Anda di halaman 1dari 84

LAPORAN

“IQ DAN EQ”

Disusun oleh :

ANGELITA VIRGINIA LONTAAN (20504070)

JURUSAN PENDIDIKAN MATEMATIKA


FAKULTAS MATEMATIKA, ILMU PENGETAHUAN ALAM dan KEBUMIAN
UNIVERSITAS NEGERI MANADO
2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat rahmat tuntunan-Nya
sehingga saya dapat menyelesaikan laporan mengenai IQ dan EQ dalam pembelajaran.
Laporan ini telah saya susun dengan semaksimal mungkin dengan mendapatkan bantuan
dari berbagai media buku maupun media internet, sehingga memperlancar saya dalam pembuatan
laporan ini.
Terlepas dari semua itu,saya menyadari bahwa masih terdapat kekurangan dalam makalah
ini, baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu, tentunya saya
menerima saran dan masukkan atas laporan ini yang diharapkan dapat membuat saya semakin
lebih baik kedepannya.
Akhir kata, saya berharap semoga laporan ini dapat memberikan manfaat bagi para
pembaca.
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I
A. Latar Belakang
B. Tujuan Penulisan
C. Manfaat penulisan
D. Identitas jurnal
BAB II
A. Kajian teori
B. Pembahasan
BAB III
A. Kesimpulan
B. Saran
Daftar Pustaka
BAB I

A. Latar Belakang
Kecerdasan yang sering dinyatakan dengan angka IQ (Intelligence Quotient), bukan satu-
satunya jaminan bagi kesuksesan seorang anak di masa depan. Faktor lain yang perlu
mendapat perhatian serius dari orang tua adalah kecerdasan emosional. Salah satu aspeknya
adalah kecerdasan sosial, dimana anak memiliki kemampuan untuk mengerti dan memahami
orang lain serta bertindak bijaksana dalam hubungan antar manusia. Kecerdasan emosional
juga meliputi kemampuan seseorang untuk mengenali emosinya sendiri serta mengelola
emosi tersebut dengan cara yang benar. Kemudian juga kemampuan untuk memotivasi diri
sendiri serta tetap bersemangat untuk menghadapi berbagai kesulitan.
Konsep IQ (Intelligence Quotient) yang dikenal sebagai tolok ukur kecerdasan, tidak lagi
bersifat mutlak. Sejumlah penelitian mengungkapkan kecerdasan emosional (EQ) lebih
berperan dalam menetukan keberhasilan. Kecerdasan ini membuat seseorang memiliki
ketangguhan menghadapi frustasi dan mengatur suasana hati. Dengan begitu ia dapat
menjauhkan diri dari stress. Tetap berkonsentrasi dan berpikir secara jernih. Ini menjelaskan
mengapa anak dengan IQ tinggi tidak dengan sendirinya berprestasi tinggi. Disamping itu,
kecerdasan emosional menumbuhkan empati, mengerti perasaan orang lain, mengenal
lingkungan dengan lebih baik.

B. Tujuan penulisan
1. Mengetahui pentingnya IQ
2. Mengetahui pentingnya EQ
C. Manfaat penulisan
1. Untuk mengetahui pentingnya IQ dalam pembelajaran
2. Untuk mengetahui pentingnya EQ dalam pembelajaran
D. Identitas jurnal
1. Judul jurnal
• Urgensi keseimbangan IQ,EQ,SQ pendidik dalam proses manajemen
pembelajaran.
• Pentingnya kecerdasan emosional dikalangan pendidik.
• Pengaruh kecerdasan spiritual, kecerdasan intelektual, dan kecerdasan emosional
terhadap kinerja guru diSMP Islam Athirah 1 Makasar.
• Pengaruh kecerdasan emosional terhadap hasil belajar matematika siswa sekolah
dasar.
• Pengaruh kemampuan analisis terhadap prestasi belajar matematika ditinjau dari
intellegent quotion (IQ).
2. Jurnal
• https://media.neliti.com/media/publications/226449-urgenci-keseimbangan-iq-eq-sq-
pendidik-d-011f0a21.pdf
• http://repository.radenintan.ac.id/95/1/Pentingnya_Kecerdasan_Emosional_di_K
alangan_Journal_KOPERTIS_JAMBI.pdf
• https://journal.unismuh.ac.id/index.php/competitiveness/article/download/4848/
pdf
• https://journal.unismuh.ac.id/index.php/jrpd/article/view/1240/1131
• https://journal.iaimnumetrolampung.ac.id/index.php/numerical/article/view/120

3. Vol
• Vol 2 no 1
• Vol 1 no 2
• Vol 10 no 1
• Vol 1 no 1
• Vol 1 no 1
4. Penulis
• Sriani
• Syafrimen.M.Ed.Ph.D
• Nilamartini,Andi sukri syamsuri,edi jusriadi
• Mirnawati, Muhammad basri
• Agus Setiawan
5. Penerbit
• Media neliti
• Jurnal pesona dasar
• Jurnal in matematic education
• Jurnal Uns
• Refleksi pembelajaran inovatif
6. Tahun penerbitan
• 2015
• 2014
• 2021
• 2018
• 2017
BAB II

A. Kajian teori
I. Intelligence Quotients (IQ) / Kecerdasan Intelektual

Uno (2010) kecerdasan Intelektual adalah kemampuan untuk bertindak secara terarah,
berfikir secara rasional, dan menghadapi lingkungan secara efektif. Secara garis besar dapat
disimpulkan bahwa intelegensi adalah suatu kecerdasan mental yang melibatkan proses
berfikir secara rasional. Oleh karena itu, intelegensi tidak dapat diamati secara langsung
melainkan harus disimpulkan dari berbagai tindakan nyata yang merupakan manifestasi dari
proses berfikir rasional. Intelligence Quotients (IQ) adalah skor yang diperoleh dari sebuah
tes kecerdasan. Hasil tes ini memberikan indikasi mengenai taraf kecerdasan seseorang dan
menggambarkan kecerdasan seseorang hampir keseluruhan.

Pasek (2015) kecerdasan intelektual (IQ) merupakan pengkualifikasian kecerdasan manusia


yang didominasi oleh kemampuan daya pikir rasional dan logika. Lebih kurang 80%, IQ
diturunkan dari orangtua, sedangkan selebihnya dibangun pada usia sangat dini yaitu 0-2
tahun kehidupan manusia yang pertama. Sifatnya relatif digunakan sebagai prediktor
keberhasilan individu dimasa depan.

Yenti (2014) menyebutkan tiga indikator kecerdasan intelektual yang menyangkut tiga
domain kognitif. Ketiga indikator tersebut adalah:
1. Kemampuan figur yaitu merupakan pemahaman dan nalar dibidang bentuk.
2. Kemampuan verbal yaitu merupakan pemahaman dan nalar dibidang bahasa.
3. Pemahaman dan nalar dibidang numerik atau yang berkaitan dengan angka
biasa.disebut dengan kemampuan numerik .

II. Emotional Quotients (EQ) / Kecerdasan Emosional

Putra Latrini (2016) Kecerdasan emosional adalah kemampuan seseorang untuk menerima,
menilai, mengelola, serta mengontrol emosi dirinya dan orang lain disekitarnya. Kecerdasan
emosional ini dipengaruhi lingkungan, tidak menetap dan dapat berubah-ubah serta
dikembangkan. Kecerdasan emosional berperan penting dalam pekerjaan seseorang. Proses
yang dijalani auditor dalam melaksanakan tugasnya sebagai auditor akan melatih dan
meningkatkan kecerdasan emosionalnya.

Djasuli dan Hidayah (2015) mengemukakan bahwa orang yang emosinya paling terkendali
akan paling disegani dan dihormati begitu pula sebaliknya. Itulah sebabnya dikatakan oleh
para peneliti tentang orang-orang
Sukses bahwa 80% kesuksesan datangnya dari kemampuan mengendalikan emosi, dan 20%
ditentukan oleh kemampuan intelektual serta yang lainnya. Kecerdasan emosi juga menuntut
seseorang untuk belajar mengakui, menghargai perasaan diri sendiri dan orang lain serta
menanggapinya dengan tepat dan menerapkan secara efektif energi emosi dalam kehidupan
sehari- hari.

B. Pembahasan
Pentingnya IQ dan EQ dalam pembelajaran
Sesuai dengan hal tersebut diatas, guru adalah sosok yang diteladani dalam menjalankan
fungsi pendidk sebagai manajer pembelajaran dan sebagai orang yang mampu secara intelektual,
serta tingginya rasa kepedulian dan tanggung jawab terhadap anak didik. Namun dewasa ini,
guru dihadapkan pula pada berbagai macam kompetensi dalam upaya mereka mengarungi
kepentingan hidup cenderung materialis yang bisa mendorongnya menjadi material oriented,
Semua itu tidak terlepas dari kemampuan kecerdasan intelektual (IQ) yang dalam dunia
pendidikan diharapkan hanya menghasilkan IQ yang tinggi bagi peserta didiknya IQ harus diatas
100, dan tidak di tanamkan nilai integritas yang tinggi, tetapi pada kenyataan IQ bukanlah
segala-galanya menjamin kesuksesan seseorang tentu bagi pendidik, ini adalah problem yang
sedang dihadapi saat ini.
Dan harus diakui akal (kecerdasan) sebagai kelebihan dan nilai terbesar yang diberikan kepada
manusia untuk berpikir dan bertindak. Pada sisi lain manusia selain diberi akal juga qalbu atau
hati yang dalam literature sering disebut perasaan atau emosi. Emosi dan akal dua bagian dari
satu kesatuan, IQ dan EQ adalah sumber daya sinergis, tanpa yang satu dan yang lain menjadi
tidak sempurna dan tidak efektif, IQ tanpa EQ dapat membuat nilai A bagi seseorang, tetapi
tidak akan membuatnya menjadi pendidik berhasil dalam fenomena yang kompleks, dan perlu
diketahui oleh seorang pendidik sebagaimana yang diterapkan dalam metode Quantum Teaching.
belajar merupakan kegiatan Full contact yang melibatkan semua aspek kepribadian manusia
pikiran (akal), perasaan (kalbu), bahasa tubuh (jasad) dan insan fitrah, disamping pengetahuan,
sikap dan keyakinan semua ada pada persepsi mata memandang, kesuksesan seorang peserta
didik sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor yang dalam dan di luar dirinya, perkataan, ucapan,
kontak mata, ekspresi wajah, performanya semua akan mempengaruhi dan berkesan antara
pendidik dan peserta didik, karena ikatan emosional inilah sangat mempengaruhi memori dan
daya nalar peserta didik, akan bahan-bahan yang dipelajarinya.
I. Kecerdasan Intelektual
Kecerdasan Intelektual merupakan kemampuan seseorang untuk memperoleh pengetahuan,
menguasai dan menerapkannya dalam menghadapi masalah..
Menurut Stenberg, 1981 dalam Dwijayanti 2009:39 kecerdasan intelektual guru di ukur dengan
indikator sebagai berikut:
1) Kemampuan Memecahkan Masalah

Kemampuan memecahkan masalah yaitu mampu menunjukkan pengetahuan mengenai masalah


yang dihadapi, mengambil keputusan tepat, menyelesaikan masalah secara optimal,
menunjukkan pikiran jernih.
2) Intelegensi Verbal
Intelegensi verbal yaitu kosa kata baik, membaca dengan penuh pemahaman, ingin
tahu secara intelektual, menunjukkan keingintahuan.
3) Intelegensi Praktis
Intelegensi praktis yaitu tahu situasi, tahu cara mencapai tujuan, sadar terhadap dunia keliling,
menujukkan minat terhadap dunia luar.
II. Kecerdasan Emosional
Kecerdasan Emosional adalah jenis kecerdasan yang fokusnya memahami, mengenali,
merasakan, mengelola dan memimpin perasaan sendiri dan orang lain serta mengaplikasikannya
dalam kehidupan pribadi dan sosial. Kecerdasan dalam memahami, mengenali, meningkatkan,
mengelola dan memimpin motivasi diri sendiri dan orang lain serta mengaplikasikannya dalam
kehidupan pribadi dan sosial.
a) Aspek-aspek Kecerdasan Emosional
Daniel Goleman (2005: 58-59) Aspek-aspek Kecerdasan Emosi menurut Salovey yang
menempatkan kecerdasan pribadi Gardner yang mencetuskan aspek-aspek kecerdasan emosi
sebagai berikut :
• Mengenali emosi diri
Mengenali emosi diri merupakan suatu kemampuan untuk mengenali perasaan sewaktu perasaan
itu terjadi. Aspek mengenali emosi diri terjadi dari: kesadaran diri, penilaian diri, dan percaya
diri. Kemampuan ini merupakan dasar dari kecerdasan emosi, para ahli psikologi menyebutkan
bahwa kesadaran diri merupakan kesadaran seseorang akan emosinya sendiri.
• Mengelola emosi
Mengelola emosi merupakan kemampuan individu dalam menangani perasaan agar dapat
terungkap dengan tepat atau selaras, sehingga tercapai keseimbangan dalam diri individu.
• Memotivasi diri sendiri
Dalam mengerjakan sesuatu, memotivasi diri sendiri adalah salah satu kunci
keberhasilan.Mampu menata emosi guna mencapai tujuan yang diinginkan.Kendali diri secara
emosi, menahan diri terhadap kepuasan dan megendalikan dorongan hati adalah landasan
keberhasilan di segala bidang.
• Mengenali emosi orang lain

Kemampuan mengenali emosi orang lain sangat bergantung pada kesadaran diri emosi. Empati
merupakan salah salah satu kemampuan mengenali emosi orang lain, dengan ikut merasakan apa
yang dialami oleh orang lain. Menurut Goleman (2005: 59) kemampuan seseorang untuk
mengenali orang lain atau peduli, menunjukkan empati seseorang. Individu yang memiliki
kemampuan empati lebih mampu menangkap sinyal-sinyal sosial yang tersembunyi dan
mengisyaratkan apa-apa yang dibutuhkan oleh orang lain sehingga ia lebih mampu menerima
sudut pandang orang lain, peka terhadap perasan orang lain dan lebih mampu untuk
mendengarkan orang lain
• Membina hubungan dengan orang lain
Kemampuan membina hubungan sebagian besar merupakan keterampilan mengelola emosi
orang lain. Keterampilan ini merupakan keterampilan yang menunjang popularitas,
kepemimpinan, dan keberhasilan antar pribadi. Orang yang dapat membina hubungan dengan
orang lain akan sukses dalam bidang apa pun yang mengandalkan pergaulan yang mulus dengan
orang lain.
Pentingnya IQ dalam pembelajaran matematika
Keberhasilan pembelajaran matematika tidak terlepas dari kemampuan individu yang dimiliki
oleh mahasiswa, yaitu faktor internal diantaranya kemampuan analisis mahasiswa. Kemampuan
analisis sebagai kemampuan untuk melihat kemungkinan-kemungkinan untuk menyelasaikan
suatu masalah dan merupakan bentuk pemikiran yang kurang mendapat perhatian dalam
pendidikan formal. Analisis adalah kemampuan untuk mengidentifikasi maksud dan hubungan-
hubungan kesimpulan yang benar diantara pernyataan, pertanyaan, konsep, gambaran, atau
bentuk lain yang mewakili yang dimaksudkan untuk mengungkapkan keyakinan, pendapat,
pengalaman, alasan, informasi atau opini. Facione menyatakan bahwa kemampuan analisis
berhubungan kuat dengan prestasi kognitif mahasiswa.
Pernyataan tersebut ditegaskan oleh Wenglinsky yang menyatakan bahwa pembelajaran yang
mengutamakan kemampuan analisis mampu mendukung tercapainya prestasi belajar. Salah satu
faktor yang dimungkinkan juga mempengaruhi hasil belajar adalah tingkat intelegensi (IQ)
seseorang. Setiap orang mempunyai tingkat intelegensi yang berbeda-beda. Untuk itu diperlukan
suatu pembelajaran yang tepat untuk diterapkan pada semua tingkat intelegensi, sehingga hasil
belajar matematika bisa ditingkatkan. Mengingat pentingnya kemampuan berpikir analisis
mahasiswa tersebut, maka di perguruan tinggi perlu disusun suatu setrategi pembelajaran yang
baik yang dapat meningkatkan kemampuan berpikir analisis mahasiswa.

Pentingnya EQ dalam pembelajaran matematika


Dalam mata pelajaran matematika, kecerdasan emosi merupakan suatu hal yang diperlukan oleh
peserta didik. Mustaqim (2012: 158) mengemukakan bahwa kecerdasan emosi dapat
berpengaruh dalam proses dan keberhasilan belajar peserta didik. Tanpa adanya kecerdasan
emosi peserta akan mudah menyerah, tidak memiliki motivasi untuk belajar, dan tidak pandai
memusatkan perhatian pada materi pelajaran, walaupun sebenarnya peserta didik tersebut
mampu untuk mempelajarinya. Kecerdasan emosi yang tinggi akan melahirkan peserta didik
yang berprestasi dan dapat meningkatkan hasil belajarnya.
Akan sangat tepat jika seseorang yang memiliki hasil belajar yang tinggi yang mampu
mengungkapkan gagasan baru dalam suatu bidang juga mampu mengolah emosinya dengan baik,
bersikap tegas, mudah bergaul, mampu memecahkan masalah, serta dapat berpikir dengan baik
dan benar. Dalam hubungannya dengan pembelajaran, penguasaan matematika merupakan
salah satu kemampuan khusus yang dimiliki seseorang dan kemampuan ini sangat menunjang
dalam mempelajari bidang-bidang yang lain. Sedangkan Kecerdasan Emosional (EQ) sangat
mempengaruhi semua kemampuan yang dimiliki seseorang.

BAB III

A. Kesimpulan

IQ dan EQ adalah sumber daya sinergis, tanpa yang satu dan yang lain menjadi tidak sempurna
dan tidak efektif, IQ tanpa EQ dapat membuat nilai A bagi seseorang, tetapi tidak akan
membuatnya menjadi pendidik berhasil dalam fenomena yang kompleks, dan perlu diketahui oleh
seorang pendidik sebagaimana yang diterapkan dalam metode Quantum Teaching. Belajar
merupakan kegiatan Full contact yang melibatkan semua aspek kepribadian manusia pikiran
(akal), perasaan (kalbu), bahasa tubuh (jasad) dan insan fitrah, disamping pengetahuan, sikap dan
keyakinan semua ada pada persepsi mata memandang, kesuksesan seorang peserta didik sangat
dipengaruhi oleh berbagai faktor yang dalam dan di luar dirinya, perkataan, ucapan, kontak mata,
ekpresi wajah, performanya semua akan mempengaruhi dan berkesan antara pendidik dan peserta
didik, karena ikatan emosional inilah sangat mempengaruhi memori dan daya nalar peserta didik,
akan bahan-bahan yang dipelajarinya.

Pembelajaran yang mengutamakan kemampuan analisis mampu mendukung tercapainya prestasi


belajar. Salah satu faktor yang dimungkinkan juga mempengaruhi hasil belajar adalah tingkat
intelegensi (IQ) seseorang.
Kecerdasan emosi dapat berpengaruh dalam proses dan keberhasilan belajar peserta didik. Tanpa
adanya kecerdasan emosi peserta akan mudah menyerah, tidak memiliki motivasi untuk belajar,
dan tidak pandai memusatkan perhatian pada materi pelajaran, walaupun sebenarnya peserta didik
tersebut mampu untuk mempelajarinya. Kecerdasan emosi yang tinggi akan melahirkan peserta
didik yang berprestasi dan dapat meningkatkan hasil belajarnya.

B. Saran
Dalam proses pembelajaran sangat penting bagi guru memperhatikan IQ dan EQ, karna IQ dan
EQ adalah sumber daya sinergis,tanpa yang satu dan yang lain menjadi tidak sempurna dan
tidak efektif.

DAFTAR PUSTAKA

https://media.neliti.com/media/publications/226449-urgenci-keseimbangan-iq-eq-sq-pendidik-d-
011f0a21.pdf

http://repository.radenintan.ac.id/95/1/Pentingnya_Kecerdasan_Emosional_di_Kalangan_Journal
_KOPERTIS_JAMBI.pdf
https://journal.unismuh.ac.id/index.php/competitiveness/article/download/4848/pdf
https://journal.unismuh.ac.id/index.php/jrpd/article/view/1240/1131
https://journal.iaimnumetrolampung.ac.id/index.php/numerical/article/view/120
URGENCI KESEIMBANGAN IQ,
EQ, SQ PENDIDIK
DALAM PROSES MANAJEMEN
PEMBELAJARAN
Sriani1

Abstrak

Tujuan pembelajaran akan berhasil dengan baik, jika pendidik dapat menerapkan
suatu kecerdasan baik IQ, EQ, SQ ini yang dari Allah SWT sebagai potensi untuk manusia
yang harus diperankan secara seimbang, namun kenyataan selama ini kecerdasan tersebut
hanya didominasi IQ saja, tanpa harus diprakarsai atau melibatkan kecerdasan lainnya
EQ, SQ sebagai kecerdasan yang sangat memberikan peluang yang besar untuk menjadi
sukses dalam masyarakat dan dunia pendidikan tentunya, karena kecerdasan emosional
ini menurut hasil dan penelitian para ahli psikologi dan praktisi, mereka menjalani dan
mencontohkan orang yang sukses di dunia kerja ternyata tidak hanya dilihat kemampuan
IQ saja, dan seorang pendidik harus mampu mengendalikan emosi dan perasaan dirinya
dengan orang lain, ketika berempati dan bersosialisasi, berkomunikasi, humanis sehingga
ia dapat mengambil sebuah pembelajaran hikmah dan kebermaknaan dalam sikap dan
tindakan.
Tetapi kecerdasan imosional bukanlah segala-galanya juga yang membuat seseorang
sukses tentunya pendidik disini, karena kecerdasan imosional tanpa melibatkan fungsi
Kecerdasan Spiritual (SQ) dalam diri seseorang akan menakutkan, dan SQ inilah sebagai
pembimbing dan pengindai radar hati agar tindakan dari sikap bisa dilakukan lebih
arif dan bijaksana untuk mengarahkan kepada kebenaran Illahiah yang berfungsi pada
suara hatinya. Ketika emosi seorang berjalan baik maka suara hati spiritual hatinya
hidup dan terbuka menerima kebenaran, dan terlepas dari kebelengguan dan arogan
serta kemarahan, disinilah kesadaran yang harus dimiliki oleh seorang pendidik untuk
menyeimbangkan pentingnya IQ, EQ, SQ dalam proses memanege pembelajaran sebagai
guru yang cerdas dan professional.

Kata Kunci : Urgency IQ, EQ, SQ dalam proses manajemen pembelajaran

Pendahuluan
Guru (pendidik) adalah sosok pemimpin bagi anak didiknya, karena guru adalah
seorang figur yang memegang peranan penting dalam pendidikan. Proses belajar
mengajar adalah inti kegiatan dalam pendidikan, segala sesuatu yang telah diprogramkan
akan dilaksanakan dalam kegiatan belajar mengajar yakni komponen pembelajaran itu
melibatkan semua aspek kepribadian baik Pendidik dan anak didik. Guru dan anak

1 Penulis adalah dosen STAI YASNI Muara Bungo

55
Urgenci Keseimbangan IQ, EQ, SQ Pendidik Dalam Proses Manajemen Pembelajaran

didik adalah padanan frase yang serasi, seimbang, dan harmonis, walaupun perpisahan
raga, tetapi jiwa mereka bersatu “Dwitunggal”. Guru mengajar dan anak didik belajar
dalam proses interaksi edukatif ke satu tujuan keberhasilan pembelajaran.2
Tujuan pembelajaran memberikan arahan yang jelas kemana kegiatan pendidikan
akan dibawa, didalam tujuan pembelajaran tersimpan norma susila, norma hukum,
norma agama, dan norma moral, dan dalam pembelajaran yang harus dilakukan oleh
guru tidak sembarangan, karena bukanlah tugas yang mudah, tetapi bertumpu pada
tiga ranah, yaitu kognitif, afektif dan psikomotorik. Ketiga ranah ini akan terlihat jika
anak didik sudah mampu berproses dan menerapkan perolehannya dari guru terhadap
lingkungan nyata, karena penampilan seorang guru (pendidik) dari semua komponen
pisik akan menjadi perhatian anak didik. Bagaimana seorang guru menjadi pemimpin
yang sangat berpengaruh terhadap anak didik ketika hadir ditengah mereka yang
dalam proses belajar mengajar tidak terlepas dari keudukan resminya sebagai guru,
atau pengajar juga secara tidak langsung ia sebagai pemimpin dalam aspek peran dan
tanggung jawabnya yakni sebagai pembimbing, pendidik, dan pemberi pengetahuan,
maka setiap kata yang terucap, setiap langkah yang diperbuat akan menimbulkan
pengaruh kepada orang lain, tentunya anak didik.
Di sini yang diharapkan bagaimana peranan dan sikap guru sebagai pendidik
(Student Leadhership) yang sangat berpengaruh, dan dicintai oleh peserta didiknya, Ary
Ginanjar mengatakan :
• Pemimpin yang dicintai
• Pemimpin yang dipercaya
• Pembimbing
• Pemimpin yang berkepribadian

Jika keberhaislan orang sangat ditentukan oleh seberapa tinggi tingkat


kepemimpinanya atau kemampuannya dalam memanege suatu tugas dimana ia
berperan.3
Dan di sinilah peranan dan fungsi pendidik sebagai manager pembelajaran yang
sadar akan rasa jiwa kepemimpinan yang tinggi, memiliki Kecerdasan Inteligent (IQ)
Kecerdasan Emosiaonal (EQ) dan Kecerdasan Spiritual (SQ) yang dapat digunakan
untuk memberi arahan dan bimbingan terhadap peserta didik.
Sesuai dengan hal tersebut diatas, guru adalah sosok yang ditauladani dalam
menjalankan fungsi pendidk sebagai manajer pembelajaran dan sebagai orang yang
mampu secara intelektual, serta tingginya rasa kepedulian dan tanggung jawab
terhadap anak didik. Namun dewasa ini, guru dihadapan pula pada berbagai macam
kompetensi dalam upaya mereka mengarungi kepentingan hidup cenderung materialis
yang bisa mendorongnya menjadi material oriented, Semua itu tidak terlepas dari
kemampuan kecerdasan intelektual (IQ) yang dalam dunia pendidikan diharapkan
hanya menghasilkan IQ yang tinggi bagi peserta didiknya IQ harus diatas 100, dan
tidak di tanamkan nilai integritas yang tinggi, tetapi pada kenyataan IQ bukanlah

2 Bahri Djamarah, d Syaiful , Guru dan Anak Didik dalam interaksi Edukatif, (Jakarta: Rineka Cipta, 2000).
h. 1
3 Ary Ginanjar, Kecerdasan Emosional dan Spritual, (Jakarta: Arga , 2001). ESQ Power, h. 99

56 Nur El-Islam, Volume 2, Nomor 1, April 2015


Sriani

segala-galanya menjamin kesuksesan seseorang tentu bagi pendidik, ini adalah problem
yang sedang dihadapi saat ini.
Dan harus diakui akal (kecerdasan) sebagai kelebihan dan nilai terbesar yang
diberikan oleh Allah SWT kepada manusia untuk berpikir dan bertindak sebagai
khalifah di muka bumi, jika manusia bisa memainkan peran ini dengan baik dan
amanah tentu ia akan berhasil. Pada sisi lain manusia selain diberi akal juga qalbu atau
hati yang dalam literature sering disebut perasaan atau emosi. Emosi dan akal dua
bagian dari satu kesatuan, IQ dan EQ adalah sumber daya sinergis, tanpa yang satu
dan yang lain menjadi tidak sempurna dan tidak efektif, IQ tanpa EQ dapat membuat
nilai A bagi seseorang, tetapi tidak akan membuatnya menjadi pendidik berhasil dalam
penomena yang kompleks, dan perlu diketahui oleh seorang pendidik sebagaimana yang
diterapkan dalam metode Quantum Teaching. belajar merupakan kegiatan Full contact
yang melibatkan semua aspek kepribadian manusia pikiran (akal), perasaan (kalbu),
bahasa tubuh (jasad) dan insan fitrah, disamping pengetahuan, sikap dan keyakinan
semua ada pada persepsi mata memandang, kesuksesan seorang peserta didik sangat
dipengaruhi oleh berbagai faktor yang dalam dan di luar dirinya, perkataan, ucapan,
kontak mata, ekpresi wajah, performanya semua akan mempengaruhi dan berkesan
antara pendidik dan peserta didik, karena ikatan emosional inilah sangat mempengaruhi
memori dan daya nalar peserta didik, akan bahan-bahan yang dipelajarinya.

Definisi IQ, EQ, SQ


Kecerdasan Emosional di sini adalah bagaimana guru pandai memainkan dan
ketepatan perannya dalam mengelola diri sendiri dalam berinteraksi dengan anak
didik, dan orang lain di sekelilingnya khususnya di lingkungan proses belajar mengajar,
dengan menggunakan potensi psikologis yang dimilikinya seperti inisiatif dan empati,
adaptasi, kerja sama, dan komunikasi yang secara keseluruhan telah mempribadikan
pada diri seseorang dan anak didik. Potensi-potensi psikologis yang demikian itu secara
fitrah telah dianugrahkan Tuhan kepada manusia.4

“Goleman mengatakan bahwa IQ dalam keberhasilan didunia hanya menempati


posisi sesudah Kecerdasan Emosional dan menentukan peraihan prestasi puncak
dalam pekerjaan. Untuk itu Wilayah EQ adalah hubungan pribadi dan antar
pribadi. EQ bertanggung jawab atas kerja dan kesadaran diri, kepekaan sosial
serta kemampuan beradaptasi dengan lingkungan di mana ia berperan”.5

Sesuai dengan pernyataan di atas, ternyata selama ini cendrung otak yang
menjadi kendali tanpa melibatkan emosional (EQ) dan kecerdasan spiritual (SQ) yang
berakibat kurang efektif dan bersinergis khususnya didunia pendidikan. Islam telah
memberikan kebenaran pada semua manusia baik akal maupun hati untuk semua
aspek kehidupan yaitu kebenaran Illahi pada diri manusia baik lahir dan batin yang
paling kokoh tidak bisa dimanipulasi oleh manusia yakni kalbu, kejujuran yang tidak

4 Nata Abuddin, Manajemen pendidikan (Jakarta: Prenada Media, 2003). h. 49


5 Daniel Golemen, Emosional Intelejence, (Jakarta: Mitra Utama, 2002) h. 26

Nur El-Islam, Volume 2, Nomor 1, April 2015 57


Urgenci Keseimbangan IQ, EQ, SQ Pendidik Dalam Proses Manajemen Pembelajaran

bisa dipungkiri, dialah sebagai media dalam diri manusia kepada nilai kebenaran yang
mengubah pariasi, kreatifitas hidup akan lebih berarti, dan sempurna. Firman Allah
SWT yang artinya :

“Tiadakah mereka melakukan perjalanan dimuka bumi, sehingga mereka mempunyai


hati yang dengan itu mereka merasa, dan mempunyai telinga yang dengan itu mereka
mendengar? Sungguh, bukanlah mata yang buta, tetapi yang buta ialah hatinya, yang
ada dalam rongga dada.”6

Dalam ayat ini, semua tubuh manusia yang diciptakan Allah SWT, mempunyai
tuntutan dengan diberinya akal untuk berpikir, telinga untuk mendegar, mata untuk melihat,
dan hati untuk merasakan segala proses kehidupan jiwa manusia. Dan semuanya itu ada
pertanggung jawabannya di hadapan Allah SWT. Maka kalau kreatifitas jiwa raga ini
bisa diperankan dengan baik, hidup akan berhasil jika guru dalam memimpin diri
(Self Leadership) dan memimpin anak didik (Student Leadership) karena keberhasilan
seorang pendidik apabila ia sudah bisa menseimbangkan dan mengimplementasikan
kedalam sikap, dari ketiga kecerdasan ini, yakni IQ,EQ, dan SQ yang saling mendukung,
dan mempengaruhi, ketika salah satu kecerdasan ini tidak difungsikan maka ia akan
“timpang atau tidak seimbang” dalam peran dan sikap yang dilakukan, dan kecerdasan ini
tidak ada yang lebih dominan, karena semua diakualisasikan harus dengan professional
dimana kecerdasan itu butuhkan.
Disinilah urgensi keseimbangan IQ, EQ, dan SQ, jika seorang pendidik sudah
mencapai puncak keseimbangan kecerdasan ini dengan baik, barulah ia dikatakan
orang yang peripurna dimata anak didiknya sebagai sosok manajer dan pemimpin
yang sukses dalam mengelola proses belajar mengajar sedikit di banding fungsi IQ yang
selama ini dikedepankan, dan sekarang eksistensinya EQ dan SQ yang diremehkan
kini disejajarkan dengan IQ. Bila ketiganya disejajarkan akan lebih berharga dan dapat
mempengaruhi keberhasilan seseorang. Dunia mengakui bahwa orang-orang yang
secara intelektualitas cerdas (IQ tinggi) bukanlah orang yang paling berhasil dalam
bisnis dan tugas apapun dalam kehidupan mereka.
Berbagai study juga menunjukkan, bahwa seorang eksekutif atau professional
yang memiliki EQ atau emotional Quotient tinggi orang yang mampu mengatasi
komplik. “Kecerdasan Emotional” dan “Kecerdasan Spiritual” yang menjadi pendukung
banyak dari keputusan yang baik, bukan IQ atau kecerdasan IQ semata. Emosi sejak
lama dianggap memiliki kedalam dan kekuatan sehingga dalam bahasa latin, dijelaskan
sebagai modus Anima yang artinya “Jiwa yang menggerakan “dan SQ adalah yang
diperlukan untuk memfungsikan IQ dan EQ secara efektif dan bersinergis, karena SQ
merupakan kecerdasan tertinggi.7
Sebagaimana yang dinyatakan dalam pembahasan ini, pendidik adalah tauladan
dan sebagai pemimpin dan pelayanan yang terbaik bagi anak didiknya, maka disini
dituntut kecakapan dan kemampuan pendidik dapat mengendalikan dan mampu

