Anda di halaman 1dari 16

Makalah

Sholat Sunnah Istisqo’, Khauf, dan Kusuf/Khusuf

Dosen Pengampu : Suratmi

Disusun oleh :

Marchel Nobilis Alee Zeni

(2161201116)

INSTITUT TEKNOLOGI DAN BISNIS (ITB)


AHMAD DAHLAN
JAKARTA 2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan ke hadirat Allah SWT yang atas limpah dan karunia-Nya
kepada kita semua. Shalawat dan salam semoga tercurah kepada Nabi Muhammad
SAW keluarganya, para sahabatnya dan sekalian umatnya yang senantiasa
memelihara keimanan dan kesetiaan untuk menjalankan sunahnya. Alhamdulillah,
karya tulis yang berjudul Sholat Sunnah Istisqo’, Khauf, dan Kusuf/Khusuf ini dapat
diselesaikan dengan bantuan dan arahan dari para dosen dan rekan-rekan yang telah
memberikan masukannya.

Karya tulis ini dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah praktikum ibadah yang telah
menjadi ketentuan bagi para mahasiswa/i. Penulis mengucapkan terima kasih teriring
doa jazakallahu khairan kepada Orang tua yang telah mendukung, mendidik, dan
menuntun penulis tetap di jalan-Nya, dan juga terimakasih teriring doa jazakallahu
khairan kepada Ibu Suratmi selaku dosen ITB Ahmad Dahlan Jakarta pada mata
kuliah Sholat Sunnah Istisqo’, Khauf, dan Kusuf/Khusufi juga kepada seluruh rekan
yang telah memberikan sarannya.

Semoga karya tulis ini bermanfaat bagi penulis dan pembaca. Kami meminta maaf
bilamana terdapat kesalahan kata atau kalimat yang kurang berkenan. Serta tak lupa
kami juga berharap adanya masukan serta kritikan yang membangun dari Anda demi
terciptanya makalah yang lebih baik lagi.

Jakarta, 9 November 2022

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Shalat adalah satu ibadah yang diwajibkan bagi seluruh umat sarana yang
paling efektif untuk mendekatkan diri serta meminta pertolongan kepada
Allah. Maka wajar saja shalat adalah yang pertama wajib dipahami dengan
utuh dan benar, karena jika shalatnya benar akan membawa dampak kesalihan
yang lainnya, dan sebaliknya jika shalatnya tidak benar maka juga
berpengaruh terhadap rusaknya ibadah lainnya.

Sebagaimana shalat merupakan ibadah yang pertama dihisab pada hari kiamat
maka shalat merupakan hal yang harus diperbaiki dalam kehidupan muslim.
Perbaikan shalat mencakup pemahaman yang benar dalam pelaksanaannya
agar sesuai dengan sunah Nabi SAW. Sebagaimana sabda Nabi “shalatlah
sebagaimana kalian melihat saya shalat”.

Shalat istisqa merupakan sunnah Rasulullah SAW dan juga dilakukan oleh
para sahabat Rasulullah SAW sepeninggal beliau. Shalat istisqa adalah shalat
sunnah meminta hujan kepada Allah Azza Wajalla ketika semua makhluk
hidup di bumi mengalami kekeringan karena hujan tak kunjung tiba. Sumur-
sumur kering tak ada air,air sungai jauh berkurang debitnya, rerumputan
menguning, kecoklatan dan akhirnya mati, pohon-pohon meranggas, hewan-
hewan kekurangan air dan manusia pun mengalami bencana serius. Saat itulah
dilakukan shalat istisqa. Shalat minta rahmat kepada Allah SWT agar
menurunkan hujan yang penuh berkah, hujan yang memberi kehidupan. Kullu
hayyin minal maa’. Setiap kehidupan bersumber dari air. Sebagaimana
diceritakan di dalam hadits berikut ini, yang artinya,

“Orang-orang mengadu kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam


tentang musim kemarau yang panjang. Lalu beliau memerintahkan untuk
meletakkan mimbar di tempat tanah lapang, lalu beliau membuat kesepakatan
dengan orang-orang untuk berkumpul pada suatu hari yang telah ditentukan”.

