LAPORAN PENDAHULUAN
Oleh
Oleh
A. Pengertian
Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan hilangnya kendali perilaku seseorang
yang diarahkan pada diri sendiri, orang lain atau lingkungan. Perilaku kekerasan
pada diri sendiri dapat berbentuk melukai diri untuk bunuh diri atau membiarkan
dalam bentuk penelantaran diri. Perilaku kekerasan pada orang adalah tindakan
agresif yang ditujukan untuk melukai atau membunuh orang lain. Perilaku kekerasan
pada lingkungan dapat berupa perilaku merusak lingkungan, melempar kaca, gunting
dan semua yang ada di lingkungan. Perilaku kekerasan merupakan bagian dari
rentang respon marah yang paling maladaptif (Yusuf, Ah., Fitryasari, R., & Nihayati,
H. E, 2015). Perilaku kekerasan atau tindak kekerasan merupakan ungkapan
perasaan marah dan bermusuhan yang mengakibatkan hilangnya kontrol diri dimana
individu bisa berperilaku menyerang atau melakukan suatu tindakan yang dapat
membahayakan diri sendiri, orang lain dan lingkungan (Fitria, 2010).
B. Etiologi
A. Faktor Predisposisi
Menurut Riyadi dan Purwanto ( 2009 ) faktor-faktor yang mendukung
terjadinya perilaku kekerasan adalah :
a. Faktor biologis
1) Intinctual drive theory (teori dorongan naluri)
Teori ini menyatakan bahwa perilaku kekerasan disebabkan oleh suatu
dorongan kebutuhan dasar yang kuat.
2) Psycomatic theory (teori psikomatik)
Pengalaman marah adalah akibat dari respon psikologis terhadap stimulus
eksternal, internal maupun lingkungan. Dalam hal ini sistem limbik
berperan sebagai pusat untuk mengekspresikan maupun menghambat rasa
marah.
b. Faktor psikologis
1) Frustasion aggresion theory ( teori argesif frustasi)
Menurut teori ini perilaku kekerasan terjadi sebagai hasil akumulasi
frustasi yang terjadi apabila keinginan individu untuk mencapai sesuatu
gagal atau terhambat. Keadaan tersebut dapat mendorong individu
berperilaku agresif karena perasaan frustasi akan berkurang melalui
perilaku kekerasan.
2) Behavioral theory (teori perilaku)
Kemarahan adalah proses belajar, hal ini dapat dicapai apabila tersedia
fasilitas atau situasi yang mendukung reinforcement yang diterima pada
saat melakukan kekerasan, sering mengobservasi kekerasan di rumah atau
di luar rumah. Semua aspek ini menstimulai individu mengadopsi
perilaku kekerasan.
c. Faktor sosio kultural
1) Social enviroment theory ( teori lingkungan )
Lingkungan sosial akan mempengaruhi sikap individu dalam
mengekspresikan marah. Budaya tertutup dan membalas secara diam (pasif
agresif) dan kontrol sosial yang tidak pasti terhadap perilaku kekerasan
akan menciptakan seolah-olah perilaku kekerasan diterima.
2) Social learning theory ( teori belajar sosial )
Perilaku kekerasan dapat dipelajari secara langsung maupun melalui
proses sosialisasi
B. Faktor Presipitasi
Stressor yang mencetuskan perilaku kekerasan bagi setiap individu bersifat
buruk. Stressor tersebut dapat disebabkan dari luar maupun dalam. Contoh
stressor yang berasal dari luar antara lain serangan fisik, kehilangan, kematian,
krisis dan lain-lain. Sedangkan dari dalam adalah putus hubungan dengan
seseorang yang berarti, kehilangan rasa cinta, ketakutan terhadap penyakit fisik,
hilang kontrol, menurunnya percaya diri dan lain-lain.Selain itu lingkungan yang
terlalu ribut, padat, kritikan yang mengarah pada penghinaan, tindakan kekerasan
dapat memicu perilaku kekerasan.
