Oleh :
dr. Billy Gerson
2020
Topik : Asma pada Kehamilan
Tanggal (kasus) : 5 Januari 2020 Presenter : dr. Billy Gerson
Tanggal Presentasi : 17 Januari 2020 Pendamping :
Tempat Presentasi : Ruang Pertemuan Atas RS BAKTI TIMAH
Objektif Presentasi :
□ Keilmuan □ Keterampilan □ Penyegaran □ Tinjauan Pustaka
□ Diagnostik □ Manajemen □ Masalah □ Istimewa
□ Neonatus □ Bayi □ Anak □ Remaja □ Dewasa □ Lansia □ Bumil
□ Deskripsi : Perempuan, 32th keluhan sesak
□ Tujuan : Penegakkan diagnosis, memberikan terapi
Bahan
□ Tinjauan Pustaka □ Riset □ Kasus □ Audit
Bahasan :
Cara
□ Diskusi □ Presentasi dan Diskusi □ E-mail □ Pos
Membahas :
Nama : Ny. GM, 32th
Data Pasien : No. Registrasi : 43.00.12
4. Riwayat Keluarga :
Penyakit asma (+) ibu pasien, jantung(-), hipertensi(-), DM(-), keganasan(-)
5. Riwayat Pekerjaan : -
6. Kondisi Lingkungan Sosial dan Fisik :-
7. Lain-lain :-
Daftar Pustaka :
1. Asthma GIF. Global Strategy for Asthma Management and Prevention (2019 update). 2019. p.
147.
2. Asthma and pregnancy: a review of two decades. Expert Review of Respiratory Medicine.
2008;2(1):97-107.
3. American College of Obstetricians and Gynecologists . 2008 Asthma in pregnancy. ACOG
Practice Bulletin No. 90. Obstetrics and Gynecology, 111(2): 457–464.
4. Cunningham,F.Gary, dkk. 2005. Pulmonary Disorders dalam Williams Obstetrics. Edisi ke-22.
McGraw-Hills Companies
5. Katz O SE. Asthma and pregnancy: a review of two decades. 2008;2:10.
6. Marcus L, Sinert R H. 2002. Astma in Pregnancy.
http://emedicine.medscape.com/article/796274-overview
Hasil Pembelajaran :
1. Penegakan Diagnosis
2. Rencana Tatalaksana
1. Subjektif :
Keluhan Utama: Sesak napas
2. Objektif :
Pemeriksaan Fisik
T : 36,6°C (aksila)
SpO2 : 97%
BB : 68 kg
TB : 160cm
IMT : -
Status Internus
Kepala : Tidak ada kelainan
Mata : Konjungtiva anemis (-), Sklera ikterik (-), mata
cowong (-), refleks cahaya +/+, refleks kornea +/+, pupil isokor 3mm.
Hidung : deformitas (-), mimisan (-), cairan yang keluar (-),
pernafasan cuping hidung (-)
Pemeriksaan Khusus
Pemeriksaan Fisik Leopold
o Leopold I : keras, mendatar
o Leopold II : terabak lunak bulat dank keras bulat
o Leopold III : -
Pemeriksaan Abdomen
o DJJ 165x/menit
o TFU 29cm
Pemeriksaan VT tidak dilakukan
Pemeriksaan Penunjang
Hematologi UGD
EKG
3. Assesment (penalaran klinis) :
T : 36,6°C (aksila)
SpO2 : 97%
Pemeriksaan Fisik Leopold
o Leopold I : keras, mendatar
o Leopold II : terabak lunak bulat dank keras bulat
o Leopold III : -
Pemeriksaan Abdomen
o DJJ 165x/menit
o TFU 29cm
4. Plan :
a. Tatalaksana :
Rawat inap
IVFD RL 20 gtt/i
O2 Nasal kanul 3L
Nebulizer Combivent 3x selang 1 jam selanjutnya k/p
Inj metilprednisolone 2x125mg
FOLLOW UP RUANGAN
06/1/2020 S/ :Nyeri perut seperti kontraksi, sesak (-), berdebar debar (+)
Pk. 05.30 O/ : TD: 110/80; HR:90; RR: 22x; SpO2: 98%
DJJ 140x/mnt, His (+), VT 2cm, portio tebal
A/ : G2P1A0 hamil 34 minggu inpartu kala I fase laten dengan Asma + Riwayat
SC 1x + letak lintang
P/ : Observasi His
Persiapan SC cito
09/1/2020 S/ : -
O/ : TD: 110/70; HR:80; RR: 18x; SpO2: 98%
A/ : P2A0 Post SC h-3
P/ : Pasien boleh pulang dan kontrol pada tanggal 20/1/2020
TINJAUAN PUSTAKA
Definisi Asma
Asma merupakan sindrom klinis khas yaitu batuk-batuk episodik, wheezing, dan
dispneu dengan obstruksi jalan nafas reversibel tidak sulit dikenali, asma dapat timbul
dengan gejala-gejala tidak khas seperti batuk kadang-kadang, rasa tertekan pada dada,
atau dispneu yang dipicu oleh aktivitas. Secara definisi asma adalah penyakit inflamasi
kronik yang terdapat pada jalan nafas dengan karateristik meningkatnya respon
trakeobronkial terhadap beberapa stimulu .Inflamasi kronik menyebabkan hipersesponsif
jalan napas yang menimbulkan gejala episodik berulang berupa mengi, sesak nafas, dada
terasa berat dan batuk-batuk terutama malam dan atau dini hari. Meningkatnya respon
jalan nafas dan inflamasi subakut yang persisten telah dihubungkan dengan genetic.1-3
Epidemiologi
Etiologi
Asma sebagai hasil dari kaskade yang masih jarang terdefinisikan interaksinya pada
faktor predisposisi yakni stimulasi genetic dan lingkungan. Mekanisme dasar untuk
hiperresponsifitas bronkial nonspesifik masih belum diketahui. Inflamasi jalan nafas
merupakan hipotesis yang paling sering didengar. Stimulus yang terimplikasi adalah
sebagai berikut:5-7
Alergen, termasuk pollen, kutu debu rumah, antigen kecoa, bulu hewan, jamur,
dan sengatan hymenoptera.
