Anda di halaman 1dari 52

MAKALAH

ASKEP CEDERA KEPALA POST TREPANASI DAN ARDS DI


RUANG ICU RSUD TAMAN HUSADA BONTANG

DISUSUN
Oleh :

KELOMPOK 6

1. Ranika Silalahi (1911126)


2. Yessika Natalia S (1911184)
3. Nuria Mayasari (1911111)
4. Sutra Wiranti Purba (1911166)
5. Yuyun Ayunda (1911194)

DOSEN :
Iskandar Markus Sembiring , S.Kep, Ns, M.Kep

INSTITUT KESEHATAN MEDISTRA LUBUK PAKAM


FAKULTAS KEPERAWATAN DAN FISIOTERAPI
S1 KEPERAWATAN
T.A 2022/2023
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan yang maha esa karena karunianya
kami dapat menyelesaikan makalah berjudul Askep Cedera Kepala Post Trepanasi dan
ARDS dengan maksimal, tanpa ada halangan yang berarti, makalah ini disusun untuk
memenuhi tugas mata kuliah keperawatan kritis yang diampu oleh Ns. Iskandar Markus
Sembiring, S.Kep, M.Kep.
Pemilihan judul ini didasari atas banyaknya kasus cedera kepala yang
mengakibatkan ARDS. Semoga dengan adanya makalah ini dapat menyelesaikan
permasalahan mengenai Cedera Kepala dan ARDS.
Kami menyadari bahwa masih banyak kesalahan dalam penyusunan makalah ini,
baik dari segi EBI, kosakata, tata bahasa, etika, maupun isi. Maka dari itu, kami sangat
mengharapkan kritik dan saran seluas-luasnya dari pembaca yang kemudian akan kami
jadikan sebagai evaluasi.
Demikian, semoga makalah ini dapat diterima sebagai ide/gagasan yang menambah
kekayaan intelektual bangsa.

Lubuk Pakam, 1 Desember 2022

IIii
1

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL……………………………………………………………………… i
KATA PENGANTAR……………………………………………………………………..ii
DAFTAR ISI……………………………………………………………………………….iii
BAB I
A. Latar Belakang…………………………………………………………….1
B. Tujuan Penelitian………………………………………………………….5
C. Manfaat Penelitian……………………………………………………...…6
BAB II
A. Pengertian Cedera Kepala…………………………………………………8
B. Ventilator Mekanik………………………………………………………...9
BAB III
A. Asuhan Keperawatan……………………………………………..……...27
BAB IV
A. Penutup………………………………………………..…………………33
Daftar Pustaka……………………………………………………………………………..34

III
1
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Cedera kepala traumatik adalah salah satu masalah kesehatan utama dan

masalah sosial ekonomi yang menjadi penyebab kematian pada dewasa dan anak-

anak. Untuk mengatasi hal tersebut Brain Trauma Foundation (BFT) telah

menetapkan pedoman penalaksanaan cedera kepala traumatik berat, yang meliputi

penatalaksanaan pada prahospital dan perawatan intensive. Dalam penanganan

intensive ini diatur tentang pengelolaan anastesi pada klien dengan cedera kepala

berat yaitu di Instalasi Gawat Darurat (IGD), Kamar Bedah (OK) dan Ruang

perawatan Intensive (ICU). Intervensi intubasi direkomendasikan untuk mengatasi

masalah obstruksi jalan nafas, proteksi terhadap resiko aspirasi dan mengontrol

ventilasi yang adekuat. Perawatan lanjutan post operatif di Ruang ICU seperti

penggunaan ventilasi mekanik bertujuan untuk menjamin oksigenisasi dan

mencegah hipoksia, dalam upaya mengendalikan aliran darah otak sehingga dapat

menurunkan Tekanan Intra Kranial (TIK).

Ventilator mekanik merupakan alat bantu pernafasan bertekanan positif yang

menghasilkan aliran udara terkontrol pada jalan nafas pasien sehingga mampu

mempertahankan ventilasi dan pemberian oksigen dalam waktu lama. Pemberian

bantuan pernafasan dengan menggunakan ventilasi mekanik dapat membantu

ventilasi paru untuk meningkatkan oksigenisasi dan mencegah kerusakan paru.

Menurut Smeltzer,et.al.(2008) bantuan tersebut dilakukan untuk memenuhi

III
2

kebutuhan oksigen, mengurangi kerja pernafasan, dan meningkatkan oksigenisasi

ke jaringan atau mengkoreksi asidosis pernafasan.

Penggunaan ventilasi mekanik menurut survey multinasional terhadap 5000

klien di eropa digunakan pada kasus gagal nafas akut 69%, koma 17%, gagal

nafas kronis 13%, dan gangguan neuromuskuler 2% ( Rodriquez, Dojat, &

Brochard,2005). Namun dibalik besarnya manfaat yang diperoleh dari

penggunaan ventilasi mekanik tersebut, terdapat beberapa masalah kesehatan

serius yang harus diantisipasi. Pasien yang terpasang ventilator dalam waktu yang

lama mempunyai peningkatan resiko kelemahan otot pernapasan. Hal ini yang

menyebabkan pola napas pasien tidak efektif. Kelemahan dan kelelahan otot

pernapasan inilah yang menjadi salah satu pemicu gagalnya proses weaning

ventilator (Lisa M et al, 2011). Penyapihan merupakan sebuah usaha dan proses

yang harus dijalani oleh semua pasien yang mendapat bantuan pernafasan

menggunakan ventilator mekanik.

Sebuah rewiew study kualitatif yang publikasikan oleh American Journal Of

Critical care (2014) menyatakan bahwa sekitar 30% dari pasien dengan ventilasi

mekanis mengalami kesulitan penyapihan atau penyapihan berkepanjangan.

Resiko perpanjangan penyapihan ventilasi mekanik ini termasuk didalamnya;

perpanjangan masa intubasi dan angka kematian meningkat. Perpanjangan masa

penggunaan ventilator akan berpengaruh pada peningkatan biaya perawatan, serta

menimbulkan penderitaan klien secara emosional dan psikis. Untuk alasan inilah

maka diperlukan upaya yang bisa meningkatkan keberhasilan proses penyapihan

ventilator mekanik.

2
3

Keperawatan adalah sebuah bentuk pelayanan profesional yang merupakan

bagian integral dari pelayanan keperawatan, berbentuk bio-psikososial-medic-

spiritual yang komprehensif, ditujukan pada individu, keluarga dan masyarakat,

baik sakit maupun sehat yang mencakup proses kehidupan manusia. Memasuki

era globalisasi, berbagai pelayanan kesehatan termasuk rumah sakit dituntut untuk

lebih meningkatkan profesionalisme kerja dan mutu pelayanan kesehatan yang

berujung pada motivasi untuk sembuh pada klien. Keberhasilan pelayanan

kesehatan dalam asuhan keperawatan diantaranya dapat diukur dari cepatnya

kesembuhan klien, menurunnya kecemasan klien, dan meningkatnya kepuasan

klien akan pelayanan kesehatan.

Dampak penyakit pada pasien tidak hanya berupa keterbatasan fisik namun

juga gangguan emosional pasien; tidak siap mental untuk menerima kenyataan

adanya kecacatan sehingga menjadi stres. Respon terhadap stresor tersebut

diperngaruhi oleh Stres perception, bila di terima dalam rentang negatif maka

akan memperburuk kondisi kesehatan pasien. Hal inilah yang harus diubah kearah

positif agar dapat menghasilkan respon positif pula.

Komunikasi terapeutik sengaja dirancang agar hubungan perawat dan klien

menjadi efektif dalam rangka mencapai kesembuhan (Nasir, et al.,2011).

Komunikasi terapeutik membangun persepsi positif dalam diri pasien sehingga

mekanisme koping yang digunakan akan tepat dan mengarahkan segala tindakan

kearah kesembuhan yang disebut motivasi untuk sembuh. Penelitian yang

dilakukan oleh yang Chistina Y dan dilaporkan dalam Jurnal Ilmiah Keperawatan

Hang Tuah (tanpa Tahun), menyebutkan bahwa terjadi peningkatan yang

signifikan dalam hal motivasi untuk sembuh pada kelompok klien yang

3
5

diintervensi komunikasi terapeutik dibanding dengan kelompok klien yang

dilakukan komunikasi standart.

Klien yang sakit membutuhkan sugesti dan penyemangat dari orang-orang

yang merawatnya. Perlunya motivasi sembuh bagi pasien sangat penting karena

dengan motivasi sembuh dapat menjadi salah satu kekuatan untuk mempercepat

kesembuhan. Motivasi ini menjadikan pasien bersedia menjalani setiap terapi

kesehatan yang dilakukan oleh petugas kesehatan. Orang yang mempunyai

keinginan untuk sembuh dari penyakit biasanya ada dorongan dari dalam dirinya

untuk sembuh. Dorongan ini secara umum dapat disebut sebagai motivasi diri dan

motivasi inilah yang harus dibangkitkan (Wardhana, 2011), jika motivasi tersebut

dipertahankan secara konsisten dapat mendorong pemulihan dari penyakit.

Komunikasi terapeutik yang akan membangkitkan motivasi kesembuhan

klien, ini merupakan upaya keperawatan mandiri yang bisa dilakukan oleh

perawat di ICU dalam mengangani klien dengan kegagalan penyapihan ventilator

mekanik. Hal inilah yang menarik minat penulis untuk menganalisis praktik klinik

keperawatan pada klien dengan intervensi inovasi komunikasi terapeutik terhadap

disfungsi respon penyapihan ventilator mekanik di Ruang ICU RSUD Taman

Husada Bontang.

B. Tujuan Penelitian

Tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan laporan ini meliputi :

1. Tujuan Umum

Melakukan analisis praktek klinik keperawatan pada klien post operasi

trepanasi ec cedera kepala dalam masa penyapihan ventilator mekanik

dengan intervensi inovasi komunikasi terapeutik terhadap disfungsi

respon penyapihan ventilator mekanik di Ruang ICU RSUD Taman


5
5
Husada Bontang.

2. Tujuan Khusus

a. Menganalisa kasus kelolaan pada klien dengan diagnosa medis post

operasi Trepanasi ec cedera kepala dalam masa penyapihan ventilator

mekanik

b. Menganalisis intervensi komunikasi terapeutik yang diterapkan secara

kontiniu pada klien kelolaan dengan diagnosa medis post operasi

Trepanasi ec cedera kepala dalam masa penyapihan ventilator

mekanik.

C. Manfaat Penelitian

Penulisan Karya Ilmiah ini diharapkan dapat bermanfaat dalam dua aspek,

yaitu :

1. Manfaat Aplikatif

a. Bagi Klien

6
6

Menambah pengetahuan mengenai motivasi yang kuat untuk sembuh

dalam merespon penyapihan ventilator mekanis secara positif, yang

dapat diaplikasikan secara mandiri oleh klien.

b. Bagi Perawat

Memberikan masukan dan contoh (role model) dalam melakukan

intervensi keperawatan serta menambah ilmu pengetahuan dan

pengalaman perawat dalam pelaksanaan komunikasi terapeutik

sebagai intervensi keperawatan mandiri dalam masalah disfungsi

respon penyapihan ventilator mekanik.

c. Bagi Tenaga Kesehatan Lain

Menambah pengetahuan tentang komunikasi terapeutik sebagai

intervensi keperawatan mandiri dalam masalah disfungsi respon

penyapihan ventilator mekanik.

2. Manfaat Keilmuan

a. Bagi Penulis

Memperkuat dukungan dalam menerapkan model konseptual

keperawatan, memperkaya ilmu pengetahuan keperawatan, menambah

wawasan, pengetahuan dan pengalaman baru bagi perawat ners dalam

memberikan asuhan keperawatan pada klien dengan disfungsi respon

penyapihan ventilasi mekanik.

b. Bagi Rumah Sakit

Memberikan rujukan bagi bidang Diklat Keperawatan dalam

mengembangkan kebijakan terkait dengan pengembangan kompetensi

perawat ICU.

6
7

c. Bagi Institusi Pendidikan

Memberikan rujukan bagi institusi pendidikan dalam melaksanakan

proses pembelajaran mengenai asuhan keperawatan pada klien dengan

gangguan proses penyapihan ventilator mekanik yang disertai dengan

pelaksanaan intervensi mandiri keperawatan berdasarkan hasil riset-

riset terkini.

7
8

BAB II

TINJUAN PUSTAKA

A. Cedera Kepala

1. Pengertian dan tata laksana umum

Brain Trauma Foundation (BTF) dalam pedoman penatalaksanaan

cedera kepala traumatik berat telah menggolongkan cedera kepala

menurut patofisiologinya yaitu cedera kepala primer dan cedera kepala

sekunder. Cedera kepala primer adalah kerusakan yang disebabkan

trauma mekanis terhadap tulang kepala dan jaringan otak, sedangkan

cedera sekunder merupakan proses komplek yang mengikuti dan

memperberat cedera primer yang terjadi dalam beberapa jam dan

beberapa hari. Penyebab cedera sekunder bisa intrakranial bisa

ekstrakranial atau sistemik. Penyebab intrakranial hematoma, edema

serebral, peningkatan Intra Cranial Pressure (ICP). Penyebab sistemik

seperti hipoksemia, hiperkapnia, hipotensi, anemi, hipertensi,

hipoglikemi, hipertermi dan sepsis.

