Dosen Pengampu:
Dr. Dadan Erwandi, S.Psi., M.Psi.
Disusun Oleh :
KELOMPOK 2
Chantika Permata 2206101826
Nasya Fatharani 2206101971
Ni Putu Gita Eka S 2206101990
Rizqi Firdiana Lubis 2206102066
Syifa Fauziah 2206102154
Puji dan Syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan
rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan Makalah ini tepat pada
waktunya.
Dalam menyelesaikan makalah ini, penulis mendapat dukungan dari berbagai pihak.
Penulis menyadari dalam makalah ini masih terdapat kekurangan pada penulisan dan
diperlukannya penyempurnaan. Hal ini tidak terlepas dari keterbatasan kemampuan,
pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki penulis. Oleh karena itu, penulis sangat
mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari berbagai pihak untuk
menyempurnakan makalah ini agar lebih baik lagi.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
iii
BAB I
PENDAHULUAN
Kebutuhan masyarakat akan kualitas layanan rumah sakit menjadi tuntutan utama
yang harus diperhatikan oleh pelayanan kesehatan di rumah sakit. Upaya peningkatan
keselamatan pasien pada pelaksanaannya tidak dapat dilepaskan dari peran dan tanggung
jawab oleh seluruh tenaga kesehatan di rumah sakit. Kolaborasi antar profesi merupakan
hal yang penting dalam pelaksanaan program keselamatan dan meningkatkan kepuasan
pasien. Rumah sakit perlu melakukan berbagai inovasi dalam rangka menghasilkan
pelayanan bermutu bagi pasien salah satu inovasi yang dapat dilakukan adalah
melaksanakan kolaborasi antar tenaga Kesehatan.Tenaga kesehatan harus melakukan
praktek kolaborasi dengan baik dan tidak melaksanakan pelayanan kesehatan sendiri-
sendiri. Salah satu akibat dari tidak dilaksanakannya kolaborasi antar tenaga kesehatan
adalah tingginya kesalahan dalam pembuatan resep obat di Indonesia yaitu sebanyak
98,69% yang merupakan akibat dari kesalahan dalam penulisan resep dokter, apoteker
yang kurang tepat dalam menyiapkan obat dan pemberian informasi mengenai
penggunaan obat yang kurang baik.
1
Di Indonesia sendiri kolaborasi interprofesi masih belum terlaksana dengan baik dan
masih dilaksanakannya stereotyping kolaborasi tradisional yang beranggapan bahwa
dokter adalah leader dan decision making, sementara pelaksananya adalah perawat,
bidan dan farmasi. Padahal seperti kita ketahui bersama bahwa paradigma pelayanan
kesehatan saat ini mulai berubah dari medical centered care ke arah pelayanan yang
memusatkan perhatian pada pasien (Patient Centered Care). Pelayanan kesehatan yang
diberikan di rumah sakit dilakukan oleh berbagai profesi tenaga kesehatan. Berbagai
profesi yang terlibat dalam pelayanan kesehatan diantaranya yakni dari tenaga medis,
tenaga psikologi klinis, tenaga keperawatan, tenaga kebidanan, tenaga kefarmasian,
tenaga gizi, tenaga keterapian fisik, tenaga keteknisian medis dan teknik biomedika (UU
Nomor 36 tahun 2014).
Kumpulan berbagai profesi yang bekerja sama memberikan pelayanan kesehatan ini
dikenal dengan istilah kolaborasi interprofesi atau Interprofessional Collaboration (IPC)
yaitu kemitraan antara orang dengan latar belakang profesi yang berbeda dan bekerja
sama untuk memecahkan masalah kesehatan dan menyediakan pelayanan kesehatan.
Menurut WHO, IPC terjadi saat berbagai profesi kesehatan bekerja sama dengan pasien,
keluarga dan komunitas untuk menyediakan pelayanan komprehensif dan berkualitas
tinggi (WHO, 2010).
