Anda di halaman 1dari 25

1

TINJAUAN PUSTAKA Kepada Yth:


Dipresentasikan pada:
Hari/Tanggal :
Jam :

TATALAKSANA DERMATITIS SEBOROIK


TERKINI

Oleh:
Stefani Nurhadi
Pembimbing:
dr. Ni Made Dwi Puspawati, Sp.KK

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS I


BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN
FAKULTAS KEDOKTERAN UNUD/RSUP SANGLAH
DENPASAR
2017
DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN………………………………………... 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA………………………………… 2
2.1 Kelenjar Sebasea……………………………………………… 2
2.2 Dermatitis Seboroik……………………...…………………… 3
2.2.1 Epidemiologi……..………………...…………………… 3
2.2.2 Etiopatogenesis..………………………………………... 4
2.2.3 Manifestasi klinis……………………..………………… 5
2

2.2.4 Diagnosis banding..……………..……………………… 6


2.3 Terapi Dermatitis Seboroik…………………………………… 6
2.3.1 Terapi topikal…………………………………………… 6
2.3.1.1 Terapi dermatitis seboroik pada kulit kepala…….. 7
2.3.1.2 Terapi dermatitis seboroik kulit tidak berambut… 10
2.3.2 Terapi sistemik…………………………………………. 11
2.3.2.1 Anti jamur………………………………………… 11
2.3.3 Terapi pada bayi………………………………………… 13
BAB III RINGKASAN………………………………………….. 14
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………. 17

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Tabel produk untuk terapi DS skalp dan area


berambut…………………………………….……… 19
Lampiran 2. Tabel produk untuk terapi DS non skalp…..…….…. 20
Lampiran 3. Algoritma terapi untuk pasien dewasa dengan DS
pada skalp dan area berambut……..……..….…….... 21
Lampiran 4. Algoritma terapi untuk pasien dewasa dengan DS
pada non skalp………..……………………………... 22
Lampiran 5. Tabel produk untuk terapi DS pada bayi….………… 23
3

BAB I
PENDAHULUAN

Dermatitis seboroik (DS) yang juga disebut dengan eksema seboroik, adalah
penyakit yang sering terjadi yang ditandai oleh adanya sisik diatas dasar kulit
kemerahan. Penyakit peradangan kronis superfisial ini sering mengenai daerah
kulit yang memiliki produksi sebum yang tinggi dan daerah lipatan. Walaupun
patogenesisnya belum sepenuhnya diketahui, diperkirakan terdapat hubungan
dengan produksi sebum yang berlebihan dan ragi komensal Malassezia.1
Dermatitis seboroik pertamakali dideskripsikan oleh Unna, yang menduga
Malassezia furfur (Pityrosporum ovale) sebagai faktor kausatif. Penggolongan
penyakit ini telah didiskusikan selama puluhan tahun, berfokus pada disfungsi
kelenjar sebasea dan tingginya jumlah Malassezia furfur yang ada pada sisik DS.
Pada tahun 1984, Shuster menyatakan bahwa DS dapat ditekan dengan
ketokonazol sistemik. Temuan ini berkaitan dengan studi baru-baru ini yang
menjelaskan bahwa DS berhubungan erat dengan ragi Pityrosporum.1
Prevalensi DS pada dewasa muda adalah 3-5% dan pada populasi umum
adalah 1-5%.2 Data di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo tahun 2000 sampai
2002 menunjukkan insidensi rata-rata DS sebesar 8,3% dari jumlah kunjungan
dan rasio laki-laki dibandingkan perempuan 1,5:1.3 Sedangkan di Rumah Sakit
Sanglah Denpasar pada tahun 2016 didapatkan 26 kunjungan pasien baru dengan
DS.4
Karena perjalanannya yang kronis dan kambuh-kambuhan, DS dapat
ditekan namun tidak dapat sembuh secara permanen. Sehingga kondisi ini
memerlukan pengobatan yang rutin selama bertahun-tahun.5 Pendekatan
tatalaksana DS sebaiknya dipilih berdasarkan tampilan klinis, perluasan dan lokasi
penyakit.6,7
Tinjauan pustaka ini membahas mengenai tatalaksana terkini DS.
Sehingga kita dapat lebih memahami konsep pengobatan DS meliputi pemilihan
terapi, cara kerja serta efikasinya dan mampu mengimplementasikannya dalam
penatalaksanaan DS.
4

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kelenjar Sebasea


Kelenjar sebasea adalah kelenjar kulit yang bekerja menghasilkan sebum.
Kelenjar sebasea bersama dengan rambut, folikel rambut dan muskulus arektor
pili disebut sebagai unit pilosebasea. Sebum keluar dari kanal duktus kelenjar
pilosebasea setinggi daerah antara isthmus dan infundibulum dan mengalir keluar
ke permukaan kulit hingga sepanjang batang rambut.8
Kelenjar sebasea ada pada seluruh tubuh, kecuali pada telapak tangan dan
telapak kaki. Kelenjar sebasea terbanyak dengan ukuran terbesar terdapat pada
wajah, kulit kepala, tubuh bagian atas, meatus auditoium eksternal, dan area
anogenital. Penderita DS memiliki jumlah, bentuk dan ukuran kelenjar sebasea
yang sama dibandingkan dengan individu sehat. 8
Kelenjar sebasea memiliki struktur asiner, dimana terdapat beberapa
cabang yang menuju ke duktus utama. Sel terluar, lapisan sel basal dekat
membran, berukuran kecil, berinti, aktif membelah dan menghasilkan lipid
droplets. Bersamaan dengan perpindahan sebosit menuju ke bagian tengah
kelenjar, sebosit mulai menghasilkan lipid. Proses diferensiasi terjadi di bagian
tengah asinus. Selanjutnya, sel menjadi distensi karena berisi penuh lipid droplets
dan inti beserta struktur subseluler menghilang. Saat sel-sel mendekati duktus
sebasea, sel-sel tersebut memisahkan diri dalam suatu proses sekesi yang disebut
holokrin. Waktu yang diperlukan dari pembentukan hingga pengeluaran sebum
bervariasi dari 7 sampai 25 hari.8
Sebum memiliki komposisi yang terutama terdiri dari wax ester (25%),
skualan (12%), trigliserida (60%) serta sedikit kolesterol (1-2%) dan asam lemak
bebas (1-2%). Pada penderita DS terdapat perubahan kualitatif bukan kuantitatif
pada komposisi sebum yaitu peningkatan kolesterol dan ester dan penurunan
skualan.8
Produksi sebum pada tiga bulan pertama kehidupan manusia, sebagai hasil
dari pengaruh androgen adrenal fetus dan neonatus, selanjutnya secara bertahap
5