Penatalaksanaan cedera kepala difokuskan pada pencegahan dan

pengelolaan cedera sekunder. Hal ini melandasi penatalaksanaan

mutakhir cedera kepala yang terdiri dari resusitasi dan stabilisasi pra

rumah sakit dan unit gawat darurat, pembedahan serta penatalaksanaan

terapi intensif. Penatalaksanaan di rumah sakit pertama adalah

8
9

resusitasi dan stabilisasi, pembebasan jalan nafas, pemberian oksigen,

resusitasi cairan dan pemberantasan kejang.

2. Konsep Perawatan Post Operatif di Ruang Intensive

Pada operasi neurosurgical umumnya pasien dibangunkan dari

anastesi secepatnya, sehingga status neurologis dapat dievaluasi

secepatnya sebagai hasil dari tindakan pembedahan. Secara umum

pada klien cedera kepala terdapat edema cerebri atau berpotensi

mengalami edema serebri, sehingga ada istilah slow weaning dan

delayed extubation. Pulih sadar lambat dapat dilakukan pada kondisi :

derajat kesadaran pra operasi buruk, resiko terjadi edema atau

memperberat edemanya seperti pada operasi yang lama, perdarahan

banyak, dekat area vital, pengelolaan jalan nafas pra operasi sulit.

Penatalaksanaan terapi intensif cedera kepala di rung ICU terdiri

dari perawatan umum yang ketat dan perawatan lain yang bertujuan :

stabilisasi kondisi klien, optimalisasi oksigen dan hemodinamik otak,

mencegah dan melakukan terapi hipertensi intrakranial,

mempertahankan Cranial Perfusion Pressure (CPP) yang stabil dan

adekuat, mencegah dari cedera sekunder.

B. Ventilator Mekanik

1. Pengertian

Ventilator mekanik merupakan suatu alat pernafasan bertekanan

positif atau negatif yang dapat mempertahankan ventilasi dan

pemberian oksigen dalam waktu lama. Tujuan ventilator mekanik

adalah untuk mempertahankan ventilasi alveolar yang tepat untuk

9
10

kebutuhan metabolik pasien dan untuk memperbaiki transpor oksigen.

Penggunaannya diindikasikan untuk pasien dengan hipoksemia,

hiperkapnia dan gagal nafas.

2. Penggunaan Ventilator Mekanik pada pasien post operasi Trepanasi

Tindakan lanjutan seperti ventilasi mekanik untuk menjamin

oksigenasi dan mencegah hipoksi, mempertahankan normokapnea

untuk mengalirkan aliran darah otak sehingga menurunkan Tekanan

Intra Kranial (TIK). Ventilasi mekanik dilakukan dengan obat sedatif.

Analgesik yang adekuat diberikan untuk mendapatkan kondisi yang

nyaman dan aman, untuk mencegah terjadinya respon stres seperti

takikardi, peningkatan konsumsi oksigen, hipermetabolisme,

peningkatan katekolamin endogen dan peningkatan TIK.

3. Penyapihan ventilator mekanik

a. Pengertian Penyapihan ventilator mekanik

Penyapihan ventilator mekanik adalah proses dari pelepasan

dukungan mesin ventilator dan mengembalikan kerja pernafasan

dari ventilator ke pasien secara mendiri. Pendekatan penyapihan ini

disebut juga sebagai “membawa pasien lepas dari ventilator”.

Beberapa pasien dapat mentolerir suatu penghentian yang tiba-tiba

dari dukungan ventilator. Pada pasien yang lain, proses penyapihan

membutuhkan waktu lebih lama. Secara individu, proses ini bisa

berlangsung dalam hitungan harian ke mingguan bahkan bulanan.

b. Kriteria kondisi pasien sebelum penyapihan

10
11

Kriteria pertama yang harus dipertimbangkan sebelum

percobaan penyapihan adalah menilai seluruh kondisi klinis pasien.

Dua pertanyaan penting menyinggung kondisi klinis pasien adalah

1) Apakah pasien telah benar-benar sembuh dari penyakit atau

traumanya sehingga tidak membutuhkan ventilator?

2) Apakah ada kondisi klinis yang lain yang dapat mempengaruhi

kemampuan pasien untuk mempertahankan pernafasan

spontan?

Penilaian dari seluruh kondisi klinis pasien harus termasuk

suatu evaluasi dari kondisi klinis sesuai pada tabel 2.1. Tergantung

pada beratnya kondisi klinis ini, mereka harus diperbaiki atau

dinormalkan terlebih dahulu sebelum dilakukan percobaan

penyapihan.

Tabel 2.1
Kondisi yang Bisa Menghambat Kesuksesan Penyapihan
Conditions Examples
Patient / Patthophysiologic Fever
Injections
Renal Failure
Sepsis
Sleep Deprivation
Cardiac / circulatory Arrhytmias
Blood pressure (high or low)
Cardiac Out Put (high or Low)
Dietary / acid-base / electroytes Acid-base imbalance
Electrolit disturbance
Anemia / dysfunctional hemoglobins
Sumber : Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39 No 3 september 2006

Kriteria penyapihan biasanya digunakan untuk mengevaluasi

kesiapan dari pasien untuk percobaan penyapihan dan perkiraan

keberhasilan penyapihan. Penyapihan lebih mendekati keberhasilan

jika pada pasien dijumpai lebih banyak kriteria. Kedua ukuran

11
12

subjektif dan objektif telah dikembangkan dalam menentukan

kesiapan pasien untuk penyapihan sebagai mana terangkum dalam

berikut ini.

Tabel 2.2
Kriteria Penyapihan
Category example value
Ventilatory Criteria PaCO2 < 50 mmHg with normal pH
Vital capacity >10 to 15ml/kg
Spontaneous VT >5 to 8ml/kg
Spontaneous RR (f) < 30/min
Minute ventilation < 10 L
Oxygenation criteria PaO2 without PEEP >60 mmHg @Fi O2 up to 0,4
PaO2with PEEP >100mmHg @Fi O2 up to 0,4
SaO2 >90% @Fi O2 up to 0,4
Qs/QT < 20 %
P(A-a)O2 < 350 mmHg @F1O2 up to 1,0
PaO2 /Fi O2 >200 mmHg
Pulmonary reserve Max. Voluntary Vent. 2x mi vent @ F1O2 up to 0,4
Max. Insp. Pressure >-20 to -30 cm H2O in 20 sec
Pulmonary Static complaince >30 ml/cm H2O
measurements Airway Resistance Observe trend
VD/VT < 60%
Sumber : Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39 No 3 september 2006

c. Prosedur Penyapihan

Prosedur penyapihan dapat dilaksanakan dengan satu atau

lebih prosedur berikut ini : T-tube penyapihan, ventilasi yang wajib

diberikan dengan berurutan dan sinkron (SIMV), dan tekanan

ventilasi bantuan (PSV). Pemilihan prosedur menyapih tergantug

atas kemampuan pasien untuk bernafas secara spontan dan tingkat

kekuatan otot untuk mengatasi hambatan jalan nafas.

12
13

d. Keberhasilan penyapihan

Keberhasilan penyapihan didefinisikan sebagai pernafasan

spontan yang efektif tanpa dukungan apapun dalam 24 jam atau

lebih. Dukungan yang dimaksud adalah mesin ventilator,

bronkodilator, bantuan tekanan atau tekanan positif jalan nafas

yang kontiniu untuk mempertahankan ventilasi dan oksigenisasi.

e. Kegagalan penyapihan

Kegagalan penyapihan lebih sukar ditentukan dari pada yang

berhasil pada penyapihan. Ini karena sewaktu-waktu kondisi klien

bisa saja membutuhkan kembali dukungan ventilator. Banyak

penelitiaan telah menentukan bahwa kegagalan penyapihan

didasarkan pada hasil pemeriksaan analisa gas darah arteri yang

abnormal pada akhir dari percobaan penyapihan atau adanya

kemunduran kondisi klinis. Tanda-tanda dari kondisi klinis yang

memburuk termasuk diantaranya diaphoresis, tanda-tanda adanya

usaha bernafas yang meningkat, takikardia, aritmia, hipotensi

ataupun hipertropi (Hanafi,2006).

Tidak ada ukuran objektif yang sederhana untuk menilai

kegagalan penyapihan. Namun secara sederhana bisa disimpulkan

bahwa dikatakan kegagalan penyapihan bila kondisi pasien

mengharuskan pasien kembali memerlukan mesin ventilator.

13
17

Tabel 2.3
Indikator Kegagalan Penyapihan Ventilator Mekanik
Indikator uraian
Gas Darah Peningkatan PaCO2(>50mmHg)
Penurunan pH (<7.30)
Penurunan PaO2 (<60mmHg)
Penurunan SpO2 (<90%)
Tanda Vital Perubahan Tekanan Darah (20 mmHg systolik atau 10 mmHg
diastolik)
Peningkatan Heart Rate ( > 110/menit)
EKG Abnormal ( arrythmia )
Pernafasan Penurunan VT (<250 ml)
Peningkatan RR (> 30 x/menit)
Penurunan MIP ( < 20cm H20)
Penurunan Static compiance (<30ml.cmH20)
Peningkatan VD/VT (>60%)
Sumber : Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39 No 3 september 2006

f. Penyebab kegagalan Penyapihan

Diluar kondisi patologis yang mengarah kepada dibutuhkannya

mesin ventilasi, kegagalan penyapihan dapat terjadi bila kerja

pernafasan spontan terlalu berat bagi pasien untuk dipertahankan.

Kegagalan penyapihan umumnya berhubungan dengan (1)

peningkatan resistensi aliran udara, (2) berkurangnya kepatuhan

(psikologis), atau (3) kelelahan otot pernafasan.

17
27
BAB III

ASUHAN KEPERAWATAN

DIAGNOSA KEPERAWATAN:
1. Perubahan perfusi jaringan serebral b.d penghentian aliran darah (hemoragi,
hematoma); edema cerebral; penurunan TD sistemik/hipoksia (hipovolemia, disritmia
jantung)
2. Resiko tinggi pola napas tidak efektif b.d kerusakan neurovaskuler (cedera pada pusat
pernapasan otak). Kerusakan persepsi atau kognitif. Obstruksi trakeobronkhial.
3. Perubahan persepsi sensori b. d perubahan transmisi dan/atau integrasi (trauma atau
defisit neurologis).
4. Perubahan proses pikir b. d perubahan fisiologis; konflik psikologis.
5. Kerusakan mobilitas fisik b. d kerusakan persepsi atau kognitif. Penurunan
kekuatan/tahanan. Terapi pembatasan /kewaspadaan keamanan, misal: tirah baring,
imobilisasi.
6. Resiko tinggi terhadap infeksi b.d jaringan trauma, kulit rusak, prosedur invasif.
Penurunan kerja silia, stasis cairan tubuh. Kekurangan nutrisi. Respon inflamasi
tertekan (penggunaan steroid). Perubahan integritas sistem tertutup (kebocoran CSS)
7. Resiko tinggi terhadap perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b. d perubahan
kemampuan untuk mencerna nutrien (penurunan tingkat kesadaran). Kelemahan otot
yang diperlukan untuk mengunyah, menelan. Status hipermetabolik.
8. Perubahan proses keluarga b. d transisi dan krisis situasional. Ketidak pastian tentang
hasil/harapan.
9. Kurang pengetahuan mengenai kondisi dan kebutuhan pengobatan b. d kurang
pemajanan, tidak mengenal informasi. Kurang mengingat/keterbatasan kognitif.

RENCANA TINDAKAN KEPERAWATAN


1. Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan penghentian aliran darah
(hemoragi, hematoma); edema cerebral; penurunan TD sistemik/hipoksia (hipovolemia,
disritmia jantung)

Tujuan:
 Mempertahankan tingkat kesadaran biasa/perbaikan, kognisi, dan fungsi
motorik/sensorik.

