Disusun oleh
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
2022
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kami kemudahan sehingga kami
dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Shalawat serta salam semoga terlimpah
curahkan kepada baginda tercinta kita yaitu Nabi Muhammad SAW yang kita nanti-natikan
syafa’atnya di akhirat nanti.
Kami mengucapkan syukur kepada Allah SWT atas limpahan nikmat sehat-Nya, baik
itu berupa sehat fisik maupun akal pikiran, sehingga penulis mampu untuk menyelesaikan
penyusunan makalah untuk memenuhi tugas dari mata kuliah Psikologi Belajar yang diampu
oleh Prof.Dr.H.Mulyadi dengan judul Teori belajar humanistic dan implikasinya terhadap
pembelajaran
Penyusun mengucapkan terima kasih kepada semua pihak khususnya yang telah
membimbing dalam menulis makalah ini kepada Prof.Dr.H.Mulyadi. Kami menyadari bahwa
makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan masih banyak terdapat kesalahan serta
kekurangan di dalamnya. Apabila terdapat banyak kesalahan pada makalah ini, Kami mohon
maaf yang setulus-tulusnya.
Penyusun
1
Daftar Isi
Cover
Kata Pengantar..................................................................................................................1
Daftar Isi............................................................................................................................2
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.......................................................................................................3
B. Rumusan Masalah.................................................................................................3
C. Tujuan....................................................................................................................4
BAB II PEMBAHASAN
A. Belajar dalam Pandangan Humanistik...................................................................5
B. Pandangan Abraham Maslow............................................................................5-6
C. Pandangan Carl Rogers Terhadap Belajar..........................................................6-7
D. Pandangan Kolb Terhadap Belajar....................................................................7-9
E. Kelebihan Teori Kolb............................................................................................9
F. Kelemahan Teori Kolb..........................................................................................9
G. Implementasi Teori Kolb Terhadap Pendidikan di Indonesia.............................10
H. Pandangan Honey Dan Mumford Terhadap Belaja.......................................10-11
I. Belajar Pandangan Bloom dan Kratwohl terhadap belajar............................11-12
J. Pandangan Combs terhadap Belajar..............................................................12-13
K. Implikasi Teori belajar Humanistic dalam pembelajaran...............................13-14
L. Kelebihan dan Kekurangan teori belajar humanistic...........................................15
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................15
2
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Belajar adalah suatu hal yang penting di mana seluruh makhluk yang ada pasti
melakukan pembelajaran, teori belajar humanistik adalah teori yang menyatakan
bahwa manusia berhak mengenali dirinya sendiri sebagai langkah untuk belajar,
sehingga diharapkan mampu mencapai aktualisasi diri. Itulah mengapa, teori ini
beranggapan bahwa proses belajar dinilai lebih penting daripada hasil belajar itu
sendiri. Pengertian tersebut juga berlaku jika teori ini diterapkan di kegiatan
pembelajaran. Artinya, pengertian teori belajar humanistik bisa disamakan dengan
pengertian teori pembelajaran humanistik.
Teori humanistik akan sangat membantu para pendidik dalam memahami arah
belajar pada dimensi yang lebih luas, sehingga upaya pembelajaran apapun dan pada
konteks manapun akan selalu diarahkan dan dilakukan untuk mencapai tujuannya.
Meskipun teori humanistik sering dikritik karena sulit diterapkan dalam konteks yang
lebih praktis dan dianggap lebih dekat dengan bidang filsafat, teori kepribadian dan
psikoterapi dari pada bidang pendidikan, sehingga sulit diterjemahkan ke dalam
langkah-langkah yang lebih konkret dan praktis. Namun sumbangan teori ini amat
besar. Ide-ide, konsep-konsep, taksonomi-taksonomi tujuan yang telah
dirumuskannya dapat membantu para pendidik dan guru untuk memahami hakikat
kejiwaan manusia.
Dalam praktiknya, teori ini cenderung mengarahkan siswa untuk berpikir
induktif, mementingkan pengalaman, serta membutuhkan keterlibatan siswa secara
aktif dalam proses belajar.
B. Rumusan masalah
1. Belajar dalam humanistik
2. Pandangan Abraham H Maslow
3. Pandangan Carl Rogers terhadap belajar
4. Pandangan kolb terhadap belajar
5. Pandangan H Oney dan Mumfrod terhadap belajar
6. Pandangan Bloom dan Krathwohl dan Combs terhadap belajar
7. Implikasi teori humanistik dalam pembelajaran
3
8. Kelebihan dan kekurangan teori humanistik
C. Tujuan
Makalah ini bertujuan untuk menjawab dan memberikan penjelasan terkait rumusan
masalah dan memberikan paparan teori Humanistik dan implikasinya yang
berdasarkan para ahli didalam bidang teori humanistik, dan memberikan beberapa
beberapa pandangan argumentasi, dan memberikan kelebihan dan kekurangan dari
teori belajar humanistik.
