Anda di halaman 1dari 14

Tugas: Membuat Artikel

ARTIKEL
ANALISIS KEBIJAKAN TENTANG PENGEMBANGAN PENDIDIKAN
ISLAM MADRASAH SEBAGAI SEKOLAH UMUM YANG BERCIRI
KHAS AGAMA ISLAM

Disusun Guna Memenuhi Tugas


Matakuliah : Analisis Isu Dan Kebijakan Pendidikan
Dosen Pengampu: Prof. Dr. H. Zulkifli Musthan, M.Si., M.Pd.I

OLEH

SUKMAWATI
Nim : 2021040201032

PASCA SARJANA
PROGRAM STUDI MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
KENDARI
2022

1
Dirasah : ..........................
Vol.1, No.1, ..... ......, pp. ......
ISSN :XXXXX (print) | ISSN : XXXXX (online)

Artikel
Analisis Kebijakan Tentang Pengembangan Pendidikan Islam Madrasah
Sebagai Sekolah Umum Yang Berciri Khas Agama Islam

Oleh: Sukmawati
Nim: 2021040201032

Haswati 1, Prof. Dr. H. Zulkifli Musthan, M.Si., M.Pd.I 2*


1
Mahasiswa Pascasarjana Prodi MPI, Institut Agama Islam Negeri (IAIN)
Kendari, Indonesia
2
Dosen Pengampu Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan, Institut Agama Islam
Negeri Kendari (IAIN) Kendari, Indonesia.
Email Korespondensi : stainkdi@yahoo.co.id

ABSTRAK
Artikel yang dikaji dalam tulisan ini Analisis Kebijakan Tentang
Pengembangan Pendidikan Islam Madrasah Sebagai Sekolah Umum Yang Berciri
Khas Agama Islam. Dengan Tujuan yang ingin dicapai dalam tulisan ini yaitu
untuk mengetahui Analisis Kebijakan Tentang Pengembangan Pendidikan Islam
Madrasah Sebagai Sekolah Umum Yang Berciri Khas Agama Islam. penelitian ini
menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif, dan jenis penelitian yang
digunakan adalah kepustakaan (library research), yaitu mengumpulkan data atau
karya tulis ilmiah yang berkaitan dengan obyek penelitian atau pengumulan data
yang bersifat kepustakaan. Atau telaah yang dilaksanakan untuk memecahkan
suatu masalah yang pada dasarnya tertumpu pada penelaahan kritis dan mendalam
terhadap bahan-bahan pustaka yang relevan.
Berdasarkan hasil kajian ditemukan bahwa 1) Madrasah merupakan
lembaga pendidikan Islam disamping masjid dan pesantren yang berfungsi
sebagai lembaga pendidikan umum yang tidak lepas dari hakekat pendidikan
Islam. 2) Ciri khas yang masih dipertahankan oleh madrasah adalah berbentuk (1)
mata pelajaran-mata pelajaran keagamaan yang dijabarkan dari pendidikan agama
Islam, yaitu: al-Qur’an hadits, aqidah akhlak, fiqh, Sejarah Kebudayaan Islam,
dan bahasa arab; (2) suasana keagamaannya, yang berupa suasana kehidupan
madrasah yang agamis, adanya sarana ibadah, penggunaan metode pendekatan
yang agamis dalam penyajian bahan pelajaran bagi setiap mata pelajaran yang
memungkinkan; dan kualifikasi guru yang harus beragama Islam dan berakhlak
mulia, disamping memenuhi kualifikasi sebagai tenaga pengajar berdasar
ketentuan yang berlaku. 3) Madrasah sebagai sekolah umum yang berciri khas
Agama Islam mempunyai beberapa kelebihan dan kekurangan, sehingga
dibutuhkan kerjasama antar elemen pendidikann yang terlibat di dalamnya
meliputi, lembaga pendidikan, masyarakat, dan pemerintah demi sebuah
keberhasian visi dan misi madrasah serta untuk merespon tantangan dan hambatan
dalam dunia global pada dunia pendidikan. 4) pada periode H.A. Mukti Ali
Menteri Agama RI, yang menawarkan konsep pengembangan alternatif madrasah

2
melalui kebijakan SKB 3 menteri, yang berusaha menyejajarkan kualitas
madrasah dengan non madrasah, dengan porsi kurikulum 70% umum dan 30 %
agama. Pada periode Menteri Agama Munawir Sadzali menawarkan konsep
MAPK. Dan pada periode menteri agama H. Tarmizi Taher menawarkan konsep
madrasah sebagai sekolah umum yang berciri khas Agama Islam yang tetuang
dalam Undang- Undang Sisdiknas Tahun 2003.
Kata Kunci: Madrasah Sebagai Sekolah Umum Berciri Khas Agama Islam

