Anda di halaman 1dari 48

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada kehadirat Allah SWT karena berkat rahmat
dan karunia Nya penulis akhirnya bisa menyelesaikan makalah yang berjudul
“Penanggulangan Kemiskinan dan Perubahan Sosial di Kabupaten Tasikmalaya”.
Makalah ini disusun dalam rangka memenuhi salah satu Tugas Mata Kuliah Teori dan Issue
Pembangunan Program Pasca Sarjana pada Program Studi Ilmu Pemerintahan di Sekolah
Tinggi Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Tasikmalaya.

Dalam penyusunan makalah ini tidak lepas dari hambatan dan kesulitan yang
peneliti hadapi, namun berkat bimbingan, bantuan, nasihat, dan saran semua pihak
akhirnya peneliti bisa melewati setiap hambatan dan tantangan yang dihadapi.

Dalam kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Bapak Dr. Wasdi., M.Si. Selaku Dosen Mata Kuliah Teori dan Issue Pembangunan.
2. Rekan-rekan seperjuangan mahasiswa Pasca Sarjana STISIP Tasikmalaya yang tidak
bisa penulis sebutkan satu persatu.
Penulis menyadari bahwa penelitian ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena
itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca demi
kesempurnaan makalah ini.

Tasikmalaya, Januari 2022

Tim Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................................................... i


BAB I PENDAHULUAN .............................................................................................................. 1
1.1 Latar Belakang ................................................................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah ............................................................................................................ 3
1.3 Tujuan dan Manfaat Penulisan ......................................................................................... 4
1.4 Metode Penulisan ............................................................................................................. 4
1.5 Sistematika Penulisan....................................................................................................... 4
BAB II PEMBAHASAN ............................................................................................................... 5
2.1 Penanggulangan Kemiskinan ........................................................................................... 5
2.2 Perubahan Sosial ............................................................................................................ 11
2.3 Angka Kemiskinan di Kabupaten Tasikmalaya ............................................................. 15
2.4 Program Inovasi Collaborative Governance Dalam Penanggulangan Kemiskinan di
Kabupaten Tasikmalaya ............................................................................................................ 21
2.4.1 Program Unit Pelayanan Cepat Penanggulangan Kemiskinan (UPCPK)............... 31
2.4.2 Sigesit 119 ............................................................................................................... 33
2.4.3 SDGs Dalam Pembangunan Desa ........................................................................... 34
BAB III KESIMPULAN............................................................................................................. 38
3.1 Kesimpulan..................................................................................................................... 38
3.2 Saran ............................................................................................................................... 39

ii
DAFTAR GAMBAR

No. Gambar Judul Gambar Halaman

2.4.1 Model Collaborative Governance Ansell dan Gash, 2007:543 24


dalam collaborative governance Konsep dan Aplikasi Islamy
Syaeful, 2018:14.............................................................................

2.4.2. Model Kolaborasi Agranoff dan Mc. Guire....................................


29

iii
DAFTAR TABEL

No. Tabel Judul Tabel Halaman

1.1 Jumlah Penduduk Miskin Indonesia, Maret 2020……………….. 2

2.1. Indeks Pembangunan Manusia Menurut Kabupaten/Kota di 17


Provinsi Jawa Barat, 2015-2019……………………………………
2.2. Karakteristik Model-model Governance…………………………... 26

iv
DAFTAR GRAFIK

No. grafik Judul Grafik Halaman

2.1 Jumlah Penduduk Miskin di Kabupaten Tasikmalaya, 2014-2019 16

2.2. Garis Kemiskinan di Kabupaten Tasikmalaya, 2014-2019 17


(Rupiah/Kapita/Bulan)

v
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kemiskinan merupakan suatu persolan mendasar yang menjadi pusat perhatian
pemerintah di Negara manapun, salah satunya Negara Indonesia yang memiliki jumlah
penduduk yang padat. Dengan jumlah penduduk yang sangat padat, menyebabkan
Indonesia mengalami masalah sosial seperti kemiskinan.
Kemiskinan sendiri merupakan masalah yang menyangkut banyak aspek kerena
berkaitan dengan pendapatan yang rendah, derajat kesehatan yang rendah, buta huruf,
dan ketidaksamaan derajat antar jenis kelamin serta buruknya lingkungan hidup (World
Bank, 2017).
Kemiskinan merupakan salah satu persoalan yang tidak pernah luput dari
perhatian pemerintah suatu Negara dibelahan dunia manapun. Kemiskinan menjadi
persoalan fenomenal dalam bidang ekonomi yang menjadi titik acuan keberhasilan
pemerintah Negara dari waktu ke waktu, terlebih pada Negara yang sedang
berkembang. Indonesia sebagai salah satu Negara yang masuk kategori berkembang
menyadari bahwa pentingnya memperhatikan masalah kemiskinan dan mengusahakan
segala upaya untuk menurunkan tingkat kemiskinan dengan melakukan perencanaan
jangka panjang untuk meningkatkan perekonomian. (Irhami, 2017).
Hak-hak dasar yang diakui secara umum antara lain meliputi terpenuhnya
kebutuhan pangan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, perumahan, air bersih,
pertanahan, sumber daya alam dan lingkungan hidup, rasa aman dari perlakuan atau
ancaman tindak kekerasan dan hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosial politik,
baik bagi perempuan maupun laki-laki. Terpenuhinya kebutuhan dasar menjadi tujuan
penting dalam pelaksanaan pembangunan.

1
Fenomena kemiskinan diIndonesia tersebar luas hampir diseluruh pelosok
negeri ini baik didaerah perkotaan maupun daerah pedesaan. Hal ini masih nyata bahwa
tidak ada satupun daerah di Indonesia yang bebas dari garis kemiskinan.
Tabel 1.1
Jumlah Penduduk Miskin Indonesia, Maret 2020
Kemiskinan Indonesia Jumlah Penduduk Miskin (juta
orang)
Penduduk Miskin Kota 11,16
Penduduk Miskin Desa 15,26
Penduduk Miskin Nasional 26,42
Sumber data :Badan Pusat Statistik Tahun 2020

Dari tabel 1.1 tersebut, penduduk miskin pada tahun 2020 berjumlah 26,42 juta
jiwa, 9,78% diantaranya hidup dibawah garis kemiskinan. Garis kemiskinan nasional
Indonesia ditetapkan pada rata-rata pengeluaran Rp454.652- sekitar Rp12.000 per hari.
Ada juga perbedaan pada awal 2020, di mana 11,16 juta jiwa (7,38%) dari penduduk
perkotaan tergolong miskin, sementara pedesaan terdiri dari 15,26 juta jiwa (12,82%).
Semua ukuran kemiskinan dipertimbangkan berdasarkan pada norma tertentu,
pilihan norma tersebut sangat penting terutama dalam hal pengukuran kemiskinan yang
didasarkan pada konsumsi. Garis kemiskinan yang didasarkan pada konsumsi terdiri
dari elemen pertama pengeluaran yang diperlukan untuk membeli standar gizi
minuman dan kebutuhan mendasar lainnya. Dan yang kedua jumlah kebutuhan lain
yang sangat bervariasi, yang mencerminkan biaya partisipasi dalam kehidupan
masyarakat sehari-hari.
Faktor penyebab terjadinya kemiskinan adalah keterbatasan sumber daya
manusia dapat diartikan kualitas sumber daya manusia misalkan keterampilan,
pendidikan, dan pengetahuan. Dapat pula berasal dari kebijakan pembangunan atau
kebijakan pemerintah yang kurang memperhatikan kawasan atau wilayah yang

2
terpencil dan sulit dijangkau, dan adany ketimpangan antara pembangunan diwilayah
desa maupun kota (Suwadi, 2014:25).
Mengacu pada strategi nasional penanggulangan kemiskinan, definisi
kemiskinan adalah kondisi di mana seseorang atau sekelompok orang, laki-laki dan
perempuan, tidak terpenuhi hak-hak dasarnya untuk mempertahankan dan
mengembangkan kehidupan yang bermartabat.
Salah satu aspek penting untuk mendukung Strategi Penanggulangan
Kemiskinan adalah terjadinya data kemiskinan yang akurat dan tepat sasaran.
Pengukuran kemiskinan yang dapat dipercaya dapat menjadi instrument tangguh bagi
pengambil kebijakan dalam memfokuskan perhatian pada kondisi hidup orang miskin.
Data kemiskinan yang baik dapat digunakan untuk mengevaluasi kebijakan pemerintah
terhadap kemiskinan, membandingkan kemiskinan antar waktu dan daerah, serta
menentukan target penduduk miskin dengan tujuan untuk memperbaiki kondisi
mereka.
Menyadari hal tersebut, Pemerintah Kabupaten Tasikmalaya pada saat ini tengah
berupaya menurunkan jumlah penduduk miskin dari berbagai dimensi. Oleh
karenanya, agar upaya penurunan kemiskinan ini dapat efektif dan terarah, maka perlu
perencanaan yang terintegrasi dan terkoordinir baik dengan bermacam macam
kebijakan yang harus tercermin dalam setiap kebijakan pemerintah dan dilakukan
secara bersama sama oleh pemerintah dan masyarakat dalam waktu yang relatif
panjang dan berkelanjutan. Untuk menjangkau hal itu, diperlukan strategi oleh
Pemerintah Daerah kabupaten Tasikmalaya.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan dari pemaparan latar belakang di atas, penulis merumuskan
rumusan masalah yang akan kaji mengenai Upaya Penanggulangan Kemiskinan
dan Perubahan Sosial di Kabupaten Tasikmalaya.

3
1.3 Tujuan dan Manfaat Penulisan
Tujuan disusunnya makalah ini adalah untuk mengkaji dan memberikan
gambaran dalam upaya pemecahan masalah kesejahteraan sosial yang bukan
hanya merupakan tanggung jawab pemerintah, akan diperlukan peran
masyarakat yang seluas luasnya, baik perseorangan, keluarga, organisasi
keagamaan, organisasi sosial kemasyarakatan, lembaga swadaya masyarakat,
organisasi profesi, badan usaha, lembaga kesejahteraan sosial, maupun lembaga
kesejahteraan sosial asing demi terselenggaranya kesejahteraan sosial yang
terarah, terpadu, dan berkelanjutan.

1.4 Metode Penulisan


Penulis memakai metode studi literatur dan kepustakaan dalam penulisan
makalah ini. Referensi makalah ini bersumber tidak hanya dari buku, tetapi juga
dari media media lain seperti e-book, web, blog, dan perangkat media massa yang
diambil dari internet.

1.5 Sistematika Penulisan


Makalah ini disusun menjadi tiga bab, yaitu bab pendahuluan, bab
pembahasan, dan bab penutup. Adapun bab pendahuluan terbagi atas : latar
belakang, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan, metode penulisan,
dan sistematika penulisan. Sedangkan bab pembahasan dibagi berdasarkan
subbab yang berkaitan dengan peran dan fungsi dari stakeholders dalam
penanggulangan kemiskinan di era revolusi industry 4.0 dan bagaimana hal
tersebut memberikan sumbangsih terhadap kemajuan Indonesia. Terakhir, bab
penutup terdiri atas kesimpulan.

