Anda di halaman 1dari 93

LAPORAN PENDAHULUAN

PERILAKU KEKERASAN

Di susun oleh:

Desi Rofiqo Khoirotun Nisa

2130282063

Pembimbing Akademik Pembimbing Klinik

( ) ( )

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN NERS

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS PERINTIS INDONESIA

TAHUN AJARAN 2021/2022


A. Konsep Dasar
1. Pengertian Perilaku Kekerasan
Perilaku kekerasan adalah keadaan hilangnya kendali perilaku seseorang yang
diarahkan pada diri sendiri, orang lain atau lingkungan. Perilaku kekerasan pada diri
sendiri dapat berbentuk melukai diri untuk bunuh diri atau membiarkan diri dalam
bentuk penelantaran diri.Perilaku kekerasan pada orang adalah tindakan agresif yang
ditunjukan untuk melukai atau membunuh orang lain. Perilaku kekerasan pada
lingkungan dapat perilaku merusak lingkungan, melempar kaca, genting dan semua yang
ada di lingkungan. Pasien yang dibawa ke Rumah Sakit Jiwa sebagian besar akibat
melakukan kekerasan di rumah.
Perilaku kekerasan merupakan bagian dari rentang respon marah yang paling
maladaptif, yaitu amuk, marah merupakan rasa jengkel yang timbul sebagai respon
terhadap kecemasan yang dirasakan sebagai ancaman. Amuk merupakan erspon
kemarahan yang paling maladaptif yang ditandai dengan perasaan marah dan
bermusuhan yang kuat disertai hilangnya kontrol, yang individu dapat merusak diri
sendiri, orang lain, atau lingkungan.

2. Rentang Respon

Adaptif Maladaptif
Asertif Frustasi Pasif Agresif Amuk
Keterangan :

Asertif : Kemarahan yang diungkapkan tanpa menyakiti orang lain.


Frustasi : Kegagalan mencapai tujuan, tidak realitas/terhambat.
Pasif : Respons lanjutan yang pasien tidak mampu mengungkapkan perasaan.
Agresif : Perilaku destruktif tapi masih terkontrol.
Amuk : Perilaku destruktif yang tidak terkontrol

3. Faktor peyebab
a. Predisposisi
Menurut Yosep (2010), faktor predisposisi klien dengan perilaku kekerasan adalah:
1.) Teori Biologis
a.) Neurologic Faktor
Beragam komponen dari sistem syaraf seperti sinap, neurotransmitter,
dendrit, akson terminalis mempunyai peran memfasilitasi atau menghambat
rangsangan dan pesan-pesan yang mempengaruhi sifat agresif.
b.) Genetic Faktor
Adanya faktor gen yang diturunkan melalui orang tua, menjadi potensi
perilaku agresif. Menurut riset kazu murakami (2007) dalam gen manusia
terdapat dorman (potensi) agresif yang sedang tidur akan bangun jika
terstimulasi oleh factor eksternal.
c.) Cycardian Rhytm
Irama sikardian memegang peranan individu. Menurut penelitian pada jam
sibuk seperti menjellang masuk kerja dan menjelang berakhirnya kerja
ataupun pada jam tertentu akan menstimulasi orang untuk lebih mudah
bersikap agresif
d.) Faktor Biokimia
Faktor biokimia tubuh seperti neurotransmitter di otak contohnya epineprin,
norepenieprin, dopamin dan serotonin sangat berperan dalam penyampaian
informasi melalui system persyarafan dalam tubuh.
e.) Brain Area Disorder
Gangguan pada sistem limbik dan lobus temporal, siindrom otak, tumor otak,
trauma otak, penyakit ensepalitis, epilepsy ditemukan sangat berpengaruh
terhadap perilaku agresif dan tindak kekerasan.
2.) Faktor psikologis
a.) Teori Psikoanalisa
Agresivitas dan kekerasan dapat dipengaruhi oleh riwayat tumbuh kembang
seseorang. Teori ini menjelaskan bahwa adanya ketidakpuasan fase oral
antara usia 0-2 tahun dimana anak tidak mendapat kasih sayang dan
pemenuhan kebutuhan air susu yang cukup cenderung mengembangkan sikap
agresif dan bermusuhan setelah dewasa sebagai komponen adanya
ketidakpercayaan pada lingkungannya.
b.) Imitation, modelling and information processing theory
Menurut teori ini perilaku kekerasan bisa berkembang dalam lingkungan
yang mentolelir kekerasan. Adanya contoh, model dan perilaku yang ditiru
dari media atau lingkungan sekitar memungkinkan individu meniru perilaku
tersebut.
c.) Learning Theory
Perilaku kekerasan merupakan hasil belajar individu terhadap lingkungan
terdekatnya.
b. Faktor presipitasi
Faktor presipitasi dapat menimbulkan perilaku kekerasan pada setiap individu.
Stressor tersebut merupakan penyebab yang bersifat internal maupun eksternaldari
individu. Faktor internal meliputi keinginan yang tidak terpenuhi, perasaan
kehilangan dan kegagalan akan hidup, kekhawatiran terhadap penyakit fisik.
Sedangkan faktor eksternal meliputi keinginan atau kejadian sosial yang berubah
seperti serangan fisik atau tindakan kekerasan, kritikan yang menghina, lingkungan
yang terlalu ribut atau putusnya hubungan sosial.

4. Proses Terjadinya Perilaku Kekerasan


a. Faktor Predisposisi
Faktor pengalaman yang merupakan faktor predisposis, artinya mungkin
terjadi/mungkin tidak terjadi perilaku kekerasan jika faktor berikut dialami oleh
individu:
1.) Psikologis
a.) Teori Psikoanalitik, teori ini menjelaskan tidak terpenuhinya kepuasan dan
rasa aman dapat mengakibatkan tidak berkembangnya ego dan membuat
konsep diri yang rendah. Agresif dan kekerasan dapat memberikan kekuatan
dan meningkatkan citra diri
b.) Teori pembelajaran, perilaku kekerasan merupakan perilaku yang dipelajarai,
individu yang memiliki pengaruh biologik terhadap perilaku kekerasan lebih
cenderung untuk dipengaruhi oleh peran eksternal.
2.) Perilaku, reinforcement yang diterima pada saat melakukan kekerasan, sering
mengobservasi kekerasan dirumah atau diluar rumah, semua aspek ini
menstiumulasi individu mengadopsi perilaku kekerasan
3.) Sosial budaya, proses globalisasi dan pesatnya kemajuan teknologi informasi
memberikan dampak terhadap nilai-niali sosial dan budaya pada masyarakat. Di
sisi lain, tidak semua orang mempunyai kemampuan yang sama untuk
mnyesuaikan dengan berbagai perubahan, serta mengelola konflik dan stress
4.) Bioneurologis, banyak bahwa kerusakan sistem limbik, lobus frontal, lobus
temporal dan ketidak seimbangan neurotransmitter turut berperan dalam
terjadinya perilaku kekerasan
b. Faktor Presipitasi
Beberapa faktor pencetus perilaku kekerasan adalah sebagai berikut:
1.) Konsis klien: kelemahan fisik, keputusasaan, ketidakberdayaan, kehidupan yang
penuh dengan agresif dan masa lalu yang tidak menyenangkan.
2.) Interaksi: penghinaan, kekerasan, kehilangan orang, merasa terancam baik
internal dari permasalahan diri klien sendiri maupun eksternal dari lungkungan.
3.) Lingkungan: panas, padat dan bising

5. Mekanisme Koping
Beberapa mekanisme koping yang dipakai pada pasien marah untuk melindungi diri
antara lain:
a. Sublimasi
Menerima suatu sasaran pengganti yang mulia. Artinya dimatamasyarakat unutk
suatu dorongan yang megalami hambatan penyalurannya secara normal. Misalnya
seseorang yang sedang marah melampiaskan kemarahannya pada objek lain seperti
meremas remas adona kue, meninju tembok dan sebagainya, tujuannya adalah untuk
mengurangi ketegangan akibat rasa amarah.
b. Proyeksi
Menyalahkan orang lain kesukarannya atau keinginannya yang tidak baik, misalnya
seorang wanita muda yang menyangkal bahwa ia mempunyai perasaan
seksualterdadap rekan sekerjanya, berbalik menuduh bahwa temannya tersebut
mencoba merayu, mencumbunya.
c. Represi
Mencegah pikiran yang menyakitkan atau bahayakan masuk kedalam sadar.
Misalnya seorang anak yang sangat benci pada orang tuanya yang tidak disukainya.
Akan tetapi menurut ajaran atau didikan yang diterimanya sejak kecil bahwa
membenci orang tua merupakan hal yang tidak baik dan dikutuk oleh tuhan.
Sehingga perasaan benci itu ditekannya dan akhirnya ia dapat melupakanya
d. Reaksi formasi
Mencegah keinginan yang berbahaya bila di ekspresika.dengan melebih lebihkan
sikap dan perilaku yang berlawanan dan menggunakan sebagai rintangan misalnya
sesorangan yang tertarik pada teman suaminya,akan memperlakukan orang tersebut
dengan kuat
e. Deplacement
Melepaskan perasaan yang tertekan biasanya bermusuhan pada objek yang tidak
begitu berbahaya seperti yang pada mulanya yang membangkitkan emosi
itu ,misalnya: timmy berusia 4 tahun marah karena ia baru saja mendapatkan
hukuman dari ibunya karena menggambar didinding kamarnya. Dia mulai bermai
perang-perangan dengan temanya

6. Penatalaksanaan
a. Farmakoterapi
Pasien dengan ekspresi marah perlu perawatan dan pengobatan mempunyai dosis
efektif tinggi contohnya: clorpromazine HCL yang berguna untuk mengendalikan
psikomotornya.
b. Terapi okupasi
Terapi ini sering diterjemahkan dengan terapi kerja terapi ini buka pemberian
pekerjaan atau kegiatan itu sebagai media untuk melakukan kegiatan dan
mengembalikan kemampuan berkomunikasi, karena itu dalam terapi ini tidak harus
diberikan pekerjaan tetapi segala bentuk kegiatan seperti membaca koran, atau main
catur.
c. Peran serta keluarga
Keluarga merupakan sistem pendukung utama yang memberikan perawatan langsung
pada setiap keadaan (sehat-sakit) pasien. Perawat membantu keluarga agar dapat
melakukan lima tugas kesehatan, yaitu mengenal masalah kesehatan, membuat
keputusan tindakan kesehatan, memberi perawatan pada anggota keluarga,
menciptakan lingkungan keluarga yang sehat, dan menggunakan sumber yang ada
pada masyarakat. Keluarga yang mempunyai kemampuan mengtasi masalah akan
dapat mencegah perilaku maladaptif (pencegahan primer), menanggulangi perilaku
maladaptif (pencegahan skunder) dan memulihkan perilaku maladaptif ke
perilakuadaptif (pencegahan tersier) sehinnga derajat kesehatan pasien dan keluarga
dapat ditingkatkan secara optimal
d. Terapi somatik
Terapi somatic terapi yang diberikan kepada pasien dengan gangguan jiwadengan
tujuan mengubah perilaku yang mal adaftif menjadi perilaku adaftif dengan
melakukan tindakan yang ditunjukkan pada kondisi fisik pasien,terapi adalah
perilaku pasien
e. Terapi kejang listrik
Terapi kejang listrik atau electronic convulsive therapy (ECT) adalah bentuk terapi
kepada pasien dengan menimbulkan kejang grand mall dengan mengalirkan arus
listrik melalui elektroda yang menangani skizofrenia membutuhkan 20-30 kali terapi
biasanya dilaksanakan adalah setiap 2-3 hari sekali (seminggu 2 kali).

7. Strategi Tindakan Keperawatan


a. Strategi Preventif, terdiri dari kesadaran diri, penyuluhan/ penkes dan latihan asertif.
b. Strategi Antisipasi, terdiri dari komunikasi, perubahan lingkungan, tindakan prilaku
dan psikofarmakologi
c. Strategi pengekangan, terdiri dari manajemen krisis, pengasingan.
B. Asuhan Keperawatan Teoritis
1. Pengkajian
Pengkajian yang dilakukan dengan cara wawancara dan observasi pada pasiendan
keluarga. Tanda dan gejala perilaku kekerasan dapat ditemukan dengan wawancara
melalui pertanyaan sebagai berikut:
a. Apa penyebab perasaan marah?
b. Apa yang dirasakan saat terjadi kejadian/penyebab marah?
c. Apa yang dilakukan saat marah?
d. Apa akibat dari cara marah yang dilakukan?
e. Apakah dengan cara yang digunakan penyebab marah hilang?

Tanda dan gejala resiko perilaku kekerasan yang dapat ditemukan melalui observasi
sebagai berikut:
a. Wajah memerah dan tegang
b. Pandangan tajam
c. Mengatupkan ranhang dengan kuat
d. Mengepalkan tangan
e. Bicara kasar
f. Mondar mandir
g. Nada suara tinggi, menjerit dan berteriak
h. Melempar atau memukul benda/orang lain

2. Daftar Masalah
a. Harga diri rendah
b. Resiko perilaku kekerasan
c. Resiko menciderai diri sendiri, orang lain dan lingkungan
3. Pohon Masalah
Resiko Mencederai Diri Sendiri

Resiko Perilaku kekerasan

Harga diri rendah

4. Kemungkinan Diagnosa
a. Resiko Perilaku kekerasan
b. Harga diri rendah

5. Rencana Keperawatan
Diagnosa Resiko Perilaku Kekerasan
a. Tindakan Keperawatan Untuk Pasien:
Tujuan :
1.) Membina hubungan saling percaya
2.) Menjelaskan penyebab marah
3.) Menjelaskan perasaan saat terjadi marah/ perilaku kekerasan
4.) Menyebutkan cara mengontrol marah/ perilaku kekerasan
5.) Melatih kegiatan fisik dalam menyalurkan kemarahan
6.) Melatih cara bicara yang baik saat marah
7.) Melatih kegiatan ibadah untuk mengendalikan rasa marah

Tindakan Keperawatan:

1.) Membina hubungan saling percaya dengan cara:


a.) Ucapkan salam setiap kali berinteraksi
b.) Perkenalkan diri
c.) Tanyakan perasaan dan keluhan pasien
d.) Buat kontrak asuhan
e.) Jelaskan bahwa perawat akan merahasiakan informasi yang diperoleh untuk
kepentingan terapi
f.) Tunjukkansikap empati
g.) Penuhi kebutuhan dasar pasien
2.) Diskusikan bersama pasien penyebab marah yang menyebabkan perilaku
kekerasan
3.) Diskusikan tanda pada jika terjadi perilaku kekerasan
a.) Diskusikan tanda dan gejala perilaku kekerasan secara fisik
b.) Diskusikan tanda dan gejala perilaku kekerasan secara psikologis
c.) Diskusikan tanda dan gejala perilaku kekerasansecara sosial
d.) Diskusikan tanda dan gejala perilaku kekerasan secara spiritual
e.) Diskusikan tanda dan gejala perilaku kekerasan secara intelektual
4.) Diskusikan bersama pasien perilaku kekerasan yang bisa dilakukan saat marah:
a.) Verbal
b.) Terhadap diri sendiri
c.) Terhadap orang lain
d.) Terhadap lingkungan
5.) Diskusikan bersama klien akibat dari perilakunya
6.) Latih pasien cara mengontrol perilaku kekerasaan secara:
a.) SP 1 : Latihan tarik nafas dalam dan pukul kasur atau bantal
b.) SP 2 : Latihan patuh minum obat
c.) SP 3 : latihan cara sosial atau verbal
d.) SP 4 : Latihan cara spiritual

b. Tindakan untuk keluarga:


Tujuan
1.) Mengenal masalah resiko perilaku kekerasan
2.) Memutuskan untuk melakukn perawatan pada pasien resiko perilaku kekerasan
3.) Merawat pasien resiko perilaku kekerasan dan mendampingi pasien melakukan
kegiatan fisik, bicara yang baik, minum obat yang teratur dan spiritual
4.) Memodifikasi lingkungan yang kondusif agar pasien mampu mengonrol perilaku
kekerasan
5.) Mengenal tanda dan gejala kekambuhan dan mencari pelayanan kesehatan
6.) Tindakan keperawatan kepada keluarga :
a.) SP 1 : Cara merawat pasien dan latihan fisik 1
b.) SP 2 : Latihan cara memberi minum obat
c.) SP 3 : Latihan cara sosial dan verbal
d.) SP 4 : Latihan cara spiritual
6. Implementasi
Merupakan langkah ke empat dalam tahap proses keperawatan dengan melaksanakan
berbagai strategi keperawatan (tindakan keperawatan) yang telah direncanakan dalam
rencana tindakan keperawatan.
7. Evaluasi
a. Pada pasien:
1.) Pasien mampu menybutkan penyebab, tanda dan gejala perilaku kekerasan,
perilaku kekerasan yang biasa dilakukan, serta akibat dari perilaku kekerasan
yang dilakukan.
2.) Pasien mampu menggunakan cara mengontrol perilaku kekerasan secara teratur
sesuai jadwal, meliputi:
a.) Secara fisik
b.) Secara sosial/verbai
c.) Secara spiritual
d.) Terapi psikofarmaka
b. Pada keluarga:
1.) Keluarga mampu mencegar terjadinya perilaku kekerasan
2.) Keluarga mampu menunjukkan sikap yang mendukung dan menghargai pasien
3.) Keluarga mampu memotivasi pasien dalam melakukan cara mengontrol perilaku
kekerasan
4.) Keluarga mampu mengidentifikasi perilaku pasien yang harus dilaporkan kepada
perawat

Daftar Pustaka

Eko Prabowo. (2014). Konsep & Aplikasi ASUHAN KEPERAWATAN JIWA. Yogyakarta:
Nuha Medika.