Aisyah lalu berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam keluar ketika


matahari mulai terlihat, lalu beliau duduk di mimbar. Beliau shallallahu ‘alaihi
wasallam bertakbir dan memuji Allah Azza wa Jalla, lalu bersabda,
“Sesungguhnya kalian mengadu kepadaku tentang kegersangan negeri kalian
dan hujan yang tidak kunjung turun, padahal Allah Azza Wa Jalla telah
memerintahkan kalian untuk berdoa kepada-Nya dan Ia berjanji akan
mengabulkan doa kalian”.

Tidak ada suatu kejadian diantara sekian banyak yang ditampakkan Allah
dihadapan hambanya. Melainkan agar kita dapat mengambil pelajaran dan
hikmah dari kekuasaan Allah Aza Wa jalla yang ditampakkan tersebut. Yang
pada akhirnya kita diminta untuk mawas diri dan melakukan muhasabah. 

Dianta bukti kekuasaan Allah ialah terjadinya gerhana. Sebuah kejadian besar
yang banyak dianggap remeh manusia. Paahal rasulullah justru
memperingatkan umatnya untuk kembali ingat dan menegakkan salat,
memperbanyak dzikir, istigfar, doa, sedekah dan amal sholih tatkala terjadi
pristiwa gerhana
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan sholat istisqo?
2. Apa Hukum Sholat Istisqa’?
3. Bacaan Niat Sholat Istisqa ?
4. Bagaimana tatacara shalat istisqa?
5. Apa itu shalat Khauf?
6. Apa bacaan Niat Sholat Khauf ?
7. Bagaimana tatacara pelaksanaan Shalat Khauf?
8. Apakah yang dimaksud dengan sholat khusuf/gerhana?
9. Apa Bacaan Niat Sholat Khusuf ?
10. Bagaimana hukum sholat khusuf/gerhana?
11. Kapan waktu dilaksanakannya sholat khusuf/gerhana?
12. Kapan waktu sholat khusuf/gerhana usai?
13. Apa saja amalan yang dapat dilaksanakan pada sholat khusuf/gerhana?
14. Bagaimana tata cara sholat khusuf/gerhana?

C. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui apa itu sholat istisqo.
2. Mengetahui hukum Sholat Istisqa.
3. Mengetahui Bacaan niat shoolat Istisqa
4. Mengetahui tatacara shalat istisqa.
5. Mengetahui apa itu shalat Khauf.
6. Mengetahui Bacaan Niat Shalat Khauf
7. Mengetahui tatacara pelaksanaan Shalat Khauf.
8. Mengetahui apa itu sholat khusuf/gerhana.
9. Mengetahui Bacaan Niat Sholat Khusuf
10. Mengetahui hukum sholat khusuf/gerhana.
11. Mengetahui kapan waktu dilaksanakannya sholat khusuf/gerhana.
12. Mengetahui kapan waktu sholat khusuf/gerhana usai.
13. Mengetahui amalan yang dapat dilaksanakan pada sholat khusuf/gerhana.
14. Mengetahui tata cara sholat khusuf/gerhana.

BAB II
PEMBAHASAN
1. Pengertian Sholat Istisqa
Di dalam hukum Islam cara untuk memohon hujan kepada Allah swt
salah satunya adalah dengan cara shalat istisqa‟. Shalat istisqa‟ ialah shalat
untuk memohon hujan, dan disunnatkan bagi orang yang bermukim atau
musafir, dikerjakan ketika sangat mengharapkan hujan (karena kemarau
panjang atau terputusnya sumber air). Istiqa’ adalah Shalat sunnah Muakkad
dua rakaat untuk meminta diturunkan hujan oleh Allah SWT untuk sejumlah
negeri atau hamba-hanbaNya yang membutuhkan melalui shalat, berdo’a dan
beristighfar ketika terjadi kemarau yang Panjang atau ketika krisis air. Istisqo
secara bahasa adalah meminta turun hujan. Secara istilah yaitu meminta
kepada
Allah SWT agar menurunkan hujan dengan cara tertentu ketika dibutuhkan
hamba-Nya.
Memohon kepada Allah agar diturunkan hujan berdasarkan apa yang
ditetapkan oleh syari’at, dapat dilakukan dengan beberapa cara :
a) Sholat istisqa secara berjama’ah ataupun sendirian.
b) Imam sholat Jum’at memohon kepada Allah agar diturunkan hujan
dalam khutbahnya. Para ulama ber-ijma’ bahwa hal ini disunnahkan
senantiasa diamalkan oleh kaum muslimin sejak dahulu.
c) Berdo’a setelah shalat atau berdo’a sendirian tanpa didahului shalat.
Para ulama ber-ijma’ akan bolehnya hal ini.

