Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH PERALATAN LABORATORIUM II

(AUTOMATIC IMMUNO ANALYZER)

D
I
S
U
S
U
N
OLEH :

Nama : Rivaldi
NIM : 200418016
Dosen Pengampu : RAHMAT TARIGAN

PROGRAM STUDI D-III TEKNOLOGI ELEKTRO-MEDIS


FAKULTAS PENDIDIKAN VOKASI
UNIVERSITAS SARI MUTIARA INDONESIA-MEDAN
2021/2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur ke hadirat ALLAH SWT. Atas rahmat dan hidayah-Nya, penulis dapat
menyelesaikan tugas makalah yang berjudul "AUTOMATIC IMMUNO ANALYZER"
dengan tepat waktu.
Makalah disusun untuk memenuhi tugas Mata kuliah PERLATAN
LABORATORIUM II. Selain itu, makalah ini bertujuan menambah wawasan tentang alat
automatic immuno analyzer bagi para pembaca dan juga bagi penulis
penulis mengucapkan terima kasih kepada bapak rahmat selaku dosen mata kuliah
PERALATAN LABORATORIUM II.
Penulis menyadari makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh sebab itu, saran
dan kritik yang membangun diharapkan demi kesempurnaan makalah ini.

MEDAN,03 JUNI 2022

RIVALDI

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.......................................................................................................i
DAFTAR ISI....................................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN................................................................................................1
1.1 Latar Belakang.........................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah....................................................................................................2
1.3 Tujuan Pembahasan.................................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN.................................................................................................3
2.1. Immunoassay.............................................................................................................3
2.2. Metode Kualitatif......................................................................................................4
2.2.1. Immunofiksasi......................................................................................................4
2.2.2. Western Blotting..................................................................................................5
2.3. Metode Kuantitatif....................................................................................................6
2.3.1. Turbidimetri dan Nephelometri.........................................................................6
2.3.2. Uji Imunokimia Berlabel....................................................................................9
2.3.3. Immunoassay Kompetitif..................................................................................14
2.3.4. Imunoassay Non-kompetitif..............................................................................15
2.3.5. Imunoassay Heterogen......................................................................................15
2.3.6. Immunoassay Homogen....................................................................................15

BAB 3 PENUTUP...........................................................................................................17
3.1. Kesimpulan..............................................................................................................17
3.2. Saran........................................................................................................................17

DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................................18

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Banyak teknik yang digunakan di laboratorium rutin maupun laboratorium
riset didasarkan atas reaksi antigen antibodi (Kresno, 2001). Antigen adalah zat
yang merangsang dan kemudian bereaksi dengan produk dari respon imun seperti
enzim, toksin, mikroorganisme (bakteri, virus, parasit, jamur), tumor, atau faktor
autoimun. Antibodi adalah protein yang diproduksi oleh sistem kekebalan tubuh
sebagai respons terhadap antigen. Respons antigen-antibodi adalah pertahanan
alami tubuh terhadap organisme yang menyerang. Imun reaksi terhadap antigen
ini menghasilkan berbagai macam kelainan klinis, yang dapat diuji, contohnya tes
comb (Fischbach,2003).
Perkembangan yang pesat dari imunobiologi dan imunokimia telah
membuka jalan bagi klinik untuk secara luas dan mudah menerapkan pemeriksaan
laboratorium imunologi yang berguna untuk menunjang diagnosis dan menjadi
pedoman penatalaksanaan penderita (Kresno, 2001).
Immunoassay adalah metode bioanalitik di mana kuantitasi analit
bergantung pada reaksi antigen (analit) dan antibodi. Immunoassay telah
diterapkan pada berbagai disiplin ilmu termasuk endokrinologi, biomedis dan
kimia klinis. Immunoassay ini banyak membantu terutama di bidang penting
analisis farmasi seperti untuk diagnosis penyakit, pemantauan obat terapeutik,
studi farmakokinetik klinis dan bioekivalensi dalam penemuan obat dan industri
farmasi. Pentingnya dan luasnya metode immunoassay dalam analisis farmasi
dikaitkan dengan spesifisitas, dan sensitivitas tinggi untuk analisis berbagai analit
dalam sampel biologis.

Tes Immunoassay bekerja dengan menggunakan antibodi untuk


mendeteksi substansi biologis kecil dalam darah dan cairan tubuh
lainnya. Metode ini mengikuti aspek di mana antigen tertentu berikatan dengan
antibodi spesifik yang baru diperkenalkan, dengan demikian menstimulasi
respons imun. Ini mengacu pada spesifisitas, karena antibodi sangat spesifik

1
untuk analit seperti hormon, nukleoprotein, dan peptide. Asalkan reagen yang
digunakan immunoassay murni, deteksi analit berhasil melalui pembentukan
kompleks antigen-antibodi. Terjadi perubahan warna, yang menunjukkan adanya
analit yang dimaksud. Warna yang diamati melambangkan jumlah molekul target
yang ada dalam larutan uji.