menurun hingga nol mendekati usia 6 bulan. Produksi sebum tetap inaktif hingga
dimulainya masa awal adrenarche, sekitar 7-8 tahun, ketika androgen adrenal
dehidroepiandrosteron (DHEA) menstimulasi produksi sebum kembali.
Peningkatan produksi sebum lebih lanjut dan signifikan oleh karena produksi
androgen adrenal dan gonad terjadi pada masa-masa awal pubertas menghasilkan
peningkatan ekskresi sebum. Peningkatan ekskresi sebum tampak pada pubertas
dan mencapai puncaknya pada usia 16-20 tahun. Penurunan secara bertahap
tampak mulai usia 40 tahun pada perempuan dan 50 tahun pada laki-laki.
Penurunan kadar androgen pada orang tua menyebabkan melambatnya turnover
sel-sel kelenjar sebasea, menghasilkan hiperplasia sel. 8

2.2 Dermatitis Seboroik


Dermatitis seboroik adalah kelainan papuloskuamosa yang sering dijumpai dan
bersifat kronis dapat mengenai bayi dan dewasa. Penyakit ini secara khas
didapatkan pada daerah tubuh yang memiliki folikel sebasea dengan konsentrasi
yang tinggi dan kelenjar sebasea yang aktif seperti wajah, kulit kepala, telinga,
tubuh bagian atas, dan daerah lipatan (inguinal, inframammae dan aksila). Daerah
yang lebih jarang terkena termasuk interskapula, umbilikus, perineum dan lipatan
anogenital.2

2.2.1 Epidemiologi
Dermatitis seboroik dibagi dalam dua kelompok usia, bentuk infantil yang dapat
sembuh sendiri terutama pada tiga bulan pertama kehidupan dan bentuk dewasa
yang kronis. Predominansi laki-laki tampak pada semua usia, tanpa predileksi ras,
atau transmisi horizontal.2 Karakteristik DS memiliki tren bimodal, dengan
frekuensi puncak pertama saat kelahiran dan yang kedua adalah pada dewasa usia
antara 30 sampai 60 tahun.9 Prevalensinya diperkirakan 5%, tetapi insiden seumur
hidup termasuk tinggi secara signifikan. Dermatitis seboroik yang ekstensif dan
resisten terhadap terapi adalah suatu tanda kulit yang penting untuk infeksi HIV,
penyakit Parkinson dan gangguan mood.1
6

2.2.2 Etiopatogenesis
Etiopatogenesis DS masih sebagian diketahui. Lipid kulit dan spesies Malassezia
adalah faktor etiologi yang paling banyak dipelajari. Kelenjar sebasea pasien DS
tidak lebih banyak dibandingkan dengan individu sehat. Selain itu tidak
didapatkan kelainan morfologi dan ukuran kelenjar pada penderita DS
dibandingkan dengan orang sehat.10
Tidak semua orang dengan hiperseborea mengalami DS, tetapi pasien
dengan DS dapat memiliki kuantitas sebum yang normal atau bahkan kulit yang
kering. Sehingga dapat disimpulkan bahwa jumlah sebum bukanlah faktor
penyebab terjadinya DS.10 Pada sebum pasien DS, trigliserida dan kolesterol
meningkat, sementara skualan dan asam lemak bebas berkurang. Asam lemak
bebas yang diketahui memiliki efek antimikroba dibentuk dari trigliserida oleh
lipase bakteri, diproduksi oleh Corynebacterium acne dan Malassezia yang
merupakan flora residen. Asam lemak bebas dan radikal oksigen reaktif dapat
mengubah keseimbangan flora normal kulit.1,2
Spesies Malassezia tidak dapat memproduksi asam lemak yang penting
untuk pertumbuhannya. Namun, ia menghasilkan lipase dan fosfolipase yang akan
memecah trigliserida menjadi asam lemak bebas. Selanjutnya, spesies Malassezia
menggunakan asam lemak jenuh dan melepaskan asam lemak tak jenuh ke
permukaan kulit. Akhirnya, spesies ini menginduksi pelepasan sitokin
proinflamasi (IL6 dan 8 dan tumor necrosis factor α).10
Pada pasien AIDS, DS lebih sering terjadi dan berat. Pada pasien AIDS,
prevalensi DS berkisar antara 34% hingga 83% (pada populasi umum
prevalensinya hanya 3-5%). Pasien-pasien ini kebanyakan laki-laki homoseksual
atau biseksual dengan CD4+ <400/mm3. Mereka menderita DS dengan
peradangan dan deskuamasi yang lebih berat. Selanjutnya pada pasien AIDS,
beban Malassezia spp. lebih tinggi daripada pada subyek sehat. Hal ini dapat
terjadi karena pasien-pasien tersebut memiliki defisiensi seluler spesifik terhadap
Malassezia Spp. Sehingga dapat disimpulkan bahwa Malassezia spp. Memiliki
peranan dalam patogenesis DS. Hal ini juga ditunjukkkan dari fakta bahwa
antimikotik oral efektif sebagai terapi DS. 10
7

