Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH

IDENTIFIKASI MASALAH KOLABORASI: MANAJEMEN KONFLIK,


KOMUNIKASI INTERPROFESIONAL, KEPEMIMPINAN, HAMBATAN DAN
STRATEGI KOLABORASI
Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Kolaborasi dan Kerjasama Tim Kesehatan 1
Semester Genap Tahun Ajaran 2022/2023

Dosen Pengampu:
Dr. Dadan Erwandi, S.Psi., M.Psi.

Disusun Oleh :
KELOMPOK 2
Chantika Permata 2206101826
Nasya Fatharani 2206101971
Ni Putu Gita Eka S 2206101990
Rizqi Firdiana Lubis 2206102066
Syifa Fauziah 2206102154

S1 EKSTENSI KESEHATAN MASYARAKAT


FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS INDONESIA
2023
KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan
rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan Makalah ini tepat pada
waktunya.

Makalah Kolaborasi dan Kerjasama Tim Kesehatan 1 ini berjudul “IDENTIFIKASI


MASALAH KOLABORASI: MANAJEMEN KONFLIK, KOMUNIKASI
INTERPROFESIONAL, KEPEMIMPINAN, HAMBATAN DAN STRATEGI
KOLABORASI”. Makalah ini diajukan untuk memenuhi Tugas Mata Kuliah Kolaborasi dan
Kerjasama Tim Kesehatan 1 Program S1 Ekstensi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan
Masyarakat Universitas Indonesia Tahun 2022-2023.

Dalam menyelesaikan makalah ini, penulis mendapat dukungan dari berbagai pihak.
Penulis menyadari dalam makalah ini masih terdapat kekurangan pada penulisan dan
diperlukannya penyempurnaan. Hal ini tidak terlepas dari keterbatasan kemampuan,
pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki penulis. Oleh karena itu, penulis sangat
mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari berbagai pihak untuk
menyempurnakan makalah ini agar lebih baik lagi.

Jakarta, 3 Maret 2023

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ...............................................................................................................ii


DAFTAR ISI............................................................................................................................ iii
BAB I ......................................................................................................................................... 1
1.1. Latar Belakang ................................................................................................................ 1
1.2. Rumusan Masalah ........................................................................................................... 2
1.3. Tujuan ............................................................................................................................. 3
BAB II........................................................................................................................................ 4
2.1. Manajemen Konflik ........................................................................................................ 4
2.2. Komunikasi Interprofesional .......................................................................................... 8
2.3. Kepemimpinan ................................................................................................................ 9
2.4. Hambatan Kolaborasi.................................................................................................... 13
2.5. Strategi Kolaborasi........................................................................................................ 14
BAB III .................................................................................................................................... 17
3.1. Kesimpulan ................................................................................................................... 17
3.2. Saran ............................................................................................................................. 17
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................................. 19

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Kebutuhan masyarakat akan kualitas layanan rumah sakit menjadi tuntutan utama
yang harus diperhatikan oleh pelayanan kesehatan di rumah sakit. Upaya peningkatan
keselamatan pasien pada pelaksanaannya tidak dapat dilepaskan dari peran dan tanggung
jawab oleh seluruh tenaga kesehatan di rumah sakit. Kolaborasi antar profesi merupakan
hal yang penting dalam pelaksanaan program keselamatan dan meningkatkan kepuasan
pasien. Rumah sakit perlu melakukan berbagai inovasi dalam rangka menghasilkan
pelayanan bermutu bagi pasien salah satu inovasi yang dapat dilakukan adalah
melaksanakan kolaborasi antar tenaga Kesehatan.Tenaga kesehatan harus melakukan
praktek kolaborasi dengan baik dan tidak melaksanakan pelayanan kesehatan sendiri-
sendiri. Salah satu akibat dari tidak dilaksanakannya kolaborasi antar tenaga kesehatan
adalah tingginya kesalahan dalam pembuatan resep obat di Indonesia yaitu sebanyak
98,69% yang merupakan akibat dari kesalahan dalam penulisan resep dokter, apoteker
yang kurang tepat dalam menyiapkan obat dan pemberian informasi mengenai
penggunaan obat yang kurang baik.

Kolaborasi adalah hubungan kerja antara tenaga kesehatan dalam memberikan


pelayanan kepada pasien atau klien dalam melakukan diskusi tentang diagnosa,
melakukan kerjasama dalam asuhan kesehatan, saling berkonsultasi atau komunikasi
serta masing-masing bertanggung jawab pada pekerjaannya. Apapun bentuk dan
tempatnya, kolaborasi meliputi suatu pertukaran pandangan atau ide yang memberikan
perspektif kepada seluruh kolaborat. Kolaborasi tidak bisa terbentuk dengan sendirinya
dalam sebuah organisasi. Maka dari itu Dibutuhkan faktor-faktor tertentu untuk
memunculkannya. Walaupun pada kenyataanya masih sangat sulit dan merupakan
tantangan tersendiri untuk Karena setiap profesi dalam sebuah tim memiliki standar dan
budaya profesional tersendiri. Kolaborasi yang efektif mencakup penerapan strategi
dimana setiap profesi yang berbeda budayanya bekerja sama dalam satu tim untuk
mencapai tujuan yang sama dalam menerapkan keselamatan pasien.

