan terhindar dari
komplikasi.
Down Syndome merupakan suatu kelainan genetik
yang terjadi sebelum seseorang lahir yang menyebabkan

108
penderitanya mengalami keterbelakangan perkembangan
fisik dan mental. Normalnya seorang manusia memiliki 23
pasang kromosom dari ayah dan ibunya atau 46 kromosom,
namun pada penyandang down syndrome mereka
mengalami kelainan menjadi 47 kromosom.
Sampai saat ini belum diketahui secara pasti
penyebab down syndrome. Penyandang down syndrome
sering kali menjadi pusat perhatian orang-orang di
sekitarnya. Penampilan secara fisik yang khas, membuat
orang-orang selalu melihat ke arahnya ketika sedang
berada di tempat umum. Baik itu melihat dengan
pandangan sinis atau merendahkan, maupun heran karena
secara fisik mereka memiliki perawakan yang unik dan
berbeda dari kebanyakan orang. Kesulitan berinteraksi
dengan orang lain terutama dialami oleh penyandang down
syndrome anak-anak. Anak down syndrome akan lebih
lambat belajar dibandingkan dengan yang lainnya. Anak
down syndrome mengalami kesulitan dalam belajar
berbicara dan menangkap sinyal kontak dari orang lain.
Sehingga, pada tahap ini orang tua harus lebih ekstra untuk
mengajari anaknya berinteraksi dengan orang lain. Anak
penyandang down syndrome kerap dikucilkan di lingkungan
bermainnya. Keterlambatan perkembangan yang
dimilikinya membuat teman sebayanya ‘enggan’ untuk
bermain dengannya. Mereka juga kerap mendapatkan
perilaku diskriminasi karena perbedaan kemampuan yang
dimilikinya. Tindakan pengecualian yang dilakukan oleh

109
lingkungan sosial terhadap penyandang down syndrome
dapat dikatakan sebagai suatu bentuk diskriminasi.

B. Kesulitan Belajar
Kesulitan belajar menurut Syaiful Bahri Djamarah
(2002: 201), kesulitan belajar adalah suatu kondisi dimana
anak didik tidak dapat belajar secara wajar, disebabkan
adanya ancaman, hambatan ataupun gangguan dalam
belajar. Selanjutnya gozali dalam psikologi belajar, (1999:
38), mengatakan bahwa keseulitan belajar adalah
kesukaran mendapat perubahan tingkah laku yang di
inginkan meskipun latihan talah dilakukan.
Berdasarkan beberapa pendapat tersebut di atas
dapat ditegaskan bahwa; kesulitan belajar adalah kesulitan
yang dimiliki oleh seseorang dalam proses pembelajaran
yang tidak dapat belajar sebagaimana mestinya. Kesulitan
belajar terjadi karena adanya ancaman, hambatan-hambtan
dan gangguan dalam belajar. Kesulitan belajar terjadi
karena kesukaran mendapat perubahan tingkah laku
(siawa bandel atau nakal). Kesulitan belajar karana terjadi
hambatan-hambatan dalam memperoleh hasil belajar,
seperti siswa yang malas belajar serta tingkat IQ rendah.
Hambatan-hambatan tersebut menyebabkan siswa tidak
dapat belajar sebagaimana mestinya, sehingga prestasi
yang diperoleh berbeda dibawah yang seharusnya/
kemampuannya.
Gejala-gejala kesulitan belajar dapat diperlihatkan
siswa secara langsung maupun tidak langsung. Menurut

110
Hardjosuwarno, (1989: 65) mengatakan bahwa gejala-
gejala tersebut adalah:
1) Menunjukkan hasil belajar yang rendah dibawah rata-
rata nilai yang dicapai kelompoknya.
2) Lamban dalam mengerjakan tugas-tugas dan selalu
tertinggal dari teman-temannya dalam menyelesaikan
tugas-tugas sesuai dengan waktu yang disediakan.
3) Memperhatikan sikap-sikap yang kurang wajar, yaitu
sikap acuh tak acuh, menentang, berpura-pura,
berbohong.
4) Memperlihatkan gejala-gejala emosional yang kurang
wajar, yaitu seperti pemurung, tersinggung, pemarah,
kurang gembira, malas, suka ngobrol saat proses
belajar mengajar sedang berlangsung.
Hadisuparto (1984: 45) mengatakan bahwa
berdasarkan gejala-gejala saja belum dapat dipastikan
apakah siswa mengalami kesulitan belajar atau tidak. Maka
dari itu untuk menentukan siswa yang mengalami kesulitan
belajar diperlukan kriteria tertentu, adapun kriteria yang
dimaksud adalah:
1) Tujuan pendidikan
2) Kedudukan dalam kelompok
3) Kemampuan dan
4) Kepribadian
Banyak sudah para ahli mengemukakan faktor-
faktor penyebab kesulitan belajar dengan sudut pandang
yang berbeda sesuai dengan cara pandang yang berbeda
sesuai dengan cara pandang mereka masing-masing. Ada

111
yang meninjau dari sudut intern anak didik dan ekstren
anak didik. Faktor-faktor anak didik meliputi gangguan atau
kekurangan psiko-fisik anak didik, yakni sebagai berikut:
1) faktor intern meliputi
a) yang sifatnya kognitif (ranah cipta), antara lain
rendahnya kapasitas intelektual/imtelegensi.
b) Yang bersifat efektif (ranah rasa), antara lain seperti
labilnya emosi dan sikap.
c) Yang bersikap psikomotor (ranah karsa), antara lain
seperti tergantungnya alat-alat indra penglihatan dan
pendengaran (mata dan telinga).
2) Faktor ekstren meliputi:
a) Lingkungan keluarga, misalnya ketidakmampuan
dalam rumah tangga dan kehidupan ekonomi
keluarga.
b) Lingkungan perkampungan/masyarakat, misalnya
daerah kumuh dan teman sebaya atau sepermainan
yang nakal.
c) Lingkungan sekolah, misalnya kondisi sarana
prasarana sekolah yang tidak memadai atau
berkualitas rendah serta letak sekolah yang dekat
dengan pasar sehingga terjadi kebisingan dan
mengganggu proses belajar mengajar disekolah.

C. Disleksia
Disleksia adalah gangguan dalam proses belajar yang
ditandai dalam kesulitan membaca, menulis, atau mengeja.
Penderita disleksia akan kesulitan dalam mengidentifikasi

112
kata-kata yang diucapkan, dan mengubahnya menjadi huruf
atau kalimat. Disleksia sendiri bukan merupakan gangguan
kemampuan membaca yang disebabkan oleh retardasi
mental atau kelainan fisik lainnya.
Disleksia tergolong gangguan saraf pada bagian otak
yang memproses bahasa, dan dapat dijumpai pada anak-
anak atau orang dewasa, meskipun individu dengan
disleksia kesulitan dalam belajar, penyakit ini tidak
memengaruhi tingkat kecerdasan seseorang. Mereka
kesulitan dalam menulis dan mengeja, anak disleksia bisa
salah dalam menyebut hurup ‘b’ yang tergantikan dengan
hurup ‘d’ , membedakan ‘p’ dengan ‘q”, ‘n’ dengan “u” atau
sebaliknya. Demikian pula halnya dengan membaca ‘pos’
sebagai ‘sop’, ‘tas’ sebagai ‘sat’. Hal ini bisa disebabkan
permasalahan visual-spasial yang disebabkan ketidak
stabilan dominasi mata mengakibatkan gangguan gerakan
mata serta mengalami kesulitan dalam mengikuti Gerakan
hurup dan kata pada suatu halaman.
Disleksia dapat menimbulkan gejala yang bervariasi,
tergantung kepada usia dan tingkat keparahan yang dialami
penderita. Gejala dapat muncul pada usia 1-2 tahun, atau
setelah dewasa. Pada anak balita, gejala dapat sulit dikenali.
Namun setelah anak mencapai usia sekolah, gejala akan
makin terlihat, terutama ketika anak belajar membaca.
Gejala yang muncul meliputi:
1) Perkembangan bicara yang lebih lamban dibandingkan
anak-anak seusianya.

113
2) Kesulitan memproses dan memahami apa yang
didengar.
3) Kesulitan menemukan kata yang tepat untuk menjawab
suatu pertanyaan.
4) Kesulitan mengucapkan kata yang tidak umum.
5) Kesulitan mempelajari bahasa asing.
6) Kesulitan dalam meningkatkan sesuatu.
7) Kesulitan dalam mengeja, membaca, menulis, dan
berhitung.
8) Lamban dalam menyelesaikan tugas membaca atau
menulis.
Jika perkembangan kemampuan membaca dan
menulis anak terlihat lambat, segera konsultasikan dengan
dokter. Apabila disleksia dibiarkan tidak tertangani,
kesulitan anak dalam membaca akan berlangsung hingga
dewasa. Belum diketahui apa penyebab pasti disleksia,
tetapi kondisi ini diduga terkait dengan kelainan gen ynag
mempengaruh kinerja otak dalam membaca dan berbahasa.
Sejumlah faktor yang diduga memicu kelainan gen tersebut
adalah:
1) Infeksi atau paparan nikotin, alcohol, dan NAPZA pada
masa kehamilan.
2) Lahir premature atau terlahir dengan berat badan
rendah.
3) Riwayat disleksia atau gagguan belajar dalam keluarga
juga menjadikan anak memderita disleksia.
Meskipun disleksia tergolong penyakit yang tidak
dapat disembuhkan, tetapi deteksi dan penanganan sejak

114
usia dini terbukti efektif meningkatkan kemampuan
penderita dalam membaca, Salah satu metode yang paling
efektif dalam meningkatkan kemampuan baca tulis
penderita disleksia adalah fonil. Metode fonik berfokus
meningkatkan kemampuan dalam mengidentifikasikan dan
memproses suatu. Dalam metode fonil, penderita akan
diajari sejumlah hal berikut:
1) Mengenali bunyi kata yang terdengar mirip, seperti
‘pasar’ dan ‘pagar’.
2) Mengeja dan menulis, mulai dari kata sederhana hingga
kalimat yang rumit.
3) Memahami huruf dan susunan huruf yang membentuk
bunyi tersebut.
4) Membaca kalimat dengan tepat, serta mamahami makna
yang dibaca.
5) Menyusun kalimat dan memahami kosakata baru.
Guna membantu proses penyembuhan anak. Orang tua
dapat melakukan sejumlah hal berikut:
a) Membaca dengan suara keras dihadapan anak.
b) Beri semangat pada anak agar berani membaca.
c) Bekerja sama dengan guru disekolah.
d) Bicara dengan anak tentang kondisinya.
e) Batasi menonton televisi.
Anak dengan disleksia yang tidak segera ditangani,
akan sangat kesulitan dalam membaca. Kamampuannya
dalam memahami pelajaran disekolah juka akan tertinggal.
Oleh karena itu, bila anak memperlihatkan gejala disleksia,
segera konsultasikan ke dokter, baik dokter anak, psikiater

115
anak, atau dokter anak ahli tumbuh kembang anak dan juga
ke psikolog anak. Pengobatan dan penanganan terhadap
masalah pada anak akan lebih efektif bila dilakukan lebih
awal.

