Anda di halaman 1dari 13

Tugas MK Issue Kontemporer

Dosen : Dr. Takdir Tahir, S.Kep.,Ns.,M.Kes

ANALISIS CREDENTIALING: SERTIFIKASI, LISENSI,

REGISTRASI & UJI KOMPETENSI NERS

OLEH:
RENI ASTUTI MR. (C012171029)

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
2017
ANALISIS CREDENTIALING: SERTIFIKASI, LISENSI,

REGISTRASI & UJI KOMPETENSI NERS

A. PENDAHULUAN

Dalam era globalisasi sekarang ini sebagai tenaga keperawatan


yangprofesional seharusnya kita harus mempersiapkan diri dengan baik yang
mencakup seluruh aspek keadaan atau kejadian yang lalu, sekarang maupun
yang diprediksi terjadi pada masa datang. Salah satu hal penting yang perlu
digaris bawahi yaitu pasar bebas tenaga kesehatan pada era Masyarakat
Ekonomi Asean (MEA) pada akhir tahun 2015. Namun, kompetensi profesi
perawat di Indonesia masih belum mendapat pengakuan standar internasional.
Padahal, dengan liberalisasi sektor jasa kesehatan, perawat Indonesia mesti
bersaing dengan tenaga kesehatan negara lain

Profesionalisasi keperawatan adalah proses dinamis dimana profesi


keperawatan mengalami perubahan dan perkembangan karakteristik sesuai
dengan tuntunan kebutuhan dan profesi di masyarakat. Tuntutan profesi ini
menimbulkan pertanyaan mengenai kompetensi yang dimiliki oleh seorang
perawat. Kompetensi seorang perawat lulusan ners perlu ada pembuktian
melalui ujian kompetensi perawat. Sesuai dengan Undang-Undang Keperawatan
No.38 tahun 2014 bahwa uji kompetensi adalah proses pengukuran
pengetahuan, keterampilan, dan perilaku peserta didik pada perguruan tinggi
yang menyelenggarakan program studi Keperawatan (Djestawana, 2012)

Praktik profesional perawat dilakukan didasarkan pada kompetensi yang


telah mendapat pengakuan kelulusan dan memperoleh bukti berupa sertifikat
kompetensi serta sebagai syarat untuk memperoleh Surat Tanda Registrasi
(STR) dan Surat Izin Praktik Profesi (SIPP). Bukti penilaian kompetensi dan
lisensi itu pun menjadi syarat kredensial saat perawat bekerja di Rumah Sakit.
Dalam makalah ini penulis lebih tertarik untuk mengulas dan
menganalisis mengenai kredensial yang terjadi dirumah sakit. Dimana Saat ini
Rumah Sakit dituntut untuk memberikan perlindungan terhadap pasien, pada
dasarnya semua pelayanan medis yang ada di rumah sakit menjadi tanggung
jawab institusi rumah sakit itu sendiri, hal ini sesuai dengan peraturan
perundang-undangan Nomor 755/MENKES /PER/IV/2011 yang mengatur
tentang perumahsakitan. Oleh karena itu, semua rumah sakit harus mengatur
seluruh pelayanan medis lebih khusus lagi pelayanan keperawatan yang
dilakukan oleh perawat harus aman bagi pasien. Pengaturan ini didasarkan pada
pemikiran bahwa rumah sakit berhak melarang tindakan keperawatan, yang
dilakukan oleh staf perawat yang tidak mendapatkan izin melakukan pelayanan
keperawatan dan prosedur klinis. Bila seorang perawat diperbolehkan untuk
melakukan tindakan keperawatan berarti perawat tersebut telah memperoleh hak
khusus (Privilege) oleh Rumah Sakit. Hak perawat itu disebut sebagai
kewenangan klinis (clinical privilege), dengan adanya kewenangan klinis yang
dimiliki maka perawat telah dianggap kompeten dalam memberikan tindakan
pelayanan keperawatan terhadap pasien (Join Commision, 2016).