Pelaksanaan IPC tentu memberikan dampak yang sangat berarti dalam pelayanan
kesehatan, 3K (keselamatan, kepuasan dan kualitas pelayanan) dapat tercapai. Melalui
kolaborasi dan kerjasama yang baik maka keselamatan pasien meningkat, pasien akan
merasa puas bila perawat dan dokter membangun hubungan atau kemitraan yang baik.
Karena kepuasan pasien cenderung dilihat atau dievaluasi oleh pasien dalam bentuk
pelayanan yang diberikan oleh dokter dan perawat terutama dalam konteks pelayanan
rumah sakit sehingga mampu meningkatkan kualitas pelayanan rumah sakit.
2
1.3. Tujuan
3
BAB II
PEMBAHASAN
Konflik akan berdampak negatif bila tidak terkelola dengan baik. Agar konflik dapat
terkelola dengan baik maka diperlukan manajemen konflik. Wirawan (2010:129)
mendefinisikan manajemen konflik sebagai proses pihak yang terlibat atau pihak ketiga
menyusun strategi konflik dan menerapkannya untuk mengendalikan konflik agar
menghasilkan resolusi yang diinginkan.
Sementara itu Moore (2004:176) mengatakan bahwa manajemen konflik atau lazim
disebut mengelola konflik adalah kecenderungan seseorang dalam menata atau mengatur
pertentangan dalam wujud sikap dan perilaku. Sebab masalah yang lahir dari
pertentangan merupakan sesuatu yang menghambat, merintangi, atau mempersulit
seseorang mencapai maksud dan tujuan tertentu.
4
Selanjutnya Davidoff (1991:139) memberikan penjelasan bahwa manajemen konflik
adalah kecenderungan pilihan sikap dalam menghadapi, mengenali, mengidentifikasi,
dan menempatkan kondisi-kondisi yang dilakukan sebagai reaksi terhadap berbagai
tuntutan dan tekanan lingkungan tempat ia hidup. Hal senada juga dikemukakan oleh
Toomey (dalam Wirawan:134) mengungkapkan bahwa manajemen konflik adalah pola
perilaku orang dalam menghadapi situasi konflik.
5
3. Strategi Dalam Manajemen Konflik
Untuk memanajemen konflik yang dialami individu, ada beberapa strategi yang
dapat dilakukan, menurut Mouton dan Blake (dalam Wirawan 2010:138) dengan
memakai istilah gaya manajemen konflik mengatakan ada empat jenis karakter gaya
manajemen konflik, diantaranya:
a) Memaksa (forcing).
Ketika seorang remaja perempuan mengalami sebuah konflik maka ia akan
cenderung menggunakan gaya manajemen konflik memaksa (forcing), yang mana
ketika memanajemeni konflik berupaya memaksakan kehendaknya untuk
meningkatkan kebahagiaan dan mengabaikan orang lain jika menghadapi situasi
konflik.
b) Konfrontasi (confrontation).
Ketika seorang anak/remaja perempuan mengalami konflik ia cenderung menentang
dengan orangtuanya dalam memanajemeni konflik, karena anak/remaja perempuan
merasa kalau dialah yang benar.
c) Kompromi (compromising).
Dalam manajemen konflik seorang anak/remaja yang mengalami konflik ia
cenderung akan berkompromi/bermusyawarah dengan teman sebaya atau orang
tuanya untuk menemukan penyelesaian konflik itu sendiri.
d) Menarik diri (withdrawal).
Menarik diri dalam gaya manajemen konflik biasanya terjadi pada remaja
perempuan yang bersikap secara pasif, seolah-olah tidak terjadi konflik dan tidak
mau menghadapi konflik. Sikap menarik diri ini biasanya dilatarbelakangi oleh
kurangnya pengetahuan remaja perempuan yang menyebabkan ia tidak berani untuk
mengungkapkan pendapatnya.
