Anda di halaman 1dari 14

KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang maha pengasih lagi maha penyayang.

Puja puji syukur kita atas kehadirat Allah SWT, yang mana berkat rahmat dan karunianya
serta kesempatan waktu,sehingga dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul
‘‘Kewajiban Mengajar Dalam Al-Qur’an’’.Sholawat berangkaikan salam kepada
junjungan Nabi kita Nabi Muhammad SAW.Yang kita harapkan syafaatnya di yaumil akhir
kelak.

Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas dari
Bpk.Muhammad As’adurrofik.S.Th.i.M.Ag.dosen pembimbing dari mata kuliah Tafsir
Tarbawi,selain itu makalah ini juga bertujuan untuk menambah pengetahuan tentang
‘‘Kewajiban Mengajar Dalam Al-Qur’an’’.bagi pembaca dan penulis.

Kami mengetahui bahwa makalah ini jauh dari kata sempurna oleh karena itu kritik
dan saran yang bersifat membangun kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini.

Batu Bara, Oktober 2022

Kelompok 5

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN

BAB II PEMBAHASAN

BAB III PENUTUP

DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A.Latar Belakang

Didalam kehidupan ini Allah SWT lah yang menjadi pengajar yang pertama, yang
mana untuk yang pertama kalinya Allah mengajar kepada Rasulullah melalui malaikat Jibril.
Kita manusia sebagai makhluk yang sempurna di beri beban serta tanggung jawab mengajar
atau memberi pengetahuan kepada orang-orang disekitar kita terutama orang-orang terdekat
kita yakni untuk membimbing mereka kepada arah yang lebih baik. Di dalam Al-Qur’an
terdapat ayat-ayat yang menjelaskan tentang kewajiban mengajar bagi orang-orang yang
mampu mengajar kepada orang – orang yang belum ataupun kurang mengetahui, di antaranya
Q.S. Al Mudatsir 1-7, Q.S. Asy Syuara 26: 214, Q.S. Al Imran 79, dan Q.S. Al Imran 104.
Didalam kehidupan ini Allah SWT lah yang menjadi pengajar yang pertama, yang mana
untuk yang pertama kalinya Allah mengajar kepada Rasulullah melalui malaikat Jibril. Kita
manusia sebagai makhluk yang sempurna di beri beban serta tanggung jawab mengajar atau
memberi pengetahuan kepada orang-orang disekitar kita terutama orang-orang terdekat kita
yakni untuk membimbing mereka kepada arah yang lebih baik. Di dalam Al-Qur’an terdapat
ayat-ayat yang menjelaskan tentang kewajiban mengajar bagi orang-orang yang mampu
mengajar kepada orang – orang yang belum ataupun kurang mengetahui, di antaranya Q.S. Al
Mudatsir 1-7, Q.S. Asy Syu’ara 214, Q.S. Al Imran 79, dan Q.S. Al Imran 104.
B.Rumusan dan Urgensi Pembahasan
Dari pembahasan latar belakang di atas, maka penulis bermaksud membahas
materi yang terangkum dalam rumusan pembahasan sebagai berikut:
1.Bagaimana kewajiban mengajar dalam Al-Qur’an?
2.Bagaimana tafsir ayat ke 1-7 surat al-Mudatsir?
3.Bagaimana tafsir ayat ke 214 surat al-Syu’ara?
4.Bagaimana tafsir ayat ke 79,104 surat Ali Imran?

Adapun tujuan dan urgensi pembahasan ini adalah untuk:


1.Memahami kewajiban mengajar dalam Al-Qur’an
2.Memahami tafsir ayat ke 1-7 surat al-Mudatsir
3.Memahami tafsir ayat ke 214 surat al-Syu’ara
3.Memahami tafsir ayat ke 79,104 surat Ali Imran