Mukhripah Damaiyanti. (2012). Asuhan Keperawatan Jiwa. Samarinda: Refka Aditama.

Nuraenah. (2012). Hubungan Dukungan Keluarga dan Beban Keluarga dalam Merawat Anggota
dengan Riwayat Perilaku Kekerasan di RS. Jiwa Islam Klender Jakarta Timur, 29-37.

Sari, K. (2015). Panduan Lengkap Praktik Klinik Keperawatan Jiwa. Jakarta: Trans Info MEdia.
LAPORAN PENDAHULUAN

ISOLASI SOSIAL

Di susun oleh:

Desi Rofiqo Khoirotun Nisa

2130282063

Pembimbing Akademik Pembimbing Klinik

( ) ( )

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN NERS


FAKULTAS ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS PERINTIS INDONESIA

TAHUN AJARAN 2021/2022

KONSEP DASAR
A. Pengertian
Isolasi sosial merupakan ketidakmampuan untuk membina hubungan yang erat, hangat,
terbuka, dan interdependen dengan orang lain(Risnasari, 2018). Menurut SDKI, 2017 isolasi
sosial adalah kesendirian yang dialami oleh individu dan dianggap timbul karena orang lain
serta sebagai suatu keadaan negatif atau mengancam. Isolasi sosial adalah keadaan dimana
seorang individu mengalami penurunan atau bahkan sama sekali tidak mampu berinteraksi
dengan orang lain di sekitarnya. Klien mungkin merasa ditolak, tidak diterima, kesepian dan
tidak mampu membina hubungan yang berarti dengan orang lain. (Yosep, 2011).
B. Rentang Respon
Menurut (Risnasari, 2018) suatu hubungan antar manusia akan berada pada rentang
respons adaptif dan maladaptif seperti tergambar di bawah ini.

Adiptif Maladaptif
 Menyendiri  Merasa sendiri  Manipulasi
(solitude) (loneliness)  Impulsive
 Otonomi  Menarik diri  Narsisme
 Bekerja sama (withdrawal)
(mutualisme)  Tergantung
 Saling bergantung (dependent)
(interdependence)

C. Karakteristik Perilaku
1. Kurang sopan
2. Apatis
3. Ekspresi wajah kurang berseri
4. Afek tumpul
5. Tidak merawat dan memperhatikan kebersihan diri
6. Komunikasi verbal menurun atau tidak ada
7. Mengisolasi diri
8. Kurang sadar dengan lingkungan sekitar
9. Pemasukan makan dan minum menurun
10. Aktivitas menurun
11. Menolak hubungan dengan orang lain. (Erlinafsiah, 2010)
D. Faktor Predisposisi
Faktor predisposisi yang mempengaruhi isolasi sosial adalah sebagai berikut: (Fitria,
2009)
1. Faktor Tumbuh Kembang
Pada tahap tumbuh kembang, terdapat tugas-tugas perkembangan yang harus
terpenuhi supaya tidak terjadinya gangguan dalam hubungan sosial, apabila tugas-tugas
tersebut tidak terpenuhi, maka akan menghambat tahap-tahap perkembangan sosial yang
nantinya bisa menimbulkan suatu masalah, seperti isolasi sosial. Berikut tahap
perkembangan yang haru terpenuhi:
Tahap Perkembangan Tugas
Masa bayo Menetapkan rasa percaya
Masa presekolah Mengembangkan otonomi dan awal perilaku
mandiri
Masa sekolah Belajar menunjukan inisiatif, rasa tanggung
jawab, dan hati nurani
Masa preremaja Belajar berkompetisi, bekerja sama, dan
berkompromi
Masa dewasa muda Menjalin hubungan intim dengan teman
sesama jenis kelamin
Mencari pasangan Menjadi saling bergantung antara orang tua
dan teman
Masa tengah baya Menikah dan mempunyai anak
Masa tengah baya Belajar menerima kehidupan, sebagai hasil
yang sudah dilalui
Masa dewasa tua Berduka karena kehilangan dan
mengembangkan
perasaan ketertarikan dengan budaya
Tabel 1. Tugas perkembangan berhubungan dengan pertumbuhan interpersonal
(Stuart dan Sundeen, dalam Fitria,2009).
2. Faktor komunikasi dalam keluarga
Gangguan komunikasi dalam keluarga adalah salah faktor pendukung terjadinya
gangguan dalam isolasi sosial. Dalam teori ini yang termasuk masalah dalam
berkomunikasi sehinggab akan menimbulkan ketidakjelasan (double bind) yaitu suatu
keadaan dimana seorang anggota keluarga ekspresi emosi yang tinggi atau menerima
pesan yang saling bertentangan dalam waktu bersamaan dalam keluarga yang akan
menghambat untuk hubungan dengan lingkungan luar.

3. Faktor sosial budaya


Norma-norma yang salah didalam lingkungan atau keluarga bisa menyebabkan
isolasi sosial, dimana setiap anggota keluarga yang tidak produktif seperti lanjut usia,
penyandang cacat atau berpenyakit kronis  diasingkan dari lingkungan sosialnya.
4. Faktor biologis
Faktor biologis juga termasuk dalam salah satu faktor yang akan mempengaruhi
gangguan isolasi sosial. Organ tubuh yang bisa mempengaruhi gangguan hubungan
sosial adalah otak, misalnya pada pasien skizfrenia yang mengalami masalah dalam
hubungan, memiliki struktur yang abnormal pada otak, seperti atropi otak, serta bentuk
sel-sel dan perubahan ukuran dalam limbic dan daerah kortikal.
E. Faktor Presipitasi (Harman Ade, 2011)
1. Faktor eksternal
Misalnya adalah stressor sosial budaya, yaitu stress yang ditimbulkan oleh faktor
sosial budaya, seperti keluarga.
 Stressor sosial budaya
Stresor sosial budaya dapat memicu kesulitan dalam berhubungan,
terjadinya penurunan stabilitas keluarga seperti perceraian, berpisah dengan orang
yang dicintai, kehilangan pasangan pada usia tua, kesepian karena ditinggal jauh,
dirawat dirumah sakit atau dipenjara. Semua ini dapat menimbulkan isolasi sosial.
 Stressor biokimia
1) Teori dopamine: Kelebihan dopamin pada mesokortikal dan mesolimbik serta
tractus saraf dapat merupakan indikasi terjadinya skizofrenia.
2) Menurunnya MAO (Mono Amino Oksidasi) didalam darah akan meningkatkan
dopamin dalam otak. Karena salah satu kegiatan MAO adalah sebagai enzim
yang menurunkan dopamin, maka menurunnya MAO juga dapat merupakan
indikasi terjadinya skizofrenia.
3) Faktor endokrin: Jumlah FSH dan LH yang rendah ditemukan pada pasien
skizofrenia. Demikian pula prolaktin mengalami penurunan karena dihambat
oleh dopamin. Hypertiroidisme, adanya peningkatan maupun penurunan hormon
adrenocortical seringkali dikaitkan dengan tingkah laku psikotik.
4) Viral hipotesis: Beberapa jenis virus dapat menyebabkan gejala-gejala psikotik
diantaranya adalah virus HIV yang dapat merubah stuktur sel-sel otak.

 Stressor biologic dan lingkungan sosial


Beberapa peneliti membuktikan bahwa kasus skizofrenia sering terjadi akibat
interaksi antara individu, lingkungan maupun biologis.
2. Faktor internal
Misalnya adalah stressor psikologis, yaitu stress yang diakibatkan kecemasan atau
ansietas yang berkepanjangan dan terjadi bersamaan dengan keterbatasan kemampuan
individu untuk mengatasinya. Ansietas ini bisa terjadi akibat tidak terpenuhi kebutuhan
individu atau tuntutan untuk berpisah dengan orang terdekat.
 Stressor psikologis
Kecemasan yang tinggi akan menyebabkan menurunnya kemampuan
individu untuk berhubungan dengan orang lain. Intesitas kecemasan yang ekstrim
dan memanjang disertai terbatasnya kemampuan individu untuk mengatasi masalah
akan menimbulkan berbagai masalah gangguan berhubungan pada tipe psikotik.
Menurut teori psikoanalisa; perilaku skizofrenia disebabkan karena ego
tidak dapat menahan tekanan yang berasal dari id maupun realitas yang berasal dari
luar. Ego pada klien psikotik mempunyai kemampuan terbatas untuk mengatasi
stress. Hal ini berkaitan dengan adanya masalah serius antara hubungan ibu dan
anak pada fase simbiotik sehingga perkembangan psikologis individu terhambat.
Menurut Purba, dkk. (2008) strategi koping digunakan pasien sebagai usaha
mengatasi kecemasan yang merupakan suatu kesepian nyata yang mengancam
dirinya.

F. Manifestasi Klinis/ Tanda Gejala


Menurut (Rosyad, 2020) bahwa tanda dan gejala dari gangguan isolasi sosial adalah:
1. Apatis, ekspresi sedih, afek tumpul
2. Menghindari orang lain (menyendiri), klien Nampak memisahkan diri dari orang lain,
misalnya pada saat makan.
3. Komunikasi kurang/ klien tidak tampak bercakap-cakap dengan klien lain/perawat
4. Tidak ada kontak mata, klien lebih sering menunduk
5. Menolak berhubungan dengan orang lain, klien memutuskan percakapan atau pergi jika
diajak bercakap-cakap.
6. Tidak melakukan kegiatan sehari-hari. Artinya perawatan diri dan kegiatan tangga
sehari-hari tidak dilakukan
7. Berdiam diri dikamar/ tempat terpisah. Klien kurang mobilitasnya.

G. Mekanisme Koping
Mekanisme yang digunakan klien sebagai usaha mengatasi kecemasan yang merupakan
suatu kesepian nyata yang mengancam dirinya. Mekanisme yang sering digunakan pada
isolasi sosial adalah regresi, represi, isolasi. (Damaiyanti, 2012)
1. Regresi adalah mundur ke masa perkembangan yang telah lain.
2. Represi adalah perasaan-perasaan dan pikiran pikiran yang tidak dapat diterima secara
sadar dibendung supaya jangan tiba di kesadaran.
3. Isolasi adalah mekanisme mental tidak sadar yang mengakibatkan timbulnya kegagalan
defensif dalam menghubungkan perilaku dengan motivasi atau bertentangan antara
sikap dan perilaku.
Mekanisme koping yang muncul yaitu:
1. Perilaku curiga : regresi, represi
2. Perilaku dependen: regresi
3. Perilaku manipulatif: regresi, represi
4. Isolasi/menarik diri: regresi, represi, isolasi (Prabowo, 2014).
H. Komplikasi
Klien dengan isolasi sosial semakin tenggelam dalam perjalanan dan tingkah laku yang
tidak sesuai dengan kenyataan, sehingga berakibat lanjut menjadi resiko gangguan sensori
persepsi: halusinasi, mencederai diri sendiri, orang lain serta lingkungan dan penurunan
aktifitas sehingga dapat menyebabkan defisit perawatan diri (Dalami,2009)
I. Penatalaksanaan
1. Terapi Psikofarmaka
 Chlorpromazine
Mengatasi sindrom psikis yaitu berdaya berat dalam kemampuan menilai
realitas, kesadaran diri terganggu, daya ingat norma sosial dan tilik diri terganggu,
berdaya berat dalam fungsi-fungsi mental: faham, halusinasi. Gangguan perasaan 
dan perilaku yang aneh atau tidak terkendali, berdaya berat dalam fungsi kehidupan
sehari-hari, tidak mampu bekerja, berhubungan sosial dan melakukan kegiatan
rutin. Mempunyai efek samping gangguan otonomi (hypotensi)
antikolinergik/parasimpatik, mulut kering, kesulitan dalam miksi, hidung
tersumbat, mata kabur, tekanan intra okuler meninggi, gangguan irama jantung.
Gangguan ekstra pyramidal (distonia akut, akathsia sindrom parkinson). Gangguan
endoktrin (amenorhe). Metabolic (Soundiee). Hematologik, agranulosis. Biasanya
untuk pemakaian jangka panjang. Kontraindikasi terhadap penyakit hati, penyakit
darah, epilepsy, kelainan jantung (Andrey, 2010).
 Haloperidol (HLP)
Berdaya berat dalam kemampuan menilai realita dalam fungsi mental serta
dalam fungsi kehidupan sehari-hari. Memiliki efek samping seperti gangguan miksi
dan parasimpatik, defeksi, hidung tersumbat mata kabur , tekanan infra meninggi,
gangguan irama jantung. Kontraindikasi terhadap penyakit hati, penyakit darah,
epilepsy, kelainan jantung (Andrey, 2010).
 Trihexyphenidil (THP)
Segala jenis penyakit Parkinson, termasuk pasca ensepalitis dan idiopatik,
sindrom Parkinson akibat obat misalnya reserpina dan fenotiazine. Memiliki efek
samping diantaranya mulut kering, penglihatan kabur, pusing, mual, muntah,
bingung, agitasi, konstipasi, takikardia, dilatasi, ginjal, retensi urine. Kontraindikasi
terhadap hypersensitive Trihexyphenidil (THP), glaukoma sudut sempit, psikosis
berat psikoneurosis (Andrey, 2010).
2. Terapi individu
Menurut Pusdiklatnakes (2012)tindakan keperawatan dengan pendekatan strategi
pelaksanaan (SP) pada pasien dapat dilakukan sebagai berikut :
 Strategi pelaksanaan pertemuan 1 pada pasien :
Pengkajian Isolasi sosial, dan melatih bercakap-cakap antara pasien dan keluarga.
(1) Membina hubungan saling percaya
(2) Membantu pasien menyadari masalah isolasi sosial
(3) Melatih bercakap-cakap secara bertahap antara pasien dan anggota keluarga
 Strategi pelaksanaan pertemuan 2 pada pasien :
Melatih pasien berinteraksi secara bertahap (pasien dengan 2 orang lain), latihan
bercakap-cakap saat melakukan 2 kegiatan harian.
(1) Mengevaluasi tanda dan gejala isolasi sosial
(2) Memvalidasi kemampuan berkenalan (berapa orang)
(3) Beri pujian, melatih cara berbicara saat melakukan kegiatan harian (latih 2
kegiatan)
(4) Memasukkan pada jadwal kegiatan untuk latihan berkenalan 2-3 orang
 Strategi pelaksanaan pertemuan 3 pada pasien :
Melatih pasien berinteraksi secara bertahap (pasien dengan 4-5 orang), latihan
bercakap-cakap saat melakukan 2 kegiatan harian baru.
(1) Evaluasi tanda dan gejala isolasi sosial
(2) Validasi kemampuan berkenalan (berapa orang) dan bicara saat melakukan
dua kegiatan harian
(3) Tanyakan perasaan setelah melakukan kegiatan
(4) Beri pujian, melatih cara berbicara saat melakukan kegiatan harian (latih 2
kegiatan baru)
(5) Memasukkan pada jadwal kegiatan untuk latihan 4-5 orang
 Strategi pelaksanaan pertemuan 4 pada pasien :
Mengevaluasi kemampuan berinteraksi, melatih cara bicara saat melakukan
kegiatan sosial.
(1) Evaluasi tanda dan gejala isolasi sosial
(2) Validasi kemampuan berkenalan (beberapa orang) dan bicara saat melakukan
empat kegiatan harian
(3) Tanyakan perasaan setelah melakukan kegiatan
(4) Beri pujian, melatih cara berbicara saat melakukan kegiatan sosial
ASUHAN KEPERAWATAN JIWA
1. Pengkajian
Pengelompokan data pada pengkajian kesehatan jiwa berupa faktor presipitasi,
penilaian stressor , suberkoping yang dimiliki klien. Setiap melakukan pengajian ,tulis
tempat klien dirawat dan tanggal dirawat isi pengkajian meliputi :
 Identitas klien
Meliputi nama klien , umur , jenis kelamin , status perkawinan, agama, tangggal
MRS , informan, tangggal pengkajian, No Rumah klien dan alamat klien.
 Keluhan utama
Keluhan biasanya berupa menyediri (menghindar dari orang lain) komunikasi
kurang atau tidak ada , berdiam diri dikamar ,menolak interaksi dengan orang
lain ,tidak melakukan kegiatan sehari – hari , dependen.
 Faktor predisposisi
Kehilangan, perpisahan, penolakan orang tua, harapan orang tua yang tidak
realistis, kegagalan / frustasi berulang, tekanan dari kelompok sebaya; perubahan
struktur sosial. Terjadi trauma yang tiba tiba misalnya harus dioperasi, kecelakaan
dicerai suami, putus sekolah, PHK, perasaan malu karena sesuatu yang terjadi
( korban perkosaan, tituduh kkn, dipenjara tiba – tiba) perlakuan orang lain yang
tidak menghargai klien/ perasaan negatif terhadap diri sendiri yang berlangsung
lama.
 Aspek fisik/biologis
Hasil pengukuran tada vital (TD,Nadi, suhu,Pernapasan,TB,BB) dan keluhan fisik
yang dialami oleh klien.
 Aspek psikososial
1) Genogram yang menggambarkan tiga generasi
2) Konsep diri
a) Citra Tubuh
Menolak melihat dan menyentuh bagian tubuh yang berubah atau tidak
menerima perubahan tubuh yang telah terjadi atau yang akan terjadi. Menolak
penjelasan perubahan tubuh, persepsi negatip tentang tubuh. Preokupasi
dengan bagia tubuh yang hilang, mengungkapkan keputus asaan,
mengungkapkan ketakutan.
b) Identitas Diri
Ketidak pastian memandang diri, sukar menetapkan keinginan dan tidak
mampu mengambil keputusan.
c) Peran
Berubah atau berhenti fungsi peran yang disebabkan penyakit , proses
menua, putus sekolah, PHK.
d) Ideal Diri
Mengungkapkan keputus asaan karena penyakitnya : mengungkapkan
keinginan yang terlalu tinggi
e) Harga Diri
Perasaan malu terhadap diri sendiri, rasa bersalah terhadap diri sendiri,
gangguan hubungan sosial, merendahkan martabat, mencederai diri, dan
kurang percaya diri.
 Klien mempunyai gangguan / hambatan dalam melakukan hubunga social
dengan orang lain terdekat dalam kehidupan, kelempok yang diikuti dalam
masyarakat.
 Keyakinan klien terhadap Tuhan dan kegiatan untuk ibadah ( spritual)
 Status mental
Kontak mata klien kurang /tidak dapat mepertahankan kontak mata, kurang
dapat memulai pembicaraan, klien suka menyendiri dan kurang mampu
berhubungan dengan orang lain, Adanya perasaan keputusasaan dan kurang
berharga dalam    hidup.
 Kebutuhan persiapan pulang
1) Klien mampu menyiapkan dan membersihkan alat makan
2) Klien mampu BAB dan BAK, menggunakan dan membersihkan WC,   
membersikan dan merapikan pakaian.
3) Pada observasi mandi dan cara berpakaian klien terlihat rapi
4) Klien dapat melakukan istirahat dan tidur , dapat beraktivitas didalam dan diluar
rumah
5) Klien dapat menjalankan program pengobatan dengan benar.
 Mekanisme koping
Klien apabila mendapat masalah takut atau tidak mau menceritakan nya pada
orang orang lain( lebih sering menggunakan koping menarik diri).
 Aspek medic
Terapi yang diterima klien bisa berupa therapy farmakologi ECT, Psikomotor,
therapy okopasional, TAK, dan rehabilitas.
 Masalah psikososial dan lingkungan
Biasanya pasien dengan Isolasi Sosial memiliki masalah dengan psikososial dan
lingkungannya, seperti pasien yang tidak dapat berinteraksi dengan keluarga atau
masyarakat karena merasa takut, tidak berguna dll.
 Masalah keperawatan
1) Isolasi Sosial
2) Harga diri rendah
3) Halusinasi