2. Hukum Sholat Istisqa


Sholat istisqa’ termasuk shalat sunnah yang sangat dianjurkan sekali
(sunnah muakkadah), dimana Rasulullah SAW pun telah melaksanakannya
dan
beliau juga memberitahukannya kepada orang-orang agar ikut serta untuk
pergi
ketempat pelaksanaan sholat istisqa’. Oleh karena itu apabila hujan sangat
lama tidak turun dan tanah menjadi gersang, maka dianjurkan bagi kaum
muslimin pergi ketanah lapang untuk melaksanakan sholat istisqa’ dua rakaat
dipimpin seorang imam, memperbanyak do’a dan istighfar.

3. Niat Sholat istisqha


‫اال ْستِ ْسقَا ِء َر ْك َعتَ ْي ِن َمْأ ُموْ ًما هلِل ِ تَ َعالَى‬ َ ‫ُأ‬
ِ َ‫صلِّ ْي ُسنَّة‬

Bahasa Latin: Ushalli sunnatal istisqa'i rak'ataini (imaaman/ma'muman) lillahi


ta'ala.

4. Tata Cara Sholat Istisqa


Pergi ke tanah lapang kemudian shalat berjama’ah bersama orang-orang
yang dipimpin seorang imam tanpa adzan dan iqomah akan tetapi hendaknya
mengucapakan ‫ جامعة الصالة‬.Kemudian shalat dua rakaat, jika imam berkenan
maka ia dapat membaca takbir sebanyak tujuh kali pada rakaat pertama dan
lima kali pada rakaat kedua seperti pada shalat hari raya. Pada rakaat pertama
imam membaca surat al-’Ala setelah ia membaca surat Al-Fatihah dengan
suara yang nyaring, sedang pada rakaat yang kedua membaca surat al-
Ghasiyah.
Setelah selesai shalat hendaknya imam menghadap ke arah jama’ah
kemudian ia berkhutbah di hadapan mereka dengan menghimbau mereka
supaya banyak beristighfar, lalu imam berdoa yang diamini oleh jama’ah, lalu
imam menghadap kiblat serta mengubah posisi selendangnya, sehingga bagian
sebelah kanan berpindah ke bagian sebelah kiri, serta bagian sebelah kiri
berpindah ke bagian sebelah kanan dan kemudian mengangkat tangannya, lalu
orang-orangpun harus mengubah posisi selendang mereka sebagaimana yang
dilakukan seorang imam. Selanjutnya mereka berdoa sesaat kemudian bubar.
Namun sebagian ulama ahli fiqih juga berpedapat bahwa tata cara shalat
istisqa adalah sebagaimana shalat sunnah biasa, yaitu sebanyak dua rakaat
tanpa ada tambahan takbir dan lainnya sebagaimana pada shalat id.
Hal ini didasari hadits Sebagaimana sabda Nabi saw dari Abdullah bin
Zaid ia berkata : “Saya melihat Nabi saw tatkala pergi ke tanah lapang untuk
shalat istisqa’ beliau palingkan punggungnya menghadap para sahabat dan
kiblat sambil berdo’a, lalu beliau palingkan selendangnya, kemudian shalat
dengan kami du’a rakaat dengan suara yang keras ketika membaca ayat.
(H.R.Bukhori dan Muslim) Ini juga menunjukkan beliau khutbah dan berdoa
terlebih dahulu, baru kemudian shalat istisqa. Ibnu Qudamah Al-Maqdisi
setelah menjelaskan dua tata cara ini mengatakan bahwa mengerjakan yang
mana saja dari dua cara tersebut adalah boleh dan baik.