1
Di Indonesia sendiri kolaborasi interprofesi masih belum terlaksana dengan baik dan
masih dilaksanakannya stereotyping kolaborasi tradisional yang beranggapan bahwa
dokter adalah leader dan decision making, sementara pelaksananya adalah perawat,
bidan dan farmasi. Padahal seperti kita ketahui bersama bahwa paradigma pelayanan
kesehatan saat ini mulai berubah dari medical centered care ke arah pelayanan yang
memusatkan perhatian pada pasien (Patient Centered Care). Pelayanan kesehatan yang
diberikan di rumah sakit dilakukan oleh berbagai profesi tenaga kesehatan. Berbagai
profesi yang terlibat dalam pelayanan kesehatan diantaranya yakni dari tenaga medis,
tenaga psikologi klinis, tenaga keperawatan, tenaga kebidanan, tenaga kefarmasian,
tenaga gizi, tenaga keterapian fisik, tenaga keteknisian medis dan teknik biomedika (UU
Nomor 36 tahun 2014).

Kumpulan berbagai profesi yang bekerja sama memberikan pelayanan kesehatan ini
dikenal dengan istilah kolaborasi interprofesi atau Interprofessional Collaboration (IPC)
yaitu kemitraan antara orang dengan latar belakang profesi yang berbeda dan bekerja
sama untuk memecahkan masalah kesehatan dan menyediakan pelayanan kesehatan.
Menurut WHO, IPC terjadi saat berbagai profesi kesehatan bekerja sama dengan pasien,
keluarga dan komunitas untuk menyediakan pelayanan komprehensif dan berkualitas
tinggi (WHO, 2010).

Pelaksanaan IPC tentu memberikan dampak yang sangat berarti dalam pelayanan
kesehatan, 3K (keselamatan, kepuasan dan kualitas pelayanan) dapat tercapai. Melalui
kolaborasi dan kerjasama yang baik maka keselamatan pasien meningkat, pasien akan
merasa puas bila perawat dan dokter membangun hubungan atau kemitraan yang baik.
Karena kepuasan pasien cenderung dilihat atau dievaluasi oleh pasien dalam bentuk
pelayanan yang diberikan oleh dokter dan perawat terutama dalam konteks pelayanan
rumah sakit sehingga mampu meningkatkan kualitas pelayanan rumah sakit.

1.2. Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud dengan manajemen konflik?


2. Apa yang dimaksud dengan komunikasi interprofesional?
3. Apa yang dimaksud dengan kepemimpinan?
4. Apa saja jenis hambatan kolaborasi?
5. Apa saja jenis strategi kolaborasi?

2
1.3. Tujuan

1. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan manajemen konflik


2. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan komunikasi interprofesional
3. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan kepemimpinan
4. Untuk mengetahui apa saja jenis hambatan kolaborasi
5. Untuk mengetahui apa saja jenis strategi kolaborasi

3
BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Manajemen Konflik

1. Pengertian Manajemen Konflik


Konflik dapat didefinisikan sebagai peristiwa sosial yang mengandung penentangan
atau ketidaksetujuan (Lestari, 2012:101). Thomas (dalam Lestari, 2012:101)
mendefinisikan konflik sebagai proses yang bermula saat salah satu pihak menganggap
pihak lain menggagalkan atau berupaya menggagalkan kepentingannya.

Situasi konflik dapat diketahui berdasarkan munculnya anggapan tentang


ketidakcocokan tujuan dan upaya untuk mengontrol pilihan satu sama lain, yang
membangkitkan perasaan dan perilaku untuk saling menentang (Lestari, 2012:101).

Konflik akan berdampak negatif bila tidak terkelola dengan baik. Agar konflik dapat
terkelola dengan baik maka diperlukan manajemen konflik. Wirawan (2010:129)
mendefinisikan manajemen konflik sebagai proses pihak yang terlibat atau pihak ketiga
menyusun strategi konflik dan menerapkannya untuk mengendalikan konflik agar
menghasilkan resolusi yang diinginkan.

Selanjutnya Robbins (dalam Winardi, 2003:271) menjelaskan manajemen konflik


sebagai proses pengkoordinasian dengan menggunakan tehnik-tehnik resolusi dan
stimulasi untuk meraih tingkatan konflik yang diinginkan sehingga diperoleh solusi tepat
atas konflik tersebut “stimulating and creating it as well as diminishing or channeling
it".

Sementara itu Moore (2004:176) mengatakan bahwa manajemen konflik atau lazim
disebut mengelola konflik adalah kecenderungan seseorang dalam menata atau mengatur
pertentangan dalam wujud sikap dan perilaku. Sebab masalah yang lahir dari
pertentangan merupakan sesuatu yang menghambat, merintangi, atau mempersulit
seseorang mencapai maksud dan tujuan tertentu.

