Anda di halaman 1dari 40

LAPORAN PENDAHULUAN KLIEN DENGAN

TUMOR OTAK

STASE KEPERAWATAN BEDAH

Oleh :
Bagus Zulfana Aditya Arveo, S.Kep.
NIM 2201031035

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS JEMBER
2022
1. KONSEP DASAR PENYAKIT

1.1 Review Anatomi dan Fisiologi


Menurut Chalik (2016), otak adalah organ yang sangat kompleks yang
mengandung sekitar 100 miliar neuron serta prosesus neuronal dan sinapsis yang
tidak terhitung jumlahnya. Otak terdiri dari empat komponen utama, yaitu otak
besar (serebrum), otak kecil (serebelum), diensefalon, dan batang otak
(brainstem). Otak manusia mencapai 2% dari keseluruhan berat tubuh,
mengkonsumsi 25% oksigen, dan menerima 1,5% curah jantung. Bagian-bagian
otak beserta fungsinya, dapat dilihat pada Tabel 1.1.

Gambar 1.1 Bagian-bagian Utama Otak Manusia (Sumber: Chalik, 2016)

Tabel 1.1 Bagian-bagian otak dan fungsinya

Bagian Fungsi
Batang otak (brainstem) Menghubungkan sumsum tulang belakang ke otak
besar; terdiri dari medula oblongata, pons, dan otak
tengah, dengan formasi retikular yang tersebar di
ketiga daerah tersebut; memiliki banyak fungsi
penting, seperti menerima input sensorik, mengawali
output motorik, dan mengontrol proses kelangsungan
hidup (misalnya, respirasi, sirkulasi, pencernaan);
merupakan lokasi inti saraf kranial.
Medula oblongata Jalur untuk traktus saraf asending dan desending;
pusat untuk beberapa refleks penting (misalnya,
denyut jantung dan kekuatan kontraksi, diameter
pembuluh darah, pernapasan, menelan, muntah,
batuk, bersin, dan cegukan).
Pons Mengandung traktur saraf asending dan desending;
menyampaikan informasi dari otak besar (serebrum)
dan otak kecil (serebelum); pusat refleks; membantu
medula mengontrol pernapasan.
Otak tengah (midbrain) Mengandung traktur saraf asending dan desending;
mengrimkan impuls saraf sensorik dari sumsum
tulang belakang ke talamus dan impuls saraf motorik
dari otak ke sumsum tulang belakang; mengandung
pusat refleks yang menggerakkan bola mata, kepala,
dan leher dalam menanggapi rangsangan visual dan
pendengaran.
Formasi retikuler Tersebar di seluruh batang otak; mengontrol banyak
aktivitas batang otak, termasuk kontrol motorik,
persepsi nyeri, kontraksi ritme, dan siklus tidur-
bangun; mempertahankan kewaspadaan kortikal otak
(sistem pengaktivasi retikuler / reticular activating
system); koordinasi makan dan bernapas.
Otak kecil (serebelum) Mengontrol gerakan otot dan tonus; mengatur
keseimbangan dan postur yang tepat; mengatur
tingkat gerakan yang disengaja; terlibat dalam
keterampilan pembelajaran motorik; berkontribusi
terhadap perencanaan dan pemrograman..
Diensefalon Menghubungkan batang otak ke otak besar; memiliki
banyak fungsi pengiriman impuls dan homeostasis,
seperti yang tercantum di bawah setiap subdivisi.
Talamus Pusat pengiriman impuls sensorik utama; menerima
dan menyampaikan impuls saraf sensorik (kecuali
bau) ke otak dan impuls saraf motorik ke pusat otak
yang lebih rendah.
Hipotalamus Mempengaruhi mood dan gerakan; memberikan
kesadaran penuh terhadap nyeri, sentuhan, tekanan,
dan suhu; pusat integrasi utama dari sistem saraf
otonom; mengatur suhu tubuh (termoregulator),
asupan makanan, keseimbangan air dan mineral,
denyut jantung dan tekanan darah rasa haus, lapar,
pengeluaran urin, dan respon seksual; mempengaruhi
perilaku dan emosi; terlibat dalam siklus tidur
bangun dan emosi kemarahan dan ketakutan;
mengatur fungsi dari kelenjar hipofisis.
Epitalamus Mengandung inti yang merespon terhadap stimulasi
penciuman dan mengandung kelenjar pineal yang
memproduksi hormon melatonin.
Otak besar (serebrum) Mengontrol persepsi sadar, pikiran, dan aktivitas
motorik sadar; bisa mengabaikan kebanyakan sistem
lainnya.
Inti basal Mengontrol aktivitas otot dan postur; umumnya
menghambat gerakan yang tidak disengaja saat
istirahat.
Sistem limbik Respon otonom terhadap bau, motivasi, emosi,
mood, memori, dan fungsi lainnya.
Sumber: Chalik (2016)

Sistem limbik meliputi amigdala, hipokampus, dan girus singulata. Secara


anatomi, sitem limbik adalah bagian dari substansi abu-abu dari serebrum.
Talamus ditunjukkan untuk tujuan orientasi dan bukan bagian dari sistem limbik
(Chalik, 2016).
Menurut Chalik (2016), kedua belah otak besar (serebrum) terdiri dari
empat lobus, yaitu lobus frontal, lobus parietal, lobus oksipital, dan dan lobus
temporal. Setiap lobus adalah khusus untuk kegiatan yang berbeda. Lobus frontal

berfungsi untuk gerakan sadar (volunter) otot rangka, kemampuan berbicara, serta
kemampuan intelektual, kepribadian, penilaian, dan perilaku yang lebih tinggi.
Lobus parietal berfungsi untuk pemrosesan dan integrasi informasi somatosensori,
memahami bahasa lisan dan tertulis, serta merumuskan pola berbicara logis
(menulis) untuk mengekspresikan pikiran dan emosi.

1.2 Definisi
Tumor (juga disebut neoplasma atau lesi) adalah jaringan abnormal yang
tumbuh dengan pembelahan sel yang tidak terkendali (The Iowa Clinic, 2013).
Menurut Brain and Spine (2018), tumor otak adalah pertumbuhan abnormal sel-
sel di otak. Istilah “tumor otak” merujuk pada berbagai grup neoplasma yang
berasal dari jaringan intrakranial, termasuk meningen (contoh: meningioma)
dengan berbagai derajat keganasan, dimulai dari yang jinak hingga ganas atau
agresif (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia / Kemenkes RI, 2019).
Menurut Smart Patient (2018), tumor otak adalah pertumbuhan sel abnormal di
dalam otak yang dapat bersifat ganas atau jinak. Tumor jinak dapat tumbuh relatif
lambat dan tidak menyebar ke bagian tubuh lain. Sedangkan, tumor ganas adalah
kanker yang tumbuh relatif cepat dan dapat menyerang atau menekan jaringan di
sekitarnya, mempengaruhi fungsi otak, dan dapat mengancam nyawa.
Menurut The Iowa Clinic (2013), tumor otak dinamai berdasarkan jenis sel
tempat mereka tumbuh, dapat berupa primer (dimulai di otak) atau sekunder
(menyebar ke otak dari area lain). Jika ada sel otak yang tumbuh dan berkembang
biak secara tidak normal menyebabkan tumor otak, maka disebut tumor primer.
Jika ada sel-sel abnormal dari tumor kanker di bagian lain dari tubuh lalu
menyebar ke otak, maka disebut tumor sekunder atau metastasis (Brain and Spine,
2018).

1.3 Epidemiologi
Tumor otak jarang terjadi di Hong Kong. Statistik dari The Hong Kong
Neurosurgical Society menunjukkan bahwa ada sekitar 1.000 kasus baru tumor
otak pada tahun 2009, di mana 70 di antaranya adalah glioma ganas dan 200 di antaranya
adalah tumor otak sekunder. Namun, tumor otak primer lebih sering terjadi pada orang
berusia 0 – 19 tahun di Hong Kong, di mana menempati urutan kelima pada pria dan
keempat pada wanita (Smart Patient, 2018).
The American Brain Tumor Association memperkirakan bahwa sekitar
40.900 orang di Amerika Serikat didiagnosis dengan tumor otak primer pada
tahun 2013. Tumor otak metastatik (sekunder) lebih sering terjadi daripada tumor
otak primer dengan perbandingan 10 banding 1, dan terjadi pada 20 – 40% pasien
kanker. Jumlah pasti dari metastasis otak tidak diketahui, tetapi diperkirakan
bahwa 98.000 – 170.000 kasus baru didiagnosis di Amerika Serikat setiap
tahunnya. Sekitar 12.690 orang di Amerika Serikat meninggal karena tumor otak
setiap tahunnya. Meskipun dapat terjadi pada semua usia, tumor otak paling
sering terjadi pada anak-anak berusia 3 – 12 tahun dan pada orang dewasa berusia
40 – 70 tahun (The Iowa Clinic, 2013).
The Charity Brain Tumour Research memperkirakan bahwa, secara total,
16.000 orang didiagnosis dengan beberapa jenis tumor otak setiap tahun di
Inggris, meskipun mungkin lebih dari ini. Diperkirakan juga ada lebih dari 60.000
orang yang hidup dengan tumor otak di Inggris. Tumor otak primer dapat
mempengaruhi orang-orang dari segala usia. Namun, lebih sering terjadi pada
orang berusia antara 50 – 70 tahun, tetapi juga merupakan kanker paling umum
(setelah leukemia) yang menyerang anak-anak. Selain itu, jumlah orang yang
didiagnosis dengan tumor sekunder (metastasis) meningkat (Brain and Spine,
2018).

