PENDAHULUAN
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian karakter
2. Untuk mengetahui hubungan Pancasila dan Karakter Bangsa
3. Untuk mengetahui terhapusnya mata kuliah Pendidikan Pancasila
4. Untuk mengetahui kondisi jatidiri bangsa Indonesia
5. Untuk mengetahui empat pilar yang dicabut oleh Mahkamah Konstitusi
6. Untuk mengetahui desain pendidikan karakter di sekolah.
BAB II
ISI
1.1 Pengertian Karakter
Karakter adalah seperangkat sifat yang selalu dikagumi sebagai tanda-tanda
kebaikan, kebajikan dan kematangan moral seseorang. Secara etimologi, istilah
karakter berasal dari bahasa Latin character, yang berarti watak, tabiat, sifat-sifat
kejiwaan, budi pekerti, kepribadian dan akhlak. Menurut W.B. Saunders, (1977: 126)
menjelaskan bahwa karakter adalah sifat nyata dan berbeda yang ditunjukkan oleh
individu, sejumlah atribut yang dapat diamati pada individu. Wyne mengungkapkan
bahwa karakter yaitu menandai bagaimana cara memfokuskan bagaimana
mengaplikasikan nilai kebaikan dalam bentuk tindakan atau tingkah laku. Oleh sebab
itu seseorang yang berperilaku tidak jujur, kejam atau rakus dikatakan sebagai orang
yang berkarakter jelek, sementara orang yang berprilaku jujur, suka menolong
dikatakan sebagai orang yang berkarakter mulia. Jadi istilah karakter erat kaitannya
dengan personality (kepribadian) seseorang.
Definisi karakter dari beberapa ahli sangat berbeda pada setiap penjelasanya.
Menurut W.B. Saunders karakter itu adalah sifat nyata, berbeda dan dapat diamati
oleh individu, yang artinya karakter ini dapat ditunjukkan pada masing-masing orang,
karena sifat dan karakter yang dimiliki setiap individu tidak sama dan dapat terlihat
sehingga dapat dikatakan berbeda. Sedangkan menurut Wyne, bagaimana cara
seseorang mengaplikasikan nilai kebaikan dalam bentuk tindakan atau tingkah laku,
Karena jika seseorang itu memiliki sikap berbudi pekerti yang baik, berarti orang
tersebut memiliki karakter yang mulia. Sebaliknya jika seseorang yang tidak memiliki
budi pekerti yang baik berarti dapat dikatakan sebagai orang yang memiliki perilaku
yang tidak baik.
Definisi karakter dari beberapa ahli sangat berbeda pada setiap penjelasanya.
Menurut W.B. Saunders karakter itu adalah sifat nyata, berbeda dan dapat diamati
oleh individu, yang artinya karakter ini dapat ditunjukkan pada masing-masing orang,
karena sifat dan karakter yang dimiliki setiap individu tidak sama dan dapat terlihat
sehingga dapat dikatakan berbeda. Sedangkan menurut Wyne, bagaimana cara
seseorang mengaplikasikan nilai kebaikan dalam bentuk tindakan atau tingkah laku,
Karena jika seseorang itu memiliki sikap berbudi pekerti yang baik, berarti orang
tersebut memiliki karakter yang mulia. Sebaliknya jika seseorang yang tidak memiliki
budi pekerti yang baik berarti dapat dikatakan sebagai orang yang memiliki perilaku
yang tidak baik.
Jadi, antara karakter bangsa dengan pancasila tidak dapat terpisahkan. Karena
sebagai warga negara Indonesia yang berpedoman kepada pancasila dan setiap
kegiatan harus memuat nilai-nilai yang ada dalam pancasila dari itulah diharuskan
pula tumbuh nilai-nilai pancasila dalam pribadi setiap masyarakat dan dapat
diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari. Pancasila adalah harga mati bagi
setiap warga negara Indonesia, yang harus dipatuhi dan tidak boleh bertentangan
dengan pancasila.
1.3 Terhapusnya Mata Kuliah Pendidikan Pancasila
Pendidikan tinggi sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional memiliki
peran strategis dalam mencerdaskan kehidupan bangsa dan memajukan ilmu
pengetahuan dan teknologi dengan memperhatikan dan menerapkan nilai humaniora
serta pembudayaan dan pemberdayaan bangsa Indonesia yang berkelanjutan. Untuk
meningkatkan daya saing bangsa dalam menghadapi globalisasi di segala bidang,
diperlukan pendidikan tinggi yang mampu mengembangkan ilmu pengetahuan dan
teknologi serta menghasilkan intelektual, ilmuwan, dan/atau profesional yang
berbudaya dan kreatif, toleran, demokratis, berkarakter tangguh, serta berani membela
kebenaran untuk kepentingan bangsa.
