Oleh :
Sri Wula Moni, S.Ked.
K1B1 20 080
PEMBIMBING
dr. Hj. Andi Hasna, Sp.An
Fakultas : Kedokteran
Telah menyelesaikan tugas laporan kasus dalam rangka kepanitraan klinik pada
Bagian Anestiologi Fakultas Kedokteran Universitas Halu Oleo.
Mengetahui,
Pembimbing
BAB I
PENDAHULUAN
Anestesi umum adalah keadaan tak sadar tanpa nyeri (dengan reflek
otonomik minimal) yang reversible akibat pemberian obat obatan. Anestesi
inhalasi, anestesi intravena, anestesi intravaskular, anestesi perrektal adalah sub
bagian dari anestesi umum. Anestesi lokal (atau mungkin lebih tepat analgesi
lokal) menunjukkan anestesi pada sebagian tubuh, keadaan bebas nyeri tanpa
kehilangan kesadaran kecuali digunakan teknik anestesi gabungan anestesi umum
dan anestesi lokal atau digunakan sedasi. Anestesi regional (atau mungkin lebih
tepat analgesi regional) seringkali digunakan sebagai sinonim anestesi lokal, lebih
menunjukkan akibat blokade saraf, pleksus, medulla spinalis yang jauh dari
daerah yang di buat tidak peka. (1)
(Endotracheal tube/ ET) ke dalam trakea melalui hidung atau mulut. Intubasi
orotrakeal adalah suatu tindakan memasukkan pipa trakea ke dalam trakea melalui
rima glottis dengan mengembangkan cuff sehingga ujung distalnya berada kira-
kira dipertengahan trakea, antara pita suara dan bifurcatio trachealis. Sedangkan
intubasi nasotrakeal yaitu suatu tindakan memasukkan pipa nasal melalui nasal
pengamanan jalan napas terbaik dan paling sesuai sebagai jalur ventilasi mekanik.
Selain digunakan untuk menjaga jalan nafas dan memberikan ventilasi mekanik,
tindakan ini juga dapat menghantarkan agen anestesi inhalasi pada anestesi umum.
Walaupun rutin dilakukan, tindakan ini bukan tanpa risiko dan tidak semua pasien
pipa endotrakea (ET) diindikasikan untuk pasien dengan risiko aspirasi dan pada
mencakup kecelakaan lalu lintas, kekerasan fisik, terjatuh, olah raga dan trauma
akibat senjata api. Pasien dengan trauma maksilofasial memiliki resiko tinggi
disertai dengan cedera kepala. Trauma maksilofasial sangat erat kaitannya dengan
cedera kepala karena letaknya yang sangat berdekatan dengan basis kranii. (3)
bentuk trauma tumpul, trauma tajam, trauma kimia, trauma termis dan trauma
posterior. Berdasarkan jenis kelamin, trauma mata lebih sering terjadi pada laki-
tahun 2013 mendapatkan 69 (73,4%) kasus trauma mata pada laki-laki dan 25
(26,6%) kasus pada perempuan. Trauma mata dapat menimbulkan lesi pada mata.
Sekecil apapun lesi tersebut tetap menimbulkan rasa sakit dan tidak nyaman
karena mata merupakan salah satu jaringan tubuh yang sangat sensitif. (4)
Pneumonia adalah infeksi atau peradangan akut di jaringan paru yang
pajanan bahan kimia atau kerusakan fisik paru. Pneumonia dapat menyerang siapa
saja, seperti anak-anak, remaja, dewasa muda dan lanjut usia, namun lebih banyak
pada balita dan lanjut usia. Gejala yang muncul pada pneumonia ini diantaranya
demam, lemas, batuk kering dan sesak atau kesulitan bernapas. Beberapa kondisi
ditemukan lebih berat. Pada orang dengan lanjut usia atau memiliki penyakit
penyerta lain, memiliki risiko lebih tinggi untuk memperberat kondisi. (5)
BAB II
IDENTIFIKASI KASUS
A. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. M
Umur : 27 tahun
Tanggal Lahir : 30 November 1994
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Desa Sandarsi Jaya, Konsel
Agama : Islam
Pekerjaan : Wiraswasta
Status Pernikahan : Menikah
Tanggal Masuk : 20 November 2021
RM : 59 09 48
B. ANAMNESIS
1. Keluhan Utama : Perdarahan
2. Riwayat penyakit sekarang :
Pasien laki-laki usia 27 tahun datang ke UGD RSU Bahteramas
rujukan dari RS Permata Bunda dengan keluhan perdarahan di mata kanan
sejak 1 jam yang lalu setelah terkena ban meletus. Keluhan disertai adanya
nyeri pada mata kanan (+), pusing (+), tidak ada mual (-), muntah (-),
demam (-), BAB dan BAK dalam batas normal. Riwayat operasi
sebelumnya (-), riwayat alergi makanan dan obat (-).
