Anda di halaman 1dari 52

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN GANGGUAN JIWA

DI RUMAH SAKIT JIWA ACEH

LAPORAN PENDAHULUAN

Diajukan Sebagai Syarat Praktik Stase Keperawatan Jiwa


Pada Program Studi Profesi Ners

Oleh

Aina Hariana, S.Kep


2112501010006

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


FAKULTAS KEPERAWATAN UNIVERSITAS SYIAH KUALA
DARUSSALAM - BANDA ACEH
TAHUN 2021
ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN GANGGUAN JIWA DENGAN
PERILAKU KEKERASAN DI RUMAH SAKIT JIWA ACEH

Oleh

Aina Hariana, S.Kep


2112501010006

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


FAKULTAS KEPERAWATAN UNIVERSITAS SYIAH KUALA
DARUSSALAM - BANDA ACEH
TAHUN 2021
LAPORAN PENDAHULUAN
PERILAKU KEKERASAN

A. Pengertian
Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan hilangnya kendali perilaku seseorang
yang diarahkan pada diri sendiri, orang lain atau lingkungan. Perilaku kekerasan
pada diri sendiri dapat berbentuk melukai diri untuk bunuh diri atau membiarkan
dalam bentuk penelantaran diri. Perilaku kekerasan pada orang adalah tindakan
agresif yang ditujukan untuk melukai atau membunuh orang lain. Perilaku kekerasan
pada lingkungan dapat berupa perilaku merusak lingkungan, melempar kaca, gunting
dan semua yang ada di lingkungan. Perilaku kekerasan merupakan bagian dari
rentang respon marah yang paling maladaptif (Yusuf, Ah., Fitryasari, R., & Nihayati,
H. E, 2015). Perilaku kekerasan atau tindak kekerasan merupakan ungkapan
perasaan marah dan bermusuhan yang mengakibatkan hilangnya kontrol diri dimana
individu bisa berperilaku menyerang atau melakukan suatu tindakan yang dapat
membahayakan diri sendiri, orang lain dan lingkungan (Fitria, 2010).

B. Etiologi
A. Faktor Predisposisi
Menurut Riyadi dan Purwanto ( 2009 ) faktor-faktor yang mendukung
terjadinya perilaku kekerasan adalah :
a. Faktor biologis
1) Intinctual drive theory (teori dorongan naluri)
Teori ini menyatakan bahwa perilaku kekerasan disebabkan oleh suatu
dorongan kebutuhan dasar yang kuat.
2) Psycomatic theory (teori psikomatik)
Pengalaman marah adalah akibat dari respon psikologis terhadap stimulus
eksternal, internal maupun lingkungan. Dalam hal ini sistem limbik
berperan sebagai pusat untuk mengekspresikan maupun menghambat rasa
marah.
b. Faktor psikologis
1) Frustasion aggresion theory ( teori argesif frustasi)
Menurut teori ini perilaku kekerasan terjadi sebagai hasil akumulasi
frustasi yang terjadi apabila keinginan individu untuk mencapai sesuatu
gagal atau terhambat. Keadaan tersebut dapat mendorong individu
berperilaku agresif karena perasaan frustasi akan berkurang melalui
perilaku kekerasan.
2) Behavioral theory (teori perilaku)
Kemarahan adalah proses belajar, hal ini dapat dicapai apabila tersedia
fasilitas atau situasi yang mendukung reinforcement yang diterima pada
saat melakukan kekerasan, sering mengobservasi kekerasan di rumah atau
di luar rumah. Semua aspek ini menstimulai individu mengadopsi
perilaku kekerasan.
c. Faktor sosio kultural
1) Social enviroment theory ( teori lingkungan )
Lingkungan sosial akan mempengaruhi sikap individu dalam
mengekspresikan marah. Budaya tertutup dan membalas secara diam (pasif
agresif) dan kontrol sosial yang tidak pasti terhadap perilaku kekerasan
akan menciptakan seolah-olah perilaku kekerasan diterima.
2) Social learning theory ( teori belajar sosial )
Perilaku kekerasan dapat dipelajari secara langsung maupun melalui
proses sosialisasi

B. Faktor Presipitasi
Stressor yang mencetuskan perilaku kekerasan bagi setiap individu bersifat
buruk. Stressor tersebut dapat disebabkan dari luar maupun dalam. Contoh
stressor yang berasal dari luar antara lain serangan fisik, kehilangan, kematian,
krisis dan lain-lain. Sedangkan dari dalam adalah putus hubungan dengan
seseorang yang berarti, kehilangan rasa cinta, ketakutan terhadap penyakit fisik,
hilang kontrol, menurunnya percaya diri dan lain-lain.Selain itu lingkungan yang
terlalu ribut, padat, kritikan yang mengarah pada penghinaan, tindakan kekerasan
dapat memicu perilaku kekerasan.

C. Manifestasi Klinis
 Fisik : mata melotot/pandangan tajam, tangan mengepal, rahang mengatup, wajah
memerah dan tegang, serta postur tubuh kaku
 Verbal : mengancam, mengumpat dengan kata-kata kotor, berbicara dengan nada
keras, kasar dan ketus
 Perilaku : menyerang orang lain, melukai diri sendiri/orang lain, merusak lingkungan,
amuk/agresif
 Emosi : tidak adekuat, tidak aman dan nyaman, merasa terganggu, dendam, jengkel,
tidak berdaya, bermusuhan, mengamuk, ingin berkelahi, menyalahkan dan menuntut
 Intelektuan : mendominasi cerewet, kasar, berdebat, meremehkan, dan tidak jarang
mengeluarkan kata-kata bernada sarkasme
 Spiritual : merasa diri berkuasa, merasa diri benar, keragu-raguan, tidak bermoral dan
kreativitas terhambat
 Sosial : menarik diri, pengasingan, penolakan, kekerasan, ejekan dan sindiran

D. Mekanisme Koping
Mekanisme koping adalah tiap upaya yang diarahkan pada penatalaksanaan stress,
termasuk upaya penyelesaian masalah langsung dan mekanisme pertahanan yang
digunakan untuk melindungi diri. (Stuart dan Sundeen, 1998). Kemarahan
merupakan ekspresi dari rasa cemas yang timbul karena adanya ancaman. Beberapa
mekanisme koping yang dipakai pada klien marah untuk melindungi diri antara lain :
1. Sublimasi
Menerima suatu sasaran pengganti yang mulia artinya di mata masyarakat untuk
suatu dorongan yang mengalami hambatan penyalurannya secara normal.
Misalnya seseorang yang sedang marah melampiaskan kemarahannya pada
obyek lain seperti meremas adonan kue, meninju tembok dan sebagainya,
tujuannya adalah untuk mengurangi ketegangan akibat rasa marah.
2. Proyeksi
Menyalahkan orang lain mengenai kesukarannya atau keinginannya yang tidak
baik. Misalnya seseorang wanita muda yang menyangkal bahwa ia mempunyai
perasaan seksual terhadap rekan sekerjanya, berbalik menuduh bahwa temannya
tersebut mencoba merayu, mencumbunya.
3. Represi
Mencegah pikiran yang menyakitkan atau membahayakan masuk ke alam sadar.
Misalnya seseorang anak yang sangat benci pada orang tuanya yang tidak
disukainya. Akan tetapi menurut ajaran atau didikan yang diterimanya sejak kecil
bahwa membenci orang tua merupakan hal yang tidak baik dan dikutuk oleh
Tuhan, sehingga perasaan benci itu ditekannya dan akhirnya ia dapat
melupakannya.
4. Reaksi formasi
Mencegah keinginan yang berbahaya bila diekspresikan, dengan melebih-
lebihkan sikap dan perilaku yang berlawanan dan menggunakannya sebagai
rintangan. Misalnya seorang yang tertarik pada teman suaminya, akan
memperlakukan orang tersebut dengan kasar.
5. Displacement
Melepaskan perasaan yang tertekan biasanya bermusuhan, pada obyek yang tidak
begitu berbahaya seperti yang pada mulanya yang membangkitkan emosi itu.
Misalnya Timmy berusia 4 tahun marah karena ia baru saja mendapat hukuman
dari ibunya karena menggambar di dinding kamarnya. Dia mulai bermain perang-
perangan dengan temannya.

