Anda di halaman 1dari 11

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kesehatan jiwa merupakan bagian integral dari kesehatan, sehat jiwa


tidak hanya terbatas dari gangguan jiwa, tetapi merupakan suatu hal yang
dibutuhkan oleh semua orang. Menurut Yosep (2007), kesehatan jiwa adalah
sikap yang positif terhadap diri sendiri, tumbuh, berkembang, memiliki
aktualisasi diri, keutuhan, kebebasan diri, memiliki persepsi sesuai kenyataan
dan kecakapan dalam beradaptasi dengan lingkungan.
Umumnya manusia memiliki kemampuan untuk menyesuaikan diri
dengan baik, namun ada juga individu yang mengalami kesulitan untuk
melakukan penyesuaian dengan persoalan yang dihadapi. Mereka
bahkan gagal melakukan koping yang sesuai tekanan yang dialami, atau
mereka menggunakan koping yang negatif, koping yang tidak
menyelesaikan persoalan dan tekanan tapi lebih pada menghindari
atau mengingkari persoalan yang ada.
Permasalahan pada suatu individu dalam mengalami gangguan jiwa
sangatlah kompleks antara satu dengan lainnya saling berkaitan. Mekanisme
koping yang tidak efektif merupakan salah satu faktor seseorang dapat
mengalami gangguan jiwa. Seseorang dapat dikatakan sehat jiwanya apabila
seseorang tersebut memenuhi kriteria sebagai berikut : sikap positif
terhadap
diri sendiri, tumbuh kembang dan aktualisasi diri, integrasi
(keseimbangan

1
1

2
2

atau keutuhan), otonomi, persepsi realitas, environmental mastery (kecakapan


dalam adaptasi dengan lingkungan).
Sejalan dengan itu fungsi serta tanggung jawab perawat psikiatri dalam
memberikan asuhan keperawatan dituntut untuk dapat menciptakan suasana
yang dapat membantu proses penyembuhan dengan menggunakan hubungan
terapeutik melalui usaha pendidikan kesehatan dan tindakan keperawatan yang
dapat membantu proses penyembuhan dengan menggunakan hubungan
terapeutik melalui usaha pendidikan kesehatan dan tindakan keperawatan
secara komprehensif yang diajukan secara berkesinambungan karena penderita
isolasi sosial dapat menjadi berat dan lebih sukar dalam penyembuhan bila
tidak mendapatkan perawatan secara intensif.
Menurut data dari WHO (World Health Organization) tahun 2011,
yang di kutip dari Ikrar (2012), penderita gangguan jiwa berat telah
menempati tingkat yang luar biasa. Lebih 24 juta mengalami gangguan jiwa
berat. Jumlah penderita gangguan jiwa di dunia, seperti fenomena gunung es
di lautan, yang kelihatannya hanya puncaknya, tetapi dasarnya lebih banyak
lagi yang belum terlacak. Bahkan menurut laporan pusat psikiater Amerika,
dibutuhkan dana sekitar US$ 160 bilyun pertahun. Berarti gangguan jiwa
berdampak dalam semua segi kehidupan, ekonomi, politik, sosial, budaya,
keamanan, dan seterusnya.
Menurut data dari Departemen Kesehatan tahun 2007, kasus gangguan
jiwa di Indonesia yaitu 11,6% dari seluruh penduduk Indonesia (19,6 jt orang
dari 241 jt). Pada laporan riset kesehatan dasar tahun 2007, ditemukan bahwa