4
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Penanggulangan Kemiskinan


Kemiskinan adalah keadaan dimana terjadi ketidakmampuan untuk
memenuhi kebutuhan dasar seperti makanan, pakaian, tempat berlindung,
pendidikan, dan kesehatan. Kemiskinan dapat disebabkan oleh kelangkaan alat
pemenuhan kebutuhan dasar, ataupun sulitnya akses terhadap pendidikan dan
pekerjaan (Alhudori, 2017:117).
Menurut Supriatna (dalam Wahyu dan Aidar, 2018: 363), kemiskinan
adalah keadaan dimana kebutuhan seseorang terbatas dan itu terjadi bukan atas
kehendak orang yang bersangkutan. Juga suatu penduduk dikatakan miskin
apabila rendahnya tingkat pendidikan yang disebabkan oleh terbatasnya sumber
daya manusia yang ada, kurangnya produktivitas kerja, pendapatan yang
dibawah rata-rata, serta rendahnya tingkat kesehatan dan gizi juga kesejahteraan
hidupnya, yang menunjukkan seseorang disebut miskin.
Kemiskinan itu bersifat multidimensional. Artinya, kebutuhan manusia itu
bermacam-macam, maka kemiskinan pun memiliki banyak aspek. Kemiskinan
adalah masalah multidimensional, tidak hanya masalah ekonomi saja namun
menyangkut masalah sosial, budaya, dan politik. (Wulandari, 2016:112),
Dalam diskursus mengenai kemiskinan itu sendiri, ada tiga pandangan
yang berkembang, yaitu konservatifme, liberalisme dan radikalisme. Penganut
masing-masing pandangan memiliki cara yang berbeda dalam menjalankan
kemiskinan. Kaum konservatif memandang bahwa kemiskinan bermula dari
karakteristik khas orang miskin itu sendiri. Orang menjadi miskin karena tidak
mau bekerja keras, boros, tidak mempunyai rencana, kurang memiliki jiwa
wiraswasta, fatalis dan tidak ada hasrat untuk berprestasi. Menurut Oscar Lewis,
orang-orang miskin adalah kelompok sosial yang mempunyai budaya

5
kemiskinan sendiri yang mencakup psikologis, sosial dan ekonomi. Kaum liberal
memandang bahwa manusia sebagai makhluk yang baik tetapi sangat
dipengaruhi oleh lingkungan. Budaya kemiskinan hanyalah semacam realistik
dan situasional adaptation pada lingkungan yang penuh diskriminasi dan peluang
yang sempit. Sedangkan kaum radikal mengabaikan budaya kemiskinan, mereka
menekankan peran struktur ekonomi, politik dan sosial dan memandang bahwa
manusia adalah makhluk yang kooperatif. (Syaiful Ilmi, 2017:69)
Pada prinsipnya, standar hidup di suatu masyarakat tidak sekedar
tercukupinya kebutuhan akan pangan, akan tetapi juga tercukupinya
kebutuhan akan kesehatan maupun pendidikan. Tempat tinggal ataupun
pemukiman yang layak merupakan salah satu dari standar hidup atau standar
kesejahteraan masyarakat di suatu daerah. Berdasarkan kondisi ini, suatu
masyarakat disebut miskin apabila memiliki pendapatan jauh lebih rendah dari
rata-rata pendapatan sehingga tidak banyak memiliki kesempatan untuk
mensejahterakan dirinya (Suryawati, 2004:35).
Tipologi kemiskinan dapat dikategorikan pada empat kategori, yakni
kemiskinan absolut, kemiskinan relatif, kemiskinan kultural, dan kemiskinan
struktural.
1. Kemiskinan absolut, kondisi dimana seseorang memiliki pendapatan
di bawah garis kemiskinan atau tidak cukup untuk memenuhi
kebutuhan pangan, sandang, papan, kesehatan, perumahan, dan
pendidikan yang dibutuhkan untuk bisa hidup dan bekerja.
2. Kemiskinan relatif, kondisi miskin karena pengaruh kebijakan
pembangunan yang belum menjangkau seluruh masyarakat, sehingga
menyebabkan ketimpangan pada pendapatan.
3. Kemiskinan kultural, mengacu pada persoalan sikap seseorang atau
masyarakat yang disebabkan oleh faktor budaya, seperti tidak mau
berusaha memperbaiki tingkat kehidupan, malas, pemboros, tidak
kreatif meskipun ada bantuan dari pihak luar. Kemiskinan ini dapat
pula disebabkan karena sebagian sistem dalam tradisi masyarakat
berkontribusi dalam menyebabkan terjadinya kemiskinan masyarakat.
Sebagai contoh adalah sistem waris yang mengakibatkan pembagian

6
lahan, sehingga kepemilikan lahan per keluarga semakin lama
menjadi semakin sempit.
4. Kemiskinan struktural, kemiskinan yang diakibatkan oleh
ketidakberesan atau ketidakadilan struktur, baik struktur politik,
sosial, maupun ekonomi yang tidak memungkinkan seseorang atau
sekelompok orang menjangkau sumber-sumber penghidupan yang
sebenarnya tersedia bagi mereka. Proses dan praktik monopoli,
oligopoli dalam bidang ekonomi, misalnya melahirkan mata rantai
‘pemiskinan’ yang sulit dipatahkan. Sekuat apapun motivasi dan kerja
keras seseorang, dalam kondisi struktural demikian, tidak akan
mampu melepaskan diri dari belenggu kemiskinannya, karena aset
yang ada serta akses terhadap sumber-sumber telah sedemikian rupa
dikuasai oleh segolongan orang tertentu. Para petani yang tidak
memeiliki tanah sendiri atau memiliki hanya sedikit tanah, para
nelayan yang tidak mempunyai perahu, para pekerja yang tidak
terampil (unskilled labour), termasuk ke dalam mereka yang berada
dalam kemiskinan struktural. (Suharto Edi, 2005:17).

Setelah dikenal bentuk kemiskinan, dikenal pula dengan jenis kemiskinan


berdasarkan sifatnya. Adapun jenis kemiskinan berdasarkan sifatnya adalah:
Kemiskinan Alamiah dan kemiskinan buatan.
1. Kemiskinan Alamiah
Kemiskinan alamiah adalah kemiskinan yang terbentuk sebagai akibat
adanya kelangkaan sumber daya alam dan minimnya atau ketiadaan pra
sarana umum (jalan raya, listrik, dan air bersih), dan keadaan tanah yang
kurang subur. Daerah-daerah dengan karakteristik tersebut pada
umumny adalah daerah yang belum terjangkau oleh kebijakan
pembangunan sehingga menjadi daerah tertinggal.
2. Kemiskinan Buatan
Kemiskinan buatan adalah kemiskinan yang diakibatkan oleh sistem
moderenisasi atau pembangunan yang menyebabkan masyarakat tidak
memiliki banyak kesempatan untuk menguasai sumber daya, sarana,
dan fasilitas ekonomi secara merata. Kemiskinan seperti ini adalah
dampak negatif dari pelaksanaan konsep pembangunan
(developmentalism) yang umumnya dijalankan di negara-negara sedang
berkembang. Sasaran untuk mengejar target pertumbuhan ekonomi
tinggi mengakibatkan tidak meratanya pembagian hasil-hasil
pembangunan di mana sektor industri misalnya lebih menikmati tingkat
keuntungan dibandingkan mereka yang bekerja di sektor pertanian.
(Jarnasy, 2004: 8).

7
Persoalan kemiskinan dan pembahasan mengenai penyebab kemiskinan
hingga saat ini masih menjadi perdebatan baik di lingkungan akademik maupun
pada tingkat penyusun kebijakan pembangunan sehingga salah satu perdebatan
tersebut adalah menetapkan definisi terhadap seseorang atau sekelompok orang
yang disebut miskin. Pada umumnya, identifikasi kemiskinan hanya dilakukan
pada indikator-indikator yang relatif terukur seperti pendapatan per kapita dan
pengeluaran konsumsi rata-rata. Ciri-ciri kemiskinan yang hingga saat ini masih
dipakai untuk menentukan kondisi miskin adalah:
1. Tidak memiliki faktor produksi sendiri seperti tanah, modal, peralatan
kerja, dan ketrampilan yang memadai.
2. Tingkat pendidikan yang relatif rendah
3. Bekerja dalam lingkup kecil dan modal kecil atau disebut juga bekerja
dilingkungan sektor informal sehingga mereka ini terkadang disebut
juga setengah menganggur
4. Berada di kawasan pedesaan atau di kawasan yang jauh dari pusat-
pusat pertumbuhan regional atau berada pada kawasan tertentu di
perkotaan (slum area).
5. Memiliki kesempatan yang relatif rendah dalam memperoleh bahan
kebutuhan pokok yang mencukupi termasuk dalam mendapatka
pelayanan kesehatan dan pendidikan sesuai dengan standar
kesejahteraan pada umumnya. (Suryawati, 2004:123).

Mencermati situasi dan kondisi di atas, maka perlu dibuat suatu kebijakan
yang mendukung pembangunan sosial. Kebijakan yang dirumuskan hendaknya
difokuskan pada tiga dimensi pembangunan sosial, yakni dalam pengentasan
kemiskinan, penciptaan lapangan kerja produktif dan peningkatan integrasi
sosial. Kebijakan tersebut perlu diimplementasikan dalam berbagai program aksi
yang sesuai dengan karakteristik permasalahan dan kebutuhan yang akan
diantisipasi dan dipenuhi. Beberapa saran yang kiranya perlu dipertimbangkan
berdasarkan konsepsi pembangunan sosial adalah:
1. Pengembangan kebijakan sosial yang ‘memihak’ (affirmative action)
pada kelompok marjinal melalui pembuatan peraturan dan
perundangan yang melindungi pengusaha kecil (UMKM) dari

8
dominasi perilaku ekonomi monopolistik.
2. Program-program penanggulangan kemiskinan dan pengangguran,
keterbelakangan, serta peningkatan kualitas kesehatan, selain
diantisipasi melalui kebijakan-kebijakan langsung (direct polities)
yang dampaknya terbatas, perlu pula dilengkapi dengan kebijakan-
kebijakan tidak langsung (indirect polities). Kebijakan tidak langsung
ini, yang merupakan intervensi kualitatif dari pemerintah, akan lebih
memiliki dampak luas dan berjangka panjang (sustainable).
3. Penegakan hukum atau law enforcement perlu pula ditingkatkan
terutama untuk meningkatkan keterlibatan pihak-pihak swasta dalam
usaha-usaha kesejahteraan sosial. Sebagian dana keuntungan BUMN,
alih saham perusahaan, serta alokasi dana dari bank-bank swasta perlu
dikelola secara kreatif, efektif, dan efisien untuk dimobilisasi bagi
kepentingan industri rumah tangga, sektor informal serta usaha-usaha
kecil lainnya, agar partisipasi ekonomi lebih meluas dan merata.
4. Manajemen dan pelaksanaan program-program di atas seyogyanya
dilakukan secara integral antar sektoral dan antar profesional. Para
ekonom, sosiolog, psikolog, antropolog dan pekerja sosial perlu bahu
membahu memainkan peran dan tanggung jawab profesionalnya.
(Suharto Edi, 2015:29).

