Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

TEORI PERKEMBANGAN ANAK


Ditulis Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah :
ANALISIS KEBUTUHAN ANAK
Dosen Pengampu:
NILA DWI SUSANTI, M.Pd

Oleh:
1. M Sya'ban Ato'illah (1914326159)
2. Nafisah Ummul Baroroh (1914326161)
3. Nikmatul khikmah (1914326162)

PROGRAM STUDI
PENDIDIKAN GURU MADRASAH IBTIDAIYAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM ATTANWIR
TALUN SUMBERREJO BOJONEGORO
TAHUN AKADEMIK 2019/2020

1
KATA PENGANTAR

Bismillaahirrahmaanirrahiim.
Makalah ini ditulis guna memenuhi tugas perkuliahan mata kuliah
”Analisis Kebutuhan Anak” Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Attanwir
Bojonegoro. Makalah ini merupakan hasil penulisan yang ditulis berdasarkan
ketentuan-ketentuan penulisan karya ilmiah di lingkungan Sekolah Tinggi
Agama Islam (STAI) Attanwir Bojonegoro.
Ungkapan terima kasih penulis sampaikan kepada semua pihak yang telah
memberikan segenap motivasi demi terselesaikannya makalah ini, khususnya
kepada:
1. NILA DWI SUSANTI, M.Pd dosen pengampu mata kuliah Analisis
Kebutuhan Anak, yang senantiasa memberikan bimbingan kepada penulis,
sehingga penulisan makalah ini bisa terselesaikan dengan baik.

2. Teman-teman mahasiswa/i se-angkatan yang sedang menempuh studi


di Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Attanwir Bojonegoro.
Penulis menyadari bahwa penulisan makalah ini masih jauh dari kata
sempurna. Oleh karena itulah, dengan kerendahan hati, penulis selalu
mengharap saran dan kritik dari pembaca demi tercapainya kesempurnaan
makalah ini.
Akhirnya, penulis berharap semoga makalah ini bermanfaat, khususnya
bagi penulis dan bagi para pembaca pada umumnya. Amin.

Bojonegoro 22 Desember 2020

Penulis

2
DAFTAR ISI

COVER
KATA PENGANTAR.................................................................................i
DAFTAR ISI................................................................................................ii
BAB I: PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG.............................................................................1
B. RUMUSAN MASALAH........................................................................2
C. TUJUAN.................................................................................................2
BAB II: PEMBAHASAN
A. Teori Perkembangan Navitisme..............................................................
B. Teori Perkembangan Empirisme.............................................................
C. Teori Perkembangan Konfergensi...........................................................
D. Teori Perkembangan Psikososial............................................................
BAB III: PENUTUP
A. Kesimpulan..............................................................................................

DAFTAR PUSTAKA

3
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Dalam kehidupan ini dari waktu ke waktu manusia (makhluk hidup)


mengalami suatu perkembangan, entah itu dalam fisik atau psikologisnya. Dimana
dalam kehidupan sehari-hari perkembangan fisik lebih dikenal dengan sebutan
pertumbuhan, sedangkan pada yang lainnya (non fisik) dinamakan perkembangan
psikologis.

Perkembangan psikologi dapat diartikan sebagai perubahan-perubahan


tertentu yang muncul pada diri manusia (binatang) diantara konsepsi (pembuahan)
dan mati. Dimana dalam makalah ini sedikit banyak akan dibahas mengenai teori-
teori psikologi perkembangan anak tersebut. Sehingga dengan dibahasnya teori-teori
tersebut dapat membantu orangtua atau guru dalam memahami tingkah laku dan
mendidik anak-anaknya.

Sehinnga ketika besok kita sudah menjadi guru atau orang tua tidak salah
dalam mendidik atau menanggapai tingkah laku anak didik atau anak kita sendiri.
Karena banyak kasus yang salah dalam pengambilan tindakan yang dilakukan guru
atau orangtua terhadap anak didiknya atau anaknya sendiri. Yaitu salah dalam hal
memahami keinginan atau tindakan “super” (anak berkebutuhan khusus) dari peserta
didik atau anak kita sendiri.