6 Q.S. Al-Haj: 46
7 Daniel Golemen, Emosional Intelegence, h. 43

58 Nur El-Islam, Volume 2, Nomor 1, April 2015


Sriani

membawa kecerdasan IQ, EQ dan SQ secara seimbang dan professional, karena tanpa
melibat aspek dari kemampuan kecerdasan emosional ini, dan jika mendapat kritikan
dihadapinya dengan lapangan dada, sadar dan bijak dalam menghadapinya, tidak
emosi, selama kritikkan itu sesuai pada faktanya. Sikap sepertinya inilah yang harus
dicontohkan oleh seorang pendidik yang arif, tidak mudah tersinggung dan marah,
bahkan prustasi, Seharusnya sikap dan keputusan yang diambil kebijakan yang maha
penting dari sifat Tuhan itu sendiri. Maka semua tidak terlepas aspek kecerdasan
emosional (EQ) dan (SQ) akan sangat penting tatkala pendidik dihadapi antar
personal.
Dan harus disadari Pertama selama ini pendidik terkesan tidak siap menerima
kritikan, dan juga krisis moral yang semakin mencuat tentang nama baik guru, kedua cara
mengajarnya yang kurang menyenangkan, ketiga apabila mengambil keputusan tentang
sangsi atau hukukman yang diberikan kepada anak didik kadang tidak manusiawi, di
mana pendidik tidak mempertimbangkan aspek psikologis anak didiknya, karena yang
muncul dari sikap pendidik cendrung emosional tanpa adanya perasaan kasih sayang,
dan sabar yang di perankan melalui kecerdasan spiritual (SQ) yang terdapat pada
suara hati.
Fakta ini menurut pengamat penelitian banyak terdapat pada seorang pendidik,
Kecerdasan emosional (EQ) sangat menentukan seberapa tinggi kemampuan seseorang
dalam mengelola dan mengendalikan dimensi psikologis dirinya dan orang lain, tentu
peserta didiknya sendiri, karena yang sering terjadi lingkaran antar personal menjadi
hambatan bahkan ancaman dalam kehidupan. Maka disinilah pentingnya EQ dan SQ
seseorang yang diharapkan cukup efektif mengatasi hambatan psikologisnya. Jika
pendidik dapat mengendalikan atau menyadari aspek emosinya secara baik arif dan
bijak tentu kebijakasanaan dan sikap pendidik tetap bernilai dihadapan anak didiknya
inilah yang melatar belakangi permasalahan yang ada diantaranya adalah sebagai
berikut :
1. Terjadinya krisis multidimensi yakni semua aspek kehidupan manusia
termasuk sosok seorang pendidik yang dipandang ditauladani sekarang sudah
terkontanminasi dengan arus zaman yang tidak lagi mengenal hakekat kepribadian
dan tanggung jawab sehingga peran yang dilakukan cendrung emosi (arogan)
yakni tidak aktif karena tidak dibangunnya IQ, EQ, SQ, secara seimbang dan
professional dalam proses belajar mengajar
2. Faktor dominannya IQ yang cenderung materialistic lebih diagungkan dan kerja
mekanik yang hanya mementingkan pribadi seorang pendidik dan tidak kenal
nilai ketuhanan (SQ) sehingga budaya kerja tidak bersinergis.
3. Sikap pendidik dalam menejemani (mengelola) proses belajar mengajar terkesan
kurang memerankan EQ, SQ secara seimbang disamping IQ, dari ketiga kecerdasan
tersebut di perankan secara terpisah, dan tidak bersinergis dengan baik.
4. Terkesan bagi seorang pendidik selama ini yang tidak mempunyai tujuan (visi
dan misi) dan tidak komitmen, sehingga mata pelajaran yang diberikan kurang.
Untuk lebih mendetailnya apa itu arti kecerdasan, dan apa itu intelligen ? Menurut
kamus besar bahasa Indonesia, kata kecerdasan berasal dari kata dasarnya
“cerdas” artinya, pintar dan cerdik, cepat tanggap dalam menghadapi masalah,

Nur El-Islam, Volume 2, Nomor 1, April 2015 59


Urgenci Keseimbangan IQ, EQ, SQ Pendidik Dalam Proses Manajemen Pembelajaran

cepat mengerti jika mendengar keterangan dan tajam pikiran. Dan “kecerdasan”
adalah perihal cerdas, kesempurnaan perkembangan akal budi seperti kepandaian
ketajaman pikiran.8
Penulis mengatakan makna dari IQ,EQ dan SQ ini adalah sebuah potensi paling
mendasar, dan fitrah yang diberikan Allah SWT kepada manusia sebagai khalifah di
muka bumi ini untuk menjalankan amanat sebagai khalifah, tentunya pendidik disini
menjadi pemimpin yang ditauladani oleh anak didiknya, maka ia diberi potensi, dan
potensi fitrah itu dapat memberikan nilai terbesar dalam perubahan tatanan nilai dan
moralitas kepribadian pendidik agar lebih berharga, baik sesama manusia tentu anak
didiknya maupun dihadapan Tuhannya, sebagai makhluk yang dianugerahi akal untuk
berpikir yakni kecerdasan intelektual (IQ), dan nafsu atau perasaan sebuah potensi
yang dapat mengakibatkan gairah hidup yang mesti dicerdaskan, dan diungkit dari
potensi pendidik dengan baik, karena keterampilan atau skill (EQ) bias memegang dan
mengendalikan perasaan dirinya dan orang lain, dan dapat menciptakan hubungan baik
dan peka terhadap nilai-nilai hubungan sosial artinya kecerdasan ini dapat memberikan
arti ketika pendidik dapat menyesuaikan dirinya, dan berempati. Dan surat hati dari
sebuah potensi kecerdasan itu terdapat pada nilai ketuhanan yang sudah berarti ketika
roh manusia ditiupkan oleh sang Khaliq (QS Al-Hijr,15:29) dan manusia berikrar
dengan kalimat tauhid itu, maka potensi ini terdapat pada kecerdasan spiritual (SQ)
sebagai kecerdasan yang paling tinggi, akan selalu bertanya tentang makna-makna
pokok itu dalam hidupnya. Ketiga kecerdasan IQ,EQ,SQ ini suatu system potensi
yang terpadu dalam diri manusia yakni pendidik yang tidak dapat pisahkan dan mesti
dibangun dengan keseimbangan agar hidup dan kreatifitas dapat diwujudkan dengan
baik.

a. Inteliggenci Quotienti (IQ)


Kecerdasan Intelektual adalah kecerdasan yang berhubungan dengan kemampuan
belajar dan penciptaan. Dan cara berpikir intellectual terletak pada fungsi otak
Neortkorteks yakni bagian luar fisik manusia.
Gardner professor pendidikan Harvard, melakukan riset kecerdasan manusia. Ia
mematahkan mitos bahwa IQ bersifat tetap, tidak berubah, Ia juga menyatakan manusia
lebih besar dari sekedar IQ. Manusia memiliki kecerdasan multi yang dirumuskan
dengan istilah Multiple Intelligence. Multiple intelligence yang diajukan meliputi :
1. Kecerdasan matematis-logis
2. Kecerdasan verbal-linguikstik
3. Kecerdasan visual-spasial
4. Kecerdasan musical
5. Kecerdasan jasmani-kinestetis
6. Kecerdasan intrapersonal
7. Kecerdasan interpersonal
8. Kecerdasan natural

8 Daryanto, Kamus Bahasa Indonesia Lengkap, (Surabaya: Apollo, 1997) h. 141

60 Nur El-Islam, Volume 2, Nomor 1, April 2015


Sriani

b. Kecerdasan Emosional (EQ)


Istilah kecerdasan emosi baru dikenal secara luas pertengan tahun 90-an dengan
diterbitnya buku Daniel Goleman;Emosional Intelligence. (EQ), Golemen menjelaskan
kecerdasan emosi (Emotional Intellegence) “adalah kemampuan untuk mengenal
perasaan kita sendiri, dan kemampuan mengelola emosi dengan baik pada diri sendiri
dan orang lain” Kecerdasan emosi mencakup kemampuan-kemampuan yang berbeda,
tetapi saling melengkapi, dengan kecerdasan akademik (academic intelligence). yaitu
kemampuan-kemampuan kognitif murni yang di ukur dengan IQ. Meskipun IQ
tinggi, tetapi kecerdasan emosional rendah tidak banyak membantu. Banyak orang
cerdas, dalam arti terpelajar, tetapi tidak mempunyai kecerdasan emosi, ternyata
bekerja menjadi bawahan orang yang IQ-nya rendah tetapi unggul dalam keterampilan
kecerdasan emosi. Diungkapkan Goleman bahwa IQ menentukan sukses seseorang
sebesar 20%, sedangkan kecerdasan lainya termasuk emosi (EQ) memberi kontribusi
80-90%. kabar baiknya adalah kecerdasan emosi seseorang dapat dikembangkan lebih
baik, lebih menantang, dan lebih prospek disbanding IQ. Kecerdasan emosi dapat
diterapkan secara luas untuk bekerja, belajar, mengajar, mengasuh anak, persahabatan,
dan rumah tangga. Lebih jauh lagi, pengembangan EQ membuka pintu bagi kemajuan
kecakapan manusia yang lebih subtansial SQ kecerdasan spiritual.9
Dan Golemen (1995) menunjukan bahwa intelegensi emosi sesungguhnya lebih
merupakan keterampilan (skills) dari pada potensi seperti dalam konsep intelegensi
pada umumnya, dan keterampilan ini harus diajarkan oleh masyarakat tempat individu
yang bersangkutan tumbuh dan berkembangkan. adapun berlangsungnya belajar ini
sesungguhnya merupakan bagian dari kemampuan nalar (kognitif seseorang). Mengutip
pandangan Salovey, Golemen (1995) menjelaskan bahwa keterampilan yang terkait
dengan inteligensi emosi ini adalah :
1. Memahami pengalaman emosi pribadi.
2. Mengendalikan emosi,
3. Memotivitasi diri
4. Memahmi emosi orang lain, dan
5. Mengembangkan hubungan dengan orang lain.

Apabila hal tersebut diatas disederhanakan lagi maksudnya, pada dasarnya


mengacu pada kemampuan seseorang mengendalikan diri ketika marah, takut, gembira,
kasmaran, terkejut, sedih, muak, tersinggung, dan berduka. Jadi apda hakikatnya
seseorang harus mampu atau pandai meredam gejolak emosinya.10
Sebagaimana yang dikatakan di atas dengan sepintas Kecerdasan Emosi itu (EQ),
dan tentu merujuk kepada makna pembahasan apakah Emosi itu. Dalam makna paling
harfiah, Oxford English Dictionary mendefinisikan emosi sebagai “setiap kegiatan atau
pergolokkan pikiran, perasaan, nafsu, setiap keadaan mental yang hebat atau meluap-
luap”, dan menggangap emosi merujuk pada suatu perasaan dan pikiran-pikiranya

9 Daniel Golemen, Emosional Intelegence, h. 97


10 Satiadarma, Mendidik kecerdasan, (Jakarta: Pustaka Popular Obor, 2003) h. 32

Nur El-Islam, Volume 2, Nomor 1, April 2015 61


Urgenci Keseimbangan IQ, EQ, SQ Pendidik Dalam Proses Manajemen Pembelajaran

khasnya, suatu keadaan biologis dan psikologis seseorang, dan serangkaian untuk
bertindak dan berprilaku secara psikologis.

c. Kecerdasan Spiritual (SQ)


Kecerdasan spiritual yakni kecerdasan Ilahiah, yang memakai kata Spiritual,
dalam kamus besar bahasa Indonesia kata spiritual juga dipakai berupa spirit yang
artinya”dorongan atau semangat” dan Spiritual yakni”rohani (jiwa), manusia yang
spiritualisme adalah manusia yang faham mementingkan kerohanian.11
Danah Zohar dan Ian Marshall mengatakan Kecerdasan spiritual (SQ) adalah
jiwa. SQ adalah kecerdasan yang dapat membantu kita untuk menyembuhkan dan
membangun diri kita secara utuh. Banyak sekali diantara kita yang saat ini menjalankan
hidup yang penuh luka dan brantakan. SQ secara harfiah untuk menumbuhkan otak
manusiawi kita. SQ telah “menyatakan” kita untuk tumbuh dan berubah serta menjalani
lebih lanjut evolusi potensi manusia kita. SQ (berdasarkan system saraf otak ketiga,
yakni osilasi-saraf sinkron yang mentahukan data di seluruh bagian otak) Kita dapat
menggunakan SQ untuk menjadi lebih cerdas secara spiritual dalam beragama. SQ
membawa kita kejantung segala sesuatu kesatuan di balik perbedaan, kepotensi di balik
ekpresi nyata SQ mampu menghubungkan kita dengan makna dan rub esensial di
belakang semua agama besar, Singkatnya SQ yang dikemukan oleh Danah Zohar dan
Ian Marshall tersebut SQ berarti “memanfaatkan Kecerdasan Spiritual dalam berpikir
integralistik dan Holistik untuk memaknai kehidupan”.12
Kahirul umar, Dimitri Mahayana, dan Agus Ngermanto menemukan kecerdasan
spiritual adalah kemampuan manusia untuk mencari makna atas apa yang sedang
manusia alami dan dijalani. Kecerdasan spiritual bukanlah sekedar agama (religi)
terlepas dari agama, manusia dapat member makna melalu berbagai macam keyakinan.
Wujud dari kecerdasan spiritual inilah sikap moral yang dipandang luhur oleh sang
pelaku. Karena manusia dapat merasa memiliki makna dari berbagai hal, agama
(religi) mengarahkan manusia untuk mencari makna dengan pandangan yang lebih
jauh. Bermakna dihadapan Tuhan-Nya. Inilah makan sejati yang diarahkan oleh agama,
karena sumber makna selain Tuhan tidaklah kekal. Penelitian pertama SQ ini awalnya
oleh neuro-psikolog Michael Pensinger di awal tahun 1990-an dan laporan penelitian
yang lebih baru pada 1997 oleh neurlog V.S Ramachandran bersama timnya di
Universitas California mengenai adanya “titik” Tuhan dalam otak manusia. Penelitian
Rachmachandra adalah penelitian pertama yang menunjukkan bahwa cuping temporal
itu juga aktif pada orang norma. “Titik Tuhan” tidak membuktikan adanya tuhan,
tetapi menunjukan bahwa otak telah berkembang untuk menanyakan “pertanyaan-
pertanyaan pokok”. untuk memiliki dan menggunakan kepekaan terhadap makna dan
nilai yang lebih luas.13
Menurut beberapa penelitian “bersumber” dari dalam otak manusia. Kerangka
orientasi (seperti agama), sebagaimana ditegaskan oleh Eric Fromm (1994) yang

11 Daryanto, Kamus Bahasa Indonesia lengkap, h. 560


12 Suhartono, Melejitkan IQ, EQ, SQ, (Jakarta: Inti Sari Press, 2002). h. 268
13 Agus Ngermanto, Quantum Quotient, (Bandung: Nuansa, 2002) h. 118

62 Nur El-Islam, Volume 2, Nomor 1, April 2015


Sriani

bersumber” dalam kulit otak (korteks serebri) manusia adalah fungsi refleksi. Fungsi ini
menegaskan bahwa “keberadaan Tuhan” adalah sesuatu yang sesungguhnya tidak perlu
dipermasalahkan. Keberadaan Tuhan itu direduksi sampai bentuk seluler persarafan
manusia atau tingkat terendah dalam wujud materi sebagaimana diyakini oleh para
materialis. Makna “kehadiran Tuhan” berhubungan erat dengan adanya kesempurnaan
tubuh fisik manusia. Kesempurnaan tubuh fisik manusia antara lain, ditunjukkan oleh
adanya struktur tubuh yang efektif dan fungsisional dalam menjamin fungsi-fungsi
kehidupan yang penting. Misalnya posisi tegaknya tubuh manusia, system lokomotorik,
dan panca indra adalah tiga contoh kesempurnaan itu.14
Dan sebagaimana yang dikemukakan oleh Ari Ginanjar, seorang religus muda
yang sukses perintis ESQ Power di Indonesia yang mulai muncul pada tahun 2001 ini,
mengemukakan : Hanya manusia yang memiliki laposan otak neo-cortex, yaitu sebuah
alat bantu pemberian Tuhan, yang memiliki kemampuan berpikir rasional dan logis
(IQ), hanya manusia yang mampu bekerja sebagai khalifah dimuka bumi ini, makhluk
lain tidak mungkin memiliki kecerdasan intelektual seperti yang dimiliki manusia.
Juga otak limbic sebagai fungsi kecerdasan emosional (EQ) dan kecerdasan spiritual
(SQ) sehingga manusia memiliki logika yang rasional, perasaan sebagai penghindai
atau radar, dan suara hati sebagai pembimbing dan antopilot berupa driver dan value.
Pada dimensi spiritual manusia diajarkan esensi nama-nama atau sifat-sifat Allah. Hal
ini sekarang bias dirasakan berupa “suara hati”. Manusia akan senantiasa tunduk
kepada Allah. Penemuan Good Spot pada otak manusia mencari nilai-nilai mulia atau
spiritualitas tersebut Firman AllahSWT mengatakan :
“Maka apabila aku telah menyempurnakan kejadiannnya, dan telah meniupkan
kedalamnya roh (ciptaan) Ku maka tunduklah kamu kepada-Nya dengan bersujud.”15
Saat ini telah terbukti bahwa manusia adalah makhluk spiritual dari lahir telah
membawa pitrah itu dan senantiasa merasa bahagia ketika spiritual mencari Tuhan
diyakininya tentan kebesaran-Nya tiada Tuhan selain Allah SWT, yaitu melaui sifat-
sifat-Nya, yang selalu diidam-idamkan manusia. Inilah bukti keperkasaan Allah, dan
bahwa Nur Ilahi yang tiupkan kedalam diri manusia adalah memiliki tempat yang
tertinggi dan termulia terdapat pada Intelligence Spiritual.16
Sebagaiman yang dinyatakan kecerdasan tersebut diatas semua mempunyai
fungsi dan tidak ada sia-sia atas pemberian Tuhan, misalnya kecerdasan intellectual
(IQ) berfungsi : Apa yang disebut Thosmas Kuhn (1984) Sebagai revolusi paradigm,
sesungguhnya adalah aktualisasi dari fungsi eksploratif tersebut. Fungsi rasional-
eksploratif dari otak yang digambarkan secara jelas dan tegas dalam makna harfiah
kata berpikir. Kata pikir itu dalam (kamus bahasa Indonesia) diambil dari kata fikir
yang di ubah dari bentuk awalan fark. Kata fark itu sendiri bermakna, antara lain
(1) mengorek sehingga apa yang dikorek itu muncul (2) menumbuh sampai hancur,
(3) menyikat (pakaian) sehingga kotorannya hilang, sampai hancur (4) menggosok
hingga bersih.

14 Pasiak Taufiq, Revolusi IQ,EQ,SQ, (Bandung: Mizan, 2004) h. 273


15 Q.S Al-Hijr, 29
16 Ari Ginanjar, Kecerdasan Emosional dan Spiritual, h. 99

Nur El-Islam, Volume 2, Nomor 1, April 2015 63


Urgenci Keseimbangan IQ, EQ, SQ Pendidik Dalam Proses Manajemen Pembelajaran

Pengertian Keseimbangan
Sebelum pembahasan ini lebih lanjut dalam proses arti keseimbangan IQ, EQ dan
SQ, ada baiknya terlebih dahulu untuk diketahui apa itu arti keseimbangan. Menurut
kamus besar bahasa Indonesia, kata seimbang berawal dari kata dasarnya “imbang”yang
berarti”handing”, laras, dan timbang, dan jika”seimbang” yang berarti sama berat (kuat
dan sebagainya).17
Kecerdasan adalah anugerah istimewa yang dimiliki manusia.mahkluk lain tidak.
kecerdasan memammpukan manusia memahami segala fenomena kehidupan secara
mendalam. Dengan kecerdasan manusia mampu mengetahui suatu kejadian kemudian
mengambil hikmah dan pelajaran dari sesuatu kejadian yang dialaminya. Manusia
menjadi lebih beradab, manusia menjadi lebih bijak karena memiliki kecerdasan itu.
Namun perjalanan manusia tidak selalu mulus, sejak revolusi industry, pengertian
kecerdasan manusia menjadi lebih sempit. Karena sering diartikan sebagai kemampuan
manusia untuk berpikir secara rasional atau kemampuan manusia memanfaatkan
logika untuk berpikir secara rasional atau kemampuan manusia memanfaatkan
logika untuk berpikir logis Lebih-lebih setelah Bineet melakukan penelitian tentang
cara mengukur kecerdasan, yang sering dikenal dengan IQ. Maka dengan alasan ini
banyak bermunculan gagasan kecerdasan baru yang selama ini disembunyikan dan
disempitkan perannya yakni kecerdasan baru yang selama ini disembunyikan dan
disempitkan perannya yakni kecerdasan emosional (EQ) dan kecerdasan spiritulan
(SQ) yang selama ini dikotomi sebagai aspek kemesjid saja, dan ritual, namun ternyata
kecerdasan inilah yang maha dahsyat, dan menjadikan manusia tampil sebagai sosok
seorang paripurna yang bijaksana, arif, dan cerdas. Disinilah makna dari keseimbangan
antara IQ, EQ dan SQ manusia yang harus dibangun dalam dirinya.
Keseimbangan merupakan suatu keserasian yang harus di sadari untuk menjadi
lebih bermakna dengan menggunakan nalar terhadap penciptaan alam semesta ini
melalui IQ,EQ dan SQ, Ada beberapa prinsip yang harus dilaksanakan :
1. Prinsip Keterbukaan
2. Prinsip Sunatullah
3. Prinsip Keseimbangan
Berdasarkan firman Allah SWT dalam surat Ar-Rahman :

“Dan Allah telah mengangkat langit dan meletakkannya atas dasar keseimbangan.”18

Ayat ini menunjukkan tentang adanya prinsip keseimbangan dalam jagat raya.
Hal ini dapat dilihat pada benda-benda langit yang beredar tidak saling bertabrakan
kecuali atas kehendak izin-Nya , tentu juga aspek kehidupan pada diri manusia.19

17 Daryanto, Kamus Bahasa Indonesia Lengkap, h. 27


18 Q.S. Al-Rahman : 7
19 Pasiak Taufiq, Revolusi IQ,EQ,SQ, h. 277

64 Nur El-Islam, Volume 2, Nomor 1, April 2015


Sriani

Hubungan IQ, EQ dan SQ


Berbicara hubungan adalah suatu kesatuan yang sangat berkait, bersambung,
berangkaian, yang tak terpisahkan satu sama lain yang saling bekerja sama oleh
karena sebab berhubungan yakni berkaitan, berkenaan, bersangkutan. Dan merupakan
suatu badan kesatuan yang saling mempengaruhi dan membetulkan, maka salah satu
dari kesatuan hubungan tersebut terpisah ia dikatakan suatu badan yang tidak ada
hubungannya lagi. Disini bagaimana hubungan IQ, EQ, SQ, apakah ketiga kecerdasan
ini saling berhubungan atau berkaitan ? Tentu jelas, karena dalam proses meta kekuatan
kecerdasan manusia ada satu daya sinergis yang hidup dan sling mempengaruhi, dan
menentukan kebijakan, yakni kecerdasan intelektual (IQ) kecerdasan emosional (EQ)
dan kecerdasan spiritual (SQ) jika salah satunya tidak difungsikan maka kecerdasan
manusia akan timpang dan tidak seimbang.
Antony (2004) menggambarkan bagan dari proses kerja kecerdasan IQ,EQ,
dan SQ ini adalah suatu system yang terintegrasi dan tak terpisahkan yang saling
bersinerjis dan saling mempengaruhi dan membutuhkan, dan harus ada sebuah
kerangka komprehensif untuk menjebatani keduanya.
EQ tanpa spiritual menakutkan, berbicara tentang sesuatu yang penting dan
esensial pengaruh kehidupan spiritual terhadap kematangan emosi. Antony menegaskan
bahwa kita perlu behati-hati dengan pertumbuhan EQ yang tidak berlandaskan prinsip-
prinsip spiritual. Namun kesederhanaan cara berfikir, logika, studi literature yang
menyertai dan contoh kasus yang sebagian besar khas Indonesia, membuat konsep
ESQ ini yang sangat membumi. Lepas dari label agama yang menyertainya, konsep
ESQ memiliki sudut pandang yang cukup universal, khususnya menyangkut model
ESQ itu sendiri. Ary Ginanjar percaya bahwa EQ dan SQ tidak perlu menjadi dua hal
yang dikotomis, sehingga tampak terpisah. hal ini hanya akan menghasilkan manusia-
manusia berketerampilan EQ yang hebat tapi sering disalah gunakan, sebab kembali
lagi pada apa yang dikatakan oleh Goleman, manusia mampu untuk mempelajari
EQ. Bahayanya, menurut Ary Ginanjar, jika EQ dipelajari, ia akan berkembang tanpa
prinsip sejati Tuhan Dengan demikian manusia bisa menjadi manipulative dan sesat.20

Cara Mengseimbangkan IQ,EQ dan SQ


Pada dasarnya kecerdasan IQ,EQ dan SQ diperankan secara seimbang, bila
kemampuan itu dapat diterapkan sesuai dengan keadaan yang dibutuhkan dan tidak
harus rata-rata atau 33,33% dan semua berfungsi secara bersinergis pleksibel dan
professional dimana kecerdasan itu dibutuhkan atau diperankan.
Untuk mengeseimbangkan IQ,EQ dan SQ itu harus melihat sinergis dan
kemampuan berperan dimana masing-masing kecerdasan itu fungsikan, dan dituntut
keprofesionalitasan dalam mengendalikan dan membawanya keluar personal pribadinya,
sehingga hasil yang direspon dan yang diterima oleh orang lain, tentu anak didik
bisa terasa dan terlihat, menyenangkan atau tidak, dan tentu jika sikap positif yang
muncul maka hasilnya baik, dan jika salah menempatkan dan mengendalikan, dan

20 Ary Ginanjar, Kecerdasan Emosional dan Spiritual, h. 231

Nur El-Islam, Volume 2, Nomor 1, April 2015 65


Urgenci Keseimbangan IQ, EQ, SQ Pendidik Dalam Proses Manajemen Pembelajaran

tidak portesional maka yang diterima juga kurang memuaskan bagi yang menerima.
Menurut Ginanjar mengatakan (2004:218) Bahwa Tauhid satu kunci yang
mengarahkan dan membimbing semua potensi kecerdasan baik, IQ,EQ dan SQ,
sebagai pusat orbit pada diri manusia. Bahwa Tauhid yakni ensensi keberadaan “Cuhan
merupakan hal yang pertama dalam diri manusia (untuk yang meyakinkan adanya
Tuhan), jika tauhid mampu mengstabiltkan tekana pada amygdale (system saraf emosi),
sehingga selalu terkendali. Pada saat inilah seseorang dikatakan memiliki Kecerdasan
Emosional tinggi. Emosi yang tenang terkendali akan menghasilkan optimalisasi
pada fungsi kerja Good Spot pada lobus temporal serta mengeluarkan suara hati Illahi
(spiritual) dari dalam bilik pengistirahatannya.
Karena itu sebabnya keseimbangan menjadi hal yang paling penting di dalam
kehidupan ini. Banyak sudah orang yang menjalani hidup secara seimbang. Ada yang
mendidik anaknya hanya untuk mengembangkan IQ, sehingga hasilnya anak dapat
tumbuh pintar namun lemah dalam kendali moal. Bisa jadi kegiatan anak ini nantinya
menyebabkan kehancuran dalam masa depan bangsa, dan generasi seterusnya.
Menekankan pentingnya keseimbangan pengembangan semua kecerdasan IQ, EQ dan
SQ sebuah karakter dan peran yang sama pentingnya, karena salah satu elemen atau
kecerdasan ini tidak berfungsi akan menyebabkan ketimpangan dan kegagalan dalam
segi aspek kehidupan manusia. Dengan alasan yang mendasari keseimbangan inilah
sebuah mahligai tujuan dan makna dari kehidupan, dengan melalui pengembangan
karakter dan kompetensi secara seimbang yang diharapkan akan lahir manusia
yang harmonis sejati yang siap untuk menerima karunia-Nya yakni untuk mencari
kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat akhir dan segala-galanya”Robbanā ātina fi ad-
dunyā hasanah, wafi al-ākhirati hasanah, waqinā ’adzāba an-nār”21

Kualifikasi Guru (Pendidik) Yang Baik


Bagaimana menjadi guru yang baik ? dan apa kwalifikasi guru yang baik itu,
ini merupakan pertanyaan yang mudah tetapi sudah untuk menjawabnya, apakah
dengan pekerjaan sesuai atura, mampu mengajar dengan baik, datang tepat waktu,
sikap dan perilakunya terpuji sudah cukup menjadikan seseorang menjadi guru yang
baik ? Mungkin seperti itulah harapan setiap orang tua dan muridnya kepada gurunya.
Menjadi guru yang baik memang tidak mudah, kecuali bagi guru yang sejak awal
berkutat selalu meningkatkan etos kerjanya. Sebagaimana kwalifikasi guru yang
baik itu dan yang mendasari untuk suksesnya seorang guru menjadi pendidik yang
profesisional harus memiliki :
1. Kompetensi Academic
2. Kompetensi Pedagogik
3. Kompetensi Individual
4. Kompetensi Sosial
Komepetensi adalah keseluruhan pengetahuan, sikap, dan keterampilan yang
diperlukan oleh seorang dalam kaitan dengan suatu tugas tertentu. Kompetensi guru
ialah pengetahuan, sikap dan keterampilan yang harus ada pada seseorang agar dapat

21 Ari Ginanjar, Kecerdasan Emosional dan Spritual, h. 43

66 Nur El-Islam, Volume 2, Nomor 1, April 2015


Sriani

menunjukkan prilakunya sebagai guru. Kompetensi guru meliputi kompetensi personal,


kompetensi spiritual, Kompetensi personal, ialah kualitas kemampuan pribadi seorang
guru yang diperlukan agar dapat menjadi guru yang baik. Kompetensi personal ini
mencakup kemampuan pribadi yang berkenan dengan pemahaman diri, penerimaan
diri, dan perwuduan diri, Kompetensi professional, ialah berbagai kemampuan yang
diperlukan agar dapat mewujudkan dirinya sebagai guru professional. Kompotensi
professional meliputi aspek kepakaran atau kehalian dalam bidangnya, yaitu penguasaan
bahan yang hanis diajarkannya beserta metodenya, rasa tanggung jawab akan tugas,
dan rasa kebersamaan dengan sejawat guru lainnya, Kompetensi Sosial, ialah kemampuan
yang diperlukan oleh seorang agar berhasil dalam berhubungan dengan orang lain
yakni keterampilan dalam interaksi social dan ini melaksanakan tanggung jawab sosial.
Dan Kompetensi Academic (intelektual), ialah penguasaan berbagai ilmu pengetahuan
yang berhubungan dengan tugasnya sebagai guru yang benaran baik.22
Menurut Gilbert H. Hunt dalam bukunya Efektif Teaching menyatakan bahwa
guru yang baik itu ada tujuh criteria atau mempunyai kwalifikasi yaitu :
1. Sifat, guru yang baik harus memiliki sifat-sifat antusias, stimulatif, mendorong
siswa untuk maju, berorientasi pada tugas dan bekerja keras, toleransi,sopan,
dan bijaksana, bisa dipercaya, fleksibel dan mau menyesuaikah diri, demokratis.
2. Pengetahuan, guru yang baik juga memiliki pengetahuan yang memadai dalam
mata pelajaran yang dipunyai, dan terus mengikuti kemajuan dalam bidang
keilmuan
3. Apa yang disampaikan guru yang baik juga mampu memberikan jaminan
bahwa materi yang sampaikannya mencakup semua unit bahasa yang
dihadapkan siswa secara maksimal
4. Cara mengajar guru yang baik maupun menjelaskan berbagai informasi
secara jelas, dan terang memberikan layanan yang variatif menciptakan dan
memelihara momentum, menggunakan kelompok kecil secara efektif.
Apa yang mendasari dari pernyataan diatas tentang kwalifikasi dan criteria guru
yang baik itu, semua mengcakup dari aspek kecerdasan IQ,EQ dan SQ di dalam itu
terbangunnya kemampuan kinerja guru yang handal dan professional, dan aspek dari
kecerdasan itu secara langsung bersinergis di dalam menerapkan semua kompetensi,
baik academic, keperibadian, individu, bahkan kemampuan membangun komunikasi
sosial dan spiritual yang tinggi, dan rasa empati terhadap anak didik di dalam proses
belajar mengajar, sehingga tujuan dalam pembelajaran berhasil dengan baik
Peranan guru bukan lagi sebatas orang yang melakukan transfer pengalaman
laksana menuangkan air ke dalam botol atau ember yang hanya dapat menerima saja,
bisa dikatakan hanya pada tataran kecerdasan intelektual saja, tanpa memerankan
mengembangkan potensi kepribadian anak didiknya.
Sebagaimana yang dikemukakan diatas, perkembangan baru terhadap pandangan
belajar-mengajar membawa konsekuensi kepada guru untuk meningkatkan peranan
dan kompetensinya, karena proses belajar mengajar dan hasil belajar siswa sebagian

22 Muhamad Surya, Psikologi pembelajaran dan Pengajaran, (Bandung: Pustaka, Bany Quraisy, 2004) h.
92

Nur El-Islam, Volume 2, Nomor 1, April 2015 67


Urgenci Keseimbangan IQ, EQ, SQ Pendidik Dalam Proses Manajemen Pembelajaran

besar ditentukan oleh peranan dan kompetensi guru. Guru yang kompoten akan lebih
mampu mengelola kelasnya dengan baik sehingga hasil belajar siswanya berada pada
tingkat optimal. Peranan dan kompotensi guru dalam proses belajar mengajar meliputi
banyak hal sebagaimana yang dikemukakan oleh Adam & Decey “principles of Student
Teaching, antara lain guru sebagai pengajar, pemimpin kelas, pembimbing, pengatur
lingkungan, partisipasipan, perencana, supervisor, motivator dan konselor.
Sebagai pengelola kelas, guru hendaknya dapat mengelola kelas dengan baik,
kelas adalah tempat berhimpunanya semua anak didik dan guru dalam rangka
menerima bahan pelajaran dari guru. Kelas yang dikelola dengan baik akan menunjang
jalan interaktif edtikatif dan sebaliknya. Pengelolaan kelas adalah keterampilan guru
menciptakan dan memelihara kondisi belajar yang optimal dan mengembalikannya bila
terjadi gangguang dalam proses belajar mengajar. Dengan kata lain, kegiatan-kegiatan
untuk menciptakan dan mempertahankan kondisi yang optimal bagi terjadinya proses
interaktif edukatif.

1. Peranan Guru Sebagai Pembina Kepribadian


Sebagai tauladan, guru harus memiliki kepribadian yang dapat dijadikan profil,
seluruh kehidupannya adalah figure yang paripura. Itulah kesan terhadap guru
sebagai sosok yang ideal. Sedikit saja guru berbuat tidak baik, akan mengurangi atau
mempengaruhi kewibawaannya dan kharismapun secara perlahan hilang dari jati
dirinya, guru adalah mitra anak didik dalam kebaikan, anak didik pun akan menjadi
baik, tidak ada seorang guru yang bermaksud menjermuskan anak didiknya kelembah
kenistaan atau kearah yang tidak baik. Karena kemuliaan guru, sebagai gelar yang di
sandangnya tidak sia-sia, tetap menjadi nilai tersendiri. guru adalah pahlawan tanpa
pamrih, pahlawan kebaikan, pahlawan pendidikan, singkatnya gelar diberikan guru itu
adalah Pahlawan ilmu.

2. Peranan Guru Secara Psikologis


Peran guru secara psikologis, guru dipandang :
a. Ahli psikologis, yaitu petugas psikologi dalam pendidikan, yang melaksanakan
tugasnya atas dasar-dasar prinsip psikologis.
b. Seniman dalam hubungan antara manusia (artist in humas relation), yaitu
orang yang mampu membuat hubungan antarmanusia untuk tujuan tertentu,
dengan mengunakan teknik tertentu, khususnya dalam kegiatan pendidikan
c. Pembentukan kelompok sebagai jalan atau alat dalam pendidikan
d. Catalytic agent, yaitu orang yang mempunyai pengaruh dalam menimbulkan
pembaharuan.
e. Petugas kesehatan mental, (mental hygience worker) yang bertanggung jawab
terhadap pembinaan kesehatan mental siswamya.23
Berbicara mengenai urgensi IQ, EQ, dan SQ Pendidik yang dinyatakan dalam
penulisan ini sangatlah penting untuk dibahas, membahas urgensi, seberapa pentingnya,

23 Moh Uzer Usman, Menjadi guru yang profesional, (Bandung, Remaja, 2003) h. 12

68 Nur El-Islam, Volume 2, Nomor 1, April 2015


Sriani

mengapa urgen dan sebelumnya perlu diketahui arti Urgensi dalam bahasa, menurut
kamus besar bahasa Indonesia ada dua arti yang terdiri dari kata, urgen artinya
penting dan urgensi yakni keperluan atau keharusan yang mendesak atau bahasa lazimnya
menurut kamus besar bahasa Indonesia, penting artinya sangat perlu, sangat utama
(diutamakan).24

Modal Dasar Nilai Ideal Seorang Guru (Pendidik)


Ada beberapa dasar nilai ideal yang harus dimiliki oleh seorang guru, yang tidak
ada tawar-menawar tentang nilai tersebut yakni potensi atau kemampuan yang mutlak
dimiliki atau yang harus diperlukan.