ABSTRACT
The article studied in this paper Is a Policy Analysis of the Development
of Islamic Education madrasah as a public school with a characteristic of Islam.
With the objectives to be achieved in this paper, namely to find out the Policy
Analysis on the Development of Islamic Education Madrasah as a Public School
with a Characteristic of Islam. This research uses a qualitative descriptive
approach, and the type of research used is library research, which is collecting
data or scientific papers related to research objects or collecting data that is
literature. Or a study carried out to solve a problem that basically rests on a
critical and in-depth study of relevant library materials.
Based on the results of the study, it was found that 1) Madrasah is an
Islamic educational institution in addition to mosques and islamic boarding
schools that function as general educational institutions that cannot be separated
from the nature of Islamic education. 2) The distinctive features that are still
maintained by madrasas are in the form of (1) religious subjects described from
Islamic religious education, namely: the Qur'an hadith, aqidah akhlak, fiqh,
History of Islamic Culture, and arabic language; (2) the religious atmosphere,
which is in the form of a religious madrasa life atmosphere, the existence of
means of worship, the use of religious approach methods in the presentation of
learning materials for each possible subject; and the qualifications of teachers who
must be Muslim and have a noble character, in addition to meeting the
qualifications as teaching staff based on applicable regulations. 3) Madrasah as a
public school with a characteristic of Islam has several advantages and
disadvantages, so that cooperation between educational elements involved in it is
needed, including educational institutions, communities, and the government for
the sake of a comprehensive vision and mission of the madrasah and to respond to
challenges and obstacles in the global world in the world of education. 4) in the
period of H.A. Mukti Ali, Minister of Religious Affairs of the Republic of
Indonesia, who offered the concept of developing alternative madrasas through
the SKB 3 ministerial policy, which tried to align the quality of madrasahs with
non-madrasahs, with a curriculum portion of 70% general and 30% religious. In
the period of Minister of Religious Affairs Munawir Sadzali offered the concept
of MAPK. And in the period of the minister of religion H. Tarmizi Taher offered
the concept of madrassa as a public school with a characteristic of Islam which is
referred to in the National Education Law of 2003.
Keywords: Madrasah as a Public School with a Characteristic of Islam

3
1.1 Latar Belakang
Pada perkembangan pendidikan yang semakin pesat diperlukan sebuah
sistem kebijakan penjaminan mutu Pendidikan Agama Islam demi kemajuan tiap-
tiap lembaga madrasah yang diinginkan agar tejadi kesinambungan dan
kesesuaian dengan visi misi lembaga pendidikan di banyak jenjang pendidikan
dan keinginan masyarakat luas.
Historisitas madrasah sejak mulai dikenal dikalangan masyarakat muslim
Indonesia telah menjadi lembaga pendidikan ini tumbuh dengan karakteristik
yang membedakan dirinya dengan sekolah. Motivasi utama pembentukan
madrasah lebih diwarnai oleh kebutuhan memenuhi kewajiban menuntut ilmu,
khususnya ilmu agamabagi generasi penerus, daripada oleh kebutuhan
menyiapkan tenaga terampil pada bidang- bidang kerja tertentu. Artinya, secara
spesifik madrasah dibangun oleh individu atau masyarakat muslim sebagai wujud
kesadaran keberagaman masyarakat muslim terhadap pentingnya pemahaman
sekaligus pelestrarian ajaran agama kepada anak- anak sebagai generasi penerus.
Satu tahun kemudian, atas usul Panitia Penyelidik Pengajaran, Menteri
Agama RI telah mengeluarkan Peraturan Menteri Agama RI No.1 Tahun 1946
tentang pemberian subsidi bantuan terhadap lembaga pendidikan Islam. Peraturan
ini juga mengatur perbaikan kurikulumnya, yaitu: sepertiga dari jumlah jam
pelajaran di lembaga pendidikan islam harus memuat mata pelajaranumum
seperti, bahasa indonesia, berhitung, sejarah, dan ilmu bumi.
Selanjutnya, berbagai upaya lain dilakukan, antara lain: Menag RI
Fathurrahman Kafrawi mencontoh kurikulum DepDikBud pada tahun 1947,
upaya Menag RI Wahid Hasyim mengintegrasikan dualisme sistem pendidikan
tahun 1949 dengan cara memasukan tujuh mata pelajaran umum di lingkungan
madrasah, Gerakan madrasah wajib belajartahun 1958, Kepres no.34/ 1972 dan
inpres No.15/ 1974 tentang tanggung jawab diklat hanya berada dibawah
Depdikbud, skb tiga menteri tahun 1975 tentang integrasi madrasah ke dalam
Sisdiknas, SKB dua menteri yang menyepakati dikembangkannya kurikulum inti
dan kurikulum khusus, UU SPN tahun 1989 yang telahmenempatkan madrasah
pada posisi yang sejajar dengan sekolah dengan ciri khas Islam yang dikenakan
pada madrasah, hingga yang terakhir sangat fenomenal adalah UU No. 20 tahun
2003 tentang Sisdiknas yang mengangkat derajat madrasah dari label kelas kedua
dalam persepsi banyak orang menjadi sama atau sederajat dengan sekolah,
minimal secara legal formalitas.
Namun pada kenyataanya, proses dan produk persentuhan pemerintah
dengan lembagamadrasah tidaklah selalu berlangsung mulus dan bukan tidak
menyisakan persoalan baru, khususnya yang berkaitan dengan persinggungan
antara cita- cita dengan idealisme masyarakat pendiri madrasah dengan tawaran-
tawaran baru model pemerintah.
Maka, dibutuhkan sebuah kebijakan  dalam melakukan studi yang
terencana dan sistematis agar tercapai tujuan yang ditujukan pada madrasah yang

4
kita bina dan tempat kita mengajar yang disesuaikan dengan perkembangan
zaman dan era globalisasi.
Dari alasan diatas pemakalah terinspirasi dan semangat demi mengungkap
masalah  Studi Kebijakan Tentang Madrasah Sebagai Sekolah Umum Yang
Berciri Khas Agama Islam demi mencapai tujuan yang diinginkan baik bagi
penulis dan kesesuaian pendidikan yang ada.