4
Selanjutnya Davidoff (1991:139) memberikan penjelasan bahwa manajemen konflik
adalah kecenderungan pilihan sikap dalam menghadapi, mengenali, mengidentifikasi,
dan menempatkan kondisi-kondisi yang dilakukan sebagai reaksi terhadap berbagai
tuntutan dan tekanan lingkungan tempat ia hidup. Hal senada juga dikemukakan oleh
Toomey (dalam Wirawan:134) mengungkapkan bahwa manajemen konflik adalah pola
perilaku orang dalam menghadapi situasi konflik.

Berdasarkan beberapa konsep di atas, maka manajemen konflik dapat disimpulkan


sebagai proses pengkoordinasian yang digunakan individu dalam menata atau mengatur
pertentangan dalam wujud sikap dan perilaku.

2. Aspek-Aspek Manajemen Konflik


Robbins (2002:215) berpendapat mengenai beberapa aspek gaya manajemen konflik
yang sering dilakukan oleh seseorang, antara lain sebagai berikut:
a) Competing atau kompetisi, yaitu merupakan gaya yang berorientasi pada kekuasaan,
dimana seseorang akan menggunakan kekuasaan yang dimilikinya untuk
memenangkan konflik dengan lawannya.
b) Kolaborasi atau pemecah masalah, yaitu merupakan gaya mencari solusi integratif
jika kepentingan kedua belah pihak terlalu penting untuk dikompromikan. Gaya ini
cenderung lebih suka menciptakan situasi yang memungkinkan agar tujuan dapat
dicapai. Mencari solusi agar dapat diterima semua pihak, tujuan pribadi juga tercapai
sekaligus hubungan dengan orang lain menjadi lebih baik.
c) Penghindaran, yaitu merupakan gaya yang cenderung memandang konflik tidak
produktif dan sedikit menghukum. Aspek negatif dari gaya ini adalah melempar
masalah kepada orang lain dan mengesampingkan masalah atau bahasa lainnya
adalah menarik diri atau bersembunyi untuk menghindari konflik.
d) Akomodasi atau penolong ramah, yaitu merupakan gaya yang sangat mengutamakan
hubungan dan kurang mementingkan kepentingan pribadi. Orang yang
menggunakan gaya ini cenderung kurang tegas dan cukup kooperatif, mengabaikan
kepentingan sendiri demi kepentingan orang lain.
e) Kompromi atau pendamai penyiasat, yaitu merupakan gaya yang lebih berorientasi
pada jalan tengah karena setiap orang punya sesuatu untuk ditawarkan dan sesuatu
untuk diterima. Nilai gaya ini terlalu rendah dan tidak terlalu tinggi.

5
3. Strategi Dalam Manajemen Konflik
Untuk memanajemen konflik yang dialami individu, ada beberapa strategi yang
dapat dilakukan, menurut Mouton dan Blake (dalam Wirawan 2010:138) dengan
memakai istilah gaya manajemen konflik mengatakan ada empat jenis karakter gaya
manajemen konflik, diantaranya:
a) Memaksa (forcing).
Ketika seorang remaja perempuan mengalami sebuah konflik maka ia akan
cenderung menggunakan gaya manajemen konflik memaksa (forcing), yang mana
ketika memanajemeni konflik berupaya memaksakan kehendaknya untuk
meningkatkan kebahagiaan dan mengabaikan orang lain jika menghadapi situasi
konflik.
b) Konfrontasi (confrontation).
Ketika seorang anak/remaja perempuan mengalami konflik ia cenderung menentang
dengan orangtuanya dalam memanajemeni konflik, karena anak/remaja perempuan
merasa kalau dialah yang benar.
c) Kompromi (compromising).
Dalam manajemen konflik seorang anak/remaja yang mengalami konflik ia
cenderung akan berkompromi/bermusyawarah dengan teman sebaya atau orang
tuanya untuk menemukan penyelesaian konflik itu sendiri.
d) Menarik diri (withdrawal).
Menarik diri dalam gaya manajemen konflik biasanya terjadi pada remaja
perempuan yang bersikap secara pasif, seolah-olah tidak terjadi konflik dan tidak
mau menghadapi konflik. Sikap menarik diri ini biasanya dilatarbelakangi oleh
kurangnya pengetahuan remaja perempuan yang menyebabkan ia tidak berani untuk
mengungkapkan pendapatnya.

Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa individu dengan tingkat


manajemen konflik yang baik, tidak terlalu mengalami kesulitan dalam menghadapi
konflik dengan orang lain, baik dengan orang yang baru dikenal maupun dengan teman
lama. Individu yang memiliki manajemen konflik yang baik senantiasa akan berpikir dua
kali sebelum mengeluarkan pendapat-pendapat yang akan diucapkan, tidak serta merta
menanggapi pendapat orang lain secara langsung tanpa dicerna walaupun pendapat itu
menurut orang lain cukup meyakinkan. Kebanyakan individu yang memiliki manajemen

6
konflik yang baik maka akan mampu mengendalikan sikap dan perilaku dalam
menghadapi berbagai konflik yang terjadi.

4. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Terjadinya Manajemen Konflik


Ketika menghadapi situasi konflik, orang berperilaku tertentu untuk menghadapi
lawannya. Perilaku mereka membentuk satu pola atau beberapa pola tertentu. Pola
perilaku orang dalam menghadapi situasi konflik disebut sebagai gaya manajemen
konflik.