E. Asuhan Keperawatan Perilaku Kekerasan


a. Pengkajian
Pengkajian merupakan langkah awal dan dasar utama dari proses keperawatan.
Tahap pengkajian terdiri dari pengumpulan data, klasifikasi data, analisa data, dan
perumusan masalah atau kebutuhan klien atau diagnosa keperawatan.
1) Pengumpulan Data
a) Identitas klien
Meliputi nama klien, umur, jenis kelamin, status perkawinan, agama,
tanggal MRS (masuk rumah sakit), informan, tanggal pengkajian, No
Rumah Sakit dan alamat klien.
b) Keluhan utama
c) Faktor predisposisi
Tanyakan pada klien/keluarga, apakah klien pernah mengalami gangguan
jiwa pada masa lalu, pernah melakukan atau mengalami penganiayaan
fisik, seksual, penolakan dari lingkungan, kekerasan dalam keluarga dan
tindakan kriminal.
d) Aspek biologis
Respons fisiologis timbul karena kegiatan system saraf otonom bereaksi
terhadap sekresi epineprin sehingga tekanan darah meningkat, takikardi,
muka merah, pupil melebar, pengeluaran urine meningkat. Ada gejala yang
sama dengan kecemasan seperti meningkatnya kewaspadaan, ketegangan
otot seperti rahang terkatup, tangan dikepal, tubuh kaku, dan refleks cepat.
Hal ini disebabkan oleh energi yang dikeluarkan saat marah bertambah.
e) Aspek emosional
Individu yang marah merasa tidak nyaman, merasa tidak berdaya,
jengkel, frustasi, dendam, ingin memukul orang lain, mengamuk,
bermusuhan dan sakit hati, menyalahkan dan menuntut.
f) Aspek intelektual
Sebagian besar pengalaman hidup individu didapatkan melalui proses
intelektual, peran panca indra sangat penting untuk beradaptasi dengan
lingkungan yang selanjutnya diolah dalam proses intelektual sebagai
suatu pengalaman. Perawat perlu mengkaji cara klien marah,
mengidentifikasi penyebab kemarahan, bagaimana informasi diproses,
diklarifikasi, dan diintegrasikan.
g) Aspek sosial
Meliputi interaksi sosial, budaya, konsep rasa percaya dan
ketergantungan. Emosi marah sering merangsang kemarahan orang lain.
Klien seringkali menyalurkan kemarahan dengan mengkritik tingkah laku
yang lain sehingga orang lain merasa sakit hati dengan mengucapkan
kata-kata kasar yang berlebihan disertai suara keras. Proses tersebut dapat
mengasingkan individu sendiri, menjauhkan diri dari orang lain, menolak
mengikuti aturan.
h) Aspek spiritual
Kepercayaan, nilai dan moral mempengaruhi hubungan individu dengan
lingkungan. Hal yang bertentangan dengan norma yang dimiliki dapat
menimbulkan kemarahan yang dimanifestasikan dengan amoral dan rasa
tidak berdosa.
i) Aspek psikososial
1) Genogram yang menggambarkan tiga generasi
2) Konsep diri
3) Hubungan social dengan orang lain yang terdekat dalam kehidupan,
kelompok, yang diikuti dalam masyarakat
4) Spiritual, mengenai nilai dan keyakinan dan kegiatan ibadah
j) Status mental
Nilai klien rapi atau tidak, amati pembicaraan klien, aktivitas motorik
klien, afek klien, interaksi selama wawancara, persepsi, proses pikir, isi
pikir, tingkat kesadaran, memori, tingkat konsentrasi, dan berhitung.
k) Kebutuhan persiapan pulang
l) Aspek medik
Diagnosa medis yang telah dirumuskan dokter, therapy farmakologi,
psikomotor, okopasional, TAK dan rehabilitas.

b. Diagnosa keperawatan
1) Risiko mencederai diri sendiri, orang lain, lingkungan.
2) Perilaku kekerasan.

c. Tindakan keperawatan
1) Tindakan keperawatan untuk pasien
 Tujuan
- Pasien dapat mengidentifikasi penyebab perilaku kekerasan
- Pasien dapat mengidentifikasi tanda-tanda perilaku kekerasan
- Pasien dapat menyebutkan jenis perilaku kekerasan yang pernah dilakukannya
- Pasien dapat menyebutkan akibat dari perilaku kekerasan yang dilakukannya
- Pasien dapat menyebutkan cara mencegah/mengontrol perilaku kekerasannya
- Pasien dapat mencegah/mengontrol perilaku kekerasannya secara
fisik, spiritual, sosial, dan dengan terapi psikofarmaka.
 Tindakan
- Bina hubungan saling percaya
Dalam membina hubungan saling percaya perlu dipertimbangkan
agar pasien merasa aman dan nyaman saat berinteraksi dengan
saudara.
- Diskusikan bersama pasien penyebab perilaku kekerasan saat ini
dan yang lalu
- Diskusikan perasaan pasien jika terjadi penyebab perilaku kekerasan
a. Diskusikan tanda dan gejala perilaku kekerasan secara fisik
b. Diskusikan tanda dan gejala perilaku kekerasan secara psikologis
c. Diskusikan tanda dan gejala perilaku kekerasan secara sosial
d. Diskusikan tanda dan gejala perilaku kekerasan secara spiritual
e. Diskusikan tanda dan gejala perilaku kekerasan secara intelektual
- Diskusikan bersama pasien perilaku kekerasan yang biasa
dilakukan pada saat marah secara:
a. Verbal
b. Terhadap orang lain
c. Terhadap diri sendiri
d. Terhadap lingkungan
- Diskusikan bersama pasien akibat perilakunya
- Diskusikan bersama pasien cara mengontrol perilaku kekerasan secara:
a. Fisik: pukul kasur dan batal, tarik nafas dalam
b. Obat
c. Sosial/verbal: menyatakan secara asertif rasa marahnya
d. Spiritual: sholat/berdoa sesuai keyakinan pasien
- Latih pasien mengontrol perilaku kekerasan secara fisik:
a. Latihan nafas dalam dan pukul kasur – bantal
b. Susun jadwal latihan dalam dan pukul kasur – bantal
- Latih mengontrol perilaku kekerasan dengan patuh minum obat:
a. Latih pasien minum obat secara teratur dengan prinsip lima
benar (benar nama pasien, benar nama obat, benar cara minum
obat, benar waktu minum obat, dan benar dosis obat) disertai
penjelasan guna obat dan akibat berhenti minum obat.
b. Susun jadwal minum obat secara teratur
- Latih pasien mengontrol perilaku kekerasan secara sosial/verbal:
a. Latih mengungkapkan rasa marah secara verbal: menolak
dengan baik, meminta dengan baik, mengungkapkan perasaan
dengan baik
b. Susun jadwal latihan mengungkapkan marah secara verbal.
- Latih mengontrol perilaku kekerasan secara spiritual:
a. Latih mengontrol marah secara spiritual: sholat, berdoa
b. Buat jadwal latihan sholat, berdoa
- Ikut sertakan pasien dalam Terapi Aktivitas Kelompok Stimulasi Persepsi mengontrol
perilaku kekerasan
 Strategi Pelaksanaan
- SP 1 Pasien : Membina hubungan saling percaya, identifikasi penyebab perasaan
marah, tanda dan gejala yang dirasakan, perilaku kekerasan yang dilakukan, akibatnya
serta cara mengontrol secara fisik I dan fisik 2.
- SP 2 Pasien : Latihan mengontrol perilaku kekerasan dengan obat
- SP 3 Pasien : Latihan mengontrol perilaku kekerasan secara sosial/verbal:
- SP 4 Pasien : Latihan mengontrol perilaku kekerasan secara spiritual

2) Tindakan keperawatan untuk keluarga


 Tujuan
a. Keluarga mampu mengenal masalah resiko perilaku kekerasan
b. Keluarga mampu mengambil keputusan untuk merawat klien resiko
perilaku kekerasan
c. Keluarga mampu merawat klien resiko perilaku kekerasan
d. Keluarga mampu menciptakan lingkungan yang terapeutik untuk
klien resiko perilaku kekerasan
e. Keluarga mampu memanfaatkan pelayanan kesehatan untuk follow
up kesehatan klien resiko perilaku kekerasan dan mencegah
kekambuhan
 Tindakan
- Menjelaskan masalah resiko perilaku kekerasan
- Mendiskusikan masalah dan akibat yang mungkin terjadi pada klien resiko perilaku
kekerasan
- Menjelaskan dan melatih keluarga cara merawat klien resiko perilaku kekerasan
- Menjelaskan dan melatih keluarga menciptakan lingkungan yang terapeutik bagi
klien resiko perilaku kekerasan
- Menjelaskan cara memanfaatkan fasilitas pelayanan kesehatan
untuk follow up, cara rujukan kesehatan klien dan mencegah
kekambuhan
 Strategi Pelaksanaan
- SP 1 Keluarga: Mengidentifikasi masalah keluarga dalam merawat klien
perilaku kekerasan dan melatih cara mengontrol perilaku kekerasan
dengan cara fisik 1 & 2
- SP 2 Keluarga: Melatih keluarga cara mengontrol perilaku kekerasan
dengan minum obat secara teratur menggunakan prinsip 5 benar.
- SP 3 Keluarga: Melatih keluarga latihan secara verbal/bicara baik-baik

- SP 4 Keluarga : Melatih keluarga cara mengontol perilaku kekerasan


dengan latihan spiritual
ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN GANGGUAN JIWA DENGAN
HALUSINASI DI RUMAH SAKIT JIWA ACEH

Oleh

Aina Hariana, S.Kep


2112501010006

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


FAKULTAS KEPERAWATAN UNIVERSITAS SYIAH KUALA
DARUSSALAM - BANDA ACEH
TAHUN 2021
LAPORAN PEDAHULUAN
HALUSINASI

A. Pengertian
Halusinasi adalah gangguan persepsi sensori dari suatu obyek tanpa adanya
rangsangan dari luar, gangguan persepsi sensori ini meliputi seluruh panca indra.
Halusinasi merupakan salah satu gejala gangguan jiwa yang pasien mengalami
perubahan persepsi sensori serta merasakan sensasi palsu berupa suara,
penglihatan, pengecapan, perabaan atau penciuman (Yusuf, Ah., Fitryasari, R., &
Nihayati, H. E, 2015).
Halusinasi adalah salah satu gejala gangguan jiwa dimana klien mengalami
perubahan sensori persepsi, merasakan sensasi palsu berupa suara, penglihatan,
pengecapan, parabaan atau penghiduan. Klien merasakan stimulus yang sebetul-
betulnya tidak ada (Damaiyanti, 2012).
Halusinasi adalah hilangnya kemampuan manusia dalam membedakan
rangsangan internal (pikiran) dan rangsangan eksternal (dunia luar). Klien
memberi persepsi atau pendapat tentang lingkungan tanpa ada objek atau
rangsangan yang nyata. Sebagai contoh klien mengatakan mendengar suara
padahal tidak ada orang yang berbicara (Direja, 2011).