Kriteria hasil:
27
27
 Tanda vital stabil dan tidak ada tanda-tanda peningkatan TIK
Intervensi Rasional
Tentukan faktor-faktor yg Penurunan tanda/gejala neurologis atau kegagalan
menyebabkan dalam pemulihannya setelah serangan awal,
koma/penurunan perfusi menunjukkan perlunya pasien dirawat di perawatan
jaringan otak dan potensial intensif.
peningkatan TIK.
Pantau /catat status Mengkaji tingkat kesadaran dan potensial peningkatan
neurologis secara teratur TIK dan bermanfaat dalam menentukan lokasi,
dan bandingkan dengan perluasan dan perkembangan kerusakan SSP.
nilai standar GCS.
Evaluasi keadaan pupil, Reaksi pupil diatur oleh saraf cranial okulomotor (III)
ukuran, kesamaan antara berguna untuk menentukan apakah batang otak masih
kiri dan kanan, reaksi baik. Ukuran/ kesamaan ditentukan oleh keseimbangan
terhadap cahaya. antara persarafan simpatis dan parasimpatis. Respon
terhadap cahaya mencerminkan fungsi yang
terkombinasi dari saraf kranial optikus (II) dan
okulomotor (III).
Pantau tanda-tanda vital: Peningkatan TD sistemik yang diikuti oleh penurunan
TD, nadi, frekuensi nafas, TD diastolik (nadi yang membesar) merupakan tanda
suhu. terjadinya peningkatan TIK, jika diikuti oleh penurunan
kesadaran. Hipovolemia/hipertensi dapat
mengakibatkan kerusakan/iskhemia cerebral. Demam
dapat mencerminkan kerusakan pada hipotalamus.
Peningkatan kebutuhan metabolisme dan konsumsi
oksigen terjadi (terutama saat demam dan menggigil)
yang selanjutnya menyebabkan peningkatan TIK.
Pantau intake dan out put, Bermanfaat sebagai ndikator dari cairan total tubuh
turgor kulit dan membran yang terintegrasi dengan perfusi jaringan.
mukosa. Iskemia/trauma serebral dapat mengakibatkan diabetes
insipidus. Gangguan ini dapat mengarahkan pada
masalah hipotermia atau pelebaran pembuluh darah
yang akhirnya akan berpengaruh negatif terhadap
tekanan serebral.
Turunkan stimulasi Memberikan efek ketenangan, menurunkan reaksi

28
27
eksternal dan berikan fisiologis tubuh dan meningkatkan istirahat untuk
kenyamanan, seperti mempertahankan atau menurunkan TIK.
lingkungan yang tenang.
Bantu pasien untuk Aktivitas ini akan meningkatkan tekanan intrathorak
menghindari /membatasi dan intraabdomen yang dapat meningkatkan TIK.
batuk, muntah, mengejan.
Tinggikan kepala pasien Meningkatkan aliran balik vena dari kepala sehingga
15-45 derajad sesuai akan mengurangi kongesti dan oedema atau resiko
indikasi/yang dapat terjadinya peningkatan TIK.
ditoleransi.
Batasi pemberian cairan Pembatasan cairan diperlukan untuk menurunkan
sesuai indikasi. edema serebral, meminimalkan fluktuasi aliran vaskuler
TD dan TIK.
Berikan oksigen tambahan Menurunkan hipoksemia, yang mana dapat
sesuai indikasi. meningkatkan vasodilatasi dan volume darah serebral
yang meningkatkan TIK.
Berikan obat sesuai Diuretik digunakan pada fase akut untuk menurunkan
indikasi, misal: diuretik, air dari sel otak, menurunkan edema otak dan TIK,.
steroid, antikonvulsan, Steroid menurunkan inflamasi, yang selanjutnya
analgetik, sedatif, menurunkan edema jaringan. Antikonvulsan untuk
antipiretik. mengatasi dan mencegah terjadinya aktifitas kejang.
Analgesik untuk menghilangkan nyeri . Sedatif
digunakan untuk mengendalikan kegelisahan, agitasi.
Antipiretik menurunkan atau mengendalikan demam
yang mempunyai pengaruh meningkatkan metabolisme
serebral atau peningkatan kebutuhan terhadap oksigen.

2. Resiko tinggi pola napas tidak efektif berhubungan dengan kerusakan neurovaskuler
(cedera pada pusat pernapasan otak). Kerusakan persepsi atau kognitif. Obstruksi
trakeobronkhial.
Tujuan:
 mempertahankan pola pernapasan efektif.

Kriteria evaluasi:
 bebas sianosis, GDA dalam batas normal

29
27
Intervensi Rasional
Pantau frekuensi, irama, Perubahan dapat menandakan awitan komplikasi
kedalaman pernapasan. pulmonal atau menandakan lokasi/luasnya keterlibatan
Catat ketidakteraturan otak. Pernapasan lambat, periode apnea dapat
pernapasan. menandakan perlunya ventilasi mekanis.
Pantau dan catat Kemampuan memobilisasi atau membersihkan sekresi
kompetensi reflek penting untuk pemeliharaan jalan napas. Kehilangan
gag/menelan dan refleks menelan atau batuk menandakan perlunaya jalan
kemampuan pasien untuk napas buatan atau intubasi.
melindungi jalan napas
sendiri. Pasang jalan napas
sesuai indikasi.
Angkat kepala tempat Untuk memudahkan ekspansi paru/ventilasi paru dan
tidur sesuai aturannya, menurunkan adanya kemungkinan lidah jatuh yang
posisi miirng sesuai menyumbat jalan napas.
indikasi.
Anjurkan pasien untuk Mencegah/menurunkan atelektasis.
melakukan napas dalam
yang efektif bila pasien
sadar.
Lakukan penghisapan Penghisapan biasanya dibutuhkan jika pasien koma atau
dengan ekstra hati-hati, dalam keadaan imobilisasi dan tidak dapat
jangan lebih dari 10-15 membersihkan jalan napasnya sendiri. Penghisapan pada
detik. Catat karakter, trakhea yang lebih dalam harus dilakukan dengan ekstra
warna dan kekeruhan dari hati-hati karena hal tersebut dapat menyebabkan atau
sekret. meningkatkan hipoksia yang menimbulkan
vasokonstriksi yang pada akhirnya akan berpengaruh
cukup besar pada perfusi jaringan.
Auskultasi suara napas, Untuk mengidentifikasi adanya masalah paru seperti
perhatikan daerah atelektasis, kongesti, atau obstruksi jalan napas yang
hipoventilasi dan adanya membahayakan oksigenasi cerebral dan/atau
suara tambahan yang tidak menandakan terjadinya infeksi paru.
normal misal: ronkhi,
wheezing, krekel.
Pantau analisa gas darah, Menentukan kecukupan pernapasan, keseimbangan

30
27
tekanan oksimetri asam basa dan kebutuhan akan terapi.
Lakukan ronsen thoraks Melihat kembali keadaan ventilasi dan tanda-
ulang. tandakomplikasi yang berkembang misal: atelektasi atau
bronkopneumoni.
Berikan oksigen. Memaksimalkan oksigen pada darah arteri dan
membantu dalam pencegahan hipoksia. Jika pusat
pernapasan tertekan, mungkin diperlukan ventilasi
mekanik.
Lakukan fisioterapi dada Walaupun merupakan kontraindikasi pada pasien
jika ada indikasi. dengan peningkatan TIK fase akut tetapi tindakan ini
seringkali berguna pada fase akut rehabilitasi untuk
memobilisasi dan membersihkan jalan napas dan
menurunkan resiko atelektasis/komplikasi paru lainnya.

3. Resiko tinggi terhadap infeksi b.d jaringan trauma, kulit rusak, prosedur invasif.
Penurunan kerja silia, stasis cairan tubuh. Kekurangan nutrisi. Respon inflamasi
tertekan (penggunaan steroid). Perubahan integritas sistem tertutup (kebocoran CSS)
Tujuan:
 Mempertahankan normotermia, bebas tanda-tanda infeksi.

Kriteria evaluasi:
 Mencapai penyembuhan luka tepat waktu.
Intervensi Rasional
Berikan perawatan aseptik Cara pertama untuk menghindari terjadinya infeksi
dan antiseptik, nosokomial.
pertahankan tehnik cuci
tangan yang baik.
Observasi daerah kulit Deteksi dini perkembangan infeksi memungkinkan
yang mengalami untuk melakukan tindakan dengan segera dan
kerusakan, daerah yang pencegahan terhadap komplikasi selanjutnya.
terpasang alat invasi, catat
karakteristik dari drainase
dan adanya inflamasi.
Pantau suhu tubuh secara Dapat mengindikasikan perkembangan sepsis yang

31
27
teratur, catat adanya selanjutnya memerlukan evaluasi atau tindakan dengan
demam, menggigil, segera.
diaforesis dan perubahan
fungsi mental (penurunan
kesadaran).
Anjurkan untuk Peningkatan mobilisasi dan pembersihan sekresi paru
melakukan napas dalam, untuk menurunkan resiko terjadinya pneumonia,
latihan pengeluaran sekret atelektasis.
paru secara terus menerus.
Observasi karakteristik
sputum.
Berikan antibiotik sesuai Terapi profilatik dapat digunakan pada pasien yang
indikasi mengalami trauma, kebocoran CSS atau setelah
dilakukan pembedahan untuk menurunkan resiko
terjadinya infeksi nosokomial.

32
27

BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Menganalisis Kasus Kelolaan Dengan Diagnosa Medis Post Operasi Trepanasi


D a l a m M a s a P e n y a p i h a n V e n t i l a t o r M e k a n i k
Kli en N y. S H denga n Pos t Oper as i T r epanas i da la m ma s a P enya pi ha n
V ent ila t or M eka nik. Pa da saat p eng ka jia n ta ngga l 2 9 Ja nuar i 2 01 6 dida pat ka n
da ta klien p os t op er as i T r epa na s i har i ke - 4 da la m ma sa p enya p iha n vent ila t or
mekanik. Status neurosurgery dalam keadaan stabil, GCS E4 Vx M6. Laporan dari
per a wa t ja ga ; 16 ja m ya ng la lu ( kema r i n sor e) t ela h dic oba mela ku ka n
p enya p iha n ve nt ila t or den ga n meng gu na ka n J a ck so n R e es e. R esp on kli en
setelah 2 jam penyapihan; TD : 140/90 mmHg, Nadi 106 x/mnt, SP0 2 89%, RR 10
x / men it p en d ek - da n g ka l, p er ger a ka n da da s aa t b er na f as s a nga t ku r a ng , kli en
ta mpa k kura ng ber es pon da la m upa ya ber nafa s. Diput us ka n kemba li
men ggu na ka n vent ilat or meka nik denga n mode S IM V+PC, F iO 2 60 %, PEEP 5,
T i d a l V o l u m e 4 0 0 , S p O 2 1 0 0 % , R R 1 4 / 1 4 .
Da r i da ta ya ng dika ji, dida pa t ka n 3 ma sa la h kep er a wa ta n pr ior ita s ya it u
k et i d a k ef ek t i f a n b er s i h a n ja la n n a f a s b er h u b u n g a n d en g a n a da n y a E T T da n
peningka ta n sekr esi mu kus, disfungsi r espon penya piha n ventila tor
b er hu b u n ga n d en ga n r i wa ya t k et er ga nt u n ga n v ent ila t or l eb ih da r i 4 ha r i, da n
ha mb a t a n k o mu n i ka s i v er b a l b er hu b u n ga n d en ga n ha mb a t a n f is ik; t er i nt u b a s i

33
33

DAFTAR PUSTAKA

Balun R, Detre JAA, Levine JM. Clinical Assesment in the neurocritikal care unit.
Philadelpia 2013:84-98

Blais Koeing Kathlrrn, Praktik Keperawatan Profesional, Konsep & Perspektif.


Edisi 4 Jakarta EGC, 2007

Bisri T. Penanganan Neuroanastesia dan Critikal Care: Cedera Otak Traumatik.


Bandung : Universitas Padjadjaran. 2012

Christina Y, Peningkatan Motivasi Untuk Sembuh Pasien Stroke yang Dilakukan


Komunikasi Terapeutik di Ruang Saraf Rumkital Dr.Ramelan Surabaya,
STIKES Hang Tuah Surabaya, 2013

Cicilia, Hubungan Antara Kualitas Komunikasi Terapeutik Perawat dengan


Motivasi Pasien Untuk Sembuh : Universitas Atma Jaya Yogyakarta, 2011

Effendy, Onong Uchjana. Dimensi-dimensi Komunikasi. Bandung. Remaja


Rosdakarya. 1986.

Hardhiyani Rizky, Hubungan Komunikasi Therapeutic Perawat dengan Motivasi


Sembuh Pasien Rawat Inap di Ruang Melati RSUD Kalisari Batang :
Jurusan Psikologi, Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Semarang
2013

Haddad S, Arabi YM. Critical Care Management Of Severe Traumatic Brain


Injury in Adults. SJTREM. 2012;20:12

Helmy A, Vizcachipi M, Gupta AK. Traumatic Brain Injury: intensive Care


Management. Br J Anaesth. 2007;99:32-42

Ida Bagus, Penyapihan Ventilasi Mekanik. Denpasar, Fakultas Kedokteran


Universitas Udayana Denpasar, 2009

Mundakir, Komunikasi Keperawatan, Aplikasi Dalam Pelayanan. Yogyakarta.


