Anda di halaman 1dari 29

BAGIAN ANESTESI LAPORAN KASUS

FAKULTAS KEDOKTERAN Desember 2021


UNIVERSITAS HALU OLEO

GETA (GENERAL ENDOTRACHEAL ANESTHESIA) PADA PASIEN


TUMOR ABDOMEN

Oleh :
Sri Wula Moni, S.Ked.
K1B1 20 080

PEMBIMBING
dr. Hj. Andi Hasna, Sp.An

PADA BAGIAN ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2021
HALAMAN PENGESAHAN

Yang bertanda tangan di bawah ini, menyatakan bahwa:

Nama : Sri Wula Moni, S.Ked.

NIM : K1B1 20 080

Program Studi : Profesi Dokter

Fakultas : Kedokteran

Laporan Kasus : GETA (GENERAL ENDOTRACHEAL ANESTHESIA)


PADA PASIEN TUMOR ABDOMEN

Telah menyelesaikan tugas laporan kasus dalam rangka kepanitraan klinik pada
Bagian Anestiologi Fakultas Kedokteran Universitas Halu Oleo.

Kendari, Desember 2021

Mengetahui,
Pembimbing

dr. Hj. Andi Hasna, Sp.An


GETA (GENERAL ENDOTRACHEAL ANESTHESIA) PADA PASIEN
TUMOR ABDOMEN
Sri Wula Moni, Andi Hasna

BAB I
PENDAHULUAN

Anestesi umum adalah keadaan tak sadar tanpa nyeri (dengan reflek
otonomik minimal) yang reversible akibat pemberian obat obatan. Anestesi
inhalasi, anestesi intravena, anestesi intravaskular, anestesi perrektal adalah sub
bagian dari anestesi umum. Anestesi lokal (atau mungkin lebih tepat analgesi
lokal) menunjukkan anestesi pada sebagian tubuh, keadaan bebas nyeri tanpa
kehilangan kesadaran kecuali digunakan teknik anestesi gabungan anestesi umum
dan anestesi lokal atau digunakan sedasi. Anestesi regional (atau mungkin lebih
tepat analgesi regional) seringkali digunakan sebagai sinonim anestesi lokal, lebih
menunjukkan akibat blokade saraf, pleksus, medulla spinalis yang jauh dari
daerah yang di buat tidak peka. (1)

GETA atau General Endotracheal Anesthesia merupakan suatu teknik

anestesi umum dengan melibatkan perlindungan pada jalan napas. Perlindungan

jalan napas tersebut dilakukan dengan memasukkan pipa endotrakea

(Endotracheal tube/ ET) ke dalam trakea melalui hidung atau mulut. Intubasi

orotrakeal adalah suatu tindakan memasukkan pipa trakea ke dalam trakea melalui

rima glottis dengan mengembangkan cuff sehingga ujung distalnya berada kira-

kira dipertengahan trakea, antara pita suara dan bifurcatio trachealis. Sedangkan

intubasi nasotrakeal yaitu suatu tindakan memasukkan pipa nasal melalui nasal

dan nasopharing dalam oropharing sebelum laryngoscopy. ET dapat digunakan

sebagai penghantar gas anestesi ke dalam trakea dan memudahkan kontrol

ventilasi dan oksigenasi. (1,2)


Pemasangan pipa endotrakeal (ET) merupakan salah satu tindakan

pengamanan jalan napas terbaik dan paling sesuai sebagai jalur ventilasi mekanik.

Selain digunakan untuk menjaga jalan nafas dan memberikan ventilasi mekanik,

tindakan ini juga dapat menghantarkan agen anestesi inhalasi pada anestesi umum.

Walaupun rutin dilakukan, tindakan ini bukan tanpa risiko dan tidak semua pasien

dengan anestesi umum membutuhkan tindakan ini. Pada umumnya pemasangan

pipa endotrakea (ET) diindikasikan untuk pasien dengan risiko aspirasi dan pada

pasien yang sedang menjalani operasi.(1)

Trauma maksilofasial merupakan trauma fisik yang dapat mengenai

jaringan keras dan lunak wajah. Penyebab trauma maksilofasial bervariasi,

mencakup kecelakaan lalu lintas, kekerasan fisik, terjatuh, olah raga dan trauma

akibat senjata api. Pasien dengan trauma maksilofasial memiliki resiko tinggi

disertai dengan cedera kepala. Trauma maksilofasial sangat erat kaitannya dengan

cedera kepala karena letaknya yang sangat berdekatan dengan basis kranii. (3)

Trauma mata adalah perlukaan/cedera mata yang dapat terjadi dalam

bentuk trauma tumpul, trauma tajam, trauma kimia, trauma termis dan trauma

radiasi. Trauma mengakibatkan kerusakan pada jaringan mata anterior sampai

posterior. Berdasarkan jenis kelamin, trauma mata lebih sering terjadi pada laki-

laki dibandingkan perempuan.7 Penelitian di Rumah Sakit Matini Kashan pada

tahun 2013 mendapatkan 69 (73,4%) kasus trauma mata pada laki-laki dan 25

(26,6%) kasus pada perempuan. Trauma mata dapat menimbulkan lesi pada mata.