Pohon Masalah
Resti mencederai diri, orang lain, dan lingkungan

Defisit perawatan diri Halusinan

Intoleransi aktivitas Isolasi sosial

Koping individu tidak efektif Harga diri rendah krois

Koping keluarga tidak efektif


Pohon Masalah Isolasi Sosial
(Rosyad, 2020)

2. Diagnosa Keperawatan
(Damayanti, M & Iskandar, 2012)
a. Isolasi sosial : menarik diri
b. Harga diri rendah
c. Resiko gangguan persepsi sensori halusinasi
4. Rencana Keperawatan

Diagnosis Tujuan Kriteria evaluasi Intervensi Rasional


Keperawatan
1 2 3 4 5
Isolasi sosial : TUM : Setelah 2-4 kali pertemuan 1. Bina hubungan saling percaya dengan Hubungan saling percaya merupakan dasar
menarik diri Klien dapat saat dilakukan interaksi mengungkapkan prinsip komunikasi untuk kelancaran hubungan interaksi
berinteraksi dengan dengan pasien, pasien terapeutik: a. Sapa klien dengan ramah, selanjutnya
orang lain. menunjukkan ekspresi wajah baik verbal maupun non verbal
bersahabat, menunjukkan 2. Perkenalkan diri dengan sopan
TUK 1 : rasa senang, ada kontak mata, 3. Tanyakan nama lengkap klien & nama
Klien dapat membina mau berjabat tangan, mau panggilan yang disukai klien
hubungan saling menyebutkan nama, mau 4. Jelaskan tujuan pertemuan
percaya menjawab salam, klien mau 5. Jujur dan menepati janji
duduk berdampingan dengan 6. Tunjukkan sikap empati dan menerima
perawat, mau mengutarakan klien apa adanya
masalah yang di hadapi. 7. Beri perhatian pada klien dan perhatian
kebutuhan dasar pasien
TUK 2 : Pasien mampu menyebutkan 1. Tanyakan pada pasien tentang : Untuk mengidentifikasi penyebab menarik diri.
Klien dapat minimal satu penyebab a. Orang yang tinggal serumah/teman
menyebutkan menarik diri dari : diri sekamar.
penyebab menarik sendiri, orang lain, b. Orang yang paling dekat dengan
diri lingkungan. pasien di rumah/di ruang perawat.
c. Apa yang membuat pasien dekat
dengan orang tersebut.
d. Orang yang tidak dekat dengan
pasien di rumah/di ruang perawatan.
e. Apa yang membuat pasien tidak
dekat dengan orang tersebut.
f. Upaya yang dilakukan agar dekat
dengan orang lain.
2. Diskusikan dengan pasien penyebab
menarik diri atau tidak mau bergaul
dengan orang lain.
3. Beri pujian terhadap kemampuan pasien
mengungkapkan perasaannya
TUK 3 : Pasien dapat menyebutkan 1. Tanyakan pada pasien tentang : Manfaat Untuk mengetahui alasan keuntungan dan
Pasien mampu keuntungan berhubungan hubungan sosial Kerugian menarik diri kerugian menarik diri pada pasien.
menyebutkan sosial dan kerugian menarik 2. Diskusikan bersama pasien tentang
keuntungan diri. manfaat berhubungan sosial dan kerugian
berhubungan sosial menarik diri.
dan kerugian menarik 3. Beri pujian terhadap kemampuan pasien
diri. mengungkapkan perasaannya.

Mengevaluasi manfaat yang dirasakan klien


sehingga timbul motivasi untuk berinteraksi.
TUK 4 : Pasien dapat melaksanakan 1. Observasi perilaku pasien saat Melatih pasien agar mampu melaksanakan
Klien dapat hubungan sosial dengan berhubungan sosial. hubungan social.
melaksanakan bertahap dengan : 2. Beri motivasi dan bantu pasien untuk
hubungan sosial Klien-Perawat, berkenalan/ berkomunikasi dengan :
secara bertahap Klien-Perawat-Klien a. Perawat lain
Klien-Perawat -Keluarga, b. Pasien lain
c. Kelompok
Klien-Perawat-Kelompok 3. Libatkan pasien dalam Terapi Aktivitas
Kelompok Sosialisasi
4. Diskusikan jadwal harian yang dapat
dilaukan untuk meningkatkan
kemampuan pasien bersosialisasi.
5. Beri motivasi untuk melakukan kegiatan
sesuai dengan jadwal yang telah dibuat.
6. Beri pujian terhadap kemampuan pasien
mempuluas pergaulannya melaui aktivitas
yang dilaksanakan.
TUK 5 : 1. Pasien dapat 1. Diskusikan dengan pasien tentang Mengetahui perasaan pasien setelah
Pasien mampu menjelaskan perasaannya setelah berhungungan sosial berhubungan sosial
menjelaskan perasaannya setelah dengan :
a. Orang lain
perasaannya setelah berhubungan dengan :
b. kelompok
berhubungan sosial. a. Orang lain 2. Beri pujian terhadap kemampuan pasien
b. Kelompok mengungkapkan perasaannya.
TUK 6 : 1. Keluarga dapat 1. Diskusikan pentingnya peran serta Dukungan keluarga sangat penting untuk
Pasien mendapatkan menjelaskan tenatang : keluarga sebagai pendukung untuk mendukung dalam hubungan sosial pasien.
dukungan keluarga a. Pengertian menarik mengatasi perilaku menarik diri.
dalam memperluas diri 2. Diskusikan potensi keluarga untuk
hubungan sosial.. b. Tanda dan gejala membantu pasien mengatasi perilaku
menarik diri menarik diri
c. Penyebab dan akibat 3. Jelaskan pada keluarga tentang :
menarik diri a. pengertian menarik diri
d. Cara merawat pasien b. tanda dan gejala menarik diri
menarik diri c. penyebab dan akibat menarik diri
2. Keluarga dapat d. cara merawat pasien menarik diri.
mempraktekan cara 4. Latih keluarga cara merawat pasien
merawat pasien menarik menarik diri.
diri. 5. Tanyakan perasaan keluarga setelah
menciba cara yang dilatihkan.
6. Beri motivasi keluarga agar membantu
pasien untuk bersosialisasi.
7. Beri pujian kepada keluarga atas
keterlibatannya merawat pasien di rumah
sakit.
TUK 7: 1. Pasien dapat 2. Diskusikan dengan pasien tentang Untuk memeberikan terapi obat untuk
Pasien dapat menyebutkan : manfaat dan kerugian tidak minum obat, kesembuhan pasien
memanfaatkan obat a. Manfaat minum nam, warna, dosis, cara, efek samping
dengan baik. obat penggunaan obat.
b. Kerugian tidak 3. Pantau pasien saat pengguanaan obat.
minum obat 4. Beri pujian jika pasien menggunakan obat
c. Nama, warna, dengan benar.
dosis, efek terapi 5. Diskusikan akibat berhenti minum obat
dan efek samping tanpa konsultasi danagn dokter
obat 6. Anjurkan pasien untuk konsultasi kepada
2. Pasien dokter/ perawat jika terjadi hal-hal yang
mendemonstrasikan tidak diinginkan.
penggunaan obat
dengan benar.
3. Pasien dapat
menyebutkan akibat
berhenti minum obat
tanpa konsultasi
dokter.
DAFTAR PUSTAKA

Andrey. (2010). Asuhan Keperawatan (Askep) Isolasi Sosial. Diunduh pada tanggal 20 Oktober
2010 dari http://andreyrsj.blogspot.com/2010/06/asuhan-keperawatan-askepisolasi-
sosial.html

Dermawan D dan Rusdi ,2013. Asuhan Keperawatan Jiwa, Yogyakarta: Graha Ilmu

Eko Prabowo. (2014). Konsep & Aplikasi Asuhan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta: Nuha
Medika.

Herman Ade, 2011. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Jiwa, Yokyakarta: Nuha Medika

Keliat Budi Ana. 1999. Proses Keperawatan Kesehatan Jiwa edisi I. Jakarta : EGC

Menurut Stuart, 2007. Buku Saku Keperawatan Jiwa

Muhith, Abdul. 2015. Pendidikan Keperawatan. Yogyakarta: CV Andi Offset

Mukhripah Damaiyanti & Iskandar. (2012). Asuhan Keperawatan Jiwa. Bandung: PT Refika
Aditama.

Nita Fitria. 2009. Prinsip Dasar dan Aplikasi Penulisan Laporan Pendahuluan dan Strategi
Pelaksanaan Tindakan Keperawatan untuk 7 Diagnosis Keperawatan Jiwa Berat. Jakarta:
Salemba Medika.

Risnasari, N. (2018). Bahan ajar keperawatan jiwa.


Riyardi S dan Purwanto T. 2013. Keperawatan Jiwa

Rosyad, Yafi Sabila. 2020. Modul Praktik Laboratorium Keperawatan Jiwa II : cetakan pertama.
Bandung : Media Sains Indonesia

Wuryaningsih, Emi Wuri, Windarwati, Heni Dwi, Dewi, Erti Ikhtiarini, Deviantony, Fitrio, dan
Hadi, Enggal. 2018. Keperawatan Kesehatan Jiwa 1. Jember : UPT Percetakan &
Penerbitan dan Universitas Jembar.
LAPORAN PENDAHULUAN

HARGA DIRI RENDAH

Di susun oleh:

Desi Rofiqo Khoirotun Nisa

2130282063

Pembimbing Akademik Pembimbing Klinik

( ) ( )

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN NERS

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS PERINTIS INDONESIA

TAHUN AJARAN 2021/2022


Konsep Dasar

A. Pengertian
Keliat B.A mendefinisikan harga diri rendah adalah penilaian tentang pencapaian diri
dengan menganalisa seberapa jauh perilaku sesuai dengan ideal diri. Perasaan tidak
berharga, tidak berarti dan rendah diri yang berkepanjangan akibat evaluasi negatif terhadap
diri sendiri dan kemampuan diri (Fajariyah, 2012). Harga diri rendah adalah semua
pemikiran, kepercayaan dan keyakinan yang merupakan pengetahuan individu tentang
dirinya dan mempengaruhi hubungannya dengan orang lain. Harga diri terbentuk waktu lahir
tetapi dipelajari sebagai hasil pengalaman unik seseorang dalam dirinya sendiri, dengan
orang terdekat dan dengan realitas dunia (Stuart,2006)
Gangguan harga diri rendah adalah evaluasi diri dan perasaan tentang diri atau
kemampuan diri yang negatif yang dapat secara langsung atau tidak langsung diekspresikan
( Townsend, 2001 ). Harga diri rendah adalah perasaan tidak berharga, tidak berarti dan
rendah diri yang berkepanjangan akibat evaluasi yang negatif terhadap diri sendiri dan
kemampuan diri. Adanya perasaan hilang percaya diri, merasa gagal karena karena tidak
mampu mencapai keinginansesuai ideal diri (Keliat, 2001). Menurut Schult & videbeck
(1998) gangguan harga diri rendah adalah penilaian negatif seseorang terhadap diri dan
kemampuan, yang diekspresikan secara langsung maupun tidak langsung.

B. Rentang Respon
Respon adaptif Respon Maladaptif

Aktualisasi konsep diri HDR keracunan depersonalisasi


Diri positif identitas

Menurut Stuart dan Sundeen (1998) respon individu terhadap konsep dirinya sepanjang
rentang respon konsep diri yaitu adaptif dan maladaptif (Fajariyah, 2012).
1. Akualisasi diri adalah pernyataan diri positif tentang latar belakang pengalaman nyata
yang sukses diterima.
2. Konsep diri positif adalah mempunyai pengalaman yang positif dalam beraktualisasi
diri.
3. Harga diri rendah adalah transisi antara respon diri adaptif dengan konsep diri
maladaptif.
4. Keracunan identitas adalah kegagalan individu dalam kemalangan aspek psikososial dan
kepribadian dewasa yang harmonis.
5. Depersonalisasi adalah perasaan yang tidak realitis terhadap diri sendiri yang
berhubungan dengan kecemasan, kepanikan serta tidak dapat membedakan dirinya
dengan orang lain. (Fajariyah, 2012)

2. Faktor Penyebab
Akibat terjadinya harga diri rendah Menurut Karika (2015) harga diri rendah dapat berisiko
terjadinya isolasi sosial : menarik diri, isolasi soasial menarik diri adalah gangguan
kepribadian yang tidak fleksibel pada tingkah laku yang maladaptif mengganggu fungsi
seseorang dalam hubungan sosial. Dan sering dirtunjukan dengan perilaku antara lain :
Data subyektif
a. Mengungkapkan enggan untuk memulai hubungan atau pembicaraan.
b. Mengungkapkan perasaan malu untuk berhubungan dengan orang lain.
c. Mengungkapkan kekhawatiran terhadap penolakan oleh orang lain.
Data obyektif
a. Kurang spontan ketika diajak bicara.
b. Apatis.
c. Ekspresi wajah kosong.
d. Menurun atau tidak adanya komunikasi verbal.
e. Bicara dengan suara pelan dan tidak ada kontak mata saat bicara

3. Proses Terjadinya HDR


Proses terjadinya harga diri rendah Harga diri rendah kronis terjadi merupakan proses
kelanjutan dari harga diri rendah situasional yang tidak diselesaikan. Atau dapat juga terjadi
karena individu tidak pernah mendapat feed back dari lingkungan tentang perilaku klien
sebelumnya bahkan mungkin kecenderungan lingkungan yang selalu memberi respon
negatif mendorong individu menjadi harga diri rendah. Harga diri rendah kronis terjadi
disebabkan banyak faktor. Awalnya individu berada pada suatu situasi yang penuh dengan
stressor (krisis), individu berusaha menyelesaikan krisis tetapi tidak tuntas sehingga timbul
pikiran bahwa diri tidak mampu atau merasa gagal menjalankan fungsi dan peran. Penilaian
individu terhadap diri sendiri karena kegagalan menjalankan fungsi dan peran adalah kondisi
harga diri rendah situasional, jika lingkungan tidak memberi dukungan positif atau justru
menyalahkan individu dan terjadi secara terus menerus akan mengakibatkan individu
mengalami harga diri rendah kronis (Direja, 2011).

