Anda di halaman 1dari 60

LAPORAN

PRAKTEK KUNJUNGAN
LAPANGAN DI KOMISI
PEMBERANTASAN AIDS
(HIV/AIDS) MIMIKA

“Disusun Untuk Memenuhi Tugas Kelompok


III Pada Mata Kuliah Penyakit Tropis”

Kelompok III:
1. Atikah
2. Dekthon N. Mote
3. Hermina M. Warikapokah
4. Indah L. Nahumarury
5. Jerlin Wandikbo
6. Maria Marlin Lartutul
7. Seryana

POLITEKNIK KESEHATAN
KEMENKES JAYAPURA
JURUSAN KESEHATAN
LINGKUNGAN
PROGRAM STUDI D-III
SANITASI MIMIKA
TAHUN AKADEMIK 2022/2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan


kehadirat Tuhan Yang Maha
Esa, karena berkat kasih dan
perlindungannya kami dapat
menyelesaikan karya tulis
laporan kunjungan lapangan
terkait pembahasan mengenai
Infeksi Menular Seksual (IMS) /
Penyakit Menular Seksual (PMS)
dan Situasi HIV/AIDS ini dapat
dipersembahkan kepada para
pembaca tercinta.

Adapun tujuan dalam


penulisan karya tulis laporan
kunjungan praktek ini adalah
untuk memenuhi tugas mata
kuliah Penyakit Tropis.

Kami sebagai penulis


sangat menyadari bahwa
penulisan karya tulis ilmiah kami
ini masih sangat terbatas. Oleh
karena itu, kami sebagai penulis
masih mengharapkan saran dan
kritik yang dapat membangun
dari pembaca serta guna untuk
kesempurnaan tugas karya tulis
ilmiah laporan kunjungan
lapangan ini.

Mimika, 09 September 2022

Penulis,
DAFTA ISI
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kasus HIV/AIDS pertama di


Indonesia ditemukan di Bali pada
tahun 1987. Pada tahun yang
sama, Perserikatan Bangsa-
Bangsa menyetujui diadakannya
strategi khusus untuk mencegah
dan menanggulangi AIDS di
seluruh dunia. Departemen
Kesehatan Indonesia saat itu
kemudian membentuk panitia
khusus untuk menanggulangi
AIDS serta menyelenggarakan
pendataan orang dengan
HIV/AIDS melalui beberapa
peraturan tahun 1988 dan 1989.
KPAN pertama kali dibentuk
berdasarkan Keputusan Presiden
36/1994 sebagai Komisi
Penanggulangan AIDS. Pada
tahun 2006, Komisi
Penanggulangan AIDS diubah
menjadi Komisi Penanggulangan
AIDS Nasional melalui Peraturan
Presiden 75/2006 bersamaan
dengan dibentuknya Komisi
Penanggulangan AIDS Provinsi
dan Kabupaten/Kota.
Struktur khusus Komisi
Penanggulangan AIDS Nasional
dihapus melalui Peraturan
Presiden Nomor 124 Tahun 2016
yang juga mensyaratkan KPAN
menyelesaikan tugasnya paling
lambat akhir tahun 2017. Namun
demikian keberadaan KPA di
daerah (provinsi dan
Kabupaten/kota) tidak dilakukan
perubahan melalui peraturan
presiden tersebut, artinya
keberadaan KPA di daerah
masih ada mengacu pada
Perpres no 75 tahun 2006 dan
Peraturan Menteri Dalam Negeri
nomor 20 tahun 2007 (pedoman
pembentukan KPA di daerah).
KPA di Mimika sendiri di
telah digabungkan dengan Dinas
Kesehatan Kabupaten Mimika
pada 201

1.2. Tujuan

Tujuan dilaksanakannya
praktek kunjungan lapangan di
KPA Dinas Kesehatan
Kabupaten Mimika ini adalah
untuk mengetahui:
1. Jumlah kasus IMS/PMS
dan HIV/AIDS di
Kabupaten Mimika
2. Target dan capaian
program KPA dinas
kesehatan Kabupaten
Mimika
3. Keberhasilan program
KPA Dinas Kesehatan
Kabupaten Mimika
4. Kendala pelaksanaan
program Dinas
Kesehatan Kabupaten
Mimika
5. Upaya-upaya yang
sudah dilakukan KPA
Dinas Kesehatan
Kabupaten Mimika

1.3. Manfaat Kunjungan


Manfaat kunjungan praktek
lapangan ini adalah
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Eliminasi


Malaria

Eliminasi malaria adalah


upaya untuk menghentikan
penularan malaria setempat
dalam satu wilayah geografi
tertentu. World Health Assembly
(WHA) ke-60 pada tahun 2007 di
Geneva tentang eliminasi malaria
telah mengajak berbagai negara
untuk memerangi malaria secara
global. (Marsis, Oetama, 2017)
Sejak tahun 2009 pemerintah
Republik Indonesia telah
menetapkan melalui Keputusan
Menteri Kesehatan nomor
293/MENKES/SK/ IV/2009
tanggal 28 April 2009 bahwa
upaya pengendalian malaria
dilakukan dalam rangka eliminasi
malaria di Indonesia. Eliminasi
malaria sendiri dilakukan secara
menyeluruh dan terpadu oleh
Pemerintah pusat, pemerintah
daerah, dan mitra kerja
pembangunan. (Setyaningrum,
Endah, 2020)

