Anda di halaman 1dari 40

REFERAT

ABSES PERIAPIKAL

Disusun Oleh :

Albertdamen Josal Reverdy Pirri (22710135)

Lailiya Magfiroh (22710171)

Dosen Pembimbing :

drg. Enny Wilianti, M.Kes

drg. Theodora, Sp.Ort

drg. Wahyuni Dyah Parmasari, Sp.Ort

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER MUDA

KSM ILMU GIGI DAN MULUT

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS WIJAYA KUSUMA SURABAYA

2023

1
LEMBAR PENGESAHAN

REFERAT

KSM ILMU GIGI DAN MULUT

“Abses Periapikal”

Oleh :

Albertdamen Josal Reverdy Pirri (22710135)

Lailiya Magfiroh (22710171)

Telah disetujui dan disahkan pada :

Hari/Tanggal:

Dosen Pembimbing :

drg. Enny Wilianti, M.Kes

drg. Theodora, Sp.Ort

drg. Wahyuni Dyah Parmasari, Sp.Ort

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER MUDA

KSM ILMU GIGI DAN MULUT

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS WIJAYA KUSUMA SURABAYA

2023

2
KATA PENGANTAR

Segala puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat dan rahmat-Nya
penyusun dapat menyelesaikan referat dengan judul “Abses Periapikal”. Pada kesempatan
ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada drg. Enny Wilianti,
M.Kes, drg. Theodora, Sp.Ort dan drg. Wahyuni Dyah Parmasari, Sp.Ort selaku
pembimbing yang telah membantu dalam penyelesaian laporan kasus ini.

Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada teman-teman dan semua pihak yang telah
membantu dalam penyelesaian ini. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam
penyusunan referat ini masih banyak terdapat kesalahan dan kekurangan. Oleh karena itu,
segala saran dan kritik yang bersifat membangun sangat penulis harapkan.

Surabaya, 27 Februari 2023

Penulis

3
DAFTAR ISI

COVER ……………………………………..……………………………………….. 1
LEMBAR PENGESAHAN ……………………………………..…………………… 2
KATA PENGANTAR ……………………………………..………………………… 3
DAFTAR ISI ……………………………………..………………………………….. 4

BAB I Pendahuluan ……………………………………..…………………………… 5


1.1 Latar Belakang …………………………………….. 5
……………………………..
1.2 Rumusan Masalah …………………………………….. 7
………………………….
1.3 Tujuan ……………………………………..…………………………………….. 7

BAB II Tinjauan Pustaka …………………………………….. 8


………………………
2.1 Abses Periapikal ……………………………………..………………………….. 8
2.1.1 Definisi ……………………………………..……………………………….. 8
2.1.2 Klasifikasi ……………………………………..…………………………….. 8
2.1.3 Etiologi ……………………………………..……………………………….. 9
2.1.4 Patofisiologi …………………………………………………………………. 10
2.1.5 Manifestasi Klinis ……………………………………..…………………….. 11
2.1.6 Pemeriksaan Diagnosis ……………………………………..……………….. 12
2.1.7 Penatalaksanaan .……………………………………..……………………… 14

BAB III Resume Jurnal ……………………………………..………………………. 16


BAB IV Kesimpulan ……………………………………..…………………………. 38
DAFTAR PUSTAKA …………………………………….. 39
………………………….

4
BAB II
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Penyakit periapikal merupakan suatu keadaan patologis yang terlokalisir pada daerah
apeks ujung akar gigi. Penyakit periapikal dapat berawal dari infeksi pulpa.
Konsekuensi dari perubahan patologis pada pulpa adalah saluran akar menjadi sumber
berbagai macam iritan. Iritan-iritan yang masuk ke dalam jaringan periapikal inilah
yang akan menginisiasi timbulnya lesi periapikal (Ingle dan Bakland 2002).
Salah satu penyakit periapikal yang paling sering terjadi yaitu abses periapikal (Piriz
dkk. 2007). Abses periapikal adalah kumpulan pus yang terlokalisir dibatasi oleh
jaringan tulang yang disebabkan oleh infeksi dari pulpa dan atau periodontal. Sebagian
besar kasus abses periapikal biasanya diawali oleh invasi dari bakteri yang ada pada
karies (Grossman 1995).
Proses terjadinya infeksi bakteri akibat karies ini diawali ketika lesi karies mencapai
dentin, sehingga tubulus dentin menjadi jalan masuk untuk bakteri, produk bakteri, sisa-
sisa jaringan, dan iritan dari saliva. Jika karies tidak segera dirawat dan gigi akhirnya
menjadi nekrosis, maka bakteri akan berkoloni pada jaringan nekrotik sehingga pulpa
terinfeksi (Tronstad 2009). Produk metabolik dan toksin bakteri masuk ke dalam saluan
akar dan berdifusi ke dalam jaringan periapikal sehingga memicu respon inflamasi
seperti pembengkakkan dan rasa sakit (Love dan Jenkinson, 2002). Bakteri utama
penyebab terjadinya karies yaitu Streptococcus mutan. Bakteri ini berperan dalam
proses awal terjadinya karies meskipun bakteri ini termasuk flora normal dalam rongga
mulut manusia (Kidd dan Fejerskov 2009).
Di dalam rongga mulut, terdapat lebih dari 300 spesies bakteri yang merupakan flora
normal dan memiliki kemampuan untuk menginvasi saluran un 2006). Bakteri-bakteri
ini hidup akar (Lumley,Adams dan Tomson bersimbiosis dengan host (rongga mulut)
(Avila,Ojcius, Yilmaz 2009), namun dapat menjadi oportunistik dan menyebabkan
penyakit ketika host kehilangan kemampuan unuk menjaga homeostasis dan ekosistem

5
rongga mulut (Actor 2012). Dari semua bakteri tersebut, hanya beberapa spesies saja
yang dapat menyebabkan infeksi (Paster dkk. 2006).
Bakteri yang sering ditemukan pada saluran akar yang terinfeksi adalah bakteri gram
negatif anaerob. Pada dinding membran sel bakteri ini terdapat lipopolisakarida (LPS)
yang diyakini memiliki korelasi dengan terbentuknya eksudat dan area radiolusen pada
lesi periapikal (Lumley, Adams, Tomson, 2009).
Bakteri merupakan faktor esensial dalam perkembangan penyakit pulpa dan periapikal.
Adanya bakteri pada saluran akar atau pada jaringan periapikal akan menentukan
keberhasilan dari perawatan endodontik (Saberi 2014).
Keberhasilan perawatan endodontik ini ditentukan oleh kemampuan mengeliminasi
bakteri patogen penyebab infeksi (Siquera,Rocas, Ricucci, Hulsmann 2014).
Mengeliminasi bakteri pada saluran akar yang terinfeksi dalam perawatan endodontik
merupakan hal yang sulit (Haapsalo, Udnaes, dan Endal 2003). Hal ini disebabkan oleh
beberapa faktor diantaranya anatomi saluran akar yang kompleks karena terdapat kanal
aksesori, terdapat ismus, resorpsi apikal, kalsifikasi pada dinding saluran akar, dan
terdapatnya apex delta pada regio apikal sehingga baktei yang berkoloni di area tersebut
sulit dijangkau oleh instrumen dan irigan (Dahlen 2009).
Kegagalan dalam mengeliminasi bakteri penyebab infeksi saluran akar dan periapikal
dapat menyebabkan kegagalan dalam perawatan endodontik (Suchitra, Kundabala, dan
Shenoy, 2006). Kegagalan tersebut akhirnya memicu terjadinya infeksi sekunder akibat
bakteri yang persisten, sehingga gigi yang telah dirawat harus dilakukan perawatan
endodontik ulang. Bakteri persisten pada infeksi saluran akar dan periapikal biasanya
berlokasi di area yang sulit diakses oleh instrumen, irigan, dan sering berkontak
langsung dengan sumber nutrisi dari jaringan periapikal (Siquera, Rocas, Ricucci,
Hulsmann 2014). Berdasarkan penelitian Anderson dkk. (2012), Vidana dkk. (2011)
dan Pinheiro (2003), bakteri yang menyebabkan kegagalan perawatan endodontik yaitu
bakteri fakultatif anaerob terutama Enterococcus Faecalis.
Tujuan utama dari perawatan endodontik adalah menghilangkan proses infeksi yang
sedang berlangsung dan mencegah mikroorganisme terutama bakteri menginfeksi
kembali saluran akar dan jaringan periapikal (Ingle 2008, Walton dan Torabinejad

6
2009). Oleh karena itu, identifikasi dan pemahaman terhadap bakteri penyebab infeksi
saluran akar dan periapikal menjadi hal yang penting bagi peneliti maupun bagi klinisi
karena adanya bakteri persisten yang dapat menyebabkan infeksi berulang (Deo,
Shashikala, dan Bhat, 2014).

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang diatas adapun rumusan masalah yang akan dibahas pada
referat ini adalah sebagai berikut :
a. Apa pengertian dari Abses Periapikal?
b. Bagaimana cara mendiagnosis serta penatalaksanaan dari pasien Abses Periapikal
pada pasien?

1.3 Tujuan Referat


Adapun tujuan dari penyusunan referat ini adalah sebagai berikut :
a. Untuk mengetahui tentang Abses Periapikal.
b. Untuk mengetahui bagaimana cara mendiagnosis serta penatalaksanaan dari pasien
dengan Abses Periapikal.