4
BAB II
PEMBAHASAN
A. Belajar Dalam Pandangan Humanistik
Dalam teori belajar humanistik, belajar dianggap berhasil jika si pelajar
memahami lingkungannya dan dirinya sendiri. Siswa dalam proses belajarnya harus
berusaha agar lambat laun ia mampu mencapai aktualisasi diri dengan sebaik-baiknya.
Teori belajar ini berusaha memahami perilaku belajar dari sudut pandang pelakunya,
bukan dari sudut pandang pengamatnya. Tujuan utama para pendidik adalah
membantu si siswa untuk mengembangkan dirinya, yaitu membantu masing-masing
individu untuk mengenal diri mereka sendiri sebagai manusia yang unik dan
membantu dalam mewujudkan potensi-potensi yang ada dalam diri mereka.
Menurut aliran humanistik, para pendidik sebaiknya melihat kebutuhan yang
lebih tinggi dan merencanakan pendidikan dan kurikukum untuk memenuhi
kebutuhan-kebutuhan ini. Beberapa psikolog humanistik melihat bahwa manusia
mempunyai keinginan alami untuk berkembang, untuk lebih baik, dan juga belajar.
Jadi sekoah harus berhati-hati supaya tidak membunuh insting ini dengan
memaksakan anak belajar sesuatu sebelum mereka siap. Jadi bukan hal yang benar
apabila anak dipaksa untuk belajar sesuatu sebelum mereka siap secara fisiologis dan
juga punya keinginan. Dalam hal ini peran guru adalah sebagai fasilitator yang
membantu siswa untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang lebih tinggi, bukan
sebagai konselor seperti dalam Freudian ataupun pengelola perilaku seperti pada
behaviorisme.
B. Pandangan Abraham Maslow
Teori Maslow didasarkan pada asumsi bahwa di dalam diri individu ada dua hal:
a) Suatu usaha yang positif untuk berkembang.
b) Kekuatan untuk melawan atau menolak perkembangan itu.
5
kemampuan, ke arah kepercayaan diri menghadapi dunia luar dan pada saat itu juga ia
dapat menerima diri sendiri (self). Maslow membagi kebutuhan-kebutuhan (needs)
manusia menjadi tujuh hirarki. Bila seseorang telah dapat memenuhi kebutuhan
pertama, seperti kebutuhan fisiologis, barulah ia dapat menginginkan kebutuhan yang
terletak di atasnya, ialah kebutuhan mendapatkan ras aman dan seterusnya. Hierarki
kebutuhan manusia menurut Maslow ini mempunyai implikasi yang penting yang
harus diperharikan oleh guru pada waktu ia mengajar anak-anak. Ia mengatakan
bahwa perhatian dan motivasi belajar ini mungkin berkembang kalau kebutuhan dasar
si siswa belum terpenuhi.
6
terhadap bahaya, ancaman, dan jaminan keamanan. Perilaku yang menimbulkan
ketidakpastian berhubungan dengan kelanjutan pekerjaan atau yang merefleksikan
sikap dan perbedaan, kebijakan administrasi yang tidak terduga akan menjadi
motivator yang sangat kuat dalam hal rasa aman pada setiap tahap hubungan kerja
Contoh: Siswa perlu merasa aman di lingkungan tempat mereka belajar tanpa
ancaman dari luar. Jika seorang siswa merasa mereka berpotensi disakiti atau pada
beberapa kasus terjadi bullying, maka tingkat keamanan ini tidak akan terpenuhi.
Siswa akan merasa takut untuk belajar.
3. Kebutuhan Sosial
Memberi dan menerima cinta, persahabatan, kasih saying, harta milik,
pergaulan, dukungan. Jika dua tingkat kebutuhan pertama terpenuhi seseorang
menjadi sadar akan perlunya kehadiran teman. Kebutuhan akan cinta, rasa kasih,
dan rasa memiliki, dan seluruh jalur yang telah di gambarkan diulangi kembali
dengan menempatkan hal-hal ini sebagai titik pusat yang baru. Maka sekarang,
dan belum pernah sebelumnya, orang akan sangat merasakan tiadanya kawan-
kawan, atau kekasih, atau istri, atau anak-anak. Ia haus akan hubungan yang
penuh rasa dengan orang-orang pada umumnya, yakni akan suatu tempat dalam
kelompok atau keluarganya, dan ia akan berikhtiar lebih keras lagi untuk
mencapai tujuan ini.