Komitmen untuk
menghentikan penyakit malaria
ini tidak hanya secara nasional,
namun juga regional yang mana
Komitmen Eliminasi Malaria ini
didukung oleh Menteri Dalam
Negeri melalui Surat Edaran
Mendagri No.443.41/465/SJ
tahun 2010 tentang pelaksanaan
program malaria dalam mencapai
eliminasi di Indonesia. Komitmen
pemerintah ditunjukkan dalam
salah satu indikator RPJMN
2015-2019. (Direktur P2PTVZ,
2017)
Pemerintah Indonesia
memahami konsep eliminasi
malaria sebagai:
1. Suatu upaya untuk
menghentikan penularan malaria
setempat dalam suatu wilayah
geografis tertentu, dan bukan
berarti tidak ada kasus malaria
impoor serta sudah tidak ada
vektor malaria di wilayah
tersebut, sehingga tetap
dibutuhkan kegiatan
kewaspadaan untuk mencegah
penularan kembali.
2. Suatu daerah atau lokasi
dikatakan tereliminasi malaria,
bila tidak ditemukan lagi kasus
penularan setempat (indigenous)
selama tiga tahun berturut-turut
serta dijamin dengan kemanpuan
pelaksanaan surveilans yang baik.
(Setyaningrum, Endah, 2020)
A. Tantangan Eliminasi
Malaria di Indonesia

Malaria di Indonesia tetap


sulit diberantas walau
penyebabnya sudah diketahui,
ada pengendalian, dan obatnya
telah diberikan kepada pasien.
Dalam hal ini ada beberapa
tantangan menuju eliminasi
malaria di Indonesia pada tahun
2030 adalah sebagai berikut:
1) Adanya perbedaan
tingkat endemisitas malaria di
Indonesia yang sangat bervariasi
mulai dari yang tinggi tingkat
endemisitas sampai dengan tak
adanya penularan malaria yang
tersebar menurut kabupaten,
kecamatan dan desa bahkan
sampai ke dusun dan satuan
terkecil masyarakat di
pedesaan/kelurahan.
2) Tersedianya nyamuk
penular malaria yang cukup
banyak baik yang dipengaruhi
sesuai habitat Asia, Australia dan
berada diantara kedua kawasan
tersebut.
3) Infrastuktur kesehatan
yang masih belum merata
diberbagai daerah terutama di
daerah yang sangat terpencil
dipedalaman maupun yang
berada di kepulauan terpencil.
4) Tingkat kemampuan
daerah dalam pembiayaan
kesehatan yang sangat berbeda
menurut kemampuan sumberdaya
alam di masing masing wilayah.
5) Sumberdaya tenaga
kesehatan yang tersedia dan
ketrampilannya dalam mengelola
program dan kemampuan teknis
guna mengeliminasi malaria.
6) Dukungan penelitian
guna menopang kegiatan
eliminasi malaria yang masih
lebih banyak berada di kawasan
barat Indonesia.
7) Dukungan peraturan
perundang-undangan menuju
eliminasi yang masih terbatas
dalam mengarahakan masyarakat
untuk berperilaku mendukung
upaya eliminasi malaria di
Indonesia.
8) Perpindahan penduduk
yang cukup tinggi antar daerah
dan antar pulau yang
mengakibatkan pengendalian
malaria perlulebih waspada
tentang jalur perpindahan
penduduk tersebut.
9) Indonesia berbatasan
dengan negara-negara yang
mempunyai tingkat endemisitas
malaria yang tinggi antara lain
Timor Leste dan Papua New
Guinea. (Setyaningrum, Endah,
2020)
B. API Malaria di Tanah
Papua 2021-2022

Pada 2021 di Provinsi


Papua Barat dilaporkan terdapat
7.628 kasus atau 56 persen, dan
4.169 kasus malaria di Papua
Barat tersebut terjadi di Kabuaten
Manokwari. Sementara di
kabupaten Sorong Selatan
(Sorsel), Maybrat dan
Pengunungan Arfak (Pegaf)
kasus yang ditemukan sudah
sangat rendah yaitu dibawa 10
kasus dan untuk Kabupaten
Fakfak, Sorong, Teluk Bintuni,
Raja Ampat, Tambrauw,
Kaimana, Kota Sorong, Teluk
Wondama dan Manokwari
Selatan berdasarkan kasus masih
berkisar antara 100 hingga 800
kasus malaria. (Parorongan,
2022).