Wacana penghapusan pendidikan Pancasila memang bersifat responsif
sehingga perlu dihargai. Responsif, antara lain, karena masalah toleransi beragama,
kekerasan, dan terorisme kini mengemuka. Juga responsif karena pendidikan
Pancasila menggugat ingatan kita pada Orde Baru, sebuah orde yang menggunakan
Pancasila sebagai penguatan dan pelanggengan hegemoni para penguasa waktu itu.
Penataran P4 sebagai kepanjangan tangan pendidikan Pancasila, dengan alasan sama,
juga menghidupkan kembali trauma masa lalu. Dalam jangka panjang (beberapa
generasi mendatang), penghapusan tersebut dapat menyebabkan Indonesia menjadi
sebuah negara tanpa orientasi kebangsaan. Hal itu disebabkan para anggota
masyarakatnya tidak lagi memahami jati dirinya sebagai sebuah bangsa yang setiap
anggotanya memanggul tanggung jawab untuk membangun komunitas peradaban
dalam skala kebangsaan. Mengacu tengara John Gardner sebagaimana dikemukakan,
keroposnya pijakan moral kebangsaan dalam setiap individu warganya akan
menyebabkan Indonesia menjadi bangsa yang gagal atau bahkan secara fisik akan
mengalami disintegrasi.
Kementerian Pendidikan Nasional tidak akan memasukkan Pendidikan
Pancasila menjadi kurikulum baru. Menurut Kepala Pusat Kurikulum dan Buku
Kementerian Pendidikan Nasional, Diah Harianti, Pendidikan Pancasila sudah ada
dalam mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan. Kata dia, dalam Pendidikan
Kewarganegaraan itu disisipkan persoalan tentang kesatuan dan persatuan bangsa,
norma hukum, hak asasi manusia, dan Pancasila. Ia juga menambahkan, jika
pendidikan pancasila dijadikan kurikulum baru justru malah menyulitkan siswa.
(KBR68H, Jakarta. Tuesday, 10 May 2011 08:02)
Penghapusan pendidikan Pancasila bermula sejak Sidang Umum MPR tahun
1999 pencabutan Tap 4/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan
Pancasila(P4). Kemudian, keputusan ini lebih diformalkan dalam UU Nomor 20/2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Didalam UU No. 20 Tahun 2003 pasal 37 ayat 2 menyebutkan bahwa
Kurikulum pendidikan tinggi wajib memuat:
a. pendidikan agama;
b. pendidikan kewarganegaraan; dan
c. bahasa.
Yang berarti bahwa Pendidikan Pancasiala di Perguruan Tinggi sudah tidak ada,
melainkan digabung dengan Pendidikan Kewarganegaraan. Pendidikan
Kewarganegaraan yang dimaksudkan untuk membentuk peserta didik menjadi
manusia yang memiliki rasa kebangsaan dan cinta tanah air. Selain itu, dalam surat
Edaran Dikti No 43 Tahun 2006 dan Edaran Dikti No. 44 Tahun 2006 disebutkan
bahwa mata kuliah Pancasila dimasukan pada mata kuliah Kewarganegaraan
sebanyak 3 SKS.
Namun, dengan adanya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012, Pendidikan
Pancasila muncul lagi dalam mata kuliah di perguruan tinggi. Sesuai dengan pasal 35
UU No. 12 Tahun 2012 yang berbunyi :
1. Kurikulum pendidikan tinggi merupakan seperangkat rencana dan pengaturan
mengenai tujuan, isi, dan bahan ajar serta cara yang digunakan sebagai
pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan
Pendidikan Tinggi.
2. Kurikulum Pendidikan Tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dikembangkan oleh setiap Perguruan Tinggi dengan mengacu pada Standar
Nasional Pendidikan Tinggi untuk setiap Program Studi yang mencakup
pengembangan kecerdasan intelektual, akhlak mulia, dan keterampilan.
3. Kurikulum Pendidikan Tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
memuat mata kuliah:
a. agama;
b. Pancasila;
c. kewarganegaraan; dan
d. bahasa Indonesia.
4. Kurikulum Pendidikan Tinggi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan melalui kegiatan kurikuler, kokurikuler, dan ekstrakurikuler.
5. Mata kuliah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan untuk
program sarjana dan program diploma.
Fenomena nyata yang dialami dan terjadi pada bangsa ini sebagaimana
tergambar dalam paparan diatas menunjukkan bahwa “sungguh unik bangsa ini.”