Contoh: Pada tingkat ini, siswa ingin merasakan rasa memiliki dengan orang
lain di lingkungannya (Maslow, 1943). Pada tingkat ini, siswa perlu
mengidentifikasi dengan sekelompok atau kelompok siswa lain dan perlu merasa
bahwa mereka cocok.
4. Kebutuhan Akan Harga Diri
Semua orang dalam masyarakat kita (dengan beberapa pengecualian yang
patologis) mempunyai kebutuhan atau menginginakan penilaian terhadap dirinya
yang mantap, mmpunyai dasar yang kuat, dan biasanya bermutu tinggi, akan rasa
hormat diri, atau harga diri, dan penghargaan akan orangorang lainnya. Karenaya,
kebutuhan-kebutuhan ini dapat siklasifikaiskan dalam dua perangkat tambahan.
Yakni, pertama, keinginan akan kekuatan, akan prestasi, akan kecukupan, akan
keunggulan dan kemampuan, akan kepercayaan pada diri sendiri dalam
menghadapi dunia, dan akan kemerdekaan dan kebebasan. Kedua, kita memiliki
apa yang dapat kita katakan hasrat akan nama baik atau gengsi, pretise (yang
dirumuskan sebagai penghormatan dan penghargaan dari orang lain), status,
7
ketenaran dan kemuliaan, dominasi, pengakuan, perhatian, arti yang peenting,
martabat, atau apresiasi.
Contoh: Siswa ingin memiliki harga diri yang baik melalui pengakuan dan
prestasi (Maslow, 1943). Dengan mendapatkan pengakuan dari orang lain, siswa
merasa yakin dengan kemampuannya untuk belajar. Frustasi atau pemuas
kebutuhan harga diri yang terhambat akan menghasilkan sikap rendah diri, rasa
lemah, tidak mampu, dan tidak berguna.
5. Aktualisasi Diri
Aktualisasi diri dapat didefenisikan sebagai perkembangan yang paling tinggi
dan penggunaan semua bakat kita, pemenuhan semua kualitas dan kapasitas kita.
kita harus menjadi menurut potensi kita untuk menjadi. Meskipun kebutuhan-
kebutuhan dalam tingkat yang lebih rendah di puaskan, seperti merasa aman
secara fisik maupun emosional, mempunyai perasaan memiliki dan cinta serta
merasa bahwa diri kita adalah individu-individu yang berharga, namun kita akan
merasa kecewa, tidak tenang dan tidak puas jika kita gagal berusaha untuk
memuaskan kebutuuhan akan aktulisasi diri
Contoh: Siswa mencari cara untuk memenuhi potensi pribadinya untuk
belajar, dan mencari pemenuhan dalam pembelajaran mereka. Pada tingkat ini
siswa akan berusaha untuk tujuan pembelajaran tertentu dan berusaha untuk
mencapainya (Gorman, 2010). Misalnya, pada tingkat ini, siswa mungkin ingin
menerima nilai “A” pada tes mereka atau mungkin mencari untuk membaca
sejumlah buku.
a) Kecenderungan formatif, yaitu segala hal di dunia baik organik maupun non-
organik tersusun dari hal-hal yang lebih kecil.
b) Kecenderungan aktualisasi, yaitu kecenderungan setiap makhluk hidup untuk
bergerak menuju ke kesempurnaan atau pemenuhan potensial dirinya. Tiap
individual mempunyai kekuatan yang kreatif untuk menyelesaikan masalahnya.
8
Learning menunjuk pada pemenuhan kebutuhan dan keinginan siswa. Kualitas
belajar experiential learning mencakup: keterlibatan siswa secara personal,
berinisiatif, evaluasi oleh siswa sendiri, dan adanya efek yang membekas pada siswa.