Pada kenyataannya dalam proses pembangunan tidak semua pelaku


ekonomi ikut serta dalam proses pembangunan, dan tidak semua penduduk dapat
berpartisipasi dalam pembangunan serta tidak semua penduduk dapat menikmati
pendapatan sebagai hasil pembangunan. Pelaku yang tidak memiliki sumber daya
dan akses dalam proses pembangunan akan menganggur, karena mengganggur
maka tidak akan memperoleh pendapatan, karena tidak memiliki pendapatan
maka akan menimbulkan kemiskinan. Edi Suharto mengemukakan bahwa :
“Kebijakan dan pembangunan adalah dua konsep yang terkait. Sebagai
sebuah proses peningkatan kualitas hidup manusia, pembangunan adalah
konteks dimana kebijakan beroperasi.” (Suharto Edi, 2010: 1-2).
Lebih lanjut Edi Suharto

“Sebagai suatu perubahan terencana dan berkesinambungan,


pembangunan pada hakekatnya bertujuan untuk memperbaiki dan
meningkatkan kualitas hidup. Untuk mencapai tujuan tersebut, maka

9
pembangunan perlu diimplementasikan ke dalam berbagai program
pembangunan yang secara langsung menyentuh masyarakat.’” (Suharto
Edi, 2010: 1-2).

Kendati demikian, model pembangunan yang berpusat kepada rakyat lebih


menekankan pada pemberdayaan (empowerment). Model ini memandang
inisiatif-kreatif rakyat sebagai sumber daya pembangunan yang paling utama dan
memandang kesejahteraan material-spiritual rakyat sebagai tujuan yang harus
dicapai oleh proses pembangunan. Kajian strategis pemberdayaan masyarakat,
baik ekonomi, sosial, budaya maupun politik menjadi penting sebagai input
untuk reformulasi pembangunan yang berpusat pada rakyat. Reformulasi ini
memberikan peluang yang sangat besar bagi masyarakat untuk membangun
secara partisipatif. Dalam pembangunan partisipatif, pemberdayaan merupakan
salah satu strategi yang dianggap tepat jika faktor-faktor determinan
dikondisikan sedemikian rupa sehingga esensi pemberdayaan tidak terdistorsi.
Kondisi tersebut mencerminkan perlu adanya pergeseran peran pemerintah
yang bersifat mendesak dari peran sebagai penyelenggara pelayanan sosial
menjadi fasilitator, mediator, koordinator, pendidik, mobilisator, sistem
pendukung, dan peran-peran lainnya yang lebih mengarah pada pelayanan tidak
langsung. Adapun peran organisasi lokal, organisasi sosial, LSM/NGo dan
kelompok masyarakat lainnya lebih dipacu sebagai agen pelaksana perubahan
dan pelaksana pelayanan sosial kepada kelompok rentan atau masyarakat pada
umumnya. Dalam posisi sedemikian, permasalahan sosial ditangani oleh
masyarakat atas fasilitasi pemerintah.
Untuk memecahkan masalah ini, perlu kebijaksanaan yang tepat dengan
mengidentifikasi golongan masyarakat yang hidup di bawah garis kemiskinan
berikut karakteristiknya lebih dulu. Umumnya, suatu keadaan disebut miskin bila
ditandai oleh kekurangan atau tidak mampu memenuhi tingkat kebutuhan dasar
manusia.

10
2.2 Perubahan Sosial

Perubahan sosial adalah setiap perubahan yang tak terulang dari sistem
sosial sebagai satu kesatuan (Sztompka, 2010:3). Perubahan sosial dibedakan
menjadi beberapa jenis, tergantung pada sudut pengamatan, apakah dari sudut
aspek, fragmen atau dimensi sistem sosialnya. Ini disebabkan keadaan sistem
sosial itu tidak sederhana, tidak hanya berdimensi tunggal, tetapi muncul sebagai
kombinasi atau gabungan hasil dari berbagai komponen.
Pengaruh yang nampak dari pesatnya pembangunan adalah terjadinya
perubahan sosial budaya yang terjadi di dalam masyarakat tradisional, yakni
perubahan dari masyarakat tertutup menjadi masyarakat yang lebih terbuka, dari
nilai-nilai yang bersifat homogen menuju pluralisme nilai dan norma social
merupakan salah satu dampak yang dirasakan sebagaimana yang dikemukakan
oleh Ahmadi Abu (2004 ;14)”perubahan social dan budaya meliputi berbagai
bidang kehidupan dan merupakan masalah bagi semua intitusi social seperti :
industry, agama, perekonimian, pemerintah, keluarga, perkumpulan-
perkumpulan pendidikan”.Pokok yang terjadi pada perubahan social dan budaya
diakibatkan dari perubahan yang berkembang pesat saat ini selain dari pengaruh
pembangunan, juga karena adanya penetrasi kebudayaan dari luar yang masuk
dengan mudah akibat proses pembangunan itu sendiri.
Masyarakat sebagai suatu sistem senantiasa mengalami perubahan.
Perubahan-perubahan pada kehidupan masyarakat tersebut merupakan fenomena
sosial yang wajar. Oleh karena setiap manusia mempunyai kepentingan yang tak
terbatas. Perubahan-perubahan akan nampak setelah tatanan sosial dan
kehidupan masyarakat yang lama dapat dibandingkan dengan tatanan sosial dan
kehidupan masyarakat yang baru. Kehidupan masyarakat desa, dapat
dibandingkan antara sebelum dan sesudah masyarakat dapat mengenai norma-

11
norma, pola-pola prilaku. Organisasi susunan dan stratifikasi masyarakat dan
juga lembaga masyarakat.
Tentang perubahan sosial ini beberapa sosiolog memberikan beberapa
definisi perubahan sosial, yaitu sebagai berikut :
1. William F.Ogburn mengemukakan bahwa ruang lingkup perubahan
sosial meliputi unsur-unsur kebudayaan baik yang materil maupun
immaterial, yang ditekankan adalah pengaruh besar unsur-unsur
kebudayaan material terhadap unsur-unsur immaterial.
2. Kingsley Davis mengartikan perubahan sosial sebagai
perubahanperubahan yang terjadi dalam struktur dan fungsi
masayarakat.
3. Mac lver mengatakan perubahan-perubahan sosial merupakan sebagai
perubahan-perubahan dalam hubungan sosial atau sebagai perubahan
terhadap keseimbangan hubungan sosial.
4. JL.Gillin dan JP. Gillin mengatakan perubahan-perubahan sosial
sebagai suatu variasi dari cara-cara hidup yang telah diterima, baik
karena perubahan-perubahan kondisi georafi, kebudayaan material
komposisi penduduk, ideology maupun karena adanya difusi ataupun
penemuan-penemuanbaru dalam masyarakat.
5. Samuel Koenig mengatakan bahwa perubahan sosial menunjukkan pada
modifikasi yang terjadi dalam pola-pola kehidupan manusia.
6. Selo soemardjan mengatakan segala perubahan-perubahan pada
lembaga-lembaga kemasyarakatan didalam suatu masyarakat, yang
mempengruhi system sosialnya, termasuk didalamnya nilai-nilai sikap
dan pola perilaku di antara kelompok-kelompok dalam masyarakat.
(Waluya, Bagja. 2009).

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pengertian perubahan sosial


adalah perubahan-perubahan yang terjadi pada masyarakat yang mencakup
peubahan dalam aspek-aspek struktur dari suatu masyarakat, ataupun karena
terjadinya perubahan dari factor lingkungan, karena berubahnya komposisi
penduduk, keadaan geografis, serta berubahnya system sosial, maupun
perubahan pada lembaga kemasyarakatan.

12
Berbagai bentuk perubahan sosial meliputi :
1. Perubahan Sosial Secara Lambat
Perubahan sosial secara lambat dikenal dengan istilah evolusi,
merupakan perubahan perubahan yang memerlukan waktu lama karena
masyarakat berusaha menyesuaikan diri dengan keperluan, keadaan
dan kondisi baru yang timbul sejalan dengan pertumbuhan
masyarakatnya: Perubahan yang berjalan dengan sendirinya secara
alami, tanpa re au kehendak tertentu, seperti proses berkembangnya
Sistem Kasta maupun Sistem Feodal dalam kehidupan masyarakat
traditional.
2. Perubahan Sosial Secara Cepat
Perubahan sosial yang berjalan cepat disebut revolusi. Selain terjadi
secara cepat juga menyangkut hal-hal yang mendasar bagi kehidupan
masyarakat dan sering menimbulkan disintegrasi dalam kehidupan
sosial, ekonomi dan politik: Seperti Revolusi ’45 (Revolusi bangsa
Indonesia pada tahun 1945 saat melawan pemerintah penjajah) yang
diwarnai adanya konflik peperangan dan disintegrasi dalam kehidupn
masyarakat, serta berakhir dengan kemerdekaan bangsa Indonesia
(sehingga terjadilah perubahan dalam sendi-sendi kehidupan
masyarakat, dari bangsa yang terjajah menjadibangsa yang merdeka)
3. Perubahan Sosial Kecil
Perubahan sosial kecil merupakan perubahan yang terjadi pada unsur-
unsur struktur sosial yang tidak membawa pengaruh langsung atau
berarti bagi masyarakat karena tidak berpengaruh terhadap berbagai
aspek kehidupan dan lembaga kemasyarakatan: Seperti perubahan pola
makan pada kehidupan Keluarga Modern, dari kebiasaan makan
makanan yang butuh proses panjang dalam cara memasaknya, berlalih
pada makanan instan ( “siap saji” ) seperti Sosis, Nugget, Mi-instan,
berbagai jenis makanan dalam kemasan kaleng dan sebagainya, yang
mungkin hanya berpengaruh terhadap semakin meningkatnya jumlah
permintaan pasar, dan diikuti oleh meningkatnyajumlah produksi jenis
makanan siap saji tersebut.
4. Perubahan Sosial Besar
Perubahan sosial besar merupakan perubahan yang dapat membawa
pengaruh besar dalam berbagai aspek kehidupan serta menimbulkan
perubahan pada lembaga kemasyarakatan, seperti proses industrialisasi
telah membawa pengaruh perubahan pada berbagai lembaga
kemasyarakatan, misalnya :
a) Perubahan lembaga kemasyarakatan yang mengatur kehidupan
keluarga (disebut Lembaga Keluarga) yang semula memilki
aturanaturan yang berkaitan dengan mata pencaharian keluarga di