5. Pengertian Shalat Khauf


Menurut bahasa shalat berarti do’a . menurut istilah shalat berarti
ibadah kepada Allah yang memiliki ucapan dan perbuatan tertentu khusus,
yang diawali dengan takbir dan diakhiri dengan salam. Disebut shalat karena
mencakup do’a ibadah dan do’a permohonan.
Sedangkan kata khauf secara bahasa berarti takut. Menurut istilah
khauf berarti kegoncangan didalam diri karena khawatir terjadinya seesuatu
yang tidak diinginkan, atau hilangnya sesuatu yang disukai. Diantara hal itu
adalah rasa takut dijalani.
Shalat khauf adalah shalat yang dilakukan ketika keadaan sedang
gawat, misalnya saja pada saat perang. Shalat itu dilakukan dengan cara
berjamaah yang sedikit berbeda, tujuannya agar bisa tetap mengawasi
pergerakan musuh atau bahaya.
Shalat khauf dilakukan pada saat sedang khawatir, takut atau merasa
tidak aman. Misal: shalat pada saat peperangan, kebakaran, gempa bumi,
tsunami dan lain-lain. Shalat khauf merupakan sebuah keadaan dimana kita
boleh melakukan shalat dengan cara keluar dari ketentuan-ketentuan shalat itu
sendiri.

6. Niat Sholat Khauf


Bahasa Latin : Ushalli sunnatal khusufi rak'ataini (imaaman/ma'muman) lillahi
ta'ala.

7. Tatacara Pelaksanaan Sholat Khauf


1. Musuh berada pada sisi selain kiblat
Maka imam membagi menjadi dua kelompok - Satu kelompok tetap
menghadapi musuh {berada dihadapan musuh} - Satu kelompok berada
dibelakang imam {shalat dibelang imam} Kemudian kelompok yang
berada dibelakang imam, melaksanakan shalat bersama imam, satu rakaat,
kemudian mereka menyempurnakan sendiri rakaat yang kedua. Setelah
selesai kelompok yang pertama {kelompok yang shalat rakaat pertama
bersama imam} maka kelompok tersebut kembali untuk menghadapi
musuh. Kemudian kelompok yang kedua mengerjakan shalat bersama
imam satu rakaat, kemudian kelompok tersebut menyempurnakan rakaat
kedua, kemudian imam salam bersama mereka.
Jadi secara ringkas : Imam shalat rakaat pertama bersama kelompok
pertama, kemudian setelah rakaat pertama, imam menunggu {sementara
kelompok pertama menyelesaikan shalatnya} kemudian salam dan
Kembali {berjaga}. Kemudian imam berdiri untuk rakaat kedua bersama
kelompok yang kedua, kelompok kedua pun shalat pada rakaat kedua satu
rakaat, tatkala kelompok kedua menyelesaikan rakaat terakhirnya {rakaat
kedua} imam duduk {menunggu} kelompok kedua menyelesaikan rakaat
keduanya kemudian pada saat salam imam pun salam bersama jama’ah
{makmumnya} yaitu kelompok kedua.

2. Musuh berada disisi kiblat


Kemudian imam membentuk dua shaf, dan bertakbir {takbiratul ihram}
bersama-sama, apabila imam sujud, maka salah satu shat ikut sujud,
sementara shaf yang lain tetap berdiri untuk menjaga mereka, apabila shaf
pertama telah bangun dari sujud, maka shaf yang kedua tadi sujud dan
segera menyusul gerakan imam.

3. Shalat dalam kondisi puncak peperangan


Maka hendaknya shalat bagaimana saja caranya yang mungkin, baik
dengan berjalan kaki atau diatas kendaraan, baik menghadap kiblat
ataupun tidak menghadap kiblat, yang penting dia tetap shalat sebisa
mugnkin.

8. Pengertian Sholat Khusuf atau Sholat Gerhana


Dalam istilah fuqaha dinamakan kusuf. Yaitu hilangnya cahaya
matahari atau bulan atau hilang sebagiannya, dan perubahan cahaya yang
mengarah ke warna hitam atau gelap. Kalimat khusuf semakna dengan kusuf.
Ada pula yang mengatakan kusuf adalah gerhana matahari, sedangkan khusuf
adalah gerhana bulan. Pemilahan ini lebih masyhur menurut bahasa. Jadi,
shalat gerhana, ialah shalat yang dikerjakan dengan tata cara dan gerakan
tertentu, ketika hilang cahaya matahari atau bulan atau hilang sebagiannya.

