DISUSUN
Oleh :
KELOMPOK 6
DOSEN :
Iskandar Markus Sembiring , S.Kep, Ns, M.Kep
IIii
1
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL……………………………………………………………………… i
KATA PENGANTAR……………………………………………………………………..ii
DAFTAR ISI……………………………………………………………………………….iii
BAB I
A. Latar Belakang…………………………………………………………….1
B. Tujuan Penelitian………………………………………………………….5
C. Manfaat Penelitian……………………………………………………...…6
BAB II
A. Pengertian Cedera Kepala…………………………………………………8
B. Ventilator Mekanik………………………………………………………...9
BAB III
A. Asuhan Keperawatan……………………………………………..……...27
BAB IV
A. Penutup………………………………………………..…………………33
Daftar Pustaka……………………………………………………………………………..34
III
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Cedera kepala traumatik adalah salah satu masalah kesehatan utama dan
masalah sosial ekonomi yang menjadi penyebab kematian pada dewasa dan anak-
anak. Untuk mengatasi hal tersebut Brain Trauma Foundation (BFT) telah
intensive ini diatur tentang pengelolaan anastesi pada klien dengan cedera kepala
berat yaitu di Instalasi Gawat Darurat (IGD), Kamar Bedah (OK) dan Ruang
masalah obstruksi jalan nafas, proteksi terhadap resiko aspirasi dan mengontrol
ventilasi yang adekuat. Perawatan lanjutan post operatif di Ruang ICU seperti
mencegah hipoksia, dalam upaya mengendalikan aliran darah otak sehingga dapat
menghasilkan aliran udara terkontrol pada jalan nafas pasien sehingga mampu
III
2
klien di eropa digunakan pada kasus gagal nafas akut 69%, koma 17%, gagal
serius yang harus diantisipasi. Pasien yang terpasang ventilator dalam waktu yang
lama mempunyai peningkatan resiko kelemahan otot pernapasan. Hal ini yang
menyebabkan pola napas pasien tidak efektif. Kelemahan dan kelelahan otot
pernapasan inilah yang menjadi salah satu pemicu gagalnya proses weaning
ventilator (Lisa M et al, 2011). Penyapihan merupakan sebuah usaha dan proses
yang harus dijalani oleh semua pasien yang mendapat bantuan pernafasan
Critical care (2014) menyatakan bahwa sekitar 30% dari pasien dengan ventilasi
menimbulkan penderitaan klien secara emosional dan psikis. Untuk alasan inilah
ventilator mekanik.
2
3
baik sakit maupun sehat yang mencakup proses kehidupan manusia. Memasuki
era globalisasi, berbagai pelayanan kesehatan termasuk rumah sakit dituntut untuk
Dampak penyakit pada pasien tidak hanya berupa keterbatasan fisik namun
juga gangguan emosional pasien; tidak siap mental untuk menerima kenyataan
diperngaruhi oleh Stres perception, bila di terima dalam rentang negatif maka
akan memperburuk kondisi kesehatan pasien. Hal inilah yang harus diubah kearah
mekanisme koping yang digunakan akan tepat dan mengarahkan segala tindakan
dilakukan oleh yang Chistina Y dan dilaporkan dalam Jurnal Ilmiah Keperawatan
signifikan dalam hal motivasi untuk sembuh pada kelompok klien yang
3
5
yang merawatnya. Perlunya motivasi sembuh bagi pasien sangat penting karena
dengan motivasi sembuh dapat menjadi salah satu kekuatan untuk mempercepat
keinginan untuk sembuh dari penyakit biasanya ada dorongan dari dalam dirinya
untuk sembuh. Dorongan ini secara umum dapat disebut sebagai motivasi diri dan
motivasi inilah yang harus dibangkitkan (Wardhana, 2011), jika motivasi tersebut
klien, ini merupakan upaya keperawatan mandiri yang bisa dilakukan oleh
mekanik. Hal inilah yang menarik minat penulis untuk menganalisis praktik klinik
Husada Bontang.
B. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
2. Tujuan Khusus
mekanik
mekanik.
C. Manfaat Penelitian
Penulisan Karya Ilmiah ini diharapkan dapat bermanfaat dalam dua aspek,
yaitu :
1. Manfaat Aplikatif
a. Bagi Klien
6
6
b. Bagi Perawat
2. Manfaat Keilmuan
a. Bagi Penulis
perawat ICU.
6
7
riset terkini.
7
8
BAB II
TINJUAN PUSTAKA
A. Cedera Kepala
mutakhir cedera kepala yang terdiri dari resusitasi dan stabilisasi pra
8
9
banyak, dekat area vital, pengelolaan jalan nafas pra operasi sulit.
dari perawatan umum yang ketat dan perawatan lain yang bertujuan :
B. Ventilator Mekanik
1. Pengertian
9
10
10
11
spontan?
suatu evaluasi dari kondisi klinis sesuai pada tabel 2.1. Tergantung
penyapihan.
Tabel 2.1
Kondisi yang Bisa Menghambat Kesuksesan Penyapihan
Conditions Examples
Patient / Patthophysiologic Fever
Injections
Renal Failure
Sepsis
Sleep Deprivation
Cardiac / circulatory Arrhytmias
Blood pressure (high or low)
Cardiac Out Put (high or Low)
Dietary / acid-base / electroytes Acid-base imbalance
Electrolit disturbance
Anemia / dysfunctional hemoglobins
Sumber : Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39 No 3 september 2006
11
12
berikut ini.
Tabel 2.2
Kriteria Penyapihan
Category example value
Ventilatory Criteria PaCO2 < 50 mmHg with normal pH
Vital capacity >10 to 15ml/kg
Spontaneous VT >5 to 8ml/kg
Spontaneous RR (f) < 30/min
Minute ventilation < 10 L
Oxygenation criteria PaO2 without PEEP >60 mmHg @Fi O2 up to 0,4
PaO2with PEEP >100mmHg @Fi O2 up to 0,4
SaO2 >90% @Fi O2 up to 0,4
Qs/QT < 20 %
P(A-a)O2 < 350 mmHg @F1O2 up to 1,0
PaO2 /Fi O2 >200 mmHg
Pulmonary reserve Max. Voluntary Vent. 2x mi vent @ F1O2 up to 0,4
Max. Insp. Pressure >-20 to -30 cm H2O in 20 sec
Pulmonary Static complaince >30 ml/cm H2O
measurements Airway Resistance Observe trend
VD/VT < 60%
Sumber : Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39 No 3 september 2006
c. Prosedur Penyapihan
12
13
d. Keberhasilan penyapihan
e. Kegagalan penyapihan
13
17
Tabel 2.3
Indikator Kegagalan Penyapihan Ventilator Mekanik
Indikator uraian
Gas Darah Peningkatan PaCO2(>50mmHg)
Penurunan pH (<7.30)
Penurunan PaO2 (<60mmHg)
Penurunan SpO2 (<90%)
Tanda Vital Perubahan Tekanan Darah (20 mmHg systolik atau 10 mmHg
diastolik)
Peningkatan Heart Rate ( > 110/menit)
EKG Abnormal ( arrythmia )
Pernafasan Penurunan VT (<250 ml)
Peningkatan RR (> 30 x/menit)
Penurunan MIP ( < 20cm H20)
Penurunan Static compiance (<30ml.cmH20)
Peningkatan VD/VT (>60%)
Sumber : Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39 No 3 september 2006
17
27
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
DIAGNOSA KEPERAWATAN:
1. Perubahan perfusi jaringan serebral b.d penghentian aliran darah (hemoragi,
hematoma); edema cerebral; penurunan TD sistemik/hipoksia (hipovolemia, disritmia
jantung)
2. Resiko tinggi pola napas tidak efektif b.d kerusakan neurovaskuler (cedera pada pusat
pernapasan otak). Kerusakan persepsi atau kognitif. Obstruksi trakeobronkhial.