Sekecil apapun lesi tersebut tetap menimbulkan rasa sakit dan tidak nyaman

karena mata merupakan salah satu jaringan tubuh yang sangat sensitif. (4)
Pneumonia adalah infeksi atau peradangan akut di jaringan paru yang

disebabkan oleh berbagai mikroorganisme, seperti bakteri, virus, parasit, jamur,

pajanan bahan kimia atau kerusakan fisik paru. Pneumonia dapat menyerang siapa

saja, seperti anak-anak, remaja, dewasa muda dan lanjut usia, namun lebih banyak

pada balita dan lanjut usia. Gejala yang muncul pada pneumonia ini diantaranya

demam, lemas, batuk kering dan sesak atau kesulitan bernapas. Beberapa kondisi

ditemukan lebih berat. Pada orang dengan lanjut usia atau memiliki penyakit

penyerta lain, memiliki risiko lebih tinggi untuk memperberat kondisi. (5)
BAB II
IDENTIFIKASI KASUS

A. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. M
Umur : 27 tahun
Tanggal Lahir : 30 November 1994
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Desa Sandarsi Jaya, Konsel
Agama : Islam
Pekerjaan : Wiraswasta
Status Pernikahan : Menikah
Tanggal Masuk : 20 November 2021
RM : 59 09 48
B. ANAMNESIS
1. Keluhan Utama : Perdarahan
2. Riwayat penyakit sekarang :
Pasien laki-laki usia 27 tahun datang ke UGD RSU Bahteramas
rujukan dari RS Permata Bunda dengan keluhan perdarahan di mata kanan
sejak 1 jam yang lalu setelah terkena ban meletus. Keluhan disertai adanya
nyeri pada mata kanan (+), pusing (+), tidak ada mual (-), muntah (-),
demam (-), BAB dan BAK dalam batas normal. Riwayat operasi
sebelumnya (-), riwayat alergi makanan dan obat (-).
Pasien tidak menggunakan kacamata, tidak menggunakan lensa
kontak, tidak menggunkan alat bantu dengar, tidak memiliki gigi palsu,
dan gigi yang masih lengkap. Riwayat penyakit pasien (-). Riwayat
kebiasaan mengonsumsi rokok (-), konsumsi alkohol (-), riwayat
mengonsumsi teh 1-2 kali sehari dan pasien melakukan olahraga kurang
lebih 3 kali dalam seminggu. Riwayat alergi obat, latex, dan plester di
sangkal. Riwayat operasi (-), riwayat transfusi darah (-).
Riwayat keluarga yang mengalami penyakit yang sama (-), Asma (-),
diabetes (-), pingsan (-), stroke (-), asam lambung (-), serangan jantung (-),
hepatitis (-), hipertensi (-), penurunan berat badan dalam 1 tahun terakhir
disangkal.

C. PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan Umum
Keadaan Umum Sakit Sedang
Kesadaran Compos mentis
Tanda Vital Tekanan Darah:107/89 mmHg
Nadi : 65x/menit
Pernapasan : 20x/menit
Suhu : 36,5 oC
SpO2 : 98%

Status Generalis

Kulit Berwarna sawo matang,


Kepala
Normosepal
Rambut
Berwarna hitam, tidak mudah tercabut.

Mata OD tampak vulnus laceratum ukuran 5cm x 4cm, perdarahan


aktif (+), hematom (+), swelling (+)
Hidung Epitaksis (-) rinorhea (-)
Telinga Otorrhea (-) nyeri tekan mastoid (-)
Mulut Bibir pucat (-) bibir kering (-) perdarahan gusi (-)

Leher pembesaran kelenjar getah bening dan tiroid (-)

Thoraks Inspeksi
Pergerakan hemithorax simetris kiri dan kanan. Retraksi sela
iga (-)
Palpasi
Nyeri tekan (-), massa (-), vokal fremitus dalam batas normal
Perkusi
Sonor kiri = kanan
Auskultasi
Bunyi nafas vesikular (+/+), Stridor (-/-), Rhonki (-/-),
Wheezing (-/-)

Jantung Inspeksi
Ictus kordis tidak tampak
Palpasi
Ictus cordis teraba, thrill (-)
Perkusi
Batas jantung kanan pada linea parasternal dextra, batas
jantung kiri ICS V linea midclavicularis sinistra
Auskultasi
BJ I dan II murni regular, murmur (-)

Abdomen Inspeksi
Datar , ikut gerak nafas
Auskultasi
Peristaltik usus (+) kesan normal
Palpasi
Nyeri tekan (-), Pembesaran lien (-) Pembesaran hepar (-)
Ballotemen ginjal (-).
Perkusi
Tympani (+)

Ekstremitas Inspeksi
-peteki -/-, edema -/-, deformitas -/-
-ekstremitas atas nyeri tekan (-/-), krepitasi (-/-), teraba hangat
-ekstremitas bawah nyeri tekan pada benjolan dipaha (-/+),
krepitasi (-/-), teraba hangat

D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Laboratorium
Koagulasi (21-11-2021)

Parameter Nilai Rujukan Satuan

CT 07’22’’
BT 02’19’’
Darah Rutin (21-11-2021)

Parameter Nilai Rujukan Satuan

WBC 7,2 4.0-10.0 103/uL


RBC 5,22 4.00-6,00 106/uL
HGB 14,7 12.0-16.0 g/Dl
HCT 44,8 37.0-48.0 %
MCV 85,8 80.0-97.0 fL
MCH 28,2 26.5-33.0 Pg
MCHC 32,8 31.5-35.0 g/dL
PLT 239 150-400 103/uL

2. Foto CT-Scan Skull AP/Lat (21 November 2021)


Kesan :
Hematosinus dan pneumosinus maxilla dextra
3. Foto CT-Scan Thoraks AP (21 November 2021)