9. Niat Sholat Khusuf


َ ‫ُأ‬
ِ ‫صلِّي ُسنَّةَ ال ُخس‬
10. ‫ َمأ ُمو ًما هلل تَ َعالَى‬/‫ُوف َر ْك َعتَ ْي ِن ِإ َما ًما‬

Bahasa latin : Ushallî sunnatal khusûf rak'ataini imâman/makmûman lillâhi ta'âlâ.

11. Hukum Sholat Gerhana

Jumhur ulama’ berpendapat, shalat gerhana hukumnya sunnah


muakkadah. Abu ‘Awanah Rahimahullah menegaskan wajibnya shalat
gerhana matahari. Demikian pula riwayat dari Abu Hanifah Rahimahullah,
beliau memiliki pendapat yang sama. Diriwayatkan dari Imam Malik, bahwa
beliau menempatkannya seperti shalat Jum’at. Demikian pula Ibnu
Qudamah Rahimahullah berpendapat, bahwa shalat gerhana hukumnya
sunnah muakkadah.
Adapun yang lebih kuat, ialah pendapat yang mengatakan wajib,
berdasarkan perintah yang datang dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam.
Imam asy-Syaukani juga menguatkan pendapat ini. Demikian pula Shiddiq
Hasan Khan Rahimahullah dan Syaikh al-Albâni Rahimahullah.  Dan Syaikh
Muhammad bin Shalih ‘Utsaimin Rahimahullah berkata: “Sebagian ulama
berpendapat, shalat gerhana wajib hukumnya, berdasarkan sabda
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam (jika kalian melihat, maka shalatlah—
muttafaqun ‘alaih). Sesungguhnya, gerhana merupakan peristiwa yang
menakutkan. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam berkhutbah dengan khutbah
yang agung, menjelaskan tentang surga dan neraka. Semua itu menjadi satu
alasan kuat wajibnya perkara ini, kalaupun kita katakan hukumnya sunnah
tatkala kita melihat banyak orang yang meninggalkannya, sementara
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam sangat menekankan tentang kejadian ini,
kemudian tidak ada dosa sama sekali tatkala orang lain mulai berani
meninggalkannya. Maka, pendapat ini perlu ditilik ulang, bagaimana bisa
dikatakan sesuatu yang menakutkan kemudian dengan sengaja kita
meninggalkannya? Bahkan seolah hanya kejadian biasa saja? Dimanakah rasa
takut?
Dengan demikian, pendapat yang mengatakan wajib, memiliki
argumen sangat kuat. Sehingga jika ada manusia yang melihat gerhana
matahari atau bulan, lalu tidak peduli sama sekali, masing-masing sibuk
dengan dagangannya, masing-masing sibuk dengan hal sia-sia, sibuk di
ladang; semua itu dikhawatirkan menjadi sebab turunnya adzab Allah, yang
kita diperintahkan untuk mewaspdainya. Maka pendapat yang mengatakan
wajib memiliki argumen lebih kuat daripada yang mengatakan sunnah.
Dan Asy-Syaikh Ibnu Al-Utsaimin pun menyatakan, “Jika kita
mengatakan hukumnya wajib, maka yang nampak wajibnya adalah wajib
kifayah.” Adapun shalat gerhana bulan, terdapat dua pendapat yang berbeda
darikalangan ulama.
Pendapat pertama. Sunnah muakkadah, dan dilakukan secara
berjama’ah seperti halnya shalat gerhana matahari. Demikian ini pendapat
Imam asy- Syâfi’i, Ahmad, Dawud Ibnu Hazm. Dan pendapat senada juga
datang dari ‘Atha, Hasan, an-Nakha`i, Ishâq dan riwayat dari Ibnu
‘Abbas Radhiallahu’anhu.  Dalil mereka: “Sesungguhnya matahari dan bulan
adalah bukti tanda-tanda kekuasaan Allah. Sesungguhnya, keduanya tidak
mengalami gerhana karena kematian seseorang, dan tidak pula karena
hidupnya seseorang. Oleh karena itu, bila kalian melihatnya, maka berdoalah
kepada Allah dan shalatlah sampai terang kembali.” (Muttafqun ‘alaihi).
Pendapat kedua. Tidak dilakukan secara berjama’ah. Demikian ini pendapat
Imam Abu Hanifah dan Mâlik. Dalilnya, bahwa pada umumnya, pelaksanaan
shalat gerhana bulan pada malam hari lebih berat dari pada pelaksanaannya
saat siang hari. Sementara itu belum ada riwayat yang menyebutkan bahwa
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam menunaikannya secara berjama’ah,
padahal kejadian gerhana bulan lebih sering dari pada kejadian gerhana
matahari. Manakah pendapat yang kuat? Dalam hal ini, ialah pendapat
pertama, karena NabiShallallahu ‘alaihi wa Sallam memerintahkan kepada
umatnya untuk menunaikan keduanya tanpa ada pengecualian antara yang
satu dengan lainnya (gerhana matahari dan bulan). Sebagaimana di dalam
hadits disebutkan, “Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam keluar
menuju masjid, kemudian beliau berdiri, selanjutnya bertakbir dan sahabat
berdiri dalam shaf di belakangya.” (Muttafaqun ‘alaihi)
Ibnu Qudamah Rahimahullah juga berkata, “Sunnah yang diajarkan,
ialah menunaikan shalat gerhana berjama’ah di masjid sebagaimana yang
dilakukan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, walaupun boleh juga
dilakukan sendiri-sendiri,namun pelaksanaannya dengan berjama’ah lebih
afdhal (lebih baik). Karena yang dilakukan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
Sallam ialah dengan berjama’ah. Sehingga, dengan demikian, sunnah yang
telah diajarkan ialah menunaikannya di masjid.”