Menurut beberapa literatur, DS lebih sering terjadi pada pasien dengan


penyakit Parkinson dan facial palsy. Terapi dengan L-dopa hanya akan
menurunkan sekresi sebum jika terdapat sekresi berlebihan, tetapi tidak
berdampak secara klinis pada sekresi kelenjar sebasea yang normal. Namun
beberapa studi yang dipublikasikan menyatakan bahwa L-dopa menyebabkan
perbaikan klinis pada DS.10 Peningkatan genangan sebum pada kulit yang
mengalami imobilitas mungkin penting pada kasus ini. 5
Lingkungan panas dan lembab serta keringat diketahui dapat memperparah
gejala DS, terutama gatal pada kulit kepala. Sinar matahari dan iklim tropis dapat
juga memperparah gejala DS. Sehingga temuan ini mengarahkan bahwa kondisi
iklim dapat mempengaruhi pertumbuhan spesies Malassezia. Namun untuk
klarifikasi lebih lanjut masih diperlukan studi lebih spesifik. 11

2.2.3 Manifestasi klinis


Dermatitis seboroik sering tampak sebagai plak eritema berbatas tegas dengan
permukaan berminyak, skuama kekuningan dengan berbagai perluasan pada
daerah yang kaya kelenjar sebasea, seperti kulit kepala, area retroaurikuler, wajah
(lipatan nasolabial, bibir atas, kelopak mata dan alis) dan dada bagian atas.
Distribusi lesi umumnya simetris dan DS tidak menular maupun fatal.12
Pada bayi, DS dapat tampak pada area kulit kepala, wajah, retroaurikuler,
lipatan tubuh dan badan; jarang menjadi generalisata. Cradle cap adalah
manifestasi klinis yang paling sering. Dermatitis seboroik pada anak-anak
biasanya sembuh sendiri. Sebaliknya, dermatitis seboroik pada dewasa biasanya
kronis dan kambuhan. Gatal jarang dirasakan, tetapi sering terjadi pada lesi di
kepala. Komplikasi utamanya adalah infeksi sekunder bakterial, yang
12
meningkatkan kemerahan, eksudat dan iritasi lokal.
Namun pada bayi juga dapat memberat berupa perluasan lesi kulit hingga
lebih dari 90% area tubuh sebagai eritroderma deskuamativum (penyakit Leiner).
Manifestasi klinisnya berupa demam, anemia, diare, muntah, penurunan berat
badan dan dapat menyebabkan kematian.2
8

Pada pasien imunosupresi, DS sering meluas, intens dan refrakter terhadap


terapi. Hal ini dapat dipertimbangkan sebagai manifestasi kulit awal pada AIDS
anak-anak dan dewasa.12
Keparahan DS dapat ditentukan dari adanya eritema, skuama, infiltrasi dan
pustul. Pada setiap parameter digunakan skor 4 poin (0-tidak ada, 1-ringan, 2-
sedang, 3-berat). Pengukuran kedua berdasarkan persentase area kulit yang
terkena yaitu kurang dari 10% (1 poin), 10-30% (2 poin), 30-50% (3 poin), 50-
70% (4 poin) dan lebih dari 70% (5 poin). Hasil didapatkan dengan mengalikan
kedua pengukuran diatas yaitu DS ringan (skor total 5 atau kurang), DS sedang
(skor total 6-11) dan DS berat (skor total 12-60).31

2.2.4 Diagnosis banding


Diagnosis banding dari dermatitis seboroik antara lain psoriasis, dermatitis atopik,
tinea kapitis, rosasea, dan systemic lupus erythematous (SLE).2

2.3 Terapi Dermatitis Seboroik


Tujuan terapi DS tidak hanya untuk meredakan tanda dan gejalanya tetapi juga
untuk menghasilkan struktur dan fungsi kulit yang normal. Dermatitis seboroik
dapat mempengaruhi kualitas hidup pasien secara signifikan sehingga terapi
bertujuan untuk memperbaiki gejala kulit serta kualitas hidup.11
Sebuah panel konsensus 12 ahli dermatologi dari India, Korea Utara,
Taiwan, Malaysia, Vietnam, Singapura, Thailand, Filipina, Indonesia dan Italia
yang diadakan di Singapura pada tahun 2014 telah membuat rekomendasi praktis
untuk tatalaksana DS pada orang Asia. Paduan tatalaksana DS dibagi menjadi
tatalaksana pada DS skalp dan area berambut (Lampiran 1) serta DS non skalp
(Lampiran 2) serta dibedakan berdasarkan kelompok usia dewasa (Lampiran 3
dan 4) dan bayi (Lampiran 5).11

2.3.1 Terapi topikal


Terapi topikal bertujuan untuk mengatur produksi sebum, mengurangi kolonisasi
M. furfur pada kulit dan mengendalikan inflamasi. Tatalaksana DS dengan obat-
9

obatan topikal dibagi menjadi terapi skalp dan non skalp. Sebuah studi
epidemiologi multisenter transversal yang dilakukan pada 2159 pasien dengan DS
pada wajah dan kulit kepala menunjukkan bahwa terapi yang paling sering
digunakan adalah steroid topikal (59,9%), anti jamur imidazol (35,1%), topikal
calcineurin inhibitor (TCI) (27,2%) bersamaan dengan penggunaan produk
pelembab atau emolien (30,7%).6