Tuntutan terhadap kompetensi tenaga medis khususnya perawat


didasarkan kepada banyaknya kejadian tidak diharapkan, Hal ini sering terjadi di
Rumah Sakit meskipun tidak diketahui jumlah pastinya karena kurangnya
pelaporan terhadap insiden tersebut yang dapat berdampak terhadap gantirugi
pihak rumah sakit (PERSI, 2009). Untuk menghindari hal tersebut, pihak rumah
sakit membuat kebijakan yang mengatur tentang staf yang berkompeten atau
tidak, hal inilah yang disebut proses kredensialing perawat dengan mengacu
terhadap Peraturan Menteri Kesehatan Republik IndonesiaNomor 49 tahun
2013.

B. KASUS/ISSUE
Kewenangan klinis tenaga keperawatan adalah uraian intervensi
keperawatan yang dilakukan oleh tenaga keperawatan berdasarkan area
praktiknya. Penugasan Klinis adalah penugasan kepala/direktur Rumah Sakit
kepada tenaga keperawatan/kebidanan untuk melakukan asuhan keperawatan
atau asuhan kebidanan di rumah sakit tersebut berdasarkan daftar kewenangan
klinis (Permenkes Nomor 49, 2013). Pelaksanaan Kewenangan klinis oleh
tenaga perawat di rumah sakit sangat dipengaruhi oleh proses kredensial
Kredensial keperawatan sesungguhnya merupakan kegiatan dan fungsi
komite keperawatan yang merupakan faktor penentu mutu pelayanan di rumah
sakit. Kredensialing sejauh ini telah diterapkan di rumah sakit di Indonesia,
namun ada beberapa rumah sakit khususnya yang berada di daerah belum
menerapkan secara benar. Dimana proses kredensial keperawatan dipengaruhi
oleh penilaian standart akreditasi rumah sakit KARS atau JCI. Hal ini seharusnya
saling bersinergi dan menguatkan, namun kenyataannya karena tuntutan rumah
sakit yang ingin segera dilakukan penilaian sehingga proses kredensial menjadi
kurang bermakna dan hanya sebatas formalitas saja untuk menunjang proses
akreditasi tersebut. Sebagai contoh seorang perawat yang ditetapkan pada
jenjang Perawat Klinis (PK) III dengan sederet rincian kewenangan klinis tertentu
yang telah dikeluarkan, seharusnya didapatkan dari proses assesmen
kompetensi yang terperinci, satu persatu kompetensi di assesmen. Pada
kenyataannya pelaksaanaan asessmen kompetensi dilakukan dengan
bermacam cara dan sesuai dengan kebutuhan rumah sakit. Ada yang yang
melalui mekanisme tes tertulis, ada juga yang diasesement hanya satu
kompetensi saja dan dianggap mewakili semua rincian kompetensi yang lain.
Ada juga yang dilakukan pemutihan hanya berdasar pada lama kerja dirumah
sakit tersebut.Hal ini menjadi dasar penerbitan surat penugasan klinis yang
direkomendasikan oleh komite keperawatan.
Namun ada pula rumah sakit yang sudah melakukan proses kredensial
terhadap perawat dengan benar dan mengeluarkan standar kompetensi sesuai
dengan pencapaian perawat melalui proses kredensial tersebut dengan sebaik-
baiknya. Tetapi setelah dikeluarkan standar kompetensi dan penetapan level
perawat (jenjang karir), dalam pelayanan keperawatan secara praktiknya standar
kompetensi tersebut tidak berlaku. Sebagai contoh : perawat yang ditetapkan
sebagai perawat klinis I (PK I), Perawat Klinis II (PK II), maupun Perawat Klinis
(PK III) yang telah melakukan kredensial dan dikeluarkan standar kompetensi
untuk masing-masing sesuai dengan jenjang karirnya, namun kenyataan di
praktik, tindakan yang dilakukan oleh Perawat Klinis I (PK I) tidak ada yang
membedakan dengan Perawat Klinis II (PK II), maupun Perawat Klinis III (PK III).
Sehingga hanya sebatas “labeling” (penamaan) saja antara PK I, PK II, PK III
dan seterusnya, tapi secara kompetensi/tindakan tetap sama.