Kesan :
Pneumonia bilateral

E. RESUME
Pasien laki-laki usia 27 tahun datang ke UGD RSU Bahteramas rujukan
dari RS Permata Bunda dengan dengan keluhan perdarahan di mata kanan
sejak 1 jam yang lalu setelah terkena ban meletus. Keluhan disertai adanya
nyeri pada mata kanan (+), pusing (+), tidak ada mual (-), muntah (-), demam
(-), BAB dan BAK dalam batas normal.
Pemeriksaan fisis didapatkan Tekanan Darah : 107/89 mmHG, nadi :
65x/menit, pernapasan : 20x/menit, suhu : 36,6 oC, OD tampak vulnus
laceratum ukuran 5cm x 4cm, perdarahan aktif (+), hematom (+), swelling
(+), suara napas vesikuler (+/+) dan tidak terdapat suara napas tambahan.
Pemeriksaan foto CT-scan kepala didapatkan Hematosinus dan pneumosinus
maxilla dextra, dan pemeriksaan foto CT-scan thorax didapatkan pneumonia
bilateral.
F. DIAGNOSIS
Trauma Maxilofacial + OD Open Globe Injury + Pneumonia Bilateral
G. RENCANA PEMBEDAHAN
1. OD eksplorasi bola mata + OD jahit laserasi kornea + konjungtiva
2. Repair dengan flap eyelid
H. ASSESMENT
ASA PS 2
Rencana Anestesi : General Anestesi (General Endotracheal Anesthesia)
I. TATALAKSANA PERIOPERATIF
1. Persiapan Preoperatif :
a. Persiapan Pasien :
1) Menjelaskan keadaan umum pasien saat ini pada pasien dan pada
keluarga pasien, menjelaskan mengenai komplikasi dan prognosis
pada pasien.
2) Pasien dipuasakan 8 jam sebelum operasi dimulai
3) Pemasangan infus pada tangan kiri dengan cairan Ringer Laktat 31
tpm diberiakan selama pasien puasa
4) Premedikasi : ondansetron 8 mg, dexamethasone 10 mg, ranitidin
50 mg, ketorolac 30 mg.
b. Persiapan Alat :
1) Monitor ( SpO2, tekanan darah, nadi, ekg)
2) Oksigen dengan mesin anestesi
3) Meja operasi
4) Alat intubasi : laringoskop dengan ukuran 3,4,5 stetoskop,
endotrakea tube (ETT) nomor 6.5, 7, 7.5, OPA nomor 7 dan 8,
plester ETT , introduse, connecting, dan suction.
2. Intraoperatif
a. Pemberian obat sedatif dan analgetik : midazolam 2 mg, fenthanyl 100
mcg
b. Preoksigenasi O2 6-8 LPM (Preoksigenasi merupakan tindakan yang
dilakukan sebelum induksi anestesi dalam upaya menunda desaturasi
oksihemoglobin arteri)
c. Pemberian obat induksi : profopol mg, isoflurane 2-2,5 Vol %
d. Pemberian muscle relaxant : atracurium besylate 30 mg

e. Intubasi : berikan ventilasi O2 selama 2 menit, masukkan bilah


laringoskop ukuran 4 untuk menggeser lidah ke kiri, masukkan ETT
ukuran 7,5’p544 lepas laringoskop, cek posisi ETT dengan stetoskop
suara napas kanan sama dengan kiri vesikuler, setelah itu hubungkan
ETT dengan mesin anestesi dan fiksasi dengan plester.
f. Maintenance : isoflurane 2 vol % + O2 4 LPM