2.1 Metode Penelitian


Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan pendekatan
fenomenologis yang menggambarkan sekaligus mengkaji kondisi ril objek
penelitian berdasarkan data-data otentik yang dikumpulkan. penelitian ini
berupaya mengumpulkan data-data atau informasi secara objektif di lapangan
mengenai Analisis Kebijakan Tentang Pengembangan Pendidikan Islam Madrasah
Sebagai Sekolah Umum Yang Berciri Khas Agama Islam, dan kemudian ditelaah,
dikaji dan diolah yang bersifat deskreptif kualitatif yaitu melalui gambaran secara
kualitatif terhadap permasalahan yang diajukan. Dalam penelitian ini teknik
penentuan informan yang digunakan peneliti adalah teknik purposive sampling
sehingga akan dapat memberikan masukan secara tepat tentang Analisis
Kebijakan Tentang Pengembangan Pendidikan Islam Madrasah Sebagai Sekolah
Umum Yang Berciri Khas Agama Islam.

2.2 Pengertian Madrasah


Ungkapan Al-Munjid yang dikutip oleh Muhaimin yaitu kata Madrasah
adalah isim makan dari kata: darasa-yadrusu-darsan-wa durusan-wa dirasatan,
yang berarti terhapus, hilang bekasnya, menghapus, menjadi usang, melatih, dan
mempelajari. (Muhaimin,  2005. h. 83)
Ungkapan Muhaimin yang dikutip Fahim adalah madrasah sebagai bentuk
pendidikan islam yang tidak lepas dari hakekat pendidikan islam. (Fahim Tharaba,
2017,h. 52) Ungkapan Nunu adalah madrasah sebagai lembaga pendidikan umum.
(Nunu Ahmad An- Nahidl, dkk, 2007. h. 63) Ungkapan Mansur dan Mahfud
adalah madrasah sebagai salah satu jenis lembaga pendidikan islam yang
berkembang di Indonesia disamping masjid dan pesantren. (Mansur dan Mahfud
Junaedi, 2005. h. 98) Ungkapan Muhaimin yang lain, Madrasah berarti
merupakan tempat untuk mencerdaskan para peserta didik, menghilangkan
ketidaktahuan atau memberantas kebodohan mereka, serta melatih ketrampilan
mereka sesuai dengan bakat dan kemampuannya. (Muhaimin,  2005. h. 85)
Dari pengertian diatas dapat diartikan bahwa madrasah adalah lembaga
pendidikan Islam disamping masjid dan pesantren yang berfungsi sebagai
lembaga pendidikan umum yang tidak lepas dari hakekat pendidikan Islam.

5
2.3 Madrasah Sebagai Sekolah Umum Yang Berciri Khas Agama Islam
Meskipun madrasah memiliki posisi dan kedudukan yang sama dengan
sekolah umum, tetapi madrasah tetap mempertahankan ciri khasnya sebagai
sekolah Islam. Sebagai sekolah yang berciri khas agama Islam dituntut untuk
selalu mengadakan upaya-upaya pengembangan dengan konteks zamannya,
terutama dalam menghadapi kebijakan pembangunan Nasional di bidang
pendidikan yang menekankan pada peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia.
Upaya pengembangan tersebut harus dilakukan secara utuh, tidak parsial atau
setengah-setengah, semuanya diorientasikan untuk menciptakan manusia yang
berkualitas yang ditandai dengan kepemilikan dua kompetensi sekaligus, yaitu
kompetensi bidang Iman dan Taqwa (IMTAQ)) dan kompetensi Ilmu
Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK).
Ciri khas yang masih dipertahankan oleh madrasah adalah berbentuk (1)
mata pelajaran-mata pelajaran keagamaan yang dijabarkan dari pendidikan agama
Islam, yaitu: al-Qur’an hadits, aqidah akhlak, fiqh, Sejarah Kebudayaan Islam,
dan bahasa arab; (2) suasana keagamaannya, yang berupa suasana kehidupan
madrasah yang agamis, adanya sarana ibadah, penggunaan metode pendekatan
yang agamis dalam penyajian bahan pelajaran bagi setiap mata pelajaran yang
memungkinkan; dan kualifikasi guru yang harus beragama Islam dan berakhlak
mulia, disamping memenuhi kualifikasi sebagai tenaga pengajar berdasar
ketentuan yang berlaku.
Dengan ciri khas tersebut pendidikan madrasah dirancang dan diarahkan
untuk membantu, membimbing, melatih serta mengajar dan/ atau menciptakan
suasana agar para siswa (lulu sannya) menjadi manusia muslim yang berkualitas.
Dalam arti mampu mengembangkan pandangan hidup, sikap hidup dan
ketrampilan hidup yang perspektif Islami dan kontek keindonesiaan. Makna
pendidikan Islami sebagai aktivitas (formal dan non formal) dan sebagai
fenomena peristiwa (informal) semuanya termuat dan perlu terkondisikan di
madrasah.pemahaman manusia berkualitas dalam khazanah pemikiran Islam
sering disebut sebagai insan kamil (Zarkowi Soejoeti, 1987), yang mempunyai
sifat-sifat : manusia yang selaras : (jasmani-rohani, duniawi-ukhrawi), manusia
nazhar dan I’tibar (kritis, berijtihad, dinamis, bersikap ilmiah dan berwawasan ke
depan) serta manusia yang memakmurkan bumi.
Jika ditelaah lebih mendalam ciri khas agama Islam tersebut di atas, maka
pada ciri khas yang pertama, mengandung makna bahwa pendidikan agama Islam
di madrasah bukan hanya didekati secara keagamaan, tetapi juga didekati secara
keilmuan. Pendekatan keagamaan mengasumsikan perlunya pembinaan dan
pengembangan komitmen (pemihakan) terhadap ajaran agama Islam sebagai
pandangan hidup muslim. Sedangkan pendekatan keilmuan mengasumsikan
perlunya kajian kritis, rasional, obyektif-empirik dan universal terhadap masalah
keagamaan Islam.