1.4 Etiologi dan Faktor Risiko


Menurut The Iowa Clinic (2013), ilmu kedokteran tidak tahu apa yang
menyebabkan tumor otak atau bagaimana mencegah tumor primer yang dimulai di
otak. Namun, orang yang paling berisiko terkena tumor otak, adalah mereka yang
memiliki kanker di tempat lain di tubuh; paparan pestisida, pelarut industri, dan
bahan kimia lainnya dalam waktu lama; serta penyakit bawaan, seperti
neurofibromatosis. Dalam Brain and Spine (2018) juga dijelaskan bahwa
penyebab tumor otak primer belum diketahui secara pasti, dan penyebab kenapa
ada ganas dan tidak ganas juga tidak diketahui. Namun, beberapa faktor risiko
yang mungkin menjadi penyebabnya, adalah radioterapi kanker dan leukimia pada
masa kanak-kanak bisa mengembangkan tumor otak pada masa dewasa, meskipun
faktor risikonya rendah. Selain itu, terdapat beberapa jenis tumor otak yang terjadi
setelah cedera kepala, meskipun hubungannya sangat kecil antara cedera kepala
dengan meningioma (tumor yang tumbuh pada lapisan membran yang
mengelilingi otak). Sedangkan, tumor otak sekunder selalu disebabkan oleh tumor
ganas di bagian lain dari tubuh.
Smart Patient (2018) juga menjelaskan bahwa penyebab pasti dari tumor
otak masih belum diketahui saat ini. Namun, ada sejumlah faktor yang bisa
meningkatkan risiko terkena tumor otak, yaitu:
1. Usia: Tumor otak bisa terjadi pada usia berapa pun, tapi lebih sering terjadi
pada orang berusia di atas 40 tahun. Beberapa jenis tumor otak, seperti
medulloblastomas, terjadi hampir secara eksklusif pada anak-anak.
2. Jenis kelamin: Tumor otak lebih sering terjadi pada pria daripada wanita.
3. Riwayat kesehatan keluarga: Orang dengan anggota keluarga yang memiliki
glioma lebih mungkin untuk mengembangkan penyakit ini.
4. Paparan radiasi atau bahan kimia tertentu di tempat kerja, seperti
formaldehid, vinil klorida, dan akrilonitril.

Brain and Spine (2018) berpendapat bahwa penggunaan ponsel merupakan


salah satu faktor risiko yang dapat mengembangkan tumor otak. Meskipun sampai
saat ini, bukti ilmiah menunjukkan bahwa ini bukan masalahnya. Namun, karena
meluasnya penggunaan ponsel masih relatif baru, belum ada penelitian ekstensif
tentang kemungkinan risiko kesehatan. Studi tentang penggunaan ponsel telah
dimulai tetapi mungkin perlu bertahun-tahun sebelum kemungkinan kaitan dengan
tumor otak ditetapkan.

1.5 Klasifikasi
Menurut Kemenkes RI (2019), berdasarkan asal jaringannya, tumor otak
dibagi ke dalam dua kelompok besar, yaitu tumor otak primer dan tumor otak
sekunder atau metastasis.
1. Tumor otak primer
Tumor otak primer adalah pertumbuhan abnormal yang dimulai di
otak dan biasanya tidak menyebar ke bagian tubuh lainnya. Tumor otak
primer dapat bersifat jinak atau ganas. Tumor otak jinak tumbuh dengan
lambat, memiliki batas yang jelas, dan jarang menyebar. Meski sel-selnya
tidak ganas, tumor yang terdiri dari sel-sel jinak dan terletak di area vital
bisa dianggap mengancam jiwa. Sedangkan, tumor otak ganas tumbuh
dengan cepat, memiliki batas yang tidak teratur, dan menyebar ke area otak
terdekat. Meskipun kadang-kadang disebut kanker otak, tumor otak ganas
tidak sesuai dengan definisi kanker karena tidak menyebar ke organ di luar
otak dan sumsum tulang belakang (The Iowa Clinic, 2013). Tumor otak
primer berasal dari berbagai jaringan intrakranial, termasuk neuron, sel glia,
astrosit, dan meningen (Kemenkes RI, 2019).
Menurut Kemenkes RI (2015); Kemenkes RI (2017); Kemenkes RI
(2019), tumor otak primer diklasifikasikan sebagai berikut:
a. Meningioma: Meningioma atau kranial meningioma merupakan tumor
primer jinak yang paling sering ditemui, ekstra aksial, dan berasal dari
sel araknoid yang menempel pada duramater. Tumor ini berasal dari
arachnoid cap cells durameter dan umumnya tumbuh dengan lambat.
b. Schwannoma: Schwannoma disebut juga dengan neurilemoma
akustik, neurinoma akustik, atau schwannoma vestibular. Neuroma
akustik atau Acoustic Neuroma (AN) adalah tumor saraf
vestibulokohlearis (N VIII) yang berasal dari kompleks nervus
vestibulokohlearis di meatus akustikus internus atau selubung saraf
sel Schwann. Tumori ini biasanya termasuk tumor jinak dan tumbuh
dengan lambat, tapi dapat menimbulkan gejala efek desak ruang dan
tekanan pada struktur lokal yang akhirnya mengancam kehidupan.

c. Tumor hipofisis: Tumor hipofisis atau adenoma hipofisis merupakan


tumor jinak dengan pertumbuhan yang lambat, yang berasal dari sel
kelenjar hipofisis. Tumor ini biasanya jinak dan dapat disembuhkan.
Penyebab tumor hipofisis belum diketahui sepenuhnya. Sebagian
besar diduga merupakan hasil dari perubahan pada DNA dari satu sel
yang menyebabkan pertumbuhan sel tidak terkendali.
d. Meduloblastoma: Meduloblastoma merupakan tumor yang berasal
dari jaringan neuroepiteal atau sel embrional, dan merupakan tumor
solid ganas pediatrik yang paling sering ditemukan. Tumor ini muncul
dari vermis serebellum di daerah apex dinding ventrikel IV
(fastigium).
e. Astrositoma: Astrositoma adalah tumor otak yang berasal dari sel
dalam otak yang bernama astrosit dan merupakan tumor tersering di
antara jenis glioma otak. Tumor ini tidak tumbuh pada jaringan di luar
otak, medula spinalis, ataupun metastasis dari organ lainnya.
f. Kraniofaringioma: Kraniofaringioma adalah tumor otak jarang yang
berasal dari malformasi embrionik kantung Rathke pada regio sella
dan parasella. Secara khas, kraniofaringioma berasal dari aksis
infundibulo-hipofisis pada regio sella dan suprasella yang dapat
meluas ke struktur sekitar.
g. Ependimoma: Ependimoma intrakranial merupakan tumor yang jarang
terjadi pada orang dewasa, sekitar 4% dari semua jenis neoplasma
intrakranial, dan tidak ada perbedaan antara pria dan wanita,
puncaknya terjadi pada umur 35-45 tahun. Ependimoma supratentorial
merupakan lesi yang paling banyak terjadi pada orang dewasa,
sedangkan lesi infratentorial lebih sering terjadi pada anak.
Penyebarannya melalui aliran Cerebral Spinal Fluid (CSF) dan lebih
banyak dijumpai pada anak dibandingkan pada orang dewasa. Tumor
ependimoma merupakan bagian dari sel neuroektodermal dan
berkembang menjadi sel ependimal yang melingkupi pleksus
koroideus dan white matter yang melingkupi ventrikel terutama pada
ventrikel lateral dan foramen Luscha, serta kanalis sentralis pada medula
spinalis.
h. Primary Central Nervous System Lymphoma (PCNSL): Limfoma
susunan saraf pusat primer atau PCNSL merupakan bentuk ekstra
nodal dari Limfoma Non Hodgkin (LNH) yang dapat timbul pada
jaringan otak, mata, selaput otak, maupun medula spinalis tanpa
adanya limfoma sistemik lainnya. PCNSL dapat terjadi pada penderita
dengan penekanan sistem imunitas atau imunosupresi (HIV/AIDS,
pasien transplantasi organ atau pasien yang mendapat obat-obat
penekan sistem imunitas), maupun pada penderita tanpa gangguan
pada sistem imunitasnya atau imunokompeten.
i. Tumor pineal: Tumor pineal adalah tumor yang ditemukan di daerah
pineal. Tumor pineal dapat berupa tumor primer yang berasal dari
germ cell dan sel pineal.
2. Tumor otak sekunder
Tumor otak sekunder merupakan metastasis dari tumor primer di tempat
lain, biasanya berasal dari tumor primer ganas solid, seperti kanker paru,
payudara, melanoma dan ginjal, maupun keganasan hematologi, seperti limfoma
dan leukemia. Metastasis ini dapat menyerang parenkim otak, leptomeningen,
maupun duramater (Kemenkes RI, 2019). Tumor otak metastatik (sekunder)
dimulai sebagai kanker di tempat lain di tubuh dan menyebar ke otak, yang
terbentuk ketika sel-sel kanker dibawa dalam aliran darah ke otak. Kanker yang
paling umum menyebar ke otak adalah kanker paru-paru dan payudara (The Iowa
Clinic, 2013).
1.6 Patofisiologi
Menurut Evani (2021), patofisiologi tumor otak dimulai dari instabilitas
genetik sel. Setelah itu, terjadi angiogenesis, metastasis, dan akhirnya dapat
menimbulkan edema otak dan peningkatan intrakranial.

1. Instabilitas genetik sel


Perubahan yang terjadi adalah aktivasi gen yang berperan dalam proliferasi
sel dan terganggunya fungsi gen yang mengendalikan stabilitas genetik.
Akibatnya, sel tersebut melakukan pembelahan yang tidak terkendali dan
menghasilkan mutasi. Perubahan genetik yang dapat ditemukan pada tumor otak
berupa mutasi, delesi, overekspresi, dan translokasi. Perubahan epigenetik
meliputi metilasi DNA pada regio promoter gen supresor tumor yang
menyebabkan inaktivasi gen-gen tersebut dan kegagalan supresi tumor.
Kebanyakan kanker tumbuh dari sel tunggal. Namun, karena karakteristik
pertumbuhan, tumor tersebut dapat menjadi heterogen. Instabilitas genetik dan
epigenetik tersebut menyebabkan sel berproliferasi tidak terkendali dan
membentuk suatu massa tumor.
2. Angiogenesis
Tumor tidak dapat bertumbuh > 2 mm bila tidak memiliki suplai vaskular
sendiri. Angiogenesis adalah proses pembentukan vaskular baru yang berfungsi
menunjang pertumbuhan tumor. Salah satu agen yang mencetuskan angiogenesis
adalah Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF).
3. Metastasis
Metastasis sebuah kanker primer, misalnya kanker payudara atau kanker
paru, didahului oleh masuknya sel kanker ke dalam vaskular atau saluran limfe.
Hanya sekitar 0,01% sel kanker yang dapat mencapai sirkulasi darah dan
melakukan metastasis. Sel kanker masuk ke jantung sisi kanan melalui sirkulasi
vena. Sel kanker tersebut diteruskan melalui arteri pulmonalis ke kapiler paru. Di
paru, sel-sel tersebut dapat bermetastasis atau kembali lagi ke sisi kiri jantung dan
masuk ke sirkulasi arteri untuk mencapai sirkulasi otak. Tumor pada awalnya
akan dorman dalam sistem saraf pusat, namun setelah beberapa waktu, tumor
akan bertumbuh dan melakukan invasi bila jaringan mendukung. Tumor otak
menimbulkan manifestasi klinis melalui berbagai mekanisme. Walaupun
berukuran kecil, tumor otak dapat menimbulkan kerusakan transfer impuls saraf
otak. Tumor memiliki sifat dapat melakukan invasi, infiltrasi, dan menggantikan
jaringan parenkim otak normal sehingga mengganggu fungsi normal jaringan
tersebut dan menimbulkan defisit neurologis fokal.
4. Edema otak dan peningkatan tekanan intrakranial
Massa tumor dapat menghambat vaskularisasi otak sehingga menimbulkan
edema dan juga hipoksia jaringan. Ketika otak mengalami pembengkakan,
terdapat kranium yang membatasi volume otak sehingga lambat laun edema otak
tersebut menimbulkan peningkatan tekanan intrakranial. Tumor yang terletak di
ventrikel tiga dan empat dapat mengobstruksi aliran cairan serebrospinal dan
menyebabkan hidrosefalus. Tekanan intrakranial juga dapat meningkat oleh
karena hidrosefalus. Akibat peningkatan tekanan intrakranial, akan timbul gejala-
gejala klinis tumor otak seperti nyeri kepala, mual, muntah, dan defisit neurologis.
Peningkatan tekanan intrakranial kemudian akan semakin mengganggu perfusi
darah ke otak dan juga dapat menimbulkan herniasi jaringan otak di bawah falx
cerebri melalui tentorium serebelum atau foramen magnum.