Sehinnga disuatu kesempatan kita tidak menghambat langkah dari anak-anak


tersebut. Yaitu ketika anak sudah pintar berlari kita malah baru mengajarinya
berjalan, dan ketika para anak-anak sudah dapat terbang kita sebagai guru atau orang
tua malah baru mengajarinya berlari.

4
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa yang dimaksud dengan teori perkembangan Navitisme?
2. Apa yang dimaksud dengan teori perkembangan empirisme?
3. Apa yang dimaksud dengan teori perkembangan konfergensi?
4. Apa yang dimakssud dengan teori perkembangan psikososial?

C. TUJUAN
1. Mengetahui apa yang dimaksud dengan teori perkembangan Navitisme
2. Mengetahui apa yang dimaksud dengan teori perkembangan Empirisme
3. Mengetahui apa yang dimaksud dengan teori perkembangan Konfergensi
4. Mengetahui apa yang dimakssud dengan teori perkembangan Psikososial

5
BAB II

PEMBAHASAN

A. Teori Perkembangan Navitisme

Nativisme merupakan kata dasar dari bahasa Latin, “natus” yang artinya lahir
atau “nativus” yang mempunyai arti kelahiran (pembawaan). Nativisme
merupakan sebuah doktrin yang berpengaruh besar terhadap teori pemikiran
psikologis. Teori nativisme ini dipelopori oleh Arthur Schopenhauer (1788-1860),
seorang filosof Jerman. ini mengemukakan bahwa perkembangan manusia itu
telah ditentukan oleh faktor-faktor yang dibawa sejak lahir (faktor pembawaan)
baik karena berasal dari keturunan orang tuanya, nenek moyangnya maupun
karena memang ditakdirkan demikian.

Pembawaan itulah yang menentukan hasil perkembangannya. Manakala


pembawaannya itu baik, baik pula anak itu kelak. Begitu pula sebaliknya,
andaikata anak itu berpembawaan buruk, buruk pula pada masa pendewasaannya.

Potensi-potensi yang dimiliki seseorang adalah potensi hereditas (bawaan)


bukan potensi pendidikan. Pendidikan dan sama sekali tidak berpengaruh terhadap
perkembangan manusia. Teori ini juga termasuk dalam filsafat idealisme yang
mengemukakan bahwa perkembangan seorang hanya ditentukan oleh keturunan
yaitu faktor alam yang bersifat kodrati.

Menurut nativisme, pendidikan tidak dapat mengubah sifat-sifat pembawaan.


Pendidikan dan lingkungan tidak berpengaruh sama sekali dan tidak berkuasa
dalam perkembangan seorang anak. Dalam ilmu pendidikan teori nativisme ini
dikenal sebagai pandangan pesemisme paedagogis. Teori ini disebut pula dengan
Biologisme, karena mementingkan kehidupan individu saja, tanpa memperhatikan

6
pengaruh-pengaruh dari luar. Perkembangan individu sangat dipengaruhi oleh 3
faktor:

 Faktor genetik (keturunan)

 Faktor Kemampuan (bakat)

 Faktor Pertumbuhan

Tujuan teori Nativisme, yaitu:

 Mampu memunculkan bakat yang dimiliki

 Mendorong seseorang mewujudkan diri yang berkompetensi

 Mendorong seseorang dalam menetukan pilihan

 Mendorong seseorang untuk mengembangkan potensi dari dalam dirinya

 Mendorong manusia mengenali bakat minat yang dimiliki

B. Teori Perkembangan Empirisme

Nama asli teori ini adalah “The school of British Empiricism” (teori
empirisme Inggris). Pelopor teori ini adalah John Locke (1632-1704). teori ini
mengemukakan bahwa manusia dilahirkan seperti kertas kosong (putih) yang
belum ditulis (teori tabularasa). Jadi sejak dilahirkan anak itu tidak mempunyai
bakat dan pembawaan apa-apa dan anak dibentuk sekehendak pendidiknya. Disini
kekuatan apa pada pendidik, pendidikan dan lingkungannya yang berkuasa atas
pembentukan anak.