3. Perubahan persepsi sensori b. d perubahan transmisi dan/atau integrasi (trauma atau
defisit neurologis).
4. Perubahan proses pikir b. d perubahan fisiologis; konflik psikologis.
5. Kerusakan mobilitas fisik b. d kerusakan persepsi atau kognitif. Penurunan
kekuatan/tahanan. Terapi pembatasan /kewaspadaan keamanan, misal: tirah baring,
imobilisasi.
6. Resiko tinggi terhadap infeksi b.d jaringan trauma, kulit rusak, prosedur invasif.
Penurunan kerja silia, stasis cairan tubuh. Kekurangan nutrisi. Respon inflamasi
tertekan (penggunaan steroid). Perubahan integritas sistem tertutup (kebocoran CSS)
7. Resiko tinggi terhadap perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b. d perubahan
kemampuan untuk mencerna nutrien (penurunan tingkat kesadaran). Kelemahan otot
yang diperlukan untuk mengunyah, menelan. Status hipermetabolik.
8. Perubahan proses keluarga b. d transisi dan krisis situasional. Ketidak pastian tentang
hasil/harapan.
9. Kurang pengetahuan mengenai kondisi dan kebutuhan pengobatan b. d kurang
pemajanan, tidak mengenal informasi. Kurang mengingat/keterbatasan kognitif.
Tujuan:
Mempertahankan tingkat kesadaran biasa/perbaikan, kognisi, dan fungsi
motorik/sensorik.
Kriteria hasil:
27
27
Tanda vital stabil dan tidak ada tanda-tanda peningkatan TIK
Intervensi Rasional
Tentukan faktor-faktor yg Penurunan tanda/gejala neurologis atau kegagalan
menyebabkan dalam pemulihannya setelah serangan awal,
koma/penurunan perfusi menunjukkan perlunya pasien dirawat di perawatan
jaringan otak dan potensial intensif.
peningkatan TIK.
Pantau /catat status Mengkaji tingkat kesadaran dan potensial peningkatan
neurologis secara teratur TIK dan bermanfaat dalam menentukan lokasi,
dan bandingkan dengan perluasan dan perkembangan kerusakan SSP.
nilai standar GCS.
Evaluasi keadaan pupil, Reaksi pupil diatur oleh saraf cranial okulomotor (III)
ukuran, kesamaan antara berguna untuk menentukan apakah batang otak masih
kiri dan kanan, reaksi baik. Ukuran/ kesamaan ditentukan oleh keseimbangan
terhadap cahaya. antara persarafan simpatis dan parasimpatis. Respon
terhadap cahaya mencerminkan fungsi yang
terkombinasi dari saraf kranial optikus (II) dan
okulomotor (III).
Pantau tanda-tanda vital: Peningkatan TD sistemik yang diikuti oleh penurunan
TD, nadi, frekuensi nafas, TD diastolik (nadi yang membesar) merupakan tanda
suhu. terjadinya peningkatan TIK, jika diikuti oleh penurunan
kesadaran. Hipovolemia/hipertensi dapat
mengakibatkan kerusakan/iskhemia cerebral. Demam
dapat mencerminkan kerusakan pada hipotalamus.
Peningkatan kebutuhan metabolisme dan konsumsi
oksigen terjadi (terutama saat demam dan menggigil)
yang selanjutnya menyebabkan peningkatan TIK.
Pantau intake dan out put, Bermanfaat sebagai ndikator dari cairan total tubuh
turgor kulit dan membran yang terintegrasi dengan perfusi jaringan.
mukosa. Iskemia/trauma serebral dapat mengakibatkan diabetes
insipidus. Gangguan ini dapat mengarahkan pada
masalah hipotermia atau pelebaran pembuluh darah
yang akhirnya akan berpengaruh negatif terhadap
tekanan serebral.
Turunkan stimulasi Memberikan efek ketenangan, menurunkan reaksi
28
27
eksternal dan berikan fisiologis tubuh dan meningkatkan istirahat untuk
kenyamanan, seperti mempertahankan atau menurunkan TIK.
lingkungan yang tenang.
Bantu pasien untuk Aktivitas ini akan meningkatkan tekanan intrathorak
menghindari /membatasi dan intraabdomen yang dapat meningkatkan TIK.
batuk, muntah, mengejan.
Tinggikan kepala pasien Meningkatkan aliran balik vena dari kepala sehingga
15-45 derajad sesuai akan mengurangi kongesti dan oedema atau resiko
indikasi/yang dapat terjadinya peningkatan TIK.
ditoleransi.
Batasi pemberian cairan Pembatasan cairan diperlukan untuk menurunkan
sesuai indikasi. edema serebral, meminimalkan fluktuasi aliran vaskuler
TD dan TIK.
Berikan oksigen tambahan Menurunkan hipoksemia, yang mana dapat
sesuai indikasi. meningkatkan vasodilatasi dan volume darah serebral
yang meningkatkan TIK.
Berikan obat sesuai Diuretik digunakan pada fase akut untuk menurunkan
indikasi, misal: diuretik, air dari sel otak, menurunkan edema otak dan TIK,.
steroid, antikonvulsan, Steroid menurunkan inflamasi, yang selanjutnya
analgetik, sedatif, menurunkan edema jaringan. Antikonvulsan untuk
antipiretik. mengatasi dan mencegah terjadinya aktifitas kejang.
Analgesik untuk menghilangkan nyeri . Sedatif
digunakan untuk mengendalikan kegelisahan, agitasi.
Antipiretik menurunkan atau mengendalikan demam
yang mempunyai pengaruh meningkatkan metabolisme
serebral atau peningkatan kebutuhan terhadap oksigen.
2. Resiko tinggi pola napas tidak efektif berhubungan dengan kerusakan neurovaskuler
(cedera pada pusat pernapasan otak). Kerusakan persepsi atau kognitif. Obstruksi
trakeobronkhial.
Tujuan:
mempertahankan pola pernapasan efektif.
Kriteria evaluasi:
bebas sianosis, GDA dalam batas normal
29
27
Intervensi Rasional
Pantau frekuensi, irama, Perubahan dapat menandakan awitan komplikasi
kedalaman pernapasan. pulmonal atau menandakan lokasi/luasnya keterlibatan
Catat ketidakteraturan otak. Pernapasan lambat, periode apnea dapat
pernapasan. menandakan perlunya ventilasi mekanis.