Irritan, seperti asap rokok, asap kayu, polusi udara, bau yang menyengat, sinusitis,
refluks esophagus, dan infestasi Ascaris
Kimia dan obat-obatan, termasuk aspirin, NSAIDs, Beta Blocker, agen
radiokontras, dan sulfit
Olahraga
Udara dingin
Haid
Stres emosional
Patofisiologi
Kehamilan memiliki efek signifikan terhadap fisiologi pernafasan pada wanita.
Walau laju nafas dan kapasitas vital tidak berubah pada kehamilan, volume tidal, dan
ventilasi meningkat 40% dan pengambilan oksigen meningkat 20%, yang menyebabkan
penurunan dari kapasitas residu fungsional, dan kapasitas residu sebagai konsekuensi atas
elevasi diafragma. Sebagai tambahan, terdapat peningkatan airwat conductance dan
penurunan total pulmonary resistance, yang diperkirakan disebabkan oleh efek
progestron.
Asma adalah obstruksi jalan nafas yang bersifat reversible yang berasal dari
kontraksi otot polos pada bronkial, kongesti vaskular, produksi mukus yang berlebih dan
edema mukosa. Terdapat infiltrasi mukosa melalui eosinofil, sel mast, dan limfosit T
yang menyebabkan inflamasi pada jalan nafas dan meningkatnya respon terhadap stimuli
termasuk iritan, infeksi virus, aspirin, udara dingin, dan olahraga. Beberapa mediator
inflamasi diproduksi oleh sel-sel ini termasuk histamine, leukotriene, prostaglandin,
sitokin dan sebagainya. IgE juga memiliki peranan yang penting pada patofisologinya .6
Inflamasi pada asma terbagi atas inflamasi akut dan inflamasi kronis. Pada
inflamasi akut disebabkan oleh sejumlah faktor antara lain alergen, virus, iritan yang
dapat menginduksi respons inflamasi akut yang terdiri atas reaksi asma tipe cepat dan
pada sejumlah kasus diikuti reaksi asma tipe lambat. Pada reaksi asma tipe cepat, alergen
akan terikat dengan IgE yang menempel pada sel mast dan terjadi degranulasi sel mast
tersebut. Degranulasi tersebut mengeluarkan preformed mediator seperti histamine,
protease dan newly generated mediator seperti leukotrin, prostaglandin dan PAF yang
menyebabkan kontraksi otot polos bronkus, sekresi mucus dan vasodilatasi. Para reaksi
fase lambat, reaksi ini timbul antara 6-9 jam setelah provokasi alergen dan melibatkan
pengerahan serta aktivasi eosinophil, sel T CD4+, neutrophil dan makrofag.3,4
Serangan asma biasanya bersifat episodic dan dapat berakhir dalam beberapa
menit sampai hari. Diantara serangan pasien biasanya sehat. Serangan akut dapat dimulai
beberapa menit setelah paparan. Pasien akan merasakan sesak napas, diikuti dengan batuk
dan wheezing. Ketika obstruksi pada saluran napas menjadi parah, rhonchi dan wheezing
akan hilang. Kebingungan, letih, sianosis merupakan tanda dari serangan asma berat dan
merupakan indikasi untuk diberikan terapi segera .
Diagnosis
Penderita asma biasanya memiliki riwayat episode batuk, dada terasa tertekan,
wheezing, dan dispneu. Asma mungkin timbul dengan gejala-gejala yang tidak khas
seperti batuk terisolasi, nyeri dada, bronkitis berulang, atau dispneu yang timbul karena
aktivitas.
Tes fungsi paru dapat ditemukan adanya obstruksi aliran udara yang reversibel pada
spirometri. Kegagalan respon langsung terhadap bronkodilator inhalasi tidak
menyingkirkan diagnosis. Spirometri ulang setelah beberapa minggu perawatan dapat
menunjukkan kemajuan. Pengukuran udara ekspiratoar puncak mungkin menunjukkan
peningkatan variabilitas atau penurunan aliran puncak seiring timbulnya gejala-gejala.