2
3

sebanyak 11,6% individu yang berumur 15 tahun keatas melaporkan bahwa


mereka memiliki gangguan emosional (Dimyati, 2010).
Widowati (2013) mengungkapkan bahwa tekanan hidup diduga
membuat semakin banyak orang depresi dan gila. Setidaknya saat ini yang
terdata saja di Jawa Tengah terdapat 30.000 orang yang mengidap gangguan
jiwa. Dari angka tersebut, hanya 20.000 orang yang mendapat perawatan
intensif di rumah sakit kejiwaan. Tidak adanya pengetahuan keluarga
mengenai gangguan kejiwaan menyebabkan penderita tidak memperoleh
pengobatan. Selain itu, sebagian besar penderita gangguan kejiwaan masuk
kategori masyarakat miskin sehingga mereka selalu urung memberikan
pengobatan yang layak karena tidak ada biaya. Karena faktor biaya itulah,
kebanyakan keluarga miskin lebih memilih senang untuk memasung atau
mengurung pasien gangguan jiwa daripada dibawa ke rumah sakit jiwa.
Penderita gangguan jiwa di wilayah Surakarta berdasarkan data yang
penulis dapat dari studi kasus yang dilakukan di Rumah Sakit Jiwa Daerah
Surakarta selama 3 bulan terakhir, telah di peroleh data tentang jumlah
penderita gangguan jiwa dengan masalah defisit perawatan diri sejumlah 992
orang. Sedangkan untuk jumlah penderita defisit perawatan diri di bangsal
Amarta selama 1 bulan terakhir sebanyak 262 orang.
Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis tertarik untuk
melakukan penelitian tentang asuhan keperawatan pada pasien gangguan jiwa
dengan defisit perawatan diri.

3
4

B. Perumusan Masalah

Dalam penulisan laporan ini perumusan masalahnya adalah bagaimana


aplikasi asuhan keperawatan pada klien dengan masalah utama defisit
perawatan diri.

C. Tujuan

1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui asuhan keperawatan pada klien dengan


gangguan defisit perawatan diri dan memberi pengetahuan kepada
pembaca tentang asuhan keperawatan kepada klien dengan gangguan
defisit perawatan diri.
2. Tujuan Khusus

a. Mampu melakukan pada pengkajian klien dengan gangguan defisit


perawatan diri.
b. Mampu membuat analisa data pada klien dengan gangguan defisit
perawatan diri.
c. Mampu membuat intervensi keperawatan pada klien dengan
gangguan defisit perawatan diri.
d. Mampu melakukan implementasi keperawatan pada klien dengan
gangguan defisit perawatan diri.
e. Mengetahui teori dan konsep gangguan defisit perawatan diri.

4
5

3. Manfaat

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat secara praktisi bagi :

1. Institusi Pendidikan

Sebagai sumber informasi dan bahan referensi pada kepustakaan institusi


dalam meningkatkan mutu pendidikan pada masa yang akan datang di bidang
keperawatan, khususnya keperawatan jiwa.
2. Penulis dan mahasiswa

Memberikan pengertian, pengetahuan, pemahaman kepada pembaca


mengenai defisit perawatan diri dalam menyikapi dan mengatasi jika ada pasien
dengan masalah defisit perawatan diri.
3. Pasien dan Keluarga

Diharapkan pasien bisa memahami pentingnya perawatan diri dan dapat


melakukan perawatan diri secara mandiri. Sedangkan untuk keluarga,
diharapkan keluarga bisa membantu untuk lebih memotivasi klien supaya
klien tetap menjaga perawatan diri.

5
6

BAB II
PEMBAHASAN

STANDAR ASUHAN KEPERAWATAN KEPERAWATAN KLIEN DENGAN


DEFISIT PERAWATAN DIRI

1. Pengertian:
Defisit perawatan diri adalah kelemahan kemampuan untuk melakukan atau
melengkapi aktifitas mandi/kebersihan diri (NANDA 2012-2014).
Kurangnya perawatan diri pada pasien dengan gangguan jiwa terjadi akibat adanya
perubahan proses pikir sehingga kemampuan untuk melakukan aktivitas perawatan diri
menurun. Kurang perawatan diri tampak dari ketidakmampuan merawat kebersihan diri,
makan secara mandiri, berhias diri secara mandiri, dan toileting {Buang Air Besar
(BAB)/Buang Air Kecil(BAK)} secara mandiri (WHO & FIK UI, 2006).