2.3.1.1 Terapi dermatitis seboroik pada kulit kepala


Terapi topikal adalah pendekatan lini pertama pada terapi DS skalp. Terapi topikal
yang digunakan adalah substansi yang memiliki fungsi anti jamur, pengatur
sebum, keratolitik dan/atau anti inflamasi. Agen tersebut tersedia dalam berbagai
formulasi seperti krim, emulsi, foam, salep dan sampo.6
Penggunaan sampo yang mengandung obat digunakan 2 sampai 3 kali
seminggu, didiamkan selama 5-10 menit, untuk optimalisasi efek anti jamur dan
keratolitiknya.6 Pilihan obat-obatan yang biasa digunakan dapat dilihat pada
lampiran 1.11
Ketokonazol adalah anti jamur golongan azol yang bersifat fungistatik,
fungisidal dan anti inflamasi. Ia menghambat pertumbuhan jamur melalui
penghambatan lanosterol 14 dimetilase sehingga menghambat sintesis ergosterol.
Banyak studi menunjukkan efikasinya.6 Pada suatu studi terbuka kelompok
paralel acak menunjukkan efikasi sampo ketokonazol 2% lebih baik daripada 1%
(p<0,001).13 Tujuh percobaan buta ganda, acak, terkontrol yang menganalisis
ulasan berbasis bukti menunjukkan hasil yang baik pada 88% subyek yang
diterapi dengan sampo atau krim ketokonazol. 14,15 Studi buta ganda acak
terkontrol telah menunjukkan bahwa terapi kombinasi sampo ketokonazol
bergantian dengan sampo klobetasol propionat 0,05% menunjukkan efikasi yang
lebih baik dibandingkan ketokonazol saja (p<0,05).16 Profil keamanannya
ketokonazol yang tinggi didukung oleh beberapa studi berdasarkan sangat
minimalnya penyerapan perkutan dan potensi iritasi dan sensitisasi yang rendah. 6
Siklopiroksolamin adalah anti jamur berspektrum luas yang merupakan
derivat hidroksipiridon. Agen ini menghambat ambilan dan penggunaan substansi
10

yang diperlukan sintesis membran sel jamur dengan mengubah permeabilitasnya.


Siklopiroksolamin juga memiliki sifat anti inflamasi karena menghambat
pelepasan prostaglandin dan leukotrien. Selanjutnya studi in vitro menunjukkan
aktivitasnya dalam menghambat pertumbuhan mikroorganisme gram positif dan
negatif.6 Pada studi multisenter, acak, terkontrol, buta ganda, 178 pasien
mendapatkan 2 kali atau sekali siklopiroksolamin 0,77% jel atau hanya zat
pembawa. Pada akhir studi, gejala membaik secara signifikan pada kelompok
pasien yang diobati dengan siklopiroksolamin dibandingkan dengan kelompok
kontrol (p<0.01).17
Pyroctone olamine juga dikenal sebagai octopirox dan efektif untuk terapi
infeksi jamur. Pyroctone olamine adalah bahan aktif yang dapat meredakan
inflamasi kulit kepala dan menurunkan pembentukan skuama pada kulit dengan
penghambatan jamur. Pyroctone olamine secara fungsional dapat mengganggu
pembelahan sel ragi dan transfer material (inhibisi kanal natrium kalium) dan juga
menghambat pertumbuhan jamur.18
Bisabolol atau Butyrospermum parkii biasa dikenal dengan nama shea
butter. Bahan ini memiliki sifat anti inflamasi sekaligus sifat anti jamur sehingga
sering digunakan dalam pengobatan dermatitis seboroik. Namun bisabolol kurang
begitu poten bila diberikan secara mono terapi sehingga biasanya dikombinasikan
dengan agen lain.19
Glycyrrhetic acid memiliki sifat anti inflamasi, anti iritasi, anti alergi dan
antivirus. Pada suatu studi klinis perbandingan acak yang dilakukan pada 67
subyek yang terkena DS kulit kepala, diberikan sampo yang mengandung
Glycyrrhetic acid ditambah siklopiroksolamin dan zinc pyrithione. Setelah
pemberian 3 kali seminggu selama 2 minggu, subyek secara acak menerima
produk sekali seminggu selama 8 minggu atau sampo netral. Perbaikan signifikan
diamati selama masa terapi (p<0,0001) dengan penurunan gejala gatal dan
pengelupasan kulit) serta adanya Malassezia kulit. Selama fase pemeliharaan,
perbaikan bertahan hanya pada kelompok yang menerima terapi pemeliharaan
dengan perbedaan antar kelompok yang signifikan. 20
11

Asam salisilat adalah sejenis asam beta hidroksi yang dapat melepaskan
sisik keras dan tebal dari kulit kepala melalui aktivitas keratolitik sehingga efektif
untuk terapi DS.18
Tar memiliki sifat anti jamur dan anti inflamasi. Beberapa studi telah
menunjukkan kemampuannya mengurangi sebum. Aktivitas fungistatik in vitro
nampaknya sama dengan ketokonazol. Shampo tar digunakan secara luas
walaupun bukti yang menunjang efikasinya masih sangat minim. 20
Zinc pyrithione, anti jamur fungistatik yang bekerja dengan meningkatkan
kadar tembaga dalam sel jamur dan merusak ikatan protein besi sulfur sehingga
mengganggu metabolisme jamur. Malassezia yang menjadi target didapatkan
terutama pada infundibulum folikuler. Sementara agen ini bekerja pada
infundibulum folikuler kulit kepala serta bertahan pada folikel rambut hingga 10
hari.21
Kortikosteroid (KS) bersifat anti inflamasi, imunosupresif dan
antiproliferasi sehingga dapat menghambat proliferasi keratinosit dan fibroblas
dan menyebabkan vasokonstriksi.22 Pemilihan kortikosteroid berdasarkan tipe,
lokasi, keparahan dan perluasan penyakit serta usia pasien. Kortikosteroid
dianggap sebagai pendekatan terapi lini pertama dan kedua pada DS skalp/ kulit
kepala dan non skalp/ kulit tidak berambut. Tujuan utama pengobatan dengan
kortikosteroid adalah mengontrol dengan cepat tanda dan gejala DS, namun data
terbatas. Relaps terjadi lebih cepat dan lebih sering ketika menggunakan KS
daripada agen anti jamur dan terapi topikal non steroid lainnya. 15
Penyerapan, efikasi dan toksisitas KS topikal bervariasi tergantung area
yang diobati. Pada dewasa dengan DS skalp sedang – berat, dengan keterlibatan
yang difus, disertai rasa terbakar dan gatal, dapat digunakan KS potensi sedang
sampai kuat tunggal maupun kombinasi dengan agen non steroid.23 Dermatitis
seboroik pada wajah dapat diberikan KS potensi lemah sampai sedang.
Penggunaan zat pembawa yang tidak mengiritasi dan melembabkan sangat
disarankan.24 Setelah terjadi perbaikan, penggunaan KS dapat diturunkan secara
bertahap dan agen non steroid dapat ditambahkan untuk mencegah rekurensi dan
relaps (terapi pemeliharaan).25
12