12. Kapan waktu dilaksanakannya sholat khusuf/gerhana


a. Waktu sholat gerhana
Shalat dimulai dari awal gerhana matahari atau bulan sampai gerhana
tersebut berakhir. Berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
Sallam, “Oleh karena itu, bila kalian melihatnya, maka berdoalah
kepada Allah dan shalatlah sampai kembali terang.”(Muttafaqun
‘alaihi).
13. Waktu Sholat Gerhana Dianggap Usai
Shalat gerhana matahari tidak ditunaikan jika telah muncul dua
perkara, yaitu (1) terang seperti sediakala, dan (2) gerhana terjadi tatkala
matahari terbenam. Demikian pula halnya dengan shalat gerhana bulan, tidak
ditunaikan jika telah muncul dua perkara, yaitu (1) terang seperti sediakala,
dan (2) saat terbit matahari.
14. Amalan-amalan yang dapat dikerjakanan saat Gerhana

1. Memperbanyak dzikir, istighfar, takbir, sedekah dan amal shalih.


Sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam,“Oleh karena
itu, bila kaliannya melihat, maka berdoalah kepada Allah,
bertakbirlah, shalat dan bersedekahlah.” (Muttafaqun ‘alaihi)
2. Keluar menuju masjid untuk menunaikan shalat gerhana berjama’ah,
sebagaimana disebutkan dalam hadits,“Maka Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa Sallam keluar menuju masjid, kemudian beliau berdiri,
selanjutnya bertakbir dan sahabat berdiri dalam shaf di belakangnya.”
(Muttafaqun ‘alaihi).
3. Wanita keluar untuk ikut serta menunaikan shalat gerhana,
sebagaimana dalam hadits Asma’ binti Abu
Bakr Radhiallahu’anhuma berkata,“Aku mendatangi ‘Aisyah istri
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam tatkala terjadi gerhana matahari.
Aku melihat orang-orang berdiri menunaikan shalat, demikian pula
‘Aisyah aku melihatnya shalat.” (Muttafaqun ‘alaihi)Jika
dikhawatirkan akan terjadi fitnah, maka hendaknya para wanita
mengerjakan shalat gerhana ini sendiri-sendiri di rumah mereka
berdasarkan keumuman perintah mengerjakan shalat gerhana.
4. Shalat gerhana (matahari dan bulan) tanpa adzan dan iqamah, akan
tetapi diseru untuk shalat pada malam dan siang dengan ucapan “ash-
shalatu jami’ah” (shalat akan didirikan), sebagaimana disebutkan
dalam hadits Abdullah bin ‘Amr Radhiallahu’anhuma, ia berkata:
Ketika terjadi gerhana matahari pada zaman Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa Sallam diserukan “ash-shalatu jami’ah” (sesungguhnya
shalat akan didirikan). (HR Bukhari).
5.    Khutbah setelah shalat, sebagaimana disebutkan dalam hadits,
‘AisyahRadhiallahu’anha berkata: Sesungguhnya Nabi Shallallahu
‘alaihi wa Sallam, tatkala selesai shalat, dia berdiri menghadap
manusia lalu berkhutbah. (HR Bukhari).