F. Disgrafia
Disgrafia adalah kondisi anak mengalami kesulitan
belajar menulis kata-kata dan kalimat dengan jelas serta
benar. Disgrafia biasanya dialami oleh anak-anak yang
duduk di bangku sekolah dasar (SD), atau yang sedang
belajar menulis. Sebenarnya hamper seluruh anak kecil
pasti mengalami kesulitan dalam hal menulis atau
menyempurnakan tulisannya.
Akan tetapi, jika tulisan anak secara konsisten
terdistorsi atau tidak jelas, mungkin disebabkan ketidak
mampuan belajar menulis. Disgrafia adalah masalah sistem
saraf yang mempengaruhi keterampilan motoric halus yang
diperlukan untuk menulis. Dilansir dari situs WebMD, para
ilmuwan masih tidak yakin mengapa disgrafia bisa terjadi
pada anak-anak. Sementara itu, pada orang dewasa,
terkadang kondisi ini berkaitan dengan cendera otak.
Walau demikian, jenis gangguan belajar ini biasanya
terjadi bersamaan dengan ketidak mampuan belajar
lainnya. Contohnya seperti anak yang mengalami ADHD dan
disleksia.
1. Gejala disgrafia pada anak
Anak-anak dengan disgrafia akan memiliki tulisan
tangan yang tidak jelas, tidak teratur, atau konsisten.

116
Seringkali dengan kemiringan, bentuk, huruf besar dan kecil
yang berbeda, serta gaya kursif dan cetak.
Mereka juga cenderung menulis atau menyalin sesuatu
dengan lambat. Orang tua dengan guru mungkin bisa
melihat gejala ini ketika anak pertama kali menulis tugas
mereka, baik disekolah maupun dirumah. selain itu, tanda-
tanda ketidak mampuan anak belajar dalam menulis lainya
yang harus di perhatikan termasuk:
1) Kesulitan mengatur hal-hal diatas kertas
2) Sering menghapus tulisan
3) Inkonsistensi atau ketidakserasian dalam spasi huruf
dan kata
4) Ejaan yang buruk termasuk kata-kata yang belum selesai
atau kata-kata dan huruf yang tidak biasa saat menulis.
5) Posisi sulit menulis dan berfikir dalam waktu yang
bersamaan, sehingga membuat ia kesulitan jika
mendapat tugas menulis kreatif.

2. Membantu anak disgrafia


Ini cara yang dapat membantu penyembuhan disgrafia
anak, yaitu:
1) Mintalah anak menggunakan kertas ukuran lebar, kertas
grafik, atau kertas dengan garis untuk membantu
perataan huruf dan kata.
2) Cobalah gunakan pegangan pensil atau alat tulis lainnya
untuk kenyamanan saat menulis.

117
3) Jangan berikan kritik pekerjaanya yang salah. Namun
kamu harus beri pujian kerja kerasnya dan berikan
motivasi positif.
4) Bicaralah dengan guru anak tentang kondisinya dan
kebutuhannya di sekolah.

G. Diskalkulia
Diskalkulia adalah gangguan memahami angka dan
hitungan, dimana anak akan mengalami kesulitan dalam
memahami aritmatika dasar. Bukan hal anak jika sebagian
anak membutuhkan usaha yang lebih keras ketika bejar
matematika. Bahkan untuk beberapa anak-anak usia
sekolah, pelajaran matematika sering dianggap menjadi
momok tersendiri.
Apabila anak mengalami kondisi tersebut, seperti sulit
berhitung, sulit mengenal angka, bahkan sulit menunjukkan
waktu, bisa jadi ia mengalami diskalkulia. Penyebab
diskalkulia Dilansir dari WebMD, lebih dari 7% siswa dasar
(SD) mengalami diskalkulia. Riset menunjukkan bahwa
diskalkulia umumnya terjadi seperti disleksia, tapi
diskalkulia dan disleksia adalah dua kondisi yang jauh
berbeda.
Adapun salah satu faktor yang dipercaya
mampengaruhinya yaitu genetic atau turunan dari keluarga.
Walau demikian, hingga saat ini penelitian masih belum
menemukan gen yang berkaitan dengan kalainan
diskalkulia. Beberapa dampak yang akan terjadi pada anak
jika dia mengalami diskalkulia, di antaranya yaitu:

118
1) Akan sulit mengenal angka.
2) Kesulitan memahami aritmatika dasar seperti
penjumlahan, pembagian dan perkalian.
3) Sulit memahami persoalan sehari-hari yang berkaitan
dengan matematika dasar. Misalnya, menghitung uang,
jumlah kembalian ketika membeli sesuatu, dan lainnya.
4) Tidak mampu menghitung jumlah orang dalam
kelompok.
5) Kesulitan menunjukkan waktu pada jam dan tidak bisa
membaca jam.
Sebelum memastikan apakah seorang anak positif
diskalkulia, perlu dilakukan serangkaian pemerikasaan
tertentu. orang tua disarankan bekomunikasi dengan guru
matematika anak, untuk mengetahui dibagian mana ia
mengalami kesulitan belajar. Lalu, bisa juga menemui
dokter, psikolog atau pun tenaga ahli lain yang memahami
tentang gangguan diskalkulia untuk berkonsultasi terkait
masalah ini. Secara umum ada beberapa tes yang diberikan
untuk mengetahui apakah anak memang benar mengalami
diskalkulia:
1) Tes kemampuan berhitung
2) Uji kefasihan matematika
3) Uji mental komputasi
4) Tes penalaran kuantitatif
Berikut ini hal-hal yang dapat dilakukan dalam
mendampingi anak dengan diskalkulia, agar anak lebih
mudah dalam mempelajari dan memahami matematika.

119
Serta, untuk mengurangi kecemasan anak karena
diskalkulia yang dialaminya.
1) Latihan matematika secara rutin
2) Permainan berbasis matematika
3) Saat berhitung biarkan anak menggunakan jariny atau
menulis di kertas
4) Biarkan ia menggunakan alat bantu seperti kalkulator
5) Belajar sambil menyanyikan materi-materi matematika
6) Les dengan guru matematika yang berpengalaman
7) Mengajarkan anak cara mengontrol kecemasannya
dalam belajar matematika
Harus disadari bahwa diperlukan usaha ekstra
membantu anak memahami matematika dengan cara lain
yang lebih mudah mengerti. Orang tua juga harus
menyakinkan anak bahwa selalu ada cara untuk bisa belajar
matematika, ini membantu mengurangi kecemasan anak
terhadap hal tersebut.

120
BAB IX
ANAK DENGAN GANGGUAN EMOSI, PERILAKU DAN
BERBAKAT

A. Gangguan Emosi dan Perilaku anak


Secara definitif anak dengan gangguan emosi dan
perilaku adalah anak yang mengalami kesulitan dalam
penyesuaian diri dan bertingkah laku tidak sesuai dengan
norma-norma yang berlaku dalam lingkungan kelompok
usia maupun masyarakat pada umumnya, sehingga
merugikan dirinya maupun orang lain, dan karenanya
memerlukan pelayanan pendidikan khusus demi
kesejahteraan dirinya maupun lingkungannya
(ditjenPLB.com, 2006).
Lebih lanjut, Hallahan & Kauffman (1988)
menjelaskan tentang karakteristik anak dengan gangguan
emosi dan perilaku, sebagai berikut:
a) Inteligensi dan Prestasi Belajar Beberapa ahli, seperti
dikutip oleh Hallahan dan Kauffman, 1988. menemukan
bahwa anak-anak dengan gangguan ini memiliki
inteligensi di bawah normal (sekitar 90) dan beberapa
di atas bright normal.
b) Karakteristik Sosial dan Emosi. Agresif, acting-out
behavior (externalizing) Conduct disorder (gangguan
perilaku) merupakan permasalahan yang paling sering
ditunjukkan oleh anak dengan gangguan emosi atau
perilaku. Perilaku-perilaku tersebut seperti: memukul,
berkelahi, mengejek, berteriak, menolak untuk

121
menuruti permintaan orang lain, menangis, merusak,
vandalisme, memeras, yang apabila terjadi dengan
frekuensi tinggi maka anak dapat dikatakan mengalami
gangguan.

B. Agresi
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, dalam artian
psikologi, agresi adalah perasaan marah atau tindakan
kasar akibat kekecewaan atau kegagalan dalam mencapai
pemuasan atau tujuan yang dapat diarahkan kepada orang
atau benda. Sementara dalam ilmu antropologi, agresi
adalah perbuatan bermusuhan yang bersifat penyerangan
fisik ataupun psikis terhadap pihak. KBBI juga
mendefinisikan agresi sebagai bentuk penyerangan suatu
negara terhadap negara lain. Secara umum, agresi adalah
interaksi sosial dengan tujuan menimbulkan kerusakan
atau kerugian lain pada individu lain. Agresi bisa bersifat
terbuka atau terselubung dan seringkali berbahaya. Agresi
diklasifikasikan menjadi dua jenis, langsung dan tidak
langsung. Agresi secara langsung ditandai dengan perilaku
fisik atau verbal yang dimaksudkan untuk menyakiti
seseorang. Sementara agresi tidak langsung ditandai dengan
perilaku fisik atau verbal yang dimaksudkan untuk menyakiti
seseorang.
Menurut para ahli yakni Robert A Baron, agresi adalah
tingkah laku individu yang ditujukan untuk melukai atau
mencelakakan individu lain yang tidak menginginkan
datangnya tingkah laku tersebut.