1. Kecerdasan Spiritualnya Baik


Guru digugu dan ditiru sebuah idiom yang melambangkan betapa agungnya
profesi seorang guru. Bisahkan kita tunjuk jari siapakah orang yang tidak setuju dengan
idom diatas? tidak perlu diperdebatkan lagi kiranya bahwa guru adalah profesi yang
paling mulia. Seorang guru yang baik, hatinya mulai, dan taat kepada Allah SWT yang
Maha mulia, tentunya nilai spiritualnya tidak diragukan lagi, apa yang bisa diharapkan
dari seorang guru yang menganggap sholat tidak penting ? Tentu ada cacat keimanan
disini, dan seorang guru yang membiarkan dirinya cacat imannya berarti dediksinya
sebagai seorang guru yang perlu diragukan. Atau yang dikatakan dalam penulisan ini
tidak cerdas spiritual (SQ). Kecerdasan spiritual (SQ) merupakan modal yang paling
utama dalam diri manusia.

2. Kecerdasan Intelektualnya Bagus


Modal dasar seorang guru mengajar adalah kemampuan intelektual (IQ) mana
mungkin guru mengajar tanpa ilmu (inposible) dan telat mikir tidak mempunyai
pengetahuan dan wawasan dalam mengajar murid-muridnya. Dan ini akam
mengakibatkan patal bagi muridnya dalam meraih kesuksesan prestasi belajarnya.
Namun kecerdasan IQ ini tidak semata-mata menjadi tolak ukur keberhasilan guru
dalam mendidik tanpa melibatkan kecerdasan lainnya. Dan bagaimana seorang guru
disini mampu menerapkan ilmunya sesuai dengan kapasitasnya. Mungkin ada guru
yang lumayan atau standar IQ-nya tapi ia mampu menguasai bidang yang diajarkannya
dengan baik, disamping nalarnya tidak mendek sehingga tanggapan terhadap
perkembangan baru terutama yang dengan bidangnya.

3. Kecerdasan Emosionalnya Baik.


Kemampuan spiritual merupakan batu pijatan yang kokoh untuk menjadi dasar
seseorang guru. Tetapi kemampuan tersebut belum lengkap sebelum dilengkapi dengan
kecerdasan emosional (Emotional Quotient) dan (Intelligence Quotient) idialnya seorang
guru memang memiliki ketiganya, kemampuan emosional merujuk pada kecakapan

24 Dariyanto, Kamus Bahasa Indonesia Lengkap, hal. 662

Nur El-Islam, Volume 2, Nomor 1, April 2015 69


Urgenci Keseimbangan IQ, EQ, SQ Pendidik Dalam Proses Manajemen Pembelajaran

untuk mengolah batinya (perasaan) sendiri dan batin (perasaan) anak didiknya, dan
kemampuan untuk memberikan motivasi baik kepada dirinya sendiri maupun anak
didiknya

1. Faktor Yang Mempengaruhi Keberhasilan


Perlu untuk di ketahui, yang dikatakan bahwa dua unsur terpenting dalam
proses pembelajaran adalah siswa dan guru (pendidik), dan apabila dibandingkan,
siswalah memegang peran yakni aktivitas anak didik sangat diperlukan dalam proses
belajar mengajar. Semua upaya yang diperuntukkan bagi pengelolaan pengajaran selalu
diarahkan pada unsur siswa. Sukses tidaknya pengajar tergantung dari kemampuan
pendidik dalam mempertimbangkan unsur siswa. Dengan pertimbangan itulah siswa
perlu dipahami secara lebih mendalam, khususnya hal yang berhubungan dengan
bagian kejiwaannya sebagai bagian yang terkait dengan kegiatan belajar.25

Apa Yang Dilakukan Pendidik Dalam Menjaga Keseimbangan


Kalau seorang pendidik sudah mempunyai IQ, EQ, dan SQ yang baik dan mampu
menyeimbangkan kecerdasan itu secara professional dan pleksibel yakni sesuai tempat
dan keadaan yang dibutuhkan dari kecerdasan itu, maka ia mudah dalam menjalankan
tugas dengan baik pula, tidak beban baginya, damai, adanya kasih sayang, suasana kelas
bergairah dan menyenangkan bagi anak didiknya untuk belajar, misalnya kalau seorang
guru mengajar sifatnya adalah memberikan ilmu pengetahuan terhadap anak didiknya,
mendidik seharusnya melibatkan aspek kepribadian anak didiknya dan membimbing.
Tentunya karakter pendidik menjadi tauladan di hadapan anak didiknya sebagaimana
yang dikatakan di bawah ini :
1. Bisa beradaptasi
2. Kesadaran diri yang tinggi
3. Bisa menghadapi, dan mengatasi masalah tidak emosional
4. Bekerja atas dasar visi dan misi
5. Berpandang holistic
6. Bisa menghargai kreativitas anak didiknya

Karena kunci kesukseskan pendidik juga terletak juga terletak pada fungsi
kecerdasan atau kemampuanya sebagaimana yang terdapat dari tiga kecerdasan tersebut,
karena semua pendidik ia berharap tampil yang terbaik buat anak didiknya, tentu
ada beberapa criteria untuk mencapai seorang guru yang baik itu, dan ia sudah bisa
memposisikan dirinya dengan baik, peningkatan dan perbaikan pendidikan khususnya
tenaga mengajar tidak terlepas dari manajemen dalam pengembangan sekolah dari
segala kesuksesan sesorang pendidik terletak pada kemampuan manajerialnya sebagai
kesuksesan seorang pendidik terletak pada kemampuan manajerialnya sebagai pendidik
atau pemimpin bagi anak didiknya, karena pendidik adalah orang yang sudah dianggap
mempunyai kemampuan dan kecerdasan yang dimilikinya, tentu terletak pada

25 Suharsimi Arikunto, Manajemen Pengajaran Secara Manusia, (Jakarta: Rineka Cipta, 1993) h. 5

70 Nur El-Islam, Volume 2, Nomor 1, April 2015


Sriani

kecerdasan IQ, EQ, dan SQ-nya, karena kecerdasan itu adalah merupakan sumber
kekuatan yang sudah dimiliki oleh semua manusia didalam dirinya sebagai fitrah orang
yang berakal, dan mempunyai perasaan, sehingga bagaimana ia bisa memerankan atau
memposisikan kecerdasan itu dengan baik, sebagaimana yang dikatakan diatas guru
yang baik, guru yang sudah mampu memposisikan sikap dan kemampuannya dalam
mengenal pembelajaran secara baik dan professional. Ada guru emosionalnya baik,
tampilannya meyakinkan, tetapi niatnya karena mengharapkan pujian, bahkan ada tindakan
moral yang terselubung dilakukan diluar itu, siapa yang tahu niat seorang ? jika posisi SQ
di perankan dan dilibatkan secara baik, kecerdasan ini mampu memberikan posisi pendidik
bekerja atas nilai pengabdian.26

A. Dampak Dari Ketidak Seimbangan IQ, EQ, dan SQ


Bila kita lihat secara psikologis, bahwa pengaruh guru itu sangat besar bagi anak
didiknya, tidak hanya IQ saja yang ia miliki tanpa melibatkan kecerdasan emosional
dan spiritualnya, karena masalah mendidik bukan tugas yang mudah, melainkan
mendidik melibatkan semua aspek kepribadian, tidak hanya pada dimensi kognitif atau
IQ saja, tetapi melibatkan semua dimensi afektif dan spikomotorik pada anak didiknya,
atau yang dikatakan pada penulis ini yakni IQ, EQ dan SQ itu harus terbangun dan
dikembangkan melalui pembelajaran itu sendiri, maka guru juga harus mampu memberi
rangsangan emosional atau kejiwaan anak didiknya terhadap apa yang diterima dari
yang memberikannya. Perlu untuk diketahui bahwa kecerdasan yang ada dimiliki oleh
seorang pendidik baik IQ, EQ, dan SQ semua berpusat pada orbit kecerdasan spiritual
(SQ), kecerdasan ini mencakup semua aspirasi jiwa manusia tentang pemaknaan hidup,
yakni yang berhubungan langsung kepada yang Maha Kuasa atas langit dan bumi ini,
karena itu SQ inti kesadaran kita, tetapi dampak dari ketidak seimbangan IQ, EQ,
dan SQ ini apabila SQ tidak menjadi pusat orbitnya dalam jiwa manusia yang dapat
memberikan arahan dan pertimbangan secara kreatif, sebagaimana yang dikatakan
pada bab sebelumnya, kecerdasan spiritual itu membuat kita mampu menyadari siapa
kita sesungguhnya dan bagaimana kita memberi makna terhadap hidup dan kinerja
kita di dunia ini, tentu semua orang mempunyai pribadi yang ber SQ disamping IQ,
EQ-nya baik.

B. Dampak Negatif Dari Ketidak Seimbangan


Ada sebab-sebab yang dapat membuat manusia tentu seorang pendidik yang
secara psikologis mempunyai pengaruh dan pandangan bagi anak didik, bila terpecah
atau terpisah dari semua kekuatan atau potensi dari kecerdasan itu ? Atau apa yang
menyebabkan penyakit yang disebut oleh seorang psikolog Wirahmihardja mengatakan
: yakni penyakit “psikopatalogi” (Psykhopathology), diartikan sama atau sebagian
kata lain dari perilaku abnormal, psikologi abnormal, atau gangguan mental, didalam
gangguan kejiwaan ini dapat diklasifikasikan bagian dari kesekian banyaknya gangguang-
gangguan kejiwaan salah satu diantaranya adalah psikopatalogy di mana psikhe kita

26 Ary Ginanjar, Kecerdasan Emosional dan Spiritual, h. 43

Nur El-Islam, Volume 2, Nomor 1, April 2015 71


Urgenci Keseimbangan IQ, EQ, SQ Pendidik Dalam Proses Manajemen Pembelajaran

kehilangan keseimbangan atau menderita kerusakan akibat kemarahan, ketakutan, dan


nafsu yang tak terkendalikan dan obsesi, tekanan, paksaan, dan sebagainya.27
Dan Ginanjar mengatakan pada bab sebelumnya yakni “Spiritual patalogy” yang
disebut sebagai penyakit “buta hati” yang mengalami stress atau putus asa, adanya suatu
kebutuhan di jiwanya dalam mengambil sebuah keputusan, karena ia mengabaikan
“suara hatinya” yang penuh bijak ini, sehingga tertutup atau Good Spot-nya terbelenggu,
akhirnya yang cenderung putus asa, bahkan bisa bunuh diri, nyatanya banyak manusia
modern sekarang jika mengalami gagal akhirnya terjun dari lantai yang tinggi, bunuh
diri, dan gila, berdukun, Tuhan bukan lagi tempat penyelesaiannya, dan ini kuatirkan
jika seorang pendidik mengalami hal ini tentu patal akibatnya terhadap mental anak
didiknya oleh pengaruh fisik, akhirnya anak didik tidak mendapat suatu prestasi yang
tidak baik dari gurunya. Penulis berharap besar melalui tulisan ini, mudah-mudahan
pendidik tetap selalu menjadi guru yang berhati mulia dan ditauladani. Maka dari
semua hal tersebut. Ada hal-hal yang terhambat dalam perkembangan kecerdasan
spiritual ini, di antara yakni :
a. Karena yang bersangkutan tidak mengembangkan beberapa bagian dari dirinya
sama sekali
b. Telah mengembangkan beberapa bagian namun tidak profesional atau dengan
cara yang salah (destruktio)
c. Adanya pertentangan atau buruk jiwa hubungan antara bagian dengan bagian.

Faktor dari ketidakseimbangan IQ, EQ, dan SQ ini, pendidik dapat menghambat
perkembangan kreativitas anak didik. Jika pendidik tidak memerankan kecerdasan
tersebut dengan baik, karena sikap dan kecakapan guru dapat mempengaruhi
peningkatan kecerdasan dan kreativitas anak didik.
Inilah kecerdasan kekuatan dalam jiwa manusia yang telah Allah karuniakan,
sebagai potensi yang diberikan kepada manusia lewat kecerdasan tersebut, namun
apabila kekuatan ini salah memposisikan dan menggunakannya, maka celaka, banyak
manusia jatuh dan gagal (frustasi) dalam hidup dan tentu tugasnya sebagai pendidik,
karena tidak biasanya mengendali dan menyeimbangkan potensi tersebut. Sebagaimana
yang dikatakan dalam penulisan ini adalah kecerdasan intelektual (IQ), kecerdasan
emosional (EQ) dan kecerdasan spiritual (SQ) sebagai sumber kekuatan yang Allah
berikan pada manusia lewat kekuatan yang ada dalam jiwa manusia itu, dan tentunya
sebagai pendidik menjadi syarat utama dalam keberhasilan sebagai pendidik karena
dipundaknya generasi tercipta yang cerdas, dan berbudi pekerti luhur sebagaimana
yang diharapkan dalam tujuan pendidikan, cerdas beriman dan bertaqwa.

Penutup

A. Kesimpulan
Berdasarkan kajian dan ungkapan yang telah dipaparkan dalam penulisan ini,
maka disimpulkan sebagai berikut :

27 Wiralunihardja, Pengantar Psikologi Bisnis, (Bandung: Mizan, 2004) h.15

72 Nur El-Islam, Volume 2, Nomor 1, April 2015


Sriani

a. Modal Dasar Nilai Ideal Seorang Guru (Pendidik)


Ada beberapa dasar nilai ideal yang harus dimiliki oleh seorang guru (Pendidik),
yang tidak ada tawar-menawar tentang nilai tersebut yakni potensi atau kemampuan
yang mutlak dimiliki atau yang harus diperlukan.

a. Kecerdasan Spiritualnya Baik


Guru digugu dan ditiru sebuah idiom yang melambangkan betapa agungnya
profesi seorang guru. Bisahkan kita tunjuk jari siapakah orang yang tidak setuju dengan
idom diatas? tidak perlu diperdebatkan lagi kiranya bahwa guru adalah profesi yang
paling mulia. Seorang guru yang baik, hatinya mulai, dan taat kepada Allah SWT yang
Maha mulia, tentunya nilai spiritualnya tidak diragukan lagi, apa yang bisa diharapkan
dari seorang guru yang menganggap sholat tidak penting ? Tentu ada cacat keimanan
disini, dan seorang guru yang membiarkan dirinya cacat imannya berarti dediksinya
sebagai seorang guru yang perlu diragukan. Atau yang dikatakan dalam penulisan ini
tidak cerdas spiritual (SQ). Kecerdasan spiritual (SQ) merupakan modal yang paling
utama dalam diri manusia.

b. Kecerdasan Intelektualnya Bagus


Modal dasar seorang guru mengajar adalah kemampuan intelektual (IQ) mana
mungkin guru mengajar tanpa ilmu (inposible) dan telat mikir tidak mempunyai
pengetahuan dan wawasan dalam mengajar murid-muridnya. Dan ini akam
mengakibatkan patal bagi muridnya dalam meraih kesuksesan prestasi belajarnya.
Namun kecerdasan IQ ini tidak semata-mata menjadi tolak ukur keberhasilan guru
dalam mendidik tanpa melibatkan kecerdasan lainnya. Dan bagaimana seorang guru
disini mampu menerapkan ilmunya sesuai dengan kapasitasnya. Mungkin ada guru
yang lumayan atau standar IQ-nya tapi ia mampu menguasai bidang yang diajarkannya
dengan baik, disamping nalarnya tidak mendek sehingga tanggapan terhadap
perkembangan baru terutama dengan bidangnya.

c. Kecerdasan Emosionalnya Baik.


Kemampuan spiritual merupakan batu pijatan yang kokoh untuk menjadi dasar
seseorang guru menuju kesuksesan dunia dan akhirat. jika kemampuan tersebut
dilengkapi dengan kecerdasan emosional (Emotional Quotient) dan (Intelligence Quotient)
idialnya seorang guru memang memiliki ketiganya, kemampuan emosional merujuk
pada kecakapan untuk mengolah hatinya (perasaan) sendiri dan batin (perasaan) anak
didiknya, dan kemampuan untuk memberikan motivasi baik kepada dirinya sendiri
maupun anak didiknya

2. Faktor Yang Mempengaruhi Keberhasilan


Perlu untuk di ketahui, yang dikatakan bahwa dua unsur terpenting dalam
proses pembelajaran adalah siswa dan guru (pendidik), dan apabila dibandingkan,
siswalah memegang peran yakni aktivitas anak didik sangat diperlukan dalam proses
belajar mengajar. Semua upaya yang diperuntukkan bagi pengelolaan pengajaran selalu
diarahkan pada unsur siswa. Sukses tidaknya pengajar tergantung dari kemampuan

Nur El-Islam, Volume 2, Nomor 1, April 2015 73


Urgenci Keseimbangan IQ, EQ, SQ Pendidik Dalam Proses Manajemen Pembelajaran

pendidik dalam mempertimbangkan unsur siswa. Dengan pertimbangan itulah siswa


perlu dipahami secara lebih mendalam, khususnya hal yang berhubungan dengan
bagian kejiwaannya sebagai bagian yang terkait dengan kegiatan belajar
3. Apa Yang Dilakukan Pendidik Dalam Menjaga Keseimbangan
a. Kalau seorang pendidik sudah mempunyai IQ, EQ, dan SQ yang baik dan
mampu menyeimbangkan kecerdasan itu secara professional dan pleksibel
yakni sesuai tempat dan keadaan yang dibutuhkan dari kecerdasan itu, maka
ia mudah dalam menjalankan tugas dengan baik pula, tidak beban baginya,
damai, adanya kasih sayang, suasana kelas bergairah dan menyenangkan bagi
anak didiknya untuk belajar, misalnya kalau seorang guru mengajar sifatnya
adalah memberikan ilmu pengetahuan terhadap anak didiknya, mendidik
seharusnya melibatkan aspek kepribadian anak didiknya dan membimbing.
Tentunya karakter pendidik menjadi tauladan di hadapan anak didiknya
sebagaimana yang dikatakan di bawah ini :
1. Bisa beradaptasi
2. Kesadaran diri yang tinggi
3. Bisa menghadapi, dan mengatasi masalah tidak emosional
4. Bekerja atas dasar visi dan misi
5. Berpandang holistic
6. Bisa menghargai kreativitas anak didiknya

b. Keseimbangan IQ, EQ, dan SQ ini dapat membuat posisi pendidik agar lebih
fleksibel dan professional, jika terintegrasinya fungsi-fungsi kecerdasan itu
dengan baik, ketika ia sedang dihadapi berbagai persoalan dan pendidik bisa
memposisikan emosionalnya dengan baik, siap menerima kritikan, dan masalah
yang begitu besar diamalinya, tapi ia mampu mengendalikannya, otomatis
suara hatinya telah terbuka untuk menerima kesabaran, maka fungsi SQ secara
langsung berfungsi dengan baik, sesuai dengan sikap yang dibutuhkan dengan
kecerdasan tersebut. keseimbangan kecerdasan ini dilakukan akan membuat
kinerja pendidik lebih berdaya dan menyenangkan tugasnya sebagai guru,
bertanggung jawab dan sebagai Pembina kepribadian anak didiknya, karena
dilakukan seluruh komponen jiwa dan perasaan pendidik tercurahkan secara
baik akan menghasilkan tindakan yang baik juga dan sebaliknya.
4. Dampak dari ketidak seimbangan IQ, EQ, dan SQ ini yakni:
1. Jika berpikir dan bertindaknya seorang pendidik kurang arif dan bijaksana,
berarti pendidik tidak mampu menyeimbangkan IQ, EQ, dan SQ dengan baik,
yang cendrung arogan, bahkan emosional, dan tidak manusiawi misalnya
dalam bertindak yang akan dikuatirkan tertutupnya mata hati, berakibat dapat
mengalami Spiritual Patalogy (penyakit buta hati), dan psikopatalogi dimana
psikhe kehilangan keseimbangan atau akibat dari kemarahan, ketakutan, dan
nafsu yang tidak terkendalikan dan sebagainya, jika hal ini di alami pendidik
bagaimana nantinya anak didiknya? Sebagaimana generasi masa depan bangsa
yang selalu diharapkan, maka otomatis guru sebagai pendidik sudah kehilangan

74 Nur El-Islam, Volume 2, Nomor 1, April 2015


Sriani

ketauladanan, kurangnya simpatik anak didik terhadapnya, sehingga anak didik


malas belajar pada guru tersebut, dan bahkan dapat menghambat kreatifitas
anak didiknya untuk berprestasi.
2. Dan harus ada hubungan harmonis yang positif dan terbuka antara pendidik
dan anak didik. Karena komunikasi dan interakasi adalah keterkaitan
hubungan emosional pendidik dan anak dididk secara psikologis.
3. Dapat mengakibatkan gagalnya suatu proses pembelajaran yang dijalani oleh
guru, jika mempelajarinya tidak menyeimbangkan IQ, EQ, dan SQ.

B. Saran
Setelah dianalisa dan menyimpulkan permasalahan dalam pertulisan ini, sebagai
pedoman bagi para pendidik nantinya, tentu penulis mengharap penulis ini dan
menyarankan:
1. Untuk sebagai pedoman bagi para pendidik-pendidik, agar apa yang dinyatakan
dalam tulisan ini tentang pentingnya keseimbangan IQ, EQ, dan SQ agar sukses
mendidik, dengan memuaskan dan bahagia.
2. Bagaimana membuat keseimbangan antara IQ, EQ, dan SQ ini adalah dimana
aktifitas fisik (IQ) dan emosi (EQ) harus mengorbit kepada SQ, sebagai pusat
orbit atau sebagai pusat mengontrol diri dalam mengambil kebijakan. Jangan
bedakan atau dipisahkan antara fungsi kecerdasan itu baik IQ, EQ, dan SQ,
semuanya berfungsi pada arus atau systemnya masing-masing yang saling
terintegrasi untuk mencapai keberhasilan seseorang bila saatnya peran IQ, EQ,
dan SQ dibutuhkan, maka hendaknya pendidik membangun dan menyelaraskan
antara personal yang terjadi ketika dihadapi .
3. Agar tugas pendidik menjadi lebih baik, dan sukses maka berpeganglah pada
pedoman nilai-nilai (norma) agama dan norma sosial sebagai pedoman yang
harus dijalani, dan tentunya yang terlibat disini terutama di lembaga pendidikan
ialah guru (pendidik) sebagai sosok yang di tauladani, dan anak didik sebagai
tujuan pembinaan moralitas dari nilai tersebut. dan bisa semua komponen sekolah
sebagai orang yang mengelola pendidikan, baik kepala sekolah dan sampai staf
pengajarnya.
4. Mementingkan arti tugas pendidik itu, orientasinya pada suatu proses belajar
mengajar adalah tugas yang sangat mulia di atas bumi ini, yakni orang yang
memberikan ilmu, sebagai konsep dan pedoman pengakuannya seorang pendidik
secara terus menerus akan keberhasilan Allah SWT, sebagai hamba-Nya yang
Maha cerdas dan mengetahui.
5. Untuk menyeimbangkan IQ, EQ, dan SQ ini hendaknya seorang pendidik mulai
dari kesadaran diri secara penuh dan terbuka hati untuk membangkitkan potensi
sinergis yang ada dalam dirinya, yakni suara hati karena adanya rasa kasih
sayang, tanggung jawab jujur dan sabar. Karena keseimbangan itu relative, tinggal
bagaimana seseorang dapat memposisikan kemampuan itu secara porfesional,
dan fleksibel, tidak di fungsikan secara timbangan atau tidak diperankan sama
sekali, dimana kecerdasan, itu dibuktikan, misalnya dengan melalui kesadaran
diri, mengelola emosi, motivasi, empati dan menjaga relasi ini terdapat apda EQ,

Nur El-Islam, Volume 2, Nomor 1, April 2015 75


Urgenci Keseimbangan IQ, EQ, SQ Pendidik Dalam Proses Manajemen Pembelajaran

dan berhitung IQ dan SQ menyangkut semua komponen jiwa dan eksistensinya


sebagai khalifah Allah dimuka bumi ini. Maka seorang pendidik hendaknya
menanamkan hal ini, karena emosi lebih mudah tersentuh melalui panca indra
dan telinga yang lebih dipergunakan untuk melihat, mendengar, dan mengukur
benda-benda konkrit (IQ), hati adalah bagian dari aspek spiritual (SQ) karena
prinsip keseimbangan telah ada dalam Surah Al-Rahman “sebagaimana Allah
telah mengukur jagat raya alam semesta ini dengan keseimbangan itu sendiri yang
menjadikan alam semesta ini serasi dan indah.”28
6. Agar system pendidikan pada setiap sekolah sampai keperguruan tinggi tetap
berorientasi pada pananaman tatanan nilai dan moralitas anak didik sebagai
penerus bangsa, dengan menekankan pada dimensi kecerdasan emosional dan
spiritual, agar tercapainya tujuan pendidikan.

Dalam penulisan ini penulis memberikan suatu konsep dan pedoman khususnya
bagi para pendidik dalam manajemen pembelajaran, agar tetap menjadi suatu rujukan
dalam penulisan atau penelitian selanjutnya, untuk dibahas lebih tajam lagi, tentu
banyak kekurangan dan kekhilafan dalam penulisan ini, kritik dan saran bagi para
pembaca sangatlah diharapkan, demi kesempurnaan dalam penulisan ini, dan kepada
Allah SWT penulis mohon ampun.[]

DAFTAR PUSTAKA

Abu Ahmadi, Psikologi Sosial, (Jakarta: Rineka Cipta,2002).


Ahmad Al-Jada’, Meneladani Kecerdasan Emosi Nabi, (Jakarta: Pustaka Inti, 2004).
Al-Magrhribi bin as, Begini Seharusnya Mendidik Anak, (Jakarta: Darul haq, 2004).
Al-Mahdi Muhammad, Mencerdaskan Hawa Nafsu, (Jakarta: Penerbit Misbah, 2004).
Al-Munir, Guru Tauladan : Di Bawah Bimbingan Allah, (Jakarta: Gema Insani, 2003).
Ari Ginanjar Agustian, Kecerdasan Emosional dan Spiritual, (Jakarta: Arga,2001). ESQ
POWER, (Jakarta: Arga, 2003).
Bahri Djamarah, dan Syaiful, Guru Dan Anak DIdik Dalam Interaksi Edukatif, (Jakarta:
Rineka Cipta, 2000).
Boby De Panter, Readon Mark, dan Niore Sarah Singer, Quantum Teaching, (Bandung:
Kaifa, 2000).
Daryanto, Kamus Bahasa Indonesia Lengkap, (Surabaya: Apollo, 1997).
Dany Cox, and John Hoover, Leadhership When The Heat’s On, (United States Of
Amerika: MC.Cro-Hill, 2003).
Depag RI, Al-Qur’an dan Terjamahannya, (Semarang: CV Toha Putra, 1989), Druden

28 Q.S. Al-Rahman : 7

76 Nur El-Islam, Volume 2, Nomor 1, April 2015


Sriani

dan Vos Jenannette, Revolusi Cara Belajar : Keajaiban Pikiran, (Bandung:


Kaifa,2000).
Feinbers, R.Martimar, dkk, Psikologi Manajemen, (Jakarta: Mitra Utama, 1996) Daniel
Golemen, Emational intelijence, (Jakarta: Mitra Utama, 2002).
_________ , Kecerdasan Emosi Untuk Mencapai Puncak Prestasi, (Jakarta: Gramedia,
2003).
_________ , Working With Emotional Intelligence, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,
2003).
Ir Agus Ngermanto, Guantum Quotient, (Bandung: Nuansa, 2002).
Jeanne Anne Craig, Bukan Seberapa Cerdas Diri Anda Tetapi Bagaimana Anda Cerdas,
(Batam: Interaksara, 2004).
Marwan Al-Kadiri, Keseimbangan Antara Kebutuhan : Akal Jasmani & Rohani, (Jakarta:
Cendikia Sentra Muslim, 2004).
Mohammad Syahid, Konsep Pendidikan Dalam Al-Qur’an, (Jakarta: Penerbar Salam,
2001).
Moh Uzer Usman, Menjadi Guru Yang Progesional, (Bandung: Remaja Rosada Karya,
2002).
Sudirman Danim, Menjadi Komunitas Pembelajaran, (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2003).
Suharsimi Arikanto, Manajemen Pengajaran Secara Manusiawi, (Jakarta: Rineka
Cipta,1993).
Triguno, Manajemen Pendidikan Islam, (Jakarta: UIJ, 2002).
Pasiak Taufiq, Revolusi IQ, EQ, SQ, (Bandung: Mizan, 2004).
P Monty Satiadanna, Mendidik Kecerdasan, (Jakarta: Pustaka popular obor, 2003).
Whirherrinston, Psikologi Pendidikan, (Bandung: Rineka, 2002).
Zakiah Daradjat, Membina Nilai-Nilai Moral di Indonesia, (Jakarta: Bulan Bintang,
1967).

Nur El-Islam, Volume 2, Nomor 1, April 2015 77


PENTINGNYA KECERDASAN EMOSIONAL
DI KALANGAN PENDIDIK

Syafrimen, M. Ed, Ph.D


syafrimen@radenintan.ac.id

Fakultas Tarbiyah dan Keguruan Institut Agama Islam Negeri (IAIN)


Raden Intan Lampung

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk melihat kepentingan kecerdasan emosional


(EQ) di kalangan pendidik. Secara spesifik penelitian ini adalah untuk
melihat profil kecerdasan emosional guru-guru, dan melihat pandangan
guru tentang kepentingan kecerdasan emosional dalam pendidikan.
Pendekatan gabungan (explanatory mixed methods designs) dipilih sebagai
metodologi penelitian. Penelitian dijalankan melalui dua fase, diawali
dengan penelitian survey (Cross Sectional Survey Designs) melibatkan 30
orang guru yang mengajar di MAN dan MTsN di Bandar Lampung yang
dipilih secara acak (simple random sampling), dan diteruskan dengan case
study (n= 8) orang guru yang dipilih dari 30 orang guru yang dilibatkan
pada fase pertama. Data fase pertama dikumpul mengunakan instrumen
EQ (Malaysian Emotinal Quotient Inventory) yang disusun oleh Noriah et
al 2004, dan dianalisis menggunakan SPSS Windows versi 20.0.
Sedangkan data fase kedua dikumpulkan melalui indepth interview dan
focus group interview dan dianalisis secara tematik berbantukan software
NVivo 8. Hasil penelitian menunjukkan secara umumnya guru-guru
berpandangan bahwa kecerdasan emosional sangat penting dalam
pendidikan. Bagaimanapun, hasil penelitian menunjukkan profil EQ guru-
guru yang diteliti hanya tinggi pada domain spritualitas dan kematangan,
namun masih rendah pada lima domain-domain yang lain yang semestinya
juga penting bagi guru-guru tersebut. Implikasi hasil penelitian ini
didiskusikan berdasarkan teori dan hasil-hasil penelitian sebelumnya.

Kata Kunci: Kecerdasan Emotional, MEQI, Pendidik


2

THE IMPORTANCE OF EMOTIONAL INTELLIGENCE


AMONG EDUCATORS

Abstract

This study aims to see the importance of emotional intelligence (EQ)


among educators. Specifically this study was to see the profile of
emotional intelligence of teachers, and see the teachers views about the
importance of emotional intelligence in education. Mixed method
(explanatory mixed methods designs) is selected as the research
methodology. Research carried out through two phases, beginning with
survey research (Cross Sectional Survey Designs) involved 30 teachers
who teach in MAN and MTsN in Bandar Lampung, selected by simple
random sampling, and forwarded with the case study (n= 8) teachers
selected from 30 teachers who were involved in the first phase. The first
phase data collected using EQ instrument [Malaysian Emotinal Quotient
Inventory] prepared by Noriah et al. (2004), and analyzed using SPSS
Windows version 16.0. Second phase data were collected through indepth
and focus group interviews and analyzed by thematic using software
NVivo 8. The results showed the teachers view that emotional intelligence
is very important in education. However, the results showed the EQ
profiles of teachers only high in spirituality and maturity domain, but still
low in the five other domain which should be also important for teachers.
Implications of these results were discussed based on theory and previous
research results.

Keyword: Emotional Quotient, MEQI, Teachers

2
3

A. Pendahuluan

Sekolah merupakan institusi pendidikan untuk membentuk dan mengubah


tingkah laku siswa ke arah yang lebih baik. Tugas guru tentunya melaksanakan
fungsi tersebut untuk menciptakan suasana yang dapat menghasilkan perubahan
tingkah laku tersebut (Tajul Ariffin 2002). Dalam pendidikan formal, guru
merupakan insan untuk menyuburkan pemikiran, kestabilan emosi, dan kesejahteraan
fisiologikal siswa, terutama apabila mereka berada dalam lingkungan sekolah. Sikap
yang ditunjukkan oleh seorang guru dapat mempengaruhi cara pembelajaran dan
karir siswa di masa depan (Abu Bakar & Ikhsan 2003). Abu Bakar & Ikhsan
menyatakan terdapat tiga tanggungjawab dasar guru dalam mensukseskan
pendidikan, iaitu; (i) guru sebagai contoh ataupun role model, (ii) guru sebagai
pembentuk akhlak yang baik, dan (iii) guru sebagai pakar dalam mata pelajaran yang
mereka ajarkan. Guru bukan hanya menjadi contoh di sekolah tetapi juga di luar
sekolah, bahkan mereka perlu menjadi contoh kepada masyarakat. Tanggungjawab
sebagai pendidik, tidak selesai hanya sebatas waktu bekerja, tetapi terus
berkelanjutan selagi mereka berinteraksi dengan masyarakat.

Profesi sebagai guru merupakan profesi yang sangat mulia, namun


profesionalisme itu tergantung kepada sikap guru terhadap profesi tersebut. Sebagai
pendidik, guru seharusnya menjadi contoh yang baik, terampil untuk melakukan
introspeksi diri (Parson & Stephenshon 2005), berdisplin, rajin, menepati waktu,
berakhlak mulia, dan mempunyai emosi yang stabil. Keperibadian seperti ini dapat
memberikan pengaruh positif terhadap pembentukan kepribadian siswa. Hal ini
sejalan dengan perintah Allah s.w.t seperti dinyatakan dalam Q.S An-Nahl; 125
berikut ini:

Serulah olehmu kepada jalan Tuhan-Mu dengan bijaksana dan cara yang baik
(mau'izah hasanah), serta tegurlah mereka dengan cara yang sesuai (Q.S. An-
Nahl: 125).

Tugas guru tidak hanya melahirkan siswa yang sukses secara akademik, tetapi
juga bertanggungjawab membentuk akhlak dan kepribadian siswa ke arah yang lebih
baik. Guru seharusnya dinamis, senantiasa mencari dan menimba ilmu pengetahuan
baru melalui pembelajaran dan pengalaman, serta mampu menerima perubahan yang
senantiasa terjadi sesuai dengan perkembangan zaman. Tajul Ariffin dan Nor' Aini
(2002) menyatakan bahwa guru yang baik adalah senantiasa membangun keunggulan
pribadi siswa dengan cara membuat suasana pengajaran dan pembelajaran menjadi
menyenangkan. Guru perlu memiliki keseimbangan antara penghayatan agama dan
nilai-nilai moral dengan bidang ilmu yang diajarkan, dan juga seluruh aspek
kehidupannya. Mereka juga perlu meningkatkan kualitas diri melalui berbagai
latihan yang dapat meningkatkan profesionalisme mereka. Guru perlu melahirkan
suasana pembelajaran yang nyaman, mengutamakan pembinaan kepribadian siswa
secara menyeluruh, menyuburkan silaturahmi sesama manusia yang sehat di sekolah,
menyiapkan siswa untuk memahami realita kehidupan, memiliki keterampilan hidup,
serta mampu melaksanakan pendidikan yang berkualitas (Tajul Ariffin & Nor' Aini
2002).