Teori belajar humanistik Rogers juga menitik beratkan pada metode student-
centered, dengan menggunakan "komunikasi antar pribadi" yaitu berpusat pada
peserta didik dengan mengembangkan potensi-potensi yang dimiliki peserta didik
untuk dapat mengatasi permasalahan yang dihadapi dalam suatu kehidupan. Yang
terpenting dari Rogers adalah proses suasana (emotional approach) dalam
pembelajaran bukan hasil dari belajar. Seorang guru harus lebih responsif terhadap
kebutuhan kasih sayang dalam proses pendidikan. Perasaan gembira, tidak tertekan,
nyaman adalah hal yang dinginkan dalam proses pembelajaran. (Wahyudin, 2009)
1. Realitas di dalam fasilitator belajar merupakan sikap dasar yang penting. Seorang
fasilitator menjadi dirinya sendiri dan tidak menyangkal diri sendiri, sehingga ia
dapat masuk kedalam hubungan dengan pelajar tanpa ada sesuatu yang ditutup-
tutupi.
2. Penghargaan, penerimaan, dan kepercayaan menghargai pendapat, perasaan, dan
sebagainya membuat timbulnya penerimaan akan satu dengan lainnya. Dengan
adanya penerimaan tersebut, maka akan muncul kepercayaan akan satu dengan
lainnya.
3. Pengertian yang empati, Untuk mempertahankan iklim belajar atas dasar inisiatif
diri, maka guru harus memiliki pengertian yang empati akan reaksi murid dari
dalam. Guru harus memiliki kesadaran yang sensitif bagi jalannya proses
pendidikan dengan tidak menilai atau mengevaluasi. Pengertian akan materi
pendidikan dipandang dari sudut murid dan bukan guru.
9
b) Siswa akan mempelajari hal-hal yang bermakna bagi dirinya.
Pengorganisasian bahan pelajaran berarti mengorganisasikan bahan dan ide
baru sebagai bagian yang bermakna bagi siswa.
c) Pengorganisasian bahan pengajaran berarti mengorganisasikan bahan dan
ide baru sebagai bagian yang bermakna bagi siswa.
d) Belajar yang bermakna dalam masyarakat modern berarti belajar tentang
proses.
10
D. Pandangan Kolb Terhadap Belajar
David A. Kolb adalah seorang psikolog Amerika dan teori pendidikan. Kolb
paling dikenal karena penelitian gaya belajar dan belajar pengalaman. Menurut
Kolb, experiential learning adalah suatu proses dimana pengetahuan hasil dari
kombinasi yang berbeda dari menangkap dan mentransformasikan pengalaman.
Kita dapat memahami pengalaman dengan dua cara yang berbeda, melalui
pengalaman konkret dan konsep abstrak. Kita kemudian dapat mengubah
pengalaman dalam dua cara, melalui pengamatan reflektif atau percobaan aktif.
Gaya belajar model David A. Kolb terimplisit dalam Resource Based Learning
(belajar berdasarkan sumber) yang mengajak siswa melakukan observasi untuk
memecahkan masalah. Menurut David Kolb, “Gaya belajar model Kolb ialah gaya
belajar yang melibatkan pengalaman baru siswa, mengembangkan
observasi/merefleksi, menciptakan konsep, dan menggunakan teori untuk
memecahkan masalah”.
Kolb (Rene: 1996) seorang ahli penganut aliran humanistik membagi tahap-
tahap belajar menjadi empat tahap, yaitu: (1) tahap pengalaman konkret, (2) tahap
pengamatan aktif dan reflektif, (3) tahap konseptualisasi, dan (4) tahap
eksperimentasi aktif.
a) Tahap Pengalaman konkret.
Pada tahap awal dalam peristiwa belajar adalah seseorang mampu
atau dapat mengalami suatu peristiwa atau suatu kejadian sebagaimana
adanya. Ia dapat melihat dan merasakannya, dapat menceritakan peristiwa
tersebut sesuai dengan apa yang dialaminya. Namun, dia belum memiliki
kesadaran tentang hakikat dari peristiwa tersebut. Ia hanya dapat
merasakan kejadian tersebut apa adanya, dan belum dapat memahami
serta menjelaskan bagaimana peristiwa itu terjadi. Ia juga belum dapat
memahami mengapa peristiwa tersebut harus terjadi seperti itu.
Kemampuan inilah yang terjadi dan dimiliki seseorang pada tahap paling
awal dalam proses belajar.
b) Tahap Pengamatan Aktif dan Reflektif.