1
BAB II
PEMBAHASAN
A.Kewajiban Mengajar Dalam Al-Qur’an

Diwajibkan oleh Allah swt sebagai salah satu kegiatan dakwah yang mana mampu
mengajak manusia kepada yang ma`ruf dan mencegah manusia dari hal yang munkar.
Pengantar Belajar Al-Qur'an identik dengan orang yang ingin belajar membaca Al-Qur'an,
sementara yang diinginkan dalam Pengantar Studi Al-Qur'an adalah pengkajian terhadap
Islam secara ilmiah, baik Islam sebagai sumber ajaran, pemahaman, maupun pengamalan. 1
Setelah turun ayat dalam surat Al-‘Alaq perintah belajar, wahyu Allah berikutnya
perintah mengajar yaitu Allah menjelaskannya dalam beberapa surah Al-Quran diantaranya
adalah:
B.Tafsir Ayat ke 1-7 surat Al-Mudatsir

Artinya :
“Wahai yang berselimut (1). Bangkitlah dan berilah peringatan (2), Dan Tuhanmu
agungkanlah.(3) Dan pakaianmu bersihkanlah.(4) Dan dosa maka tinggalkanlah.(5) Dan
janganlah memberi untuk memperoleh yang banyak.(6) Dan hanya kepada Tuhanmu saja,
maka bersabarlah (7)”.

(١) ‫ۡال ُم َّدثِّر ُٰۤياَيُّهَا‬

Artinya : “Wahai yang berselimut (Nabi Muhammad)”

Kosakata:
1. Al-Muddassir (al-Muddašsir: 1)
Kata al-muddassir adalah isim fa il dari tadassara. Menurut al-Ragib al Asfahani, kata
muddassir berasal dari kata mutadassir, di-idgám-kan menjadi dal. Sedangkan menurut
pengarang al-Mu'jam al-Wasit, kata tadašsara berarti seseorang yang memakai dišar, yaitu
sejenis kain yang diletakkan di atas baju yang dipakai untuk menghangatkan atau dipakai
1
Abdul Hamid ,Pengantar Studi Al-Qur’an,(Jakarta:Kencana,2016),hal 6

2
sewaktu orang berbaring atau tidur. Oleh sebab itu, kata disär dapat diartikan dengan
"selimut".

Dengan demikian, maka kata al-muddassir berarti "orang yang berselimut". Ulama
tafsir sepakat bahwa yang dimaksud dengan yang berselimut adalah Nabi Muhammad, yang
mana yang menyelimuti adalah istri beliau, Khodijah ra.
Biasanya bila seseorang takut, ia akan menggigil, oleh sebab itu ia menutupi dirinya
dengan selimut. Menyelimuti atau diselimuti dalam ayat tersebut adalah untuk
menghilangkan rasa takut yang meliputi jiwa Nabi Muhammad beberapa saat sebelum
turunnya ayat-ayat ini. Hal ini terjadi pada diri Nabi Muhammad, khususnya pada masa awal
kedatangan malaikat Jibril kepada beliau.

(٢) ۡ‫فَا َ ۡن ِذ ۡرقُم‬

Artinya : “Bangkitlah dan berilah peringatan”

Kata (kum) terambil dari kata yang mempunyai banyak bentuk. Secara umum, kata
yang dibentuk dari akar kata tersebut diartikan sebagai “melaksanakan sesuatu secara
sempurna berbagai seginya.” Karena itu , perintah diatas menuntut kebangkitan yang
sempurna, penuh semangat, dan percaya diri, sehingga yang diseru dalam hal ini Nabi
Muhammad saw harus membuka selimut, menyingsingkan lengan baju untuk berjuang
menghadapi kaum musyrikin.
Kata ْ‫( َأ ْن ِّذر‬andhir) berasal dari kata yang mempunyai banyak arti antara lain, sedikit,
awal sesuatu dan janji untuk melaksanakan sesuatu bila terpenuhi syaratnya. Pada ayat di
atas, kata ini biasa diterjemahkan peringatkanlah. Yang didefinisikan sebagai “penyampaian
yang mengandung unsure menakut-nakuti”. Yang mana peringatan yang disampaikan itu
merupakan sebagian kecil serta pandahuluan dari sesuatu hal yang besar dan berkepanjangan.
Adapun kata `peringatan` pada ayat ini, para ulama berbeda pendapat tentang objek
yang diperingati karena ayat tersebut tidak menyebutkannya. Ada pula yang berpendapat
bahwa pada dasarnya perintah disini belum ditunjukkan kepada siapapun. Yang penting
adalah melakukan peringatan, kepada siapa saja. Adapun kandungan peringatan, berdasarkan
petunjuk ayat ayat yang menggunakan redaksi yang sama dengan ayat ini, dapat kita katakana
bahwasanya peringatan tersebut menyangkut siksa di hari kemudian.
Tafsir:
3
(1-2) Dalam ayat 1-2 disebutkan bahwa Nabi Muhammad sedang berselubung dengan
selimut karena diliputi perasaan takut melihat rupa Malaikat Jibril, lalu turunlah wahyu yang
memerintahkan agar segera bangun dan memperingatkan umat yang masih sesat itu supaya
mereka mengenal jalan yang benar. Perkataan "qum" (bangunlah) menunjukkan bahwa
seorang rasul harus rajin, ulet, dan tidak mengenal putus asa karena ejekan orang yang tidak
senang menerima seruannya. Rasul tidak boleh malas dan berpangku tangan.

