Anda di halaman 1dari 28

MAKALAH

Gejala Presepsi Lingkungan

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Perilaku Manusia dan Lingkungan

Dosen pengampu: Rochimah Imawati, M.Psi.

Disusun Oleh Kelompok 3


3A – Kesejahteraan Sosial

1. Lisa Fajri Isnaini (11210541000032)


2. Afifah Tri Yuniyanti (11210541000038)
3. Dafi Apriarso (11210541000044)
4. Dita Dwi Oktawiyani (11210541000045)
5. Diva Khoirala Phinasti (11210541000046)

PRODI KESEJAHTERAAN SOSIAL


FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGRI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2022
KATA PENGANTAR

Segala puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa. Atas berkat rahmat-Nya, kami dapat
menyelesaikan tugas penulisan makalah mata kuliah Pengaruh Manusia dan Lingkungan.
Shalawat serta salam semoga terlimpahkan pada Nabi besar kita, Nabi Muhammad SAW. Kepada
keluarganya, para Sahabatnya, pengikutnya, dan kepada kita sekalian.

Makalah ini dimaksud untuk memenuhi tugas Pengantar Ilmu Komunikasi,maka dari itu
kami mengucapkan terima kasih kepada Ibu Rochimah Imawati, M.Psi. Selaku dosen Pengaruh
Manusia dan Lingkungan. Kami juga mengucapkan kepada pihak-pihak terkait yang telah
membantu kami dalam menyelesaikan tugas makalah ini, begitu juga kepada pihak sumber belajar
yang menjadi acuan dalam pengerjaan makalah kami seperti para penulis buku, jurnal maupun
artikel.

Dalam penyusunan makalah ini, kami menyadari bahwa hasil makalah ini masih jauh dari
kata sempurna. Oleh karena itu kami sebagai penulis memohon maaf atas kesalahan dan
ketidaksempurnaan yang pembaca temukan dalam makalah ini. Sehingga kami selaku penyusun
makalah sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca sekalian. Akhir
kata semoga makalah ini dapat memberikan manfaat untuk kelompok kami khususnya dan teman-
teman sekalian.

Jakarta, 23 September 2022

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.................................................................................................................... i
DAFTAR ISI.................................................................................................................................. ii
BAB I .............................................................................................................................................. 1
PENDAHULUAN ......................................................................................................................... 1
BAB II ............................................................................................................................................ 3
PEMBAHASAN ............................................................................................................................ 3
A. Privacy....................................................................................................................................3
B. Personal Space........................................................................................................................7
C. Territotariality ........................................................................................................................9
D. Kesesakan (Crowding) dan Kepadatan (Density) ....................................................................11
E. Peta Mental .......................................................................................................................... 17
F. Stress ...................................................................................................................................20
BAB III......................................................................................................................................... 24
PENUTUP.................................................................................................................................... 24
A. Kesimpulan ........................................................................................................................... 24
B. Saran ....................................................................................................................................24
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................................. 25

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang
Manusia adalah makhluk yang sempurna dengan akal dan pikirannya. Manusia
dengan berbagai indera yang dimilikinya mampu memproses hal-hal baru atau informasi
yang berasal dari lingkungan sekitar. Melalui indera yang dimilikinya, manusia dengan
mudah membuat persepsi tentang apa yang dilihat atau disentuh, didengar atau dirasakan,
sehingga daya pikirnya berjalan supaya bisa menentukan aksi atau perilaku yang harus
dilakukan selanjutnya. Banyak hal yang dapat mempengaruhi kemampuan kognitif pada
manusia dan apabila kecepatan sistem pemrosesan informasi terganggu, maka akan
berpengaruh pada reaksi manusia dalam mengatasi berbagai kondisi yang dihadapi.
Ketika ada masalah atau kelainan dengan kemampuan kognitif dalam diri manusia,
maka akan memengaruhi pemfrosesan informasi yang didapat. Kelainan ini dapat terjadi
sejak lahir atau saat manusia mengalami suatu kejadian, penyakit, kecelakaan yang
menyebabkan adanya trauma psikis maupun mental. Oleh karena itu, manusia yang
mengalami hal-hal tersebut akan mengalami kesulitan merasakan, memahami, atau
berpikir tentang bagaimana merespons situasi yang mereka hadapi.
Dalam melakukan persepsi, manusia akan senantiasa berkaitan dengan
lingkungannya. Pada makalah ini akan dibahas lebih lanjut mengenai gejala persepsi di
lingkungan yaitu Privacy, Personal Space, Territotariality, Crowding, Density, Pola Mental
dan Stres secara detail.

2. Rumusan Masalah
a. Apa yang dimaksud dengan privasi
b. Apa yang dimaksud dengan personal space
c. Apa yang dimaksud dengan territoriality
d. Apa yang dimaksud dengan kesesakan dan kepadatan
e. Apa yang dimaksud dengan peta mental
f. Apa yang dimaksud dengan stress

1
3. Tujuan Pembelajaran
a. Mengetahui definisi privasi
b. Mengetahui definisi personal space
c. Mengetahui definisi territoriality
d. Mengetahui definisi kesesakan dan kepadatan
e. Mengetahui definisi peta mental
f. Mengetahui definisi stress

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Privacy

Privacy (privasi) merupakan konsep abstrak yang mengandung banyak makna.


Penggambaran populer mengenai privasi antara lain adalah hak individu untuk menentukan
apakah dan sejauh mana seseorang bersedia membuka dirinya kepada orang lain atau
privasi adalah hak untuk tidak diganggu.
Privasi merujuk padanan dari Bahasa Inggris privacy adalah kemampuan satu atau
sekelompok individu untuk mempertahankan kehidupan dan urusan personalnya dari
publik, atau untuk mengontrol arus informasi mengenai diri mereka.
Literatur psikologis memberikan penjelasan mengenai privasi, antara lain:
a. Westin (1967) menjelaskan hubungan antara kerahasiaan dan privasi. Privasi sebagai
"klaim individu, kelompok, atau lembaga untuk menentukan kapan, bagaimana dan
sejauh mana informasi tentang mereka dikomunikasikan kepada orang lain" (hal. 7)
b. Altman (1975) menggabungkan baik sosial dan lingkungan psikologi dalam
memahami sifat privasi. Privasi sebagai “akses kontrol selektif terhadap privasi diri“
(hal. 24) dan dicapai melalui pengaturan interaksi sosial, yang pada gilirannya dapat
memberikan umpan balik pada kemampuan kita untuk berurusan dengan dunia dan
akhirnya mempengaruhi definisi kita tentang diri.
c. Hak khusus untuk mendapatkan kebebasan (particular right of freedom). Privasi adalah
tingkatan interaksi atau keterbukaan yang dikehendaki oleh seseorang pada suatu
kondisi atau situasi tertentu (Hartono dalam Prabowo, 1998).
d. Rapoport (dalam Prabowo, 1998) mendefinisikan privasi sebagai suatu kemampuan
untuk mengontrol interaksi, kemampuan untuk memperoleh pilihan-pilihan dan
kemampuan untuk mencapai interaksi seperti yang diinginkan.