1.7 Manifestasi Klinis


Menurut Brain and Spine (2018), gejala yang dapat dialami sangat
bergantung pada lokasi tumor di otak dan bagian otak mana yang terpengaruh.
Gejala mungkin muncul secara bertahap dari waktu ke waktu daripada sekaligus.
Gejala utama dari tumor otak, yaitu:
1. Mengantuk: Jika tumor otak menyebabkan peningkatan tekanan pada otak
maka dapat menyebabkan perasaan mengantuk. Pasien mungkin merasa
mengantuk di siang hari dan tidur lebih banyak dari biasanya di malam hari.
Selain itu, pasien mungkin merasa tidak memiliki pikiran yang jernih dan
tidak dapat berkonsentrasi.
2. Masalah memori: Masalah memori yang disebabkan oleh tumor otak
mungkin termasuk kelupaan umum, masalah memori jangka pendek, dan
masalah dengan memori jangka panjang. Pasien mungkin menemukan
bahwa pasien dapat mengingat hal-hal yang terjadi padanya beberapa tahun
yang lalu tetapi merasa sulit untuk mengingat informasi baru, seperti nama
orang yang baru dikenal atau nomor telepon baru

3. Masalah penglihatan: Pasien mungkin mengalami kesulitan fokus,


penglihatan kabur, penglihatan ganda, atau masalah dengan satu sisi
penglihatan (pasien mungkin menabrak sesuatu di kiri atau kanan karena
tidak melihatnya di sisi itu).
4. Masalah bicara: Jika pasien mengalami masalah dengan bicara sebagai
gejala tumor otak, pasien mungkin tidak bisa mengucapkan kata-kata atau
mencampuradukkan dan mengacak-acak kata-kata. Istilah untuk campur
aduk dan campur aduk kata disebut disfasia. Seringkali, jika pasien
menderita disfasia, pasien dapat memahami apa yang dikatakan kepadanya
dan tahu apa yang ingin dikatakan, tetapi ketika pasien mencoba untuk
berbicara, kata-kata yang salah keluar. Pasien tahu bahwa kata-kata itu salah
dan mungkin menjadi frustrasi dan kesal. Disfasia biasanya dimulai dengan
kesulitan menemukan kata yang tepat atau tersandung kalimat sederhana.
Pada pasien dengan tumor otak, masalah bicara secara bertahap dapat
menjadi lebih buruk sampai ucapannya tidak dapat dipahami dan tidak lagi
dapat berkomunikasi. Pasien mungkin juga dapat mengalami masalah dalam
memahami pembicaraan.
5. Masalah fisik pada satu sisi tubuh: Tumor otak dapat menyebabkan masalah
fisik seperti mati rasa, kesemutan, kelemahan atau kurangnya koordinasi
dan keseimbangan yang mempengaruhi satu sisi tubuh, terutama di lengan
atau kaki. Gejalanya mungkin datang dan pergi, namun masalah fisik dapat
menjadi lebih buruk selama berhari-hari dan berminggu-minggu segera
setelah kemunculan pertamanya.
6. Perubahan hormon: Tumor dapat mempengaruhi produksi hormon di otak
yang mengakibatkan perubahan hormonal. Pasien mungkin mengalami
penurunan gairah seks atau kehilangan minat pada seks. Pria mungkin
mengalami impotensi dan wanita mungkin mengalami menstruasi yang
berhenti.
7. Kejang (serangan epilepsi): Tumor otak dapat menyebabkan aktivitas listrik
abnormal di otak yang dapat menyebabkan kejang (fit). Epilepsi didiagnosis
ketika seseorang mengalami lebih dari satu kejang

8. Perubahan kepribadian: Pasien yang sebelumnya pendiam dan pemarah


mungkin menjadi marah, agresif, dan cepat kehilangan kesabaran, serta
mungkin berteriak dan bersumpah.
9. Sakit kepala: Pasien dengan tumor otak cenderung mengalami sakit kepala
yang teratur dan semakin parah.
10. Mual dan muntah: Pasien mungkin mengalami mual dan muntah dengan
sakit kepala.

1.8 Pemeriksaan
1.8.1 Tumor Otak Primer
Menurut Kemenkes RI (2015); Kemenkes RI (2017), pemeriksaan fisik dan
penunjang yang dapat dilakukan untuk menegakkan diagnosis tumor otak primer
secara umum, adalah sebagai berikut:
1. Pemeriksaan fisik
Keluhan yang timbul dapat berupa sakit kepala, mual, penurunan
nafsu makan, muntah proyektil, kejang, defisit neurologik (penglihatan
ganda, strabismus, gangguan keseimbangan, kelumpuhan ekstremitas gerak,
dan lain-lain), perubahan kepribadian, mood, mental, atau penurunan fungsi
kognitif. Pemeriksaan fisik yang perlu dilakukan mencakup pemeriksaan
status generalis dan lokalis, serta pemeriksaan neurooftalmologi.
2. Pemeriksaan fungsi luhur
Fungsi kognitif juga dapat mengalami gangguan baik melalui
mekanisme langsung akibat destruksi jaras kognitif oleh kanker otak,
maupun mekanisme tidak langsung akibat terapi, seperti operasi,
kemoterapi, atau radioterapi.
3. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang untuk menegakkan diagnosis tumor otak
primer, adalah sebagai berikut:
a. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan ini dilakukan untuk melihat keadaan umum pasien dan
kesiapannya untuk terapi yang akan dijalani (bedah, radiasi, ataupun
kemoterapi). Pemeriksaan yang perlu dilakukan, yaitu darah lengkap,
hemostasis, Lactic Acid Dehydrogenase (LDH), fungsi hati dan ginjal, gula
darah, serologi hepatitis B dan C, serta elektrolit lengkap.
b. Pemeriksaan radiologis
Pemeriksaan radiologis yang perlu dilakukan, antara lain
Computerized Tomography scan (CT-scan) dengan kontras; Magnetic
Resonance Imaging (MRI) dengan kontras, Magnetic Resonance
Spectroscopy (MRS), dan Diffusion Weighted Imaging (DWI); serta
Positron Emission Tomography Computerized Tomography (PET CT).
Pemeriksaan radiologi standar adalah CT-scan dan MRI dengan kontras.
CT-scan berguna untuk melihat adanya tumor pada langkah awal
penegakkan diagnosis dan sangat baik untuk melihat kalsifikasi dan lesi
erosi/destruksi pada tulang tengkorak. MRI dapat melihat gambaran
jaringan lunak dengan lebih jelas dan sangat baik untuk tumor infratentorial,
namun mempunyai keterbatasan dalam hal menilai kalsifikasi. Pemeriksaan
fungsional MRI seperti MRS sangat baik untuk menentukan daerah nekrosis
dengan tumor yang masih viabel sehingga baik digunakan sebagai penuntun
biopsi serta untuk menyingkirkan diagnosis banding, demikian juga
pemeriksaan DWI. Pemeriksaan PET dapat berguna pascaterapi untuk
membedakan antara tumor yang rekuren dan jaringan nekrosis akibat
radiasi.
c. Pemeriksaan sitologi dan flowcytometry cairan serebrospinal
Pemeriksaan ini dapat dilakukan untuk menegakkan diagnosis
limfoma pada susunan saraf pusat, kecurigaan metastasis leptomeningeal,
atau penyebaran kraniospinal seperti ependimoma.

Selain itu, menurut Kemenkes RI (2015); Kemenkes RI (2017); Kemenkes


RI (2019), pemeriksaan penunjang yang dapat menegakkan tumor otak primer
secara spesifik, adalah sebagai berikut:

