Anda di halaman 1dari 53

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Penyakit Morbus Hansen atau di masyarakat lebih sering dikenal

dengan sebutan lepra atau kusta adalah sebuah penyakit infeksi kronik dan

penyebabnya adalah Mycobacterium Leprae (M. Leprae) yang bersifat

intraselular obligat.

Penyakit kusta juga disebut dengan penyakit Hansen, yaitu suatu

penyakit infeksi kronik yang bermanifestasi terhadap kulit dan kelainan

nervus perifer. Manifestasi dari penyakit kusta ini berbeda dari seseorang

atau dengan yang lain tergantung imun system di penderita. Diagnosis

penyakit kusta didasarkan pada beberapa parameter klinik, yaitu

pemeriksaan lesi di kulit dan pemeriksaan saraf perifer. Dan ditemukannya

bakteri berbentuk basil yang tahan asam yang didapatkan dari kerokan

jaringan kulit melalui pemeriksaan Ziehl-Neelsen’s yang merupakan

pemeriksaan penunjang penyakit kusta.2

Karena pentingnya pengetahuan tentang pemeriksaan lesi di kulit,

pemeriksaan saraf perifer, serta pemeriksaan bakteriologis (Ziehl-

Neelsen’s), maka pada referat kali ini akan membahas tentang pemeriksaan

klinis dan penunjang penyakit kusta.

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Kusta

Penyakit Morbus Hansen atau di masyarakat lebih sering dikenal

dengan sebutan lepra atau kusta adalah sebuah penyakit infeksi kronik

dan penyebabnya adalah Mycobacterium Leprae (M. Leprae) yang

bersifat intraselular obligat. Saraf perifer sebagai afinitas pertam, lalu

kulit, dan mukusa traktus respiratorius bagian atas, kemudian dapat ke

organ lain kecuali susunan saraf pusat.

2.2 Epidemiologi Penyakit Kusta

Penyakit kusta menyebar di seluruh dunia mulai dari Afrika,

Amerika, Asia Tenggara, Mediterania Timur dan Pasifik Barat. Berikut ini

adalah gambaran penyebaran penyakit kusta di dunia.

Gambar 2.1 Penyebaran Penyakit Kusta3


2
Sementara itu di regional Asia Tenggara distribusi kasus kusta

bervariasi berdasarkan penemuan kasus baru dan prevalensi seperti terlihat

dalam tabel dibawah ini:

Tabel 2.1 Situasi Kusta di wilayah WHO-SEARO pada tahun 20114

Jumlah kasus baru yang Jumlah kasus kusta


Negara ditemukan (case detection terdaftar (prevalensi)
rate) awal tahun 2012
Bangladesh 3.970 3.300
Bhutan 23 29
Korea Utara Data tidak tersedia Data tidak tersedia
India 127.295 83.187
Indonesia 20.023 23.169
Maladewa 14 2
Myanmar 3.082 2.735
Nepal 3.184 2.410
Sri Lanka 2.178 1.565
Thailand 280 678
Timor Leste 83 72
Total 160.132 117.147

Dari data-data tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa penyakit kusta

masih menjadi masalah di Indonesia.

2.3 Etiologi

Kuman penyebab adalah Mycobacterium leprae yang ditemukan

oleh G.A. HANSEN pada tahun 1874 di Norwegia, yang sampai sekarang

belum juga dapat dibiakkan dalam media artificial. M. leprae berbentuk basil

dengan ukuran 3-8Umx0,5Um, tahan asam dan alkohol serta Gram positif.

Bakteri kusta banyak terdapat pada kulit tangan, daun telinga, dan daun
mukosa. Bakteri ini mengalami proses pembelahan cukup lama antara 12-21
hari. (30) Kuman M.leprae masuk ke dalam tubuh, setelah itu menuju sel pada
saraf tepi. Di dalam sel, kuman berkembang biak, sel tersebut pecah dan
kemudian menginfeksi sel yang lain atau ke kulit. Daya tahan hidup kuman
3
kusta mencapai 9 hari diluar tubuh manusia. Kusta memiliki masa inkubasi 2-5
tahun bahkan juga dapat memakan waktu lebih dari 5 tahun.

2.4 Diagnosis dan Klasifikasi

Klasifikasi kusta didasarkan berbagai criteria yaitu manifestasi

klinis, bakteriologis, imunologis dan histopatologis. Manifestasi berupa lesi

kulit dan gejala neurologic adalah yang terpenting.

Tabel 2.2 Bagan Diagnosis Klinis Menurut WHO1


Sifat Kusta Pausibasiler (PB) Kusta Multibasilar
(MB)
Lesi Kulit 1-5 lesi >6 lesi
Makula datar, Hipopigmentasi/eritema Distribusi lebih simetris
papul yang Distribusi tidak simetris Hilangnya sensasi kurang
meninggi, nodus Hilangnya sensasi yang jelas
jelas
Kerusakan saraf Hanya satu cabang saraf Banyak cabang saraf
Menyebabkan
hilangnya
sessasi/kelemahan
otot yang
dipersarafi oleh
saraf yang terkena

Sedangkan klasifikasi kusta menurut Ridley-Jopling adalah sebagai berikut :

Tabel 2.3 kKlasifikasi kusta Ridley-Jopling6


Resistensi tinggi Unstable resistance Tidak resisten
TT BT BB BL LL
Lesi Satu / dua Sedikit Sedikit / beberapa, Banyak Banyak dan
asimetris simetris
Skin smear 0 1+ 2+ 3+ 4+
Lepromin Tes 3+ 2+ + ± 0
Histologi Sel epitel menurun  Meningkatnya histiocytes,
kerusakan nsaraf, sarcoid like
4
granuloma foam cells, granuloma,
xanthoma-like