J. LAPORAN INTRAOPRATIF
BAB III
ANALISIS KASUS

Pasien laki-laki usia 27 tahun datang ke UGD RSU Bahteramas rujukan


dari RS Permata Bunda dengan dengan keluhan perdarahan di mata kanan sejak 1
jam yang lalu setelah terkena ban meletus. Keluhan disertai adanya nyeri pada
mata kanan (+), pusing (+), tidak ada mual (-), muntah (-), demam (-). Pasien
kemudian dikonsul ke dokter spesialis mata dan juga pasien dikonsul ke dokter
Bedah Plastik dan dilakukan pemeriksaan CT-scan kepala didapatkan
Hematosinus dan pneumosinus maxilla dextra.
Berdasarkan klasifikasi American Society of Anhesthesiologist (ASA)
Physical Status (PS) dibedakan menjadi(7) :
1. ASA PS 1 : Pasien normal sehat, tidak merokok, tidak ada atau penggunaan
alkohol minimal
2. ASA PS 2 : Seorang pasien dengan penyakit sistemik ringan. Penyakit ringan
dengan tanpa batasan fungsional. Contohnya perokok hingga saat ini,
pengguna alkohol, kehamilan, obesitas (30 < BMI < 40), Diabetes Melitus,
Hipertensi yang terkontrol dengan baik, penyakit paru-paru ringan
3. ASA PS 3 : Seorang pasien dengan penyakit sistemik berat. Keterbatasan
fungsional, satu atau lebih penyakit sedang hingga berat. Contohnya Diabetes
Melitus atau Hipertensi yang tidak terkontrol, PPOK, obesitas (BMI ≥ 40),
hepatitis aktif, ketergantungan atau penyalahgunaan alkohol, menggunakan
implan alat pacu jantung implan, pengurangan fraksi ejeksi sedang, End Stage
Renal Disease yang menjalani dialysis secara rutin, Post Conceptual Age bayi
prematur < 60 minggu, riwayat Miokard Infark (> 3 bulan), Cerebrovascular
Accident, Transient Ischemic Attack, atau Coronary Artery Disease/stent
4. ASA PS 4 : Seorang pasien dengan penyakit sistemik parah yang merupakan
ancaman terhadap kehidupan. Contohnya Miokard Infark baru (< 3 bulan),
Cerebrovascular Accident, Transient Ischemic Attack, atau Coronary Artery
Disease/stent, Iskemia Jantung berkelanjutan atau disfungsi katup berat,
pengurangan fraksi ejeksi yang berat, sepsis, Disseminated Intravascular
Coagulation, Acute Respiratory Distress Syndrome, atau End Stage Renal
Disease yang tidak menjalani dialisis secara teratur
5. ASA PS 5 : Seorang pasien yang hampir meninggal dan diperkirakan tidak
akan bertahan hidup tanpa operasi. Contohnya ruptur aneurisma perut / toraks,
trauma masif, perdarahan intrakranial dengan efek massa, iskemik bowel
dengan gangguan jantung yang signifikan atau disfungsi multipel organ/
disfungi sistem.
6. ASA PS 6 : Seorang pasien yang dinyatakan mati batang otak dan organnya
diambil untuk tujuan donor
Penambahan "E" yang menunjukkan operasi darurat. Darurat didefinisikan
sebagai ketika terdapat keterlambatan dalam perawatan pasien akan menyebabkan
peningkatan yang signifikan pada ancaman terhadap kehidupan atau bagian tubuh.
Pada kasus ini pasien dikategorikan dalam kategori status fisik ASA 2 yaitu
pasien penyakit bedah disertai dengan penyakit sistemik ringan. Status fisik ini
dapat dilihat dari diagnosis pasien yang mengalami perdarahan dan nyeri pada
region maxilla dextra setelah terkena ban meletus sehingga harus segera dilakukan
rekonstruksi pada region tersebut. Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik
pasien didapatkan deformitas pada maxilla dextra, hasil pemeriksaan laboratorium
dalam batas normal serta pemeriksaan pada foto CT-Scan kepala didapatkan
adanya hematosinus dan pneumosinus maxilla dextra dan pemeriksaan CT-Scan
thorax didapatkan adanya pneumonia bilateral.
Tujuan dilakukannya intubasi yaitu(8):
1. mempermudah pemberian anesthesia
2. mempertahankan jalan napas agar tetap bebas serta mempertahankan
kelancaran pernapasan
3. mencegah kemungkinan terjadinya aspirasi lambung (pada keadaan tidak
sadar, lambung penuh dan tidak ada didapat refleks batuk.
4. mempermudah pengisapan sekret endotrakeal.
5. pemakaian ventilasi mekanis yang lama
6. mengatasi obstruksi laring akut
Indikasi dilakukannya tindakan pemasukkan ET pada pasien antara lain(1) :
1. Untuk patensi jalan napas, menjamin ventilasi, oksigenasi yang adekuat,
dan menjamin keutuhan jalan napas.
2. Perlindungan terhadap paru dengan penutupan cuff dari ET pada pasien
yang baru saja makan atau pasien dengan obstruksi usus.
3. Operasi yang membutuhkan ventilasi tekanan positif paru, misalnya
torakotomi, penggunaan pelumpuh otot, atau ventilasi kontrol yang lama.
4. Operasi yang membutuhkan posisi selain terlentang.
5. Operasi daerah kepala, leher, atau jalan napas.
6. Diperlukan untuk kontrol dan pengeluaran sekret paru (bronchialpulmoner
toilet)
7. Diperlukan proteksi jalan napas pada pasien yang tidak sadar atau dengan
depresi refleks muntah.
8. Adanya penyakit atau kelainan jalan napas atas. Misalnya paralisis pita
suara, tumor supraglotis dan subglotis
Kontraindikasi dilakukannya intubasi antara lain(1) :
1. Beberapa keadaan trauma jalan napas atas atau obstruksi yang tidak
memungkinkan untuk dilakukannya intubasi.
2. Trauma servikal yang memerlukan immobilisasi sehingga sangat sulit
untuk dilakukan intubasi agar tidak memperberat cedera atau luka.
Indikasi dilakukan intubasi pada kasus ini salah satunya adalah untuk
patensi jalan nafas. Intubasi endotrakeal diindikasikan untuk menjamin ventilasi,
oksigenasi yang adekuat dan menjamin keutuhan jalan nafas, dan operasi
yang membutuhkan ventilasi tekanan positif paru, misalnya torakotomi,
penggunaan pelumpuh otot, atau ventilasi kontrol yang lama serta operasi
dilakukan pada daerah kepala, leher, atau jalan napas. Pada pasien ini tidak
ditemukan adanya kontraindikasi dalam dilakukannya intubasi.
Intubasi endotrakeal dilakukan dengan membuka mulut pasien dengan
tangan kanan dan gagang laringoskop dipegang dengan tangan kiri. Daun
laringoskop dimasukkan dari sudut kanan dan lapangan pandang akan terbuka.
Daun laringoskop di dorong ke dalam rongga mulut. Gagang di angkat ke atas
dengan lengan kiri dan akan terlihat uvula, faring srta epiglotis. Ekstensi kepala
dipertahankan dengan tangan kanan. Epiglotis diangkat sehingga tampak aritenoid
dan pita suara yang tampak keputihan berbentuk huruf V. Tracheal tube diambil
dengan tangan kanan dan ujungnya dimasukkan melewati pita suara akan dapat
tampak dengan jelas. Bila mengganggu, stylet dapat dicabut. Ventilasi atau
oksigenasi diberikan dengan tangan kanan memompa balon dan tangan kiri
memfiksasi. Balon pipa dikembangkan dan daun laringoskop dikeluarkan
selanjutnya pipa difiksasi dengan plester. Dada dipastikan mengembang saat
diberikan ventilasi. Sewaktu ventilasi, dilakukan auskultasi dada dengan
stetoskop, diharapkan suara napas kanan dan kiri sama. Bila dada ditekan terasa
ada aliran udara di pipa endotrakeal.
Pemasangan intubasi tidak selamanya berjalan dengan lancar, terdapat
kondisi-kondisi tertentu di mana proses intubasi sulit untuk dilakukan. Penilaian
untuk kemungkinan adanya kesulitan untuk laringoskopi dan intubasi dapat dinilai
dengan kriteria LEMON. Penilaian hambatan intubasi dapat dinilai dengan
kriteria berikut(9):
a. L (Look externally)
Evaluasi dengan melihat seluruh bagian wajah. Apakah ada hal - hal yang
dapat menyebabkan kemungkinan sulit ventilasi maupun intubasi seperti
trauma pada wajah, lidah yang besar, protrusi gigi, leher pendek, mandibula
yang kecil. Pada pasien didapatkan fraktur pada mandibula pasien sehingga
meningkatkan kesulitan dalam melakukan intubasi.
b. E (Evaluate 3 – 3 - 2)
Langkah ini merupakan gabungan dari buka mulut dan ukuran
mandibula terhadap posisi laring. Normalnya 65 mm, namun bila kurang dari
60 mm, kemungkinan sulit untuk dilakukan intubasi. Evaluasi buka mulut
juga penting. Pasien normal bisa membuka mulutnya dengan jarak 3 jari
antara gigi seri. Jarak thyromental direpresentasikan dengan 3 jari pasien
antara ujung mentum, tulang hioid dan 2 jari antara tulang hioid dan takik
tiroid. Dalam aturan 3-3-2:
a. Angka 3 yang pertama adalah kecukupan akses oral
b. Angka 3 yang kedua adalah kapasitas ruang mandibula untuk memuat
lidah ketika laringoskopi. Kurang atau lebih dari 3 jari dapat dikaitkan
dengan peningkatan kesulitan.
c. Angka 2 yang terakhir mengidentifikasi letak laring berkaitan dengan
dasar lidah. Bila kurang dari 2 jari maka letak laring lebih jauh dari dasar
lidah, sehingga mungkin menyulitkan dalam hal visualisasi glottis.