122
Freud mendefinisikan agresi sebagai cara pertama yang
dikenal manusia untuk mengungkapkan kemarahannya, yang
dituangkan melalui serangan fisik secara membabi-buta
terhadap obyek, benda hidup maupun mati yang
membangkitkan emosi itu.
Bruno (dalam Pristiwaluyo&Sodiq, 2005:34)
memperluas bentuk perilaku agresif atau tidak yaitu
“perilaku agresif timbul apabila suatu organisme
menyerang organisme lain atau suatu benda lain secara
fisik atau verbal dengan nada bermusuhan”. Dalam hal ini,
Bruno menekankan bahwa suatu perilaku yang menyakiti
orang lain secara verbal, seperti mencemooh, mengumpat
ataupun berteriak dengan penuh emosi baik ditujukan pada
makhluk hidup ataupun benda lainnya, maka perilaku
tersebut dapat dikatakan sebagai perilaku agresif.
Menurut Krahe (2005: 15) bahwa, “agar perilaku
seseorang memenuhi kualifikasi agresif, perilaku itu harus
dilakukaj dengan niat menimbulkan akibat negatif terhadap
targetnya, dan sebaliknya, menimbulkan harapan bahwa
tindakan itu akan menghasilkan sesuatu”. Jadi motif dari
perilaku agresif dapat kita kaitkan dengan perilaku yang
dimunculkan baik sengaja maupun tidak. Tindakan yang
disengaja untuk menyakiti orang lain tetapi tidak mengenai
sasaran tetap dikatakan bahwa perilaku tersebut termasuk
pada kriteria perilaku agresif. Begitu pula sebaliknya, jika
motifnya tidak disengaja untuk melukai orang lain maka
tindakan tersebut tidak disimpulkan sebagai perilaku
agresif. Dari pendapat tersebut, secara umum perilaku

123
agresif dilakukan secara verbal atau non verbal yang
ditujukan untuk melukai atau menyakiti orang lain. Selain
itu perlu diperhatikan terkait dengan motif yang dilakukan
dengan sengaja atau tidak sengaja untuk menyakiti orang
lain.
Marcus (2007: 10) mengatakan bahwa agresi
merupakan perilaku yang merugikan, menghancurkan, atau
mengalahkan orang lain. Sebuah perilaku agresif sering
digunakan sebagai tolak ukur perkembangan perilaku
agresif selanjutnya. Pada dasarnya perilaku agresif
merupakan perilaku yang bisa menyebabkan kerugian,
kehancuranan, atau sebuha kegiatan yang berkeinginan
mengalahkan orang lain, sehingga sebuah perilaku agresif
sering digunakan sebagai tolak ukur perkembangan
perilakug agresif selanjutnya. Menurut psikologi
perkembangan, agresif diartikan sebagai perilaku yang
dimaksudkan untuk menyalahkan atau mencederai orang
lain. Perilaku agresif hampir sama dengan kekerasan.
Perilaku agresif dan kekerasan juga berbeda dari perilaku
anti sosial yang lain seperti penggunaan obat-obat
terlarang, mencuri, merokok, minum-minuman keras, dan
merusak. Secara khas, perilaku agresif dan kekerasan
berada pada tingkat yang rendah dan sedang dalam
pengukuruan perilaku anti sosial (Huesman dan Moise
dalam Marcus, 2007:11).
Perilaku agresif juga secara umum disebut sebagai
perilaku yang cenderung bertentangan dengan norma
sosial yang berlaku di masyarakat yang memiliki potensi

124
menimbulkan ketakutan atau keresahan bagi objek yang
dikenai perlakuan atau bagi masyarakat. Akibatnya
perilaku tersebut akan memunculkan dampak yang negatif
baik secara fisik maupun secara psikis.
Karakteristik Perilaku Agresif menurut Supratiknya
(1995: 86) menyebutkan yakni anak yang berperilaku
agresif sulit untuk diatur, suka berkelahi dengan temannya,
tidak patuh, memusuhi orang lain baik secara verbal
maupun behavioral, suka untuk membalas dendam kepada
orang lain yang melakukan kesalahan padanya, vandalis,
suka berbohong, sering mencuri, temperamental, agresif,
bahkan sampai membunuh. Psikologi behavioristik
menganggap perilaku agresif merupakan perilaku yang
paling ekstrim, jelek dan tidak wajar. Perilaku agresif
antara anak laki-laki dan perempuan menduduki tingkat
yang sama tingginya ketika duduk dibangku sekolah dasar.
Peningkatan perilaku terjadi ketika berada pada usia
sekolah menengah. Akibatnya, pada laki-laki, perilaku
agresif pada masa kanak-kanak menjadi prediktor perilaku
agresif usia remaja yang konsisten sedangkan untuk
perempuan rata-rata lebih rendah daripada laki-laki
(Marcus, 2007: 45).
Menurut Marcus (2007: 11) perilaku agresif
mempunyai ciri-ciri :
a) kejadian perilaku (seperti menabrak atau mendorong),
b) perilaku non verbal yang timbal balik (seperti berkelahi
dengan menyejajarkan bahu, memandang dengan

125
sangat lama, mengepalkan tangan seperti tinju, dan
lain-lain),
c) kesadaran hubungan (seperti memperhebat alasan,
persaingan melalui sepak bola), dan
d) penjelasan motivasi (seperti tujuan) yang diikuti
pertengkaran mulut.

Oleh karenanya, ciri-ciri anak yang memiliki perilaku


agresif adalah anak yang susah diatur, suka berkelahi,
mencuri, berbohong, pendendam, vandalis, temperamental
dan sebagainya. Hal tersebut dapat menghambat anak
dalam proses belajarnya menjadi relatif berbeda dengan
anak normal. Perbedaan tersebut muncul sebagai akibat
dari gangguan emosi yang disandangnya sehingga
memunculkan ketidakmatangan sosial dan atau
emosionalnya selalu berdampak pada keseluruhan perilaku
dan pribadinya, termasuk dalam perilaku belajarnya. Hal
tersebut kemudian memiliki pengaruh dalam hal proses
pembelajaran yang diselenggarakan. Anak dengan perilaku
agresif tidak memiliki kematangan dalam aspek sosial atau
emosional jelas akan menghambat kesiapan psikologisnya,
sehingga optimalisasi proses belajarnya juga akan
terhambat. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa anak
dengan perilaku agresif cenderung memiliki prestasi
belajar yang rendah.
Bila kita menemukan anak yang mengidikasikan
perilaku yang tidak biasa dari sebelumnya serta
menunjukkan sikap bermusuhan yang berlebihan ada

126
baiknya kita memahami dulu penyebab dan sumbernya dan
jika perilaku anak sudah melewati batas kewajaran perlu
untuk membawa anak ke tenaga professional atau ahli
seperti dokter atau psikolog.

C. Depresi
Depresi adalah gangguan suasana hati (mood) yang
ditandai dengan perasaan sedih yang mendalam dan rasa tidak
peduli. Semua orang pasti pernah merasa sedih atau murung.
Seseorang dinyatakan mengalami depresi jika sudah 2
minggu merasa sedih, putus harapan, atau tidak berharga.
Depresi yang dibiarkan berlanjut dan tidak mendapatkan
penanganan bisa menyebabkan terjadinya penurunan
produktifitas kerja, gangguan hubungan sosial , hingga
munculnya keinginan untuk bunuh diri. Depresi bisa
menyerang siapa saja, termasuk wanita. Depresi pada
wanita sering dikaitkan dengan perubahan hormonal,
termasuk menstruasi, kehamilan, setelah kehamilan, atau
menopause. Namun, sampai saat ini belum ada penelitian
yang memastikan penyebab lebih seringnya depresi terjadi
pada wanita.
Ada ciri-ciri psikologi dan fisik yang menunjukkan
seseorang terkena depresi. Ciri-ciri psikologi seseorang
yang mengalami depresi adalah:
- Mengalami kecemasan dan kekhawatiran yang
berlebihan
- Tidak stabil secara emosional
- Merasa putus asa atau frustrasi

127
- Selalu merasa lelah dan tak bertenaga
- Mengalami pusing dan rasa nyeri tanpa penyebab yang
jelas
- Menurunnya selera makan
Depresi lebih sering dialami oleh orang dewasa,
namun banyak juga terjadi pada anak. Penyebabnya diduga
berhubungan dengan faktor genetik, hormon, dan zat kimia
di otak. Beberapa faktor pemicu terjadinya depresi, di
antaranya:
a) Mengalami peristiwa traumatis
b) Memiliki penyakit kronis atau serius
c) Mengonsumsi jenis obat tertentu
d) Memiliki riwayat gangguan mental lainnya
e) Memiliki tekanan batin, misalnya karena masalah
keuangan, masalah rumah tangga.
Depresi yang terjadi pada anak dapat membatasi
kemampuannya untuk beraktivitas secara normal. Kondisi
ini bisa terjadi karena beberapa faktor, mulai
dari bullying di sekolah, kekerasan dan pertengkaran yang
terus menerus terjadi dalam rumah tangga, pelecehan
seksual, perceraian orang tua, pola asuh anak yang salah,
kematian orang yang dicintai. Selain itu, depresi pada anak
juga bisa disebabkan oleh gangguan mental lain,
misalnya sindrom Tourette, bipolar pada anak, autisme, dan
ADHD.
Gejala Umum Depresi pada Anak
Kondisi anak yang depresi sering kali tidak disadari. Hal ini
dikarenakan anak-anak belum dapat menyampaikan

128
perasaannya dengan baik. Oleh karena itu, orang tua perlu
mencermati perubahan emosi dan perilaku anak.
Gejala depresi pada anak dapat dibagi menjadi gejala fisik
dan gejala mental. Berikut adalah penjelasannya:
Gejala fisik
Beberapa gejala fisik depresi pada anak yang perlu
diwaspadai adalah sering sakit perut, sering sakit kepala,
berat badan tidak bertambah atau terlihat semakin kurus,
nafsu makan berkurang atau justru bertambah dengan
cepat, terlihat letih, dan sulit tidur.
Gejala mental
Gejala mental dari depresi pada anak antara lain adalah:
 Menjadi mudah mengamuk, terlebih jika dirinya
dikritik.
 Merasa sedih bahkan putus asa.
 Tidak mau atau tidak mampu menyelesaikan tugas
sekolah.
 Sering berbohong.
 Kehilangan minat dalam melakukan hobi atau
aktivitas yang sebelumnya digemari.
 Lebih suka menyendiri dan enggan berinteraksi atau
bergaul dengan teman-teman sebayanya, bahkan
dengan keluarganya.
 Sulit berkonsentrasi.
 Memiliki pikiran untuk menyakiti diri sendiri.
 Merasa sangat bersalah dan menganggap dirinya
tidak berharga.
 Sering terlihat gelisah atau cemas.