1.2 Rumusan Masalah


1.2.1. Bagaimana konsep dasar dari metode immunoassay?
1.2.2. Metode apa saja yang termasuk analisis kualitatif dari metode
immunoassay?
1.2.3. Metode apa saja yang termasuk analisis kuantitatif dari metode
immunoassay?

1.3 Tujuan Pembahasan


1.3.1. Memahami konsep dasar dari metode immunoassay.
1.3.2. Mengetahui metode analisis kualitatif dari metode immunoassay.

1.3.3. Mengetahui metode analisis kuantitatif dari metode immunoassay.

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Immunoassay
Immunoassay adalah metode bioanalitik di mana kuantitasi analit bergantung
pada reaksi antigen (analit) dan antibodi. Pada prinsipnya, metode ini didasarkan
pada reaksi pengikatan kompetitif antara jumlah tetap dari bentuk analit berlabel
dan sejumlah analit tanpa label pada antibodi anti-analit yang sangat spesifik.
Ketika reagen immunoanalytical ini dicampur dan diinkubasi, analit terikat pada
antibodi yang membentuk kompleks imun. Kompleks ini dipisahkan dari fraksi
reagen tak terikat dengan teknik pemisahan fisik atau kimiawi. Analisis dilakukan
dengan mengukur aktivitas label (misalnya radiasi, fluoresensi, atau enzim) di
salah satu fraksi terikat atau bebas. Kurva standar, yang mewakili sinyal yang
diukur sebagai fungsi dari konsentrasi analit yang tidak berlabel dalam sampel
dibuat. Konsentrasi analit yang tidak diketahui ditentukan dari kurva kalibrasi ini.
(Kellner, 1998).

Metode immunoassay yang telah diterapkan dalam analisis farmasi,


berdasarkan apakah tahap pemisahan diperlukan atau tidak, dapat diklasifikasikan
menjadi uji heterogen atau homogen. Metode ini dapat dilakukan dalam desain
kompetitif atau non-kompetitif. Pilihan dari desain ini didasarkan pada sifat analit,
kimia pelabelan yang tersedia, dan parameter analitik yang diperlukan dari
pengujian (misalnya sensitivitas, rentang dinamis, dan presisi). Desain
immunoassay yang kompetitif dapat dilakukan dalam format penangkapan antigen
atau penangkapan antibodi, tergantung pada apakah fase padat masing-masing
dilapisi dengan antibodi atau antigen (analit). Desain non-kompetitif (biasanya
disebut uji "dua situs" atau "sandwich") digunakan untuk analit besar yang
memiliki lebih dari satu epitop pengenal pada molekulnya. Ini membutuhkan dua
antibodi yang mengikat epitop yang tidak tumpang tindih pada molekul analit.
(Ibrahim, 2006)

3
Kelebihan dari metode immunoassay ini, selain biaya yang relatif rendah dari
instrumen, perkakas, atau pun reagen yang menjadikan immunoassay sebagai
metode pilihan di banyak bidang analisis farmasi karena memiliki spesifisitas, dan
sensitivitas yang tinggi. Terlepas dari itu, immunoassay memiliki beberapa
keterbatasan. Immunoassay bergantung terutama pada reaksi antara analit dan
antibodi biologis, mereka mungkin memiliki ketidaktepatan yang lebih melekat
daripada metode lain yang digunakan dalam analisis farmasi (misalnya
kromatografi). Kekhususan immunoassay bergantung terutama pada antibodi yang
diarahkan ke analit, namun ada beberapa immunoassay tidak terlalu selektif, dan
hanya merespons sekelompok senyawa misalnya seperti aminoglikosida,
pestisida, daripada senyawa individual. Kehati-hatian dalam metode immunoassay
ini harus diperhatikan untuk memastikan tidak adanya zat yang mengganggu
dalam sampel analit dan matriks. (Ibrahim, 2006)