Graha Ilmu. 2006

M.Ikhwan, Studi Korelasi Antara Komunikasi Interpersonal Perawat dan Kualitas


Pelayanan terhadap Motivasi Kesembuhan Pasien Rawat Inap di Rumah
Sakit Kasih Ibu Surakarta : Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Sebelas Maret Surakarta, 2012

Sobur A. Psikologi Umum, Pustaka Setia : Bandung, 2003

Suryani, Komunikasi Terapeutik : Teori dan Praktik. Jakarta. EGC. 2006

34
4
Jurnal e-Clinic (eCl), Volume 3, Nomor 1, Januari-April 2015

GAMBARAN KUALITAS HIDUP PASIEN CEDERA KEPALA PASCA


OPERASI PERIODE JANUARI 2012 - DESEMBER 2013
DI RSUP PROF. DR. R. D. KANDOU MANADO

1
Patrick Zwingly
2
Maximillian Ch. Oley
2
H. P. Limpeleh

1
Kandidat Skripsi Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi Manado
2
Bagian/SMF Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi Manado
Email: patrickmawu93@gmail.com

Abstract: Traumatic brain injury is a major global problem. Global incident average in urban areas
ranged from 108 to 332 new cases admitted to the hospital per 100,000 population per year. About
39% of patients with severe brain trauma died due to injuries, and 60% had low Glasgow Outcome
Scale (GCS). Neurosurgical surgery decreased the incidence of death and injury due to head
trauma from 72 to 25%. However, patients still show significant disability after completion of
therapy. Disability could manifest in the form of physical, mental, and/or behavior disability. This
was a descriptive study with a cross-sectional design by using a questionnaire. This study aimed to
obtain the quality of life of patients with head injury in post-operative period from January 2012 -
December 31, 2013 in Prof. R. D. Kandou Hopital Manado. The results showed that most
respondents were male (61.3%), aged 11-20 years (48.6%). Most respondents lived at Malalayang
(19.4%). The most frequent head injuries were mild head injuries (74.2%). The final states of the
patients (GOS) were: good recovery 58.1% and moderate disability 41.9%. Patients with GCS
mild, moderate, or good recovery disability were 3.2% each. Patients with GCS were mostly good
recovery (48.4%). Most patients with severe GCS experienced moderate disability (12.9%).
Characteristics of patient satisfaction were satisfied 54.8% and not satisfied 45.2%. Relationship of
satisfaction level with GOS was as follows: most satisfied patients had good recovery (35.5%),
where as most not-satisfied patients had moderate disability (29.0%).
Keywords: head injury, post craniotomy, patient satisfaction

Abstrak: Kerusakan otak traumatik merupakan masalah global utama. Insiden rata-rata di
perkotaan secara global berkisar dari 108 sampai 332 kasus baru yang masuk rumah sakit per
100.000 populasi per tahun. Rata-rata 39% pasien-pasien dengan trauma otak berat meninggal
karena cedera, dan 60% memiliki Glasgow Outcome Scale (GCS) yang rendah. Tindakan operasi
bedah saraf menurunkan insiden kematian dan cedera akibat trauma kepala dari 72 sampai 25%.
Meski demikian, pasien-pasien tetap menunjukkan kecacatan yang nyata sesudah menyelesaikan
terapi, baik berupa cacat fisik, mental, dan/atau perilaku. Penelitian ini bertujuan untuk melihat
gambaran kualitas hidup pasien cedera kepala pasca operasi periode Januari 2012-Desember 2013
di RSUP. Prof. Dr. R. D. Kandou Manado. Hasil penelitian menunjukkan responden terbanyak
ialah laki-laki (61,3%), usia terbanyak 11-20 tahun (48,6%), alamat responden terbanyak di
Malalayang (19,4%). Cedera kepala terbanyak ialah cedera kepala sedang sebesar 74,2%. Keadaan
akhir pasien (GOS), good recovery sebesar 58,1%, sedangkan moderate disability 41,9%. Pasien
dengan GCS ringan, moderate dissability dan good recovery masing-masing sebesar 3,2%. Pasien
dengan GCS sedang paling banyak good recovery yaitu 48,4%. Pasien dengan GCS berat paling
banyak mengalami moderate dissability yaitu 12,9%. Karakteristik kepuasan pasien diperoleh puas
sebesar 54,8% sedangkan yang tidak puas 45,2%. Hubungan tingkat kepuasan dengan GOS, yang
puas ter banyak pasien yang good recovery yaitu 35,5%, sedangkan yang tidak puas terbanyak
moderate dissability yaitu 29,0%.
Kata kunci: cedera kepala, pasca kraniotomi, kepuasan pasien.
563
Zwingly, Oley, Limpeleh: Gambaran kualitas hidup pasien cedera kepala ...

Kerusakan otak traumatik adalah masalah pasien. Kecacatan yang timbul bisa berupa
global utama. Insiden rata-rata di perkotaan cacat fisik, mental, dan/atau perilaku.
secara global berkisar dari 108 sampai 332 Trauma bisa juga mempengaruhi persepsi,
kasus baru yang masuk rumah sakit per kesadaran dan kognisi. Beberapa pasien
100.000 populasi per tahun. Rata-rata 39% menderita disfungsi fisik dan/atau mental.
pasien-pasien dengan trauma otak berat Perasaan marah, ketidak sabaran, depresi,
meninggal karena cedera, dan 60% kehilangan kontrol, dan gangguan tidur
memiliki GCS (Glasgow Outcome bisa dialami oleh pasien. Demikian juga,
Scale)yang rendah. Insiden cedera otak kontak sosial dapat berkurang akibat stress
traumatik meningkat di negara-negara post-traumatik, dan kehidupan profesional
dengan penghasilan rendah dan menengah dan personal menjadi kurang efektif.6,7
karena peningkatan transportasi yang
meningkatkan kecelakaan, dan usia muda METODE PENELITIAN
paling sering menjadi korban.1Tingkat Penelitian ini bersifat deskriptif dengan
kecelakaan lalulintas di Sulawesi Utara pendekatan cross sectional dengan
pada tahun 2012 sebanyak 1.269 kasus, menggunakan kuesioner tingkat kepuasan
dengan korban meninggal 292, luka berat pasien cedera kepala pasca bedah di Bagian
sebanyak 683 orang dan luka ringan 1.076 Bedah BLU RSU Prof. R.D. Kandou
orang.Di Kota Manado menurut Polresta periode Januari 2012-Desember 2013.
Manado, kecelakaan lalulintas terjadi
sebanyak 414 kasus dengan korban HASIL PENELITIAN DAN BAHASAN
meninggal 73 orang, luka berat 146 orang, Penelitian ini menggunakan kuesioner
ringan 375 orang, dengan kerugian ditaksir yang terdiri dari 36 pertanyaan yang
sebesar 1,798 miliar rupiah.2 berhubungan dengan seberapa puaskah
Cedera kepala telah menyebabkan pasien mengenai apa yang mereka alami
banyak kematian dan cacat pada usia atau lakukan dalam kehidupan keseharian.
kurang dari 50 tahun. Otak bisa mengalami Dalam penelitian ini, kami mewawancarai
cedera meskipun tidak terdapat luka yang secara langsung 31 pasien pasien cedera
menembus tulang tengkorak. Berbagai kepala pasca operasi yang berhasil
cedera bisa disebabkan oleh percepatan ditemukan dari alamat dan nomor telepon
mendadak yang memungkinkan terjadinya dalamcatatan medik pasien.
benturan atau karena perlambatan Tabel 1 menunjukkan responden yang
mendadak yang terjadi jika kepala banyak laki-laki, sesuai dengan data pada
membentur objek yang tidak bergerak. SMF Bedah RSUP Prof R.D. Kandou yang
Kerusakan otak bisa terjadi pada titik menunjukkan pasien cedera kepala
benturan dan pada sisi yang berlawanan.3,4 terbanyak yang menjalani operasi, dengan
Tindakan operasi bedah saraf seperti usia terbanyak ialah 11-20 tahun (48,6%).
kraniotomi merupakan proses medis lanjut Angka ini berhubungan erat dengan
yang didesain untuk menurunkan insiden tingginya angka kecelakaan kendaraan
kematian dan cedera akibat trauma kepala. bermotor yang paling banyak melibatkan
Kraniotomi meliputi pembukaan tengkorak laki-laki dan mereka dengan usia remaja.
dengan dengan membuat flap tulang Menurut Riset Kesehatan Dasar 2013,
dengan mengangkat potongan sirkular kecelakaan kendaraan bermotor paling
tulang melalui trepanasi. Prosedur ini sering terjadi pada pria (44,6 %) dengan
menurunkan angka kematian dari 72 kelompok umur paling sering terjadinya
sampai 25%.5 kecelakaan adalah 15-24 tahun (64,7 %)
Meski demikian, pasien-pasien tetap dan area perkotaan dengan kepadatan
menunjukkan kecacatan yang nyata lalulintas yang tinggi.8
sesudah menyelesaikan terapi, tingkat Berdasarkan distribusi GCS saat pasien
kecacatan tergantung pada beratnya masuk, paling banyak adalah cedera kepala
kecelakaan, kerusakan organ dan umur sedang sebanyak 23 pasien (74,2%). Dalam
Jurnal e-Clinic (eCl), Volume 3, Nomor 1, Januari-April 2015

mempertimbangkan penggunaan GCS saat Sedangkan hubungan antara skor awal GCS
awal masuk sebagai prediktor prognosis, dan GOS pada skor awal GCS, pasien
masalah yang dihadapi adalah seberapa dengan GCS ringan, moderate dissability
tepat penilaian GCS saat awal masuk, dan good recovery masing-masing 1 pasien
bahkan prognosisnya tidak dapat diprediksi (3,2 %). Pasien dengan GCS sedang paling
secara akurat walaupun GCS awal masuk banyak good recovery (48,4 %). Pasien
rendah. dengan GCS berat, paling banyak
Keadaan akhir pasien (GOS), good mengalami moderate dissability (12,9 %).
recovery sebesar 58,1 %, sedangkan Pada cross tabulasi antara GCS dan GOS,
moderate dissability sebesar 41,9 %. terlihat bahwa GCS yang rendah
Pemulihan baik lebih besar daripada cacat berhubungan dengan tingginya kecacatan
ringan dan bervariasi pada setiap individu. yang dialami.

Tabel 1. Karakteristik umum responden

Jenis kelamin Laki-laki 19 61,3 %


Perempuan 12 38,7 %
Jumlah 31 100 %
Usia < 10 tahun 1 3,2 %
11-20 tahun 15 48,6 %
21-30 tahun 6 19,4 %
31-40 tahun 3 9,7 %
41-50 tahun 2 6,5 %
51-60 tahun 1 3,2 %
61-70 tahun 2 6,5 %
> 71 tahun 1 3,2 %
Jumlah 31 100 %
Alamat Bahu 1 3,2 %
Banjer 1 3,2 %
Lapangan 2 6,5 %
Malalayang 6 19,4 %
Manado 3 9,7 %
Mapanget 2 6,5 %
Molas 1 3,2 %
Ranomuut 1 3,2 %
Sario 3 9,7 %
Sea 3 9,7 %
Singkil 1 3,2 %
Teling 1 3,2 %
Tuminting 5 16,6 %
Wanea 1 3,2 %
Total 31 100 %

Tabel 2. Distribusi penderita cedera kepala Tabel 3. Distribusi penderita cedera kepala
berdasarkan keadaan awal pasien (GCS) berdasarkan keadaan akhir pasien (GOS)

Keadaan awal Frekuensi % Keadaan akhir Frekuensi %


(GCS) (GOS)
Ringan 2 6,5 Dead 0 0
(14-15) Moderate disability 13 41,9
Sedang (9-13) 23 74,2 Good recovery 18 58,1
Berat (3-8) 6 19,3 Total 37 100
Total 31 100
565
Zwingly, Oley, Limpeleh: Gambaran kualitas hidup pasien cedera kepala ...

Tabel 4. Hubungan antara skor awal GCS dan GOS

Skor awal GOS


Total
GCS Dead Moderate dissability Good recovery
Ringan 0 (0 %) 1 (3,2 %) 1 (3,2 %) 2 (6.5 %)
Sedang 0 (0 %) 8 (25,8 %) 15 (48,4 %) 23 (74,2 %)
Berat 0 (0 %) 4 (12,9 %) 2 (6,5 %) 6 (19,3 %)
Total 0 (0 %) 13 (41,9 %) 18 (58,1 %) 31 (100 %)

Tabel 5. Karakteristik responden tentang kepuasan

Kepuasan Frekuensi %
Puas 17 54,8
Tidak puas 14 45,2
Total 31 100

Tabel 6. Hubungan antara kepuasan dan GOS

Tingkat GOS
Total
kepuasan Dead Moderate dissability Good recovery
Puas 0 (0 %) 6 (19,4 %) 11 (35,5 %) 17 (54.8 %)
Tidak puas 0 (0 %) 9 (29,0 %) 5 (16,1 %) 14 (45,2 %)

SIMPULAN melihat semua perubahan fisik atau


Berdasarkan hasil penelitian kualitas mental yang terjadi agar mudah
hidup pada pasien cedera kepala pasca ditangani kembali.
operasi maka dapat disimpulkan bahwa:
1. GCS yang rendah berhubungan dengan DAFTAR PUSTAKA
tingginya kecacatan yang dialami. 1. Rosenfeld JV, Maas AI, Bragge P,
2. Sebagian besar responden merasa puas Morganti-Kossmann MC, Manley
terhadap kualitas hidup mereka setelah GT, Gruen RL. Early Management of
cedera kepala pasca operasi, namun severe traumatic brain injury. Lancet.
sebagian tidak merasa puas dengan 2012 September: p. 1088-95.
kualitas hidupnya 2. Antara News. [Online].; 2012 [cited 2014
September 26. Available from:
3. Ketidakpuasan pasien terletak pada
http://www.antarasulut.com/print/18140
bidang-bidang kehidupan yang /kecelakaan-lalu-lintas-di-sulut-turun-
penting, termasuk kesehatan dan 37-persen.com
fungsinya, dalam hal psikologis/ 3. Dawodu ST, Campagnolo DL. Traumatic
spiritual, sosial dan ekonomi serta Brain Injury (TBI) - Definition,
dukungan keluarga. Epidemiology, Pathophysiology.
Medscape Refference. 2013 Mar.
SARAN 4. Levine JM, Kumar MA. Traumatic brain
1. Rehabilitasi pasien cedera kepala pasca injury. Neurocritical Care Society
operasi sangat penting terutama Practice Update, 2013.
mereka dengan cacat fisik atau mental 5. Maas AI, Stocchetti N, Bullock R.
agar mereka bisa berada dalam Moderate and severe traumatic brain
lingkungan mereka dengan normal. injury in adult. Lancet Neurol. 2008: p.
2. Follow-up pasien-pasien pasien cedera 728-41.
kepala pasca operasi perlu dilakukan 6. Chaikoolvatana A, Sripech S. Quality of
dengan cara kontrol kembali untuk life of road accident head injury patient
after craniotomy. Southeast Asian J
Jurnal e-Clinic (eCl), Volume 3, Nomor 1, Januari-April 2015