َ َّ‫فَ َكب ِّۡر َو َرب‬


(٣)‫ك‬
Artinya : “Dan Tuhanmu agungkanlah”.

Ayat ini memerintahkan agar Nabi Muhammad mengagungkan Allah dengan


bertakbir dan menyerahkan segala urusan kepada kehendak-Nya. Beliau dilarang mencari
pertolongan selain kepada-Nya. Mengagungkan Allah dengan segenap jiwa dan raga tentu
menumbuhkan kepribadian yang tangguh dan tidak mudah goyah. Sebab, manusia yang
beriman memandang bahwa tidak ada yang ditakuti selain Allah. Sikap ini perlu dihayati oleh
seorang dai (juru dakwah) yang tugasnya sehari-hari mengajak manusia ke jalan Allah. Ayat
ini juga mengandung arti bahwa Nabi Muhammad diperintahkan supaya bertakbir yaitu
membesarkan nama Tuhan-Nya, melebihi dari segala sesuatu yang ada. Sebab setelah
manusia mengenal pencipta alam dan dirinya sendiri serta yakin bahwa pencipta itu memang
ada, maka hendaklah dia membersihkan zat-Nya dari segala tandingan-Nya. Bila tidak
demikian,orang musyrik pun mengagungkan nama tuhan mereka, akan tetapi keagungan yang
berserikat dengan zat-zat lain. Membesarkan Allah berarti mengagungkan-Nya dalam ucapan
dan perbuatan, menyerahkan segala urusan hanya kepada-Nya, beribadah dan membersihkan
zat-Nya dari segala yang dipersekutukan dengan-Nya, dan menggantungkan harapan kepada-
Nya saja. Kalau unsure unsur yang demikian dipenuhi dalam membesarkan Allah, barulah
sempurna penghayatan iman bagi seorang mukmin.
(٤)‫َوثِيَابَكَ فَطَه ِّۡر‬
Artinya : “Dan pakaianmu bersihkanlah”
Dan ayat keempat ini adalah ayat yang mengandung petunjuk yang diterima oleh
Rasulullah saw dalam rangka melaksanakan tugas tabligh, setelah petunjuk pada ayat pertama
dan ayat ketiga ditekankan keharusan mengkhususkan pengagungan (takbir) hanya kepada
Allah swt. Ayat tersebut menyatakan: dan pakaianmu, bagaimanapun keadaanmu maka
bersihkanlah.

4
Kalau dalam petunjuk pertama dan ayat ketiga ditekankan pembinaan jiwa dan sikap
mental. Dalam ayat keempat ini yang ditekankan adalah penampilan lahiriyah demi menarik
simpati mereka yang diberi peringatan dan bimbingan.
Dalam ayat ini, Allah memerintahkan Nabi Muhammad supaya membersihkan
pakaian. Makna membersihkan pakaian menurut sebagian ahli tafsir adalah:
a. Membersihkan pakaian dari segala najis dan kotoran, karena bersuci dengan maksud
beribadah hukumnya wajib, dan selain beribadah hukumnya sunnah.
b.Membersihkan pakaian berarti membersihkan rohani dari segala watak dan sifat-sifat
tercela.