C. Manifestasi Klinis
Fisik : mata melotot/pandangan tajam, tangan mengepal, rahang mengatup, wajah
memerah dan tegang, serta postur tubuh kaku
Verbal : mengancam, mengumpat dengan kata-kata kotor, berbicara dengan nada
keras, kasar dan ketus
Perilaku : menyerang orang lain, melukai diri sendiri/orang lain, merusak lingkungan,
amuk/agresif
Emosi : tidak adekuat, tidak aman dan nyaman, merasa terganggu, dendam, jengkel,
tidak berdaya, bermusuhan, mengamuk, ingin berkelahi, menyalahkan dan menuntut
Intelektuan : mendominasi cerewet, kasar, berdebat, meremehkan, dan tidak jarang
mengeluarkan kata-kata bernada sarkasme
Spiritual : merasa diri berkuasa, merasa diri benar, keragu-raguan, tidak bermoral dan
kreativitas terhambat
Sosial : menarik diri, pengasingan, penolakan, kekerasan, ejekan dan sindiran
D. Mekanisme Koping
Mekanisme koping adalah tiap upaya yang diarahkan pada penatalaksanaan stress,
termasuk upaya penyelesaian masalah langsung dan mekanisme pertahanan yang
digunakan untuk melindungi diri. (Stuart dan Sundeen, 1998). Kemarahan
merupakan ekspresi dari rasa cemas yang timbul karena adanya ancaman. Beberapa
mekanisme koping yang dipakai pada klien marah untuk melindungi diri antara lain :
1. Sublimasi
Menerima suatu sasaran pengganti yang mulia artinya di mata masyarakat untuk
suatu dorongan yang mengalami hambatan penyalurannya secara normal.
Misalnya seseorang yang sedang marah melampiaskan kemarahannya pada
obyek lain seperti meremas adonan kue, meninju tembok dan sebagainya,
tujuannya adalah untuk mengurangi ketegangan akibat rasa marah.
2. Proyeksi
Menyalahkan orang lain mengenai kesukarannya atau keinginannya yang tidak
baik. Misalnya seseorang wanita muda yang menyangkal bahwa ia mempunyai
perasaan seksual terhadap rekan sekerjanya, berbalik menuduh bahwa temannya
tersebut mencoba merayu, mencumbunya.
3. Represi
Mencegah pikiran yang menyakitkan atau membahayakan masuk ke alam sadar.
Misalnya seseorang anak yang sangat benci pada orang tuanya yang tidak
disukainya. Akan tetapi menurut ajaran atau didikan yang diterimanya sejak kecil
bahwa membenci orang tua merupakan hal yang tidak baik dan dikutuk oleh
Tuhan, sehingga perasaan benci itu ditekannya dan akhirnya ia dapat
melupakannya.
4. Reaksi formasi
Mencegah keinginan yang berbahaya bila diekspresikan, dengan melebih-
lebihkan sikap dan perilaku yang berlawanan dan menggunakannya sebagai
rintangan. Misalnya seorang yang tertarik pada teman suaminya, akan
memperlakukan orang tersebut dengan kasar.
5. Displacement
Melepaskan perasaan yang tertekan biasanya bermusuhan, pada obyek yang tidak
begitu berbahaya seperti yang pada mulanya yang membangkitkan emosi itu.
Misalnya Timmy berusia 4 tahun marah karena ia baru saja mendapat hukuman
dari ibunya karena menggambar di dinding kamarnya. Dia mulai bermain perang-
perangan dengan temannya.
b. Diagnosa keperawatan
1) Risiko mencederai diri sendiri, orang lain, lingkungan.
2) Perilaku kekerasan.
c. Tindakan keperawatan
1) Tindakan keperawatan untuk pasien
Tujuan
- Pasien dapat mengidentifikasi penyebab perilaku kekerasan
- Pasien dapat mengidentifikasi tanda-tanda perilaku kekerasan
- Pasien dapat menyebutkan jenis perilaku kekerasan yang pernah dilakukannya
- Pasien dapat menyebutkan akibat dari perilaku kekerasan yang dilakukannya
- Pasien dapat menyebutkan cara mencegah/mengontrol perilaku kekerasannya
- Pasien dapat mencegah/mengontrol perilaku kekerasannya secara
fisik, spiritual, sosial, dan dengan terapi psikofarmaka.
Tindakan
- Bina hubungan saling percaya
Dalam membina hubungan saling percaya perlu dipertimbangkan
agar pasien merasa aman dan nyaman saat berinteraksi dengan
saudara.