B. Jenis – Jenis halusinasi


Menurut Yosep (2007), ada 8 jenis halusinasi yaitu : 
1. Halusinasi Pendengaran (Auditif, Akustik)
Paling sering dijumpai dapat berupa bunyi mendering atau suara bising yang
tidak mempunyai arti, tetapi lebih sering terdengar sebagai sebuah kata atau
kalimat yang bermakna. Biasanya suara tersebut ditujukan kepada penderita
sehingga tidak jarang penderita bertengkar atau berdebat dengan suara-suara
tersebut.
2. Halusinasi Penglihatan (Visual, Optik) 
Lebih sering terjadi pada keadaan delirium (penyakit organik). Biasanya sering
muncul bersamaan dengan penurunan kesadaran, menimbulkan rasa takut
akibat gambaran-gambaran yang mengerikan.
3. Halusinasi Penciuman (Olfaktorik)
Halusinasi ini biasanya berupa mencium sesuatu bau tertentu dan dirasakan
tidak enak, melambangkan rasa bersalah pada penderita. Bau dilambangkan
sebagai pengalaman yang dianggap penderita sebagai kombinasi moral
4. Halusinasi Pengecapan (Gustatorik)
Walaupun jarang terjadi, biasanya bersamaan dengan halusinasi penciuman.
Penderita merasa mengecap sesuatu.
5. Halusinasi Perabaan (Taktil)
Merasa diraba, disentuh, ditiup atau seperti ada ulat yang bergerak di bawah
kulit.
6. Halusinasi Seksual, ini termasuk halusinasi raba
Penderita merasa diraba dan diperkosa sering pada skizofrenia dengan waham
kebesaran terutama mengenai organ-organ.
7. Halusinasi kinesthetik
Penderita merasa badannya bergerak-gerak dalam suatu ruang atau anggota
badannya bergerak-gerak. Misalna “phantom phenomenom” atau tungkai yang
diamputasi selalu bergerak-gerak (phantom limb).
8. Halusinasi visceral
a. Depersonalisasi adalah perasaan aneh pada dirinya bahwa pribadinya sudah
tidak seperti biasanya lagi serta tidak sesuai dengan kenyataan yang ada.
b. Direalisasi adalah suatu perasaan aneh tentang lingkungannya yang tidak
sesuai dengan kenyataan. Misalnya perasaan segala sesuatu yang dialaminya
seperti impian.

C. Etiologi
a. Faktor Predisposisi
- Faktor perkembangan
Hambatan perkembangan akan mengganggu hubungan interpersonal yang
dapat meningkatkan stress dan ansietas yang dapat berakhir dengan
gangguan persepsi. Pasien mungkin menekan perasaannya sehingga
pematangan fungsi intelektual dan emosi tidak efektif
- Faktor sosial budaya
Berbagai faktor di masyarakta yang membuat seseorang merasa
disingkirkan atau kesepian, selanjutnya tidak dapat diatasi sehingga
timbul akibat berat seperti delusi dan halusinasi
- Faktor psikologis
Hubungan interpersonal yang tidak harmonis, serta peran ganda atau
peran yang bertentangan dapat menimbulkan ansietas berat terakhir
dengan pengingkaran terhadap kenyataan sehingga terjadi halusinasi
- Faktor biologis
Struktur otak yang abnormal ditemukan pada pasien gangguan orientasi
realitas, serta dapat ditemukan atropik otak, pembesaran ventikal,
perubahan besar, serta bentuk sel kortikal dan limbic
- Faktor genetic
Gangguan orientasi realitas termasuk halusinasi umumnya ditemukan
pada psaien skizofrenia.
b. Faktor Presipitasi
- Stressor sosial budaya
Stress dan kecemasan akan meningkat bila terjadi peurunan stabilitas
keluarga, perpisahan dnegan orang yang penting, atau diasingkan dari
kelompok dapat menimbulkan halusinasi
- Faktor bokimia
Berbagai penelitian tentang dopamine, norepinetrin, indolamin serta zat
halusigenik diduga berkaitan dengan gangguan orientasi realitas termasuk
halusinasi
- Faktor psikologis
Intensitas kecemasan yang ekstrem dan memanjang disertai terbatasnya
kemampuan mengatasi masalah memungkinkan berkembangnya
gangguan orientasi realitas. Pasien mengembangkan koping untuk
menghindari kenyataan yang tidak menyenangkan
- Perilaku
Perilaku yang perlu dikaji pada pasien dengan gangguan orientasi realitas
berkaitan dengan perubahan proses piker, afektif persepsi motoric dan
sosial.
D. Klasifikasi Halusinasi

Jenis halusinasi Data subyektif Data obyektif


Halusinasi  Mendengarkan suara-suara  Bicara atau tertawa
dengar/suara atau kegaduhan sendiri
 Mendengar suara yang  Marah-marah tanpa
mengajak bercakap-cakap sebab
 Mendengar suara menyuruh  Mengarahkan
melakukan sesuatu yang telinga ke arah
berbahaya tertentu
Menutup telingga
Halusinasi  Melihat bayangan, sinar,  Menunjuk-nunjuk
penglihatan bentuk geometris, bentuk kea rah tertentu
kartun, melihat hantu atau  Ketakutan pada
monster sesuatu yang tidak
jelas
Halusiansi  Membaui bau-bauan seperti  Mencium seperti
penciuman bau darah, urine, feses dan sedang membauibau-
kadang-kadang bau itu bauan tertentu
menyenangkan  Menutup hidung
Halusinasi  Merasakan seperti darah,  Sering meludah
pengecapan urine, atau feses  Muntah
Halusinasi perabaan  Mengatakan ada serangga di Menggaruk-garuk
permukaan kulit permukaan kulit
 Merasa seperti tersengat listrik

E. Penatalaksanaan Medis
Penatalaksanaan medis pada Halusinasi Penatalaksanaan pasien skizofrenia adalah
dengan pemberian obat-obatan dan tindakan lain, yaitu :
1) Psikofarmakologis Obat-obatan yang lazim digunakan pada gejala
halusinasi pendengaran yang merupakan gejala psikosis pada pasien
skizofrenia adalah obatobatan anti-psikosis.
2) Terapi kejang listrik atau Elektro Compulcive Therapy (ECT)
3) Terapi Aktivitas Kelompok (TAK)

F. Proses Keperawatan
a. Mengkaji Jenis Halusinasi
- Mengkaji Isi Halusinasi
- Mengkaji Waktu, Frekuensi, dan Situasi Munculnya Halusinasi
- Mengkaji Respon Terhadap Halusinasi
b. Strategi pelaksanaan pada pasien dengan halusinasi :
 SP 1 pasien : membantu pasien mengenal halusinasi, menjelaskan cara-
cara mengontrol halusinasi, mengajarkan pasien mengontrol halusinasi
dengan cara pertama : menghardik halusinasi
 SP 2 pasien : melatih pasien menggunakan obat secara teratur
 SP 3 pasien : melatih pasien mengontrol halusinasi dengan cara ketiga:
bercakap-cakap dengan orang lain
 SP 4 pasien : melatih pasien mengontrol halusinasi dengan cara keempat:
melaksanakan aktivitas terjadwal
c. Strategi pelaksanaan untuk keluarga pasien dengan halusinasi :
 SP 1 Keluarga : Mengidentifikasi masalah yang dirasakan dalam
merawat klien halusinasi dan melatih keluarga cara membimbing pasien
mengontrol halusinasi dengan menghardik.
 SP 2 Keluarga : Melatih keluarga cara membimbing pasien minum obat
secara teratur menggunakan prinsip 6 benar.
 SP 3 Keluarga : Melatih keluarga membimbing klien mengontrol
halusinasi dengan cara bercakap-cakap
 SP 4 Keluarga : Melatih keluarga cara membimbing pasien mengontrol
halusinasi dengan kegiatan harian dan menjelaskan cara follow up ke
RSJ/PKM, mengevaluasi tanda kambuh dan cara melakukan rujukan ke
RSJ/PKM
ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN GANGGUAN JIWA DENGAN
ISOLASI SOSIAL DI RUMAH SAKIT JIWA ACEH

Oleh

Aina Hariana, S.Kep


2112501010006

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


FAKULTAS KEPERAWATAN UNIVERSITAS SYIAH KUALA
DARUSSALAM - BANDA ACEH
TAHUN 2021
LAPORAN PENDAHULUAN
ISOLASI SOSIAL

A. Pengertian

Isolasi sosial adalah kesendirian yang dialami oleh individu dan dianggap timbul
karena orang lain dan sebagai suatu keadaan negatif atau mengancam (NANDA I,
2018). Isolasi sosial juga disebutkan suatu keadaan kesepian yang dialami oleh
seseorang karena orang lain menyatakan sikap yang negatif dan mengancam
(Towsend, 1998). Isolasi sosial adalah keadaan di mana seorang individu mengalami
penurunan atau bahkan sama sekali tidak mampu berinteraksi dengan orang lain di
sekitarnya (Damaiyanti, 2008).