6
konflik yang baik maka akan mampu mengendalikan sikap dan perilaku dalam
menghadapi berbagai konflik yang terjadi.
b) Kecenderungan agresif.
Suatu tindakan cara untuk mencapai tujuan tertentu, guna mengembangkan
kemampuan dalam menggunakan gaya manajemen konflik yang sesuai dengan
situasi konflik yang sedang dihadapi untuk meminimalisir kecenderungan perilaku
agresifnya.
e) Kemampuan berempati.
7
Seseorang yang memiliki kemampuan untuk memahami perasaan orang lain dan
bertindak sesuai untuk membantu dalam memanajemen konflik.
8
menyebabkan medical error (Berridge, 2010). Data laporan dari Insiden Keselamatan
Pasien Nasional (IKPN) menyebutkan bahwa permasalahan yang paling utama dan
dominan dari insiden keselamatan pasien adalah komunikasi. Akibat dari banyaknya
kejadian tersebut komunikasi efektif dimasukkan dalam sasaran keselamatan pasien (JCI,
2011).
2.3. Kepemimpinan
1. Pengertian Kepemimpinan
Secara etimologi kepemimpinan berasal dari kata dasar “pimpin” (lead) berarti
bimbing dan tuntun. Kepemimpinan adalah proses mempengaruhi seseorang untuk
mencapai tujuan yang diinginkan (Bush dan Glover, 2014). Kepemimpinan merupakan
perilaku dari individu yang ada dalam posisi tertinggi. Individu ini bertanggung jawab
untuk menyediakan struktur, sumber daya, dan motivasi untuk seluruh anggota tim dan
mengarahkan tim untuk mencapai tujuan yang dibutuhkan (Bass dan Bass, 2008). Dari
pengertian kepemimpinan menurut beberapa ahli, maka dapat disimpulkan bahwa
kepemimpinan adalah proses mempengaruhi orang atau sekelompok orang untuk
mencapai tujuan bersama dan orang yang menjadi pemimpin tersebut dapat bertanggung
jawab untuk menyediakan struktur, sumber daya, dan motivasi yang dibutuhkan. Seorang
9
pemimpin setidaknya perlu mempunyai minimal 3 kompetensi, yaitu (Whitehead et
al.,2009):
1) Kemampuan untuk memahami situasi yang ingin dipengaruhi
2) Dapat beradaptasi dengan lingkungan dan sumber daya pendukung
3) Kemampuan berkomunikasi untuk mempengaruhi anggota anggota nya
2. Gaya Kepemimpinan
Gaya kepemimpinan adalah kumpulan strategi yang digunakan seorang pemimpin
untuk mempengaruhi para karyawan agar sasaran organisasi tercapai atau dapat pula
dikatakan bahwa gaya kepemimpinan adalah pola strategi atau pola perilaku yang
disukai dan sering diterapkan oleh seorang pemimpin. (Rivai, 2014)
Menurut kartono (2003) gaya kepemimpinan dibagi menjadi 8, yaitu :
a) Kepemimpinan Kharismatik
Tipe kepemimpinan ini mempunyai daya tarik dan pembawaan yang luar biasa
untuk mempengaruhi orang lain, umumnya pemimpin dengan tipe ini memiliki
pengikut dengan jumlah besar. Pemimpin kharismatik dapat dilihat dari cara mereka
berbicara, berjalan maupun bertindak.
b) Kepemimpinan Paternalistik
Tipe kepemimpinan ini mempunyai sikap over-protective terhadap bawahan
menonjol dan disertai kasih sayang yang berlebihan. Tipe pemimpin seperti ini
selalu melindungi karyawannya karena mereka menganggap karyawannya tidak
dapat bersikap mandiri dan perlu dorongan untuk melakukan suatu pekerjaan.