3
4

Guru merupakan tenaga profesional yang bertanggungjawab untuk mendidik


siswa yang merupakan aset masa depan (Mok Soon 1992). Selain bertugas sebagai
pendidik dan fasilitator di sekolah guru juga berperan sebagai pengganti orang tua
siswa. Justeru, tanggungjawab mendidik seorang guru merangkumi tugas sebagai
penasihat, pembimbing, konselor, menyebarkan nilai budaya yang baik dan menjadi
contoh yang baik dalam proses pembentukan kepribadian siswa. Ini memberikan
implikasi bahwa guru bukan saja sebagai titian ilmu tetapi juga pembentuk peribadi
siswa dengan menyemaikan sifat jujur, amanah, empati, rajin dan tekun dalam
kalangan mereka (Grasha 1996; Skovholt dan D’Rozario 2000).

Idealnya seorang guru adalah seperti dipaparkan sebelum ini, bagaimanapun


akhir-akhir ini media masa selalu saja memaparkan berita-berita kurang baik yang
dapat menjatuhkan imej profesi guru. Noriah et al. (2002) memaparkan beberapa
contoh berkaitan dengan tingkah laku kurang beretika dan kurang bertanggungjawab
di kalangan guru-guru. Seperti guru menghukum murid secara berlebihan, sehingga
meninggalkan pengaruh negatif terhadap perkembangan psikologis, mental dan fisik
murid. Contoh lain adalah kemarahan yang berlebihan kepada siswa sehingga
dilampiaskan dengan merusakan barang-barang aset sekolah yang seharusnya dijaga
dengan baik untuk kepentingan pendidikan.

Selain masalah guru yang terlalu berlebihan terhadap siswa, paparan media
yang juga mengejutkan masyarakat adalah seorang guru ditangkap oleh polisi karena
diduga sebagai pengedar obat terlarang di kawasan tempat dia mengajar (Harian
Kompas 17 Januari 2013). Fenomena seperti ini terjadi diberbagai belahan Kota-kota
besar di Indonesia. Hal yang sama juga tidak tertutup kemungkinan terjadi di
Provinsi Lampung. Sebagai contoh, media elektronik Indonesia juga melaporkan
seorang guru pensiunan telah memperkosa cucunya sendiri, dan kepala sekolah
sawasta telah memperkosa lima orang murid di sekolahnya (SCTV Mei 2013). Satu
hal lagi yang hangat didiskusikan adalah tidak ada bedanya kinerja yang ditunjukkan
oleh guru yang diberikan tunjangan sertifikasi dengan guru yang tidak diberikan
tunjangan serifikasi, walaupun gajinya dinaikkan dua kali lipat dari biasanya
(Lampung Post 26 November 2010). Tingkah laku sebagian kecil guru ini tentunya
bisa memberikan imej yang kurang baik kepada profesinalisme guru. Justeru,
tingkahlaku seperti ini juga dapat memburukan pandangan masyarakat terhadap
profesi guru yang sepatutnya menjadi pendidik, pembimbing (role model) generasi
muda yang sedang berkembang dan merupakan regerasi pemimpin bangsa di masa
depan.

Kejadian seperti ini menunjukkan bahwa sebagian guru tidak dapat


mengendalikan emosi mereka ketika berhadapan dengan berbagai tingkahlaku siswa
dan berbagai situasi di lingkungan sekolah masyarakat. Sehingga mereka melakukan
hal-hal yang bisa menimbulkan kecederaan fisik dan psikologis terhadap siswa,
sehingga sebagian siswa merasa takut datang ke sekolah akibat tingkah guru seperti
itu. Pertanyaanya adalah; Adakah perbuatan seperti ini wajar dilakukan oleh seorang
guru? Apakah yang terjadi di kalangan guru-guru saat ini? Adakah mereka hanya
cerdas secara intelektual ataupun dalam mata pelajaran yang mereka ajarkan, namun
mereka kurang mantap dalam menerapkan ilmu psikologi yang sepatutnya menjadi
pakaian seorang pendidik? Rentetan pertanyan ini sebenarnya telah banyak dijawab
oleh ahli-ahli psikologi, diantaranya menyatakan pendidik tidak cukup hanya dengan

4
5

kecerdasan intelektual saja, namun mereka perlu memiliki dan menerapkan


keterampilan psikologis sehingga mereka mudah untuk mendekati dan merubah
tingkah laku siswanya. Salah satu contoh yang perlu dimiliki oleh guru-guru tersebut
adalah “kecerdasan emosional” yang menjadi fokus dalam penelitian ini.

Goleman (1995, 1999) mengemukakan satu konsep untuk menerangkan


beberapa domain penting yang dapat mempengaruhi kecerdasan emosional
seseorang. Penerangan konsep tersebut coba dipaparkan oleh Goleman berdasarkan
faktor kegagalan dan keberhasilan seseorang dalam kehidupan peribadi dan juga
karir mereka masing-masing. Menurut Goleman (1999) kecerdasan emosional
merupakan kemampuan individu untuk mengenali emosi diri, mengelola emosi diri,
memotivasi diri, mengenali emosi orang lain dan membina hubungan dengan orang.
Goleman (1999) juga menyatakan seseorang yang tidak mempunyai kemampuan
mengelola emosi diri, agak sulit berinteraksi dengan orang lain, dan kurang mampu
menjalankan pekerjaan dengan baik. Mereka juga bisa digolongkan sebagai individu
yang kurang berhasil dalam kerirnya. Masalah-masalah emosi yang terjadi di tempat
kerja maupun di lingkungan sosial dapat memberikan implikasi 9positif maupun
negatif) terhadap emosi seseorang (Goleman 1999).

Penelitian ini coba melihat kepentingan kecerdasan emosional di kalangan


pendidik (guru-guru). Konsep kecerdasan Emosional yang dijadikan dasar penelitian
ini adalah lima dimensi kecerdasan emosional [pengenalan emosi diri, kemampuan
mengendalikan diri, motivasi, empati dan keterampilan sosial] yang dikemukakan
oleh Goleman (1995; 1999) dan dua dimensi tambahan [spritualitas dan kematangan]
oleh Noriah et al. (2004). Peneliti mencoba mendapatkan gambaran tentang profil
dan pentingnya kecerdasan emosional di kalangan guru-guru berdasarkan kedua-dua
konsep tersebut. Dari itu penelitian ini coba menjawab persoalan: (i) Bagaimanakah
profil kecerdasan emosi guru-guru yang dilibatkan dalam kajian ini? (ii)
Bagaimanakah pandangan guru-guru tentang kepentingan kecerdasan emosi dalam
dunia pendidikan?

B. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana profil kecerdasan


emosional guru-guru yang dilibatkan dalam kajian ini? Dan untuk mengetahui
pandangan guru-guru tentang kepentingan kecerdasan emosi dalam pendidikan?

C. Manfaat Penelitian

Di era ini guru akan berhadapan dengan siswa-siswi yang kreatif dan inovatif
dalam teknik belajar, keadaan ini memerlukan bentuk hubungan yang berbeda antara
guru dan murid. Guru perlu menyesuaikan diri dengan bentuk interaksi yang baru.
Penyesuaian guru dengan murid memerlukan keluwesan dalam berbagai situasi
(Goleman 1999). Guru yang luwes biasanya lebih yakin dan terampil menyesuaikan
diri dengan keadaan di sekelilingnya, khususnya apabila berhadapan dengan situasi
pengajaran dan pembelajaran yang menantang.

5
6

Seterusnya tentunya penelitian ini sangat bermanfaat bagi pihak sekolah,


pemegang kebijakan pendidikan, keluarga, dan masyarakat, serta para peneliti
selanjutnya, seperti berikut:
i. Bagi sekolah dan pemegang kebijakan pendidikan, hasil penelitian ini dapat
memberikan informasi dan panduan dalam pelaksanaan pembinaan
profesionalisme guru ke arah yang lebih baik.
ii. Bagi keluarga dan masyarakat, hasil penelitian ini dapat menimbulkan kesadaran
tentang pentingnya kecerdasan emosional bagi lembaga pendidikan (sekolah,
keluarga, dan masyarakat).

D. Teori Kecerdasan Emosi

Kecerdasan emosional disebut juga dengan istilah EQ (emotional intelligence)


ataupun pintar secara emosi. Istilah emotional intelligence diperkenalkan oleh John
Mayer dan Peter Salovey dalam tahun 1990 yang kemudian menarik minat berbagai
kalangan untuk melakukan penelitian setelah EQ tersebut dipopulerkan oleh
Goleman pada tahun 1995. Goleman (1995) memaparkan bahawa EQ boleh
dikaitkan dengan dua jenis kompetensi iaitu; kompetensi peribadi dan kompetensi
sosial. Kedua kompetensi tersebut diwakili oleh lima dimensi seperti yaitu:
pengenalan terhadap diri sendiri (self-awareness), kemampuan mengendalikan diri
(self-regulation), kemampuan untuk memotivasikan diri (self-motivation), empati
(empathy), dan kemahiran sosial (social skills).

Goleman memberikan gambaran untuk setiap dimensi EQ tersebut, iaitu (i)


pengenalan terhadap diri sendiri merupakan kemampuan individu untuk mengetahui
perasaan sendiri, mampu menilai kekuatan dan kelemahan diri dan sadar dengan niat
muncul di dalam diri. Dimensi ini merupakan asas atau prasyarat yang perlu ada
sebelum dimensi-dimensi yang lain. (ii) Kemampuan mengendalikan diri adalah
kemampuan seseorang untuk mengendalikan perasaan yang sedang bermain dalam
dirinya, selalu jujur dan bertanggung jawab dalam melakukan sesuatu, fleksibel
dengan perubahan dan mau menerima ide baru dari siapa saja tanpa diiringi dengan
perasaan negatif. (iii) Motivasi merupakan kecenderungan emosi dalam membimbing
seseorang untuk mencapai suatu tujuan. Selalu bersemangat mencapai keberhasilan,
mempunyai komitmen yang tinggi dalam mencapai tujuan yang ditetapkan,
mempunyai sikap proaktif dan senantiasa merebut peluang, serta senantiasa
istiqamah dalam mewujudkan tujuan yang telah ditetapkan, walaupun terdapat
pelbagai tantangan dalam mewujudkan tujuan tersebut. (iv) Empati merupakan
kemampuan menyadari perasaan, keperluan dan kehendak, serta masalah yang
dirasakan oleh orang lain. Mampu mengembangkan potensi orang lain, dan
senantiasa berkeinginan untuk memenuhi keperluan orang lain. Kemampuan empati
ini sangat penting dalam membentuk hubungan yang harmonis dengan orang lain,
baik dalam organisasi maupun dalam masyarakat. Tanpa kemahiran empati, menurut
Goleman (1995, 1999) sukar bagi seseorang untuk berhasil dalam melaksanakan
dimensi kelima yiaitu keterampilan sosial. (v) Keterampilan sosial merupakan
kemahiran mencetuskan respons yang dikehendaki dari orang lain. Menggunakan
cara yang efektif untuk berinteraksi dengan orang lain, mampu menerima dan

6
7

menyampaikan pesan dengan penuh keyakinan dan mampu menyelesaikan konflik


dengan baik.

Setelah dilakukan penelitian oleh pakar Asia Noriah et al. (2002 hingga 2004)
konsep EQ yang dikemukakan oleh Goleman akhirnya dilengkapi dengan dua
dimensi baru. Dua dimensi tersebut adalah kerohanian (spirituality) dan kematangan
(maturity). Kedua dimensi tersebut bersesuaian dengan seting dan budaya Asia.
Dengan adanya penambahan dua dimensi tersebut maka konsep tersebut diistilahkan
dengan konsep “EQ Goleman-Noriah (2004)”. Dimensi kerohanian menggambarkan
tentang keredhaan, tanggungjawab terhadap pencipta dan kemampuan menghayati
nilai-nilai agama. Keredhaan didefinisikan sebagai kemampuan seseorang untuk
menerima dengan hati yang tulus nilai-nilai yang digariskan oleh agama masing-
masing. Nilai agama tersebut selalu dijadikan panduan dalam menjalani kehidupan
sehari-hari. Tanggungjawab seseorang terhadap penciptanya membantu individu
tersebut dalam melaksanakan sesuatu, dan keadaan ini mampu memberikan
semangat terhadap seseorang untuk terus bekerja dalam rangka smencari keredhaan.

Sedangkan dimensi kematangan menggambarkan aspek usia, pengalaman dan


pengetahuan serta pengaruhnya terhadap kecerdasan emosional. Penelitian Noriah et
al. (2004) menunjukan bahwa seseorang biasanya menjadi lebih matang apabila
usianya bertambah. Kematangan ini digambarkan dengan kemampuan seseorang
untuk mengendalikan tingkah lakunya. Peningkatan usia membantu seseorang untuk
melakukan introspeksi diri dalam rangka melihat kelemahan dan kekuatan diri. Dari
aspek pengalaman pula Noriah et al (2004) mengatakan bahwa seseorang yang
mempunyai pengalaman positif, dapat mengendalikan emosi dengan baik di tempat
kerja berbanding dengan seseorang yang kurang berpengalaman. Pengalaman juga
membantu seseorang untuk belajar dan seterusnya menggunakan hasil pembelajaran
tersebut dalam kehidupanya. Justeru, kematangan seseorang juga dapat dilihat
melalui kemampuan seseorang tersebut untuk belajar dari pengalaman masa lalunya.
Dengan perkataan lain dirinya mampu menjadikan pengalaman hidupnya sebagai
contoh dan tauladan dalam menjalani kehidupan berikutnya.

E. Metodologi Penelitian

Penelitian ini dijalankan menggunakan kaedah gabungan ”explanatory mixed


methods desings” yang dijalankan melalui dua fase. Fase pertama menggunakan
pendekatan kuantitatif (Cross Sectional Survey Designs) dan fase kedua
menggunakan pendekatan kualitatif (case study). Penggabungan dua pendekatan ini
membolehkan peneliti mendapatkan data yang lebih komprehensif untuk
mendapatkan gambaran tentang profil dan kepentingan EQ di kalangan guru-guru
yang diteliti (Creswell 2007; Wiersma 2000). Penggabungan dua pendekatan ini juga
dapat memberikan gambaran yang lebih terperinci tentang masalah yang diteliti
Creswell 2005; Mils & Airasian 2006; Creswell 2007). Mereka juga menyatakan
bahwa penggunaan pendekatan gabungan ini mempunyai kelebihan tersendiri dalam
mengumpul dan menganalisis data, sehingga yang dapat menghasilkan sebuah
penelitian yang lebih kukuh dan berkualitas.

7
8

Sampel fase pertama penelitian ini dipilih secara acak (simple random
sampling) yaitu semua guru-guru yang mengajar di MAN dan MTsN di Bandar
lampung mempunyai peluang untuk dipilih sebagai sampel penelitian. Data fase
pertama ini dikumpulkan menggunakan angket Malaysian Emotional Quoetient
Inventory (MEQI) yang disusun oleh Noriah et al. (2004). Seterusnya dianalisis
secara deskriptif berbantukan software Statistics Package for Social Science (SPSS)
versi 16.0. Sedangkan pada fase kedua informan penelitian dipilih menggunakan
kaedah ”porposive sampling” yaitu teknik pengambilan subjek penelitian
berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tertentu. Pertimbangan dimaksudkan dalam
penelitian ini adalah informan yang dipilih diandaikan dapat memberikan data secara
komprehensif tentang penelitian ini. Pada fase ini data dikumpulkan melalui
wawancara (indepth & focus groups interview), seterusnya data yang diperolehi
dianalisis secara thematic berbantukan software Nvivo 8.

F. Hasil Penelitian

Seperti disentuh sebelum ini, penelitian ini coba menjawab dua persoalan
berikut: (i) Bagaimanakah profil kecerdasan emosional (EQ) guru-guru yang
dilibatkan dalam penelitian ini? (ii) Bagaimanakah pandangan guru-guru tentang
kepentingan kecerdasan emosional (EQ) dalam dunia pendidikan?

(i) Profil Kecerdasan Emosi (EQ) Guru-guru


Hasil penelitian menunjukkan bahwa profil kecerdasan emosional guru-guru yang
diteliti adalah tinggi pada domain spritualitas (Min=94.01) dan kematangan
(Min=91.29), dan agak rendah pada domain lain, yaitu kesadaran terhadap diri
sendiri (Min=72.91), kemampuan mengendalikan diri (Min=68.81), motivasi
(Min=76.54), empati (Min=77.06), dan sosial skill (Min=70.40). Berdasarkan EQ
Index Interpretation yang dikemukakan oleh Noriah (2007) domain yang rendah
tersebut boleh dianggap telah dimiliki oleh seseorang, namun domain itu masih
belum konsisten dalam diri seseorang itu. Noriah (2007) menyatakan akan lebih baik
apabila domain tersebut dapat ditingkatkan lagi karena dapat membantu guru-guru
dalam mengembangkan potensi mereka untuk menjadi guru-guru yang lebih
profesional.

(ii) Pandangan guru-guru tentang kepentingan kecerdasan emosional (EQ)


dalam dunia pendidikan

Hasil penelitian ini menunjukkan secara umumnya guru-guru yang diteliti


menyatakan bahwa kecerdasan emosional (EQ) itu penting bagi mereka. Mereka
menyatakan dengan kecerdasan emosional (EQ) mereka dapat menyadari dengan
lebih mendalam tentang fungsi mereka sebagai seorang guru. Dalam penelitian ini
guru-guru tersebut menyatakan dengan istilah “rolle function” ataupun tahu dengan
fungsi yang diemban. Berikut ini adalah pengalaman yang dinyatakan oleh guru-guru
tersebut. Seperti dinyatakan oleh beberapa orang guru (Guru 2 dan Guru 1). Guru1
dan Guru2 menyatakan sebagai seorang guru mestilah menyadari bahwa dirinya
adalah sebagai guru. Setiap perkataan, perbuatan dan tingkah laku guru menjadi

8
9

perhatian dan contoh bagi orang lain, seperti yang dinyatakan dalam petikan di
bawahini:

Guru1: …sadar tentang peranan “role function” jadi kalau di rumah kita sadar
peranan kita sebagai bapak/ibu, kalau dengan anak-anak kita dapat
menyesuaikan hubungan bapak/ibu dengan anak. Bila berhadapan
dengan teman sejawat, tidak ada hubungan antara bapak dengan anak
lagi sebab ini antara teman sejawat…ini menunjukkan kita sadar
dengan peranan kita.
Guru2: Di sekolah kita dapat mengontrol diri dengan baik, orang memandang
kita sebagai seorang pendidik. Apa yang kita katakan, tingkahlaku
kita, senyum kita perlu dijaga sebab kita sebagai seorang model di
sekolah.

Pandangan yang hampir sama juga dinyatakan oleh Guru5 bagaimana dirinya
coba “menyedari” tentang peranannya sebagai seorang pendidik, bagi dirinya sadar
dengan role function bermakna dapat memberikan komitmen sepenuhnya terhadap
tanggungjawab yang telah diamanahkan. Yang paling menarik daripada pernyataan
ini adalah dia mampu memperoleh keberhasilan dalam profesinya lebih cepat
berbanding dengan teman-teman yang lain. Bagi dirinya sadar dengan role function
menjadikan dirinya fokus dalam bidang dan karir yang digeluti, seperti mereka
nyatakan dalam petikan interview berikut ini:

Guru5: …Jadi saya lihat dalam pendidikan ini apakah tangga-tangga yang
perlu saya perhatikan... saya selalu melihat apa yang diperlukan untuk
menjadi seorang pendidik yang baik. O... rupanya tidak cukup hanya
dengan mengajar saja,.. jadi saya fokus dengan bidang saya bukan
dalam artian sebagai seorang tenaga pengajar di sekolah tetapi saya
meletakan diri saya sebagai seorang pendidik.

Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa komponen penting lain yang
dinyatakan oleh guru agar mereka senantiasa dapat memahami siswa mereka.
Komponen-komponen tersebut adalah “perhatian terhadap siswa dan fleksibel
apabila berhadapan dengan siswa”. Pernyataan guru tentang perhatian disampaikan
dengan istilah “perihatin, mendahulukan siswa dan carring”. Seperti dinyatakan oleh
Guru4, sebagai seorang guru dia selalu mengingatkan teman sejawatnya untuk
memperhatikan siswa yang berada di sekolah, ini menunjukkan bahwa sebagai
seorang guru mestilah perhatian terhadap siswa. Guru8 juga menyatakan beliau coba
memahami siswanya dengan cara mendahulukan kepentingan siswa tersebut. Bagi
dirinya menjadi seorang guru tidak obahnya seperti seorang ayah yang senantiasa
mendahulukan kepentingan orang-orang di bawah jagaannya, seperti dinyatakan
pada petikan di bawah ini:

Guru4: …saya minta kepada guru-guru agar diperhatikan ada gak siswa-siswa
yang tidak makan pagi, yang miskin tidak makan pagi. Ada gak kita
lihat siswa-siswa yang datang dengan pakaian yang tidak rapi,
semraut... beginilah kita mendidik. Kita memanusiakan manusia mesti
ada perhatian.
Guru8: ...saya dahulukan kepentingan orang, saya merasa kita guru ini seperti
bapak, kalau kita makan dulu anak kita kelaparan...ketika saya jadi
kepala dulu banyak groups work, saya dulukan kepentingan group...

9
10

saya.

Hasil penelitian yang dipaparkan di atas menunjukkan pandangan guru-guru


tentang kepentingan kecerdasan emosional bagi mereka dalam dunia pendidikan.
Walaupun guru-guru menyatakan dalam redaksi yang berbeda, namun secara
umumnya bahasa yang mereka gunakan menunjukkan persetujuan mereka tentang
pentingnya kecerdasan emosional tersebut dalam dunia pendidikan.

G. Pembahasan dan Implikasi Penelitian

Guru merupakan profesi yang sangat mulia berperan mendidik dan


membimbing ke arah yang lebih baik. Untuk mendidik dan membimbing, guru perlu
memiliki ciri-ciri tersendiri yang mungkin tidak sama dengan profesi lain. Guru perlu
mengusai bidang kepakaranya dengan baik, dan guru juga perlu menguasai ilmu dan
keterampilan tentang cara-cara yang dapat membuatkan suasana pengajaran yang
lebih efektif (McNergney dan Herbert 1998; Mohd. Sani 2002; Kamarul Azmi & Ab.
Halim 2008). Justeru, ciri kedua ini mengisyaratkan guru perlu kepada ilmu
psikologi, agar tugas mendidik dapat dilaksanakan dengan lebih efektif.

Seperti disentuh sebelum ini guru yang baik adalah guru yang senatiasa
mengutamakan akhlak siswanya. Guru tidak hanya mementingkan nilai akademik
siswa, tetapi mereka mendidik secara seimbang (Tajul Arifin & Nor ’Aini Dan 2002;
Kamarul Azmi & Ab. Halim 2008). Guru profesional selalu siap meningkatkan
kualitas dan prestasi diri melalui latihan profesionalisme (Tajul Arifin & Nor ’Aini
Dan 2002; Rohaty 2002; Mohd. Sani, Izham & Jainabee 2008). Rohaty (2002)
mengemukakan beberapa ciri kepribadian guru untuk membantu mereka
memanifestasikan cita-cita pendidikan, seperti guru mestilah bersikap ramah, humor,
memiliki sifat empati, suka belajar, amanah, bertanggungjawab dan mempertahankan
etika profesi. Bila dikaitkan dengan penelitian-penelitian psikologi (Goleman
1995,1999; Skovholt & D'rozario 2000; Mohd Najib 2000; Noriah et al. 2001; Ary
Ginanjar 2005; Zuria & Noriah 2003, Noriah & Siti Rahayah 2003; Noriah,Syed
Najmuddin & Syafrimen 2003; Wan Ashibah 2004; Syafrimen 2004; Noriah et al.
2004; Syed Najmuddin 2005 & Zurinah 2007; Syarimen 2010) menunjukkan
keterampilan guru dalam aspek psikologi, seperti keterampilan EQ perlu
ditingkatkan untuk tujuan memperkukuhkan ciri-ciri yang disebutkan itu.
Keterampilan EQ dimaksudkan adalah seperti kesadaran guru terhadap diri sendiri,
kemampuan guru mengendalikan diri, selalu memotikan diri, empati, memiliki
keterampilan bersosial yang baik, memiliki kekuatan spritual dan selalu belajar
melalui pengalaman yang disebut dengan istilah kematangan.

Menurut Dadang Hawari (2003) pendidik yang memiliki EQ yang tinggi


mampu mengendalikan diri dengan baik, sabar dalam mendidik, tekun, tidak mudah
bertindak secara agresif apa lagi sampai mencederakan siswa, serta senantiasa
berfikiran positif dalam menjalankan tugas sebagai pendidik. Menurut beliau untuk
memperoleh EQ yang tinggi individu sepatutnya mendapatkan bimbingan semenjak
dari dini, cara yang paling sederhana adalah melalui contoh tauladan yang
ditunjukkan oleh ibubapak di rumah. Ketika memasuki alam persekolahan, murid
dan siswa banyak menghabiskan waktunya di sekolah, untuk itu guru-guru

10
11

sepatutnya tidak hanya pandai memindahkan ilmu pengetahuan tetapi juga dapat
memberikan contoh tauladan yang baik kepada murid dan siswa mereka (Tajul
Ariffin & Nor’Aini Dan 2002; Kamarul Azmi & Ab. Halim 2008). Justeru guru yang
memiliki EQ selalu dapat mengontrol tingkah laku yang dapat merugikan diri sendiri
dan juga orang lain (Dadang Hawari 2003; Noriah, Syed Najmuddin & Syafrimen
2003;Syed Najmuddin 2005).

Al-Ghazali mengelompokan manusia kepada empat kelompok besar, dalam


penelitian ini dikaitkan dengan suasana seorang pendidik. Pertama, adalah ”guru
yang tahu, dan dia tahu kalau dirinya tahu”. Menurut Ghazali individu seperti ini
memang sesuai memilih profesi sebagai seorang guru. Kedua, ”guru yang tidak tahu,
dan tahu kalau dirinya tidak tahu”. Menurut beliau ini adalah menunjukkan
kepribadian guru yang arif. Guru seperti ini berpeluang untuk menjadi seorang guru
yang baik, karena selalu mau belajar hal-hal yang tidak diketahui. Ketiga, guru yang
tahu tetapi dia tidak tahu kalau dirinya tahu”. Guru seperti ini perlu diingatkan bahwa
dirinya mempunyai petensi yang bisa dimanfaatkan untuk mendidik dengan lebih
efektif. Guru seperti ini biasanya memerlukan dukungan dari lingkunganya agar
dapat menggunakan potensi yang dimiliki secara maksimal. Keempat, ”guru yang
tidak tahu tetapi dia tidak tahu kalau dirinya tidak tahu” ini adalah kategori guru
yang egois yang senantiasa melihat dirinya sebagai seorang yang hebat, tidak mau
menerima pandangan orang lain, dan tidak tahu dengan kekurangan yang ada dalam
dirinya. Guru pertama dan kedua merupakan ciri-ciri guru yang memiliki EQ yang
tinggi. Guru ketiga adalah guru yang telah memiliki EQ tetapi masih memerlukan
latihan agar mereka dapat mengenal dengan baik potensi yang dimiliki dalam
dirinya. Sedangkan guru keempat adalah guru yang menunjukkan EQ yang rendah,
sekiranya tidak diingatkan, kemungkinan kelompok guru seperti ini tidak dapat
mendidik secara maksimum sesuai dengan profesi guru tersebut sebagai seorang
pendidik (Noriah, Siti Rahayah 2008).

Hasil penelitian ini menunjukkan terdapat dua dimensi EQ (spritualitas &


kematangan) yang memperoleh skor yang tinggi, dari tujuh dimensi EQ seperti
dipaparkan sebelum ini. Ini menggambarkan bahwa masih terdapat dimensi-dimensi
yang perlu diberikan perhatian di kalangan guru-guru, karena dimensi tersebut
merupakan dimensi penting yang mesti dimiliki oleh seorang guru (Wan Mohd Zahid
1993; Tajul Ariffin & Nor’Aini Dan 2002; Rohaty 2002; Abd. Rahman 2002; Noriah
2004 et al.; Kamarul Azmi & Ab. Halim 2008). Dimensi-dimensi tersebut adalah
kesadaran terhadap diri sendiri, kemampuan mengendalikan diri, motivasi, empati
dan keterampilan sosial. Secara tidak langsung penelitian ini menggambarkan masih
terdapat sebagian guru yang belum mengamalkan sepenuhnya etika kerja profesi
yang menjadi pilihan mereka. Pertanyaan yang dapat dimunculkan adalah apakah
yang akan terjadi sekiranya guru kurang menyadari bahwa dirinya adalah sebagai
seorang guru? Apakah yang akan terjadi sekiranya guru kurang memiliki rasa
empati, dan seterusnya? Kamarul Azmi & Ab. Halim (2008) menyatakan bahwa guru
perlu berusaha meletakan dirinya pada kedudukan yang lebih baik dan terhormat di
mata murid dan siswa, ini karena guru merupakan contoh tauladan, bukan hanya
kepada murid dan siswa mereka, malah kepada ibubapak dan masyarakat
sekelilingya (Tajul Ariffin & Nor’Aini Dan 2002). Supaya guru-guru dapat bertindak
seperti itu, dimensi-dimensi EQ justeru dapat membantu mereka. Untuk memastikan
mereka dapat memahami kepentingan dimensi EQ itu, maka latihan secara

11
12

berkesinambungan juga perlu dilakukan, baik latihan secara peribadi maupun secara
organisasi.

12
13

RUJUKAN

Al-Quran dan terjemah. 2005. Jakarta: Al-Huda.

Creswell, J. W. 2005. Research design: qualitative and quantitave approaches.


Thousand Oaks: SAGE Publication.

Creswell, J. W. 2007. Research design: qualitative and quantitave approaches.


Thousand Oaks: SAGE Publication.

Ginanjar, A. A., 2005. Rahasia sukses membangun kecerdasan emosional dan


spiritual (ESQ); the ESQ way 165, New Edition. Jakarta: Arga.

Goleman. D. 1995. Emotional intelligence: Why it can matter more than IQ. New
York: Bantam Books.

Goleman. D. 1999. Working with emotional intelligence. New York: Bantam Books.

Hawari, D. 2003. IQ, EQ, CQ & SQ. Kriteria sumber daya manusia (pemimpin)
berkualaitas. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Kamarul Azmi, J. & Ab. Halim, T. 2008. Pendidikan islam kaedah pengajaran dan
pembelajaran. Johor: Universiti Teknologi Malaysia.

Lampung Post. Jum'at, 26 November 2010. Guru bersetifikat tidak lebih baik.

Mcnergney, R.F. & Herbert, J.M. 1998. Foundation of Education. USA; Allyn &
Bacon.

Mohd. Sani Ibrahim. 2002. Etika perkhidmatan guru. Selangor: Fakulti Pendidikan,
Universiti Kebangsaan Malaysia.

Mok Soon,S. 1992. Panduan latihan UKELP bahagian am. Kuala Lumpur:
Kumpulan Budiman. SDN. BHD.

Noriah, M.I., Ramlee, M. & Norehah, K. (2002). Personality profile of technical and
non-technical students. International Journal of Vocational Education and
Training, 10(2), 61-72.

Noriah M.I, Zuria Mahmud. 2003. Kepintaran Emosi di Kalangan Pekerja di


Malaysia. Prosiding IRPA- RMK-8 Kategori EAR. Jilid 1: 184-187.

Noriah et al. 2004. Manual Iventori Kecerdasan Emosi Malaysia, IKEM (D). versi 2.
Fakulti Pendidikan Universiti Kebangsaan Malaysia.

Parson, M & Stephenson, M. 2005. Developing reflective in student teachers:


collaboration and critical partnerships.

13
14

Rohaty, M. 2002. Identiti guru; Isu cabaran dan halatuju. Kertas Kerja Prosiding
Seminar Profesion perguruan. Selangor: Fakulti Pendidikan Universiti
Kebangsaan Malaysia.

Skovholt, T. & D’Rozario, V. 2000. Portraits of outstanding and inadequate teachers


in Singapore: The impact of emotional intelligence. Teaching and Learning.
21(1): 9-17.

Syafrimen. 2004. Profil kecerdasan emosi guru-guru sekolah menengah Zon Tengan
Semenanjung Malaysia. Kertas Projek Sarjana. Universiti Kebangsaan
Malaysia.

Syafrimen. 2010. Pembinaan modul EQ untuk latihan kecerdasan emosi guru-guru di


Malaysia. Disertasi Doktor Falsafah. Selangor: Universiti Kebangsaan
Malaysia.

Syed Najmuddin, S. H. 2005. Hubungan antara faktor kecerdasan emosi,nilai kerja


dan prestasi kerja di kalangan guru Maktab Rendah Sains Mara. Tesis Doktor
Falsafah. Selangor: Universiti Kebangsaan malaysia.

Tajul Ariffin Noordi dan Nor’ Aini Dan. 2002. Pendidikan & pembangunan manusia:
pendidikan bersepadu. Bandar Baru Bangi: As-Syabab Media.

Wan Ashiba. 2004. Kecerdasan emosi di kalangan guru sekolah menenga berasrama
penuh dan sekolah harian. Kertas projek Sarjana. Universiti Kebangsaan
malaysia.

Wiersma, W.2000. Research metodh in education: an introduction. Needham


Heights: Allyn and Bacon.

Zurinah, I. 2005. Profil kepintaran emosi dalam kalangan guru pelatih. Kertas kerja
yang dibentangkan dalam Seminar Pendidikan Khas, Universiti Kebangsaan
Malaysia, Bangi.

14
Competitiveness
p-ISSN: 1978-3035 – e-ISSN: 2775-4677
Vol. 10, Nomor 1 | Januari – Juni, 2021

PENGARUH KECERDASAN SPRITUAL, KECERDASAN


INTELEKTUAL, DAN KECERDASAN EMOSIONAL
TERHADAP KINERJA GURU
DI SMP ISLAM ATHIRAH 1 MAKASSAR

Nilamartini 1) Andi Sukri Syamsuri 2) Edi Jusriadi 3)


1)
Magister Manajemen Universitas Muhammadiyah Makassar
email: nila.martini80@gmail.com
2)
Magister Manajemen Universitas Muhammadiyah Makassar
email: andhies71@yahoo.com
3)
Magister Manajemen Universitas Muhammadiyah Makassar
email: edi.jusriadi@unismuh.ac.id

Abstract

The purpose of this research is to know and analyze the influence of spritual, intellectual and emotional
intelligence on the performance of teachers of Smp Islam Athirah 1 Makassar and to know and analyze the
variables that have the dominant effect. This research uses quantitative research. The population in this study
was a teacher of SMP Islam Athirah 1 Makassar, a population of 31 people. Sample withdrawal techniques are
saturated samples or total sampling. The instruments used in this study were questionnaires then processed
using SPSS 21.0 program by descriptive analysis, data validation and reliability test, and multiple regression
test which includes partial test (t test) and simultaneous test (F test). The results showed that spritual
intelligence has a significant positive effect on teacher performance, intellectual intelligence has a significant
negative effect on teacher performance, emotional intelligence has a positive and significant effect on teacher
performance, spritual intelligence has a dominant effect on teacher performance compared to variable
intellectual intelligence and emotional intelligence.

Keywords: spritual intelligence, intellectual intelligence, emotional intelligence and performance

Abstrak

Tujuan penelitian ini untuk mengetahui dan menganlisis pengaruh kecerdasan spritual,intelektual dan
emosional terhadap kinerja guru SMP Islam Athirah 1 Makassar serta untuk mengetahui dan menganalisis
variabel yang berpengaruh dominan. Penelitian ini menggunakan penelitian kuantitatif. Populasi dalam
penelitian ini adalah guru SMP Islam Athirah 1 Makassar, jumlah populasi 31 orang. Teknik penarikan
sampel adalah sampel jenuh atau total sampling. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah
kuesioner kemudian diolah menggunakan program SPSS 21.0 dengan cara analisis deskriptif, uji validasi
dan reliability data, dan uji regresi berganda yang meliputi pada uji parsial (uji t) dan uji simultan (u ji F).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa Kecerdasan spritual berpengaruh positif signifikan terhadap kinerja guru,
kecerdasan intelektual berpengaruh negatif signifikan terhadap kinerja guru, kecerdasan emosional berpengaruh
positif dan signifikan terhadap kinerja guru, kecerdasan spritual berpengaruh dominan terhadap kinerja guru
dibandingkan dengan variable kecerdasan intelektual dan kecerdasan emosional.