Pantau dan catat Kemampuan memobilisasi atau membersihkan sekresi
kompetensi reflek penting untuk pemeliharaan jalan napas. Kehilangan
gag/menelan dan refleks menelan atau batuk menandakan perlunaya jalan
kemampuan pasien untuk napas buatan atau intubasi.
melindungi jalan napas
sendiri. Pasang jalan napas
sesuai indikasi.
Angkat kepala tempat Untuk memudahkan ekspansi paru/ventilasi paru dan
tidur sesuai aturannya, menurunkan adanya kemungkinan lidah jatuh yang
posisi miirng sesuai menyumbat jalan napas.
indikasi.
Anjurkan pasien untuk Mencegah/menurunkan atelektasis.
melakukan napas dalam
yang efektif bila pasien
sadar.
Lakukan penghisapan Penghisapan biasanya dibutuhkan jika pasien koma atau
dengan ekstra hati-hati, dalam keadaan imobilisasi dan tidak dapat
jangan lebih dari 10-15 membersihkan jalan napasnya sendiri. Penghisapan pada
detik. Catat karakter, trakhea yang lebih dalam harus dilakukan dengan ekstra
warna dan kekeruhan dari hati-hati karena hal tersebut dapat menyebabkan atau
sekret. meningkatkan hipoksia yang menimbulkan
vasokonstriksi yang pada akhirnya akan berpengaruh
cukup besar pada perfusi jaringan.
Auskultasi suara napas, Untuk mengidentifikasi adanya masalah paru seperti
perhatikan daerah atelektasis, kongesti, atau obstruksi jalan napas yang
hipoventilasi dan adanya membahayakan oksigenasi cerebral dan/atau
suara tambahan yang tidak menandakan terjadinya infeksi paru.
normal misal: ronkhi,
wheezing, krekel.
Pantau analisa gas darah, Menentukan kecukupan pernapasan, keseimbangan
30
27
tekanan oksimetri asam basa dan kebutuhan akan terapi.
Lakukan ronsen thoraks Melihat kembali keadaan ventilasi dan tanda-
ulang. tandakomplikasi yang berkembang misal: atelektasi atau
bronkopneumoni.
Berikan oksigen. Memaksimalkan oksigen pada darah arteri dan
membantu dalam pencegahan hipoksia. Jika pusat
pernapasan tertekan, mungkin diperlukan ventilasi
mekanik.
Lakukan fisioterapi dada Walaupun merupakan kontraindikasi pada pasien
jika ada indikasi. dengan peningkatan TIK fase akut tetapi tindakan ini
seringkali berguna pada fase akut rehabilitasi untuk
memobilisasi dan membersihkan jalan napas dan
menurunkan resiko atelektasis/komplikasi paru lainnya.
3. Resiko tinggi terhadap infeksi b.d jaringan trauma, kulit rusak, prosedur invasif.
Penurunan kerja silia, stasis cairan tubuh. Kekurangan nutrisi. Respon inflamasi
tertekan (penggunaan steroid). Perubahan integritas sistem tertutup (kebocoran CSS)
Tujuan:
Mempertahankan normotermia, bebas tanda-tanda infeksi.
Kriteria evaluasi:
Mencapai penyembuhan luka tepat waktu.
Intervensi Rasional
Berikan perawatan aseptik Cara pertama untuk menghindari terjadinya infeksi
dan antiseptik, nosokomial.
pertahankan tehnik cuci
tangan yang baik.
Observasi daerah kulit Deteksi dini perkembangan infeksi memungkinkan
yang mengalami untuk melakukan tindakan dengan segera dan
kerusakan, daerah yang pencegahan terhadap komplikasi selanjutnya.
terpasang alat invasi, catat
karakteristik dari drainase
dan adanya inflamasi.
Pantau suhu tubuh secara Dapat mengindikasikan perkembangan sepsis yang
31
27
teratur, catat adanya selanjutnya memerlukan evaluasi atau tindakan dengan
demam, menggigil, segera.
diaforesis dan perubahan
fungsi mental (penurunan
kesadaran).
Anjurkan untuk Peningkatan mobilisasi dan pembersihan sekresi paru
melakukan napas dalam, untuk menurunkan resiko terjadinya pneumonia,
latihan pengeluaran sekret atelektasis.
paru secara terus menerus.
Observasi karakteristik
sputum.
Berikan antibiotik sesuai Terapi profilatik dapat digunakan pada pasien yang
indikasi mengalami trauma, kebocoran CSS atau setelah
dilakukan pembedahan untuk menurunkan resiko
terjadinya infeksi nosokomial.
32
27
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
33
33
DAFTAR PUSTAKA
Balun R, Detre JAA, Levine JM. Clinical Assesment in the neurocritikal care unit.
Philadelpia 2013:84-98
34
4
Jurnal e-Clinic (eCl), Volume 3, Nomor 1, Januari-April 2015
1
Patrick Zwingly
2
Maximillian Ch. Oley
2
H. P. Limpeleh
1
Kandidat Skripsi Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi Manado
2
Bagian/SMF Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi Manado
Email: patrickmawu93@gmail.com
Abstract: Traumatic brain injury is a major global problem. Global incident average in urban areas
ranged from 108 to 332 new cases admitted to the hospital per 100,000 population per year. About
39% of patients with severe brain trauma died due to injuries, and 60% had low Glasgow Outcome
Scale (GCS). Neurosurgical surgery decreased the incidence of death and injury due to head
trauma from 72 to 25%. However, patients still show significant disability after completion of
therapy. Disability could manifest in the form of physical, mental, and/or behavior disability. This
was a descriptive study with a cross-sectional design by using a questionnaire. This study aimed to
obtain the quality of life of patients with head injury in post-operative period from January 2012 -
December 31, 2013 in Prof. R. D. Kandou Hopital Manado. The results showed that most
respondents were male (61.3%), aged 11-20 years (48.6%). Most respondents lived at Malalayang
(19.4%). The most frequent head injuries were mild head injuries (74.2%). The final states of the
patients (GOS) were: good recovery 58.1% and moderate disability 41.9%. Patients with GCS
mild, moderate, or good recovery disability were 3.2% each. Patients with GCS were mostly good
recovery (48.4%). Most patients with severe GCS experienced moderate disability (12.9%).
Characteristics of patient satisfaction were satisfied 54.8% and not satisfied 45.2%. Relationship of
satisfaction level with GOS was as follows: most satisfied patients had good recovery (35.5%),
where as most not-satisfied patients had moderate disability (29.0%).
Keywords: head injury, post craniotomy, patient satisfaction
Abstrak: Kerusakan otak traumatik merupakan masalah global utama. Insiden rata-rata di
perkotaan secara global berkisar dari 108 sampai 332 kasus baru yang masuk rumah sakit per
100.000 populasi per tahun. Rata-rata 39% pasien-pasien dengan trauma otak berat meninggal
karena cedera, dan 60% memiliki Glasgow Outcome Scale (GCS) yang rendah. Tindakan operasi
bedah saraf menurunkan insiden kematian dan cedera akibat trauma kepala dari 72 sampai 25%.