Sedangkan di Provinsi
Papua pada 2021 Anual Parisite
Incidence (API) angka malaria di
Kabupaten Jayapura per 1.000
penduduk masih ada 193 orang
yang terkena malaria. sementara
pada 2023-2025 sesuai dengan
Peraturan Bupati (Perbup) Nomor
44 tahun 2017 yang merupakan
pedoman pengendalian malaria
menuju eliminasi pada 2030 di
Kabupaten Jayapura sudah masuk
dalam tahap tereliminasi.
Sehingga angka malaria di
Kabupaten Jayapura harus turun
sampai lima per 1.000 penduduk
sehingga perlu upaya yang sangat
strategis untuk mengatasi kasus
malaria. (Sunarto, 2022)
Kabupaten Mimika,
Provinsi Papua Tengah
menargetkan untuk masuk pada
fase praeliminasi kasus penyakit
malaria pada tahun 2026
mendatang, sementara target
untuk melakukan eliminasi
malaria dengan temuan kasus
malaria nol pada 2030. Kasus
malaria di Mimika hingga kini
masih sangat tinggi. Data
terakhir, Annual Parasite
Incidence (API) malaria ada di
angka 500 per 1000 penduduk.
Angka itu berarti setengah
penduduk Mimika terinfeksi
malaria atau dari 10 orang warga,
5 di antaranya positif malaria.
Dulu kita bicara 300 per 1000,
sekarang sudah 500 per 1000. Ini
kenaikan yang luar biasa.
Pangkal persoalannya ada pada
ketidakpedulian. Seperti
ketidakpedulian masyarakat
dalam meminum obat sampai
tuntas dan juga didorong oleh
warga yang tidak peduli pada
kebersihan lingkungan. (Rettob,
2022)

2.2 Sosial Budaya Pada


Malaria di Kabupaten Mimika

Perilaku normal, kebiasaan,


nilai-nilai dan penggunaan
sumber-sumber di dalam suatu
masyarakat akan menghasilkan
suatu pola hidup (way of life)
yang disebut kebudayaan.
Perilaku yang normal adalah
salah satu aspek dari kebudayaan
dan selanjutnya kebudayaan
mempunyai pengaruh yang dalam
terhadap perilaku. Budaya
merupakan penentu keinginan
dan perilaku paling dasar.
Masing-masing budaya terdiri
dari sejumlah sub-budaya yang
lebih menampakkan identifikasi
dan sosialisasi khusus bagi para
anggotanya. Sub-budaya
mencakup kebangsaan, agama,
kelompok ras, dan wilayah
geografis. Pada dasarnya, semua
masyarakat manusia memiliki
stratifikasi sosial. Stratifikasi
lebih sering ditemukan dalam
bentuk kelas sosial, pembagian
masyarakat yang relatif homogen
dan permanen, yang tersusun
secara hirarkis dan yang para
anggotanya menganut nilai,
minat, dan perilaku serupa.
(Notoatmodjo, 2010)

Di Negeri Cendrawasih
(Tanah Papua) terdapat berbagai
suku bangsa dengan ragam
kebiasaan dan perilaku, yang
merupakan faktor berpengaruh
dalam menunjang keberhasilan
partisipasi masyarakat dalam
upaya mengeliminasi malaria.
Penduduk Papua berasal dari
bermacam-macam suku yang
dipimpin oleh kepala suku.
Masyarakat setempat umumnya
hidup berkelompok dengan mata
pencarian nelayan, meramua,
bertani dan berburu, hingga saat
ini masih ditemukan gaya hidup
nomaden pada beberapa suku di
Negeri Cendrawasih. Tingkat
pengetahuan dan cara berpikir
masyarakat yang sangat terbatas,
begitu juga dengan sarana dan
prasarana yang kurang ditambah
lagi dengan ikatan adat istiadat
membuat masyarakat sulit
berkembang dalam waktu
singkat. Karena itu masyarakat
Papua masih hidup dibawah garis
kemiskinan dan keterbelakangan,
yang berdampak pada timbulnya
berbagai masalah kesehatan yang
cukup kompleks seperti tingginya
angka kematian ibu dan bayi,
prevalensi TBC, Malaria, Filaria,
Frambusia, kusta yang tinggi,
serta masalah-masalah lainnya
yang mengancam kelangsungan
hidup masyarakat di Tanah
Papua, termasuk HIV-AIDS yang
juga pernah menjadi KLB
(Dumatubun, 2012).

Dalam 20 tahun terakhir,


Kabupaten Mimika telah terjadi
pertumbuhan penduduk yang
sangat cepat akibat mobilisasi
penduduk karena adanya
perusahaan tambang PT. Freeport
Indonesia. Mobilisasi penduduk
akan beresiko tinggi pada
kelompok yang tidak mempunyai
kekebalan terhadap malaria (yang
dari luar Papua dan dari dalam
Papua yang bukan daerah
endemis malaria) yang mana hal
ini turut mempersulit program
eliminasi malaria di Kabupaten
Mimika. Profil pelayanan
kesehatan tentang penyakit
malaria di Kabupaten Mimika
secara deskripsi dapat
disimpulkan bahwa pelayanan
kesehatan selama ini hanya
berfokus pada pengobatan
malaria (kuratif) sedangkan pada
promosi kesehatan penyakit
malaria (promotif) dan
pencegahan penyakit malaria
(preventif) belum dijalankan
dengan semaksimal mungkin,
dengan tidak maksimalnya
pelayanan preventif dan
pelayanan promotif pada
penyakit malaria maka hal ini
juga turut mempengaruhi
pengetahuan masyarakat yang
tentu berdampak langsung
terhadap sosial budaya
masyarakat mengenai penyakit
malaria di Kabupaten Mimika.
(Mote, 2022)