Kepemimpinan tipe ini hampir tidak pernah memberikan kesempatan pada karyawan
untuk berinisiatif dan mengembakan daya kreativitas mereka sendiri.
c) Kepemimpinan Militeristik
Tipe kepemimpinan seperti ini mempunyai sifat sangat keras, otoriter, kaku, dan
lebih banyak memerintah bawahan. Menuntut untuk selalu adanya disiplin yang
keras dan kaku kepada karyawan.
d) Kepemimpinan Eksekutif
Tipe kepemimpinan ini adalah tipe pemimpin yang mampu menyelenggarakan tugas
dan tanggung jawab administrasi secara efektif
10
e) Kepemimpinan Laissez Faire
Tipe kepemimpinan laissez faire adalah gaya kepemimpinan dengan kendali bebas.
Biasanya leader juga tidak berpartisipasi dalam tim dan membiarkan tanggung jawab
dan pengambilan keputusan penting sekalipun dilakukan karyawannya
f) Kepemimpinan Populistis
Tipe kepemimpinan ini biasanya pemimpin masih berpegang teguh pada cara cara
tradisional dan tidak mempercayai dukungan dari pihak asing atau pihak luar.
g) Kepemimpinan Otokratis
Tipe kepemimpinan otokratis dapat juga disebut sebagai tipe kepemimpinan otoriter.
Tipe pemimpin seperti ini biasanya selalu berperan sebagai pemain tunggal,
karyawan harus tunduk pada kekuasaan dan paksaan mutlak, hanya akan bersikap
baik kepada karyawan apabila mereka patuh dan tunduk
h) Kepemimpinan Demokratis
Tipe kepemimpinan demokratis adalah tipe pemimpin yang menghargai potensi
setiap karyawan dan mau menerima masukan dan saran dari bawahannya. Tipe
pemimpin demokratis kebalikan dari tipe pemimpin otoriter / otokratis
11
yang timbul saat kondisi pelayanan sedang dibutuhkan umumnya adalah pemimpin
informal
Baik aksis formal dan informal maupun aksis internal dan eksternal, seluruh anggota
tim perlu memahami seluruh kekuatan yang dimiliki anggota tim dan
memanfaatkannya melalui proses diskusi, komunikasi yang efektif, dan interaksi di
dalam tim (Dow et al., 2013)
d) Menghindari konflik
12
Pemimpin yang menghindari konflik berisiko mengalami kegagalan dalam mencapai
tujuan yang dibutuhkan
Permasalahan kesehatan tidak bisa diselesaikan hanya dengan salah satu profesi
kesehatan, namun perlu adanya kerjasama atau kolaborasi interprofesi. Kolaborasi dan
model interdisiplin merupakan pondasi utama dalam memberikan asuhan keperawatan
yang bermutu tinggi dan hemat biaya. Dalam hal ini hambatan dalam berkolaborasi bisa
dari berbagai faktor. Pertama, faktor individu seperti karakter, kompetensi dan
komunikasi antar profesi. Kedua, faktor kelompok seperti keterbatasan tenaga baik
secara kuantitas maupun kualitas dan hirarki/senioritas). Ketiga, faktor organisasi
meliputi leadership, motivasi, kebijakan organisasi, fasilitas pendukung dan aplikasi
sistem informasi kesehatan yang kurang user friendly. Berikut beberapa hambatan dan
tantangan dalam kolaborasi antar tenaga kesehatan:
1) Komunikasi
Kurangnya komunikasi antar profesi, seperti kurangnya komunikasi antara dokter,
perawat, dan apoteker, nutrisionis yang berujung pada kesalahan dalam meracik obat
dan memberikan nutrisi kepada pasien. Komunikasi merupakan aspek penting dari
kerjasama antar profesional. Hal ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh
Lestari,et al (2018) yang menyatakan bahwa faktor penghambat dalam pelaksanaan
Interprofessional collaboration adalah buruknya komunikasi antar tenaga kesehatan
karena akan menimbulkan terjadinya kesalahpahaman dan akan menyebabkan
perawatan yang kurang baik pada pasien sehingga dapat menyebabkan dampak yang
buruk pada keselamatan dan kesehatan klien. Komunikasi dalam pelaksanaan
Interprofessional Collaboration (IPC) merupakan faktor penting dalam
meningkatkan mutu pelayanan rumah sakit dan keselamatan pasien.