- Diskusikan bersama pasien penyebab perilaku kekerasan saat ini
dan yang lalu
- Diskusikan perasaan pasien jika terjadi penyebab perilaku kekerasan
a. Diskusikan tanda dan gejala perilaku kekerasan secara fisik
b. Diskusikan tanda dan gejala perilaku kekerasan secara psikologis
c. Diskusikan tanda dan gejala perilaku kekerasan secara sosial
d. Diskusikan tanda dan gejala perilaku kekerasan secara spiritual
e. Diskusikan tanda dan gejala perilaku kekerasan secara intelektual
- Diskusikan bersama pasien perilaku kekerasan yang biasa
dilakukan pada saat marah secara:
a. Verbal
b. Terhadap orang lain
c. Terhadap diri sendiri
d. Terhadap lingkungan
- Diskusikan bersama pasien akibat perilakunya
- Diskusikan bersama pasien cara mengontrol perilaku kekerasan secara:
a. Fisik: pukul kasur dan batal, tarik nafas dalam
b. Obat
c. Sosial/verbal: menyatakan secara asertif rasa marahnya
d. Spiritual: sholat/berdoa sesuai keyakinan pasien
- Latih pasien mengontrol perilaku kekerasan secara fisik:
a. Latihan nafas dalam dan pukul kasur – bantal
b. Susun jadwal latihan dalam dan pukul kasur – bantal
- Latih mengontrol perilaku kekerasan dengan patuh minum obat:
a. Latih pasien minum obat secara teratur dengan prinsip lima
benar (benar nama pasien, benar nama obat, benar cara minum
obat, benar waktu minum obat, dan benar dosis obat) disertai
penjelasan guna obat dan akibat berhenti minum obat.
b. Susun jadwal minum obat secara teratur
- Latih pasien mengontrol perilaku kekerasan secara sosial/verbal:
a. Latih mengungkapkan rasa marah secara verbal: menolak
dengan baik, meminta dengan baik, mengungkapkan perasaan
dengan baik
b. Susun jadwal latihan mengungkapkan marah secara verbal.
- Latih mengontrol perilaku kekerasan secara spiritual:
a. Latih mengontrol marah secara spiritual: sholat, berdoa
b. Buat jadwal latihan sholat, berdoa
- Ikut sertakan pasien dalam Terapi Aktivitas Kelompok Stimulasi Persepsi mengontrol
perilaku kekerasan
Strategi Pelaksanaan
- SP 1 Pasien : Membina hubungan saling percaya, identifikasi penyebab perasaan
marah, tanda dan gejala yang dirasakan, perilaku kekerasan yang dilakukan, akibatnya
serta cara mengontrol secara fisik I dan fisik 2.
- SP 2 Pasien : Latihan mengontrol perilaku kekerasan dengan obat
- SP 3 Pasien : Latihan mengontrol perilaku kekerasan secara sosial/verbal:
- SP 4 Pasien : Latihan mengontrol perilaku kekerasan secara spiritual
Oleh
A. Pengertian
Halusinasi adalah gangguan persepsi sensori dari suatu obyek tanpa adanya
rangsangan dari luar, gangguan persepsi sensori ini meliputi seluruh panca indra.
Halusinasi merupakan salah satu gejala gangguan jiwa yang pasien mengalami
perubahan persepsi sensori serta merasakan sensasi palsu berupa suara,
penglihatan, pengecapan, perabaan atau penciuman (Yusuf, Ah., Fitryasari, R., &
Nihayati, H. E, 2015).
Halusinasi adalah salah satu gejala gangguan jiwa dimana klien mengalami
perubahan sensori persepsi, merasakan sensasi palsu berupa suara, penglihatan,
pengecapan, parabaan atau penghiduan. Klien merasakan stimulus yang sebetul-
betulnya tidak ada (Damaiyanti, 2012).
Halusinasi adalah hilangnya kemampuan manusia dalam membedakan
rangsangan internal (pikiran) dan rangsangan eksternal (dunia luar). Klien
memberi persepsi atau pendapat tentang lingkungan tanpa ada objek atau
rangsangan yang nyata. Sebagai contoh klien mengatakan mendengar suara
padahal tidak ada orang yang berbicara (Direja, 2011).
C. Etiologi
a. Faktor Predisposisi
- Faktor perkembangan
Hambatan perkembangan akan mengganggu hubungan interpersonal yang
dapat meningkatkan stress dan ansietas yang dapat berakhir dengan
gangguan persepsi. Pasien mungkin menekan perasaannya sehingga
pematangan fungsi intelektual dan emosi tidak efektif
- Faktor sosial budaya
Berbagai faktor di masyarakta yang membuat seseorang merasa
disingkirkan atau kesepian, selanjutnya tidak dapat diatasi sehingga
timbul akibat berat seperti delusi dan halusinasi
- Faktor psikologis
Hubungan interpersonal yang tidak harmonis, serta peran ganda atau
peran yang bertentangan dapat menimbulkan ansietas berat terakhir
dengan pengingkaran terhadap kenyataan sehingga terjadi halusinasi
- Faktor biologis
Struktur otak yang abnormal ditemukan pada pasien gangguan orientasi
realitas, serta dapat ditemukan atropik otak, pembesaran ventikal,
perubahan besar, serta bentuk sel kortikal dan limbic
- Faktor genetic
Gangguan orientasi realitas termasuk halusinasi umumnya ditemukan
pada psaien skizofrenia.