Meski demikian, pasien-pasien tetap menunjukkan kecacatan yang nyata sesudah menyelesaikan
terapi, baik berupa cacat fisik, mental, dan/atau perilaku. Penelitian ini bertujuan untuk melihat
gambaran kualitas hidup pasien cedera kepala pasca operasi periode Januari 2012-Desember 2013
di RSUP. Prof. Dr. R. D. Kandou Manado. Hasil penelitian menunjukkan responden terbanyak
ialah laki-laki (61,3%), usia terbanyak 11-20 tahun (48,6%), alamat responden terbanyak di
Malalayang (19,4%). Cedera kepala terbanyak ialah cedera kepala sedang sebesar 74,2%. Keadaan
akhir pasien (GOS), good recovery sebesar 58,1%, sedangkan moderate disability 41,9%. Pasien
dengan GCS ringan, moderate dissability dan good recovery masing-masing sebesar 3,2%. Pasien
dengan GCS sedang paling banyak good recovery yaitu 48,4%. Pasien dengan GCS berat paling
banyak mengalami moderate dissability yaitu 12,9%. Karakteristik kepuasan pasien diperoleh puas
sebesar 54,8% sedangkan yang tidak puas 45,2%. Hubungan tingkat kepuasan dengan GOS, yang
puas ter banyak pasien yang good recovery yaitu 35,5%, sedangkan yang tidak puas terbanyak
moderate dissability yaitu 29,0%.
Kata kunci: cedera kepala, pasca kraniotomi, kepuasan pasien.
563
Zwingly, Oley, Limpeleh: Gambaran kualitas hidup pasien cedera kepala ...
Kerusakan otak traumatik adalah masalah pasien. Kecacatan yang timbul bisa berupa
global utama. Insiden rata-rata di perkotaan cacat fisik, mental, dan/atau perilaku.
secara global berkisar dari 108 sampai 332 Trauma bisa juga mempengaruhi persepsi,
kasus baru yang masuk rumah sakit per kesadaran dan kognisi. Beberapa pasien
100.000 populasi per tahun. Rata-rata 39% menderita disfungsi fisik dan/atau mental.
pasien-pasien dengan trauma otak berat Perasaan marah, ketidak sabaran, depresi,
meninggal karena cedera, dan 60% kehilangan kontrol, dan gangguan tidur
memiliki GCS (Glasgow Outcome bisa dialami oleh pasien. Demikian juga,
Scale)yang rendah. Insiden cedera otak kontak sosial dapat berkurang akibat stress
traumatik meningkat di negara-negara post-traumatik, dan kehidupan profesional
dengan penghasilan rendah dan menengah dan personal menjadi kurang efektif.6,7
karena peningkatan transportasi yang
meningkatkan kecelakaan, dan usia muda METODE PENELITIAN
paling sering menjadi korban.1Tingkat Penelitian ini bersifat deskriptif dengan
kecelakaan lalulintas di Sulawesi Utara pendekatan cross sectional dengan
pada tahun 2012 sebanyak 1.269 kasus, menggunakan kuesioner tingkat kepuasan
dengan korban meninggal 292, luka berat pasien cedera kepala pasca bedah di Bagian
sebanyak 683 orang dan luka ringan 1.076 Bedah BLU RSU Prof. R.D. Kandou
orang.Di Kota Manado menurut Polresta periode Januari 2012-Desember 2013.
Manado, kecelakaan lalulintas terjadi
sebanyak 414 kasus dengan korban HASIL PENELITIAN DAN BAHASAN
meninggal 73 orang, luka berat 146 orang, Penelitian ini menggunakan kuesioner
ringan 375 orang, dengan kerugian ditaksir yang terdiri dari 36 pertanyaan yang
sebesar 1,798 miliar rupiah.2 berhubungan dengan seberapa puaskah
Cedera kepala telah menyebabkan pasien mengenai apa yang mereka alami
banyak kematian dan cacat pada usia atau lakukan dalam kehidupan keseharian.
kurang dari 50 tahun. Otak bisa mengalami Dalam penelitian ini, kami mewawancarai
cedera meskipun tidak terdapat luka yang secara langsung 31 pasien pasien cedera
menembus tulang tengkorak. Berbagai kepala pasca operasi yang berhasil
cedera bisa disebabkan oleh percepatan ditemukan dari alamat dan nomor telepon
mendadak yang memungkinkan terjadinya dalamcatatan medik pasien.
benturan atau karena perlambatan Tabel 1 menunjukkan responden yang
mendadak yang terjadi jika kepala banyak laki-laki, sesuai dengan data pada
membentur objek yang tidak bergerak. SMF Bedah RSUP Prof R.D. Kandou yang
Kerusakan otak bisa terjadi pada titik menunjukkan pasien cedera kepala
benturan dan pada sisi yang berlawanan.3,4 terbanyak yang menjalani operasi, dengan
Tindakan operasi bedah saraf seperti usia terbanyak ialah 11-20 tahun (48,6%).
kraniotomi merupakan proses medis lanjut Angka ini berhubungan erat dengan
yang didesain untuk menurunkan insiden tingginya angka kecelakaan kendaraan
kematian dan cedera akibat trauma kepala. bermotor yang paling banyak melibatkan
Kraniotomi meliputi pembukaan tengkorak laki-laki dan mereka dengan usia remaja.
dengan dengan membuat flap tulang Menurut Riset Kesehatan Dasar 2013,
dengan mengangkat potongan sirkular kecelakaan kendaraan bermotor paling
tulang melalui trepanasi. Prosedur ini sering terjadi pada pria (44,6 %) dengan
menurunkan angka kematian dari 72 kelompok umur paling sering terjadinya
sampai 25%.5 kecelakaan adalah 15-24 tahun (64,7 %)
Meski demikian, pasien-pasien tetap dan area perkotaan dengan kepadatan
menunjukkan kecacatan yang nyata lalulintas yang tinggi.8
sesudah menyelesaikan terapi, tingkat Berdasarkan distribusi GCS saat pasien
kecacatan tergantung pada beratnya masuk, paling banyak adalah cedera kepala
kecelakaan, kerusakan organ dan umur sedang sebanyak 23 pasien (74,2%). Dalam
Jurnal e-Clinic (eCl), Volume 3, Nomor 1, Januari-April 2015
mempertimbangkan penggunaan GCS saat Sedangkan hubungan antara skor awal GCS
awal masuk sebagai prediktor prognosis, dan GOS pada skor awal GCS, pasien
masalah yang dihadapi adalah seberapa dengan GCS ringan, moderate dissability
tepat penilaian GCS saat awal masuk, dan good recovery masing-masing 1 pasien
bahkan prognosisnya tidak dapat diprediksi (3,2 %). Pasien dengan GCS sedang paling
secara akurat walaupun GCS awal masuk banyak good recovery (48,4 %). Pasien
rendah. dengan GCS berat, paling banyak
Keadaan akhir pasien (GOS), good mengalami moderate dissability (12,9 %).
recovery sebesar 58,1 %, sedangkan Pada cross tabulasi antara GCS dan GOS,
moderate dissability sebesar 41,9 %. terlihat bahwa GCS yang rendah
Pemulihan baik lebih besar daripada cacat berhubungan dengan tingginya kecacatan
ringan dan bervariasi pada setiap individu. yang dialami.