Menurut (Mote, 2022) ada


dua faktor yang dapat digunakan
secara ‘terus menerus’ sebagai
upaya eliminasi malaria melalui
sosial budaya di Kabupaten
Mimika. Pertama, Pengendalian
penyakit malaria (fisik) adalah
penyehatan lingkungan yang
meliputi adanya genangan air,
keberadaan semak dan
keberadaan kandang hewan yang
dekat pada pemukiman warga
serta pemasangan kawat ventilasi
rumah. Kedua, Kejadian penyakit
malaria (non-fisik) adalah
kebiasaan masyarakat yang tidak
menghabiskan obat saat sesudah
berobat, kebiasaan tidur tanpa
menggunakan kelambu dan
kebiasaan masyarakat yang
bersosialisasi pada malam hari
(pukul lima petang) tanpa mandi
terlebih dahulu dan tidak
menggenakan baju pada saat
keluar rumah. Dimana, pada
pukul lima petang adalah waktu
ketika nyamuk anopheles betina
(agen) mulai berkeliaran mencari
manusia (host) untuk
mentransmisikan parasit
plasmodium yang telah
mengalami proses seksual dari
dalam tubuh inang vektor
tersebut. Kedua faktor ini dapat
dilakukan dengan pendekatan
pelayanan promotif dan
pelayanan preventif.
Dalam menindaklanjut
kedua faktor mengenai upaya
eliminasi malaria melalui sosial
budaya baik secara fisik dan non-
fisik dengan mengedepankan
pelayanan promotif dan
pelayanan preventif di Kabupaten
Mimika. Berikut adalah
pembahasannya lebih dalam:

A. Pelayanan Promotif Pada


Malaria

Pada pendekatan pelayanan


kesehatan secara promotif, hal-
hal yang dapat dilakukan adalah
melakukan promosi kesehatan
yang lebih (langsung) pada
praktek kesehatan (practice
health). Berikut adalah cara
mempromosikan pengendalian
penyakit malaria secara fisik
dengan menggunakan pelayanan
promotif:
1. Menimbun Genangan
Air
Genangan air
merupakan faktor fisik
pertama dari salah
satu triangle
epidemiologi yakni
lingkungan
(environment) pada
penyakit malaria,
dimana keberadaan
genangan juga
mendukung
peningkatan kasus
malaria karena vektor
penyakit malaria
menjadikan genangan
air sebagai tempat
perindukannya dan hal
ini sering disepelekan
oleh masyarakat (telah
menjadi
budaya/kebiasaan)
dalam masyarakat di
Kabupaten Mimika
maka langkah tepat
yang dapat dilakukan
adalah
mempromosikan cara
menimbun genangan
air yang baik dan
benar pada lingkungan
rumah, kebun dan
kandang hewan
(tempat) dimana
masyarakat sering
melakukan aktifitas.
2. Membersihkan Semak
Keberadaan semak
merupakan faktor fisik
kedua dari salah satu
triangle epidemiologi
yakni lingkungan
(environment) pada
penyakit malaria,
dimana keberadaan
semak juga
mendukung
peningkatan kasus
malaria karena vektor
malaria lebih nyaman
hidup pada
lingkungan dengan
kapasitas pencahayaan
yang kurang (gelap)
namun keberadaan
semak sering
dianggap biasa (telah
menjadi
budaya/kebiasaan)
oleh masyarakat di
Kabupaten Mimika
maka langkah tepat
yang dapat dilakukan
adalah
mempromosikan
bahwa dengan
membersihkan semak
dapat mengendalikan
penyakit malaria.

3. Jarak Kandang Hewan


Keberadaan kandang
hewan merupakan
faktor fisik ketiga dari
salah satu triangle
epidemiologi yakni
lingkungan
(environment) pada
penyakit malaria,
dimana keberadaan
kandang hewan juga
mendukung
peningkatan kasus
malaria karena vektor
penyakit malaria lebih
nyaman hidup pada
lingkungan
(environment) yang
kotor. Orang Asli
Papua (OAP) di
Kabupaten Mimika
pada umumnya mata
pencaharaian mereka
adalah berkebun dan
bertenak yang mana
hal ini merupakan
wujud kebudayaan
masyarakat di Bumi
Cendrawasih. Untuk
itu, dalam
mengelimansi malaria
melalui sosisal budaya
hal yang perlu di
promosikan adalah
dengan menimbangan
keberadaan kandang
hewan harus tidak
berada dekat dengan
pada pemukiman
warga dan harus
dibersihkan secara
setiap.