Gambar 2. Rule 3-3-2(10)

Setelah pasien tidak sadar, pasien dapat buka mulut lebih dari 3 jari
dengan dilakukannya head tilt, kapasitas ruang mandibula untuk memuat
lidah ketika laringoskopi didapatkan lebih dari 3 jari dan pada saat
mengidentifikasi letak laring berkaitan dengan dasar lidah didapatkan kurang
dari 2 jari sehingga sedikit menyulitkan dalam hal visualisasi glottis.

c. Mallampati Score.
Gambar 3. Derajat Kesulitan Mallampati(10)
Mallampati Score digunakan untuk menilai derajat kesulitan intubasi
1) Derajat 1: tampak pilar faring, palatum molle, palatum durum, dan uvula.
2) Derajat 2: Tampak hanya palatum molle, palatum durum, dan uvula.
3) Derajat 3: Tampak hanya palatum molle dan palatum durum.
4) Derajat 4: Tampak hanya palatum durum.
Pada pasien didapatkan pasien memiliki derajat 2 dalam Mallampati score
karena pada saat mulut pasien dibuka tampak palatum molle, palatum durum
dan uvula.

d. O (Obstruction)
Adanya pertanda kesulitan jalan napas harus selalu kita pertimbangkan
sebagai akibat adanya obstruksi pada jalan napas. 3 tanda utama adanya
obstruksi yaitu muffled voice (hot potato voice), adanya kesulitan menelan
ludah (karena nyeri atau obstruksi) dan adanya stridor. Pada pasien
didapatkan kesulitan dalam menelan ludah akibat nyeri pada area wajah, tidak
didapatkan muffled voice dan stridor

e. N (Neck mobility)
Keterbatasan mobilisasi leher harus dipertimbangan sebagai suatu
kesulitan dalam intubasi. Mobilisasi leher dapat dinilai dengan Ekstensi sendi
atlanto - oksipital yaitu posisi leher fleksi dengan menyuruh pasien
memfleksikan kepalanya kemudian mengangkat mukanya, hal ini untuk
menguji ekstensi daripada sendi atlanto - oksipital. Aksis oral, faring dan
laring menjadi satu garis lurus dikenal dengan posisi Magill. Nilai normalnya
adalah 35 derajat. Pada pasien didapatkan kesulitan dalam mengangkat
mukanya pada saat kondisi sadar akibat rasa nyeri pada area wajah sehingga
dilakukan head tilt pada pasien setelah diinduksi dan telah dipastikan dalam
kondisi tidak sadar.
Rekonstruksi region maxilla dan okuli dextra dilakukan di bawah anestesi
umum setelah mendapatkan persetujuan tertulis dari pasien. Selanjutnya dilakukan
persiapan pre operatif yang terdiri dari persiapan pasien seperti :
1) Pasien puasa 8 jam sebelum operasi dimulai
2) Pemasangan infus pada tangan kiri dengan cairan Ringer Laktat
3) Pemasangan kateter urin
Selain persiapan pasien dilakukan juga persiapan alat dan obat-obat
emergency serta obat-obat anestesi sebagai premedikasi, induksi, serta obat
pelumpuh otot yang akan digunakan sebelum dilakukan intubasi dipersiapkan.
Alat-alat yang akan digunakan antara lain :
1. Monitor, Sphygmomanometer, Saturasi, EKG
2. Oksigen dengan ventilator
3. Meja operasi
4. Mesin anestesi dan perangkat anestesi umum
5. Face mask, untuk dilakukan ventilasi sebelum intubasi. Pilih ukuran yang
sesuai yaitu yang dapat menutupi mulut dan hidung dan tidak terlalu lebar
menutupi pipi.
6. Laringoskop, pilih jenis dan ukuran laringoskop yang sesuai, periksa lampu
laringoskop, pastikan alat sudah terpasang dan mudah dijangkau tangan.
7. Stetoskop, untuk auskultasi setelah intubasi.
8. Pipa Endotrakeal, ukuran ET dinyatakan dalam mm berdasarkan diameter
internal yang tertera dan ada pula yang dinyatakan dalam French unit. Ukuran
rata-rata untuk wanita adalah 7,0-7,5 mm, dan untuk pria adalah 7,5-8,0 mm.
Pada anak dapat digunakan rumus 4 + BB/4 untuk menentukan ukuran ET.
Cara lain untuk menentukan ukuran ET adalah dengan menggunakan patokan
besar jari kelingking pasien. Untuk menentukan kedalaman insersinya adalah
besar diameter internal (ukuran ET) dikalikan tiga. Periksa cuff ET dengan
cara menginflasi cuff kemudian dapat dicelupkan ke dalam air untuk menilai
adanya kebocoran. Setelah itu berikan pelicin atau lidokain jeli.
9. Guedel (OPA) atau NPA.
10. Plester, akan digunakan untuk fiksasi ET setelah tindakan intubasi.
11. Stilet atau forsep intubasi
12. Suction