Menurut Boardman & Horowitz (dalam Thontowi, 2001:83), karakteristik


kepribadian berpengaruh terhadap gaya manajemen konflik individu. Beberapa faktor
yang berpengaruh terhadap manajemen konflik adalah sebagai berikut:
a) Komunikasi interpersonal/antar pribadi.
Dengan komunikasi interpersonal yang berlangsung antara dua orang atau lebih
secara tatap muka termasuk yang terjadi antara anak remaja perempuan dengan
orangtua akan membantu seseorang menghadapi perubahan-perubahan yang terjadi
dalam dirinya, melalui kata-kata isyarat-isyarat, ekspresi, suara dan tindakan yang
muncul saat berlangsungnya proses komunikasi, dan mengandung maksud tujuan
yang jelas.

b) Kecenderungan agresif.
Suatu tindakan cara untuk mencapai tujuan tertentu, guna mengembangkan
kemampuan dalam menggunakan gaya manajemen konflik yang sesuai dengan
situasi konflik yang sedang dihadapi untuk meminimalisir kecenderungan perilaku
agresifnya.

c) Kebutuhan untuk mengontrol dan menguasai.


Mampu mengontrol dan menguasai konflik yang terjadi sangat diperlukan agar tidak
terjadi perilaku tindakan yang tidak diinginkan.

d) Orientasi kooperatif atau kompetitif.


Memiliki keinginan untuk memenuhi keinginan untuk mencapai kepuasan pada
pihak yang berkepentingan dengan berkompetisi.

e) Kemampuan berempati.

7
Seseorang yang memiliki kemampuan untuk memahami perasaan orang lain dan
bertindak sesuai untuk membantu dalam memanajemen konflik.

f) Kemampuan menemukan alternatif manajemen konflik.


Dalam memanajemen konflik seseorang harus memiliki beberapa alternatif untuk
memanajemen konflik. Bila dengan satu alternatif tidak bisa terselesaikan, bisa
digunakan alternatif lain untuk menyelesaikan konflik.

2.2. Komunikasi Interprofesional

Komunikasi interprofesional adalah keterampilan penting yang dapat meningkatkan


fungsi tim yang berkualitas tinggi, dalam perawatan pasien dengan melibatkan beberapa
disiplin ilmu seperti dokter, perawat dan tim kesehatan lainnya. Kolaborasi merupakan
sebuah bentuk kerjasama antar tim tenaga kesehatan dari latar belakang pendidikan yang
berbeda-beda untuk memberikan kualitas pelayanan yang terbaik kepada pasien dan
keluarga pasien.

Kolaborasi Interprofesi atau Interprofessional Collaboration (IPC) adalah kemitraan


antara orang dengan latar belakang profesi yang berbeda dan bekerja sama untuk
memecahkan masalah kesehatan dan menyediakan pelayanan kesehatan. Dengan adanya
komunikasi dan kolaborasi antar tim tenaga kesehatan, pelayanan perawatan pasien akan
lebih terjamin sehingga pasien merasa puas dan kualitas pelayanan kesehatan pun dapat
meningkat.

Komunikasi yaitu proses penyampaian pesan/berita dari seseorang ke orang lain


sehingga kedua belah pihak terjadi adanya saling pengertian. (Ernawati, 2009).
Komunikasi diperlukan dalam pelayanan kesehatan. Hal ini dikarenakan komunikasi
kesehatan merupakan komponen yang fundamental dalam perawatan pasien (Riesenberg,
2010). Komunikasi bagian dari human communication dimana proses komunikasi
kesehatan ini merupakan transaksi antar tim kesehatan dengan klien maupun keluarga
klien (Mundakir, 2006).

Komunikasi interprofesi merupakan faktor yang sangat berpengaruh dalam


meningkatkan keselamatan pasien, karena melalui komunikasi interprofesi yang berjalan
efektif, akan menghindarkan tim tenaga kesehatan dari kesalahpahaman yang dapat

8
menyebabkan medical error (Berridge, 2010). Data laporan dari Insiden Keselamatan
Pasien Nasional (IKPN) menyebutkan bahwa permasalahan yang paling utama dan
dominan dari insiden keselamatan pasien adalah komunikasi. Akibat dari banyaknya
kejadian tersebut komunikasi efektif dimasukkan dalam sasaran keselamatan pasien (JCI,
2011).

Pada tahun 2009 WHO mengidentifikasi kesalahan dalam pelayanan kesehatan


disebabkan karena kurangnya komunikasi interprofesional dan pemahaman dalam
kerjasama tim (70-80%), masalah patient safety dapat dikurangi dengan kerjasama tim
yang baik (WHO, 2009). Suatu survei didapatkan data bahwa di Indonesia untuk
penerapan kolaborasi pada antar profesi masih sangat sedikit yaitu 87% belum
menerapkan kolaborasi antar profesi dengan baik. Profesi dokter masih mendominasi
keputusan 96% pada pelayanan kepada pasien (Siokal, B. & Wahyuningsih, 2019).
Beberapa masalah mengenai pelaksanaan praktik kolaborasi interprofesional yang telah
dijelaskan, akan berdampak negatif sehingga akan menimbulkan kerugian dan bahaya,
ataupun dapat mengancam jiwa pasien. Masalah dalam praktik kolaborasi
interprofesional tersebut dapat menjadi alasan utama penyebab terjadinya kesalahan
(error) atau kejadian yang tidak diharapkan (Utami, 2016). Maka dari itu Komunikasi
interprofesional sangat penting dilakukan guna meningkatkan keselamatan pasien dan
menurunkan angka insiden keselamatan pasien.

