Anda di halaman 1dari 9

RESENSI BUKU KARYA J. C.

VAN LEUR
“PERDAGANGAN DAN MASYARAKAT INDONESIA: ESAI-ESAI TENTANG
SEJARAH SOSIAL DAN EKONOMI ASIA”

Oleh: Ganda Febri Kurniawan

Identitas Buku:
Judul Asli: Indonesian Trade and Society: Essays in Asian and Economic History. Diterbitkan
oleh Penerbit Ombak, Yogyakarta. Penulis: J. C. Van Leur. Jumlah Halaman: 343. Ukuran
Buku: 16 x 24 cm. Berat: 550 kg.

J.C. van Leur adalah salah satu orientalis yang turut memperkenalkan cara pandang dari dalam.
Dia, seperti halnya tradisi Weberian, mencoba melihat modernitas dari kacamata masyarakat
setempat. Dia menyanggah pendapat bahwa sejarah Nusantara adalah keberpengaruhan dari
masyarakat Barat. Masyarakat Nusantara harus dilihat dari dinamika mereka sendiri. Baik
masyarakat Barat maupun Timur telah mengalami modernisasi sekaligus menikmati
modernitas pada masa tertentu. Asumsi inilah yang dia pakai untuk melihat perkembangan
masyarakat Nusantara. Tulisan ini berupaya membahas kehidupan van Leur, pendekatan
weberian dan historiografi Indonesiasentris, perdagangan dan embrio kapitalisme, Hinduisasi
Nusantara, Islamisasi Nusantara, dan Oksidentalisme Nusantara.
Dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat lebih memilih untuk mengonsumsi
hamburger, ayam goreng, kentang goreng, atau minuman ringan dengan label internasional
daripada label nasional walaupun citarasa yang dihadirkan tidak terlalu kalah telak. Mereka
beradu gengsi dengan gencar memakai produk asing untuk menunjukkan eksistensi mereka
pada khalayak. Selain itu, Wijaya (2014) menjelaskan bahwa sadar ataupun tidak, kini
Indonesia mengalami proses industrialisasi secara masif dari negara-negara maju. Salah satu
contohnya, dalam jersey kebanggaan klub sepak bola liga premier Inggris tertera keterangan
bahwa jersey tersebut dibuat di Indonesia (made in Indonesia). Nampak telah terjadi
industrialisasi global disini dimana untuk menekan biaya produksi suatu barang dan upah
pekerja maka diputuskan untuk membuat pabrik di negara berkembang yang kiranya dipandang
lebih murah dan hasil produksinya didistribusikan dengan harga yang berkali-kali lipat dan
disebarkan ke seluruh penjuru dunia. Secara singkat terlihat bahwa masyarakat Indonesia
secara sadar menjadi konsumen produk Barat, ironisnya kita mengidealkan cara pandang Barat.
Realitas tersebut tentu mencengangkan sekaligus sulit dipahami. Masyarakat tidak bisa
keluar dari idealitas Barat. Apa yang terjadi di masa kini bukanlah suatu kebetulan tetapi
dikonstruksi oleh masa lalu. Sejarah sebagai ilmu yang mempelajari masa lalu memiliki peran

1
vital disini. Tatanan masyarakat selalu berubah sehingga ilmu sosial seperti sosiologi,
antropologi, atau ekonomi tidak dapat melihat kondisi masyarakat terkini. Mereka memerlukan
penjelasan mengenai perubahan dan kesinambungan masyarakat. Perubahan dan
kesinambungan masyarakat hanya dapat dipahami dengan bantuan ilmu yang bersifat
diakronis. Sejarah sebagai ilmu diakronik yang memanjang dalam waktu memberikan
penjelasan mengapa masyarakat berubah dan kemana perubahan tersebut berakhir. Menurut
Kuntowijoyo (2003:45), model diakronis akan menjadi pelengkap yang sempurna bagi
penulisan sinkronis. Rangkaian kejadian yang susul-menyusul tidak saja menjawab mengenai
apa yang ada, tetapi juga mengapa sesuatu ada dan bagaimana terjadinya. Penulisan sejarah
merupakan suatu urutan dinamis atau dialektis dengan waktu yang jelas.