Tindakan awal anestesi dengan memberikan premedikasi berupa obat-obat


golongan antikolinergik, sedasi/trankuilizer, antiemetik dan analgetik sebelum
induksi anestesi. Tujuan dari premedikasi pada dasarnya untuk mempengaruhi
pasien, yaitu menimbulkan rasa nyaman, menghilangkan rasa nyeri, dan amnesia
serta membantu ahli anestesi, yaitu memudahkan atau memperlancar proses
induksi, mengurangi jumlah obat anestesi, mencegah efek samping dari obat
anestesi umum, mengurangi sekresi kelenjar saluran nafas, menekan refleks
vagus, mencegah muntah, dan aspirasi. Premedikasi dapat diberikan dengan
menggunakan satu atau kombinasi dari dua obat. Pemilihan obat untuk
premedikasi tergantung tujuan dari premedikasi itu sendiri. Waktu adalah yang
paling penting dalam pemberian premedikasi dimana waktu yang tepat dalam
pemberian premedikasi akan menghasilkan manfaat yang besar. Secara umum
waktu pemberian secara intravena dapat diberikan 5-10 menit sebelum
pembedahan.(11) Pada kasus ini diberikan premedikasi antiemetik berupa injeksi
ondancentron 8 mg, dexametason 10 mg, ranitidine 50 mg, dan fentanyl 100 mcg.
Analgesia-Opioid yang sering diberikan adalah petidin, fentanil, dan
morfin. Pemakaian Petidin dan Fentanil sebagai obat anestesi intravena saat ini
makin banyak digunakan. Pemberian opioid secara intravena merupakan pilihan
utama karena titrasi opioid dalam darah dapat terjadi secara cepat sehingga efek
analgesia yang diiginkan juga dapat tercapai dalam waktu singkat. Beberapa
keuntungan menggunakan kedua obat ini adalah mempunyai batas keamanan yang
lebih lebar karena dapat mencapai efek opioid yang diinginkan pada Sistem Saraf
Pusat tanpa mendatangkan efek samping yang ditengahi oleh aksi dari beberapa
receptor tipe lain, mekanisme yang berbeda, atau dengan efek-efek itu sendiri
pada beberapa tipe jaringan. Sedangkan kerugian anestesi intravena pada petidin
dan fentanil, yaitu terjadinya hipoventilasi atau penurunan volume tidal serta
hipotensi tetapi tidak terlalu banyak. Pada fentanil hipoventilasi dan hipotensi
yang terjadi tidak seberapa dibandingkan petidin, serta efek analgesiknya yang
lebih kuat dibandingkan petidin.(12)
Fentanyl bekerja pada talamus, hipotalamus sistem retikular dan neuron-
neuronnya, sehingga rangsangan sakit tidak dapat mencapai daerah kortikal.
Blokade fentanyl pada mesenchephalon mengakibatkan blokade rangsangan sakit,
somatik dan viseral. Pemberian fentanyl intravena mulai kerja 30 detik dan
mencapai puncak dalam waktu 5 menit, kemudian menurun dengan cepat dalam
waktu 5 menit pertama kadarnya berkurang 20% selanjutnya menurun dengan
lambat selama 10-20 menit. Kelarutannya dalam lemak tinggi sehingga mudah
melewati sawar otak. Fentanyl dimetabolisir di hepar dengan cara dealkilasi
hidroksilasi dan hidrolisa amida menjadi metabolit tidak aktif meliputi nor
fentanyl dan despropionil nor fentanyl. Kemudian diekskresi melalui empedu dan
urin. Waktu paruh eliminasi 185-219 menit, volume distribusi 3,2-5,9 l/kg, klirens
10-20 ml/kg/ menit. Durasi pada orang tua memanjang karena penurunan klirens,
aliran darah hepar, aktivitas enzim dan produksi albumin.(1)
Efek samping pemberian fentanyl dapat menyebabkan depresi napas dan
kekauan otot rangka khususnya otot thoraks, abdomen dan eksremitas, yang
dipengaruhi beberapa faktor antara lain dosis, cara pemberian, tingkat kesadaran
penderita, dan obat-obat lain yang diberikan, umumnya dengan dosis 1-3
µg/KgBB tidak menimbulkan depresi napas, depresi napas terjadi pada pemberian
200 µ intravena.(12)
Teknik anestesi pada kasus ini yaitu anestesi umum (general anesthesia)
dengan penggunaan intubasi endotrakeal menggunakan induksi injeksi Profopol
200 mg, Isoflurane 100 ml ( 2,0 vol%) dan Sevoflurane 80 ml (2,0 vol%). Pasien
yang menjalani prosedur pembedahan yang membutuhkan relaksasi yang dalam
untuk jangka waktu yang lama paling cocok untuk anestesi umum selama tidak
ada kontraindikasi. Pembedahan yang tidak dapat dibius dengan anestesi lokal
atau regional memerlukan anestesi umum. Operasi yang mungkin mengakibatkan
kehilangan darah yang signifikan atau di mana pernapasan akan terpengaruh
memerlukan anestesi umum. Pasien yang tidak kooperatif juga lebih baik diobati
dengan anestesi umum bahkan untuk prosedur yang lebih kecil. Tujuan utama
dilakukan anestesi umum adalah membuat pasien tidak sadar dan tidak dapat
merasakan rangsangan sambil mengendalikan refleks otonom. Ada 5 kelas utama
agen anestesi: anestesi intravena (IV), anestesi inhalasi, obat penenang IV, opioid
sintetik, dan obat penghambat neuromuskular.(13)
Propofol merupakan obat hipnotik-sedatif untuk anestesi umum yang
mulai diperkenalkan pada tahun 1985. Farmakokinetik dan farmakodinamik obat
ini memenuhi hampir semua faktor obat anestesi yang ideal. Saat ini propofol
menjadi obat hipnotik-sedatif yang paling populer dalam anestesi umum untuk
hampir semua jenis operasi. Mula kerja yang cepat, konsentrasi dalam darah yang
cepat dieliminasi, dan waktu pemulihan anestesi yang singkat menjadi kelebihan
propofol dibanding dengan obat-obat hipnotik-sedatif intravena lainnya.
Penelitian telah membuktikan bahwa pada pasien yang diberikan propofol
memiliki waktu pulih terhadap fungsi kognitif dan psikomotor lebih cepat
dibanding dengan obat anestesi yang lain. Propofol juga tidak menimbulkan efek
samping mual-muntah, sebaliknya mempunyai efek antimual-muntah yang kuat.
. Propofol mempunyai sifat sangat larut dalam lemak, sesudah disuntikkan intra
(11)