Teori empirisme ini merupakan kebalikan dari teori nativisme karena


menganggap bahwa potensi atau pembawaan yang dimiliki seseorang itu sama
sekali tidak ada pengaruhnya dalam upaya pendidikan. Semuanya ditentukan oleh
faktor lingkungan yaitu pendidikan. Teori ini disebut juga dengan Sosiologisme,
karena sepenuhnya mementingkan atau menekankan pengaruh dari luar. Dalam
ilmu pendidikan teori ini dikenal sebagai pandangan optimisme paedagogis.

7
Tujuan teori Empirisme, yaitu:

 Sebagai faktor penentu bagi perkembangan seseorang yang bersumber


dari berbagai sistem pendidikan.

 Mendorong seseorang dalam penguasaan terhadap bidang pengetahuan,

 Agar pendidikan seseorang menjadi relevan dan paling efektif


yangberorientasi pada pemberdayaan pendidikan dan pengalaman anak-
didik itu sendiri.

C. Teori Perkembangan Konvergensi

Teori ini pada intinya merupakan perpaduan antara pandangan nativisme dan
empirisme, yang keduanya dipandang sangat berat sebelah. Tokoh utama teori
konvergensi adalah Louis William Stern (1871-1938), seorang filosof sekaligus
sebagai psikolog Jerman.

Teori ini menggabungkan arti penting hereditas (pembawaan) dengan


lingkungan sebagai faktor yang berpengaruh dalam perkembangan manusia.
Faktor pembawaan tidak berarti apa-apa tanpa faktor pengalaman (lingkungan).
Demikian pula sebaliknya, faktor pengalaman tanpa faktor pembawaan tidak akan
mampu mengembangkan manusia yang sesuai dengan harapan.

Perkembangan yang sehat akan berkembang jika kombinsai dari fasilitas yang
diberikan oleh lingkungan dan potensialitas kodrati seseorang bisa mendorong
berfungsinya segenap kemampuannya. Dan kondisi sosial menjadi sangat tidak
sehat apabila segala pengaruh lingkungan merusak, bahkan melumpuhkan potensi
psiko-fisiknya

8
Dengan demikian, keadaan ini dapat dinyatakan bahwa faktor pembawaan
maupun pengaruh lingkungan yang berdiri sendiri tidak dapat menentukan secara
mutlak dan bukan satu-satunya faktor yang menentukan pribadi atau struktur
kejiwaan seseorang. Sedangkan tujuan teori belajar konvergensi adalah gabungan
antara tujuan teori nativisme dan tujuan dari teori empirisme.

Aplikasi dalam kehidupan

Berdasarkan teori nativisme, untuk mendukung teori tersebut di era sekarang


banyak dibuka pelatiahan dan kursus untuk pengembangan bakat sehingga bakat
yang dibawa sejak lahir itu dilatih dan dikembangkan agar setiap individu manusia
mampu mengolah potensi diri. Sehingga potensi yang ada dalam diri manusia
tidak sia-sia kerena tidak dikembangkan, dilatih dan dimunculkan.

Sedangkan yang terjadi dari realisasi paradigma empirisme, salah satunya


adalah munculnya reduksi terus-terusan atau bahkan penghilangan dimensi dan
peranan internal dalam proses pendidikan. Berpijak dari pandangan bahwa faktor
ekstern manusia, merupakan faktor penentu, maka upaya yang dilaksanakan akan
terus-terusan berorientasi pada pemberdayaan aspek luar diri manusia itu sendiri.
Reduksi dan bahkan penghilangan dimensi dan peranan internal manusia, justru
akan mendorong dan mengarahkan manusia yang menjadi anak-didik ke arah
“sekularisasi” kehidupan dari aspek-aspek rohani, terutama naluri keagamaan.

Dari bermacam-macam istilah teori perkembangan seperti tersebut di atas,


teori konvergensi merupakan teori yang dapat diterima oleh para ahli pada
umumnya. Sehingga teori ini merupakan salah satu hukum perkembangan individu
di samping adanya hukum-hukum perkembangan yang lain.