2.5 Diagnosa banding

PENYAKIT GEJALA KLINIS EFLORESENSI PEMERIKSAAN TATA

PENUNJANG LAKSANA

PSORIASIS  Kulit yang memerah Bercak merah Terapi cahaya Obat


akan terasa tebal berbatas tegas Biopsy kulit oles/krim
kering dan bersisik dengan sisik Obat minum
 Kulit pecah2 kadang berlapis-lapis dan suntikan
berdarah
 Kulit menebal dengan
tekstur yang tidak rata
Sendi terasa bengkak dan

kaku

TINEA  Ruam berbentuk Bercak meninggi Pemeriksaan Menggunkank


cincin kerokan kulit
CIRCINATA seperti meradang, rim/salep
 Ruam di leher,batang dengann koh
mengandung antijamur
tubuh,tangan dan
tungkai vesikel atau krusta
Gatal2 dan kulit yang

lebih bersisik

DERMATITIS  Kulit terasa Lesi pada daerah Biopsy Ketoconazole


gatal/seperti terbakar
SEBOROIK sebore dengan kulit/kerokan 2% dan
 Kulit kepala berwarna
sisik kuning kulit pada lesi hydrocortison
merah dan
berketombe berminyak, disertai dermatitis 1%
Kelopak mata rasa gatal yang
5
berkerak/berwarna kronis dan residif,

kemerahan (blefaritis) tanpa adanya

gangguan sensorik

VITILIGO Dapat timbul pada semua Macula berwarna Foto terapi Kortikosteroid

umur,tetapi 50 % pada putih susu tidak topikal

usia kurang dari 20 tahun. mengandung

melanosit dan

batas tegas

2.6 Patogenesis

Sebenarnya M. leprae mempunyai patogenitas dan daya invasi yang

rendah, sebab penderita yang mengandung kuman lebih banyak belum tentu

memberikan gejala yang lebih berat, bahkan dapat sebaliknya.

Ketidakseimbangan antara derajat infeksi dengan derajat penyakit, tidak lain

disebabkan oleh respon imun yang berbeda.

Meskipun cara masuk M. leprae belum diketahui secara pasti, tetapi

beberapa penelitian memperlihatkan bahwa yang tersering melalui kulit yang

lecet pada bagian tubuh yang bersuhu dingin dan melalui mukosa nasal

(secar ainhalasi). Pengaruh m. leprae terhadap kulit bergantung pada factor

imunitas seseorang, kemampuan hidup M. leprae pada suhu tubuh yang

rendah, waktu regenerasi yang lama, serta sifat kuman yang avirulen dan

nontoksis.

Pada kusta tipe LL terjadi kelumpuhan system imunitas seluler, dengan

6
demikian makrofag tidak mampu menghancurkan kuman sehingga kuman

daapat bermultiplikasi dengan bebas, yang kemudian dapat merusak

jaringan. Sedangkan pada tipe TT kemampuan fungsi system imunitas

selular tinggi, sehingga makrofag mampu menghancurkan kuman. Tetapi

setelah kuman difagosit, makrofag akan berubah menjadi sel epiteloid yang

tidak bergerak aktif dan kadang-kadang bersatu membentuk sel datia

Langhans. Bila infeksi ini tidak segera diatas akan terjadi reaksi berlebihan

dan masa epiteloid akan menimbulkan kerusakan saraf dan jaringan

sekitarnya.

2.7 Gejala Klinis

Gejala klinis pada morbus hansen dapat dilihat berdasarkan kelainan

saraf tepi dan kelainan kulit dan organ lainnya seperti berikut ini :

1. Kelainan saraf tepi

Kerusakan saraf tepi bisa bersifat sensorik, motorik, autonomik.

Sensorik biasanya berupa hipoestesia ataupun anastesia pada kulit

yang terserang. Motorikberupa kelemahan otot yang biasanya terjadi

pada ekstremitas atas, bawah, muka, dan otot mata.

Autonomik menyerang persarafan kelenjar keringat sehingga ;esi

yang terserang tampak lebih kering. Gejala lain adalah pembesaran

saraf tepi terutama yang dekat dengan permukaan kulit antara lain

adalah pembesaran : n.ulnaris, n. Aurikularis magnus, n. Peroneus, n.

Tibialis posterior dan beberapa saraf tepi lainnya.

2. Kelainan kulit dan organ lain

7
Kelianan kulit bisa hipopigmentasi ataupun eritematus dengan adanya

gangguan estesi yang jelas. Bila gejala lanjut dapat timbul gejala

akibat banyaknya kuman, yaitu

a. Facies leonina (gejala infiltrasi difuse di muka)

b. Penebalan cuping telinga

c. Madarosis (penipisan alis bagian lateral)

d. Anastesi simetris pada kedua tungkai.

2.8 Pemeriksaan Klinis

Pemeriksaan Klinis yang lengkap dan lengkap sangat penting dalam

menegakkan diagnosis kusta. Pemeriksaan tersebut meliputi :

a. Anamnesis

Pada anamnesis ditanyakan lengkap mengenai riwayat datangnya keluhan8 :

- Menanyakan tentang lesi di kulit :

1. Durasi lesi di kulit : sejak kapan lesi muncul? Bercak yang muncul

beberapa hari yang lalu atau baru tumbuh bukan termasuk penyakit

kusta.

2. Perkembangan lesi di kulit : bagaimana mulai terjadinya? Lesi di kulit

yang tiba-tiba muncul bukan penyakit kusta (kecuali reaksi kusta).

Kusta biasanya muncul pelan-pelan

3. Karakteristik lesi kulit : bercak kusta tidak gatal dan biasanya tidak

8
nyeri. Rambut rontok biasanya ada pada kulit yang terdapat bercak.

4. Keringat : area lesi di kulit biasanya tidak berkeringat

5. Riwayat rekuren : lesi yang hilang timbul atau musiman biasanya

bukan kusta

- Pertanyaan yang lain :

1. Apakah kulit menjadi lebih kering di sekitar bercak?

2. Apakah tangan dan kaki menjadi lemah?

3. Apakah merasakan hilang rasa raba atau rasa yang abnormal di tangan

atau kaki? Apakah ada masalah ketika memegang, menggerakkan,

atau mengangkat benda atau saat aktifitas?

- Kelainan yang lain :

Mulai kapan terjadinya, lama keluhan tersebut dan perkembangannya?

- Riwayat pengobatan :

Pengobatan apa yang telah dilakukan, nama obat yang didapatkan

(menunjukkan kemasan obat), lama pengobatan, apakah obat-obatan

diminum teratur atau tidak?

- Riwayat alergi obat :

Apakah ada alergi obat, misalnya obat sulfa (Hindari Dapson)

- Riwayat Keluarga :

Apakah ada dikeluarga ada tetangga dekat yang memiliki penyakit atau

gejala yang sama?

- Jika pasien perempuan :

Menanyakan dnegan detail kapan terakhir menstruasi untuk

9
menyingkirkan kehamilan bila terjadi reaksi kusta.

b. Pemeriksaan Fisik

1. Pemeriksaan kulit/dermatologi

- Tempat

Tempat pemeriksaan harus cukup cahaya, sebaiknya diluar rumah

tetapi tidak boleh langsung di bawah sinar matahari atau di dalam

ruangan dengan ruang yang cukup, dengan arah sinar oblik/miring.

Sebaiknya menjaga kenyamanan orang yang diperiksa.