vena, dengan cepat didistribusikan menuju jaringan, dengan mudah obat ini
menembus bloodbrain barierdan didistribusikan di jaringan otak. Obat ini dengan
cepat juga dieliminasi, metabolisme terutama terjadi di dalam hati. Propofol
glucoronide merupakan hasil metabolisme yang utama. Sebagian besar diekskresi
lewat ginjal, mendapatkan penurunan total klirens dan distribusi volume propofol,
pada penderita usia tua, juga telah mengamati, bahwa kebutuhan propofol untuk
induksi dan pemeliharaan anestesi berkurang pada penderita tua. Pada ibu hamil
propofol dapat menembus placenta dan dengan cepat masuk ke dalam janin dan
menyebabkan depresi janin. Pada sistem kardiovaskuler menyebabkan turunnya
tekanan darah dan sedikit perubahan pada nadi. Obat ini tidak mempunyai efek
vagolitik, sehingga pernah dilaporkan terjadinya bradikardi sampai asistole pada
pemakaian propofol. Karena itu dianjurkan untuk memberikan anti cholinergik
sebelum pemakaian propofol, khususnya pada keadaan di mana tonus vagal lebih
dominan atau bila propofol dipakai bersama dengan obat-obat penyebab
bradikardi.(11)
Efek profopol pada organ yaitu profopol mengakibatkan penurunan
tekanan darah arteri akibat penurunan tahanan vaskular sistemik yang disebabkan
inhibisi aktivitas vasokonstriktor simpatetik, preload, dan kontraktilitas jantung.
Hipotensi berat akibat pemberian profopol dapat terjadi pada pemberian dengan
dosis besar, injeksi yang terlalu cepat, dan pemberian pada pasien geriatri.
Perubahan detak jantung dan curah jantung bersifat sementara dan tidak signifikan
terjadi pada pasien yang sehat, perubahan signifikan dapat terjadi pada umur
ekstrem, pasien yang mendapat pengobatan beta-adrenergik blocker, dan
mempunyai gangguan fungsi ventrikel. Sehingga untuk mencegah perubahan
hemodinamik yang berat, dapat dilakukan teknik titrasi.(16)
Waktu pemulihan cepat terjadi dengan penggunaan profopol. Pemulihan
dapat dibagi atas 3 bagian yaitu early recovery (fase 1), intermediate recovery
(fase 2), dan late recovery (fase 3). Early recovery dimulai dari dihentikannya
obat anestesi supaya pasien bangun, kembalinya refleks proteksi jalan napas dan
dimulainya aktivitas motorik, fase ini biasanya terjadi di Postanesthesia Care Unit
(PACU). Intermediate recovery bila sudah mencapai kriteria untuk dapat
dipulangkan ke rumah dan late recovery dari mulai dipulangkan sampai pulihnya
fungsi fisiologis ke keadaan seperti sebelum pembedahan. Pada early recovery
dilakukan pemantauan dengan sistem skoring modifikasi Aldrete yang bila sudah
mencapai ≥ 9 boleh dipindahkan ke ruang pulih fase 2(11).
Sevoflurane pertama ditemukan oleh Wallin dan Napoli tahun 1971,
merupakan fluorinasi methyl isoprophyl ether. Tekanan penguapannya
menyerupai halotan dan isofluran. Koofisien partisi darah/gas 0,69, menyerupai
desfluran termasuk dalam hal induksi anestesi dan pulih sadar setelah pemberian
dihentikan. endahnya kelarutan darah/gas dan kenyamanan pemakaian sevofluran,
membuat agent ini jadi pilihan utama untuk induksi inhalasi cepat dengan
recovery yang cepat. Sevoflurane sering digunakan untuk induksi pada anak
karena berbau enak, tidak merangsang jalan nafas dan tidak meningkatkan
sekresi saluran nafas. Sevoflurane mungkin paling tidak iritasi pada saluran
nafas dibanding agent inhalasi lain yang dipakai saat ini. Kelarutan sevofluran
jaringan yang rendah menimbulkan eliminasi yang cepat sehingga terjaga
cepat. Depresi ventilasi mencerminkan efek depresi langsung terhadap pusat
ventilasi medulla dan kemungkinan efek perifer terhadap otot interkostal.
Relaksasi otot polos bronkus dapat timbul melalui efek langsung atau
secara tidak langsung melalui reduksi lalu lintas saraf aferen atau depresi
secara sentral.(15)
Isoflurane adalah agent inhalasi yang memiliki koefisien partisi gas/darah
isofluran adalah 1,4. Ini lebih kecil dibanding agent inhalasi lainnya, kecuali
desfluran 0,42 dan sevofluran 0,6–0,7, memungkinkan peningkatan konsentrasi
isofluran di alveolar terjadi lebih cepat. Penelitian oleh Frink dkk, pasien yang
dianestesi dengan isofluran kurang dari 1 jam, dapat membuka mata dengan
perintah kira – kira 7 menit setelah anestesi dihentikan. Pemberian yang lebih
lama , yaitu selama 5 – 6 jam, munculnya respon dengan perintah relatif cepat,
kira – kira 11 menit setelah isofluran dihentikan. Induksi dengan isofluran relatif
cepat tetapi isoflurane dapat mengiritasi jalan nafas bila digunakan pada awal
induksi dengan masker pada konsentrasi tinggi. Induksi lambat
direkomendasikan untuk mengurangi efek iritatif saluran nafas dan untuk
menghindari tahan nafas dan batuk. Dalam praktek barbiturat aksi pendek
biasanya diberikan untuk memfasilitasi proses tersebut.(15)
Sebelum dilakukan intubasi, pasien diberikan preoksigenasi dengan bag
valve mask (BVM) dengan sistem reservoir selama 3 menit. reoksigenasi dengan
100% oksigen sebelum induksi anestesi, manuver yang diterima secara luas,
meningkatkan penyimpanan oksigen tubuh, sehingga menunda onset desaturasi
selama periode apnea setelah induksi anestesi dan muscle relaksan.
Preoksigenasi diketahui dapat meningkatkan waktu aman apnea pada dewasa
yang sehat antara 3-6 menit. Paling sering, untuk preoksigenasi adekuat, pasien
membutuhkan untuk bernapas 100% oksigen selama 3-5 menit atau mencapai
4-8 kapasitas vital pernapasan dalam untuk 30-60 detik berturut-turut.(16)
BAB IV
PENUTUP
Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa pemilihan