Dimensi Privasi
Schofield dalam Barak, 2008 menjelaskan beberapa dimensi privasi antara lain:
a. Informational (psychological) privacy yaitu: berhubungan dengan penentuan
bagaimana, kapan, dan sejauh mana informasi mengenai diri suatu individu akan dirilis

3
secara benar kepada orang lain (Westin, 1967) atau organisasi. Hal ini mencakup
informasi pribadi seperti data keuangan, detail rekam medis, dan seterusnya. Sehingga
pada akhirnya seseorang dapat memutuskan siapa yang memiliki akses kepada siapa
dan tujuannya untuk apa.
b. Accessibility (physical) privacy berhubungan dengan sejauh mana seseorang secara
fisik dapat “diakses” orang lain. Mengijinkan individu untuk mengendalikan keputusan
tentang siapa yang memiliki akses fisik melalui akal persepsi, pengamatan, atau kontak
tubuh. 1 Dimensi ini didasarkan kebutuhan biologis kita untuk ruang pribadi.
c. Expressive (interactional) privacy yaitu perlindungan mengekspresikan identitas diri
atau kepribadian melalui pembicaraan atau kegiatan. Melindungi kemampuan untuk
memutuskan serta melanjutkan perilaku saat kegiatan tersebut, membantu
mendefinisikan diri sebagai orang, terlindung dari gangguan, tekanan dan paksaan dari
pemerintah atau dari lainnya individu ".2 Dengan demikian, pengendalian internal atas
ekspresi diri dan meningkatkan kemampuan untuk membangun hubungan
interpersonal, sedangkan kontrol sosial eksternal dibatasi atas pilihan gaya hidup dan
sebagainya (Schoeman, 1992)
Pada literatur lain yang membahas tentang privasi menyebutkan bahwa privasi pada
dasarnya merupakan konsep yang terdiri atas proses 3 dimensi (Altman dalam Prabowo,
1998), hal ini mencakup mengontrol dan mengatur dengan mekanisme perilaku, yaitu:
a. Perilaku Verbal
Perilaku ini dilakukan dengan cara mengatakan kepada orang lain secara verbal, sejauh
mana orang lain boleh berhubungan dengannya.
b. Perilaku Non-verbal
Perilaku ini dilakukan dengan menunjukan ekspresi wajah atau gerakan tubuh tertentu
sebagai tanda senang atau tidak senang.
c. Mekanisme Kultural
Budaya mempunyai bermacam-macam adat istiadat, aturan atau norma yang
menggambarkan keterbukaan dan ketertutupan kepada orang lain dan hal ini sudah

1 Judith Wagner DeCew, In Pursuit of Privacy: Law, Ethics, and the Rise of Technology (Cornell University Press :
1997) h.76-77
2 Judith Wagner DeCew, In Pursuit of Privacy: Law, Ethics, and the Rise of Technology (Cornell University Press :

1997) h.77

4
diketahui banyak orang pada budaya tertentu.
d. Ruang Personal
Ruang personal adalah salah satu mekanisme perilaku untuk mencapai tingkat privasi
personal. Karakteristik ruang personal adalah daerah batas (maya) yang boleh dimasuki
oleh orang lain.
e. Teritorialitas
Pembentukan kawasan territorial adalah mekanisme perilaku lain untuk mencapai
privasi tertentu. Kalau mekanisme ruang personal tidak memperlihatkan dengan jelas
kawasan yang menjadi pembatas antar dirinya dengan orang lain, maka pada
teritorialitas batas-batas tersebut nyata dengan tempat yang relatif tetap. Teritorialitas
berkaitan dengan kepemilikan atau hak seseorang akan hak geografis tertentu.

Orientasi Privasi
Sarwono (1992) mengemukakan enam jenis orientasi tentang privasi yang dapat
dikelompokkan menjadi dua kelompok besar, yaitu:
a. Tingkah Laku Menarik Diri (Withdrawl)
1) Solitude (keinginan untuk menyendiri)
2) Seclusion (keinginan untuk menjauh dari pandangan dan gangguan suara orang di
dekatnya serta kebisingan)
3) Intimacy (keinginan untuk dekat dengan keluarga dan orang tertentu, tetapi jauh dari
orang lain)
b. Tingkah Laku Mengontrol Informasi
1) Anonymity (keinginan untuk merahasiakan jati diri)
2) Reverse (keinginan untuk tidak mengungkapkan diri terlalu banyak kepada orang
lain) 3) Not-neighboring (keinginan untuk tidak terlibat bertetangga atau berinteraksi
dengan orang di dekatnya).

Faktor yang Mempengaruhi Privasi


Terdapat faktor yang mempengaruhi privasi yaitu faktor personal, faktor
situasional, dan faktor budaya.
a. Faktor Personal

5
Perbedaan dalam latar belakang pribadi akan berhubungan dengan kebutuhan akan
privasi. Penelitian Walden (dalam Prabowo, 1998) menemukan adanya perbedaan jenis
kelamin mempengaruhi kebutuahan akan privasi dan cara merespon kondisi padat atau
sesak.
b. Faktor Situasional
Kepuasan terhadap kebutuhan akan privasi sangat berhubungan dengan seberapa besar
lingkungan mengijinkan orang-orang di dalamnya untuk menyediri. Situasi fisik sekitar
juga mempengaruhi kebutuhan privasi seseorang.
c. Faktor Budaya
Dalam beberapa riset, menunjukan bahwa pada tiap-tiap budaya tidak ditemukan
adanya perbedaan dalam banyaknya privasi yang diingikan, tetapi sangat berbeda
dalam cara bagaimana mereka mendapatkan privasi. Desain lingkungan yang
dipengaruhi budaya, seperti rumah adat juga mempengaruhi privasi. Artinya setiap
budaya memiliki standar privasi masing-masing dan juga cara mereka memperoleh
privasi.
d. Kepadatan Banyaknya orang dalam suatu tempat mempengaruhi jarak sosial.

Robert Gifford (1997) berpendapat ruang personal mempengaruhi privasi, berikut


beberapa unsur yang mempengaruhi ruang personal seseorang:
1) Jenis Kelamin
Umumnya laki-laki memiliki ruang yang lebih besar, walaupun demikian faktor
jenis kelamin bukanlah faktor yang berdiri sendiri.
2) Kepribadian
Orang-orang yang berkepribadian terbuka, ramah atau cepat akrab biasanya
memiliki ruang personal yang lebih kecil. Demikian halnya dengan orang-orang
yang lebih mandiri lebih memilih ruang personal yang lebih kecil. Sebaliknya si
pencemas akan lebih mengambil jarak dengan orang lain, demikian halnya dengan
orang yang bersifat kompetitif dan terburu-buru.
3) Trauma
Pengalaman traumatis seseorang mempengaruhi sikapnya saat ini
4) Ketertarikan

6
Ketertarikan, keakraban dan persahabatan membawa pada kondisi perasaan positif
dan negatif antara satu orang dengan orang lain. Namun yang paling umum adalah
kita biasanya akan mendekati sesuatu jika tertarik.
5) Rasa Aman/Ketakutan
Kita tidak keberatan berdekatan dengan seseorang jika merasa aman dan
sebaliknya. Kadang ketakutan tersebut berasal dari stigma yang salah pada pihak-
pihak tertentu,misalnya kita sering kali menjauh ketika berpapasan dengan orang
cacat, atau orang yang terbelakang mental atau bahkan orang gemuk. Mungkin rasa
tidak nyaman tersebut muncul karena faktor ketidakbiasaan dan adanya sesuatu
yang berbeda.
6) Jarak Sosial
Sesuai dengan teori jarak sosial Edward Hall (1966) yang membedakan empat
macam jarak yang menggambarkan macam-macam hubungan, seperti jarak intim,
jarak pribadi, jarak sosial, jarak publik.