Tahap kedua dalam peristiwa belajar adalah bahwa seseorang
makin lama akan semakin mampu melakukan observasi secara aktif
terhadap peristiwa yang dialaminya. Ia mulai berupaya untuk mencari
jawaban dan memikirkan kejadian tersebut. Ia melakukan refleksi
11
terhadap peristiwa yang dialaminya, dengan mengembangkan pertanyaan-
pertanyaan bagaimana hal itu bisa terjadi, dan mengapa hal itu mesti
terjadi. Pemahamannya terhadap peristiwa yang dialaminya semakin
berkembang. Kemampuan inilah yang terjadi dan dimiliki seseorang pada
tahap kedua dalam proses belajar
c) Tahap konseptualisasi
Tahap ketiga dalam peristiwa belajar adalah seseorang sudah
mulai berupaya untuk membuat abstraksi, mengembangkan suatu teori,
konsep, atau hukum dan prosedur tentang sesuatu yang menjadi objek
perhatiannya. Berpikir induktif banyak dilakukan untuk merumuskan
suatu aturan umum atau generalisasi dari berbagai contoh peristiwa yang
dialaminya. Walaupun kejadian-kejadian yang diamati tampak berbeda-
beda, namun memiliki komponen-komponen yang sama yang dapat
dijadikan dasar aturan Bersama.
d) Tahap eksperimentasi aktif.
Tahap terakhir dari peristiwa belajar menurut Kolb (Rene: 1996)
adalah melakukan eksperimentasi secara aktif. Pada tahap ini seseorang
sudah mampu mengaplikasikan konsep-konsep, teori-teori atau aturan-
aturan ke dalam situasi nyata. Berpikir deduktif banyak digunakan untuk
mempraktekkan dan menguji teori-teori serta konsep di lapangan.
12
teoris, dan kelompok pragmatis. Masing-masing kelompok memiliki karakteristik
yang berbeda dengan kelompok lainnya.
a) Kelompok Aktivis.
Orang-orang yang termasuk ke dalam kelompok aktivis adalah mereka
yang senang melibatkan diri dan berpartisipasi aktif dalam berbagai kegiatan
dengan tujuan untuk memperoleh pengalamanpengalaman baru. Orang-orang tipe
ini mudah diajak berdialog, memiliki pemikiran terbuka, menghargai pendapat
orang lain, dan mudah percaya pada orang lain. Namun dalam melakukan sesuatu
tindakan sering kali kurang pertimbangan yang matang, dan lebih banyak
didorong oleh kesenangannya untuk melibatkan diri. Dalam kegiatan belajar,
orang-orang demikian senang pada hal-hal yang sifatnya penemuan-penemuan
baru, seperti pemikiran baru, pengalaman baru, dan sebagainya, sehingga metode
yang cocok adalah problem solving, brainstorming. Namun, mereka akan cepat
bosan dengan kegiatan-kegiatan yang implementasinya memakan waktu lama.
b) Kelompok reflektor.
Mereka yang termasuk ke dalam kelompok ini mempunyai kecenderungan
yang berlawanan dengan mereka yang termasuk kelompok aktivis. Di dalam
melakukan suatu tindakan, orang-orang tipe ini sangat berhati-hati dan penuh
pertimbangan. Pertimbangan-pertimbangan baik-buruk dan untung-rugi, selalu
diperhitungkan dengan cermat dalam memutuskan sesuatu. Orang-orang
demikian tidak mudah dipengaruhi, sehingga mereka cenderung bersifat
konservatif.
c) Kelompok teoris.
Kelompok ini memiliki kecenderungan yang sangat kritis, suka
menganalisis, selalu berpikir rasional dengan menggunakan penalarannya. Segala
sesuatu sering dikembalikan kepada teori dan konsepkonsep atau hukum-hukum,
mereka tidak menyukai pendapat atau penilaian yang sifatnya subjektif. Dalam
melakukan atau memutuskan sesuatu, kelompok teoris penuh dengan
pertimbangan, sangat skeptis dan tidak menyukai hal-hal yang bersifat spekulatif.
Mereka tampak lebih tegas dan mempunyai pendirian yang kuat, sehingga tidak
mudah terpengaruh oleh pendapat orang lain.
d) Kelompok pragmatis.
Kelompok ini memiliki sifat-sifat yang praktis, tidak suka berbicara dan
membahas sesuatu dengan teori-teori, konsepkonsep, dalil-dalil, dan sebagainya.
13
Bagi mereka, yang penting adalah aspekaspek praktis, sesuatu yang nyata dan
dapat dilaksanakan. Sesuatu hanya bermanfaat jika dapat dipraktekkan. Teori,
konsep, dalil, memang penting tetapi semua tidak ada gunanya apabila tidak
dapat dengan mudah dilaksanakan. Bagi mereka, sesuatu adalah baik dan berguna
jika dapat dipraktekkan dan bermanfaat bagi kehidupan manusia
F. Pandangan Bloom dan Kratwohl terhadap belajar
Pada tahun 1956, Bloom, Englehart, Furst, Hill dan Krathwohl berhasil
mengenalkan kerangka konsep kemampuan berpikir yang dinamakan Taxonomy
Bloom. Jadi, Taksonomi Bloom adalah struktur hierarkhi yang mengidentifikasikan
skills mulai dari tingkat yang rendah hingga yang tinggi.