129
Anak dapat dicurigai mengalami depresi bila gejala-gejala
tersebut berlangsung hingga lebih dari 2 minggu, serta
mengganggu aktivitas anak sehari-hari. Apabila tidak
ditangani, gejala depresi pada anak bisa semakin parah.
Perawatan Anak yang Depresi
Jika anak menunjukkan gejala yang dicurigai sebagai
depresi, maka sebaiknya orang tua segera membawa anak
ke psikolog atau psikiater anak.
Jika anak terdiagnosis mengalami depresi, maka ia perlu
mendapatkan perawatan dan pengobatan. Beberapa
langkah penanganan yang bisa dilakukan untuk mengatasi
depresi pada anak adalah:
 Konseling dan psikoterapi, termasuk terapi perilaku
kognitif.
 Terapi bermain.
 Pemberian obat-obatan antidepresan.
Perawatan yang disarankan untuk anak dengan depresi
akan disesuaikan dengan berat ringannya gejala depresi,
respon anak terhadap terapi, serta kemampuan anak untuk
mengikuti sesi terapi dengan baik.
Pentingnya Dukungan Orang Tua
Peran orang tua sangat penting dalam proses pemulihan
depresi pada anak. Orang tua perlu mendampingi dan
memberi dukungan pada anak yang sedang depresi.
Terapi depresi membutuhkan waktu sebelum hasilnya
dapat terlihat. Oleh karena itu, orang tua perlu bersabar dan
memberikan dukungan emosional pada anak selama proses
terapi.

130
Orang tua juga perlu memastikan anak mengonsumsi
makanan bergizi, cukup tidur, rutin berolahraga, dan
memiliki kesempatan untuk melakukan hobinya. Hal ini
akan memberikan efek positif pada suasana
hatinya. Olahraga rutin yang menyenangkan, seperti
bermain balance bike, bisa menjadi salah satu pilihan untuk
mendukung kondisi fisik dan mental anak.
Ketika anak mengalami depresi, orang tua tentu akan ikut
prihatin, sedih, bahkan frustasi. Namun, cobalah untuk tetap
sabar dan mengerti kondisi anak, karena hubungan yang
positif dengan orang tua akan sangat membantu anak dalam
mengatasi depresi.

D. Tantrum
Tantrum adalah keadaan ketika anak meluapkan
emosinya dengan cara menangis kencang, berguling-guling
di lantai, hingga melempar barang. Kondisi ini normal dan
merupakan bagian dari proses perkembangan anak.
Tantrum biasanya dialami oleh anak yang berusia 1-4 tahun.
Namun, tidak hanya pada anak-anak, orang dewasa pun bisa
mengalami tantrum. Ketika Si Kecil mengalami tantrum,
Bunda sebaiknya jangan panik dan ikut terbawa emosi. Ada
beberapa cara yang bisa Bunda lakukan untuk mengatasi
tantrum pada anak.
Tantrum umumnya disebabkan oleh terbatasnya
kemampuan bahasa anak untuk mengekspresikan
perasaannya. Sehingga mereka hanya bisa meluapkan
emosinya dengan cara meronta, berteriak, menangis,

131
menjerit, serta menghentakkan kedua kaki dan tangannya
ke lantai. Pada kasus tertentu, tantrum pada anak mungkin
bisa disebabkan oleh gangguan perilaku atau masalah
psikologis, seperti autisme dan depresipsikologis, seperti
autisme.
Selain itu, tantrum juga bisa menjadi ajang anak
melakukan observasi dan mengenali cara mendapatkan
keinginanannya. Misalnya, saat anak mengamuk untuk
mendapatkan sesuatu dan Bunda menuruti keinginannya, ia
akan mengulangi cara tersebut di kemudian hari. Jika terus
dibiarkan, hal tersebut bisa menjadi kebiasaan buruk bagi Si
Kecil.
Cara mengatasi tantrum pada anak, Tantrum pada
anak tidak boleh dibiarkan terus-menerus karena bisa
menjadi kebiasaan yang buruk dan memengaruhi
perkembangannya di kemudian hari. Bunda bisa
mencoba menghentikan tantrum pada anak dengan
melakukan beberapa cara berikut:
a. Tetap tenang : Saat anak tantrum, Bunda harus tetap
tenang dan jangan membalas berteriak atau memaksa
anak menghentikan amukannya. Sikap yang tenang akan
membuat tantrum Si Kecil lebih mudah untuk diatasi.
Bunda juga bisa mengajak Si Kecil ke tempat yang lebih
sepi dan tenang guna menenangkan emosinya.
b. Cari tahu penyebab tantrum : Beragam hal bisa menjadi
penyebab tantrum pada anak, seperti keinginan yang
tidak terpenuhi atau adanya perasaan lapar dan
mengantuk yang sulit diungkapkan. Jika anak belum bisa

132
berbicara, salah satu cara untuk mengenali penyebabnya
adalah dengan menanyakan secara langsung, “Kamu
lapar?” atau “Kamu masih ngantuk?”. Anak mungkin akan
mengangguk atau menggeleng. Jika penyebab tantrum
anak diketahui, maka Bunda akan lebih mudah
mengatasinya.
c. Alihkan perhatian Si Kecil : Anak kecil sangat mudah
melupakan sesuatu dan tertarik pada hal baru. Bunda
bisa memanfaatkan hal ini untuk mengalihkan
perhatiannya saat tantrum. Misalnya, Bunda bisa
memberikan mainan yang sudah lama tidak dimainkan
atau memberikan camilan kesukaannya saat anak
berteriak, marah, atau terlihat rewel.
d. Jangan memukul anak : Untuk mengatasi tantrum, pola
asuh otoritatif lebih cocok untuk diterapkan. Jadi, jangan
memukul atau mencubitnya. Ini justru dapat
membuat anak jadi suka memukul untuk
menyampaikan keinginannya. Sebagai gantinya, Bunda
bisa memeluk atau mencium Si Kecil untuk menenangkan
emosinya. Selain menenangkan, pelukan dan ciuman juga
bisa menjadi cara untuk menunjukkan bahwa Bunda
benar-benar peduli dan mencintai mereka. Jika tantrum
pada anak tampak terlalu sering, atau membuatnya
menyakiti dirinya atau orang lain, Bunda sebaiknya
berkonsultasi dengan dokter anak untuk mendiskusikan
perilaku tersebut dan cara tepat menanganinya.

133
Salah satu gangguan emosi yang terjadi pada
anak sering juga disebut sebagai anak yang tunalaras,
yang memiliki emosi dan perilaku seperti :
a. Cenderung membangkang.
b. Mudah terangsang emosinya/mudah marah.
c. Sering melakukan tindakan agresif, merusak,
mengganggu.
d. Sering bertindak melanggar norma sosial/norma
susila/hukum.
e. Prestasi belajar dan motivasi belajar cenderung
rendah, sering membolos atau jarang masuk sekolah.
Kebutuhan pembelajaran anak tunalaras yang
harus diperhatikan guru antara lain adalah:
a. Perlu adanya penataan lingkungan yang kondusif
(menyenangkan) bagi setiap anak.
b. Kurikulum hendaknya disesuaikan dengan hambatan
dan masalah yang dihadapi oleh setiap anak.
c. Adanya kegiatan yang bersifat kompensatoris sesuai
dengan bakat minat anak.
d. Perlu adanya pengembangan akhlak atau mental
melalui kegiatan sehari-hari dan contoh dari
lingkungan fisik.

E. Konsep dan Perkembangan Anak Berbakat (Gifted)


Batasan anak berbakat secara umum adalah “mereka yang
karena memiliki kemampuan-kemampuan yang unggul mampu
memberikan prestasi yang tinggi”. Istilah yang sering
digunakan bagi anak-anak yang memiliki kemampuan

134
kemampuan yang unggul atau anak yang tingkat kecerdasannya
di atas rata-rata anak normal, diantaranya adalah; cerdas,
cemerlang, superior, supernormal, berbakat, genius, gifted,
gifted and talented, dan super. Secara intelegensi menunjukkan
kemampuan yang luar biasa. Inteligensi sendiri menurut Binet
dan Simon sebagai kemampuan untuk mengarahkan fikiran
atau tindakan, serta kemampuan untuk mengubah arah
tindakan bila tindakan tersebut dilaksanakan, dan kemampuan
untuk mengeritik diri sendiri atau melakukan autocriticsm.
Menurut Binet, intelligensi merupakan sisi tunggal dari
karakteristik yang terus berkembang sejalan dengan proses
kematangan seseorang. Intelligensi dipandang sebagai sesuatu
yang fungsional sehingga memungkinkan orang lain untuk
mengamati dan menilai tingkat perkembangan individu
berdasar suatu kriteria tertentu.
Pada anak berbakat, precocity menunjukkan
perkembangan yang sangat cepat. Beberapa anak gifted
memperlihatkan precocity dalam area perkembangan seperti;
bahasa, musik, atau kemampuan matematika. b. Martison
dalam SC. Utami Munandar (1982; 7) “Anak berbakat ialah
mereka yang diidentifikasi oleh orang-orang profesional
memiliki kemampuan yang sangat menonjol, sehingga
memberikan prestasi yang tinggi. Anak-anak ini membutuhkan
program pendidikan yang berdiferensiasi dan atau pelayanan
di luar jangkauan program sekolah yang biasa, agar dapat
mewujudkan sumbangannya terhadap diri sendiri maupun
terhadap masyarakat”.