ۡ َ‫ف‬
(٥)‫اهج ُۡر َوالرُّ ۡج َز‬
Artinya : “Dan dosa maka tinggalkanlah”.
Selanjutnya Nabi Muhammad diperintahkan supaya meninggalkan perbuatan dosa
seperti menyembah berhala atau patung. Kata ar-rujz yang terdapat dalam ayat ini berarti
siksaan, dan dalam hal ini yang dimaksudkan ialah perintah menjauhkan segala sebab yang
mendatangkan siksaan, yakni perbuatan maksiat. Termasuk yang dilarang oleh ayat ini ialah
mengerjakan segala macam perbuatan yang menyebabkan perbuatan maksiat.
Membersihkan diri dari dosa apalagi bagi seorang dai adalah suatu kewajiban. Sebab,
kalau pada diri sang dai sendiri diketahui ada cela dan aib oleh masyarakat, tentu perkataan
dan nasihatnya sulit diterima orang. Bahkan mubalig yang pandai memelihara diri sekali pun
pasti menghadapi dua bentuk tantangan, yakni:
a. Boleh jadi orang yang diajak dan diseru ke jalan Allah akan menepuk dada,
memperlihatkan kesombongannya, sehingga merasa tidak lagi membutuhkan nasihat.
Dengan kekayaan, ilmu pengetahuan, atau kedudukan tinggi yang dimilikinya, ia
merasa tidak perlu lagi diajak ke jalan Allah.
b. Mungkin pula sang dai dimusuhi oleh penguasa dan yang tidak senang kepadanya.
Sang dai akan diusir, disiksa, dikurangi hak-haknya, diintimidasi, dilarang, atau
dihalang-halangi menyampaikan dakwah dan menegakkan yang hak.
(٦) ‫ت َۡست َۡكثِ ُر تَمۡ نُ ۡن َواَل‬

Artinya :”Dan janganlah memberi untuk memperoleh yang banyak”.

5
Pemberian yang banyak dinamai karena itu mengandung arti banyak sehingga seakan-
akan ia tidak putus-putus. Makanan yang diturunkan kepada Bani Isroil dinamai karena ia
turun dalam bentuk kepingan terpotong-potong. Sedangkan menyebut-nyebut pemberian
dinamai karena ia memutuskan ganjaran yang sewajarnya diterima oleh pemberinya.
Dari berbagai pendapat dapat disimpulkan bahwa paling tidak 4 pendapat ulama tafsir
tentang ayat ini:
1. Jangan merasa pesimis untuk memperoleh kebaikan yang banyak
2. Jangan memberikan sesuatu dengan tujuan mendapatkan yang lebih banyak.
3. Janganlah memberikan sesuatu dan menganggap bahwa apa yang engkau berikan itu
banyak.
4. Jangan menganggap usahamu (berdakwah) sebagai anugerah kepada manusia, karena
dengan demikian engkau akan memperoleh yang banyak. Perolehan yang banyak bukan
bersumber dari manusia tapi tapi berupa ganjaran dari Allah.
Dalam ayat ini, Nabi Muhammad dilarang memberi dengan maksud memperoleh
yang lebih banyak. Artinya dengan usaha dan ikhtiar mengajak manusia ke jalan Allah, serta
dengan ilmu dan risalah yang disampaikan, beliau dilarang mengharapkan ganjaran atau upah
yang lebih besar dari orang-orang yang diserunya. Tegasnya jangan menjadikan dakwah
sebagai objek bisnis yang mendatangkan keuntungan duniawi. Bagi seorang nabi lebih
ditekankan lagi agar tidak mengharapkan upah sama sekali dalam dakwah, guna memelihara
keluhuran martabat kenabian yang dipikulnya.
َ ِّ‫اصبِ ۡرؕلِ َرب‬
(٧) ‫ك و‬ ۡ َ‫ف‬
Artinya :”Dan hanya kepada Tuhanmu saja, maka bersabarlah.“

Ayat ini memerintahkan supaya Nabi Muhammad bersikap sabar, karena dalam
berbuat taat itu pasti banyak rintangan dan cobaan yang dihadapi. Apalagi dalam berjihad
untuk menyampaikan risalah Islam. Sabar dalam ayat ini juga berarti tabah menderita karena
disiksa atau disakiti karena apa yang disampaikan itu tidak disenangi orang. Bagi seorang dai,
ayat ini berarti bahwa ia harus dapat menahan diri dan menekan perasaan ketika misinya
tidak diterima orang, dan ketika kebenaran yang diserukannya tidak dipedulikan orang.
Janganlah putus asa, sebab tidak ada perjuangan yang berhasil tanpa pengorbanan,
sebagaimana perjuangan yang telah dialami para nabi dan rasul.