Salah satu karya sejarah yang kiranya dapat mendukung perspektif Indonesiasentris
adalah karya Jacob Cornelis van Leur, berjudul Perdagangan dan Masyarakat Indonesia. Karya
tersebut pertama kali diterbitkan pada tahun 1955 dalam Bahasa Belanda serta diterjemahkan
dalam Bahasa Inggris pada tahun 1984 dan dalam Bahasa Indonesia pada tahun 2015. Karya
van Leur ini menjadi klasik dalam pembelajaran sejarah sosial-ekonomi. Penulis sangat
mengingat kala masih menempuh program sarjana hanya bisa sayup-sayup mendengar
pemikirannya dari tangan orang ketiga bahkan orang keempat. Hal ini disebabkan karena pada
waktu itu buku karya van Leur sangat jarang ditemukan di toko buku sehingga penulis tidak
memiliki akses langsung pada pemikiran van Leur. Wajar apabila kemudian penulis sangat
mengapresiasi kehadiran penerjemahan karya van Leur dalam Bahasa Indonesia sekaligus
kepedulian Penerbit Ombak Yogyakarta yang mendorong perkembangan Ilmu Sejarah di
Indonesia.
Menurut Van Niel (1956), karya van Leur adalah hasil disertasi dan pengembangan
pemikirannya. Karya tersebut terdiri atas empat bagian. Bagian pertama adalah disertasinya
yang berjudul “Some Observations Concerning Early Asian Trade” yang dipertahankan di
Universitas Leiden (1934). Bagian kedua adalah kajiannya mengenai sejarah Hindia Belanda
yang pernah dipublikasikan pada jurnal “Koloniale Studien” (1937). Bagian ketiga adalah
beberapa bab yang seharusnya ingin dia publikasikan sebagai buku namun beberapa bab
lainnya tidak sampai di Belanda karena ada perang. Bagian terakhir mengenai ulasannya
mengenai Sejarah Hindia-Belanda yang diedit oleh F.W. Stapel.
Selain itu, Dia melihat pengajian suatu masyarakat sudah seharusnya berangkat dari
dalam masyarakat sendiri. Hal ini berarti bahwa ketika kita ingin menulis sejarah politik di
Indonesia harus memulainya dengan analisis kondisi sosial dan ekonomi umum. Dua analisis
tersebut dapat membantu menentukan rangkaian fakta-fakta yang unik. Dalam mengaji sejarah
2
ekonomi, van Leur (2015:7) menekankan untuk itu kita harus memulainya dari masa
kapitalisme modern yang saat ini meninggalkan jejaknya di seluruh dunia...Tugas sejarah
ekonomi adalah menentukan bagaimana kapitalisme modern dibangun, dan kapan, dimana
pondasinya terbentuk, sejauh mana kapitalisme dapat dikatakan sebagai karya Eropa Barat, dan
selain itu bagaimana periode-periode tersebut-yang keberadaannya dicirikan oleh struktur
sosial dan ekonomi yang berbeda ditandai dalam periode kapitalisme modern, dan hal apa yang
menjadi corak khas dari bentuk-bentuk tersebut. Semua material (sumber) yang terkumpul
harus dipelajari terus menerus untuk dapat memahami pengaruh kapitalisme modern (yang
besar dan mendominasi) dan untuk membandingkan periode terdahulu dengan periode itu.
Untuk itu nilai penting jalur laut harus ditentukan, demikian juga perniagaan dan perdagangan,
bentuk-bentuk organisasi, dan nilai penting kesemua hal tersebut bagi pondasi material sejarah
budaya.
Van Leur terlihat melihat perkembangan suatu peradaban didasarkan pada
perkembangan kapitalisme. Sistem kapitalis inilah yang kemungkinan besar berhasil
memperalat masyarakat Indonesia. Dengan keterbukaan masyarakat, para kapitalis dapat
dengan mudah memenuhi segala kebutuhan dan harapan rakyat. Namun demikian, sistem ini,
jika mengutip pendapat dari Wertheim (1954:170-1), kapitalisme telah membuat jurang
pemisah antara peradaban Barat dan Timur. Dia melihat van Leur cenderung memberikan suatu
ilustrasi bahwa hingga abad ke-19, perkembangan peradaban Eropa dan Asia masih setara
namun berbagai pengaruh asing membuat orang Asia menjadi tertutup (berpikir imanen).