6
Kedua pendekatan tersebut akan sulit tercipta di madrasah bilamana tidak
didukung oleh komitmen akademis-religius atau personal dan profesional religius
dari para pengelola dan pembinanya. Bisa jadi pendekatan keilmuan akan tertindih
oleh pendekatan keagamaan, sehingga penjabaran mata pelajaran pendidikan
agama Islam ke dalam sub-sub mata pelajaran tersebut akan kehilangan makna.
Jika demikian maka tidak ada bedanya antara pendidikan agama Islam yang
dilakukan di madrasah dengan non madrasah, atau dengan di masyarakat atau di
masjid dan mushalla, dan jika memang demikian adanya maka sebaiknya
diserahkan saja pendidikan agama itu kepada masjid-masjid atau TPA-TPQ,
majlis ta’lim di masjid, mushalla dan seterusnya. Atau sebaliknya bisa jadi
pendekatan keagaman tertindih oleh pendekatan keilmuan, sehingga pendidikan
agama Islam menjadi Islamologi yang hanya menekankan pada intelectual
exercise dan suasana religius tidak tercapai di madrasah. Dengan demikian gagal
menjadikan madrasah sebagai sekolah yang berciri khas agama Islam.
Pada ciri khas yang kedua, mengandung makna perlunya penciptaan
suasana religius di madrasah. Suasana religius bukan hanya bermakna simbolik
seperti dalam berpakaian siswanya (puteri) memakai jilbab dan siswa putera
memakai celana panjang, bila berjumpa dengan orang lain mengucapkan salam
(assalamu’alaikum) dan seterusnya, tetapi lebih jauh dari itu berupa penanaman
dan pengembangan nilai-nilai religius (keIslaman) pada setiap bidang pelajaran
yang termuat dalam program pendidikannya. Konsekuensinya diperlukan guru-
guru yang mampu mengintegrasikan wawasan imtaq dan iptek, diperlukan buku
teks yang bernuansa religius dan bermuatan pesan-pesan agamis pada setiap
bidang atau mata pelajaran yang diprogramkan.

2.4 Madrasah Dan Perbedaannya Dengan Sekolah Umum


Dalam realitas sejarahnya, madrasah tumbuh dan berkembang dari, oleh
dan untuk masyarakat Islam itu sendiri, sehingga sebenarnya sudah lebih jauh dan
dahulu menerapkan konsep pendidikan berbasis masyarakat, baik secara
organisasi maupun individu, membangun madrasah untuk memenuhi kebutuhan
mereka. (Mansur dan Mahfud Junaedi, 2005. h. 98) 
Faktor lain yang secara umum dihadapi oleh madrasah adalah masyarakat
agaknya kurang memiliki kebebasan untuk mengelola secara sendiri, karena
hampir semua hal yang berkaitan dengan pendidikan sudah ditentukan oleh
pemegang otoritas pendidikan. Dengan kata lain, penyelenggaraan pendidikan
nasional dilakukan secara birokratik sentralistik, yang menempatkan madrasah
sebagai penyelenggara pendidikan sangat tergantung pada keputusan birokrasi
yang mempunyai jalur yang sangat panjang dan kadang- kadang kebijakan yang
dikeluarkannya tidak sesuai dengan dengan kondisi madrasah setempat. Dengan
demikian, madrasah kehilangan kemandirian, motivasi, dan inisiatif untuk
mengembangkan dan memajukan lembaganya, termasuk peningkatan mutu