b. Faktor Presipitasi
- Stressor sosial budaya
Stress dan kecemasan akan meningkat bila terjadi peurunan stabilitas
keluarga, perpisahan dnegan orang yang penting, atau diasingkan dari
kelompok dapat menimbulkan halusinasi
- Faktor bokimia
Berbagai penelitian tentang dopamine, norepinetrin, indolamin serta zat
halusigenik diduga berkaitan dengan gangguan orientasi realitas termasuk
halusinasi
- Faktor psikologis
Intensitas kecemasan yang ekstrem dan memanjang disertai terbatasnya
kemampuan mengatasi masalah memungkinkan berkembangnya
gangguan orientasi realitas. Pasien mengembangkan koping untuk
menghindari kenyataan yang tidak menyenangkan
- Perilaku
Perilaku yang perlu dikaji pada pasien dengan gangguan orientasi realitas
berkaitan dengan perubahan proses piker, afektif persepsi motoric dan
sosial.
D. Klasifikasi Halusinasi
E. Penatalaksanaan Medis
Penatalaksanaan medis pada Halusinasi Penatalaksanaan pasien skizofrenia adalah
dengan pemberian obat-obatan dan tindakan lain, yaitu :
1) Psikofarmakologis Obat-obatan yang lazim digunakan pada gejala
halusinasi pendengaran yang merupakan gejala psikosis pada pasien
skizofrenia adalah obatobatan anti-psikosis.
2) Terapi kejang listrik atau Elektro Compulcive Therapy (ECT)
3) Terapi Aktivitas Kelompok (TAK)
F. Proses Keperawatan
a. Mengkaji Jenis Halusinasi
- Mengkaji Isi Halusinasi
- Mengkaji Waktu, Frekuensi, dan Situasi Munculnya Halusinasi
- Mengkaji Respon Terhadap Halusinasi
b. Strategi pelaksanaan pada pasien dengan halusinasi :
SP 1 pasien : membantu pasien mengenal halusinasi, menjelaskan cara-
cara mengontrol halusinasi, mengajarkan pasien mengontrol halusinasi
dengan cara pertama : menghardik halusinasi
SP 2 pasien : melatih pasien menggunakan obat secara teratur
SP 3 pasien : melatih pasien mengontrol halusinasi dengan cara ketiga:
bercakap-cakap dengan orang lain
SP 4 pasien : melatih pasien mengontrol halusinasi dengan cara keempat:
melaksanakan aktivitas terjadwal
c. Strategi pelaksanaan untuk keluarga pasien dengan halusinasi :
SP 1 Keluarga : Mengidentifikasi masalah yang dirasakan dalam
merawat klien halusinasi dan melatih keluarga cara membimbing pasien
mengontrol halusinasi dengan menghardik.
SP 2 Keluarga : Melatih keluarga cara membimbing pasien minum obat
secara teratur menggunakan prinsip 6 benar.
SP 3 Keluarga : Melatih keluarga membimbing klien mengontrol
halusinasi dengan cara bercakap-cakap
SP 4 Keluarga : Melatih keluarga cara membimbing pasien mengontrol
halusinasi dengan kegiatan harian dan menjelaskan cara follow up ke
RSJ/PKM, mengevaluasi tanda kambuh dan cara melakukan rujukan ke
RSJ/PKM
ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN GANGGUAN JIWA DENGAN
ISOLASI SOSIAL DI RUMAH SAKIT JIWA ACEH
Oleh
A. Pengertian
Isolasi sosial adalah kesendirian yang dialami oleh individu dan dianggap timbul
karena orang lain dan sebagai suatu keadaan negatif atau mengancam (NANDA I,
2018). Isolasi sosial juga disebutkan suatu keadaan kesepian yang dialami oleh
seseorang karena orang lain menyatakan sikap yang negatif dan mengancam
(Towsend, 1998). Isolasi sosial adalah keadaan di mana seorang individu mengalami
penurunan atau bahkan sama sekali tidak mampu berinteraksi dengan orang lain di
sekitarnya (Damaiyanti, 2008).