7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 ABSES PERIAPIKAL
2.1.1 Definisi
Abses Periapikal adalah pengumpulan nanah yang telah menyebar dari sebuah gigi
ke jaringan di sekitarnya, biasanya berasal dari suatu infeksi. Penyakit periapikal
merupakan suatu keadaan patologis yang terlokalisir pada daerah apeks atau ujung
akar gigi atau daerah periapikal gigi.
Abses periapikal adalah kumpulan pus yang terlokalisir dibatasi oleh jaringan tulang
yang disebabkan oleh infeksi dari pulpa dan atau periodontal. Abses periapikal
umumnya berasal dari nekrosis jaringan pulpa. Jaringan yang terinfeksi
menyebabkan sebagian sel mati dan hancur, meninggalkan rongga yang berisi
jaringan dan sel-sel yang terinfeksi.

2.1.2 Klasifikasi
a. Abses Apikalis Akut
Abses apikalis akut adalah proses inflamasi pada jaringan periapikal gigi, yang
disertai pembentukan eksudat. Abses apikalis akut disebabkan masuknya
bakteri, serta produknya dari saluran akar gigi yang terinfeksi. Abses apikalis
akut ditandai dengan nyeri yang spontan, adanya pembentukan nanah, dan
pembengkakan. Pembengkakan biasanya terletak divestibulum bukal, lingual
atau palatal tergantung lokasi apeks gigi yang tekena. Abses apikialis akut juga
terkadang disertai dengan manifestasi sistemik seperti meningkatnya suhu
tubuh, dan malaise. Tes perkusi abses apikalis akut akan mengahasilkan respon
yang sangat sensitif, tes palpasi akan merespon sensitif. Sedangkan tes vitalitas
tidak memberikan respon.
b. Abses Apikalis Kronis

8
Abses apikalis kronis merupakan keadaan yang timbul akibat lesi yang berjalan
lama yang kemudian mengadakan drainase ke permukaan. Abses apikalis kronis
disebabkan oleh nekrosis pulpa yang meluas ke jaringan periapikal, dapat juga
disebabkan oleh abses akut yang sebelumnya terjadi. Abses adalah kumpulan
pus yang terbentuk dalam jaringan. Pus ini merupakan suatu kumpulan sel-sel
jaringan lokal yang mati, sel-sel darah putih, organisme penyebab infeksi atau
benda asing dan racun yang dihasilkan oleh orgnisme dan sel darah. Abses
apikalis kronis merupakan reaksi pertahanan yang bertujuan untuk mencegah
infeksi menyebar kebagian tubuh lainnya. Abses apikalis kronis berkembang
dan membesar tanpa gejala yang subjektif, hanya dapat dideteksi dengan
pemeriksaan radiografis atau dengan adanya fistula didaerah sekitar gigi yang
terkena. Fistula merupakan ciri khas dari abses apikalis kronis. Fistula
merupakan saluran abnormal yang terbentuk akibat drainasi abses. Abses
apikalis kronis pada tes palpasi dan perkusi tidak memberikan respon non-
sensitif, Sedangakn tes vitalitas tidak memberikan respon.

2.1.3 Etiologi
Abses disebabkan oleh adanya infeksi bakteri pada rongga mulut. Bakteri utama
penyebab terjadinya karies yaitu Streptococcus mutan. Bakteri ini berperan dalam
proses awal terjadinya karies meskipun bakteri ini termasuk flora normal dalam
rongga mulut manusia (Kidd dan Fejerskov, 2009). Di dalam rongga mulut, terdapat
lebih dari 300 spesies bakteri yang merupakan flora normal dan memiliki
kemampuan untuk menginvasi saluran akar (Lumley, Adams dan Tomson, 2006).
Bakteri-bakteri ini hidup bersimbiosis dengan host (rongga mulut) (Avila, Ojcius,
Yilmaz, 2009), namun dapat menjadi oportunistik dan menyebabkan penyakit
ketika host kehilangan kemampuan untuk menjaga homeostasis dan ekosistem
rongga mulut (Actor, 2012). Dari semua bakteri tersebut, hanya beberapa spesies
saja yang dapat menyebabkan infeksi (Paster dkk. 2006). Bakteri yang sering
ditemukan pada saluran akar yang terinfeksi adalah bakteri gram negatif anaerob.
Pada dinding membran sel bakteri ini terdapat lipopolisakarida (LPS) yang diyakini

9
memiliki korelasi dengan terbentuknya eksudat dan area radiolusen pada lesi
periapikal (Lumley, Adams, Tomson, 2009). Bakteri merupakan faktor esensial
dalam perkembangan penyakit pulpa dan periapikal. Adanya bakteri pada saluran
akar atau pada jaringan periapikal akan menentukan keberhasilan dari perawatan
endodontik (Saberi 2014).

2.1.4 Patofisiologi
Faktor predisposisi yang paling umum dari pembentukan abses pada gigi adalah
karena adanya karies. Kesehatan gigi yang buruk merupakan salah satu penyebab
terjadinya abses gigi dan beberapa penyakit dan gangguan yang berhubungan
dengan penyakit periodontal (misalnya AIDS, Diabetes, Down syndrome,
Leukemia, kehamilan, penggunaan metamfetamin, dan keganasan lain). Meskipun
karies adalah faktor yang paling predisposisi, setiap proses yang menyebabkan atau
merupakan predisposisi nekrosis pulpa (misalnya trauma, prosedur gigi baru-baru
ini ) dapat menyebabkan pembentukan abses. (Buttaro et al, 2013; Baumann MA
and Beer R, 2010; King C and Henretig FM, 2008).
Abses pada gigi timbul sebagai respon akibat dari infeksi oleh flora mulut normal
pada gigi karies atau sebagai akibat dari trauma gingiva mukosa. Ketika proses
karies terus berlanjut melalui struktur keras gigi (enamel dan dentin) menuju ke
ruang pulpa, infeksi pulpa dan/atau proses peradangan terjadi. Proses ini biasanya
menghasilkan nekrosis pulpa. (Buttaro et al, 2013; Baumann MA and Beer R, 2010;
King C and Henretig FM, 2008).
Abses gigi dimulai dengan nekrosis pulpa gigi, yang mengarah ke invasi bakteri
dari ruang pulpa dan jaringan yang lebih dalam. Dalam kavitas (karies)
menyebabkan nekrosis dengan memicu vasodilatasi dan edema, yang menyebabkan
tekanan dan nyeri pada dinding gigi. Tekanan ini memotong sirkulasi ke pulp, dan
infeksi dapat menyerang tulang di sekitarnya. Proses inflamasi kemudian meluas ke
jaringan periapikal melalui foramen apikal, yang menyebabkan pembentukan abses
periapikal. Jika terdapat infeksi bakteri di dalam saluran akar, abses periapikal dapat
terjadi. Abses periapikal dapat bersifat akut atau mungkin ada sebagai abses kronis.

10
Dalam tahap awal abses tidak terlihat dalam radiograf. Namun, infiltrasi besar sel
inflamasi di daerah periapikal, dan aktivitas osteoklastik selanjutnya menyebabkan
kerusakan tulang terlihat dalam waktu 3- 4 minggu. (Buttaro et al, 2013; Baumann
MA and Beer R, 2010; King C and Henretig FM, 2008).
Beberapa organisme, kadang-kadang sebanyak 5 sampai 10, biasanya ditemukan
pada abses. Awalnya, bakteri aerobik menyerang pulp nekrotik dan menciptakan
linkungan hipoksia yang menguntungkan bagi pertumbuhan bakteri anaerob.
Organisme dominan pada abses adalah Bacteriodes, Fusobacterium, Peptococcus,
dan organisme Peptostreptococcus dan Streptococcus viridans. (Buttaro et al, 2013;
Baumann MA and Beer R, 2010; King C and Henretig FM, 2008)

2.1.5 Manifestasi Klinis


Gejala Abses Periapikal yaitu gigi terasa sakit, bila mengunyah juga timbul nyeri.
Kemungkinan ada demam disertai pembengkakan kelenjar getah bening di leher.
Jika absesnya sangat berat, maka di daerah rahang terjadi pembengkakan. Orang
yang memiliki daya resistensi tubuh yang rendah, memiliki resiko tinggi untuk
menderita abses. Pada awalnya, penderita abses mengalami sakit gigi yang
bertambah parah. Sehingga saraf di dalam mulut juga dapat terinfeksi. Jika absesnya
tersembunyi di dalam gusi, maka gusi bisa berwarna kemerahan. Untuk
menterapinya, dokter gigi membuat jalan di permukaan gusi agar pus bisa berjalan
keluar. Dan ketika pus sudah mendapatkan jalan keluar, kebanyakan rasa sakit yang
diderita oleh pasien berkurang drastis. Jika abses tidak di irigasi/drainasi dengan
baik, hanya sekedar pecah. Maka infeksi tadi akan menyebar ke bagian lain di mulut
bahkan bisa menyebar ke leher dan kepala.
Gejala awal adalah pasien akan merasakan sakit yang berdenyut-denyut di daerah
yang terdapat abses. Lalu gigi akan menjadi lebih sensitif terhadap rangsang panas
dan dingin serta tekanan dan pengunyahan. Selanjutnya pasien akan menderita
demam, kelenjar limfe di bagian rahang bawah akan terasa lebih
menggumpal/sedikit mengeras dan terasa sakit jika diraba. Pasien juga merasa sakit

11
pada daerah sinus. Jika pus mendapat jalan keluar, atau dengan kata lain bisulnya
pecah, akan menimbulkan bau busuk dan rasa sedikit asin dalam mulut.