Trop Med Public Health. 2012; 38(4): Medicine, 2007.


p. 761-8. 8. RISKESDAS. Riset Kesehatan Dasar. ,
7. Brunicardi CF, Andersen DK, Billiar TR, Badan Penelitian dan Pengembangan
Dunn DL, Hunter JG, Pollock RE. Kesehatan Kementerian Kesehatan RI
Trauma. In Schwartz's Principles of Tahun 2013; 2013.
surgery: McGraw Hill's Access

567
Manajemen Perioperatif Trepanasi Dekompresi Subdural Hemorrhage (SDH) dengan
Hemofilia A

Andika Satria Praniarda*), Buyung Hartiyo Laksono**)


Departemen/SMF Anestesiologi dan Terapi Intensif, Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya-RSUD Dr
*)

Saiful Anwar Malang, **)Konsultan Neuroanesthesia, Departemen/SMF Anestesiologi dan Terapi Intensif, Fakultas
Kedokteran Universitas Brawijaya-RSUD Dr Saiful Anwar Malang

Abstrak

Hemofilia adalah kelainan darah bawaan yang serius dengan wanita sebagai pembawa, terutama didapatkan pada
pria dan berlangsung sepanjang hidup dimana hemofilia A merupakan tipe hemofilia tersering. Ketika salah satu
faktor yang diperlukan untuk pembekuan darah hilang atau memiliki fungsi yang tidak memadai, mekanisme
koagulasi yang terganggu menyebabkan perdarahan yang tidak dapat dihentikan. Saat ini, penyebab kematian
paling umum di antara pasien hemofilia adalah perdarahan otak karena trauma kepala. Kasus perdarahan intrakranial
sebisa mungkin dilakukan tindakan operasi segera untuk mendapatkan prognosis yang lebih baik. Tindakan
evakuasi perdarahan harus dikerjakan dalam waktu singkat namun memiliki resiko tinggi terjadinya perdarahan
ulang. Pemberian penggantian faktor VIII rekombinan untuk pengobatan perdarahan akut pada pasien hemofilia A
berat harus dilakukan segera. Rumatan anestesi juga harus mencakup penurunan resiko hipertensi dan takikardia
untuk meminimalkan terjadinya perdarahan. Laki-laki usia 17 tahun dengan diagnosa penurunan kesadaran cedera
kepala 2x4 karena perdarahan intracranial subdural hemorrhage (SDH) regio frontotemporoparietal sinistra dan
edema cerebri hari ke 4 disertai herniasi subfalcine ke kanan dengan hemofilia A direncanakan tindakan trepanasi
dekompresi evakuasi SDH. Pasien mendapatkan injeksi faktor VIII 4000 unit sebelum operasi. Durante operasi
perdarahan 1100cc dan mendapat transfusi 1940cc produk darah hingga hemodinamik stabil. Post operatif pasien
dilakukan perawatan di ICU selama 8 hari, dilakukan extubasi setelah kondisi membaik.

Kata kunci: cedera kepala, hemofilia, Subdural Hemorrhage (SDH)

JNI 2022 ; 11(1): 24–31

Perioperative Management Trepanation and Decompression Subdural Hemorrhage with


Haemophilia A

Abstract

Haemofilia A is congenital blood disease with female carrier, usualy found in male patient and happened for life.
When one coagulation factor is lost or disfunction, coagulation mechanism will be disturbed and the bleeding
difficult to stop. In this day, brain injury caused by trauma is the first cause of death in patient with haemophilia.
Surgery in intracranial bleeding must be done as much as possible to get better prognosis. Blood evacuation must
undergo quickly but very risky for rebleeding. Factor VIII must be given as soon as possible for treatment in severe
haemophilia A patient with acute bleeding. Maintenance anesthesia also include decrease risk of hypertension
and tachicardia for minimalize the ongoing bleeding. Male 17th years old diagnose with brain injury 2x4 caused
by subdural hemorrhage (SDH) left frontotemporoparietal region and cerebral edema followed by subfalcine
herniation to the right and haemophilia A planned for decompression evacuation of SDH. Patient got factor VIII
4000unit before operation. Intraoperative bledding are 1100cc and get 1940cc of blood product for stabilize the
haemodynamic. Post operative was observe in Intensive Care Unit and went for extubation after 8th day after in
good condition.

Key words: brain injury, haemophilia A, subdural haemorrhage (SDH)

JNI 2022 ; 11(1): 24–31

This article is licensed under a


Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International License.
©Andika Satria P, Buyung Hartiyo, L (2022) under the CC-BY-NC-SA license
24
Manajemen Perioperatif Trepanasi Dekompresi Subdural 25
Hemorrhage (SDH) dengan Hemofilia A

I. Pendahuluan vaksinasi intramuskular. Perdarahan intrakranial


merupakan manifestasi hemofilia A yang paling
Hemofilia adalah kelainan darah bawaan yang segera mengancam jiwa dengan potensi kecacatan
serius dengan wanita sebagai pembawa, terutama neurologis kronis dan gejala sisa neurologis
didapat pada pria dan berlangsung sepanjang jangka panjang.3
hidup. Hemofilia mempengaruhi orang-orang
dari semua ras di seluruh dunia. Dibandingkan Pemberian penggantian faktor VIII rekombinan
dengan hemofilia A, hemofilia B (defisiensi untuk pengobatan perdarahan akut pada pasien
faktor IX) lebih jarang terjadi dan terjadi setiap hemofilia A berat harus dilakukan segera dengan
30.000 kelahiran laki-laki.1 Pendarahan mudah inisiasi sebelum menyelesaikan penilaian pasien.
dihentikan pada orang sehat, tetapi pembekuan Perhitungan penggantian faktor VIII untuk
yang diperlukan untuk menghentikan perdarahan perdarahan pada hemofilia A berat adalah:3
tertunda pada pasien hemofilia. Ketika salah Untuk perdarahan berat yang mengancam jiwa,
satu faktor yang diperlukan untuk pembekuan berikan faktor VIII untuk mencapai 100% tingkat
darah hilang atau memiliki fungsi yang tidak faktor VIII yang diinginkan; untuk perdarahan
memadai, mekanisme koagulasi yang terganggu ringan sampai sedang, berikan faktor VIII untuk
menyebabkan perdarahan yang tidak dapat mencapai tingkat faktor VIII yang diinginkan
dihentikan. Saat ini, penyebab kematian sebesar 30% sampai 50%. Penghitungan tingkat
paling umum di antara pasien hemofilia adalah faktor VIII awal pasien hemofilia A harus
perdarahan otak setelah trauma kepala.1 diperhitungkan dalam faktor VIII jika diketahui.3
Terapi adjuvan farmasi lain untuk perdarahan
Perdarahan intraserebral spontan adalah kondisi yang diinduksi hemofilia A termasuk
yang jarang dan menantang untuk diobati, desmopresin, asam traneksamat, asam epsilon
terutama pada penderita hemofilia. Rasio risiko- aminocaproic, dan manajemen inhibitor faktor
manfaat yang dihasilkan dari keseimbangan VIII. Desmopresin intravena, subkutan, atau
antara manajemen konservatif dan bedah intranasal (DDAVP) memiliki kegunaan untuk
sangat tipis. Perawatan bedah menanggung pengobatan perdarahan pada pasien hemofilia A
risiko perdarahan ulang, sedangkan manajemen ringan hingga sedang dengan memicu pelepasan
konservatif menjalankan risiko kerusakan kompleks faktor von Willebrand dan faktor VIII
progresif dan biaya perawatan tinggi.2 Penting dari sel endotel vaskular.3
bagi tenaga kesehatan seperti dokter dan tenaga
kesehatan lainnya untuk memahami hemofilia, II. Kasus
mekanisme pembekuan darah dan perbedaan
jenis perdarahan intrakranial untuk meningkatkan Anamnesis
penatalaksanaan awal pada pasien. Hemofilia Laki-laki usia 17 tahun dengan diagnosa penurunan
berat sering bermanifestasi pada bulan-bulan kesadaran SDH dengan hemofilia A. Pasien
pertama kehidupan, sedangkan hemofilia ringan mengalami kecelakaan lalu lintas 12 jam SMRS
atau sedang akan muncul di kemudian hari pada dan belum mengalami penurunan kesadaran,
masa kanak-kanak atau remaja sering kali secara 6 jam berikutnya didapatkan kesadaran yang
kebetulan atau setelah trauma. mulai menurun dan bicara melantur kemudian
pasien dibawa ke RS untuk penatalaksanaan
Gejala karakteristik perdarahan hemofilia dapat lebih lanjut. Intubasi dilakukan di IGD karena
bermanifestasi sebagai perdarahan intrakranial kesadaran yang menurun dan sempat dilakukan
spontan pada neonatus, perdarahan pasca perawatan di ruang ICU INCOVIT selama 2 hari,
operasi yang berlebihan setelah penyunatan, sudah dilakukan skrining swab PCR didapatkan
hemartrosis nyeri atraumatik, memar yang tidak hasil negatif. Dari pemeriksaan subyektif tidak
dapat dijelaskan saat bayi mulai merangkak atau didapatkan alergi dan pengobatan rutin, pasien
berjalan, dan perdarahan muskulokutan yang memiliki riwayat hemofilia A.
berlebihan, baik secara spontan atau setelah
26 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

Pemeriksaan Fisik Tabel 1. Laboratorium preoperatif


Pemeriksaan fisik didapatkan airway paten on Hb : 10 Na : 143
ETT dengan napas on ventilator mode PSIMV Leukosit : 3020 K : 4.21
Peep 3, Pins 8, Psupp 6, FiO2 50 % → SpO2 Hct : 30.7% Cl : 105
99% VT 250–320, gerak dinding simetris kanan
Trombosit : 206.000 Ureum : 41.9
kiri, suara vesikuler paru +/+, rhonki -/-. Akral
PT 11.3 Creatinin : 0.71
hangat kering merah dengan CRT<2 detik,
tekanan darah terukur 135/75 mmHg dengan nadi APTT 34.4 Albumin 3.73
92x/menit, suara jantung 1–2 reguler dan tidak
didapatkan murmur maupun gallops, GCS masih general anestesia dan rencana post operatif
menggunakan sedasi midazolam 3mg/jam, reflek dilakukan perawatan ICU.
cahaya +/+ dan pupil isokor 3mm/3mm. Produksi
urin on catheter 550cc dalam 5 jam. Abdomen Pengelolaan Anestesi
tidak didapatkan distended maupun nyeri tekan. Sebelum dilakukan tindakan operasi pasien
Edema maupun sianosis pada ekstremitas juga mendapatkan injeksi faktor VII 4000 unit dalam
tidak ditemukan.

Pemeriksaan penunjang
Pasien dinilai dengan status fisik ASA 4E.
pemeriksaan CT scan kepala didapatkan subdural
hemorrhage pada regio frontotemporooccipital
sinistra, interhemisfer serebri anteroposterior,
tentorium cerebri kiri dengan ketebalan 30mm, 9
slice kecurigaan masih aktif dan edema cerebri
dengan herniasi subfalcine ke kanan sejauh
20mm dan herniasi transtentorium downward
setinggi mesensephalon dan subgaleal hematoma
temporo parielo occipital kiri (Gambar. 1). Dari
pemeriksaan chest x-ray didapatkan cor dan
pulmo dalam batas normal (Gambar 2). Hasil
Grafik 1. Status Hemodinamik Pasien Durante
laboratorium pada Tabel 1. Pasien direncanakan
Operasi
trepanasi evakuasi dekompresi SDH dengan

Gambar 1. CT scan Preoperatif Gambar 2. Chest X Ray Pre Operatif


Manajemen Perioperatif Trepanasi Dekompresi Subdural 27
Hemorrhage (SDH) dengan Hemofilia A