Fungsi Privasi
Menurut Altman (dalam Prabowo, 1998), ada tiga fungsi dari privasi, yaitu:
a. Pengatur dan pengontrol interaksi interpersonal yang berarti sejauh mana hubungan
dengan orang lain diinginkan, kapan waktunya menyendiri dan kapan waktunya
bersama-sama dengan orang lain dikehendaki.
b. Merencanakan dan membuat strategi untuk berhubungan dengan orang lain, yang
meliputi keintiman atau jarak dalam berhubungan dengan orang lain.
c. Memperjelas identitas diri

B. Personal Space

Personal space merupakan hal yang sangat penting bagi setiap individu dalam
membina hubungan sosial, individu akan merasa nyaman berinteraksi dengan
menggunakan space tertentu. Beberapa ahli mendefinisikan personal space sebagai bubble.
Bubble tersebut merupakan space di sekitar individu yang tidak terlihat, yang dipakai
individu untuk mengatur space yang tepat antara individu dengan ukuran space yang
bervariasi didasarkan pada lintas budaya, sosial, kepribadian dan dimensidimensi

7
lingkungan. Sedangan Robert Sommmer menyatakan bahwa personal space adalah space
disekitar tubuh individu yang mana individu lain tidak dapat memasukinya karena dapat
menimbulkan ketidaknyamanan. Oleh karena itu, demi menjaga kenyamanannya personal
space selalu digunakan individu ketika individu tersebut berinteraksi.
Konsep personal space ini sangatlah berbeda dengan territoriality atau territorial.
Perbedaan yang paling penting adalah personal space dapat mempengaruhi sekitar,
sedangkan teritorial relatif tidak berubah. Manusia biasanya akan membuat batasan
wilayah teritorinya sehingga individu lain dapat mengetahuinya, tetapi batasan personal
space tidak dapat terlihat. Sebagai contohya adalah, pusat dari teritorial seseorang adalah
rumahnya sendiri sedangkan pusat dari personal space merupakan individunya sendiri.
Karena itu, Manusia biasanya akan melawan apabila teritorialnya di ganggu oleh orang
lain, sedangkan jika personal spacenya di langgar oleh orang lain ia cenderung akan
menghindar.
Karakteristik individu seperti kepribadian, suasana hati (mood), jenis kelamin, dan
usia bersama dengan norma-norma sosial dan nilai-nilai budaya yang bertautan dengan
konteks lingkungan fisik yang berbeda, sangat mempengaruhi personal space yang dimiliki
seseorang. Misalnya personal space laki-laki menjadi besar ketika ia bergaul dengan laki-
laki dibandingkan ketika bergaul dengan perempuan.
Berdasarkan pengertian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa personal space
adalah area disekitar diri individu yang ditetapkan sebagai batasan nyaman atau tidak
nyaman ketika berinteraksi dengan individu lain. Area tersebut tidak terlihat, dan dapat
diibaratkan seperti gelembung yang didalam gelembung tersebut merupakan zona nyaman
bagi individu.

Fungsi Personal Space


Personal space memiliki beberapa fungsi. Pertama, menjaga space dalam
berinteraksi dengan orang lain. Space yang memadai dalam berinteraksi diperlukan oleh
setiap manusia. Dengan space yang memadai ia dapat menjaga stimulasi yang berlebihan
dari lawan interaksinya. Hal ini berarti bahwa apabila lawan interaksi tidak mempunyai
hubungan tertentu dengan dirinya, maka stimulais yang berlebihan dapat berbentuk radiasi
panas tubuh lawan interaksi, aroma yang mungkin tidak menyedapkan bagi lawan

8
interaksi, stimulasi secara nilai budaya yang tidak memungkinkan, dan stimulasi lainnya.
Kedua, menjaga komunikasi yang nyaman. Dengan space yang memadai, maka seseorang
dapat mengatur keras lemahnya suara dalam berkomunikasi. Apabila suara lerlalu keras
dengan jarak yang dekat, maka suara tersebut menjadi suara yang tidak membuat
komunikasi berlangsung nyaman. Ketiga, dalam kehidupan bermasyarakat terdapat norma-
norma yang mengatur cara berinteraksi. Dengan demikian, personal space dalam
berinteraksi sangat diperlukan untuk menjaga norma-norma masyarakat. Keempat,
Personal space mempunyai fungsi untuk mempertahankan diri dari ancaman emosi dan
fisik pihak lawan komunikasinya. 3
Berdasarkan pendapat tokoh di atas, dapat disimpulkan mengenai beberapa fungsi
personal space. Pertama, personal space digunakan untuk melindungi individu dari
kekerasan fisik maupun emosi. Kedua, personal space digunakan untuk komunikasi dan
pengatur keintiman. Ketiga, personal space digunakan untuk melindungi privasi individu.
Keempat, personal space digunakan untuk mengontrol agresi. Kelima, personal space
digunakan untuk menyesuaikan input sensoris.

C. Territotariality

Kata “territory” atau “wilayah” menurut KBBI adalah (n) daerah (kekuasaan,
pemerintahan, pengawasan, dsb); lingkungan daerah (provinsi, kabupaten, kecamatan).
Sedangkan menurut David Storey istilah “territory” dapat dilihat sebagai ruang geografis
terbatas yang diklaim atau diduduki oleh seseorang, sekelompok orang, atau institusi.
Sedangkan istilah “territoriality” atau “territorial” menurut KBBI adalah (a) mengenai
bagian wilayah (daerah hukum) suatu negara. Menurut Storey, istilah “territoriality”
merujuk pada pengklaiman sebuah ruang oleh individu atau kelompok lebih kepada
hubungan sosial dan wilayah, bagaimana cara mereka diproduksi, hasil dari praktek-
praktek sosial dan proses-prosesnya, muncul dalam kondisi tertentu, dan melayani tujuan-
tujuan tertentu.
Meskipun Territoriality ini cukup mirip dengan personal space, namun keduanya
adalah hal yang berbeda. Seperti yang sudah dijelaskan di submateri sebelumnya, personal