- Waktu pemeriksaan

Pemeriksaan dilakukan siang hari agar mendapatkan cukup cahaya

matahari.4

- Orang yang diperiksa

Diberikan penjelasan kepada yang akan diperiksa dan keluarganya

tentang cara pemeriksaan. Periksa seluruh badan. Sedapat mungkin

seluruh tubuh diperiksa dengan batas-batas kesopanan.4

2. Pelaksanaan pemeriksaan

a. Pemeriksaan Pandangan4

- Orang yang diperiksa menghadap ke sumber cahaya, berhadapan

dengan petugas

- Pemeriksaan dimulai dari kepala sampai telapak kaki secara

simetris

- Perhatiakan setiap bercak (macula), bintil-bintil (nodulus) jaringan

parut, kulit yang keriput dan setiap penebalan kulit. Pada

10
pemeriksaan pandang tentukan kelainan kulit yang akan diperiksa

rasa raba

- Perhatikan kelainan dan cacat yang terdapat pada tangan dan kaki

antara lain atropi, jari kiting, pemendekan jari dan ulkus

b. Pemeriksaan rasa raba pada kelainan kulit

Pemeriksaan rasa sangat penting untuk memperoleh gejala hilangnya

fungsi sensorik di bercak kulit.

- Ujung bolpoin dibutuhkan untuk pemeriksaan berkurangnya fungsi

sensorik

- Membuat pasien nyaman (duduk atau tidur)

- Menjelaskan procedure ke pasien dan memperagakan yang akan

dilakukan dengan mata terbuka di kulit yang normal

- Sentuh kulit dengan bolpen (tegakkan bolpen dengan kulit) dengan

perlahan sentuhkan bolpen (jangan ditekan), ajarkan seseorang

untuk menunjuk tempat yang disentuh dengan tanggan pasien atau

menanyakan pada pasien jumlah sentuhan yang disentuhkan atau

mengatakan iya ketika terasa sentuhannya.

- Ulangi langkah-langkah beberapa kali sampai pasien mengerti atau

familiar dan nyaman.

- Sekarang meminta pasien untuk menutup matanya dan mengulangi

langkah-langkah di atas area lesi (pertama sentuhkan di area yang

normal, kemudian di area yang ada lesinya)

- Ulangi lagi langkah-langkah tersebut di area lesi

11
- Lakukan test tersebut di kemungkinan lesi

- Jangan menggunakan alat-alat seperti jarum, kapas, kain wool, kain

kulit, dll.

- Ketika memeriksa sensorik, sentuh kulit dengan bolpen secara

perlahan. Jangan ditekan. Ketika memeriksa harus sama.

Gambar 2.2 Teknik Pemeriksaan Raba8

Interpretasi dari pemeriksaan sensoris

1. Hilangnya rasa sensorik jika pasien tidak merespon rasa raba

2. Berkurang atau melemahnya sensasi jika pasien disentuh > 3cm

dari titik sentuhan (> 1 cm dari permukaan fleksi lengan dan

tungkai)

3. Bandingkan dengan sisi yang berlawanan atau pada kulit yang

berdekatan untuk memperoleh kelemahan sensorik

Catatan8 :

- Bercak kusta di wajah kemungkinan tidak menyebabkan

hilangnya sensoris karena ada suplai nervus di kulit wajah

- Area kulit yang tebal kemungkinan tidak merasakan rangsangan

raba yang “standart” (telapak kaki dan siku tangan)

12
- Pemeriksaan raba sulit dilakukan pada pasien anak-anak. tanyakan

pada anak untuk duduk atau bermain di bawah matahari lalu

periksa keringat dan lihat berkurangnya keringat di lesi. Untuk

bayi raba raba lesi ketika bayi sedang tidur, jika rasa raba masih

ada maka akan mengganggu bayi, bayi akan bergerak.

c. Pemeriksaan nervus

Pemeriksaan dilakukan pada saraf-saraf tepi yang paling sering

terlibat dalam penyakit kusta, dan dapat diraba, seperti:

1. Tempat terjadinya kerusakan saraf

Pada umumnya, kerusakan saraf tepi yang sering terkena seperti

gambar di bawah ini:

Gambar 2.3 Saraf Tepi yang Sering Mengalami Kerusakan8

2. Dua komponen dari pemeriksaan nervus

- Palpasi nervus : untuk penebalan nervus, kelunakan dan

konsistensi
13
- Penilaian fungsi nervus :

 Otonom : menilai adanya keringat, rambut rontok, kulit

kering, dan retak

 Kehilangan fungsi sensorik : di area yang di suplai oleh

nervus, misalnya dengan tes fungsi sensorik

 Kekuatan otot (VMT) : menilai kekuatan gerakan dari Otot

Voluntar

Tabel 2.4 Fungsi Saraf Perifer4

14
3. Perabaan (palpasi) saraf tepi

Berikut ini adalah prosedur umum pemeriksaan perabaan saraf :

- Pemeriksaan berhadapan dengan dengan pasien

- Perabaan dilakukan dengan tekanan ringan sehingga tidak

menyakiti pasien

- Pada saat meraba saraf, perhatikan :

 Apakah ada penebalan atau pembesaran

 Apakah saraf kiri dan kanan sama besar atau berbeda

 Apakah ada nyeri atau tidak pada saraf

Saat melakukan palpasi saraf perhatikan mimic pasien, apakah

ada kesan kesakitan tanpa menanyakan sakit atau tidak. Dari

beberapa saraf yang disebutkan, ada tiga saraf yang wajib diraba

yaitu saraf ulnaris, peroneus communis dan tibialis posterior

a. Saraf ulnaris

- Tangan kanan pemeriksa memegang lengan kanan bawah

penderita dengan posisi siku sedikit ditekuk sehingga lengan

pasien relaks

- Dengan jari telunjuk dan jari tengah tangan kiri pemeriksa

mencari sambil meraba saraf ulnaris di dalam sulkus nervi

ulnaris yaitu lekukan diantara tonjolan tulang siku dan

tonjolan kecil di bagian medial (epicondilus medialis)

- Dengan tekanan ringan gulirkan pada saraf ulnaris, dan

telusuri keatas dengan halus sambil melihat mimic atau

15
reaksi pasien apakah tambak kesakitan atau tidak

- Kemudian dengan prosedur yang sama untuk memeriksa

saraf ulnaris kiri (tangan kiri pemeriksa memegang lengan

kiri pasien dan tangan kanan pemeriksa meraba saraf ulnaris

kiri pasien terebut).