2.1.6 Pemeriksaan Diagnostik


Abses periapikal akut dapat didiagnosis pasti dengan pemeriksaan radiologi dan
histopatologi. Gambaran histopatologi dari abses periapikal akut adalah sebagai
berikut :
a. Daerah supurasi disusun oleh pus yang terdiri dari leukosit polimorfonukleus
yang didominasi oleh neutrofil dalam berbagai tahap penghancuran, eksudat
protein dan jaringan nekrotik. Kadang-kadang juga terlihat plasma sel dan
limfosit dalam jumlah yang sedikit.
b. Pus dikelilingi oleh sel inflamasi leukosit yang didominasi oleh
polimorfonuklear neutrofil serta sedikit plasma sel dan limfosit.
c. Dilatasi pembuluh darah dan neutrofil yang berinfiltrasi pada ligament
periodontal dan sumsum tulang yang berdekatan dengan cairan nekrotik.
d. Di dalam ruang sumsum tulang juga terdapat sel-sel inflamasi yang terinfiltrasi.
e. Jaringan di sekitar daerah supurasi mengandung cairan serous.

Gambar 2.1 Gambaran histologi abses periapikal akut

Gambaran histopatologi pada abses periapikal kronis adalah sebagai berikut :


a. Sel-sel yang utama adalah limfosit dan plasma sel serta polimorfonukleus dalam
jumlah tertentu.

12
b. Kadang-kadang terdapat sel-sel makrofag dan lebih jarang lagi terdapat sel-sel
raksasa berinti banyak.
c. Di tengah abses ini terdapat suatu kumpulan jaringan fibroblast dan sedikit
kapiler darah yang baru terbentuk.
d. Di daerah luar terdapat kapsul jaringan fibrous yang berbeda umur dan
kondisinya.

Gambar 2.2 Gambaran histologi abses periapikal kronis

Pada tahap awal sebelum terjadinya resorbsi tulang, belum terlihat adanya
gambaran rontgenologi. Gambaran rontgenologi baru terlihat jika ada pengrusakan
tulang, dimana diperlukan waktu 2-3 minggu agar cukup tejadi resorbsi tulang
sehingga tampak adanya daerah radiolusen yang difus dengan batas tidak jelas pada
apeks gigi. Dapat juga terjadi penebalan ligament periodonsium tetapi jarang terjadi.
Di sekitar apeks dari gigi terlihat daerah yang radiolusen dan berangsur-angsur
menyatu di sekeliling tulang tanpa danya batas yang jelas di antara keduanya.

Gambaran rontgenologi pada abses periapikal akut adalah sebagai berikut :

13
Gambar 2.3 Gambaran radiologi abses periapikal

2.1.7 Penatalaksanaan
Terapi Abses Periapikal
Pulpa pada abses periapikal biasanya atau hampir selalu non vital. Oleh karena itu
membutuhkan baik ekstraksi gigi atau perawatan endodontik. Jika prosedur awal
memungkinkan drainase yang memadai, terapi definitif dapat menunggu sampai
infeksi terkendali. (King C and Henretig FM, 2008). Pengelolaan abses periapikal
yang terutama adalah bedah. Ekstraksi gigi memungkinkan pelepasan tekanan dan
drainase abses. Alternatif lainnya, beberapa kasus gigi yang mengalami abses
adalah kandidat untuk mengalami terapi saluran akar.

14
Cakupan antibiotik untuk kedua bakteri aerobik dan anaerobik meningkatkan
resolusi infeksi. Terapi antibiotik oral termasuk penisilin, klindamisin (Cleocin),
dan metronidazol. Metronidazol dapat digunakan dalam kombinasi dengan penisilin
tetapi tidak sendirian. Amoksisilin dengan clavunalate (Augmentin) adalah sebuah
alternatif untuk penisilin. Untuk pasien yang tidak dapat mengambil antibiotik ini,
eritromisin (E- Mycin), cephalexin (Keflex), sulfa, kuinolon, dan tetrasiklin tidak
efektif tetapi dapat digunakan. Jika diindikasikan, terapi antibiotik parenteral
dengan penisilin, klindamisin, dan metronidazol harus digunakan. Cefazolin
(Kefzol) dan cefoxitin (Mefoxin) kurang efektif. Gentamisin (Garamycin),
kloramfenikol, tobramisin, amikasin (Amikin), dan setiap generasi ketiga
cephalosporin tidak dianjurkan karena mereka gagal untuk memberikan
perlindungan yang memadai, memiliki komplikasi yang merugikan (kloramfenikol),
mahal, atau spektrum yang lebih luas dari yang diperlukan. (Buttaro et al, 2013)
Terapi empiris biasanya ditunjukkan. Peng-kulturan debit purulen dapat
menghasilkan diagnosis bakteri yang lebih spesifik, dan terapi yang tepat dapat
kemudian diimplementasikan. Terapi analgesik diindikasikan sebagai tambahan
terhadap pengobatan antibiotik dan bedah. Hidrasi pasien diperlukan untuk
memastikan pengiriman tepat terapi antibiotik yang dipilih. Operasi Emergent
diindikasikan jika ada permasalah dari kompromi napas atau dekompensasi pasien.
(Buttaro et al, 2013).

15
BAB III
RESUME JURNAL
3.1 Jurnal 1 : Analisis radiograf periapikal menggunakan software imageJ pada abses
periapikal setelah perawatan endodontik
Laporan Kasus
Pada jurnal ini, penulis melakukan analisis radiograf periapikal dengan menggunaoan
software imageJ pada pasien dengan abses periapikal setelah dilakukan perawatan
endodontik. Penilaiaan secara visual pada abses periapikal pada radiograf periapikal,
memiliki perbedaan interpretasi secara intra dan inter observer yang diakibatkan
subjektifitas penilaian. Penilaian pada abses periapikal setelah perawatan endodontik
secara visual umumnya dilihat dari berkurangnya ukuran abses periapikal. Pada jurnal
ini, peneliti melakukan pengukuran abses periapikal dengan cara mengukur luas lesi,
jumlah partikel, dan luas partikel pada radiograf setelah dilakukan perawatan
endodontik secara digital. Adapun tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mengetahui luas
lesi, jumlah partikel dan luas partikel trabekula tulang setelah perawatan endodontik
pada abses periapikal melalui digitalisasi radiograf periapikal menggunalan software
imageJ. Penelitian pada jurnal ini bersifat analisis observasional. Menggunalan 31
sampel radiograf sebelum dan sesudah perawatan endodontik pasien dengan diagnosa
abses periapikal di RSGM Universitas Padjajaran Bandung. Radiograf di digitalisasi

16
menggunalan software imageJ untuk mendapatkan hasil luas lesi, jumlah partikel dan
luas partikel abses periapikal.

Terapi dan Hasil


Hasil penelitian terhadap 31 pasang data radiograf periapikal pada penelitian ini telah
dipaparkan dalam tabel berikut :

Tabel 1, merupakan data penelitian luas lesi abses periapikal sebelum dan setelah
perawatan endodontik. Berdasarkan data tersebut dapat terlihat bahwa rata-rata luas
sebelum perawatan yaitu 12,44 ± 2,29 mm2 dan setelah perawatan 2,72 ± 1,86 mm2. Hal
ini menunjukkan bahwa terjadi penurunan dari luas lesi.
Tabel 2, merupakan data penelitian dari jumlah partikel abses periapikal sebelum dan
setelah perawatan endodontik. Berdasarkan tabel tersebut tampak bahwa rata-rata
jumlah partikel sebelum perawatan endodontik yaitu 56,22, sedangkan setelah
perawatan endodontik 79,61. Hal ini menunjukkan terjadi peningkatan jumlah partikel
setelah perawatan endodontik. Hasil uji t-independent, dapat disimpulkan bahwa
terdapat perbedaan yang signifikan antara jumlah partikel sebelum dan setelah
perawatan endodontik.

17
Tabel 3, merupakan tabel berisi data penelitian luas partikel abses periapikal sebelum
dan setelah perawatan endodontik. Berdasarkan tabel tersebut tampak bahwa rata-rata
luas partikel sebelum perawatan endodontik yaitu 8,93 ± 2,55 mm2, sedangkan setelah
perawatan endodontik 11,42 ± 2,61 mm2. Hal ini menunjukkan terjadi peningkatan luas
partikel setelah perawatan endodontik. Hasil uji t-independent, disimpulkan terdapat
perbedaan signifikan antara luas partikel sebelum perawatan endodontik dengan luas
partikel setelah perawatan endodontik.
Berdasarkan hasil di atas maka diketahui terdapat penurunan luas lesi, kenaikan jumlah
partikel dan luas partikel yang signifikan pada radiograf setelah perawatan endodontik.
Penurunan luas lesi dipengaruhi oleh kenaikan jumlah partikel dan luas partikel.