2.3. Kepemimpinan

1. Pengertian Kepemimpinan
Secara etimologi kepemimpinan berasal dari kata dasar “pimpin” (lead) berarti
bimbing dan tuntun. Kepemimpinan adalah proses mempengaruhi seseorang untuk
mencapai tujuan yang diinginkan (Bush dan Glover, 2014). Kepemimpinan merupakan
perilaku dari individu yang ada dalam posisi tertinggi. Individu ini bertanggung jawab
untuk menyediakan struktur, sumber daya, dan motivasi untuk seluruh anggota tim dan
mengarahkan tim untuk mencapai tujuan yang dibutuhkan (Bass dan Bass, 2008). Dari
pengertian kepemimpinan menurut beberapa ahli, maka dapat disimpulkan bahwa
kepemimpinan adalah proses mempengaruhi orang atau sekelompok orang untuk
mencapai tujuan bersama dan orang yang menjadi pemimpin tersebut dapat bertanggung
jawab untuk menyediakan struktur, sumber daya, dan motivasi yang dibutuhkan. Seorang

9
pemimpin setidaknya perlu mempunyai minimal 3 kompetensi, yaitu (Whitehead et
al.,2009):
1) Kemampuan untuk memahami situasi yang ingin dipengaruhi
2) Dapat beradaptasi dengan lingkungan dan sumber daya pendukung
3) Kemampuan berkomunikasi untuk mempengaruhi anggota anggota nya

2. Gaya Kepemimpinan
Gaya kepemimpinan adalah kumpulan strategi yang digunakan seorang pemimpin
untuk mempengaruhi para karyawan agar sasaran organisasi tercapai atau dapat pula
dikatakan bahwa gaya kepemimpinan adalah pola strategi atau pola perilaku yang
disukai dan sering diterapkan oleh seorang pemimpin. (Rivai, 2014)
Menurut kartono (2003) gaya kepemimpinan dibagi menjadi 8, yaitu :
a) Kepemimpinan Kharismatik
Tipe kepemimpinan ini mempunyai daya tarik dan pembawaan yang luar biasa
untuk mempengaruhi orang lain, umumnya pemimpin dengan tipe ini memiliki
pengikut dengan jumlah besar. Pemimpin kharismatik dapat dilihat dari cara mereka
berbicara, berjalan maupun bertindak.

b) Kepemimpinan Paternalistik
Tipe kepemimpinan ini mempunyai sikap over-protective terhadap bawahan
menonjol dan disertai kasih sayang yang berlebihan. Tipe pemimpin seperti ini
selalu melindungi karyawannya karena mereka menganggap karyawannya tidak
dapat bersikap mandiri dan perlu dorongan untuk melakukan suatu pekerjaan.
Kepemimpinan tipe ini hampir tidak pernah memberikan kesempatan pada karyawan
untuk berinisiatif dan mengembakan daya kreativitas mereka sendiri.

c) Kepemimpinan Militeristik
Tipe kepemimpinan seperti ini mempunyai sifat sangat keras, otoriter, kaku, dan
lebih banyak memerintah bawahan. Menuntut untuk selalu adanya disiplin yang
keras dan kaku kepada karyawan.

d) Kepemimpinan Eksekutif
Tipe kepemimpinan ini adalah tipe pemimpin yang mampu menyelenggarakan tugas
dan tanggung jawab administrasi secara efektif

10
e) Kepemimpinan Laissez Faire
Tipe kepemimpinan laissez faire adalah gaya kepemimpinan dengan kendali bebas.
Biasanya leader juga tidak berpartisipasi dalam tim dan membiarkan tanggung jawab
dan pengambilan keputusan penting sekalipun dilakukan karyawannya

f) Kepemimpinan Populistis
Tipe kepemimpinan ini biasanya pemimpin masih berpegang teguh pada cara cara
tradisional dan tidak mempercayai dukungan dari pihak asing atau pihak luar.

g) Kepemimpinan Otokratis
Tipe kepemimpinan otokratis dapat juga disebut sebagai tipe kepemimpinan otoriter.
Tipe pemimpin seperti ini biasanya selalu berperan sebagai pemain tunggal,
karyawan harus tunduk pada kekuasaan dan paksaan mutlak, hanya akan bersikap
baik kepada karyawan apabila mereka patuh dan tunduk

h) Kepemimpinan Demokratis
Tipe kepemimpinan demokratis adalah tipe pemimpin yang menghargai potensi
setiap karyawan dan mau menerima masukan dan saran dari bawahannya. Tipe
pemimpin demokratis kebalikan dari tipe pemimpin otoriter / otokratis