135
Anak berbakat menurut konsep dari Renzulli ialah anak
yang memiliki kecerdasan diatas rata-rata, kreatifitas dan task
commitment yang tinggi. Kecerdasan berhubungan erat dengan
kognitif. Namun ada perbedaan antara proses konitif dan
inteligensi, yaitu proses kognitif adalah proses terbentuknya
pengertian melalui pengalaman/belajar dengan melibatkan
pengindraan dan persepsi visual, auditori, kinestetik dan
taktual. Sedangkan Inteligensi adalah kemampuan yang bersifat
potensial dalam memcahkan masalah (primary mental abilities).
Anak berbakat memiliki kemampuan lebih cepat dari
anak-anak seusianya. Berikut karakteristik kognitif anak
berbakat.
a. Menunjukkan atau memiliki ide-ide yang orisinal, gagasan-
gagasan yang tidak lazim, pikiran-pikiran kreatif.
b. Mampu menghubungkan ide-ide yang nampak tidak
berkaitan menjadi suatu konsep yang utuh.
c. Menunjukkan kemampuan bernalar yang sangat tinggi.
d. Mampu menggeneralisir suatu masalah yang rumit menjadi
suatu hal yang sederhana dan mudah dipahami.
e. Memiliki kecepatan yang sangat tinggi dalam memecahkan
masalah
f. Menunjukkan daya imajinasi yang luar bisa.
Istilah kemampuan dan kecerdasan luar biasa sering
dipadankan dengan istilah “gifted” atau berbakat. Meskipun
hingga saat ini belum ada satu definisi tunggal yang mencakup
seluruh pengertian anak berbakat. Sebutan lain bagi anak gifted
ini misalnya genius, bright, dan talented.

136
Anak cerdas dan berbakat istimewa atau disebut juga
sebagai gifted and talented children memiliki ciri-ciri sebagai
berikut:
a. Membaca pada usia lebih muda, lebih cepat dan memiliki
perbendaharaan kata yang luas.
b. Memiliki rasa ingi tahu yang kuat, minat yang cukup tinggi.
c. Mempunyai inisiatif, kreatif dan original dalam
menunjukkan gagasan.
d. Mampu memberikan jawaban-jawaban atau alasan yang
logis, sistematis dan kritis.
e. Terbuka terhadap rangsangan-rangsangan dari lingkungan.
f. Dapat berkonsentrasi untuk jangka waktu yang panjang,
terutama terhadap tugas atau bidang yang diminati.
g. Senang mencoba hal-hal baru.
h. Mempunyai daya abstraksi, konseptualisasi dan sintesis
yang tinggi.
i. Mempunyai daya ingatan yang kuat.
j. Senang terhadap kegiatan intelektual dan pemecahan-
pemecahan masalah.
k. Cepat menangkap hubungan sebab akibat.
l. Tidak cepat puas atas prestasi yang dicapai.
m. Dapat menguasai dengan cepat materi pelajaran.
Semua sebutan ini menurut Soemantri (2006) merujuk
kepada adanya keunggulan kemampuan yang dimiliki
seseorang. Satu ciri yang paling umum diterima sebagai ciri
anak berbakat ialah memiliki kecerdasan yang lebih tinggi dari
anak normal, sebagaimana di ukur oleh alat ukur kecerdasan
(IQ) yang sudah baku. Pada mulanya memang tingkat

137
kecerdasan (IQ) dipandang sebagai satu-satunya ukuran anak
berbakat. Pandangan ini disebut pandangan berdimensi tunggal
tentang anak berbakat.
Kebutuhan pembelajaran anak cerdas istimewa dan
bakat istimewa adalah sebagai berikut:
a. Program pengayaan horisontal, yaitu:
1) Mengembangkan kemampuan eksplorasi.
2) Mengembangkan pengayan dalam arti memperdalam
dan memperluas hal-hal yang ada di luar kurikulum
biasa.
3) Executive intensive dalam arti memberikan kesempatan
untuk mengikuti program intensif bidang tertentu yang
diminaati secara tuntas dan mendalam dalam waktu
tertentu.
b. Program pengayaan vertikal, yaitu:
1) Acceleration, percepatan/maju berkelanjutan dalam
mengikuti program yang seseuai dengan
kemampuannya, dan jangan dibatasi oleh jumlah waktu
atau tingkatan kelas.
2) Independent study, memberikan seluas-luasnya kepada
anak untuk belajar dan menjelajahi sendiri bidang yang
diminati.
3) Mentorship, memadukan antara yang diminati anak
cerdas dan berbakat istimewa dengan para ahli yang ada
di masyarakat.

138
BAB X
ANAK DENGAN AUTISME

A. Pengertian Autisme
Autisme berasal dari bahasa Yunani, yaitu autos yang
berarti “self”. Istilah ini digunakan pertama kali pada
tahun1906 oleh psikiater swiss uegen Bleuler, untuk
merujuk pada gaya berpikir yang aneh pada penderita
skizofrenia. Sehingga autisme identik dengan cara berfikir
autistic yaitu kecenderungan untuk memandang diri sendiri
sebagai pusat dari dunia, percaya bahwa kejadian-kejadian
eksternal mengacu kepada diri sendiri. Kemudian pada
tahun 1943, psikiater lain, Leo Kanner, menerapkan
diagnosis “autisme infantile awal” kepada sekelompok anak
yang terganggu yang tampaknya tidak dapat berhubungan
dengan orang lain, seolah-olah mereka hidup dalam dunia
mereka sendiri.
Hal yang menarik dari autisme yaitu gejala ini lebih
banyak ditemukan pada anak laki-laki dibandingkan anak
perempuan dengan perbandingan 3:1. Di Pensylvania,
Amerika Serikat, jumlah anak-anak autisma dalam lima
tahun terakhir meningkat sebesar 500%, menjadi 40 dari
10.000 kelahiran. Apalagi di Indonesia yang diperkirakan
jumlah anak dengan kelainan ini lebih banyak daripada di
Amerika Serikat, karena faktor-faktor penyebab dari
hambatan perkembangan perilaku anak lebih tinggi. Di
dunia sudah ada lebih kurang 35 juta orang yang memiliki
kelainan autis. Hingga kini,diperkirakan jumlah ini akan

139
terus bertambah mengingat semakin sadarnya orang tua
untuk memeriksa kelainan yang ada pada anaknya, baik itu
ke dokter, psikolog maupun mencari tau dari berbagai
sumber yang ada di media sosial.
Autisme sendiri merupakan gangguan perkembangan
berat yang meliputi berbagai aspek yang mempengaruhi
cara seseorang untuk berkomunikasi dan berelasi
(berhubungan) dengan orang lain secara berarti serta
kemampuannya untuk membangun hubungan dengan orang
lain terganggu karena ketidakmampuannya berkomunikasi
dan untuk mengerti perasaan orang lain
Ada tiga pengertian autisme :
a. Cara berpikir yang dikendalikan oleh kebutuhan
personal atau diri sendiri.
b. Menanggapi dunia berdasarkan penglihatan dan
harapan sendiri dan menolak realitas.
c. Keasyikan ekstrim dengan pikiran dan fantasi sendiri.
Dalam buku Pedoman Penggolongan dan Diagnosis
Gangguan Jiwa di Indonesia III, autisme digolongkan dalam
gangguan perkembangan pervasif dengan kode F.84.
Gangguan perkembangan pervasif sendiri adalah gangguan
yang ditandai dengan kelainan kualitatif dalam interaksi
sosial yang timbal balik dan dalam pola komunikasi, serta
minat dan aktivitas terbatas, stereotipik, berulang yang
menunjukkan gambaran yang pervasif dari fungsi-fungsi
individu dalam semua situasi dengan derajat keparahan
yang berbeda-beda yang muncul sebelum usia 3 tahun.

140
DSM-IV (Diagnostic and Statistic Manual) yang
dikeluarkan oleh The American Psychiatric Assosiation
mengungkapkan Ada 3 kriteria diagnostik yang dapat
digunakan untuk merumuskan pengertian autism,
diantaranya
a. Harus ada sedikitnya 6 gejala dari (1), (2) dan (3)
dengan minimal dua gejala dari (1) dan masing-masing
satu gejala dari (2) dan (3), yaitu :
1. Gangguan kualitatif dalam interaksi sosial yang
timbal balik. Minimal harus ada dua gejala dibawah
ini:
a) Tidak mampu menjalin interaksi sosial yang
cukup memadai atau adanya kegagalan
penggunaan isyarat-syarat non-verbal seperti
kontak mata, ekspresi wajah, gerakan, dan sikap
tubuh dalam membangaun hubungan atau
interaksi sosial.
b) Gagal dalam membangun atau hubungan dengan
teman sebaya.
c) Ketidak mampuan dalam menilai ekspresi
bahagia orang lain.
d) Rendahnya kemampuan membangun hubungan
sosial dan emosional yang timbal balik.
2. Gangguan kualitatif dalam bidang komunikasi,
minimal harus ada satu gejala dari gejala-gejala
berikut ini:
a) Perkembangan bicara terlambat atau sama sekali
tidak berkembang. Anak tidak berusaha untuk

141
mencri alternatif dalam berkomunikasi seperti
penggunaan bahasa non-verbal.
b) Bila anak pada akhirnya dapat bicara, ia tidak
dapat membangun atau mempertahankan
percakapan atau berkomunikasi dengan orang
lain.
c) Adanya penggunaan bahasa yang stereotip dan
berulang-ulang atau bahasa yang aneh.
d) Keterbatasan dalam variasi bermain dimana
tidak ada permainan imajinasi dan imitasi.
3. adanya suatu pola tertentu yang dipertahankan dan
diulang-ulang (stereotyped & repetitive) dalam hal
perilaku, minat dan kegiatan. Minimal harus ada
satu dari gejala-gejala berikut:
a) Preokupasi pada satu minat atau lebih dengan
pola-pola yang khas dan berlebihan atau
cenderung tidak normal baik dalam segi fokus
atau minat.
b) Terpaku pada satu kegiatan atau ritualistik
kompulsif yang khusus atau rutinitas yang tidak
ada gunanya.
c) Adanya gerakan atau tindakan aneh tertentu
yang dilakukan berulang-ulang, seperti bertepuk
tangan, memutar tangan atau keseluruhan gerak
tubuh yang kompleks.
d) Preokupasi atau seringkali terpaku pada bagian-
bagian suatu benda.