Pasien tidak menggunakan kacamata, tidak menggunakan lensa
kontak, tidak menggunkan alat bantu dengar, tidak memiliki gigi palsu,
dan gigi yang masih lengkap. Riwayat penyakit pasien (-). Riwayat
kebiasaan mengonsumsi rokok (-), konsumsi alkohol (-), riwayat
mengonsumsi teh 1-2 kali sehari dan pasien melakukan olahraga kurang
lebih 3 kali dalam seminggu. Riwayat alergi obat, latex, dan plester di
sangkal. Riwayat operasi (-), riwayat transfusi darah (-).
Riwayat keluarga yang mengalami penyakit yang sama (-), Asma (-),
diabetes (-), pingsan (-), stroke (-), asam lambung (-), serangan jantung (-),
hepatitis (-), hipertensi (-), penurunan berat badan dalam 1 tahun terakhir
disangkal.
C. PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan Umum
Keadaan Umum Sakit Sedang
Kesadaran Compos mentis
Tanda Vital Tekanan Darah:107/89 mmHg
Nadi : 65x/menit
Pernapasan : 20x/menit
Suhu : 36,5 oC
SpO2 : 98%
Status Generalis
Thoraks Inspeksi
Pergerakan hemithorax simetris kiri dan kanan. Retraksi sela
iga (-)
Palpasi
Nyeri tekan (-), massa (-), vokal fremitus dalam batas normal
Perkusi
Sonor kiri = kanan
Auskultasi
Bunyi nafas vesikular (+/+), Stridor (-/-), Rhonki (-/-),
Wheezing (-/-)
Jantung Inspeksi
Ictus kordis tidak tampak
Palpasi
Ictus cordis teraba, thrill (-)
Perkusi
Batas jantung kanan pada linea parasternal dextra, batas
jantung kiri ICS V linea midclavicularis sinistra
Auskultasi
BJ I dan II murni regular, murmur (-)
Abdomen Inspeksi
Datar , ikut gerak nafas
Auskultasi
Peristaltik usus (+) kesan normal
Palpasi
Nyeri tekan (-), Pembesaran lien (-) Pembesaran hepar (-)
Ballotemen ginjal (-).
Perkusi
Tympani (+)
Ekstremitas Inspeksi
-peteki -/-, edema -/-, deformitas -/-
-ekstremitas atas nyeri tekan (-/-), krepitasi (-/-), teraba hangat
-ekstremitas bawah nyeri tekan pada benjolan dipaha (-/+),
krepitasi (-/-), teraba hangat
D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Laboratorium
Koagulasi (21-11-2021)
CT 07’22’’
BT 02’19’’
Darah Rutin (21-11-2021)
Kesan :
Pneumonia bilateral
E. RESUME
Pasien laki-laki usia 27 tahun datang ke UGD RSU Bahteramas rujukan
dari RS Permata Bunda dengan dengan keluhan perdarahan di mata kanan
sejak 1 jam yang lalu setelah terkena ban meletus. Keluhan disertai adanya
nyeri pada mata kanan (+), pusing (+), tidak ada mual (-), muntah (-), demam
(-), BAB dan BAK dalam batas normal.
Pemeriksaan fisis didapatkan Tekanan Darah : 107/89 mmHG, nadi :
65x/menit, pernapasan : 20x/menit, suhu : 36,6 oC, OD tampak vulnus
laceratum ukuran 5cm x 4cm, perdarahan aktif (+), hematom (+), swelling
(+), suara napas vesikuler (+/+) dan tidak terdapat suara napas tambahan.
Pemeriksaan foto CT-scan kepala didapatkan Hematosinus dan pneumosinus
maxilla dextra, dan pemeriksaan foto CT-scan thorax didapatkan pneumonia
bilateral.