Ada beberapa bentuk sabar yang ditafsirkan dari ayat di atas, di antaranya: (1) sabar
dalam melakukan perbuatan taat, sehingga tidak dihinggapi kebosanan, (2) sabar menjauhkan

6
diri dari perbuatan maksiat dan menghadapi musuh, (3) sabar ketika menghadapi cobaan dan
ketetapan (qadar) Allah, dan (4) sabar menghadapi kemewahan hidup di dunia. Dengan sikap
sabar dan tabah itulah sesuatu perjuangan dijamin akan berhasil, seperti yang diperlihatkan
oleh junjungan kita, Nabi Muhammad saw.
C. Tafsir ayat ke 214 surat al-Syu’ara

َ َ‫ااْل َ ْق َربِ ْينَ َع ِشي َْرت‬


(٢١٤) ْ‫ك َواَ ْن ِذر‬

Artinya :
“Dan berilah peringatan kepada kerabat kerabatmu (Muhammad) yang terdeka”
Allah memerintahkan Nabi Muhammad agar menyampaikan agama pada para
kerabatnya, dan menyampaikan janji dan ancaman Allah terhadap orang-orang yang
mengingkari dan menyekutukan-Nya.
Diriwayatkan oleh al-Bukhari, Muslim, dan perawi lainnya dari Abu Hurairah bahwa
ia berkata, "Tatkala ayat ini turun, Rasulullah lalu memanggil orang-orang Quraisy untuk
berkumpul di Bukit Şafa. Di antara mereka ada yang datang sendiri, dan ada yang
mengirimkan wakilnya. Setelah berkumpul, lalu Rasulullah berkhutbah, Wahai kaum
Quraisy,selamatkanlah dirimu dari api neraka. Sesungguhnya aku tidak mempunyai
kesanggupan memberi mudarat dan tidak pula memberi manfaat kepadamu. Wahai sekalian
Bani Ka'ab bin Lu'ai, selamatkanlah dirimu dari api neraka,maka sesungguhnya aku tidak
mempunyai kesanggupan memberi mudarat dan tidak pula memberi manfaat kepadamu. Hai
Bani Quşai, selamatkanlah dirimu dari api neraka. Sesungguhnya aku tidak mempunyai
kesanggupan memberi mudarat dan tidak pula memberi manfaat kepadamu. Hai Bani Abdul
Manaf, selamatkanlah dari api neraka. Sesungguhnya aku tidak mempunyai kesanggupan
untuk memberi mudarat dan tidak pula memberi manfaat kepadamu, ketahuilah aku hanya
dapat menghubungi karibku di dunia ini saja'." Ayat ini diturunkan pada awal kedatangan
Islam, ketika Nabi Muhammad mulai melaksanakan dakwahnya. Beliau mula-mula
diperintahkan Allah agar menyeru keluarganya yang terdekat. Setelah itu secara berangsur-
angsur menyeru masyarakat sekitarnya, dan akhirnya kepada seluruh manusia.
terambil dari kata ‘Aasyaro yang berarti saling bergaul karena anggota suku yang
terdekat atau keluarga adalah orang yang sehari hari saling bergaul. Demikian Nabi
memperingatkan keluarga besarnya untuk melaksanakan perintah itu.
7
Sedangkan kata al aqrabiin yang menyifati kata `asyirah merupakan penekanan
sekaligus guna mengambil hati mereka sebagai orang-orang dekat dari mereka yang dekat.
Demikianlah ayat ini mengajarkan kepada Rasulullah saw dan umatnya agar tidak
mengenal pilih kasih atau memberi kemudahan kepada keluarga dalam hal pemberian
peringatan. Ini berarti Nabi saw dan keluarga beliau tidak kebal hukum juga tidak lepas dari
kewajiban. Mereka tidak memiliki hak berlebih atas dasar kekerabatan kepada Rasulullah
saw, karena semua adalah hamba Allah swt tidak ada perbedaan antara keluarga atau orang
lain. Bila ada kelebihan yang berhak mereka peroleh, itu disebabkan keberhasilan mereka
mendekat kepada Allah swt dan menghiasi diri dengan ilmu serta akhlak yang mulia.2
D. Tafsir ayat ke 79,104 surat Ali Imran