Gambar 2.4 Pemeriksaan saraf ulnaris

b. Saraf peroneus communis (poplitea lateralis)

- Pasien diminta duduk di suatu tempat (kursi, tangga, dll)

dengan kaki dalam keadaan relaks

- Pemeriksa duduk di depan pasien dengan tangan kanan

memeriksa kaki kiri pasien dan tangan kiri memeriksa kaki

kanan

- Pemeriksa meletakkan jari telunjuk dan jari tengah pada

pertengahan betis bagian luar pasien sambil pelan-pelan

16
meraba ke atas sambil menemukan benjolan tulang (caput

fibula). Setelah menemukan tulang tersebut jari pemeriksa

meraba saraf peroneus 1 cm ke arah belakang

- Dengan tekanan yang ringan saraf tersebut digulirkan

bergantian ke kanan dank e kiri sambil melihat mimic atau

reaksi pasien.

Gambar 2.5 Pemeriksaan saraf

poplitea lateralis

c. Saraf tibialis posterior

- Pasien duduk relaks

- Dengan jari telunjuk dan tengah meraba saraf tibialis

posterior di bagian belakang bawah dari mata kaki sebelah

dalam (maleolus medialis) dengan tangan menyilang (tangan

kiri pemeriksa memeriksa saraf tibialis kiri dan tangan

kanan pemeriksa memeriksa saraf tibialis posterior kanan

pasien)

17
- Dengan tekanan ringan saraf tersebut digulirkan sambil

melihat mimic atau reaksi pasien

Gambar 2.6 Pemeriksaan saraf tibialis posterior

4. Pemeriksaan fungsi saraf

Pemeriksaan fungsi saraf dilakukan secara sistemik pada mata,

tangan dan kaki. Pemeriksaan fungsi raba dan kekuatan otot.

Langkah-langkah pemeriksaan fungsi saraf :

- Persiapan pemeriksaan fungsi saraf

 Siapkan bolpen yang ringan dan kertas

 Siapkan tempat duduk untuk pasien

- Cara pemeriksaan fungsi saraf

Pemeriksaan secara berurutan agar tidak ada yang terlewatkan

mulai dari kepala sampai kaki

a. Wajah dan Leher

1. Saraf trigeminal

Bagian sensoris dari saraf trigeminal adalah konjungtiva

18
dan kornea dan beberapa bagian di kulit wajah. Hal

terpenting yang mengindikasikan hilangnya fungsi

sensorik pada nervus trigeminus adalah berkurang atau

hilang reflek kornea, yaitu reflek mengedipkan mata.

2. Saraf supraorbital dan supratocheal adalah cabang dari

saraf trigeminal yang lebih tipis dan dapat dipalpasi

dengan jari diatas mata.

3. Saraf fasial

Saraf ini mensuplai beberapa otot wajah seperti otot

orbicularis oculi. Paralisis saraf fasial pada pasien kusta

adalah tipe LMN yang menyebabkan hilangnya setengah

otot wajah di sisi yang sama seperti hilangnya lipatan

wajah dan ekspresi. Wajah akan menjadi flat dan sudut

mulut akan tertarik ke bawah. Lemah atau lumpuhnya

otot orbicularis oculi sangat penting karena berfungsi

untuk menutupnya kelopak mata. Ketidakmampuan

menutup mata disebut Lagopthalmus.8

4. Saraf aurikularis magnus

Saraf ini menginervasi sudut mandibula dan area parotid

dan dapat membesar (dengan dipalpasi). Saraf ini berada

di leher lateral, di bawah telinga, dan menyilang otot

sternokleidomastoideus bagian 1/3 atas. Palpasi saraf ini

dilakukan di sebelah kanan, pasien disuruh untuk

19
menoleh ke arah berlawanan (ke kiri) sehingga menarik

otot sternokleidomastoideus. Palpasi secara gentle

dengan dua jari, dan pastikan bagian yang dipalpasi

adalah saraf aurikularis magnus, bukan vena.

Gambar 2.7 Pemeriksaan saraf aurikularis magnus8

b. Mata

1. Fungsi motorik saraf fasialis

 Pasien diminta memejamkan mata

 Dilihat dari depan atau samping apakah mata tertutup

dengan sempurna atau tidak ada celah

 Bagi mata yang tidak menutup rapat, diukur lebar

celahnya lalu dicatat

20
Gambar 2.7 Lagophtalmus

2. Fungsi sensorik mata

 Pemeriksaan kornea yaitu fungsi saraf trigeminus tidak

dilakukan di lapangan

c. Tangan

1. Fungsi motorik

Saraf ulnaris

 Tangan kiri pemeriksa memegang ujung jari manis, jari

tengah dan telunjuk tangan kaanan pasien, dengan

telapak tangan pasien menghadap ke arah atas dan

posisi ekstensi (jari kelingking bebas bergerak san tidak

terhalang oleh tangan pemeriksa)

 Minta pasien mendekatkan (adduksi) dan menjauhkan

(abduksi) kelingking dari jari-jari lainnya. Bila pasien

dapat melakukannya, minta ia menahann kelingkingnya

pada posisi jauh dari jari lainnya, dan kemudian jari

21
telunjuk pemeriksa mendorong pada bagian pangkal

kelingking

Gambar 2.8 Pemeriksaan motorik saraf ulnaris

 Penilaian :

- Bila jari kelingking pasien dapat menahan dorongan

ibu jari pemeriksa, berarti kekuatan ototnya kuat

- Bila jari kelingking pasien tidak dapat menahan

dorongan pemeriksa berarti kekuatan ototnya

tergolong sedang

- Bila jari pasien tidak dapat mendekat atau menjauh

dari jari lainnya berarti sudah lumpuh

Bila hasil pemeriksaan meragukan apakah masih kuat

atau sudah mengalami kelemahan, dapat dilakukan

pemeriksaan konfirmasi sebagai berikut :

- Minta pasien menjepit dengan kuat sehelai kertas yang

diletakkan di atas jari manis dan jari kelingking, lalu

22
penderita menari kkertas tersebut sambil menilai ada

tidaknya tahanan atau jepitan terhadap kertas tersebut.