2.2. Metode Kualitatif


2.2.1. Immunofiksasi
Metode immunofiksasi merupakan metode yang mendeteksi Ig abnormal
beserta tipenya. Penyakit tertentu menyebabkan pertumbuhan sel penghasil
antibodi dalam jumlah berlebih. Pada beberapa penyakit, sel-sel ini dapat
menghasilkan sejumlah besar antibodi yang semuanya persis sama. Ini disebut
antibodi monoklonal. Dalam tes imunofiksasi serum, mereka muncul sebagai
lonjakan yang disebut lonjakan M yang dianggap sebagai Ig abnormal. Selain
mendeteksi Ig, tes immunofiksasi dapat mengidentifikasi tipe Ig abnormal yang
ada. Informasi ini dapat membantu dalam menegakkan diagnosis. Tes
immunofiksasi sering digunakan untuk mendiagnosis multiple myeloma atau
makroglobulinemia Waldenstrom. Kedua penyakit tersebut menghasilkan Ig
yang abnormal. Tes immunofiksasi juga dapat digunakan untuk mempelajari
perubahan struktur protein normal dalam darah. Salah satu contohnya adalah
glukosa-6-fosfat dehidrogenase. Protein ini memungkinkan sel darah merah
berfungsi dengan baik. Perubahan dapat menyebabkan masalah pada sel darah
merah yang dapat dideteksi melalui tes immunofiksasi. Hasil negatif

4
menunjukkan bahwa tidak ada Ig abnormal sedangkan hasil positif dari tes
tersebut menunjukkan adanya Ig abnormal (Aoyagi et al, 2017).

2.2.2. Western Blotting


Western blot adalah teknik untuk mengidentifikasi antibodi spesifik pada
protein yang telah dipisahkan antara satu dengan yang lain menurut ukurannya
melalui elektroforesis gel. Blot merupakan sebuah membran, biasanya berbahan
dasar nitroselulose atau PVDF (Polyvynilidine fluoride). Gel diletakkan diatas
membran dan aliran listrik akan menginduksi protein pada gel untuk berpindah
pada membran. Membran tersebut akan menjadi replika dari pola protein pada
gel yang kemudian diwarnai secara sekuensial dengan antibodi. Western blot
digunakan secara luas untuk mengidentifikasi protein yang spesifik dalam
campuran yang kompleks. Teknik ini memungkinkan deteksi tidak langsung
sampel protein yang diimobilisasi pada membran nitroselulose. Sampel protein
terlebih dahulu di running dengan SDS – PAGE dan secara elektroforesis
ditransfer ke membran. Setelah langkah blocking, membran di probe dengan
antibodi primer baik monoclonal maupun poliklonal yang jumlahnya meningkat
dibanding antigen. Setelah pencucian yang sekuensial, membran kemudian
diinkubasi dengan antibody sekunder yang dikonjugasi dengan enzim yang
sifatnya reaktif terhadap antibodi. Pada akhirnya, membran dicuci kembali
dengan substrat dari enzim yang tepat yang akan memproduksi sinyal yang
dapat direkam (Walker, 2002).
Western blotting biasanya digunakan untuk menentukan kadar relatif dari
suatu protein dalam suatu campuran berbagai jenis protein atau molekul lain.
Metode western blotting menggabungkan selektivitas elektroforesis gel dengan
spesifisitas imunoassay, sehingga setiap jenis protein dapat dideteksi dan
dianalisa dengan menggunakan metode probe antibodi yang sesuai. Posisi
antigen yang dicari dapat diidentifikasi pada membran dengan mereaksikannya
dengan antibodi spesifik. Berbagai jenis membran sintetik dapat mengikat
protein secara kuat sehingga dapat dimanfaatkan sebagai media
transport/membran pendukung untuk imunoassay pada media padat. Protein
yang diikat pada membran dapat

5
mempertahankan antigenitasnya dan dengan mudah direaksikan dengan antibody
(Kresno 2003).
Western blotting menghasilkan deteksi satu atau beberapa pita. Meskipun
antibodi secara langsung melawan protein tunggal seharusnya menghasilkan pita
tunggal, degradasi dari sampel (misalnya adanya aktivitas proteolitik) diduga
menyebabkan visualisasi dari beberapa pita dengan ukuran yang
berbeda(Ausubel et al, 2003).