Tabel 2. Distribusi penderita cedera kepala Tabel 3. Distribusi penderita cedera kepala
berdasarkan keadaan awal pasien (GCS) berdasarkan keadaan akhir pasien (GOS)
Kepuasan Frekuensi %
Puas 17 54,8
Tidak puas 14 45,2
Total 31 100
Tingkat GOS
Total
kepuasan Dead Moderate dissability Good recovery
Puas 0 (0 %) 6 (19,4 %) 11 (35,5 %) 17 (54.8 %)
Tidak puas 0 (0 %) 9 (29,0 %) 5 (16,1 %) 14 (45,2 %)
567
Manajemen Perioperatif Trepanasi Dekompresi Subdural Hemorrhage (SDH) dengan
Hemofilia A
Saiful Anwar Malang, **)Konsultan Neuroanesthesia, Departemen/SMF Anestesiologi dan Terapi Intensif, Fakultas
Kedokteran Universitas Brawijaya-RSUD Dr Saiful Anwar Malang
Abstrak
Hemofilia adalah kelainan darah bawaan yang serius dengan wanita sebagai pembawa, terutama didapatkan pada
pria dan berlangsung sepanjang hidup dimana hemofilia A merupakan tipe hemofilia tersering. Ketika salah satu
faktor yang diperlukan untuk pembekuan darah hilang atau memiliki fungsi yang tidak memadai, mekanisme
koagulasi yang terganggu menyebabkan perdarahan yang tidak dapat dihentikan. Saat ini, penyebab kematian
paling umum di antara pasien hemofilia adalah perdarahan otak karena trauma kepala. Kasus perdarahan intrakranial
sebisa mungkin dilakukan tindakan operasi segera untuk mendapatkan prognosis yang lebih baik. Tindakan
evakuasi perdarahan harus dikerjakan dalam waktu singkat namun memiliki resiko tinggi terjadinya perdarahan
ulang. Pemberian penggantian faktor VIII rekombinan untuk pengobatan perdarahan akut pada pasien hemofilia A
berat harus dilakukan segera. Rumatan anestesi juga harus mencakup penurunan resiko hipertensi dan takikardia
untuk meminimalkan terjadinya perdarahan. Laki-laki usia 17 tahun dengan diagnosa penurunan kesadaran cedera
kepala 2x4 karena perdarahan intracranial subdural hemorrhage (SDH) regio frontotemporoparietal sinistra dan
edema cerebri hari ke 4 disertai herniasi subfalcine ke kanan dengan hemofilia A direncanakan tindakan trepanasi
dekompresi evakuasi SDH. Pasien mendapatkan injeksi faktor VIII 4000 unit sebelum operasi. Durante operasi
perdarahan 1100cc dan mendapat transfusi 1940cc produk darah hingga hemodinamik stabil. Post operatif pasien
dilakukan perawatan di ICU selama 8 hari, dilakukan extubasi setelah kondisi membaik.
Abstract
Haemofilia A is congenital blood disease with female carrier, usualy found in male patient and happened for life.
When one coagulation factor is lost or disfunction, coagulation mechanism will be disturbed and the bleeding
difficult to stop. In this day, brain injury caused by trauma is the first cause of death in patient with haemophilia.
Surgery in intracranial bleeding must be done as much as possible to get better prognosis. Blood evacuation must
undergo quickly but very risky for rebleeding. Factor VIII must be given as soon as possible for treatment in severe
haemophilia A patient with acute bleeding. Maintenance anesthesia also include decrease risk of hypertension
and tachicardia for minimalize the ongoing bleeding. Male 17th years old diagnose with brain injury 2x4 caused
by subdural hemorrhage (SDH) left frontotemporoparietal region and cerebral edema followed by subfalcine
herniation to the right and haemophilia A planned for decompression evacuation of SDH. Patient got factor VIII
4000unit before operation. Intraoperative bledding are 1100cc and get 1940cc of blood product for stabilize the
haemodynamic. Post operative was observe in Intensive Care Unit and went for extubation after 8th day after in
good condition.
Pemeriksaan penunjang
Pasien dinilai dengan status fisik ASA 4E.
pemeriksaan CT scan kepala didapatkan subdural
hemorrhage pada regio frontotemporooccipital
sinistra, interhemisfer serebri anteroposterior,
tentorium cerebri kiri dengan ketebalan 30mm, 9
slice kecurigaan masih aktif dan edema cerebri
dengan herniasi subfalcine ke kanan sejauh
20mm dan herniasi transtentorium downward
setinggi mesensephalon dan subgaleal hematoma
temporo parielo occipital kiri (Gambar. 1). Dari
pemeriksaan chest x-ray didapatkan cor dan
pulmo dalam batas normal (Gambar 2). Hasil
Grafik 1. Status Hemodinamik Pasien Durante
laboratorium pada Tabel 1. Pasien direncanakan
Operasi
trepanasi evakuasi dekompresi SDH dengan
Terapi harus dilanjutkan hingga 2 minggu treatment dilemma. Int J Surg Case Rep
pasca operasi untuk menghindari pendarahan [Internet]. 2016;29:17–9.
yang dapat mengganggu penyembuhan luka.
Pemantauan pasca operasi sangat penting karena 3. Salen P, Babiker HM. Hemophilia A.
pasien hemofilia berisiko mengalami pendarahan StatPearls [Internet]. 2021; Available from:
yang tertunda setelah operasi (≥48 jam setelah https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/
prosedur). Pasien dirawat dengan ventilator post NBK470265
operasi di ICU dikarenakan kesadaran pasien yang
menurun. Pasien lakukan weaning dan ekstubasi 4. Drelich DA. Hemophilia A. Medscape
tujuh hari post operatif dan dilakukan perawatan [Internet]. 2020; Available from: https://
lebih lanjut di ruang high care unit. Penggunaan emedicine.medscape.com/article/779322
analgesic lain pasca operasi seperti termasuk
administrasi opioid, acetaminophen, dan inhibitor 5. Hopkins J. Anesthetic considerations for the
COX-2 dapat menjadi pertimbangan, sedangkan patient with hemophilia A. CRNA Today
penggunaan agen antiinflamasi nonsteroid eJournal [Internet]. 2018;3(3). Available
lainnya tidak dianjurkan.7-13 from: https://www.kumc.edu/Documents/
shp/nurse-anesthesia/alumni-newsletter/
IV. Simpulan Hopkins-Article-March2018.pdf
ABSTRAK
Latar Belakang : Cedera kepala merupakan salah satu kasus penyebab kecacatan dan kematian yang
menjadi masalah kesehatan utama. Penanganan awal dapat meminimalisir seorang pasien terkena cedera
kepala sekunder. Salah satu cara untuk melalukan penanganan pasien dengan cedera kepala diantaranya
dengan menjaga jalan nafas dengan pemberian terapi oksigenasi. Tujuan : Mengetahui penerapan
teknik head up 30° terhadap peningkatan perfusi jaringan otak pada pasien yang mengalami cedera
kepala sedang. Metode : Jenis penelitian ini adalah deskriptif menggunakan metode pendekatan studi
kasus. Subyek dalam penelitian ini adalah dua orang klien yang mengalami cedera kepala sedang. Hasil:
Setelah diberikan terapi peninggian kepala 30° pada Tn.A dan Tn.I tidak mengalami sesak dibuktikan
dengan RR dalam batas normal dan peningkataan kesadaran. Kesimpulan: Penerapan teknik head up
30° dapat meningkatan perfusi jaringan otak pada pasien yang mengalami cedera kepala sedang.