Diskusi
Proses patogenesis abses periapikal didahului oleh vaskular yang bervasodilatasi
sehingga aliran darah menjadi lambat dan berkumpul di periapikal. Peningkatan cairan
di periapikal akan menyebabkan berkuranganya penyerapan foton sinar-X, dimana
kondisi ini mengakibatkan gambaran radiolusen berbatas tidak jelas dan tidak tegas.
Peningkatan vaskularisasi, fibroblas, sementum seluler dan aktifnya osteoblas pada
proses penyembuhan abses periapikal mengarah pada proses pembentukkan tulang
trabekula dari endoseus, dimana osteoblas dan sel mesenchymal berpoliferasi menjadi
osteoblast dan membentuk matriks tulang. Berbeda dengan kondisi abses kondisi
dimana telah terjadi penyembuhan maka terjadi pemadatan pada jaringan sehingga
meningkatkan pula penyerapan foton sinar-X dikarenakan tulang yang baru terbentuk
pada proses ini menyerap sinar-X lebih banyak sehingga hanya sedikit sinar-X yang
mengenai kristal sensitif pada film dan mengakibatkan gambaran radioopak. Upaya
memperoleh data kuantifikasi dilakukan melalui proses digitalisasi. Proses digitalisasi
mengubah radiograf konvensional menjadi radiograf digital. Teixeira et.al., (2010)
menyatakan, resorpsi kecil tulang periapikal sudah cukup untuk menentukan perubahan
nilai pixel dari daerah itu dalam metode digital.
Tabel 1 menunjukkan penurunan nilai luas lesi abses periapikal pada radiograf setelah
perawatan endodontik sebesar 21,92%. Menurut Torabinejad (2008) keadaan ini

18
menunjukkan perbaikan dari lesi abses periapikal, sebaliknya apabila terjadi
peningkatan luas lesi abses periapikal dikatakan tidak terjadi proses penyembuhan.
Hasil pengukuran jumlah partikel (Tabel 2) dan luas partikel (Tabel 3) menunjukkan
terjadinya peningkatan signifikan jumlah dan luas partikel setelah perawatan
endodontik sebesar 8,57% dan 27,78%. Keadaan ini menunjukkan bahwa sudah terjadi
pengurangan cairan dan dimulainya proses pembentukan matriks tulang yang
menyebabkan perbedaan densitas pada internal struktur lesi abses periapikal.
Peningkatan jumlah dan luas partikel pada penelitian ini menunjukkan besarnya
kemajuan proses mineralisasi. Secara analisis digital, terdapat perubahan nilai pixel
pada daerah yang awalnya tidak menyerap foton menjadi menyerap foton sinar-X. Pixel
tersebut dipisahkan dengan mengubahnya menjadi citra biner, sehingga pixel yang
rendah dihilangkan sedangkan pixel tinggi ditampilkan. Saeed dkk (2014) juga
menegaskan bahwa variasi dalam nilai grayscale pada lesi periapikal bila dihubungkan
dengan perubahan histologis, mempunyai korelasi langsung antara nilai dan jenis bahan
yang mengisi lesi.
Berdasarkan hasil uji korelasi, terdapat hubungan antara luas lesi, jumlah partikel dan
luas partikel. Sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Amer et.al (2012), bahwa
peningkatan jumlah partikel memiliki korelasi dengan peningkatan luas partikel,
sehingga jumlah dan luas partikel memiliki korelasi terhadap luas lesi. Besaran jumlah
partikel dan luas partikel berbanding terbalik dengan luas lesi. Nilai signifikansi luas
partikel lebih besar dibanding jumlah partikel yang menunjukkan luas partikel dapat
dijadikan parameter dalam menentukan proses kemajuan perawatan. Penelitian terhadap
31 pasang radiograf didapatkan korelasi jumlah dan luas partikel terhadap luas lesi
sebesar 48,3% dan sebesar 51,7% dipengaruhi oleh faktor-faktor lainnya. Berdasarkan
persentase penurunan luas lesi, peningkatan jumlah dan luas partikel menunjukkan
korelasi antara variabel.
Penggunaan analisis digital diharapkan dapat meminimalkan penilaian subjektif akibat
pengalaman observer. Variabel pengganggu yang mungkin terjadi adalah proses
pengolahan film yang dilakukan menggunakan alat pencuci film automatic dengan
cairan developer dan fixer sudah terstandarisasi namun faktor kualitas karena jumlah

19
radiograf yang diolah berbeda sehingga terdapat perbedaan antara processing pertama
dan terakhir.
Variabel yang membedakan hasil penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah
waktu pengambilan sampel. Hal ini disebabkan oleh radiograf pada penelitian ini
diambil selama masa perawatan endodontik yang rata-rata kurang dari 6 bulan.
Perubahan densitas akibat peningkatan mineralisasi dapat terdeteksi pada 90 hari
setelah pengisian saluran akar dan pembentukan tulang dikatakan terjadi setelah 180
hari. Angerame et al (2013) menyatakan bahwa metode analisis digital radiograf
(digital substraction radiograph) efektif pada proses penyembuhan setelah 6 bulan.
Penelitian ini secara umum memiliki hasil sesuai dengan penelitian Yasar and Akgunlu
(2005), Sogur, et al (2013), serta Chen and Chen (1998) yang menyatakan bahwa pada
abses periapikal terjadi peningkatan demineralisasi yang menyebabkan fraktal dimensi
juga berkurang. Perbedaan hasil disebabkan oleh perbedaan waktu pengambilan
sampel, variasi anatomi, perbedaan teknik yang digunakan untuk mengakuisisi gambar
tulang dua dimensi, prosedur untuk mengukur dimensi fraktal serta perbedaan ROI.

Telaah Jurnal
Kelebihan
1. Penelitian analisis digital pada jurnal ini dapat meminimalkan penilaian subjektif
akibat pengalaman observer.
2. Terdapat kesesuaian antara tujuan jurnal dan kesimpulan yang didapatkan.

Kekurangan
1. Pada jurnal hanya membahas bagaimana hasil analisis radiograf periapikal
menggunalan software imageJ pada pasien dengan abses periapikal setelah
dilakukannya perawatan endodontik, sehingga materi yang ada pada jurnal ini
terkait abses periapikal dan bagaimana penatalaksanaannya sangat sedikit bahkan
tidak ada.

20
3.2 Jurnal 2 : Penanganan Abses Periapikal Kronis Palatal Anterior pada Gigi Insisif
Lateral Rahang Atas
Laporan Kasus
Seorang wanita berusia 24 tahun datang ke RSGMP UNJANI dengan keluhan adanya
benjolan berisi pus yang sangat mengganggu pada langit-langit mulut depannya gigi
dan terasa tidak nyaman jika digunakan untuk mengunyah pada gigi depan kanan
atasnya sejak 3 minggu yang lalu. Pasien telah melakukan pemeriksaan di puskesmas
pada 2 minggu yang lalu, dan diberikan amoxicilin dan dexametashon namun keluhan
tidak kunjung mereda. Hasil anamnesa pasien ditemukan bahwa pasien memiliki
riwayat kunjungan ke tukang gigi untuk melakukan beberapa perawatan, salah satunya
yaitu penambahan pada gigi depan kanan rahang atas kurang lebih 4 tahun yang lalu.
Keluhan diawali dengan rasa sakit pada gigi walaupun tanpa stimulus apapun. Keluhan
menjadi lebih parah disaat malam hari dan mengganggu aktivitas. Pernah terjadi demam
pada pasien, lalu keluhan mereda setelah mengonsumsi obat. Keluhan kembali terulang
untuk yang kedua kalinya, mereda dan terasa tidak nyaman pada langit-langit, timbul
benjolan terasa nyeri jika tertekan, dan gigi depan kanan atas sakit jika digunakan
mengunyah.
Pada pemeriksaan ekstra oral tidak ditemukan adanya kelainan. Riwayat akan penyakit
sistemik dan alergi disangkal. Pemeriksaan intra oral ditemukan adanya restorasi
undermind disertai karies sekunder pada regio mesioproksimal insisif lateral kanan
rahang atas, serta abses palatal anterior regio apeks gigi insisif lateral kanan rahang atas
dengan ukuran ± 3 cm. Lesi abses berbentuk oval dengan adanya sinus tract,
permukaan licin, palpasi keras dengan batas yang teratur (Gambar 1). Oral hygiene
pasien sedang. Berdasarkan hasil pemeriksaan subjektif dan objektif pasien, diagnosis
yang dapat ditegakkan adalah abses periapikal kronis pada regio palatal anterior yang
disebabkan oleh nekrosis gigi insisif lateral kanan rahang atas. Pasien ingin dilakukan
perawatan karena khawatir apabila keluhan nyeri hebat yang pernah dirasakan kembali
terulang.

21
Gambar 1. Abses Periapikal pada Mukosa Palatal Anterior

Pada pemeriksaan radiografi panoramik yang telah dilakukan oleh pasien didapati
gambaran radiolusen pada setengah mesial mahkota mencapai kamar pulpa yang
mengitari gambaran radiopak menyerupai karies sekunder pada mahkota gigi 12, akar
mengalami dilaserasi ke arah distal, ruang periodontal dan laminadura menghilang,
terdapat penurunan puncak tulang alveolar secara vertikal pada bagian mesial dan
distal, tampak gambaran radiolusen iregular pada periapikal gigi 12 berbatas tidak tegas
dan tidak jelas menyerupai abses periapikal (Gambar 2).