1. Meningioma
Brain imaging dengan menggunakan CT-scan dan MRI membantu deteksi
meningioma, biasanya tampak sebagai tumor soliter yang menempel pada
duramater, serta menyangat kuat dengan pemberian kontras (contrast enhanced).
PET dapat membantu pada kasus-kasus meningioma di skull base yang biasanya
sulit untuk dilihat pada pemeriksaan CT dan MRI yang standar.
2. Schwannoma
Pemeriksaan CT-scan melengkapi pemeriksaan MRl untuk melihat kondisi
tulang dan selulae mastoid. Salah satu gambaran khas dari tumor ini adalah
pelebaran dari osteum kanalis akustikus internus (trumpeting). Gambaran tumor
pada pemeriksaan MRI berbentuk bulat atau oval yang menyangat kontras yang
terletak muncul dari meatus akustikus internus.
3. Tumor hipofisis
Rontgen tengkorak lateral secara insidental dapat menunjukkan pelebaran
fossa namun bukan merupakan pemeriksaan definitif. Pada pemeriksaan lapangan
pandang defek yang umum didapatkan adalah quadrantanopia temporal atas dan
hemianopia bitemporal. MRI merupakan pemeriksaan pilihan dan lebih unggul
dibanding CT-scan.
4. Meduloblastoma
Pada pemeriksaan radiologis umumnya berupa massa solid, menyerap
kontras pada CT atau MRI, lokasi pada midline di regio ventrikel 4, disertai
hidrosefalus. Pada CT-scan kepala nonkontras tampak hiperdense dan pada
pemberian kontras tampak menyerap kontras. Pada MRI T1WI tampak hipo
hingga isointens, sedangkan T2WI tampak heterogen karena kista, pembuluh
darah, dan kalsifikasi. Pada pencitraan spinal, dilakukan MRI dengan injeksi
gadolinium atau CT-mielografi dengan kontras water-soluble untuk melihat
adanya drop mets.
5. Astrositoma
CT-scan dengan kontras digunakan untuk skrining awal dan dapat
menggambarkan edema di sekitar tumor (peritumoral edema), dan biasanya akan
nampak hipodense. MRI sangat bagus untuk menggambarkan edema di sekitar
tumor (vasogenik), kompresi saraf kranial, kompresi otak, dan pembuluh darah
otak. Pada MRI fitur DWI, tumor tampak isointens sampai hiperintens ringan
yang menyangat pada T1. MR spekstroskopi digunakan untuk menegakkan
diagnosis banding, pemilihan lokasi biopsi, monitoring respons terapi, dan
membedakan tumor dengan efek terapi.
6. Kraniofaringioma
Gambaran kraniofaringioma pada CT-scan tergantung pada proporsi
komponen padat dan kistik. Komponen kistik memiliki densitas rendah dan
pemberian kontras menyebabkan penyangatan pada bagian padat termasuk kapsul
kista. Pemeriksaan MRI menggambarkan massa tumor tampak isointens atau
relatif hipointens terhadap parenkim otak pada sekuensi T1W yang menyangat
setelah pemberian gadolinium, sedangkan pada sekuens T2W biasanya tampak
campuran hipo- dan hiperintens.
7. Ependimoma
MRI merupakan pilihan diagnostik utama karena dapat memberikan
gambaran anatomi yang lebih jelas. MRI juga dapat membantu dalam mengetahui
metastatic seeding tumor. Ependimoma dapat berupa gambaran kistik, padat, atau
campuran. Ependimoma pada CT-scan dapat berupa masa kistik, kalsifikasi, dan
lesi yang berbatas tegas dengan gambaran isodens atau hiperdens.
8. Primary Central Nervous System Lymphoma (PCNSL)
Pada CT-scan nonkontras, dapat ditemukan gambaran hiperdens maupun
isodens yang menyangat pada pemberian kontras, disertai gambaran hipodens di
sekitar lesi yang menunjukkan peritumoral edema. Pada MRI terdapat gambaran
kontras patologis yang homogen pada masa tumor dengan batas yang jelas.
Edema vasogenik di sekitar tumor (peritumoral) merupakan gambaran MRI yang
sering ditemukan.
9. Tumor pineal
Pemeriksaan penunjang yang dikerjakan pada tumor pineal meliputi
pemeriksaan penanda tumor dan radiologis. Pemeriksaan penanda tumor
bertujuan untuk membedakan tumor yang berasal dari sel germinal atau bukan
dan juga untuk membedakan di antara tumor sel germinal sendiri.

1.8.2 Tumor Otak Sekunder


Menurut Kemenkes RI (2015); Kemenkes RI (2017), pemeriksaan fisik dan
penunjang yang dapat dilakukan untuk menegakkan diagnosis tumor otak
sekunder, adalah sebagai berikut:
1. Pemeriksaan fisik
Dari anamnesis dan pemeriksaan fisik, dapat dijumpai tanda dan
gejala seperti pada tumor otak primer, yang dapat berupa tanda peningkatan
tekanan intrakranial, sakit kepala, mual/muntah, gejala fokal,
kelumpuhan/paresis tanpa gangguan sensorik, penekanan saraf kranialis,
kejang; dan perubahan perilaku, letargi, dan penurunan kesadaran.
2. Pemeriksaan penunjang
Pada pemeriksaan CT-scan otak terdapat gambaran lesi metastasis
soliter (tunggal) sejak pasien pertama kali mendapatkan gangguan klinis
neurologis. Gambaran CT-scan umumnya dapat berupa lesi bulat dan
berbatas tegas dengan peritumoral edema yang lebih luas (fingers of edema).
Bila dilanjutkan dengan MRI otak didapatkan lesi soliter. Pemeriksaan MRI
lebih sensitif daripada CT-scan terutama di daerah fossa posterior.

1.9 Penatalaksanaan
1.9.1 Terapi Farmakologi
1. Tumor otak primer
Menurut Kemenkes RI (2015); Kemenkes RI (2017), penatalaksanaan tumor
otak primer secara umum, adalah sebagai berikut:
a. Tatalaksana penurunan tekanan intrakranial
Pemberian kortikosteroid sangat efektif untuk mengurangi edema serebri
dan memperbaiki gejala yang disebabkan oleh edema serebri, yang efeknya sudah
dapat terlihat dalam 24 – 36 jam. Agen yang direkomendasikan adalah
deksametason dengan dosis bolus intravena 10 mg dilanjutkan dosis rumatan 16 –

20 mg/hari intravena lalu tappering off 2 – 16 mg (dalam dosis terbagi)


bergantung pada klinis. Mannitol tidak dianjurkan diberikan karena dapat
memperburuk edema, kecuali bersamaan dengan deksametason pada situasi yang
berat, seperti pascaoperasi. Pemberian deksametason dapat diturunkan secara
bertahap, sebesar 25 – 50% dari dosis awal tiap 3 – 5 hari, tergantung dari klinis
pasien. Pada pasien kanker otak metastasis yang sedang menjalani radioterapi,
pemberian deksametason bisa diperpanjang hingga 7 hari.
b. Pembedahan
Operasi pada kanker otak dapat bertujuan untuk menegakkan diagnosis yang
tepat, menurunkan tekanan intrakranial, mengurangi kecacatan, dan meningkatkan
efektifitas terapi lain. Reseksi tumor pada umumnya direkomendasikan untuk
hampir seluruh jenis kanker otak yang operabel. Kanker otak yang terletak jauh di
dalam dapat diterapi dengan tindakan bedah kecuali apabila tindakan bedah tidak
memungkinkan (keadaan umum buruk, toleransi operasi rendah). Teknik operasi
meliputi membuka sebagian tulang tengkorak dan selaput otak pada lokasi tumor.
Tumor diangkat sebanyak mungkin kemudian sampel jaringan dikirim ke ahli
patologi anatomi untuk diperiksa jenis tumor.
Biopsi stereotaktik dapat dikerjakan pada lesi yang letak dalam. Pada
operasi biopsi stereotaktik dilakukan penentuan lokasi target dengan komputer
dan secara tiga dimensi (3D scanning). Pasien akan dipasang frame stereotaktik di
kepala kemudian dilakukan CT-scan. Hasil CT-scan diolah dengan software
planning untuk ditentukan koordinat target. Berdasarkan data ini, pada saat
operasi akan dibuat sayatan kecil pada kulit kepala dan dibuat satu lubang
(burrhole) pada tulang tengkorak. Kemudian jarum biopsi akan dimasukkan ke
arah tumor sesuai koordinat. Sampel jaringan kemudian dikirim ke ahli patologi
anatomi.
c. Radioterapi
Radioterapi diberikan pada pasien dengan keadaan inoperabel, sebagai
adjuvan pasca operasi, atau pada kasus rekuren yang sebelumnya telah dilakukan
tindakan operasi. Pada dasarnya teknik radioterapi yang dipakai adalah 3D
conformal radiotherapy, namun teknik lain dapat juga digunakan untuk pasien
tertentu, seperti stereotactic radiosurgery/radiotherapy dan Intensity Modulated
Radiation Therapy (IMRT). Pada glioma derajat rendah (derajat I dan II), Clinical
Target Volume (CTV) = Gross Tumor Volume (GTV) ditambah margin 1 – 2 cm,
mendapatkan dosis 45 – 54 Gy dengan 1,8 – 2 Gy/fraksi. Pada glioma derajat
tinggi (derajat III dan IV), CTV ditentukan sebagai GTV ditambah 2 – 3 cm untuk
mencakup infiltrasi tumor yang subdiagnostik. Pada glioma derajat tinggi, dosis
yang direkomendasikan adalah 60 Gy dengan 2 Gy/fraksi atau 59.4 Gy dengan 1,8
Gy/fraksi, dosis yang sedikit lebih kecil seperti 55,8 – 59,4 Gy dengan 1,8
Gy/fraksi atau 57 Gy dengan 1,9 Gy/fraksi. Pada pasien dengan KPS yang buruk
atau pada pasien usia tua, fraksinasi yang digunakan antara lain 34 Gy/10 fraksi,
40.5 Gy/15 fraksi, dan 50 Gy/20 fraksi.
d. Kemoterapi sistemik dan terapi target (targeted therapy)
Kemoterapi bertujuan untuk menghambat pertumbuhan tumor dan
meningkatkan kualitas hidup (quality of life) pasien semaksimal mungkin.
Kemoterapi biasa digunakan sebagai kombinasi dengan operasi dan/atau
radioterapi.
e. Kemoterapi intratekal
Pemberian kemoterapi intratekal merupakan salah satu upaya untuk
memberikan agen antikanker langsung pada susunan saraf pusat. Kemoterapi
intratekal dapat diberikan sebagai salah satu tatalaksana leptomeningeal
metastasis pada keganasan darah, seperti leukemia dan limfoma. Tindakan ini
dilakukan melalui prosedur lumbal pungsi atau menggunakan omaya reservoir.
f. Tatalaksana nyeri
Pada kasus ini, pilihan obat nyeri adalah analgesik yang tidak menimbulkan
efek sedasi atau muntah karena dapat mirip dengan gejala kanker otak pada
umumnya. Oleh karena itu, dapat diberikan parasetamol dengan dosis 20 mg/berat
badan per kali dengan dosis maksimal 4.000 mg/hari, baik secara oral maupun
intravena sesuai dengan beratnya nyeri. Jika komponen nyeri neuropatik yang
lebih dominan, maka golongan antikonvulsan menjadi pilihan utama, seperti
gabapentin 100 – 1.200 mg/hari, maksimal 3.600 mg/hari. Tatalaksana utama
bukanlah obat golongan analgesik, namun golongan glukokortikoid seperti
deksametason atau metilprednisolon intravena atau oral sesuai dengan derajat
nyerinya.
g. Tatalaksana kejang
Seluruh pasien kanker otak yang mengalami kejang harus diberikan
antikonvulsan. Obat antikonvulsan yang sering diberikan, seperti fenitoin dan
karbamazepin kurang dianjurkan karena dapat berinteraksi dengan obat-obatan,
seperti deksametason dan kemoterapi. Alternatif lain, yaitu levetiracetam, sodium
valproat, lamotrigin, klobazam, topiramat, atau okskarbazepin. Levetiracetam
lebih dianjurkan (Level A) dengan dosis antara 20 – 40 mg/kgBB, serta dapat
digunakan pasca operasi kraniotomi.
h. Gizi
Skrining gizi dengan Malnutrition Screening Tool (MST), bila skor ≥ 3
(rawat inap), atau skor MST ≥ 2 (rawat jalan) dengan kondisi khusus (sakit kritis,
kemoterapi, radiasi, hemodialisis) ditangani bersama tim spesialis gizi klinik. Bila
asupan memenuhi 75 – 100% dari kebutuhan lalu dilakukan konseling gizi. Bila
asupan memenuhi 50 – 75% dari kebutuhan, dilakukan pemberian oral nutrition
support. Bila asupan < 50%, dilakukan pemasangan jalur enteral (pipa
nasogastrik/orogastrik/gastrostomi). Bila terdapat kontraindikasi nutrisi enteral
(ileus, perdarahan saluran cerna), diberikan nutrisi parenteral.
Pemberian terapi gizi dilakukan dengan perhitungan kebutuhan. Kebutuhan
energi dihitung menggunakan kalorimetri indirek/persamaan HarrisBenedict/rule
of thumb. Nutrisi diberikan bertahap sesuai dengan toleransi pasien. Kebutuhan
protein 1,2 – 2 g/BB/hari, lemak 25 – 30%, dan karbohidrat 55 – 60%. Bila pasien
menggunakan obat golongan carbamazepin, fenobarbital, fenitoin perlu tambahan
suplemen vitamin D dan kalsium untuk mencegah gangguan tulang. Pasien
dengan terapi fenitoin perlu ditambahkan suplementasi vitamin B1 dan asam folat
1 mg/hari. Pemberian nutrien spesifik berupa eicosapetanoic acid hingga 2 g/hari
dan asam amino rantai bercabang 12 g/hari. Bila toleransi asupan baik, nutrisi
ditingkatkan 20% dari asupan sebelumnya.