‫هّٰللا‬
ِ َّ‫تُ َعلِّ ُموْ نَ ُك ْنتُ ْم بِ َما َربَّانِ ٖيّنَ ُكوْ نُوْ ا َو ٰل ِك ْن ِ ُدوْ ِن ِم ْن لِّ ْي ِعبَادًا ُكوْ نُوْ ا لِلن‬
َ ‫اس يَقُوْ َل ثُ َّم َوالنُّبُ َّوةَ َو ْال ُح ْك َم ْال ِك ٰت‬
‫ب يُّْؤ تِيَهُ اَ ْن لِبَ َش ٍر َكانَ َما‬
(٧٩) ‫ب‬ َ ‫تَ ْد ُرسُوْ نَ ُك ْنتُ ْم َوبِ َما ْال ِك ٰت‬

Artinya : “Tidak mungkin bagi seseorang yang telah diberi kitab oleh Allah, serta hikmah
dan kenabian, kemudian dia berkata kepada manusia, “Jadilah kamu penyembahku, bukan
penyembah Allah,” tetapi (dia berkata), “Jadilah kamu pengabdi-pengabdi Allah, karena
kamu mengajarkan kitab dan karena kamu mempelajarinya!”
Dengan makna bahwa mereka yang diberi kitab, hikmah dan kenabian menganjurkan
semua orang agar menjadi rabbani, dalam arti semua aktivitas, gerak dan langkah, niat dan
ucapan kesemuanya sejalan dengan nilai-nilai yang dipasankan olah Allah SWT. Yang Maha
Pemelihara dan Pendidik itu.
Kata (tadrusuun) digunakan untuk meneliti sesuatu guna diambil manfaatnya. Dalam
ayat ini dijelaskan bahwasanya seorang rabbani paling tidak melakukan 2 hal. Pertama, terus
menerus mengajar kitab suci al Quran, dan kedua terus menerus memperlajarinya. Bahwa
seorang rabbani harus terus menerus mengajar karena manusia tidak luput dari kekurangan.
Di sisi lain, Rabbani bertugas terus menerus membahas dan mempelajari kitab suci Al
Quran karena firman Allah yang tertulis sedemikian luas kandungan maknanya sehingga
semakin digali semakin banyak yang diraih, walaupun yang dibaca adalah teks yang sama.
Jika demikian, seorang tidak boleh berhenti belajar, meneliti, membahas, baik objeknya alam
raya maupun kitab suci. Nah, yang ditemukan dalam bahasan ataupun penelitian itu

2
Salman Harun,Nilai-Nilai Pendidikan dalam Al-Qur’an,(2019) hal 107-112.

8
hendaknya diajarkan pula sehingga berhenti antara mengajar dan meneliti dalam suatu
lingkaran yang tidak terputus kecuali dengan putus lingkarannya. Yaitu kematian seseorang.

Tafsir
(79) Tidak mungkin terjadi dan tidak pantas bagi seorang manusia yang diberi kitab
oleh Allah dan diberi pelajaran tentang pengetahuan agama, serta diangkat menjadi nabi,
kemudian dia mengajak manusia untuk menyembah dirinya sendiri bukan menyembah Allah.
Orang yang diberi keutamaan-keutamaan seperti itu tentunya akan mengajak manusia
mempelajari sifatsifat Allah serta mempelajari hukum-hukum agama, dan memberikan
contoh yang baik dalam hal menaati Allah dan beribadah kepada-Nya, serta mengajarkan
Kitab kepada sekalian manusia.
Nabi sebagai seorang manusia yang telah diberi keutamaan yang telah disebutkan,
tentu tidak mungkin dan tidak pantas menyuruh orang lain menyembah dirinya, sebab dia
adalah makhluk Allah. Maka penciptanya yaitu Allah yang harus disembah.
Q.S. Al Imran 104
ٰۤ
(١٠٤) ْ‫ف َويَْأ ُم ُر ْونَ ا ْل َخ ْي ِر اِلَى يَّ ْدع ُْونَ اُ َّمةٌ ِّم ْن ُك ْم َو ْلتَ ُكن‬
ِ ‫ول ِٕى َك ا ْل ُم ْن َك ِر َع ِن َويَ ْن َه ْونَ بِا ْل َم ْع ُر ْو‬ ُ‫ا ْل ُم ْفلِ ُح ْونَ ُه ُم َوا‬