Hasilnya mereka mengikuti arus yang ada dan tidak mampu mengembangkan peradabannya
sendiri. Setidaknya sebelum abad ke-19, kesetaraan antara Asia-Eropa terlihat dalam struktur
sosial, budaya, dan cara berdagangnya. Dimana mereka (orang Asia) masih bersifat otonom
namun kemudahan akses yang diberikan para kapitalis membuat mereka menjadi pasar dan
terbelenggu dalam kekangan tersebut.
Hal ini yang memberi kesadaran pada khalayak di masa kini bahwa kebebasan yang
mereka miliki sebenarnya tidak mereka pilih sendiri tetapi mereka hanya mengikuti segala
sesuatu yang ada. Bangsa ini akan terus menjadi perpanjangan label asing dan terus melupakan
kristalisasi ideologi bangsa (Pancasila). Langkah awal untuk bersikap dan bertindak harus
dimulai dari berpikir historis. Dengan hal itu, kita dapat menggunakan sejarah secara tepat dan
tidak menyalahgunakannya untuk membenarkan sekaligus melegitimasi masa lalu untuk
kepentingan masa kini. Karya van Leur memberi penjelasan akan peradaban Nusantara.
Tulisan ini berupaya membahas kehidupan van Leur, pendekatan weberian dan historiografi

3
Indonesiasentris, perdagangan dan embrio kapitalisme, Hinduisasi Nusantara, Islamisasi
Nusantara, dan Oksidentalisme Nusantara.
Van Leur, seperti yang diungkap dimuka, berupaya menggunakan teori Weber dalam
memahami realitas sejarah. Dia berupaya memakai pendekatan sejarah sosial-ekonomi untuk
melihat perubahan dan kesinambungan dari perjalanan manusia, sehingga tidak lagi
membicarakan bangunan atas dan berfokus pada bangunan bawah yang membentuknya. Kita
tidak akan menyoroti tentang keindahan arsitektur Akropolis namun organisasi pembangunnya
yang terhubung dengan polis. Demikian pula, tidak akan menyoroti nilai peradaban orang-
orang Cina yang terpelajar melainkan pentingnya hal tersebut sebagai ungkapan yang
digunakan oleh birokrasi (Van Leur, 2015:59).
Jika Weber membahas mengenai India dan Cina, van Leur mencoba memahami
Indonesia. Dia melihat orang Indonesia memiliki keberadaban yang otonom terpisah dari
peradaban Barat. Pengaruh utama Barat adalah adanya sistem kapitalisme. Namun, sistem
tersebut sesungguhnya dimiliki oleh semua masyarakat dimanapun berada. Jauh sebelumnya
datangnya Barat, orang Indonesia telah mengembangkan sistem perdagangan yang memiliki
pola yang sama dengan kapitalisme Eropa. Hal ini terlihat dari adanya komoditi dalam
peradaban agraris sebagai faktor pendukung adanya perdagangan (Van Leur, 2015:67). Van
Leur (2015:69) memberikan penjelasan, bahwa migrasi yang terjadi antara tiga benua Asia,
Afrika, dan Eropa beriringan dengan terbukanya jalur atau lalu lintas perdagangan pada masa
prasejarah. Dalam peradaban agraris, organisasi sosial menawarkan penjelasan mengenai
kemungkinan serangkaian bentuk perdagangan (jual beli, sewa, utang, upah, pembagian panen)
selain menjadi petani, mereka juga mengembangkan keahlian pedagang keliling yang
menjadikan hal tersebut sebagai pekerjaan kedua.