F. DIAGNOSIS
Trauma Maxilofacial + OD Open Globe Injury + Pneumonia Bilateral
G. RENCANA PEMBEDAHAN
1. OD eksplorasi bola mata + OD jahit laserasi kornea + konjungtiva
2. Repair dengan flap eyelid
H. ASSESMENT
ASA PS 2
Rencana Anestesi : General Anestesi (General Endotracheal Anesthesia)
I. TATALAKSANA PERIOPERATIF
1. Persiapan Preoperatif :
a. Persiapan Pasien :
1) Menjelaskan keadaan umum pasien saat ini pada pasien dan pada
keluarga pasien, menjelaskan mengenai komplikasi dan prognosis
pada pasien.
2) Pasien dipuasakan 8 jam sebelum operasi dimulai
3) Pemasangan infus pada tangan kiri dengan cairan Ringer Laktat 31
tpm diberiakan selama pasien puasa
4) Premedikasi : ondansetron 8 mg, dexamethasone 10 mg, ranitidin
50 mg, ketorolac 30 mg.
b. Persiapan Alat :
1) Monitor ( SpO2, tekanan darah, nadi, ekg)
2) Oksigen dengan mesin anestesi
3) Meja operasi
4) Alat intubasi : laringoskop dengan ukuran 3,4,5 stetoskop,
endotrakea tube (ETT) nomor 6.5, 7, 7.5, OPA nomor 7 dan 8,
plester ETT , introduse, connecting, dan suction.
2. Intraoperatif
a. Pemberian obat sedatif dan analgetik : midazolam 2 mg, fenthanyl 100
mcg
b. Preoksigenasi O2 6-8 LPM (Preoksigenasi merupakan tindakan yang
dilakukan sebelum induksi anestesi dalam upaya menunda desaturasi
oksihemoglobin arteri)
c. Pemberian obat induksi : profopol mg, isoflurane 2-2,5 Vol %
d. Pemberian muscle relaxant : atracurium besylate 30 mg
J. LAPORAN INTRAOPRATIF
BAB III
ANALISIS KASUS
Setelah pasien tidak sadar, pasien dapat buka mulut lebih dari 3 jari
dengan dilakukannya head tilt, kapasitas ruang mandibula untuk memuat
lidah ketika laringoskopi didapatkan lebih dari 3 jari dan pada saat
mengidentifikasi letak laring berkaitan dengan dasar lidah didapatkan kurang
dari 2 jari sehingga sedikit menyulitkan dalam hal visualisasi glottis.
c. Mallampati Score.
Gambar 3. Derajat Kesulitan Mallampati(10)
Mallampati Score digunakan untuk menilai derajat kesulitan intubasi
1) Derajat 1: tampak pilar faring, palatum molle, palatum durum, dan uvula.
2) Derajat 2: Tampak hanya palatum molle, palatum durum, dan uvula.
3) Derajat 3: Tampak hanya palatum molle dan palatum durum.
4) Derajat 4: Tampak hanya palatum durum.
Pada pasien didapatkan pasien memiliki derajat 2 dalam Mallampati score
karena pada saat mulut pasien dibuka tampak palatum molle, palatum durum
dan uvula.
d. O (Obstruction)
Adanya pertanda kesulitan jalan napas harus selalu kita pertimbangkan
sebagai akibat adanya obstruksi pada jalan napas. 3 tanda utama adanya
obstruksi yaitu muffled voice (hot potato voice), adanya kesulitan menelan
ludah (karena nyeri atau obstruksi) dan adanya stridor. Pada pasien
didapatkan kesulitan dalam menelan ludah akibat nyeri pada area wajah, tidak
didapatkan muffled voice dan stridor
e. N (Neck mobility)
Keterbatasan mobilisasi leher harus dipertimbangan sebagai suatu
kesulitan dalam intubasi. Mobilisasi leher dapat dinilai dengan Ekstensi sendi
atlanto - oksipital yaitu posisi leher fleksi dengan menyuruh pasien
memfleksikan kepalanya kemudian mengangkat mukanya, hal ini untuk
menguji ekstensi daripada sendi atlanto - oksipital. Aksis oral, faring dan
laring menjadi satu garis lurus dikenal dengan posisi Magill. Nilai normalnya
adalah 35 derajat. Pada pasien didapatkan kesulitan dalam mengangkat
mukanya pada saat kondisi sadar akibat rasa nyeri pada area wajah sehingga
dilakukan head tilt pada pasien setelah diinduksi dan telah dipastikan dalam
kondisi tidak sadar.