4. Mekanisme Koping
Mekanisme koping menurut Deden (2013) :
a. Jangka pendek:
1.) Kegiatan yang dilakukan untuk lari sementara dari krisis : pemakaian obat-obatan,
kerja keras, nonoton tv terus menerus.
2.) Kegiatan mengganti identitas sementara : (ikut kelompok sosial, keagamaan, politik).
3.) Kegiatan yang memberi dukungan sementara : (kompetisi olah raga kontes
popularitas).
4.) Kegiatan mencoba menghilangkan anti identitas sementara : (penyalahgunaan obat-
obatan).
b. Jangka Panjang:
1.) Menutup identitas : terlalu cepat mengadopsi identitas yang disenangi dari orang-
orang yang berarti, tanpa mengindahkan hasrat, aspirasi atau potensi diri sendiri.
2.) Identitas negatif : asumsi yang pertentangan dengan nilai dan harapan
masyarakat.Mekanisme pertahanan ego yang sering digunakan adalah : fantasi,
disasosiasi, isolasi, proyeksi, mengalihkan marah berbalik pada diri sendiri dan orang
lain.
5. Penatalaksanaan
Menurut Eko, 2014 terapi pada gangguan jiwa skizofrenia sudah dikembangkan sehingga
penderita tidak mengalami diskriminasi bahkan metodenya lebih manusiawi dari pada masa
sebelumnya. Terapi yang dimaksud meliputi :
a. Psikofarmako, berbagai obat psikofarmako yang hanya diperoleh dengan resep dokter,
dapat dibagi dalam 2 golongan yaitu golongan generasi pertama (typical) dan golongan
kedua (atypical). Obat yang termasuk golongan generasi pertama misalnya
chlorpromazine HCL, Thoridazine HCL, dan Haloperridol. Obat yang termasuk
generasi kedua misalnya : Risperidone, Olozapine, Quentiapine, Glanzapine, Zotatine,
dan Ariprprazole.
b. Psikoterapi, terapi kerja baik sekali untuk mendorong penderita bergaul lagi engan
orang lain, pasien lain, perawat dan dokter. Maksudnya supaya pasien tidak
mengasingkan diri lagi karena jika pasien menarik diri dapat membentuk kebiasaan
yang kurang baik. Dianjurkan untuk mengadakan permainan atau latihan bersama.
c. Terapi kejang listrik (Elektro Convulsive therapy), adalah pengobatan untuk
menimbulkan kejang granmall secara artifical dengan melewatkan aliran listrik melalui
elektrode yang dipasang satu atau dua temples. Therapi kejang listrik diberikan pada
skizofrenia yang tidak mempan dengan terapi neuroleptika oral atau injeksi, dosis terapi
listrik 5-5 joule/ detik.
d. Terapi modalitas, merupakan rencana pengobatan untuk skizofrenia dan kekurangan
pasien. Teknik perilaku menggunakan latihan ketrampilan sosial untuk meningkatkan
kemampuan sosial. Kemampuan memenuhi diri sendiri dan latihan praktis dalam
komunikasi interpersonal. Terapi aktivitas kelompok dibagi 4 yaitu terapi aktivitas
kelompok stimulasi kognitif/persepsi, terapi aktivitas kelompok stimulasi sensori, terapi
aktivitas kelompok stimulasi realita dan terapi aktivitas kelompok sosialisasi.
e. Adapun tindakan terapi untuk pasien dengan harga diri rendah menurut Kaplan &
Saddock, 2010 mengatakan, tindakan keperawatan yang dibutuhkan pada pasien dengan
harga diri rendah adalah terapi kognitif, terapi interpersonal, terapi tingkah laku, dan
terapi keluarga. Tindakan keperawatan pada pasien dengan harga diri rendah bisa secara
individu, terapi keluarga, kelompok dan penanganan dikomunikasi baik generalis
keperawatan lanjutan. Terapi untuk pasien dengan harga diri rendah yang efisian untuk
meningkatkan rasa percaya diri dalam berinteraksi dengan orang lain, sosial, dan
lingkungannya yaitu dengan menerapkan terapi kognitif pada pasien dengan harga diri
rendah.

6. Prinsip Tindakan Keperawatan


a. Identifikasi kemampuan dan aspek positif yang masih dimiliki klien.
b. Bantu klien menilai kemampuan yang dapat digunakan
c. Bantu klien memilih/menetapkan kemampuan yang akan dilatih
d. Latih kemampuan yang dipilih klien
e. Beri pujian yang wajar terhadap keberhasilan klien
f. Bantu menyusun jadwal pelaksanaan kemampuan yang dilatih
g. Evaluasi kemampuan pasien sesuai jadwal kegiatan harian
h. Latih kemampuan kedua
i. Motivasi klien memasukkan kemampuan kedua kedalam jadwal harian
j. Menjelaskan tanda-tanda dan cara merawat klien harga diri rendah
k. Menjelaskan cara-cara merawat klien dengan HDR
l. Mendemonstrasikan dihadapan keluarga cara merawat klien denganHDR
m. Memberikan kesempatan kepada keluarga mempraktekkan cara merawat klien dengan
HDR seperti yang telah di demonstrasikan perawat sebelumnya

Asuhan Keperawatan Teoritis

A. Pengkajian
Tahap pertama meliputi faktor predisposisi seperti : psikologis, tanda, dan tingkah laku klien
dan mekanisme koping klien (Damaiyanti, 2012). Pengkajian menurut Deden (2013)
melalui beberapa faktor, yaitu :
1. Faktor predisposisi
a. Faktor yang mempengaruhi harga diri, termasuk penolakan orang tua, harapan orang
tua yang tidak realistik.
b. Faktor yang mempengaruhi penampilan peran, yaitu peran yang sesuai dengan jenis
kelamin, peran dalam pekerjaan dan peran yang sesuai dengan kebudayaan.
c. Faktor yang mempengaruhi identitas diri, yaitu orang tua yang tidak percaya pada
anak, tekanan teman sebaya dan kultur sosial yang berubah.
2. Faktor presipitasi
Faktor presipitasi dapat disebabkan oleh faktor dari dalam atau faktor dari luar individu
(internal or eksternal sources), yang dibagi 5 (lima) kategori :
a. Ketegangan peran adalah stress yang berhubungan dengan frustasi yang dialami
individu dalam peran atau posisi yang diharapkan.
1.) Konflik peran : ketidaksesuaian peran antara yang dijalankan dengan yang
diinginkan.
2.) Peran yang tidak jelas : kurangnya pengetahuan individu tentang peran yang
dilakukannya.
3.) Peran berlebihan : kurang sumber yang adekuat untuk menampilkan seperangkat
peran yang komleks.
4.) Perkembangan transisi, yaitu perubahan norma yang berkaitan dengan nilai
untuk menyesuaikan diri.
b. Situasi transisi peran, adalah bertambah atau berkurangnya orang penting dalam
kehidupan individu melalui kelahiran atau kematian orang yang berarti.
c. Transisi peran sehat-sakit, yaitu peran yang diakibatkan oleh keadaan sehat atau
keadaan sakit. Transisi ini dapat disebabkan :
1.) Kehilangan bagian tubuh.
2.) Perubahan ukuran dan bentuk, penampilan atau fungsi tubuh.
3.) Perubahan fisik yang berkaitan dengan pertumbuhan dan perkembangan.
4.) Prosedur pengobatan dan perawatan.
d. Ancaman fisik seperti pemakaian oksigen, kelelahan, ketidak seimbangan bio-kimia,
gangguan penggunaan obat, alkohol dan zat.
3. Perilaku
Menurut Stuart dan Sundeen (1998) perilaku yang berhubungan dengan harga diri yang
rendah yaitu identitas kacau dan depersonalisasi seperti berikut (Deden, 2013):
a. Perilaku dengan harga diri yang rendah.
1.) Mengkritik diri sendiri atau orang lain
2.) Produktifitas menurun
3.) Destruktif pada orang lain
4.) Gangguan berhubungan
5.) Merasa diri lebih penting
6.) Merasa tidak layak
7.) Rasa bersalah
8.) Mudah marah dan tersinggung
9.) Perasaan negative terhadap diri sendiri
10.) Pandangan hidup yang pesimis
b. Perilaku dengan identitas kacau.
1.) Tidak mengindahkan moral
2.) Mengurahi hubungan interpersonal
3.) Perasaan kosong
4.) Perasaan yang berubah-ubah
5.) Kekacauan identitas seksual
6.) Kecemasan yang tinggi
7.) Tidak mampu berempati
8.) Kurang keyakinan diri
9.) Mencitai diri sendiri
10.) Masalah buhungan intim
11.) Ideal diri tidak realistik
c. Perilaku dengan Depersonalisasi.
1.) Afek : identitas hilang, asing dengan diri sendiri, perasaan tidak aman, rendah
diri, taku, malu, dan perasaan tidak realistic, merasa sangat terisolasi.
2.) Persepsi : Halusinasi pendengaran dan penglihatan, tidak yakin akan jenis
kelaminnya, sukar membedakan diri dengan orang orang lain.
3.) Kognitif : Kacau, disorientasi waktu, penyimpangan pikiran, daya ingat
terganggu, dan daya penilaian terganggu.
4.) Perilaku : Afek tumpul, pasif dan tidak ada respon emosi, komunikasi tidak
selaras, tidak dapat mengontrol perasaan, tidak ada inisiatif dan tidak mampu
mengambil keputusan, menarik diri dari lingkungan, dan kurang bersemangat.
4. Manifestasi klinis
Perilaku yang berhubungan dengan gangguan harga diri rendah didapatkan dari data
subjektif dan objektif yaitu :
a. Mengkritik diri sendiri ataupun orang lain.
b. Merasa diri tidak mampu dan tidak layak.
c. Merasa bersalah.
d. Mudah marah dan tersinggung
e. Perasaan negatif terhadap dirinya sendiri.
f. Ketegangan peran.
g. Pandangan hidup psimis.
h. Keluhan fisik.
i. Pandangan hidup bertentangan.
j. Penolakan terhadap kemampuan pribadi dekstrutif terhadap diri sendiri.
k. Menarik diri secara sosial dan menarik diri secara realistis. (Suliswati, 2005)

B. Daftar Masalah
Masalah keperawatan dan data yang perlu dikaji menurut Kartika (2015):
Masalah utama
1. Gangguan konsep diri : harga diri rendah
Data subyektif:
a. Mengungkapkan ingin diakui jati dirinya.
b. Mengungkapkan tidak ada lagi yang peduli.
c. Mengungkapkan tidak bisa apa-apa.
d. Mengungkapkan dirinya tidak berguna.
e. Mengkritik diri sendiri.
f. Perasaan tidak mampu.

Data obyektif:

a. Merusak diri sendiri.


b. Merusak orang lain.
c. Ekspresi malu.
d. Menarik diri dari hubungan sosial.
e. Tampak mudah tersinggung.
f. Tidak mau makan dan tidak tidur.
2. Penyebab tidak efektifan koping individu.
Data subyektif:
a. Mengungkapkan ketidakmampuan dan meminta bantuan orang lain.
b. Mengungkapkan malu dan tidak bisa ketika diajak melakukan sesuatu.
c. Mengungkapkan tidak berdaya dan tidak ingin hidup lagi.

Data obyektif:

a. Tampak ketergantungan terhadap orang lain.


b. Tampak sedih dan tidak melakukan aktivitas yang seharusnya dapat dilakukan.
c. Wajah tampak murung.
3. Akibat isolasi sosial menarik diri
Data subyektif:
a. Mengungkapkan enggan berbicara dengan orang lain
b. Klien mengatakan malu bertemu dan berhadapan dengan orang lain.

Data obyektif:

a. Ekspresi wajah kosong tidak ada kontak mata ketika diajak bicara.
b. Suara pelan dan tidak jelas.
c. Hanya memberi jawaban singkat (ya atau tidak).
d. Menghindar ketika didekati.

C. Pohon Masalah
Pohon masalah yang muncul menurut Fajariah (2012):

Resiko tinggi perilaku kekerasan


Perubahan persepsi sensori :Halusinasi

Isolasi Sosial:Menarik diri

HARGA DIRI RENDAH

Koping Individu Tidak Efektif

D. Diagnosa
1. Gangguan konsep diri : Harga diri rendah
2. Isolasi sosial : Menarik diri
3. Perubahan persepsi sensori : Halusinasi

E. Rencana Keperawatan
1. Gangguan konsep diri : Harga diri rendah
Tujuan umum: klien dapat meningkatkan harga dirinya
Tujuan khusus:
a. Klien mampu membina hubungan saling percaya
b. Klien dapat mengidentifikasi kemampuan yang dimiliki
c. Klien dapat menilai kemampuan yang digunakan
d. Klien dapat merancang kegiatan sesuai dengan kemampuan yang dimiliki
e. Klien dapat melakukan kegiatan
Intervensi:

a. Bina hubungan terapeutik


b. Diskusikan kemampuan dan aspek positif yang dimiliki klien
c. Beri kesempatan klien untuk mencoba
d. Setiap bertemu klien hindarkan penilaian agresif
e. Utamakan memberi pujian realistic
f. Diskusikan dengan klien kegiatan yang masih digunakan
g. Rencanakan bersama
h. Beri reinforcement positif usaha klien

2. Isolasi social: menarik diri


Tujuan umum: klien dapat berinterasi dengan orang lain
Tujuan khusus:
a. Klien dapat membina hubungan saling percaya
b. Klien dapat mengetahui keuntungan dan kerugian berhubungan dengan orang lain
c. Klien dapat mengidentifikasi penyebab isolasi social
d. Klien dapat berkenalan
e. Klien dapat menentukan topic pembicaraan
f. Klien dapat berinteraksi dengan orang lain

Intervensi:

a. Beri salam dan panggil nama klien


b. Sebutkan nama perawat dan sambil berjabat tangan
c. Jelaskan tujuan interaksi
d. Jelaskan kontrak yang akan dibuat
e. Beri rasa aman dan tunjukan sikap empati
f. Beri kesempatan klien mengungkapkan perasaannnya
g. Bantu klien mengungkan alasan klien dibawa kerumasakit
h. Beri klien mengatakan keuntungan berhubungan atau berinteraksi
i. Beri kesempatan klien untuk mengatakan kerugian berhungan atau berinteraksi
dengan orang lain
j. Beri kesempatan klien untuk mencontohkan teknik berkenalan
k. Beri kesempatan klien untuk menerapkan teknik berkenalan
l. Beri kesempatan klien dan bantu klien menentukan topic pembicaraan
m. Latih berhubungan social secara bertahap denganperawat
n. Masukan dalam jadwal kegiatan klien
o. Latih cara berkenalan dengan dua orang atau lebih dengan teman sesame pasien
p. Masukan dalam jadwal kegiatan klien

3. Perubahan persepsi sensori : halusinasi


Tujuan umum:klien dapat mengontrol halusinasi
Tujuan khusus:
a. Klien dapat membina hubungan saling percaya
b. Klien dpat megenal halusinasi
c. Klien dapat mengontrol halusinansi
d. Klien memilih cara mengatasi seperti yang telah didiskusikan
e. Klien dapat dukungan dari keluarga dalam mengontrol halusinasi
f. Klien dapat memanfaatkan obat dengan baik

Intervensi:

a. Bina hubungan saling percaya dengan mengungkapakan prinsip komunikasi


terapeutik
b. Sapa klien dengan ramah
c. Perkenalkan diri dengan sopan
d. Tanya nama lengkap klien
e. Jelaskan tujuan pertemuan
f. Jujur dan tepati janji
g. Tujukan sikap empati
h. Beri perhatian kepada klien
i. Observasi tingkah laku klien terkait dengan halusinasi
j. Bantu klien mengenal halusinasi
k. Diskusikan dengan klien situasi yang menimbulkan halusinasi
l. Identifikasi bersama klien cara tindakan yang dilakukan jika terjadi halusinasi
m. Diskusikan manfaat yang dilakukan klien dan beri pujian pada klien
n. Bantu klien dengan cara memutus halusinasi
o. Beri kesempatan untuk melakukan cara yang dilatih
p. Anjurkan klien untuk memberi tahu keluarga jika mengalami halusinasi
q. Diskusikan dengan keluarga pada saat berkunjung tentang gejala halusinasi yang
dialami
r. Cara yang dapat dilakukan klien untuk memutuskan halusinasi
s. Cara merawat halusinasi dirumah, beri kegiatan, jangan biarkan sendiri
t. Beri reinforcement karena sudah berinteraksi
u. Diskusikan dengan klien keluarga tentang dosis, frekuensi dan manfaat obat
v. Anjurkan klien meminta obat sendiri pada perawat dan merasakan manfaat
w. Anjrkan klien biacara minta pada dokter tentang manfaat, efek samping obat
x. Bantu klien minum obat

F. Implementasi
Implementasi tindakan keperwatan disesuaikan denganrencana tindakan keperawatan. Pada
situasi nyata implementasi seringkali jauh berbedah dengan rencana

G. Evaluasi
Adalah proses yang berkelanjutan untuk menilai efek dari tindakan keperawatan pada klien.
Evaluasi dilakukan terus menerus pada respon klien terhadap tindakan yang telah dilakukan.
Evaluasi dapat dilakukan menggunakan pendekan S.O.A.P. yaitu subjektikf opjektik analisis
perencanaan pada klien dan perencanaan pada perawat.
Daftar Pustaka

Eko Prabowo. (2014). Konsep & Aplikasi ASUHAN KEPERAWATAN JIWA. Yogyakarta:
Nuha Medika.

Mukhripah Damaiyanti. (2012). Asuhan Keperawatan Jiwa. Samarinda: Refka Aditama.

Nuraenah. (2012). Hubungan Dukungan Keluarga dan Beban Keluarga dalam Merawat Anggota
dengan Riwayat Perilaku Kekerasan di RS. Jiwa Islam Klender Jakarta Timur, 29-37.

Sari, K. (2015). Panduan Lengkap Praktik Klinik Keperawatan Jiwa. Jakarta: Trans Info Media
LAPORAN PENDAHULUAN

HALUSINASI

Di susun oleh:

Desi Rofiqo Khoirotun Nisa

2130282063

Pembimbing Akademik Pembimbing Klinik

( ) ( )

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN NERS

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS PERINTIS INDONESIA

TAHUN AJARAN 2021/2022


Konsep Dasar

A. Pengertian
Halusinasi adalah gangguan persepsi sensori dari suatu obyek tanpa adanya rangsangan
dari luar, gangguan persepsi sensori ini meliputi seluruh pancaindra. Halusinasi merupakan
salah satu gejala gangguan jiwa yang pasien mengalami perubahan sensori persepsi, serta
merasakan sensasi palsu berupa suara, penglihatan, pengecapan perabaan, atau penciuman.
Pasien merasakan stimulus yang sebetulnya tidak ada. Pasien gangguan jiwa mengalami
perubahan dalam hal orientasi realitas. Salah satu manifestasi yang muncul adalah halusinasi
yang membuat pasien tidak dapat menjalankan pemenuhan dalam kehidupan sehari-hari.

B. Rentang Respon
Halusinasi merupakan gangguan dari persepsi sensori, waham merupakan gangguan pada isi
pikiran. Keduanya merupakan gangguan dari respons neorobiologi. Oleh karenanya secara
keseluruhan, rentang respons halusinasi mengikuti kaidah rentang respons neorobiologi.
Rentang respons neorobiologi yang paling adaptif adalah adanya pikiran logis dan
terciptanya hubungan sosial yang harmonis. Rentang respons yang paling maladaptif adalah
adanya waham, halusinasi, termasuk isolasi sosial menarik diri. Berikut adalah gambaran
rentang respons neorobiologi.