13
sektor pertanian telah berubah dan berkembang ke arah aturan-
aturan yang terkait dengan mata pencaharian keluarga di sektor
industry.
b) Perubahan juga terjadi pada lembaga kemasyarakatan yang
mengatur proses pendidikan (disebut Lembaga Pendidikan). Jika
pada awalnya lembaga pendidikan menekankan pada pengaturan
proses pendidikan dalam keluarga (pendidikan informal), namun
seiring berkembangnya industrialisasi dimana pendidikan formal
dan nonformal dipandang cukup penting, maka dibutuhkan aturan-
aturan baru yang berkaitan dengan proses pendidikan di sekolah
dan masyarakat, karena masyarakat menyadari arti pentingnya
pendidikan formal dan nonformal di dalam kehidupan masyarakat
industri.
5. Perubahan Sosial Yang Direncanakan (Dikehendaki)
Suatu perubahan yang dikehendaki atau direncanakan, selalu melalui
perencanaan terlebih dahulu, serta di bawah pengendalian maupun
pengawasan Agent of change (agen perubahan). Cara-cara dalam
mempengaruhi masyarakat dengan sistem yang teratur dan
direncanakan terlebih dahulu tersebut dinamakan rekayasa sosial
(sosial engineering) atau yang biasa disebut sebagai perencanaan
sosial: Wujud dari perubahan sosial yang direncanakan (dikehendaki)
misalnya proses pembangunan masyarakat/pemberdayaan masyarakat.
6. Perubahan Sosial Yang Tidak Direncanakan (Tidak Dikehendaki)
Perubahan sosial yang tidak direncanakan (tidak dikehendaki)
merupakan perubahan yang berlangsung tanpa direncanakan
/dikehendaki oleh masyarakat dan di luar jangkauan pengawasan
masyarakat: Seperti perubahan pola hidup yang dialami oleh suatu
bangsa yang mengalami kekalahan dalam peperangan, karena harus
mengikuti pola hidup negara yang menang (penjajah).
Konsep perubahan yang dikehendaki dan tidak dikehendaki tidak
mencakup pengertian apakah perubahan-perubahan tadi diharapkan
atau tidak diharapkan oleh masyarakat. Bisa terjadi perubahan yang
tidak dikehendaki / direncanakan ternyata diharapkan dan diterima oleh
masyarakat: Terjadinya gejolak arus reformasi di Indonesia yang
muncul dan mencuat secara spontan pada saat itu (1998), ternyata
merupakan momentum perubahan yang telah lama diharapkan oleh
masyarakat. (Soekanto, Soerjono. 1990).

14
Proses transformasi global yang kini sedang berlangsung pada dasarnya
digerakan oleh dua kekuatan besar: perdagangan dan kemajuan teknologi yang
keduanya saling menunjan satu sama lain. (Kartasasmita Ginanjar. 1996).
Sejalan perkembangan teknologi yang semakin menampakkan
pengaruhnya di setiap kehidupan individu maupun masyarakat dan secara
langsung maupun tidak langsung, juga terasa jelas mempengaruhi masyarakat.
Tidak dapat dipungkiri bahwa perubahan-perubahan yang secara langsung
maupun tidak langsung mempengaruhi seluruh kehidupan masyarakat itu adalah
dampak dari pembangunan disegala bidang yang dilaksanakan pemerintah untuk
meningkatkan taraf hidup masyarakat setempat. Percepatan perubahan sosial itu
pun terjadi dapat dimungkinkan pula oleh kemajuan teknologi yang diperoleh
warga atau kelompok yang ada dalam masyarakat, melalui pendidikan dan ilmu
pengetahuan.

2.3 Angka Kemiskinan di Kabupaten Tasikmalaya


Jumlah penduduk miskin di Kabupaten Tasikmalaya secara total
menunjukkan cenderung menurun selama periode 2014-2019 (keadaan bulan
Maret). Tahun 2014, jumlah penduduk miskin sebesar 194,76 ribu jiwa atau
11,26 persen dari jumlah seluruh penduduk Kabupaten Tasikmalaya. Pada tahun
2015, angka kemiskinan naik sehingga pada Maret tahun 2015 jumlah penduduk
miskin menjadi 208,12 ribu jiwa atau 11,99 persen dari jumlah penduduk. Pada
tahun 2016, angka kemiskinan turun menjadi 11,24 persen atau sebesar 195,61
ribu jiwa, di tahun 2017 kembali turun sebesar 189,35 ribu jiwa atau sebesar
10,84 persen, di tahun 2018 kembali turun menjadi 172,41 ribu jiwa atau sebesar
9,85 persen dan di tahun 2019 kembali turun menjadi 159,93 ribu jiwa atau
sebesar 9,12 persen.

15
Grafik. 2.1. Jumlah Penduduk Miskin di Kabupaten Tasikmalaya, 2014-
2019

208,12
194,76 195,61 189,35
172,41
159,93

2014 2015 2016 2017 2018 2019

Sumber : Statistik Indikator Kesejahteraan Rakyat (Inkesra) 2020


Kabupaten Tasikmalaya (https://tasikmalayakab.bps.go.id/publikasi.html)
Karakteristik rumah tangga miskin dapat dilihat dari kondisi demografi,
pendidikan dan ketenagakerjaan dari kepala rumah tangga; kondisi perumahan;
dan persebarannya menurut kabupaten/kota. Pemahaman mengenai karakteristik
rumah tangga miskin penting sebagai dasar dalam penyusunan kebijakan dan
program pengentasan kemiskinan agar tepat sasaran.
Garis Kemiskinan digunakan sebagai batas untuk mengelompokkan
penduduk miskin dan tidak miskin. Penduduk miskin adalah penduduk yang
memiliki rata-rata pengeluaran per bulan di bawah garis kemiskinan. Garis
kemiskinan Kabupaten Tasikmalaya mengalami peningkatan setiap tahun selama
periode 2014-2019, tahun 2014 sebesar Rp 246.796 dan di tahun 2015 meningkat
menjadi Rp. 255.540 dan terus meningkat sampai pada tahun 2016 sudah
mencapai Rp 274.470 demikian juga di tahun 2017 sebesar Rp 284.462 per bulan,
di tahun 2018 sebesar Rp 306.759 dan di tahun 2019 naik sebesar Rp 311.848.

16
Grafik. 2.2. Garis Kemiskinan di Kabupaten Tasikmalaya, 2014-2019
(Rupiah/Kapita/Bulan)

350000 306759 311848


274470 284462
300000 246796 255540

250000

200000

150000

100000
2014 2015 2016 2017 2018 2019

Sumber : Statistik Indikator Kesejahteraan Rakyat (Inkesra) 2020


Kabupaten Tasikmalaya. (https://tasikmalayakab.bps.go.id/publikasi.html)

Indeks kedalaman kemiskinan (P1) merupakan ukuran rata-rata


kesenjangan pengeluaran masing-masing penduduk miskin terhadap garis
kemiskinan. Selama periode 2014 – 2019 P1 mengalami fluktuasi, dimana nilai
tahun 2014 sebesar 1,13, kemudian tahun 2015 meningkat menjadi 1,90 pada
tahun 2016 kembali turun menjadi 1,78, pada tahun 2017 mengalami penurunan
menjadi sebesar 1,36 pada tahun 2018 menurun lagi menjadi 1,19 dan pada tahun
2019 menurun lagi menjadi 0,84. Nilai P1 yang semakin rendah menunjukkan
rata-rata pengeluaran penduduk miskin terhadap garis kemiskinan semakin
dekat. Diharapkan dengan nilai P1 yang semakin kecil, penduduk miskin yang
mendekati garis kemiskinan dapat terangkat dari kondisi miskin.
Tabel 2.1. Indeks Pembangunan Manusia Menurut Kabupaten/Kota di
Provinsi Jawa Barat, 2015-2019

Kabupaten/Kota y 2015 2016 2017 2018 2019


(1) (2) (3) (4) (5) (6)
Bogor 67.77 68.32 69.13 69.69 70.65
Sukabumi 64.44 65.13 65.49 66.05 66.87
Cianjur 62.42 62.92 63.70 64.62 65.38

17
Bandung 70.05 70.69 71.02 71.75 72.41
Garut 63.21 63.64 64.52 65.42 66.22
Tasikmalaya 63.17 63.57 64.14 65.00 65.64
Ciamis 68.02 68.45 68.87 69.63 70.39
Kuningan 67.19 67.51 67.78 68.55 69.12
Cirebon 66.07 66.70 67.39 68.05 68.69
Majalengka 64.75 65.25 65.92 66.72 67.52
Sumedang 69.29 69.45 70.07 70.99 71.46
Indramayu 64.36 64.78 65.58 66.36 66.97
Subang 66.52 67.14 67.73 68.31 68.69
Purwakarta 67.84 68.56 69.28 69.98 70.67
Karawang 67.66 68.19 69.17 69.89 70.86
Bekasi 71.19 71.83 72.63 73.49 73.99
Bandung Barat 65.23 65.81 66.63 67.46 68.27
Pangandaran 65.62 65.79 66.60 67.44 68.21

Kota/ Municipality
Bogor 73.65 74.50 75.16 75.66 76.23
Sukabumi 71.84 72.33 73.03 73.55 74.31
Bandung 79.67 80.13 80.31 81.06 81.62
Cirebon 73.34 73.70 74.00 74.35 74.92
Bekasi 79.63 79.95 80.30 81.04 81.59
Depok 79.11 79.60 79.83 80.29 80.82
Cimahi 76.42 76.69 76.95 77.56 78.11
Tasikmalaya 69.99 70.58 71.51 72.03 72.84
Banjar 69.31 70.09 70.79 71.25 71.75
Jawa
69.50 70.05 70.69 71.30 72.03
Barat
Sumber: Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Barat (https://jabar.bps.go.id)

Kualitas sumber daya manusia mampu menjadi faktor penyebab terjadinya


penduduk miskin. Kualitas sumber daya manusia dapat dilihat dari indeks
kualitas hidup/indeks pembangunan manusia. Rendahnya Indeks Pembangunan

18
Manusia (IPM) akan berakibat pada rendahnya produktivitas kerja dari
penduduk. Produktivitas yang rendah berakibat pada rendahnya perolehan
pendapatan. Sehingga dengan rendahnya pendapatan menyebabkan tingginya
jumlah penduduk miskin.
Penanggulangan kemiskinan di Kabupaten Tasikmalaya adalah salahsatu
kebijakan yang membutuhkan kajian penerapan konsep collaborative
governance. Hal tersebut dikarenakan dalam setiap proses diperlukan terjalinnya
sinergitas dari beberapa stakeholders untuk menentukan strategi dalam
mewujudkan tujuan antar aktor secara keseluruhan. Oleh karena itu, dalam
pelaksanaannya diperlukan kerjasama antara pemerintah, swasta dan masyarakat
untuk membangun kebersamaan dalam menanggulangi masalah ketimpangan
sosial.
Melalui inovasi ini mampu menjadi terobosan cara baru dalam
penyelenggaraan pemeritahan di tengah-tengah era disrupsi. Oleh karenanya
inovasi pemerintahan dinilai sebagai salahsatu bagian penting dari proses system
inovasi secara nasional maupun pada tingkat lokal, sekaligus sebagai aktor
penunjang terciptanya inovasi dalam sektor publik pada masing-masing
tingkatan.
Seperti diungkapkan oleh ahli bahwa:

Beberapa Negara pada dekade terakhir telah membawa sejumlah


perubahan besar kepada pemerintah dan pemerintahan, terutama dalam
pergeseran reformasi manajemen publik, transformasi, rekayasa ulang,
dan modernisasi yang didorong baik oleh politisi dan para pemimpin
birokrasi yang dinamis. Adanya beberapa alat manajemen seperti
manajemen mutu terpadu dan manajemen publik baru telah mendorong
pemerintah menjadi lebih efisien, lebih terinformasi, memiliki ketepatan
tujuan, dan kecepatan umpan balik. Pasokan pemerintah menjadi
meningkat dan masyarakat bisa menuntut pemerintah untuk menyediakan
kebutuhan mereka. (Mulgan, 2009:40).