Rekonstruksi region maxilla dan okuli dextra dilakukan di bawah anestesi
umum setelah mendapatkan persetujuan tertulis dari pasien. Selanjutnya dilakukan
persiapan pre operatif yang terdiri dari persiapan pasien seperti :
1) Pasien puasa 8 jam sebelum operasi dimulai
2) Pemasangan infus pada tangan kiri dengan cairan Ringer Laktat
3) Pemasangan kateter urin
Selain persiapan pasien dilakukan juga persiapan alat dan obat-obat
emergency serta obat-obat anestesi sebagai premedikasi, induksi, serta obat
pelumpuh otot yang akan digunakan sebelum dilakukan intubasi dipersiapkan.
Alat-alat yang akan digunakan antara lain :
1. Monitor, Sphygmomanometer, Saturasi, EKG
2. Oksigen dengan ventilator
3. Meja operasi
4. Mesin anestesi dan perangkat anestesi umum
5. Face mask, untuk dilakukan ventilasi sebelum intubasi. Pilih ukuran yang
sesuai yaitu yang dapat menutupi mulut dan hidung dan tidak terlalu lebar
menutupi pipi.
6. Laringoskop, pilih jenis dan ukuran laringoskop yang sesuai, periksa lampu
laringoskop, pastikan alat sudah terpasang dan mudah dijangkau tangan.
7. Stetoskop, untuk auskultasi setelah intubasi.
8. Pipa Endotrakeal, ukuran ET dinyatakan dalam mm berdasarkan diameter
internal yang tertera dan ada pula yang dinyatakan dalam French unit. Ukuran
rata-rata untuk wanita adalah 7,0-7,5 mm, dan untuk pria adalah 7,5-8,0 mm.
Pada anak dapat digunakan rumus 4 + BB/4 untuk menentukan ukuran ET.
Cara lain untuk menentukan ukuran ET adalah dengan menggunakan patokan
besar jari kelingking pasien. Untuk menentukan kedalaman insersinya adalah
besar diameter internal (ukuran ET) dikalikan tiga. Periksa cuff ET dengan
cara menginflasi cuff kemudian dapat dicelupkan ke dalam air untuk menilai
adanya kebocoran. Setelah itu berikan pelicin atau lidokain jeli.
9. Guedel (OPA) atau NPA.
10. Plester, akan digunakan untuk fiksasi ET setelah tindakan intubasi.
11. Stilet atau forsep intubasi
12. Suction
vena, dengan cepat didistribusikan menuju jaringan, dengan mudah obat ini
menembus bloodbrain barierdan didistribusikan di jaringan otak. Obat ini dengan
cepat juga dieliminasi, metabolisme terutama terjadi di dalam hati. Propofol
glucoronide merupakan hasil metabolisme yang utama. Sebagian besar diekskresi
lewat ginjal, mendapatkan penurunan total klirens dan distribusi volume propofol,
pada penderita usia tua, juga telah mengamati, bahwa kebutuhan propofol untuk
induksi dan pemeliharaan anestesi berkurang pada penderita tua. Pada ibu hamil
propofol dapat menembus placenta dan dengan cepat masuk ke dalam janin dan
menyebabkan depresi janin. Pada sistem kardiovaskuler menyebabkan turunnya
tekanan darah dan sedikit perubahan pada nadi. Obat ini tidak mempunyai efek
vagolitik, sehingga pernah dilaporkan terjadinya bradikardi sampai asistole pada
pemakaian propofol. Karena itu dianjurkan untuk memberikan anti cholinergik
sebelum pemakaian propofol, khususnya pada keadaan di mana tonus vagal lebih
dominan atau bila propofol dipakai bersama dengan obat-obat penyebab
bradikardi.(11)
Efek profopol pada organ yaitu profopol mengakibatkan penurunan
tekanan darah arteri akibat penurunan tahanan vaskular sistemik yang disebabkan
inhibisi aktivitas vasokonstriktor simpatetik, preload, dan kontraktilitas jantung.
Hipotensi berat akibat pemberian profopol dapat terjadi pada pemberian dengan
dosis besar, injeksi yang terlalu cepat, dan pemberian pada pasien geriatri.