15. Bagaimana tata cara sholat khusuf/gerhana


Tidak ada perbedaan di kalangan ulama, bahwa shalat gerhana dua
raka’at. Hanya saja, para ulama berbeda pendapat dalam hal tata cara
pelaksanaannya. Dalam masalah ini terdapat dua pendapat yang berbeda.
Pendapat pertama. Imam Malik, Syafi’i, dan Ahmad, mereka
berpendapat bahwa shalat gerhana ialah dua raka’at. Pada setiap raka’at ada
dua kali berdiri, dua kali membaca, dua ruku’ dan dua sujud. Pendapat ini
berdasarkan beberapa hadits, di antaranya hadits Ibnu
‘Abbas Radhiallahu’anhu, ia berkata, “Telah terjadi gerhana matahari pada
zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam , maka beliau shalat dan orang-
orang ikut shalat bersamanya. Beliau berdiri sangat lama (seperti) membaca
surat al-Baqarah, kemudian ruku’ dan sangat lama ruku’nya, lalu berdiri, lama
sekali berdirinya namun berdiri yang kedua lebih pendek dari berdiri yang
pertama, kemudian ruku’, lama sekali ruku’nya namun ruku’ kedua lebih
pendek dari ruku’ pertama.” (Muttafaqun ‘alaihi).
Hadits kedua, dari ‘Aisyah Radhiallahu’anha, ia berkata, “Bahwasanya
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam pernah melaksanakan shalat ketika
terjadi gerhana matahari. Rasulullah berdiri kemudian bertakbir kemudian
membaca, panjang sekali bacaannya, kemudian ruku’ dan panjang sekali
ruku’nya, kemudian mengangkat kepalanya (i’tidal) seraya mengucapkan:
“Sami’allahu liman hamidah,” kemudian berdiri sebagaimana berdiri yang
pertama, kemudian membaca, panjang sekali bacaannya namun bacaan yang
kedua lebih pendek dari bacaan yang pertama, kemudian ruku’ dan panjang
sekali ruku’nya, namun lebih pendek dari ruku’ yang pertama, kemudian
sujud, panjang sekali sujudnya, kemudian dia berbuat pada raka’at yang kedua
sebagimana yang dilakukan pada raka’at pertama, kemudian
salam” (Muttafaqun ‘alaihi).
Pendapat kedua. Abu Hanifah berpendapat bahwa shalat gerhana ialah
dua raka’at, dan setiap raka’at satu kali berdiri, satu ruku dan dua sujud seperti
halnya shalat sunnah lainnya. Dalil yang disebutkan Abu Hanifah dan yang
senada dengannya, ialah hadits Abu Bakrah, ia berkata: “Pernah terjadi
gerhana matahari pada zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam , maka
Rasulullah keluar dari rumahnya seraya menyeret selendangnya sampai
akhirnya tiba di masjid. Orang-orang pun ikut melakukan apa yang
dilakukannya, kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam shalat
bersama mereka dua raka’at.” (HR Bukhari, an-Nasa‘i).
Dari pendapat di atas, pendapat yang kuat ialah pendapat pertama
(jumhur ulama’), berdasarkan beberapa hadits shahih yang menjelaskan hal
itu. Karena pendapat Abu Hanifah Rahimahullah dan orang-orang yang
sependapat dengannya, riwayat yang mereka sebutkan bersifat mutlak
(umum), sedangkan riwayat yang dijadikan dalil oleh jumhur (mayoritas)
ulama adalah muqayyad.

DAFTAR PUSTAKA

RIANDA, R. T. (2015). BUDAYA MANTEN KUCING DALAM PERSPEKTIF


HUKUM ISLAM (STUDI KASUS DI DESA PELEM KECAMATAN
CAMPURDARAT KABUPATEN TULUNGAGUNG).

Muh. Mu’inudinillah Basri, Panduan Shalat Lengkap, (Surakarta: Indiva Pustaka,


cetakan pertama, September 2018), hal.108

Rifa’ITuntunan Sholat. Semarang: PT.Karya Toha Putra. 2009.

Anda mungkin juga menyukai