19
Daerah yang berinovasi dalam tata kelola pemerintahan cenderung dapat
meningkatkan kemajuan pada bidang lainnya dan pada akhirnya mencapai
kesejahteraan di daerahnya. Seperti yang telah dilakukan pemerintah sebagai
penghargaan ‘Innovate Government Award (IGA) 2019’ bagi daerah inovatif
dilihat dari aspek kuantitas, kualitas dan manfaat pernghargaan tersebut di tingkat
Kabupaten dan Kota di terima oleh Kabupaten Banyuwangi dan Kota terinovatif
adalah Denpasar, dan di tingkat Propinsi terinovatif yaitu Jawa Tengah, Jawa
Barat, Sumatera Barat, DKI Jakarta, serta Riau. (Roland, 2019 dalam DetikNew,
18 Oktober 2019).
Inovasi di daerah-daerah perlu terus diteruskan sebagai upaya dalam
meningkatkan daya saing daerah. Alasannya, pertama meningkatkan
perekonomian negara melalui daya Tarik investasi baik asing maupun publik;
kedua, meningkatkan kualitas sumber daya manusia yang kreatif dan inovatif;
ketiga, teknologi inovasi dan memicu aktivitas inovasi dan sirkulasi ilmu
pengetahuan. Adapun peningkatan daya saing daerah/negara dilakukan melalui
langkah-langkah strategis, seperti merumuskan kebijakan progresif baik di
pemerintah pusat dan derah, memperkuat kelembagaan dan tata kelola, dan
membangun infrastruktur. (Kajian Atas Kebijakan Daya Saing Daerah dalam
Rangka Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat, Kementerian Republik
Indonesia, 2015:5)
Selain itu, inovasi menurut Evereet M. Roger membagi inovasi ke dalam
enam tahapan:
1. Mengenali masalah atau kebutuhan (recognizing a problem or need),
yaitu tahap yang berusaha untuk mengenali masalah, tantangan, serta
tujuan yang akan dicapai.
2. Riset dasar dan aplikatif (basic and applied research), yaitu tahap yang
berupaya mencari tahu secara sedalam-dalamnya untuk mengethui
rumusan inovasi yang sesuai dengan kebutuhan, serta mampu
menjawab permasalahan yang ada.

20
3. Pengembangan (development), yaitu tahap yang berupaya
meningkatkan kualitas suatu inovasi atas gagasan yang dirumuskan
sebelumnya.
4. Komesialisasi (commercialization) tahap ini inovasi diarahkan untuk
mengahasilkan suatu produk melalui proses produksi, hingga dilakukan
pemasaran atas inovasi tersebut.
5. Difusi dan adopsi (diffusion and adoption), yaitu tahap ketika inovasi
telah tercipta dan dijalankan oleh masyarakat sasaran. Aktor pembuat
inovasi (pembuat kebijakan) berperan untuk melakukan difusi atau
penerapan kepada masyarakat melalui sosialisasi dan dialog.
6. Konsekuensi (consequences) pada tahap ini implikasi yang dihadirkan
apakah memberikan perubahan untuk permasalahan semula atau justru
tidak memberikan dampak dan permasalahan yang tidak terselesaikan.
Pada tahap ini an ini, sukses atau tidaknya sustu inovasi akan terlihat
dari implikasi di masyarakat yang mempraktikkan. (Rogers Evereet,
1983:135-162 dalam Inovasi Pemerintahan Rahman Fatur,Tarigan
Janwan, 2020:25-27).

Penulis mengamati inovasi di dalam tata kelola pemerintahan masih jarang.


Oleh karena itu, mengingat peran inovasi pelayanan publik di daerah menjadi inti
hal ini sebagai wujud pengembangan inovasi pada pemerintahan perlu terus
ditingkatkan agar dapat menjadi pemicu sekaligus sebagai pondasi mencipta
inovasi. Harapan bersama, inovasi-inovasi pelayanan pubik tercipta di setiap
daerah-daerah secara merata, progresif, dan masif.

2.4 Program Inovasi Collaborative Governance Dalam Penanggulangan


Kemiskinan di Kabupaten Tasikmalaya
Pada era saat ini, penekanan bukan lagi pada persaingan semata, namun
pada kerja sama atau kolaborasi untuk menciptakan sesuatu yang jauh lebih besar
dari kerja individu atau sektor tertentu. Collaborative governance hadir sebagai
respon atas meningkatnya kebutuhan masyarakat atas pelayanan publik.
Tingginya kebutuhan dan semakin kompleknya permasalahan suatu negara baik
di pusat maupun di daerah mendorong adanya kerjasama dari beragam aktor
terkait untuk meningkatkan efektivitas manajemen publik.

21
Badan Pusat Statistik menjelaskan bahwa ada beberapa strategi yang dapat
dilakukan dalam penanggulangan kemiskinan, diantaranya adalah melalui
kebijakan makro ekonomi, pendekatan kewilayahan, dan pendekatan pemenuhan
hak-hak dasar kebutuhan manusia. Kebijakan makro ekonomi untuk
menanggulangi kemiskinan adalah dengan cara meningkatkan pertumbuhan
ekonomi, stabilitas ekonomi dan penciptaan lapangan kerja. Pendekatan
kewilayahan yang digunakan untuk menanggulangi kemiskinan adalah dengan
percepatan pembangunan perdesaan, pembangunan perkotaan, pengembangan
kawasan pesisir, dan percepatan pembangunan di daerah tertinggal. Sedangkan
melalui pendekatan pemenuhan hak-hak dasar adalah dengan melakukan
pemenuhan hak atas pangan, sandang, pendidikan, kesehatan, akses terhadap
sumber daya sosial dan ekonomi, kegiatan usaha produktif, perumahan air bersih
dan rasa aman. (Abidin, dkk, 2013).
Pasca revolusi industri 4.0 menuju Society 5.0, kebijakan penanggulangan
kemiskinan tidak dapat dilepaskan dari penetrasi Information and
Communication Technology (ICT) dalam pelaksanaannya. Penetrasi ICT
menimbulkan isu digital poverty sebagai akibat digital devide yang dialami oleh
kelompok miskin.
Partisipasi menjadi kata kunci dalam pembangunan. Adapun alasan
pembenaran bagi partisipasi masyarakat dalam pembangunan yaitu: (a) rakyat
adalah fokus sentral dan tujuan terakhir pembangunan, partisipasi merupakan
akibat logis dari dalil tersebut; (b) partisipasi menimbulkan harga diri dan
kemampuan pribadi untuk dapat turut serta dalam keputusan penting yang
menyangkut masyarakat; (c) partisipasi menciptakan suatu lingkungan umpan
balik arus informasi tentang sikap, aspirasi, kebutuhan dan kondisi daerah yang
tanpa keberadaannya akan tidak terungkap. arus informasi ini tidak dapat
dihindari untuk berhasilnya pembangunan; (d) pembangunan dilaksanakan lebih
baik dengan dimulai dari mana rakyat berada dan dari apa yang mereka miliki;

22
(e) partisipasi memperluas zone (wawasan) penerima proyek pembangunan; (f)
partisipasi akan memperluas jangkauan pelayanan pemerintah kepada seluruh
masyarakat; (g) partisipasi menopang pembangunan; (h) partisipasi menyediakan
lingkungan yang kondusif baik bagi aktualisasi potensi manusia maupun
pertumbuhan manusia; (i) partisipasi merupakan cara yang efektif membangun
kemampuan masyarakat untuk pengelolaan program pembangunan guna
memenuhi kebutuhan khas daerah; (j) partisipasi dipandang sebagai pencerminan
hak-hak demokratis individu untuk dilibatkan dalam pembangunan mereka
sendiri. (Moeljarto dalam Supriatna, 2000).
Collaborative governance antara institusi menjadi isu penting dalam ilmu
pemerintahan mengingat banyak persoalan pemerintah yang memiliki implikasi
luas yang tidak bisa ditangani secara optimal dan dipecahkan secara tuntas jika
hanyak mengandalkan pada suatu intitusi pemerintahan saja. Melalui kolaborasi
ini diharapkan persoalan yang dihadapi bisa diatasi atau paling tidak bisa
diminimalisir secara signifikan.
Adapun definisi Collaborative governance menurut Ansell and Gash
menyatakan :

A governing arrangement where one or more public agencies directly


engage non-state stakeholders in a collective decision-making process
that is formal, consensus-oriented, and deliberative and that aims to
make or implement public policy or manage public programs or assets.
(Collaborative governance adalah serangkaian pengaturan dimana satu
atau lebih lembaga publik yang melibatkan secara langsung terlibat
pemangku kepentingan non publik dalam proses pengambilan keputusan
yang bersifat formal, berorientasi konsensus, dan musyawarah yang
bertujuan untuk membuat atau mengimplementasikan kebijakan publik
atau mengelola program atau aset publik. (Ansell dan Gash 2007:544
dalam Collaborative Governance Konsep dan Aplikasi Islamy Syaeful,
2018:1).

23
Menurut pendapat Ansell dan Gash collaborative governance merupakan
kegiatan kolaborasi dengan mengatur suatu keputusan dalam proses suatu
kebijakan yang dilakukan oleh beberapa lembaga publik dengan pihak lain
yang terkait dan terlibat secara langsung maupun tidak langsung dengan tujuan
untuk menyelesaikan masalah publik. Model collaborative governance
menurut Ansell dan Gash yaitu kondisi awal dalam suatu kolaborasi
dipengaruhi oleh beberapa fenomena, yaitu para stakeholders memiliki
kepentingan dan misi bersama yang ingin dicapai, sejarah bersama di masa lalu,
saling menghormati kerjasama yang dijalin, kepercayaan masing-masing
stakeholders, ketidakseimbangan kekuatan, sumber daya dan pengetahuan.
Gambar. 2.4.1. Model Collaborative Governance Ansell dan Gash, 2007:543
dalam collaborative governance Konsep dan Aplikasi Islamy Syaeful, 2018:14.

Sumber : Ansell &Gash, 2007:543 dalam collaborative governance


Konsep dan Aplikasi Islamy Syaeful, 2018:14

Model ini mempunyai empat variabel yang menjadikan pusat perhatian


yaitu: Kondisi Awal, Kepemimpinan Fasilitatif, Desain Kelembagaan dan
Proses Kolaborasi. Masing-masing variabel dapat diperkecil lagi menjadi sub-

24
sub variabel. Di dalam proses kolaborasi merupakan inti dari model ini,
sedangkan Kondisi Awal, Kepemimpinan Fasilitatif, dan Desain Kelembagaan
dipresentasikan sebagai faktor pendukung yang memberikan kontribusi penting
dalam proses kolaborasi.
1. Starting Condition (Kondisi Awal)
Pada tahap kondisi awal dalam relasi antar stakeholder, masing- masing
aktor memiliki latar belakang yang berbeda yang dapat menghasilkan
sebuah bentuk hubungan asimetris dalam relasi yang dijalankan.
Berdasarkan permasalahan tersebut maka merangkum permasalahan
tersebut menjadi tiga variabel yaitu:
a. Adanya ketidak seimbangan sumber daya dan pengetahuan antar
pelaku kolaborasi
b. Harus ada insentif yang jelas dalam berkolaborasi
c. Adanya ketakutan akan terjadinya konflik jika berkolaborasi
dilaksanakan.
2. Kepemimpinan Fasilitatif (Facilitatif Leadership)
Ryan dalam Ansell dan Gash mengidentifikasikan tiga komponen
kepemimpinan kolaboratif yang efektif, yaitu:
a. Manajemen yang cukup terhadap proses kolaborasi;
b. Pengelolaan kemampuan melaksanakan kredibilitas teknis;
c. Memastikan bahwa kolaborasi tersebut diberdayakan untuk membuat
keputusan yang kredibel dan meyakinkan bagi semua aktor.
3. Desain Istitusional (Institutional Design)
Ansell dan Gash mendeskripsikan bahwa Desain Intitusional mengacu
pada protokol dasar dan aturan-aturan dasar untuk kolaborasi secara kritis
yang paling ditekankan adalah legitimasi prosedural dalam proses
kolaborasi. Dalam proses kolaborasi yang harus ditekankan adalah
pemerintah harus bersifar terbuka dan inklusif.