Pandangan tentang keunikan ini harus mengarahkan pandangan dan pikiran untuk
menelaah lebih jauh mengenai apa penyebabnya bagaimana memecahkannya, dan
bagaimana bangsa ini dibangun untuk masa depan yang lebih baik, serta sukses di
dunia dan bahagia di akherat.
Dewasa ini banyak pihak menuntut peningkatan intensitas dan kualitas
pelaksanaan pendidikan karater pada lembaga pendidikan formal. Tuntutan tersebut
didasarkan pada fenomena sosial yang berkembang. Oleh karena itu, lembaga
pendidikan formal sebagai wadah resmi pembinaan generasi muda diharapkan dapat
meningkat peranannya dalam pembentukan kepribadian peserta didik melalui
peningkatan intensitas dan kualitas pendidikan karakter.
Salah satu bapak pendiri bangsa, presiden pertama Republik Indonesia, Bung
Karno, bahkan menegaskan: “Bangsa ini harus dibangun dengan mendahulukan
pembangunan karakter (character building) karena character building inilah yang
akan membuat Indonesia menjadi bangsa yang besar, maju, serta bermatabat.
Kalau character building ini tidak dilakukan, maka bangsa Indonesia akan menjadi
bangsa kuli.
Sejalan dengan kerinduan terhadap pancasila, dunia pendidikan hari ini pun
sedang merindukan dan mengelu-elukan pendidikan karakter. Pemerintah melalui
kementerian pendidikan nasional, sedang mencanangkan program pendidikan karakter
secara besar-besaran. Pendidikan karakter dianggap sebagai solusi terbaik terhadap
berbagai bencana moral yang melilit bangsa ini, yakni; hilangnya nilai-nilai
Ketuhanan YME, lemahnya nilai-nilai peri-kemanusiaan yang adil dan beradab,
lunturnya persatuan dan lemahnya prinsip musyawarah untuk mufakat, serta semakin
terpinggirkannya nilai-nilai keadilan.
Dalam kebijakan nasional ditegaskan, antara lain bahwa pembangunan
karakter bangsa merupakan kebutuhan asasi dalam proses berbangsa dan bernegara.
Sejak awal kemerdekaan, bangsa Indonesia sudah bertekad untuk menjadikan
pembangunan karakter bangsa sebagai bahan penting dan tidak dipisahkan dari
pembangunan nasional.
Secara ekplisit pendidikan karakter (watak) adalah amanat Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang pada pasal 3
menegaskan bahwa “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan
membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta
didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha
Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga
negara yang demokratis serta bertanggung jawab.”
Dalam arah dan kebijakan dan prioritas pendidikan karakter ditegaskan bahwa
pendidikan karakter sudah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari upaya
pencapaian visi pembangunan nasional yang tertuang dalam Rencana Pembangunan
Jangka Panjang Tahun 2005-2025. Bahwa pendidikan karakter sejalan dengan
prioritas pendidikan nasional, dapat dicermati dari Standar Kompetensi Lulusan
(SKL) pada setiap jenjang pendidikan. Sebagaimana diketahui untuk memantau
pelaksanaan pendidikan dan mengukur ketercapaian kompentensi yang ingin diraih
pada setiap jenjang pendidikan telah diterbitkan peemendiknas nomor 23 tahun 2006
tentang SKL. Jika dicermati secara mendalam, sesungguhnya hampir pada setiap
rumusan SKL tersebut secara implisit maupun eksplisit baik pada SKL SD/MI,
SMP/MTs, SMA/MA dan SMK, memuat subtansi nilai/karakter.
Potensi peserta didik yang akan dikembangkan seperti beriman dan bertaqwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif,
mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab pada
hakikatnya dekat dengan makna karakter. Senada dengan sembilan pilar pendidikan
karakter yang telah dilansir oleh Kementrian Pendidikan Nasional antara lain. (1).
Cinta Tuhan dan segenap ciptaan-Nya, (2). Kemandirian dan Tanggung jawab, (3).
Kejujuran dan Diplomatis, (4). Hormat dan Santun, (5). Dermawan, Suka tolong
menolong, dan Gotong royong, (6). Percaya diri dan Kerja keras, (7). Kepemimpinan
dan Keadilan, (8). Baik dan Rendah hati, dan (9). Toleransi, Perdamaian, dan
Kesatuan.