Taksonomi Bloom merupakan struktur hierarki yang mengidentifikasikan
skills mulai dari tingkat terendah hingga tertinggi. Setiap tingkatan dalam Taksonomi
Bloom memiliki korelasinya masing-masing. Maka, untuk mencapai tingkatan yang
paling tinggi, tentu tingkatan-tingkatan yang berada di bawahnya harus dikuasai
terlebih dahulu
Dalam kerangka konsep ini, tujuan pendidikan ini oleh Bloom dibagi menjadi
tiga domain/ranah kemampuan intelektual [intellectual behaviors] yaitu kognitif,
afektif dan psikomotorik.
1. Ranah Kognitif
Ranah Kognitif berisi perilaku yang menekankan aspek intelektual, seperti
pengetahuan, dan keterampilan berpikir. Ranah afektif mencakup perilaku terkait
dengan emosi, misalnya perasaan, nilai, minat, motivasi, dan sikap. Ranah
Psikomotorik berisi perilaku yang menekankan fungsi manipulatif dan
keterampilan motorik / kemampuan fisik, berenang, dan mengoperasikan mesin.
Ranah kognitif mengurutkan keahlian berpikir sesuai dengan tujuan yang
diharapkan. Proses berpikir menggambarkan tahap berpikir yang harus dikuasai
oleh siswa agar mampu mengaplikasikan teori kedalam perbuatan.
Ranah kognitif ini terdiri atas enam level, yaitu:
a. Knowledge (pengetahuan)
Kemampuan menyebutkan atau menjelaskan kembali. Contohnya
menyatakan kebijakan
b. Comprehension (pemahaman atau persepsi)
14
Kemampuan memahami instruksi/masalah, menginterpretasikan dan
menyatakan kembali dengan kata-kata sendiri. Contohnya menuliskan
kembali atau merangkum materi pelajaran.
c. Application (penerapan)
Kemampuan menggunakan konsep dalam praktek atau situasi yang baru.
Contohnya menggunakanpedoman/atuan dalam menghitung gaji pegawai.
d. Analysis (penguraian atau penjabaran)
Kemampuan memisahkan konsep kedalam beberapa komponen untuk
memperoleh pemahaman yang lebih luas atas dampak komponen terhadap
konsep tersebut secara utuh. Contohnya menganalisa penyebab
meningkatnya harga pokok penjualan dalam laporan keuangan.
e. Synthesis (pemaduan)
Kemampuan merangkai atau Menyusun kembali komponen dalam rangka
menciptakan arti/pemahaman struktur baru. Contohnya Menyusun
kurikulum dengan mengintegrasikan pendapat dan materi dari beberapa
sumber.
f. Evaluation (penilaian)
Kemampuan mengevaluasi dan menilai sesuatu berdasarkan norma, acuan
dan kriteria. Contohnya membandingkan hasil ujian dengan kunci
jawaban.
15
ini hanya menunjukkan bahwa semakin tinggi semakin sulit kemampuan
berpikirnya.
2. Ranah Afektif
Ranah Afektif mencakup segala sesuatu yang terkait
dengan emosi, misalnya perasaan, nilai, penghargaan, semangat, minat, motivasi,
dan sikap. Lima kategori ranah ini diurutkan mulai dari
perilaku yang sederhana hingga yang paling kompleks.
a. Penerimaan
Kemampuan untuk menunjukkan atensi dan penghargaan terhadap orang
lain Contohnya mendengarkan pendapat orang lain, mengingat nama
seseorang
b. Responsif
Kemampuan berpartisipasi aktif dalam pembelajaran dan selalu
termotivasi untuk segera bereaksi dan mengambil Tindakan atas suatu
kejadian. Contohnya berpartisipasi dalam diskusi kelas
c. Nilai Yang Dianut (Nilai Diri)
Kemampuan menunjukkan nilai yang dianut untuk membedakan mana
yang baik dan kurang baik terhadap suatu kejadian/objek, dan nilai
tersebut diekspresikan dalam perilaku. Contohnya mengusulkan suatu
kegiatan sesuai dengan nilai yang berlaku
d. Organisasi
Kemampuan membentuk system nilai dan budaya organisasi dengan
mengharmonisasikan perbedaan nilai. Contohnya menyepakati dan
mentaati etika profesi
e. Karakterisasi
Kemampuan mengendalikan perilaku berdasarkan nilai yang dianut dan
memperbaiki hubungan intrapersonal, interpersonal dan sosial. Contohnya
menunjukkan rasa percaya diri ketika bekerja sendiri, kooperatif dalam
aktivitas kelompok.