- Penilaian

 Bila kertas terlepas dengan mudah berarti kekuatan

otot lemah

 Bila ada tahanan terhadap kertas berarti otot masih

kuat

Gambar 2.9 Pemeriksaan fungsi motorik dengan kertas

Saraf Medianus (kekuatan otot ibu jari)

- Tangan kanan pemeriksa memegang jari telunjuk

sampai kelingking tangan kanan pasien agar telapak

tangan pasien menghadap ke atas dan dalam posisi

ekstensi

- Ibu jari pasien ditegakkan keratas sehingga tegak lurus

terhadap telapak tangan pasien (seakan-akan

menunjuk kea rah hidung) dan pasien diminta untuk

mempertahankan posisi tersebut

- Jari telunjuk pemeriksa menekan pangkal ibu jari


23
pasien yaitu dari bagian batas antara pungugng dan

telapak tangan mendekati telapak tangan

Gambar 2.10 Pemeriksaan motorik saraf medianus

- Penilaian :

 Bila ada gerakan dan tahanan kuat berarti kekuatan

ototnya tergolong kuat

 Bila ada gerakan dan tahanan lemah berarti kekuatan

otot tergolong sedang

 Bila tida ada gerakan berarti sudah lumpuh

 Selalu perlu dibandingkan kekuatan otot tangan

kanan dan kiri untuk menentukan adanya kelemahan

Saraf Radialis

- Tangan kiri pemeriksa memegang punggung lengan

bawah tangan kanan pasien

- Pasien diminta menggerakkan pergelangan tangan

kanan yang terkepal ke atas (ekstensi)


24
- Pasien diminta bertahan pada posisi ekstensi (ke atas)

lalu dengan tangan kanan pemeriksa menarik tangan

pasien ke arah pemeriksa

Gambar 2.11 Pemeriksaan kekuatan saraf radialis

- Penilaian :

 Bila pasien mampu menahan tarikan berarti kekuatan

ototnya tergolong kuat

 Bila ada gerakan tapi pasien tidak mampu menahan

tarikan berarti kekuatan otot tergolong sedang

 Bila tidak ada gerakan berarti lumpuh (pergelangan

tangan tidak bisa ditegakkan ke atas)

2. Fungsi sensorik saraf ulnaris dan medianus

- Posisi pasien : tangan yang akan diperiksa diletakkan di

atas meja atau paha pasien atau bertumpu pada tangan

kiri pemeriksa sedemikian rupa sehingga semua ujung

kaki tersangga (tangan pemeriksa yang menyesuaikan

25
diri dengan keadaan tangan pasien) misalnya claw hand,

maka tangan pemeriksa menyangga ujung-ujung jari

tersebut sesuai lengkungan jarinya.

- Jelaskan pada pasien apa yang akan dilakukan padanya

sambil memperagakan dengan sentuhan ringan dari

ujung bolpen pada lengannya dan satu atau dua titik

pada telapak tangannya.

- Bila pasien merasakan sentuhan diminta untuk

menunjukkan tempat sentuhan tersebut dengan jari

tangan yang lain.

- Test diulangi sampai pasien mengerti dan kooperatif

- Pasien diminta untuk menutup mata atau menoleh ke

arah yang berlawanan dari tangan yang diperiksa

- Pasien diminta menunjukka tempat yang terasa disentuh

- Usahakan pemeriksaan titik-titik tersebut tidak

berurutan (secara acak)

- Bila pasien tidak menunjukkan dua titik atau lebih

berarti ada gangguan rasa raba pada saraf tersebut

26
Gambar 2.12 Pemeriksaan sensorik pada tangan

3. Deformitas

a. Saraf Ulnaris

Deformitas saraf ulnaris menyebabkan hiperekstensi di

sendi metakarpophalangeal dan fleksi di sendi

proksimal dan distal interphalangeal (Claw Hand)

Gambar 2.13 Claw hand

b. Saraf Medianus

Deformitas saraf medianus biasanya berhubungan

dengan saraf ulnaris, jadi biasanya disebut complete

claw hand

27
Gambar 2.14 Complete claw hand

c. Saraf Radialis

Deformitas saraf ini biasanya disebut dengan wrist

drop.

Gambar 2.15 Wrist drop

d. Poplitea Lateralis

Deformitas saraf ini biasanya disebut dengan foot

drop.

28
Gambar 2.16 Foot drop

d. Kaki

1. Fungsi sensorik

Saraf tibialis posterior

- Kaki kanan pasien diletakkan pada paha kiri, usahakan

telapak kaki menghadap ke atas

- Tangan kiri pemeriksa menyangga ujung jari kaki

pasien

- Cara memeriksa sama seperti rasa raba tangan

- Bila pasien tidak dapat menunjukkan dua titik atau lebih

berarti ada gangguan rasa raba pada saraf tersebut

Saraf Poplitea Lateralis

- Saraf ini mensuplai bagian terbesar di kaki bagian

lateral dan telapak kaki. Jadi bila ada pasien penyakit

kusta, yang sering terkena adalah kerusakan sensorik

29
pada saraf ini8

Gambar 2.17 Kerusakan saraf poplitea lateralis

2. Fungsi motorik saraf poplitea lateralis

- Dalam keadaan duduk, pasien diminta mengangkat

ujung kaki dengan tumit tetap diletakkan di lantai atau

ekstensi maksimal (seperti berjalan dengan tumit)

- Pasien diminta bertahan pada posisi ekstensi tersebut,

lalu pemeriksa dengan kedua tangan menekan

punggung kaki pasien ke bawah atau lantai

- Penilaian :

 Bila ada gerakan dan pasien mampu menahan tekanan

pemeriksa berarti kekuatan oto tergolong kuat

 Bila ada gerakan namun pasien tidak mampu menahan

tekanan berarti kekuatan otot tergolong sedang

30
 Bila tidak ada gerakan berarti lumpuh (ujung kaki

tidak bisa sitegakkan di atas

Gambar 2.18 Pemeriksaan motorik saraf poplitea

lateralis

4. Pemeriksaan Otonom

Gangguan otonomik terhadap kelenjar keringat dilakukan

guratan tes (lesi digores dengan tinta) penderita exercise,

bila tinta masih jelas, maka tes menunjukkan positif

(Gunawan Test).

Gambar kesimpulan pemeriksaan klinis kusta8 :

31
Gambar 2.19 Daftar gambar kesimpulan kelainan saraf

32
2.9 Pemeriksaan Bakteriologis

Skin smear atau kerokan jaringan kulit adalah pemeriksaan sediaan yang

diperoleh lewat irisan dan kerokan kecil ada kulit yang kemudian di beri

pewarnaan tahan asam untuk melihat Mycobacterium leprae

a. Tujuan skin smear

 Untuk membantu menentukan diagnosis penyakit kusta pada suspect

kusta

 Membantu diagnosis pasien relaps pada pasien yang sebelumnya

mendapatkan pengobatan

b. Persiapan pengambilan skin smear

1. Kaca obyrk baru dan kotak kaca obyek (slide box)

2. Skalpel (tangkai pisau ukuran No. 3 dan pisau No. 15)

3. Lampu spirtus (Bunsen)

4. Spiritus/alkohol

5. Kapas

6. Korek api

7. Pensil kaca

8. Penjepit kaca obyek

33
Gambar 2.20 Alat untuk skin smear

c. Beberapa ketentuan lokasi pengambilan kerokan jaringan kulit

1. Ambilah kerokan hanya dari dua tempat yaitu cuping telinga dan

salah satu lesi yang paling aktif, tapi tidak berada di wajah. Lesi yang

aktif yaitu yang meninggi dan berwarna kemerahan.