Adaptif Maladaptif

Pikiran logis Kadang proses pikir gangguan proses


Persepsi akurat tidak terganggu, ilusi berfikir/waham
Emosi konsisten emosi tidak stabil halusinasi, kesukaran
dengan pengalaman perilaku tidak biasa proses emosi, oerilaku
Perilaku cocok menarik diri tidak teroganisasi, isos
Hubungan sosial harmonis.
C. Faktor Penyebab
1. Faktor predisposisi halusinasi menurut struat (2007)
a. Faktor perkembangan
Perkembangan klien yang terganggu misalnya kurangnya mengontrol emosi dan
keharmonisan keluarga menyebabkan klien tidak mampu mandiri sejak kecil, mudah
prustasi dan hilanh percaya diri.
b. Faktor social cultural
Seseorang yang merasa tidak diterima lingkungannya sejak bayi akan membekas
diingatannya sampai dewasa dan ia akan merasakan disingkirkan, kesepian dan tidak
percaya pada lingkungan.
c. Faktor biokimia
Adanya stress yang berlebihan yang dialami oleh seseorang maka didalam tubuhnya
akan dihasilkan suatu zat yang dapat bersifat halusinogenik neurokimia biffoffenon
dan dimetytranforuse sehingga terjadi ketidak seimbangan acetylcolin.
d. Faktor psikologis
Tipe kepribadian yang lemah dan tidak bertanggung jawab akan mudah terjerumus
pada penyalahgunaan zat adiktif, klien lebih memilik kesenangan sesaat dan lari dari
alam nyata menuju alam khayal.
e. Faktor genetic dan pola asuh
Hasil study menunjukan bahwa faktor keluarga menunjukkan hubungan yang sangat
berpengaruh pada penyakit ini.
2. Faktor presipitasi
Menurut stuart (2007), faktor presipitasi terjadinya gangguan sensori persepsi halusinasi
adalah :
a. Biologi
Gangguan dalam komunikasi dan putaran balik otak, yang mengatur proses
informasi serta obnormalitas pada mekanisme pintu masuk dalam otak yang
menyebabkan ketidak mampuan untuk secara selektif menaggapi stimulasi yang
diterima oleh otak untuk di interpretasikan.
b. Stress Lingkungan
Ambang toleransi terhadap stress terhadap stress yang berinteraksi terhadap stressor
lingkungan untuk menentukan terjadinya gangguan perilaku.
c. Sumber Koping
Sumber koping mempengaruhi respon individu dalam menanggapi stesor.
D. Proses Terjadinya
Proses terjadinya halusinasi pada pasien akan dijelaskan dengan menggunakan konsep stress
adaptasi Stuart yang meliputi stressor dari predisposisi dan presipitasi.
1. Faktor Predisposisi
a. Faktor Biologis
Hal yang dikaji pada faktor biologis meliputi adanya faktor herediter mengalami
gangguan jiwa, adanya risiko bunih diri, riwayat penyakit atau trauma kepala, dan
riwayat pengguna NAPZA.
b. Faktor Psikologis
Pada pasien yang mengalami halusinasi, dapat ditemukan adanya kegagalan yang
berulang, korban kekerasan, kurangnya kasih sayang atau overprotektif.
c. Social Budaya dan Lingkungan
Pasien halusinasi didapatkan social ekonomi rendah, riwat penolakan lingkungan
pada usia perkembangan anak, tingkat pendidikan rendah dan kegagalan dalam
hubungan social (peceraian, hidup sendiri), serta tidak bekerja.
2. Faktor Presipitasi
Stressor presipitasi pada pasien dengan hausinasi ditemukan adanya riwayat penyakit
infeksi, penyakit kronis atau kelainan struktur otak, kekerasan dalam keluarga, atau
adanya kegagalan-kegagalan dalam hidup, kemiskinan, adanya aturan atau tuntutan
dikeluarga atau masyarakat yang sering tidak sesuai dengan pasien serta konflik
antar masyarakat.

E. Mekanisme Koping
1. Regresi : menghindari stress, kecemasan dan menampilkan perilaku kembaliseperti pada
perilaku perkembangan anak atau berhubungan dengan masalah proses informasi dan
upaya untuk menanggulangi ansietas.
2. Proyeksi : keinginan yang tidak dapat ditoleransi mencurahkan emosi padaorang lain
karena kesalahan yang dilakukan diri sendiri (sebagai upaya untukmenjelaskan
kerancuan persepsi).
3. Isolasi sosial : reaksi yang ditampilakn dapat berupa reaksi fisik maupun psikologis,
reaksi fisik yaitu individu pergi atu lari menghindar sumber stressor,misalnya menjauhi
polusi, sumber infeksi, gas beracun dan lain-lain. Sedangkanreaksi psikologis individu
menunjukan perilaku apatis, mengisolasi diri, tidak berminat, sering disertai rasa takut
dan bermusuhan.
F. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pada pasien halusinasi dengan cara
1. Menciptakan lingkungan yang terapeutik
Untuk mengurangi tingkat kecemasan ,kepanikan dan ketakutan pasien akibat halusinasi
sebaiknya pada permulaan dilakukan secara individu dan usahakan terjadi kontak mata
jika perlu pasien di sentuh atau dipegang
2. Melaksanakan program terapi dokter
Sering kali pasien menolak obat yang diberikan sehubungan dengan rangsangan
halusinasi yang di terimanya.pendekatan sebaiknya secara persuasif tapi
nstruktif.perawat harus mengamati agar obat yang diberikan betul di telanya serta reaksi
obat yangdiberikan
3. Menggali permasalahan pasien dan membantu mengatasi masalah yang ada
Setelah pasien lebih kooperatif dan komunikatif, perawat dapat menggali masalah pasien
yang merupakan penyebabab timbulnya halusinasi serta membantu mengatasi masalah
yang ada.
4. Memberi aktifitas kepadapasien
Pasien di ajak mengaktifkan diri untuk melakukan gerakan fisik, misalnya
berolahraga,bermain,atau melakukan kegiatan untul menggali potensi keterampilan
dirinya
5. Melibatkan keluarga dan petugas lain dalam proses perawatan Keluarga
Pasien dan petugas lain sebaiknya diberitahu tentang data pasien agar ada kesatuan
pendapat kesinambungan dalam asuhan keperawatan (Budi anadkk;2011;147)
Asuhan Keperawatan Teoritis

A. Pengkajian Keperawatan
1. Faktor Predisposisi
a. Faktor perkembangan
Hambatan perkembangan akan mengganggu hubungan interpersonal yang dapat
meningkatkan stres dan ansietas yang dapat berakhir dengan gangguan persepsi.
Pasien mungkin menekan perasaannya sehingga pematangan fungsi intelektual dan
emosi tidak efektif.
b. Faktor sosial budaya
Berbagai faktor di masyarakat yang membuat seseorang merasa disingkirkan atau
kesepian, selanjutnya tidak dapat diatasi sehingga timbul akibat berat seperti delusi
dan halusinasi.
c. Faktor psikologis
Hubungan interpersonal yang tidak harmonis, serta peran ganda atau peran yang
bertentangan dapat menimbulkan ansietas berat terakhir dengan pengingkaran
terhadap kenyataan, sehingga terjadi halusinasi.
d. Faktor biologis
Struktur otak yang abnormal ditemukan pada pasien gangguan orientasi realitas,
serta dapat ditemukan atropik otak, pembesaran ventikal, perubahan besar, serta
bentuk sel kortikal dan limbik.
e. Faktor genetik
Gangguan orientasi realitas termasuk halusinasi umumnya ditemukan pada pasien
skizofrenia. Skizofrenia ditemukan cukup tinggi pada keluarga yang salah satu
anggota keluarganya mengalami skizofrenia, serta akan lebih tinggi jika kedua orang
tua skizofrenia.
2. Faktor Presipitasi
a. Stresor sosial budaya
Stres dan kecemasan akan meningkat bila terjadi penurunan stabilitas keluarga,
perpisahan dengan orang yang penting, atau diasingkan dari kelompok dapat
menimbulkan halusinasi.
b. Faktor biokimia
Berbagai penelitian tentang dopamin, norepinetrin, indolamin, serta zat halusigenik
diduga berkaitan dengan gangguan orientasi realitas termasuk halusinasi.
c. Faktor psikologis
Intensitas kecemasan yang ekstrem dan memanjang disertai terbatasnya kemampuan
mengatasi masalah memungkinkan berkembangnya gangguang orientasi realitas.
Pasien mengembangkan koping untuk menghindari kenyataan yang tidak
menyenangkan.
d. Perilaku
Perilaku yang perlu dikaji pada pasien dengan gangguan orientasi realitas berkaitan
dengan perubahan proses pikir, afektif persepsi, motorik, dan sosial.

B. Daftar Masalah
1. Isolasi social : menarik diri
2. Gangguan prsepsi sensori : Halusinasi
3. Risiko mecederai diri sendiri, orang lain dan lingkungan

C. Pohon Masalah
Risiko mencederai diri sendiri, orang lain, dan lingkungan.

Resiko Perilaku Kekerasan

Perubahan persepsi sensosi: halusinasi.

Isolasi sosial: menarik diri.

Gg. Konsep Diri: Harga Diri Rendah


D. Kemungkinan Diagnosa
1. Gangguan Konsep Diri: Harga Diri Rendah
2. Risiko mencederai diri sendiri orang lain dan lingkungan berhubungan dengan
halusinasi.
3. Perubahan persepsi sensor: halusinasi berhubungan dengan menarik diri.

E. Rencana Keperawatan
1. Tindakan Keperawatan untuk Pasien
a. Tujuan tindakan untuk pasien meliputi hal berikut.
1.) Pasien mengenali halusinasi yang dialaminya.
2.) Pasien dapat mengontrol halusinasinya.
3.) Pasien mengikuti program pengobatan secara optimal.
b. Tindakan keperawatan
1.) Membantu pasien mengenali halusinasi dengan cara berdiskusi dengan pasien
tentang isi halusinasi (apa yang didengar/dilihat), waktu terjadi halusinasi,
frekuensi terjadinya halusinasi, situasi yang menyebabkan halusinasi muncul, dan
respons pasien saat halusinasi muncul.
2.) Melatih pasien mengontrol halusinasi. Untuk membantu pasien agar mampu
mengontrol halusinasi, Anda dapat melatih pasien empat cara yang sudah
terbukti dapat mengendalikan halusinasi, yaitu sebagai berikut.
a.) Menghardik halusinasi.
b.) Bercakap-cakap dengan orang lain.
c.) Melakukan aktivitas yang terjadwal.
d.) Menggunakan obat secara teratur.
3.) SP (STRATEGI PELAKSANAAN)
SP 1
- Bina hubungan saling percaya
- Identifikasi halusinasi (isi, frekuensi, situasi, waktu, perasaan, respon)
- Latih mengontrol halusinasi dengan cara menghardik
- Masukkan latihan menghardik dalam jadual
SP 2
- Evaluasi tanda dan gejala halusinasi
- Validasi kemampuan pasien melakukan latihan menghardik dan berikan pujian
- Evaluasi manfaat melakukan menghardik
- Latih cara mengontrol halusinasi dengan obat (jelaskan 6 benar: jenis, guna,
dosis, frekuensi, cara, kontinuitas minum obat)
- Masukkan pada jadual kegiatan untuk latihan menghardik dan minum obat
SP 3
- Evaluasi tanda dan gejala halusinasi
- Validasi kemampuan pasien melakukan latihan menghardik dan jadual minum
obat, berikan pujian
- Evaluasi manfaat melakukan menghardik dan minum obat sesuai jadual
- Latih cara mengontrol halusinasi dengan bercakap-cakap saat terjadi
halusinasi.
- Masukkan pada jadual kegiatan untuk latihan menghardik, minum obat dan
bercakap-cakap
SP 4
- Evaluasi tanda dan gejala halusinasi
- Validasi kemampuan pasien melakukan latihan menghardik dan jadual minum
obat, berikan pujian
- Evaluasi manfaat melakukan menghardik dan minum obat sesuai jadual
- Latih cara mengontrol halusinasi dengan kegiatan aktivitas terjadwal.
- Masukkan pada jadual kegiatan untuk latihan menghardik, minum obat dan
bercakap-cakap
2. Tindakan Keperawatan untuk Keluarga
a. Tujuan
1.) Keluarga dapat terlibat dalam perawatan pasien baik di rumah sakit maupun di
rumah.
2.) Keluarga dapat menjadi sistem pendukung yang efektif untuk pasien.
b. Tindakan keperawatan
SP 1
- Mendiskusikan masalah yg dirasakan keluarga dlm merawat pasien
- Menjelaskan pengertian, tanda gejala halusinasi yg dialami pasien serta proses
terjadinya
- Menjelaskan cara merawat pasin halusinasi
SP 2
- Evaluasi kemampuan keluarga mengidentifikasi gejala halusinasi
- Validasi kemampuan keluarga dalam membimbing pasien melaksanakan latihan
menghardik
- Evaluasi manfaat yang dirasakan keluarga dalam merawat, beri pujian.
- Jelaskan 6 benar cara memberikan obat, Latih cara memberikan/membimbing
minum obat
- Anjurkan membantu pasien sesuai jadual dan memberi pujian
SP 3
- Evaluasi kemampuan keluarga mengidentifikasi gejala halusinasi
- Validasi kemampuan keluarga dalam membimbing pasien melaksanakan kegiatan
yang telah dilatih: menghardik dan patuh minum obat
- Evaluasi manfaat yang dirasakan keluarga dalam merawat, beri pujian
- Jelaskan cara bercakap-cakap dan melakukan kegiatan untuk mengontrol
halusinasi
- Latih dan sediakan waktu bercakap-cakap dengan pasien terutama saat halusinasi
- Anjurkan membantu pasien sesuai jadual dan memberikan pujian
SP 4
- Evaluasi kemampuan keluarga mengidentifikasi gejala halusinasi
- Validasi kemampuan keluarga dalam membimbing pasien melaksanakan kegiatan
yang telah dilatih: menghardik, patuh minum obat dan bercakap-cakap dengan
orang lain
- Evaluasi manfaat yang dirasakan keluarga dalam merawat, beri pujian
- Jelaskan follow up ke PKM, tanda kambuh, rujukan
- Anjurkan membantu pasien sesuai jadual
- Memberikan pujian
F. Implementasi
Implementasi tindakan keperawatan di sesuaikan dengan rencana tindakankeperawatan.
Pada situasi nyata, implementasi sering kali jauh bebeda dengan rencana. Hal itu terjadi
karena perawat belum terbiasa menggunakan rencana tertulis dalammelaksanakan tindakan
keperawatan. Yang bisa di lakukan perawat adalah menggunakan rencana tertulis, yaitu apa
yang dipikirkan, dirasakan, itu yang dilaksanakan. Hal itu sangat membahayakan klien dan
perawat jika tindakan berakibat fatal dan juga tidak memenuhi aspek legal tanda tangan.
Sebelum melakukan tindakan yang sudah direncanakan, perawat perlumemvalidasi
dengan singkat apakah rencana tindakan masih sesuai dan dibutuhkan,oleh kilen saat ini.
Perawat juga menilai diri sendiri, apakah mempunyai kemampuan interpersonal, intelektual
dan teknikal yang di perlukan untuk melaksanakan tindakan.Perawat juga menilai kembali
apakah tindakan aman bagi klien. Setelah tidak adahambatan maka tindakan keperawatan
boleh dilaksanakan. Pada saat akan melaksanakan tindakan keperawatan, perawat membuat
kontrak dengan klien, yang isinya menjelaskan apa yang akan d kejakan. Dan peran serta
yang di harapkan dariklien. dokumentasikan semua tindakan yang telah di laksanakan
berserta respon klien.
G. Evaluasi
Evaluasi keberhasilan tindakan keperawatan yang sudah Anda lakukan untuk pasien
halusinasi adalah sebagai berikut:
1. Pasien mempercayai kepada perawat.
2. Pasien menyadari bahwa yang dialaminya tidak ada objeknya dan merupakan masalah
yang harus diatasi.
3. Pasien dapat mengontrol halusinasi.
4. Keluarga mampu merawat pasien di rumah, ditandai dengan hal berikut.
a. Keluarga mampu menjelaskan masalah halusinasi yang dialami oleh pasien.
b. Keluarga mampu menjelaskan cara merawat pasien di rumah.
c. Keluarga mampu memperagakan cara bersikap terhadap pasien.
d. Keluarga mampu menjelaskan fasilitas kesehatan yang dapat digunakan untuk
mengatasi masalah pasien.
e. Keluarga melaporkan keberhasilannnya merawat pasien

DAFTAR PUSTAKA

Budi ana dkk;2011;Keperawatan kesehatanjiwa;jakarta;EGC

Iskandar Dkk;2012;Asuhan Keperawatan Jiwa;Bandung;Refika aditama

Stuart, G. W. 2007. Buku Saku Keperawatan Jiwa . Edisi 5. Jakarta. EGC.

Yudi Hartono Dkk; 2012; Buku ajar keperawatan jiwa; Jakarta; salembamedika
LAPORAN PENDAHULUAN

WAHAM

Di susun oleh:

Desi Rofiqo Khoirotun Nisa

2130282063

Pembimbing Akademik Pembimbing Klinik

( ) ( )

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN NERS


FAKULTAS ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS PERINTIS INDONESIA

TAHUN AJARAN 2021/2022

Konsep Dasar

A. Pengertian
Waham adalah suatu keyakinan yang salah yang dipertahankan secara kuat atau terus-
menerus, tapi tidak sesuai dengan kenyataan. Waham adalah termasuk gangguan isi pikiran.
Pasien meyakini bahwa dirinya adalah seperti apa yang ada di dalam isi pikirannya. Waham
sering ditemui pada gangguan jiwa berat dan beberapa bentuk waham yang spesifik sering
ditemukan pada penderita skizofrenia.