142
b. Sebelum usia 3 tahun tampak adanya keterlambatan
atau fungsi-fungsi abnormal dalam bidang:
1. Interaksi sosial
2. Bahasa yang biasa digunakan dalam komunikasi
sosial
3. Bermain simbolik atau imajinasi
c. Bukan disebabkan oleh sindroma Rett atau gangguan
disintegratif pada masa kanak-kanak.
Sindroma Rett, menyakiti diri sendiri ketika tantrum

B. Ciri-ciri Autisme
Banyak sekali variasi gejala yang diperlihatkan oleh
anak autis. Ciri-ciri anak autis, diantaranya:
a. Mengalami hambatan di dalam bahasa.
b. Kesulitan dalam mengenal dan merespon emosi dengan
isyarat sosial.
c. Kekakuan dan miskin dalam mengekspresikan
perasaan.
d. Kurang memiiki perasaan dan empati.
e. Sering berperilaku di luar kontrol dan meledak-ledak.
f. Secara menyeluruh mengalami maslah dalam perilaku.
g. Kurang memahami akan keberadaan dirinya sendiri.
h. Keterbatasan dalam mengekspresikan diri.
i. Beperilaku monoton dan mengalami kesulitan untuk
beradaptasi dengan lingkungan.

143
Ciri utama dari anak autisme :
a. gerakan stereotipe berulang yang tidak memiliki tujuan
seperti ;
1. berulang-ulang memutar benda,
2. mengepakkan tangan,
3. berayun kedepan dan kebelakang dengan memeluk
kaki.
b. Sebagian anak autistik menyakiti diri sendiri, bahkan
saat mereka berteriak kesakitan. Mereka mungkin ;
1. membenturkan kepala,
2. menampar wajah
3. menggigit tangan dan pundak,
4. atau menjambak rambut mereka.
Menurut Kanner, ada 6 ciri utama perilaku anak
autisme
1. ketidakmampuan menjalin hubungan sosial,
2. kegagalan menggunakan bahasa secara normal untuk
berkomunikasi,
3. keinginan yang bersifat obsesif untuk mempertahankan
sesuatu yang sama,
4. terpesona atau sangat tertarik pada objek-objek
tertentu,
5. mempunyai potensi kognitif yang baik,
6. ciri-ciri tersebut tampak sebelum anak berusia 30 bulan.
Autisme dikategorikan dalam gangguan
perkembangan perspasif yaitu kelainan kualitatif dalam
interaksi sosial yang timbal balik (reciprocal) dan dalam

144
pola komunikasi serta minat dan aktivitas yang terbatas
stereotipik dan berulang.
Penyandang autisma mempunyai karakteristik antara
lain:
a. Selektif berlebihan terhadap rangsang.
b. Kurangnya motivasi untuk menjelajahi lingkungan baru.
c. Respon stimulasi diri sehingga mengganggu integrasi
sosial.
d. Respon unik terhadap imbalan (reinforcement).

Kelainan anak autisme :


a. Kelainan berbicara
1. Keterlambatan serta penyimpangan dalam berbicara
menyebabkan anak autistik sukar berkomunikasi
serta tidak mampu memahami percakapan orang
lain.
2. Walaupun pengucapan kata cukup baik, namun
banyak mempunyai hambatan saat mengungkapkan
perasaan diri melalui bahasa lisan. Dengan demikian
sepertinya anak autistik mengalami afasia (aphasia),
kehilangan kemampuan untuk memahami kata-kata
disebabkan adanya kelainan pada saraf otak.
b. Kelainan fungsi saraf dan intelektual
1. Umumnya anak autistik mengalami keterbelakangan
mental, kebanyakan mempunyai skor IQ 50.
2. Mereka tergolong tidak mempunyai kecakapan
untuk memahami benda-benda abstrak atau
simbolik.

145
3. Namun di sisi lain mereka mampu memecahkan
teka-teki yang rumit
4. dan mampu mengalikan suatu bilangan.

c. Perilaku yang ganjil


1. Anak autistik akan mudah sekali marah bila ada
perubahan yang dilakukan pada situasi atau
lingkungan tempat ia berada sekecil apapun.
2. Mereka sangat tergantung pada sesuatu yang khas
bagi dirinya. Seringkali anak autistik juga
menunjukkan sikap yang berulang-ulang.
d. Interaksi sosial
1. anak autistik kurang suka bergaul dan sangat
terisolasi dari lingkungan hidupnya ,
2. terlihat kurang ceria,
3. tidak pernah menaruh perhatian atau keinginan
untuk menghargai perasaan orang lain,
4. dan suka menghindar dengan orang-orang
sekitarnya sekalipun itu saudaranya sendiri.
Jenis-jenis Autisme :
a. Berdasarkan waktu munculnya gangguan
b. Dilihat dari jenis perilaku anak
Berdasarkan waktu munculnya gangguan
1. autisme sejak bayi
2. autisme regresif
Dilihat dari jenis perilaku anak :
a. perilaku yang excessive (berlebihan)
1. hiperaktif,

146
2. tantrum (mengamuk) berupa ;
b) menjerit,
c) menyepak,
d) menggigit,
e) mencakar,
f) memukul
g) dan terjadi anak menyakiti diri sendiri (self
abuse)
b. perilaku yang deficit (berkekurangan) ditandai dengan :
1. gangguan bicara,
2. perilaku sosial kurang sesuai (naik ke pangkuan Ibu
bukan untuk kasih sayang tapi untuk meraih kue),
3. deficit sensoris sehingga dikira tuli,
4. bermain tidak benar dan emosi yang tidak tepat,
misalnya tertawa tanpa sebab dan melamun.

Gangguan Perkembangan pada Anak Autisme


(Trias Autisme)

Gangguan pada Gangguan pada


Ganggua
Kemampuan kemampuan perilaku
Interaksi Sosial dan minat
Gangguan pada
kemampuan berkomunikasi
dan bahasa

Gangguan pada Kemampuan Interaksi Sosial


a. Kontak mata kurang, anak Autisme bila diajak bicara
tidak mau menatap muka lawan bicara.

147
b. Tidak selalu menegok bila dipanggil lebih suka bermain
sendiri, anak Autisme sulit berinteraksi dengan teman
sebayanya dalam bermain.
c. Ekspresi wajahnya kurang hidup
d. Sering menolak bila dipeluk
e. Tidak tertarik pada mainan
f. Bermain dengan benda-benda yang bukan mainan anak-
anak
g. Kadang-kadang anak ini suka melakukan ekspresi:
menangis, tertawa sendiri, marah-marah tanpa sebab.
Gangguan pada Kemampuan Berkomunikasi dan
Berbahasa
1. Kemampuan bicaranya terlihat terlambat dibanding
anak seusianya
2. Bicara dengan bahasa yang tidak dimengerti orang lain
3. Bila anak bisa bicara sering tidak mengerti arti kata yang
diucapkannya
4. Sulit bila diajak berdialog
5. Echolalia (meniru perkataan orang lain) atau membeo
6. Bila anak ingin sesuatu dia akan menarik tangan orang
lain yang ada didekatnya dan diarahkan pada apa yang
diinginkan
7. Kemampuan bahasa isyaratnya tidak berkembang
8. Tata bahasanya kacau
Gangguan pada Kemampuan Perilaku dan Minat
1. segala sesuatu yang diekspresikan melalui perkataan
dan perbuatan dan semuannya itu dapat kita lihat,

148
rasakan, dan kita dengar baik olah diri sendiri atau
orang lain.
2. Perilaku tersebut bisa berlebihan atau berkekurangan
Penyebab autisme menurut Leo Kanner (1943),
penyebab gangguan Autisme adalah adanya pengaruh
psikogenik sebagai penyebab terjadinya gangguan Autisme
seperti :
a. orangtua yang emosional,
b. kaku, dan
c. obsesif dalam mengasuh anak mereka.
Namun pada dasarnya penyebab autisme sampai saat
ini belum dapat diketahui secara pasti dan masih
diperdebatkan penyebab utama dari gangguan autisme
pada anak.
Ada beberapa faktor predisposisi yang
memungkinkan terjadinya autisme, yaitu:
a. faktor genetik,
b. faktor hormonal,
c. kelainan pranatal,
d. proses kelahiran yang kurang sempurna,
e. serta penyakit tertentu yang diderita sang Ibu ketika
mengandung atau melahirkan sehingga menimbulkan
gangguan pada perkembangan susunan saraf pusat
yang mengakibatkan fungsi otak terganggu.
Faktor genetic
1. Beberapa teori terakhir mengatakan bahwa faktor
genetika memegang peranan penting pada terjadinya
autisme.

149
2. Ditemukan 20 gen yang terkait dengan autisme, namun
gejala autisme baru bisa muncul jika terjadi kombinasi
banyak gen
3. bisa saja autisme tidak muncul, meski anak membawa
gen autisme, jadi perlu faktor pemicu lainnya.
4. Bayi kembar satu telur akan mengalami gangguan
autisme mirip dengan saudara kembarnya,
5. juga ditemukan beberapa anak dalam satu keluarga
besar mengalami gangguan yang sama.
Faktor Kesehatan
1. Pengaruh virus seperti rubella toxo, herpes, dapat
menyebabkan terjadinya autisme
2. jamur,
3. nutrisi yang buruk,
4. pendarahan,
5. keracunan makanan, dan sebagainya pada kehamilan
dapat menghambat pertumbuhan sel otak yang dapat
menyebabkan fungsi otak bayi yang dikandung
terganggu terutama fungsi pemahaman, komunikasi, dan
interaksi.
Kelainan anatomis
1. Dari penelitian yang dilakukan oleh para pakar dari
banyak negara, diketemukan beberapa fakta yaitu
adanya kelainan anatomis pada lobus parietalis,
cerebellum dan sistem limbiknya.
2. 43% penyandang autisme mempunyai kelainan pada
lobus parietalis otaknya yang menyebabkan anak cuek
terhadap lingkungannya.

150
C. Penanganan anak autisme
Anak autis membutuhkan pembelajaran khusus antara
lain sebagai berikut:
a. Diperlukan adanya pengembangan strategi untuk
belajar dalam seting kelompok.
b. Perlu menggunakan beberapa teknik, di dalam
menghilangkan perilaku-perilaku negatif yang muncul
dan mengganggu kelangsungan proses belajar secara
keseluruhan (stereotip).
c. Guru perlu mengembangkan ekspresi dirinya secara
verbal dengan berbagai bantuan.
d. Guru terampil mengubah lingkungan belajar yang
nyaman dan menyenagkan sehingga tingkah laku anak
dapat dikendalikan pada hal yang diharapkan.