Metacholine challenge test dapat menunjukkan adanya hiperreaktivitas jalan nafas namun
tes ini jarang diperlukan untuk menegakkan diagnosis asma. Tes ini tidak menimbulkan
efek samping berlebihan pada wanita hamil jika dilakukan dengan pemantauan yang baik
.
Setelah diagnosis dipastikan, perjalanan penyakit dan efektifitas dari terapi dapat
diikuti dengan pengukuran Peak Expiratori Flow Rate (PEFR) atau FEV1. Untuk
mengetahui jenis elergi yang dimiliki dapat dilakukan test dengan bermacm-macam
allergen
Secara labolatoris dapat ditemukan sel-sel eosinofil dari darah dan sputum dan
juga dapat diukur serum IgE, walupun penemuan tersebut tidak hanya terjadi pada asma.6
Beberapa wanita mengalami eksaserbasi asma pada saat melahirkan. Sekitar 20%
dari wanita dengan asma sedang atau berat mengalami eksarsebasi intra partum.
Penatalaksanaan
Penanganan asma akut pada kehamilan memegang prinsip yang sama dengan
asma biasa dengan tambahan ambang batas rawat inap yang lebih rendah. Secara umum,
dilakukan penanganan aktif dengan hidrasi intravena, pemasangan sungkup oksigen
dengan target PO2 > 60 mmHg dan pemasangan pulse oximetry dengan target saturasi
O2 > 95%. Kemudian dilakukan pemeriksaan analisa gas darah (AGDA), pengukuran
FEV1 serta PEFR, dan dilakukan pemantauan janin.
Obat lini pertama adalah agonis β-adrenegik (subkutan, peroral, inhalasi) dengan
loading dose 4-6 mg/kgBB dan dilanjutkan dengan dosis rumatan 0,8-1 mg/kgBB/jam
sampai tercapai kadar terapeutik dengan kadar plasma sebesar 10-20 ng/ml. Obat ini
akan berikatan dengan reseptor spesifik di permukaan sel dan mengaktifkan adenilil
siklase untuk meningkatkan cAMP intrasel dan merelaksasi otot polos bronkus. Selain
itu, diberikan kortikosteroid metilprednisolon 40-60 mg intravena setiap 6 jam. Terapi
selanjutnya bergantung kepada pemantauan respon hasil terapi sebelumnya. Bila FEV 1
dan PEFR >70% baseline maka pasien dapat dapat dipulangkan dan berobat jalan.
Namun, bila FEV1 dan PEFR < 70% baseline setelah 3 kali pemberian agonis β-
adrenegik, maka diperlukan masa observasi di rumah sakit hingga keadaan pasien stabil.
Asma berat yang tidak berespon terhadap terapi dalam 30- 60 menit dimasukkan
dalam kategori status asmatikus. Penanganan aktif di intensive care unit (ICU) dan
intubasi dini, serta penggunaan ventilasi mekanik pada keadaan kelelahan otot, retensi
CO2, dan hipoksemia akan memperbaiki morbiditas.1,3
Keamanan Penggunaan Obat-Obatan Asma Terhadap Kehamilan
Penggunaan β2-agonis kerja pendek secara umum dianggap aman. Pada 2005,
Bakhrireva et al melaporkan pada studi kasus terkontrol yang menggunakan β 2-agonis
kerja pendek selama kehamilan tidak memiliki kaitan dengan peningkatan resiko berat
lahir rendah. Pada studi kohort pada 2011 di Kanada, Eltonsy et al melakukan
investigasi kemungkinan hubungan antara penggunaan β2-agonis kerja pendek pada
trimester pertama pada kehamilan dan resiko terhadap kelainan kongenital pada ibu
hamil dengan asma. Diberikan kortikosteroid inhalasi, kontrol asma yang tidak rutin dan
penggunaan kortikosteroid oral. Total 13,117 kehamilan termasuk pada studi dan 1,242
bayi terdapat malformasi dan 762 bayi dengan malformasi mayor, teridentifikasi. Pada
tahun 2004, studi kohort yang dilakukan oleh Schatz et al pada 2004, meliputi 1,828 ibu
hamil yang menggunakan β2-agonis kerja pendek menemukan tidak terdapat hubungan
gangguan perinatal yang didefinisikan sebagai berat bayi lahir rendah, kecil masa
kehamilan, atau malformasi kongenital mayor. Pada studi ini juga diukur tingkat
keparahan, yang dimana diklasifikasikan sebagai ringan, sedang, atau berat, yang
didapatkan melalui kombinasi tingkat fungsi paru, frekuensi gejala, dan penggunaan
obat-obatan asma. Pada penelitian lain pada tahun 2011 oleh Munsie et al melaporkan
pada studi kasus terkontrol melalui wawancara, 2,711 bayi lahir dengan sumbing oro-
dasial dan 6,482 bayi lahir tanpa ditemukan malformasi. Menurut bukti-bukti yang ada,
peggunaan β2-agonis kerja pendek pada kehamilan dapat memperbaiki gejala asma akut
dan terlihat aman untuk kehamilan.
Prognosis