4. Proses Kolaborasi (Collaborative Process)


Model proses kolaborasi mengembangkan kolaborasi sebagai
perkembangan tahapan. Gray dalam Ansell dan Gash mendefinisikan tiga
tahapan proses kolaborasi antara lain problem setting (penentuan
permasalahan), Direction Setting (penentuan tujuan), dan implementasi.
Tahapan membentuk kolaboratif sebagai berikut:
a. Dialog tatap muka (Face to face)
b. Membangun kepercayaan (Trust Building)
c. Komitmen terhadap proses (Commitment to process)
d. Saling memahami (Share Understanding). (Ansel and Gash, 2007:544,
dalam Collaborative Governance Konsep dan Aplikasi Islamy Syaeful,

25
2018, 13-14).

Definisi tersebut dapat dirumuskan beberapa kata kunci yang menekankan


pada enam karekteristik, antara lain :
1. Forum tersebut diinisiasi atau dilaksanakan oleh lembaga publik
maupun aktor-aktor dalam lembaga publik.
2. Peserta di dalam forum tersebut juga termasuk aktor non publik.
3. Peserta terlibat secara langsung dalam pembuatan dan pengambilan
keputusan dan keputusan tidak harus merajuk pada aktor-aktor publik.
4. Forum terorganisir secara formal dan pertemuan diadakan secara
bersama-sama.
5. Forum bertujuan untuk membuat keputusan atas kesepakatan bersama,
dengan kata lain forum ini berorientasi pada konsensus.
6. Kolaborasi berfokus pada kebijakan publik maupun manajemen
publik. (Ansell dan Gash, 2007:544).

Secara umum, bentuk governance terdiri atas model dominasi negara,


model pemerintahan, dan model multiaktor, sebagaimana oleh Hanberger. Dari
ketiga model tersebut, model yang diyakini sebagai pendekatan dalam
collaborative governance adalah model multiaktor. Karakteristik dari ketiga
bentuk governance memiliki perbedaan satu dengan lainnya, seperti dalam
tabel berikut.

Tabel 2.2 Karakteristik Model-model Governance

Model Governance
Karakteristik Model
Model Dominasi Model
Pemerintahan
Negara Multiaktor
Lokal
Kebijakan negara Kebijakan Kemitraan atas
Dasar hukum atau nasional pemerintah lokal kontrak

Orientasi Kepentingan elite Kepentingan elit Partisipasi

Prinsip Negara (State) Pemerintah lokal Aktor eksternal

26
Kota, pasar,
Agen Kabupaten, pasar masyarakat lokal Aktor eksternal
Tipe masalah
kebijakan Sederhana Kompleks Kompleks
Bottom-up,
consesnsus,
Proses Top- collective
implementasi Top-down control down/Bottom-up learning
Terbatas pada Terbagi pada Terbagi diantara
politisi di tingkat politisi dan aktor yang
Akuntabilitas pusat tingkat lokal terlibat

Sumber: Hanberger, 2004:5 dalam Inovasi Pemerintahan. Rahman, 2020:56.

Kerja sama yang dibangun antara aktor dalam collaborative governance


memiliki kekuatan otonom masing-masing sedangkan proses kerja sama
kemitraan yang terjalin tetap berdasar pada peraturan, norma dan struktur yang
disepakati bersama. Kerja bersama ini dalam rangka melakukan tindakan dan
menyelesaikan isu serta masalah yang dihadapi bersama.
Sebagaimana diungkapkan Gray, Bingham and O’Leary, Farazmand,
Huxman, and Vangen menyatakan :
Collaborative governance adalah jenis ‘governance” yang mendorong
upaya bersama dari pemangku kepentingan dan non-state untuk
bekerjasama dalam mengatasi masalah-masalah yang kompleks melalui
pengambilan keputusan kolektif dan implementasi. (Gray 1989; Bingham
and O’Leary 2008; Farazmand 2004; Huxman dan Vangen 2000 dalam
Collaborative Governance Konsep dan Aplikasi Islamy Syaeful, 2018:3).

Definisi ini menyoroti bagaimana para pemangku kepentingan dengan


kepentingan yang berbeda, kekuatan dan kelemahan, terlibat satu sama lain
untuk mencapai tujuan yang menjadi tujuan bersama. Bekerja secara kolektif
tidak tanpa potensi konflik kemungkinan terjadi terutama ketika ada kebutuhan

27
pembagian kewenangan sumber daya untuk penyediaan layanan sebagai bagian
dari upaya implementasi.
Maka diperlukan kepemimpinan, pengalaman dan pengetahuan sebagai
kunci dalam pembentukan kolaborasi, selain itu faktor internal juga sangat
menentukan seperti kepemimpinan politik dan dukungan keuangan. (Heikkila
and Gerlak, 2005 dalam Collaborative Governance Konsep dan Aplikasi
Islamy Syaeful, 2018:4).
Selanjutnya, Collaborative governance menurut Agranoff dan Mc Guire
menyatakan sebagai berikut:

In particular, collaborative governance has put much emphasis on


voluntary collaboration and horizontal relationships among multi-
sectoral participants, since demands from clients often transcend the
capacity and role of a single public organization, and require interaction
among a wide range of organizations that are linked and engaged in
public activities. Collaboration is necessary to enable governance to be
structured so as to effectively meet the increasing demand that arises from
managing across governmental, organizational, and sectoral boundaries.
Secara khusus, collaborative gvernance telah menempatkan banyak
penekanan pada kolaborasi horisontal sukarela dan hubungan horizontal
antara partisipan multi sektoral, karena tuntutan dari klien sering
melampaui kapasitas dan peran organisasi publik tunggal, dan
membutuhkan interaksi di antara berbagai organisasi yang terkait dan
terlibat dalam kegiatan publik. kolaborasi diperlukan untuk
memungkinkan governance menjadi terstruktur sehingga efektif
memenuhi meningkatnya permintaan yang timbul dari pengelolaan lintas
pemerintah, organisasi, dan batas sektoral. (Agranoff dan Mc Guire,
2003:4).

Pada gagasan Agranoff dan McGuire menunjukkan bahwa collaborative


governance atau kolaborasi penyelenggaraan pemerintahan dalam lingkup yang
lebih general yakni penyelenggaraan pemerintahan secara keseluruhan.
Collaborative governance dalam hal ini lebih menitik beratkan pada aspek
sukarela dalam praktik kolaborasi. Aspek kesukarelaan tersebut diharapkan

28
setiap aktor yang terlibat dalam kolaborasi bekerja secara optimal untuk
tercapainya tujuan dalam kolaborasi. Sehingga program atau kebijakan yang
yang dilaksanakan akan terksana lebih efektif karna melibatkan relasi oganisasi
atau institusi.
Model Agranoff dan Mc. Guire melihat kolaborasi dari dua variabel yaitu
aktivitas dan strategi, dari dua variabel ini kemudian dikembangkan lagi sehingga
menghasilkan enam gaya kolaborasi seperti pada gambar berikut:
Gambar. 2.4.2. Model Kolaborasi Agranoff dan Mc. Guire

Sumber : Model Kolaborasi Agranoff dan Mc. Guire: 2003:54

a. Jurisdiction Based
Gaya ini digambarkan sebagai aktivitas kolaborasi aktif (variable
vertical) dan kolaborasi bersifat oportunis (variable horizontal).
variable vertical merupakan hubungan aktivitas pelaku para aktor yang
beranggapan bahwa bekerja dengan aktor lain merupakan dari
pekerjaannya tetapi aktivitasnya mengikuti pola dari luar. Sehingga
tawar menawar berbuah kesepakatan unilateral dan mutualy benefical
solution.
Variable horizontal menggambarkan proses pembuatan kebijakan dan
tata kelola (governance). Dalam hal ini tidak satupun aktor memiliki
power untuk menentukan aktivitas aktor lain karena setiap aktor
memiliki kebijakan stategi dan operasional masing-masing.

29
b. Abstinence
Gaya ini merupakan penolakan (abstain) dalam melakukan kolaborasi
dan memilih tidak melibatkan diri dalam program dengan alasan : a)
menolak adanya “rembesan” campur tangan dari luar, b) kurangnya
kapasitas dalam memainkan peran, c) memilih pergi sendiri (going it
alone).
c. Top Down
Gaya ini lebih pada penekanan terhadap kontrol pemerintah pusat
secara vertical pada pemerintah regional maupun lokal. Dalam gaya ini
muncul perdebatan bagaimana mewujudkan program nasional melalui
pemerintah daerah sedangkan secara hokum pemerintah daerah
memiliki hak otonom. Oleh sebab itu aspek yang paling menentukan
dalam gaya ini adalah ketaatan secara sukarela, serta kesesuaian
program pemerintah daerah dalam melaksanakan program pemerintah
pusat.
d. Donor Recipient
Model ini didasarkan bahwa sejumlah aktor yang menguasai keahlian
dan informasi untuk dengan konsisten mengontrol kebijakan dengan
mengakomodir sekian banyak kepentingan sosial.
Gaya ini membutuhkan keterlibatan grantors dan grante karena aktor-
aktor dalam sistem kolaborasi ini saling ketergantungan antara satu
dengan yang lainnya. Gaya ini memiliki ciri utama adalah kolaborasi
secara minimal menggabungkan vertikal dan horizontal.
e. Reactive
Gaya ini memiliki ciri tidak adanya dominasi orientasi dalam strategi
atau aktifitas kolaborasi dan pendekatan yang digunakan adalah maybe,
maybe not.
f. Contented
Gaya ini lebih menekankan strategi dalam kolaborasi daripada kegiatan
kolaborasi itu sendiri. Dengan kata lain gaya ini lebih bersifat
oportunistik dan berusaha untuk memahami lingkungan sesuai dengan
preferensi pemerintah local atau organisasi itu sendiri. (Agranoff and
Guire, 2003:62 dalam Collaborative Governance Konsep dan Aplikasi
Islamy Syaeful, 2018:15-17)

Dari pendapat para ahli maka penulis memberikan definisi bahwa


Collaborative governance merupakan langkah tatanan pemerintahan yang di
dalamnya terdapat keterlibatan semua pihak antara pemangku kepentingan
pemerintah dan swasta yang saling berkaitan dalam sistem kolaborasi dalam

30
penyelenggaraan pemerintahan dengan model keseimbangan kekuatan dan
sumber daya sehingga saling bergantung dalam mengatasi masalah-masalah
yang kompleks melalui pengambilan keputusan kolektif dan Implementasi
berorientasi consensus. Kolaborasi akan melengkapi kekosongan atau kelemahan
suatu institusi pemerintah. Pihak-pihak di luar pemerintah akan mengisi
kekosongan tersebut sehingga tercipta institusi yang lebih kuat dan mampu
memberikan pelayanan publik dengan lebih baik.
Dalam kerangka itulah, dikemukakan berbagai teori pelayanan publik yang
menempatkan pemerintah tidak saja sebagai pengayom, tetapi melayani.
Sebagaimana dikemukakan oleh Osborne (1992) dengan mewirausahakan
birokrasi bahwa pemberian pelayanan publik terletak pada pemerintah lewat
birokrasinya. Pelajaran publik pun dapat diberikan oleh pihak swasta dan pihak
ketiga, seperti organisasi-organisasi nonprofit, relawan (volunteer), lembaga
swadaya masyarakat atau pihak ketiga. (Ali Farid, Kadir, Faried, 2015:76).