Perubahan detak jantung dan curah jantung bersifat sementara dan tidak signifikan
terjadi pada pasien yang sehat, perubahan signifikan dapat terjadi pada umur
ekstrem, pasien yang mendapat pengobatan beta-adrenergik blocker, dan
mempunyai gangguan fungsi ventrikel. Sehingga untuk mencegah perubahan
hemodinamik yang berat, dapat dilakukan teknik titrasi.(16)
Waktu pemulihan cepat terjadi dengan penggunaan profopol. Pemulihan
dapat dibagi atas 3 bagian yaitu early recovery (fase 1), intermediate recovery
(fase 2), dan late recovery (fase 3). Early recovery dimulai dari dihentikannya
obat anestesi supaya pasien bangun, kembalinya refleks proteksi jalan napas dan
dimulainya aktivitas motorik, fase ini biasanya terjadi di Postanesthesia Care Unit
(PACU). Intermediate recovery bila sudah mencapai kriteria untuk dapat
dipulangkan ke rumah dan late recovery dari mulai dipulangkan sampai pulihnya
fungsi fisiologis ke keadaan seperti sebelum pembedahan. Pada early recovery
dilakukan pemantauan dengan sistem skoring modifikasi Aldrete yang bila sudah
mencapai ≥ 9 boleh dipindahkan ke ruang pulih fase 2(11).
Sevoflurane pertama ditemukan oleh Wallin dan Napoli tahun 1971,
merupakan fluorinasi methyl isoprophyl ether. Tekanan penguapannya
menyerupai halotan dan isofluran. Koofisien partisi darah/gas 0,69, menyerupai
desfluran termasuk dalam hal induksi anestesi dan pulih sadar setelah pemberian
dihentikan. endahnya kelarutan darah/gas dan kenyamanan pemakaian sevofluran,
membuat agent ini jadi pilihan utama untuk induksi inhalasi cepat dengan
recovery yang cepat. Sevoflurane sering digunakan untuk induksi pada anak
karena berbau enak, tidak merangsang jalan nafas dan tidak meningkatkan
sekresi saluran nafas. Sevoflurane mungkin paling tidak iritasi pada saluran
nafas dibanding agent inhalasi lain yang dipakai saat ini. Kelarutan sevofluran
jaringan yang rendah menimbulkan eliminasi yang cepat sehingga terjaga
cepat. Depresi ventilasi mencerminkan efek depresi langsung terhadap pusat
ventilasi medulla dan kemungkinan efek perifer terhadap otot interkostal.
Relaksasi otot polos bronkus dapat timbul melalui efek langsung atau
secara tidak langsung melalui reduksi lalu lintas saraf aferen atau depresi
secara sentral.(15)
Isoflurane adalah agent inhalasi yang memiliki koefisien partisi gas/darah
isofluran adalah 1,4. Ini lebih kecil dibanding agent inhalasi lainnya, kecuali
desfluran 0,42 dan sevofluran 0,6–0,7, memungkinkan peningkatan konsentrasi
isofluran di alveolar terjadi lebih cepat. Penelitian oleh Frink dkk, pasien yang
dianestesi dengan isofluran kurang dari 1 jam, dapat membuka mata dengan
perintah kira – kira 7 menit setelah anestesi dihentikan. Pemberian yang lebih
lama , yaitu selama 5 – 6 jam, munculnya respon dengan perintah relatif cepat,
kira – kira 11 menit setelah isofluran dihentikan. Induksi dengan isofluran relatif
cepat tetapi isoflurane dapat mengiritasi jalan nafas bila digunakan pada awal
induksi dengan masker pada konsentrasi tinggi. Induksi lambat
direkomendasikan untuk mengurangi efek iritatif saluran nafas dan untuk
menghindari tahan nafas dan batuk. Dalam praktek barbiturat aksi pendek
biasanya diberikan untuk memfasilitasi proses tersebut.(15)
Sebelum dilakukan intubasi, pasien diberikan preoksigenasi dengan bag
valve mask (BVM) dengan sistem reservoir selama 3 menit. reoksigenasi dengan
100% oksigen sebelum induksi anestesi, manuver yang diterima secara luas,
meningkatkan penyimpanan oksigen tubuh, sehingga menunda onset desaturasi
selama periode apnea setelah induksi anestesi dan muscle relaksan.
Preoksigenasi diketahui dapat meningkatkan waktu aman apnea pada dewasa
yang sehat antara 3-6 menit. Paling sering, untuk preoksigenasi adekuat, pasien
membutuhkan untuk bernapas 100% oksigen selama 3-5 menit atau mencapai
4-8 kapasitas vital pernapasan dalam untuk 30-60 detik berturut-turut.(16)
BAB IV
PENUTUP
Kesimpulan
jenis teknik anestesi sangat penting dalam pengelolaan jalan napas. Anestesi
yang membutuhkan relaksasi yang dalam untuk jangka waktu yang lama.