Gambar 2. Gambaran Radiologi Panoramik

Terapi dan Hasil

22
Penatalaksanan pada kasus ini adalah dengan menggunakan kombinasi antibiotik
sebagai terapi penyerta untuk meredakan kondisi abses terkait kondisi pasien yang
harus menunda perawatan endodontik. Sebelum dilakukan pemberian resep, pasien
telah dijelaskan mengenai prosedur perawatan yang dapat dipilih untuk mengatasi
keluhan pasien sebagai terapi utama.
Pemilihan antibiotik yang akan diresepkan di ambil dari riwayat pasien. Dilakukan
penggalian informasi mengenai riwayat alergi terhadap obat-obatan, riwayat kehamilan,
serta riwayat konsumsi obat sebelumnya. Pasien mengonsumsi antibiotik golongan
penicillin 500 mg dan anti inflamasi non steroid dengan komposisi dexamethason 0,5
mg. Berdasarkan riwayat tersebut, pasien diberikan perubahan kombinasi terapi berupa
amoxicillin 500 mg dan metronidazole 500 mg yang dikonsumsi sebanyak 3 kali selama
7 hari sampai kunjungan selanjutnya untuk dilakukan tindakan lanjutan. Setelah
pemberianresep,pasiendiberikaninstruksi mengenai cara menyikat gigi yang benar, dan
diberikanpenjelasanmengenaicaramenjaga kebersihan gigi dan mulut menggunakan alat
bantu, dan diminta kembali untuk melakukan kontrol 1 minggu pasca kunjungan
(Gambar 3)

Gambar 3. Abses periapikal pada mukosa palatal anterior pasca terapi antibiotik dan
NSAID

Diskusi

23
Abses periapikal merupakan sutu kondisi inflamasi pada jaringan apikal yang juga
dikategorikan sebagai periodontitis apikalis supuratif. Eksudat purulen atau supuratif
yang dihasilkan pada abses periapikal terbentuk dari infeksi oleh bakteri piogenik yang
terakumulasi pada jaringan periradikular. Kondisi tersebut merupakan respon terhadap
adanya inflamasi dari iritan mikrobial maupun non mikrobial pada pulpa yang nekrosis.
Mikroorganisme abses pada lesi periapikal hampir sama dengan bakteri yang
diidentifikasi pada saluran akar. Beberapa bakteri yang paling banyak ditemukan pada
eksudat abses adalah Treponema denticola, Tannerella forsythia, Prophyromonas
endodontalis, Prophyromonas gingivalis, Dialister invisus, Dialister pneumosintes, dan
HHV-8. Infeksi bakteri akut yang diiringi dengan infiltrasi neutrofil pada jaringan yang
mengalami peradangan akan mengakibatkan terjadinya nekrosis jaringan. Sel-sel
jaringan yang mengalami kerusakan dan nekrosis tersebut membentuk pus, dan
berakumulasi menjadi abses.
Berdasarkan tanda dan gejalanya, abses periapikal diklasifikasikan menjadi dua, yaitu
abses periapikal akut, dan kronis. Abses periapikal akut ditandai dengan rasa nyeri yang
spontan, pada kasus yang lebih parah pasien akan merasakan sensasi kurang nyaman
dan atau disertai dengan pembengkakan. Kondisi ini juga dapat diiringi dengan
manifestasi sistemik seperti limfadenopati, malaise, dan leukositosis. Hal tersebut
berhubungan dengan kondisi pulpa nekrosis, dan respon negatif terhadap termal
maupun elektrikal, namun pada gigi yangmengalamikeluhanbiasanyaresponsif atau
merasa sakit jika dilakukan palpasi dan tes perkusi.
Abses periapikal kronis merupakan suatukondisikelanjutandariabsesperiapikal akut
dimana rasa sakit telah menghilang, atau dapat disebut dengan asimptomatik akibat
sudah adanya drainase supuratif kearah mukosa berupa sinus tract. Rasa sakit dapat
dirasakan apabila terjadi penutupan jalur sinus sehingga terdapat tekanan pada ruang
jaringan keras. Secara klinis, radiografis, dan gambaran histologis, abses periapikal akut
dan kronis menunjukkan gambaran yang serupa. Hal yang membedakannya pada
terbentuknya sinus tract pada epitelium sehingga tekanan intraoseus mereda, dan tidak
adanya rasa sakit hebat seperti pada kondisi akut.

24
Perawatan pada penyakit periapikal dilakukan dengan melakukan eleminasi sumber
infeksi dengan melakukan drainase pada pembengkakan akibat akumulasi pus, medikasi
intrakanal pada saluran pulpa dengan perawatan endodontik, dan pemberian antibiotik
secara sistemik untuk manajemen infeksi yang diberikan secara tunggal maupun
kombinasi. Menurut Asosiasi Endodontis Amerika, pemberian antibiotik hanya
diperbolehkan sebagai terapi tambahan pada kasus dengan keterlibatan sistemik seperti
demam, malaise, selulitis, dan atau linfadenopati. Amoksisilin merupakan antibiotik
beta- laktam lini pertama yang dipilih sebagai terapi tambahan endodontic di Amerika
Serikat dan Eropa. Obat-obatan tersebut bertindak mengikat dan menghambat aktivitas
protein bakteri yang terlibat dalam sintesis dinding sel peptidoglikan bakteri gram
positif dan negatif selain itu, obat-obatan tersebut juga telah terbukti sangat efektif
melawan isolat dari saluran akar yang terinfeksi dari anaerob fakultatif dan obligat.
Diperlukan penjelasan dan penekanan kepada pasien bahwa pemberian antibiotik dan
pereda nyeri tidak dapat mensubstitusi terapi perawatan saluran akar ataupun ekstraksi
gigi. Bakteri pada rongga mulut terdiri atas bakteri gram positif, dan negatif, serta
kedua bakteri tersebut terdiri atas bakteri aerob dan anaerob sehingga diperlukan terapi
antibiotik yang efektif untuk mengeliminasi bakteri-bakteri tersebut. Berdasarkan
struktur kimianya, antibiotik diklasifikasikan menjadi golongan penisilin, sefalosporin,
makrolida, metronidazole, tertrasiklin, linkomisida, kuinolon, aminoglikosida,
vankomisin, sulfonamide, dan kloramfenikol. Penggunaan kombinasi antibiotik antara
penisilin dan metronidazole biasa digunakan dalam mengatasi abses odontogenik di
rongga mulut.

Telaah Jurnal
Kelebihan
1. Pemaparan data pasien yang sangat lengkap mulai dari anamnesa, pemeriksaan fisik
hingga pemeriksaan penunjang.
2. Terdapat pemaparan penatalaksanaan yang diberikan kepada pasien dengan
lengkap.
3. Terdapat kesesuaian antara judul jurnal dan hasil akhir jurnal.

25
4. Tinjauan pustaka dan materi dasar pada jurnal sangat lengkap.

Kekurangan
1. Tidak ada kekurangan pada jurnal.

3.3 Jurnal 3 : Perbedaan Panjang Lamina Dura Abses Periapikal Perawatan


Endodontik Menggunakan Software ImageJ di RSIGM UMI
Laporan Kasus
Pada jurnal ini, peneliti melakukan penelitian terhadap perbedaan panjang Lamina Dura
Abses Periapikal perawatan endodontik menggunakan software imageJ di RSIGM
UMI. Hal ini lakukan oleh peneliti karena lesi yang telah melewati masa perawatan
endodontik, secara radiologis akan menunjukkan peningkatan densitas tulang di
periapikal menandakan penyembuhan, perubahan gambaran radiograf dari radiolusen
menjadi radiopak karena perubahan dari fibroblast yang membantu osteoblast dan sel
mesenkim untuk berpoliferasi membentuk matriks tulang. Gambaran perubahan dapat
terlihat dengan melakukan image processing pada radiograf secara komputerisasi
menggunakan filter pada software ImageJ. Adapun tujuan penelitian pada jurnal ini
yaitu untuk mengetahui bagaimana perbedaan panjang lamina dura pada abses
periapikal pada saat sebelum dan sesudah perawatan endodontik dengan menggunakan
Software ImageJ. Penelitian ini menggunakan jenis penelitian bersifat analisis
observasional dengan menggunakan pendekatan Cross Sectional Study.

Terapi dan Hasil


Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan panjang lamina dura pada abses
periapikal sebelum dan sesudah perawatan endodontik menggunakan software ImageJ
di RSIGM UMI tahun 2020. Software ImageJ digunakan untuk mengetahui jumlah
panjang lamina dura. Subjek penelitian ini adalah hasil foto radiografi periapikal pada
pasien abses periapikal di RSIGM UMI Makassar. Data subjek penelitian diambil
menggunakan foto Rontgen periapikal yang merupakan pemeriksaan radiografi yang
hanya dapat menggambarkan beberapa gigi saja (2-4 gigi) secara individual beserta

26
jaringan pendukung disekitarnya. Hasil penelitian akan disajikan dalam bentuk tabel
sebagai berikut:
Tabel 1. Statistik Deskriptif Jumlah Panjang Lamina Dura pada Abses Periapikal
Sebelum dan Sesudah Perawatan Endodontik

Berdasarkan tabel 1 didapatkan statistik deskriptif jumlah panjang lamina dura pada
abses periapikal sebelum perawatan endodontik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
subjek 4 merupakan subjek yang memiliki rata-rata jumlah panjang lamina dura pada
abses periapikal sebelum perawatan endodontik 25,379 mm. Sementara subjek 1
merupakan subjek yang memiliki rata-rata jumlah panjang lamina dura yang paling
sedikit diantara 9 subjek lainnya yaitu sebanyak 7,338 mm. Nilai minimum jumlah
panjang lamina dura pada abses periapikal sebelum perawatan endodontik pada subjek
penelitian yaitu 7,338 mm, sedangkan nilai maksimum jumlah panjang lamina dura
pada abses periapikal sebelum perawatan endodontik pada subjek penelitian yaitu
25,379 mm.
Berdasarkan tabel 1 didapatkan pula rata-rata (mean) jumlah panjang lamina dura
sebelum perawatan pada 9 subjek penelitian yaitu 18,602 mm dengan standar deviasi
atau standar penyimpangan dari nilai rata-rata yaitu 5,914 mm. Sedangkan rata-rata
(mean) jumlah panjang lamina dura setelah perawatan pada 9 subjek penelitian yaitu
23,406 mm dengan standar deviasi atau standar penyimpangan dari nilai rata-rata yaitu
4,813 mm. Selain itu setelah dilakukan uji normalitas pada data penelitian yang diambil