Malinowski dalam van Leur (2015:70-81) memberikan penjelasan bahwa masyarakat
primitif telah mengembangkan perdagangan dengan sistem “potlach”. Sistem “potlach”
perdagangan (antarpulau) yang mengikat populasi masyarakatnya untuk saling menukarkan
barang yang telah ditentukan oleh tradisi setempat. Poesponegoro (2008:410) memberi
penjelasan menarik terkait perdagangan antarpulau yang dilakukan oleh masyarakat Nusantara
pada masa perundagian tradisi palaeo-metalik, sebagai berikut, perdagangan dilakukan antar-
pulau di Indonesia dan antara kepulauan Indonesia dengan Daratan Asia Tenggara. Perahu
bercadik memainkan peran yang besar dalam hubungan-hubungan perdagangan ini.
Perdagangan dilakukan dengan cara tukar-menukar barang yang diperlukan oleh kedua belah
pihak...perdagangan dengan Daratan Asia Tenggara rupa-rupanya telah berkembang dengan

4
pesat dan barang-barang yang diperdagangkan terutama rempah-rempah, jenis-jenis kayu, dan
hasil bumi lain.
Transaksi “potlach” adalah fenomena yang dapat ditemukan di seluruh dunia dan di
Indonesia sekaligus menjadi permulaan perkembangan kapitalisme dunia, dari sistem barter
menuju perdagangan dunia. Perdagangan dalam peradaban agraris menjadi basis dari
perkembangan kapitalisme. Ketika modal kemudian berkembang dalam sistem perbankan dan
kota-kota pelabuhan lahir maka perdaganan dunia akan terlaksana. Perdagangan dunia sangat
ditentukan oleh pemilik uang yang kaya raya dan pedagang keliling. Dalam perdagangan
internasional, kaum bangsawan dan aristokrat bersifat pasif sehingga dapat dikatakan bahwa
mereka adalah pemilik modalnya dan mereka berinvestasi dalam commenda (kontrak) dan
pinjaman dengan jaminan kapal atau isi kapal. Mereka yang aktif adalah para pedagang
kerajinan yang melakukan perjalanan dengan uang commenda atau barang dagangan
commenda. Selain mereka, juga ada pedagang kerajinan yang merdeka dan pedagang keliling
yang mengembara (Van Leur, 2015:92-93).
Terlepas dari karakter kapitalisme yang merasuk dalam kehidupan sosial-ekonomi di
Nusantara, masyarakat telah memiliki berbagai kearifan lokal sebelum kedatangan bangsa
asing. JLA Brandes dalam Munandar (TT) mengidentifikasi 10 kepandaian yang meluas di
awal tarikh Masehi yaitu (1) telah dapat membuat figur boneka, (2) mengembangkan seni hias
ornamen (3) mengenal pengecoran logam, (4) melaksanakan perdagangan barter, (4) mengenal
instrumen musik, (6) memahami astronomi, (7) menguasai teknik navigasi dan pelayaran, (8)
menggunakan tradisi lisan dalam menyampaikan pengetahuan, (9) menguasai teknik irigasi,
dan (10) telah mengenal tata masyarakat yang teratur.
Penulisan sejarah yang moderen di Indonesia diawali dengan penulisan sejarah
penjajahan Belanda. Penulisan sejarah ini dilakukan oleh para ahli sejarah yang merupakan
suatu team. Team penulis sejarah ini dipimpin oleh Dr. FW. Stapel. Buku yang ditulis oleh
team ini berjudul Geschedenis van Nederlandsch Indie (Sejarah Hindia Belanda). Buku
tersebut pada dasarnya tidak banyak menceritakan tentang peran bangsa Indonesia, namun
justru penjajah Belanda yang menjadi subjek atau pemeran utama dalam cerita sejarah. Aspek-
aspek yang positif lebih banyak ditekankan pada orang Belanda, sedangkan bangsa Indonesia
hanyalah sebagai pelengkap. Dimana tokoh-tokoh penting dari orang Belanda dianggap
sebagai orang besar, sedangkan tokoh-tokoh bangsa Indonesia yang oleh bangsa Indonesia
dianggap sebagai pahlawan, bagi Belanda sebagai orang yang jelek, orang jahat, dan berbagai
citra negatif lainnya.