7
pendidikan sebagai salah satu tujuan pendidikan nasional. (Muhaimin,  2005. h.
185)
Sebagai dampak selanjutnya adalah setidak- tidaknya ada empat masalah
utama yang sedang dihadapi oleh madrasah pada umumnya, yaitu, masalah
identitas diri madrasah, sehingga program pengembangannya sering kurang jelas
dan terarah, masalah jenis pendidikan yang dipilih sebagai alternatif dasar yang
akan dikelola untuk menciptakan satu sistem pendidikan yang masih memiliki
titik tekan keagamaan tetapi ipteks tetap diberi porsi yang seimbang sebagai basis
mengantisipasi perkembangan masyarakat yang semakin global, semakin
langkanya generasi muslim yang mampu menguasai ajaran islam, baik secara
kuantitatif maupun kualitatif, apalagi menguasai totalitas agama, masalah sumber
daya internal yang ada dan pemanfaatannya bagi pengembangan madrasah sendiri
bagi masa depan. (Muhaimin,  2005. h. 86)
Keempat masalah tersebut intinya terkait dengan aspek manajerial, yakni
manajemen pengembangan madrasah yang belum banyak bertolak dari visi dan
misi serta tujuan dan sasaran yang jelas, sehingga pengelolaannya sering kurang
terarah bahkan meninggalkan identitas madrasah sendiri. Madrasah pada dasarnya
merupakan berciri khas:
1. Lembaga pendidikan berbasis masyarakat, yakni menyelenggarakan
pendidikan berdasarkan kekhasan agama Islam serta sosial, budaya, aspirasi
dan potensi masyarakat islam, sebagai perwujudan pendidikan dari, oleh dan
untuk masyarakat islam; pendidikan umum, yakni merupakan pendidikan
dasar MI, MTS dan menengah MA yang mengutamakan perluasan
pengetahuan yang diperlukan peserta didik untuk melanjutkan pendidikan ke
jenjang yang lebih tinggi dan atau untuk hidup dimasyarakat; pendidikan
keagamaan, yakni merupakan pendidikan dasar dan menengah yang
mempersiapkan peserta didik untuk dapat menjalankan peranan yang
menuntut penguasaan dan pengamalan nilai- nilai ajaran agama Islam.
2. Perbedaan karakter antara madrasah dengan sekolah umum itu dipengaruhi
oleh perbedaan tujuan antara keduanta secara historis. Tujuan pertama kalinya
didirikan madrasah di Indonesia untuk mentransmisikan nilai- nilai Islam,
selain untuk memenuhi kebutuhan modernisasia pendidikan, dan sebagai
jawaban dan respon dalam menghadapi kolonial dan kristen, disamping untuk
mencegah memudarnya semangat keagamaan karena meluasnya lembaga
pendidikan Belanda.
3. Di madrasah, mata pelajaran Agama Islam dibagi menjadi ke dalam beberapa
sub pelajaran yaitu; Qurdits, Akidah Akhlak, Fiqih, SKI, dan Bahasa Arab
sejak MI sampai MA, sehingga porsi pelajaran agama Islam lebih banyak.
Sementara pada pendidikan non madasah, mata pelajaran Pendidikan Agama
Islam digabung menjadi satu, dan porsinya dua jam per minggu. Namun
demikian pada dasarnya juga meliputi Qurdits, Aqidah, Akhlak, Fiqih, dan
SKI.

8
4. Di madrasah, para peserta didik putri memakai jilbab dan peserta didik putra
memakai celana panjang, sedangkan pada sekolah non madrasah para peserta
didik putri memakai rok dan peserta didik putra memakai celana pendek untuk
tingkat SLTP, sedangkan pada tingkat SMA peserta didik laki- laki memakai
celana panjang dan peserta didik putri boleh memakai rok dan boleh memakai
jilbab.
5. Bila peseta didik berjumpa peserta didik lain atau guru, kepala sekolah atau
tenaga kependidikan yang lainnya, maka mengucapkan salam. Sedangkan
disekolah non madrasah bisa bermacam- macam, ada selamat pagi, selamat
siang, selamat sore, dan ada pula yang saling mengucapkan salam. Di
madrasah, kegiatan belajar mengajar didahului dengan ucapan salam dari guru
atau mungkin di tambah dengan doa berbahasa arab, demikian juga pada akhir
kegiatan belajar mengajar.
6. Inti dari madrasah sebagai wahana untuk membina ruh atau praktik hidup
keislaman ialah bahwa madrasah perlu dirancang dan diarahkan untuk
membantu, membimbing, melatih serta mengajar atau menciptakan suasana
agar peserta didik mampu mengembangkan pandangan hidup, sikap hidup,
dan ketrampilan hidup yang berperspektif Makna pendidikan dimadrasah
sebagai aktivitas formal dan non formal dan sebagai fenomena atau perstiwa
yang semuanya termuat dan perlu dikondisikan di madrasah. Pemahaman
manusia dalam khazanah keislaman disebut insan kamil, yang mempunyai
sifat- sifat manusia yang selaras, manusia moralis, manusia nazhar dan i’tibar,
serta manusia yang memakmurkan bumi. (Muhaimin,  2005. h. 187)
Pengembangan pendidikan madrasah tidak dapat ditangani secara parsial
atau setengah-setengah, tetapi memerlukan pemikiran pengembangan yang utuh,
terutama ketika dihadapkan pada kebijakan pembangunan nasional bidang
pendidikan yang mempunyai visi terwujudnya sistem pendidikan sebagai pranata
sosial yang kuat dan berwibawa untuk memberdayakan semua warga negara
indonesia berkembang menjadi manusia yang berkualitas, sehingga mampu dan
proaktif menjawab tantangan zaman yang selalu berubah. Menurut Wardiman
Joyonegoro, manusia yang berkualitas itu setidak- tidaknya mempunyai dua
kompetensi, yatu kompetensi imtaq dan kompetensi ipteks. (Nur Uhbiyati.,  1998,
h. 78)
Dari penyataan diatas dapat dipahami bahwa madrasah sebagai sekolah
umum yang berciri khas Agama Islam mempunyai beberapa kelebihan dan
kekurangan, sehingga dibutuhkan kerjasama antar elemen pendidikann yang
terlibat di dalamnya meliputi, lembaga pendidikan, masyarakat, dan pemerintah
demi sebuah keberhasian visi dan misi madrasah serta untuk merespon tantangan
dan hambatan dalam dunia global pada dunia pendidikan.