Intubasi merupakan salah satu upaya yang dapat dilakukan dalam menjaga
henti jantung, serta syok hemoragik berat. Perlindungan jalan napas dapat
ke dalam trakea melalui hidung atau mulut. ETT dapat digunakan sebagai
penghantar gas anestesi ke dalam trakea dan memudahkan kontrol ventilasi dan
oksigenasi.
DAFTAR PUSTAKA
1. Soenarjo, Jatmiko HD. Anestesiologi. Edisi 2. Semarang, Indonesia:
Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran UNDIP/ RS.
Kariadi Semarang; 2013; p. 209–220
2. Horton CL, Brown CA, Raja AS. Trauma airway management. J Emerg
Med.2014;46(6):814–20.Available from: http://dx.doi.org/10.1016/j.jemer
med.2013.11.085
3. Eldisha Nofityari, E, Ilahi, F, Ariani, N. Analisis Karakteristik Pasien
Trauma Mata di RSUP Dr. M. Djamil Padang Tahun 2016 Jurnal
Kesehatan Andalas. 2019; 8(1).
4. Mayer, C.S, Reznicek, L, Baur, I.D, Khoramnia, R. Open Globe Injuries:
Classifications and Prognostic Factors for Functional Outcome. Diagnostics
2021, 11, 1851. https://doi.org/10.3390/ diagnostics11101851
5. Press Release “Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) Outbreak
Pneumonia Di Tiongkok
6. Putri RA, Pamungkas KA, Mursali LB. Angka Kejadian Fraktur Mandibula
Berdasarkan Lokasi Anatomis Di RSUD Arifin Achmad Provinsi Riau
Periode Januari 2011-Desember 2013. JOM FK. 2015;Volume 1 N:1–2.
7. Hurwitz E, Simon M, Vinta SR. Adding Examples to the ASA- Physical
Status Classification Improves Correct Assignment to Patiens.
Anesthesiology. 2017;Vol 126(4).
8. Mahadaven SV et al. An Introduction to Clinical Emergency Medicine.
Cambridge University Press.; 2012.
9. Lafferty KA. What is the LEMON law for airway assessment prior to rapid
sequence intubation (RSI)? [Internet]. Medscape. 2020 [cited 2021 Nov
18]. p. 1–3. Available from: https://www.medscape.com/answers/80222-
155654/what-is-the-lemon-law-for-airway-assessment-prior-to-rapid-
sequence-intubation-rsi
10. Walls R, Murphy M. Manual of Emergency Airway Management. 4th
Edition. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2012; p. 77.
11. Arvianti, Oktaliansah E, Surahman E. Perbadingan Antara Sevofluran dan
Profopol Menggunakan Total Intravenous Anesthesia Target Controlled
Infusion Terhadap Waktu Pulih Sadar dan Pemulangan Pada Ekstirpasi
Fibroadenoma Payudara. J Anestesi Periopratif. 2017;Vol 5(1):24–31.
12. Susiyadi, Riyanto R. Pemberian Petidin dan Fentanyl Sebagai Premedikasi
Anestesi Terhadap Perubahan Tekanan Darah Di RSUD Prof DR Margono
Soekarjo. Sainteks. 2016;XIII(2):49–55.
13. Smith G, D’Cruz JR, Rondeau B, Goldman J. General Anesthesia for
Surgeons [Internet]. StatPearls Publishing. 2021 [cited 2021 Nov 18].p.1–9.
Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK493199/#_NB
K493199_pubdet_
14. Rehatta NM, Hanindito E, Tantri AR, Redjeki IS, Soenarto RF, Bisri D.
Anestesiologi dan Terapi Intensif KATI-PERDATIN. Jakarta, Indonesia:
PT Gramedia Pustaka Utama; 2019.
15. Firman B. Perbandingan Pengaruh Sevofluran dan Isofluran Terhadap
Jumlah Neutrofil, Polimorfonuklear Darah Tepi. Universitas Diponegoro;
2007.
16. Malawat FR, Cahyadi BI. Preoksigenasi pada Anestesi Umum. J Anestesiol
Indones. 2018;X(2):117–24.