27
dengan menggunakan uji Kolmogorov-Smirnov menunjukkan nilai P-Value uji
normalitas sebesar 0,2 yang lebih besar daripada 0,05. Hal ini menunjukkan bahwa data
yang digunakan berdistribusi normal, sehingga untuk menguji perbedaan panjang
lamina dura pada abses periapikal sebelum dan sesudah perawatan dilakukan dengan
menggunakan T-Paired Test.
Table 2. Perbedaan Jumlah Panjang Lamina dura pada Abses Periapikal Sebelum dan
Sesudah Perawatan Endodontik

Berdasarkan tabel 2 didapatkan perbedaan panjang lamina dura pada abses periapikal
sebelum dan sesudah perawatan endodontik. Dari hasil penelitian dengan menggunakan
uji T-Paired Test, terdapat 9 sampel sebelum dan sesudah perawatan endodontik.
Jumlah rata-rata sebelum perawatan endodontik yaitu 18,602 mm dan sesudah
perawatan endodontik yaitu 23,406 mm. Adapun standar deviasi dari sebelum
perawatan endodontik yaitu 5,194 mm dan sesudah perawatan endodontik 4,813 mm.
Hasil uji T-Paired juga menunjukkan signifikansi perbedaan antara sebelum dan
sesudah dilakukan perawatan endodontik, terdapat nilai signifikansi (P-Value) sebesar
0,002. Nilai P-Value menunjukkan kurang dari 0,05 artinya bahwa terdapat perbedaan
yang sangat signifikan antara sebelum dan sesudah perawatan endodontik. Hasil
penelitian pada jumlah panjang lamina dura sesudah dilakukan perawatan endodontik
mengalami peningkatan dibandingkan dengan sebelum dilakukan perawatan
endodontik.

Diskusi
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana perbedaan jumlah panjang lamina
dura pada abses periapikal sebelum dan sesudah perawatan endodontik menggunakan

28
software ImageJ di RSIGM UMI tahun 2020. Peneliti berpendapat bahwa selama
perawatan endodontik terdapat adanya proses pembentukan tulang yang terjadi,
sehingga didapatkannya hasil yang sangat signifikan antara sebelum dan sesudah
perawatan endodontik. Sampel radiografi yang digunakan yaitu kurang lebih dari 6
bulan dan tidak diperoleh hasil yang sangat sempurna, namun dapat dikatakan bahwa
hasil penelitian tersebut mengalami kemajuan yang ditandai dengan peningkatan jumlah
panjang dari lamina dura.
Iritasi pada jaringan periapikal menyebabkan inflamasi (peradangan). Peradangan
periapikal umumnya terkait dengan gigi non vital dimana pulpa yang sudah nekrotik
menstimulasi respon peradangan pada ligament periodontal dan tulang alveolar. Respon
vaskular terhadap peradangan adalah vasodilatasi, stasi pembuluh darah, dan
meningkatnya permeabilitas pembuluh darah. Kemdudian akan berlanjut dengan
kebocoran cairan ke jaringan sekitar. Perubahan pembuluh darah ini menyebabkan
kemerahan, rasa panas, pembengkakan, dan rasa sakit yang merupakan tanda-tanda
penting dari peradangan.
Hal ini disebabkan karena pulpa dibatasi oleh dinding yang keras. Tekanan jaringan
meningkat, ketidakmampuan pulpa untuk mengembang dan sirkulasi kolateral yang
kurang menyebabkan nekrosis pulpa yang memudahkan kolonisasi bakteri menyebar
melalui foramen apikal menuju jaringan periapikal. Pada proses inflamasi terjadi proses
yang meliputi respon imun non-spesifik dan respon imun spesifik. Respon imun non-
spesifik melalui kinerja sel makrofag dan sel-sel Polimorfonuklear Leukosit (PMN)
yang langsung membunuh bakteri. Pada proses ini terdapat bakteri dan sel-sel yang
mati yang akan melepaskan arakidonik dan menginisiasi terbentuknya leukotrin dan
prostaglandin yang menyebabkan meningkatnya jumlah makrofag, tersedianya ruang
untuk respon imun dan merangsang untuk terjadinya respon imun spesifik. Tetapi,
apabila mikroorganisme tersebut sangan virulen, maka akan mengalahkan pertahanan
dan menghasilkan perkembangan lesi periapikal.
Penelitian serupa menunjukkan bahwa kenaikan jumlah partikel sesudah dilakukan
perawatan endodontik rata-rata sebesar 42,75%, dengan persentase sebesar 65,00% dan
yang terkecil 27,16%. Berdasarkan uji t-independent terdapat perbedaan signifikan

29
antara jumlah partikel sebelum perawatan endodontik dengan jumlah partikel sesudah
perawatan endodontik.
Abses periapikal umumnya berasal dari nekrosis jaringan pulpa. Jaringan yang
terinfeksi menyebabkan sebagian sel mati dan hancur, meninggalkan rongga yang berisi
jaringan dan sel-sel yang terinfeksi. Abses periapikal dapat berkembang langsung dari
peradangan pada pulpa, atau berkembang di daerah peradangan kronis yang sudah ada
sebelumnya. Gigi yang terkait dengan abses biasanya cukup menyakitkan dan mungkin
sedikit diekstrusi dari soketnya. Banyak gejala yang dapat terjadi menyebabkan
nekrosis pulpa jika tidak diobati dan tergantung pada virulen mikroorganisme yang
terlibat dan integritas keseluruhan mekanisme pertahanan pasien.
Dari asalnya pada pulpa, proses peradangan meluas ke jaringan periapikal, dimana ia
dapat hadir sebagai granuloma atau kista (jika kronis) atau abses (jika akut).
Eksaserbasi akut lesi kronis juga dapat dilihat. Debris jaringan pulpa nekrotik, sel-sel
inflamasi, dan bakteri, terutama anaerob, semua berfungsi untuk merangsang dan
mempertahankan proses inflamasi periapikal. Periodontisis periapikal dapat
berkembang menjadi abses periapikal dimana kumpulan nanah terbentuk di apeks gigi,
dengan konsekuensi penyebaran infeksi dari pulpa gigi.
Adapun gejalanya yaitu nyeri bisa terus menerus, sakit yang berdenyut. Jika abses akut
berkembang langsung dari peradangan pulpa, mungkin awalnya tidak ada perubahan
radiografi kecuali sedikit menebalnya ruang ligament periodontal Penyebab utama
penyakit periapikal dapat dibedakan menjadi 2 golongan, yaitu living irritants dan non-
living irritants. Kelompok yang termasuk ke dalam living irritants adalah
mikroorganisme dan virus, sedangkan non-living irritants adalah iritan mekanis, suhu,
dan kimia. Dari kedua penyebab tersebut, lesi pada jaringan periapikal paling sering
disebabkan oleh elemen bakteri yang berasal dari sistem saluran akar gigi yang
terinfeksi.
Pemeriksaan radiografi juga diperlukan pada perawatan gigi untuk penegakan diagnosa
dan penentuan rencana perawatan. Pemeriksaan radiografi yang paling banyak
dimanfaatkan pada praktek kedokteran gigi antara lain radiografi panoramik
(ekstraoral) dan periapikal (intraoral). Radiografi periapikal merupakan salah satu

30
teknik radiografi dental yang dapat mencitrakan empat hingga lima gigi beserta daerah
apikalnya pada satu film rontgen intraoral. Tulang trabekula rahang bawah (mandibula)
dapat divisualisasikan pada radiograf periapikal. Pada tingkat mikro struktur, pola
tulang trabekula rahang dapat dihubungkan dengan kondisi tulang pada bagian
kerangka lain di dalam tubuh.
Gambaran radiografi pada lengkung gigi menunjukkan bahwa soket gigi dibatasi oleh
gambaran lapisan tipis radiopak sebagai tulang yang padat. Disebut lamina dura
(lapisan keras) berdasarkan penampilan dari radiografinya. Kata lamina dura didasari
pada lapisan tipis tulang kortikal padat yang disebut cribriform plate atau layaknya
tulang alveolar, yang melapisi soket gigi normal. Kurangnya kontinuitas lamina dura
menunjukkan adanya kelainan (infeksi pada tulang). Bahkan kehilangan yang sangat
kecil memiliki makna. Adanya lamina dura di sekitar apeks gigi sangat menunjukkan
pulpa vital.
Infeksi periapikal akut kadang-kadang dapat terjadi dan tidak membutuhkan waktu
lama untuk erosi lamina dura terjadi. Hilangnya atau hampir tidak adanya lamina dura
adalah indikasi dari beberapa kondisi abnormal. Karena semua atau hampir semua,
kehilangan lamina dura biasanya merupakan bukti dekalsifikasi tulang.
Pembentukan tulang baru berjalan dari perifer ke pusat lesi. Secara radiologis, resorpsi
tulang periradikular menurunkan absorbsi sinar-X, sehingga memberikan gambaran
radiologis radiolusen. Penambahan matriks tulang dan fibrous akan mengubah tingkat
kepadatan dengan meningkatkan absorbsi sinar-X. Keadaan ini akan berdampak
terhadap lapisan film (AgBr) yang dipengaruhi oleh kepadatan matriks trabekula.
Gambaran perubahan kepadatan trabekula dapat terlihat dengan melakukan image
processing pada radiografi. Image processing dilakukan secara komputerisasi dengan
menggunakan filter pada software ImageJ. Dalam pre-processing dilakukan filtering
dan untuk menghitung luas dilakukan biner, sehingga didapatkan gambaran putih
sebagai jaringan padat dan hitam sebagai jaringan lunak.
Pemadatan tulang di daerah lesi terjadi sebagai bentuk penyembuhan lesi. Hal ini dapat
dibuktikan menggunakan sistem komputerisasi. Sistem komputerisasi diharapkan dapat
mendeteksi perubahan yang terjadi dalam perawatan endodontik. Selain itu sistem