Jadi, baik faktor pembawaan (gen) dan lingkungan itu diperlukan bagi
seseorang meski hanya sekedar ada di dunia. Faktor bawaan dan lingkungan
bekerja sama untuk menghasilkan kecerdasan temperamen, tinggi badan, berat
badan, kecakapan membaca, dan sebagainya. Tanpa gen, tidak akan ada

9
perkembangan, tanpa lingkungan tidak ada pula perkembangan karena pengaruh
lingkungan tergantung pada karakteristik genetik bawaan, jadi dapat kita katakan
bahwa ke-2 faktor di atas saling berinteraksi

D. Teori perkembangan psikoseksual

Merupakan salah satu teori yang paling terkenal sekaligus menjadi


kontroversi. Dalam teorinya tersebut, Freud mengemukakan bahwa kepribadian
seseorang berkembang melalui serangkaian tahapan pada masa anak-anak.
Menurut Freud, kepribadian sebagian besar dibentuk ketika anak berusia lima
tahun. Awal perkembangan berpengaruh besar dalam pembentukan kepribadian
dan akan mempengaruhi perilaku di kemudian hari. Jika tahap-tahap psikoseksual
selesai dengan sukses maka akan menghasilkan bentuk kepribadian yang sehat.
Namun sebaliknya, jika tahapan pada perkembangan tersebut tidak terselesaikan
atau mengalami hambatan, maka dapat menghasilkan fiksasi.

Apa itu fiksasi? Fiksasi adalah perilaku menetap yang dibawa dari kecil
hingga perjalanannya menuju dewasa. Sampai konflik tersebut diselesaikan,
individu akan tetap “terjebak” dalam tahap ini. Contoh dalam hal ini misalnya,
seseorang yang tidak menyelesaikan tahap oralnya dengan baik maka ketika ia
dewasa ia akan terpaku pada tahap oral. Untuk lebih lengkapnya, berikut fase
perkembangan psikoseksual berdasarkan teori freud:

a) Fase Oral

Fase ini dimulai dari saat bayi dilahirkan sampai dengan usia 1-2 tahun. Pada
fase ini bayi merasa dipuaskan melalui makanan, ASI, dan kelekatan hubungan
emosional antara anak dan ibu. Tahap ini memfokuskan interaksi yang terjadi
melalui mulut bayi, sehingga perakaran dan refleks mengisap adalah sangat

10
penting. Pada tahap ini bayi dipuaskan melalui kesenangan dari rangsangan oral
yaitu melalui kegiatan mencicipi dan mengisap. Karena bayi sepenuhnya
tergantung pada ibu jadi saat itulah bayi juga mengembangkan rasa kepercayaan
dan kenyamanan melalui stimulasi oral.

Konflik utama pada tahap ini adalah proses penyapihan, anak harus menjadi
kurang bergantung pada ibu. Jika terjadi hambatan pada tahap ini, Freud
mengemukakan bahwa individu nantinya akan memiliki masalah dengan
ketergantungan dan juga agresi. Fiksasi oral dapat mengakibatkan masalah berupa
kesulitan mempercayai orang lain, peminum, perokok, makan terlalu banyak, suka
menggigiti kuku.

b) Fase Anal

Fase ini berkembang pada saat balita menginjak usia 15 bulan sampai dengan
usia 3 tahun. Pada fase ini balita merasa puas dapat melakukan aktivitas buang air
besar dan buang air kecil. Fase ini dikenal pula sebagai periode “toilet training”.
Pada tahap anal, Freud mengemukakan bahwa fokus utama dari libido adalah pada
pengendalian kandung kemih dan buang air besar. Konflik utama pada tahap ini
adalah pelatihan toilet yaitu dimana anak harus belajar untuk mengendalikan
kebutuhan tubuhnya.

Menurut Freud, keberhasilan pada tahap ini tergantung pada bagaimana cara
orang tua mengajarakan pendekatan pelatihan toilet. Seharusnya, orang tua
memanfaatkan pujian dan penghargaan untuk menggunakan toilet pada saat yang
tepat, dengan hal tersebut orang tua akan mendorong hasil positif dan membantu
anak-anak merasa mampu dan produktif. Freud percaya bahwa pengalaman positif
selama tahap ini dapat menjadi dasar individu untuk menjadi orang dewasa yang
kompeten, produktif dan kreatif.