B. Pelayanan Preventif Pada


Malaria

Pada pendekatan pelayanan


kesehatan secara preventif dalam
eliminasi malaria melalui sosial
budaya, hal-hal yang dapat
dilakukan adalah melakukan
kegiatan pencegahan dalam
berbagai bentuk baik secara lisan
maupun tulisan yang dapat
dijadikan sebagai sumber
informasi guna mendidik
masyarakat mengenai betapa
pentingnya dilakukan pencegahan
penyakit malaria sebelum terjadi
kejadian malaria itu sendiri.
Dalam hal ini, pengetahuan
terhadap kesehatan (knowledge
healthy) akan penyakit malaria
dapat dijadikan sebagai patokan
untuk mendidikan masyarakat.
Berikut adalah cara pencegahan
penyakit malaria secara non-fisik
dengan menggunakan pelayanan
preventif:
1. Kepatuhan Minum
Obat
Kepatuhan
masyarakat dalam
menghabiskan obat
malaria adalah salah
satu faktor
pendukung yang
sudah menjadi
budaya dalam
masyarakat hal ini
tentu turut menekan
peningkatan
berulang pada
kejadian kasus
malaria di
Kabupaten Mimika.
Maka, hal yang
dapat diupayakan
untuk
mengeliminasi
malaria melalui
sosial budaya ini
adalah dengan
meningkatkan
pengetahuan yaitu
menjelasakan secara
terperinci kepada
masyarakat terhadap
dampak yang akan
mereka alami secara
terus menerus dan
terstruktur apabila
mereka tidak patuh
dalam
menghabiskan obat
malaria seperti
terjadinya resistenti
OAM yang mana
itu merupakan bibit
parasit malaria
dalam tubuh
manusia yang
berkembangbiak
dan akan
menyebabkan
resistensi itu
sendiri.
2. Pengunaan
Kelambu
Tidur tanpa
menggunakan
kelambu bukanlah
hal yang baru pada
penderita malaria.
Hal ini merupakan
kebiasaan (budaya)
umum pada
penderita malaria di
Kabupaten Mimika.
Meskipun
pembagian kelambu
kepada pasien
malaria telah
dilakukan secara
berulang namun
minat masyarakat
untuk menggunakan
kelambu sangat
kecil dengan
berasumsi bahwa
dengan
menggunakan
kelambu membuat
mereka merasa
kepanasan, tidak
nyaman, merasa
kesempitan ketika
tidur. Maka upaya
yang harus
dilakukan untuk
eliminasi malaria
melalui sosial
budaya ini adalah
dengan mendidik
masyarakat akan
cara penggunaan
kelambu dengan
baik dan benar agar
tidak merasa tidak
nyaman, tidak panas
dan tidak sempit
seperti apa yang
mereka asumsikan.
3. Kebiasaan Keluar
Rumah
Bersosialisasi pada
malam hari yang
dimaksud adalah
pergaulan/aktivitas/i
nteraksi yang
dilakukan secara
formal maupun non
formal seperti
antara keluarga,
teman, tetanggga
yang ada dalam
masyarakat yang
dilakukan di luar
ruangan/alam
terbuka pada malam
juga merupakan
citra sosial budaya
masyarakat di
Kabupaten Mimika.
Maka upaya yang
harus dilakukan
adalah memberitahu
bahwa vektor
malaria beraktifitas
pada pukul 17.00
sore -05.00 subuh
serta dampak
penularan yang juga
turut meningkat.

2.3 Pengobatan Tradisional


Pada Malaria di Kabupaten
Mimika

Obat tradisional adalah obat


jadi atau ramuan bahan alam
yang berasal dari tumbuhan,
hewan, mineral, sediaan galenik
atau campuran bahan-bahan
tersebut yang secara tradisional
telah digunakan untuk
pengobatan berdasarkan
pengalaman. Pada kenyataannya
bahan obat alam yang berasal
dari tumbuhan porsinya lebih
besar dibandingkan yang berasal
dari hewan atau mineral,
sehingga sebutan obat tradisional
(OT) hampir selalu identik
dengan tanaman obat (TO)
karena sebagian besar OT berasal
dari TO. (Kasim & Yusuf, 2020)
Papua memiliki sumber
daya alam flora yang beragam,
kurang lebih 15.000 – 20.000
jenis. Dari jumlah jenis tersebut
ada yang memiliki sifat khas dan
unik yang tidak ditemukan di
provinsi lain di Indonesia, bahkan
di negara-negara lain di dunia
(Pateocz, 1987). Papua memiliki
tumbuhan berpembuluh sebanyak
25.000 jenis yang dapat
dimanfaatkan sebagai obat.
Lekitoo et al. (2010)
Kebergantungan masyarakat di
Kabupaten Mimika akan
pengobatan malaria
menggunakan obat kimiawi
sangatlah tinggi, hal ini tentu
memperlambat program eliminasi
yang telah menjadi agenda
pemerintah daerah kabupaten
Mimika yang mewacanakan fase
praeliminasi kasus penyakit
malaria pada tahun 2026
mendatang.
Pembuatan obat malaria
berbeda antara satu tempat
dengan tempat yang lainnya.
Perbedaan tersebut disebabkan
oleh letak kampung, jenis
tumbuhan obat pada suatu tempat
dan tempat lainnya pun berbeda
serta transmisi pengetahuan
secara turun-temurun dari
masyarakat satu dan masyarakat
yang lainnya pun berbeda dalam
meracik tanama obat. Diketahui
bahwa terdapat 29 jenis
tumbuhan yang termasuk dalam
16 famili yang dapat dipakai
untuk mengobati malaria.
(Sarimole, Ema; Martosupono,
Martanto; Semangun, Haryono;
Mangimbulude, Jubhar C;, 2014)