31
komputerisasi dapat tampil sebagai interpretasi yang objektif, sehingga meminimalisir
perbedaan interpretasi intra-observer dan inter-observer. Suyambukesan et.al dalam
penelitiannya mengatakan bahwa terdapat perbedaan interpretasi sebesar 20,4% yang
dilakukan antar intra dan inter observer.
Menurut Dominica Dian Saraswati Sumantri dkk pada tahun 2017, perawatan
endodontik berfungsi untuk menghilangkan iritan berupa debris dan bakteri dalam
saluran akar melalui tahap cleaning and shaping, sterilisasi, dan obturasi. Tujuan
obturasi saluran akar yaitu menyediakan penutupan yang sempurna dalam saluran akar
untuk mencegah bakteri dan toksinnya mengalir menuju jaringan periapikal. Sehingga
pada proses obturasi ini menyebabkan suatu pembentukan jaringan tulang yang terus
menerus regenerasi komponen-komponen ekstraselnya dengan cara menghancurkan
komponen tulang yang sudah tua dan menggantikannya dengan yang baru (remodeling)
yang melibatkan kerja osteoblast, osteosit, dan osteoklas. Proses remodeling ini dimulai
dengan terjadinya resorpsi atau penyerapan atau penarikan tulang oleh sel tulang yaitu
osteoklas, kemudian tulang yang sudah diserap akan diisi oleh tulang yang baru dengan
bantuan sel tulang yaitu osteoblast.
Menurut Hengki tahun 2012, osteoblast adalah sel mononukleat yang berasal dari sel
mesenkim yang mensintesis protein matriks tulang kolagenous dan nonkolagenous.
Osteoblast berfungsi untuk mensintesis komponen organik dari matriks tulang (kolagen
tipe I, proteoglikan, dan glikoprotein), mengendapkan unsur organik matriks tulang
baru yang disebut osteoid. Osteoid adalah matriks tulang yang belum terkalsifikasi,
serta belum mengandung mineral, namun tidak lama setelah osteoid akan segera
mengalami mineralisasi dan menjadi tulang. Kemudian yang dimaksud dengan osteosit
merupakan sel tulang yang sebenarnya membentuk komponen selular utama pada
tulang yang dewasa. Osteosit ini berasal dari osteoblast.
Selama pembentukan tulang, osteosit terkurung didalam matriks tulang baru dan berada
didalam lakuna, tetapi aktif secara metabolik. Sedangkan osteoklas merupakan
multinuclear besar berdiameter 100𝜇m dengan 10-12 nukleus yang terdapat disepanjang
permukaan tulang tempat terjadinya resorpsi, remodeling dan perbaikan tulang. Proses
remodeling tulang, menurut Joeliantoadalah sesuatu proses yang tergantung pada

32
aktifitas sel pada permukaan. Dibutuhkan banyak kanal yang masuk ke tulang alveolar
untuk mengirim pembuluh darah dan bagian yang lebih dalam terdiri atas tulang
concellous dan ruang untuk sumsum tulang. Proses ini terjadi secara alami, untuk
mempercepat proses tersebut diperlukan inovasi rekayasa jaringan untuk mempercepat
proses remodeling tulang alveolar.
Dari hasil penelitian yang didapatkan oleh peneliti bahwa terdapat penambahan jumlah
panjang lamina dura dari 9(sembilan) sampel yang menunjukkan keberhasilan dari
perawatan endodontik dengan bantuan software imageJ untuk melihat selisih angka
perbedaan panjang lamina dura sebelum dan setelah dilakukan perawatan. Melihat dari
beberapa sumber referensi yang didapatkan memiliki hasil yang sama dari hasil
penelitian yang dilakukan. Berdasarkan tabel 1 didapatkan hasil adanya perbedaan
jumlah panjang lamina dura pada abses periapikal sebelum dan sesudah perawatan
endodontik dengan nilai uji T-Paired juga menunjukkan signifikansi perbedaan antara
sebelum dan sesudah dilakukan perawatan endodontik, terdapat nilai signifikansi (P-
Value) sebesar 0,002. Nilai P-Value menunjukkan kurang dari 0,05 artinya bahwa
terdapat perbedaan yang sangat signifikan antara sebelum dan sesudah perawatan
endodontik.Dengan demikian hipotesis nol (H0) ditolak dan hipotesis alternatif (Ha)
diterima.
Peneliti berpendapat bahwa selama perawatan endodontik terdapat adanya proses
pembentukan tulang yang terjadi, sehingga didapatkannya hasil yang sangat signifikan
antara sebelum dan sesudah perawatan endodontik. Sampel radiografi yang digunakan
berasal dari RSIGM UMI dan tidak diperoleh hasil yang sangat sempurna, namun dapat
dikatakan bahwa hasil penelitian tersebut mengalami kemajuan yang ditandai dengan
peningkatan jumlah panjang lamina dura.

Telaah Jurnal
Kelebihan
1. Pemaparan materi yang sangat jelas dan terperinci sehingga mempermudah
pembaca untuk memahami isi jurnal.

33
2. Pembahasan materi yang sangat baik membuat siapa saja yang membacanya dapat
memahami maksud dan tujuan dari penelitian pada jurnal.

Kekurangan
1. Pembahasan mengenai abses periapikal dan penatalaksanaan yang tidak banyak.
2. Tidak adanya gambaran kasus yang dialami pasien.
3. Tidak adanya gambar pada jurnal yang dapat mempermudah pembaca untuk
memahami isi jurnal.

3.4 Jurnal 4 : Klasifikasi dan Perawatan Abses Periodontal


Laporan Kasus
Abses periodontal adalah suatu inflamasi purulen terlokalisir pada jaringan periodontal.
The International Workshop for a Classification of Periodontal Diseases and
Conditions (The American Academy of Periodontology pada tahun 1999) menetapkan
abses periodontal dibagi 3 yaitu abses gingiva, abses periodontal dan abses perikoronal.
Berdasarkan etiologinya abses periodontal dibagi 2 yaitu abses yang berkaitan dengan
periodontitis dan abses tidak berkaitan dengan periodontitis, sedangkan berdasarkan
proses perjalanan penyakitnya, abses periodontal dibagi atas akut dan kronis. Gejala
klinis dari abses periodontal antara lain bengkak, terdapat pus, timbul rasa sakit,
perdarahan saat probing yang diikuti dengan gigi menjadi goyang dengan gambaran
radiografis berupa radiolusen pada bagian lateral dari permukaan akar. Penegakan
diagnosis abses periodontal harus didasarkan pada evaluasi secara keseluruhan dan
interpretasi dari keluhan utama pasien, bersamaan dengan pemeriksaan klinis dan
radiografis yang ditemukan selama pemeriksaan. Tujuan penulisan jurnal ini adalah
untuk membahas tentang klasifikasi dan perawatan abses periodontal. Perawatan abses
periodontal termasuk ke dalam perawatan emergency karena perawatan yang lambat
dapat menyebabkan infeksi yang meluas (selulitis) bahkan sampai menyebabkan
kehilangan gigi. Perawatan abses periodontal dapat dilakukan dengan drainase poket
periodontal dan insisi eksternal serta pemberian antibiotik sistemik. Sebagai kesimpulan
bahwa diagnosis yang tepat harus ditegakkan agar dapat dilakukan perawatan yang

34
tepat sehingga perawatan abses periodontal yang tepat dapat mencegah kerusakan
periodontal lebih lanjut dan risiko kehilangan gigi.

Terapi dan Hasil


Prinsip-prinsip perawatan abses periodontal yaitu:
a. Perawatan lokal
 Drainase melalui poket periodontal
Daerah perifer disekitar abses di anestesi menggunakan anastesi topikal dan
lokal agar pasien merasa nyaman. Dinding poket diretraksi perlahan
menggunakan prob atau kuret untuk membuat drainase melalui jalan masuk
poket.
 Drainase melalui insisi eksternal
Abses diisolasi menggunakan gauze sponges. Diaplikasikan anestetik topikal,
yang dilanjutkan dengan anestetik lokal yang diinjeksikan pada tepi lesi. Insisi
vertikal yang menembus bagian tengah puncak abses - dibuat menggunakan
pisau bedah. Jaringan pada aspek lateral insisi dipisahkan menggunakan kuret
atau periosteal elevator. Materi fluktuan dikeluarkan dan tepi-tepi luka
didekatkan menggunakan tekanan jari ringan dan gauze pad lembab. Pasien
yang tidak membutuhkan terapi antibiotik sistemik perlu diberikan instruksi
pasca perawatan, yaitu berkumur menggunakan air garam hangat satu sendok
teh dan aplikasi klorheksidin glukonat dengan aplikator berujung-kapas.
Analgesik diresepkan untuk membuat pasien nyaman. Hari berikutnya,
umumnya tanda dan gejala telah mereda. Jika tidak mereda, pasien diminta
untuk melanjutkan instruksi yang telah diberikan selama 24 jam berikutnya.
 Menghilangkan penyebab
Penyingkiran poket periodontal, skeling dan penyerutan akar untuk membuat
drainase dan membersihkan deposit mikroba.
b. Perawatan sistemik
Antibiotik dalam hubungannya dengan perawatan lokal. Perawatan pasien dengan
abses periodontal dapat dibagi menjadi tiga tahap yaitu:

35
 Perawatan imediat
a) Infeksi yang mengancam kelangsungan hidup dilakukan rawat inap,
perawatan suportif bersama-sama dengan perawatan antimikroba.
b) Pemeriksaan dan perawatan awal dapat ditunda tergantung pada beratnya
infeksi dan tanda-tanda serta gejala lokal dari pemeriksaan klinis.
c) Dalam kondisi yang tidak mengancam kehidupan langkah-langkah sistemik
seperti analgesik oral dan kemoterapi antimikroba akan cukup untuk
menghilangkan gejala-gejala sistemik, trismus parah dan penyebaran infeksi
(selulitis pada wajah).
d) Antibiotik diresepkan setelah analisis mikrobiologi dan sensitivitas
antibiotik dari spesimen pus dan jaringan.
e) Pemberian antibiotik tergantung pada tingkat keparahan infeksi. Antibiotik
yang sering digunakan adalah :
 Penisilin Phenoxymethyle 250-500 mg empat kali sehari selama 5-7
hari.
 Amoxycillin 250-500 mg tiga kali sehari selama 5-7 hari.
Jika alergi terhadap penisilin :
 Eritromisin 250-500 mg empat kali sehari selama 5-7 hari.
 Doksisiklin 100 mg dua kali sehari selama 7-14 hari.
 Klindamisin 150-300 mg empat kali sehari selama 5-7 hari.