9
2.5 Kebijakan-Kebijakan Pemerintah Terhadap Madrasah
Munculnya kebijakan tentang desentralisasi pendidikan, sebagai implikasi
dari pembelakuan Undang- Undang Replubik Indonesia Nomor 22 Tahun 1999
tentang pemerintah Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000
tentang Kewengan Pemerintah dan Kewengangan Provinsi sebagai Daerah
Otonom, sebenarnya merupakan angin segar bagi kehidupan madrasah, karena
kebijakan tersebut berarti mengembalikan madrasah kepada habitatnya.
Pergeseran pola sentralisasi ke desentralisasi dalam pengelolaan pendidikan ini
merupakan upaya pemberdayaan madrasah dalam peningkatan mutu pendidikan
secara berkelanjutan, terarah, dan menyeluruh. Karena itu Departemen Agama
perlu membuat kebijakan yang jelas mengenai status madrasah dalam konteks
otonomi daerah. (Nunu Ahmad An- Nahidl, dkk, 2007. h. 73)
Kenyataan sejarah menunjukkan bahwa pada periode H.A. Mukti Ali
Menteri Agama RI, yang menawarkan konsep pengembangan alternatif madrasah
melalui kebijakan SKB 3 menteri, yang berusaha menyejajarkan kualitas
madrasah dengan non madrasah, dengan porsi kurikulum 70% umum dan 30 %
agama. Hakikatnya adalah untuk meningkatkan mutu pendidikan di Madrasah.
Hasil dari peningkatan ijazah madrasah sama dengan ijazah sekolah umum
seperti  tertera dalam BAB II pasal 2 SKB menteri seperti berikut;
1. Ijazah madrasah mempunyai nilai yang sama dengan ijazah sekolah umum
yang setingkat.
2. Lulusan madrasah dapat melanjutkan ke sekolah umum setingkat atas.
3. Siswa madasah dapat berpindah ke sekolah umum yang setingkat. (Mansur
dan Mahfud Junaedi, 2005. h. 56)
Pada periode Menteri Agama Munawir Sadzali menawarkan konsep
MAPK. Dan pada periode menteri agama H. Tarmizi Taher menawarkan konsep
madrasah sebagai sekolah umum yang berciri khas Agama Islam. (Fahim
Tharaba, 2017,h. 58) Lebih lanjut, berikut ini posisi pendidikan Agama Islam
dalam Undang- Undang Sisdiknas Tahun 2003:
1. Pasal 1 ayat 1, pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk
mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik
secara aktif mnegembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan
spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak
mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan
negara.
2. Pasal 1 ayat 2, pendidikan nasional adalah pendidikn yang berdasarkan
Pancasila dan UUD 1945 yang berakar pada nilai-nilia agama, kebudayaan
nasional dan tanggap terhadap tuntutan zaman. Dalam hal ini agama sebagai
tujuan pendidikandan sumber nilai dalam proses pendidikan nasional.
3. Pasal 4 ayat 1, pendidikan di selenggarakan secara demokratis dan berkeadilan
serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai
keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa.