2.3.1.2 Terapi dermatitis seboroik kulit tidak berambut


Pilihan terapi topikal tersedia untuk DS kulit tidak berambut derajat ringan dan
sedang dapat dilihat pada tabel 2.11 Beberapa agen telah dibahas dalam terapi
dermatitis seboroik pada kulit kepala. Pada dermatitis seboroik non skalp
umumnya sediaan topikal yang digunakan berbentuk krim, foam atau salep.11
Pada sebuah studi acak terkontrol yang dilakukan pada 1162 pasien,
dilakukan evaluasi terhadap efikasi dan toleransi ketokonazol 2% krim dan foam
dengan zat pembawa krim dan foam yang diaplikasikan 2 kali sehari selama 4
minggu. Perbaikan klinis tampak pada 56% kelompok yang diberikan terapi dan
42% kelompok kontrol. Selanjutnya, ketokonazol dalam bentuk foam maupun
krim sama efektifnya dan dapat ditoleransi dengan baik. 6
Sedangkan studi mengenai efikasi siklopiroksolamin 1% dilakukan secara
acak dan buta ganda pada 129 pasien menunjukkan perbaikan pada 63%
kelompok yang diobati dibandingkan dengan 34% dari kelompok kontrol. 6
Pada suatu percobaan buta ganda, 72 pasien diberikan ketokonazol 2%
krim (n=63) atau hidrokortison 1% krim (n=36) selama 4 minggu. respon klinis
pada kelompok ketokonazol adalah 80,8% dan 94,4% pada kelompok
hidrokortison. Tidak ada perbedaan signifikan pada gejala kemerahan,
mengelupas, gatal dan papul antara kedua kelompok tersebut ketika skor
dijumlahkan pada minggu ke 2 dan ke 4 dibandingkan dengan skor awal. Insiden
efek samping pada kedua kelompok juga rendah.6
Penghambat kalsineurin topikal memiliki sifat imunomodulator dan anti
inflamasi yang membuatnya berguna untuk terapi DS. Keduanya adalah
macrolide lactone yang menghambat enzim kalsineurin dan menekan pelepasan
sitokin proinflamasi. Pimekrolimus menghambat sintesis dan pelepasan sitokin
proinflamasi dari limfosit T dan degranulasi sel mast. Takrolimus memodulasi
respon T helper 2, menghambat transkripsi IL-2.6
Salep takrolimus 0,1% didapatkan sama efektifnya dengan salep
hidrokortison 1% pada terapi DS, membutuhkan aplikasi yang lebih sedikit
selama 12 minggu masa studi karena dapat menghilangkan gejala dan lebih
13

disukai pasien. Pada percobaan acak, krim pimekrolimus 1% dibandingkan


dengan bethamethason 0,1% pada 20 pasien dengan DS yang diminta
menghentikan terapi ketika gejala sudah hilang. Pada hari ke 9, semua pasien
sudah menghentikan terapi. Dua obat tersebut sama efektifnya dalam mengurangi
gejala eritema, mengelupas dan gatal, tetapi masa remisi yang lebih panjang
tampak pada kelompok pimekrolimus.26

2.3.2 Terapi sistemik


Penggunaan obat sistemik pada DS ditujukan pada kasus-kasus akut, area
keterlibatan luas, bentuk resisten, berhubungan dengan HIV dan kelainan
neurologis. Tujuan dari terapi sistemik adalah menurunkan gejala akut sedangkan
penggunaan terapi topikal sebagai pencegahan dan pemeliharaan. 7

2.3.2.1 Antijamur
Efek obat-obatan anti jamur adalah secara langsung melawan Malassezia dan anti
inflamasi. Anti jamur sistemik yang diindikasikan dalam terapi DS adalah
golongan triazol (itrakonazol dan flukonazol), diazol (ketokonazol) dan allilamin
(terbinafin). Azol dan terbinafin menghambat sintesis ergosterol (suatu
komponen kunci membran sel). Diazol dan triazol menghambat enzim 14 α sterol
dimetilase, yang menyebabkan akumulasi 14 α metil sterol menghasilkan
penghambatan pertumbuhan jamur. Terbinafin juga menghambat sintesis enzim
skualan 2,3 epoksidase yang mempengaruhi metabolisme ergosterol dan
akumulasi skualan yang menyebabkan kematian sel jamur. Terbinafin memiliki
mekanisme tambahan seperti modulasi neutrofil, efek scavenger pada reactive
oxygen species (ROS) dan modulasi sekresi sebum. 7
Ketokonazol adalah anti jamur sistemik pertama yang digunakan untuk
terapi DS, saat ini sudah tidak digunakan lagi karena sifat hepatotoksisitasnya.
Saat ini ketokonazol hanya digunakan secara topikal saja. Itrakonazol saat ini
dianggap sebagai pilihan pertama untuk terapi sistemik DS baik kasus akut
maupun relaps. Itrakonazol mengalami metabolisme sitokrom P450 pada hati. Ia
bersirkulasi di plasma sebagai metabolit aktif. Obat yang dimetabolisme oleh
14