B. Faktor Predisposisi dan Presipitasi


1) Faktor predisposisi
Terjadinya perilaku menarik diri adalah kegagalan perkembangan yang dapat
mengakibatkan individu tidak percaya diri, tidak percaya orang lain, ragu takut
salah, putus asa terhadap hubungan dengan orang lain, menghindar dari orang
lain, tidak mampu merumuskan keinginan dan meresa tertekan.
2) Faktor presipitasi
Faktor presipitasi dari faktor sosio-cultural karena menurunnya stabilitas
keluarga dan berpisah karena meninggal dan fakto psikologis seperti berpisah
dengan orang yang terdekat atau kegagalan orang lain untuk bergantung, merasa
tidak berarti dalam keluarga sehingga menyebabkan klien berespons menghindar
dengan menarik diri dari lingkungan.

C. Tanda dan Gejala


Observasi yang dilakukan pada klien akan ditemukan (data objektif) :
a. Apatis, ekspresi, afek tumpul.
b. Menghindar dari orang lain (menyendiri); klien tampak memisahkan diri
dari orang lain.
c. Komunikasi kurang atau tidak ada. Klien tidak tampak bercakap-cakap dengan
klien lain atau perawat.
d. Tidak ada kontak mata, klien lebih sering menunduk.
e. Berdiam diri di kamar/tempat berpisah – klien kurang mobilitas.

f. Menolak hubungan dengan orang lain – klien memutuskan percakapan atau


pergi jika diajak bercakap-cakap.
g. Tidak melakukan kegiatan sehari-hari, artinya perawatan diri dan kegiatan
rumah tangga sehari-hari tidak dilakukan.

Data subjektif sukar didapat jika klien menolak berkomunikasi, beberapa data
subjektif adalah menjawab dengan singkat kata-kata “tidak”, “ya”, “tidak tahu”

D. Jenis Isolasi Sosial


a.Isolasi ruang; dapat dipaksakan dari luar dengan meniadakan kontak seperti yang
terjadi ketika seseorang dikucilkan dari pergaulan komunitasnya atau dipenjarakan.
b. Isolasi organik; gejala keterasingan yang disebabkan bukan karena ketiadaan kontak
yang dipaksakan dari luar, melainkankarena ketiadaan kontak yang disebabkan karena
kecacatan individu seperti kebutaan dan ketulian.

E. Rentang Respon Sosial


Gangguan hubungan sosial terdiri atas :
a. Isolasi Sosial

Adalah kondisi kesepian yang diekspresikan oleh individu dan dirasakan


sebagai hal yang ditimbulkan oleh orang lain dan sebagai suatu keadaan negatif
yang mengancam. Dengan karakteristik : tinggal sendiri dalam ruangan,
ketidakmampuan untuk berkomunikasi, menarik diri, kurangnya kontak mata.
Ketidaksesuaian atau ketidakmatangan minat dan aktivitas dengan perkembangan
atau terhadap usia. Preokupasi dengan pikirannya sendiri, pengulangan, tindakan
yang tidak bermakna. Mengekspresikan perasaan penolakan atau kesepian yang
ditimbulkan oleh orang lain. Mengalami perasaan yang berbeda dengan orang
lain, merasa tidak aman ditengah orang banyak.

b. Kerusakan Interaksi sosial


Adalah suatu keadaan dimana seorang individu berpartisipasi dalam suatu
kualitas yang tidak cukup atau berlebihan atau kualitas interaksi sosial yang tidak
efektif, dengan karakteristik :
 Menyatakan secara verbal atau menampakkan ketidaknyamanan dalam
situasi-situasi sosial.
 Menyatakan secara verbal atau menampakkan ketidakmampuan untuk
menerima atau mengkomunikasikan kepuasan rasa memiliki, perhatian, minat,
atau membagi cerita.
 Tampak menggunakan perilaku interaksi sosial yang tidak berhasil.
 Disfungsi interaksi dengan rekan sebaya, keluarga atau orang lain.
 Penggunaan proyeksi yang berlebihan tidak menerima tanggung jawab
atas perilakunya sendiri.
 Manipulasi verbal.
 Ketidakmampuan menunda kepuasan.

F. Pengkajian
Data yang perlu dikaji :
a. Identitas klien
b. Keluhan utama
Tanyakan pada keluarga/klien hal yang menyebabkan klien dan keluarga datang
ke rumah sakit. Yang telah dilakukan keluarga untuk mengatasi masalah, dan
perkembangan yang dicapai.
c. Faktor predisposisi
Tanyakan pada klien/keluarga, apakah klien pernah mengalami gangguan jiwa
pada masa lalu, pernah melakukan atau mengalami penganiayaan fisik, seksual,
penolakan dari lingkungan, kekerasan dalam keluarga dan tindakan kriminal.
Dan pengkajiannya meliputi psikologis, biologis, dan sosial budaya. Aspek
fisik/biologis
d. Aspek psikososial: konsep diri.
e. Status mental
Nilai klien rapi atau tidak, amati pembicaraan klien, aktivitas motorik klien,
afek klien, interaksi selama wawancara, persepsi, proses pikir, isi pikir, tingkat
kesadaran, memori, tingkat konsentrasi, dan berhitung.
f. Kebutuhan persiapan pulang
g. Mekanisme koping

Malas beraktivitas, sulit percaya dengan orang lain dan asyik dengan stimulus
internal, menjelaskan suatu perubahan persepsi dengan mengalihkan tanggung
jawab kepada orang lain.
h. Masalah psikososial dan lingkungan
i. Pengetahuan
j. Aspek medik

G. Diagnosa Keperawatan
1. Isolasi sosial : menarik diri
2. Harga diri rendah
3. Ketidakefektifan koping
4. Hambatan komunikasi verbal
5. Hambatan interaksi sosial

H. Strategi Pelaksanaan (SP)


 Pasien
1. SP1 Pasien
a. Bina hubungan saling percaya
b. Mengidentifikasi penyebab isolasi sosial pasien
1) Menanyakan pendapat klien tentang berinteraksi dengan orang lain
2) Menanyakan apa yang menyebabkan klien tidak ingin berinteraksi
dengan orang lain.
3) Membantu klien mengenal keuntungan berinterksi dengan orang lain.
4) Membantu klien mengenal kerugian tidak berinteraksi dengan
orang lain.
2. SP II Pasien
a. Diskusikan bersama pasien keuntungan berinteraksi dengan orang lain dan
kerugian tidak berinteraksi dengan orang lain
b. Ajarkan pasien berkenalan dengan satu orang
c. Anjurkan pasien untuk memasukan kegiatan berkenalan dengan orang lain
dalam jadwal kegiatan harian
3. SP III Pasien
a. Mengevaluasi jadwal kegiatan harian pasien.
b. Memberikan kesempatan kepada pasien mempraktekkan cara berkenalan
dengan satu orang
c. Melatih pasien berinteraksi dengan dua orang atau lebih.
d. Membimbing pasien memasukkan dalam jadwal kegiatan harian.
4. SP IV Pasien
a. Mengevaluasi jadwal kegiatan harian pasien
b. Melatih pasien berbicara sambil melakukan kegiatan sosial.