3 Iskandar, Psikologi Pendidikan Sebuah Orientasi Baru (Jakarta : Referensi, 2012) h.114-115.

9
space adalah batasan yang tidak terlihat, dapat dipindahkan (ikut berpindah dengan
individunya), person centered, dan meregulasikan seberapa dekat individu akan
berinteraksi, sedangkan wilayah (territory, kami akan menggunakan istilah territory untuk
paper ini) adalah batasan yang dapat dilihat secara nyata, relatif tidak bergerak, tampak
dibatasi, biasanya home centered, serta meregulasi siapa yang akan berinteraksi. Territory
dapat dilihat sebagai sebuah tempat yang dimiliki atau dikontrol oleh seorang indivdiu atau
lebih. Selain itu, territory juga berperan dalam mengorganisir interaksi antar individu dan
kelompok, sebagai ‘kendaraan’ untuk memperlihatkan identitas seseorang, dan dapat
diasosiasikan dengan perasaan, value, atau rasa attachment pada suatu ruang.
Perilaku teritorial bermanfaat pada motif dan kebutuhan yang penting untuk
organisme, termasuk juga pada saat menempati sebuah area, mendapatkan kontrol terhadap
area tersebut, mempersonalisasikannya, pemikiran, kepercayaan, atau perasaan mengenai
area tersebut, serta melindungi area tersebut. Konsep dari “territory” dan “territoriality”
mengilustrasikan sifat interdependent dari transaksi manusia-lingkungan. Karena tidak
akan ada teritorial tanpa wilayah, dan begitu juga sebaliknya.

Fungsi Territoriality
Ada banyak fungsi dari teritorial. Dibandingkan dengan hewan, manusia memiliki
fungsi teritorial yang lebih fleksibel. Fungsi-fungsi tersebut adalah:
a. Sebagai “organizers” dalam berbagai dimensi, contohnya adalah membuat “map”
mengenai tipe-tipe perilaku, dapat mengantisipasi beberapa tempat, siapa yang
akan kita temui, apa status seseorang, dan lain-lain.
b. Membantu untuk merencanakan dan mengatur kehidupan sehari-hari kita
c. berkontribusi dalam mengatur, berhubungan dengan peran sosial.
Intinya, bagaimana territories berfungsi dalam “mengorganisasikan sesuatu”
bergantung pada ruang tertentu. Contohnya adalah saat seseorang berada pada ruang tidur,
maka ruang tersebut diatur agar dapat menyediakan sebuah tempat yang cocok untuk
sendirian, memperbolehkan keintiman, dan dapat mengekspresikan identitas personal.
Contoh lain adalah tempat umum seperti perpustakaan, maka teritori mengatur ruang
sedemikan rupa untuk menyediakan sebuah tempat yang memiliki mekanisme jarak
interpersonal.

10
Perlu diketahui juga bahwa territories dapat membuat seseorang merasakan
perasaan istimewa, khas, privasi, dan sense of personal identity. Seseorang juga dapat
mengalami self-concept yang lebih tinggi dikarenakan territory yang mereka miliki, dan
dengan cara mereka mempersonalisasikannya. Maka ada orang yang dengan bangga
mengatakan atau menyebutkan diri mereka sebagai “seseorang yang tinggal di daerah
Pondok Indah” misalnya.

D. Kesesakan (Crowding) dan Kepadatan (Density)

Kesesakan (crowding) dan kepadatan (densitiy) merupakan fenomena yang akan


menimbulkan permasalahan bagi setiap negara di dunia di masa yang akan datang. Hal ini
dikarenakan terbatasnya luas bumi dan potensi sumber daya alam yang dapat memenuhi
kebutuhan hidup manusia, sementara perkembangan jumlah manusia di dunia tidak
terbatas.
Kesesakan dan kepadatan yang timbul dari perkembangan jumlah manusia di dunia
pada masa kini telah menimbulkan berbagai masalah sosial di banyak negara (misalnya :
Indonesia, India, Cina, dan sebagainya), baik permasalahan yang bersifat fisik maupun
psikis dalam perspektif psikologis. Contoh permasalahan sosial yang nyata dalam
perspektif psikologis dari kesesakan dan kepadatan penduduk adalah semakin banyaknya
orang yang mengalami stres dan berperilaku agresif destruktif. Berdasarkan fenomena
yang muncul dari dari realitas kini dan perkiraan berkembangnya dan timbulnya masalah
di masa yang akan datang, maka dalam perspektif psikologi lingkungan kiranya dipandang
tepat untuk menjadikan kesesakan dan kepadatan menjadi argumen bagi suatu pengkajian
secara lebih dini dan lebih mendalam dalam usaha mengantisipasi persoalan-persoalan
sosial yang pasti akan timbul pada masa kini dan masa yang akan datang.
Bentuk lain dari persepsi terhadap lingkungan adalah kesesakan (crowding). Kalau
kita berada dalam kereta api atau bus yang penuh dengan penumpang, kita merasa sesak
karena didesak – desak orang lain. Demikian juga kalau kita menghadiri resepsi
perkawinan yang dihadiri oleh ribuan undangan dan kita harus antri lama sekali untuk
memberi ucapan selamat kepada pengantin, kita merasa sesak. Jadi jelaslah bahwa
kesesakan ada hubungannya dengan kepadatan (density), yaitu banyaknya jumlah manusia
dalam suatu batas ruang tertentu. Makin banyak jumlah manusia berbanding luasmya

11
ruangan, makin padatlah keadaannya.
Hubungan antara kepadatan dan kesesakan memiliki dua ciri :
1) Kesesakan adalah persepsi terhadap kepadatan dalam artian jumlah manusia. Jadi
tidak termasuk di dalamnya kepadatan dalam hal lain – lain yang nonmanusia.
Orang yang berada sendirian di tengah sabana yang luas maupun dalam hutan rimba
yang penuh pohon dan binatang buas atau di tengah kota yang penuh bangunan tapi
tidak berpenghuni, tidak akan mempersepsikan kesesakan seperti yang dialami oleh
penumpang kereta api atau bus atau pengunjung resepsi pernikahan di atas.
2) Kesesakan sifatnya subjektif. Orang yang sudah biasa naik bus yang padat
penumpangnya mungkin sudah tidak merasa sesak lagi (density tinggi tapi
crowding rendah). Sebaliknya, orang yang biasa menggunakan kendaraan pribadi,
bisa merasa sesak dalam bus yang setengah kosong (density rendah tapi crowding
tinggi).
Kepadatan memang merupakan syarat yang diperlukan untuk timbulnya persepsi
kesesakan, tetapi bukanlah merupakan syarat yang mutlak harus ada. Misalnya, pada pasar
malam atau pertunjukan bioskop di lapangan atau tempat – tempat keramaian lainnya, orang
justru mencari kepadatan di tengah keramaian itu, walaupun kepadatannya tinggi orang tidak
merasa sesak. Kesesakan baru terjadi jika ada gangguan atau hambatan tertentu dalam
interaksi sosial atau dalam usaha pencapaian suatu tujuan. Misalnya jika orang harus
berkompetisi untuk mendapatkan tempat duduk di bus atau antri untuk berjabatan tangan
dengan pengantin atau tidak bisa berenang dengan leluasa di kolam renang umum yang
penuh dengan pengunjung.
Di lain pihak, karena hubungan yang sangat erat antara kepadatan dan kesesakan,
ada pakar – pakar lain yang tidak setuju dengan pembedaan antara kedua hal itu. Jonathan
Freedman (1975) misalnya, mengatakan bahwa kesesakan sebagai reaksi subjektif sulit
diukur. Ini adalah pandangan behavioristik yang cenderung mengabaikan segala proses
internal, termasuk persepsi dan perasaan. Selain itu menurut Freedman, konotasi kesesakan
selalu negatif (tidak ada orang yang merasa senang dalam keadaan sesak), sedangkan kalau
kita samakan saja kesesakan dengan kepadatan maka kita bisa mencapai objektivitas yang
lebih murni dan sekaligus bisa diterangkan mengapa kepadatan juga bisa menimbulkan
dampak positif (seperti dalam kasus tempat keramaian di atas).