Hasil penelusuran pustaka


dan pengetahuan mengenai jenis
tumbuh-tumbuhan obat
tradisional yang dapat dijumpai
dan digunakan oleh masyarakat
di Kabupaten Mimika dalam
pengobatan malaria antaralain
seperti yang di sajikan sebagai
berikut:
Tabel 1. Jenis Tumbuhan dan
Cara Pengunaannya
No
Nama Cara Pengunaan
.
1. Latin : Alstonia scholaris Kulit kayu ini diambil tiga poton
Indonesia : Pulai
lebar 7 cm, dan sayatan kulit luarn
Papua : Kayu Susu dibuang. Potongan tersebut direb
Famili : Apocynacceae dengan air sebanyak tiga gelas hing
disisakan satu gelas, didinginka
kemudian diminum.

Gambar 1.
Tumbuhan pulai
/kayu susu

2. Latin : Sesbania Bagian yang dimanfaatkan sebag


grandiflora obat adalah daun. Daun turi diamb
Indonesia : Turi segenggam, diseduh dengan air pan
Papua : Turi satu gelas, setelah dingin diminum.
Famili : Fabaceae

Gambar 2.
Tumbuhan turi
3. Latin : Catharanthus Diambil bagian daun lalu dikeringk
roseus kemudian direbus dengan air. adap
Indonesia : Tapak dara daun diambil segenggam lalu direb
Papua : Tapak merah dengan air tiga gelas sampai tersi
Famili : Apocynaceae satu gelas, didinginkan dan kemudi
diminum.

Gambar 3.
Tumbuhan tapak dara /
merah

4. Latin : Arcangelisia flava Bagian yang dipakai adalah bagian ta


Indonesia : Kayu kuning kuning, kemudian dipotong kec
Papua : Tali kuning kecil, lalu dikeringkan setelah i
Famili : Menispermaceae diseduh sedangkan bagian yang bas
direbus dengan air tiga gelas samp
tersisa satu gelas, didinginka
kemudian diminum.

Gambar 4.
Tumbuhan kayu/tali kuning

5. Latin : Morinda citrifolia Diam empat sampai lima lembar ku


Indonesia : Mengkudu batang mengkudu selebar 5 cm
Papua : Mengkudu direbus dengan air secukupny
Famili : Rubiaceae setelah itu didinginkan diminum

Gambar 5.
Tumbuhan mengkudu
6. Latin : Carica Papaya Bagian yang dimanfaatkan sebag
Indonesia : Pepaya obat adalah daun. Daun pepaya yan
Papua : Pepaya telah berwarna kuning dipera
Famili : Caricaceae kemudian dicampur dengan sedik
garam, campuran ini kemudi
diminum , direbus dengan air ti
gelas hingga tersisa satu gelas, setel
dingin, kemudian diminum.

Gambar 6.
Tumbuhan pepaya

7. Latin : Cassia tora Bagian tumbuhan yang bermanfa


Indonesia : Ketepeng sebagai obat adalah daun. Diamb
Papua : Ketepeng segenggam daun ketepeng, direb
Famili : Fabaceae dengan air secukupnya, setelah dingi
kemudian diminum.

Gambar 7.
Tumbuhan ketepeng

8. Latin : Orthosiphon Bagian yang bermanfaat sebagai ob


aristatus adalah akar, batang, daun, dan bung
Indonesia : Kumis kucing Semua bagian tumbuhan direb
Papua : Kumis kucing dengan air secukupnya, setelah dingi
Famili : Lamiaceae kemudian diminum.

Gambar 8.
Tumbuhan kumis kucing
9. Latin : Stachytarpheta Bagian yang digunakan sebagai ob
jamaicensis adalah daun. Diambil segenggam da
Indonesia : Pecut kuda segar pecut kuda, rebus dengan a
Papua : Pecut kuda secukupnya, setelah dingin, kemudi
Famili : Verbenaceae diminum.

Gambar 9.
Tumbuhan pecut kuda

10. Latin : Phyllanthus urinaria Bagian yang dimanfaatkan sebag


Indonesia : Meniran obat adalah semua bagian tumbuh
Papua : Meniran yaitu akar, batang, daun, bunga, d
Famili : Phyllanthaceae buah. Diambil 5 hingga 7 bata
meniran, direbus dengan a
secukupnya, setelah dingin, kemudi
diminum.