Data subjektif sukar didapat jika klien menolak berkomunikasi, beberapa data
subjektif adalah menjawab dengan singkat kata-kata “tidak”, “ya”, “tidak tahu”
F. Pengkajian
Data yang perlu dikaji :
a. Identitas klien
b. Keluhan utama
Tanyakan pada keluarga/klien hal yang menyebabkan klien dan keluarga datang
ke rumah sakit. Yang telah dilakukan keluarga untuk mengatasi masalah, dan
perkembangan yang dicapai.
c. Faktor predisposisi
Tanyakan pada klien/keluarga, apakah klien pernah mengalami gangguan jiwa
pada masa lalu, pernah melakukan atau mengalami penganiayaan fisik, seksual,
penolakan dari lingkungan, kekerasan dalam keluarga dan tindakan kriminal.
Dan pengkajiannya meliputi psikologis, biologis, dan sosial budaya. Aspek
fisik/biologis
d. Aspek psikososial: konsep diri.
e. Status mental
Nilai klien rapi atau tidak, amati pembicaraan klien, aktivitas motorik klien,
afek klien, interaksi selama wawancara, persepsi, proses pikir, isi pikir, tingkat
kesadaran, memori, tingkat konsentrasi, dan berhitung.
f. Kebutuhan persiapan pulang
g. Mekanisme koping
Malas beraktivitas, sulit percaya dengan orang lain dan asyik dengan stimulus
internal, menjelaskan suatu perubahan persepsi dengan mengalihkan tanggung
jawab kepada orang lain.
h. Masalah psikososial dan lingkungan
i. Pengetahuan
j. Aspek medik
G. Diagnosa Keperawatan
1. Isolasi sosial : menarik diri
2. Harga diri rendah
3. Ketidakefektifan koping
4. Hambatan komunikasi verbal
5. Hambatan interaksi sosial
Keluarga
1. SP1 Keluarga
a. Mendiskusikan masalah yang dirasakan keluarga dalam merawat pasien
b. Menjelaskan pengertian, tanda dan gejala isolasi sosial yang dialami
pasien beserta proses terjadinya
c. Menjelaskan cara-cara merawat pasien isolasi sosial
2. SP II Keluarga
a. Melatih keluarga mempraktekkan cara merawat pasien dengan isolasi
sosial
b. Melatih keluarga melakukan cara merawat langsung kepada pasien isolasi
sosial
3. SP III Keluarga
a. Menjelaskan tentang pemanfaatan lingkungan yang mendukung perawatan pasien
isolasi social.
4. SP IV Keluarga
a. Membantu keluarga membuat jadual aktivitas di rumah
termasuk minum obat (discharge planning)
b. Menjelaskan follow up pasien setelah pulang
ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN GANGGUAN JIWA DENGAN
WAHAM DI RUMAH SAKIT JIWA ACEH
Oleh
A. Pengertian
Waham adalah keyakinan seseorang yang berdasarkan penilaian realitas yang
salah. Keyakinan klien tidak konsisten dengan tingkat intelektual dan latar belakang
budaya klien. Waham dipengaruhi oleh faktor pertumbuhan dan perkembangan
seperti adanya penolakan, kekerasan, tidak ada kasih sayang, pertengkaran orang tua
dan aniaya.
Waham adalah gangguan isi pikiran berupa keyakinan yang menetap pada
pikiran seseorang tanpa mempertimbangkan dasar yang logis dan tidak ada bukti
untuk mendukung keyakinan tersebut. Waham cenderung tidak tergoyahkan pada diri
pemiliknya, sekalipun ia dihadapkan pada bukti yang bertentangan dengan
keyakinannya, waham adalah salah satu ciri utama skizofrenia (Nevid & Greene,
2005).
B. Etiologi
Faktor predisposisi yang mungkin mengakibatkan timbulnya waham adalah :
a. Biologis
Gangguan perkembangan dan fungsi otak / SSP, yang menimbulkan:
1) Hambatan perkembangan otak khususnya kortek prontal, temporal dan limbik.