2.3. Metode Kuantitatif


2.3.1. Turbidimetri dan Nephelometri
a. Turbidimetri
Turbidimetri adalah suatu metode analisis kuantitatif yang berdasarkan
pada pelenturan sinar oleh suspense zat padat. Pada dasarnya yang diukur
adalah perbandingan antara intensitas sinar yang diteruskan dengan intensitas
sinar mula-mula. Bila cahaya dilewatkan melalui larutan yang bersuspensi
maka Sebagian dare energi radiasi akan dihamburkan, diserap, dipantulkan,
dibiaskan, dan sisanya akan diteruskan. Pengukuran intensitas cahaya
diteruskan sebagai fungsi dari konsentrasi yang merupakan dasar dari
peralatan Turbidimeter. Bila suspense dipandang dengan tegak sudut tegak
lurus terhadap cahaya yang datang maka system (larutan) tampak berpencar
yang disebabkan oleh pantulan cahaya dari partikel-partikel suspense (efek
tyndall). Pada umumnya turbidimetri digunakan untuk analisa larutan
suspensi.
1. Skema Alat

6
Keterangan gambar:
 Sejumlah cahaya ditembakkan dari sebuah sumber cahaya menuju
monokromator.
 Monokromator akan menguraikan cahaya dan meneruskannya menuju
cuvet yang berisikan suspensi sel.
 Ketika cahaya melewati cuvet, maka terjadi tiga kemungkinan
 Cahaya akan diserap sebagian oleh partikel tersuspensi
 Sebagian cahaya diteruskan, dan sebagian lagi menyebar ke segala arah
 Jumlah cahaya yang diserap akan sebanding dengan jumlah partikel
tersuspensi (konsentrasi sampel).
 Pengukuran dilakukan dengan spektrofotometr (detektor)
2. Prinsip Kerja
Prinsip kerja dari turbidimetri yaitu menghitung jumlah cahaya yang
diteruskan (dan mengkalkulasi jumlah cahaya yang diabsorbsi) oleh
partikel dalam suspense untuk menentukan konsentrasi substansi yang
ingin dicari. Jumlah cahaya yang diabsorbsi akan bergantung pada
jumlah partikel dan ukuran partikel.
3. Aplikasi
 Penentuan konsentrasi total protein dalam cairan biologis seperti
urin yang mengandung sedikit protein menggunakan asam
trikloroasetat.
 Penentuan aktivitas amilase menggunakan pati sebagai substrat.
Penurunan kekeruhan berbanding lurus dengan aktivitas amilase.
 Penentuan aktivitas enzim lipase menggunakan trigliserida sebagai
substrat. Penurunan kekeruhan berbanding terbalik dengan
aktivitas enzim lipase. (Setiawan, I Dewa Putu dkk. 2012)
b. Nephelometri
Nefelometri merupakan metode yang digunakan untuk pengukuran
kadar zat dengan mengukur peredaran cahaya (scattered) yang mengenai
pertikel dalam larutan, sedangkan alat yang dipakai adalah nefelometri.
Penggunaan nefelometri umumnya untuk mnegukur protein plasma seperti

7
immunoglobulin, komponen- komponen, dan protein spesifik yang lain
seperti free light chain (Morais dkk, 2012).
1. Skema Alat

2. Prinsip Kerja
 Nephelometry menitik beratkan pengukuran pada jumlah cahaya
yang disebarkan (scaterred) dari kuvet yang mengandung suspense
partikel dalam suatu cairan (solution).
 Komponen-komponen dari nefelometer itu sama dengan komponen
yang terdapat pada spectrometer cahaya kecuali pada detector yang
ditempatkan pada sudut yangkhusus dari sumber cahaya.
 Detector merupakan sabuah tube fotomultiplier yang ditempatkan
pada suatu posisi untuk mendeteksi cahaya yang tersebar. Detektor
o o o
bisa ditempatkan pada sudut 90 , 70 or 37 tergantung pada sudut
mana paling banyak ditemukan cahaya yang disebarkan.
 Karena jumlah cahaya yang disebarkan jauh lebih besar daripada
yang diteruskandalam suspensi turbid, maka nefelometri memiliki
tingkat sensitifitas yang lebih tinggi daripada turbidimetri.
 Jumlah cahaya yang disebarkan, bergantung pada jumlah dan
ukuran partikel yang tersuspensi.

8
 Sebagian besar aplikasi klinis, sumber cahayayang digunakan
adalah lampu tungsten, dimana tungsten memberikan cahaya dalam
daerah visible.
 Untuk sensitivitas yang lebih tinggi dan untuk aplikasi penentuan
ukuran dan jumlah partikel dalam suspense, digunakan laser light
nephelometer.
3. Aplikasi
 Penentuan immunoglobulin di dalam serum dan cairan biologi
lainnya.
 Penentuan ukuran dan jumlah partikel. (Setiawan, I Dewa Putu
dkk. 2012)