 Keluarga
1. SP1 Keluarga
a. Mendiskusikan masalah yang dirasakan keluarga dalam merawat pasien
b. Menjelaskan pengertian, tanda dan gejala isolasi sosial yang dialami
pasien beserta proses terjadinya
c. Menjelaskan cara-cara merawat pasien isolasi sosial
2. SP II Keluarga
a. Melatih keluarga mempraktekkan cara merawat pasien dengan isolasi
sosial
b. Melatih keluarga melakukan cara merawat langsung kepada pasien isolasi
sosial
3. SP III Keluarga
a. Menjelaskan tentang pemanfaatan lingkungan yang mendukung perawatan pasien
isolasi social.
4. SP IV Keluarga
a. Membantu keluarga membuat jadual aktivitas di rumah
termasuk minum obat (discharge planning)
b. Menjelaskan follow up pasien setelah pulang
ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN GANGGUAN JIWA DENGAN
WAHAM DI RUMAH SAKIT JIWA ACEH

Oleh

Aina Hariana, S.Kep


2112501010006

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


FAKULTAS KEPERAWATAN UNIVERSITAS SYIAH KUALA
DARUSSALAM - BANDA ACEH
TAHUN 2021
LAPORAN PENDAHULUAN
WAHAM

A. Pengertian
Waham adalah keyakinan seseorang yang berdasarkan penilaian realitas yang
salah. Keyakinan klien tidak konsisten dengan tingkat intelektual dan latar belakang
budaya klien. Waham dipengaruhi oleh faktor pertumbuhan dan perkembangan
seperti adanya penolakan, kekerasan, tidak ada kasih sayang, pertengkaran orang tua
dan aniaya.
Waham adalah gangguan isi pikiran berupa keyakinan yang menetap pada
pikiran seseorang tanpa mempertimbangkan dasar yang logis dan tidak ada bukti
untuk mendukung keyakinan tersebut. Waham cenderung tidak tergoyahkan pada diri
pemiliknya, sekalipun ia dihadapkan pada bukti yang bertentangan dengan
keyakinannya, waham adalah salah satu ciri utama skizofrenia (Nevid & Greene,
2005).

B. Etiologi
Faktor predisposisi yang mungkin mengakibatkan timbulnya waham adalah :
a. Biologis
Gangguan perkembangan dan fungsi otak / SSP, yang menimbulkan:
1) Hambatan perkembangan otak khususnya kortek prontal, temporal dan limbik.
2) Pertumbuhan dan perkembangan individu pada prenatal, perinatal, neonatus
dan kanak-kanak.
b. Psikososial
Keluarga, pengasuh dan lingkungan klien sangat mempengaruhi respon psikologis
dari klien. Sikap atau keadaan yang dapat mempengaruhi seperti penolakan dan
kekerasan.
c. Sosial Budaya
Kehidupan sosial budaya dapat pula mempengaruhi timbulnya waham seperti
kemiskinan. Konflik sosial budaya (peperangan, kerusuhan, kerawanan) serta
kehidupan yang terisolasi dan stress yang menumpuk. Faktor prespitasi yang
biasanya menimbulkan waham merupakan karakteristik umum latar belakang
termasuk riwayat penganiayaan fisik / emosional, perlakuan kekerasan dari orang
tua, tuntutan pendidikan yang perfeksionis, tekanan, isolasi, permusuhan, perasaan
tidak berguna ataupun tidak berdaya.

C. Tanda dan Gejala


Tanda dan gejala yang dihasilkan berdasarkan penggolongan berikut:
a. Waham dengan perawatan minimal
1) Berbicara dan berperilaku sesuai dengan realita
2) Bersosialisasi dengan orang lain
3) Mau makan dan minum.
4) Ekspresi wajah tenang.

b. Waham dengan perawatan parsial


1) Iritable
2) Cenderung menghindari orang lain.
3) Mendominasi pembicaraan.
4) Bicara kasar.

c. Waham dengan perawatan total


1) Melukai diri dan orang lain.
2) Menolak makan / minum obat karena takut diracuni.
3) Gerakan tidak terkontrol.
4) Ekspresi tegang.
5) Iritable.
6) Mendominasi pembicaraan.
7) Bicara kasar.
8) Menghindar dari orang lain.
9) Mengungkapkan keyakinannya yang salah berulang kali.
10) Perilaku bazar.

Menurut Azis (2003), tanda dan gejala yang dihasilkan atas penggolongan
waham, yaitu:
1) Klien mengungkapkan sesuatu yang diyakininya (tentang agama, kebesaran,
kecurigaan, keadaan dirinya berulang kali secara berlebihan tetapi tidak sesuai
kenyataan.
2) Klien tampak tidak mempunyai orang lain
3) Curiga
4) Bermusuhan
5) Merusak (diri, orang lain, lingkungan)
6) Takut, sangat waspada
7) Tidak tepat menilai lingkungan/ realitas
8) Ekspresi wajah tegang
9) Mudah tersinggung

D. Proses Terjadinya Waham


Proses terjadinya waham dibagi menjadi enam yaitu :
1. Fase Lack of Human need
Waham diawali dengan terbatasnya kebutuhn-kebutuhan klien baik secara
fisik maupun psikis. Secar fisik klien dengan waham dapat terjadi pada orang-
orang dengan status sosial dan ekonomi sangat terbatas. Biasanya klien sangat
miskin dan menderita. Keinginan ia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya
mendorongnya untuk melakukan kompensasi yang salah. Ada juga klien yang
secara sosial dan ekonomi terpenuhi tetapi kesenjangan antara Reality dengan selft
ideal sangat tinggi. Misalnya ia seorang sarjana tetapi menginginkan dipandang
sebagai seorang dianggap sangat cerdas, sangat berpengalaman dn diperhitungkan
dalam kelompoknya. Waham terjadi karena sangat pentingnya pengakuan bahwa
ia eksis di dunia ini. Dapat dipengaruhi juga oleh rendahnya penghargaan saat
tumbuh kembang ( life span history ).
2. Fase lack of self esteem
Tidak ada tanda pengakuan dari lingkungan dan tingginya kesenjangan antara
self ideal dengan self reality (kenyataan dengan harapan) serta dorongan
kebutuhan yang tidak terpenuhi sedangkan standar lingkungan sudah melampaui
kemampuannya. Misalnya, saat lingkungan sudah banyak yang kaya,
menggunakan teknologi komunikasi yang canggih, berpendidikan tinggi serta
memiliki kekuasaan yang luas, seseorang tetap memasang self ideal  yang
melebihi lingkungan tersebut. Padahal self reality-nya sangat jauh. Dari aspek
pendidikan klien, materi, pengalaman, pengaruh, support system semuanya sangat
rendah.
3. Fase control internal external
Klien mencoba berfikir rasional bahwa apa yang ia yakini atau apa-apa yang ia
katakan adalah kebohongan, menutupi kekurangan dan tidak sesuai dengan
kenyataan. Tetapi menghadapi kenyataan bagi klien adalah sesuatu yang sangat
berat, karena kebutuhannya untuk diakui, kebutuhan untuk dianggap penting dan
diterima lingkungan menjadi prioritas dalam hidupnya, karena kebutuhan tersebut
belum terpenuhi sejak kecil secara optimal. Lingkungan sekitar klien mencoba
memberikan koreksi bahwa sesuatu yang dikatakan klien itu tidak benar, tetapi hal
ini tidak dilakukan secara adekuat karena besarnya toleransi dan keinginan
menjaga perasaan. Lingkungan hanya menjadi pendengar pasif tetapi  tidak mau
konfrontatif berkepanjangan dengan alasan pengakuan klien tidak merugikan
orang lain.
4. Fase environment support
Adanya beberapa orang yang mempercayai klien dalam lingkungannya
menyebabkan klien merasa didukung, lama kelamaan klien menganggap sesuatu
yang dikatakan tersebut sebagai suatu kebenaran karena seringnya diulang-ulang.
Dari sinilah mulai terjadinya kerusakan kontrol diri dan tidak berfungsinya norma
( Super Ego ) yang ditandai dengan tidak ada lagi perasaan dosa saat berbohong.
5. Fase comforting
Klien merasa nyaman dengan keyakinan dan kebohongannya serta
menganggap bahwa semua orang sama yaitu akan mempercayai dan
mendukungnya. Keyakinan sering disertai halusinasi pada saat klien menyendiri
dari lingkungannya. Selanjutnya klien lebih sering menyendiri dan menghindar
interaksi sosial ( Isolasi sosial )
6. Fase improving
Apabila tidak adanya konfrontasi dan upaya-upaya koreksi, setiap waktu
keyakinan yang salah pada klien akan meningkat. Tema waham yang muncul
sering berkaitan dengan traumatik masa lalu atau kebutuhan-kebutuhan yang tidak
terpenuhi ( rantai yang hilang ). Waham bersifat menetap dan sulit untuk
dikoreksi. Isi waham dapat menimbulkan ancaman diri dan orang lain. Penting
sekali untuk mengguncang keyakinan klien dengan cara konfrontatif serta
memperkaya keyakinan relegiusnya bahwa apa-apa yang dilakukan menimbulkan
dosa besar serta ada konsekuensi sosial.
E. Jenis-Jenis Waham

a. Waham Kebesaran; penderita merasa dirinya orang besar, berpangkat tinggi,


orang yang pandai sekali, orang kaya.
b. Waham Curiga; individu merasa selalu disindir oleh orang-orang sekitarnya.
Individu curiga terhadap sekitarnya.
c. Waham Somatik atau Hipokondria; keyakinan tentang berbagai penyakit yang
berada dalam tubuhnya seperti ususnya yang membusuk, otak yang mencair.
d. Waham Keagamaan; waham yang keyakinan dan pembicaraan selalu tentang
agama.
e. Waham Nihilistik; keyakinan bahwa dunia ini sudah hancur atau dirinya sendiri
sudah meninggal.