13
yang dapat disebabkan oleh pelaksana kesehatan seperti perawat dan dokter yang
dimana dokter merasa bahwa pengetahuan dan perannya lebih tinggi dibandingkan
dengan perawat sehingga kolaborasi dan kerjasama yang dilakukan menjadi kurang
baik. Latar belakang tingkat pendidikan dari masing masing tenaga kesehatan akan
mempengaruhi perilaku seseorang dalam menjalankan peran dan tanggung jawabnya
saat melakukan tindakan kolaborasi yang dapat diartikan bahwa semakin tinggi
tingkat pendidikan seseorang maka akan semakin besar keinginannya dalam
memanfaatkan keterampilan dan pengetahuannya.
3) Keterbatasan Pemahaman
Keterbatasan pemahaman akan peran masing-masing jabatan akan mempengaruhi
pelaksanaan kerjasama, sudah seharusnya masing masing profesi memahami dan
mengetahui tugas, fungsi dan tanggung jawabnya masing masing. Sehingga tidak
terjadi tumpang tindih dalam bekerja. Penelitian yang dilakukan oleh Hardin, (2019)
menjelaskan bahwa keterbatasan pemahaman akan peran masing-masing jabatan
akan mempengaruhi pelaksanaan kerjasama, diantaranya pelaksanaan kerjasama
antara perawat dan dokter sering menimbulkan kesalahpahaman yaitu masih banyak
dokter yang kurang memahami ruang lingkup praktek. perawat, sehingga tanggung
jawab perawat dan dokter sering tumpang tindih, sehingga dokter kurang yakin
dengan kemampuan perawat dalam mengambil keputusan tentang perawatan pasien.
Kolaborasi yang efektif mencakup penerapan strategi dimana setiap profesi yang
berbeda budayanya bekerja sama dalam satu tim untuk mencapai tujuan yang sama.
Dalam konteks kesehatan, setiap profesi kesehatan harus terjalin dalam arahan yang
14
sama untuk mencapai visi yang sama pula. Setiap profesi harus mengerti peran dan tugas
kerja masing-masing. Seorang pemimpin (leader) juga sangat dibutuhkan agar sebuah
tim tidak kehilangan fokus untuk mencapai tujuannya (Dalri, 2010).
15
e. Pengakuan kontribusi dari anggota tim.
f. mengevaluasi keefektifan cara kerja anggota tim
16
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Kolaborasi yang efektif mencakup penerapan strategi dimana setiap profesi yang
berbeda budayanya bekerja sama dalam satu tim untuk mencapai tujuan yang sama.
Dalam konteks kesehatan, setiap profesi kesehatan harus terjalin dalam arahan yang
sama untuk mencapai visi yang sama pula. Seorang pemimpin (leader) juga sangat
dibutuhkan agar sebuah tim tidak kehilangan fokus untuk mencapai tujuannya (Dalri,
2010)
3.2. Saran
Dalam penulisan makalah ini penulis menyadari masih jauh dari kesempurnaan,
masih banyak terdapat kesalahan-kesalahan, baik dalam bahasanya, materi dan
17
penyusunannya. Oleh karena itu penulis sangat mengharapkan kritik, saran dan masukan
yang dapat membangun penulisan makalah ini.
18
DAFTAR PUSTAKA
Soemantri D, Sari SP, Ayubi D. 2019. Buku Referensi Kolaborasi dan Kerja sama Tim
Kesehatan. Jakarta : Sagung Seto
Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau Repository. Available at:
http://repository.uin-suska.ac.id/6373/3/BAB%20II.pdf
19