12
Pandangan Freedman ini tidak banyak disetujui oleh para pakar lainnya. Secara
umum lebih banyak yang setuju dengan Stokols karena memang kedua konsep itu
merupakan dua hal yang berbeda dalam kenyataannya. Salah satu penelitian yang
mendukung Stokols adalah yang dilakukan oleh A. I. Schffenbauer dkk. (1977). Dalam
eksperimennya, ia membuktikan bahwa ruangan dengan banyak sinar menimbulkan kesan
kurang sesak, tapi tidak menambah kesan luas sehingga kalau di isi oleh orang banyak tetap
saja ada kesan sempit. Sebaliknya, gedung – gedung berlantai banyak memberikan kesan
luas (banyak ruangan), tetapi tidak mengurangi kesan sesak karena banyaknya penghuni di
gedung itu. Kesimpulannya, antara kepadatan dan kesesakan tidak berkorelasi.
Kesimpulan yang dapat diambil adalah pada dasarnya batasan kesesakan
melibatkan persepsi seseorang terhadap keadaan ruang yang dikaitkan dengan kehadiran
sejumlah manusia, dimana ruang yang tersedia dirasa terbatas atau jumlah manusianya yang
dirasa terbatas atau jumlah manusianya yang dirasa terlalu banyak.Berikut ini akan dibahas
faktor-faktor yang mempengaruhi kesesakan dan pengaruh kesesakan terhadap perilaku.

• Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Kesesakan


Terdapat tiga faktor yang mempengaruhi kesesakan yaitu: personal, sosial, dan
fisik, yang akan dibahas satu persatu.
Faktor Personal.
Faktor personal terdiri dari kontrol pribadi dan locus of control; budaya,
pengalaman, dan proses adaptasi; serta jenis kelamin dan usia.
a) Kontrol pribadi dan locus of control
Seligman dan kawan-kawan (dalam Worchel dan Cooper, 1983) mengatakan
bahwa kepadatan tinggi baru akan menghasilkan kesesakan apabila individu sudah tidak
mempunyai kontrol terhadap lingkungan disekitarnya, sehingga kesesakan dapat dikurangi
pengaruhnya bila individu tersebut memainkan peran kontrol priba di dalamnya.
Individu yang mempunyai locus of control internal, yaitu kecenderungan individu
untuk mempercayai (atau tidak mempercayai) bahwa keadaan yang ada di dalam dirinyalah
yang berpengaruh terhadap kehiduapnnya, diharapkan dapat mengendalikan kesesakan
yang lebih baik daripada individu yang mempunyai locus of control eksternal (Gifford,
1987).

13
b) Budaya, pengalaman, dan proses adaptasi
Suatu penelitian yang dilakukan oleh Nasar dan Min (dalam Gifford, 1987), yang
mencoba membandingkan kesesakan yang dialami oleh orang Asia dan orang Mediterania
yang tinggal di asrama yang sama di Amerika Utara, menemukan adanya perbedaan
persepsi terhadap kesesakan pada individu dengan latar belakang budaya yang berbeda,
dimana orang Mediterania merasa lebih sesak daripada orang Asia. Sundstrom (dalam
Giffrod, 1987) mengatakan bahwa pengalaman pribadi dalam kondisi padat dimana
kesesakan terjadi dapat mempengaruhi dapat mempengaruhi tingkat toleransi individu
terhadap tres akibat kesesakan yang dialami. Tingkat toleransi akibat adaptasi ini berguna
bila individu diharapkan pada situasi yang baru.
Menurut Yusuf (1991) keadaan-keadaan kepadatan yang tinggi yang menyebabkan
kesesakan justru akan menumbuhkan kreativitas-kreativitas manusia untuk melakukan
intervensi sebagai upaya untuk menekan perasaan sesak tersebut. Pada masyarakat Jepang,
upaya untuk menekan situasi kesesakan adalah dengan membangun rumah yang ilustratif,
yang dindingnya dapat dipisah-pisahkan sesuai dengan kebutuhan sesaat, serta untuk
mensejajarkan keadaannya dengan ruang dan wilayah yang tersedia. Pola ini memiliki
beberapa kegunaan sesuai dengan kebutuhan sosial penghuninya, seperti untuk makan,
tidur, dan rekreasi. Volume dan konfigurasi tata ruang adalah fleksibel, sehingga dapat
diubah-ubah sesuai kebutuhan dalam upayanya untuk menekan perasaan sesak.
Faktor Sosial.
Menurut Giffrod (1987) secara personal individu dapat lebih banyak atau lebih
sedikit mengalami kesesakan cenderung dipengaruhi oleh karakteristik yang sudah
dimiliki. Akan tetapi pengaruh orang lain dalam lingkungan dapat juga memperburuk
keadaan akibat kesesakan. Faktor-faktor sosial yang berpengaruh tersebut adalah:
a) Kehadiran dan perilaku orang lain
Kehadiran orang lain akan menimbulkan perasaan sesak bila individu merasa
terganggu dengan kehadiran orang lain.
b) Formasi koalisi
Keadaan ini didasari pada pendapat yang mengatakan bahwa meningkatnya
kepadatan sosial akan dapat meningkatkan kesesakan. Karenanya banyak penelitian yang
menemukan akibat penambahan teman sekamar (dari satu menjadi dua orang teman) dalam

14
asrama sebagai suatu keadaan yang negatif. Keadaan negatif yang muncul berupa tres,
perasaan tidak enak, dan kehilangan kontrol, yang disebabkan karena terbentuknya koalisi
di satu pihak dan seorang yang terisolasi di lain pihak (Giffrod, 1987).