2.3.2. Uji Imunokimia


Berlabel
a. RIA (Radioimmunoassay)
Radioimmunoassay (MA) adalah suatu metode analisis berdasarkan
pada reaksi imunologi atau ikatan antigen-antibodi, dengan reaksi
kompetisi antara antigen bertanda radioaktif (Ag*) dengan antigen tak
bertanda (Ag) terhadap antibodi (Ab) yang jumlahnya terbatas. Teknik ini
sangat spesifik karena didasarkan pada reaksi imunologi yaitu ikatan
antara antigen dan antibodi yang spesifik untuk antigen tertentu dan sangat
peka karena menggunakan perunut radioaktif yang dapat dideteksi dengan
alat-alat yang kepekaannya tinggi sehingga ketelitiannya tinggi. Oleh
karena itu teknik RIA ini banyak digunakan untuk menganalisis zat-zat
yang ada di dalam cairan tubuh seperti serum, plasma, urine dan kultur
media yang kadarnya rendah akan tetapi matriknya kompleks sehingga
teknik ini dapat digunakan untuk mengevaluasi fungsi organ atau suatu
penyakit. (Darlina, 1998).
Pada teknik RIA, setelah terjadi kesetimbangan reaksi maka akan
terdapat ligan yang terikat dan ligan bebas tak terikat, untuk ini perlu
dilakukan pemisahan. Sistim pemisahan yang ideal adalah yang rnudah,
cepat, sederhana, reprodusible, ekonomis, dan sempurna. Ada dua macam

9
cara pemisahan pada teknik RIA yaitu pemisahan fasa cair dan fasa padat.
( Darlina , 1998).
b. EIA (enzyme immuno assay)
Pemeriksaan enzyme immuno assay (EIA) adalah jenis pemeriksaan
penyaring yang efektif dan banyak dipakai untuk mendeteksi antibodi
karena mempunyai sensitifitas yang tinggi. (Fletcher, 2000). Sebagai
bahan pemeriksaan dipakai darah, cairan rongga mulut, atau urin., Hasil
pemeriksaan dibandingkan dengan nilai cut off yang didapat saat
pemeriksaan ELISA dilakukan. Bila nilai sampel lebih kecil dari nilai cut
off dianggap non reaktif, tetapi bila nilai sampel lebih besar dari nilai cut
off, pemeriksaan diulang kembali (induplikat) dengan memakai sampel
yang baru. Bila nilai sampel mendekati nilai cut off pemeriksaan ulang
dilakukan 2-4 minggu kemudian, karena diharapkan dalam periode
tersebut antibodi yang terbentuk sudah dapat dideteksi. Hasil negatif palsu
dapat terjadi karena rendahnya titer antibodi atau akibat terapi
immunosupresi. Hasil positif palsu dapat terjadi karena kesalahan teknik
pemeriksaan (pencucian yang salah, suhu yang tidak tepat atau sampel
terkontaminasi), sampel mengalami hemolisis atau lipemik atau terjadi
reaksi silang. Setiap hasil pemeriksaan EIA harus dikonfirmasikan dengan
pemeriksaan WB karena lebih spesifik. (Khurana et al, 2010)
c. ELISA
Metode ELISA adalah metode yang direkomendasikan oleh Kemenkes
RI untuk pemeriksaan HbsAg. Prinsip dari pemeriksaan ini adalah
penggabungan antara sampel, Anti-HBs yang telah dilapiskan pada
microwell dan Anti-HBs berlabel enzim (Kemenkes RI, 2012).
Prinsipnya adalah sejumlah antigen yang tidak dikenal ditempelkan
pada suatu permukaan, kemudian antibodi spesifik dicucikan pada
permukaan tersebut. Maka terjadilah ikatan dengan antigennya, antibodi
tersebut terikat dengan enzim ditambahkan substansi yang dapat diubah
oleh enzim menjadi sinyal yang dapat dibaca. Sampel dengan jumlah
antigen yang tidak diketahui dimobilisasai pada suatu permukaan solid
baik