C. PEMBAHASAN

Dalam Kasus yang telah penulis paparkan didapatkan bahwa proses


kredensial yang dilakukan oleh rumah sakit masih banyak yang tidak sesuai
dengan prosedur yang semestinya yaitu tidak melalui tahapan-tahapan dari
proses kredensial itu sendiri. Sebagaimana yang tertuang dalam Peraturan
Kemenkes Nomor 49 tahun 2013 yaitu sebagai berikut:
1) . Rekruitmen dan seleksi
Tahap awal yaitu rekruitmen dan seleksi. Pemerintah diberikan
kesempatan merekrut tenaga kesehatan untuk ditempatkan dilayanan primer
melalui penerimaan Aparatur Sipil Negara (ASN) sesuai aturan yang berlaku.
Sama halnya dengan pegawai tidak tetap (PTT) juga perekrutan dan
penyeleksiannya dilakukan oleh pemerintah. Berbeda halnya dengan pegawai
honorer/sukarela perekrutannya dilakukan oleh pemerintah daerah melalui pihak
puskesmas.
Dalam proses penyeleksian, persyaratan perawat yang wajib dipenuhi
adalah kepemilikan lisensi berupa STR (Surat Tanda Registrasi) yang
didapatkan melalui ujian kompetensi. Sebagaimana dalam Pasal 18 UU
Keperawatan Nomor 38 tahun 2014 yaitu Perawat yang menjalankan Praktik
Keperawatan wajib memiliki STR.
2) Orientasi
Orientasi yaitu proses dimana perawat baru diperkenalkan tentang
filosofi, tujuan, kebijakan, fasiltas dan prosedur dari tempat kerja baru. Proses
pengenalan ini memberikan pengetahuan dan adapatasi kepada perawat baru
ditempat kerja barunya. Dengan adanya proses orientasi ini perawat baru dapat
lebih cepat tangkap terhadap kondisi tempat perawat bekerja.
3) Magang (Internship)
Magang (internship) merupakan proses dalam mengiplementasikan
asuhan keperawatan di unit kerja perawat baru bersama preseptor. Preseptor
yaitu Perawat senior yang yang berpengalaman dalam jangka waktu lama yang
dipekerjakan berdasarkan pengetahuan dan keterampilan di institusi (Kanaskie,
2006). Dengan keahlian dan pengalaman yang lebih preseptor diharapkan
mampu memberikan pengarahan dan bimbingan dalam evaluasi pencapain
kompetensi perawat baru.
Proses magang perawat baru dilaksanakan selama 1 tahun tentang
pelayanan keperawatan kesehatan masyarakat. Program yang dijalankan
diprioritaskan pada promosi kesehatan, KIA-KB, P3M, kesehatan lingkungan, gizi
dan pengobatan. Proses pengembangan materi magang selanjutnya yaitu
upaya kesehatan usia lanjut, upaya kesehatan sekolah, dan upaya kesehatan
kerja. Seluruh capaian yang telah diraih ditulis dalam logbook dan selanjutnya di
evaluasi oleh preceptor apakah sudah mandiri atau belum dalam melaksanakan
asuhan keperawatan. Jika hasil evaluasi perawat baru mampu mandiri maka
perawat baru berhasil naik ke leve karir PK 1 (perawat klinis).
4) Kredensial
Setelah perawat melakukan magang 1 tahun, kemudian telah membuat
dokumentasi logbook dan dievaluasi oleh preceptor maka selanjutnya perawat
baru berhak mendapatkan pengajuan untuk dilakukan penilaian kompetensi. Jika
perawat baru lulus dalam penilaian kompetensi maka perawat baru berhak
mendapatkan sertifikat kompetensi dan status PK 0 berubah menjadi PK 1.
5) Penetapan Kewenangan dan penugasan Klinis
Setelah melalui proses kredensial dan telah mendapatkan sertifikat
kompetensi maka perawat baru berhak memperoleh kewenangan klinis dari
komite keperawatan dan setelah itu komite keperawatan di institusi tempat kerja
mengusulkan untuk mendapatkan penugasan klinis dari dinas kesehatan untuk
melaksanakan praktik dengan kewenangan klinis yang telah diberikan.
6) Kenaikan Penjenjangan Karir Klinis
Setiap perawat mempunyai hak untuk meningkatkan jenjang karir sesuai
perencanaan karir yang telah dipilih. Setelah melaksanakan tugas memberikan
asuhan keperawatan dan mempunyai kompetensi asuhan pada level karir di
atasnya maka perawat dapat mengusulkan kenaikan tingkat dengan tahapan
kredensial dan selanjutnya melaksanakan tugas pada jenjang yang baru.
Kenaikan jenjang karir perawat hendaknya diiringi dengan kenaikan
penghargaan yang berupa remunerasi. Bagi perawat yang belum memenuhi
persyaratan untuk naik tingkat dilakukan pembinaan khusus dan jika selama 2
tahun tetap tidak memenuhi persyaratan akan mendapatkan sanksi sesuai
ketentuan yang disepakati.