Kata Kunci: kecerdasan spritual, kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional dan kinerja

1. PENDAHULUAN

Keberhasilan atau kegagalan pendidikan di sekolah bergantung pada kinerja guru, kepala
sekolah, dan pengawas karena komponen tersebut merupakan kunci yang menentukan serta
menggerakan berbagai komponen dan dimensi sekolah yang lain. Baik buruknya komponen lain
dalam sekolah ditentukan oleh kinerja guru, kepala sekolah, dan pengawas sekolah.
Namun, diantara guru, kepala sekolah dan pengawas sekolah, guru adalah merupakan salah
satu kunci utama atau faktor penting dalam sistem pendidikan, khususnya di sekolah. Semua
komponen lain, seperti kurikulum, sarana-prasarana, pembiayaan, dan yang lainnya tidak akan
banyak berarti apabila esensi dari pembelajaran yaitu interaksi guru dengan peserta didik (siswa)

1
Competitiveness
p-ISSN: 1978-3035 – e-ISSN: 2775-4677
Vol. 10, Nomor 1 | Januari – Juni, 2021
tidak berkualitas. Semua komponen lain tersebut di atas, terutama kurikulum akan “menjadi
hidup” apabila dilakukan oleh guru/peran guru.
Begitu pentingnya peran seorang guru dalam mentransformasikan input-input pendidikan,
sehingga banyak pakar menyatakan bahwa di sekolah tidak akan pernah ada perubahan atau
peningkatan kualitas pendidikan tanpa adanya perubahan dan peningkatan kualitas dari guru itu
sendiri. Kinerja organisasi (sekolah) ditentukan oleh kinerja individu (guru) dalam artian bahwa
keberadaan guru dalam sebuah sekolah akan mampu meningkatkan kinerja sekolah itu sendiri namun
tentunya guru juga harus memiliki kinerja yang baik. Kepala sekolah mestinya memperhatikan
kecerdasan spritual, kecerdasan intelektual, dan kecerdasan emosional guru karena hal tersebut
mampu mempengaruhi kinerja guru.
Melalui penelitian ini peneliti akan menjelaskan tentang tiga variabel yang dapat
mempengaruhi kinerja guru dalam sebuah sekolah. Ketiga variabel tersebut yakni kecerdasan spritual,
kecerdasan intelektual, dan kecerdasan emosional, menurut hasil penelitian Apriliani Dewi
Kurniawati, Hadi Sunaryo, dan Achmad Agus Priyono (2018) dapat mempengaruhi peningkatan
kinerja guru.
Kecerdasan spritual berhubungan bagaimana cara mengeksplorasi suasana spritual yang
dimiliki oleh guru sehingga seorang guru mau bekerja sesuai atau berdasarkan kekuatan spritual yang
ia miliki. Kecerdasan spiritual berarti kemampuan manusia untuk dapat mengenal dan
memahami diri sepenuhnya sebagai mahkluk spiritual maupun sebagai bagian dari alam semesta.
Dengan memiliki kecerdasan spiritual berarti kita memahami sepenuhnya dan hakikat kehidupan
yang akan dituju.
Berdasarkan beberapa referensi yang telah dibaca sebelumnya, peneliti mengambil kesimpulan
bahwa kecerdasan spiritual adalah kecerdasan yang membangun manusia secara utuh untuk
menghadapi dan memecahkan persoalan makna kehidupan untuk menilai bahwa tindakan yang
dilakukan atau jalan hidup seseorang lebih bermakna dibandingkan dengan yang lain.
Secara faktual (das sein) di SMP Islam Athirah 1 Makassar ada sebuah value atau nilai yang
menjadi tolok ukur untuk mengukur tingkat spritualitas para guru, nilai tersebut dikenal dengan istilah
“Jalan Kalla”. Secara teknis Value “Jalan Kalla” tersebut dibuat dalam bentuk google form dan link-
nya dikirimkan kepada masing-masing guru untuk diisi setiap harinya. Berdasarkan hasil pengisian
tersebut, nilai-nilai spritualitas guru secara kuantitaif dapat terukur. Data terakhir pada semester lalu
menunjukkan nilai spritualitas guru berada pada angka 62% dari target capaian yaitu 75% artinya
bahwa menurut peneliti angka capaian tersebut masih dianggap perlu untuk ditingkatkan setidaknya
sama dengan target yaitu 75%.
Kecerdasan intelektual yang menurut Robbins & Judge (2008:57), bahwa kecerdasan
intelektual adalah merupakan kecerdasan untuk menerima, menyimpan, dan mengolah informasi
menjadi fakta. Kecerdasan intelektual adalah kemampuan yang dibutuhkan untuk melakukan
berbagai aktivitas mental berpikir, menalar, dan memecahkan masalah. Menurut peneliti kecerdasan
intelektual merupakan kemampuan seorang guru untuk memperoleh pengetahuan, menguasai dan
menerapkan pengetahuannya dalam menghadapi persoalan.
Berdasarkan hasil observasi awal peneliti, di SMP Islam Athirah 1 Makassar memiliki
instrumen untuk mengukur tingkat intelektual para guru, instrumen tersebut yaitu Uji Kompetensi
Guru (UKG) yang dilakukan sekali dalam satu tahun. Berdasarkan hasil Uji Kompetensi tersebut dari
31 jumlah guru yang dinilai terdapat 14 guru (45,16%) yang masih berada di bawah standar artinya
bahwa hampir seperdua dari jumlah guru yang memiliki nilai dibawah standar. Perlu peneliti
sampaikan bahwa standar yang digunakan oleh SMP Islam Athirah 1 Makassar adalah standar 80 dari
interval 10-100. Hal itulah yang membuat peneliti tertarik untuk meneliti kecerdasan intelektual guru
dengan harapan bahwa kecerdasan intelektual guru tersebut dapat meningkat sebagaiman standar yang
sudah ditentukan yakni angka 80.
Kecerdasan emosional, Istilah kecerdasan emosional pertama kali dilontarkan pada tahun 1990
oleh psikolog Salovey dari Harvard University dan Mayer dari University of New Hampshire.
Berdasarkan hasil bacaan peneliti tentang defenisi kecerdasan intelektual, dapat ditarik
kesimpulan bahwa kecerdasan emosional adalah jenis kecerdasan yang fokusnya memahami,
mengenali, merasakan, mengelola dan memimpin perasaan sendiri dan orang lain serta
mengaplikasikannya dalam kehidupan pribadi dan sosial.

2
Competitiveness
p-ISSN: 1978-3035 – e-ISSN: 2775-4677
Vol. 10, Nomor 1 | Januari – Juni, 2021
Hasil pengamatan peneliti di SMP Islam Athirah 1 Makassar menunjukkan bahwa kecerdasan
emosional guru masih perlu untuk ditingkatkan, hal ini disebabkan guru belum sepenuhnya
mengamalkan kompetensi inti yang dimiliki yakni Integrity, Team Building, Driving Performance,
dan Customer Focus. Contoh kasus misalnya masih ada guru yang memiliki rasa empati yang rendah,
hal ini menurut peneliti terdapat sesuatu yang harus ditemukan jawabannya apa yang menjadi
penyebab guru tersebut memiliki rasa empati yang rendah. Sehingga harapannya adalah rasa empati
yang rendah tersebut dapat ditingkatkan sebagaimana mestinya.
Fakta yang terjadi di SMP Islam Athirah 1 terkait dengan kinerja guru yaitu bahwa secara
umum guru memiliki kinerja yang baik hal itu dapat dilihat dari penguasaan terhadap 4 (empat)
kompetensi guru, yaitu: kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan
kompetensi profesional. Hasil pengukuran internal yang dilakukan oleh SMP Islam Athirah 1
terhadap ke empat kompetensi tersebut menunjukkan bahwa nilai yang diperoleh guru berkaitan
dengan kinerjanya berada di atas angka yang ditargetkan. Hal ini berarti bahwa kinerja guru dari segi
penilaian kompetensi guru sudah baik. Namun, peneliti ingin menguji atau melihat kembali kinerja
guru secara spesifik jika dikaitkan dengan kecerdasan spritual, kecerdasan intelektual, dan kecerdasan
emosional, meskipun sebenarnya ketiga kecerdasan tersebut telah terinternalisasi ke dalam 4 (empat
kompetensi dasar guru namun sekali lagi peneiti ingin menguji secara spesifik mengenai ketiga
variabel ini yakni kecerdasan spritual, kecerdasan intelektual, dan kecerdasan emoaional terhadap
kinerja guru.

2. KAJIAN PUSTAKA

a. Manajemen Sumber Daya Manusia


Perkembangan studi manajemen ternyata tidak semata-mata pada pencapaian tujuan organisasi
saja, tetapi telah berkembang lebih jauh meliputi sikap mental, moral dan etika para pelaku organisasi,
dalam mencapai tujuan. Sedangkan Sumber Daya Manusia (SDM) yang dalam istilah lain sering
disebut dengan manpower merupakan manusia atau orang-orang yang bekerja di lingkungan
organisasi yang sering juga disebut dengan personil, tenaga kerja, pekerja atau karyawan (Nawawi
2005 : 40).
Kesimpulannya bahwa SDM adalah salah satu faktor yang terdapat dalam organisasi yang
meliputi semua orang yang melakukan aktifitas (Gomes, 2001 :1). Setelah kita memahami pengertian
manajemen dan Sumber Daya Manusia secara lengkap, selanjutnya akan dijelaskan apa dan
bagaimana Manajemen Sumber Daya Manusia, yang dalam perkembangannya di beberapa tulisan para
ahli sebagai pengganti istilah manajemen personalia, manajemen kepegawaian atau administrasi
kepegawaian.
Sementara itu Decenzo (2013:448) dengan tujuan yang sama tetapi dalam istilah yang berbeda
mengatakan ada empat fungsi MSDM, yaitu:
 Penerimaan karyawan secara selektif dengan perencanaan yang matang.
 Training dan pengembangan untuk mempersiapkan SDM bekerja, mereka perlu mengetahui
aturan-aturan organisasi, kebiasaan dan tujuan organisasi.
 Memotivasi yaitu "merangsang SDM untuk berkarya, ini berhubungan dengan aspek
kemanusiaan yang kompleks.
 Maintenance, untuk membangun karyawan sehingga dia dapat betah dan bertahan dalam sebuah
organisasi, fungsi pokok MSDM dilaksanakan dalam bingkai dan sangat dipengaruhi oleh
dinamika lingkungan, peraturan-peraturan pemerintah, teori manajemen dan lingkungan global
(Decenzo, 1999:9).

b. Human Resources Development


Human resource development (HRD) merupakan bagian dari Manajemen Sumber Daya
Manusia dan dapat pula menjadi fungsi yang berdiri sendiri. Pengembangan Sumber Daya Manusia
memiliki tiga fungsi utama, yaitu: 1) pelatihan dan pengembangan, 2) pengembangan organisasi, dan
3) pengembangan karier.

3
Competitiveness
p-ISSN: 1978-3035 – e-ISSN: 2775-4677
Vol. 10, Nomor 1 | Januari – Juni, 2021
1) Paradigma Human Resources Development
Menurut Swanson dan Holton III dan John Garder (Kasman, 2015:109) yang dikutip kembali
dalam buku Human Capital Development bahwa human resource development (HRD) perlu memiliki
paradigma atau kerangka acuan pengembangan yang dijabarkan dalam tiga paradigma, yaitu: (1)
paradigma pembelajar, (2) paradigma kinerja, dan (3) paradigma dalam memandang pekerjaan.
Ketiga paradigma dalam pengembangan Sumber Daya Manusia dapat dijelaskan sebagai berikut:
a) Paradigma Pembelajar
Paradigma pembelajar menurut Watkins (Swanson dan Holton III, 2001), bahwa “HRD is the
field of study and practice responsible for the fostering of a long term work-related learning capacity
at the individual, group, and organizational level of organizations”.
Bermakna bahwa human resource development (HRD) diperlukan untuk membantu
meningkatkan kapasitas individu, kelompok dan organisasi dalam hal pembelajaran/memahami
permasalahan. Human resource development (HRD) memiliki peran dalam memfasilitasi
pembelajaran individu baik melalui pendidikan formal meupun pendidikan non-formal.
b) Paradigma Kinerja
Paradigma kinerja menurut Swanson dan Holton III (2001) didefenisikan sebagai; “The
performance paradigm of HRD holds that the purpose of HRD is to advance the mission of the
performance system the sponsors the HRD efforts by imroving the capabilities of individuals working
in the system and improving the system in which they perform their work”.
Bermakna bahwa tujuan akhir human resource development (HRD) adalah meningkatkan
kinerja sistem melalui pengembangan kapasitas individu. Menurut Rumller dan Brache (1995) (Edi
Jusriadi dan Abd Rahman Rahim, 2019:30) bahwa kinerja memiliki tiga level, yaitu (1) level
organisasi, (2) level proses, dan (3) level kinerja individu.
c) Paradigma Pekerjaan yang Bermakna
Goldsmith (Kaswan, 2015:176), menyatakan bahwa dalam era ekonomi berbasis pengetahuan,
tekanan dan tuntutan pekerjaan mengharuskan manusia bekerja dalam ruang dan waktu yang tidak
terbatas. Sehingga banyak manusia bekerja setiap saat dan terjebak dalam “neraka profesional abad
baru”, yaitu mereka bekerja 60-80 jam seminggu, namun tidak menikmati pekerjaannya. Istilah
neraka profesioanl abad baru terlihat dari fenomena seperti:
 Hasil pekerjaan terus menerus dikritik tanpa ada solusi yang diberikan.
 Tidak adanya perlindungan kerja
 Hasil kerja yang baik jarang dihargai
 Bekerja hanya untuk menggugurkan kewajiban
 Promosi jabatan cenderung tidak mempertimbangkan kinerja tetapi kedekatan (kemampuan
mengolah informasi kemudian menyampaikan informasi tersebut kepada pimpinan walaupun
berbeda dengan fakta)
Selalu meragukan legalitas formal organisasi.
2) Model Human Resources Development
Pengembangan intelectual capital dalam pandangan Swanson dan Holton (2001); Stoner
(2005), dapat dilakukan melalui proses pembelajaran dalam bentuk pendidikan dan pelatihan.
Pendidikan dan pelatihan bertujuan untuk meningkatkan aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik
sumber daya manusia. Model pengembangan sumber daya manusia dapat dilakukan melalui:
 Pendidikan Formal (Studi Lanjut) Secara normatif pendidikan merupakan modal dasar dalam
meningkatkan umber daya manusia.
 Pendidikan Non-Formal (Pelatihan), Pendidikan Non-Formal adalah suatu proses untuk
meningkatkan keterampilan dan perilaku individu agar dapat melakukan pekerjaan secara efektif
dan efisien (Kaswan, 2015:35) (Edi Jusriadi dan Rahman Rahim, 2019:40).

c. Kompetensi Guru
Undang -undang guru dan dosen No 14 tahun 2005 pasal 10 ayat 1 menyebutkan kompetensi
guru sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 meliputu kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian,
kompetensi sosial, dan kompetensi profesional yang diperoleh melalui pendidikan profesi.
Lahirnya undang-undang guru dan dosen tersebut bertujuan untuk memperbaiki sistem
pendidikan nasional, baik dari segi kualitas maupun segi kuantitas. Undang-undang No. 14 Tahun

4
Competitiveness
p-ISSN: 1978-3035 – e-ISSN: 2775-4677
Vol. 10, Nomor 1 | Januari – Juni, 2021
2015 tentang guru dan dosen ini memaparkan bahwasanya baik guru dan dosen wajib memiliki
kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat, sehat jasmani dan rohani.
1) Standar Kompetensi Guru
a) Kompetensi Pedagogik
 Menguasai karakteristik peserta didik dari aspek fisik, moral, social, cultural, emosional, dan
intelektual.
 Menguasai teori belajar dan prinsip-prinsip pembelajaran yang mendidik.
 Mengembangkan kurikulum yang terkait dengan bidang pengembangan yang diampu.
 Menyelenggarakan kegiatan pengembanga yang mendidik.
 Memafaatkan teknologi informasi dan komunikasi untuk kepentingan penyelenggaraan kegiatan
pengembangannyang mendidik.
 Memfasilitasi pengembangan potensi peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi
yang dimiliki
 Berkomunikasi secara efektif, empatik, dan santun dengan peserta didik.
 Menyelenggarakan penilaian dan evaluasi proses dan hasil belajar.
 Memanfaatkan hasil penilaian dan evaluasi untuk kepentingan pembelajaran.
 Melakukan tindakan reflektif untuk peningkatan kualitas pembelajaran.
b) Kompetensi Kepribadian
 Bertindak sesuai dengan norma agama, hokum, social, dan kebudayaan nasional Indonesia.
 Menampilkan diri sebagai pribadi yang jujur, berakhlak mulia, dan teladan bagi peserta didik dan
masyarakat.
 Menampilkan diri sebagai pribadi yang mantap, stabil, dewasa, arif, dan berwibawa.
 Menunjukkan etos kerja, tanggungjawab yang tinggi, rasa bangga menjadi guru, dan rasa percaya
diri.
 Menjunjung tinggi kode etik profesi guru.
c) Kompetensi Sosial
Dalam memahami kompetensi sosial seorang guru, kita dapat mendapatkan satu ayat dalam Al-
Qur’an yang menyatakan pentingnya seorang guru memiliki kompetensi sosial. Hal tersebut tertuang
dalam Al-Qur’an surat An-Nahl ayat 90:

ِ ْ ‫َّللاَ ٌَأْ ُم ُر بِ ْال َع ْد ِل َو‬


َ‫اْلحْ َسا ِن َوإٌِتَا ِء ِذي ْالقُرْ بَ ٰى َوٌَ ْنهَ ٰى َع ِه ْالفَحْ شَا ِء َو ْال ُمنْ َك ِر َو ْالبَ ْغ ًِ ۚ ٌَ ِعظُ ُك ْم لَ َعلَّ ُك ْم تَ َر َّكرُون‬ َّ ‫إِ َّن‬
Artinya:
Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada
kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemunkaran dan permusuhan. Dia memberi
pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.
d) Kompetensi Profesional
 Menguasai materi, struktur, konsep, dan pola pikir keilmuan yang mendukung mata pelajaran
yang diampu.
 Menguasai standar kompetensi dan kompetensi dasar mata pelajaran/bidang pengembangan yang
diampu.
 Mengembangkan materi pembelajaran yang diampu secara kreatif.
 Mengembangkan keprofesionalan secara berkelanjutan dengan melakukan tindakan reflektif.
 Memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi untuk berkomunikasi dan mengembangkan
diri.
2) Kecerdasan Spritual
kecerdasan Spiritual adalah kecerdasan yang membangun manusia secara utuh untuk
menghadapi dan memecahkan persoalan makna kehidupan untuk menilai bahwa tindakan yang
dilakukan atau jalan hidup seseorang lebih bermakna dibandingkan dengan yang lain.
a) Aspek-aspek Kecerdasan Spritual
Kecerdasan spiritual merupakan kecerdasan untuk menghadapi dan memecahkan persoalan
makna dan nilai. Menurut Zohar & Marshall (Zohar, 2007), tanda-tanda kecerdasan spiritual yang
telah berkembang baik dalam diri seseorang mencakup hal-hal berikut:

5
Competitiveness
p-ISSN: 1978-3035 – e-ISSN: 2775-4677
Vol. 10, Nomor 1 | Januari – Juni, 2021

 Kemampuan bersikap fleksibel (Tazawazzun)


 Memliki intregritas dalam membawakan visi dab nilai pada orang lain.
 Ikhlas dan tawakal dalam menghadapi dan melampaui cobaan.
 Tingkat kesadaran tinggi dan kualitas hidup yang dipahami oleh visi dan misi.
 Berpikir secara holistic.
 Tawaddhu’ (rendah hati).
b) Fungsi Kecerdasan Spritual
Menurut Danah Zohar dan Marshall (2007) fungsi kecerdasan Spritual adalah sebagai berikut:
 Kecerdasan spiritual digunakan dalam masalah eksistensial, yaitu ketika kita pribadi merasa
terpuruk, terjebak oleh kebiasaan, kekhawatiran, dan masalah masa lalu akibat penyakit dan
kesedihan.
 Kecerdasan spiritual menjadikan kita sadar bahwa kita memiliki masalah eksistensial dan
membuat kita mampu mengatasinya, karena kecerdasan spiritual memberi kita semua rasa yang
menyangkut perjuangan hidup.
 Kecerdasan spiritual membuat manusia mempunyai pemahaman tentang siapa dirinya dan
apa makna segala sesuatu dan bagaimana semua itu memberikan tempat di dalam dunia kepada
orang lain dan makna-makna mereka.
 Kecerdasan spiritual sebagai landasan bagi seseorang untuk memfungsikan IQ da EQ
secara efektif. Karena, kecerdasan spiritual merupakan puncak kecerdasan manusia.
 Kecerdasan spiritual menempatkan perilaku dan hidup manusia dalam konteks dan makna yang
lebih luas dan kaya. Sehingga manusia menjadi kreatif, luwes, berwawasan luas, berani,
optimis dan fleksibel. Karena ia terkait langsung dengan problem-problem eksistensi yang selalu
ada dalam kehidupan.
 Kecerdasan spiritual dapat memberikan rasa moral, kemampuan menyesuaikan aturan yang kaku
dibarengi dengan pemahaman sampai batasnya. Karena dengan memiliki kecerdasan spiritual
memungkinkan seseorang bertanya apakah saya ingin berada pada situasi ini atau tidak. Intinya
kecerdasan spiritual berfungsi untuk mengarahkan situasi.
 Kecerdasan spiritual dapat menjadikan lebih cerdas secara spiritual dalam beragama.
Sehingga seseorang yang memilki kecerdasan spiritual tinggi tidak berpikiran eksklusif, fanatik,
dan berprasangka.
3) Kecerdasan Intelektual
Kecerdasan Intelektual merupakan kemampuan seseorang untuk memperoleh pengetahuan,
menguasai dan menerapkannya dalam menghadapi masalah..
Menurut Stenberg, 1981 dalam Dwijayanti 2009:39 kecerdasan intelektual guru di ukur dengan
indikator sebagai berikut:
a) Kemampuan Memecahkan Masalah
Kemampuan memecahkan masalah yaitu mampu menunjukkan pengetahuan mengenai
masalah yang dihadapi, mengambil keputusan tepat, menyelesaikan masalah secara optimal,
menunjukkan fikiran jernih.
b) Intelegensi Verbal
Intelegensiverbal yaitu kosa kata baik, membaca dengan penuh pe mahaman, ingin
tahu secara intelektual, menunjukkan keingintahuan.
c) Intelegensi Praktis
Intelegensi praktis yaitu tahu situasi, tahu cara mencapai tujuan, sadar terhadap dunia
keliling, menujukkan minat terhadap dunia luar.
4) Kecerdasan Emosional
Kecerdasan Emosional adalah jenis kecerdasan yang fokusnya memahami, mengenali,
merasakan, mengelola dan memimpin perasaan sendiri dan orang lain serta mengaplikasikannya
dalam kehidupan pribadi dan sosial. Kecerdasan dalam memahami, mengenali, meningkatkan,
mengelola dan memimpin motivasi diri sendiri dan orang lain serta mengaplikasikannya dalam
kehidupan pribadi dan sosial.

6
Competitiveness
p-ISSN: 1978-3035 – e-ISSN: 2775-4677
Vol. 10, Nomor 1 | Januari – Juni, 2021
a) Aspek-aspek Kecerdasan Emosional
Daniel Goleman (2005: 58-59) Aspek-aspek Kecerdasan Emosi menurut Salovey yang
menempatkan kecerdasan pribadi Gardner yang mencetuskan aspek-aspek kecerdasan emosi
sebagai berikut :
 Mengenali emosi diri
Mengenali emosi diri merupakan suatu kemampuan untuk mengenali perasaan sewaktu
perasaan itu terjadi. Aspek mengenali emosi diri terjadi dari: kesadaran diri, penil aian diri, dan
percaya diri. Kemampuan ini merupakan dasar dari kecerdasan emosi, para ahli psikologi
menyebutkan bahwa kesadaran diri merupakan kesadaran seseorang akan emosinya sendiri.
 Mengelola emosi
Mengelola emosi merupakan kemampuan inividu dalam menangani perasaan agar dapat
terungkap dengan tepat atau selaras, sehingga tercapai keseimbangan dalam diri individu.
 Memotivasi diri sendiri
Dalam mengerjakan sesuatu, memotivasi diri sendiri adalah salah satu kunci
keberhasilan.Mampu menata emosi guna mencapai tujuan yang diinginkan.Kendali diri secara
emosi, menahan diri terhadap kepuasan dan megendalikan dorongan hati adalah landasan
keberhasilan di segala bidang.
 Mengenali emosi orang lain
Kemampuan mengenali emosi orang lain sangat bergantung pada kesadaran diri emosi.
Empati merupakan salah salah satu kemampuan mengenali emosi orang lain, dengan ikut
merasakan apa yang dialami oleh orang lain. Menurut Goleman (2005: 59) kemampuan seseorang
untuk mengenali orang lain atau peduli, menunjukkan empati seseorang. Individu yang memiliki
kemampuan empati lebih mampu menangkap sinyal-sinyal sosial yang tersembunyi dan
mengisyaratkan apa-apa yang dibutuhkan oleh oaring lain sehingga ia lebih mampu menerima
sudut pandang orang lain, peka terhadap perasan orang lain dan lebih mampu untuk
mendengarkan orang lain
 Membina hubungan dengan orang lain
Kemampuan membina hubungan sebagian besar merupakan keterampilan mengelola emosi
orang lain. Keterampilan ini merupakan keterampilan yang menunjang popularitas,
kepemimpinan, dan keberhasilan antar pribadi. Orang yang dapat membina hubungan dengan
orang lain akan sukses dalam bidang apa pun yang mengandalkan pergaulan yang mulus dengan
orang lain.
b) Indikator Kecerdasan Emosional
Kecerdasan emosional merujuk kepada kemampuan mengenali perasaan diri sendiri dan
orang lain, kemampuan memotivasi diri sendiri, dan kemampuan mengelola emosi dengan baik
pada diri sendiri dalam hubungan dengan orang lain (Goleman, 2000). Kecerdasan emosional
dapat diukur dari beberapa aspek-aspek yang ada. Goleman, mengemukakan lima kecakapan
dasar dalam kecerdasan emosi, yaitu (2000):
 Self awareness
 Self management
 Motivation
 Empati (social awareness)
 Relationship management

d. Kinerja
kinerja merupakan keluaran yang dihasilkan oleh fungsi-fungsi atau indikator-indikator suatu
pekerjaan atau suatu profesi dalam waktu tertentu yang diukur melalui hasil kerja, perilaku kerja, dan
sifat pribadi yang berhubungan dengan pekerjaan. Dari beberapa definisi di atas, peneliti
menyimpulkan bahwa kinerja merupakan suatu hasil kerja yang dicapai oleh seseorang dalam
melakukan tugas atau pekerjaannya berdasarkan kemampuan kerja baik secara kualitas maupun
kuantijtas sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya.
Merupakan pencapaian persyaratan pekerjaan tertentu yang akhirnya secara langsung dapat
bercermin dari keluaran yang dihasilkan. Indikatornya adalah sebagai berikut:

7
Competitiveness
p-ISSN: 1978-3035 – e-ISSN: 2775-4677
Vol. 10, Nomor 1 | Januari – Juni, 2021

 Quality
 Quantity
 Timelines
 Cost Effectiveness
 Need For Supervision
 Interpersonal Impact
Kinerja merupakan cerminan yang dicapai sumber daya manusia dalam melakukan sesuatu,
sehingga kinerja dapat dipahami dalam dua perspektif kinerja sebagai prestasi kerja dan kinerja
sebagai perilaku kerja. Sehingga dalam teori kinerja menjelaskan bahwa kinerja terbentuk dari hasil
perkalian dari ability and motivation, (Jusriadi, Edi, 2019).

3. METODE

Penelitian yang digunakan adalah penelitian survey, maka secara jelas penelitian ini termasuk
dalam metode kuantitatif yang merupakan penelitian yang menggunakan data kuantitatif yaitu data
yang berupa angka atau bilangan (Abddullah, 2015). Berdasarkan tujuannya penelitian ini adalah
penelitian murni yaitu penelitian yang dilakukan untuk mengevaluasi atau mengembangkan sebuah
teori atau temuan yang telah ada sebelumnya (Abdullah, 2015).
Teknik analisis data yang digunakan peneliti adalah analisis data kuantitatif dengan bantuan
statistik. Tahapan-tahapan dalam melaksanakan kegiatan penelitian ini diawali dengan menganalisis
data yang digunakan dalam kegiatan penelitian, serta diikuti dengan pengujian terhadap hipotesis
penelitian. Analisis data merupakan penyederhanaan data ke dalam bentuk yang mudah dibaca,
dipahami dan diinterprestasikan. Data yang akan dianalisis merupakan data hasil penelitian lapangan
dan penelitian kepustakawan, serta diikuti dengan pengujian terhadap hipotesis penelitian maka perlu
dilakukan tahap-tahap teknik pengolahan data sebagai berikut:
Analisis ini digunakan untuk mengetahui seberapa besar pengaruh antara variabel bebas yaitu
kecerdasan spritual (X1), kecerdasan intelektual (X2) dan kecerdasan emosional (X3) terhadap
variabel terikatnya yaitu Kinerja guru (Y). Data yang terkumpul diolah dengan menggunakan model
regresi linier berganda. Rumus regresi linier berganda sebagai berikut:
Y = bo + b1 X1 + b2 X2 + b3 X3 + e
Keterangan:
Y = Kinerja guru
X1 = Kecerdasan Spritual
X2 = Kecerdasan Intelektual
X3 = Kecerdasan Emosional
b0 = Konstanta
b1, b2, b3 = Koefisien Regresi
e = Galat (Kekeliruan)
Keseluruhan proses analisis data penelitian ini menggunakan program SPSS-versi 22.0 for
windows.

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

a. Karakteristik Responden
Karakteristik responden diperoleh melalui penyebaran kuisioner yang disebarkan kepada 31
orang responden di SMP Islam Athirah 1 Makassar. Dalam penelitian ini akan dianalisis karakteristik
responden yang diteliti dalam hal ini para guru SMP Islam Athirah 1 Makassar yang meliputi tiga
aspek yaitu: umur responden, jenis kelamin, dan tingkat pendidikan.
1) Karakteristik Responden Menurut Umur
Karakteristik responden dilihat dari aspek umur dibawah 25 tahun, umur 26 tahun sampai 35
tahun, umur 36 tahun sampai 45 tahun, dan umur diatas 46 tahun. Distribusi responden menurut
kelompok umur para guru SMP Islam Athirah 1 Makassar adalah seperti pada tabel berikut.

8
Competitiveness
p-ISSN: 1978-3035 – e-ISSN: 2775-4677
Vol. 10, Nomor 1 | Januari – Juni, 2021
Tabel 1
Distribusi Responden Menurut Kelompok Umur
No Kelompok Umur Frekuensi Persentase (%)
1. < 25 Tahun 3 9.7
2. 26-35 Tahun 9 29.0
3. 36-45 Tahun 12 38.7
4. > 46 Tahun 7 22.6
Jumlah 31 100
Sumber data: hasil olahan kuesioner tahun 2020

Berdasarkan distribusi responden menurut kelompok umur pada tabel di atas dapat dilihat
bahwa responden sebanyak 31 orang terdiri dari kelompok umur di bawah 25 tahun sebanyak 3 orang
(9.6)%, kelompok umur antara 26 sampai 35 tahun sebanyak 9 orang (29.1)%, kelompok umur 36
sampai 45 tahun sebanyak 12 orang (38.7)% dan kelompok umur diatas 46 tahun sebanyak 7 orang
(22.6)% responden.
2) Karakteristik Responden Menurut Jenis Kelamin
Perbedaan jenis kelamin merupakan salah satu variabel yang dapat mempengaruhi kinerja guru.
Kondisi ini disebabkan oleh fisik yang dimiliki oleh seorang guru yang bersangkutan. Karakteristik
responden menurut jenis kelamin terlihat seperti pada tabel berikut ini.

Tabel 2
Distribusi Responden menurut Jenis Kelamin
No Jenis Kelamin Frekuensi Persentase (%)
1. Laki-laki 20 64,5
2. Perempuan 11 35,5
Jumlah 31 100
Sumber Data : Hasil Olahan Kuesioner Tahun 2020

Berdasarkan data tabel di atas dapat dinyatakan bahwa responden sebanyak 31 orang terdiri
dari laki-laki sebanyak 20 orang (64,5)% dan perempuan sebanyak 11 orang (35,5)% responden. Data
tersebut menunjukkan bahwa jenis kelamin guru di SMP Islam Athirah 1 Makassar didominasi oleh
jenis kelamin laki-laki (64,5%), namun pada dasarnya dalam proses pelaksanaan prose pengajaran,
peran laki-laki dan perempuan tidak begitu menunjukkan perbedaan yang menonjol.
3) Karakteristik Responden menurut Tingkat Pendidikan
Tingkat pendidikan yang berhasil dicapai oleh seorang guru merupakan salah satu variabel
yang dapat mempengaruhi kinerja, karena semakin tinggi pendidikannya maka mereka akan memiliki
kinerja yang relatif lebih baik dibandingkan dengan guru yang pendidikannya lebih rendah.

Tabel 3
Distribusi Responden Menurut Tingkat Pendidikan
No Pendidikan Frekuensi Persentase (%)
1. Sarjana S1 24 77.4
2. Sarjana S2 7 22.6
Jumlah 31 100
Sumber Data : Hasil Olahan Kuesioner Tahun 2020

Berdasarkan tabel tersebut diatas, dapat ditunjukkan bahwa tingkat pendidikan guru SMP Islam
Athirah 1 Makassar yaitu jumlah responden yang tamat sarjana S1 sebanyak 24 orang (77.4)%, dan
jumlah responden yang tamat sarjana S2 sebanyak 7 orang (22.6) %. Data tersebut menunjukkan
bahwa tingkat pendidikan guru di SMP Islam Athirah 1 Makassar didominasi oleh Sarjana S1.

b. Pengujian Instrumen Penelitian


1) Uji Validasi
Pengambilan kesimpulan dari uji validitas jika nilai r-hitung > dari nilai r-tabel maka butir
tersebut dinyatakan valid. Jika masih ada butir yang tidak valid maka dikeluarkan kemudian diproses
ulang menggunakan SPSS sampai mendapatkan semua butir soal nilainya valid.

9
Competitiveness
p-ISSN: 1978-3035 – e-ISSN: 2775-4677
Vol. 10, Nomor 1 | Januari – Juni, 2021
Tabel 4
Hasil Uji Validitas
Instrument Variabel r-hitung r-tabe Keterangan
0.912 0.355 Valid
0.912 0.355 Valid
0.809 0.355 Valid
0.729 0.355 Valid
Kecerdasan Spritual
0.729 0.355 Valid
(X1)
0.729 0.355 Valid
0.681 0.355 Valid
0.912 0.355 Valid
0.809 0.355 Valid
0.902 0.355 Valid
0.698 0.355 Valid
0.902 0.355 Valid
0.857 0.355 Valid
Kecerdasan Intelektual
0.652 0.355 Valid
(X2)
0.431 0.355 Valid
0.647 0.355 Valid
0.662 0.355 Valid
0.748 0.355 Valid
0.703 0.355 Valid
0.597 0.355 Valid
0.771 0.355 Valid
0.868 0.355 Valid
0.575 0.355 Valid
0.868 0.355 Valid
0.575 0.355 Valid
Kecerdasan Emosional
0.597 0.355 Valid
(X3)
0.771 0.355 Valid
0.597 0.355 Valid
0.771 0.355 Valid
0.868 0.355 Valid
0.868 0.355 Valid
0.575 0.355 Valid
0.868 0.355 Valid
0.888 0.355 Valid
0.917 0.355 Valid
0.770 0.355 Valid
0.888 0.355 Valid
0.536 0.355 Valid
0.888 0.355 Valid
Kinerja
0.917 0.355 Valid
(Y)
0.770 0.355 Valid
0.888 0.355 Valid
0.917 0.355 Valid
0.888 0.355 Valid
0.770 0.355 Valid
Sumber Data : Hasil Olahan Kuesioner Tahun 2020.