B. Rentang Respon

C. Faktor Penyebab Waham


Penyebab secara umum dari waham adalah ganguan konsep diri : harga diri rendah. Harga
diri rendah dimanifestasikan dengan perasaan yang negatif terhadap diri sendiri, termasuk
hilangnya percaya diri dan harga diri, merasa gagal mencapai keinginan.
1. Faktor Predisposisia
a. Genetis
b. Neorobilogis
c. Psikologis
d. Neorotransmitter
2. Faktor Presipitasia
a. Proses pengelolaan informasi yang berlebihan
b. Mekanisme penghantar listrik yang abnormal
c. Adanya gejala pemicu

D. Proses Terjadinya Waham


1. Fase kebutuhan manusia rendah (lack of human need) Waham diawali dengan
terbatasnya berbagai kebutuhan pasien baik secara fisik maupun psikis. Secara fisik,
pasien dengan waham dapat terjadi pada orang dengan status sosial dan ekonomi sangat
terbatas. Biasanya pasien sangat miskin dan menderita. Keinginan ia untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya mendorongnya untuk melakukan kompensasi yang salah. Hal itu
terjadi karena adanya kesenjangan antara kenyataan (reality), yaitu tidak memiliki
finansial yang cukup dengan ideal diri (self ideal) yang sangat ingin memiliki berbagai
kebutuhan, seperti mobil, rumah, atau telepon genggam.
2. Fase kepercayaan diri rendah (lack of self esteem)
Kesenjangan antara ideal diri dengan kenyataan serta dorongan kebutuhan yang tidak
terpenuhi menyebabkan pasien mengalami perasaan menderita, malu, dan tidak
berharga.
3. Fase pengendalian internal dan eksternal (control internal and external)
Pada tahapan ini, pasien mencoba berpikir rasional bahwa apa yang ia yakini atau apa
yang ia katakan adalah kebohongan, menutupi kekurangan, dan tidak sesuai dengan
kenyataan. Namun, menghadapi kenyataan bagi pasien adalah sesuatu yang sangat berat,
karena kebutuhannya untuk diakui, dianggap penting, dan diterima lingkungan menjadi
prioritas dalam hidupnya, sebab kebutuhan tersebut belum terpenuhi sejak kecil secara
optimal. Lingkungan sekitar pasien mencoba memberikan koreksi bahwa sesuatu yang
dikatakan pasien itu tidak benar, tetapi hal ini tidak dilakukan secara adekuat karena
besarnya toleransi dan keinginan menjadi perasaan. Lingkungan hanya menjadi
pendengar pasif tetapi tidak mau konfrontatif berkepanjangan dengan alasan pengakuan
pasien tidak merugikan orang lain.
4. Fase dukungan lingkungan (environment support)
Dukungan lingkungan sekitar yang mempercayai (keyakinan) pasien dalam
lingkungannya menyebabkan pasien merasa didukung, lama-kelamaan pasien
menganggap sesuatu yang dikatakan tersebut sebagai suatu kebenaran karena seringnya
diulang-ulang. Oleh karenanya, mulai terjadi kerusakan kontrol diri dan tidak
berfungsinya norma (superego) yang ditandai dengan tidak ada lagi perasaan dosa saat
berbohong.
5. Fase nyaman (comforting) Pasien merasa nyaman dengan keyakinan dan
kebohongannya serta menganggap bahwa semua orang sama yaitu akan mempercayai
dan mendukungnya. Keyakinan sering disertai halusinasi pada saat pasien menyendiri
dari lingkungannya. Selanjutnya, pasien lebih sering menyendiri dan menghindari
interaksi sosial (isolasi sosial).
6. Fase peningkatan (improving)
Apabila tidak adanya konfrontasi dan berbagai upaya koreksi, keyakinan yang salah
pada pasien akan meningkat. Jenis waham sering berkaitan dengan kejadian traumatik
masa lalu atau berbagai kebutuhan yang tidak terpenuhi (rantai yang hilang). Waham
bersifat menetap dan sulit untuk dikoreksi. Isi waham dapat menimbulkan ancaman diri
dan orang lain.

E. Mekanisme Koping
Perilaku yang mewakili upaya untuk melindungi klien dari pengalaman yang menakutkan
dengan respon neurobilologis yang maladaptif meliputi : regresi berhubungan dengan
masalah proses informasi dengan upaya untuk mengatasi ansietas proyeksi sebagai upaya
untuk menjelaskan kekacauan persepsi, menarik diri pada keluarga : mengingkari.

F. Penatalaksanaan
1. Psikoterapi
Psikoterapi yang efektif untuk gangguan waham menetap adalah psikoterapi individual,
berorientasi insight, suportif, kognitif, dan behavioral. Dalam psikoterapi, sebaiknya
tidak dilakukan konfrontasi terhadap waham pasien, namun lebih pada penekanan bahwa
preokupasi pasien terhadap wahamnya menimbulkan distress bagi dirinya dan
mengganggu kemampuannya untuk bisa hidup dengan lebih baik. Cognitive behavioral
therapy (CBT) bisa digunakan untuk memperbaiki bias pengenalan informasi (yang
timbul akibat waham), sensitivitas interpersonal, gaya reasoning, kecemasan, dan
insomnia. Metacognitive training adalah terapi yang dikembangkan untuk membantu
pasien dengan waham untuk mengenali pola pikir disfungsionalnya. Meskipun awalnya
dikembangkan untuk schizophrenia, namun terapi ini juga bermanfaat pada pasien
dengan gangguan waham lain, termasuk gangguan waham menetap.
2. Medikamentosa
Pasien-pasien gangguan waham menetap yang mengalami agitasi sebaiknya
mendapatkan antipsikotik lewat injeksi intramuskular. Farmakoterapi pada pasien
dengan gangguan waham relatif sulit dilakukan karena mereka bisa dengan mudah
memasukkan obat yang diberikan sebagai bagian negatif dari sistem wahamnya. Perlu
dilakukan bina rapport dan psikoterapi yang adekuat sebelum farmakoterapi bisa
dimulai. Farmakoterapi sebaiknya dimulai dari dosis kecil (misalnya haloperidol 2
mg/24 jam atau risperidone 2 mg/24 jam) kemudian dititrasi pelan. Bila dalam waktu 6
minggu pasien tidak menunjukkan respons, maka sebaiknya diganti dengan antipsikotik
kelas lainnya. Beberapa klinisi menyatakan bahwa pimozide efektif digunakan pada
pasien dengan gangguan waham, terutama pasien dengan waham somatik kronis. Sebuah
review oleh Mohsen, et al menemukan bahwa antipsikotik yang paling banyak
digunakan pada pasien dengan gangguan waham adalah risperidone, diikuti oleh
olanzapine, quetiapine, dan antipsikotik tipikal (generasi pertama).

G. Prinsip Tindakan Keperawatan


1. Tetapkan hubungan saling percaya
2. Identifikasi isi dan jenis waham
3. Kaji intensitas, frekuensi dan lamanya terjadi waham
4. Identifikasi stresor waham
5. Identifikasi stressor besar yang dialami baru – baru ini
6. Hubungkan unsur waham dan onset stress
7. Jika klien bertanya apakah anada percaya pada waham tersebut,katakan bahwa ini
merupakan pengalaman klien
8. Penuhi kebutuhan yang dipenuhi oleh waham
9. Sekali waham dimengerti, hindari dan jangan mendukung pembicaraan berulang tentang
waham.

Asuhan Keperawatan Teoritis

A. Pengkajian
Menurut Kaplan dan Sadock (1997) beberapa hal yang harus dikaji antara lain sebagai
berikut.
1. Status mental
a. Pada pemeriksaan status mental, menunjukkan hasil yang sangat normal, kecuali
bila ada sistem waham abnormal yang jelas.
b. Suasana hati (mood) pasien konsisten dengan isi wahamnya.
c. Pada waham curiga didapatkannya perilaku pencuriga.
d. Pada waham kebesaran, ditemukan pembicaraan tentang peningkatan identitas diri
dan mempunyai hubungan khusus dengan orang yang terkenal.
e. Adapun sistem wahamnya, pemeriksa kemungkinan merasakan adanya kualitas
depresi ringan.
f. Pasien dengan waham tidak memiliki halusinasi yang menonjol/menetap kecuali
pada pasien dengan waham raba atau cium. Pada beberapa pasien kemungkinan
ditemukan halusinasi dengar.
2. Sensorium dan kognisi (Kaplan dan Sadock, 1997)
a. Pada waham, tidak ditemukan kelainan dalam orientasi, kecuali yang memiliki
waham spesifik tentang waktu, tempat, dan situasi.
b. Daya ingat dan proses kognitif pasien dengan utuh (intact).
c. Pasien waham hampir seluruh memiliki daya tilik diri (insight) yang jelek.
d. Pasien dapat dipercaya informasinya, kecuali jika membahayakan dirinya,
keputusan yang terbaik bagi pemeriksa dalam menentukan kondisi pasien adalah
dengan menilai perilaku masa lalu, masa sekarang, dan yang direncanakan.
3. Tanda dan gejala waham dapat juga dikelompokkan sebagai berikut.
Kognitif
a. Tidak mampu membedakan nyata dengan tidak nyata.
b. Individu sangat percaya pada keyakinannya.
c. Sulit berpikir realita.
d. Tidak mampu mengambil keputusan.
Afektif
a. Situasi tidak sesuai dengan kenyataan.
b. Afek tumpul.

Perilaku dan hubungan sosial

a. Hipersensitif
b. Hubungan interpersonal dengan orang lain dangkal
c. Depresif
d. Ragu-ragu
e. Mengancam secara verbal
f. Aktivitas tidak tepat
g. Streotif
h. Impulsif
i. Curiga

Fisik

a. Kebersihan kurang
b. Muka pucat
c. Sering menguap
d. Berat badan menurun
e. Nafsu makan berkurang dan sulit tidur

B. Daftar Masalah
1. Perubahan Konsep Diri : Harga Diri Rendah
2. Perubahan Proses Pikir : Waham
3. Resiko Kerusakan Komunikasi
C. Pohon Masalah
Resiko Kerusakan Komunikasi

Perubahan Proses Pikir : Waham

Perubahan Konsep Diri : Harga Diri Rendah

D. Kemungkinan Diagnosa
1. Risiko kerusakan komunikasi verbal berhubungan dengan waham.
2. Perubahan proses pikir: waham berhubungan dengan harga diri rendah.

E. Rencana Keperawatan
Tindakan Keperawatan Untuk Pasien
Tujuan
1. Pasien dapat berorientasi kepada realitas secara bertahap.
2. Pasien dapat memenuhi kebutuhan dasar.
3. Pasien mampu berinteraksi dengan orang lain dan lingkungan.
4. Pasien menggunakan obat dengan prinsip lima benar.

Tindakan

1. Bina hubungan saling percaya.


a. Mengucapkan salam terapeutik.
b. Berjabat tangan.
c. Menjelaskan tujuan interaksi.
d. Membuat kontrak topik, waktu, dan tempat setiap kali bertemu pasien.
2. Bantu orientasi realitas.
a. Tidak mendukung atau membantah waham pasien.
b. Yakinkan pasien berada dalam keadaan aman.
c. Observasi pengaruh waham terhadap aktivitas sehari-hari.
d. Jika pasien terus-menerus membicarakan wahamnya, dengarkan tanpa memberikan
dukungan atau menyangkal sampai pasien berhenti membicarakannya.
e. Berikan pujian bila penampilan dan orientasi pasien sesuai dengan realitas.
3. Diskusikan kebutuhan psikologis atau emosional yang tidak terpenuhi sehingga
menimbulkan kecemasan, rasa takut, dan marah.
a. Tingkatkan aktivitas yang dapat memenuhi kebutuhan fisik dan emosional
pasien.
b. Berdiskusi tentang kemampuan positif yang dimiliki.
c. Bantu melakukan kemampuan yang dimiliki.
d. Berdiskusi tentang obat yang diminum.
e. Melatih minum obat yang benar.
Tindakan Keperawatan untuk Keluarga
Tujuan
1. Keluarga mampu mengidentifikasi waham pasien.
2. Keluarga mampu memfasilitasi pasien untuk memenuhi kebutuhan yang dipenuhi oleh
wahamnya.
3. Keluarga mampu mempertahankan program pengobatan pasien secara optimal.

Tindakan

1. Diskusikan dengan keluarga tentang waham yang dialami pasien.


2. Diskusikan dengan keluarga tentang hal berikut.
3. Cara merawat pasien waham di rumah.
4. Follow up dan keteraturan pengobatan.
5. Lingkungan yang tepat untuk pasien.
6. Diskusikan dengan keluarga tentang obat pasien (nama obat, dosis, frekuensi, efek
samping, akibat penghentian obat).
7. Diskusikan dengan keluarga kondisi pasien yang memerlukan konsultasi segera.
F. Implementasi
Implementasi tindakan keperawatan di sesuaikan dengan rencana tindakan keperawatan.
Pada situasi nyata, implementasi sering kali jauh bebeda dengan rencana. Hal itu terjadi
karena perawat belum terbiasa menggunakan rencana tertulis dalam melaksanakan tindakan
keperawatan. Yang bisa di lakukan perawat adalah menggunakan rencana tertulis, yaitu apa
yang dipikirkan, dirasakan, itu yang dilaksanakan. Hal itu sangat membahayakan klien dan
perawat jika tindakan berakibat fatal dan juga tidak memenuhi aspek legal tanda tangan.

G. Evaluasi
1. Pasien mampu melakukan hal berikut.
a. Mengungkapkan keyakinannya sesuai dengan kenyataan.
b. Berkomunikasi sesuai kenyataan.
c. Menggunakan obat dengan benar dan patuh.
2. Keluarga mampu melakukan hal berikut.
a. Membantu pasien untuk mengungkapkan keyakinannya sesuai kenyataan.
b. Membantu pasien melakukan kegiatan-kegiatan sesuai dengan kemampuan dan
kebutuhan pasien.
c. Membantu pasien menggunakan obat dengan benar dan patuh.
Daftar Pustaka

Kaplan dan Sadock. 1997. Sinopsis Psikiatri, Ilmu Pengetahuan Perilaku Psikiatri Klinis. Jilid I.
Edisi 7. Jakarta: Binarupa Aksara.

Keliat, B.A., Akemat, Helena, N.C.D., dan Nurhaeni, H. 2007. Keperawatan Kesehatan Jiwa
Komunitas: CMHN (Basic Courese). Jakarta: EGC.

Lab/UPF Kedokteran Jiwa. 1994. Pedoman Diagnosis dan Terapi. RSUD Dr. Soetomo Surabaya.

Maramis, W.F. 2010. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Airlangga University Press: Surabaya.

Stuart dan Laraia. 2005. Principles dan Pratice of Psychiatric Nursing. 8th Edition. St.Louis:
Mosby.

Stuart, G. W. dan Sundeen, S. J. 2002. Buku Saku Keperawatan Jiwa Edisi 3. Jakarta: EGC.

Suliswati, dkk. 2004. Konsep Dasar Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta: EGC.

Varcarolis. 2006. Fundamentalis of Psychiatric Nursing Edisi 5. St. Louis: Elsevier.


LAPORAN PENDAHULUAN

RESIKO BUNUH DIRI (RBD)

Di susun oleh:

Desi Rofiqo Khoirotun Nisa

2130282063

Pembimbing Akademik Pembimbing Klinik

( ) ( )
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN NERS

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS PERINTIS INDONESIA

TAHUN AJARAN 2021/2022

Konsep Dasar

A. Pengertian
Bunuh diri menurut Gail W. Stuart dalam buku ”Keperawatan Jiwa’ dinyatakan sebagai
suatu aktivitas yang jika tidak dicegah, dimana aktivitas ini dapat mengarah pada
kematian(2007). Bunuh diri juga merupakan kedaruratan psikiatri karena pasien berada
dalam keadaan stres yang tinggi dan menggunakan koping yang maladaptif. Situasi gawat
pada bunuh diri adalah saat ide bunuh diri timbul secara berulang tanpa rencana yang
spesifik atau percobaan bunuh diri atau rencana yang spesifik untuk bunuh diri. (Yusuf,
Fitryasari, & Endang, 2015, hal. 140). Bunuh diri adalah tindakan agresif yang merusak diri
sendiri dan dapat mengakhiri kehidupan.Bunuh diri merupakan keputusan terakhir
dariindividu untuk memecahkan masalah yang dihadapi (Captain, 2008). Menciderai diri
adalah tindakan agresif yang merusak diri sendiri dan dapat mengakhiri kehidupan. Bunuh
diri mungkin merupakan keputusanterakhir dari individu untuk memecahkan masalah yang
dihadapi (Captain, 2008).
Resiko bunuh diri adalah resiko untuk menciderai diri sendiri yang dapat mengancam
kehidupan. Bunuh diri merupakan kedaruratan psikiatri karena merupakan perilaku untuk
mengakhiri kehidupannya. Perilaku bunuh diri disebabkan karena stress yang tinggi dan
berkepanjangan dimana individu gagal dalam melakukan mekanisme kopingyang digunakan
dalam mengatasi masalah. Beberapa alasan individu mengakhiri kehidupan adalah
kegagalanu untuk beradaptasi, sehingga tidak dapat menghadapi stress, perasaan terisolasi,
dapat terjadi karena kehilangan hubungan interpersonal/gagal melakukan hubungan yang
berarti, perasaan marah/bermusuhan, bunuh diri dapat merupakan hukuman pada diri
sendiri, cara untuk mengakhiri keputusan (Stuart, 2006).

