BUDIDAYA GAHARU
ENDAH SUSILOWATI
UNIVERSITAS LAMPUNG
2017
2
BUDIDAYA GAHARU
Oleh
ENDAH SUSILOWATI
JURUSAN KEHUTANAN
FAKULTAS PERTANIAN
2017
1
DAFTAR ISI
Halaman
I. PENDAHULUAN............................................................................... 1
A. Latar Belakang................................................................................ 1
B. Tujuan Praktikum............................................................................ 2
DAFTAR PUSTAKA................................................................................. 13
LAMPIRAN .............................................................................................. 14
1
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia dengan posisi geografis dan dukungan iklim tropis serta masa
memiliki posisi sebagai negara dengan potensi biodiversitas kedua setelah Brazilia
(Manan, 1998 dalam Sumarna, 2008). Pohon penghasil gaharu merupakan salah
satu potensi sumberdaya tumbuhan Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) yang
potensial.
Gaharu merupakan salah satu produk hasil hutan yang bernilai jual tinggi dalam
produksi yang terdiri dari kelas gubal, kemedangan dan bubuk atau abu. Masing-
menghasilkan aroma khas. Dengan aroma khas yang sangat populer dan disukai
terhadap gaharu tidak hanya pada pasar dalam negeri tetapi juga pada pasar
2
internasional. Oleh sebab itu perlu dilakukan upaya budidaya gaharu, agar
B. Tujuan Praktikum
A. Gaharu
Gaharu adalah sejenis kayu dengan berbagai bentuk dan warna yang khas, serta
memiliki kandungan damar wangi, berasal dari pohon atau bagian pohon
penghasil gaharu yang tumbuh secara alami dan telah mati, sebagai akibat dari
proses infeksi yang terjadi baik secara alami atau buatan pada pohon tersebut dan
pada umumnya terjadi pada pohon Aquilaria sp (nama daerah: Karas, Alim, Garu
dan lain-lain) (Subowo, 2010). Gaharu terbentuk pada jaringan kayu pohon
penghasil dengan mekanisme dan proses biologis sebagai akibat adanya perlukaan
alami pada batang atau cabang kemudian terinfeksi pada bagian yang luka oleh
tanaman yang mampu melindungi diri dari gangguan penyakit maka pohon tidak
serangan penyakit maka hara dari jaringan sel-sel kayu akan diubah menjadi
senyawa fitoaleksin yang berupa resin gaharu berwarna coklat dan beraroma
Gaharu ini sebenarnya merupakan endapan resin yang terakumulasi pada jaringan
kayu sebagai reaksi pohon terhadap pelukaan atau infeksi patogen. Kayu gaharu
4
yang dijuluki ‘kayu para dewa’ ini telah diperdagangkan sejak ratusan tahun lalu.
Gaharu diperdagangkan dalam bentuk bagian kayu (cip, bongkahan, atau bentuk
tak beraturan), serbuk, dan minyak hasil sulingan. Perdagangan produk dalam
bentuk cair biasanya sangat jarang di Indonesia. Warna bagian kayu bervariasi
dari coklat terang hingga coklat gelap mendekati hitam. Semakin gelap warna
2008).
B. Budidaya Gaharu
Budidaya tanaman gaharu di Indonesia sudah dimulai sejak tahun 1990 bahkan
untuk mengusahakan jenis tanaman penghasil gaharu dengan harapan kelak akan
mendapatkan keuntungan yang besar. Pada awal pertumbuhan pada umur 3 bulan
sampai 1 tahun, tanaman gaharu bersifat semi toleran atau memerlukan naungan
dikembangkan, baik di wilayah in-situ maupun pada berbagai lahan kawasan ex-
hutan alam produksi dengan kendala fenologis, berupa sifat benih yang
rekalsitran dan memiliki masa dormansi rendah serta embrio benih rentan
terhadap kekeringan. Benih tumbuhan tropis yang jatuh secara alami memiliki
(cahaya, suhu dan kelembaban) akan dihasilkan nilai pertumbuhan anakan tingkat
Alat yang digunakan saat melakukan praktikum ini adalah bor dan mata bor,
terminal listrik, palu, botol air kemasan, tangga, kamera dan buku catatan (lembar
C. Cara Kerja
A. Hasil
Hasil yang diperoleh selama praktikum di lapangan dapat dilihat pada tabel 1.