40 menit. Pasien dilakukan manajemen anestesi Perdarahan intrakranial adalah perdarahan


general anestesi intubasi brain protection dengan di dalam parenkim otak yang dapat terjadi
kontrol ventilasi, dengan sebelumnya pasien secara spontan atau karena trauma. Ini adalah
diposisikan head up 30 derajat dan dipasang penyakit umum dengan perkiraan kejadian 25
monitor non ivasif seperti tekanan darah, laju per 100.000 orang setiap tahun. Penting untuk
jantung, EKG, dan saturasi oksigen. Obat-obatan membedakan jenis perdarahan intracranial
yang digunakan saat induksi antara lain fentanyl antara traumatis dan non-traumatis; bila hal itu
100mcg, lidocaine 80 mg, dan vecuronium 8 disebabkan oleh perdarahan non-trauma, dokter
mg. Intubasi menggunakan ETT no 7.5 cuffed, harus mempertimbangkan etiologi yang berbeda
nafas kontrol penuh dengan ventilator. Analgetik seperti penyakit arteri besar dan pembuluh kecil,
durante operasi menggunakan syringe fentanyl penyakit vena, dan malformasi vaskular, dan
1mcg/kgbb/jam, vecuronium kontinyu 1–2mcg/ gangguan hemostatik.
kgbb/jam dan sevoflurane sebagai agen rumatan
anestesia. Operasi berlangsung selama 5 jam, Kasus perdarahan intrakranial sebisa mungkin
hemodinamik stabil dengan perdarahan 1100cc dilakukan tindakan operasi segera untuk
dan mendapatkan transfusi produk darah dengan mendapatkan prognosis yang lebih baik. Pada
total 1942cc (6 labu packed red cell dan 4 labu kasus ini, didapatkan laki laki usia 17 tahun
fresh frozen plasma). dengan subdural hematoma yang disebabkan
oleh trauma dan hemofilia A. Untuk tatalaksana
Pengelolaan Pascabedah awal, pasien dilakukan kontrol ventilasi dengan
Di ICU, pasien dikontrol menggunakan airway definitive dan protokol untuk traumatic
ventilator PSIMV mode dengan P Inspiration brain injury. Hemofilia A merupakan gangguan
10 dan P Support 10, PEEP 3, rate 14 kali per terpaut kromosom X dan resesif. Wanita dengan
menit dan FiO2 40%. Tidal volume dan saturasi gangguan hemofilia akan menurunkan gen tersebut
oksigen tercapai dengan setting ini namum tidak kepada 50% keturunan laki-laki, sedangkan pria
didapatkan perbaikan dari kondisi kesadaran dengan gangguan hemofilia akan menurunkan
pasien. Kondisi ini diperberat dengan pneumonia gen hemofilia pada keturunan perempuan.3
sehingga memerlukan terapi sesuai dengan kultur Hemofilia A, kelainan herediter hemostasis
bakteri menggunakan tigecycline 50mg 2x sehari yang paling umum, terjadi pada satu dari 5.000
dan paracetamol 3x1gr untuk demamnya. Setelah pria dan merupakan 80% kasus hemofilia.
4 hari dilakukan weaning ventilator dengan PS Hemofilia A terjadi pada lebih dari 400.000 pria
Spontan mode dan P Support 5, PEEP 3, rate 14 di seluruh dunia, banyak di antaranya tetap tidak
kali per menit dan FiO2 40%. Tidal volume 350– terdiagnosis di negara berkembang.3 Hemofilia
450 dan saturasi oksigen tercapai 100% tapi tetap berat sering bermanifestasi pada bulan-bulan
tidak ada perkembangan di kesadaran pasien, pertama kehidupan, sedangkan hemofilia ringan
dengan GCS 1X2. Direncanakan akan dilakukan atau sedang akan muncul di kemudian hari pada
percutaneus dilatational tracheostomy pada masa kanak-kanak atau remaja sering kali secara
hari ke 10 namun pada hari ke 7 evaluasi GCS kebetulan atau setelah trauma. Dalam dua pertiga
didapatkan perbaikan dari 1X2 menjadi 2X4 dan kasus, konfirmasi diagnosis hemofilia terjadi
pada hari ke 8 pasien dilakukan ekstubasi. Selama segera setelah melahirkan anak laki-laki dari ibu
perawatan ICU, pasien tetap mendapatkan faktor yang membawa gen yang rentan. Dalam skenario
VIII 1000 unit pada jam 4 pagi dan 1000 unit mutasi spontan yang terjadi pada sepertiga kasus,
pada jam 4 sore. konfirmasi diagnostik hemofilia A dilanjutkan
setelah gejala perdarahan terjadi secara spontan
III. Pembahasan atau setelah trauma yang tidak signifikan.
Perdarahan intrakranial merupakan manifestasi
Perdarahan intrakranial merupakan salah satu hemofilia A yang paling segera mengancam jiwa
kondisi yang mengancam jiwa, dapat terjadi dengan potensi kecacatan neurologis kronis dan
secara spontan maupun akibat dari trauma. gejala sisa neurologis jangka panjang.3
28 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

Perdarahan intrakranial dan perdarahan ke kerusakan sendi dan mempertahankan fungsi


jaringan lunak di sekitar area vital, seperti saluran muskuloskeletal. Pasien hemofilia A ringan dan
napas atau organ dalam, tetap menjadi komplikasi sedang menerima konsentrat faktor VIII atau
paling penting yang mengancam jiwa. Risiko desmopresin untuk mencegah perdarahan untuk
seumur hidup dari perdarahan intrakranial adalah mengantisipasi trauma atau pembedahan.3
2–8% dan merupakan sepertiga dari kematian
akibat perdarahan. Perdarahan intrakranial Penilaian pra-operasi dilakukan dengan
adalah penyebab kematian tersering kedua dan melakukan konsultasi dengan ahli hematologi
penyebab kematian paling umum terkait dengan dan tindakan yang ditentukan selama perawatan
perdarahan. Dari pasien dengan hemofilia berat, (penggantian faktor, produk darah, dll.).5 Setiap
10% mengalami perdarahan intrakranial, dengan operasi besar yang akan dilaksanakan pada pasien
angka kematian 30%.4 Pemberian penggantian dengan hemofilia A, kadar faktor VIII harus
faktor VIII rekombinan untuk pengobatan mendekati normal (100%) sebelum prosedur.
perdarahan akut pada pasien hemofilia A berat Untuk pasien dengan hemofilia A ringan, cukup
harus dilakukan segera dengan inisiasi sebelum diberikan infus DDAVP (desmopresin) 30–90
menyelesaikan penilaian pasien. Perhitungan menit sebelum operasi. DDAVP meningkatkan
penggantian faktor VIII untuk perdarahan pada kadar faktor VIII tiga kali hingga lima kali lipat,
hemofilia A berat adalah:3 yang dapat memulihkan hemostasis normal. Untuk
Dosis faktor VIII = persentase faktor pasien hemofilia A sedang hingga berat, koreksi
yang diinginkan x berat badan (kg) x 0,5 koagulopati membutuhkan infus konsentrat
faktor VIII sebelum operasi. Sebelum operasi,
harus diperiksa pula adanya inhibitor VIII,
Untuk perdarahan berat yang mengancam jiwa,
karena >30% pasien dengan hemofilia A berat
berikan faktor VIII untuk mencapai 100% tingkat
yang pernah mendapatkan konsentrat faktor VIII
faktor VIII yang diinginkan; untuk perdarahan
atau produk faktor VIII rekombinan mengalami
ringan sampai sedang, berikan faktor VIII untuk
pembetukan antibodi inhibitor, menyebabkan
mencapai tingkat faktor VIII yang diinginkan
pemberian konsentrat tidak efektif.6 Perawatan
sebesar 30% sampai 50%.
perioperatif untuk pasien dengan hemofilia A dan
inhibitor membutuhkan pengganti dosis faktor
Terapi adjuvan farmasi lain untuk perdarahan
VIII yang lebih tinggi, atau agen yang melewati
yang diinduksi hemofilia A termasuk
Faktor VIII dalam kaskade. Administrasi Factor
desmopresin, asam traneksamat, asam epsilon
Eight Inhibitor Bypassing Activity, atau Faktor
aminocaproic, dan manajemen inhibitor faktor
VII rekombinan (rFVIIa) berguna pada keadaan
VIII. Desmopresin intravena, subkutan, atau
terdapat inhibitor yang berat.7 Waktu paruh faktor
intranasal (DDAVP) memiliki kegunaan untuk
VIII kira-kira 12 jam pada orang dewasa, jadi
pengobatan perdarahan pada pasien hemofilia A
infus diulang setiap 8–12 jam untuk menjaga
ringan hingga sedang dengan memicu pelepasan
tingkat faktor VIII di atas 50%. Efek puncak
kompleks faktor von Willebrand dan faktor VIII
faktor VIII harus diperhatikan untuk memastikan
dari sel endotel vaskular.3 Infus konsentrat faktor
kesesuaian jumlah faktor VIII yang akan
VIII profilaksis berkala untuk pasien Hemofilia
diinfuskan dan interval pemberian dosis.6-8
A berat memiliki manfaat dalam mencegah
perdarahan spontan. Profilaksis faktor VIII
Induksi anestesi harus dilakukan dengan
bertujuan untuk memodifikasi hemofilia berat
perlahan dan obat-obatan seperti suksinilkolin
menjadi bentuk yang lebih ringan dengan menjaga
dihindari untuk mencegah guncangan atau
tingkat terendah faktor lebih dari 1% dari normal.
kontraksi pada otot, yang dapat memperburuk
Federasi Hemofilia Dunia merekomendasikan
keadaan hemoragik pada otot dan persendian.9-10
inisiasi profilaksis faktor VIII pada anak-anak
Penggunaan infus perifer umumnya cenderung
penderita hemofilia setelah episode pertama
tidak mengalami pendarahan berlebihan.18 Akses
atau kedua dari hemarthrosis untuk mencegah
vena sentral, jika diperlukan, harus dipastikan
Manajemen Perioperatif Trepanasi Dekompresi Subdural 29
Hemorrhage (SDH) dengan Hemofilia A

Tabel 3 Dosis dan Level Plasma untuk Pemberian Bolus


Type of Hemophillia A (VIII) Hemophillia B (IX)
Hemorrhage
Desired level Dose (Units/Kg) Desired Level Dose* (Units/Kg)
Joint
Adults 40-50% 20-25 40-50% 40-50
Children 80-100% 40-50 80-100% 80-100
Muscle 50% 25 50% 50
(Except iliopsoas)
Iliopsoas
Initial 80-100% 40-50 80-100% 80-100
Maintenance >50% 25** >50% 50***
CNS/Head
Initial 80-100% 40-50 80-100% 80-100
Maintenance >50% 25** >50% 50***
Throat and Neck
Initial 80-100% 40-50 80-100% 80-100
Maintenance >50% 25** >50% 50***
Gastrointestinal
Initial 80-100% 40-50 80-100% 80-100
Maintenance >50% 25** 50% 50***
Ophthalmic
Initial 80-100% 40-50 80-100% 80-100
Maintenance >50% 25** >50% 50
Renal 50% 25 50% 50
Deep Laceration 50-100% 25-50 50-100% 50-100
Surgerry
Initial 80%-100% 40-50 80%-100% 80-100
Maintenance 50% 25** 50% 50***

melalui ultrasonografi. Suntikan intramuskular, mendekati normal. Pemberian Konsentrat


tindakan flebotomi yang sulit, dan suntikan pada F.VIII tetap diteruskan selama proses operasi
arteri harus dihindari. Penggunaan kateterisasi berlangsung.5-11 Rumatan anestesi harus mencakup
sentral dan arteri secara bersamaan memberikan penurunan resiko hipertensi dan takikardia untuk
hasil pada monitoring dan keselamatan pasien meminimalkan perdarahan.11 Pendarahan selama
yang lebih baik.11 prosedur pembedahan harus di observasi dengan
ketat. Pada pasien ini dilakukan teknik intubasi
Intubasi trakea dan manipulasi jalan nafas dengan brain protection untuk menghindari
pada pasien dapat mengancam nyawa dan secondary brain insult yang disebabkan karena
menyebabkan perdarahan submukosa. Sucting hemodinamik yang tidak terkontrol. Setelah
pada area pharyngeal harus dilakukan dengan pasien terintubasi, pasien mendapatkan sedasi
sangat halus. Hipertensi dan takikardia dengan fentanyl 50mcg/jam dan midazolam 5mg/
selama operasi pada penderita hemofilia dapat jam. Post operasi dilakukan kembali terapi koreksi
menyebabkan peningkatan resiko perdarahan. koagulopati dengan pemberian infus konsentrat
Kondisi hemodinamik seharusnya dipertahankan faktor VIII atau produk faktor VIII rekombinan.
30 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

Terapi harus dilanjutkan hingga 2 minggu treatment dilemma. Int J Surg Case Rep
pasca operasi untuk menghindari pendarahan [Internet]. 2016;29:17–9.
yang dapat mengganggu penyembuhan luka.
Pemantauan pasca operasi sangat penting karena 3. Salen P, Babiker HM. Hemophilia A.
pasien hemofilia berisiko mengalami pendarahan StatPearls [Internet]. 2021; Available from:
yang tertunda setelah operasi (≥48 jam setelah https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/
prosedur). Pasien dirawat dengan ventilator post NBK470265
operasi di ICU dikarenakan kesadaran pasien yang
menurun. Pasien lakukan weaning dan ekstubasi 4. Drelich DA. Hemophilia A. Medscape
tujuh hari post operatif dan dilakukan perawatan [Internet]. 2020; Available from: https://
lebih lanjut di ruang high care unit. Penggunaan emedicine.medscape.com/article/779322
analgesic lain pasca operasi seperti termasuk
administrasi opioid, acetaminophen, dan inhibitor 5. Hopkins J. Anesthetic considerations for the
COX-2 dapat menjadi pertimbangan, sedangkan patient with hemophilia A. CRNA Today
penggunaan agen antiinflamasi nonsteroid eJournal [Internet]. 2018;3(3). Available
lainnya tidak dianjurkan.7-13 from: https://www.kumc.edu/Documents/
shp/nurse-anesthesia/alumni-newsletter/
IV. Simpulan Hopkins-Article-March2018.pdf

Hemofilia A merupakan gangguan kelainan 6. Gropper M, Eriksson L, Fleisher L, Wiener-


hemoragik herediter akibat defisit bawaan atau Kronish J, Cohen N, Leslie K. Miller’s
kelangkaan faktor VIII, yang bermanifestasi Anesthesia. 9th ed. Elsevier; 2019. 965–66.
sebagai perdarahan berlarut-larut dan memiliki
komplikasi perdarahan intrakranial. Beberapa 7. Srivastava A, Brewer AK, Mauser-
yang mempengaruhi proses pembekuan darah Bunschoten EP, Key NS, Kitchen S, Llinas
meliputi homeostasis primer (melibatkan A, et al. Guidelines for the management of
trombosit, vascular, dan protein) dan sekunder hemophilia. Haemophilia. 2013;19(1):1–47.
(trimbin, fibrinogen, fibrin). Lokasi perdarahan
intracranial dapat menentukan etiologi 8. Tateiwa T, Takahashi Y, Ishida T, Kubo K,
perdarahan, dengan perdarahan subdural dan Masaoka T, Shishido T, et al. Perioperative
epidural disebabkan cedera traumatis sementara management of hemophilia patients
perdarahan intraparenkim dan subarachnoid receiving total hip and knee arthroplasty: A
mungkin disebabkan oleh etiologi vaskular. complication report of two cases. Ther Clin
Managemen anestesi pada hemofilia meliputi Risk Manag. 2015;11:1383–9.
preoperatif (pemeriksaan fisik, hematologi dan
pemberian konsentrat F. VIII); Intraoperatif 9. Zhai J, Weng X, Lin J, Qian W, Guo S. Efficacy
(pemberian anestesi, minimalisir pendarahan, of a modified coagulation factor substitution
blood control and airway); Postanestesi for total hip arthroplasty in patients with end-
(pemberian analgesik, konsentrat VIII, transfer stage haemophilic arthropathy. Blood Coagul
pasien ke ruang ICU untuk observasi. Fibrinolysis. 2017;28(1):24–7.