c) Kualitas hubungan
Kesesakan menurut penelitian yang dilakukan oleh Schaffer dan Patterson (dalam
Giffrod, 1987) sangat dipengaruhi oleh seberapa baik seorang individu dapat bergaul
dengan orang lain. Individu yang percaya bahwa orang lain mempunyai pandangan yang
sama dengan dirinya merasa kurang mengalami kesesakan bila berhubungan dengan orang-
orang tersebut.
d) Informasi yang tersedia
Kesesakan juga dipengaruhi oleh jumlah dan bentuk informasi yang muncul
sebelum dan selama mengalami keadaan yang padat. Individu yang tidak mempunyai
informasi tentang kepadatan merasa lebih sesak daripada individu yang sebelumnya sudah
mempunyai informasi tentang kepadatan (Fisher dan Baum dalam Gifford, 1987).
Faktor Fisik.
Gove dan Hughes (1983) menemukan bahwa kesesakan di dalam rumah
berhubungan dengan faktor-faktor fisik yang berhubungan dengan kondisi rumah seperti
jenis rumah, urutan lantai, ukuran rumah (perbandingan jumlah penghuni dan luas ruangan
yang tersedia) dan suasana sekitar rumah. Jenis rumah di sini dibedakan atas unit hunian
tunggal, kompleks perubahan dan rumah susun. Menurut beberapa penelitian didapati
bahwa kesesakan yang paling tinggi ada pada rumah susun, kemudian pada kompleks
perumahan dan baru setelah rumah tunggal (unit hunian tunggal).
Penelitian yang dilakukan oleh Schiffenbauer dan Dibyo Hartono (1986) dan
hubungannya dengan urutan lantai pada rumah susun, menemukan bahwa penghuni lantai
yang lebih tinggi merasa tidak terlalu sesak daripada penghuni lantai bawah. Hal itu
disebabkan karena semakin sedikitnya kehadiran orang asing pada lantai yang lebih tinggi,
sehingga penghuni masih tetap bisa mengontrol interaksinya. Selain itu penghuni lantai
atas mempunyai ruang yang lebih terang dan bisa memandang lingkungan yang lebih luas
melalui pendelanya daripada penghuni lantai bawah.

15
Pengaruh Kesesakan Terhadap Perilaku
Bila suatu lingkungan berubah menjadi sesak (crowded), sumber-sumber yang ada
di dalamnya pun bisa menjadi berkurang, aktivitas seseorang akan terganggu oleh aktivitas
orang lain, interaksi interpersonal yang tidak diinginkan akan mengganggu individu dalam
mencapai tujuan personalnya, gangguan terhadap norma tempat dapat meningkatkan
gejolak dan ketidaknyamanan serta disorganisasi keluarga, agresi, penarikan diri secara
psikologi (psychological withdrawal), dan menurunnya kualitas hidup.
Banyak literature dan penelitian-penelitian yang membahas tentang pengaruh
kesesakan terhadap kehidupan manusia. Sampai sekarang ada beberapa ahli yang tetap
beranggapan bahwa kesesakan tidak hanya berpengaruh negative bagi individu tetapi bias
juga berpengaruh positif.
Freedman (1975) memandang kesesakan sebagai suatu keadaan yang dapat bersifat
positif maupun negatif tergantung dari situasinya. Jadi kesesakan dapat dirasakan sebagai
suatu pengalaman yang kadang-kadang menyenangkan dan kadang-kadang tidak
menyenangkan. Bahkan dari banyak penelitiannya diperoleh kesimpulan bahwa kesesakan
sama sekali tidak berpengaruh negatif terhadap subjek penelitian.
Pengaruh negatif kesesakan tercermin dalam bentuk penurunan-penurunan
psikologis, fisiologis, dan hubungan sosial individu. Pengaruh psikologis yang ditimbulkan
oleh kesesakan antara lain adalah perasaan kurang nyaman, stres, kecemasan, suasana hati
yang kurang baik, prestasi kerja dan prestasi belajar menurun, agresivitas meningkat, dan
bahkan juga gangguan mental yang serius.Individu yang berada dalam kesesakan juga akan
mengalami malfungsi fisiologis seperti meningkatnya tekanan darah dan detak jantung,
gejala-gejala psikosomatik, dan penyakit-penyakit fisik yang serius.
Dari sekian banyak akibat negatif kesesakan pada perilaku manusia tersebut,
Brigham (1991) mencoba menerangkan dan menjelaskannya menjadi (1) pelanggaran
terhadap ruang pribadi dan atribusi seseorang yang menekan perasaan yang disebabkan
oleh kehadiran orang lain; (2) keterbatasan perilaku, pelanggaran privasi dan terganggunya
kebebasan memilih; (3) kontrol pribadi yang kurang dan (4) stimulus yang berlebihan.
Walaupun pada umumnya kesesakan berakibat negatif pada perilaku seseorang,

16
tetapi kesesakan kadang memberikan kepuasan dari kesenangan. Hal ini tergantung pada
tingkat privasi yang diinginkan, waktu dan situasi tertentu, serta seting kejadian. Situasi
yang memberikan kepuasan dan kesenangan bisa kita temukan, misalnya pada waktu
melihat pertunjukan musik, pertandingan olahraga atau menghadiri reuni atau resepsi. 4

E. Peta Mental

Kognisi spasial atau peta mental mempunyai pengertian yaitu upaya memahami
suatu tempat khususnya terhadap kota. Istilah diatas berpegang kepada definisi dan teori
yang dirintis oleh David Stea dan Roger Down (dalam Holahan, 1982). Mereka
mendefinisikan satu pengertian : "Proses yang memungkinkan kita untuk mengumpulkan,
mengorganisasikan, menyimpan dalam ingatan, memanggil, serta menguraikan kembali
informasi tentang lokasi relatif dan tanda-tanda tentang lingkungan geografis kita". Peta
mental adalah perwujudan dan gejala persepsi terhadap lingkungan. Peta ini merupakan
kumpulan pengalaman mental seseorang, bukan merupakan peta kartografi yang akurat
dan lengkap sehingga tidak dalam ukuran yang benar, tidak lengkap, ada distorsi, dan
sederhana.
Kontribusi paling menonjol dan studi peta mental adalah karya Kevin Lynch dalam
The Image of the City. Lynch menggunakan sketsa sederhana dari peta yang dibuat
berdasarkan memori. Lynch, ketika mengadakan penelitian pada warga kota Boston, Los
Angeles, dan New Jersey, menemukan beberapa karakteristik peta kognitif atau peta
mental. Karakteristik tersebut dirangkum Nawrocki (2017) sebagai berikut:
1) Paths, yaitu jalur-jalur yang menghubungkan satu tempat dengan tempat lain,
misalnya jalan utama.
2) Edges, atau batas wilayah, yang membedakan wilayah satu dengan wilayah lain,
misalnya sungai atau gapura besar.
3) Districts, yaitu bagian besar dari kota yang mempunyai identitas yang berbeda,
misalnya, daerah Pecinan (China Town). Di Indonesia, seperti Kauman.
4) Nodes, yaitu titik temu antarjalur jalan, misalnya pertigaan, perempatan, perlimaan.
5) Landsmarks, yaitu struktur arsitektur unik yang dapat dilihat dari jarak tertentu dan

4Seri Diktat Kuliah. Arsitektur, Psikologi dan Masyarakat. Hendro Prabowo. Penerbit Gunadarma.