2) Uji Reliabilitas
Instrumen dalam penelitian ini dikatakan reliabel atau handal apabila dipergunakan beberapa
kali untuk mengukur objek yang sama sehingga menghasilkan data yang sama pula. Untuk
menentukan reliabilitas bisa dilihat dari nilai Alpha Cronbach jika nilai Alpha mendekati 1 (satu)
maka bisa dikatakan reliabel. Ada juga yang berpendapat reliabel jika nilai r > 0,60.

10
Competitiveness
p-ISSN: 1978-3035 – e-ISSN: 2775-4677
Vol. 10, Nomor 1 | Januari – Juni, 2021
Tabel 5
Uji Reliabilitas
Variabel cronbach’s alpa Batas reliabilitas Ket
Kecerdasan Spritual (X1) 0.928 0.60 Reliabel
Kecerdasan Intelektual (X2) 0.863 0.60 Reliabel
Kecerdasan Emosional (X3) 0.937 0.60 Reliabel
Kinerja (Y) 0.960 0.60 Reliabel
Sumber Data : Hasil Olahan Kuesioner Tahun 2020

Tabel diatas menunjukkan hasil analisis uji reliabilitas, dimana nilai cronbach’s alpha (r
hitung) dari keempat variabel dinyatakan reliable karena nilai r hitung > nilai r tabel yaitu 0,60. Hal
ini berarti setiap butir pernyataan dari variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah reliabel
atau dapat dikatakan bahwa instrument penelitian yang digunakan dalam fungsi ukurnya tidak
menimbulkan arti ganda sehingga terjamin konsistensinya.

c. Pengujian Hipotesis Penelitian


Berdasarkan hasil uji asumsi klasik yang meliputi uji normalitas, uji multikolinearitas dan uji
heterokedastisitas menunjukkan bahwa regresi berganda yang diestimasi telah memenuhi syarat
asumsi-asumsi klasik sehingga hasilnya akan baik dalam menganalisis pengaruh variabel independen
terhadap variabel dependent. Pengujian terhadap hasil regresi yang diperoleh, dilakukan pengujian
secara serempak dengan menggunakan uji-F dan pengujian secara parsial dengan menggunakan uji-t
untuk lebih jelasnya akan diuraikan berikut ini.
1) Pengujian Hipotesis Secara Serempak
Pengujian secara serempak bertujuan untuk melihat pengaruh motivasi, kecerdasan intelektual
dan kecerdasan emosional terhadap kinerja karyawan dengan melihat nilai F-hitungnya. Adapun hasil
pengujiannya secara serempak dapat dilhat tabel berikut ini:

Tabel 6
Pengujian Hipotesis Secara Serempak
ANOVAa
Model Sum of Squares Df Mean Square F Sig.
1 Regression 1418.958 3 472.986 113.425 .000b
Residual 112.591 27 4.170
Total 1531.548 30
Sumber Data : Hasil Olahan Kuesioner Tahun 2020

Data pada tabel di atas menunjukkan bahwa nilai F-hitung yang diperoleh adalah 113.425
sedangkan F tabel pada derajat kepercayaan 95% atau tingkat kesalahan (α=0,05) diperoleh (2,95)
Dengan demikian, nilai F hitung > F tabel atau 113.425 > 2,95 yang berarti variabel bebas
berpengaruh serempak terhadap varibel dependen. Signifikansi tinggi karena sig= 0.000 lebih kecil
daripada α = 0.05. sejalan dengan hasil ini, maka disimpulkan bahwa secara serempak variabel
Kecerdasan Spritual, Kecerdasan Intelektual, dan Kecerdasan Emosional berpengaruh signifikan dan
positif terhadap Kinerja guru pada SMP Islam Athirah 1 Makassar.
2) Pengujian Hipotesis Secara Parsial
Pengujian hipotesis secara parsial digunakan untuk melihat pengaruh kecerdasan spritual,
kecerdasan intelektual, dan kecerdasan emosional. Hasil pengujiannya dapat dilihat melalui nilai t-
hitungnya. Adapun hasil pengujian secara parsial (t-hitung) dapat dilihat pada tabel berikut ini.

11
Competitiveness
p-ISSN: 1978-3035 – e-ISSN: 2775-4677
Vol. 10, Nomor 1 | Januari – Juni, 2021
Tabel 7
Pengujian Hipotesis Secara Parsial
Coefficientsa
Standardized
Unstandardized Coefficients Coefficients
Model B Std. Error Beta T Sig.
1 (Constant) -7.098 4.022 -1.765 .089
Kecerdasan Spritual .1.108 .119 .691 9.292 .000
Kecerdasan Intelektual -.459 .159 -.238 -2.887 .008
Kecerdasan Emosional .508 .111 .480 4.594 .000
Sumber Data : Hasil Olahan Kuesioner Tahun 2020.

Berdasarkan pengujian secara parsial seperti pada tablel diatas menunjukkan bahwa variabel
kecerdasan spritual, kecerdasan intelektual, dan kecerdasan emosional berpengaruh terhadap kinerja
guru.
Selanjutnya pada tabel 4.9 dapat pula diketahui hasil persamaan regresi linear berganda dari
model penelitian ini adalah sebagai berikut:
Y = -7.098 + 1.108 X1 - 0,459 X2 + 0,508 X3
Berdasarkan persamaan linier berganda tesebut di atas, maka dapat diinterpretasikan sebagai
berikut :
a) Konstanta (a) diperoleh nilai -7.098 menyatakan besarnya kinerja guru pada pada SMP Islam
Athirah 1 Makassar pada saat variabel Independent bernilai konstan. Artinya bahwa apabila
variabel independet mengalami peningkatan atau penurunan nilai maka akan mempengaruhi nilai
kontanta (a).
b) b1 = 1.108, memiliki tanda positif menunjukkan bahwa Kecerdasan Spritual berpengaruh positif
dan signifikan dengan kinerja guru SMP Islam Athirah 1 Makassar. Koefisien b1 tersebut
signifikan karena sig = 0.000 lebih kecil daripada nilai α = 0.05. Hal tersebut dapat dijelaskan
bahwa apabila ada peningkatan variabel kecerdasan Spritual dan variabel lainnya konstan, maka
akan meningkatkan kinerja guru SMP Islam Athirah 1 Makassar sebanyak 1,108 satuan kinerja.
c) b2 = - 0,459, memiliki tanda negatif menunjukkan bahwa kecerdasan intelektual berpengaruh
negatif tetapi signifikan dengan kinerja guru SMP Islam Athirah 1 Makassar. Koefisien b2
signifikan karena sig = 0.008 lebih kecil daripada nilai α = 0.05. Hal ini dapat dijelaskan bahwa
apabila ada peningkatan variabel kecerdasan intelektual dan variabel lain konstan maka akan
meningkatkan kinerja guru SMP Islam Athirah 1 Makassar sebanyak -0,459 satuan kinerja.
d) b3 = 0,508, memiliki tanda positif menunjukkan bahwa variabel kecerdasan emosional
berpengaruh positif dan signifikan dengan kinerja guru SMP Islam Athirah 1 Makassar. Koefisien
b3 tersebut signifikan karena sig = 0.000 lebih kecil daripada nilai α = 0.05. Hal tersebut dapat
dijelaskan bahwa apabila ada peningkatan variabel kecerdasan emosional dan variabel lainnya
konstan, maka akan meningkatkan kinerja guru SMP Islam Athirah 1 Makassar sebanyak 0,508
satuan kinerja.
Pengaruh parsial variabel bebas terhadap kinerja karyawan ditunjukkan oleh nilai standardized
beta coefficients, yaitu :
a) Zb1 = 0,691, menunjukkan bahwa pengaruh variabel kecerdasan spritual terhadap kinerja guru
adalah 69,1 %.
b) Zb2 = -0,238, menunjukkan bahwa pengaruh variabel kecerdasan intelektual terhadap kinerja guru
adalah -23,8 %.
c) Zb3 = 0,480, menunjukkan bahwa pengaruh variabel kecerdasan emosional terhadap kinerja guru
adalah 48,0 %.
d) Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui bahwa dari ketiga variabel yang berpengaruh, ternyata
variabel kecerdasan spritual mempunyai pengaruh dominan yaitu dengan nilai standardized beta
coefficients (69,1%) dalam meningkatkan kinerja guru pada SMP Islam Athirah 1 Makassar. Hal
ini berarti bahwa nilai standardized beta coefficients kecerdasan spritual lebih besar daripada
variabel yang lain.

12
Competitiveness
p-ISSN: 1978-3035 – e-ISSN: 2775-4677
Vol. 10, Nomor 1 | Januari – Juni, 2021
d. Koefisien Determinasi
Berdasarkan hasil regresi linear berganda, maka selanjutnya dapat dianalisis koefisien
determinasinya (R2) yaitu koefisien determinasi parsial untuk mengukur secara terpisah dampak
variabel independent terhadap variabel dependent (Y). Jika (R2) yang diperoleh mendekati 1 (satu)
maka dapat dikatakan semakin kuat model tersebut menerangkan variasi variabel bebas terhadap
variabel terikat. Sebaliknya, jika (R2) makin mendekati 0 (nol) maka semakin lemah variasi variabel
bebas terhadap variabel terikat. Perolehan nilai R2 dapat dilihat pada tabel berikut ini :

Tabel 8
Hasil Pengujian Koefisien Determinasi (R2)
Model Summaryb
Change Statistics
Adjusted R Std. Error of the R Square
Model R R Square Square Estimate Change F Change df1
1 .963a .926 .918 2.04206 .703 41.052 3
Sumber Data : Hasil Olahan Kuesioner Tahun 2020.

Berdasarkan hasil pengujian determinasi tersebut di atas, dapat dijelaskan bahwa besarnya
koefisien determinasi (R2) adalah 0.926. angka koefisien determinasi ini menyatakan bahwa
kecerdasan spritual, kecerdasan intelektual, dan kecerdasan emosional terhadap kinerja guru sangat
kuat yaitu sebesar 92,6% dan sisanya sebesar 7,4 % menunjukkan pengaruh variabel lain yang tidak
dievaluasi dalam penelitian ini.

e. Pembahasan
Adapun pembahasan mengenai pengaruh variabel kecerdasan spritual, kecerdasan intelektual,
dan kecerdasan emosional pada SMP Islam Athirah 1 Makassar akan di uraikan sebagai berikut :
1) Pengaruh Kecerdasan Spritual (X1) terhadap Kinerja Guru
Hasil analisis parsial menunjukkan bahwa variable kecerdasan spritual berpengaruh signifikan
terhadap kinerja guru SMP Islam Athirah 1 Makassar. Hal ini berarti bahwa peningkatan kinerja guru
bergantung pada seberapa besar guru dalam meningkatkan kecerdasan spritualnya sehingga dapat
memberikan kinerja yang maksimal untuk sekolah.
Kecerdasan spritual dalam penelitian ini diukur dengan indikator yaitu : 1) kemampuan
bersikap fleksibel (adaptif secara spontan dan akrif); 2) tingkat kesadarn tinggi; 3) kemampuan
mengadaptasi dan memanfaatkan penderitaan; 4) kemampuan menghadapi dan melampaui rasa sakit;
5) kualitas hidup yang diilhami oleh visi dan misi; 6) keengganan untuk menyebabkan kerugian yang
tidak perlu; 7) kecenderungan untuk melihat keterkaitan antara berbagai hal (berpandangan holistik);
8) kecenderungan untuk bertanya “mengapa atau bagaimana mencari jawaban dasar; 9) pemimpin
yang penuh pengabdian dan bertanggungjawab. Dengan memperhatikan kesembilan indikator tersebut
diharapkan dapat meningkatkan kinerja guru SMP Islam Athirah 1 Makassar. Hasil uji validitas
menunjukkan bahwa ke sembilan indikator memiliki nilai validitas yang tinggi, bahkan tiga indikator
diantara kesembilan indikator lainnya memperoleh nilai tertinggi yaitu indikator pertama, indikator
kedua, dan indikator kedelapan dengan angka yaitu 0.912.
Berdasarkan analisa tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa variable kecerdasan spritual
merupakan faktor penting dalam meningkatkan kinerja guru SMP Islam Athirah 1 Makassar. Hal ini
dikarenakan kecerdasan spritual para guru dalam hal menerapkan nilai KALLA atau KALLA value
sangat tinggi.
Temuan dari konsep yang dihasilkan dari penelitian ini terdapat pengaruh signifikan antara
kecerdasan spritual dengan kinerja guru SMP Islam Athirah 1 Makassar. Penelitian ini didukung juga
oleh penelitian terdahulu yang dilakukan Ani Muttaqiyathun (2011) bahwa variable kecerdasan
spritual merupakan variable yang berpengaruh terhadap kinerja dosen.
Berdasarkan hasil uji parsial ini juga telah menerima hipotesis yang pertama yakni bahwa
kecerdasan spritual berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja guru pada SMP Islam Athirah
1 Makassar.

13
Competitiveness
p-ISSN: 1978-3035 – e-ISSN: 2775-4677
Vol. 10, Nomor 1 | Januari – Juni, 2021
2) Pengaruh Kecerdasan Intelektual (X2) terhadap kinerja Guru
Hasil analisis parsial menunjukkan bahwa variable kecerdasan intelektual berpengaruh
signifikan namun memiliki korelasi yang negatif terhadap kinerja guru SMP Islam Athirah 1
Makassar. Hal ini berarti bahwa kecerdasan intelektual sangat penting dan perlu diperhatikan dalam
upaya meningkatkan kinerja guru pada SMP Islam Athirah 1 Makassar. Hasil analisis ini juga
sekaligus membantah Hipotesis yang kedua dalam penelitian yang menyatakan bahwa kecerdasan
intelektual berpengaruh posistif terhadap kinerja guru. Bahkan pada hipotesis yang keempat
menyatakan bahwa kecerdasan intelektual menjadi variabel yang paling dominan berpengaruh namun
faktanya tidak demikian karena justru memiliki pengaruh yang negatif.
Berdasarkan hal tersebut di atas dapat dipahami bahwa kecerdasan intelektual di SMP Islam
Athirah 1 Makassar tidak menjadi sebuah variabel penting untuk diteliti, hal ini disebabkan karena
secara kuantitaif dan secara fakta bahwa kecerdasan intelektual di SMP Islam Athirah 1 Makassar
sudah sangat bagus. Hal ini dapat menjadi referensi untuk peneliti selanjutnya bahwa ketika akan
meneliti di SMP Islam Athirah 1 Makassar maka kecerdasan intelektual tidak direkomendasikan
untuk diteliti mengingat bahwa kecerdasan intelektual secara fakta sudah sangat bagus. Artinya bahwa
kinerja guru di SMP Islam Athirah 1 Makassar akan naik maupun turun tidak akan dipengaruhi oleh
kecerdasan intelektual.
Dalam penelitian ini, kecerdasan intelektual diukur dengan indikator yaitu : 1) kemampuan
memecahkan masalah; 2) intelegensi verbal; dan 3) intelegensi verbal. Hasil uji validitas
menunjukkan bahwa indikator perta yaitu kemampuan memecahkan masalah memperoleh nilai
validitas yang paling tinggi diantara indikator yang lain. Meskipun demikian, indikator lain dari
kecerdasan intelektual yang digunakan dalam penelitian ini tetap memberikan tingkat validitas yang
tinggi. Hal ini terlihat dari r-hitung > r-tabel yang berarti setiap butir pertanyaan dari variabel
kecerdasan intelektual yang digunakan dalam penelitian ini adalah valid.
Berdasarkan analisa tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa variabel kecerdasan intelektual
merupakan faktor yang memiliki korelasi negatif namun memiliki tingkat signifikansi yang tinggi.
Berkorelasi negatif karena nilai Standardized Coefficients Beta nilainya negatif yaitu -238,
sedangkan pengaruh signifikan karena nilai signifikansi yaitu 0.008 yang lebih kecil dari 0.05.
Temuan teori yang dihasilkan dari penelitian ini adalah terdapat pengaruh yang signifikan
namun berkorelasi negatif antara kecerdasan intelektual dengan kinerja guru SMP Islam Athirah 1
Makassar. Penelitian ini didukung oleh penelitian terdahulu yakni Hari Nugroho Akimas dan Ahmad
Alim Bachri (2017) yang menejelaskan bahwa Kecerdasan intelektual (IQ) berpengaruh tidak
signifikan terhadap kinerja pada pegawai inspektorat provinsi Kalimantan Selatan.
Berdasarkan hasil dari penelitian ini dapat dikatakan bahwa tidak sesuai dengan hipotesis yang
kedua yang mengatakan bahwa kecerdasan intelektual berpengaruh positif dan signifikan terhadap
kinerja guru SMP Islam Athirah 1 Makassar karena hasil justru menunjukkan pengaruh yang negatif
sekjalipun signifikansinya bagus.
3) Pengaruh Kecerdasan Emosional (X3) terhadap kinerja Guru
Hasil analisis parsial menunjukkan variabel kecerdasan emosional berpengaruh signifikan
terhadap kinerja guru pada SMP Islam Athirah 1 Makassar. Hal ini menunjukkan peningkatan kinerja
guru ditentukan oleh kecerdasan emosional. Oleh karena itu kecerdasan emosional penting dalam
meningkatkan kinerja guru pada SMP Islam Athirah 1 Makassar.
Kecerdasan emosional diukur dengan lima indikator yaitu : 1) Self Awareness; 2) Self
Management; 3) Motivation; 4) Empati (Social Awareness): dan 5) Relationship Management. Hasil
uji validitas menunjukkan kelima indikator ini memiliki validitas yang tinggi. Namun diantara kelima
indikator tersebut ada indikator yang sangat tinggi yaitu Relationship Management. Hal ini berarti
bahwa kemampuan menerima kritik dan berkomunikasi dengan orang yang dimilki oleh guru SMP
Islam Athirah 1 Makassar sangat baik.
Berdasarkan analisa tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa variabel kecerdasan emosional
juga merupakan faktor yang berpengaruh dalam meningkatkan kinerja guru SMP Islam Athirah 1
Makassar. Hal ini sesuai dengan hipotesis awal yang mengatakan bahwa kecerdasan emosional
memiliki korelasi yang posistif dan signifian terhadap kinerja Guru SMP Islam Athirah 1 makassar.
Temuan teori yang dihasilkan dari penelitian ini adalah terdapat pengaruh yang signifikan
antara kecerdasan emosional dengan kinerja guru pada SMP Islam Athirah 1 Makassar. Penelitian ini
juga didukung dan sesuai dengan penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Muhammad Habib
14
Competitiveness
p-ISSN: 1978-3035 – e-ISSN: 2775-4677
Vol. 10, Nomor 1 | Januari – Juni, 2021
Abdullah (2018) yang menjelaskan bahwa ada pengaruh antara kecerdasan emosional, kecerdasan
intelektual, dan kecerdasan spritual terhadap kinerja pegawai pada PT Jaya Transport Indonesia Divis
Maintenance Support. Hal ini terlihat dari nilai Fhitung dan Ftabel ternyata Fhitung lebih besar dari
Ftabel maka hipotesis alternatif (Ha) diterima, artinya bahwa semua variabel independen yang terdiri
dari kecerdasan emosional, kecerdasan intelektual, dan kecerdasan spritual secara berganda
berpengaruh terhadap kinerja karyawan di PT Jaya Transport Indonesia Divis Maintenance Support.
4) Kecerdasan Spritual merupakan variabel yang dominan berpengaruh terhadap kinerja guru SMP
Islam Athirah 1 Makassar.
Hipotesis menduga bahwa kecerdasan intelektual merupakan variabel yang dominan
berpengaruh terhadap kinerja guru pada SMP Islam Athirah 1 Makassar namun berdasarkan hasil
penelitian hipotesis tersebut ditolak karena hasil penelitian justru menunjukkan bahwa variabel
kecerdasan spritual yang menjadi variabel dominan berpengaruh terhadap kinerja guru. Hal ini
terbukti dengan hasil uji parsial bahwa kecerdasan spritual memiliki nilai Standardized Coefficients
Beta paling tinggi yaitu (69,1).
Berdasarkan hasil tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa variabel kecerdasan spritual
merupakan variabel atau faktor yang paling berpengaruh dan dominan diantara variabel kecerdasan
intelektual dan kecerdasan emosional. Oleh karena itu, upaya untuk meningkatkan kinerja guru dapat
memperhatikan variabel kecerdasan spritual atau dengan kata lain bahwa kinerja guru pada SMP
Islam Athirah 1 Makassar ke depan akan ditentukan oleh faktor kecerdasan spritual yang
dikembangkan oleh sekolah yakni adanya KALLA VALUE.
Hasil penelitian yang menempatkan variabel spritual sebagai variabel yang paling dominan
berpengaruh dianggap sangat bagus karena hal ini akan semakin mengokohkan atau semakin
memperjelas bahwa SMP Islam Athirah 1 Makassar adalah sekolah islam yang Islami dan memiliki
guru yang memiliki potensi spritual yang baik. Implikasi atau tindak lanjut dari hasil penelitian ini
yakni memungkinkan pihak yayasan atau sekolah untuk semakin memperhatikan potensi kecerdasan
guru-gurunya baik guru lama maupun guru yang akan direkrut.
Dari ketiga kecerdasan IQ, EQ, dan SQ muaranya pada kinerja sebagai tujuan akhir yang ingin
dicapai. Akan tetapi untuk dapat meningkatkan kinerja tentunya suatu organisasi harus didukung
sumber daya manusia yang mempuni untuk dapat melaksanakan aktivitas. Sehingga kemampuan
intellectual capital menjadi kunci dalam mencapai keunggulan kompetitif, (Jusriadi et al., 2018).

5. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian dan hasil olah data maka diperoleh simpulan bahwa:
a. Kecerdasan Spritual berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja guru. Berdasar hasil uji
regresi menunjukkan bahwa sebesar 69,1 % kecerdasan spritual berpengaruh positif terhadap
kinerja guru SMP Islam Athirah 1 Makassar.
b. Kecerdasan intelektual berpengaruh signifikan namun berkorelasi negatif terhadap kinerja guru.
Berdasar hasil uji regresi, menunjukkan bahwa sebesar -238 atau -23,8% kecerdasan intelektual
berpengaruh terhadap kinerja guru SMP Islam Athirah 1 Makassar.
c. Kecerdasan emosional berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja guru SMP Islam
Athirah 1 Makassar. Berdasar hasil uji Regresi pada nilai Standardized Coefficients Beta
menunjukkan bahwa sebesar 48,0% kecerdasan emosional berpengaruh positif terhadap kinerja
guru SMP Islam Athirah 1 Makassar.
Berdasarkan pada hasil uji parsial, diperoleh bahwa variabel yang berpengaruh dominan
terhadap kinerja guru pada SMP Islam Athirah 1 Makassar adalah variabel kecerdasan spritual dengan
nilai Standardized Coefficients Beta paling tinggi yaitu (0,691) atau 69,1%.

15
Competitiveness
p-ISSN: 1978-3035 – e-ISSN: 2775-4677
Vol. 10, Nomor 1 | Januari – Juni, 2021
6. REFERENSI

Abdullah Habib Muhammad, 2018. Pengaruh Kecerdasan Emosional, Kecerdasan Intelektual, dan
Kecerdasan Spritual Terhadap Kinerja Karyawan pada PT. JayaTransportasi Indonesia Divisi
Maintenance Support.
Abdullah, M. 2015. Metode Penelitian Kuantitatif, untuk Ekonomi, Manajemen, Komunikasi, dan
Ilmu Sosial Lainnya, Yogyakarta: Aswada Pressinde.
Akhyadi, Kaswan 2015. Pengembangan Sumber Daya Manusia . Bandung, Indonesia : Alfabeta.
Akimas, H. N., & Bachri, A. A. (2017). Pengaruh Kecerdasan Intelektual (IQ), Kecerdasan Emosional
(EQ), Kecerdasan Spiritual (SQ) Terhadap Kinerja Pegawai Inspektorat Provinsi Kalimantan
Selatan. JWM (Jurnal Wawasan Manajemen), 4(3), 259-272.
Al-Quran Terjemahan. 2015. Departemen Agama RI. Bandung: CV Darus Sunnah.
Arikunto, S. 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik, Jakarta: Rineka Cipta.
Baskoro, Sigit Wahyu., dan Susanty, Aries. 2012. Pengaruh Motivasi Kerja dan Gaya
Kepemimpinan Terhadap Disiplin Kerja serta Dampaknya pada Kinerja Karyawan (Studi
Kasus pada PT. PLN (Persero) APD Semarang). J@TI Undip, Vol VII, No 2, Mei 2012
Brahmasari, Ida Ayu dan Agus Suprayetno (2008). Pengaruh Motivasi Kerja, Kepemimpinan dan
Budaya Organisasi Terhadap Kepuasan Kerja Karyawan serta Dampaknya pada Kinerja
Perusahaan (Studi kasus pada PT. Pei Hai International Wiratama Indonesia). Jurnal
Manajemen dan Kewirausahaan, VOL.10, NO. 2, September 2008: 124-135. Pasca Sarjana
Universitas 17 Agustus Surabaya.
Casmini. 2007. Emotional Parenting. Yogyakarta :Pilar Medika.
Covey, Stephen. R, “The 8th Habit”, Jakarta : PT. Gramedia, 2005
DeCenzo dan Robin. (1999). Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta: Erlangga
Dwijayanti.A.P. 2009 “Pengaruh Kecerdasan Emosional, Kecerdasan Intelektual, Kecerdasan
Spiritual.dan Kecerdasan Sosial Terhadap Tingkat Pemahaman Akuntansi”.Skripsi Fakultas
Ekonomi. Universitas Pembangunan Nasional “Veteran”. Jakarta
Ferryansyah.2013.” Pengaruh Budaya Organisasi Dan Komitmen Organisasi Terhadap Kinerja
Karyawan (Studi Kasus Pada Pppa Darul Qur’an).
French, Wendell, Bell, Cecil H & Zawacki, Robert A. 2000. Organization Development and
Transformation: Managing Effective Change. McGraw Hill International Editions,
Management and Organization Series.
Ghozali, Imam. 2005. Aplikasi Analisis Multivariate dengan Program SPSS, Semarang: BP.
Universitas Diponegoro.
Goleman, Daniel. 2000. Emotional Intelligence (terjemahan). Jakata : PT Gramedia Pustaka Utama.
Goleman, Daniel. 2000. Working With Emotional Intelligence (terjemahan). Jakarta : PT.
Gramedia Pustaka Utama
Goleman, Daniel. (2004). Emotional Intelligence: mengapa EI lebih penting daripada IQ.
Jakarta:Gramedia Pustaka Utama.
Gomes. 2001. Manajemen sumber daya manusia. Yogyakarta : Andi offset
Hasibuan, M. 2011. Manajemen Sumber Daya Manusia. Edisi Revisi, Jakarta: PT Bumi Aksara.
Jusriadi, Edi, R. rahim. (2019). Human Capital Development. NEM-Pekalongan.
Jusriadi, E., Bagus Wirawan, I., & Suaedi, F. (2018). Intellectual Capital Development Model of
Muhammadiyah Higher Education in South Sulawesi. Review of European Studies.
https://doi.org/10.5539/res.v10n1p117
Kurniawati, A. D. (2018). Pengaruh kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional, dan kecerdasan
spiritual terhadap kinerja guru (studi empiris pada guru MTs Darul Hikmah Ngompak, Ngawi,
Jawa Timur).
Kurniawati, E & Abrori, L. 2005. Korelasi SQ dengan kinerja pada Karyawan Pada Karyawan UIN
Malang. Psikoislamika: Jurnal Psikologi dan Keislaman 2
Leonard Nadler. 1994. Designing Training Programs: The Critical Event Model, Philippines,
Addison Wesley Publishing Company.
Maklassa DG. 2012. Pengaruh Kompetensi, Motivasi, Sarana dan Prasarana Terhadap Kinerja Guru
dan Kualitas Pendidikan di Provinsi Sulawesi Selatan. Program Pasca Sarjana UMI Makassar.

16
Competitiveness
p-ISSN: 1978-3035 – e-ISSN: 2775-4677
Vol. 10, Nomor 1 | Januari – Juni, 2021
Mathis, Robert L dan John H. Jackson. 2009. Manajemen Sumber Daya Manusia: Buku Dua.
Salemba Empat: Jakarta.
Mulyasa. 2013. Pengembangan dan Implementasi Kurikulum 2013. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya
Muttaqiyathun, Ani. 2010. Hubungan Emotional Quotient , Intelectual Quotient
dan Spiritual Quotient dengan Entrepreneur’s Performance (Sebuah Studi Kasus Wirausaha Kecil
di Yogyakarta). Jurnal Manajemen Bisnis, Vol. 2 No. 3
Nawawi, Hadari. 2003. Kepemimpinan Mengefektifkan Organisasi. Yogyakarta: Gajah Mada
University Press.
Nggermanto Agus, Quantum Quetient (Kecerdasan Quantum) Cara Cepat Melejitkan IQ,
EQ dan SQ Secara Harmonis, Yayasan Nusantara, Bandung, 2002
Priadi, Andri. "Pengaruh Kecerdasan Intelektual, Kecerdasan Emosional Dan Kecerdasan Spiritual
Terhadap Kinerja Guru." JURNAL SeMaRaK 1.3 (2018).
Robbin SP, dan Judge. 2007. Perilaku Organisasi, Jakarta. Salemba Empat
Robbin SP, dan Judge. 2008. Perilaku Organisasi, Jakarta. Salemba Empat
Sahertian. 2008. Konsep Dasar dan Teknik Supervisi Pendidikan dalam rangka Pengembanagan
Sumber daya Manusia. Jakarta: Rineka Cipta.
Sarwono, Sarlito W (2013). Psikologi Remaja. Jakarta: Rajawali Pers
Shapiro, E.Lawrence. (2003). Mengajarkan Emotional Intelligence Pada Anak. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama.
Singarimbun, M dan Sofian, E. 1989. Metode Penelitian Survey.LP3ES. Jakarta.
Sonitra, Onsardi, Sri Ekowati. 2019. Pengaruh Kecerdasan Kecerdasan, Kecerdasan Emosional, Dan
Kecerdasan Spiritual Terhadap Kinerja Guru Di Sekolah Dasar Negeri Pino Kabupaten
Bengkulu Selatan. Fakultas Ekonomi. Universitas Muhammadiyah Bengkulu.
Sternberg, RJ. (2008). Psikologi Kognitif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sternberg, RJ. (2010). Psikologi Kognitif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Stewart, J. & J. McGoldrick (eds) (1996). Human resource development: perspectives,
strategies and practice. London: Pitman
Sugiyono.2010. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R & D. Cetakan ke Sembilan, Bandung:
Alfabeta.
Sukidi. (2004). Kecerdasan Spiritual Mengapa SQ Lebih Penting Dari Pada IQ dan EQ. Jakarta :
Gramedia Pustaka Utama.
Swanson, ER. (2000). Working With Other Disciplines. American Journal of Agriculral
Economic. Vol.4, pp.341-70
Syahmuharnis dan Harry Sidharta, 2006. Trancendental Quotient: Kecerdasan Diri Terbaik,
Jakarta: Republika
Tasmara, Toto. 2001. Kecerdasan Ruhaniah (Transedental intellegence). Jakarta: Gema Insan
Triton, P.B 2005. Riset Statistik Parametrik : SPSS13.00 for windows. Yogyakarta : Andi.
Wibowo. 2007. Manajemen Kinerja. Jakarta: PT. Raja Grafindo Parsada.
Winanti, Marliana Budhiningtias. 2011. Pengaruh Kompetensi Terhadap Kinerja Karyawan (Survei
Pada PT Frisian Flag Indonesia Wilayah Jawa Barat). Jurnal Majalah Ilmiah Unikom, Vol. 7
(2) : 249 - 267.
Wirawan. (2009). Evaluasi Kinerja Sumber Daya Manusia Teori Aplikasi dan Penelitian.
Jakarta. Penerbit: Salemba Empat.
Wirjana, Bernardine R (2007) Mencapai Manajemen Berkualitas. Andi Yogyakarta.
WS. Winkel,1991, Psikologi Pengajaran, Jakarta: Gramedia
Zohar, Danah, Ian Marshal. (2007). Spiritual Capital.Jakarta: Mizan.

17
P-ISSN: 2615-1723 Jurnal Riset Pendidikan Dasar
E-ISSN: 2615-1766 1 ( 1), ( 2018) 56-64
April 2018 Submitted: Februari, Accepted: Maret, Published: April http://journal.unismuh.ac.id/index.php/jrpd

PENGARUH KECERDASAN EMOSIONAL TERHADAP HASIL BELAJAR


MATEMATIKA SISWA SEKOLAH DASAR
Mirnawati*, Muhammad Basri

Program Studi Magister Pendidikan Dasar, Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Makassar,


Indonesia

*Korespondensi. E-mail: Mirnawati05j.pgsd@gmail.com

Abstrak
Kecerdasan emosi terhadap pembelajaran matematika ada suatu kemampuan untuk mengendalikan emosi
diri mengola dan mengekspresikan emosi terhadap orang lain, kecerdasan emosi sangat diperlukan untuk
memahami pelajaran yang disampaikan oleh guru. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakahada
pengaruh positif antara kecerdasan emosional terhadap hasil belajar matematikapeserta didik, dan
mengubah pandangan peserta didik tentang pelajaran matematika. Penelitian ini meruapakan penelitian ex-
post facto. Subjek penelitian ini adalah peserta didik kelas tinggi yang berjumlah 30 peserta didik yang terdiri
dari 5 peserta didik dari tiga kelas paralel. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat pengaruh
positif antara kecerdasan emosional terhadap hasil belajar matematika. Hal ini dapat dilihat dari grafik
regresi bahwa titik-titik yang tersebar mendekati garis regresi dan searah miring dengan garis regresi. Nilai
koefisien determinan (r2) yang diperoleh sebesar 0,229 yang menandakan bahwa faktor kecerdasan
emosional memberikan pengaruh terhadap hasil belajar matematika sebesar 22,9% selebihnya 77,1%
dipengaruhi oleh faktor lain. Hasil analisis regresi diperoleh nilai konstan sebesar 39,993 koefisien regresi
untuk vareiabel kecerdasan emosi sebesar 0,229, sehingga diperoleh persamaan regresi sederhana Y=
39,993 + 0,229X. Berdasarkan hasil tersebut maka kesimpulan dapat diambil adalah peserta didik yang
memiliki kecerdasan emosional yang tinggi akan lebih terampil dalam menenangkan diri dan memusatkan
perhatian dalam memahamai materi pelajaran. Kegiatan ini sangat penting utamanya bagi guru untuk
mengetahui keesulitan peserta didik. Hal ini sejalan dengan kemampuan guru untuk lebih mengenal
karakter peserta didik.