Tidak dapat disangkal bahwa, sekolah memiliki dampak dan pengaruh terhadap
karakter siswa, baik disengaja maupun tidak. Kenyataan ini menjadi entry point untuk
menyatakan bahwa sekolah mempunyai tugas dan tanggugjawab untuk melakukan
pendidikan moral dan pembentukan karakter. Tidak perlu disangsikan lagi, bahwa
pendidikan karakter merupakan upaya yang harus melibatkan semua pihak baik
rumah tangga, sekolah dan lingkungan sekolah, masyarakat luas. Oleh karena itu,
pendidikan harus terus didorong untuk mengembangkan karakter bangsa Indonesia
menjadi bangsa yang kuat sehingga pada gilirannya bangsa Indonesia akan mampu
membangun peradaban yang lebih maju dan modern.
BAB III
PENUTUP
Simpulan
Karakter bangsa Indonesia harus tercerminkan dari nilai-nilai yang terkandung
dalam Pancasila. Di era arus globalisasi yang semakin maju akan menjadi tantangan
tersendiri untuk membentuk karakter bangsa ini, harus dengan bertahap dan di dukung
oleh semua elemen agar pembentukan karakter dapat berjalan dengan baik. Salah
satunya dapat dilakukan dengan pendidikan.
Saat ini banyak pihak yang menuntut untuk meningkatkan pelaksanaan dan
intensitas pendidikan karakter. Karena kenyataanya banyak anak muda sekarang ini
mulai melupakan karakter yang menjadi ciri khas bangsa Indonesia, mereka terseret
oleh kebudayaan asing yang semakin merajalela. Jika perkembangan budaya asing
yang terus memasuki Indonesia tanpa didampingi perkembangan karakter budaya
Indonesia, maka secara perlahan budaya Indonesia itu sendiri akan tergeserakan dan
dilupakan.
Pemerintah kini juga sudah mulai mengembangkan kurikulum 2013,
kurikulum yang menekankan pada perkembangan karakter bangsa. Peserta didik
dituntut aktif serta dapat memiliki karakter yang sesuai dengan nilai-nilai yang
terkandung dalam Pancasila.
DAFTAR PUSTAKA
Aqib, Zainal; Sujak. Panduan dan Aplikasi Pendidikan Karakter. 2011. Bandung: Yrama
Widya.
Galih Manunggal Putra. Pancasila sebagai karakter dan jati diri bangsa
KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PENDIDIKAN TINGGI DEPARTEMEN PENDIDIKAN
NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR: 44/DIKTI/Kep/2006 TENTANG RAMBU-
RAMBU PELAKSANAAN KELOMPOK MATAKULIAH BERKEHIDUPAN
BERMASYARAKAT DI PERGURUAN TINGGI
Kesuma, Dharma; Cepi, Triatna; Johar, Permana. 2011. Pendidikan Karakte Kajian Teori
dan Praktik di Sekolah. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Narwanti, Sri. 2011. Pendidikan Karakter. Yogyakarta: Familia.
Samani, Muchlas; Hariyanto. 2014. Konsep dan Model Pendidikan Karakter. Bandung: PT
Remaja Rosdakarya.
Soegito AT dkk. 2013. Pendidikan Pancasila. Semarang:Pusat Pengembangan MKU/MKDK Universitas
Negeri Semarang.
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2012 TENTANG
PENDIDIKAN TINGGI
Finaldi, Zulkarnain. 2013. “Mahasiswa Unigal Demo
Lagi”. http://www.kabar-priangan.com/news/detail/7838 (Diunduh 7 Mei 2015)
http://alhada-fisip11.web.unair.ac.id/artikel_detail-42607-Makalah-Cara%20Mengembalikan%20Jati
%20Diri%20Bangsa%20Indonesia.html
http://definisimu.blogspot.com/2012/09/definisi-karakter.html
http://lidawati.com/penerapan-kurikulum-2013-menuju-pembentukan-karakter/ (26 April 2015, 13:45)
http://www.academia.edu/9112705/
PEMBANGUNAN_KARAKTER_BANGSA_INDONESIA_BERDASARKAN_PA
NCASILA_MENUJU_BANGSA_MANDIRI_DI_ERA_GLOBALISASI_Oleh
http://www.jatengtime.com/2012/sospol/saat-ini-generasi-muda-kehilangan-jati-diri/
#.VW8YPlJ0PIU
https://abiechuenk.wordpress.com/2012/01/17/pendidikan-dan-pembentukan-karakter/ (26
April 2015, 13:12)
https://hangeo.wordpress.com/2012/03/15/kendala-kendala-implementasi-pendidikan-karakter-di-sekolah/
(5 Mei 2015, 21:31)
https://id.answers.yahoo.com/question/index?qid=20121106212218AA6bcNq
PENDIDIKAN KARAKTER BANGSA BERBASIS PANCASILA. I Nyoman Yoga
Segara.http://bdkjakarta.kemenag.go.id/index.php?a=artikel&id=924 (23 April 2015,
22:30)