Gambar 2.21 Pengambilan kerokan di lesi dan cuping telinga

2. Jika tidak ada lesi kulit yang sesuai, ambil smear dari lokais yang

sebelumnya diketahui aktif atau lokasi dimana smear sebelumnya


34
positif

d. Cara pengambilan sediaan skin smear

1. Cucilah tangan dan memakai sarung tangan

2. Ambil kaca obyek sediaan yang baru, bersih dan tidak tergores. Tulis

nomor identitas pasien di bagian bawah kaca obyek dengan

menggunakan slide marker

Gambar 2.22 Pemberian identitas pada kaca obyek

3. Bersihkan lokasi kulit tempat pengambilan skin smear dengan kapas

alkohol. Biarkanlah mongering

4. Nyalakan api spirtus

5. Pasanglah mata pisau scalpel (blade) pada gagangnya. Jika

pemasangan scalpel dengan posisi mata pisau di bawah, pastikan

tidak menyentuh apapun

6. Jepitlah kulit dengan erat menggunakan jempol dan telunjuk, tetap

jepit dengan kuat agar darah tidak keluar

7. Buatlah insisi atau irisan pada kulit dengan panjang sekitar 5 mm

dengan dalam 2 mm. kulit tetap dijepit agar darah tidak keluar. Jika

berdarah, bersihkan darah tersebut dengan kapas alkohol

35
Gambar 2.23 Insisi cuping telinga

8. Putar pisau scalpel 90 derajat dan pertahankan pada sudut yang tepat

pada irisan. Keroklah irisan tersebut sekali atau dua kali

menggunakan pisau scalpel untuk mengumpulkan cairan atau bubur

jaringan. Tidak boleh ada darah pada specimen tersebut karena dapat

mengganggu pewarnaan dan pembacaan.

9. Lepaskan jepitan pada kulit dan hapus darah dengan alkohol

10. Buatlah apusan dari kerokan kulit tersebut di atas kaca obyek, pada

sisi yang sama tuliskan identitas pasien. Buatlah apusan berbentuk

lingkaran dengan diameter 8 mm

Gambar 2.24 Apusan kerokan kulit di kaca obyek

36
11. Hapus kotoran di mata pisau dengan kapas beralkohol. Lewatkan

mata pisau scalpel diatas nyala api Bunsen selama 3-4 detik. Biarkan

dingin tapi jangan sampai menyentuh sesuatu.

12. Ulangi langkah di atas untuk lokasi apusan lain. Buat apusan di sisi

dekat dengan apusan sebelumnya, tapi jangan sampai bersentuhan

dengan apusan sebelumnya.

13. Lepas pisau scalpel dengan hati-hati

14. Tutup luka dan ucapkan terimakasih pada pasien

15. Biarkan kaca obyek mongering selama 15 menit dengan suhu

ruangan, tetapi tidka di bawah terik matahari langsung

16. Fiksasi apusan dengan melewatkan di atas nyala api Bunsen 3 kali.

Kaca objek tersebut jangan sampai terlalu panas saat disentuh

Gambar 2.25 Fiksasi apusan dengan nyala api

17. Taruh kaca obyek di kotak kaca obyek dan kirimkan ke laboratorium

disertai dengan formulir permintaan pemeriksaan

e. Cara Pewarnaan

Memubuat pewarnaan dengan mengguankan metode Ziehl Neelsen.

Pewarnaan dengan menggunakan carbol fuchsin 1%, dengan semua


37
warna merah. Bilas pewarnaan dengan asam alkohol 1%, untuk

menghilangkan semua warna kecuali pada Mycobacterium leprae.

Lakukan pembilasan dengan methylene blue 0,2%. Basil kusta akan

terlihat seperti batang-batang merah pada latar belakang biru.

Peralatan :

1. Botol yang mengandung larutan carbol fuchsin 1%, asam alkohol

1%, larutan methylene blue 0,2%

2. Lampu spirtus

3. Jam dinding atau jam tangan

4. Wadah dengan air mengalir

5. Pippet

6. Besi penyangga rak kaca obyek

7. Tisu

8. Sarung tangan

Gambar \2.26 Peralatan untuk pewarnaan gram

 Buat register kaca obyek di register laboratorium

 Letakkan kaca obyej di rak pewarnaan dengan sisi apusan

38
menghadap ke atas. 10 kaca obyek atau lebih dapat diwarnai

bersamaan. Pastikan bahwa kaca obyek terebut tidak saling

bersentuhan satu dengan yang lain

Pewarnaan4,9

1. Sebelum digunakan, menyaring carbol fuchsin 1% menggunakan

kertas saring

2. Tutupi seluruh permukaan kaca obyek dengan larutan carbol fuchsin

1%

Gambar 2.27 Penetesan larutan carbor fuschin

3. Panaskan kaca obyek dengan hati-hati di atas lampu spirtus sampai

uap carbol fuchsin keluar. Ulangi 3 kali dengan durasi 5 menit.

Pastikan pewarnaan tidak sampai mendidih. Jika pewarnaan

mongering tambah lagi reagen dan panaskan lagi

4. Basuh dengan hati-hati di bawah air mengalir. Keringkan air hingga

kaca obyek tidak lagi berwarna, meskipun apusan akan menjadi

merah tua

39
Gambar 2.28 Membasuh kaca obyek dengan air mengalir

Pelunturan4,9

1. Tetesi permukaan kaca obyek sampai tertutup dengan asam alkohol

1% selama 10 detik. Metode lain adalah dengan menggunakan asam

sulfat 5% selama 10 menit

Gambar 2.29 Menetesi dengan asam alkohol9

2. Bilas perlahan dengan air

Counter Staining

1. Tetesi sediaan dengan methylene blue 0,2% selama 1 menit

2. Bilas dengan air dan biarkan kaca obyek mongering di rak

pengeringan dengan posisi miring dengan sisi apusan menghadap ke

bawah.