Terapi autisme
Terapi Autisme menurut Tjhin Wiguna (2002) adalah
penatalaksanaan anak dengan gangguan Autisme secara
terstruktur dan berkesinambungan untuk mengurangi
masalah perilaku dan untuk meningkatkan kemampuan
belajar dan perkembangan anak sesuai atau paling sedikit
mendekati anak seusianya dan bersifat multi disiplin.
Adapun tujuan dari terapi Autisme adalah mengurangi
masalah perilaku dan meningkatkan kemampuan belajar
serta meningkatkan perkembangan anak agar sesuai atau
paling sedikit mendekati anak seusianya.

151
Jenis terapi autisme
a. Terapi perilaku berupa ABA (Applied Behaviour
Analysis);
Terapi ABA termasuk bagian dari terapi perilaku
yang didasarkan atas proses belajar dan mempunyai
tujuan mengubah perilaku yang tidak diinginkan
menjadi perilaku yang diinginkan. Pada umumnya
terapi perilaku ini ditujukan untuk dua hal yaitu :
1) mengurangi atau menghilangkan perilaku yang
berlebihan (mengamuk, agresif, melukai diri sendiri,
teriak-teriak, hiperaktif tanpa tujuan dan perilaku
lain yang tidak bermanfaat);
2) memunculkan perilaku yang masih berkekurangan
yaitu: belum bisa bicara, belum merespon bila diajak
bicara, kontak mata yang kurang, tidak punya
inisiatif, tidak bisa berinteraksi wajar dengan
lingkungannya/ kurang mampu bersosialisasi.

Jenis terapi perilaku


a) Terapi Okupasi menerapkan pendekatan Sensory
Integration (SI)
b) Terapi Wicara
c) Sosialisasi dengan menghilangkan perilaku yang
tidak wajar
1) Untuk menghilangkan perilaku yang tidak dapat
diterima oleh umum, perlu di mulai dari
kepatuhan dan kontak mata.

152
2) Kemudian di berikan pengenalan konsep atau
kognitif melalui bahasa reseptif dan ekspresif.
Setelah itu barulah anak dapat diajarkan hal-hal
yang bersangkutan dengan tata krama dan
sebagainya.

b. Terapi biomedik (medikamentosa);


Terapi Biomedik merupakan bagian dari terapi
penggunaan obat-obatan atau vitamin (obat, vitamin,
mineral, food supplement)

Filosofi dari terapi biomedik


Berdasarkan temuan dari berbagai penelitian
dalam bidang biologis, serta bukti-bukti yang didapat
dari pemeriksaan laboratorium, maka terjadi perubahan
paradigma dalam penanganan gangguan spektrum
Autisme.
Paham yang sudah banyak diakui saat ini adalah
bahwa autisme adalah sindrom yang komplek yang
didasari atas adanya gangguan fisiologis serta biokimia
yang mempengaruhi hasil akhir dalam gangguan
kognitif, perilaku dan emosionalnya, sehingga gangguan
biologisnya yang harus dibenahi.
Terapi biomedik meliputi :
a. Pemberian obat-obatan (sesuai dengan gejala-gejala
klinis/hasil laboratorium yang ditemukan). Juga bisa
diberikan:
1) psikotropika,

153
2) antibiotik,
3) anti jamur,
4) anti virus,
5) anti parasit.
b. Pengaturan diet tanpa pengawet, tanpa pewarna
buatan, pengaturan makanan dengan cara eliminasi
sementara dan rotasi, dll;
c. Pemberian Enzim pencernaan;
d. Pemberian Vitamin dan Mineral;
e. Asupan lain, misalnya asam lemak esensial, asam
amino, antioksidan, probiotik, dll;
f. Perbaikan fungsi imunologi, sesuai dengan
gangguannya;
g. Chelation (Pengeluaran logam berat).

Terapi lumba-lumba "dolphin therapy".


a) Getaran dolphin dapat menyembuhkan sel manusia.
Getaran sonar dolphin yang unik dapat
mengidentifikasi gangguan saraf pada manusia, lalu
menenangkannya sehingga manusia lebih mudah
menerima pelajaran dan penyembuhan.
b) Para dokter di Dolphin-Human Therapy Center
percaya bahwa mahluk yang sangat cerdas ini dapat
membantu anak-anak dengan berbagai gangguan
saraf, bahkan anak dengan Sindroma Down dan
autisme.

154
c) Laporan dari berbagai negara menunjukkan bahwa
faktor interaksi antara anak dan dolphin itulah yang
mempunyai effek yang positif terhadap manusia.
d) Suatu penelitian dilakukan di Dolphin-Human
Therapy Center di Key Largo, Florida. David Cole,
seorang ilmuwan dalam bidang neurology
menciptakan alat khusus untuk mengukur effek dari
dolphin pada otak manusia.
e) Cole mendapatkan bahwa ada suatu perubahan faali
bila manusia berinteraksi dengan dolphin. Setelah
berinteraksi dengan dolphin didapatkan bahwa
anak-anak tersebut menjadi lebih tenang.
f) Banyak peneliti berpendapat bahwa relaksasi inilah
yang merupakan penyebab keberhasilan dolphin
therapy.
Menurut beberapa peneliti, relaksasi merangsang
system kekebalan tubuh.
g) Menurut Cole energi dari dolphin bisa menimbulkan
suatu fenomena "cavitasi" (pembuatan lubang).
h) Energi tersebut dapat membuat robekan, bahkan
lubang pada struktur molekuler dan tissue yang
lembut.
Cole percaya bahwa hal ini bisa merubah
metabolisme selular, dan terjadi pelepasan hormon atau
endorphin yang merangsang pembentukan sel-T
(system kekebalan).
c. Terapi tambahan lain yaitu, :
1. terapi wicara,

155
2. terapi sensori integration,
3. terapi musik,
4. terapi diet,
5. terapi musik, ikan lumba, akupuntur, dll.

156
DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman, Mulyono. 2003. Pendidikan Bagi Anak


Berkesulitan Belajar. Jakarta: Rineka Cipta.
Abdurrahman, Mulyono. 2003. Pendidikan Bagi Anak
Berkesulitan Belajar Jakarta: PT Adi Mahastya.
Abudin, PGSD. 2010. Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus
Blogspot;
Http://Abudinpgsd.Wordpress.Com/2011/02/19/Pend
idikan-Anak-
Alimin, Zaenal. 2004. Reorientasi Pemahaman Konsep
Pendidikan Khusus Ke Pendidikan Kebutuhan Khusus
Dan Implikasinya Terhadap Layanan Pendidikan. Jurnal
Asesmen Dan Intervensi Anak Berkebutuhan Khusus.
Vol.3 No 1 (52-63).
Anggia. 2020. Penanaman Nilai Agama Islam Terhadap Anak
Berkebutuhan Khusus Di Sekolah Luar Biasa Negeri
Muara Bungo. Skripsi UIN Jambi.
Azmira Via. 2015. A Gift Anak Hiperaktif. Yogyakarta: Rapha
Publishing.
Departemen Kesehatan Direktorat Pelayanan Medik. 1993.
PEDOMAN Penggolongan Dan Diagnosi Gangguan Jiwa.
Jakarta : Departemen Kesehatan
Duction To Special Education, Third Edition. Nw Jersey:
Prentice-Hall;
Galih. 2008. 12 Terapi Autis Paling Efektif Dan Hemat.
Yogyakarta : Pustaka Anggrek

157
Grant L. Martin. 2008. Terapi Untuk Anak ADHD. Jakarta : PT.
Bhuana Ilmu Populer
Jeffrey. Spencer. Beverly. 2005. Psikologi Abnormal. Alih Bahasa.
Jakarta : Erlangga.
Hallahan, Daniel P. And Kauffman, James M. (1986). Exceptional
Children: Intro
Handojo. 2003. Autisma. Jakarta: PT. Bhuana Ilmu Populer.
https://www.alodokter.com/gangguan-kepribadian. Diakses
23 juni 2021
http://eprints.umm.ac.id/35541/3/jiptummpp-gdl-lutfiavili-
48155-3. diakses 23 juni 2021
http://Dedimahgunaguna.Blogspot.Com/2013/03/Pendekatan
-Layanan. Diakses 25 Juni 2021
http://Psychologious.Blogspot.Com/2012/02/Ciri-Ciri-
Abnormal.Html. Diakses 25 juni 2021
https://www.klikdokter.com/info-
sehat/read/3635405/tahapan-penerimaan-orang-tua-
dalam-menerima-anak-berkebutuhan-khusus. Diakses
25 juni 2021
Ifa Arifah. 2014. Pelaksanaan Pembelajaran Bagi Siswa
Tunagrahita Di Kelas 5 Sd Gunungdani, Pengasih, Kulon
Progo. Yogyakarta: UNY.
Imam Setiawan. 2020, A To Z Anak Berkebutuhan Khusus. Jawa
Barat : CV. Jejak.
Kamtini Dan Tanjung, H.W. 2005. Bermain Melalui Gerak Dan
Lagu Di TK. Jakarta: Depdiknas Dirjen Dikti.
Mirza, Dewi. (2007). Pelayanan Pendidikan Bagi Anak
Tunanetra.