Gambar 2 : Alur Kredensial Tenaga Keperawatan

Menurut penulis, dalam praktiknya, proses kredensial awalnya dilakukan


assessment kompetensi oleh bidang keperawatan. Dalam hal ini perawat
mengahadap ke tim assessor untuk dilakukan assessment, dari proses
assessment tersebut dan dinyatakan lulus, kemudian bidang keperawatan
menerbitkan surat rekomendasi untuk dilakukan kredensial, yang kemudian surat
tersebut diberikan kepada komite keperawatan untuk ditindak lanjuti agar
perawat yang bersangkutan dilakukan kredensial. Dalam proses kredensial
perawat mengajukan surat permohonan kredensial ke komite keperawatan dan
mengisi form kewenangan klinik yang didalamnya adalah self assessment
(meliputi tindakan sesuai dengan jenjang karir). Setelah mengisi self
assessment, selanjutnya diverifikasi oleh kepala ruangan. Selain kepala ruangan
self assessment tersebut juga diverifikasi oleh mitra bestari. Jika sudah
diverifikasi oleh mitra bestari maka, ditetapkanlah dari kewenangan klinik yang
diajukan oleh perawat yang dianggap memiliki kewenangan penuh, kewenangan
supervisi dan tidak berwenang.
Apa dampak yang terjadi bila proses kredensial tidak dilakukan sesuai
dengan tahapan semestinya. Hal tersebut akan mempengaruhi mutu pelayanan
keperawatan rumah sakit, dimana perawat akan melakukan tindakan yang bisa
menyebabkan medical error, yang disebabkan karena tidak dilakukan
assessment dengan baik dan terperinci setiap tindakan/kompetensi dari standar
kompetensi itu sendiri dari masing-masing jenjang karir. Bisa saja ada beberapa
kompetensi yang belum dapat dilakukan secara mandiri, masih harus dengan
pendampingan (supervise) tapi karena tidak di lakukan kredensial dengan baik
dan hanya menceklist format standar kompetensi sehingga memberikan
kewenangan klinis sepenuhnya kepada perawat. Jika telah terjadi medical error
dan ada tuntutan dari pasien, hal tersebut bisa berujung pada ranah hukum.Dari
hal itu akan ditelusuri apakah perawat tersebut memiliki Surat Tanda Registarsi
(STR) Ners, bila STR ada, selanjutnya akan dilihat pencapaian standar
kompetensi apa saja yang telah diberikan berupa kewenangan klinis dari komite
keperawatan.

Selanjutnya, setelah proses kredensial berlangsung, hal yang


dilakukan untuk memelihara profesionalisme perawat, melalui pembinaan mutu
profesi dengan melakukan audit mutu profesi dan identifikasi kebutuhan
pengembangan profesi berkelanjutan bagi perawat yaitu melalui Continuing

Professional Development (CPD). Terkait dengan continuing professional


development (CPD) dalam proses kredensial, hal ini dapat diberikan pelatihan
terkait dengan kewenangan klinik yang dianggap belum kompeten atau masih
butuh supervisi dan yang menentukan bahwa perawat kompeten atau tidak
melalui evalusasi dari mitra bestari berupa catatan-catatan untuk dilakukan
CPD. Dimana setelah mengikuti continuing professional development (CPD),
perawat dievalusi yaitu terdapat targert-target tindakan yang telah dilakukan
terkait CPD itu, sebagai contoh secara kewenangan klinis pemasangan NGT
belum memiliki kewenangan klinis penuh, sehingga dilakukan CPD
pemasangan NGT, setelah CPD pemasangan NGT terpenuhi agar dapat
dianggap kompeten maka perawat bersangkutan dapat bermohon lagi ke
komite untuk kredensial.