3. Dinamika Dalam Kepemimpinan Kolaboratif


Dinamika adalah perubahan yang selalu bergerak secara dinamis karena ada
dorongan dari tenaga yang dimiliki. Sedangkan dinamika dalam kepemimpinan
kolaboratif adalah semua pergerakan kepemimpinan yang ingin dicapai oleh sekelompok
orang dalam upaya mencapai tujuan dan untuk mencapai tujuan tersebut dibutuhkan
kolaborasi, saling mendengarkan, dapat mempengaruhi dan cepat beradaptasi. (Meyer,
2009). Posisi individu dalam kepemimpinan kolaboratif dibedakan menjadi 2 aksis
(Morgeson et al., 2010):
a) Aksis Formal dan Informal
Pemimpin formal merupakan individu yang memiliki posisi tertentu dalam tim dan
mempunyai akses terhadap sumber daya yang ada. Sedangkan, pemimpin informal
adalah individu dalam tim yang tidak mempunyai posisi khusus, tetapi dapat
membantu pemimpin formal dalam menjalankan tugasnya termasuk juga dapat
membantu dalam mengakses sumber daya eksternal. Pemimpin dalam tim kolaborasi

11
yang timbul saat kondisi pelayanan sedang dibutuhkan umumnya adalah pemimpin
informal

b) Aksis Internal dan Eksternal


Pemimpin internal adalah pemimpin yang terintegrasi dalam tim dalam menjalankan
tugasnya sehari hari. Pemimpin internal ini juga termasuk anggota dalam tim terkait.
Pemimpin internal biasanya memahami proses penyelesaian tugas dan masalah yang
ada dalam tim. Sedangkan, pemimpin eksternal adalah pemimpin yang tidak ikut
serta dalam pelaksanaan tugas tim sehari hari. Biasanya pemimpin eksternal
mengevaluasi performa tim dan memberikan umpan balik.

Baik aksis formal dan informal maupun aksis internal dan eksternal, seluruh anggota
tim perlu memahami seluruh kekuatan yang dimiliki anggota tim dan
memanfaatkannya melalui proses diskusi, komunikasi yang efektif, dan interaksi di
dalam tim (Dow et al., 2013)

4. Kegagalan Dalam Kepemimpinan


Menurut George, et al. (2002), kegagalan seorang pemimpin bukan disebabkan oleh
suatu organisasi atau perusahaan, melainkan kegagalan dalam karakter pemimpin itu
sendiri. Beberapa hal yang menyebabkan terjadinya kegagalan dalam kepemimpinan
(Grigsby, 2010):
a) Tidak mengenal atau mengabaikan budaya organisasi.
Seorang pemimpin tidak mau mengenal dan mempelajari budaya dari masing
masing organisasi yang diikuti

b) Terlalu cepat ingin meraih keberhasilan dan tujuan organisasi.


Hanya fokus pada keberhasilan dan tujuan tanpa memperhatikan proses dan sumber
daya yang ada

c) Menghindari komunikasi, mengeluh, dan mengomel terkait kondisi yang ada.


Hanya ingin mengeluh, mengomel, dan menghindari komunikasi tanpa mau mencari
solusi

d) Menghindari konflik

12
Pemimpin yang menghindari konflik berisiko mengalami kegagalan dalam mencapai
tujuan yang dibutuhkan

e) Punya perencanaan strategis tapi tidak disertai dengan perencanaan operasional


Pemimpin hanya terpaku pada perencanaan strategis tanpa memperhatikan
operasional dan target yang harus dikejar

2.4. Hambatan Kolaborasi

Permasalahan kesehatan tidak bisa diselesaikan hanya dengan salah satu profesi
kesehatan, namun perlu adanya kerjasama atau kolaborasi interprofesi. Kolaborasi dan
model interdisiplin merupakan pondasi utama dalam memberikan asuhan keperawatan
yang bermutu tinggi dan hemat biaya. Dalam hal ini hambatan dalam berkolaborasi bisa
dari berbagai faktor. Pertama, faktor individu seperti karakter, kompetensi dan
komunikasi antar profesi. Kedua, faktor kelompok seperti keterbatasan tenaga baik
secara kuantitas maupun kualitas dan hirarki/senioritas). Ketiga, faktor organisasi
meliputi leadership, motivasi, kebijakan organisasi, fasilitas pendukung dan aplikasi
sistem informasi kesehatan yang kurang user friendly. Berikut beberapa hambatan dan
tantangan dalam kolaborasi antar tenaga kesehatan:
1) Komunikasi
Kurangnya komunikasi antar profesi, seperti kurangnya komunikasi antara dokter,
perawat, dan apoteker, nutrisionis yang berujung pada kesalahan dalam meracik obat
dan memberikan nutrisi kepada pasien. Komunikasi merupakan aspek penting dari
kerjasama antar profesional. Hal ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh
Lestari,et al (2018) yang menyatakan bahwa faktor penghambat dalam pelaksanaan
Interprofessional collaboration adalah buruknya komunikasi antar tenaga kesehatan
karena akan menimbulkan terjadinya kesalahpahaman dan akan menyebabkan
perawatan yang kurang baik pada pasien sehingga dapat menyebabkan dampak yang
buruk pada keselamatan dan kesehatan klien. Komunikasi dalam pelaksanaan
Interprofessional Collaboration (IPC) merupakan faktor penting dalam
meningkatkan mutu pelayanan rumah sakit dan keselamatan pasien.