Kata kunci : Congestive Heart Failure, Ketidakefektifan Pola Nafas, Terapi Pemberian Oksigen
ABSTRACT
Background : Congestive Heart Failure is the inability of the heart to pump enough blood to carry out
metabolism to meet the requirements for oxygen and nutrients in other words, it requires an abnormal
increase in pressure on the heart to meet the needs of metabolism. The main problem with clients with
congestive heart failure is ineffective breathing patterns. To overcome the breathing pattern is giving
oxygen therapy. Objective : to determine the description of the management of nursing care to clients
with comprehensive congestive heart failure through the nursing process. Method : This type of research
is descriptive using a case study approach. The subjects in this study were two clients who experienced
congestive heart failure with criteria experiencing shortness of breath and compositional awareness.
Results : showed that there were changes in breathing patterns for the better, not experiencing shortness
and normal breathing frequency. Conclusion : Nursing problems with ineffective breathing patterns
associated with hyperventilation can be overcome with giving oxygen therapy, increased oxygen, to
obtain criteria for the results to be achieved.
Keywords: Congestive Heart Failure, Ineffective Breathing Patterns, Giving Oxygen Therapy.
7
Latar Belakang Ringan (GCS 13-15) dapat terjadi kehilangan
Secara global, insiden cedera kepala kesadaran atau amnesia selama 30 menit, tidak
sedang meningkat denganta jam terutama Ada kontusio tengkorak, tidak ada fraktur
karena peningkatan penggunaan kendaraan serebral, dan hematoma (2) Cedera Kepala
bermotor. Tahun 2018 WHO memperkirakan Sedang (GCS 9-12) hilangnya kesadaran atau
bahwa kecelakaan lalu lintas akan menjadi amnesia lebih dari 30 menit, kurangdari 24 jam
penyebab penyakit dan trauma ketiga bisa terjadinya fraktur tengkorak, (3) Cedera
terbanyak didunia (Nurfaise, 2012). Kepala Berat (GCS 3-8) dapat kehilangan
Cedera kepala merupakan salah satu kesadaran dan terjadi amnesia lebihdari 24 jam
kasus penyebab kecacatan dan kematian yang meliputi kontusio serebral, laserasi, atau
menjadi masalah kesehatan utama karena hematoma intrakarnial (Amien&Hardhi, 2016).
korban gawat darurat yang menyerang Cedera kepala merupakan salah satu
sebagian orang sehat dan produktif (Sartono et kegawat daruratan yang banyak mengancam
al, 2014). jiwa, maka dari itu harus ditangani dengan tepat
Cedera kepala dapat menimbulkan dan cepat. Penanganan awal dapat
kondisi, seperti gegarbotak ringan, koma, meminimalisir seorang pasien terkena cedera
sampai kematian, kondisi paling serius disebut kepala sekunder. Ada banyak cara untuk
dengan cedera otak traumatic (traumatic brain melalukan penanganan pasien dengan cedera
injury (TBI). Penyebab paling umum TBI kepala diantaranya dengan menjaga jalan nafas.
(traumatic brain injury) adalah jatuh (28%). Salah satu cara untuk menjaga jalan nafas
Kecelakaan kendaraan bermotor (20%). adalah dengan pemberian terapi oksigenasi.
Tertabrak benda (19%) danper kelahian (11%) Penelitian Hardi, 2008 (Dikutip dalam
(Brunner & Suddart, 2013). Nur, 2018). Oksigen merupakan komponen gas
Berdasarkan Hasil Riset Kesehatan dan unsur vital dalam proses metabolisme,
Dasar (RISKESDAS) tahun 2013, jumlah data untuk mempertahankan kelangsungan hidup
selururuhnya 1.027.758 untuk semua umur. seluruh sel. Elemen ini diperoleh dengan cara
Responden yang mengalami cedera 84.774 dan menghirup udara setiap kali bernafas.
yang tidak cedera 942.984 orang. Privalensi Penyampaian oksigen kejaringan tubuh
cedera tertinggi berdasarkan karakteristrik ditentukan oleh interaksi sistem respirasi,
responden yaitu kelompok umur 15-24 tahun kardiovaskuler dan hematologi. Kekurangan
sekitar (11,7%) dan pada laki-laki (10,1%). oksigen ditandai dengan keadaan hipoksia,
(Badan Penelitian dan Pengembangan dalam proses lanjut menyebabkan kematian
Kesehatan Departemen Kesehatan Republik jaringan dan dapat mengancam kehidupan
Indonesia, 2013). Secara umum cedera (Anggraini & Hafifah, 2014). Berdasarkan latar
diklafikasikan menurut skala Gasglow Coma belakang diatas, penulis tertarik untuk membuat
Scale diklafisikan menjadi tiga : (1) Cedera melakukan penelitian berjudul “Penerapan
Kepala Teknik Head Up 30° terhadap Peningkatan
8
Perfusi Jaringan Otak pada Pasien yang dalam proses pengumpulan data yaitu
Mengalami Cedera Kepala Sedang”. tensimeter jarum, stetoskop, jam tangan
dan alat tulis.
Metode
3. Wawancara
Desain penelitian ini adalah deskriptif,
dalam bentuk studi kasus. Studi kasus ini Dalam penelitian ini wawancara yang
mengesplorasi masalah pada klien dengan dilakukan dengan menggunakan
Ketidakefektifan perfusi jaringan otak. Subyek wawancara. Wawancara jenis ini
dalam penelitian ini adalah pasien yang merupakan kombinasi dari wawancara
berjumlah 2 orang yang mengalami Cedera tidak terpimpin dan wawancara terpimpin.
Kepala Sedang.
4. Dokumentasi
Pelaksanaan pengumpulan data Dokumentasi yang dilakukan oleh penulis
dilakukan di IGD RSUD Dr. Soedirman yaitu pendokumentasi hasil pengkajian,
Kebumen. Waktu penelitian studi kasus ini analisa data, diagnosa keperawatan,
dimulai pada tanggal 26 – 27 Juni 2019 untuk rencana keperawatan, tindakan
partisipan I Tn. A dan pada tanggal 26 Juni dan keperawatan, dan evaluasi dari tindakan.