Model ini diperkenalkan oleh Farington di Royal College of Nursing


UK tahun 1995. Farington menyebutkan bahwa supervisi klinik dilakukan
untuk membagi pengalaman supervisor kepada para perawat sehingga ada
proses pengembangan kemampuan professional yang berkelanjutan (CPD;
continuing professional development). Dilihat dari prosesnya, supervisi klinik
merupakan proses formal dari perawat professional (RN’s) untuk support dan
learning sehingga pengetahuan dan kompetensi perawat dapat
dipertanggungjawabkan sehingga pasien mendapatkan perlindungan dan
merasa aman selama menjalani perawatan. Dalam proses CPD ini meliputi
tiga kegiatan, yaitu a).educative, b).supportive, c).managerial. Kegiatan
educative dilakukan dengan: 1) mengajarkan ketrampilan dan kemampuan
(contoh: perawat diajarkan cara membaca hasil EKG); 2) membangun
pemahaman tentang reaksi dan refleksi dari setiap intervensi keperawatan
(contoh: supervisor mengajarkan perawat dan melibatkan pasien DM dalam
demontrasi injeksi SC); 3) supervisor melatih perawat untuk mengexplore
strategi, teknik-teknik lain dalam bekerja (contoh: supervisor mengajarkan
merawat luka dekubitus dengan obat-obat jenis baru yang lebih baik).
Kegiatan supportive dilakukan dengan cara: melatih perawat ‘menggali’ emosi
ketika bekerja (contoh: meredam konflik antar perawat, job enrichment agar
mengurangi burn out selama bertugas). Kegiatan managerial dilakukan
dengan melibatkan perawat dalam peningkatkan ‘standar’ (contoh: SOP yang
sudah ada dikaji bersama kemudian diperbaiki hal-hal yang perlu)
(Sudaryanto, 2008)

Dalam kasus yang penulis paparkan terjadi juga kesenjangan antara


teori dan praktik di dalam pelayanan keperawatan terkait penugasan klinik.
dimana setelah ditetapkan kewenangan klinis sesuai jenjang karir perawat.
Tapi hal tersebut tidak berjalan dengan semsetinya. Seharusnya setelah
ditetapkan kewenangan klinis, perawat akan melakukan tindakan sesuai
dengan penetepan klinis yang sudah diberikan. Untuk mengaplikasikan
kewenangan klinis sesuai dengan level (jenjang karir) dapat dilakukan upaya
pemerataan perawat berdasarkan level jenjang karir dan sesuai dengan
keahlian/keterampilan dari perawat itu dilihat dari pelatihan-pelatihan yang
telah diikuti. Sebagai contoh : perawat yang telah mengikuti pelatihan ICU
sebaiknya ditempatkan pada ruangan ICU yang telah memiliki keterampilan
dalam merawat pasien-pasien ICU, selain itu untuk diruangan rawat inap
sebaiknya dalam satu shift minimal ada dua level jenjang karir yang dinas
bersamaan seperti PK I dan PK II dinas bersamaan agar pembagian tugas
sesuai dengan kewenangan klinis masing-masing.
Menurut Marquis & Huston (2010) .Pengembangan karir perawat
merupakan suatu perencanaan dan penerapan rencana karir yang dapat
digunakan untuk penempatan perawat pada jenjang yang sesuai dengan
keahliannya, serta menyediakan kesempatan yang lebih baik sesuai dengan
kemampuan dan potensi perawat (Suroso, 2011). Sedangkan dilihat dari faktor
yang menghambat proses kredensial ini yaitu berdasarkan penelitian yang
berjudul “Credentialing Public Health Nurses:Current Issues and Next Steps
Forward” bahwa Hambatan yang sering terjadi adalah sertifikasi kurangnya
pengetahuan tentang peluang/kesempatan karir dari proses kredensial.
sertifikasi tidak menyadari kriteria kelayakan, biaya, persepsi bahwa kurangnya
nilai / penghargaan dari atasan, dan butuh waktu yang lama dalam melakukan
proses kredensial tersebut (Vandenhouten, et al, 2015)
Penulis berpendapat, jika jenjang karir perawat profesional berdasarkan
kompetensi terlaksana, maka akan berdampak positif terhadap pengelolaan
SDM keperawatan secara umum. Adanya grading dan maping SDM perawat
sesuai dengan level kompetensi dalam jenjang karir, dapat dijadikan dasar
penyusunan remunerasi/pembagian insentif berdasarkan kompetensi.
Penjenjangan karir perawat juga dapat dijadikan landasan dalam proses
promosi, mutasi dan rotasi perawat.Sehingga dengan berbagai kejelasan yang
akan terjadi setelah dijalankannya jenjang karir perawat, maka kemungkinan
akan berpengaruh terhadap kepuasan dan kinerja perawat. Hal ini sejalan
dengan penelitian yang dilakukan oleh Kornela (2014) dengan judul
“Pengembangan Model Jenjang Karir Perawat Klinis Di Unit Rawat Inap Rumah
Sakit Baptis Batu”. Yaitu pengembangan karir perawat merupakan harapan
setiap perawat dan dapat meningkatkan dengan pemberian remunerasi
sesuai dengan level dan kategori. Model pengembangan karir yang jelas juga
akan mendorong setiap tenaga keperawatan untuk terus meningkatkan
jenjang karir yang diinginkan melalui proses re-kredensial (Kornela, 2014).