2) Pertumbuhan dan perkembangan individu pada prenatal, perinatal, neonatus
dan kanak-kanak.
b. Psikososial
Keluarga, pengasuh dan lingkungan klien sangat mempengaruhi respon psikologis
dari klien. Sikap atau keadaan yang dapat mempengaruhi seperti penolakan dan
kekerasan.
c. Sosial Budaya
Kehidupan sosial budaya dapat pula mempengaruhi timbulnya waham seperti
kemiskinan. Konflik sosial budaya (peperangan, kerusuhan, kerawanan) serta
kehidupan yang terisolasi dan stress yang menumpuk. Faktor prespitasi yang
biasanya menimbulkan waham merupakan karakteristik umum latar belakang
termasuk riwayat penganiayaan fisik / emosional, perlakuan kekerasan dari orang
tua, tuntutan pendidikan yang perfeksionis, tekanan, isolasi, permusuhan, perasaan
tidak berguna ataupun tidak berdaya.
Menurut Azis (2003), tanda dan gejala yang dihasilkan atas penggolongan
waham, yaitu:
1) Klien mengungkapkan sesuatu yang diyakininya (tentang agama, kebesaran,
kecurigaan, keadaan dirinya berulang kali secara berlebihan tetapi tidak sesuai
kenyataan.
2) Klien tampak tidak mempunyai orang lain
3) Curiga
4) Bermusuhan
5) Merusak (diri, orang lain, lingkungan)
6) Takut, sangat waspada
7) Tidak tepat menilai lingkungan/ realitas
8) Ekspresi wajah tegang
9) Mudah tersinggung
F. Penatalaksanaan WAHAM
1. Psikofarmakologi
2. Pasien hiperaktif / agitasi anti psikotik low potensial
3. Penarikan diri high potensial
4. ECT tipe katatonik
5. Psikoterapi
6. Perilaku, terapi kelompok, terapi keluarga, terapi supportif
G. Pengkajian
a. Identitas klien; Keluhan utama; Faktor predisposisi; Aspek fisik/biologis; Aspek
psikososial; Status mental; Kebutuhan persiapan pulang; Mekanisme koping;
Masalah psikososial dan lingkungan; Pengetahuan; Aspek medik.
b. Data subjektif : Mudah lupa dan sulit konsentrasi, tidak mampu mengambil
keputusan, berpikir tidak realitis, pembicaraan sirkumstansial.
c. Data objektif : Bingung, inkoheren, flight of idea, sangat waspada, khawatir,
sedih berlebihan, atau gembira berlebihan, perubahan pola tidur, kehilangan
selera makan, wajah tegang, perilaku sesuai isi waham, banyak bicara,
menentang atau pemusuhan, hiperaktif, menarik iri, tidak bisa merawat diri.
H.Diagnosa Keperawatan
a. Waham
b. Hambatan komunikasi verbal
c. Resiko perilaku kekerasan
Keluarga
1) SP 1 Keluarga : Mengidentifikasi masalah keluarga dalam merawat klien
waham dan Menjelaskan cara merawat klien waham: tidak menyangkal, tidak
mendukung dan hadirkan realitas
2) SP 2 Keluarga : Melatih keluarga cara klien minum obat menggunakan prinsip 6
benar
3) SP 3 Keluarga : Melatih keluarga membantu memenuhi kebutuhan klien yang
tidak terpenuhi akibat waham dan kemampuan klien dalam memenuhi
kebutuhannya
4) SP 4 Keluarga: Melatih keluarga tentang kemampuan positif yang dimiliki klien
dan menjelaskan cara follow up ke RSJ/PKM, mengevaluasi tanda kambuh dan
cara melakukan rujukan ke RSJ/PKM
ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN GANGGUAN JIWA DENGAN
RESIKO BUNUH DIRI DI RUMAH SAKIT JIWA ACEH
Oleh
A. Pengertian
Risiko bunuh diri adalah rentan terhadap menyakiti diri sendiri dan cedera yang
mengancam jiwa (NANDA I, 2018). Bunuh diri adalah suatu keadaan dimana individu
mengalami risiko untuk menyakiti diri sendiri atau melakukan tindakan yang dapat
mengancam nyawa (Fitria, 2009). Pikiran bunuh diri biasanya muncul pada individu
yang mengalami gangguan mood, terutama depresi. Menurut Sheidman dalam
Videbeck (2008) mendefenisikan dua kategori bunuh diri, langsung dan tidak
langsung. Bunuh diri langsung adalah tindakan yang disadari dan disengaja untuk
mengakhiri hidup seperti membakar diri. Bunuh diri tidak langsung adalah keinginan
tersenbunyi yang tidak disadari untuk mati, yang ditandai dengan perilaku kronis
beresiko seperti penyalahgunaan zat, makana berlebihan dan sebagainya.