40
Gambar

2.30 Membilas

kaca obyek dengan air mengalir dan memiringkan apusan ke bawah

3. Apusan siap dibaca

f. Pembacaan

1. Bentuk-bentuk kuman kusta yang dapat ditemukan dalam lapangan

mikroskop:

a. Bentuk utuh (solid)

1. Dinding sel tidak putus

2. Mengambil zat warna secara merata

3. Panjang kuman 4 kali lebarnya

b. Bentuk pecah-pecah (fragmented)

1. Dinding sel terputus mungkin sebagian atau seluruhnya

2. Pengambilan zat warna tidak merata

c. Bentuk granular (granulated)

Kelihatan seperti titik-titik tersusun garis lurus atau berkelompok

d. Bentuk globus
41
Beberapa BTA utuh atau fragmented atau granulated

mengadakan ikatan atau kelompok. Kelompok kecil 40-60 BTA.

Kelompok besak 200-300 BTA

e. Bentuk clumps

Beberapa bentuk granular membentuk pulau-pulau tersendiri

(lebih dari 500 BTA)

Gambar 2.31 Gambar bentuk bakteri

2. Cara melakukan pembacaan skin smear

a. Siapkan mikroskop dengan pembesaran obyek 10 dan 100 kali dan

memulai dengan menggunakan obyektif 10

b. Letakkan kaca obyek di bawah mikroskop dengan hapusan

menghadap ke atas dan nomor identitias terletak di kiri

c. Fokukan gambar menggunakan obyektif 10 kalo

d. Tetesi hapusan dengan minyak emersi setetes

e. Rubah obyektif menjadi pembesaran 100 kali. Hal ini akan

menyebabkan lensa obyektif menyentuk minyak imersi

42
f. Buka diafragma seluruhnya dan naikkan kondensor ke posisi

tertinggi

g. Fokuskan dengan tepat menggunakan skrew

h. Kemudian mulai menghitung lapangan pandang. Dapat

menggunakan cara sebagai berikut4 :

 Zig zag (Zig zag method)

 Huruf Z (Z method)

 Setengah atau seperempat lingkaran (Half a Quarter Circle

Method)

Gambar 2.32 Teknik perhitungan lapang pandang

3. Cara menghitung basic tahan asam (BTA) dalam lapangan

mikroskop

Setelah menemukan lapangan pandang pertama, pindahlah ke

lapangan pandang berikutnya. Periksalah tiap apusan sekitar 100


43
lapangan pandang.

BTA akan nambak sebagai batang merah dengan latar belakang

biru. Bentuknya dapat berupa lurus atau melengkung dan warna

merah dapat merata atau homogeny (solid) atau tidak rata

(fragmented dan granular). Kelompok basil tersebut disebut globi.

Basil yang solid menandakan adanya mikroorganisme yang hidup

dan dapat dengan mudah terlihat pada pasien yang belum pernah

diobati atau pasien relaps

a. Indeks Bakteri (IB)

Merupakan ukuran semikuantitatif kepadatan BTA dalam sediaan

apus. Kegunaan IB untuk membantu menentukan tipe kusta dan

menilai hasil pengobatan. Penilaian dilakukan menurut skala

logaritma Ridley.

Tabel 2.5 Indeks Bakteri (IB)

Jumlah Bakteri

0 0 BTA dalam 100 LP, hitung 100 lapangan pandang

1+ 1-10 BTA dalam 100 LP, hitung 100 lapangan pandang

2+ 1-10 BTA dalam 10 LP, hitung 100 lapangan pandang

3+ 1-10 BTA dalam rata-rata 1 LP, hitung 25 lapangan pandang

4+ 10-100 BTA dalam rata-rata 1 LP, hitung 25 lapangan pandang

5+ 100-1000 BTA dalam rata-rata 1 LP, hitung 25 lapangan pandang

6+ >1000 BTA atau 5 clumps ditemukan dalam rata-rata 1 lapangan

pandang : hitung 25 lapangan pandang

44
Gambar 2.33Indeks Bakteri (IB)

1. Tulislah hasil untuk kedua apusan dalam register

laboratorium

2. Bilas kaca obyek dengan xylene (xylol). Jangan dihapus

3. Simpan kaca obyek dalam kotak kaca obyek untuk control

kualitas

4. Kaca obyek yang tidak disimpan harus dimusnahkan atau

didesinfeksi, dididihkan dan dicucu untuk digunakan kembali

45
pada pemeriksaan rutin lain (misalnya tinja, urin). Kaca

obyek tidak boleh digunakan ulang untuk apusan kulit lain

atau pemeriksaan sputum

5. Sampaikan hasil pemeriksaan pada petugas yang meminta

apusan kulit

b. Indeks Morfologi (IM)

Merupakan presentase basil kusta, bentuk utuh (solid) terhadap

seluruh BTA. Sebaiknya dicari lapang pandang yang paling baik,

artinya tidak ada globus atau clumps. Jika tidak ada, ambil

lapangan pandang yang paling sedikit mengandung globus atau

clumps. Apabila ditemukan dlobus atau clumps jangan dihitung.

IM =

Indeks morfologi berguna untuk mengetahui daya penularan

kuman juga untuk menilai hasil pengobatan dan membantu

menentukan resistensi terhadap obat.

46
Contoh menghitung IB dan IM :

Lokasi Pengambilan Kepadatan Solid Fragmented/

Granulated

1. Daun telinga kiri 5+ 5 95

2. Daun telinga kanan 4+ 6 94

3. Paha kiri 4+ 3 97

4. Bokong kanan 4+ 4 96

Jumlah 17+ 18 382

IB=17+ ¿ =4,25 ¿ 18
ℑ= x 100 %=4,50
4 18+382

Catatan4 :

- Hasil pembacaan sediaan apus cukup dinyatakan negative (-)

atau positif (+) saja

2.10 Pemeriksaan Histopatologis

Pada sebagian kecil kasus, bilamana diagnosis masih meragukan,

pemeriksaan histopatologis dapat membantu. Pemeriksaan ini sangat

membantu khususnya pada anak-anak, bilamana pemeriksaan saraf sensoris

sulit dilakukan, juga pada lesi dini contohnya pada tipe interminate, serta

untuk menentukan klasifikasi yang tepat.5

Biopsy seharusnya diambil dari tepi lesi yang aktif dan diambil secara luas
47
sampai ke jaringan subkutan. Pemeriksaan histologist dari penyakit Hansen

berkorelasi dengan gejala klinis penyakit. Adanya kelainan saraf merupaan

karakteristik dari penyakit Hansen dan histological perineural dan kelainan

saraf meningkatkan kemungkinan adanya penyakit Hansen.