F. Penatalaksanaan WAHAM
1. Psikofarmakologi
2. Pasien hiperaktif / agitasi anti psikotik low potensial
3. Penarikan diri high potensial
4. ECT tipe katatonik
5. Psikoterapi
6. Perilaku, terapi kelompok, terapi keluarga, terapi supportif

G. Pengkajian
a. Identitas klien; Keluhan utama; Faktor predisposisi; Aspek fisik/biologis; Aspek
psikososial; Status mental; Kebutuhan persiapan pulang; Mekanisme koping;
Masalah psikososial dan lingkungan; Pengetahuan; Aspek medik.
b. Data subjektif : Mudah lupa dan sulit konsentrasi, tidak mampu mengambil
keputusan, berpikir tidak realitis, pembicaraan sirkumstansial.
c. Data objektif : Bingung, inkoheren, flight of idea, sangat waspada, khawatir,
sedih berlebihan, atau gembira berlebihan, perubahan pola tidur, kehilangan
selera makan, wajah tegang, perilaku sesuai isi waham, banyak bicara,
menentang atau pemusuhan, hiperaktif, menarik iri, tidak bisa merawat diri.

H.Diagnosa Keperawatan
a. Waham
b. Hambatan komunikasi verbal
c. Resiko perilaku kekerasan

I. Strategi Pelaksanaan (SP)


 Pasien
1) SP 1 Pasien : Membina hubungan saling percaya dan menjelaskan cara
mengendalikan waham dengan orientasi realita
2) SP 2 Pasien : Mengajarkan dan melatih cara minum obat yang benar
3) SP 3 Pasien: Menjelaskan cara memenuhi kebutuhan klien yang tidak
terpenuhi akibat wahamnya dan kemampuan memenuhi kebutuhannya
4) SP 4 Pasien : Mengidentifikasi kemampuan positif pasien dan membantu
mempraktekkannya.

 Keluarga
1) SP 1 Keluarga : Mengidentifikasi masalah keluarga dalam merawat klien
waham dan Menjelaskan cara merawat klien waham: tidak menyangkal, tidak
mendukung dan hadirkan realitas
2) SP 2 Keluarga : Melatih keluarga cara klien minum obat menggunakan prinsip 6
benar
3) SP 3 Keluarga : Melatih keluarga membantu memenuhi kebutuhan klien yang
tidak terpenuhi akibat waham dan kemampuan klien dalam memenuhi
kebutuhannya
4) SP 4 Keluarga: Melatih keluarga tentang kemampuan positif yang dimiliki klien
dan menjelaskan cara follow up ke RSJ/PKM, mengevaluasi tanda kambuh dan
cara melakukan rujukan ke RSJ/PKM
ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN GANGGUAN JIWA DENGAN
RESIKO BUNUH DIRI DI RUMAH SAKIT JIWA ACEH

Oleh

Aina Hariana, S.Kep


2112501010006

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


FAKULTAS KEPERAWATAN UNIVERSITAS SYIAH KUALA
DARUSSALAM - BANDA ACEH
TAHUN 2021
LAPORAN PENDAHULUAN
RESIKO BUNUH DIRI

A. Pengertian
Risiko bunuh diri adalah rentan terhadap menyakiti diri sendiri dan cedera yang
mengancam jiwa (NANDA I, 2018). Bunuh diri adalah suatu keadaan dimana individu
mengalami risiko untuk menyakiti diri sendiri atau melakukan tindakan yang dapat
mengancam nyawa (Fitria, 2009). Pikiran bunuh diri biasanya muncul pada individu
yang mengalami gangguan mood, terutama depresi. Menurut Sheidman dalam
Videbeck (2008) mendefenisikan dua kategori bunuh diri, langsung dan tidak
langsung. Bunuh diri langsung adalah tindakan yang disadari dan disengaja untuk
mengakhiri hidup seperti membakar diri. Bunuh diri tidak langsung adalah keinginan
tersenbunyi yang tidak disadari untuk mati, yang ditandai dengan perilaku kronis
beresiko seperti penyalahgunaan zat, makana berlebihan dan sebagainya.

B. Jenis-jenis Bunuh Diri


Menurut Durkheim, bunuh diri dibagi menjadi tiga jenis, yaitu:
1. Bunuh diri egoistic (faktor dalam diri seseorang)
Individu tidak mampu berinteraksi dengan masyarakat, ini disebabkan oleh
kondisikebudayaan atau karena masyarakat yang menjadikan individu itu seolah-
olah tidak berkepribadian.Kegagalan integrasi dalam keluarga dapat menerangkan
mengapa merekatidak menikah lebih rentan untuk melakukan percobaan bunuh
diri dibandingkan merekayang menikah.
2. Bunuh diri altruistic (terkait kehormatan seseorang
Individu terkait pada tuntutan tradisi khusus ataupun ia cenderung untuk bunuh
diri karenaindentifikasi terlalu kuat dengan suatu kelompok, ia merasa kelompok
tersebut sangatmengharapkannya.
3. Bunuh diri anomik (faktor lingkungan dan tekanan)
Hal ini terjadi bila terdapat gangguan keseimbangan integrasi antara individu dan
masyarakat,sehingga individu tersebut meninggalkan norma-norma kelakuan yang
biasa. Individukehilangan pegangan dan tujuan.Masyarakat atau kelompoknya
tidak memberikan kepuasan padanya karena tidak ada pengaturan atau
pengawasan terhadap kebutuhan-kebutuhannya.
Bunuh diri merupakan tindakan yang secara sadar dilakukan oleh klien
untukmengakhiri kehidupannya. Berdasarkan besarnya kemungkinan klien melakukan
bunuh diri,ada tiga macam perilaku bunuh diri yang perlu diperhatikan yaitu:
1) Isyarat bunuh diri
Isyarat bunuh diri ditunjukkan dengan berperilaku secara tidak langsung ingin
bunuh diri, misalnya dengan mengatakan: ”Tolong jaga anak- anak karena saya
akan pergi jauh!” atau“Segala sesuatu akan lebih baik tanpa saya.” Pada kondisi
ini klien mungkin sudah memiliki ide untuk mengakhiri hidupnya, namun
tidakdisertai dengan ancaman dan percobaan bunuh diri.Klien umumnya
mengungkapkan perasaan seperti rasa bersalah/ sedih/ marah/ putus asa/ tidak
berdaya. Klien jugamengungkapkan hal-hal negatif tentang diri sendiri yang
menggambarkan harga diri rendah
2) Ancaman bunuh diri.
Ancaman bunuh diri umumnya diucapkan oleh klien, berisi keinginan untuk mati
disertai dengan rencana untuk mengakhiri kehidupan dan persiapan alat untuk
melaksanakan rencana tersebut.Secara aktif klien telah memikirkan rencana
bunuh diri, namun tidak disertai dengan percobaan bunuh diri.Walaupun dalam
kondisi ini klien belum pernah mencoba bunuh diri, pengawasan ketat harus
dilaksanakan.Kesempatan sedikit saja dapat dimanfaatkan klien untuk
melaksanakan rencana bunuh dirinya.
3) Percobaan bunuh diri.
Percobaan bunuh diri merupakan tindakan klien mencederai atau melukai diri
untukmengakhiri kehidupannya.Pada kondisi ini, klien aktif mencoba bunuh diri
dengan caragantung diri, minum racun, memotong urat nadi, atau menjatuhkan
diri dari tempat tinggi.

C. Tahap-tahap Resiko Bunuh Diri


1. Suicidal Ideation
Sebuah metode yang digunakan tanpa melakukan aksi atau tindakan, bahkan klien
pada tahap ini tidak akan menungkapkan idenya apabila tidak di tekan.
2. Suicidal Intent
Pada tahap ini klien mulai berfikir dan sudah melakukan perencanaan yang konkrit
untuk melakukan bunuh diri
3. Suicidal Threat
Pada tahap ini klien mengekspresikan adanya keinginan dan hasrat yang dalam
bahkan ancaman untuk mengakhiri hidupnya.
4. Suicidal Gesture
Pada tahap ini klien menunjukkan perilaku destruktif yang diarahkan pada diri
sendiri yang bertujuan tidak hanya mengancam kehidupannya, tetapi sudah oada
percobaan untuk melakukan bunuh diri.
5. Suicidal Attempt
Pada tahap ini perilaku destruktif klien mempunyai indikasi individu yang ingin
mati dan tidak mau diselamatkan.Misalnya, minum ibat yang mematikan.

D. Tanda dan Gejala


Tanda dan Gejala menurut Fitria, Nita (2009):
1. Mempunyai ide untuk bunuh diri.
2. Mengungkapkan keinginan untuk mati.
3. Mengungkapkan rasa bersalah dan keputusasaan.
4. Impulsif.
5. Menunjukkan perilaku yang mencurigakan (biasanya menjadi sangat patuh).
6. Memiliki riwayat percobaan bunuh diri.
7. Verbal terselubung (berbicara tentang kematian, menanyakan tentang obat
dosismematikan).
8. Status emosional (harapan, penolakan, cemas meningkat, panic, marah dan
mengasingkandiri).
9. Kesehatan mental (secara klinis, klien terlihat sebagai orang yang depresi, psikosis
danmenyalahgunakan alcohol).
10. Kesehatan fisik (biasanya pada klien dengan penyakit kronis atau terminal).
11. Pengangguaran (tidak bekerja, kehilangan pekerjaan, atau mengalami kegagalan
dalamkarier).
12. Umur 15-19 tahun atau di atas 45 tahun.
13. Status perkawinan (mengalami kegagalan dalam perkawinan).
14. Pekerjaan.
15. Konflik interpersonal.
16. Latar belakang keluarga.
17. Orientasi seksual.
18. Sumber-sumber personal.
19. Sumber-sumber social.
20. Menjadi korban perilaku kekerasan saat kecil.