E. Etiologi
Predisposisi
1. Teori genetic
a. Genetik
Prilaku bunuh diri menurut shadock (2011) serta Varcarolis dan Hitler (2010)
merupakan sesuatu yang di turunkan dalam keluarga kembar monozigot
memiliki reriko dalam melakukan bunuh diri stuard (2011).
b. Hubungan neurokimia
Nourotransmiter adalah zat kimia dalam otak dari sel ke saraf , peningkatan
dan penurunan neuro transmiter mengakibatkan perubahan pada prilaku.
Neurotrasmiter yg yang di kaitkan dengan prilaku bunuh diri adalah
dopamine, neuroepineprin, asetilkolin, asam amino dan gaba (Stuard,
2011).
c. Diagnosis psikiatri
Lebih dari 90 % orang dewasa yg mengahiri hidupnya dengan bunuh diri
mengalami gangguan jiwa.
Gangguan jiwa yang beriko menimbulkan individu untuk bunuh diri adalah
gangguan modd , penyalah gunaan zat , skizofrenia , dan gangguan kecemasan
(Stuard, 2013).
2. Faktor psikologi
a. Kebencian terhadap diri sendiri
Bunuh diri merupakan hasil dari bentuk penyerangan ataw kemarahan
terhaapp orang lain yang tidsk di trima dan di mannifestasikan atau di
tunjuksn pada diri sendiri (Stuard dan videbeck, 2011).
b. Ciri kepribadian
Keempat aspek kepribadian yg terkait dengan peningkatan resiko bunuh diri
adalah permusuhan, impulsive, depresi dan putus asa (Stuard, 2013).
c. Teori psikodinamika
Menyatakan bahwa depresi kaarna kehilangan suatu yang di cintai, rasa
keputusasaan, kesepian dan kehilangan harga diri (Shadock, 2011).
Presipitasi
Faktor pencetus seseorang melakukan percobaan bunuh diri adalah:
1. Perasaan terisolasi dapat terjadi karena kehilangan hubungan
interpersonal/gagal melakukan hubungan yang berarti.
2. Kegagalan beradaptasi sehingga tidak dapat menghadapi stres.
3. Perasaan marah/bermusuhan, bunuh diri dapat merupakan hukuman pada diri
sendiri.
4. Cara untuk mengakhiri keputusan.
F. Diagnosis Keperawatan
Diagnosis Keperawatan yang mungkin muncul pada perilaku percobaan bunuh diri:
a. Resiko bunuh diri.
b. Harga diri rendah
c. Koping yang tak efektif.
d. SP IV
1. Membuat rencana masa depan yang realistis bersama pasien
2. Mengidentifikasi cara mencapai rencana masa depan yang realistis
3. Memberi dorongan pasien melakukan kegiatan dalam rangka meraih masa
depan yang realistis.
Keluarga
Strategi Pelaksana kepada Keluarga :
1. SP I : Mendiskuskan masalah yang dirasakan keluarga dalam merawat pasien,
menjelaskan pengertian, tanda gejala dan jenis perilaku bunuh diri beserta
contohnya.
2. SP II : Melatih keluarga mempraktekkan cara merawat pasien dengan risiko
bunuh diri.
3. SP III : Membantu keluarga membuat jadwal aktivitas dan minum obat.
ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN GANGGUAN JIWA DENGAN
HARGA DIRI RENDAH DI RUMAH SAKIT JIWA ACEH
Oleh
A. Pengertian
Harga diri rendah adalah evaluasi diri dan perasaan tentang diri atau
kemampuan diri yang negatif yang dapat secara langsung atau tidak langsung
diekspresikan. Harga diri rendah adalah penilaian negatif seseorang terhadap diri
dan kemampuan, yang diekspresikan secara langsung maupun tidak langsung.
Harga diri rendah adalah perasaan tidak berharga, tidak berarti dan rendah diri
yang berkepanjangan akibat evaluasi yang negatif terhadap diri sendiri atau
kemampuan diri. Adanya perasaan hilang kepercayaan diri, merasa gagal karena
tidak mampu mencapai keinginan sesuai idela diri (Yosep, 2010).
E. Diagnosa Keperawatan
1. Harga diri rendah kronik
2. Harga diri rendah situasional
3. Ketidakefektifan koping
4. Hambatan interaksi sosial
SP II
a. Memvalidasi masalah dan latihan sebelumnya.
b. Melatih kegiatan kedua (atau selanjutnya) yang dipilih sesuai kemampuan
c. Membimbing pasien memasukkan dalam jadwal kegiatan harian.