3. Ranah Psikomotortik
Ranah Psikomotorik meliputi gerakan dan koordinasi jasmani, keterampilan
motorik dan kemampuan fisik. Keterampilan ini dapat diasah jika sering
16
melakukannya. Perkembangan tersebut dapat diukur sudut kecepatan, ketepatan,
jarak, cara/teknik pelaksanaan. Ada tujuh kategori dalam ranah psikomotorik
mulai dari tingkat yang sederhana hingga tingkat yang rumit.
A. Persepsi
Kemampuan menggunakan saraf sensori dalam menginterpretasikannya
dalam memperkirakan sesuatu Contohnya menurunkan suhu AC saat
merasa suhu ruangan panas
B. Kesiapan
Kemampuan untuk mempersiapkan diri, baik mental, fisik dan emosi
dalam menghadapi sesuatu. Contoh: melakukan pekerjaan sesuai urutan,
menerima kelebihan dan kekurangan seseorang.
C. Reaksi Yang Diarahkan
Kemampuan untuk memulai keterampilan yang kompleks dengan
bantuan/bimbingan dengan meniru dan uji coba. Contoh: mengikuti arahan
dari instruktur
D. Reaksi Natural (Mekanisme)
Kemampuan untuk melakukan kegiatan pada tingkat ketrampilan yang
lebih sulit. Melalui tahap ini diharapkan siswa akan terbiasa melakukan
tugas rutinnya
E. Reaksi Yang Kompleks
Kemampuan untuk melakukan kemahirannya dalam melakukan sesuatu,
dimana dilihat dari kecepatan, ketepatan, efisiensi dan efektivitasnya.
Semua Tindakan dilakukan secara spontan, lancer, cepat tanpa ragu.
Contohnya keahlian bermain piano.
F. Adaptasi
Kemampuan mengembangkan keahlian dan memodifikasi pola sesuai
dengan yang dibutuhkan. Contohnya melakukan perubahan secara cepat
dan tepat terhadap kejadian tak terduga tanpa merusak pola yang ada.
G. Kreatifitas
Kemampuan untuk menciptakan pola baru yang sesuai dengan kondisi/
situasi tertentu dan juga kemampuan mengatasi masalah dengan
mengeksplorasi kreativitas diri. Contohnya membuat formula baru, inovasi
dan produk baru
17
REVISI TAKSONOMI BLOOM
Pada tahun 1994, salah seorang murid Bloom, Lorin Anderson Krathwohl dan
para ahli psikologi aliran kognitivisme memperbaiki taksonomi Bloom agar sesuai
dengan kemajuan zaman. Hasil perbaikan tersebut baru dipublikasikan pada tahun
2001 dengan nama Revisi Taksonomi Bloom. Revisi hanya dilakukan pada ranah
kognitif. Revisi tersebut meliputi:
1. Perubahan kata kunci dari kata benda menjadi kata kerja untuk setiap level
taksonomi.
2. Perubahan hampir terjadi pada semua level hierarkhis, namun urutan
level masih sama yaitu dari urutan terendah hingga tertinggi. Perubahan
mendasar terletak pada level 5 dan 6. Perubahan-perubahan tersebut dapat
dijelaskan sebagai berikut:
1. Pada level 1, knowledge diubah menjadi remembering [mengingat].
2. Pada level 2, comprehension dipertegas menjadi understanding [memahami].
3. Pada level 3, application diubah menjadi applying [menerapkan].
4. Pada level 4, analysis menjadi analyzing [menganalisis].
5. Pada level 5, synthesis dinaikkan levelnya menjadi level 6 tetapi dengan
perubahan mendasar, yaitu creating [mencipta].
6. Pada level 6, Evaluation turun posisisinya menjadi level 5, dengan sebutan
evaluating [menilai].
Sama dengan sebelum revisi, tiga level pertama [terbawah] merupakan Lower
Order Thinking Skills, sedangkan tiga level berikutnya Higher Order Thinking Skill.