jenis teknik anestesi sangat penting dalam pengelolaan jalan napas. Anestesi

umum merupakan teknik yang tepat untuk menjalani prosedur pembedahan

yang membutuhkan relaksasi yang dalam untuk jangka waktu yang lama.

Intubasi merupakan salah satu upaya yang dapat dilakukan dalam menjaga

kepatenan jalan napas, mencegah aspirasi, dan menjaga agar ventilasi

memadai. Intubasi dapat dilakukan pada keadaan di mana terdapat obstruksi

jalan napas, hipoventilasi, hipoksemia berat, penurunaan kesadaran (GCS ≤ 8),

henti jantung, serta syok hemoragik berat. Perlindungan jalan napas dapat

dilakukan dengan memasukkan pipa endotrakea (Endotracheal tube/ ETT)

ke dalam trakea melalui hidung atau mulut. ETT dapat digunakan sebagai

penghantar gas anestesi ke dalam trakea dan memudahkan kontrol ventilasi dan

oksigenasi.
DAFTAR PUSTAKA
1. Soenarjo, Jatmiko HD. Anestesiologi. Edisi 2. Semarang, Indonesia:
Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran UNDIP/ RS.
Kariadi Semarang; 2013; p. 209–220
2. Horton CL, Brown CA, Raja AS. Trauma airway management. J Emerg
Med.2014;46(6):814–20.Available from: http://dx.doi.org/10.1016/j.jemer
med.2013.11.085
3. Eldisha Nofityari, E, Ilahi, F, Ariani, N. Analisis Karakteristik Pasien
Trauma Mata di RSUP Dr. M. Djamil Padang Tahun 2016 Jurnal
Kesehatan Andalas. 2019; 8(1).
4. Mayer, C.S, Reznicek, L, Baur, I.D, Khoramnia, R. Open Globe Injuries:
Classifications and Prognostic Factors for Functional Outcome. Diagnostics
2021, 11, 1851. https://doi.org/10.3390/ diagnostics11101851
5. Press Release “Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) Outbreak
Pneumonia Di Tiongkok
6. Putri RA, Pamungkas KA, Mursali LB. Angka Kejadian Fraktur Mandibula
Berdasarkan Lokasi Anatomis Di RSUD Arifin Achmad Provinsi Riau
Periode Januari 2011-Desember 2013. JOM FK. 2015;Volume 1 N:1–2.
7. Hurwitz E, Simon M, Vinta SR. Adding Examples to the ASA- Physical
Status Classification Improves Correct Assignment to Patiens.
Anesthesiology. 2017;Vol 126(4).
8. Mahadaven SV et al. An Introduction to Clinical Emergency Medicine.
Cambridge University Press.; 2012.
9. Lafferty KA. What is the LEMON law for airway assessment prior to rapid
sequence intubation (RSI)? [Internet]. Medscape. 2020 [cited 2021 Nov
18]. p. 1–3. Available from: https://www.medscape.com/answers/80222-
155654/what-is-the-lemon-law-for-airway-assessment-prior-to-rapid-
sequence-intubation-rsi
10. Walls R, Murphy M. Manual of Emergency Airway Management. 4th
Edition. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2012; p. 77.
11. Arvianti, Oktaliansah E, Surahman E. Perbadingan Antara Sevofluran dan
Profopol Menggunakan Total Intravenous Anesthesia Target Controlled
Infusion Terhadap Waktu Pulih Sadar dan Pemulangan Pada Ekstirpasi
Fibroadenoma Payudara. J Anestesi Periopratif. 2017;Vol 5(1):24–31.
12. Susiyadi, Riyanto R. Pemberian Petidin dan Fentanyl Sebagai Premedikasi
Anestesi Terhadap Perubahan Tekanan Darah Di RSUD Prof DR Margono
Soekarjo. Sainteks. 2016;XIII(2):49–55.
13. Smith G, D’Cruz JR, Rondeau B, Goldman J. General Anesthesia for
Surgeons [Internet]. StatPearls Publishing. 2021 [cited 2021 Nov 18].p.1–9.
Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK493199/#_NB
K493199_pubdet_
14. Rehatta NM, Hanindito E, Tantri AR, Redjeki IS, Soenarto RF, Bisri D.
Anestesiologi dan Terapi Intensif KATI-PERDATIN. Jakarta, Indonesia:
PT Gramedia Pustaka Utama; 2019.
15. Firman B. Perbandingan Pengaruh Sevofluran dan Isofluran Terhadap
Jumlah Neutrofil, Polimorfonuklear Darah Tepi. Universitas Diponegoro;
2007.
16. Malawat FR, Cahyadi BI. Preoksigenasi pada Anestesi Umum. J Anestesiol
Indones. 2018;X(2):117–24.

Anda mungkin juga menyukai