Daftar Pustaka 10. Li S, Qu B, Ma W, Li Y. Perioperative


anaesthesia and coagulation management
1. Aras M, Oral S. Management of intracranial of haemophilia patients receiving total
hemorrhage in hemophilia A patients. Child’s hip and knee replacement arthroplasty:
Nerv Syst. 2020;36(9):2041–6. Experience from a case series. J Orthop Surg.
2019;27(3):1–9.
2. Hegde A, Nair R, Upadhyaya S. Spontaneous
intracerebral hemorrhage in hemophiliacs—A 11. Gyanesh P, Dhiraaj S. Anesthetic
Manajemen Perioperatif Trepanasi Dekompresi Subdural 31
Hemorrhage (SDH) dengan Hemofilia A

management of a patient with hemophilia Clin Appl Thromb. 2017;23(2):148–54.


A with spontaneous acute subdural
hematoma. J Anaesthesiol Clin Pharmacol. 13. Shah UJ, Narayanan M, Smith JG. Anaesthetic
2013;29(1):117–20. considerations in patients with inherited
disorders of coagulation. Contin Educ
12. Chapin J, Bamme J, Hsu F, Christos P, Anaesthesia, Crit Care Pain. 2015;15(1):26–
Desancho M. Outcomes in Patients with 31.
Hemophilia and von Willebrand Disease
Undergoing Invasive or Surgical Procedures.
Nursing Science Journal (NSJ) p-ISSN: 2722-4988
Volume 1, Nomor 1, Juni 2020 e-ISSN : 2722-5054
Hal 7-13

PENERAPAN TEKNIK HEAD UP 30° TERHADAP PENINGKATAN


PERFUSI JARINGAN OTAK PADA PASIEN YANG MENGALAMI
CEDERA KEPALA SEDANG
Wahidin 1, Ngabdi Supraptini2

Akademi Keperawatan Pemkab Purworejo


Purworejo, (0275) 3140576
E-mail : adinrahman@gmail.com

ABSTRAK

Latar Belakang : Cedera kepala merupakan salah satu kasus penyebab kecacatan dan kematian yang
menjadi masalah kesehatan utama. Penanganan awal dapat meminimalisir seorang pasien terkena cedera
kepala sekunder. Salah satu cara untuk melalukan penanganan pasien dengan cedera kepala diantaranya
dengan menjaga jalan nafas dengan pemberian terapi oksigenasi. Tujuan : Mengetahui penerapan
teknik head up 30° terhadap peningkatan perfusi jaringan otak pada pasien yang mengalami cedera
kepala sedang. Metode : Jenis penelitian ini adalah deskriptif menggunakan metode pendekatan studi
kasus. Subyek dalam penelitian ini adalah dua orang klien yang mengalami cedera kepala sedang. Hasil:
Setelah diberikan terapi peninggian kepala 30° pada Tn.A dan Tn.I tidak mengalami sesak dibuktikan
dengan RR dalam batas normal dan peningkataan kesadaran. Kesimpulan: Penerapan teknik head up
30° dapat meningkatan perfusi jaringan otak pada pasien yang mengalami cedera kepala sedang.

Kata kunci : Congestive Heart Failure, Ketidakefektifan Pola Nafas, Terapi Pemberian Oksigen

ABSTRACT

Background : Congestive Heart Failure is the inability of the heart to pump enough blood to carry out
metabolism to meet the requirements for oxygen and nutrients in other words, it requires an abnormal
increase in pressure on the heart to meet the needs of metabolism. The main problem with clients with
congestive heart failure is ineffective breathing patterns. To overcome the breathing pattern is giving
oxygen therapy. Objective : to determine the description of the management of nursing care to clients
with comprehensive congestive heart failure through the nursing process. Method : This type of research
is descriptive using a case study approach. The subjects in this study were two clients who experienced
congestive heart failure with criteria experiencing shortness of breath and compositional awareness.
Results : showed that there were changes in breathing patterns for the better, not experiencing shortness
and normal breathing frequency. Conclusion : Nursing problems with ineffective breathing patterns
associated with hyperventilation can be overcome with giving oxygen therapy, increased oxygen, to
obtain criteria for the results to be achieved.

Keywords: Congestive Heart Failure, Ineffective Breathing Patterns, Giving Oxygen Therapy.

7
Latar Belakang Ringan (GCS 13-15) dapat terjadi kehilangan
Secara global, insiden cedera kepala kesadaran atau amnesia selama 30 menit, tidak
sedang meningkat denganta jam terutama Ada kontusio tengkorak, tidak ada fraktur
karena peningkatan penggunaan kendaraan serebral, dan hematoma (2) Cedera Kepala
bermotor. Tahun 2018 WHO memperkirakan Sedang (GCS 9-12) hilangnya kesadaran atau
bahwa kecelakaan lalu lintas akan menjadi amnesia lebih dari 30 menit, kurangdari 24 jam
penyebab penyakit dan trauma ketiga bisa terjadinya fraktur tengkorak, (3) Cedera
terbanyak didunia (Nurfaise, 2012). Kepala Berat (GCS 3-8) dapat kehilangan
Cedera kepala merupakan salah satu kesadaran dan terjadi amnesia lebihdari 24 jam
kasus penyebab kecacatan dan kematian yang meliputi kontusio serebral, laserasi, atau
menjadi masalah kesehatan utama karena hematoma intrakarnial (Amien&Hardhi, 2016).
korban gawat darurat yang menyerang Cedera kepala merupakan salah satu
sebagian orang sehat dan produktif (Sartono et kegawat daruratan yang banyak mengancam
al, 2014). jiwa, maka dari itu harus ditangani dengan tepat
Cedera kepala dapat menimbulkan dan cepat. Penanganan awal dapat
kondisi, seperti gegarbotak ringan, koma, meminimalisir seorang pasien terkena cedera
sampai kematian, kondisi paling serius disebut kepala sekunder. Ada banyak cara untuk
dengan cedera otak traumatic (traumatic brain melalukan penanganan pasien dengan cedera
injury (TBI). Penyebab paling umum TBI kepala diantaranya dengan menjaga jalan nafas.
(traumatic brain injury) adalah jatuh (28%). Salah satu cara untuk menjaga jalan nafas
Kecelakaan kendaraan bermotor (20%). adalah dengan pemberian terapi oksigenasi.
Tertabrak benda (19%) danper kelahian (11%) Penelitian Hardi, 2008 (Dikutip dalam
(Brunner & Suddart, 2013). Nur, 2018). Oksigen merupakan komponen gas
Berdasarkan Hasil Riset Kesehatan dan unsur vital dalam proses metabolisme,
Dasar (RISKESDAS) tahun 2013, jumlah data untuk mempertahankan kelangsungan hidup
selururuhnya 1.027.758 untuk semua umur. seluruh sel. Elemen ini diperoleh dengan cara
Responden yang mengalami cedera 84.774 dan menghirup udara setiap kali bernafas.
yang tidak cedera 942.984 orang. Privalensi Penyampaian oksigen kejaringan tubuh
cedera tertinggi berdasarkan karakteristrik ditentukan oleh interaksi sistem respirasi,
responden yaitu kelompok umur 15-24 tahun kardiovaskuler dan hematologi. Kekurangan
sekitar (11,7%) dan pada laki-laki (10,1%). oksigen ditandai dengan keadaan hipoksia,
(Badan Penelitian dan Pengembangan dalam proses lanjut menyebabkan kematian
Kesehatan Departemen Kesehatan Republik jaringan dan dapat mengancam kehidupan
Indonesia, 2013). Secara umum cedera (Anggraini & Hafifah, 2014). Berdasarkan latar
diklafikasikan menurut skala Gasglow Coma belakang diatas, penulis tertarik untuk membuat
Scale diklafisikan menjadi tiga : (1) Cedera melakukan penelitian berjudul “Penerapan
Kepala Teknik Head Up 30° terhadap Peningkatan
8
Perfusi Jaringan Otak pada Pasien yang dalam proses pengumpulan data yaitu
Mengalami Cedera Kepala Sedang”. tensimeter jarum, stetoskop, jam tangan
dan alat tulis.
Metode
3. Wawancara
Desain penelitian ini adalah deskriptif,
dalam bentuk studi kasus. Studi kasus ini Dalam penelitian ini wawancara yang
mengesplorasi masalah pada klien dengan dilakukan dengan menggunakan
Ketidakefektifan perfusi jaringan otak. Subyek wawancara. Wawancara jenis ini
dalam penelitian ini adalah pasien yang merupakan kombinasi dari wawancara
berjumlah 2 orang yang mengalami Cedera tidak terpimpin dan wawancara terpimpin.
Kepala Sedang.
4. Dokumentasi
Pelaksanaan pengumpulan data Dokumentasi yang dilakukan oleh penulis
dilakukan di IGD RSUD Dr. Soedirman yaitu pendokumentasi hasil pengkajian,
Kebumen. Waktu penelitian studi kasus ini analisa data, diagnosa keperawatan,
dimulai pada tanggal 26 – 27 Juni 2019 untuk rencana keperawatan, tindakan
partisipan I Tn. A dan pada tanggal 26 Juni dan keperawatan, dan evaluasi dari tindakan.
27 Juni 2019 untuk partisipan II (Tn.I).
Instrumen pengumpulan data yang
Pengumpulan data tentang penerapan meliputi:
teknik head up 30° terhadap peningkatan 1. Memberikan teknik head up 30° sesuai SOP
perfusi jaringan otak pada pasien yang Rumah Sakit.
mengalami cedera kepala sedang yaitu: 2. Pedoman observasi

1. Observasi Uji keabsahan data dimaksudkan untuk


menguji kualitas data atau informasi yang
Dalam penelitian ini, penulis
diperoleh dalam penelitian sehingga
mengobservasi atau melihat keadaan
menghasilkan data dengan validitas tinggi. Uji
umum partisipan dengan pemeriksaan
keabsahan dilakukan dengan cara
fisik (dengan pendekatan IPPA : inspeksi,
memperpanjang waktu pengamatan/tindakan.
palpasi, perkusi, dan auskultasi).
dan mencari sumber informasi tambahan
2. Pengukuran
menggunakan triangulasi dari tiga sumber
Dalam penelitian ini, penulis mengukur
data utama yaitu pasien, perawat dan keluarga
menggunakan alat ukur pemeriksaan,
yang berkaitan dengan masalah yang teliti.
seperti melakukan pengukuran tekanan
darah, menghitung frekuensi napas, dan
menghitung frekuensi nadi, frekuensi
nafas (RR). Penulis menggunakan
beberapa peralatan yang akan digunakan