5
Penulisan sejarah yang seperti tersebut diatas selanjutnya menimbulkan kritikan yang
dianggap perlu sebagai bentuk nasionalisme dalam historiografi dengan penulisan sejarah yang
dilihat dari kaca mata bangsa Indonesia. Menempatkan bangsa Indonesia sebagai tokoh sentral,
pemeran utama bukan malah sebagai figur yang negatif. Seorang pelopor penulisan
historiografi Indonesia modern salah satunya adalah J.C van Leur. Jika awalnya tokoh Belanda
sebagai pahlawan sementara orang pribumi sebagai penjahat, maka tokoh ini, dengan adanya
Indonesianisasi maka kedudukannya terbalik dimana orang Indonesia sebagai pahlawan dan
orang Belanda sebagai penjahat tetapi alur ceritanya tetap sama dengan penulisan sejarah yang
mengungkapkan kehidupan bangsa dan rakyat Indonesia dalam segala aktivitasnya, baik
politik, ekonomi, sosial, maupun budaya dari sudut pandang bangsa Indonesia.
Pemikiran Van Leur juga banyak dipengaruhi oleh sosiolog Jerman, Max Weber,
sehingga karya-karyanya cenderung menggunakan pendekatan sosiologis. Hal menarik yang
ingin disampaikan Van Leur dalam tulisannya, (Abad Ke-18 Sebagai Kategori Dalam
Penulisan Sejarah Indonesia) bahwa penulisan sejarah Indonesia harus berdasarkan perspektif
bangsa Indonesia dengan menggunakan sumber-sumber tradisional (hikayat, babad, puisi,
cerita rakyat, legenda dan mitos-mitos). Selain itu, J.C Van Leur menekankan adanya
penelitian lapangan dalam penulisan sejarah. Keberadaan ataupun peranan penduduk pribumi
juga harus dihadirkan dalam menuliskan sejarah Indonesia, tidak hanya sekedar objek
penulisan.
Periode yang menjadi objek kajian utama sejarawan kolonial adalah periode kolonial,
dimulai sejak kedatangan bangsa Eropa ke Indonesia. Ada beberapa ciri-ciri dari historiografi
kolonial Belanda, yakni. Pertama, umumnya karya yang dihasilkan oleh sejarawan kolonial
ditulis di negeri Belanda dan penulisnya tidak pernah berkunjung ke Indonesia atau dalam
istilah Van Leur, sejarah yang ditulis dari atas geladak kapal atau gudang-gudang loji.
Kalaupun ditulis di Indonesia, data-datanya hanya berdasarkan informasi dari pejabat-pejabat
pribumi dan pejabat kolonial. Kedua, lebih menonjolkan peran orang-orang Belanda di
Indonesia. Kebanyakan membahas pemerintahan kolonial dan pejabat-pejabatnya, terutama
aktivitas pemerintah kolonial dalam bidang politik, ekonomi, dan institusional. Ketiga,
Menggunakan perspektif eropasentris, aktivitas penduduk pribumi tidak mendapat perhatian.
Dengan kata lain, bangsa pribumi hanya diletakan sebagai objek. Keempat, penggunaan
sumber-sumber pribumi seperti syair, hikayat dan babad cenderung diabaikan. Sumber-sumber
pribumi dianggap memiliki kualitas rendah dan tidak rasional.
Menurut Van Leur karya-karya pada abad 18 banyak menjelaskan tentang perdagangan,
peperangan, kerajaan, dan kota-kota yang ada di dengan tanpa melihat kondisi bangsa
6
Indonesia secara langsung. Ilmuwan ini memandang negara-negara Timur dari perspektif
Barat. Hal inilah yang coba dibantahnya, bahwa ternyata apa yang digambarkan dalam karya-
karya pada masa Kolonial tidak sesuai dengan kenyataan saat itu. Misalnya, karya Dr. Godee
Molsbergen yang mengemukakan bahwa sejarah VOC dalam abad kedelapan belas merupakan
refleksi dari sejarah Belanda yang ketika itu muncul sebagai suatu kekuatan yang menentukan
Eropa. J.C Van Leur menyanggah pendapat ini dengan mengatakan bahwa abad kedelapan
belas tidak berbeda dengan abad ketujuh belas dimana VOC bukan kekuatan yang menentukan
perkembangan sejarah di Asia, tetapi kekuatan Asia yang terletak pada kerajaan-kerajaannya.