E. Etiologi
 Predisposisi
1. Teori genetic
a. Genetik
Prilaku bunuh diri menurut shadock (2011) serta Varcarolis dan Hitler (2010)
merupakan sesuatu yang di turunkan dalam keluarga kembar monozigot
memiliki reriko dalam melakukan bunuh diri stuard (2011).
b. Hubungan neurokimia
Nourotransmiter adalah zat kimia dalam otak dari sel ke saraf , peningkatan
dan penurunan neuro transmiter mengakibatkan perubahan pada prilaku.
Neurotrasmiter yg yang di kaitkan dengan prilaku bunuh diri adalah
dopamine, neuroepineprin, asetilkolin, asam amino dan gaba (Stuard,
2011).
c. Diagnosis psikiatri
Lebih dari 90 % orang dewasa yg mengahiri hidupnya dengan bunuh diri
mengalami gangguan jiwa.
Gangguan jiwa yang beriko menimbulkan individu untuk bunuh diri adalah
gangguan modd , penyalah gunaan zat , skizofrenia , dan gangguan kecemasan
(Stuard, 2013).
2. Faktor psikologi
a. Kebencian terhadap diri sendiri
Bunuh diri merupakan hasil dari bentuk penyerangan ataw kemarahan
terhaapp orang lain yang tidsk di trima dan di mannifestasikan atau di
tunjuksn pada diri sendiri (Stuard dan videbeck, 2011).
b. Ciri kepribadian
Keempat aspek kepribadian yg terkait dengan peningkatan resiko bunuh diri
adalah permusuhan, impulsive, depresi dan putus asa (Stuard, 2013).
c. Teori psikodinamika
Menyatakan bahwa depresi kaarna kehilangan suatu yang di cintai, rasa
keputusasaan, kesepian dan kehilangan harga diri (Shadock, 2011).
 Presipitasi
Faktor pencetus seseorang melakukan percobaan bunuh diri adalah:
1. Perasaan terisolasi dapat terjadi karena kehilangan hubungan
interpersonal/gagal melakukan hubungan yang berarti.
2. Kegagalan beradaptasi sehingga tidak dapat menghadapi stres.
3. Perasaan marah/bermusuhan, bunuh diri dapat merupakan hukuman pada diri
sendiri.
4. Cara untuk mengakhiri keputusan.

F. Diagnosis Keperawatan
Diagnosis Keperawatan yang mungkin muncul pada perilaku percobaan bunuh diri:
a. Resiko bunuh diri.
b. Harga diri rendah
c. Koping yang tak efektif.

G. Strategi Pelaksanaan (SP)


 Pasien
Tujuan : pasien tetap aman dan selamat.
a. SP 1 :
1. Mengidentifikasi benda-benda yang dapat membahayakan pasien
2. Mengamankan benda-benda yang dapat membahayakan pasien
3. Melakukan kontrak treatment
4. Mengajarkan cara mengendalikan dorongan bunuh diri
5. Melatih cara mengendalikan dorongan nuh diri
b. SP II
1. Mengidentifikasi aspek positif pasien
2. Mendorong pasien untuk berfikir positif terhadap diri
3. Mendorong pasien untuk menghargai diri sebagai individu yang berharga
c. SP III
1. Mengidentifikasi pola koping yang biasa diterapkan pasien
2. Menilai pola koping yang biasa dilakukan
3. Mengidentifikasi pola koping yang konstruktif
4. Mendorong pasien memilih pola koping yang konstruktif
5. Membimbing pasien memasukkan dalam jadwal kegiatan harian

d. SP IV
1. Membuat rencana masa depan yang realistis bersama pasien
2. Mengidentifikasi cara mencapai rencana masa depan yang realistis
3. Memberi dorongan pasien melakukan kegiatan dalam rangka meraih masa
depan yang realistis.

 Keluarga
Strategi Pelaksana kepada Keluarga :
1. SP I : Mendiskuskan masalah yang dirasakan keluarga dalam merawat pasien,
menjelaskan pengertian, tanda gejala dan jenis perilaku bunuh diri beserta
contohnya.
2. SP II : Melatih keluarga mempraktekkan cara merawat pasien dengan risiko
bunuh diri.
3. SP III : Membantu keluarga membuat jadwal aktivitas dan minum obat.
ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN GANGGUAN JIWA DENGAN
HARGA DIRI RENDAH DI RUMAH SAKIT JIWA ACEH

Oleh

Aina Hariana, S.Kep


2112501010006

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


FAKULTAS KEPERAWATAN UNIVERSITAS SYIAH KUALA
DARUSSALAM - BANDA ACEH
TAHUN 2021
LAPORAN PENDAHULUAN
HARGA DIRI RENDAH

A. Pengertian
Harga diri rendah adalah evaluasi diri dan perasaan tentang diri atau
kemampuan diri yang negatif yang dapat secara langsung atau tidak langsung
diekspresikan. Harga diri rendah adalah penilaian negatif seseorang terhadap diri
dan kemampuan, yang diekspresikan secara langsung maupun tidak langsung.
Harga diri rendah adalah perasaan tidak berharga, tidak berarti dan rendah diri
yang berkepanjangan akibat evaluasi yang negatif terhadap diri sendiri atau
kemampuan diri. Adanya perasaan hilang kepercayaan diri, merasa gagal karena
tidak mampu mencapai keinginan sesuai idela diri (Yosep, 2010).

B. Tanda dan Gejala


1. Perasaan malu dan penolakan terhadap diri sendiri akibat penyakit dan
tindakan terhadap penyakit (rambut botak karena terapi).
2. Rasa bersalah terhadap diri sendiri (mengkritik/menyalahkan diri sendiri).
3. Marah, sedih dan menangis.
4. Perubahan pola makan, tidur, mimpi, konsentrasi dan aktivitas
5. Mengungkapkan tidak berdaya.
6. Gangguan hubungan sosial (menarik diri).
7. Percaya diri kurang (sukar mengambil keputusan).
8. Mencederai diri (akibat dari harga diri yang rendah disertai harapan yang
suram, mungkin klien akan mengakiri kehidupannya

C. Etiologi Harga Diri Rendah


Menurut Yusuf (2015) Harga diri rendah sering disebabkan karena adanya
koping individu yang tidak efektif akibat adanya kurang umpan balik positif,
kurangnya sistem pendukung, kemunduran perkembangan ego, pengulangan
umpan balik yang negatif, disfungsi sistem keluarga serta terfiksasi pada tahap
perkembangan awal.
D. Pengkajian
1. Data Subjektif :
a. Adanya ungkapan yang menegatifkan diri
b. Mengeluh tidak mampu dilakukan peran dan fungsi sebagai mestinya
c. Ungkapan yang mengkritik diri sendiri, mengejek dan menyalahkan
gunakan diri sendiri.
d. Ungkapan perannya saat ini yang tidak dapat dilaksanakan sebagai
mestinya.
2. Data objektif :
a. Kontak mata kurang, sering menunduk
b. Mudah marah dan tersinggunng
c. Menarik diri
d. Menghindari dari orang lain.
e. Adanya keluhan fisik
f. Perubahan dalam tanggung jawab

E. Diagnosa Keperawatan
1. Harga diri rendah kronik
2. Harga diri rendah situasional
3. Ketidakefektifan koping
4. Hambatan interaksi sosial

F. Strategi Pelaksanaan (SP)


 Pasien
1. SP I pada Pasien
a. Mengidenfikasi kemampuan dan aspek positif yang dimiliki pasien
b. Membantu pasien menilai kemampuan pasien yang masih dapat
digunakan
c. Membantu pasien memilih kegiatan yang akan dilatih sesuai dengan
kemampuan pasien
d. Melatih pasien kegiatan yang dipilih sesuai kemampuan
e. Membimbing pasien memasukkan dalam jadwal kegiatan harian

SP II
a. Memvalidasi masalah dan latihan sebelumnya.
b. Melatih kegiatan kedua (atau selanjutnya) yang dipilih sesuai kemampuan
c. Membimbing pasien memasukkan dalam jadwal kegiatan harian.

SP III
a. Memvalidasi masalah dan latihan sebelumnya.
b. Melatih kegiatan ketiga (atau selanjutnya) yang dipilih sesuai kemampuan
c. Membimbing pasien memasukkan dalam jadwal kegiatan harian.

SP IV
a. Memvalidasi masalah dan latihan sebelumnya
b. Melatih kemampuan kegiatan keempat yang dipilih
c. Latih kemampuan pertama hingga keempat masing-masing 2 x sehari.