27 Juni 2019 untuk partisipan II (Tn.I).
Instrumen pengumpulan data yang
Pengumpulan data tentang penerapan meliputi:
teknik head up 30° terhadap peningkatan 1. Memberikan teknik head up 30° sesuai SOP
perfusi jaringan otak pada pasien yang Rumah Sakit.
mengalami cedera kepala sedang yaitu: 2. Pedoman observasi
9
Hasil tindakan diberikan peninggian kepala 30° pada
Tn. A klien 1 pada tanggal 26 juni 2019
Tn.A dan Tn.I tidak mengalami sesak dan
pada pukul 08.00 WIB didapatkan keluhan tampak lebih nyaman.
utama adalah nyeri kepala. Sedangkan Tn. I
klien ke 2 datang ke IGD kebumen pada Pembahasan
tanggal 27 Juni 2019 pada pukul 23.00 WIB. 1. Gambaran perfusi jaringan cerebral
Pada tanggal 26 Juni 2019 penulis sebelum diberikan terapi head up 30°
menemukan pada Tn.A klien tampak sadar Dari hasil pengkajian primer Tn.A
pola nafas tidak ada sumbatan RR klien ke 1 ada ketidakefektifan perfusi
28x/menit, Suara paru ronchi. Suhu: 360 jaringan serebral RR 28x/menit, suara
Tekanan darah: 137/90 Nadi:102x/menit nafas tidak ada sumbatan, suara nafas cepat
Akral: hangat, konjungtiva anemis, Turgor dan terdapat cuping hidung. Sedangkan
kulit: baik Perdarahan: ada luka bentur di pada Tn.I klien ke 2 terdapat
kepala kurang lebih 3cm dan ada fraktur kaki ketidakefektifan perfusi jaringan serebral
kanan. GCS 15 ( E.4 M.6 V.5) composmentis. RR 27x/menit tidak ada sumbatan suara
Penulis melakukan tindakan dengan nafas cepat.
memberikan posisi kepala head up 30° dan Menurut Black & Hawks (2009)
melakukan pemasangan masker oksigen bahwa pasien cedera kepala sedang
3L/menit. mengalami ketidakefektifan perfusi
Pada 27 Juni 2019 pada Tn. I penulis jaringan serebral. Pasien cedera kepala
menemukan klien kesadaran menurun, pola sedang mengalami ketidakefektifan perfusi
nafas tidak ada sumbatan RR 27x/menit. Suara jaringan serebral berhubungan dengan
paru ronchi, Suhu:370 Tekanan darah: 120/80 trauma kepala. Proteksi otak merupakan
mmhg, Nadi: 76xmenit, Akral:dingin, Turgor serangkaian tindakan yang dilakukan
kulit: baik, ada perdarahan di bibir bawah, dan untuk mencegah atau mengurangi
ada luka bentur di kepala kurang lebih 3 cm. kerusakan sel-sel otak yang diakibatkan
GCS 12 (E.3 M.5 V.4) somnolen. Kemudian oleh keadaan iskemia.
penulis memberikan posisi kepala head up 30° Cerebral perfusion pressure (CPP)
dan melakukan pemasangan masker oksigen adalah jumlah aliran darah dari sirkulasi
3L/menit. sitemik yang diperlukan untuk
Berdasarkan hasil observasi terhadap memberikan oksigen dan glukosa yang
kedua klien didapatkan masalah yang sama adekuat untuk metabolisme otak (Black &
yaitu ketidakefektifan perfusi jaringan serebral Hawks, 2005). Tanda-tanda vital yang
berhubungan dengan trauma kepala. tetap terjaga konstan memperbaiki aliran
Pelaksanaan posisi head up 30° pada Tn.A darah sehingga meningkatkan status
klien ke 1 dan Tn.I klien ke 2 sesuai dengan neurologis.
rencana yang dibuat. Respon klien setelah
10
2. Gambaran perfusi jaringan cerebral setelah cara membebaskan jalan nafas dan
diberikan terapi head up 30° oksigenasi yang adekuat.
Setelah diberikan terapi Posisi head-up 30 derajat bertujuan
peninggian kepala 30° pada Tn.A dan Tn.I untuk memenuhi kebutuhan oksigenasi di
tidak mengalami sesak. Menurut penulis otak sehingga menghindari terjadinya
evaluasi dan tindakan keperawatan Tn.A hipoksia pasien, dan tekanan intrakranial
dan Tn.I dilakukan posisi kepala 30° pada menjadi stabil dalam batas normal. Selain
cedera kepala sedang untuk mengurangi itu, posisi ini lebih efektif untuk
sesak dan meingkatkan kesadaran klien. mempertahankan tingkat kesadaran karena
Hal ini terbukti dari klien 2 dengan GCS sesuai dengan posisi anatomis dari tubuh
awal 12 (somnolent) menjadi sadar penuh manusia yang kemudian mempengaruhi
atau GCS 15. hemodinamik pasien (Batticaca FB, 2008).
Pemberian oksigen melalui Posisi head up 30 derajat yang
masker sederhana dan posisi kepala 30° dilakukan dalam penelitian ini merupakan
merupakan tindakan yang tepat pada bentuk tipe intervensi standar comfort yang
klasifikasi cedera kepala sedang untuk artinya tindakan dilakukan dalam upaya
melancarkan perfusi oksigen ke serebral mempertahankan atau memulihkan peran
sehingga membantu peningkatan status tubuh dan memberikan kenyamanan serta
kesadaran. mencegah terjadinya komplikasi.
Posisi head up 30 derajat Posisi head up 30 derajat
merupakan posisi untuk menaikkan merupakan posisi menaikkan kepala dari
kepala dari tempat tidur dengan sudut tempat tidur dengan sudut sekitar 30
sekitar 30 derajat dan posisi tubuh dalam derajat dan posisi badan sejajar dengan
keadaan sejajar (Bahrudin, 2008). kaki. Posisi head up 30 derajat memiliki
Keseimbangan oksigen otak manfaat untuk menurunkan tekanan
dipengaruhi oleh aliran darah intrakranial pada pasien cedera kepala.
otak. Proteksi otak merupakan Selain itu posisi tersebut juga dapat
serangkaian tindakan yang dilakukan meningkatkan oksigen ke otak (Batticaca
untuk mencegah atau mengurangi FB, 2008).
kerusakan sel-sel otak yang diakibatkan Posisi head up 300 perfusi dari dan
oleh keadaan iskemia. Iskemia otak ke otak meningkat sehingga kebutuhan
adalah suatu gangguan hemodinamik oksigen dan metabolisme meningkat
yang akan menyebabkan penurunan aliran ditandai dengan peningkatan status
darah otak sampai ke suatu tingkat yang kesadaran diikuti oleh tanda-tanda vital
akan menyebabkan kerusakan otak yang yang lain. 2 responden memiliki pupil tidak
irevesibel. Metode dasar dalam normal (anisokor, reaksi+/+),kemungkinan
melakukan proteksi otak adalah dengan terjadi penekanan terhadap saraf
11
okulomotor ipsilateral akibat edema tingkat signifikansi α = 0,005 diperoleh p=
serebri post optrepanasi. Pasien dengan 0,000 berarti ada peningkatan perfusi
hematoma yang besar yang memberikan serebral secara efektivitas dengan elevasi
efek massa yang besar dan gangguan kepala 30 derajat. Perfusi pada pasien
neurologis (Bajamal, 2007). dengan pasca-op trepanasi setelah 8 jam.