 Perawatan alternatif: ekstraksi gigi denga prognosis tanpa harapan. Pedoman


untuk menilai prognosis:
a) Mobiliti horizontal lebih dari 1 mm.
b) Keterlibatan furkasi Kelas II - III gigi berakar ganda.
c) Probing kedalaman poket > 8 mm.
d) Respon yang buruk terhadap perawatan periodontal.
e) Kehilangan tulang alveolar lebih dari 40%.
 Perawatan definitif

36
Perawatan definitif setelah penilaian ulang perawatan awal harus
mengembalikan fungsi dan estetika periodonsium serta memungkinkan pasien
menjaga kesehatan periodontal. Gingivektomi atau bedah flep periodontal
dengan antibiotik sistemik atau antibiotik lokal tetrasikiin diindikasikan sebagai
perawatan definitif.

Diskusi
Abses periodontal mempunyai gejala yang mirip dengan abses periapikal sehingga
menyulitkan klinisi dalam hal diagnosis, etiologi, perawatan dan prognosis abses
periodontal. Abses periodontal menempati urutan ketiga dalam kedaruratan gigi dan
sering dijumpai pada pasien dengan penyakit periodontal yang tidak dirawat serta
pasien perawatan pemeliharaan periodontal. McLeod et.al cit Sanz M melakukan
penelitian terhadap 114 pasien perawatan periodontal suportif (SPT) menyatakan bahwa
42 pasien (27.5%) menderita abses periodontal akut. Penelitian longitudinal yang
dilakukan Kaldahl et al cit Sanz M pada 51 pasien selama 7 tahun perawatan
pemeliharaan periodontal menyatakan bahwa abses periodontal terjadi pada 27 pasien.
Dua puluh tiga abses dijumpai pada gigi di kuadran yang hanya mendapat penskeleran
subgingiva (koronal). Monica et.al melakukan penelitian terhadap 29 pasien abses
periodontal akut menyatakan bahwa 18 abses (62%) dijumpai pada pasien periodontitis
yang tidak dirawat, 4 pasien (14%) setelah perawatan dasar periodontal dan 7 pasien
(24%) selama tahap perawatan pemeliharaan.
Jaramillo et.al melakukan penelitian terhadap 54 pasien dengan 60 kasus abses
periodontal menyatakan bahwa abses periodontal menunjukkan gambaran klinis khas
terkait dengan periodontitis yang tidak dirawat dan pemberian antibiotik menjadi
tambahan pada perawatan abses. Azitromychin diberikan bila bakteri patogen resisten
terhadap obat yang lain.
Berbagai etiologi telai diusulkan dan dapat dibedakan atas dua kelompok utama
tergantung pada hubungannya dengan poket periodontal. Kondisi kasus abses terkait
periodontitis muncul sebagai eksaserbasi periodontitis yang tidak dirawat atau selama
perawatan periodontal. Abses terkait non periodontitis memiliki dua penyebab utama

37
yaitu impaksi benda asing dan kelainan radikuler. Mikroflora pada abses tampaknya
mirip dengan periodontitis kronis yang didominasi oleh bakteri batang gram negatif
anaerob, yang dikenal sebagai patogen periodontal. Komplikasi dan konsekuensi yang
terjadi adalah kehilangan gigi dan penyebaran infeksi ke bagian tubuh lainnya.

Telaah Jurnal
Kelebihan
1. Penulis memberikan pemaparan terkait abses periodontal secara lengkap, mulai dari
definisi hingga penatalaksanaan.

Kekurangan
1. Penulis tidak memberikan contoh kasus yang terjadi pada pasien.
2. Tidak ada gambar terkait abses priodontal yang dapat membantu pembaca untuk
lebih memahami konsep dari penyakit tersebut.

38
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Abses Periapikal adalah pengumpulan nanah yang telah menyebar dari sebuah gigi ke
jaringan di sekitarnya, biasanya berasal dari suatu infeksi. Penyakit periapikal
merupakan suatu keadaan patologis yang terlokalisir pada daerah apeks atau ujung akar
gigi atau daerah periapikal gigi. Dalam pengertian lain Abses periapikal juga diartikan
sebagai kumpulan pus yang terlokalisir dibatasi oleh jaringan tulang yang disebabkan
oleh infeksi dari pulpa dan atau periodontal. Abses periapikal umumnya berasal dari
nekrosis jaringan pulpa. Jaringan yang terinfeksi menyebabkan sebagian sel mati dan
hancur, meninggalkan rongga yang berisi jaringan dan sel-sel yang terinfeksi.
Abses periapikal dibagi menjadi dua klasifikasi yaitu abses apikalis akut dan abses
apikalis kronis. Abses apikalis akut adalah proses inflamasi pada jaringan periapikal
gigi, yang disertai pembentukan eksudat. Abses apikalis akut disebabkan masuknya
bakteri, serta produknya dari saluran akar gigi yang terinfeksi. Abses apikalis akut
ditandai dengan nyeri yang spontan, adanya pembentukan nanah, dan pembengkakan.
Abses apikalis kronis merupakan keadaan yang timbul akibat lesi yang berjalan lama
yang kemudian mengadakan drainase ke permukaan. Abses apikalis kronis disebabkan
oleh nekrosis pulpa yang meluas ke jaringan periapikal, dapat juga disebabkan oleh
abses akut yang sebelumnya terjadi.
Abses disebabkan oleh adanya infeksi bakteri pada rongga mulut. Bakteri utama
penyebab terjadinya karies yaitu Streptococcus mutan. Bakteri ini berperan dalam
proses awal terjadinya karies meskipun bakteri ini termasuk flora normal dalam rongga
mulut manusia
Perawatan abses periodontal membutuhkan diagnosis yang tepat dengan
mempertimbangkan keluhan pasien, riwayat medis, tanda dan gejala serta pemeriksaan
klinis dan radiografi sehingga dapat dilakukan perawatan yang tepat yang dapat
mengurangi rasa sakit, mencegah penyebaran infeksi dan pembentukan lesi residual.

39
DAFTAR PUSTAKA

Buttaro TM, Trybulski J, Bailey PP, and Cook JS. 2013. Primary Care: A Collaborative
Practice. USA: Elseiver Mosby. pp.385-386.
Baumann MA and Beer R, 2010. Endodontology. USA: Thieme.
Dominica Dian Saraswati Sumantri, Ria Noerianingsih Firman & A. Azhari. (2017).
Analisis radiograf periapikal menggunakan software imageJ pada abses periapikal
setelah perawatan endodontik. Bandung : Departemen Radiologi Kedokteran Gigi,
Fakultas Kedokteran Gigi, Universitas Kristen Maranatha, Bandung, Jawa Barat,
Indonesia.
Ferdinan Pasaribu & Pitu Wulandari. (2014). Klasifikasi dan Perawatan Abses
Periodontal. Jakarta: IPERI.
Ghosh PK, 2006. Synopsis of Oral and Maxillofacial Surgery. New Delhi: Jaypee. pp.112-
116.
King C and Henretig FM, 2008. Textbook of Pediatric Emergency Procedures. USA:
Lippincott Williams & wilkins. 2nd. pp. 659-660.
Masriadi, Muhammad Jayadi Abdi, Andy Fairuz Zuraida Eva, Yusrini Selviani, Nur
Fadhilah Arifin & Indrya Kirana Mattulada. (2021). Perbedaan Panjang Lamina
Dura Abses Periapikal Perawatan Endodontik Menggunakan Software ImageJ di
RSIGM UMI. Makassar: Fakultas Kedokteran Gigi, Universitas Muslim Indonesia.
Treves F, 2010. Manual Of Surgery. Philadelphia: Lea Brothers & Co. pp. 112-114.
Cawson RA ; Odell EW. Cawson’s Essentials of Oral Pathology & Medicine 8th
Edition. Gilangrasuna. Juni 2010. Mari Belajar!, Penjalaran Infeksi Odontogen.
Patogenesa, Pola
Penyebaran, dan Prinsip Terapi Abses Rongga Mulut. Available at http//www.Abses
periapikal.com.
Skolastika Piscasari Sukoutoro Atmojo & Atia Nurul Sidiqa. (2021). Penanganan Abses
Periapikal Kronis Palatal Anterior pada Gigi Insisif Lateral Rahang Atas. Jakarta:
Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Jenderal Achmad Yani, Cimahi, Indonesia.

40

Anda mungkin juga menyukai