Gambar 10.
Tumbuhan pecut kuda

11 Latin : Piper betle Bagian yang digunakan adal


Indonesia : Sirih daunnya. Daunnya diambil d
Papua : Sirih direbus, lalu diminum air rebusannya
Famili : Piperaceae

Gambar 11.
Tumbuhan sirih
12 Latin : Zingiber officinale Cara menggunakan jahe unt
Indonesia : Jahe mengobati penyakit ini ialah ja
Papua : Jahe direbus dengan air sampai matan
Famili : Zingiberaceae kemudian minumlah ramuan tersebu

Gambar 12.
Tumbuhan jahe

13. Latin : Curcuma longa Cara pengobatanya adalah deng


Linn. campuran bahan tambahan seperti
Syn. Curcuma gram kunyit, 15 gram kulit pule,
domestica Val gram kayu cendana, 5 gram ku
Indonesia : Kunir pohon keningar, 6 gram daun jerin
Papua : Kunyit antan, 20 gram temulawak, miny
Familli : Zingiberaceae kayu putih 6 tetes (taruh di pirin
kecil), dan 500 air matang. Kemudi
haluskan semua bahan kecuali miny
kayu putih, dan rebus dalam 500
air. Setelah itu konsumsilah ramu
tersebut sehari 3 kali.

Gambar 13.
Tumbuhan kunir
Itulah hasil penelusuran pustaka
dan pengetahuan mengenai jenis
tumbuhan obat yang dapat
dijumpai dan digunakan sebagai
pengobatan penyakit malaria
secara tradisional oleh
masyarakat di Kabupaten
Mimika.

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan
yang telah diuraikan sebelumnya
maka disimpulkan bahwa upaya
eliminasi malaria melaui sosial
budaya dan pengobatan
tradisional pada masyarakat di
Kabupaten Mimika adalah
sebagai berikut:
1. Pengetahuan kesehatan
(knowledge healthy) mengenai
penyakit malaria oleh masyarakat
di Kabupaten Mimika masih
rendah walaupun penyakit ini
adalah penyakit yang tertinggi
hampir setiap tahunnya. Namun
masyarakat belum memahami
secara benar tentang faktor
penyebab, gejala klinis, cara
penularan dan upaya pencegahan
serta pengobatan, kondisi ini
berpengaruh terhadap cara
masyarakat dalam menyikapi
penyakit malaria.
2. Profil pelayanan kesehatan di
Kabupaten Mimika yang lebih
berfokus pada pelayanan kuratif
(pengobatan) juga mempengaruhi
upaya eliminasi malaria pada
2030 mendatang. Perlu dilakukan
evaluasi yang mengupayakan
agar Puskesmas lebih berfokus
pada mendidik masyarakat baik
secara teori maupun praktek
mengenai bagaimana cara
pengendalian dan pencegahan
yang baik dan benar serta
mempromosikan pengobatan
tradisional yang benar-benar
telah di kaji dan dapat dipercaya.
3. Pengobatan malaria secara
tradisional dalam mengeliminasi
malaria dengan menggunakan
tumbuhan obat (secara alamiah)
relatif lebih aman, mudah
dijangkau, mudah dikelola, biaya
pengeluaran kecil dan memiliki
efek samping yang rendah.
Kecuali pada saat dilakukannya
pengobatan, ada penyakit lainnya
yang juga menjangkit kesehatan
pasien harus diwaspadai guna
mencegah terjadinnya komplikasi
lainnya (bertentangannya)
tumbuhan obat yang dikonsumsi
dengan penyakit lain tersebut.

3.2 Saran

Dengan kesimpulan yang


diuraikan diatas maka beberapa
saran diajukan demi tercapainya
upaya eliminasi malaria melalui
sosial budaya dan pengobatan
tradisional pada masyarakat di
Kabuten Mimika adalah sebagai
berikut:
1. Memaksimalkan peran petugas
kesehatan khususnya petugas
promosi kesehatan dalam
memberikan pemahaman yang
benar mengenai sosial budaya
masyarakat terhadap
pengendalian, pencegahan dan
pengobatan tradisional yang
dapat dimanfaatkan dan
dilakukan melalui berbagai media
komunikasi dan saluran informasi
yang disesuaikan
(disederhanakan) dengan bahasa
daerah serta dialog Papua agar
masyarakat dapat memahami dan
menerapkannya.
2. Maksimalisasi peran tokoh
masyarakat yang ada seperti
kepala suku dalam mendukung
upaya penanggulangan malaria
dengan memberikan pengetahuan
yang memadai sehingga
partisipasi mereka dapat
mendidik masyarakatnya masing-
masing yang tentu ini adalah
bentuk keseriusan jika
Pemerintah Kabupaten Mimika
benar-benar berjuang dalam
menjemput fase praeliminasi
malaria pada 2026 dan eliminasi
malaria pada 2030.
3. Dinas kesehatan kabupaten
Mimika harus melakukan
kerjasama dengan institusi
pendidikan guna meneliti lebih
dalam tentang tumbuhan obat
yang dapat mengobati malaria,
kandungan yang dimiliki
tumbuhan obat tersebut apakah
benar memiliki khasiat untuk
mengobati malaria sehingga
dapat ditemukan alternatif lain
atau dapat dikombinasikan dan
dikembangkan dengan tumbuhan
lain yang juga dapat dijumpai dan
sudah dikenali jenis
tumbuhannya oleh masyarakat di
Kabupaten Mimika dalam
mengobati penyakit malaria.
4. Perlunya memaksimalkan
media oleh petugas kesehatan di
puskesmas dan rumah sakit serta
pusat pelayananan kesehatan
lainnya dengan memperbanyak
media seperti poster, leaflet,
brosur dan jenis media lainnya
yang menarik minat masyarakat
agar lebih memahami tentang
penyakit malaria serta dapat juga
dipromosikan dalam bentuk
audio dan visual yang
dipromosikan pada iklan
videotron indoor dan akun sosial
media lainnya seperti tiktok,
youtube facebook, instagram,
twitter, whatsapp dan berbagai
media online lainnya.