10
spesifik( melalui penangkapan oleh antibodi lain yang spesifik untuk
antigen yang sama disebut sandwich ELISA) maupun non-spesifik
(melalui penyerapan pada permukaan). Setelah anttigen dimobilisasi
antibodi pendeteksi ditambahkan membentuk komplek antigen-antibodi.
Antibodi pendeteksi juga berikatan dengan enzim atau dideteksi oleh
antibodi sekunder yang berikatan dengan enzim melalui biokonjugasi.
Diantara tiap tahapan, plate harus dicuci dengan larutan deterjen lembut
untuk membuang kelebihan protein atau antibodi yang tidak terikat.
Setelah tahap pencucian terakhir dalam plate ditambahkan substrat
enzimatik untuk memproduksi sinyal yang visibel yng menunjukkan
kuantitas antigen dalam sampel (Lequin, 2005).
d. EMIT
Multiplied Immunoassay Technique (EMIT) merupakan metode umum
yang digunakan untuk uji kualitatif maupun kuantitatif senyawa obat dan
beberapa protein dalam serum dan urin. EMIT paling banyak diaplikasikan
dalam pelaksanaan TDM (Therapeutic Drug Monitoring) dengan sampel
serum dan dalam uji skrining narkoba dan metabolitnya dalam urin.
Prinsip dari metode EMIT adalah berdasarkan pada kompetisi dari
senyawa obat bebas dan senyawa derivat obat yang terkonjugasi pada
enzim (enzim berlabel obat) untuk berikatan pada antibodi. Apabila dalam
sampel terdapat senyawa obat maka antibodi akan berikatan pada obat dan
enzim berlabel obat akan bereaksi dengan substrat. Enzim dan substrat
yang digunakan yaitu glukosa-6-fosfat dehidrogenase dan glukosa-6-fosfat
dengan koenzim NAD+. Reaksi enzim dengan substrat akan melepaskan
ion hidrogen kemudian ion hidrogen akan bereaksi dengan NAD+
menghasilkan NADH. NADH inilah yang akan memberikan respon pada
detektor karena NADH mampu menyerap sinar pada panjang gelombang
340 nm. Jumlah absorbansi akan berbanding lurus dengan jumlah NADH
yang juga berbanding lurus dengan jumlah obat dalam sampel. Metode
EMIT banyak digunakan karena kemudahan operasionalnya, automatisasi
instrumen, dan kecepatan dalam pengerjaannya (Pouliopoulos et al, 2007).

11
e. FIA (Fluorescence immunoassay)
Tujuan penggunaan tehnik ini adalah pengenalan antigen dengan
antibodi spesifik dan visualisasinya dengan label, contohnya fluorescin,
rhodamin atau enzim yang direksikan dengan substrat kromogenik. Tehnik
ini disebut juga Fluorescence Immunoassay (FIA). Ada dua macam cara,
yaitu cara langsung, yang digunakan untuk menemukan antigen,
limmoglobulin atau komplemen, yang melekat pada sel jaringan penderita.
Sedangkan cara tidak langsung lebih banyak digunakan untuk menemukan
antibodi. Pada cara ini serum penderita direaksikan dengan sel atau
jaringan, kemudian ditambahkan anti antibodi yang bertanda fluoresen dan
diperiksa dibawah mikroskop ultraviolet atau mikroskop fluroresensi.
Tehnik imunofluoresensi mempunyai kelebihan yaitu relatif mudah
pengunaan reagennya dengan prosedur kerja yang simpel. Hanya tahap
pencucian dibutuhkan setelah pelabelan antibodi dan tidak membutuhkan
reagen seperti dalam prosedur imunoenzim. Kekurahgan tehnik ini adalah
membutuhkan inikros-kop khusus yang mahal, preparat tidak bersifat
permanen (spesimen harus segar) dan visualisasi gambaran sitomorfologi
kurang jelas (Baratawidjaya, 2000).
f. Fosfor Imunoassay
Sifat optik fosfor tidak terpengaruh oleh lingkungannya (misalnya,
penyangga dan suhu). Akibatnya, proses deteksi tidak terpengaruh oleh
cairan sampel dan kuat sehubungan dengan kondisi pengambilan sampel
atau sampel seperti darah utuh, plasma, urin, dahak, atau homogenat
jaringan. uji konjugasi antibodi atau obat biasanya memiliki jarak 3 mm
atau lebih, tergantung pada jumlah garis uji dan garis kontrol yang
digunakan. Bagian nitroselulosa strip uji cukup panjang untuk menampung
hingga 12 baris dengan jarak 3 mm yang dapat dibedakan oleh pembaca
strip uji seperti yang ditunjukkan pada . Antibodi atau konjugat obat yang
digunakan untuk striping biasanya diencerkan menjadi 0,5 sampai 1,0 mg /
mL dalam larutan saline buffer fosfat dan diterapkan pada 1 mL / cm dan
dikeringkan pada suhu kamar atau 37 ° C. Tes untuk diagnosis
dikembangkan sesuai