Artinya : “Dan hendaklah di antara kamu ada segolongan orang yang menyeru kepada
kebajikan, menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar. Dan mereka
itulah orang-orang yang beruntung”
Kata (minkum) pada ayat tersebut, ada ulama yang memahami dengan arti sebagian,
dengan demikian perintah berdakwah yang dipesankan olah ayat tidak tertuju pada setiap
orang. Ada pula ulama yang memfungsikan kata (minkum) dalam arti penjelasan, sehingga
ayata ini merupakan perintah kepada setiap orang muslim untuk mellakukan tugas dakwah,
sesuai dengan kemampuannya.
Untuk mencapai maksud tersebut perlu adanya segolongan umat Islam yang bergerak
dalam bidang dakwah yang selalu memberi peringatan, bilamana tampak gejala-gejala
perpecahan dan penyelewengan. Karena itu pada ayat ini diperintahkan agar di antara umat
Islam ada segolongan umat yang terlatih di bidang dakwah yang dengan tegas menyerukan
kepada kebajikan, menyuruh kepada yang makruf (baik) dan mencegah dari yang mungkar
(maksiat). Dengan demikian umat Islam akan terpelihara dari perpecahan dan infiltrasi pihak
manapun.
Dengan dorongan agama akan tercapailah bermacam-macam kebajikan sehingga
terwujud persatuan yang kukuh kuat. Dari persatuan yang kukuh kuat tersebut akan timbullah
9
kemampuan yang besar untuk mencapai kemenangan dalam setiap perjuangan. Mereka yang
memenuhi syarat-syarat perjuangan itulah orang-orang yang sukses dan beruntung.3

BAB III
PENUTUP
A.Kesimpulan
Dari hasil pembahasan di atas,dapat disimpulkan bahwa:

3
Shihab,M.Quraisy,Tafsir Al-Misbah.(Jakarta:Lentera Hati,2002).

10
Seorang Rabbani yang berilmu, harus mampu mengamalkan ilmu yang dimiliki dan
dikuasainya. Ia pun harus sesegera mungkin mengajak orang orang yang terdekatnya untuk
terus menerus membaca dan memahami Al Quran. Karena mengajak mereka kepada yang
maruf dan mencegah kepada hal yang munkar adalah salah satu bahan dakwah yang selalu
diwajibkan kepada hambaNya. Dalam dakwah dan memberi peringatan kepada manusia,
bukanlah sesuatu yang mudah, namun diperlukan rasa sabar. Maka dalam firman Allah
disebutkan `fashbir` maka bersabarlah. Karena orang yang mengamalkan ilmunya, lebih
tinggi kedudukannya.
B.Saran
Adapun saran yang dapat diberikan oleh penulis terkait dengan pembahasan di
atas adalah:
Sebagai calon guru kita seharusnya mengacu kepada Al-Qur’an dimana dengan
harapan kita sebagai seorang pendidik mampu terus berupaya menserdaskan anak
bangsa.Dan semoga kita dapat mengajak peserta didik kepada yang ma’ruf dan mampu
menahan mereka dari segala yang munkar.

DAFTAR PUSTAKA

Jenis Sumber

11
Buku Abdul Hamid ,Pengantar Studi Al-Qur’an,(Jakarta:Kencana,2016)
Salman Harun,Nilai-Nilai Pendidikan dalam Al-Qur’an,(2019)
Shihab,M.Quraisy,Tafsir Al-Misbah.(Jakarta:Lentera Hati,2002).

12

Anda mungkin juga menyukai