i. Psikiatri
Diperlukan pendampingan mulai dari menyampaikan informasi tentang
diagnosis dan keadaan pasien (breaking the bad news) melalui pertemuan
keluarga (family meeting) dan pada tahap-tahap pengobatan selanjutnya. Pasien
juga dapat diberikan psikoterapi suportif dan relaksasi yang akan membantu
pasien dan keluarga, terutama pada perawatan paliatif.
j. Perawatan paliatif
Dilakukan pada pasien-pasien yang dinyatakan perlu mendapatkan terapi
paliatif dan dilakukan terapi secara multidisiplin bersama dokter penanggung
jawab utama, serta dokter gizi, rehabilitasi medik, psikiatri, dan ahli terapi paliatif.

2. Tumor otak sekunder


Menurut Kemenkes RI (2015); Kemenkes RI (2017), penatalaksanaan tumor
otak sekunder, adalah sebagai berikut:
a. Pembedahan
Pada metastasis soliter dapat dilakukan operasi kraniotomi dan eksisi tumor
apabila lokasi dapat dicapai melalui operasi terbuka, terdapat efek massa desak
ruang (defisit fokal, peningkatan tekanan intrakranial), dan diagnosis tidak
diketahui. Pada metastasis otak multipel operasi kraniotomi dapat
dipertimbangkan bila satu lesi dapat dicapai dengan operasi terbuka dan lesi
tersebut menyebabkan gejala klinis yang jelas dan atau mengancam jiwa, bila
semua lesi dapat dambil semua saat operasi, dan diagnosis tidak diketahui.
Operasi biopsi stereotaktik dapat dipertimbangkan apabila lesi letak dalam, lesi
multipel berukuran kecil, toleransi pasien kurang baik, penyakit sistemik yang
berat, dan diagnosis tidak diketahui.
b. Radiasi eksterna
1) Whole Brain Radiotherapy
Whole Brain Radiotherapy (WBRT) dapat diberikan dengan teknik
konvensional 2D lapangan opposing lateral atau dengan radioeterapi
konformal 3D. Lapangan radiasi harus mencakup keseluruhan isi
intrakranial. Pastikan bahwa fossa kranii anterior, fossa kranii media, dan
basis kranii masuk ke dalam lapangan. Umumnya dosis yang digunakan
adalah 30 Gy dalam 10 fraksi diberikan selama 2 minggu. Untuk pasien
dengan performa yang buruk diberikan dosis 20 Gy/5 fraksi.
2) Stereotactic Radiosurgery
Stereotactic Radiosurgery (SRS) dapat dilakukan dengan linear
accelerator (linac-based SRS), gamma knife (cobalt-based SRS), atau
proton. Dosis biasanya dipreskripsikan pada isodosis 50% untuk gamma
knife dan 80% untuk linac-based SRS. Dosis marginal maksimal adalah 24
Gy (diameter ≤ 2,0 cm), 18 Gy (diameter 2,1 – 3,0 cm), atau 15 Gy (3,1 –
4,0 cm).
c. Terapi medikamentosa
Terapi medikamentosa yang dapat diberikan pada tumor otak sekunder,
antara lain:
1) Pemberian kortikosteroid untuk gejala klinis akibat edema otak. Dosis awal
deksametason 10 – 20 mg IV, kemudian 4 x 5 mg IV selama 2 – 3 hari
sampai gejala klinis membaik. Tappering off dimulai setelah gejala klinis
terkontrol.
2) Pemberian antagonis H2 seperti ranitidine 2 x 150 mg.
3) Pemberian antikonvulsan seperti fenitoin.

1.9.2 Terapi Non-farmakologi


Menurut Reguler (2019), penatalaksanaan non-farmakologi untuk tumor
otak, adalah sebagai berikut:
1. Edukasi
Tinjauan sistematis menunjukkan bahwa memberikan pendidikan kepada
pasien tentang mengelola nyeri kanker atau tumor dapat memiliki dampak yang
signifikan untuk mengurangi nyeri.
2. Transcutaneous electrical nerve stimulation
Transcutaneus Electrical Nerve Stimulation (TENS) merupakan suatu cara
penggunaan energi listrik untuk merangsang sistem saraf melalui permukaan kulit.
Dengan TENS, nyeri pada pasien akan berkurang.

3. Terapi relaksasi slow deep breathing dan relaksasi benson


Teknik relaksasi yang dapat menurunkan nyeri adalah terapi relaksasi
Benson, yaitu terapi untuk menghilangkan nyeri, insomnia, dan kecemasan
dengan upaya memusatkan perhatian pada suatu fokus dengan menyebut berulang-
ulang kalimat yang telah dipilih dan menghilangkan berbagai pikiran yang
mengganggu. Terapi lain untuk mengontrol nyeri, adalah relaksasi Slow Deep
Breathing (SDB), yaitu bentuk latihan nafas yang terdiri atas pernafasan abdomen
(diafragma) dan purse lips breathing.
4. Hipnosis
Teknik ini sering digunakan untuk mengurangi nyeri terkait prosedur pada
anak-anak.
5. Reflexology
Reflexology adalah sebuah treatment yang fokus terutama pada kaki. Secara
khusus, reflexology merupakan manipulasi jaringan lunak pada kaki secara umum
dan tidak terpusat pada titik-titik tertentu pada telapak kaki yang berhubungan
dengan bagian lain pada tubuh.
6. Foot massage therapy
Foot massage therapy merupakan gabungan dari empat teknik masase, yaitu
effleurage (mengusap), petrissage (memijit), friction (menggosok), dan
tapotement (menepuk). Foot massage merupakan mekanisme modulasi nyeri yang
dipublikasikan untuk menghambat rasa sakit dan untuk memblokir transmisi
impuls nyeri sehingga menghasilkan analgetik dan nyeri yang dirasakan setelah
operasi diharapkan berkurang.
7. Terapi herbal
Beberapa pasien yang dalam pengobatannya dikombinasikan dengan
tanaman obat, sel darah merah dan putihnya tidak mengalami penurunan seperti
yang terjadi pada pasien yang hanya menjalani terapi konvensional. Pasien yang
menjalani terapi konvensional terutama kemoterapi, umumnya daya tahan
tubuhnya akan menurun drastis. Ketika daya tahan menurun karena adanya efek
samping dari proses pengobatan kemoterapi, radiasi, maupun hormon dalam
beberapa kasus menyebabkan sel-sel kanker lebih mudah menyebar dan sisa-sisa
sel kanker yang tidak terangkat akan menyebar kembali. Terapi komplementer
alternatif dapat meningkatkan kualitas hidup pada pasien tumor/kanker yang
berobat di dokter praktek jamu yang terlibat dalam penelitian ini.
8. Terapi akupuntur
Akupunktur yang digunakan pada terapi kanker bukan ditujukan untuk
mengobati penyakit kankernya karena penusukan pada lesi merupakan
kontraindikasi. Hal ini dilakukan untuk pengobatan paliatif, yaitu mengurangi
nyeri kronis, mengurangi efek samping kemoterapi ataupun radioterapi seperti
nyeri, mual, muntah, serta mengurangi dosis obat anti-nyeri sehingga kualitas
hidup penderita dapat ditingkatkan.

1.10 Komplikasi
Menurut Smart Patient (2018), otak adalah organ vital, sehingga komplikasi
tumor otak dapat membawa dampak buruk atau kerusakan permanen yang
menyebabkan cacat fisik, koma, atau bahkan kematian pasien. Berikut ini adalah
beberapa komplikasi yang perlu diingat:
1. Kemampuan kognitif dan logika yang lemah, kehilangan ingatan;
2. Masalah dalam penglihatan, pendengaran, bau, atau ucapan karena
kerusakan saraf;
3. Koma;
4. Stroke, lemah di lengan dan kaki, paraplegia;
5. Gangguan hormonal, kebocoran cairan cerebrospinal;
6. Kejang;
7. Meningitis;
8. Infeksi;
9. Gangguan pada kandung kemih dan usus;
10. Pneumonia; dan
11. Perubahan kepribadian.