 Keluarga
SP1
a. Mendiskusikan masalah yang dirasakan keluarga dalam merawat pasien
b. Menjelaskan pengertian, tanda dan gejala harga diri rendah yang dialami
pasien beserta proses terjadinya
c. Menjelaskan cara-cara merawat pasien harga diri rendah

SP II
a. Melatih keluarga mempraktekkan cara merawat pasien dengan harga diri
rendah
b. Melatih keluarga melakukan cara merawat langsung kepada pasien harga
diri rendah

SP III
a. Membantu keluarga membuat jadual aktivitas di rumah termasuk minum
obat (discharge planning)
b. Menjelaskan follow up pasien setelah pulang.

SP IV
a. Melatih keluarga menciptakan suasana keluarga yang mendukung
b. Menjelaskan cara followup ke PSJ/PKM, mengevaluasi tanda kambuh dan
melakukan rujukan ke RSJ/PKM
ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN GANGGUAN JIWA DENGAN
DEFISIT PERAWATAN DIRI DI RUMAH SAKIT JIWA ACEH

Oleh

Aina Hariana, S.Kep


2112501010006

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


FAKULTAS KEPERAWATAN UNIVERSITAS SYIAH KUALA
DARUSSALAM - BANDA ACEH
TAHUN 2021
LAPORAN PENDAHULUAN
DEFISIT PERAWATAN DIRI

A. Pengertian
Perawatan diri adalah salah satu kemampuan dasar manusia dalam memenuhi
kebutuhannya guna memepertahankan kehidupannya, kesehatan dan kesejahteraan
sesuai dengan kondisi kesehatannya, klien dinyatakan terganggu keperawatan
dirinya jika tidak dapat melakukan perawatan diri ( Depkes 2014).
Defisit perawatan diri adalah gangguan kemampuan untuk melakukan aktifitas
perawatan diri (mandi, berhias, makan, toileting) (Nurjannah, 2014).
Menurut Poter. Perry (2005), Personal hygiene adalah suatu tindakan untuk
memelihara kebersihan dan kesehatan seseorang untuk kesejahteraan fisik dan
psikis, kurang perawatan diri adalah kondisi dimana seseorang tidak mampu
melakukan perawatan kebersihan untuk dirinya.

B. Jenis-jenis Defisit Perawatan Diri


Menurut NANDA 2018) Defisit perawatan diri terdiri dari :
1. Defisit perawatan diri : mandi
2. Ketidakmampuan melakukan pembersihan diri secara seksama.
3. Defisit perawatan diri : berpakaian
4. Ketidakmampuan untuk mengenakan atau melepas pakaian secara mandiri
5. Defisit perawatan diri : makan Ketidakmampuan makan secara mandiri
6. Defisit perawatan diri : eliminasi
7. Ketidakmampuan untuk melakukan secara mandiri tugas yang berkaitan dengan
eliminasi fekal dan urine.

C. Faktor Predisposisi dan Faktor Presivitasi


Menurut Depkes (2014), penyebab kurang perawatan diri adalah:
1. Faktor predisposisi
a. Perkembangan : Keluarga terlalu melindungi dan memanjakan klien
sehingga perkembangan inisiatif terganggu.
b. Biologis : Penyakit kronis yang menyebabkan klien tidak mampu
melakukan perawatan diri.
c. Kemampuan realitas turun : Klien dengan gangguan jiwa dengan
kemampuan realitas yang kurang menyebabkan ketidakpedulian dirinya
dan lingkungan termasuk perawatan diri.
d. Sosial : Kurang dukungan dan latihan kemampuan perawatan diri
lingkungannya. Situasi lingkungan mempengaruhi latihan kemampuan
dalam perawatan diri.
2. Faktor Presipitasi : kurang penurunan motivasi, kerusakan kognisi atau
perceptual, cemas, lelah/lemah yang dialami individu sehingga menyebabkan
individu kurang mampu melakukan perawatan diri.

D. Tanda dan Gejala


Menurut Depkes (2014) Tanda dan gejala klien dengan defisit perawatan
diri adalah:
1. Fisik :
a. Badan bau, pakaian kotor
b. Rambut dan kulit kotor
c. Kuku panjang dan kotor
d. Gigi kotor disertai mulut bau
e. Penampilan tidak rapi.
2. Psikologis
a. Malas, tidak ada inisiatif
b. Menarik diri, isolasi diri
c. Merasa tak berdaya, rendah diri dan merasa hina.
3. Social
a. Interaksi kurang
b. Kegiatan kurang
c. Tidak mampu berperilaku sesuai norma
d. Cara makan tidak teratur
e. BAK dan BAB di sembarang tempat, gosok gigi dan mandi tidak mampu
mandiri.
Data yang biasa ditemukan dalam defisit perawatan diri adalah:
a. Data subjektif
1) Pasien merasa lemah
2) Malas untuk beraktivitas
3) Merasa tidak berdaya.
b. Data obyektif
1) Rambut kotor, acak – acakan.
2) Badan dan pakaian kotor dan bau.
3) Mulut dan gigi bau.
4) Kulit kusam dan kotor.
5) Kuku panjang dan tidak terawat

E. Mekanisme Koping
1. Regresi
2. Penyangkalan
3. Isolasi, menarik diri
4. Intelektualisasi

F. Penatalaksanaan
Asuhan yang dapat dilakukan keluarga bagi klien yang tidak dapat
merawatdiri sendiri adalah :
1. Meningkatkan kesadaran dan kepercayaan diri
a. Bina hubungan saling percaya.
b. Bicarakan tentang pentingnya kebersihan.
c. Kuatkan kemampuan klien merawat diri.
2. Membimbing dan menolong klien merawat diri.
a. Bantu klien merawat diri
b. Ajarkan ketrampilan secara bertahap
c. Buatkan jadwal kegiatan setiap hari
3. Ciptakan lingkungan yang mendukung
a. Sediakan perlengkapan yang diperlukan untuk mandi.
b. Dekatkan peralatan mandi biar mudah dijangkau oleh klien.
c. Sediakan lingkungan yang aman dan nyaman bagi klien misalnya,
kamar mandi yang dekat dan tertutup.

G. Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian Keperawatan
a. Data Subjektif:
Klien mengatakan malas mandi, tak mau menyisir rambut, tak mau
menggosok gigi, tak mau memotong kuku, tak mau berhias, tak bisa
menggunakan alat mandi / kebersihan diri.
b. Data Obyektif:
Badan bau, pakaian kotor, rambut dan kulit kotor, kuku panjang dan
kotor, gigi kotor, mulut bau, penampilan tidak rapih, tak bisa
menggunakan alat mandi.
2. Diagnosia Keperawatan
a. Defisit perawatan diri
b. Penurunan kemampuan dan motivasi merawat diri
3. Rencana Keperawatan
a. Tujuan tindakan keperawatan pada pasien dengan defisit perawatan diri :
1) Pasien mampu melakukan kebersihan diri secara mandiri
2) Pasien mampu melakukan berhias/berdandan secara baik
3) Pasien mampu melakukan makan dengan baik
4) Pasien mampu melakukan BAB/BAK secara mandiri

b. Melakukan strategi pelaksana (SP) kepada pasien :


1) SP 1 : Melatih pasien cara-cara perawatan kebersihan diri
a) Menjelasan pentingnya menjaga kebersihan diri.
b) Menjelaskan alat-alat untuk menjaga kebersihan diri
c) Menjelaskan cara-cara melakukan kebersihan diri
d) Melatih pasien mempraktekkan cara menjaga kebersihan diri
2) SP 2 : Melatih pasien berdandan/berhias
Untuk pasien laki-laki latihan meliputi : Berpakaian, menyisir rambut,
bercukur. Untuk pasien wanita, latihannya meliputi : Berpakaian,
menyisir rambut, berhias.
3) SP 3 : Melatih pasien makan secara mandiri
a) Menjelaskan cara mempersiapkan makan
b) Menjelaskan cara makan yang tertib
c) Menjelaskan cara merapikan peralatan makan setelah makan
d) Praktek makan sesuai dengan tahapan makan yang baik
4) SP 4 : Mengajarkan pasien melakukan BAB/BAK secara mandiri
a) Menjelaskan tempat BAB/BAK yang sesuai
b) Menjelaskan cara membersihkan diri setelah BAB dan BAK
c) Menjelaskan cara membersihkan tempat BAB dan BAK

c. Strategi pelaksana untuk keluarga :


1) SP 1 Keluarga : Mengidentifikasi masalah keluarga dalam merawat klien
defisit perawatan diri dan membimbing keluarga untuk melatih perawatan
diri klien: mandi
2) SP 2 Keluarga : Membimbing keluarga cara melatih anggota keluarga
perawatan diri: berdandan
3) SP 3 Keluarga : Membimbing keluarga cara melatih anggota keluarga
perawatan diri: makan/minum
4) SP 4 Keluarga : Membimbing keluarga cara melatih anggota keluarga
perawatan diri: makan/minum.

Anda mungkin juga menyukai