158
Http://Digilib.Sunan_Ampel.Ac.Id/Go.Php?Id=Jiptain-
Gdl-S1-2007-De-Wimirza-922#Publisher#Publisher;
Mulyadi. 2008. Diagnosis Kesulitan Belajar. Yogyakarta: Nuha
Litera.
Munandar, Utami, 2009. Pengembangan Kreativitas Anak
Berbakat. Jakarta: Rineka Cipta.
Nara Jati Pangarsa. 2018. Identifikasi Faktor Penyebab Perilaku
Agresif Pada Siswa Kelas 8 Smp Negeri 4 Ngaglik.
Yogyakarta
Ni’matuzahroh, S.Psi, M.Si; Yuni Nurhamida, S.Pd, M.Si., 2016
“Individu Berkebutuhan Khusus & Pendidikan Inklusif”
Malang: Universitas Muhammadiyah Malang
Nuligar Hatiningsih. 2013. Therapy Untuk Meningkatkan
Konsentrasi Pada Anak Attention Deficit Hyperactive
Disorder (ADHD). Jurnal Psikologi Terapan
Novira Faradina. 2016. Penerimaan Diri Pada Orang Tua Yang
Memiliki Anak Berkebutuhan Khusus. Jurnal
Psikoborneo, Vol 4, No 1, 2016:18-23
Ormrod, Ellis, 2008. Psikologi Pendidikan. Jakarta : Erlangga.
Rafael Sinius & Pastiria Sembiring. 2020. Pembinaan Anak
Berkebutuhan Khusus (Sebuah Perspektif Bimbingan Dan
Konseling). Yayasan Kita Menulis.
Rahardja, Djadja. (2006). Pendidikan Luar Biasa Introduction To
Special Education.
Renawati. Rudi. Hery Wibowo. 2017. Interaksi Sosial Anak Down
Syndrome Dengan Lingkungan Sosial (Studi Kasus Anak
Down Syndome Yang Bersekolah Di Slb Pusppa
Suryakanti Bandung). Bandung : UNPAD, Jurnal

159
Riana Bagaskorowati. 2010. Anak Beresiko. Bogor: Ghalia
Indonesia.
Rini Hildayani, Dkk. 2016. Penanganan Anak Berkebutuhan
Khusus. Jakarta: Kementerian Riset, Tekhnologi Dan
Pendidikan Tinggi
Santrock. 2009. Educational Psychology. Jakarta: Salemba
Humanika.
Siti Fatimah Mutia Sari , Binahayati , Budi Muhammad. 2017.
Pendidikan Bagi Anak Tuna Grahita (Studi Kasus
Tunagrahita Sedang Di Slb N Purwakarta). Jurnal
Penelitian & Pkm Juli 2017 Vol 4, No: 2 Hal: 129 - 389
Stanley, Dkk. 2006. Anak Berkebutuhan Khusus. Terjemahan.
Jakarta : Yayasan Ayo Main.
Sulthon, 2020. Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus Kota
Depok: PT Rajagrafindo Persada.
Sutardjo. 2007. Pengantar Psikologi Abnormal. Bandung : PT.
Refika Aditama
Tadkiratun.M. 2005. Bermain Sambil Belajar Dan Mengasah
Kecerdasan. Jakarta: Depdiknas Dirjen Dikti
DPPTKDKPT.
Wills Sofyan. 2014. Konseling Individual Teori Dan Praktek.
Bandung: Alfabeta.
Yuliane. 2010. Bahan Ajar Pendidikan Anak Berkebutuhan
Khusus. Pontianak
Yurike dkk. 2009. Autisme Terapi Medis Alternatif. Jakarta :
Fakultas Ekonomi UI.
Yusria. Ridwan. Dodi dan Mentari. ‘Bina Wicara application and
communication engineering of parents toward autism

160
children’. IOP Conference Series: Materials Science and
Engineering 1098 (6), 062001 | vol: | issue : | 2021

161
DAFTAR RIWAYAT PENULIS

Ridwan, M.Psi, Psikolog, Tempat/Tgl.


Lahir: Sarko, 16 oktober 1973,
merupakan candidat Doktor, S2 Magister
Profesi Psikologi UNISBA (Lulus 2012),
dan S1 Fakultas Psikologi UNISBA (Lulus
1998) saat ini sebagai Dosen dan Kepala
Jurusan Program Studi Pendidikan Islam
Anak Usia Dini, Di Fakultas Tarbiyah
Dan Keguruan, Universitas
Islam Negeri Sulthan Thaha
Saifuddin Jambi Yang Beralamat Kantor Di Jalan Jambi- Muara
Bulian KM 16, Simp, Sei Duren Kab. Ma. Jambi, E-mail:
iwan.jumbe@gmail.com.
Orangtua laki bernama Bapak : H. Yahya Nawawi
(Almarhum), ibunya bernama Rosda (Almarhumah), Menikah
dengan Sriwahyuni, dikaruniai 3 orang anak yaitu Rhasendrya
Pradipta Bagaskara, Alzena Ghania dan Nugie Fikri Anugrah.
Aktifitas:
1. Dosen PNS pada UIN STS Jambi (2007-sekarang)
2. Koordinator terapis ABK di Yayasan Bunga Bangsa Jambi
(2001-2006)
3. Konsultan Psikologis Yayasan Bunga Bangsa Jambi (2006-
sekarang)
4. Psikolog Tetap pada Psikologi Consulting Bunga Bangsa
Jambi (2013-2015)

162
5. Psikolog Tetap pada Psikologi Consulting Pekan Baru
(2013-2015)
6. Pimpinan Biro Psikologi Konsulting wilayah Jambi (2013
hingga 2015)
7. Psikolog diperbantukan pada biro psikologi BIPI
counsulting Jakarta (2014-sekarang)
8. Psikolog diperbantukan pada biro Logos Consulting Jakarta
(2018-sekarang)
9. Psikolog diperbantukan pada Biro Azzuhro Jakarta untuk
pengetesan pegawai Indofood, BCA, CIMB, dsbnya (2014
s/d sekarang)
10. Psikolog diperbantukan pada Biro Humanika Jakarta untuk
pengetesan pegawai Bukopin dan BSM (2014 s/d sekarang)
11. Psikolog diperbantukan pada Biro Manajemen PPM Jakarta
untuk pengetesan Bank Indonesia wilayah Jambi (2017)
12. Psikolog diperbantukan pada Biro Arka Trans Padang
cabang Jambi untuk pengetesan karyawan, pegawai
maupun SIM wilayah Jambi (2019 s/d sekarang)
13. Konselor layanan gangguan kejiwaan secara mandiri
(2013-sekarang)
14. Asesor di lingkungan kementerian agama Provinsi Jambi
(2015-2016)
15. Auditor Mutu Internal UIN STS Jambi (2013-2014)
16. Koordinator Audit Mutu Internal UIN STS Jambi (2014-
2017)
17. Wakil Ketua Pusat Layanan dan Kajian Psikologi UIN STS
Jambi (2013-2017)
18. Wakil Ketua komite sekolah SD 11 Jambi (2013-2015)

163
19. Sekretaris Jurusan PGRA Fakultas Ilmu Tarbiyah dan
Keguruan UIN STS Jambi (2015-2016)
20. Sekretaris Prodi PAI Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
UIN STS Jambi (2016 sd 2018)
21. Ketua Prodi PAI Fakultas tarbiyah dan keguruan UIN STS
Jambi (2018-2020)
22. Ketua Prodi PIAUD Fakultas tarbiyah dan keguruan UIN
STS Jambi (2020-2023)
23. Pengurus Asosiasi PAI Indonesia (2018-2021)
24. Pengurus ICMI Wilayah Provinsi Jambi sebagai Ketua
Departemen Hubungan Antar Lembaga dan Badan Otonom
(2018-2020)
25. Pengurus Pimpinan Wilayah Gerakan Nasional Anti
Narkoba Majelis Ulama Indonesia (GANAS ANNAR-MUI)
sebagai Koordinator Bidang Rehalibitasi (2018-2021)
26. Pengurus Bidang Pendidikan dan Kaderisasi Majelis Ulama
Indonesia Provinsi Jambi (2020-2025)
27. Pengurus Perkumpulan Program Studi Pendidikan Islam
Anak Usia Dini (PPS PIAUD) Indonesia sebagai Ketua
Bidang Kerjasama, Mahasiswa dan Advokasi masa bakti
(2019-2024)
28. Sebagai Penyelia Nasional Pendidikan Profesi Guru (PPG)
Kementerian Agama Republik Indonesia (2019-sekarang)
29. Mengisi kegiatan seminar, workshop, ToT dilingkungan
Kementerian Agama Kanwil Provinsi Jambi dan kota Jambi.
30. Penulis Buku “Panduan Penulisan Skripsi” penerbit “Salim
Media Indonesia” (2018)

164
31. Penulis Buku “Administrasi Pendidikan” penerbit “CV.
Penerbit Qiara Media” (2021)
32. Penulis Buku “Seni Bercerita, Bermain & Bernyanyi”
penerbit “Anugrah Pratama Press” (2021)
33. Penulis Buku “Seni Rupa Anak Usia Dini” penerbit “Anugrah
Pratama Press” (2021)
34. Penulis Buku “Konsep Dasar Pendidikan Anak Usia Dini”
penerbit “Anugrah Pratama Press” (2021)

165
Indra Bangsawan, S.Pd.I., M.Pd, lahir
di Bakau Aceh, pada 23 Oktober 1993
merupakan anak ketiga dari sepuluh
bersaudara dari bapak zainal abidin
dan ibu azmah, penulis menikah
dengan ririn anggraini pada tahun
2020, menyelesaikan S1 di Sekolah
Tinggi Agama Islam (STAI)
Auliaurrasyidin Tembilahan lulus pada
tahun 2016, S2 Pascasarjana Universitas Islam Negeri
Sulthan Thaha Saifuddin Jambi pada 2018.

Aktifitas:
1. Bekerja di Yayasan Madrasah Diniyah Takmiliyah Awaliyah
Hj. Fatimah Ali Sejak Bulan Agustus 2014 – April 2016.
2. Staff LB di PT. Samawa Berkah Wisata Travel Umroh Dan
Haji, Jambi Sejak Bulan Oktober 2016 – Desember 2018.
3. Dosen Luar Biasa Perguruan Tinggi Swasta Sekolah Tinggi
Agama Islam ( STAI) Auliaurrasyidin Tembilahan Sejak
Bulan Januari 2019-Desember 2020
4. Kepala Labor Seni PIAUD Sekolah Tinggi Agama Islam (
STAI) Auliaurrasyidin Tembilahan Sejak Bulan Januari
2020 -Desember 2020
5. Tutor Universitas Terbuka Pogjar Tembilahan Sejak Bulan
Februari 2019 – Desember 2020.
6. Penulis Artikel PIAUD Media Online Indragirione.Com –
Tembilahan Bulan Februari 2019 – sekarang.

166
7. Dosen Program Studi Pendidikan Islam Anak Usia Dini, Di
Fakultas Tarbiyah Dan Keguruan, Universitas Islam Negeri
Sulthan Thaha Saifuddin Jambi.
8. Penulis Buku Seni bercerita, bermain, dan bernyanyi,
Penulis Buku Konsep Dasar PAUD, Pendidikan anak
berkebutuhan khusus, Deteksi dini Tumbuh kembang AUD,
Konsep Metodologi penelitian bagi pemula.

167
168

Anda mungkin juga menyukai