Memasukkan
serum kedalam
lubang bor
Menutup lubang
bor dengan
bambu yang
sudah direndam
dengan serum
8
2. Kota Metro Bahan baku yang
akan digunakan
dalam proses
produksi (serbuk
limbah gaharu
yang masih
mengandung
sedikit ekstrak
gaharu)
Proses
perendaman
limbah gaharu
Proses destilasi
limbah gaharu
Air destilasi
gaharu
3. Pekalongan, Melihat
Lampung persemaian
Timur pohon gaharu
9
B. Pembahasan
Gaharu adalah hasil hutan non kayu yang sangat popular, bahkan melebihi hasil
hutan non kayu lainnya (Budi, dkk, 2011). Hal itu dikarenakan gaharu banyak
digunakan sebagai bahan dasar dalam industri parfum, dupa, kosmetik, dan obat-
maupun global semakin tinggi dan terus meningkat kebutuhannya. Oleh karena
gaharu secara legal diperlukan bukti bahwa jenis tersebut dipanen dari tanaman
Praktikum ini dilakukan di tiga tempat yang berbeda. Tempat pertama yang
dikunjungi adalah Sababalau, Bandar Lampung. Jenis yang ada di tempat ini
jenis ini hanya dapat dilihat pada bentuk buahnya. Buah A. malacensis terlihat
agak lonjong dan buah A. microcarpa lebih bulat. Selain itu tidak semua wilayah
kelebihannya adalah mudah untuk dikembang biakkan. Pohon gaharu yang siap
untuk di bor adalah pohon yang usianya lebih dari atau sama dengan 7 tahun.
dari atas tanah atau ± 2 jengkal. Diameter batang yang sudah bisa dibor adalah
lebih dari atau sama dengan 5 cm. Jarak antar lobang bor secara vertical adalah ±
pertama, lalu setelah minimal 10 menit setelah itu serum disuntikkan kembali ke
lubang yang sama (penyuntikan serum kedua). Setelah 30 menit baru lubang
tersebut ditutup dengan bambu yang telah direndam dengan serum selama 24 jam.
Fungsi dari ditutupnya lubang dengan bambu adalah agar air (pada saat hujan)
tidak masuk kedalam lubang bor, sehingga dapat menghindari pembusukan pada
batang selain itu bambu tersebut juga mngandung nutrisi yang berguna untuk
pembuatan gaharu. Setelah kurang lebih 3 hari lubang-lubang yang diberi serum
dan ditutup dengan bambu akan tumbuh jamur/ cendawan berwarna orange.
Lokasi praktikum selanjutnya adalah di Kota Metro, yakni kediaman Pak Kus.
Beliau adalah orang yang membuat serum pembuatan gaharu. Selain membuat
serum beliau juga mengelola gaharu, mulai dari destilasi sampai dengan minyak
gaharu. Serum yang diproduksi oleh beliau memiliki merek dagang “ Bio Serum
bioserum sendiri memerlukan waktu 30 hari. Bioserum ini memiliki masa aktif,
sehingga pembuatannya hanya akan dilakukan jika ada pemesanan. Dalam sekali
pembuatan bioserum, beliau hanya membuat 150 liter yang akan dikemas dalam
150 botol. Menurut beliau 150 liter bioserum ini dapat di inokulasikan ke 500
pohon gaharu. Proses pembuatan minyak gaharu adalah pertama cacahan kayu
gaharu yang sudah tidak banyak mengandung gaharu (limbah) di rendam dengan
air sampai semua cacahan tersebut terendam dengan air. Proses perendaman
paling cepat adalah saatu bulan. Hal ini bertujuan untuk membuka pori kayu agar
11
sat proses ekstraksi minyak gaharu, gaharu lebih cepat mengeluarkan minyak.
Selain itu perendaman bertujuan untuk menghilangkan bau dan ekstrak yang
menempel pada kayu selain ekstrak gaharu (gaharu hanya keluar jika ada
pemanasan). Setelah satu bulan cacahan kayu tersebut ditiriskan selam 24 jam,
selama satu minggu dengan jumlah air sebanyak 30 liter, dan minyak gaharu akan
mulai muncul setelah 120 jam penguapan. Dari 10 kg cacahan garahu hanya
sebanyak 30 liter.
Timur. pada persemaian ini media yang digunakan adalah cocopit. Penanaman
benih gaharu dilakukan paling lama 3 hari setelah biji tersebut di ekstraksi. Hal
ini dikarenakan biji gaharu termasuk ke biji rekalsitran, yang artinya jika disimpan
dalam waktu yang lama maka viabilitasnya akan turun, bahkan mungkin tidak
dapat tumbuh lagi. Setelah benih di semai maka 2 sampai 3 minggu benih akan
mulai berkecambah. Harga benih di persemaian ini dimulai dari harga Rp. 3.000,-
12
A. Simpulan
1. Cara menginokulasi gaharu dengan serum dengan cara dibor terlebih dahulu,
2. Cara pembuatan minyak gaharu adalah melalui proses penguapan dengan suhu
yang konstan. Minyak gaharu akan keluar seelah 120 menit penguapan.
B. Saran
Saran untuk praktikum ini adalah untuk kedepannya lebih sering untuk praktik
langsung ke lapangan, karna menurut saya hal itu lebih efisien dan mudah
dimengerti.
13
DAFTAR PUSTAKA
Sumarna. Y. 2008. Pengaruh kondisi kemasakan benih dan jenis media terhadap
pertumbuhan semai tanaman penghasil gaharu jenis karas (Aquilaria
malaccensis Lamk.). Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Lingkungan.
5(2) : 129—135.
14
LAMPIRAN
15
DOKUMENTASI