12
dengan prosedur yang sama untuk setiap senyawa target. Konstruksi
konjugat partikel fosfor dilakukan dengan konjugasi antibodi yang
dimurnikan protein-G ke masing-masing turunan obat dengan
menggunakan prosedur karbodiimida standar. Secara singkat, berbagai
konsentrasi antibodi diinkubasi dengan fosfor yang berfungsi karboksil
dengan adanya EDC / NHS. Setelah 2 jam, campuran dicuci dengan
sentrifugasi berulang dalam buffer untuk menghilangkan antibodi yang
tidak terikat. Fosfor berlabel antibodi kemudian disimpan pada suhu 4 ° C
sampai digunakan kemudian dianalisis (Niedbala, 2001).
g. CLIA (Chemiluminescent immunoassay)
Metode CLIA adalah sebuah tipe immunoassay yang merupakan
sebuah tes biokimia yang mengukur konsentrasi suatu substansi dalam
cairan, biasanya berupa serum darah atau air seni dengan melihat reaksi
antibodi terhadap antigennya. Bahan pemeriksaan HBsAg dapat
menggunakan serum atau plasma. Metoda CLIA digunakan juga untuk
meneliti HIV, HCV, HBSAG, dan Siphilis di dalam darah dari pendonor.
Prinsip kerja CLIA menggunakan derivative dari luminol dengan
peroksidase dan H2O2 (atau system enzimatik lainnya yang menghasilkan
H2O2, seperti oksidase glukosa atau uricase) ditambah penambah (turunan
dari Fenol, seperti p- iodofenol), yang meningkatkan emisi cahaya sampai
2.800 kali. C8H7N3O2 + H2O2 → 3 – APA →3 - APA + Light (luminal)
(hydrogen peroksida) Karena didalam sampel plasma masih mengandung
fibrinogen dimungkinkan akan mempengaruhi hasil pemeriksaan HBsAg,
sedangkan didalam serum sudah tidak terdapat fibrinogen karena dipakai
untuk faktor pembekuan. Sehingga serum digunakan sebagai gold standart
untuk pemeriksaan HBsAg (Alonso, 2014).
h. ECLIA ( Electrochemiluminescence immunoassay)
ECLIA merupakan suatu metode pemeriksaan yang bergantun pada
reaksi biochemistry untuk mengukur keberadaan atau jonsentrasi suatu
analit (zat yang ingin diperiksa). analit dapat berupa protein yang besar
atau antibodi yang dihasilkan oleh tubuh akibat proses dari infeksi.
ECLIA

13
adalah suatu metode untuk mendeteksi keberadaan antigen atau antibodi
dengan memanfaatkan reaksi antara antigen dengan antibodi yang
menghasilkan cahaya. Prinsip yaitu cahaya yang dihasilkan merupakan
hasil dari reaksi kimia yang distimulasi oleh molekul bermuatan listrik.
ECLIA ini menggunakan komplek ruthenium sebagai label dari
tripropylamine (TPA) sebagai pendonor elektron pada ruthenium (Gambar
1.20) Untuk mendeteksi kompleks reaksi diinisiasi dengan memberikan
arus listrik ke larutan sampel. Cahaya hasil reaksi akan diukur pada
panjang gelombang 620 nm (Cloud-Clone corp, 2013).
Pada metode ini menggunakan prinsip sandwich dan kompetitif. Pada
metode ECLIA yang menggunakan metode kompetitif dipakai untuk
menganalisis substrat yang mempunyai berat molekul yang kecil sperti
estradiol dan progesterone. Sedangkan prinsip sandwich digunakan untuk
menganalisi molekul dengan berat molekul yang besar seperti
prolactin,LH, testosterone (Cobas, 2010)

2.3.3. Immunoassay Kompetitif


Berdasarkan mekanisme reaksinya, sistem immunoassay dapat
dikategorikan menjadi assay kompetitif dan non kompetitif, system
terakhir ini prinsip dasarnya sama dengan prinsip peran substrat-inhibitor
dalam reaksi enzimatik (Berg, 2012). Gabungan dari sistem diatas
menghasilkan produk-produk imunodiagnostik komersial dengan enam
model reaksi dasar (Goshling, 1990). Berikut adalah jenis immunoassay
kompetitif menurut (Goshling, 1990):
1. Assay Kompetitif menggunakan antigen terlabel
Bertujuan mendeteksi antigen dengan konsentrasi antibody yang
terbatas dan menggunkan antigen yang dilabeli sebagai kompetitornya
dengan cara suatu assay kompetitif dengan antigen terlabeli enzim dan
antigen tidak terlabeli akan berkompetisi untuk mendapatkan tempat di
molekul antibody yang terbatas dan terikat pada suatu fasa padat
(agarosa, sepharosa dan poliakrilamida)

14
2. Assay kompetitif menggunakan antibodi berlabel
Assay ini biasanya digunakan jika sifat antigen dapat mempengaruhi
label enzim yang digunakan. Assay kompetitif dengan antibodi terlabel
enzim. Antigen terikat pada suatu fasa padat dan berkompetisi untuk
mendapat tempat pada molekul antibodi terlabel enzim yang terbatas.