Selain itu, VOC harus mengikuti pola-pola perdagangan tradisional yang berlaku di
daerah koloninya. Kekuatan VOC justru terletak pada kemampuannya memanfaatkan situasi
politik pada kerajaan-kerajaan lokal. Biasanya VOC berperan sebagai juru damai atau
memihak pada salah satu pihak dalam konflik antar kerajaan atau dalam sebuah kerajaan. Atas
bantuannya tersebut, VOC biasanya diberikan hadiah berupa hak penguasaan atas wilayah
tertentu. Jadi, kekuatan armada VOC pada abad 18 sebenarnya tidak jauh berbeda dengan
kekuatan kerajaan-kerajaan lokal, bahkan terkadang justru kerajaan lokal memiliki pasukan
yang jauh lebih kuat daripada armada VOC itu sendiri. Olehnya itu, Van Leur menyatakan
bahwa sejarah Hindia Belanda (Indonesia) tidak boleh disamakan dengan sejarah Kompeni
(Kolonial) abad ke-17. Meskipun demikian, Van Leur memuji karya Raffles “History of Java”
yang berhasil menjelaskan kebudayaan Jawa dengan baik dan tak ada taranya.
Penulisan sejarah Indonesia menjadi menarik dengan kehadiran karya Van Leur dengan
mengemukakan sebuah perspektif baru dalam menulis sejarah Indonesia, perspektif orang
Indonesia atau dalam sebutan beliau, menghadirkan orang Indonesia dalam penulisan
sejarahnya. Perspektif inilah yang menjadi dasar kehadiran historiografi Indonesiasentris.
Konstribusi penting Van Leur membuka wacana baru dalam penulisan sejarah, karena yang
terpenting dalam historiografi yakni menghadirkan data-data baru yang bersifat lokal. Hal ini
dimaksudkan sebagai upaya menulis sejarah yang lebih berimbang lagi dan benar-benar
komprehensif. Inilah pelajaran penting dari karya Van Leur ini, yakni meletakkan arah baru
(perspektif) penulisan sejarah Indonesia. Artinya tulisan yang tidak hanya berdasarkan
pandangan kaum kolonial saja, tetapi menghadirkan pandangan orang Indonesia atas
sejarahnya sendiri dengan menjadikan sumber-sumber lokal (historiografi tradisional) sebagai
sumber sejarah dalam penulisan sejarah.
Kajian yang menggambarkan dinamika perdagangan masyarakat lokal di Nusantara
dilakukan oleh J.C. van Leur. Dia dianggap sejarawan yang juga mempelopori kajian sejarah
maritim yang mengkritik cara penulisan historiografi kolonial tentang sejarah ekonomi di
7
Nusantara. Dalam kumpulan tulisan yang dibukukan setelah dia meninggal kita dapat
membacanya dalam “Indonesian Trade and Society: Essays in Asian and Economic History”.
Dalam bukunya itu, dia melihat perkembangan dari pelayaran dan perdagangan pribumi yang
marak selama kekuasaan VOC berkuasa di Nusantara.
Namun van Leur masih terpengaruh dengan cara pandang bahwa ekonomi Eropa
berkembang dengan baik karena adanya kapitalisme, sedangkan perdagangan pribumi
berkembang secara terbatas. Kesimpulan dari penelitiannya menunjukkan bahwa kegiatan dan
motivasi ekonomi yang muncul dalam kegiatan pelayaran niaga adalah peddling trade
(perdagangan penjaja). Peddling trade adalah perdagangan dengan kapasitas dan ciri-ciri
tertentu. Pertama-tama perdagangan dilakukan dari satu tempat ke tempat lain, dari pulau ke
pulau, dan dari benua ke benua dengan membawa sejumlah barang dagangan tertentu yang
tidak besar volumenya.
Pedagang tersebut mengunjungi satu pelabuhan ke pelabuhan yang lain sampai barang
dagangannya habis. Tidak terdapat sikap yang menonjol dalam kapitalisme modern, yaitu
investasi modal dari keuntungan. Perbedaan lainnya adalah bahwa barang dagangannya tidak
banyak dibandingkan dengan kapitalisme modern yang menghasilkan komoditas dalam jumlah
massal. Sebab itu tidak mengherankan bahwa barang yang diperdagangkan hanya barang yang
mahal dan mewah. Sementara itu ada sedikit pedagang besar yang didominasi oleh kaum
bangsawan (merchant gentlement).