DAFTAR

PUSTAKA

Darmawan, Lipinwati. (2014).


Gambaran Obat
Tradisional yang
Digunakan Penderita
Malaria di Wilayah
Puskesmas Simpang IV
Sipin Kota Jambi 2014 ,
15-16.

Direktur P2PTVZ. (2017). Buku


Saku Penatalaksanaan
Kasus Malaria. Jakarta:
Kementrian Kesehatan
RI.

Ester. (2013). PENELITIAN.


PERILAKU ETNIS
PAPUA MENGENAI
PENYAKIT MALARIA DI
KABUPATEN NABIRE
PROVINSI PAPUA, 45-
77.

Jayaputra, Achmadi;. (2015).


Dinamika Masyarakat
Mimika Dalam Perspektif
Ketahanan Sosial. . Pusat
Penelitian dan
Pengembangan
Kesejahteraan Sosia,
Kementrian Sosisal RI,
168-169.

Kasim, V. N., & Yusuf, Z. K.


(2020). Tumbuhan Obat
Berbasis Penyakit.
Bolango: C.V Athra
Samudra.

Laporan Kinerja Ditjen P2P.


(2021). Laporan Kinerja
Ditjen P2P 2020.
Laporan Kinerja Ditjen
P2P 2020, 34.

Marsis, Oetama. (2017). Buku


Saku Penatalaksanaan
Kasus Malaria. Jakarta:
Kementrian Kesehatan
RI.

Marsis;. (2017). Buku Saku


Penatalaksanaan Kasus
Malaria. Jakarta:
Kementrian Kesehatan
RI.

Mote, D. N. (2022, September


18). Malaria Ajar Biasa.
Malaria Ajar Biasa, 1.
Timika, Papua, Indonesia:
Prodi D-III Sanitasi
Mimika.

Parorongan, O. (2022, April 25).


2021 Capai 4.169 Kasus
Malaria di Manokwari,
Tertinggi di Papua Barat.
(J. Papua, Interviewer)

Pasaribu, I. (2016, Januari 31).


Retrieved September 22,
2022, from Kementrian
Kesehatan RI, Direktorat
Jendral Kesehatan
Masyarakat:
https://kesmas.kemkes.go.
id/konten/133/0/013118-
promkes-itu-bukan-
hanya-penyuluhan-saja

Pringkuku, Puskesmas;. (2018, 5


10). Program Promosi
Kesehatan. Retrieved
September 22, 2022, from
Puskesmas Pringkuku
Pacitankab.go id.:
https://puskesmaspringku
ku.pacitankab.go.id/progr
am-promosi-kesehatan/
#:~:text=adalah%20upaya
%20untuk
%20menumbuhkan
%20dan,dalam
%20penyelenggaraan
%20setiap%20upaya
%20kesehatan.

Profil Kesehatan Kabupaten


Mimika. (2013,
September 15). Profil
Kesehatan Kabupaten.
Profil Kesehatan
Kabupaten 2012, p. 31.

Rettob, J. (2022, April 3).


Pemkab Mimika
Targetkan Praeliminasi
Malaria Pada 2026. (E.
Supar, Interviewer)

Sarimole, Ema; Martosupono,


Martanto; Semangun,
Haryono; Mangimbulude,
Jubhar C;. (2014).
PENGOBATAN
PENYAKIT MALARIA
DENGAN
MENGGUNAKAN
BEBERAPA JENIS
TUMBUHAN NABATI
DI KABUPATEN RAJA
AMPAT. PENGOBATAN
PENYAKIT MALARIA
DENGAN
MENGGUNAKAN
BEBERAPA JENIS
TUMBUHAN NABATI DI
KABUPATEN RAJA
AMPAT, B-2.

Setyaningrum, Endah. (2020).


Mengenal Malaria dan
Vektornya. Bandar
Lampung: Pustaka Ali
Imron.

Sunarto, P. (2022, Agustus 11).


Pemkab Jayapura Deteksi
Kasus Malaria di Seluruh
Kampung. (A. Raharjo,
Interviewer)

Anda mungkin juga menyukai