sitokrom P450 berinteraksi dengan obat-obatan yang lainnya sehingga dapat


meningkatkan toksisitasnya ataupun menurunkan efikasinya. Itrakonazol
memiliki tingkat keamanan yang baik pada dosis 200 mg/hari. Hepatotoksisitas,
nyeri epigastrium, gangguan irama jantung, hipokalemia, hipertrigliseridemia dan
peningkatan transaminase adalah efek samping yang paling sering dijumpai
selama terapi itrakonazol.7
Efikasi terapeutik itrakonazol didukung bukti bahwa agen ini disekresikan
bersama sebum pada stratum korneum dimana kolonisasi Malassezia berada. Sifat
molekulnya yang lipofilik menyebabkan agen tersebut lebih lama berada pada
kulit dan adneksanya bahkan setelah tidak lagi minum obat. Studi yang dilakukan
oleh Kose dan kawan-kawan pada 20 pasien DS menunjukkan penurunan
inflamasi dan perbaikan gejala DS setelah pemberian itrakonazol sistemik pada
dosis 200 mg/hari selama seminggu diikuti pemberian obat dengan dosis 200
mg/hari untuk 2 hari pertama setiap bulan pada 2 bulan berikutnya. Sedangkan
efektivitas itrakonazol sebagai terapi pemeliharaan dibuktikan dari studi oleh
Caputo dan kawan-kawan pada 160 pasien yang sudah diterapi 7 hari dengan
itrakonazol dosis 200 mg per hari. Selanjutnya diberikan dosis 200 mg/hari pada 2
hari pertama per bulan selama 8 bulan. Tidak didapatkan rekurensi selama periode
observasi.7
Flukonazol memiliki karakteristik dapat diserap dengan baik oleh traktus
gastrointestinal tidak dipengaruhi oleh keasaman atau makanan. Flukonazol secara
signifikan meningkatkan konsentrasi plasma beberapa obat seperti warfarin,
siklosporin, takrolimus dan teofilin. Rifampisin menurunkan kadar flukonazol
dalam darah.7 Sebuah percobaan acak terkontrol yang mengevaluasi efikasi terapi
jangka pendek dengan flukonazol dan plasebo pada 63 pasien dengan DS. Obat
diberikan kepada 27 pasien dengan dosis 300 mg per minggu selama 2 minggu.
perbaikan klinis signifikan dicapai pada pasien dengan flukonazol pada akhir
studi, sementara pasien dengan plasebo tidak menunjukkan perbaikan. Ada juga
percobaan lain yang menggunakan dosis 200 mg/minggu selama 4 minggu. 27
Terbinafin adalah molekul lipofilik sehingga dapat tersimpan pada kulit
untuk memelihara konsentrasi efektif obat bahkan setelah terapi dihentikan.
15

Terbinafin memiliki profil farmakologi yang aman dan ditoleransi baik dengan
insiden efek samping yang rendah. Efek samping yang dapat terjadi antara lain
nyeri epigastrium, hepatotoksisitas, neutropenia, ruam dan sindrom Steven
Johnson.7 Scaparno dan kawan-kawan melakukan studi acak multisenter untuk
mengevaluasi efikasi terbinafin dibandingkan salep pelembab pada dosis 250
mg/hari selama periode 4 minggu. Terbinafin menyebabkan penurunan signifikan
gejala DS seperti eritema, skuama dan gatal (p<0.0001). 28
Percobaan acak multisenter telah mengevaluasi efikasi terbinafin
dibandingkan plasebo pada pengobatan DS. Pasien yang dimasukkan pada
percobaan dibagi ke dalam dua kelompok berdasarkan lokasi lesi yaitu area wajah
serta area tubuh dan kulit kepala. Kedua kelompok pasien mengkonsumsi obat
selama 6 minggu pada dosis harian 250 mg/hari. Perbaikan klinis dan subyektif
dilaporkan terjadi pada pasien yang diberikan pengobatan dan plasebo hanya pada
kelompok pasien dengan lokasi lesi pada daerah tertutup. 32
Pada suatu studi yang besar, dengan 661 pasien DS sedang-berat yang
tidak berespon dengan terapi konvensional diteliti oleh Cassano dan kawan-kawan
untuk mengkaji efektifitas terbinafin pada terapi DS. Perbaikan klinis signifikan
dan penurunan drastis pada relaps terjadi setelah penghentian obat didapatkan
pada kelompok yang menggunakan terbinafin dosis 250 mg/ hari untuk 12 hari
pertama dalam sebulan untuk tiga bulan berturut-turut. Rejimen intermiten
terbukti dapat ditoleransi dengan baik, meningkatkan kepatuhan dan
keterjangkauan biaya.33

2.3.3 Terapi pada bayi


Penanganan DS kulit kepala pada bayi lebih sederhana, seperti keramas rutin
dengan sampo bayi dan menyikat dengan lembut untuk melepaskan sisik.
Penggunaan petrolatum putih setiap hari dapat membantu melunakkan skuama.
Jika hal tersebut masih kurang membantu, maka dapat digunakan sampo
ketokonazol 2% sampai terjadi perbaikan gejala. 11 Manfaat klinis krim anti
inflamasi non steroid yang memiliki sifat anti jamur terbukti dapat mengurangi
sisik secara signifikan dibandingkan plasebo. 29
16

Sedangkan untuk DS pada kulit tidak berambut dapat digunakan


ketokonazol 2% krim secara tunggal maupun kombinasi dengan kortikosteroid
topikal potensi lemah.30 Pada penyakit Leiner diperlukan hidrasi intravena,
pengaturan suhu tubuh dan antibiotik jika terdapat infeksi sekunder. 31
17