10
4. Pasal 12 ayat 1 bagian a, setiap peserta didik pada setip satuan pendidikan
berhak mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya
dan diajarkan oleh pendidik seagama.
5. Pasal 15, jenis pendidikan mencakup pendidikan umum, kejuruan, akademik,
profesi, vokasi, keagamaan dan khusus.
6. Pasal 17 ayat 2, pendidikan dasar berbentuk Sekolah Dasar/ SD dan Madrasah
Ibtidaiyah/ MI atau bentuk lain yang sederajat serta Sekolah Menengah
Pertama/ SMP dan Madrasah Tsanawiyah/ MTs, atau bentuk lain yang
sederajat.
7. Pasal 18 ayat 3, Pendidikan menengah berbentuk Sekolah Menengah Atas /
SMA, Madrasah Aliyah/ MA, Sekolah Menengah Kejuruan/ SMK, dan
Madrasah Aliyah Kejuruan/ MAK, atau bentuk lain yang sederajat.
8. Pasal 28 ayat 3, pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan formal
berbentuk Taman Kanak- Kanak/ TK, Raudlatul Athfal/ RA, atau bentuk lain
yang sederajat.
9. Pasal 30 tentang pendidikan keagamaan:
a. Pendidikan keagamaan diselenggarakan oleh pemerintah dan atau
kelompok masyarakat dari pemeluk agama, sesuai dengan peraturan
perundang- undangan.
b. Pendidikan keagamaan berfungsi mempersiapkan peserta didik menjadi
anggota masyarakat yang memaahami dan mengamalkannilai- nilai ajaran
agamanya dan atau menjadi ahli ilmu agama.
c. Pendidikan keagamaan dapat diselenggarakan pada jalur pendidikan
formal, non formal, dan informal.
d. Pendidikan keagamaan berebntuk pendidikan diniyah, pesantren,
pasraman, pabhaja samanera, dan bentuk lain yangsejenisnya.
Dalam hal ini, pendidikan agama merupakan tanggung jawab bersama
antara masyarakat dan pemerintah.
10. Pasal 36 ayat 3, kurikulum disusun sesuai dengan pendidikan dalam kerangka
NKRI dengan memperhatikan: peningkatan iman dan taqwa, peningkatan
akhlak dan seterusnya.
11. Pasal 55 ayat 1, mengenai pendidikan berbasis masyarakat, masyarakat berhak
menyelenggarakan pendidikan berbasis masyarakat pada pendidikan formal
dan non formal sesuai dengan kekhasan agama, lingkungan sosial, dan budaya
untuk kepentingan masyarakat terdapat dalam himpunan perundang- undngan
RI tentang sistem pendidikan nasional, 2005. (Fahim Tharaba, 2017,h. 64)
Jika menelaah struktur kurikulum madrasah yang didalamnya memuat
mata pelajaran Pendidikan Agama Islam yang dibagi menjadi ke dalam sub- sub
mata pelajaran yang lebih terperinci, maka dapat dipahami bahwa pendidikan
agama islam di madrasah bukan hanya didekati secara keagamaan, tetapi juga
didekati secara keilmuan. Dalam arti, bagaimana menyiapkan lulusan madrasah
agar mampu menjadikan ajaran dan nilai- nilai agama islam sebagai landasan

11
pandangan hidup dan perilaku hidupnya, sekaligus sebagai landasan bagi
pengembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni. (Mansur,  2007, h. 56)
Pendekatan Keagamaan mengasumsikan perlunya pembinaan dan
pengembangan komitmen terhadap ajaran agama Islam sebagai pandangan hidup
muslim. Sedangkan pendekatan keilmuan mengasumsikan perlunya kajian kritis,
rasional, objektif empirik, dan universal terhadap masalah keagamaanislam.
Adanya problem diatas menuntut perlunya penyiapan guru- guru madrasah yang
berwawasan akademis dan sekaligus memiliki komitmen keislaman yang tinggi,
agar mereka mampu menangkap makna substansial dari eksistensi madrasah.
(Nunu Ahmad An- Nahidl, dkk, 2007. h. 82)
Sebagai konsekuensinya, rekruitmen tenaga kependidikan di madrasah
harus dibedakan dengan calon guru non madrasah. Disinilah salah satu tantangan
sekolah tinggi agama Islam baik negeri maupun swasta di masa mendatang, dalam
arti memiliki tanggung jawab yang besar untuk menyiapkan calon- calon guru
tersebut yang memiliki komitmen akademis religius serta personal dan profesional
religius. (Fahim Tharaba, 2017,h. 84)
Sebagaimana diketahui, bahwa salah satu prioritas pembangunan
pendidikan nasional dengan kaitannya dengan pengembangan kualitas sumber
daya manusia ialah menyangkut peningkatan mutu setiap jenis dan jenjang
pendidikan. Dalam rangka peningkatan mutu tersebut ada tiga faktor utama yang
menjadi titik perhatian, yaitu: kecukupan sumber-sumber pendididkan untuk
mendukung  proses pendidikan, mutu proses pendidikan, mutu output dari proses
pendidikan. Hunsi Rahim, 2000, h. 17)
Dalam konteks pendidikan dimadrasah, maka faktor mutu guru dan tenaga
kependidikan lainnya tersebut perlu disiapkan secara matang terutama dari segi
wawasan akademis religiusnya, agar makna substansial madrasah sebagai wahana
untuk membina ruh atau praktik hidup keislaman dapat tertangkap dengan baik.
Demikian pada masalah buku- buku teks perlu ada rekontruksi dan reformulasi
model buku- buku teks yang relevan untuk kebutuhan madrasah dengan tetap
menjaga mutu yang sesuai dengan standar nasional maupun internasional. Mutu
proses pendidikan juga perlu didukung oleh tenaga guru dan tenaga kependidikan
lainnya yang relevan dengan kebutuhan madrasah, sehingga mutu output yang
bernuansa religius dapat tercapai, yang berbeda dengan output non madrasah.
(Mansur dan Mahfud Junaedi, 2005. h. 120)
Dari kebijakan- kebijakan yang diambil oleh pemerintah selama ini untuk
madrasah diatas demi sebuah langkah nyata dari pemerintah demi menjadi payung
hukum untuk kemajuan dan keluasan lembaga pendidikan yang bernama
madrasah agar sejajar dengan sekolah umum dan agar dapat bersaing dengan sehat
dalam kancah dunia pendidikan.