Ada beberapa kegunaan dalam pemeriksaan histopatologi dari pasien

penyakit kusta, yaitu:

a. Untuk menegakkan diagnosis penyakit kusta

b. Untuk mengetahui klasidikasi lesi pada penyakit kusta

c. Untuk mengidentifikasi adanya basil di jaringan

d. Untuk melihat respon pengobatan yang diberikan

e. Untuk diagnosis reaksi kusta

Berikut ini adalah gambaran histopatologi menurut jenis penyakit kusta :

1. Tuberculoid Leprosy (TT)

Terdiri dari kelompok sel epithel dengan adanya giant cells yang

ditemukan pada tuberculoid leprosy. Sel granuloma epitheloid selalu

mengikis sampai lapisan basal dari epidermis.

2. Borderline Tuberculoid Leprosy (BT)

Hasil pemerikasaan histology BT hamper sama dengan tipe tuberculoid

yang lain, tetapi sel epitheloid menunjukkan beberapa vacuolation, basil

yang banyak serta bebrapa lapisan yang mengalami inflamasi terpisah dari

lapisan epidermis.

3. Midborderline Leprosy (BB)

48
Hasil pemeriksaan histology BB hampir sama yaitu adanya sel epitheloid

dan macrofag tanpa membentuk granuloma yang jelas. Limphosit sedikit

dan tersebar dan giant cell mulnitucleat tidak ada, hal ini yang

membedakan dengan histology dari BT.

4. Borderline Lepromatous Leprosy (BL)

Pada hasil pemeriksaan histology BL, terdapat bentukan histiosit, lebih

banyak daripada sel epitheloid. Limphosit bisa ada di dalam granuloma

5. Lepramatous Leprosy (LL)

Makrofag granuloma pada LL besar dan terdapat foam cells dengan

jumlah limfosit yang jarang. Basil yang solid tertumpuk membentuk

seperti rokok dan terlihat sebagai globi.

Gambar 2.34 A. Sel epitheloid pada BT; B. Langerhans giant cells; C.

epidermal erosi; D. bentuk makrofag granuloma pada LL; E. ENL; F. Globi

49
2.11 Pemeriksaan Serologis

Pemeriksaan serologik kusta didasarkan atas terbentuknya antibodi pada

tubuh seseorang yang terinfeksi M leprae. Antibodi yang terbentuk dapat bersifat

spesifik terhadap M. leprae yaitu antibodi anti phenolic glycolipid (PGL-1) dan

antibodi antiprotein 16 kD serta 35 kD.

Sedangkan antibodi yang tidak spesifik antara lain antibodi anti-

lipoarabinomanan (LAM) yang juga dihasilkan oleh kuman M. Tuberculosis

Kegunaan pemeriksaan serologik ini ialah dapat membantu diagnosis

kusta yang meragukan karena tanda klinis dan bakteriologik tidak jelas.

Disamping itu dapat membantu menentukan kusta subklinis, karena tidak

didapati lesi kulit misalnya pada narakontak serumah. Macam-macam

pemeriksaan serologik kusta lainnya adalah :

 Uji MLPA (mycobacterium leprae particle aglutination)

 Uji ELISA (Enzyme Linked Immuno-sorbent assay)

 ML dipstick test (Mycobacterium leprae dipstick)

 ML flow test (Mycobacterium leprae flow test)

50
BAB III

KESIMPULAN

Penyakit kusta juga disebut dengan penyakit Hansen, yang disebabkan

oleh Mycobacterium Leprae , yaitu suatu penyakit infeksi kronik yang

bermanifestasi terhadap kulit dan kelainan nervus perifer.

Penegakan diagnosis dari penyakit ini adalah dengan anamnesis, adanya

pemeriksaan lesi di kulit, pemeriksaan saraf perifer, pemeriksaan Ziehl-

Neelsen’s, pemeriksaan histopatologis dan pemeriksaan serologis.

Pemeriksaan saraf tepi diperiksa dari mulai fungsi sensorik, motorik,

dan otonom untuk mengetahui apakahh fungsi tersebut masih baik atau

tidak. Pemeriksaan gram (Ziehl-Neelsen’s) dan pemeriksaan histopatologis

digunakan untuk mengidentifikasi adanya bakteri untuk membantu

menegakkan diagnosis, klasifikasi, serta membantu menilai hasil

pengobatan. Sedangkan pemeriksana serologi digunakan untuk

mendiagnosis penyakit kusta yang meragukan, karena tanda klinis dan

bakteriologik tidak jelas.

51
DAFTAR PUSTAKA

1. A. Kosasih, I Made Wisnu, Emmy Sjamsoe-Daili, Sri Linuwih Menaldi. Kusta.


Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi kelima. Penerbit FKUI Jakarta 2007; 73-
88.

2. Vaishali B. Naik et al: Evaluation of Significance of Skin Smears in Leprosy for


Diagnosis, Follow Up, Assessment of Treatment Outcome and Relapse. Asiatic
Journal of Biotechnology resources, 2011; page: 547 – 552

3. M.T. Htoon, dr., et al: WHO Expert Committee on Leprosy: eighth report.
Printed in Italy. 2012;17-28.

4. Mr. M.O. Regan, Dr. J. Keja. Pedoman Nasional Program Pengendalian Penyakit
Kusta. Kementerian Kesehatan RI. Direktor Jenderal Pengendalian Penyakit dan
Penyehatan Lingkungan 2012; Page 5-11, 75-98.

5. Abdullah Benny,dr., Sp.KK. Morbus Hansen, Dermatologi Pengetahuan Dasar


dan Kasus Di Rumah Sakit. SMF Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin RSU Haji,
Surabaya, 2009, hal 149-159.
6. Jmes, William D. Et. Al,2011, chapter 17 : Hansen’s Disease, In : Andrew’s
Disease of the Skin Clinical Dermatology,11th, p : 334-444
7. M. Yulianto Listiawan, Indropo Agusni, Sunarko Matodihardjo. Morbus Hansen,
Pedoman Diagnosis dan Terapi Bag/SMF Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin,
Edisi III Rumah Sakit Umum Dokter Soetomo Surabaya, Surabaya, 2005, Page
41-48

52
8. R. K. Srivastava, dr., Training Manual for Medical Officers, National Leprosy
Eradication Programme, Directorate General of Health Services Ministry of
Health & Family Welfare Nirman Bhawan, New Delhi, 2009, page: 18-19, 21-47
9. Guido Groenen dr., Paul Saunderson dr., Profesor Baohong Ji. How to Do A
Skin Smear Examination for Leprosy, Learning Guide Three, International
Federation of Anty-Leprosy Association (ILEP), 2003, Page : 1-6
10. Avninder Singh, Xiaoman Weng, Indira Nath. Skin Biopsy in Leprosy, National
Institute of Pathology (ICMR), Safdajung Hospital Campus, New Delhi, 2011,
Page : 73-86

53

Anda mungkin juga menyukai