BAB III
RINGKASAN
Dermatitis seboroik yang juga disebut dengan eksema seboroik, adalah penyakit
yang sering terjadi yang ditandai oleh adanya sisik diatas dasar kulit kemerahan.
Penyakit ini secara khas didapatkan pada daerah tubuh yang memiliki kelenjar
sebasea yang aktif seperti wajah, kulit kepala, telinga, tubuh bagian atas, dan
daerah lipatan (inguinal, inframammae dan aksila). Daerah yang lebih jarang
terkena termasuk interskapula, umbilikus, perineum dan lipatan anogenital.
Etiopatogenesis DS masih belum sepenuhnya diketahui. Faktor etiologi
yang banyak dipelajari antara lain perubahan komposisi sebum pasien DS
(berkurangnya asam lemak bebas) dan peran Malassezia spp. Beberapa penyakit
(antara lain penyakit parkinson, facial palsy dan AIDS) serta penggunaan obat-
obatan tertentu juga berkaitan dengan peningkatan kejadian DS. Selain itu
lingkungan panas dan lembab serta keringat diketahui dapat memperparah gejala
DS, terutama gatal pada kulit kepala.
Tujuan terapi DS tidak hanya untuk meredakan tanda dan gejalanya tetapi
juga untuk menghasilkan struktur dan fungsi kulit yang normal. Panduan
tatalaksana DS yang dikeluarkan oleh konsensus 12 ahli dermatologi pada tahun
2014 membagi tatalaksana DS menjadi tatalaksana untuk DS pada skalp dan DS
pada non skalp selain itu juga dibedakan berdasarkan kelompok usia dewasa dan
bayi. Terapi DS skalp biasa digunakan bentuk sediaan sampo dan krim, sementara
DS non skalp umumnya berupa krim dan salep. Sedangkan terapi DS pada bayi
lebih sederhana yaitu dengan keramas rutin dengan sampo bayi, menyikat lembut
maupun dengan petrolatum untuk melembutkan sisik. Jika belum berhasil baru
digunakan obat-obatan.
Terapi topikal digunakan untuk DS ringan-sedang dan sebagai pencegahan
dan pemeliharaan. Sedangkan terapi sistemik digunakan untuk menurunkan gejala
akut serta area keterlibatan luas, bentuk resisten, berhubungan dengan HIV dan
kelainan neurologis. Agen topikal yang umumnya digunakan antara lain anti
jamur topikal, agen anti inflamasi non steroid yang memiliki sifat anti jamur,
keratolitik, kortikosteroid topikal dan kalsineurin inhibitor topikal. Sedangkan
18

agen sistemik yang digunakan adalah anti jamur sistemik. Sebaiknya pasien
diberikan informasi bahwa perjalanan penyakit ini kronis dan kambuh-kambuhan,
sehingga penyakit ini dapat ditekan namun tidak dapat sembuh secara permanen.
19

DAFTAR PUSTAKA
1. Reider N, Fritsch PO. Other eczematous eruptions. In: Bolognia JL, Jorizzo JL,
Schaffer JV. Dermatology 3rd Ed. United States: Elsevier Saunders. 2009: 219-220.
2. Collins CD, Hivnor C. Seborrheic Dermatitis. In: Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest
BA, Paller AS, Leffel DJ, Wolf K, editors. Fitzpatrick’s Dermatology in General
Medicine. 8th Ed. New York: McGraw-Hill. 2012:259-265.
3. Kurniati DD. Dermatitis seboroik: gambaran klinis. In: Tjarta A, Sularsito SA,
Kurniati DD, Rihatmaja r. Editor. Metode Diagnostik dan Penatalaksanaan Psoriasis
dan Dermatitis Seboroik. Jakarta: Balai Penerbit FK UI; 2007:53-59.
4. Anonim. Buku Register Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUP Sanglah Denpasar. 2016.
5. Berth-Jones J. Eczema, lichenification, prurigo and erythroderma. In: Burns T,
Breathnach S, Cox N, Griffiths C. Rook’s Textbook of Dermatology 8th. Ed. Oxford:
Blackwell Publishing Ltd. 2010. 23:23.29-23.34.
6. Lacarrubba F, Nasca MR, Benintende C, Micali G. Topical treatment. In: Seborrheic
dermatitis. Gurgaon: Macmilllan Medical communications. 2015:41-50.
7. Barbareschi M, Benardon S, Veraldi S. Systemic treatment. In: Seborrheic dermatitis.
Gurgaon: Macmilllan Medical communications. 2015:51-53.
8. Bettoli V, Zauli S, Ruina G, Ricci M, Borghi A, Toni G, Virgili A. The Sebaceous
gland. In: Seborrheic dermatitis. Gurgaon: Macmilllan Medical communications.
2015: 3-6.
9. Monfrecola G, Marasca C. Epidemiology. In: Seborrheic dermatitis. Gurgaon:
Macmilllan Medical communications. 2015: 9-11.
10. Veraldi S, Raia DD, Barbareschi. Etiopathogenesis. In: Seborrheic dermatitis.
Gurgaon: Macmilllan Medical communications. 2015: 13-18.
11. Cheong WK, Yeung CK, Torsekar RG, Suh DH, Ungpakorn R, Widaty S, Azizan
NZ, Gabriel MT, Tran HK, Chong WS, Shih I-H, Dall’Oglio F, Micali G. Treatment
of seborrhoeic dermatitis in Asia: A consensus Guide. Skin Appendage Disord.
2015;1:187-196.
12. Schwartz JR, Messenger AG, Tosti A, Todd G, Hordinsky M, Hay RJ, Wang X,
Zacharie C, Kerr KM, Henry JP, Rust RC, Robinson MK. A comprehensive
pathophysiology of dandruff and seborrheic dermatitis – Towards a more precise
definition of scalp health. Acta Derm Venereol. 2013;93:131-137.
13. Pierard-Franchimont C, Pierard GE, Arrese JE, De Doncker P. Effect of ketoconazol
1% and 2% shampoos on severe dandruff and seborrhoeic dermatitis: clinical,
squamometric and mycologycal assesments. Dermatology. 2001; 202:171-176.
14. Picardo M, Carneli N. Seborrheic dermatitis. Evidence-Based Dermatology (2nd ed).
Maiden, MA: Blackwell Publishing; 2008:164-170.
15. Del Rosso JQ. Adult seborrheic dermatitis: A status report on practical topical
management. J Clin Aesthet Dermatol. 2011; 4:32-38.
16. Ortonne JP, Nikkels AF, Reich K. Efficacious and safe management of moderate to
severe scalp seborrhoeic dermatitis using clobetasol propionate shampo 0,05%
combined with ketoconazol shampoo 2%: A randomized, control study. Br J
Dermatol. 2011; 165: 171-176.
17. Aly R, Katz HI, Kempers SE. Ciclopyrox gel for seborrheic dermatitis of the scalp.
Int J Dermatol. 2003; 42:19-22.
18. Ashtiani HA, Rastegar H, Aghaei M, Ehsani A, Barikbin B, Salout MH. Clinical
efficacy of natural formulated shampoo in subject with dandruff and seborrheic
dermatitis. American Journal of Research Communication. 2013;1(8):63-80.
19. Bhatia N. Treating Seborrheic dermatitis. The dermatologist. 2011;7:1-4.
20