2.4.1 Program Unit Pelayanan Cepat Penanggulangan Kemiskinan (UPCPK)


Salah satu pencapaian yang sangat penting adalah Pelaksanaan Undang-
Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional secara
bertahap. Undang-Undang ini mengamanatkan perluasan cakupan kepesertaan
jaminan sosial terhadap seluruh penduduk berupa jaminan kesehatan, jaminan
kecelakaan kerja, jaminan hari tua, dan jaminan kematian. Pendekatan yang
digunakan bersifat progresif, mencakup skema bantuan pemerintah bagi
penduduk miskin, skema iuran bagi pekerja di luar hubungan kerja dan iuran
(persentasi upah) bagi pekerja formal. Jaminan kesehatan universal, di bawah
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan yang telah beroperasi
sejak tanggal 1 Januari 2014, dan jaminan sosial pekerja, di bawah Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan dan mulai beroperasi
pada tahun 2015.

31
Sejak dibentuk Unit Pelayanan Cepat Penanggulangan Kemiskinan
(UPCPK) di Kabupaten Tasikmalaya pada tahun 2013 telah menerima sedikitnya
21.688 pengajuan bantuan hingga Desembem 2021. Jumlah pengajuan yang
melingkupi sektor pendidikan mencapai 115 orang, sementara sisanya berada di
sektor kesehatan. UPCPK sendiri merupakan bagian dari struktur Tim
Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan Daerah yang berfungsi untuk
menampung keluhan-keluhan masyarakat yang membutuhkan di sektor
pendidikan dan kesehatan. Kedua sektor itu merupakan kebutuhan mendasar
yang sangat diperlukan oleh masyarakat kelas menengah dan bawah. Selain itu,
kualitas pendidikan dan kesehatan menjadi pengaruh besar dalam Indeks
Pembangunan Manusia di Kabupaten Tasikmalaya. Dalam tata kelola program
UPCPK di Kabupaten Tasikmalaya mengedepankan kolaborasi antar unit kerja
guna menggagas inovasi kolektif, manajemen inovasi di lingkungan birokrasi
diharapkan saling bersinergi , berintegrasi dan bersinkronisasi.
Dengan cara itu, publik akan mendapatkan layanan yang makin cepat,
disisi lain para birokrat tetap mampu mewujudkan layanan unggul tanpa
menambah jam kerja karena sektor publik harus memberanikan diri melakukan
lompatan-lompatan kemajuan (leapfrogging). Mengutip pidato kenegaraan
Presiden Joko Widodo pada 16 Agustus 2019 lalu, menjadi lebih baik dari
sebelumya saja tidak cukup, kita harus lebih baik sari yang lain. Semangat kerja
cerdas melalui inovasi dan lompatan kemajuan itulah yang harus diwujudkan
dalam organisasi birokrasi pemerintahan kita.
Awalnya UPCPK di Kabupeten Tasikmalaya hanya memberikan
rekomendasi untuk mencover pembiayaan kesehatan bekerjasama dengan Dinas
Kesehatan sehingga segala beban biaya yang masuk ke Jamkesda di tanggung
oleh Jamkesda. Namun setelah terbit Inpres Nomor 8 Tahun 2017 dan Perpres
No 2 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan serta Surat Edaran dari Sekretariat
Daerah Kabupaten Tasikmalaya, Jaminan Kesehatan Daerah ini dipergunakan

32
untuk mengintegrasikan pemohon atau pemegang Jamkesda ke JKN KIS yang
dibiayai oleh APBD Kabupaten Tasikmalaya.
Pada dasarnya, kapasitas untuk melakukan tindakan bersama merupakan
hal krusial dan merupakan tantangan utama kolaborasi, karena selalu terdapat
perbedaan karakteristik dan kekuatan masing-masing aktor. Kejelasan prosedur
dan kesepakatan bersama yang dituangkan dalam bentuk legal-formal, pengaruh
kepemimpinan, manajemen pengetahuan, serta manajemen sumber daya
merupakan elemen-elemen yang mempengaruhi baik tidaknya kapasitas dari para
aktor, sehingga menjadi mampu melakukan tindakan bersama. Namun, melihat
penjelasan pada masing- masing aktor, terdapat pengaruh yang muncul dari
komponen sebelumnya, yaitu penggerakan prinsip bersama, dan motivasi
bersama.

2.4.2 Sigesit 119


Tingginya angka kematian akibat pandemic Covid-19 di Kabupaten
Tasikmalaya mengharuskan peran pemerintah untuk terus berinovasi dalam
bidang kedaruratan layanan kesehatan. Langkah ini dapat mempermudah
masyarakat mendapatkan informasi maupun akses layanan kesehatan dengan
mudah dan cepat sebagaimana tertuang dalam Peraturan Bupati Nomor 17 Tahun
2020 Tentang Pembentukan Public Safety Center 119 Dalam Penyelenggaraan
Sistem Penanggulangan Gawat Darurat Terpadu. Sejak regulasi diterbitkan di
tahun 2020, masyarakat di perdesaan bisa menghubungi nomor 119 untuk
medapatkan layanan secara inklusif oleh tenaga kesehatan yang bertugas di tiap
Kecamatan.
Dalam melaksanakan tugasnya bekerjasama dengan RT Siaga, Para Kader
dan Pekerja Sosial Masyarakat (PSM) sehingga dalam penanganannya terjalin
dengan model kolaborasi antar pihak dengan tujuan membantu dan melindungi
masyarakat dalam menghadapi situasi saat ini.

33
Seperti yang telah disampaiakan oleh Bupati Tasikmalaya H. Ade Sugianto
bahwa:
“Pemerintah Kabupaten Tasikmalaya memiliki 40 Puskesmas yang
tersebar di 39 Kecamatan, dalam Program SIGESIT 119 ini, kita tempatkan
4 mobil ambulance di 4 titik pusat pelayanan keselamatan terpadu/Public
Safety Center yakni wilayah Singaparna, Ciawi, Cikatomas, dan Cipatujah.
Di tiap titik encakup 10 wilayah Puskesmas dimana, pada setiap Puskesmas
dibentuk tim layad rawat dengan didukung satu unit ambulance motor.”

Kebijakan sosial pada dasarnya merupakan instrumen kebijakan yang


digunakan untuk memastikan bahwa warga negara mendapatkan akses terhadap
pelayanan dasar, seperti pelayanan kesehatan, pendidikan, perumaahn,
perlindungan sosial. (Tribowo&Subono, 2009:5).
Langkah kolaborasi ini ditempuh dengan melakukan berbagai diskusi baik
secara formal maupun informal baik itu dilakukan dengan masyarakat langsung
maupun dengan para pihak yang berkaitan atau bahkan dapat menjadi sumber
untuk upaya penanggulangan masalah yang ada.

2.4.3 SDGs Dalam Pembangunan Desa


SDGs Desa adalah upaya terpadu mewujudkan Desa tanpa kemiskinan dan
kelaparan, Desa ekonomi tumbuh merata, Desa peduli kesehatan, Desa peduli
lingkungan, Desa peduli pendidikan, Desa ramah perempuan, Desa berjejaring,
dan Desa tanggap budaya untuk percepatan pencapaian Tujuan Pembangunan
Berkelanjutan.
Desa merupakan teritori terkecil di Indonesia yang memiliki kompleksitas
persoalan sosial-ekonomi. Desa adalah basis evidensial untuk mengidentifikasi
berbagai problematika pembangunan (Prabowo:2013). Apabila permasalahan
sosial ekonomi di perdesaan dapat teratasi, maka sebagian besar tantangan
pembangunan di Indonesia akan terselesaikan (Iskandar, 2020). Artinya akar
persoalan pembangunan ada di desa.

34
Adanya pengakuan oleh Negara terhadap hak asal usul Desa dan
kewenangan Desa berskala lokal yang secara eksplisit tertuang dalam azas
rekognisi dan subsidiaritas terutama dalam mengurus, mengatur dan mengelola
persoalan Desa serta tanggung jawab penuh terhadap pembangunan dan
pengelolaannya. Tentunya di dalam penyelenggaraan pemerintahan agar terjadi
kesetaraan kesempatan dan hak seluruh unsur masyarakat bersama Pemerintah
Desa ikut serta dalam setiap proses pembangunan di Desa, tidak ada unsur di
dalam masyarakat Desa yang mengalami ketidakadilan serta diskriminasi dalam
setiap kebijakan yang diambil. Dengan mengedepankan azas partisipatif
mendorong penyelenggaraan pemerintahan desa harus mengikutsertakan
segenap unsur masyarakat, stakeholders dan lain-lain sesuai kebutuhan.
Tujuan SDGs Desa diantaranya:

1. Desa Tanpa Kemiskinan.


2. Desa Tanpa Kelaparan.
3. Desa Sehat dan Sejahtera.
4. Pendidikan Desa Berkualitas.
5. Keterlibatan Perempuan Desa.
6. Desa Layak Air Bersih dan Sanitasi.
7. Desa Berenergi Bersih dan Terbarukan
8. Pertumbuhan Ekonomi Desa Merata.
9. Infrastruktur dan Inovasi Desa sesuai Kebutuhan.
10. Desa Tanpa Kesenjangan.
11. Kawasan Pemukiman Desa Aman.
12. Konsumsi dan Produksi Desa Sadar Lingkungan.
13. Tanggap Perubahan Iklim.
14. Desa Peduli Lingkungan Laut.
15. Desa Peduli Lingkungan Darat.
16. Desa Damai Berkeadilan.
17. Kemitraan untuk Pembangunan Desa.
18. Kelembagaan Desa Dinamis dan Budaya Desa Adaptif.