9
Hasil tindakan diberikan peninggian kepala 30° pada
Tn. A klien 1 pada tanggal 26 juni 2019
Tn.A dan Tn.I tidak mengalami sesak dan
pada pukul 08.00 WIB didapatkan keluhan tampak lebih nyaman.
utama adalah nyeri kepala. Sedangkan Tn. I
klien ke 2 datang ke IGD kebumen pada Pembahasan
tanggal 27 Juni 2019 pada pukul 23.00 WIB. 1. Gambaran perfusi jaringan cerebral
Pada tanggal 26 Juni 2019 penulis sebelum diberikan terapi head up 30°
menemukan pada Tn.A klien tampak sadar Dari hasil pengkajian primer Tn.A
pola nafas tidak ada sumbatan RR klien ke 1 ada ketidakefektifan perfusi
28x/menit, Suara paru ronchi. Suhu: 360 jaringan serebral RR 28x/menit, suara
Tekanan darah: 137/90 Nadi:102x/menit nafas tidak ada sumbatan, suara nafas cepat
Akral: hangat, konjungtiva anemis, Turgor dan terdapat cuping hidung. Sedangkan
kulit: baik Perdarahan: ada luka bentur di pada Tn.I klien ke 2 terdapat
kepala kurang lebih 3cm dan ada fraktur kaki ketidakefektifan perfusi jaringan serebral
kanan. GCS 15 ( E.4 M.6 V.5) composmentis. RR 27x/menit tidak ada sumbatan suara
Penulis melakukan tindakan dengan nafas cepat.
memberikan posisi kepala head up 30° dan Menurut Black & Hawks (2009)
melakukan pemasangan masker oksigen bahwa pasien cedera kepala sedang
3L/menit. mengalami ketidakefektifan perfusi
Pada 27 Juni 2019 pada Tn. I penulis jaringan serebral. Pasien cedera kepala
menemukan klien kesadaran menurun, pola sedang mengalami ketidakefektifan perfusi
nafas tidak ada sumbatan RR 27x/menit. Suara jaringan serebral berhubungan dengan
paru ronchi, Suhu:370 Tekanan darah: 120/80 trauma kepala. Proteksi otak merupakan
mmhg, Nadi: 76xmenit, Akral:dingin, Turgor serangkaian tindakan yang dilakukan
kulit: baik, ada perdarahan di bibir bawah, dan untuk mencegah atau mengurangi
ada luka bentur di kepala kurang lebih 3 cm. kerusakan sel-sel otak yang diakibatkan
GCS 12 (E.3 M.5 V.4) somnolen. Kemudian oleh keadaan iskemia.
penulis memberikan posisi kepala head up 30° Cerebral perfusion pressure (CPP)
dan melakukan pemasangan masker oksigen adalah jumlah aliran darah dari sirkulasi
3L/menit. sitemik yang diperlukan untuk
Berdasarkan hasil observasi terhadap memberikan oksigen dan glukosa yang
kedua klien didapatkan masalah yang sama adekuat untuk metabolisme otak (Black &
yaitu ketidakefektifan perfusi jaringan serebral Hawks, 2005). Tanda-tanda vital yang
berhubungan dengan trauma kepala. tetap terjaga konstan memperbaiki aliran
Pelaksanaan posisi head up 30° pada Tn.A darah sehingga meningkatkan status
klien ke 1 dan Tn.I klien ke 2 sesuai dengan neurologis.
rencana yang dibuat. Respon klien setelah
10
2. Gambaran perfusi jaringan cerebral setelah cara membebaskan jalan nafas dan
diberikan terapi head up 30° oksigenasi yang adekuat.
Setelah diberikan terapi Posisi head-up 30 derajat bertujuan
peninggian kepala 30° pada Tn.A dan Tn.I untuk memenuhi kebutuhan oksigenasi di
tidak mengalami sesak. Menurut penulis otak sehingga menghindari terjadinya
evaluasi dan tindakan keperawatan Tn.A hipoksia pasien, dan tekanan intrakranial
dan Tn.I dilakukan posisi kepala 30° pada menjadi stabil dalam batas normal. Selain
cedera kepala sedang untuk mengurangi itu, posisi ini lebih efektif untuk
sesak dan meingkatkan kesadaran klien. mempertahankan tingkat kesadaran karena
Hal ini terbukti dari klien 2 dengan GCS sesuai dengan posisi anatomis dari tubuh
awal 12 (somnolent) menjadi sadar penuh manusia yang kemudian mempengaruhi
atau GCS 15. hemodinamik pasien (Batticaca FB, 2008).
Pemberian oksigen melalui Posisi head up 30 derajat yang
masker sederhana dan posisi kepala 30° dilakukan dalam penelitian ini merupakan
merupakan tindakan yang tepat pada bentuk tipe intervensi standar comfort yang
klasifikasi cedera kepala sedang untuk artinya tindakan dilakukan dalam upaya
melancarkan perfusi oksigen ke serebral mempertahankan atau memulihkan peran
sehingga membantu peningkatan status tubuh dan memberikan kenyamanan serta
kesadaran. mencegah terjadinya komplikasi.
Posisi head up 30 derajat Posisi head up 30 derajat
merupakan posisi untuk menaikkan merupakan posisi menaikkan kepala dari
kepala dari tempat tidur dengan sudut tempat tidur dengan sudut sekitar 30
sekitar 30 derajat dan posisi tubuh dalam derajat dan posisi badan sejajar dengan
keadaan sejajar (Bahrudin, 2008). kaki. Posisi head up 30 derajat memiliki
Keseimbangan oksigen otak manfaat untuk menurunkan tekanan
dipengaruhi oleh aliran darah intrakranial pada pasien cedera kepala.
otak. Proteksi otak merupakan Selain itu posisi tersebut juga dapat
serangkaian tindakan yang dilakukan meningkatkan oksigen ke otak (Batticaca
untuk mencegah atau mengurangi FB, 2008).
kerusakan sel-sel otak yang diakibatkan Posisi head up 300 perfusi dari dan
oleh keadaan iskemia. Iskemia otak ke otak meningkat sehingga kebutuhan
adalah suatu gangguan hemodinamik oksigen dan metabolisme meningkat
yang akan menyebabkan penurunan aliran ditandai dengan peningkatan status
darah otak sampai ke suatu tingkat yang kesadaran diikuti oleh tanda-tanda vital
akan menyebabkan kerusakan otak yang yang lain. 2 responden memiliki pupil tidak
irevesibel. Metode dasar dalam normal (anisokor, reaksi+/+),kemungkinan
melakukan proteksi otak adalah dengan terjadi penekanan terhadap saraf
11
okulomotor ipsilateral akibat edema tingkat signifikansi α = 0,005 diperoleh p=
serebri post optrepanasi. Pasien dengan 0,000 berarti ada peningkatan perfusi
hematoma yang besar yang memberikan serebral secara efektivitas dengan elevasi
efek massa yang besar dan gangguan kepala 30 derajat. Perfusi pada pasien
neurologis (Bajamal, 2007). dengan pasca-op trepanasi setelah 8 jam.
Otak yang normal memiliki Elevasi kepala 30 derajat dapat
kemampuan autoregulasi, yaitu meningkatkan perfusi serebral pada pasien.
kemampuan organ mempertahankan
aliran darah meskipun terjadi perubahan Kesimpulan
sirkulasi arteri dan tekanan perfusi Berdasarkan penjelasan di atas, dapat
(Tankisi, et.al, 2005). Autoregulasi disimpulkan bahwa Pada klien ke 1 Tn. A
menjamin aliran darah yang konstan respon yang telah diberikan tindakan pemberian
melalui pembuluh darah serebral diatas posisi 30° selama 1 x 7 jam ketidakefektifan
rentang tekanan perfusi dengan mengubah perfusi jaringan serebral kembali efektif,
diameter pembuluh darah dalam sedangkan pada klien ke II Tn. I setelah
merespon perubahan tekanan arteri. Pada dilakukan intervensi pemberian posisi 30°
klien dengan gangguan autoregulasi, selama 1 x 7 jam ketidakefektifan perfusi
beberapa aktivitas yang dapat jaringan serebral kembali efektif.
meningkatkan tekanan darah seperti
batuk, suctioning, dapat meningkatkan Ucapan Terima Kasih
aliran darah otak sehingga juga Dalam hal ini penulis mengucapkan
meningkatkan tekanan TIK (Thamburaj, terima kasih kepada Direktur Akper Pemkab
V, 2006). Purworejo dan Ketua Lembaga Penelitian dan
Hasil penelitian ini sejalan dengan Pengabdian Masyarakat yang telah memberikan
penelitian Pertami SB, Sulastyawati, dukungan moril maupun materiil dalam
Anami P (2017) yang menunjukkan penyelesaian publikasi ini.
terdapat pengaruh yang signifikan posisi
head-up 30° pada perubahan tekanan DAFTAR PUSTAKA
intrakranial, khususnya di tingkat Batticaca FB. (2008). Asuhan Keperawatan Pada
Klien dengan Gangguan Sistem
kesadaran dan tekanan arteri rata-rata Persarafan. Jakarta: Salemba Medika.
pada pasien dengan cedera kepala. Hasil
Indriyani, fatiyah. (2018). Analisis Asuhan
penelitian Martina, dkk (2017) juga Keperawatan Pada Pasien Cedera
Kepala Sedang Dengan Masalah
menunjukkan bahwa posisi Head Up 30
Keperawatan Gangguan Perfusi
derajat berpengaruh terhadap saturasi Jaringan Serebral Di Ruang Instalasi
Gawat Darurat Rsud Prof. Dr.
oksigen pada pasien stroke.
Margono Soekarjo Purwokerto. Stikes
Sejalan dengan penelitian Huda, Gombong. Diaskes pada tanggal 23
Maret 2019, Pukul 18:20 PM.
(2012) berdasarkan t-tes tes dengan
12
Kolcaba, K. (2003). Comfort theory and practice: Head Injury) Di Ruang Intensive Care
a vision for holistic health care and Unit (Icu) Rsup H Adam Malik
research. Springer Publishing Company. Medan. Diakses pada tanggal 20 Maret
2019, pukul : 16.30 PM.
Lilis, suryani. (2016) Pemberian Posisi Semi
Flower Dengan Cedera Kepala Takatelide, dkk.2017. Pengaruh Terapi
Ringan Rumah Sakit Salatiga. Oksigenasi Nasal Prong Terhadap
Salatiga : publishing. Diakses pada 14 Perubahan Saturasi Oksigen Pasien
april 2019, pukul 15:00 AM. Cedera Kepala Di Instalasi Gawat
Darurat Rsup Prof. Dr. R. D. Kandou
Manurung, melva & Gustia, M.
Manado. Diakses pada tanggal 19
2018.Hubungan Ketepatan Penilaian
Maret 2019,pukul 13:40 AM.
Triase Dengan Tingkat Keberhasilan
Penanganan Pasien Cedera Kepala Wijaya Andra Saferi, Y. M (2015) KMB 2
Di IGD RSU HKBP Balige Kabupaten Keperawatan Medikal Bedah,
Toba Samosir. Diakses pada 19 Maret Yogyakarta : Medika Wardani
2019,pukul : 13:40 AM. Kusuma. Analisa Asuhan Keperawatan
Pada Pasien Cedera Kepala
Nurfaise (2012). Gambaran Penanganan
Berat Dengan Masalah Keperawatan
Cedera Kepala Di Instansi Gawat
Keetidakefektifan Bersihan Jalan
Darurat Di Rsud Karanganyar.
Nafas Di Instalasi Gawat Darurat
Diakses pada tanggal 23 April 2019
Rsud Prof. Dr. Margono Soekarjo
pukul 17:00 PM.
Purwokerto. Stikes Gombong. Diakes
Nurarifin, Amin H, H. K. (2016) Aplikasi pada tanggal 23 Maret 2019, Pukul
Asuhan Keperawatan Berdasarkan 18:20 PM.
Diagnosa Medis dan Nanda NIC-
Wijaya, Andra Saferi dan Yessie Mariza Putri.
NOC Edisi Jilid I. Yogyakarta :
2013. KMB I Keperawatan
Medication.
Medikal Bedah. Yogyakarta : Nuha
Nurarif, Amin H danHardhi, Medik
Kusuma,2015.Aplikasi Asuhan
Keperawatan Diagnosa Medis Dan
Nanda NIC-NOC.Yogyakarta.
Mediaction Jogja.
Putra, Adi. (2016). Gambaran Penanganan
Pasien Cedera Kepala Di Instalasi
Gawat Darurat Rsu Pku
Muhammadiyah Bantul.
epository.unjaya.ac.id/2512/1/SatriaB
agosAdi Putra_2212256_nonfull.pdf.
Diaskes pada tanggal 23 Maret 2019,
pukul 18:20 PM.
Rawis, ddk.2016.Profil pasien cedera kepala
sedang dan berat yang dirawat
di ICU dan HCU. Diakses pada
tanggal 19 Maret 2019,pukul : 13:40
AM.
Simamora & Suriani.2017.Pengaruh
Pemberian Terapi Oksigen Dengan
Menggunakan Non-Rebreathing Mask
(Nrm) Terhadap Nilai Tekanan
Parsial Co2 (Paco2) Pada Pasien
Cedera Kepala Sedang (Moderate
13
ASKEP CEDERA
KEPALA POST
TREPANASI &
ARDS
Keperawatan Kritis
Kelompok 6
1. Yessika Natalia S
2. Ranika Silalahi
3. Nuria
4. Sutra Wiranti
5. Yuyun
Cedera Kepala
Cedera kepala traumatik adalah salah satu
masalah kesehatan utama dan masalah sosial
ekonomi yang menjadi penyebab kematian pada
dewasa dan anak- anak. Untuk mengatasi hal
tersebut Brain Trauma Foundation (BFT) telah
menetapkan pedoman penalaksanaan cedera
kepala traumatik berat, yang meliputi
penatalaksanaan pada prahospital dan
perawatan intensive
1. Konsep Perawatan Post Operatif di
Ruang Intensive
1
2
Pada operasi neurosurgical Pulih sadar lambat dapat dilakukan
umumnya pasien dibangunkan dari pada kondisi : derajat kesadaran pra
operasi buruk, resiko terjadi edema
anastesi secepatnya, sehingga status
atau memperberat edemanya seperti
neurologis dapat dievaluasi
pada operasi yang lama, perdarahan
secepatnya sebagai hasil dari
banyak, dekat area vital, pengelolaan
tindakan pembedahan. jalan nafas pra operasi sulit.
Asuhan
Keperawatan

Anda mungkin juga menyukai