Menurut The Iowa Clinic (2013), berikut ini komplikasi yang dapat timbul
berdasarkan lokasi tumor pada otak:
1. Tumor lobus frontal dapat menyebabkan perubahan perilaku dan emosi,
gangguan penilaian, gangguan indra penciuman, hilang ingatan,
kelumpuhan pada satu sisi tubuh, berkurangnya kemampuan mental, dan
kehilangan penglihatan.
2. Tumor lobus parietal dapat menyebabkan gangguan bicara,
ketidakmampuan untuk menulis, kurangnya pengakuan, dan gangguan
spasial.
3. Tumor lobus oksipital dapat menyebabkan kehilangan penglihatan pada satu
atau kedua mata.
4. Tumor lobus temporal dapat menyebabkan gangguan bicara dan kesulitan
memori.
5. Tumor batang otak dapat menyebabkan perubahan perilaku dan emosi,
kesulitan berbicara dan menelan, mengantuk, gangguan pendengaran,
kelemahan otot pada satu sisi wajah (mis., memiringkan kepala, tersenyum
miring), kelemahan otot pada satu sisi tubuh, gaya berjalan yang tidak
terkoordinasi, kelopak mata terkulai atau penglihatan ganda, dan muntah.
6. Tumor kelenjar hipofisis dapat menyebabkan peningkatan sekresi hormon
(penyakit Cushing, akromegali), berhenti menstruasi, sekresi susu yang
tidak normal, dan penurunan libido.

1.11 Prognosis
Menurut Kemenkes RI (2015); Kemenkes RI (2017); Kemenkes RI (2019),
prognosis pada tumor otak sangat bergantung pada lokasi, sifat infiltratif, dan
biologis tumor, yaitu:
1. Meningioma
Meningioma tipikal dan anaplastik dapat bermetastasis tetapi jarang.
Reseksi total dari tumor biasanya memberikan prognosis yang sangat baik. Angka
harapan hidup 5 tahunan untuk meningioma tipikal lebih dari 80%, dan turun
menjadi 60% pada meningioma malignan dan atipikal.

2. Schwannoma
Prognosis tergantung dari tipe AN berdasarkan ekstensi ke arah medial yang
menekan batang otak dan invasi ke arah fundus meatus akustikus internus.
Apabila AN dapat diangkat seluruhnya, maka prognosisnya sangat baik, tapi jika
tidak dapat diangkat seluruhnya, dikarenakan adanya perlengketan pada batang
otak, maka risiko pertumbuhan kembali tumor dapat dikontrol dengan
radioterapi/radiosurgeri.
3. Tumor hipofisis
Jika tidak ada kontraindikasi, pembedahan (biasanya trans-sfenoid) saat ini
merupakan terapi awal yang terbaik (prognosis yang buruk dengan
makroadenoma) yang mampu menurunkan kadar GH lebih cepat, dekompresi
struktur saraf, dan meningkatkan efikasi analog somatostatin berikutnya.
Prognosis paling buruk adalah pada pasien dengan adenoma hipofisis yang
menginvasi sinus kavernosus.
4. Meduloblastoma
Prognosis medulloblastoma buruk pada usia muda (<3 tahun), adanya
metastasis, ketidakmampuan untuk eksisi total (terutama bila sisa > 1,5 cm), dan
laki-laki.
5. Astrositoma
Angka harapan hidup pasien astrositoma bergantung pada tipe tumornya,
semakin rendah golongan tumornya maka akan semakin tinggi angka harapan
hidupnya. Secara statistika, dalam 5 tahun pada low grade astrositoma adalah 30
– 40%, sedangkan untuk astrositoma anaplastik adalah 25% dan glioblastoma
multiforme median survival-nya kurang dari 2 tahun.
6. Kraniofaringioma
Pertumbuhan tumor umumnya lambat, tetapi memiliki tingkat rekurensi
yang tergolong tinggi. Kesintasan dengan kranifaringioma pasca-pembedahan
setelah diterapi umumnya baik. Angka kesintasan hidup lebih dari 5 tahun adalah
antara 88 – 94%. Hal ini disebabkan perkembangan modalitas diagnostik dan
terapi yang sangat pesat.

7. Ependimoma
Pasien dewasa menunjukkan prognosis lebih baik daripada pasien anak.
Faktor yang mempengaruhi prognosa adalah umur dewasa, total eksisi, dan lokasi
supratentorial.
8. Primary Central Nervous System Lymphoma
Tanpa terapi, rerata survival 1,8 sampai 3,3 bulan setelah diagnosis. Dengan
terapi radiasi, rata–rata survival 10 bulan sampai 1 tahun. Pada pasien dengan
AIDS, prognosis tampak lebih buruk. Untuk PCNSL, terdapat dua skor prognostik
yang digunakan, yaitu:
a. The memorial sloan-kettering cancer center prognostic model
Skor ini membagi prognosis PCNSL menjadi 3 kategori. Kelompok
pertama, pasien dengan usia kurang dari 50 tahun memiliki prognosis yang paling
baik, dengan median survival 8,5 tahun. Kelompok kedua, pasien dengan usia >50
tahun dengan KPS baik (>70), dengan median survival sekitar 3,2 tahun.
Sementara kelompok ketiga, pasien dengan usia lebih dari 50 tahun dengan KPS
<70 memiliki median survival yang paling pendek yaitu 1,1 tahun.
b. The international extranodal lymphoma study group
Skor prognostik ini menentukan bahwa terdapat lima faktor yang berkaitan
dengan prognosis jelek pada pasien dengan PCNSL, yaitu usia di atas 60 tahun,
peningkatan kadar LDH serum, peningkatan konsentrasi protein cairan
serebrospinal, dan keterlibatan struktur dalam di otak.
9. Tumor pineal
Secara umum, pasien dengan germinoma memiliki prognosis yang sangat
baik karena tumor bersifat radiosensitif. Anak-anak dengan tumor sel germinal
non-germinoma memiliki prognosis yang jauh lebih buruk daripada germinoma
ataupun tumor kelenjar pineal. Secara umum, tumor yang memiliki prognosis baik
antara lain germinoma murni dan teratoma matur. Prognosis sedang antara lain
germinoma dengan peningkatan β-hCG, germinoma ekstensif atau multifokal,
teratoma imatur, teratoma transformasi maligna, campuran germinoma dan
teratoma, kelenjar sel pineal. Prognosis jelek antara lain khoriokarsinoma, yolk
sac tumor, karsinoma embrional, dan tumor dengan campuran ketiganya.
1.12 Clinical Pathway
Paparan
mutagen Mutasi sel yang Penyakit bawaan
(misalnya, didapat menyebabkan (misalnya,
radiasi, pembelahan sel yang neurofibromatosis,
karsinogen) tidak terkendali di tuberous sclerosis)
otak
Kesalahan
Tumor Otak
replikasi Tumor Otak Primer Tumor Otak Sekunder
Tumor di otak
DNA (misalnya, glioma, (mis., tumor primer dari
yang timbul dari
meningioma, payudara, paru-paru,
jaringan otak itu
adenoma hipofisis) gastrointestinal, prostat)
sendiri (primer)
atau dari jaringan
non-otak
(metastasis)

Tumor menghasilkan Vascular


Tumor Tumor Tumor membesar Tumor yang Tumor
Endothelial Growth Factor
menempati mengiritasi dan mengganggu terletak secara menginvasi,
(VEGF)
yang menghasilkan pembuluh ruang grey suplai darah kritis dapat menginfiltrasi,
darah baru (angiogenesis) intrakranial merusak jalur atau
matter Iskemia dan/atau saraf tertentu menggantikan

Pembuluh nekrosis serebral parenkim otak


Gangguan Peningkatan Kejang
darah rapu normal
h sawar integritas
di dalam Cedera pada daerah otak yang terlokalisasi;
darah-otak pembuluh Risiko Cedera
tumor
darah gejala bervariasi tergantung pada lokasi otak
Peningkatan yang terkena:
Mudah penetrasi zatPeningkatan Peningkatan Sakit kepala Nyeri Akut
berdarah (misalnya, kebocoran tekanan
obat-obatan, serum intrakranial Papilledema
racun)
Risiko Edema Gangguan fungsi Kerusakan Kerusakan Kerusakan Jika
Perdarahan lobus serebelum lobus
penglihatan berdekatan
Penekanan massa frontal oksipital dengan
Perdarahan Nyeri Akut pada struktur di
ventrikel 3/4,
otak sekitarnya (efek Risiko
massa pada otak) Cedera tumor akan
Sel-sel di menghambat
dalam otak aliran cairan
gagal Peregangan meninges, Jaringan otak
serebrospinal
berkoordinasi aktivasi mekanoreseptor didorong ke
yang mempengaruhi bawah
dengan organ zona pemicu Perubahan Ataksia Defisit Hidrosefalus
di luar tentorium
cerebelli, menekan
tubuh lainnya kepribadian penglihatan obstruktif
kemoreseptor batang otak
Gangguan
fungsi Nausea
Muntah Herniasi otak Risiko
hipokampus Risiko Cedera Cedera
Kurangnya
Gangguan intake
Memori sesuai kebutuhan Gangguan Persepsi Sensori
tubuh
Gangguan
pergerakan Gangguan Komunikasi Verbal
Defisit Nutrisi
tubuh

Risiko Jatuh
2. KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN

2.1 Pengkajian Keperawatan


Pengkajian yang dapat dilakukan terhadap pasien dengan tumor otak, adalah
sebagai berikut:
I. Identitas Klien: Terdiri dari data pribadi klien, meliputi nama, umur, jenis
kelamin, agama, pendidikan, alamat, nomor rekam medis, pekerjaan, status
perkawinan, tanggal masuk rumah sakit; serta tanggal pengkajian dan
sumber informasi. Tumor otak biasanya lebih sering terjadi pada klien
dengan usia lebih dari 40 tahun dan berjenis kelamin pria.