20. Dall’Oglio F, Tadeschi A, Verzi AE, Micali G. Cosmetological approach. In:


Seborrheic dermatitis. Gurgaon: Macmilllan Medical communications. 2015:57-59.
21. Kim YR, Kim JH, Shin HJ, Choe YB, Ahn KJ, Lee YW. Clinical evaluation of a new
formula shampoo for scalp soborrheic dermatitis containing extract of Rosa
centrifolia petals and epigallocathenin gallate a randomized, double blind, controlled
study. Ann Dermatol.2014;26(6):733-738.
22. Nesbitt LT Jr. Glucocorticosteroids. In: Bolognia JL, Jorizzo JL, Schaffer JV (eds).
Dermatology 3rd ed. Amsterdam: Elsevier.2012:1923-1934.
23. Kircik L. The evolving role of therapeutic shampoos for targeting symptomps of
inflammatory scalp disorders. J Drugs Dermatol. 2010;9:41-48.
24. Weidmann AK, William JDL, Coulson I. Seborrheic eczema. In: Lebhowl MG,
Heymann WR, Berth-Jones J, Coulson I. Treatment of skin Disease: comprehensive
therapeutic strategies. 4th Ed. Edinburgh: Saunders Elsevier. 2014;709-712.
25. Supanaronond W, Desakorn V, Sitakalin C. Cutaneous manifestations in HIV
positive patients. Southeast Asian J Trop Med Public Health. 2001; 32:171-176.
26. Goldenberg G. Optimizing treatment approaches in seborrheic dermatitis. J Clin
Aesthet Dermatol. 2013;6(2):44-49.
27. Zisova LG. Treatment of Malassezia species associated seborrheic dermatitis with
fluconazol. Folia Med. 2009;51(3):57-9.
28. Scaparno E, Quadri G, Vimo G. Evaluation of the efficacy and tolerability of oral
terbinafine (Daskil) in patient with seborrhoeic dermatitis. A multicentre,
randomized, investigator-blinded, placebo controlled trial. Br J Dermatol. 2011;
144(4):854-857.
29. David E, Tanuos H, Sullivan T, yan A, Kircik LH. A double blind, placebo controlled
pilot study to estimate the efficacy and tolerability of a nonsteroidal cream for the
treatment of craddle cap (seborrheic dermatitis). J Drugs Dermatol. 2013;12:448-452.
30. Wannanukul S, Chiabunkana J. Comparative study of 2% ketoconazol cream and 1%
hydrocortisone cream in the tretment of infantile seborrheic dermatitis. J Med Assoc
Thai. 2004; 87:S68-S71.
31. Arsenijevic VSA, Milobratovic D, Barac AM,Vekic B, Marinkovic J, Kostic VS. A
laboratory based study on patients with Parkinson’s disease and seborrheic dermatitis:
the presence and density od Malassezia yeast, their different species and enzymes
production. BMC Dermatology. 2014; 14(5): 1471-5945.
32. Vena GA, Micali G, Santoriani P. Oral terbinafine in the treatment of multi-site
seborrheic dermatitis: A multicenter, double blind placebo controlled study. Int J
Immunopathol Pharmacol. 2002; 18(4): 745-753.
33. Cassano N, Amoruso A, Loconsole F. Oral terbinafine for the treatment of seborrheic
dermatitis in adults. Int J Dermatol. 2002;41(11):821-822.
21

Lampiran 1
Tabel produk untuk terapi DS skalp dan area berambut 11
22

Lampiran 2
Tabel produk untuk terapi DS non skalp11
23

Lampiran 3

Algoritma terapi untuk pasien dewasa dengan DS pada skalp dan area berambut.
AIAFp= Nonsteroidal anti-inflammatory agent with antifungal properties. 11
24

Lampiran 4

Algoritma terapi untuk pasien dewasa dengan DS pada non skalp. AIAFp=
Nonsteroidal anti-inflammatory agent with antifungal properties. TCI= topical
calcineurin inhibitors. *penggunaan off-label.11
25

Lampiran 5

Tabel produk untuk terapi DS pada bayi11

Anda mungkin juga menyukai