Kata Kunci: kecerdasan emosional, hasil belajar matematika

THE EFFECT OF EMOTIONAL INTELLIGENCE ON LEARNING RESULT OF


MATHEMATICS STUDENTS BASIC SCHOOL

Abstract
Emotional intelligence to the learning of mathematics there is an ability to control self-emotion mengola and express
emotions to others, emotional intelligence is needed to understand the lessons conveyed by the teacher. This study aims to
determine whether there is a positive influence between emotional intelligence on mathematics learning outcomes and
students, and change the views of learners about math lessons. This research is an ex-post facto research. The subjects of
this study were high school students who numbered 30 students consisting of 5 students from three parallel classes. The
results of this study indicate that there is a positive influence between emotional intelligence on mathematics learning
outcomes. It can be seen from the regression graph that the dots are scattered near the regression line and in the same
direction with the regression line. The value of determinant coefficient (r2) obtained by 0.229 indicating that the emotional
intelligence factor gives effect to the learning result of mathematics equal to 22,9% 77,1% is influenced by other factor.
Regression analysis results obtained constant value of 39.993 regression coefficient for vareiabel emotional intelligence of
0.229, so obtained a simple regression equation Y = 39.993 + 0.229X. Based on these results, the conclusions can be
drawn are learners who have high emotional intelligence will be more skilled in calming down and focusing attention in
comprehending the subject matter. This activity is very important especially for teachers to know keesulitan learners. This
is in line with the ability of teachers to be more familiar with the character of learners.

Keywords: emotional intelligence, mathematics learning outcomes

Copyright ©2018, JRPD, ISSN 2615 – 1723 (Print), ISSN 2615 – 1766 (Online)
56
Jurnal Riset Pendidikan Dasar, 1 (1), April 2018 (56-64)
Mirnawati, Muhammad Basri

PENDAHULUAN sebagai defenisi dasar tentang kecerdasan


emosi. Menurutnya kecerdasan emosi adalah
Paradigma baru pendidikan lebih kemampuan individu dalam mengenali emosi
menekankan pada peserta didik sebagai diri, mengelola emosi, memotivasi diri sendiri,
manusia yang memiliki potensi untuk belajar mengendali emosi orang lain, dan membina
dan berkembang. Peserta didik harus aktif hubungan dengan orang lain.
dalam pencarian dan pengembangan Berdasarkan observasi dan wawancara
pengetahuan. Soedjadi (2007) mengatakan dengan guru dan peserta didik pada tanggal 28
bahwa matematika sekolah adalah berkaitan Mei 2016 SD Negeri 301 Buttu Bila.
dengan anak didik yang sedang menjalani Diindikasikan bahwa peserta didik kurang
proses perkembangan kognitif dan emosional, dapat mengontrol dan mengola emosinya. Hal
mereka memerlukan tahapan belajar yang ini ditunjukkan dengan sikap peserta didik
sesuai dengan perkembangan kognitifnya. selama mengikuti proses pembelajaran. Ketika
Prihandoko (2006: 9) mengemukakan guru mnjelaskan materi matematika, banyak
bahwa matematika berkenaan dengan struktur- diantara peserta didik yang tidak
struktur, hubungan-hubungan, dan konsep - memperhatikan penjelasan guru dan bahkan
konsep abstrak yang dikembangkan menurut ada yang tertawa keras. Ketika guru
aturan yang logis. James (Ruseffendi, 1992: memberikan tugas ada beberapa di antara
27) menyatakan bahwa matematika peserta didik yang mengobrol dan bermain
merupakan ilmu tentang logika mengenai dengan teman-temannya. Selain itu, guru
bentuk, susunan, besaran, dan konsep - konsep tersebut mengungkapkan bahwa sering
yang saling berhubungan satu sama lainnya didapati peserta didik yang mengejek teman
dengan jumlah yang banyaknya terbagi ke sendiri hingga menangis, berkelahi di sekolah
dalam tiga bidang, yaitu aljabar, analisis, dan hanya karena hal-hal kecil dan berani
geometri. membantah guru.
Hasil belajar dipengaruhi oleh beberapa Hasil wawancara dengan guru diperoleh
faktor yang bersifat eksternal dan internal. informasi bahwa ada beberapa peserta didik
Faktor eksternal merupakan faktor yang cenderung malas untuk belajar dan
berasal dari luar diri peserta didik, diantaranya mengerjakan soal dalam mata pelajaran
adalah jenis model pembelajaran yang matematika. Padahal, sebenarnya peserta didik
digunakan guru, banyaknya kegiatan tersebut mampu untuk memahami materi
perlombaan, dan perbandingan antara jam pelajaran dan mengerjakan soal matematika.
belajar efektif dengan tuntutan kurikulum Hal itu terbukti ketika dibimbing oleh guru,
yang tidak seimbang. Faktor internal peserta didik dapat mengerjakan. Namun,
merupakan faktor yang berasal dari dalam diri karena rasa malas peserta didik enggang
peserta didik, salah satunya adalah mengerjakan sendiri. Peserta didik juga
keceradasan. Syah(2013:131), menyebutkan cenderung mudah putus asa ketika
salah satu faktor rohaniah yang dapat menghadapi soal matematika.
memengaruhi hasil belajar adalah Berdasarkan hasil wawancara dengan
kecerdasan. Menurut (Efendi,2005:82) beberapa peserta didik diperoleh keterangan
kecerdasan itu terbagi atas 3 macam, yaitu bahwa banyak diantara peserta didik kurang
Intelli-gence Quatient (IQ), Emotional Qua-tient menyukai pelajaran matematika karena
(EQ) ,dan Spiritual Quatient (SQ). menganggap matematika merupakan pelajaran
(Goleman, 2015: 55) menempatkan yang sulit. Para peserta didik juga
kecerdasan interpersonal dan intrapersonal membutuhkan bahwa mereka cenderung

Copyright ©2018, JRPD, ISSN 2615 – 1723 (Print), ISSN 2615 – 1766 (Online)

57
Jurnal Riset Pendidikan Dasar, 1 (1), April 2018 (56-64)
Mirnawati, Muhammad Basri

malas untuk menghitung angka-angka dalam kecerdasan otak saja, memiliki gelar tinggi,
mata pelajaran matematika belum tentu sukses berkiprah di dunia
pekerjaan. Seringkali justru yang
Setiap peserta didik memiliki tingkat berpendidikan formal yang lebih rendah ,
kecerdasan emosional yang berbeda, sehingga banyak yang ternyata mampu lebih berhasil.
memengaruhi hasil belajarnya. Oleh karena Kebanyakan program pendidikan hanya
itu, rumusan masalah dalam penelitian ini berpusat pada kecerdasan akal (IQ), padahal
adalah apakah ada pengaruh kecerdasan diperlukan pula bagaimana mengembangkan
emosional terhadap hasil belajar Matematika kecerdasan emosi seperti: ketangguhan,
pada peserta didik SD Negeri 301 Buttu Bila inisiatif, optimisme, kemampuan beradaptasi.
Kecematan Lembanga Kabupaten Pinrang. Saat ini begitu banyak orang berpendidikan
Dalam mata pelajaran matematika, yang nampak begitu menjanjikan, mengalami
kecerdasan emosi merupakan suatu hal yang kemandekan dalam kariernya. Lebih buruk
diperlukan oleh peserta didik. Mustaqim lagi, mereka tersingkir akibat rendahnya
(2012: 158) mengemukakan bahwa kecerdasan kecerdasan emosi (Agustian, 2007).
emosi dapat berpengaruh dalam proses dan Mengungkapkan kecerdasan (intelligence)
keberhasilan belajar peserta didik. Tanpa adalah kemampuan bertindak dengan
adanya kecerdasan emosi peserta didikakan menetapkan suatu tujuan, untuk berpikir
mudah menyerah, tidak memiliki motivasi secara rasional, dan untuk berhubung dengan
untuk untuk belajar, dan tidak pandai lingkungan di sekitarnya secara memuaskan.
memusatkan perhatian pada materi pelajaran, Sukardi ( 1988:16), kecerdasan adalah
walaupun sebenarnya peserta didik tersebut kemampuan untuk menetapkan dan
mampu untuk mempelajarinya. Kecerdasan mempertahankan suatu tujuan, untuk
emosi yang tinggi akan melahirkan peserta mengadakan penyesuaian dalam rangka
didik yang berprestasi dan dapat meningkatkan mencapai tujuan itu dan untuk bersikap kritis
hasil belajarnya. terhadap diri sendiri. Kecerdasan merupakan
Faktor yang mempengaruhi kecerdasan bakat tunggal yang dipergunakan dalam situasi
emosi yaitu faktor yang berasal dari dalam diri menyelesaikan masalah apa pun. Seseorang
individu, faktor internal ini membantu yang tidak bisa memecahkan masalah atau
individu dalam mengelola, mengontrol, dan persoalan semudah-mudahnya juga memiliki
megendalikan emosinya agar dapat inteligensi hanya tarafnya yang rendah. Oleh
terkoordinasi dengan baik dan tidak karena itu, kecerdasan pada hakikatnya
menimbulkan masalah bagi dirinya dan orang merupakan suatu kemampuan dasar yang
lain. bersifat umum untuk memperoleh suatu
Faktor ekternal yaitu faktor yang berasal kecakapan yang mengandung berbagai
dari luar diri individu, misalnya lingkungan komponen.
keluarga, masyarakat, dan media massa atau Dalam makna paling harfiah, Oxford
cetak. Faktor eksternal ini membantu individu English Dictionary (Goleman, 2006: 411)
untuk mengenali emosi orang lain sehingga mendefinisikan emosi sebagai “setiap kegiatan
individu dapat belajar mengenai berbagai atau pergolakan pikiran, perasaan, nafsu,
macam emosi yang dimiliki orang lain, serta setiap keadaan mental yang hebat atau
membantu individu untuk merasakan emosi meluap-luap”. Emosi dapat berupa marah,
orang lain dengan keadaan yang takut, sedih, bahagia, cinta, malu, dan
menyertainya. sebagainya yang merupakan titik tolak bagi
Banyak contoh disekitar kita nuansa kehidupan emosional kita yang tidak
membuktikan bahwa orang memiliki habis-habisnya.

Copyright ©2018, JRPD, ISSN 2615 – 1723 (Print), ISSN 2615 – 1766 (Online)

58
Jurnal Riset Pendidikan Dasar, 1 (1), April 2018 (56-64)
Mirnawati, Muhammad Basri

Adapun kelompok emosi dapat dilihat kemampuan yang dimiliki oleh peserta didik
pada uraian sebagai berikut. (1). Amarah: dalam berbagai bidang, dan kemampuan itu
beringas, mengamuk, benci, marah besar, diperoleh karena adanya usaha belajar.
jengkel, kesal hati, terganggu, rasa pahit, Akan sangat tepat jika seseorang yang
berang, tersinggung, bermusuhan, dan memiliki hasil belajar yang tinggi yang mampu
barangkali paling hebat, tindak kekerasan dan mengungkapkan gagasan baru dalam suatu
kebencian patologis. (2). Kesedihan: pedih, bidang juga mampu mengolah emosinya
sedih, muram, melankolis, mengasihi diri, dengan baik, bersikap tegas, mudah bergaul,
kesepian, ditolak, putus asa, dan kalau mampu memecahkan masalah, serta dapat
menjadi patologis, depresi berat. (3). Rasa berfikir dengan baik dan benar. Dalam
takut: cemas, takut, gugup, khawatir, waswas, hubungannya dengan pembelajaran,
perasaan takut sekali, khawatir, waspada, penguasaan matematika merupakan salah satu
sedih, tidak tenang, ngeri, takut sekali, kecut; kemampuan khusus yang dimiliki seseorang
sebagai patologi, fobia dan panik. (4). dan kemampuan ini sangat menunjang dalam
Kenikmatan: bahagia, gembira, ringan, puas, mempelajari bidang-bidang yang lain.
riang, senang, terhibur, bangga, kenikmatan Sedangkan Kecerdasan Emosional (EQ)
indrawi, takjub, rasa terpesona, rasa puas, rasa sangat mempengaruhi semua kemampuan
terpenuhi, kegirangan luar biasa, senang sekali, yang dimiliki seseorang.
dan batas ujungnya, mania. (5). Cinta: Sujana (1994) bahwa: “Belajar adalah
penerimaan, persahabatan, kepercayaan, proses perubahan tingkah laku seseorang
kebaikan hati, rasa dekat, bakti, hormat, berkat adanya pengalaman”. Perubahan
kasmaran, kasih. (6). Terkejut: terkejut, tingkah laku akibat proses belajar akan dapat
terkesiap, takjub, terpana. Jengkel : hina, jijik, diamati dan berlaku dalam waktu relatif lama.
muak, mual, benci, tidak suka, mau muntah. Perubahan tingkah laku dalam waktu lama itu
(7). Malu: rasa salah, malu hati, kesal hati, disertai dengan usaha dari individu itu,
sesal, hina, aib, dan hati hancur lebur. sehingga individu itu dari tidak mampu
Goleman (Triantoro Safaria dan Nofrans mengerjakan sesuatu menjadi mampu
Eka Saputra, 2012: 13) juga mengkategorikan mengerjakan. Perubahan yang terjadi dari
emosi menjai 2 kategori umum jika dilihat dari proses belajar seperti yang telah dikemukakan
dampak yang ditimbulkan, hal itu dapat di di atas diperoleh melalui latihan (pengalaman)
kaitkan dengan beberapa uaraian yang telah bukan perubahan yang terjadi dengan
dikemuakan tersebut, dimana emosi sendirinya karena pertumbuhan kematangan
merupakan keadaan pada diri individu yang atau karena keadaan sementara. Banyak hal-
merujuk pada suatu perasaan, pikiran - pikiran hal yang menyerupai belajar karena memuat
yang khas,suatu kedaan psikologis, dan unsurunsur perubahan. Namun belajar di
kecenderungan untuk bertindak akibat adanya samping memiliki perubahan juga
situasi atau rangsangan tertentu. mengarahkan kegiatan serta menuntut
Kecerdasan emosional bertumpu pada pemusatan perhatian. Perubahan yang terjadi
hubungan antara perasaan, watak, dan naluri jauh lebih besar karena menyangkut fungsi
moral yang mencakup pengendalian diri, kejiwaan keseluruhan pribadi. Dengan kata
semangat dan ketekunan, kemampuan lain, hasil proses belajar tidak hanya
menyesuaikan diri, kemampuan memecahkan perubahan tingkah laku, kecakapan,
masalah pribadi, mengendalikan amarah serta melainkan juga sikap dan perhatian.
kemampuan untuk memotivasi diri sendiri. Mempelajari matematika tidak hanya
Terutama dalam proses pembelajaran. Dalam berhubungan dengan bilangan-bilangan serta
proses pembelajaran terjadi suatu perubahan operasi-operasinya, melainkan matematika

Copyright ©2018, JRPD, ISSN 2615 – 1723 (Print), ISSN 2615 – 1766 (Online)

59
Jurnal Riset Pendidikan Dasar, 1 (1), April 2018 (56-64)
Mirnawati, Muhammad Basri

juga berkenaan dengan ide-ide, struktur- Motivasi terdiri dari: dorongan berprestasi,
struktur dan hubungan-hubungan yang diatas komitmen, inisiatif, dan optimis. Empati
secara logis sehingga matematika itu berkaitan terdiri dari: memahami orang lain, pelayanan,
dengan konsepkonsep yang abstrak sebagai mengembangkan orang lain, dan mengatasi
suatu strukturstruktur dan hubungan- keragaman. Keterampilan sosial terdiri dari:
hubungan, maka matematika memerlukan pengaruh, komunikasi, kepemimpinan,
simbol-simbol untuk membantu memanipulasi katalisator perubahan, manajemen konflik,
aturan-aturan dengan operasi yang diterapkan. pengikat jaringan, serta kerja tim.
(Hudoyo, 1990) menyatakan bahwa: “Belajar Kecerdasan emosional bukan
matematika adalah belajar tentang konsep- didasarkan pada kepintaran seorang anak
konsep dan struktur-struktur matematika yang melainkan pada suatu yang dahulu disebut
terdapat dalam materi yang dipelajari serta “karakter” atau “karakteristik pribadi”.
mencari hubungan-hubungan antara konsep- Kecerdasan emosional dan kecerdasan
konsep dan struktur matematika itu”. intelektual berinteraksi secara dinamis, baik
Sedangkan menurut Muhkal (Tajuddin, 2004) pada keterampilan kognitif, maupun di dunia
menyatakan bahwa: “Pada hakekatnya belajar nyata. Idealnya, seseorang dapat memiliki
matematika adalah suatu kegiatan psikologis. keduanya sebagaimana ditunjukkan oleh
Yaitu mempelajari atau mengkaji berbagai beberapa negarawan di dunia. Kecerdasan
hubungan-hubungan antara struktur-struktur emosional mencakup kemampuan-
matematika melalui manipulasi simbol-simbol kemampuan yang berbeda dan saling
sehingga diperoleh pengetahuan baru”. melengkapi dengan kemampuan kognitif
Dalam makna paling harfiah, Oxford murni yang telah lebih dulu dikenal, yaitu
English Dictionary (Goleman, 2006) kecerdasan akademik/intelektual/rasional
mendefiniskan emosi sebagai “setiap kegiatan (IQ). Meskipun IQ tinggi, tetapi EQ
atau pergolakan pikiran, perasaan, nafsu, rendah,biasanya tidak banyak membantu
setiap keadaan mental yang hebat atau dalam semua aspek kehidupan. IQ dan EQ
meluap-luap”. Emosi dapat berupa marah, mengungkapkan aktivitas-aktivitas yang
takut, sedih, bahagia, cinta, malu, dan berbeda dalam otak. IQ didasarkan pada kerja
sebagainya yang merupakan titik tolak bagi neokorteks, yakni suatu lapisan yang dalam
nuansa kehidupan emosional kita yang tidak evolusi berkembang paling akhir di bagian atas
habis-habisnya. Emosi merupakan suatu otak. Adapun pusat-pusat emosi berada di
kekuatan penggerak dimana nilainilai dan bagian otak lebih dalam yang secara evolusi
watak dasar seseorang dalam hidup ini tidak berkembang lebih duluan. Kerja-kerja otak
berakar pada IQ tetapi pada kemampuan pada bagian inilah yang mempengaruhi EQ.
emosional. Namun demikian aktivitas pusat-pusat emosi
Nggermanto ( 2001) kecerdasan tersebut tetap selaras dengan aktivitas kerja
emosional (emotional intelligence) adalah pusat-pusat intelektual.
kemampuan untuk mengenali perasaan kita EQ biasa disebut “street smart
sendiri dan perasaan orang lain, kemampuan (pintar)”, atau kemampuan khusus yang
memotivasi diri sendiri, dan kemampuan disebut “akal sehat”. EQ terkait dengan
mengelola emosi dengan baik pada diri sendiri kemampuan membaca lingkungan sosial dan
dalam hubungan dengan orang lain yaitu: menatanya kembali. Juga terkait dengan
Kesadaran diri terdiri dari: kesadaran emosi kemampuan memahami secara spontan apa
diri, penilaian pribadi, dan percaya diri. yang diinginkan dan dibutuhkan orang lain,
Pengaturan diri terdiri dari: pengendalian diri, demikian juga kelebihan dan kekurangan
dapat dipercaya, waspada, dan inovatif. kemampuan membaca mereka, kemampuan

Copyright ©2018, JRPD, ISSN 2615 – 1723 (Print), ISSN 2615 – 1766 (Online)

60
Jurnal Riset Pendidikan Dasar, 1 (1), April 2018 (56-64)
Mirnawati, Muhammad Basri

untuk menjadi orang yang meyenangkan keseluruhan yaitu 132 peserta didik.
sehingga kehadirannya didambakan orang Pengambilan sampel dilakukan dengan teknik
lain. Oleh karena itu, semakin tinggi EQ cluster random sampling (areasampling).
seseorang, semakin besar kemungkinan untuk Penelitian ini menggunakan dua macam
sukses sebagai pekerja, orang tua, manager, data,yaitu kecerdasan emosional dan hasil
pelajar, dan sebagainya. belajar Matematika. Kecerdasan emosional
dijaring menggunakan teknik angket,
METODE sedangkan hasil belajar Matematika dijaring
dengan teknik tes.
Penelitian ini dilaksanakan di SD Negeri Uji coba dilaksanakan guna mengetahui
301 Buttu Bila Kecamatan Lembang validitas, reliabilitas, dan daya beda instrumen.
Kabupaten Pinrang tahun 2016. Instrumen yang memenuhi syarat dapat
Upaya menjelaskan pola hubungan digunakan dan instrumen yang tidak
fungsional antar variabel dalam penelitian ini memenuhi syarat harus dihapus. Perskoran
menggunakan metode survei korelasional yang kecerdasan emosional ditunjukkan pada Tabel
bersifat ex post facto dengan pendekatan 1.
kuantitatif dan dianalisis menggunakan Instrument yang digunakan dalam
analisis regresi sederhana. penelitian ini berupa skala psikologi. Skala
Populasi penelitian ini adalah kelas psikologi dalam penelitian ini berupa skala
tinggi sekolah dasar negeri yang berada di desa kecerdasan emosi. Instrument yang digunakan
Buttu Bila Kecamatan Lembang yang diambil dari instrument Rafika Dewi Satriani
berjumlah 30 SD. Sampel yang diambil dari yang telah divalidasi.
populasi yang ada, yaitu 15% dari jumlah

Table 1 Pedoman Penskoran


Kadang- Tidak
Standar penyekoran/penelitian Selalu Sering
kadang pernah
Pernyataan favorable 4 3 2 1
Pernyataan unfavorable 1 2 3 4

Skor alternatif jawaban skala kecerdasan dan jawaban tidak pernah mendapatka skor 4
emosi menggunakan skala Likert. Jawaban (kurang).
setiap item instrument yang menggunakan Teknik pngumpulan data yang
skala Likert mempunyai gradasi dari sangat digunakan skala psiologi dan dokumentasi.
positif sampai sangat negatif (Sugiyono, 2013: Data yang diungkap oleh skala psikologi
93). adalah deskripsi mengenai aspek kepribadian
Untuk setiap pernyataan favorable individu, motivasi, tingkat kecemasan, dan
denngan alternatif jawaban selalu variabel kepribadian lain. Pengumpulan data
mendapatkan skor 4 (sangat baik), jawaban dengan dokumentasi dalam penelitian ini
sering mendapatkan skor 3 (baik), jawaban dimaksudkan untuk mendapatkan data tentang
kadang-kadang mendapatkan skor 2 (cukup), hasil belajar matematika peserta didik dalam
dan jawaban tidak pernah mendapatkan skor 1 kurun waktu satu semester yang tercantum
(kurang). Sedangkan untuk pernyataan dalam buku rapor semester yang tercantum
unfavorable dengan alternatif jawaban selalu dalam buku rapor semester II tahun ajaran
mendapatkan skor 1 (sangat baik), jawaban 2015/2016.
sering mendapatkan skor 2 (baik), jawaban Penelitian ini menggunakan teknik
kadang-kadang mendapatkan skor 3 (cukup), statistik karena data yang diambil merupakan

Copyright ©2018, JRPD, ISSN 2615 – 1723 (Print), ISSN 2615 – 1766 (Online)

61
Jurnal Riset Pendidikan Dasar, 1 (1), April 2018 (56-64)
Mirnawati, Muhammad Basri

data kuantitatif, sedangkan analisis yang optimis dalam mengahadapi kesullitan,


digunakan adalah teknik analisis regresi memiliki hubungan dan persahabatan yang
sederhana. Sebelum melakukan analisis data baik dengan orang lain, cakap memahami
orang, dan memiliki hasil belajar yang
maka terlebih dahulu dilakukan uji prasyarat
baik.Sebanyak 23 peserta didik (76,67%)
analisis yang meliputi ujinormalitas dan uji tergolong dalam kategori sedang. Peserta didik
linieritas. yang memiliki kecerdasan emosi yang sedang
Penelitian ini akan dianalisis dengan akan cukup mampu memusatkan perhatian
statistik deskriptif, karena penelitian yang dalam memahami materi pelajaran,
dilakukan adalah penelitian populasi (tanpa memotivasi diri sendri untuk terus maju,
diambil sampelnya). Dalam statistik deskriptif cukup optimis dalam menghadapi kesulitan,
memiliki hubungan dan persahabatan yang
juga dapat mencari kuatnya hubungan antar
cukup baik dengan orang lain, cukup dapat
variabel melalui analisis korelasi dan memahami orang, dan memiliki hubungan dan
melakukan prediksi dengan analisis regresi persahabatan yang cukup baik dengan orang
(Sugiyono,2008:148). Statistic dskriptif lain, cukup dapat memahami orang, dan
meiputi; (1) skala pengukuran, (2) menyusun memiliki hasil belajar yang cukup baik.
data penelitian, (3) ukuran kecenderungan Selebihnya, 2 peserta didik (6,66%) tergolong
memusat: mean, ,median, modus, (4) ukuran dalam kategori rendah.Peserta didik yanng
memiliki kecerdasan emosi yang rendah akan
keragaman: rentangan, varians, dan standar
sulit memusatkan perhatian dalam memahami
deviasi. materi pelajaran.
Hasil analisis distribusi frekuensi dan
HASIL DAN PEMBAHASAN persentase yang berhubungan dengan skor
variabel hasil belajar peserta didik disajikan
Hasil analisis statistik deskriptif yang pada Tabel 3.
berhubungan dengan skor variabel kecerdasan
emosional peserta didik disajikan pada Tabel Tabel 3. Kemampuan Kecerdasan Emosional
2. Statistik Nilai Statistik
Ukuran sampel 132
Tabel 2. Kemampuan Kecerdasan Emosional Skor ideal 75
Statistik Nilai Statistik Skor tinggi 92
Ukuran sampel 132 Skor rendah 60
Skor ideal 75 Rentang skor (range) 32
Skor tinggi 92 Skor rata-rata 77,13
Skor rendah 60 Deviasi 8,17
Rentang skor (range) 32 Varians 66,37
Skor rata-rata 78,70
Deviasi 8 Tidak berbada jauh dengan variabel
Varians 65,15 kecerdasan kecerdasan emosi, hasil analisis
deskriptik pada variabel hasil belajar
Hasil analisis deskriptif pada variabel matematika SD Negeri 301 Buttu Bila
kecerdasan emosi, diketahui bahwa sebagian
memiliki tingkat hasil belajar matematika
besar peserta didik SD Negeri 301 Buttu Bila
memiliki tingkat kecerdasan emosi yang yang sedang. Dari 30 peserta didik, masing-
sedang. Dari 30 peserta didik dari 3 kelas masing 5 dijadikan sampel dari kelas parallel
paralel yang masing-masing 5 diantaranya di terdapat 6 peserta didik (20,00%) yang
jadikan sampel, sebanyak 5 peserta didik tergolong dalam kategori tinggi. 21 peserta
(16,67%) tergolong dalam kategori didik (70,00%) tergolong dalam kategori
tinggi.Peserta didik yang memiliki kecerdasan
sedang, dan 3 peserta didik (10,00%) yang
emosi yang tinggi mampu memusatkan
perhatian dalam memahami materi pelajaran, tergolong dalam kategori rendah.
memotivasi diri sendiri untuk terus maju,
Copyright ©2018, JRPD, ISSN 2615 – 1723 (Print), ISSN 2615 – 1766 (Online)

62
Jurnal Riset Pendidikan Dasar, 1 (1), April 2018 (56-64)
Mirnawati, Muhammad Basri

Uji normalitas digunakan untuk sisanya ditentukan oleh faktor-faktor lain


menentukan apakah data berdistribusi normal termasuk emosi. Selain itu, Agus Efendi (2005:
atau tidak. Ujinormalitas menggunakan uji 183) menyatakan bahwa kecerdasan emosi
diperlukan untuk berprestasi. Hal ini juga
Lilliefors. Penghitungan ini dilakukan dengan
diperkuat dengan hasil penelitian yang dilakukan
asumsi jika Lo lebih kecil dari L tabel (Lo oleh Riheni Pamungkas (2013) mengenai
<Ltabel), maka data berasal dari populasiyang pengaruh kecerdasan emosional terhadap hasil
berdistribusi normal dengan taraf signifikansi belajar matematika yang dilakukan pada peserta
5%. didik SD Negri301 Buttu Bila Kecamatan
Lembang. Hasil analisis diperoleh koefisien
Pengujian hipotesis dilakukan dengan
korelasi sebesar 0,484 dan koefisien determinasi
menggunakan regresi linear sederhana dengan sebesar 0,229. Dari hasil penelitian terdahulu
bantuan software statistik SPSS versi 20.0. berarti terdapat pengaruh positif kecerdasan
Berdasarkan hasil perhitungan, diperoleh emosi terhadap hasil belajar matematika.
koofesian korelasi sebesar 0,479 sehingga Mata pelajaran matematika merupakan
mata pelajaran yang dianggap sulit oleh
koefisien determinasinya (𝑟 2 ) sebesar 0,229
kebanyakan peserta didik. Hal ini dikarenakan
Analis data di atas menunjukkan bahwa masalah-masalah dalam matematika
penelitian ini memperoleh nilai konstan sebesar membutuhkan tahap penyelesaian yang
39,993, bararti jika nilai kecerdasan emosi sistematis. Matematika juga menuntut peserta
peserta didik 0, maka nilai hasil belajar didik untuk menggunakan logika dalam
matematika peserta didik adalah 39,993. menyelesaikannya karena konsep-konsep dalam
Koefisien regresi untuk variabel kecerdasan matematika bersifat abstrak.
emosi adalah 0,484 yang berarti setiap kenaikan Penyelesaikan masalah dalam mata
1 unit skor kecerdasan emosi maka akan diikuti pelajaran matematika diperlukan konsentrasi,
kenaikan hasil belajar matematika sebesar 0,484, kesabaran, dan ketelitian yang baik. Dalam
sehingga diperoleh persamaan regresi sederhana mengelola konsentrasi, kesabaran, dan ketelitian
Y= 39,993 + 0,484X. dibutuhkan motivasi dan pengelolaan emosi yang
Hipotesis penelitian diterima, yang kuat, sehingga peserta didik tidak musah putus
berarti bahwa terdapat pengaruh yang positif asa dan menyerah ketika belum dapat
antara emosi terhadap hasil belajar matematika menemukan jawaban penyelesaian yang tepat.
peserta didik SD Negeri 301 Buttu Bila. Hasil ini Pada latar belakang diterangkan bahwa sikap,
memiliki arti bahwa semakin tinggi tingkat motivasi, ketekunan, kegigihan dan pengelolaan
kecerdasan emosi maka akan semakin tinggi pula emosi diri dapat menghayati setiap materi
hasil belajar matematika yang diperoleh peserta pelajaran cenderung mengarah kepada
didik. Sebaliknya, semakin rendah tingkat kecerdasan emosi.
kecerdasan emosi maka akan semakin rendah Kecerdasan emosi dapat memberikan
pula hasil belajar matematika yang diperoleh sumbangan yang bermanfaat dalam mengelola
peserta didik. emosi untuk dapat memusatkan perhatian untuk
Hasil perhitungan analisis regresi linear memahami materi pelajaran matematika, serta
sederhana diperoleh nilai konstan sebesar 39,993. tetap optimis dan memotivasi diri dalam
Koefisien regresi untuk variabel kecerdasan memperoleh hasil belajar matematika yang
emosi sebesar 0,484. Sehingga diperoleh tinggi. Hal ini selaras dengan pendapat Conny R.
persamaan regresi sederhana Y = 39,993 + Semiawan ( 2008: 12-13) yang mengungkapkan
0,484X. koefisien determinasi yang diperoleh bahwa hasil belajar peserta didik tidak hanya
sebesar 0,229 yang menandakan bahwa factor ditentukan oleh faktor kognitif, namun juga
kecerdasan emosi memberikan pengaruh atau faktor non-kognitif, termasuk kecerdasan emosi.
kontribusi terhadap hasil belajar matematika Selain kecerdasan intelektual (IQ), kecerdasan
sebesar 22,9%, sedangkan 77,1% selebihnya emosi juga mempengaruhi hasil belajar peserta
dipengaruhi oleh faktor-faktor lain yang tidak didik. Keseimbangan antara kecerdasan
diteliti dalam penelitian ini. intelektual (IQ) dan kecerdasan emosi diperlukan
Goleman (2015: 42) yang menyatakan untuk berkonsentrasi terhadap materi pelajaran
bahwa IQ hanya mempunyai peran sekitar 22,9%
dalam menemukan hasil belajar individu, 77,1%
Copyright ©2018, JRPD, ISSN 2615 – 1723 (Print), ISSN 2615 – 1766 (Online)

63
Jurnal Riset Pendidikan Dasar, 1 (1), April 2018 (56-64)
Mirnawati, Muhammad Basri

yang dihadapi, mengatasi stres, atau kecemasan Goleman, D. (2015). Emosioanal Intelegense.
dalam persoalan tertentu. Penerjemah: T. Hermaya. Jakarta. PT.
Gramedia Pustaka Utama.
SIMPULAN Hamzah B.U. (2008). Orientasi Baru dalam
Psikologi Pembelajaran. Jakarta: PT Bumi
Berdasarkan hasil penelitian dan Aksara.
pembahasan, maka kesimpulan yang dapat Hudojo, H. (1990). Strategi Mengajar Belajar
diambil adalah peserta didik yang memiliki Matematika. Malang : IKIP Malang.
kecerdasan emosi yang tinggi akan lebih Nggermanto A. (2001). Quantum Quotient:
terampil dalam menenangkan diri dan Kecerdasan Quantum, Cara Praktis
memusatkan perhatian dalam memahami Melejitkan IQ, EQ, dan SQ yang
materi pelajaran sehingga dalam penelitian Harmonis. Bandung: Nuansa.
dapat dikatakan bahwa terdapat pengaruh Prihandoko, A.C. (2006). Memahami Konsep
yang positif antara kecerdasan emosi terhadap Matematika Secara Benar dan
hasil belajar matematika peserta didik SD Menyajikannya dengan Menarik. Jakarta:
Negeri 301 Buttu Bila sebesar 22,9%. Hasil Departemen Pendidikan Nasional.
regresi untuk variabel kecerdasan emosi Riheni, P. (2013). “Pengaruh Kecerdasan
sebesar 0,229, sehingga di peroleh persamaan Emosional terhadap Hasil Belajar
regresi sederhana Y= 39,993 + 0,229X. Matematika pada Peserta didik Kelas V
Mengingat ada pengaruh yang Se-Kecamatan Prembun” Abstrak Hasil
signifikan antara kecerdasan emosional dengan Penelitian UNS.Surakarta.
hasil belajar Matematika, maka peneliti Sujana N. (1994). Cara Belajar Siswa Aktif
menyarankan:(1) bagi peserta didik supaya dalam Proses Belajar Mengajar.
lebih bersemangat untuk belajar, lebih tekun, Bandung: Sinar Bandung.
dan pantang menyerah ketika menghadapi Sugiyono. (2008). Metode Penelitian Kuantitatif,
soal-soal Matematika mengingat Matematika Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta.
merupakan salah satu mata pelajaran yang Soedjadi. (2007). Masalah Kontekstual Sebagai
selalu ada pada setiap jenjang pendidikan Batu Sendi Matematika Sekolah.
dasar; (2) bagi guru hendaknya dapat Surabaya: Pps UNESA.
menggunakan model-model pembelajaran Syah,M.(2013). PsikologiPen- didikan dengan
yang mengandung pembentukan kepribadian Pedekatan Baru. Bandung: Rosdakarya.
yang kuat sehingga dapat meningkatkan Tajuddin. (2004). Komparasi Prestasi Belajar
kecerdasan emosional peserta didik; (3) bagi Matematika antara Metode Pemecahan
orang tua supaya dapat membiasakan anak Masalah dan Metode Ekspositori dalam
dengan kegiatan membaca, mendongeng, Pembelajaran Pokok Bahasan Peluang
selalu memberikan kesempatan anak untuk pada Siswa Kelas II SMU Negeri I
bercerita dan juga membimbing anak untuk Takalar. Skripsi. Makassar: FMIPA
menganalisis peristiwa yang ada di lingkungan UNM.
sekitar.

DAFTAR PUSTAKA

Agustian, A.G. (2001). Rahasia Sukses


Membangun Kecerdasan Emosi dan
Spiritual, ESQ: Emotional Spiritual
Quotient berdasarkan 6 Rukun Iman
dan 5 Rukun Islam. Jakarta: Arga
Wijaya Persada.
Efendi,A. (2005). RevolusiKecer-
dasanAbad21Kritik MI, EI, SQ, AQ,
danSuccessfulIntelligence
AtasIQ.Bandung: Alfabeta.