II. Riwayat Kesehatan


1. Diagnosis medis: Diagnosis medis yang diderita klien dapat berupa tumor
otak primer atau tumor otak sekunder.
2. Keluhan utama: Penyebab klien sampai dibawa ke rumah sakit. Klien
dengan tumor otak biasanya mengeluhkan sakit kepala, mual, penurunan
nafsu makan, muntah proyektil, kejang, defisit neurologik (penglihatan
ganda, strabismus, gangguan keseimbangan, kelumpuhan ekstremitas gerak,
dan lain-lain), perubahan kepribadian, mood, mental, atau penurunan fungsi
kognitif.
3. Riwayat penyakit sekarang: Berisi riwayat penyakit yang diderita pada saat
masuk rumah sakit, alasan masuk rumah sakit yang terdiri dari empat
komponen (rincian awitan, riwayat interval yang lengkap, status saat ini,
dan alasan mencari bantuan saat ini), upaya yang telah dilakukan, dan terapi
yang diberikan.
4. Riwayat penyakit dahulu: Berisi informasi adakah riwayat penyakit yang
pernah dialami dan hospitalisasi; riwayat alergi (obat, makanan, plester,
dingin, debu, dan lain-lain); riwayat imunisasi; kebiasaan dan pola hidup
(life style), seperti pola hidup bersih dan sehat, makan, minum, dan istirahat;
serta obat-obatan yang digunakan. Klien dengan tumor otak mungkin lebih
banyak tidur karena merasa mengantuk dan sakit kepala, serta mengalami
mual dan muntah sehingga tidak nafsu makan. Selain itu, klien mungkin
juga pernah memiliki riwayat kanker di tempat lain tubuh,
neurofibromatosis, leukimia; serta pernah menjalani radioterapi
sebelumnya.
5. Riwayat penyakit keluarga: Mengenai riwayat kesehatan yang dimiliki oleh
anggota keluarga, apakah pernah mempunyai penyakit yang sama seperti
yang diderita oleh pasien, riwayat penyakit degeneratif, riwayat penyakit
menular, dan genogram. Biasanya klien dengan tumor otak memiliki
anggota keluarga yang juga memiliki tumpor otak.

III. Pengkajian Keperawatan


1. Persepsi dan pemeliharaan kesehatan: Berisi persepsi klien dan keluarga
klien tentang anggapan penyakitnya, cara menangani penyakitnya,
pemeliharaan kesehatan, tingkat pengetahuan, dan lingkungan di sekitarnya
maupun faktor-faktor budaya yang mungkin mempengaruhi. Klien dengan
tumor otak biasanya mungkin tinggal di daerah dengan paparan pestisida,
pelarut industri, radiasi, dan bahan kimia dalam waktu lama, seperti
formaldehid, vinil klorida, dan akrilonitril
2. Pola nutrisi dan metabolik: Terdiri dari antoprometri (berat badan, tinggi
badan, indeks masa tubuh, berat badan ideal, dan adakah penurunan atau
kenaikan berat badan), biomedical sign (laboratory test), clinical sign
(penampilan umum, rambut, konjungtiva, sklera, mukosa bibir, turgor kulit,
dan lain-lain), diet pattern (frekuensi, waktu, jenis, komposisi, dan lainnya
saat sebelum maupun masuk RS), dan balans kalori selama masa perawatan.
Klien dengan tumor otak biasanya mengalami defisit nutrisi karena merasa
mual, muntah, nafsu makan menurun, dan gangguan menelan.
3. Pola eliminasi: Terdiri dari pola buang air kecil maupun besar klien yang
berupa frekuensi, jumlah, warna, bau, karakteristik, berat jenis, alat bantu,
dan kemandirian; serta balans cairan.
4. Pola aktivitas dan latihan: Terdiri dari kemampuan perawatan diri (Activity
Daily Living / ADL) berupa makan/minum, toileting, berpakaian, mobilitas
di tempat tidur, berpindah, dan ambulasi atau Range of Motion (ROM);
kekuatan otot dan rentang gerak sendi; status oksigenasi (sianosis, Capillary
Refill Time / CRT, oksimetri, dan lainnya); fungsi kardiovaskuler (bunyi
jantung, bunyi tambahan, aterosklerosis, dan lainnya); dan terapi oksigen
(jenis, jumlah, dan lainnya). Klien dengan tumor otak biasanya mengalami
gangguan tonus otot, terjadinya kelemahan otot, gangguan tingkat
kesadaran, mengantuk, dan merasa mudah lelah.
5. Pola tidur dan istirahat: Terdiri dari durasi tidur, jenis gangguan, penyebab,
keadaan bangun tidur, dan lainnya. Klien dengan tumor otak biasanya
cenderung istirahat dan tidur terus menerus karena merasa mengantuk dan
sakit kepala, serta mengalami gangguan tidur akibat nyerinya.
6. Pola kognitif dan perseptual: Terdiri dari fungsi kognitif berupa memori,
kemampuan berkomunikasi, serta fungsi dan keadaan indra seperti
penglihatan, pendengaran, penciuman, perabaan, dan pengecapan. Klien
dengan tumor otak biasanya memiliki gangguan persepsi sensori, yaitu
gangguan penglihatan, pendengaran, berkomunikasi, serta memori. Masalah
bicara pada klien dapat menjadi lebih buruk sampai ucapannya tidak dapat
dipahami dan tidak lagi dapat berkomunikasi.
7. Pola persepsi diri: Terdiri dari gambaran diri, identitas diri, harga diri, ideal
diri, dan peran diri. Klien dengan tumor otak biasanya mengalami
perubahan kepribadian. Klien yang sebelumnya pendiam dan pemarah
mungkin menjadi marah, agresif, dan cepat kehilangan kesabaran, serta
mungkin berteriak dan bersumpah. Klien mungkin juga merasakan perasaan
tidak berdaya, putus asa, emosi labil, dan kesulitan untuk mengekspresikan
emosinya.
8. Pola seksualitas dan reproduksi: Terdiri dari pola seksualitas dan fungsi
reproduksi. Klien dengan tumor otak biasanya mengalami penurunan gairah
seks atau kehilangan minat pada seks. Pria mungkin mengalami impotensi
dan wanita mungkin mengalami menstruasi yang berhenti.
9. Pola peran dan hubungan: Berisi informasi mengenai hubungan klien
dengan keluarga maupun lingkungannya, perhatian, kedekatan di antara
anggota, dan interaksi sosial dengan orang lain. Peran merupakan perilaku
seseorang ketika memperoleh status atau posisi yang berbeda. Keluarga
klien mungkin merasa kesal dan jengkel dengan perubahan kepribadian
klien. Klien dengan tumor otak biasanya memiliki gangguan berkomunikasi.
Masalah bicara pada klien dapat menjadi lebih buruk sampai ucapannya
tidak dapat dipahami dan tidak lagi dapat berkomunikasi.
10. Pola manajemen koping stress: Berisi informasi mengenai kondisi psikis
klien dan cara klien maupun keluarga dalam menangani stress, bosan, atau
ketidaknyamanan, serta mekanisme pertahanan diri dan teknik koping yang
digunakan. Klien dengan tumor otak biasanya mengalami perasaan cemas,
takut, tidak sabar ataupun marah, perasaan tidak berdaya, putus asa, dan
mudah tersinggung.
11. Sistem nilai dan keyakinan: Terdiri dari religiousitas, spiritualitas, dan
budaya (keluarga dan masyarakat).

IV. Pemeriksaaan Fisik: Meliputi inspeksi, palpasi, perkusi, dan auskultasi dari
ujung rambut hingga ujung kaki.
1. Keadaan umum (status generalistik): Berisi informasi mengenai klien
tampak bagaimana dan kesadaran klien. Klienn dengan tumor otak biasanya
tampak lemah akibat gejala yang dialami, serta dapat mengalami penurunan
kesadaran sampai dengan koma.
2. Tanda-tanda vital: Terdiri dari tekanan darah, nadi, frekuensi napas, dan
suhu.
3. Keadaan lokal (status lokalis): Berupa look, feel, move, dan special test
sesuai penyakit.
4. Pengkajian fisik:
a. Kepala: Perhatikan bentuk dan kesimetrisan kepala, palpasi tengkorak,
periksa adanya nodus atau pembengkakan, perhatikan kebersihan kulit
kepala, lesi, kerontokan, dan perubahan warna. Klien dengan tumor
otak biasanya terdapat benjolan pada kepala, terjadi kerontokan
rambut, dan mengalami nyeri tekan.
b. Mata: Kaji bentuk mata dan kesimetrisan mata, pemeriksaan pada
konjungtiva dan sklera, reflek pupil terhadap cahaya, pengeluaran air
mata, struktur kelopak mata, dan keluhan pada mata. Klien dengan
tumor otak biasanya mengalami penurunan lapang pandang dan
penglihatan kabur.
c. Telinga: Kaji bentuk telinga, letak pina, kebersihan, fungsi
pendengaran, lesi ataupun edema. Klien dengan tumor otak biasanya
tmengalami penurunan fungsi pendengaran.
d. Hidung: Periksa hidung untuk menilai adanya kelainan bentuk,
kebersihan, distribusi bulu hidung, pernafasan cuping hidung, dan ada
tidaknya epitaksis. Klien dengan tumor otak biasanya mengalami
penurunan daya penciuman.
e. Mulut: Kaji bentuk bibir, warna, mukosa bibir, warna bibir, ada
tidaknya labiopalatoskizis, kebersihan mulut, keadaan lidah,
pembengkakan tonsil, dan lesi.
f. Leher: Kaji bentuk leher, letak trakea, peningkatan Jugularis Vena
Pressure (JVP), pembesaran kelenjar tiroid, kaku kuduk, dan reflek
menelan. Klien dengan tumor otak mungkin mengalami kaku pada
leher.
g. Dada: Inspeksi kesimetrisan dada, warna kulit, frekuensi napas,
kedalaman, dan kesulitan bernapas meliputi takipnea, dispnea,
pernapasan dangkal, retraksi dinding dada, pektus ekskavatum (dada
corong), paktus karinatum (dada burung), dan barrel chest. Palpasi
adanya nyeri tekan, massa, dan vocal fremitus. Perkusi apakah pekak
atau sonor. Auskultasi suara pernapasan tambahan dan bunyi jantung.
h. Abdomen: Kaji bentuk perut, warna, struktur dan tekstur perut, ada
tidaknya hernia umbilikalis, pengeluaran cairan, frekuensi bising usus,
massa, pembesaran hati dan ginjal, dan nyeri tekan.
i. Urogenital: Pemeriksaan vagina, vulva, uterus, penis, skrotum, serta
ada atau tidaknya lesi dan inflamasi. Kaji lubang anus, ada tidaknya
benjolan, kondisi kulit perianal, dan lesi. Kaji apakah ada hernia atau
terpasang kateter. Klien tumor otak yang mengalami penurunan
kesadaran biasanya terpasang kateter.
j. Ekstremitas: Kaji kelengkapan jumlah jari tangan maupun kaki,
adanya kelainan bentuk tulang, fraktur, edema, lokasi pemasangan
infus, dan kekuatan otot. Klien dengan tumor otak biasanya
mengalami kelemahan sendi, gangguan tonus otot, dan kelemahan
otot.
k. Kulit dan kuku: Kaji adanya edema, lesi, warna kulit, jejas, pitting
edema, massa, nyeri tekan, akral, turgor, dan CRT.
l. Keadaan lokal (sesuai penyakit): Berupa look, feel, move, dan special
test sesuai penyakit.