Belum semua orang tua memahami, memberikan dukungan, dan dorongan


yang anak perlukan selama tahap ini. Pada fase ini seringkali orang tua merasa

11
direpotkan dengan perilaku balita yang suka buang air sembarangan tanpa
memperhatikan waktu dan tempat, sehingga seringkali orang tua menjadi keras
kepada anaknya dan yang kebanyakan terjadi adalah beberapa orang tua justru
memberikan respon berupa mengejek, menghukum anak. Hal tersebut akan
membuat anak menjadi gagal melewati fase ini. Menurut Freud, respon orangtua
yang tidak tepat dapat mengakibatkan dampak negatif, yaitu kurangnya rasa
percaya diri pada anak.Kegagalan pada masa ini akan menciptakan individu
dengan kepribadian agresif dan kompulsif, beberapa mengatakan kelainan sado-
masokis salah satunya disebabkan oleh kegagalan pada fase ini.

Jika orangtua mengambil pendekatan yang terlalu longgar maka individu


nantinya akan berkembang menjadi anak yang memiliki sifat boros atau
berantakan. Jika orang tua memulai pendekatan toilet training terlalu dini, maka
kepribadian anak akan lebih ketat, tertib, kaku dan obsesif.

c) Fase Phalic

Fase ini berkembang pada anak usia 3 sampai 6 tahun. Pada tahap phallic atau
yang biasa disebut sebagai fase erotik, fokus utama adalah pada alat kelamin.
Anak-anak juga sudah bisa menemukan perbedaan antara pria dan wanita. Yang
paling menonjol adalah pada anak laki-laki dimana anak suka memegangi
penisnya, dan pada kenyataannya hal tersebut seringkali membuat marah
orangtuanya. Freud juga mengemukakan masalah tentang Oediphus dan Electra
complex yaitu tentang kelekatan anak laki-laki kepada ibunya dan juga tentang
teori “penis envy” yaitu dimana anak perempuan akan dekat kepada ayahnya.
Kegagalan pada fase ini akan menciptakan kepribadian yang imoral dan tidak tahu
aturan.

Freud mengemukakan pada fase ini tentang masalah Oediphus dan Electra
complex tentang kelekatan anak laki-laki kepada ibunya dan juga teori tentang
“penis envy” yang terjadi pada anak perempuan dimana anak perempuan ini akan

12
dekat kepada ayahnya. Pada tahap ini anak laki-laki mulai melihat ayah mereka
sebagai saingan mereka terhadap kasih sayang yang diberikan ibu. Kompleks
Oedipus menggambarkan perasaan yang ingin sepenuhnya memiliki ibu dan
keinginan untuk menggantikan ayah. Namun, pada fase ini anak juga merasakan
kekhawatiran bahwa ia akan dihukum oleh ayah. Hambatan pada tahap ini dapat
menyebabkan kesulitan dalam indentitas seksual dan bermasalah dengan otoritas,
ekspresi malu, dan takut. Kegagalan pada fase ini akan menciptakan kepribadian
yang imoral dan tidak tahu aturan.

d) Fase Latent

Fase ini adalah fase yang terpanjang, berlangsung pada saat usia 6 tahun
sampai usia 12 tahun atau usia pubertas. Pada saat ini seorang anak dipengaruhi
oleh aktivitas sekolah, teman-teman dan hobinya. Kegagalan pada fase ini akan
menyebabkan kepribadian yang kurang bersosialisasi dengan
lingkungannya.Periode laten adalah saat eksplorasi di mana energi seksual tetap
ada, tetapi diarahkan ke daerah lain seperti pengejaran intelektual dan interaksi
sosial. Tahap ini sangat penting dalam pengembangan keterampilan sosial dan
komunikasi dan kepercayaan diri.