Dalam uraian selanjutnya Van Leur menggambarkan ukuran kapal-kapal layar di
Nusantara yang paling besar berbobot 100 ton, di India sekitar 200 ton, dan di Cina sekitar 600
ton. Namun secara keseluruhan daya muat semua kapal di Nusantara diperkirakan 50.000 ton.
Dengan kaca mata Asia sentris Van Leur berupaya mengkritik para sejarawan kolonial yang
tidak melihat perdagangan oleh orang Asia termasuk juga di Nusantara sebagai sesuatu yang
otonom yang ada sejak dahulu.
Banyak para sejarawan yang tertarik dengan konsep Van Leur tentang pandangan Asia
sentrisnya itu, namun tidak mengulas argumennya tentang perdagangan di Asia yang dia
tuliskan. Sebuah buku yang ditulis sejarawan ekonomi Inggris yang berasal dari India yaitu Dr.
K. N. Chauduri mengemukakan konsep emporia trade atau perdagangan emporium. Penelitian
Chauduri ini menyanggah pendapat Van Leur yang mengemukakan tidak adanya perubahan
selama ribuan tahun dalam pelayaran niaga di Asia. Menurutnya sejak abad ke-10 M sudah
muncul apa yang dinamakan emporia trade yaitu pelayaran niaga melalui beberapa kota
pelabuhan terbesar seperti Aden, Hormus, Calicut, Malaka, Kanton, dan sebagainya. Para
pedagang Asia berlayar dari satu emporia ke emporia lain tanpa harus mengarungi seluruh rute
8
perdagangan itu dari Asia Barat sampai ke Cina. Perdagangan seperti itu melahirkan bandar-
bandar besar yang memiliki fasilitas yang memadai untuk persinggahan kapal-kapal besar.
Konsep perdagangan emporia ini menggugurkan konsep Van Leur tentang
perdagangan penjaja. Menurut Chauduri perdagangan penjaja terlalu sederhana untuk dipakai
memahami pelayaran niaga di Asia sebelum abad ke-18. Menurutnya para pedagang besar atau
yang disebut oleh Van Leur sebagai merchant gentlemen merupakan kategori pedagang yang
terpenting dan menentukan dalam pelayaran emporia. Namun demikian kita berhutang budi
kepada Van Leur karena telah berjasa membuka cakrawala baru dalam penulisan sejarah di
Indonesia.
Sejarah perdagangan dan masyarakat Indonesia di zaman pramodem selalu menjadi hal
yang menarik dan misterius. Meski pembacaan mengenai sejarah di zaman itu sebagian besar
didasarkan pada bahan-bahan Portugal dan Belanda, yang rawan bias, namun tetap saja kita
selalu dapat memperoleh pengetahuan yang luar biasa. J. C. van Leur, seorang intelektual
kenamaan, dalam buku ini mengangkat keistimewaan masyarakat Asia, khususnya Indonesia
dalam berbagai aspek di dunia kuno, termasuk di antaranya perdagangan dan pelayaran.
Dengan demikian van Leur melalui buku ini ingin membangun sebuah pemahaman yang lebih
baik mengenai Asia. Meski ia memberangkatkan kajiannya dari ilmu sosiologi dan banyak
bertumpu kepada teori Max Weber, namun pembacaannya terhadap sejarah Indonesia
sangatlah penting. Lebih dari itu, dalam buku ini kita dapat menemukan betapa pegetahuan van
Leur begitu luas. Dalam pembahasan di beberapa bab di buku ini, ia tidak hanya
memperbandingkan kelahiran dan perkembangan peradaban Indonesia dengan peradaban besar
di luar Indonesia, melainkan juga menggunakan berbagai macam data dari ilmu sosial lainnya,
termasuk arkeologi, antropologi, dan lain sebagainya. Sejatinya ia memang mencita-citakan
penggunaan berbagai macam data dari berbagai bidang dalam usaha penelusuran sejarah
Indoesia.

Anda mungkin juga menyukai