2) Perbedaan Tingkat Pendidikan


Penelitian yang dilakukan oleh Kurniasih et al.(2019) menjelaskan bahwa
penghambat dalam upaya penyelamatan pasien yang sering terjadi karena kesalahan

13
yang dapat disebabkan oleh pelaksana kesehatan seperti perawat dan dokter yang
dimana dokter merasa bahwa pengetahuan dan perannya lebih tinggi dibandingkan
dengan perawat sehingga kolaborasi dan kerjasama yang dilakukan menjadi kurang
baik. Latar belakang tingkat pendidikan dari masing masing tenaga kesehatan akan
mempengaruhi perilaku seseorang dalam menjalankan peran dan tanggung jawabnya
saat melakukan tindakan kolaborasi yang dapat diartikan bahwa semakin tinggi
tingkat pendidikan seseorang maka akan semakin besar keinginannya dalam
memanfaatkan keterampilan dan pengetahuannya.

3) Keterbatasan Pemahaman
Keterbatasan pemahaman akan peran masing-masing jabatan akan mempengaruhi
pelaksanaan kerjasama, sudah seharusnya masing masing profesi memahami dan
mengetahui tugas, fungsi dan tanggung jawabnya masing masing. Sehingga tidak
terjadi tumpang tindih dalam bekerja. Penelitian yang dilakukan oleh Hardin, (2019)
menjelaskan bahwa keterbatasan pemahaman akan peran masing-masing jabatan
akan mempengaruhi pelaksanaan kerjasama, diantaranya pelaksanaan kerjasama
antara perawat dan dokter sering menimbulkan kesalahpahaman yaitu masih banyak
dokter yang kurang memahami ruang lingkup praktek. perawat, sehingga tanggung
jawab perawat dan dokter sering tumpang tindih, sehingga dokter kurang yakin
dengan kemampuan perawat dalam mengambil keputusan tentang perawatan pasien.

4) Perspektif Yang Berbeda Pada Setiap Profesi


Perbedaan cara pandang terhadap kolaborasi antar profesi dapat menjadi
penghambat. Satu profesi memandang kolaborasi interprofesi dalam perspektif yang
berbeda dari profesi lain. Dokter mungkin berpikir bahwa kerjasama tersirat dalam
tindak lanjut sehubungan dengan mengikuti instruksi atau perintah daripada saling
berpartisipasi dalam pengambilan keputusan. Pelaksanaan instruksi dokter oleh
perawat atau bidan dipandang sebagai kolaborasi oleh dokter, sedangkan perawat
dan bidan merasa mereka sedang diperintahkan untuk melakukan sesuatu.

2.5. Strategi Kolaborasi

Kolaborasi yang efektif mencakup penerapan strategi dimana setiap profesi yang
berbeda budayanya bekerja sama dalam satu tim untuk mencapai tujuan yang sama.
Dalam konteks kesehatan, setiap profesi kesehatan harus terjalin dalam arahan yang

14
sama untuk mencapai visi yang sama pula. Setiap profesi harus mengerti peran dan tugas
kerja masing-masing. Seorang pemimpin (leader) juga sangat dibutuhkan agar sebuah
tim tidak kehilangan fokus untuk mencapai tujuannya (Dalri, 2010).

Strategi Cara Membangun Dan Mempertahankan Kolaborasi Tim Kesehatan.


1) Cara Membangun Kolaborasi Tim Kesehatan
a. memiliki tujuan yang jelas atau terarah.
b. merekrut staf yang dapat bekerjasama dengan baik, yang berkriteria
• memiliki kepedulian terhadap sesama anggota.
• fleksibel dan memiliki pengetahuan yang cukup luas.
• memiliki kemampuan komunikasi yang baik.
• kemampuan untuk melihat hal yang mungkin mempengaruhi kesehatan
individu, termasuk faktor biologi, psikologis, dan sosial.
• memahami arti perbedaan dari setiap kebudayaan dan kepribadian setiap
anggota.
• Pengetahuan tentang tuntutan dan harapan dari perawatan primer,
bagaimana fungsi perawatan primer, dan perannya dalam sistem kesehatan
secara menyeluruh.
c. memberikan dorongan secara psikologis agar tiap anggota tim dapat saling
mengenal satu sama lain.
d. memperjelas deskripsi peran, terutama dimana tampaknya terdapat potensi
tumpang tindih
e. memastikan setiap anggota selalu bertemu dalam beberapa periode tertentu.
f. menginformasikan setiap informasi baru pada setiap anggota.
g. identifikasi setiap kemungkinan permasalahan yang terjadi secepat mungkin.
h. memastikan setiap anggota tim ikut berpartisipasi aktif dan ikut terlibat dalam
perencanaan untuk setiap kegiatan.
i. mengakui kontribusi kolektif dan prestasi dari semua anggota tim.