2.3.4. Imunoassay Non-kompetitif


Antigen yang digunakan biasanya berlebih dan terikat pada matrix
tertentu, serum yang akan dideteksi jenis antibodinya (antibodi primer)
direaksikan dengan antigen tersebut. Reaksi ini memerlukan suatu anti-
antibodi (antibodi sekunder) terhadap antibodi yang akan dideteksi.
Antibodi sekunder inilah yang biasanya dilabel dan dapat bereaksi
dengan bagian Fab (Fragment antigen binding) dari molekul antibodi
primer, sehingga kandungan antibodi dalam serum dapat ditentukan
(Rantam F.A, 2003).

2.3.5. Imunoassay Heterogen


Sistem immunoassay dapat dilakukan (diformat) dalam dua system,
yaitu sistem heterogen yang memerlukan pemisahan dan sistem homogen
yang tidak memerlukan pemisahan reaktan setelah rekasi terjadi. Pada
sistem heterogen, sifat label sebelum dan sesudah reaksi tetap sama, jadi
perlu pemisahan komponen reaktan yang berlebih dengan kompleks Ag-
Ab yang terbentuk, sebab kuantitas kompleks ini yang akan dihitung
(Rantam F.A, 2003).

2.3.6. Immunoassay Homogen


Immunoassay homogen didefinisikan sebagai sistem immunoassay di
mana reaksi antigen-antibodi dan analisis reaksi dilakukan dalam larutan
tanpa pemisahan komponen bebas dan yang terikat antibodi. Hal ini
memungkinkan pengujian sederhana dan cepat yang dengan mudah dapat
digunakan di laboratorium klinis. Immuooassay homogen tentu bersifat
kompetitif dan dapat dijelaskan dengan persamaan berikut:
Ag + Ag* +Ab → Ag : Ab + Ag* : Ab

15
Persaingan terjadi antara analit tak berlabel (Ag dalam sampel) dan analit
berlabel (Ag *) dimana situs pengikatan antibodi dengan menggunakan
antibodi dalam jumlah terbatas. Label bebas atau label terikat antibodi
dapat diukur. Jika perbedaan antara label terikat dan bebas tidak dapat
dilakukan, diperlukan langkah pemisahan. Tetapi dalam kasus uji
homogen, tidak diperlukan pemisahan karena sinyal yang dihasilkan oleh
label dimoderasi oleh pengikatan antibodi sehingga label terikat dan bebas
dapat dibedakan (Numazaki et al, 1985).

16
BAB III
PENUTUP

3.1. Kesimpulan
1. Metode immunoassay didasarkan pada reaksi pengikatan kompetitif antara
jumlah tetap dari bentutk analit berlabel dan sejumlah analit tanpa label
pada anti-analit yang spesifik. Analisis dilakukan dengan mengukur
aktivitas label pada salah satu fraksi terikat atau bebas.
2. Metode analisis kualitiatif immunoassay dapat dilakukan dengan
immunofiksasi dan western blotting
3. Metode analisis kuantitatif immunoassay dapat dilakukan dengan
turbidimetri, nephelometri, imunokimia, immunoassay kompetitif,
immunoassay non – kompetitif, immunoassay heterogen, dan
immunoassay homogen.

3.2. Saran
Demikian makalah ini dibuat, saran dan kritik yang membangun senantiasa
penyusun harapkan demi penyempurnaan makalah yang penuh kekurangan ini.

17
DAFTAR PUSTAKA

Aoyagi K, Ashihara Y, Kasahara Y. (2017). Immunoassays and


immunochemistry. In: McPherson RA, Pincus MR, eds. Henry's Clinical
Diagnosis and Management by Laboratory Methods. 23rd ed. St Louis,
MO.

Alonso R, Roa PL, Suarez M, Bouza E. (2014).” New Automated


Chemiluminescence Immunoassay for Simultaneous but Separate
Detection of Human Immunodeficiency Virus Antigens and Antibodies”, in
Journal of clinical microbiology, vol. 52(5), p. 1467-1470.
Ausubel, F.M., R. Brent, R.E. Kingston, D. D. Moore, J.G. Seidman, J. A. Smith
and K. Struhl. (2003). Current Protocols in Molecular Biology. Jhon
Wiley and Sons. New York
Baratawidjaja, K.G. (2000). Imunologi Dasar Edisi IV. Jakarta: Balai Penerbit.
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

18
.

19

Anda mungkin juga menyukai