17
mencolok, misalnya gedung tinggi, patung, pohon besar.
Menurut Lynch bahwa sering persepsi kita tentang kota tidak berkelanjutan,
melainkan parsial, sepotong-sepotong dan setiap sense dan image yang terjadi merupakan
kolaborasinya (Lynch 1960:2). Penciptaan peta mental mengandalkan memori dibuat
berdasarkan peta atau image yang sudah ada sebelumnya. Dalam penelitiannya Lynch
meminta pengamat untuk membuat peta seperti sedang mendeskripsikan dengan cepat
untuk seorang asing, tentang kota yang mencakup fitur utama yang ada, tanpa
mengharapkan gambar yang akurat, hanya berupa sketsa, (Lynch 1960:141). Salah satu
upaya untuk mencoba memahami citra lingkungan perkotaan dapat dilakukan dengan cara
mengetahui peta mental (cognitive map) manusia sebagai pengamat. Citra lingkungan
adalah hasil dari suatu proses dua arah antara pengamat dan lingkungannya. Lingkungan
menunjukkan perbedaan dan hubungan, dan pengamat, dengan kemampuan adaptasi,
memilih, mengorganisir, dan memberi makna terhadap apa yang dilihatnya.
Dengan demikian pemahaman dan pengetahuan tentang lingkungan kota terjadi
melalui proses timbal balik yang bersifat dinamis. Pemahaman tersebut tidak diperoleh
secara serentak dalam waktu singkat, tetapi secara bertahap melalui proses panjang yang
berkaitan dengan berbagai macam peristiwa pada lingkungan dan memori pengalaman
masa lalu.
Contoh, ketika B kesulitan menemukan rumah A meskipun telah mengikuti peta
yang dibuat A karena gambar itu berbeda dengan kenyataan. Misalnya, bangunan gereja
besar digambar kecil atau bahkan tidak tergambar sama sekali. Gambar jalan mobil yang
jauh tergambar kecil dan pendek, sedangkan gang dekat rumah A tergambar panjang
sehingga terkesan jauh.
Perbedaan peta mental dengan kenyataan ini menunjukan bahwa peta mental itu
sangat subjektif. Apa yang dirasakan penting oleh seseorang akan digambarkan dengan
jelas, berukuran besar, dan sebaliknya sesuatu yang dianggapnya kurang penting digambar
kecil. Karena peta mental ini peta pengalaman, bukan peta berdasarkan ukuran yang
presisi. Peta mental seseorang yang tinggal di suatu kota, tetapi jarang melihat-lihat kota
tersebut, akan berbeda dengan peta mental sesorang yang tinggal di kota yang sama, akan
tetapi sering berkeliling melihat perkembangan kota. Akan tetapi pada perkembangnnya,
kawasan kota yang berkembang cepat dan pesat, akan membuat masyarakat sulit untuk

18
mengetahui, memahami dan mengartikan seluruh komponen kota secara kolektif, sehingga
peta mental masyarakat kota tersebut cenderung beragam. Demikian dengan pengunjung
yang sering mengujungi kota akan memiliki peta mental yang mungkin dapat sama dengan
penduduk kota.
Beberapa pendapat ahli yang dirangkum oleh Laurens menyebutkan beberapa
faktor yang membedakan peta mental seseorang adalah sebagai berikut:
a) Gaya Hidup
Gaya hidup seseorang menyebabkan timbulnya selektivitas dan distorsi peta mental.
Hal tersebut erat kaitanya dengan tempat (jenis, kondisi, jumlah, dan lain sebagainya)
yang pernah dikunjungi sesuai dengan gaya hidup yang dimiliki.
b) Keakraban Dengan Lingkungan
Hal ini menyangkut pada sebarapa baik seseorang mengenal lingkunganya. Semakin
kuat seseorang mengenal lingkunganya, semakin luas dan rinci peta mentalnya.
c) Keakraban Sosial
Semakin luas pergaulanya, semakin luas wilayah yang dikunjungi, dan semakin ia tahu
akan kondisi wilayah tertentu maka semakin baik peta mentalnya.
d) Kelas Sosial
Semakin terbatas kemampuan seseorang, semakin terbatas pula daya geraknya dan
semakin sempit peta mentalnya.
e) Perbedaan Seksual
Laki-laki biasanya mempunyai peta mental yang lebih baik dan terinci dari pada
perempuan karena kesempatan pergaulan dan ruang geraknya juga lebih luas. Terlebih
lagi, dalam kondisi masyarakat yang ada pada umumnya akan lebih memberi peluang
pada kaum pria untuk bergerak dengan berbagai aktivitas.
Fungsi peta mental adalah untuk mengatasi masalah lokasi dan jarak, juga bisa
untuk tujuan komunikasi, bahkan untuk menunjukkan identitas diri. Misalnya, Jakarta
dengan Tugu Monas, Surabaya dengan Tugu Pahlawan, Bukit Tinggi dengan Jam Gadang.
Bandung dengan Gedung Sate atau Sydney dengan Gedung Opera House dan Paris dengan
Menara Eifel.

19
F. Stress

Stres didefinisikan sebagai suatu keadaan tertekan, baik secara fisik maupun
psikologis. Stres keadaan yang disebabkan oleh adanya tuntutan internal maupun eksternal
(stimulus) yang dapat membahayakan, tidak terkendali atau melebihi kemampuan individu
sehingga individu akan bereaksi baik secara fisiologis maupun secara psikologis (respon)
dan melakukan usaha-usaha penyesuaian diri terhadap situasi tersebut (proses).
Dari beberapa pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa Stres adalah tekanan
yang terjadi akibat ketidaksesuaian antara situasi yang diinginkan dengan harapan, di mana
terdapat kesenjangan antara tuntutan lingkungan dengan kemampuan individu untuk
memenuhinya yang dinilai potensial membahayakan, mengancam, mengganggu, dan tidak
terkendali atau dengan bahasa lain stres adalah melebihi kemampuan individu untuk
melakukan coping..

Penggolongan Stres
Selye (dalam Rice, 1992) menggolongkan stres menjadi dua golongan.
Penggolongan ini didasarkan atas persepsi individu terhadap stres yang dialamin
a. Distress (stres negatif)
Selye menyebutkan distress merupakan stres yang merusak atau bersifat tidak
menyenangkan. Stres dirasakan sebagai suatu keadaan dimana individu mengalami rasa
cemas, ketakutan, khawatir, atau gelisah. Sehingga individu mengalami keadaaan
psikologis yang negatif, menyakitkan, dan timbul keinginan untuk menghindarinya.

b. Eustress (stres positif)


Selye menyebutkan bahwa eustress bersifat menyenangkan dan merupakan
pengalaman yang memuaskan. Hanson (dalam Rice, 1992) mengemukakan frase joy of
stress untuk mengungkapkan hal-hal yang bersifat positif yang timbul dari adanya stres.
Eustress dapat meningkatkan kesiagaan mental, kewaspadaan, kognisi, dan performansi
individu. Eustress juga dapat meningkatkan motivasi individu untuk menciptakan sesuatu,
misalnya menciptakan karya seni.