B. Rentang Respon
Adaptif Maladaptif

Peningktan Diri Prtumbuhan Perilaku Pencederaan Bunuh diri


Peningkatan destruktif diri diri
Beresiko tak langsung

Keterangan:

1. Peningkatan diri yaitu seorang individu yang mempunyai pengharapan, yakin, dan
kesadaran diri meningkat.
2. Pertumbuhan-peningkatan berisiko, yaitu merupakan posisi pada rentang yang masih
normal dialami individu yang mengalami perkembangan perilaku.
3. Perilaku destruktif diri tak langsung, yaitu setiap aktivitas yang merusak kesejahteraan
fisik individu dan dapat mengarah kepada kematian, seperti perilaku merusak, mengebut,
berjudi, tindakan kriminal, terlibat dalam rekreasi yang berisiko tinggi, penyalahgunaan
zat, perilaku yang menyimpang secara sosial, dan perilaku yang menimbulkan stres.
4. Pencederaan diri, yaitu suatu tindakan yang membahayakan diri sendiri yang dilakukan
dengan sengaja. Pencederaan dilakukan terhadap diri sendiri, tanpa bantuan orang lain,
dan cedera tersebut cukup parah untuk melukai tubuh. Bentuk umum perilaku
pencederaan diri termasuk melukai dan membakar kulit, membenturkan kepala atau
anggota tubuh, melukai tubuhnya sedikit demi sedikit, dan menggigit jari.
5. Bunuh diri, yaitu tindakan agresif yang langsung terhadap diri sendiri untuk mengakhiri
kehidupan.

C. Faktor Penyebab
Secara universal karena ketidakmampuan individu untuk menyelesaikan masalah. Terbagi
menjadi:
1. Faktor Genetik
Faktor genetik (berdasarkan penelitian):
a. 1,5 – 3 kali lebih banyak perilaku bunuh diri terjadi pada individu yang menjadi
kerabat tingkat pertama dari orang yang mengalami gangguan mood/depresi/ yang
pernah melakukan upaya bunuh diri.
b. Lebih sering terjadi pada kembar monozigot dari pada kembar dizigot.
2. Faktor Biologis lain
Biasanya karena penyakit kronis/kondisi medis tertentu, misalnya:
a. Stroke
b. Gangguuan kerusakan kognitif (demensia)
c. DiabetesPenyakit arteri koronaria
d. Kanker
e. HIV / AIDS
3. Faktor Psikososial & Lingkungan
a. Teori Psikoanalitik / Psikodinamika: Teori Freud, yaitu bahwa kehilangan objek
berkaitan dengan agresi & kemarahan, perasaan negatif thd diri, dan terakhir depresi.
b. Teori Perilaku Kognitif: Teori Beck, yaitu Pola kognitif negatif yang berkembang,
memandang rendah diri sendiri
c. Stressor Lingkungan: kehilangan anggota keluarga, penipuan, kurangnya sistem
pendukung social

D. Proses Terjadinya
1. Faktor Predisposisi
a. Diagnosa medis
Gangguan jiwa Diagnosa medis gangguan jiwa yang beresiko untuk bunuh diri yaitu
gangguan afektif, penyalahgunaan zat dan schizophrenia. Lebih dari 90% orang
dewasa mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri mengalami gangguan jiwa.
b. Sifat kepribadian
Sifat kepribadian yang meningkatkan resiko bunuh diri yaitu suka bermusuhan,
impulsif, kepribadian anti sosial dan depresif.
c. Lingkungan psikososial
Individu yang mengalami kehilangan dengan proses berduka yang berkepanjangan
akibat perpisahan dan bercerai, kehilangan barang dan kehilangan dukungan sosial
merupakan faktor penting yang mempengaruhi individu untuk melakukan tindakan
bunuh diri.
d. Riwayat keluarga
Keluarga yang pernah melakukan bunuh diri dan konflik yang terjadi dalam keluarga
merupakan faktor penting untuk melakukan bunuh diri.
2. Faktor presipitasi
Perilaku destruktif diri dapat ditimbulkan oleh stress berlebihan yang dialami oleh
individu. Pencetusnya sering kali berupa kejadian hidup yang memalukan. Faktor lain
yang dapat menjadi pencetus adalah melihat atau membaca melalui media mengenai
orang yang melakukan bunuh diri ataupun percobaan bunuh diri. Bagi individu yang
emosinya labil, hal tersebut menjadi sangat rentan. Setiap upaya percobaan bunuh diri
selalu diawali dengan adanya motivasi untuk bunuh diri dengan berbagai alasan, berniat
melaksanakan bunuh diri, mengembangkan gagasan sampai akhirnya melakukan bunuh
diri. Oleh karena itu, adanya percobaan bunuh diri merupakan masalah keperawatan
yang harus mendapatkan perhatian serius. Sekali pasien berhasil mencoba bunuh diri,
maka selesai riwayat pasien. Untuk itu, perlu diperhatikan beberapa mitos (pendapat
yang salah) tentang bunuh diri.

E. Mekanisme Koping
Mekanisme pertahanan ego yang berhubungan dengan perilaku pengerusakan diri tak
langsung adalah pengingkaran (denial). Sementara, mekanisme koping yang paling
menonjol adalah:
1. Rasionalisasi
2. Intelektualisasi
3. Regresi

F. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pada pasien resiko bunuh diri
1. Membina hubungan saling percaya. Bina hubungan saling percaya dengan menerapkan
prinsip komunikasi terapetik.
2. Mengidentifikasi kemampuan dan aspek positif yang dimiliki.
3. Dapat menilai kemampuan yang digunakan.
4. Memberi aktifitas kepada pasien
5. Melibatkan keluarga dan petugas lain dalam proses perawatan Keluarga
G. Prinsip tindakan keperawatan
1. Proteksi (mencegah menyakiti diri)
2. Meningkatkan harga diri
3. Menguatkan koping yang sehat
4. Eksplorasi perasaan
5. Mengatur batasan dan kontrol
6. Mengarahkan dukungan sosial
7. Pendidikan mental

Asuhan Keperawatan Teoritis

A. Pengkajian
Data yang perlu dikumpulkan saat pengkajian :
1. Riwayat masa lalu :
a. Riwayat percobaan bunuh diri dan mutilasi diri
b. Riwayat keluarga terhadap bunuh diri
c. Riwayat gangguan mood, penyalahgunaan NAPZA dan skizofrenia
d. Riwayat penyakit fisik yang kronik, nyeri kronik.
e. Klien yang memiliki riwayat gangguan kepribadian boderline, paranoid, antisosial
f. Klien yang sedang mengalami kehilangan dan proses berduka
2. Peristiwa hidup yang menimbulkan stres dan kehilangan yang baru dialami.
3. Hasil dan alat pengkajian yang terstandarisasi untuk depresi.
4. Riwayat pengobatan.
5. Riwayat pendidikan dan pekerjaan.
6. Catat ciri-ciri respon psikologik, kognitif, emosional dan prilaku dari individu dengan
gangguan mood.
7. Kaji adanya faktor resiko bunuh diri dan letalitas prilaku bunuh diri:
a. Tujuan klien misalnya agar terlepas dari stres, solusi masalah yang sulit
b. Rencana bunuh diri termasuk apakah klien memiliki rencana yang teratur dan cara-
cara melaksanakan rencana tersebut.
c. Keadaan jiwa klien (misalnya adanya gangguan pikiran, tingkat gelisah, keparahan
gangguan mood
d. Sistem pendukung yang ada
e. Stressor saat ini yang mempengaruhi klien, termasuk penyakit lain (baik psikiatrik
maupun medik), kehilangan yang baru dialami dan riwayat penyalahgunaan zat
f. Kaji sistem pendukung keluarga dan kaji pengetahuan dasar keluarga klien, atau
keluarga tentang gejala, meditasi dan rekomendasi pengobatan gangguan mood,
tanda-tanda kekambuhan dan tindakan perawatan diri
8. Symptom yang menyertainya
Apakah klien mengalami :
a. Ide bunuh diri
b. Ancaman bunuh diri
c. Percobaan bunuh diri
d. Sindrome mencederai diri sendiri yang disengaja

Dalam melakukan pengkajian klien resiko bunuh diri, perawat perlu memahami
petunjuk dalam melakukan wawancara dengan pasien dan keluarga untuk
mendapatkan data yang akurat.

Hal hal yang harus di perhatiakn dalam melakukan wawancara:

a. Tentukan tujuan secara jelas : Dalam melakukan wawancara, perawat tidak


melakukan diskusi secara acak, namun demikian perawat perlu melakukannya
wawancara yang fokus pada investigasi depresi dan pikiran yang berhubungan
dengan bunuh diri
b. Perhatikan signal / tanda yang tidak disampaikan namun mampu diobservasi dari
komunikasi non verbal. Hal ini perawat tetap memperhatikan indikasi terhadap
kecemasan dan distress yang berat serta topic dan ekspresi dari diri klien yang di
hindari atau diabaikan.
c. Kenali diri sendiri. Monitor dan kenali reaksi diri dalam merespon klien, karena
hal ini akan mempengaruhi penilaian profesional
d. Jangan terlalu tergesa gesa dalam melakukan wawancara. Hal ini perlu
membangun hubungan terapeutik yang saling percaya antara perawat dank lien.
e. Jangan membuat asumsi tentang pengalaman masa lalu individu mempengaruhi
emosional klien
f. Jangan menghakimi, karena apabila membiarkan penilaian pribadi akan
membuat kabur penilaian professional

B. Daftar Masalah
1. Gangguan konsep diri: harga diri rendah
2. Resiko bunuh diri

C. Pohon Masalah
Resiko bunuh diri

Gangguan konsep diri:harga rendah

D. Kemungkinan Diagnosa
Risiko bunuh diri berhubungan dengan harga diri rendah

E. Rencana Keperawatan
Tindakan Keperawatan untuk Pasien
1. Tujuan Pasien tetap aman dan selamat.
2. Tindakan
Untuk melindungi pasien yang mengancam atau mencoba bunuh diri, maka Anda dapat
melakukan tindakan berikut:
a. Menemani pasien terus-menerus sampai dia dapat dipindahkan ke tempat yang
aman.
b. Menjauhkan semua benda yang berbahaya, misalnya pisau, silet, gelas, tali
pinggang.
c. Memeriksa apakah pasien benar-benar telah meminum obatnya, jika pasien
mendapatkan obat.
d. Menjelaskan dengan lembut pada pasien bahwa Anda akan melindungi pasien
sampai tidak ada keinginan bunuh diri.

Tindakan Keperawatan untuk Keluarga


1. Tujuan
Keluarga berperan serta melindungi anggota keluarga yang mengancam atau mencoba
bunuh diri.
2. Tindakan
a. Menganjurkan keluarga untuk ikut mengawasi pasien serta jangan pernah
meninggalkan pasien sendirian.
b. Menganjurkan keluarga untuk membantu perawat menjauhi barang-barang
berbahaya di sekitar pasien.
c. Mendiskusikan dengan keluarga ja untuk tidak sering melamun sendiri.
d. Menjelaskan kepada keluarga pentingnya pasien minum obat secara teratur.

F. Implementasi
Implementasi tindakan keperawatan di sesuaikan dengan rencana tindakankeperawatan.
Pada situasi nyata, implementasi sering kali jauh bebeda dengan rencana. Hal itu terjadi
karena perawat belum terbiasa menggunakan rencana tertulis dalammelaksanakan tindakan
keperawatan. Yang bisa di lakukan perawat adalah menggunakan rencana tertulis, yaitu apa
yang dipikirkan, dirasakan, itu yang dilaksanakan. Hal itu sangat membahayakan klien dan
perawat jika tindakan berakibat fatal dan juga tidak memenuhi aspek legal tanda
tangan.Sebelum melakukan tindakan yang sudah direncanakan, perawat perlumemvalidasi
dengan singkat apakah rencana tindakan masih sesuai dan dibutuhkan,oleh kilen saat ini.
Perawat juga menilai diri sendiri, apakah mempunyai kemampuan interpersonal, intelektual
dan teknikal yang di perlukan untuk melaksanakan tindakan.
Perawat juga menilai kembali apakah tindakan aman bagi klien. Setelah tidak
adahambatan maka tindakan keperawatan boleh dilaksanakan. Pada saat akan melaksanakan
tindakan keperawatan, perawat membuat kontrak dengan klien, yang isinya menjelaskan apa
yang akan d kejakan. Dan peran serta yang di harapkan dariklien. dokumentasikan semua
tindakan yang telah di laksanakan berserta respon klien.

G. Evaluasi
1. Untuk pasien yang memberikan ancaman atau melakukan percobaan bunuh diri,
keberhasilan asuhan keperawatan ditandai dengan keadaan pasien yang tetap aman dan
selamat.
2. Untuk keluarga pasien yang memberikan ancaman atau melakukan percobaan bunuh
diri, keberhasilan asuhan keperawatan ditandai dengan kemampuan keluarga berperan
serta dalam melindungi anggota keluarga yang mengancam atau mencoba bunuh diri.
3. Untuk pasien yang memberikan isyarat bunuh diri, keberhasilan asuhan keperawatan
ditandai dengan hal berikut:
a. Pasien mampu mengungkapkan perasaanya.
b. Pasien mampu meningkatkan harga dirinya.
c. Pasien mampu menggunakan cara penyelesaian masalah yang baik.
4. Untuk keluarga pasien yang memberikan isyarat bunuh diri, keberhasilan asuhan
keperawatan ditandai dengan kemampuan keluarga dalam merawat pasien dengan risiko
bunuh diri, sehingga keluarga mampu melakukan hal berikut:
a. Keluarga mampu menyebutkan kembali tanda dan gejala bunuh diri.
b. Keluarga mampu memperagakan kembali cara-cara melindungi anggota keluarga
yang berisiko bunuh diri.
c. Keluarga mampu menggunakan fasilitas kesehatan yang tersedia dalam merawat
anggota keluarga yeng berisiko bunuh diri
DAFTAR PUSTAKA

Keliat, B.A., Akemat, Helena, N.C.D., dan Nurhaeni, H. 2007. Keperawatan Kesehatan Jiwa
Komunitas: CMHN (Basic Courese). Jakarta: EGC.

Lab/UPF Kedokteran Jiwa. 1994. Pedoman Diagnosis dan Terapi. RSUD Dr. Soetomo
Surabaya.

Maramis, W.F. 2010. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Airlangga University Press: Surabaya.

Stuart dan Laraia. 2005. Principles and Practice of Psychiatric Nursing. 8th Edition. St. Louis:
Mosby

Stuart, G. W. dan Sundeen, S. J. 2002. Buku Saku Keperawatan Jiwa Edisi 3. Jakarta: EGC.

Suliswati, dkk. 2004. Konsep Dasar Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta: EGC.

Varcarolis. 2006. Fundamentalis of Psychiatric Nursing Edisi 5. St.Louis: Elsevier


LAPORAN PENDAHULUAN

DEFISIT PERAWATAN DIRI

Di susun oleh:

Desi Rofiqo Khoirotun Nisa

2130282063

Pembimbing Akademik Pembimbing Klinik

( ) ( )
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN NERS

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS PERINTIS INDONESIA

TAHUN AJARAN 2021/2022

Konsep Dasar

A. Pengertian
Perawatan diri adalah salah satu kemampuan dasar manusia dalam memenuhi
kebutuhannya,kesehatan dan kesejateraan sesuai dengan kondisi kesehatannya, klien
dinyatakan terganggu keperatawan dirinya jika tidak dapat melakukan keperawatan diri
(Depkes,2000)
Defisit perawatan diri adalah kurangnya perawatan diri pada pasien dengan gangguan
jiwa terjadi akibat adanya perubahan proses pikir sehingga kemampuan untuk melakukan
aktivitas perawatan diri menurun. Kurang perawatan diri terlihat dari ketidakmampuan
merawat kebersihan diri antaranya mandi, makan minum secara mandiri, berhias secara
mandiri, toileting (BAK/BAB) (Damaiyanti,2012)

B. Rentang Respon
Adatif maladaptif

Pola perawatan Kadang perawatan Tidak melakukan perawatan


diri seimbangandiri kadang tidakdiri pada saat stres

1. Pola perawatan diri seimbang: saat pasien mendapatkan stressor dan mampu ntuk
berperilaku adatif maka pola perawatan yang dilakukan klien seimbang, klien masih
melakukan perawatandiri
2. Kadang melakukan perawatan diri kadang tidak: saat pasien mendapatan stressor
kadang-kadang pasien tidak menperhatikan perawatandirinya
3. Tidak melakukan perawatan diri: klien mengatakan dia tidak perduli dan tidak bisa
melakukan perawatan saat stresso (Ade, 2011)
C. Penyebab
Menurut Tarwoto dan Wartonah (2000), penyebab kurang perawatan diri adalah kelelahan
fisik dan penurunan kesadaran. Menurut Depkes (2000), penyebab kurang perawatan diri
adalah:
1. Factorpredisposisi
a. Perkembangan
Keluarga terlalu melindungi dan memanjakan klien sehingga perkembangan inisiatif
terganggu
b. Biologis
Penyakit kronis yang menyebabkan klien tidak mampu melakukan perawatan diri.
c. Kemampuan realitasturun
Klien dengan gangguan jiwa dengan kemampuan realitas yang kurang menyebabkan
ketidakpedulian dirinya dan lingkungan termasuk perawatan diri.
d. Sosial
Kurang dukungan dan latihan kemampuan perawatan diri lingkungannya.Situasi
lingkungan mempengaruhi latihan kemampuan dalam perawatandiri.
2. Faktor presipitasi
Yang merupakan faktor presiptasi deficit perawatan diri adalah kurang penurunan
motivasi, kerusakan kognisi atau perceptual, cemas, lelah/lemah yang dialami
individu sehingga menyebabkan individu kurang mampu melakukan perawatan diri.
Menurut Depkes (2000) Faktor – faktor yang mempengaruhi personal hygiene
adalah:
a. BodyImage
Gambaran individu terhadap dirinya sangat mempengaruhi kebersihan diri
misalnya dengan adanya perubahan fisik sehingga individu tidak peduli dengan
kebersihan dirinya.
b. PraktikSosial
Pada anak – anak selalu dimanja dalam kebersihan diri, maka kemungkinan akan
terjadi perubahan pola personal hygiene.
c. Status SosialEkonomi
Personal hygiene memerlukan alat dan bahan seperti sabun, pasta gigi, sikat gigi,
shampo, alat mandi yang semuanya memerlukan uang untuk menyediakannya.
d. Pengetahuan
Pengetahuan personal hygiene sangat penting karena pengetahuan yang baik
dapat meningkatkan kesehatan. Misalnya pada pasien penderita diabetes mellitus
ia harus menjaga kebersihan kakinya.
e. Budaya
Di sebagian masyarakat jika individu sakit tertentu tidak boleh dimandikan.
f. Kebiasaanseseorang
Ada kebiasaan orang yang menggunakan produk tertentu dalam perawatan diri
seperti penggunaan sabun, sampo dan lain – lain.
g. Kondisi fisik ataupsikis
Pada keadaan tertentu / sakit kemampuan untuk merawat diri berkurang dan
perlu bantuan untuk melakukannya