2) Cara Mempertahankan Kolaborasi Tim Kesehatan


a. komunikasi tim harus terus terjalin
b. Pertemuan rutin dimana semua anggota ikut terlibat
c. mengkoordinasikan usaha anggota tim untuk mencapai tujuan yang akan dicapai
d. Pemecahan kesulitan atau konflik bila muncul

15
e. Pengakuan kontribusi dari anggota tim.
f. mengevaluasi keefektifan cara kerja anggota tim

16
BAB III

PENUTUP

3.1. Kesimpulan

Konflik dapat didefinisikan sebagai peristiwa sosial yang mengandung penentangan


atau ketidaksetujuan (Lestari, 2012: 101). Konflik akan berdampak negatif bila tidak
terkelola dengan baik. Agar konflik dapat terkelola dengan baik maka diperlukan
manajemen konflik. Kebanyakan individu yang memiliki manajemen konflik yang baik
maka akan mampu mengendalikan sikap dan perilaku dalam menghadapi berbagai
konflik yang terjadi.

Kolaborasi Interprofesi atau Interprofessional Collaboration (IPC) adalah kemitraan


antara orang dengan latar belakang profesi yang berbeda dan bekerja sama untuk
memecahkan masalah kesehatan dan menyediakan pelayanan kesehatan. Hambatan
dalam berkolaborasi bisa dari berbagai faktor. Pertama, faktor individu seperti karakter,
kompetensi dan komunikasi antar profesi. Kedua, faktor kelompok seperti keterbatasan
tenaga baik secara kuantitas maupun kualitas dan hirarki/senioritas). Ketiga, faktor
organisasi meliputi leadership, motivasi, kebijakan organisasi, fasilitas pendukung dan
aplikasi sistem informasi kesehatan yang kurang user friendly.

Kolaborasi yang efektif mencakup penerapan strategi dimana setiap profesi yang
berbeda budayanya bekerja sama dalam satu tim untuk mencapai tujuan yang sama.
Dalam konteks kesehatan, setiap profesi kesehatan harus terjalin dalam arahan yang
sama untuk mencapai visi yang sama pula. Seorang pemimpin (leader) juga sangat
dibutuhkan agar sebuah tim tidak kehilangan fokus untuk mencapai tujuannya (Dalri,
2010)

3.2. Saran

Dalam penulisan makalah ini penulis menyadari masih jauh dari kesempurnaan,
masih banyak terdapat kesalahan-kesalahan, baik dalam bahasanya, materi dan

17
penyusunannya. Oleh karena itu penulis sangat mengharapkan kritik, saran dan masukan
yang dapat membangun penulisan makalah ini.

18
DAFTAR PUSTAKA

Soemantri D, Sari SP, Ayubi D. 2019. Buku Referensi Kolaborasi dan Kerja sama Tim
Kesehatan. Jakarta : Sagung Seto

Kasmawati, Yuni. 2021. Kepemimpinan Kolaboratif : Sebuah Bentuk Kepemimpinan Untuk


Sekolah. Jurnal Equilibrium, 9(2) : 107-207

Tampubolon, Manner. 2022. Dinamika Kepemimpinan. Skylandsea Profesional Jurnal


Ekonomi, Bisnis dan Teknologi, 2(1) : 1-7

Murdiany, N. A. (2021). Hubungan Komunikasi Interprofesional Dengan Kolaborasi


Perawat-Dokter Di IRNA RSUD H. Damanhuri Barabai. Journal of Nursing Invention E-
ISSN 2828-481X, 2(1), 41-48.

Kristie Wahyuningsih, Anggrenani. 2021. Peran Kepemimpinan dalam Keselamatan dan


Kesehatan Kerja (K3) (Studi Pada CV Maju Jaya General Construction). Diakses pada
01/03/2023 repository.stiedewantara.ac.id/1965/4/BAB%20II.pdf

Nurhaliza, S. (2019). Pentingnya Komunikasi Interprofesional Dalam Meningkatkan


Keselamatan Pasien. Diakses 28/03/2023 osf.io/tj29r

Hardin, N. (2019). Faktor-Faktor yang berhubungan dengan Praktik Kolaborasi Perawat-


Dokter di RSUD Sawerigading Palopo dan RSUD Andi Djemma Masamba. Jurnal Fenomena
Kesehatan, 2(1), 155-164

Yani Lestari, et al. (2017). Hubungan Interprofessional Kolaborasi dengan Pelaksanaan


Catatan Perkembangan Pasien Terintegrasi di RSUD Prof. dr. H.M. Anwar Makkatutu
Kabupaten Bantaeng. Jurnal Kesehatan, Vol 7 No 1 ;85-90

Yuni Kurniasih, et al (2019). Interprofessional Collaboration meningkatkan pelaksanaan


sasaran keselamatan pasien. Journal health of Studies. Vol 3 No.2 ; 113-120.

Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau Repository. Available at:
http://repository.uin-suska.ac.id/6373/3/BAB%20II.pdf

19

Anda mungkin juga menyukai