Copyright ©2018, JRPD, ISSN 2615 – 1723 (Print), ISSN 2615 – 1766 (Online)

64
Vol. 1, No. 1, Juni 2017
Numerical: Jurnal Matematika dan Pendidikan Matematika
http://journal.iaimnumetrolampung.ac.id/index.php/numerical
DOI: https://doi.org/10.25217/numerical.v1i1.120

Pengaruh Kemampuan Analisis terhadap Prestasi Belajar Matematika Ditinjau


dari Intellegent Quotion (IQ)
Agus Setiawan1
Institut Agama Islam Ma’arif NU (IAIMNU) Metro Lampung
1)

Correspondence: 4905as@gmail.com

Article Info Abstract


Article History The objective of this study was to investigate the effect of analytical on learning
Received : 18-05-2017 achievement viewed from IQ. This research used the causal comparative research
Revised : 23-05-2017 with the factorial design of 3 x 3. Its population was all of the students of
Accepted : 02-06-2017 mathematics education in Islamic Institute Of Ma’arif NU Metro Lampung. The
Keywords: samples of the research were taken by using the random sampling. The
instruments used to gather the data of the research were test of learning
Analytical Individu, achievement in Mathematics, test of analytical individu and test of IQ of the
Intelligence Quotient (IQ),
Statistics Mathematics
students. Prior to their use, both the test were tried out. Their contents were
validated by the related experts. The reliability of the instruments was tested by
using the Cronbach Alpha formula. The discrimination power of the test and the
internal consistency of the questionnaire used Karl Pearson’s product moment
correlation formula. The pre-requisite tests of the research included the normality
test by using Lilliefors test and homogeneity test by using Bartlett test. The
proposed hypotheses of the research were tested by using the two-way analysis of
variance with unbalanced cells. The results of the research are as follows. 1) The
students with high IQ have a better learning achievement in Mathematics than
students with moderate IQ. 2) The students with the high analytical individu have
a better learning achievement in Mathematics than those with the moderate and
low analytical individu, and the students with the moderate analytical individu have
a better learning achievement in Mathematics than those with the low analytical
individu. 3) There was interaction among analytical and IQ on learning
achievement mathematics.

PENDAHULUAN
Pendidikan merupakan ujung tombak kemajuan bangsa, terutama dalam menghadapi era
globalisasi dimana kemajuan teknologi yang pesat menyebabkan perubahan struktur kehidupan dalam
masyarakat. Sejalan dengan kemajuan tersebut pendidik dan peserta didik dituntut untuk berperan aktif
dalam menjalankan misi pendidikan. Dalam islam menuntut ilmu merupakan suatu kewajiban baik ilmu
agama maupun ilmu ilmu pengetahuan umum. Dalam hadist Rasullulloh SAW bersabda:
ِ ِ‫ُواالع ِْل َم َولَ ْوب‬
‫الصي ِْن‬ ْ ‫سلَّ َم قَا َل اُطلُب‬ َ ‫علَيه و‬ َ ‫ي صلَّي اﷲ‬ َّ ‫ضي اﷲ عنه اَ َّن النَّب‬ ِ ‫ع ْن اَن ٍَس َر‬َ
ْ ْ
‫ب العِل ِم ِرضا‬ َ َ ُ
َ َ‫علي ك ِل ُم ْسل ٍِم ا َِّن ال َمال ئِ َكة ت‬
ِ ‫ض ُع ا ْجنِ َحت َ َها ِلطا ِل‬ َ ٌ
َ ‫ضة‬ ْ ْ
َ ‫ب العِل ِم فَ ِري‬ َ َ
َ ‫فَا َِّن طل‬
( ‫طلُبُ ) رواه ابن عبد الب‬ ْ َ‫بِ َما ي‬
Dari Anas, r.a. bahwa Nabi saw telah bersabda:

Copyright © 2017, Numerical: Jurnal Matematika dan Pendidikan Matematika


Print ISSN: 2580-3573, Online ISSN: 2580-2437

25
Numerical: Jurnal Matematika dan Pendidikan Matematika, Vol. 1 No. 1 Juni 2017, 25-34
Agus Setiawan

Tuntutlah ilmu meskipun di negeri Cina, karena sesungguhnya menuntut ilmu itu wajib bagi setiap orang Islam.
Sungguh malaikat itu meletakkan sayap-sayapnya untuk orang yang menuntut ilmu karena senang terhadap apa yang
dicarinya. (H.R. Ibnu Abdil Bar)
Hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abdil bar tersebut di atas, menjelaskan kepada kita betapa
pentingnya menuntut ilmu pengetahuan, sekalipun ke tempat yang jauh dari tempat tinggal kita.
Pentingnya menuntut ilmu pengetahuan berdasarkan hadits ini adalah dinyatakan tegas oleh Rasulullah
saw dengan menggunakan kata perintah, yaitu: Tuntutlah atau carilah.
Kata perintah tersebut menunjukkan suatu kewajiban Dan kewajiban untuk mencari ilmu
pengetahuan ituharus maksimal atau setinggi-tingginya sampai ke negeri Cina. Selain menggunakan kata
perintah untuk menuntut ilmu pengetahuan yang menunjukkan suatu kewajiban yang harus dilaksnakan,
lebih lanjut Rasulullah Saw menegaskan dalam hadits ini dengan kata-kata:
‫علَي ُك ِل ُم ْسل ٍِم‬ َ ٌ ‫ضة‬ َ ‫ب ْالع ِْل ِم فَ ِري‬
َ َ‫طل‬
َ ‫فَا َِّن‬
Artinya : “Karena sesungguhnya menuntut ilmu adalah wajib bagi setiap orang yang beragama Islam.”
Kemudian Rasulullah saw menggambarkan betapa istimewanya orang-orang menuntut ilmu pe-
ngetahuan itu, sehingga malaikat-malaikat Allah suka dan akan selalu rela meskipun jauh dari tempat
tinggalnya.
Dalam Hadits lain Rasulullah saw bersabda :
‫س ِبيْل ا ِﷲ َحتي ِي ْر ِج َع‬ َ ‫ب ْالع ِِلم فَ ُه َو فِ ْي‬
ِ َ‫طل‬
َ ‫َم ْن خ ََر َج فِ ْي‬
Artinya : ”Orang-orang yang keluar dalam mencari ilmu, maka berada di jalan Allah sampai ia kembali (ke
rumahnya).” (H.R. Al-Tirmidzi)

Matematika mempunyai peranan yang sangat penting dalam kehidupan sehari-hari. Matematika
banyak diperlukan aplikasinya dalam melaksanakan aktivitas di segala bidang kehidupan, baik bidang
pendidikan, perdagangan (ekonomi), sosial maupun bidang-bidang yang lain. Matematika mampu
mengarahkan manusia untuk berfikir secara logis dan memberikan solusi yang tepat dalam kehidupan
sehari-hari. Dengan kemampuan matematika yang baik, akan mendukung seseorang untuk memperoleh
berbagai macam bekal dalam menghadapi tantangan dalam era global. Kemampuan berfikir kritis,
analisis, logis, cermat, sistematis, kreatif dan inovatif merupakan beberapa kemampuan yang dapat
ditumbuhkembangkan melalui pendidikan matematika yang baik. Arti penting dan peranan matematika
bagi ilmu-ilmu modern dewasa ini lebih luas dan mendalam lagi.
Hampir semua penemuan ilmiah di dunia ini dibantu dan ditopang oleh matematika. Lebih dari
700 tahun lalu filsuf Inggris Roger Bacon mengatakan “Mathematics is the gate and key of the science”
(Matematika merupakan pintu gerbang dari ilmu-ilmu). Sebuah julukan lagi yang diberikan dalam
Illustrated Word Encyclopedia menyatakan bahwa mathematics is the “mother of science” because every science
has its mathematical side (matematika merupakan ”ibu dari ilmu-ilmu” karena setiap ilmu mempunyai sisi
matematikanya).
Keberhasilan pembelajaran matematika tidak terlepas dari kemampuan individu yang dimiliki
oleh mahasiswa, yaitu faktor internal diantaranya kemampuan analisis mahasiswa. Kemampuan analisis
sebagai kemampuan untuk melihat kemungkinan-kemungkinan untuk menyelasaikan suatu masalah dan
merupakan bentuk pemikiran yang kurang mendapat perhatian dalam pendidikan formal. Analisis
adalah kemampuan untuk mengidentifikasi maksud dan hubungan-hubungan kesimpulan yang benar
diantara pernyataan, pertanyaan, konsep, gambaran, atau bentuk lain yang mewakili yang dimaksudkan

Copyright © 2017, Numerical: Jurnal Matematika dan Pendidikan Matematika


Print ISSN: 2580-3573, Online ISSN: 2580-2437

26
Numerical: Jurnal Matematika dan Pendidikan Matematika, Vol. 1 No. 1 Juni 2017, 25-34
Agus Setiawan

untuk mengungkapkan keyakinan, pendapat, pengalaman, alasan, informasi atau opini. Facione
menyatakan bahwa kemampuan analisis berhubungan kuat dengan prestasi kognitif mahasiswa.
Pernyataan tersebut ditegaskan oleh Wenglinsky yang menyatakan bahwa pembelajaran yang
mengutamakan kemampuan analisis mampu mendukung tercapainya prestasi belajar. Salah satu faktor
yang dimungkinkan juga mempengaruhi hasil belajar adalah tingkat intelegensi (IQ) seseorang. Setiap
orang mempunyai tingkat intelegensi yang berbeda-beda. Untuk itu diperlukan suatu pembelajaran
yang tepat untuk diterapkan pada semua tingkat intelegensi, sehingga hasil belajar matematika bisa
ditingkatkan. Mengingat pentingnya kemampuan berpikir analisis mahasiswa tersebut, maka di
perguruan tinggi perlu disusun suatu setrategi pembelajaran yang baik yang dapat meningkatkan
kemampuan berpikir analisis mahasiswa.

METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian kausal komparatif yang dirancang dengan desain faktorial 2
× 3. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh mahasiswa semester IV, VI dan VIII IAIM-NU Metro
Lampung dan sampel diambil dengan teknik random sampling. Penelitian dilakukan di Prodi
Pendidikan Matematika IAIM-NU Metro Lampung. Sampel penelitian ini berjumlah 35 mahasiswa.
Teknik pengumpulan data adalah metode tes. Instrumen penelitian terdiri atas tes IQ, tes kemampuan
analisis dan tes prestasi belajar matematika pada mata kuliah Statistik Matematika 1. Untuk instrumen
tes prestasi belajar mengacu pada kriteria yaitu validitas isi dan reliabilitas (r11 ≥ 0,7) dari 5 butir soal
yang diujicobakan diperoleh 2 butir soal yang digunakan sebagai alat pengambil data prestasi belajar
matematika siswa. Tes kemampuan analisis, mengacu pada kriteria yaitu validitas isi, daya pembeda (D≥
0,3), tingkat kesukaran (0,3 ≤ P ≤ 0,7), dan reliabilitas (r11 ≥ 0,7) , dari 35 butir soal yang diujicobakan
diperoleh 25 butir soal yang digunakan sebagai alat pengambil data kemampuan analisis. Uji prasyarat
analisis yaitu uji normalitas dengan Lilliefors dan uji homogenitas dengan uji Bartlett. Uji analisis data
yang digunakan yaitu analisis variansi dua jalan dengan sel tak sama.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Sebelum data dianalisis menggunakan uji anava dua jalan, terlebih dahulu data harus memenuhi
syarat uji normalitas dan uji homogenitas. Dalam penelitian ini uji normalitas menggunakan uji Lilliefors
dan uji homogenitas menggunakan uji Bartlett. Dari hasil analisis uji normalitas prestasi belajar
matematika tersebut, prestasi belajar matematika pada IQ tinggi dan sedang berasal dari populasi yang
berdistribusi normal. Selain itu, untuk prestasi belajar matematika kemampuan Analisis tinggi, sedang,
dan rendah juga berasal dari populasi yang berdistribusi normal.
Dari hasil analisis uji homogenitas variansi prestasi belajar matematika, tampak bahwa nilai
prestasi belajar matematika untuk IQ tinggi dan sedang berasal dari populasi yang mempunyai variansi
sama (homogen). Begitujuga untuk hasil uji homogentas variansi prestasi belajar matematika pada
kemampuan analisis tinggi, sedang dan rendah juga berasal dari populasi yang mempunyai variansi sama
(homogen).
Hasil perhitungan uji hipotesis dengan analisis variansi dua jalan 2 x 3 dengan sel tidak sama dan
taraf signifikansi  = 0,05 disajikan pada Tabel berikut:

Copyright © 2017, Numerical: Jurnal Matematika dan Pendidikan Matematika


Print ISSN: 2580-3573, Online ISSN: 2580-2437

27
Numerical: Jurnal Matematika dan Pendidikan Matematika, Vol. 1 No. 1 Juni 2017, 25-34
Agus Setiawan

Tabel 1. Rangkuman Analisis Variansi

Berdasarkan analisis variansi pada tabel di atas tampak bahwa pada efek utama A (IQ), nilai statistik uji
Fa = 1051,65, F(0,05,2,35) = 3,25 dan DK = {F│F > 3,25}, ternyata Fa > F(0,05,2,35) yang berarti Fa DK
dengan demikian H0A ditolak. Hal ini berarti pada tingkat signifikansi  =0,05 terdapat perbedaan
rerata prestasi belajar mahasiswa yang mempunyai IQ tinggi dan sedang. Pada efek utama B
(Kemampuan analisis), nilai statistik uji Fb = 15,32, F(0,05,2,35) = 3,25 dan DK = {F│F > 3,25},, ternyata
Fb > F(0,05,2,35) yang berarti Fb DK dengan demikian H0B ditolak. Hal ini berarti pada tingkat
signifikansi  =0,05 terdapat perbedaan rerata prestasi belajar matematika mahasiswa yang memiliki
kemampuan analisis tinggi, sedang dan rendah. Pada efek interaksi AB (IQ dan kemampuan analisis),
nilai statistik uji Fab = 7,67, F(0,05,4,35) = 2,36 dan DK = {F│F > 2,36}, ternyata Fab < F(0,05,2,135) yang
berarti Fab ∈ DK dengan demikian H0AB ditolak. Hal ini berarti pada tingkat signifikan  = 0,05
terdapat interaksi antara IQ dan kemampuan analisis.
Berdasarkan hasil analisis variansi dua jalan dengan sel tak sama diperoleh bahwa H0A dan H0B
ditolak namun H0AB ditolak, sehingga perlu dilakukan uji lanjut antar baris, uji lanjut antar kolom dan uji
lanjut antar sel pada baris dan kolom yang sama. Dalam penelitian ini uji lanjut menggunakan uji
komparasi ganda dengan metode Scheffe.
Karena hanya terdiri dari dua kelompok maka tidak perlu uji lanjut pasca anava untuk antar
baris. Untuk menentukan metode mana yang lebih baik maka cukup melihat rerata marjinalnya.
Berdasarkan hasil analisis variansi dua jalan dengan sel tak sama untuk efek utama faktor A
(IQ) diperoleh kesimpulan H0A ditolak. Karena H0A ditolak maka perlu dilakukan uji lanjut anava yaitu
uji komparasi ganda. Karena hanya terdiri dari dua kelompok maka tidak perlu uji lanjut pasca anava
untuk antar baris. Untuk menentukan metode mana yang lebih baik maka cukup melihat rerata
marjinalnya. Dari rerata marjinal diketahui rerata untuk IQ tinggi yaitu 68,56 lebih baik daripada rerata
IQ sedang yaitu 58,77, sehingga dapat disimpulkan bahwa IQ tinggi mempunyai prestasi belajar yang
lebih baik daripada rerata IQ sedang.
Berdasarkan hasil analisis variansi dua jalan dengan sel tak sama untuk efek utama faktor B
(tingkat kemampuan analisis) diperoleh kesimpulan H0B ditolak. Karena H0B ditolak maka perlu
dilakukan uji lanjut anava yaitu uji komparasi ganda. Pada uji komparasi ganda antara kolom 1 dan
kolom 2 ada perbedaan rerata prestasi belajar matematika mahasiswa yang memiliki kemampuan
analisis tinggi dengan rerata mahasiswa yang memiliki kemampuan analisis sedang. Berdasarkan rerata
marjinal menunjukkan bahwa rerata prestasi belajar matematika mahasiswa yang memiliki kemampuan
analisis tinggi sebesar 73,55 sedangkan rerata prestasi belajar mahasiswa yang memiliki kemampuan
analisis sedang sebesar 63,45. Hal ini menunjukkan bahwa rerata prestasi belajar matematika mahasiswa
yang memiliki kemampuan analisis tinggi lebih baik dari rerata prestasi belajar mahasiswa yang memiliki

Copyright © 2017, Numerical: Jurnal Matematika dan Pendidikan Matematika


Print ISSN: 2580-3573, Online ISSN: 2580-2437

28
Numerical: Jurnal Matematika dan Pendidikan Matematika, Vol. 1 No. 1 Juni 2017, 25-34
Agus Setiawan

kemampuan analisis sedang. Pada uji komparasi ganda antara kolom 1 dan kolom 3 ada perbedaan
rerata prestasi belajar matematika mahasiswa yang memiliki kemampuan analisis tinggi dengan rerata
mahasiswa yang memiliki kemampuan analisis rendah. Berdasarkan rerata marjinal menunjukkan
bahwa rerata prestasi belajar matematika mahasiswa yang memiliki kreativitas belajar matematika tinggi
75,33 sedangkan rerata prestasi belajar mahasiswa yang memiliki kreativitas belajar matematika rendah
sebesar 56,63. Hal ini menunjukkan bahwa rerata prestasi belajar matematika mahasiswa yang memiliki
kemampuan analisis tinggi lebih baik dari rerata prestasi belajar mahasiswa yang memiliki kemampuan
analisis rendah. Pada uji komparasi ganda antara kolom 2 dan kolom 3 tidak ada perbedaan rerata
prestasi belajar matematika mahasiswa yang memiliki kemampuan analisis sedang dengan rerata
mahasiswa yang memiliki kemampuan analisis rendah. Hal ini menunjukkan bahwa rerata prestasi
belajar matematika mahasiswa yang memiliki kemampuan analisis sedang sama baik dari rerata prestasi
belajar mahasiswa yang memiliki kemampuan analisis rendah.
Berdasarkan penjelasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa prestasi belajar mahasiswa yang
memiliki kemampuan analisis tinggi lebih baik daripada mahasiswa yang memiliki kemampuan analisis
sedang dan rendah. Sedangkan prestasi belajar matematika mahasiswa yang memiliki kemampuan
analisis sedang sama baik dengan mahasiswa yang memiliki kemampuan analisis rendah.
Berdasarkan hasil uji anava dua jalan dengan sel tak sama diperoleh bahwa H0AB ditolak. Karena
H0B ditolak maka perlu dilakukan uji lanjut anava yaitu uji komparasi ganda. Pada uji komparasi ganda
antara sel 1 dan 2 ada perbedaan prestasi belajar matematika antara mahasiswa yang mempunyai IQ
tinggi yang memiliki kemampuan analisis tinggi dan mahasiswa yang mahasiswa yang mempunyai IQ
tinggi yang memiliki kemampuan analisis sedang. Berdasarkan rerata marjinal menunjukkan bahwa
rerata prestasi belajar matematika mahasiswa yang mempunyai IQ tinggi yang memiliki kemampuan
analisis tinggi yaitu 78,40 sedangkan rerata prestasi belajar mahasiswa yang mempunyai IQ tinggi yang
memiliki kemampuan analisis sedang sebesar 65,85. Hal ini menunjukkan bahwa pada IQ tinggi rerata
prestasi belajar matematika mahasiswa yang memiliki kemampuan analisis tinggi lebih baik dari pada
rerata prestasi belajar mahasiswa yang memiliki kemampuan analisis sedang.
Pada uji komparasi ganda antara sel 1 dan 3 ada perbedaan prestasi belajar matematika antara
mahasiswa yang mempunyai IQ tinggi yang memiliki kemampuan analisis tinggi dan mahasiswa yang
mahasiswa yang mempunyai IQ tinggi yang memiliki kemampuan analisis sedang. Berdasarkan rerata
marjinal menunjukkan bahwa rerata prestasi belajar matematika mahasiswa yang mempunyai IQ tinggi
yang memiliki kemampuan analisis tinggi yaitu 78,40 sedangkan rerata prestasi belajar mahasiswa yang
mempunyai IQ tinggi yang memiliki kemampuan analisis rendah sebesar 59,67. Hal ini menunjukkan
bahwa pada IQ tinggi rerata prestasi belajar matematika mahasiswa yang memiliki kemampuan analisis
tinggi lebih baik dari pada rerata prestasi belajar mahasiswa yang memiliki kemampuan analisis rendah.
Pada uji komparasi ganda antara sel 2 dan 3 tidak ada perbedaan prestasi belajar matematika
antara mahasiswa yang mempunyai IQ tinggi yang memiliki kemampuan analisis tinggi dan mahasiswa
yang mahasiswa yang mempunyai IQ tinggi yang memiliki kemampuan analisis sedang. Hal ini
menunjukkan bahwa pada IQ tinggi rerata prestasi belajar matematika mahasiswa yang memiliki
kemampuan analisis sedang sama baik dengan rerata prestasi belajar mahasiswa yang memiliki
kemampuan analisis rendah. Pada uji komparasi ganda antara sel 2.1 dan sel 2.2 pada baris kedua
diketahui ada perbedaan prestasi belajar matematika antara mahasiswa yang mempunyai IQ sedang
yang memiliki kemampuan analisis tinggi dan mahasiswa yang mahasiswa yang mempunyai IQ sedang
yang memiliki kemampuan analisis sedang. Berdasarkan rerata marjinal menunjukkan bahwa rerata
Copyright © 2017, Numerical: Jurnal Matematika dan Pendidikan Matematika
Print ISSN: 2580-3573, Online ISSN: 2580-2437

29
Numerical: Jurnal Matematika dan Pendidikan Matematika, Vol. 1 No. 1 Juni 2017, 25-34
Agus Setiawan

prestasi belajar matematika mahasiswa yang mempunyai IQ sedang yang memiliki kemampuan analisis
tinggi yaitu 69,09 sedangkan rerata prestasi belajar mahasiswa yang mempunyai IQ sedang yang
memiliki kemampuan analisis sedang sebesar 56,31. Hal ini menunjukkan bahwa pada IQ sedang rerata
prestasi belajar matematika mahasiswa yang memiliki kemampuan analisis tinggi lebih baik dari pada
rerata prestasi belajar mahasiswa yang memiliki kemampuan analisis sedang.
Pada uji komparasi ganda antara sel 2.1 dan 2.3 pada baris kedua diperoleh ada perbedaan
prestasi belajar matematika antara mahasiswa yang mempunyai IQ sedang yang memiliki kemampuan
analisis tinggi dan mahasiswa yang mahasiswa yang mempunyai IQ sedang yang memiliki kemampuan
analisis rendah. Berdasarkan rerata marjinal menunjukkan bahwa rerata prestasi belajar matematika
mahasiswa yang mempunyai IQ sedang yang memiliki kemampuan analisis tinggi yaitu 69,09 sedangkan
rerata prestasi belajar mahasiswa yang mempunyai IQ sedang yang memiliki kemampuan analisis rendah
sebesar 50,91. Hal ini menunjukkan bahwa pada IQ sedang rerata prestasi belajar matematika
mahasiswa yang memiliki kemampuan analisis tinggi lebih baik dari pada rerata prestasi belajar
mahasiswa yang memiliki kemampuan analisis rendah. Pada uji komparasi ganda antara sel 2.2 dan 2.3
pada baris kedua diperoleh tidak ada perbedaan prestasi belajar matematika antara mahasiswa yang
mempunyai IQ sedang yang memiliki kemampuan analisis sedang dan mahasiswa yang mahasiswa yang
mempunyai IQ tinggi yang memiliki kemampuan analisis rendah. Hal ini menunjukkan bahwa pada IQ
sedang rerata prestasi belajar matematika mahasiswa yang memiliki kemampuan analisis sedang sama
baik dengan rerata prestasi belajar mahasiswa yang memiliki kemampuan analisis rendah. Dari
penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa:
Pada kategori mahasiswa dengan IQ tinggi. Mahasiswa yang mempunyai kemampuan analisis
tinggi memberikan prestasi belajar lebih baik daripada mahasiswa yang mempunyai kemampuan analisis
sedang dan rendah. Sedangkan mahasiswa yang mempunyai kemampuan analisis sedang memberikan
prestasi belajar sama baik dengan mahasiswa yang mempunyai kemampuan analisis rendah. Pada
kategori mahasiswa dengan IQ sedang. Mahasiswa yang mempunyai kemampuan analisis tinggi
memberikan prestasi belajar lebih baik daripada mahasiswa yang mempunyai kemampuan analisis
sedang dan rendah. Sedangkan mahasiswa yang mempunyai kemampuan analisis sedang memberikan
prestasi belajar sama baik dengan mahasiswa yang mempunyai kemampuan analisis rendah.
Berdasarkan hasil uji anava dua jalan dengan sel tak sama diperoleh bahwa H0AB ditolak. Karena
H0B ditolak maka perlu dilakukan uji lanjut anava yaitu uji komparasi ganda. Pada uji komparasi ganda
antara sel 1.1 dan 2.1 pada kolom pertama pada kemampuan analisis tinggi, ada perbedaan rerata antara
mahasiswa yang mempunyai IQ tinggi dan sedang. Berdasarkan rerata menunjukkan bahwa rerata
prestasi belajar matematika mahasiswa yang memiliki kemampuan analisis tinggi dan IQ tinggi sebesar
78,40 sedangkan rerata prestasi belajar mahasiswa yang memiliki kemampuan analisis tinggi dan IQ
sedang sebesar 69,09. Hal ini menunjukkan bahwa rerata mahasiswa yang memiliki kemampuan analisis
tinggi dan IQ tinggi lebih baik daripada mahasiswa yang memiliki kemampuan analisis tinggi dan IQ
sedang. Pada uji komparasi ganda antara sel 1.2 dan 2.2 pada kolom pertama pada kemampuan analisis
sedang, ada perbedaan rerata antara mahasiswa yang mempunyai IQ tinggi dan sedang. Berdasarkan
rerata marjinal menunjukkan bahwa rerata prestasi belajar matematika mahasiswa yang memiliki
kemampuan analisis sedang dan IQ tinggi sebesar 65,85 sedangkan rerata prestasi belajar mahasiswa
yang memiliki kemampuan analisis tinggi dan IQ sedang sebesar 56,31. Hal ini menunjukkan bahwa
rerata mahasiswa yang memiliki kemampuan analisis sedang dan IQ tinggi lebih baik daripada
mahasiswa yang memiliki kemampuan analisis tinggi dan IQ sedang. Pada uji komparasi ganda antara
Copyright © 2017, Numerical: Jurnal Matematika dan Pendidikan Matematika
Print ISSN: 2580-3573, Online ISSN: 2580-2437

30
Numerical: Jurnal Matematika dan Pendidikan Matematika, Vol. 1 No. 1 Juni 2017, 25-34
Agus Setiawan

sel 1.3 dan sel 3.3 pada kolom ketiga pada kemampuan analisis rendah, tidak ada perbedaan rerata
antara mahasiswa yang mempunyai IQ tinggi dan sedang. Hal ini menunjukkan bahwa rerata mahasiswa
yang memiliki kemampuan analisis rendah dan IQ tinggi lebih baik daripada mahasiswa yang memiliki
kemampuan analisis tinggi dan IQ sedang.
Berdasarkan penjelasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa pada kategori mahasiswa dengan
kemampuan analisis tinggi. Mahasiswa dengan IQ tinggi mempunyai prestasi belajar yang lebih baik
daripada mahasiswa yang mempunyai IQ sedang. Pada kategori mahasiswa dengan kemampuan analisis
sedang. Mahasiswa dengan IQ tinggi mempunyai prestasi belajar yang lebih baik daripada mahasiswa
yang mempunyai IQ sedang. Pada kategori mahasiswa dengan kemampuan analisis rendah. Mahasiswa
dengan IQ tinggi mempunyai prestasi belajar sama baik dengan mahasiswa yang mempunyai IQ sedang.
Berdasarkan penjelasan analisis hipotesis keempat diatas, dapat kita ketahui bahwa hipotesis
keempat dalam penelitian ini tidak semuanya sesuai dengan hasil penelitian, yaitu:
Pada kategori mahasiswa dengan kemampuan analisis tinggi. Mahasiswa dengan IQ tinggi
mempunyai prestasi belajar yang lebih baik daripada mahasiswa yang mempunyai IQ sedang. Pada
kategori mahasiswa dengan kemampuan analisis sedang. Mahasiswa dengan IQ tinggi mempunyai
prestasi belajar yang lebih baik daripada mahasiswa yang mempunyai IQ sedang. Pada kategori
mahasiswa dengan kemampuan analisis rendah. Mahasiswa dengan IQ tinggi mempunyai prestasi
belajar yang lebih baik daripada mahasiswa yang mempunyai IQ sedang.
Tidak terpenuhinya hipotesis tersebut dikarenakan peneliti tidak sepenuhnya dapat mengontrol
kondisi siswa baik dari segi fisik maupun minat belajar siswa saat mengikuti tes dan mengikuti
pembelajaran dikelas. Atau dikarenakan keterbatasan peneliti dalam mengkaji teori dalam kerangka
penyusunan kerangka pikir sehingga menghasilkan hipotesis yang tidak sesuai.

SIMPULAN DAN SARAN


Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan serta mengacu pada rumusan masalah yang
telah diuraikan pada bab sebelumnya, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa prestasi belajar mahasiswa
yang memiliki IQ tinggi mempunyai prestasi belajar yang lebih baik daripada rerata IQ sedang. Prestasi
belajar mahasiswa yang memiliki kemampuan analisis tinggi lebih baik daripada mahasiswa yang
memiliki kemampuan analisis sedang dan rendah. Sedangkan prestasi belajar matematika mahasiswa
yang memiliki kemampuan analisis sedang sama baik dengan mahasiswa yang memiliki kemampuan
analisis rendah. Pada kategori mahasiswa dengan IQ tinggi. Mahasiswa yang mempunyai kemampuan
analisis tinggi memberikan prestasi belajar lebih baik daripada mahasiswa yang mempunyai kemampuan
analisis sedang dan rendah. Sedangkan mahasiswa yang mempunyai kemampuan analisis sedang
memberikan prestasi belajar sama baik dengan mahasiswa yang mempunyai kemampuan analisis
rendah. Pada kategori mahasiswa dengan IQ sedang. Mahasiswa yang mempunyai kemampuan analisis
tinggi memberikan prestasi belajar lebih baik daripada mahasiswa yang mempunyai kemampuan analisis
sedang dan rendah. Sedangkan mahasiswa yang mempunyai kemampuan analisis sedang memberikan
prestasi belajar sama baik dengan mahasiswa yang mempunyai kemampuan analisis rendah. Pada
kategori mahasiswa dengan kemampuan analisis tinggi. Mahasiswa dengan IQ tinggi mempunyai
prestasi belajar yang lebih baik daripada mahasiswa yang mempunyai IQ sedang. Pada kategori
mahasiswa dengan kemampuan analisis sedang. Mahasiswa dengan IQ tinggi mempunyai prestasi
belajar yang lebih baik daripada mahasiswa yang mempunyai IQ sedang. Pada kategori mahasiswa

Copyright © 2017, Numerical: Jurnal Matematika dan Pendidikan Matematika


Print ISSN: 2580-3573, Online ISSN: 2580-2437

31
Numerical: Jurnal Matematika dan Pendidikan Matematika, Vol. 1 No. 1 Juni 2017, 25-34
Agus Setiawan

dengan kemampuan analisis rendah. Mahasiswa dengan IQ tinggi mempunyai prestasi belajar sama baik
dengan mahasiswa yang mempunyai IQ sedang.
Dalam penelitian ini memberikan suatu pemikiran yang berhubungan dengan peningkatan
prestasi belajar matematika disarankan dalam melaksanakan kegiatan pembelajaran matematika,
sebaiknya guru memperhatikan IQ mahasiswa sehingga proses belajar dapat diikuti oleh semua
mahasiswa, tidak terlalu cepat dan juga tidak terlalu lambar dalam memberikan penjelasan. Dalam
kegiatan assesment seperti UTS dan UAS, dosen diharapkan membuat soal minimal pada tingkatan
analisis bukan pada ingatan maupun pengetahuan agar dapat meningkatkan kemampuan analisis
mahasiswa. Penulis berharap agar para peneliti atau calon peneliti dapat meneruskan atau
mengembangkan penelitian ini untuk variabel-variabel yang lain untuk meningkatkan prestasi belajar
matematika mahasiswa. Hasil penelitian ini terbatas pada materi statistik. Untuk itu dapat
dikembangkan pada materi lain dan jenjang yang lain pula.

DAFTAR PUSTAKA

Allen, J .2004. “How Do Critical Thinking Skils Enhace Student Achievement”.jurnal


online.www.eyeoneeducation.com.
Baharuddin. 2008. Teori Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Ar-Ruzz Media.
Budiyono. 2003. Metodologi Penelitian Pendidikan. Surakarta: UNS Press.
Budiyono. 2009. Statistika Untuk Penelitian. Surakarta: UNS Press.
Budiyono . 2011. Penilaian Hasil Belajar. Surakarta: UNS Press.
Erman Suherman, dkk, Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer. Bandung: JICA
Idri Shaffat. 2009. Optimized Learning Strategis. Jakarta : Prestasi Pustaka
Mulyono Abdurrahman. 2003. Pendidikan Bagi Anak Berkesulitan Belajar. Jakarta: Rineka Cipta.
Ngalim Purwanto. 2007. Psikologi Pendidikan. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Oemar Hamalik. 2007. Kurikulum dan Pembelajaran. Jakarta: Bumi Aksara.
Peter A. Facione. Critical Thinking: What It Is and Why It Counts. Insight Assesment
Ruseffendi. 1991. Pengantar Kepada Pembantu Guru Mengembangkan Kompetensinya dalam Pengajaran
Matematika untuk Meningkatkan CBSA. Bandung : Tarsito.
Saifuddin Azwar. 1999. Pengantar Psikologi Intelegensi. Yogyakarta:Pustaka Pelajar.
Slameto. 2003. Belajar dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya. Jakarta : Rineka Cipta.
Slavin, R.E. 2008. Cooperatif Learning. Bandung: Nusa Media.
Soejadi. 2000. Kiat Pendidikan Matematika Di Indonesia. Jakarta: Dirjen Perdosenan Tinggi dan Depdikbud
Suherman. 2003. Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer. Bandung: Universitas Pendidikan
Indonesia.
Sugiyono. 2009. Metode Penelitian Pendidika Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D .Bandung: Alfabeta.

Copyright © 2017, Numerical: Jurnal Matematika dan Pendidikan Matematika


Print ISSN: 2580-3573, Online ISSN: 2580-2437

32
Numerical: Jurnal Matematika dan Pendidikan Matematika, Vol. 1 No. 1 Juni 2017, 25-34
Agus Setiawan

Suharsinmi Arikunto. 2009. Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan.Jakarta: Bummi Aksara


The Liang Gie. 1999. Filsafat Matematika. Yogyakarta : Pusat Ilmu Berguna.
William Bernard & Jules Leopold. 2000. Test Analisa IQ & Kepribadian Anda, Bandung; PionirJaya.

Copyright © 2017, Numerical: Jurnal Matematika dan Pendidikan Matematika


Print ISSN: 2580-3573, Online ISSN: 2580-2437

33
Numerical: Jurnal Matematika dan Pendidikan Matematika, Vol. 1 No. 1 Juni 2017, 25-34
Agus Setiawan

[Halaman ini sengaja dikosongkan]

Copyright © 2017, Numerical: Jurnal Matematika dan Pendidikan Matematika


Print ISSN: 2580-3573, Online ISSN: 2580-2437

34

Anda mungkin juga menyukai