Otak yang normal memiliki Elevasi kepala 30 derajat dapat
kemampuan autoregulasi, yaitu meningkatkan perfusi serebral pada pasien.
kemampuan organ mempertahankan
aliran darah meskipun terjadi perubahan Kesimpulan
sirkulasi arteri dan tekanan perfusi Berdasarkan penjelasan di atas, dapat
(Tankisi, et.al, 2005). Autoregulasi disimpulkan bahwa Pada klien ke 1 Tn. A
menjamin aliran darah yang konstan respon yang telah diberikan tindakan pemberian
melalui pembuluh darah serebral diatas posisi 30° selama 1 x 7 jam ketidakefektifan
rentang tekanan perfusi dengan mengubah perfusi jaringan serebral kembali efektif,
diameter pembuluh darah dalam sedangkan pada klien ke II Tn. I setelah
merespon perubahan tekanan arteri. Pada dilakukan intervensi pemberian posisi 30°
klien dengan gangguan autoregulasi, selama 1 x 7 jam ketidakefektifan perfusi
beberapa aktivitas yang dapat jaringan serebral kembali efektif.
meningkatkan tekanan darah seperti
batuk, suctioning, dapat meningkatkan Ucapan Terima Kasih
aliran darah otak sehingga juga Dalam hal ini penulis mengucapkan
meningkatkan tekanan TIK (Thamburaj, terima kasih kepada Direktur Akper Pemkab
V, 2006). Purworejo dan Ketua Lembaga Penelitian dan
Hasil penelitian ini sejalan dengan Pengabdian Masyarakat yang telah memberikan
penelitian Pertami SB, Sulastyawati, dukungan moril maupun materiil dalam
Anami P (2017) yang menunjukkan penyelesaian publikasi ini.
terdapat pengaruh yang signifikan posisi
head-up 30° pada perubahan tekanan DAFTAR PUSTAKA
intrakranial, khususnya di tingkat Batticaca FB. (2008). Asuhan Keperawatan Pada
Klien dengan Gangguan Sistem
kesadaran dan tekanan arteri rata-rata Persarafan. Jakarta: Salemba Medika.
pada pasien dengan cedera kepala. Hasil
Indriyani, fatiyah. (2018). Analisis Asuhan
penelitian Martina, dkk (2017) juga Keperawatan Pada Pasien Cedera
Kepala Sedang Dengan Masalah
menunjukkan bahwa posisi Head Up 30
Keperawatan Gangguan Perfusi
derajat berpengaruh terhadap saturasi Jaringan Serebral Di Ruang Instalasi
Gawat Darurat Rsud Prof. Dr.
oksigen pada pasien stroke.
Margono Soekarjo Purwokerto. Stikes
Sejalan dengan penelitian Huda, Gombong. Diaskes pada tanggal 23
Maret 2019, Pukul 18:20 PM.
(2012) berdasarkan t-tes tes dengan
12
Kolcaba, K. (2003). Comfort theory and practice: Head Injury) Di Ruang Intensive Care
a vision for holistic health care and Unit (Icu) Rsup H Adam Malik
research. Springer Publishing Company. Medan. Diakses pada tanggal 20 Maret
2019, pukul : 16.30 PM.
Lilis, suryani. (2016) Pemberian Posisi Semi
Flower Dengan Cedera Kepala Takatelide, dkk.2017. Pengaruh Terapi
Ringan Rumah Sakit Salatiga. Oksigenasi Nasal Prong Terhadap
Salatiga : publishing. Diakses pada 14 Perubahan Saturasi Oksigen Pasien
april 2019, pukul 15:00 AM. Cedera Kepala Di Instalasi Gawat
Darurat Rsup Prof. Dr. R. D. Kandou
Manurung, melva & Gustia, M.
Manado. Diakses pada tanggal 19
2018.Hubungan Ketepatan Penilaian
Maret 2019,pukul 13:40 AM.
Triase Dengan Tingkat Keberhasilan
Penanganan Pasien Cedera Kepala Wijaya Andra Saferi, Y. M (2015) KMB 2
Di IGD RSU HKBP Balige Kabupaten Keperawatan Medikal Bedah,
Toba Samosir. Diakses pada 19 Maret Yogyakarta : Medika Wardani
2019,pukul : 13:40 AM. Kusuma. Analisa Asuhan Keperawatan
Pada Pasien Cedera Kepala
Nurfaise (2012). Gambaran Penanganan
Berat Dengan Masalah Keperawatan
Cedera Kepala Di Instansi Gawat
Keetidakefektifan Bersihan Jalan
Darurat Di Rsud Karanganyar.
Nafas Di Instalasi Gawat Darurat
Diakses pada tanggal 23 April 2019
Rsud Prof. Dr. Margono Soekarjo
pukul 17:00 PM.
Purwokerto. Stikes Gombong. Diakes
Nurarifin, Amin H, H. K. (2016) Aplikasi pada tanggal 23 Maret 2019, Pukul
Asuhan Keperawatan Berdasarkan 18:20 PM.
Diagnosa Medis dan Nanda NIC-
Wijaya, Andra Saferi dan Yessie Mariza Putri.
NOC Edisi Jilid I. Yogyakarta :
2013. KMB I Keperawatan
Medication.
Medikal Bedah. Yogyakarta : Nuha
Nurarif, Amin H danHardhi, Medik
Kusuma,2015.Aplikasi Asuhan
Keperawatan Diagnosa Medis Dan
Nanda NIC-NOC.Yogyakarta.
Mediaction Jogja.
Putra, Adi. (2016). Gambaran Penanganan
Pasien Cedera Kepala Di Instalasi
Gawat Darurat Rsu Pku
Muhammadiyah Bantul.
epository.unjaya.ac.id/2512/1/SatriaB
agosAdi Putra_2212256_nonfull.pdf.
Diaskes pada tanggal 23 Maret 2019,
pukul 18:20 PM.
Rawis, ddk.2016.Profil pasien cedera kepala
sedang dan berat yang dirawat
di ICU dan HCU. Diakses pada
tanggal 19 Maret 2019,pukul : 13:40
AM.
Simamora & Suriani.2017.Pengaruh
Pemberian Terapi Oksigen Dengan
Menggunakan Non-Rebreathing Mask
(Nrm) Terhadap Nilai Tekanan
Parsial Co2 (Paco2) Pada Pasien
Cedera Kepala Sedang (Moderate
13
ASKEP CEDERA
KEPALA POST
TREPANASI &
ARDS
Keperawatan Kritis
Kelompok 6
1. Yessika Natalia S
2. Ranika Silalahi
3. Nuria
4. Sutra Wiranti
5. Yuyun
Cedera Kepala
Cedera kepala traumatik adalah salah satu
masalah kesehatan utama dan masalah sosial
ekonomi yang menjadi penyebab kematian pada
dewasa dan anak- anak. Untuk mengatasi hal
tersebut Brain Trauma Foundation (BFT) telah
menetapkan pedoman penalaksanaan cedera
kepala traumatik berat, yang meliputi
penatalaksanaan pada prahospital dan
perawatan intensive
1. Konsep Perawatan Post Operatif di
Ruang Intensive
1
2
Pada operasi neurosurgical Pulih sadar lambat dapat dilakukan
umumnya pasien dibangunkan dari pada kondisi : derajat kesadaran pra
operasi buruk, resiko terjadi edema
anastesi secepatnya, sehingga status
atau memperberat edemanya seperti
neurologis dapat dievaluasi
pada operasi yang lama, perdarahan
secepatnya sebagai hasil dari
banyak, dekat area vital, pengelolaan
tindakan pembedahan. jalan nafas pra operasi sulit.
Asuhan
Keperawatan