20
Gejala Stres
Menurut braham (dalam Anto, 2015), gejala stres dapat berupa tanda-tanda,sebagai
berikut :
a. Fisik
yaitu sulit tidur atau tidak dapat tidur teratur, sakit kepala, sulit buang air besar
b. Emosional
Yaitu marah-marah, mudah tersinggung, terlalu sensitif,gelisah dancemas, suasana
hati mudah berubah-ubah, sedih, mudah menangis.
c. Intelektual
Yaitu mudah lupa, kacau pikirannya, daya ingat menurun, sulit berkonsentrasi,
suka melamun, pikiran hanya dipenuhi satu pikiran saja.
d. Interpersonal
Yaitu acuh, kurang percaya kepada orang lain, sering mengingkari janji,suka
mencari kesalahan orang lain, menutup diri, mudah menyalahkan orang lain

Penyebab Stress
Menurut Lazarus & Folkman (dalam Morgan, 1986) kondisi fisik, lingkungan dan
sosial yang merupakan penyebab dari kondisi stres disebut dengan stressor. . Stressor dapat
berwujud atau berbentuk fisik, seperti polusi udara dan dapat juga berkaitan dengan
lingkungan sosial, seperti interaksi sosial.
Ada tiga faktor yang dapat menyebabkan seseorang menjadi stres, yaitu:
1. Faktor biologis, yaitu :
a) Sejarah deperesi dan bunuh diri di dalam keluarga
b) Penggunaan alcohol dan obat-obatan di dalam keluarga
c) Siksaan secara seksual dan fisik di dalam keluarga
d) Penyakit yang serius yang diderita remaja atau anggota keluarga Sejarah
keluarga atau individu dari kelainan psikiatris seperti kelaianan makanan, skozoprenia,
manik depresif, gangguan perilaku dan kejahatan
e) Kematian salah satu anggota keluarga
f) Ketidakmampuan belajar atau ketidakmampuan mental atau fisik

21
g) Perceraian orang tua
h) Konflik dalam Keluarga
2. Faktor kepribadian, yaitu :
a) Tingkah laku impulsif, obsesif dan ketakutan yang tidak nyata
b) Tingkah laku agresif dan antisosial
c) Penggunaan dan ketergantungan obat terlarang, tertutup
d) Hubungan sosial yang buruk dengan orang lain, menyalahkan diri sendiri
dan merasa bersalah
e) Masalah dengan tidur atau makan
3. Faktor psikologis dan sosial, yaitu :
a) Kehilangan orang yang dicintai, seperti kematian teman atau anggota
keluarga, putus cinta, kepindahan teman dekat atau keluarga
b) Tidak dapat memenuhi harapan orang tua seperti kegagalan dalam
mencapai tujuan, tinggal kelas dan penolakan sosial
c) Tidak dapat menyelesaikan konflik dengan anggota keluarga, teman sebaya,
guru, pelatih, yang dapat mengakibatkan kemarahan, frustasi dan penolakan
d) Pengalaman yang dapat membuatnya merasa rendah diri dapat
mengakibatkan remaja kehilangan harga diri atau penolakan
e) Pengalaman buruk seperti hamil atau masalah keuangan

Mengatasi Stress
Terkait dengan sikap yang dibangun menghadapi sumber stres, ada 4 hal penting
yang dapat dilakukan, dengan manfaat penting yang sangat membantu.
a. Control
Kemampuan melakukan kontrol merupakan suatu mediator atau aktivitas kejiwaan
yang sangat kuat terhadap stres. Dia menyediakan perasaan mampu mengahadapi masalah
secara efektif, mampu memprediksi suatu kejadian, serta dapat mengetahui konsekuensi
dari sesuatu sebelum hal itu terjadi.
b. The Hardy Personality
Ini adalah sesuatu yang berkaitan tentang sejauh mana kondisi seseorang kuat
terhadap tekanan. Ini pertama berkaitan dengan ketahanan fisik seseorang. Orang yang
sering berlatih secara fisik (seperti olah raga), dia akan memiliki fisik yang lebih sehat, dan

22
tidak mudah jatuh sakit. Seorang individu yang secara fisik lebih sehat dan kuat akan
terpengaruh lebih sedikit dalam hal dampat fisik ketika menghadapi stres.
c. Social Support
Seperti kita ketahui bahwa dukungan dan bantuan sosial itu sangat diperlukan
dalam kehidupan bersama, khususnya ketika sedang menghadapi bencana seperti gempa
bumi atau bencara teknologi, seperti kebocoran pembangkit tenaga nuklir. Kerusakan yang
diakibatkan oleh banjir besar, atau gempa dan/atau tsunami, biasanya menyisakan kondisi
lingkungan yang sangat memberatkan, selain korban jiwa dan harta benda.
d. The Relaxation Response
Menurut Benson, stimulus yang dibutuhkan untuk memproduksi respon ini, di
antaranya adalah lingkungan sekitar yang hening, mata terpejam, posisi badan
menyenangkan, serta pemusatan perhatian pada suatu hal tertentu. . Benson
mengingatatkan bahwa faktor keempat ini ditemukan dalam banyak tradisi dan agama-
agama berupa teknik-teknik meditasi dan doa yang menghasilkan penyembuhan dari
keadaan yang memberatkan.

23
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa :


1. Privacy adalah hasrat atau kehendak untuk mengontrol akses fisik maupun
informasi terhadap diri sendiri dari pihak orang lain, sedangkan personal space
adalah perwujudan dari privacy yang berbentuk ruang (space).
2. Teritorialitas adalah suatu pola tingkah laku yang ada hubungannya dengan
kepemilikan atau hak seseorang atau sekelompok orang atas sebuah tempat atau
suatu lokasi geografis. Pola tingkah laku ini mencakup personalisasi dan
pertahanan terhadap gangguan dari luar
3. Kesesakan (crowding) dan kepadatan (density) memiliki keterkaitan satu sama
lain, dimana makin banyak jumlah manusia (kesesakan), makin padatlah
keadaanya dan syarat yang diperlukan untuk timbulnya persepsi kesesakan adalah
kepadatan.
4. Stress adalah beban mental yang oleh individu bersangkutan akan dikurangi atau
dihilangkan, untuk mengurangi atau menghilangkan stress, individu melakukan
tingkah laku penyesuaian. Jika berhasil, individu akan kembali pada keadaan
homeostatis, tetapi kalau tidak maka individu akan kembali pada keadaan stress
lagi, bahkan mungkin stress itu bertambah besar.

B. Saran

Kami sebagai penulis menyadari bahwa makalah ini masih terdapat banyak kekurangan
dan jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kami sebagai penulis mengharapkan saran
dan kritik yang membangun dari para pembaca demi perbaikan dan pengembangan
makalah ini.

24
DAFTAR PUSTAKA

Wagner, Judith (1997) In Pursuit of Privacy: Law, Ethics, and the Rise of Technology. Cornell
University Press

Halim, D. (2005). Psikologi Arsitektur. Pengantar Kajian Lintas Disiplin. Jakarta: PT Grasindo.

Iskandar. (2012). Psikologi Pendidikan Sebuah Orientasi Baru. Jakarta : Referensi.

Atosoki, A. (2011). Environmental Stress: Usaha Mengatasi Stress yang Bersumber dari Lingkungan.
Humaniora, 874-884.

Barseli, M. (2017). Konsep Stres Akademik Siswa. Jurnal Konseling dan Pendidikan, 5, 143-148.

Nasution, I. K. (2007). Stress pada Remaja.

Siswanto. (2007). Kesehatan Mental, Konsep, Cakupan dan Perkembangan. Yogyakarta .

25

Anda mungkin juga menyukai