Dengan merujuk pada Peraturan Menteri Desa Pembangunan Daerah


Tertinggal dan Transmigrasi Nomor 21 Tahun 2020, Pokja Relawan Pendataan
Desa ini mencakup Kepala Desa, Aparat Desa, RT, RW, PKK, Karang taruna

35
dan unsur masyarakat. Selain itu, mitra kerja dalam program Sustainable
Development Goals (SDGs) Desa mencakup Pendamping Desa, LPM dan
Pemerintah Desa sebagai konseptor, dinamisator dan evaluator pembangunan
masyarakat baik secara langsung maupun secara tidak langsung secara inklusif
melalui partisipasi berbagai pemangku kepentingan yang selama ini memiliki
banyak perbedaan atau bahkan seringakali saling bertentangan untuk melakukan
rekonsiliasi menuju sintesis baru secara sinergis melakukan aksi bersama,
bekerja sama, untuk mencapai tujuan bersama.
Sesuai arahan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan
Transmigrasi bahwa :
“Desa adalah sumber identifikasi masalah, desa memiliki jumlah
kemiskinan tertinggi, persentase terbesar penduduk dengan tingkat
kesehatan yang juga rendah, daya beli yang rendah serta tingkat pendidikan
rendah dibandingkan dengan kota. Karena itulah, memperbaiki
embangunan manusia, meningkatkan ekonomi dan kesejahteraan rakyat,
serta untuk mewujudkan Indonesia Maju, mulailah dari desa”.
(Iskandar:2020).

Dalam Dokumen Hasil Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Tujuan


Pembangunan Berkelanjutan (UN Outcome Document on Sustainable
Development Goals), inti sari SDGs dideskripsikan sebagai:

“Alongside continuing development priorities such as poverty eradication,


health, education and food security and nutrition, it sets out a wide range
of economic, social and environmental objectives. It also promises more
peaceful and inclusive societies. It also, crucially defines means of
implementation”. “Selain prioritas pembangunan berkelanjutan seperti
pengentasan kemiskinan, kesehatan, pendidikan dan ketahanan pangan dan
gizi, ini menetapkan berbagai tujuan ekonomi, sosial dan lingkungan. Ini
juga menjanjikan masyarakat yang lebih damai dan inklusif. Ini juga,
sangat menentukan sarana implementasi”

36
Dalam dokumen tersebut dapat dilihat bahwa SDGs merupakan komitmen
bersama yang jauh lebih komprehensif bila dibandingkan MDGs. Tujuan yang
ditekankan tidak hanya pada outcome dari pembangunan yang berakhir pada
peningkatan kesejahteraan saja, tetapi aspek keadilan, inklusivitas serta cara
dalam percapaian tujuan juga merupakan hal yang ditekankan. Penekanan dari
SDGs mencakup pada pemenuhan Hak Asasi Manusia, non-diskriminasi,
perhatian terhadap kaum marjinal dan difabel, pentingnya partisipasi dan
kolaborasi semua pemangku kepentingan pembangunan (pemerintah, dunia
usaha, LSM, perguruan tinggi dan masyarakat).

37
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Dari berbagai uraian di atas, jelas bahwa kebijakan sosial di Kabupaten
Tasikmalaya harus menempuh arah baru dan memiliki tempat lebih bermartabat
seperti halnya kebijakan strategis lainnya. Kebijakan sosial bukan sekadar
menanggulangi kemiskinan, tetapi juga bertujuan untuk mencapai kesejahteraan
secara sistematis, terlembaga, berkesinambungan, bersifat universial dan
didukung alokasi dana yang memadai. Paradigma reformasi kesejahteraan sosial
baru akan membawa negeri ini ke masa depan lebih cerah karena didukung oleh
sebagai besar masyarakat yang sehat, berdaya, unggul dan produktif sebagai
penopang pembangunan berkelanjutan.
Pradigma collaborative governance ini ditunjukkan dengan saling
mengetahui tugas, pokok dan fungsi serta tujuan yang sama dari masing-masing
stakeholders yang terlibat. Dengan banyak melaksanakan pertemuan-pertemuan
yang dilaksanakan baik secara formil maupun semi formil, namun penulis
menemukan belum adanya suatu perjanjian yang bersifat tertulis dan mengikat
antar stakeholders yang terlibat pada indikator shared understanding ini.
Pembuatan perjanjian yang bersifat tertulis dan mengikat atau MOU itu sangat
penting adanya untuk menghindari terjadinya kesalahpahaman pada suatu hari
nanti antar stakeholders dalam berjalannya proses collaborative governance ini.
Meskipun demikian, dalam poin ke empat ini penulis mendapatkan perubahan
yang cukup baik, namun di sisi lain masih ditemukan belum maksimal dan belum
dikatakan berhasil dikarenakan, pertama dimensi proses kolaborasi didominasi
oleh lemahnya kepercayaan aktor-aktor yang terlibat, share pengetahuan yang
terhambat, dan lemahnya komitmen pihak swasta. Kedua, dimensi Trust Building
didominasi oleh ketidakseimbangan antar aktor, lemahnya keterwakilan para

38
pemangku kepentingan mengakibatkan soliditas antar pihak tidak terealisasi
dengan baik. Penelitian ini juga menghasilkan temuan lain yaitu adanya
transformasi pengetahuan, jaringan kebijakan yang menentukan keberhasilan
dan kegagalan, dan terbentuknya pola jaringan dari struktur jaringan sistem
inovasi.
Oleh karena itu maka kesamaan persepsi, kemauan untuk berproses, saling
memberikan manfaat, kejujuran, serta mendahulukan kepentingan yang berbasis
pada masyarakat atau konsumen oleh para pihak yang menjadi entitas dalam
berkolaborasi tersebut bisa dari government, civil society, dan private sector.

3.2 Saran
1. Sebagai mahasiswa harus peka terhadap masalah yang berkembang karena
penanggulangan kemiskinan merupakan beban persoalan yang harus
dihadapi secara kolektif.
2. Peneliti mengharapkan agar penelitian ini dapat berguna bagi mahasiswa
yang melakukan penelitian serupa atau melakukan penelitian lanjutan atas
topik yang sama. Peneliti berharap agar topik ini dan pembahasan yang telah
dipaparkan dapat menimbulkan rasa keingintahuan untuk mengadakan
penelitian lanjutan, dengan cara mengadakan wawancara atau penyebaran
kuesioner yang lebih luas guna mendapatkan hasil yang kebih maksimal.
Selain itu peneliti mendorong kepada masyarakat untuk berdaya melalui
konsep collaborative governance, sehingga kedepannya konsep kolaboratif
ini menjadi kekuatan (strength) dalam meningkatkan kualitas sumber daya
manusia produktif dan adaptif.
3. Konsep collaborative governance ini memerlukan waktu yang lama karena
studi ini memiliki ruang lingkup yang sangat luas.

39
DAFTAR PUSTAKA

Buku :

Adisasmita, Rahardjo, 2006, Pembangunan Pedesaan dan Perkotaan, Yogyakarta:


Graha Ilmu.

Agranof, Robert and Michael Mc Guire. 2003, Collaborative Public Management:


New Strategies For Local Management, Washington, Georgetown University
Press.

Ahmadi Abu, Ilmu Sosial Dasar, Jakarta: Rineka Cipta, 2009.

Ardianto, Elvinaro. 2011. Metode Penelitian Untuk Public Relations Kuantitatif dan
Kualitatif. Bandung: Simbiosa Rekatama Media.

Ansell, Chris dan Alison Gash. 2008. Journal of Public Administration Research and
Theory, Collaborative governance in Theory and Practice,. Sep 2007, Vol.18
Issue 4, p543-571.

Djonet Santoso. Cetakan pertama September 2019. Administrasi Publik: Sustainable


Development Goals (SDGs) Tujuan Pembangunan Berkelanutan (TPB). Jakarta
: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2018.

Hasibuan, Malayu S.P, 2006, Manajemen Dasar, Pengertian, dan Masalah, Edisi
Revisi, Bumi Aksara : Jakarta.

Iskandar, Halim, 2020. SDGs Desa: Percepatan Pencapaian Tujuan Pembangunan


Nasional Berkelanjutan. Yayasan Pustaka Obor Indonesia : Jakarta.

Ilmi, Syaiful. 2017. Konsep Pengentasan Kemiskinan Perspektif Islam. Al- Masalah,
(Online), Vol. 13 No. 1, (http://scholer.google.co.id, diakses 13 Oktober 2020).

40
Martono, Nanang.2012. Sosiologi Perubahan Sosial. Jakarta: PT Grafindo Persada.

Ritzer, George, 2003. Teori Sosiologi Modern. Jakarta: Kencana.

Spilane, James J. 1987. Pariwisata Indonesia. Jogjakarta: Kanisius.

Stompka Piotr. 2010. Sosiologi Perubahan Sosial. Jakarta: Pernada.

Soekanto, Soerjono. 1990. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta; Rajawali.

Soekanto, Soerjono. 2007 . Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada

Sunarto Kamanto. 1993. Pengantar Sosiologi. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas


Ekonomi Universitas Indonesia.

Ilmi, Syaiful. 2017. Konsep Pengentasan Kemiskinan Perspektif Islam. Al- Masalah,
(Online), Vol. 13 No. 1, (http://scholer.google.co.id, diakses 13 Oktober 2020).

Khairi, Muhammad Wahyu dan Aidar, Nur. 2018. Pengaruh Subsidi Energi terhadap
Kemiskinan diIndonesia. Jurnal Ilmiah Mahasiswa, (Online), Vol. 3 No. 3,
(http://scholer.google.co.id, diakses 13 Oktober 2020).

Jurnal Ilmiah dan Internet :

Friedmann, John, 1979, “Urban Poverty in Latin America, Some Theoritical


Considerations”, Development Dialogue, Vol. 1, April 1979, Dag
Hammarskjold Foundation, Upsala

Imran, 2019. Perubahan Sosial Masyarakat lokal Terhadap Perkembangan Pariwisata


Dusun Wakka Kabupaten Pinrang. Universitas Muhammadiyah Makassar
Fakultas Ilmu Keguruan dan Ilmu Pendidikan Program Studi Pendidikan
Sosiologi 2019. Surakarta-Jawa Tengah.

41
Rutiana D. Wahyunengseh, Sri Hastjarto, Didik Gunawan Soeharto, 2019. Kebijakan
Penanggulangan Kemiskinan Dalam Perspektif Collaborative Governance.
UNS PRESS.

https://news.koropak.co.id/11727/tak-harus-riweuh-warga-sakit-tinggal-hubungi-
sigesit (diakses 24 Januari 2022, Pukul 12:44 WIB).

Perundang-Undangan :

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2004 Tentang Sistem


Perencanaan Pembangunan Nasional

Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2011 tentang Penanganan Fakir Miskin

Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah

Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2017 tentang Inovasi Daerah

Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 59 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan


Pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 18 Tahun 2018 tentang Lembaga


Kemasyarakatan Desa dan Lembaga Adat Desa

Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Nomor


13 Tahun 2020 tentang Prioritas Penggunaan Dana Desa Tahun 2020

Peraturan Bupati Tasikmalaya Nomor 60 Tahun 2019 tentang Pedoman Pelaksanaan


Program Jaminan Kesehatan Derah

42
Peraturan Bupati Tasikmalaya Nomor 17 Tahun 2020 tentang Pembentukan Public
Safety Center Sigesit 119 Dalam Penyelenggaraan Sistem Penanggulangan
Gawat Darurat Terpadu

43

Anda mungkin juga menyukai