SP III
a. Memvalidasi masalah dan latihan sebelumnya.
b. Melatih kegiatan ketiga (atau selanjutnya) yang dipilih sesuai kemampuan
c. Membimbing pasien memasukkan dalam jadwal kegiatan harian.
SP IV
a. Memvalidasi masalah dan latihan sebelumnya
b. Melatih kemampuan kegiatan keempat yang dipilih
c. Latih kemampuan pertama hingga keempat masing-masing 2 x sehari.
Keluarga
SP1
a. Mendiskusikan masalah yang dirasakan keluarga dalam merawat pasien
b. Menjelaskan pengertian, tanda dan gejala harga diri rendah yang dialami
pasien beserta proses terjadinya
c. Menjelaskan cara-cara merawat pasien harga diri rendah
SP II
a. Melatih keluarga mempraktekkan cara merawat pasien dengan harga diri
rendah
b. Melatih keluarga melakukan cara merawat langsung kepada pasien harga
diri rendah
SP III
a. Membantu keluarga membuat jadual aktivitas di rumah termasuk minum
obat (discharge planning)
b. Menjelaskan follow up pasien setelah pulang.
SP IV
a. Melatih keluarga menciptakan suasana keluarga yang mendukung
b. Menjelaskan cara followup ke PSJ/PKM, mengevaluasi tanda kambuh dan
melakukan rujukan ke RSJ/PKM
ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN GANGGUAN JIWA DENGAN
DEFISIT PERAWATAN DIRI DI RUMAH SAKIT JIWA ACEH
Oleh
A. Pengertian
Perawatan diri adalah salah satu kemampuan dasar manusia dalam memenuhi
kebutuhannya guna memepertahankan kehidupannya, kesehatan dan kesejahteraan
sesuai dengan kondisi kesehatannya, klien dinyatakan terganggu keperawatan
dirinya jika tidak dapat melakukan perawatan diri ( Depkes 2014).
Defisit perawatan diri adalah gangguan kemampuan untuk melakukan aktifitas
perawatan diri (mandi, berhias, makan, toileting) (Nurjannah, 2014).
Menurut Poter. Perry (2005), Personal hygiene adalah suatu tindakan untuk
memelihara kebersihan dan kesehatan seseorang untuk kesejahteraan fisik dan
psikis, kurang perawatan diri adalah kondisi dimana seseorang tidak mampu
melakukan perawatan kebersihan untuk dirinya.
E. Mekanisme Koping
1. Regresi
2. Penyangkalan
3. Isolasi, menarik diri
4. Intelektualisasi
F. Penatalaksanaan
Asuhan yang dapat dilakukan keluarga bagi klien yang tidak dapat
merawatdiri sendiri adalah :
1. Meningkatkan kesadaran dan kepercayaan diri
a. Bina hubungan saling percaya.
b. Bicarakan tentang pentingnya kebersihan.
c. Kuatkan kemampuan klien merawat diri.
2. Membimbing dan menolong klien merawat diri.
a. Bantu klien merawat diri
b. Ajarkan ketrampilan secara bertahap
c. Buatkan jadwal kegiatan setiap hari
3. Ciptakan lingkungan yang mendukung
a. Sediakan perlengkapan yang diperlukan untuk mandi.
b. Dekatkan peralatan mandi biar mudah dijangkau oleh klien.
c. Sediakan lingkungan yang aman dan nyaman bagi klien misalnya,
kamar mandi yang dekat dan tertutup.
G. Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian Keperawatan
a. Data Subjektif:
Klien mengatakan malas mandi, tak mau menyisir rambut, tak mau
menggosok gigi, tak mau memotong kuku, tak mau berhias, tak bisa
menggunakan alat mandi / kebersihan diri.
b. Data Obyektif:
Badan bau, pakaian kotor, rambut dan kulit kotor, kuku panjang dan
kotor, gigi kotor, mulut bau, penampilan tidak rapih, tak bisa
menggunakan alat mandi.
2. Diagnosia Keperawatan
a. Defisit perawatan diri
b. Penurunan kemampuan dan motivasi merawat diri
3. Rencana Keperawatan
a. Tujuan tindakan keperawatan pada pasien dengan defisit perawatan diri :
1) Pasien mampu melakukan kebersihan diri secara mandiri
2) Pasien mampu melakukan berhias/berdandan secara baik
3) Pasien mampu melakukan makan dengan baik
4) Pasien mampu melakukan BAB/BAK secara mandiri