Dampak yang sering timbul pada maslah personal hygine


1.) Dampakfisik
Banyak gangguan kesehatan yang diderita seseorang karena tidak terpeliharanya
kebersihan perorangan dengan baik,gangguan fisik yang sering terjadi adalah:
gangguan intleglitas kulit, gangguan membrane mukosa mulut, infeksi mata dan
telinga dan gangguan fisik pada kuku
2.) Dampakpsikososial
Masalah sosial yang berhubungan dengan personal hygine adalah gangguan
kebutuhan aman nyaman , kebutuhan cinta mencintai, kebutuhan harga diri,
aktualisasi diri dan gangguan interaksi sosial (Damaiyanti, 2012)

D. Proses Terjadinya Masalah


Menurut Tarwoto dan Wartonah (2000), penyebab kurang perawatan diri adalah kelelahan
fisik dan penurunan kesadaran. Menurut Depkes (2000), penyebab kurang perawatan diri
adalah:
1. Factor predisposisi
a. Perkembangan
Keluarga terlalu melindungi dan memanjakan klien sehingga perkembangan inisiatif
terganggu
b. Biologis
Penyakit kronis yang menyebabkan klien tidak mampu melakukan perawatan diri.
c. Kemampuan realitas turun
Klien dengan gangguan jiwa dengan kemampuan realitas yang kurang menyebabkan
ketidakpedulian dirinya dan lingkungan termasuk perawatan diri.
d. Sosial
Kurang dukungan dan latihan kemampuan perawatan diri lingkungannya.Situasi
lingkungan mempengaruhi latihan kemampuan dalam perawatandiri.
2. Faktor presipitasi
Yang merupakan faktor presiptasi deficit perawatan diri adalah kurang penurunan
motivasi, kerusakan kognisi atau perceptual, cemas, lelah/lemah yang dialami
individu sehingga menyebabkan individu kurang mampu melakukan perawatan diri.
Menurut Depkes (2000) Faktor – faktor yang mempengaruhi personal hygiene
adalah:
a. BodyImage
Gambaran individu terhadap dirinya sangat mempengaruhi kebersihan diri
misalnya dengan adanya perubahan fisik sehingga individu tidak peduli dengan
kebersihan dirinya.
b. Praktik Sosial
Pada anak – anak selalu dimanja dalam kebersihan diri, maka kemungkinan akan
terjadi perubahan pola personal hygiene.
c. Status SosialEkonomi
Personal hygiene memerlukan alat dan bahan seperti sabun, pasta gigi, sikat gigi,
shampo, alat mandi yang semuanya memerlukan uang untuk menyediakannya.
d. Pengetahuan
Pengetahuan personal hygiene sangat penting karena pengetahuan yang baik
dapat meningkatkan kesehatan. Misalnya pada pasien penderita diabetes mellitus
ia harus menjaga kebersihan kakinya.
e. Budaya
Di sebagian masyarakat jika individu sakit tertentu tidak boleh dimandikan.
f. Kebiasaan seseorang
Ada kebiasaan orang yang menggunakan produk tertentu dalam perawatan diri
seperti penggunaan sabun, sampo dan lain – lain.
g. Kondisi fisik atau psikis
Pada keadaan tertentu / sakit kemampuan untuk merawat diri berkurang dan
perlu bantuan untuk melakukannya
Dampak yang sering timbul pada maslah personal hygine
1.) Dampak fisik
Banyak gangguan kesehatan yang diderita seseorang karena tidak
terpeliharanya kebersihan perorangan dengan baik,gangguan fisik yang sering
terjadi adalah: gangguan intleglitas kulit, gangguan membrane mukosa mulut,
infeksi mata dan telinga dan gangguan fisik pada kuku
2.) Dampak psikososial
Masalah sosial yang berhubungan dengan personal hygine adalah gangguan
kebutuhan aman nyaman , kebutuhan cinta mencintai, kebutuhan harga diri,
aktualisasi diri dan gangguan interaksi sosial (Damaiyanti, 2012)

E. Mekanismekoping
Mekanisme koping berdasarkan penggolongan di bagi menjadi 2 yaitu:
1. Mekanisme koping adaptif
Mekanisme koping yang mendukung fungsi integrasi pertumbuhan belajar dan mencapai
tujuan.Kategori ini adalah klien bisa memenuhi kebutuhan perawatan diri secara
mandiri.
2. Mekanisme koping maladaptif
Mekanisme koping yang menghambat fungsi integrasi, memecah pertumbuhan,
menurunkan otonomi dan cenderung menguasai lingkungan. Kategorinya adalah tidak
mau merawat diri (Damaiyanti, 2012)

F. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan manurut herman (Ade, 2011) adalah sebagai berikut
1. Meningkatkan kesadaran dan kepercayaan diri
2. Membimbing dan menolong klien merawatdiri
3. Ciptakan lingkungan yangmendukung.

G. Prinsip Tindakan Keperawatan


1. Pasien mampu membersihkan diri secara mandiri
2. Pasien mampu berhias/berdandan secara baik
3. Mampu melakukan BAB/BAK secara mandiri

Asuhan Keperawatan Teoritis

A. Pengkajian
Kurangnya perawatan diri pada pasien dengan gangguan jiwa terjadiakibat adanya
perubahan proses pikir sehingga kemampuan untuk melakukanaktivitas perawatan diri
menurun. Defisit perawatan diri tampak dariketidakmampuan merawat kebersihan diri,
makan secara mandiri, berhias dirisecara mandiri, dan eliminasi/ toileting ( buang air besar/
buang air kecil) secaramandiri. (Keliat B. , 2011)
Untuk mengetahui apakah pasien mengalamimasalah defisit perawatandiri, maka tanda dan
gejala dapat diperoleh melalui observasi pada pasien yaitu :
1. Gangguan kebersihan diri, ditandai dengan rambut kotor,gigi kotor, kulit berdaki dan
berbau, kuku panjang dan kotor.
2. Ketidakmampuan berhias/ berdandan, ditandai dengan rambut acak-acakan, pakaian
kotor dan tidak rapi, pakaian tidak sesuai, pada pasien laki-laki tidak bercukur, pada
pasien perempuan tidak berdandan.
3. Ketidakmampuan makan secara mandiri, ditandai dengan ketidakmampuanmengambil
makan sendiri, makan berceceran, dan makan tidak padatempatnya.
4. Ketidakmampuan defekasi/ berkemih, secara mandiri, ditandai dengandefekasi/
berkemih tidak pada tempatnya, tidak membersihkan diri dengan baiksetelah defekasi/
berkemih.
5. Kelelahan fisik
6. Penurunan kesadaran
Menurut Depkes (2000), penyebab kurang perawatan diri adalah :
a. Faktor predisposisi
1.) Perkembangan : keluarga terlalu melindungi dan memanjakan klien sehingga
perkembangan inisiatif terganggu.
2.) Biologis : penyakit kronis yang menyebabkan klien tidak mampu melakukan
perawatan diri
3.) Kemampuan realitas turun : klien dengan gangguan jiwa dengan kemampuan
realitas yang kurang menyebabkan ketidakpedulian dirinya dan lingkungan
termasuk perawatan diri.
4.) Sosial : kurang dukungan dan latihan kemampuan perawatan diri
lingkungannya. Situasi lingkungan memepengaruhi latihan kemampuan dalam
Perawatan diri.
b. Faktor presipitasi
Adalah kurang penurunan motivasi, kurasakan kognitif atau perseptual, cemas,
lelah/lemah yang dialami individu sehinnga menyebabkan individu kurang
mampu melakukan perawatan diri. Menurut Depkes (2000) faktor-faktor yang
mempengaruhi personal hygiene adalah :
1) Body image : gambaran individu terhadap dirinya sangat mempengaruhi
kebersihan diri misalnya dengan adanya perubahan fisik sehingga individu
tidak peduli dengan kebersihan dirinya.
2) Praktik sosial : pada anak-anak selalu dimanja dalam kebersihan diri, maka
kemungkinan akan terjadi perubahan pola personal hygiene.
3) Status sosial ekonomi : personal hygiene memerlukan alat dan bahan seperti
sabun, pasta gigi, sikat gigi, shampo, alat mandi yang semuanya
memerlukan uang untuk menyediakannya.
4) Pengetahuan : pengetahuan personal hygiene sangat penting karena
pengetahuan yang baik dapat meningkatkan kesehatan. Misalnya pada
pasien penderita diatebes melitus ia harus menjaga kebersihan kakinya.
5) Budaya : disebagian masyarakat jika individu sakit tertentu tidak boleh
dimandikan
6) Kebiasaan seseorang : ada kebiasaan orang yang menggunakan produk
tertentu dalam perawatan diri seperti penggunaan sabun, sampo dan lain-lain
7) Kondisi fisik atau psikis : pada keadaan tertentu / sakit kemampuan untuk
merawat diri berkurang dan perlu bantuan untuk melakukannya.
Dampak yang sering timbul pada masalah personal hygiene :
1) Dampak fisik : banyak gangguan kesehatan yang diderita seseorang
karena tidak terpeliharanya kebersihan perorangan dengan baik,
gangguan fisik yang sering terjadi adalah : gangguan integritas kulit,
gangguan menbran mukosa mulut, infeksi pada mata dan telinga dan
gangguan fisik pada kuku
2) Dampak psikososial : masalah sosial yang berhubungan dengan
personal hygiene adalah gangguan kebutuhan rasa nyaman, kebutuhan
dicintai dan mencintai,kebutuhan harga diri, aktualsasi diri dan
gangguan interaksi sosial
B. Manifestasi Klnis
Menurut Depkes (2000) Tanda dan gejala klien dengan defisit perawatan diri adalah :
1. Fisik
a. Badan bau, pakaian kotor
b. Rambut dan kulit kotor
c. Kuku panjang dan kotor
d. Gigi kotor disertai mulut bau
e. Penampilan tidak rapi.
2. Psikologis
a. Malas, tidak ada insiatif
b. Menarik diri. Isolasi diri
c. Merasa tak berdaya, rendah diri dan merasa hina
3. Sosial
a. Interaksi kurang
b. Kegiatan kurang
c. Tidak mampu berperilaku sesuai norma
d. Cara makan tidak teratur BAK dan BAB disembarangan tempat, gosok gigi dan
mandi tidak mampu mandiri
C. Daftar Masalah
1. Gangguan pemeliharaan diri
2. Defisit perawatan diri
3. Gangguan proses pikir
D. Pohon Masalah
Gangguan pemeliharaan diri

Defisit perawatan diri

Gangguan proses pikir


E. Kemungkinan Masalah
Defisit perawatan diri

F. Rencana Keperawatan
Diagnosa : defisit perawatan diri
Tindakan untuk pasien
1. Tujuan: pasien mampu
a. Membina hubungan slaing percaya
b. Melakukan kebersihan diri secara mandiri
c. Melakukan berhias atau berdandan secara baik
d. Melakukan makan dengan baik
e. Melakukan BAB/BAK secara mandiri
2. Tindakan
a. Membina hubungan saling percaya dengan cara:
1.) Mengucapkan salam setiap kali berinteraksi
2.) Berkenalan dengan pasien
3.) Menanyakan perasaan dan keluhan pasien
4.) Buat kontrak asuhan
5.) Jelaskan bahwa perawat akan merahasiakan informasi yang diperoleh
6.) Tunjukkan sikap empati
7.) Penuhi kebutuhan dasar pasien bila memungkinkan
b. Melatih cara-cara perawatan kebersihan diiri
1.) Menjelaskan pentingnya menjaga kebersihan diri
2.) Menjelaskan alatalat untuk menjaga kebersihan diri
3.) Menjelaskan cara-cara melakukan kebersihan diri
4.) Melatih pasien mempraktikkan cara menjaga kebersihan diri
c. Melatih pasien berdandan/berhias
1.) Berpakaian
2.) Menyisir rambut
3.) Bercukur/ berhias
d. Melatih pasien makan/minum secara mandiri
1.) Menjelaskan kebutuhan makan dan minum
2.) Menjelaskan cara makan dan minum yang tertib
3.) Menjelaskan cara merapihkan peralatan makan dan minum setelah makan dan
minum
4.) Mempraktekkan makan sesuai dengan tahapan makan yang baik
5.) Mengajarkan pasien melakukan BAB/BAK secara mandiri
6.) Menjelaskan tempat BAB/ BAK yang sesuai
7.) Menjelaskan cara membersihkan diri setelah BAB/BAK
8.) Menjelaskan cara membersihkan tempat BAB/BAK
9.) Mempraktikkan BAB/BAK dengan baik
a.) SP 1 : pengkajian dan melatih cara menjaga kebersihan diri: mandi, cuci
rambut, sikat gigi, potong kuku
b.) SP 2 : melatih cara berdandan setelah kebersihan diri: sisiran, rias muka
untuk perempuan, sisiran, cukuran untuk pria
c.) SP 3 : melatih cara makan dan minum yang baik
d.) SP 4 : melatih BAB/BAK yang baik
Tindakan untuk keluarga
1. Mendiskusikan masalah yang dirasakan dalam merawat pasien defisit perawatan diri
2. Menjelaskan penegrtian, tanda dan gejala, dan proses terjadinya defisit perawatan diri
dan mengambil keputusan merawat pasien
3. Diskusikan dengan keluarga tentang fasilitas kebersihan diri yang dibutuhkan pasien
untuk menjaga perawatan diri pasien
4. Latih keluarga cara merawat dan membimbing kebersihan diri, berdandan, makan dan
minum, BAB/BAK paien
5. Melatih keluarga menciptakan suasana keluarga dan lingkungan yang mendukung
perawatan diri pasien
6. Mendiskusikan tanda dan gejala kekambuhan yang memerlukan rujukan segera ke
fasilitas kesehatan
7. Menganjurkan follow up ke fasilitas pelayanan kesehatan secara teratur
a. SP 1 : melatih cara merawat dan membimbing pasien: kebersihan diri
b. SP 2 : melatih cara merawat dan membimbing pasien: berdandan
c. SP 3 : membimbing keluarga merawat dan membimbing makan dan minum pasien
d. SP 4 : kebersihan merawat dan membimbing BAB dan BAK pasien. Follow up ke
PKM, tanda kambuh, rujukan.

G. Implementasi
Pada kasus nyata setelah dibuat rencana keperawatan sesuai dengan diagnosa, maka
intervensi yang dilakukan kepada kedua klien sama, yaitu: Memberikan health education
kepada kedua klien mengenai pentingnya menjaga kebersihan diri, cara-cara menjaga
kebersihan diri. Melatih kedua klien untuk mempraktikkan cara mejaga kebersihan diri
personal hygiene (mandi) dan membantu memasukkan jadual mandi kedalam kegiatan
harian klien.
Pada teori menyebutkan bahwa implementasi yang dilakukan pada klien dengan masalah
defisit perawatan diri yaitu: SP PasienMenjelaskan pentingnya kebersihan diri, menjelaskan
cara menjaga kebersihan diri, melatih klien cara kebersihan diri dan membimbing klien
memasukkan dalam jadual kegiatan harian. Pada tindakan keperawatan yang telah dilakukan
kepada kedua klien yaitu: Memberikan health education kepada kedua klien mengenai
pentingnya menjaga kebersihan diri, cara-cara menjaga kebersihan diri.
Melatih kedua klien untuk mempraktikkan cara mejaga kebersihan diri personal hygiene
(mandi) dan membantu memasukkan jadual mandikedalam kegiatan harian klien, sudah
sesuai dengan teori dan tidak ada kesenjangan .
H. Evaluasi
1. Pasien dapat menyebutkan
a. Penyebab tidak merawat diri
b. Manfaat menjaga perawatan diri
c. Tanda-tanda bersih dan rapi
d. Gangguan yang dialami jika perawatan diri tidak diperhatikan
2. Pasien dapat melaksanakan perawatan diri secara mandiri
Kebersihan diri
Berdandan
Makan / minum
3. BAB/BAKKeluarga memberikan dukungan dalam melakukan perawatan diri
a. Keluarga menyediakan alat-alat untuk perawatan diri
b. Keluarga ikut serta mendampingi pasien dalam perawatan diri
DAFTAR PUSTAKA

Damaiyanti.(2012). Asuhan keperawatan Jiwa.Bandung: PT Refika Aditama. Depkes, R. (2000).


Keperawatan Jiwa : Teori dan Tindakan keperawatan Jiwa.Jakarta: Depkes RI.

Herman ade. (2011). buku ajar asuhan keperawatan jiwa.yogyakarta: nuha medika.

Anda mungkin juga menyukai