Jadi, dalam menginterpretasikan piramida di atas, secara logika adalah sebagai
berikut:
a. Sebelum kita memahami sebuah konsep maka kita harus mengingatnya terlebih
dahulu
18
b. Sebelum kita menerapkan maka kita harus memahaminya terlebih dahulu
c. Sebelum kita menganalisa maka kita harus menerapkannya dulu
d. Sebelum kita mengevaluasi maka kita harus menganalisa dulu
e. Sebelum kita berkreasi atau menciptakan sesuatu, maka kita harus mengingat,
memahami, mengaplikasikan, menganalisis dan mengevaluasi.
19
jauh peristiwa-peristiwa itu dari persepsi diri makin berkurang pengaruhnya terhadap
perilakunya. Jadi, hal-hal yang mempunyai sedikit hubungan dengan diri, makin
mudah hal itu terlupakan.
20
g) Bilamana cuaca penerima kelas telah mantap, fasilitator berangsur-sngsur dapat
berperanan sebagai seorang peserta didik yang turut berpartisipasi, seorang
anggota kelompok, dan turut menyatakan pendangannya sebagai seorang
individu, seperti peserta didik yang lain.
h) Dia mengambil prakarsa untuk ikut serta dalam kelompok, perasaannya dan juga
pikirannya dengan tidak menuntut dan juga tidak memaksakan, tetapi sebagai
suatu andil secara pribadi yang boleh saja digunakan atau ditolak oleh peserta
didik
i) Dia harus tetap waspada terhadap ungkapan-ungkapan yang menandakan adanya
perasaan yang dalam dan kuat selama belajar
j) Di dalam berperan sebagai seorang fasilitator, pimpinan harus mencoba untuk
menganali dan menerima keterbatasan-keterbatasannya sendiri. (Dakir, 1993: 65).
21
2. Menurut aliran humanisme : individu itu cenderung mempunyai kemampuan /
keinginan untuk berkembang dan percaya pada kodrat biologis dan ciri
lingkungan.
3. Indikator dari keberhasilan aplikasi ini adalah siswa merasa senang bergairah,
berinisiatif dalam belajar dan terjadi perubahan pola pikir, perilaku dan sikap
atas kemauan sendiri.
4. Siswa diharapkan menjadi manusia yang bebas, tidak terikat oleh pendapat
orang lain dan mengatur pribadinya sendiri secara bertanggung jawab tanpa
mengurangi hak-hak orang lain atau melanggar aturan, norma, disiplin atau
etika yang berlaku.
5. Aliran humanisme tidak menyetujui sifat pesimisme, dalam aliran humanisme
individu itu memiliki sifat yang optimistic.
6. Teori Humanistik sangat membantu para pendidik dalam memahami arah
belajar pada dimensi yang lebih luas, sehingga upaya pembelajaran apapun dan
pada konteks manapun akan selalu diarahkan dan dilakukan untuk mencapai
tujuannya.
7. Ide-ide, konsep-konsep, taksonomi-taksonomi tujuan yang dirumuskan dapat
membantu para pendidik dan guru untuk memahami hakikat kejiwaan manusia.
1. Siswa yang tidak mau memahami potensi dirinya akan ketinggalan dalam
proses belajar.
2. Terlalu memberi kebebasan pada siswa.
3. Teori humanisme terlalu optimistik secara naif dan gagal untuk memberikan
pendekatan pada sisi buruk dari sifat alamiah manusia
4. Teori humanisme, seperti halnya teori psikodinamik, tidak bisa diuji dengan
mudah
5. Banyak konsep dalam psikologi humanisme, seperti misalnya orang yang telah
berhasil mengaktualisasikan dirinya, ini masih buram dan subjektif.
6. Beberapa kritisi menyangkal bahwa konsep ini bisa saja mencerminkan nilai
dan idealisme Maslow sendiri.
7. Psikologi humanisme mengalami pembiasan terhadap nilai individualistis
22
8. Teori humanisme ini dikritik karena sukar digunakan dalam konteks yang lebih
praktis. Teori ini dianggap lebih dekat dengan dunia filsafat daripada dunia
Pendidikan.
9. Aplikasi teori humanisme dalam pembelajaran, guru lebih mengarahkan siswa
untuk berpikir induktif, mementingkan pengalaman serta membutuhkan
keterlibatan siswa secara aktif dalam proses belajar.
10. Teori humanisme masih sukar diterjemahkan kedalam langkah-langkah yang
praktis dan operasional.
Daftar Pustaka
Sukmadinata, dan Nana Syaodih. Landasan Psikologi Proses Pendidikan. Cet. IV, Bandung:
Remaja Rosdakarya, 2007.
23