2. Tanda dan Gejala


Subyektif
2.1. Menyatakan tidak ada keinginan mandi secara
teratur
2.2. Perawatan diri harus dimotivasi
2.3. Menyatakan Bab/bak di sembarang tempat
2.4. Menyatakan tidak mampu menggunakan alat bantu
makan
Obyektif
2.1. Tidak mampu membersihkan badan
2.2. Penampilan tidak rapi, pakaian kotor, tidak mampu berpakaian secara
benar
2.3. Tidak mampu melaksanakan kebersihan yang sesuai, setelah melakukan
toileting
6
7
2.4. Makan hanya beberapa suap dari piring/porsi tidak
habis

3. Diagnosa keperawatan
Defisit perawatan diri

4. Tindakan keperawatan generalis pada klien defisit perawatan diri


Tujuan : Klien mampu
4.1. Mengidentifikasi perawatan kebersihan diri (mandi, berhias, makan
minum, toileting)
4.2. Melatih cara melakukan perawatan diri:
mandi
4.3. Melatih cara perawatan diri:
berdandan/berhias
4.4. Melatih cara perawatan diri:
makan/minum
4.5. Melatih cara perawatan diri: BAB/BAK
Tindakan
4.1. Menjelaskan tanda dan gejala, penyebab dan akibat defisit perawatan
diri serta melatih klien merawat diri: mandi
4.1.1. Mengidentifikasi tanda dan gejala, penyebab dan akibat defisit perawatan
diri

7
8
4.1.2. Menjelaskan cara perawatan diri : mandi (tanyakan alasan tidak mau mandi,
berapa kali mandi dalam sehari, manfaat mandi, peralatan mandi, cara mandi yang benar)
4.1.3. Melatih klien cara perawatan diri: mandi
4.1.4. Melatih klien memasukkan kegiatan berdandan dalam jadual kegiatan harian
4.2. Menjelaskan dan melatih klien perawatan kebersihan diri: berhias
4.2.1. Mendiskusikan tentang cara perawatan diri berdandan (alat yang dibutuhkan,
kegiatan berdandan, cara berdandan, waktu berdandan, manfaat berdandan,
kerugian jika tidak berdandan
4.2.2. Melatih cara berdandan
4.2.3. Melatih klien memasukkan kegiatan berdandan dalam jadual kegiatan harian
4.3. Melatih cara melakukan perawatan diri:makan/minum
4.3.1. Mendiskusikan cara perawatan diri; makan/minum (tanyakan alat-alat yang
dibutuhkan, cara makan minum, waktu makan minum, manfaat makan minum
dan kerugian jika tidak makan minum
4.4.1. Melatih cara perawatan diri: makan minum
4.5.1. Melatih klien memasukkan kegiatan makan/minum dalam jadwal kegiatan harian
4.4. Melatih cara melakukan perawatan diri: BAK/BAK
4.4.1. Mendiskusikan cara perawatan diri BAB/BAK (alat yang dibutuhkan,
kegiatan BAB/BAK, cara melakukan BAB/BAK yang benar, manfaat BAB/BAK
yang benar, kerugian jika BAB/BAK tidak benar).
4.4.2. Melatih cara perawatan diri: BAB/BAK
4.4.3. Melatih klien memasukkan kegiatan BAB/BAK dalam jadwal kegiatan harian.
5. Tindakan keperawatan generalis pada keluarga klien defisit perawatan diri
Tujuan: keluarga mampu
5.1. Mengenal masalah klien defisit perawatan diri
5.2. Mengambil keputusan untuk merawat klien defisit perawat diri
5.3. Merawat klien defisit perawatan diri
5.4. Menciptakan lingkungan yang terapeutik untuk klien defisit perawatan diri
5.5. Memanfaatkan pelayanan kesehatan untuk follow up kesehatan klien defisit
perawatan diri dan mencegah kekambuhan
Tindakan:
5.1. Menjelaskan masalah klien defisit perawatan diri
8
9
5.1.1. Mengidentifikasi masalah keluarga dalam merawat klien defisit perawatan diri
5.2. Mendiskusikan masalah dan akibat yang mungkin yang terjadi pada klien
defisit perawatan diri
5.2.1. Mendiskusikan masalah dan akibat yang mungkin terjadi pada klien defisit
perawatan diri
5.2.2. Menganjurkan keluarga memutuskan untuk merawat klien defisit perawatan diri
5.3. Menjelaskan dan melatih keluarga cara merawat klien defisit perawatan diri
5.3.1. Menjelaskan cara merawat klien defisit perawatan diri

9
1
0

10

Anda mungkin juga menyukai