V. Terapi: Terapi yang diberikan dapat berupa kortikosteroid (deksametason,


mannitol); pembedahan, biopsi stereotaktik; radioterapi; kemoterapi
sistemik dan terapi target (targeted therapy); kemoterapi intratekal;
analgesik (parasetamol), antikonvulsan (gabapentin, fenitoin, levetiracetam,
sodium valproat, lamotrigin, klobazam, topiramat, okskarbazepin),
glukokortikoid (deksametason, metilprednisolon); oral nutrition support,
suplemen vitamin D dan kalsium, suplementasi vitamin B1 dan asam folat,
eicosapetanoic acid; radiasi eksterna (WBRT, SRS); serta antagonis H2
(ranitidine).

VI. Pemeriksaan Penunjang


1. Pemeriksaan laboratorium: Darah lengkap, hemostasis, LDH, fungsi hati
dan ginjal, gula darah, serologi hepatitis B dan C, serta elektrolit lengkap.
2. Pemeriksaan penunjang: CT-scan, MRI, MRS, DWI, PET CT, dan
flowcytometry cairan serebrospinal.
2.2 Diagnosis Keperawatan
1) Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera biologis (tumor otak)

2) Defisit nutrisi berhubungan dengan mual muntah dan penurunannafsu


makan
3) Risiko perusi serebral tidak efektif berhubungan dengan tumor otak

4) Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan


kekuatan otot
2.3 Intervensi Keperawatan

Diagnosa Intervensi
No Tujuan Manajamen Nyeri (I.08238)
Keperawatan 1. Identifiksi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi,
1 Nyeri akut Setelah dilakukan tindakan keperawatan kualitas, intensitas nyeri
selama .. x 24 jam, diharapkan nyeri akut 2. Identifiksai skala nyeri
dapat teratasi dengan kriteria hasil: 3. Identifikasi respon nyeri non verbal
Tingkat Nyeri (L.08066)
4. Identifikasi faktor nag memperberat dan
memperingan nyeri
Skala Skala
No Indikator 5. Identifikasi pengaruh nyeri pada kualitas hidup
awal akhir
6. Berikan teknik nonfarmakologis untuk
1 Keluhan nyeri 2 5 mengurangi rasa nyeri
2 Meringis 2 5 7. Kontrol lingkungan yang memperberat rasa nyeri
3 Sikap protektif 2 5 8. Fasilitasi istirahat tidur
4 Gelisah 2 5 9. Jelaskan penyebab, periode, dan pemicu nyeri
1: meningkat, 2: cukup meningkat, 3:
10. Jelaskan strategi meredakan nyeri
sedang, 4: cukup menurun, 5: menurun
11. Ajarkan teknik nonfarmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri
12. Kolaborasi pemberian analgetik jika perlu
2 Defisit nutrisi Setelah dilakukan tindakan ajemen Nutrisi (I.03119)
keperawaMtaann selama .. x 24 jam,
1. Identifikasi status nutrisi
diharapkan nyeri akut dapat teratasi dengan
Stat kriteria hasil: 2. Identifikasi alergi dan intoleransi makanan
us Nutrisi (L.03030) Skala Skala 3. Identifikasi makanan yang disuka
No Indikator
awal akhir 4. Identifikasi kebutuhan kalori dan jenis nutrien
1 Berat badan 3 5 5. Monitor berat badan
2 Frekuensi makan 3 5
6. Sajikan makanan secara menarik dan suhu yang
3 Nafsu makan 3 5 sesuai
7. Kolaborasi dengan ahli gizi untuk menentukan
jumlah kalori dan jenis nutrien yang dibutuhkan
1: memburuk, 2: cukum memburuk, 3:
sedang, 4: cukup membaik, 5: membaik
Setelah dilakukan tindakan keperawataMn ajemen Peningkatan Tekanan Intrakranial(I.06194)
an 1. Identifikasi penyebab penigkatan TIK
3 Risiko perusi selama .. x 24 jam, aliran darah serebral 2. Monitor tanda gejala peningkatan TIK
untuk menunjang fungsi otak adekuat
serebral tidak dengan kriteria hasi: 3. Monitor MAP, CVP, PAWP, PAP, ICP, CPP
efektif Skala Skala 4. Monitot status pernapasan
No Indikator
awal akhir 5. Monitor intake dan output cairan
1 Tekanan 6.
Hindari pemberian cairan hipotonik
3 5
intrakranial 7.
Atur vrntilator agar PaCO2 optimal
2 Sakit kepala 3 5 8.
Kolaborasi pemberian sedasi dan anti konvulsan
1: meningkat, 2: cukup meningkat, 3: jika perlu
sedang, 4: cukup menurun, 5: menurun

Skala Skala
No Indikator
awal akhir
1 Nilai rata-rata
3 5
tekanan darah
12: ekmebsuadruakra, me3mbu uk5,
m n2: cukum r 3:
sedang, 4: cukup membaik, 5: membaik
4. Gangguan Setelah diberikan intervensi Dukungan Ambulasi (I. 06171)
mobilitas fisik keperawatan selama 3 x 24 jam, Observasi
berhubungan menunjukkan KH : Mobilitas 1. Pantau adanya nyeri atau keluhan fisik lainnya
dengan penurunan Fisik (L.05042) 2. Pantau toleransi fisik dalam melakukan ambulasi
kekuatan otot 3. Pantau frekuensi jantung dan tekanan darah
Skala Skala
No Indikator sebelum memulai ambulasi
awal akhir
1 Rentang gerak Terapeutik
3 5
meningkat 4. Fasilitasi aktivitas ambulasi dengan alat bantu
2 Gerakan terbatas 5. Fasilitasi melakukan mobilitas fisik
3 5
menurun 6. Libatkan keluarga untuk membantu pasien
3 Pergerakan
ekstremitas 3 5
Edukasi
meningkat 7. Jelaskan tujuan dan prosedur ambulasi
8. Anjurkan melakukan ambulasi dini
9. Ajarkan melakukan ambulasi sederhana
.

2.4 Discharge Planning


Menurut Nilawati (2017), disharge planning merupakan perencanaan
kepulangan pasien dan memberikan informasi kepada klien dan keluarganya
tentang hal-hal yang perlu dihindari dan dilakukan sehubungan dengan kondis
atau penyakitnya post operasi. Terdapat dua macam discharge planning, yaitu:
1. Untuk perawat: Berisi point-point discahrge planing yang diberikan kepada
klien (sebagai dokumentasi).
2. Untuk pasien: Dengan bahasa yang bisa dimengerti pasien dan lebih detail.
Dalam merencanakan kepulangan pasien, perawat harus mempertimbangkan
empat hal berikut:
1. Home care preparation
2. Memodifikasi lingkungan rumah sehingga tidak mengganggu kondisi klien.
Contohnya, klien harus di atas kursi roda atau memakai alat bantu jalan,
serta buatlah supaya lantai rumah tidak licin. Perawat juga harus
memastikan bahwa ada yang merawat pasien di rumah. Selain itu, berikan
edukasi tentang kondisi pasien, seperti cara merawat luka dan hal-hal yang
harus dilakukan atau dihindari kepada keluarga pasien, terutama orang yang
merawat pasien.
3. Psychososial preparation: Tujuan dari persiapan ini adalah untuk
memastikan hubungan interpersonal sosial dan aspek psikososial pasien
tetap terjaga.
4. Health care resources: Pastikan bahwa pasien atau keluarga mengetahui
adanya pusat layanan kesehatan yang terdekat dari rumah pasien, seperti
rumah sakit, puskesmas, dan lain-lain. Sehingga, jika dalam keadaan darurat
dapat segera mendapat pertolongan.
DAFTAR PUSTAKA

Brain and Spine. 2018. Brain Tumour. https://www.brainandspine.org.uk/wp-cont


ent/uploads/2018/02/BSF_Brain-Tumour-A5-booklet.pdf/. [Diakses pada 18
Juni 2022].

Chalik, R. 2016. Anatomi Fisiologi Manusia. Jakarta Selatan: Kementerian


Kesehatan Republik Indonesia.

Evani, S. 2021. Patofisiologi Tumor Otak. https://www.alomedika.com/penyakit


/onkologi/tumor-otak/patofisiologi. [Diakses pada 19 Juni 2022].

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2015. Panduan Penatalaksanaan


Tumor Otak. http://kanker.kemkes.go.id/guidelines/PPKOtak.pdf. [Diakses
pada 18 Juni 2022].

Kementerian Kesehatan Reublik Indonesia. 2017. Tumor Otak. Jakarta:


Kementerian Kesehatan Repubik Indonesia.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2019. Tumor Otak. Jakarta:


Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.

Nilawati, F. W. 2017. Perawatan Pasien Pasca Operasi Tumor Otak. Dalam


Brain Tumor Management: One Day Symposium and Workshop. 16
December 2017. https://braintumorindonesia.com/wp-content/uploads/2019/
05/Ns-Nila-Materi-Post-Operatif.pdf. [Diakses pada 20 Juni 2022].

Persatuan Perawat Nasional Indonesia. 2017. Standar Diagnosis Keperawatan


Indonesia: Definisi dan Indikator Diagnosis. Edisi Pertama. Cetakan Kedua.
Jakarta Selatan: Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional
Indonesia.

Persatuan Perawat Nasional Indonesia. 2018. Standart Intervensi Keperawatan


Indonesia: Definisi dan Tindakan Keperawatan. Edisi Pertama. Cetakan
Kedua. Jakarta Selatan: Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional
Indonesia.
Persatuan Perawat Nasional Indonesia. 2019. Standar Luaran Keperawatan
Indonesia: Definisi dan Kriteria Hasil Keperawatan. Edisi Pertama.
Cetakan Kedua. Jakarta: Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional
Indonesia.

Reguler, T. 2019. Penatalaksanan Keperawatan Tumor. https://id.scribd.com/doc


ument/428107746/Penatalaksanaan-Keperawatan-Tumor-pptx-1-docx.
[Diakses pada 19 Juni 2022].

Smart Patient. 2018. Tumor Otak. https://www21.ha.org.hk/smartpatient/EM/Med


iaLibraries/EM/EMMedia/Brain-Tumor_Bahasa-Indonesia.pdf?ext=.pdf.
[Diakses pada 18 Juni 2022].

The Iowa Clinic. 2013. Brain Tumors: An Introduction. https://www.iowaclinic.c


om/webres/File/brain-tumors-intro.pdf. [Diakses pada 18 Juni 2022].

Anda mungkin juga menyukai