12
3.1 Kesimpulan
Berdasarkan kajian dan pembahasan di atas dapat ditarik kesimpulan yaitu:
1. Madrasah adalah lembaga pendidikan Islam disamping masjid dan pesantren
yang berfungsi sebagai lembaga pendidikan umum yang tidak lepas dari
hakekat pendidikan Islam.
2. Ciri khas yang masih dipertahankan oleh madrasah adalah berbentuk (1) mata
pelajaran-mata pelajaran keagamaan yang dijabarkan dari pendidikan agama
Islam, yaitu: al-Qur’an hadits, aqidah akhlak, fiqh, Sejarah Kebudayaan Islam,
dan bahasa arab; (2) suasana keagamaannya, yang berupa suasana kehidupan
madrasah yang agamis, adanya sarana ibadah, penggunaan metode pendekatan
yang agamis dalam penyajian bahan pelajaran bagi setiap mata pelajaran yang
memungkinkan; dan kualifikasi guru yang harus beragama Islam dan
berakhlak mulia, disamping memenuhi kualifikasi sebagai tenaga pengajar
berdasar ketentuan yang berlaku.
3. Madrasah sebagai sekolah umum yang berciri khas Agama Islam mempunyai
beberapa kelebihan dan kekurangan, sehingga dibutuhkan kerjasama antar
elemen pendidikann yang terlibat di dalamnya meliputi, lembaga pendidikan,
masyarakat, dan pemerintah demi sebuah keberhasian visi dan misi madrasah
serta untuk merespon tantangan dan hambatan dalam dunia global pada dunia
pendidikan.
4. pada periode H.A. Mukti Ali Menteri Agama RI, yang menawarkan konsep
pengembangan alternatif madrasah melalui kebijakan SKB 3 menteri, yang
berusaha menyejajarkan kualitas madrasah dengan non madrasah, dengan
porsi kurikulum 70% umum dan 30 % agama. Pada periode Menteri Agama
Munawir Sadzali menawarkan konsep MAPK. Dan pada periode menteri
agama H. Tarmizi Taher menawarkan konsep madrasah sebagai sekolah
umum yang berciri khas Agama Islam yang tetuang dalam Undang- Undang
Sisdiknas Tahun 2003.

DAFTAR PUSTAKA

Asmaun Sahlan, Mewujudkan Budaya Religius di Sekolah Malang: UIN-MALIKI


Press, 2010.
Cahya Suryana, Mutu dan keunggulan pendidikan,
dalam http://csuryana.wordpress.com 9 Oktober 2021.
Fahim Tharaba, M, Sejarah Sosial Pendidikan Islam” Kajian Historis, Analitis,
Aplikatif, Transformatif dan Inovatif ” , Malang : Dream Litera, 2017.
Fuad Fachruddin dari Headlye Beare, dkk., Creating An Exellence
School. London: Routtledge, 1991.
Halfian Lubis, Pertumbuhan SMA Islam Unggulan di Indonesia Badan Litbang
dan Diklat Departemen Agama Republik Indonesia.
Mansur dan Mahfud Junaedi, Rekonstruksi Sejarah Pendidikan Islam Di
Indonesia, Jakarta:  Departemen Agama Direktorat Jenderal Kelembagaan
Agama Islam, 2005.

13
Mansur dan Mahfud Junaedi, Rekonstruksi Sejarah Pendidikan Islam Di
Indonesia, Jakarta:  Departemen Agama Direktorat Jenderal Kelembagaan
Agama Islam, 2005.
Mansur, Pendidikan Anak Usia Dini dalam Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2007.
Mansur, Pendidikan Anak Usia Dini dalam Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2007.
Muhaimin, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam di Sekolah,
Madrasah, dan Perguruan Tinggi, Jakarta : Raja Grafindo Persada, Cet. I,
2005.
Muhammad, “Konsep Pengembangan Madrasah Unggul”, Kreatif, Vol. 4, No. 1
Mujamil Qomar, Manajemen Pendidikan Islam Surabaya: Erlangga, 2007..
Nunu Ahmad An- Nahidl, dkk, Posisi Madrasah dalam Pandangan Masyarakat,
Jakarta: Gaung Persada Press, 2007.
Nur Ahid, Problematika Madrasah Aliyah di Indonesia Kediri: STAIN Kediri
Press, 2009.
Nur Uhbiyati., Ilmu Pendidikan Islam, Bandung: CV. Pustaka Setia.,1998.
Peter Salim dan Yenny Salim, Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer Jakarta:
Modern English Press, 1991.
Petrus Trimantara, “Sekolah Unggulan: Antara Kenyataan dan Impian” Jurnal
Pendidikan Penabur,  Vol. 6, No.08 (Juni 2007.
Rahim, Hunsi. Arah Baru Pendidikan Islam Di Indonesia.Jakarta: PT Logos
Wacana Ilmu, 2000
UU No.20 Tahun 2003 Tentang SIKDIKNAS

14

Anda mungkin juga menyukai