D. KESIMPULAN
Pelaksanaan kredensial di rumah sakit dilakukan oleh komite
keperawatan untuk menjaga mutu pelayanan keperawatan dirumah sakit.
Proses kredensial dapat menghasilkan mutu pelayanan keperawatan dengan
baik, apabila melalui tahapan-tahapan yang semestinya yaitu :
Rekruitmen/seleksi, Orientasi, Magang, Kredensial, penetapan kewenangan dan
tugas klinis,kenaikan perjenjangan karir klinis.
Untuk menjaga mutu keperawatan tersebut dapat dilakukan CPD
continuing professional development (CPD) dalam proses kredensial, hal ini
dapat diberikan pelatihan terkait dengan kewenangan klinik.Dalam proses
CPD ini meliputi tiga kegiatan, yaitu a).educative, b).supportive,
c).managerial.
Hasil dari proses kredensial tersebut adanya penetapan standar
kompetensi (kewenangan klinis) yang bedampak positif terhadap pengelolaan
SDM keperawatan secara umum, yaitu dijadikan dasar penyusunan
remunerasi/pembagian insentif berdasarkan kompetensi. Penjenjangan karir
perawat juga dapat dijadikan landasan dalam proses promosi, mutasi dan rotasi
perawat yang berpengaruh terhadap kepuasan dan kinerja perawat.
DAFTAR PUSTAKA

Djestawana, I. G. G. (2012). Jenjang Karir terhadap Kepuasan Kerja dan Kinerja


Pegawai Puskesmas The Influence of Organizational Development , Leadership ,
and Career Path towards Employee Satisfaction and Performance of Puskesmas
Workers. Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional, 6.

Joint Commision. 2016. Ambulatory Care Program: The Who, What,When, and Wheres
of Credentialing and Privileging. Diakses Dari
https://www.jointcommission.org/ahc_credentialing_privileging_tips/

Kornela, F. (2014). Pengembangan Model Jenjang Karir Perawat Klinis di Unit Rawat
Inap Rumah Sakit Clinical Nursing Career Model Development in Inpatient Units
of Hospital. Jurnal Kedokteran Brawijaya.
Sudaryanto, A. & S. (2008). Model-Model Supervisi Keperawatan Klinik 1 No.4(Berita
Ilmu Keperawatan), 193–196. Retrieved from ISSN 1979-2697
Suroso, J. (2011). Penataan sistem jenjang karir berdasar kompetensi untuk
meningkatkan kepuasan kerja dan kinerja perawat di rumah sakit. Penataan
Sistem Jenjang Karir Berdasar Kompetensi Untuk Meningkatkan Kepuasan Kerja
Dan Kinerja Perawat Di Rumah Sakit.
Vandenhouten, et.al. (2015). Credentialing Public Health Nurses : Current Issues and
Next Steps Forward, 32(5), 565–576. https://doi.org/10.1111/phn.12206
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2014 Tentang Keperawatan

Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 49 Tahun 2013 Tentang Komite Keperawatan

Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 40 Tahun 2017 Tentang Jenjang Karir Perawat
Profesional

Anda mungkin juga menyukai