Freud menggambarkan fase latens sebagai salah satu yang relatif stabil. Tidak
ada organisasi baru seksualitas berkembang, dan dia tidak membayar banyak
perhatian untuk itu. Untuk alasan ini, fase ini tidak selalu disebutkan dalam
deskripsi teori sebagai salah satu tahap, tetapi sebagai suatu periode terpisah.

e) Fase Genital

Fase ini berlangsung pada usia 12 tahun atau usia dimulainya pubertas sampai
dengan umur 18 tahun, dimana anak mulai menyukai lawan jenis dan melakukan
hubungan percintaan lewat berpacaran. Dan pada masa ini pula seorang anak akan
mulai melepas diri dari orangtuanya dan belajar bertanggung jawab akan dirinya.

13
Pada tahap akhir perkembangan psikoseksual, individu mengembangkan
minat seksual yang kuat pada lawan jenis. Dimana dalam tahap-tahap awal fokus
hanya pada kebutuhan individu, kepentingan kesejahteraan orang lain tumbuh
selama tahap ini. Jika tahap lainnya telah selesai dengan sukses, individu sekarang
harus seimbang, hangat dan peduli. Tujuan dari tahap ini adalah untuk menetapkan
keseimbangan antara berbagai bidang kehidupan

BAB III
PENUTUP

KESIMPULAN

Teori Perkembangan Navitisme Menyatakan bahwa Potensi-potensi yang


dimiliki seseorang adalah potensi hereditas (bawaan) bukan potensi pendidikan
dan sama sekali tidak berpengaruh terhadap perkembangan manusia, pendidikan
tidak dapat mengubah sifat-sifat pembawaan.

Teori Perkembangan Empirisme Teori empirisme ini merupakan kebalikan


dari teori nativisme karena menganggap bahwa potensi atau pembawaan yang
dimiliki seseorang itu sama sekali tidak ada pengaruhnya dalam upaya pendidikan.

Teori Perkembangan Konvergensi Teori ini menggabungkan arti penting


hereditas (pembawaan) dengan lingkungan sebagai faktor yang berpengaruh dalam
perkembangan manusia. Faktor pembawaan tidak berarti apa-apa tanpa faktor
pengalaman (lingkungan). Demikian pula sebaliknya, faktor pengalaman tanpa
faktor pembawaan tidak akan mampu mengembangkan manusia yang sesuai
dengan harapan.

Teori perkembangan psikoseksual Menurut Freud, kepribadian sebagian besar


dibentuk ketika anak berusia lima tahun. Awal perkembangan berpengaruh besar
dalam pembentukan kepribadian dan akan mempengaruhi perilaku di kemudian
hari.

14
Seperti yang telah dikemukakan diatas terdapat lebih dari satu teori
perkembangan manusia yang satu sama lain memiliki dalih sendiri yang
menguatkan pendapatnya masing-masing.

15
DAFTAR KEPUSTAKAAN

[1] Bringueir. 1980. Conversation with Jean Piaget. Chicago: University of


Chicago.
[2] Woolfolk, Anita. 2009. Educational Psychology, Active Learning Edition.
Bagian Pertama, Edisi Bahasa Indonesia. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
[3] Eggen, Paul, dan Kauchack, Don. 2007. Educational Psychology seventh edition
: Windows on Classroom. international Edition : New jersey.
[4] Sujiono, dan Yuliani. 2007. Konsep Dasar Pendidikan Anak Usia Dini. Bahan
Ajar. Universitas Negeri Jakarta, 2007.
[5] Santrock, W, John. 2003. Life-Span Development. McGraw-Hill.
[6] Hurlock, B., Elizabeth. Child Development Sixth Edition. Ab., Meitasai
Tjandrasa & Muslichah Zarkasih, 2000. Perkembangan Anak Jilid I. Jakarta:
Penerbit Erlangga.
[7] Sunarto dan Hartono, Agung. 2006. Perkembangan Peserta Didik. Jakarta:
Rineka Cipta.
[8] Jamaris, Martini. 2010. Orientasi Baru dalam Psikologi Pendidikan.
Jakarta: Yayasan Penamas Murni.
[9] http://edukasi.kompasiana.com/2011/01/02/perkembangansosioemosional/A.
[10] Sri Esti Wuryani Djiwandono. 2008. Psikologi Pendidikan. Jakarta:
Grasindo

16

Anda mungkin juga menyukai