Anda di halaman 1dari 10

LEARNING OBJECTIVE

SKENARIO 2

TELINGA-HIDUNG-TENGGOROKAN

“Nafasku Berbau”

NAMA : PUTRI ASWARIYAH RAMLI


STAMBUK : N 101 20 045
KELOMPOK :4

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TADULAKO
2023

Putri Aswariyah Ramli


Modul 1 : Telinga-Hidung-Tenggorokan

“Nafasku Berbau”

Seorang laki – laki berusia 28 tahun datang ke Puskesmas Talise dengan


keluhan hidung tersumbat yang dirasakan sejak hampir 6 bulan terakhir dan
terjadi secara menetap. 1 bulan terakhir hidung kiri terasa tersumbat dan berbau
busuk serta pasien merasa penciumannya menurun. Pasien juga merasa seperti ada
lendir yang terus mengalir di belakang tenggorokannya (post nasal drips). Pasien
juga mengeluhkan cephalgia, dahi dan pipi serta terasa penuh.

Pasien sudah beberapa kali berobat ke puskesmas dan mendapat terapi


antibiotik, analgetik dan antipiretik namun belum ada perbaikan. Riwayat
penyakit dahulu, sekitar 6 bulan terakhir pasien mengeluhkan sakit gigi namun
hanya berkumur dengan air garam dan tidak mendapatkan penanganan dari dokter
gigi, pasien juga pernah disarankan untuk berobat ke dokter gigi karena Caries
gigi namun tidak dilakukan perawatan gigi tersebut. Riwayat epistaksis disangkal.

Pada pemeriksaan didapatkan tanda vital TD 110/70 mmHg, Nadi


82x/menit, Respirasi 18x/menit, Suhu Badan 37,8oC. Pada pemeriksaan
rhinoskop anterior ditemukan sekret kental bewarna kehijauan di meatus media
kanan dan kiri, konka nasalis tampak edema, Pada pemeriksaan rhinoskop
posterior post nasal drips (+). Dokter puskesmas lantas memberikan terapi
sementara dan merujuk ke dokter spesialis.

Learning Objective

1. Tatalaksana
2. Prognosis
3. Sistem Rujukan
4. Posisi Pemeriksaan Radiologi untuk Rhinosinusitis
5. Diagnosis Banding

Putri Aswariyah Ramli


1. Tatalaksana
Jawab :
Tatalaksana awal pada kasus RSK yakni dengan pemberian
medikamentosa, kemudia jika keadaan pasien tidak membaik dan RSK terus
terjadi dengan gejala berat dan persisten maka tindakan pembedahan dapat
menjadi pilihan. Terapi medikamentosa yang dapat diberikan antara lain
steroid oral, steroid intranasal, dan irigasi nasal salin (Nacl 0,9%). Selain itu,
dapat diberikan juga antibiotik spektrum luas yaitu amoksisilin + asam
klavulanat, sefalosporin, cefuroxime, cefaclor, cefixime, dan florokuinolon
(ciprofloksasin), kortikosteroid topikal (beklometason, flutikason,
mometason), dan terapi penunjang lain seperti antihistamin, stabilizier sel
mast, sodium kromoglikat, sodium nedokromil, mukolitik, antagonis
leukotrien, dan imunoterapi. Jika pemberian steroid nasal dan salin tidak
memberikan responsi yang baik, maka perlu dilakukan pemeriksaan CT-scan
dan pemeriksaan endotyping RSK.

Gambar 1. Alur Pelayanan Pasien Rinosinusitiss Kronik

Putri Aswariyah Ramli


Pada kasus RSK dengan pemberian medikamentosa tidak diperoleh
perbaikan maka dapat dilakukan intervensi bedah. Diantara berbagai
modalitas, bedah sinus endoskopik fungsional (BSEF) adalah salah satu
teknik bedah pilihan. Prosedur BSEF ini dapat dikombinasikan dengan terapi
medikamentosa untuk memperoleh hasil yang lebih baik. Tujuan dari
prosedur BSEF ini adalah membuang jaringan polip di hidung dan sinus
dengan memperhatikan struktur anatomi dan mukosa sinonasal agar terjaga

serta pemulihan kembali ventilasi dan drainase sinus melalui pembedahan


minimal invasi hingga pengangkatan lengkap mukosa sinus patologis
(Ismaya, 2023).
Gambar 2. Tatalaksana Rinosinusitis Krinik Difus

Konseling dan edukasi juga dapat diberika kepada pasien yaitu


sebagai berikut (Zainuddin, 2014) :

Putri Aswariyah Ramli


a) Dokter perlu menjelaskan mengenai faktor risiko yang mendasari atau
mencetuskan rinosinusitis kronik pada pasien beserta alternatif tatalaksana
untuk mengatasinya.
b) Pencegahan timbulnya rekurensi juga perlu didiskusikan antara dokter
dengan pasien.
Sumber :
Ismaya, F. T., Yuliyani, E. A. 2023. Rinosinusitis Kronik : Diagnosis Hingga
Prognosis. Jurnal Medika Hutama. Vol. 4 (2) : 3251-3256. Viewed
on 08 Februari 2023. From : jurnalmedikahutama.com.
Zainuddin, A., et al. 2014. Panduan Praktik Klinis Dokter di Fasilitas
Pelayanan Kesehatan Klinis. Jakarta : IDI Indonesia.

2. Prognosis
Jawab :
a. Rinosinusitis Akut
- Ad vitam : Bonam
- Ad functionam : Bonam
- Ad sanationam : Bonam
b. Rinosinusitis Kronik
- Ad vitam : Bonam
- Ad functionam : Dubia ad Bonam
- Ad sanationam : Dubia ad Bonam
c. Sinusitis Dentogenik
- Ad vitam : Bonam
- Ad functionam : Bonam
- Ad sanationam : Bonam
Sumber :
Zainuddin, A., et al. 2014. Panduan Praktik Klinis Dokter di Fasilitas
Pelayanan Kesehatan Klinis. Jakarta : IDI Indonesia.

3. Sistem Rujukan

Putri Aswariyah Ramli


Jawab :
Rujukan ke spesialis THT dilakukan apabila :
a) Pasien imudofesien
b) Terdapat dugaan infeksi jamur
c) Bila rinosinusitis terjadi ≥ 4 kali dalam 1 tahun
d) Bila pasien tidak mengalami perbaikan setelah pemberian terapi awal yang
adekuat setelah 4 minggu.
e) Bila ditemukan kelainan anatomis ataupun dugaan faktor risiko yang
memerlukan tatalaksana oleh spesialis THT, misalnya : deviasi septum,
polip nasal, atau tumor.

Sistem rujukan adalah proses dua arah yang mengatur alur pasien
dari fasilitas kesehatan tingkat rendah ke yang lebih tinggi dan sebaliknya.
Pelayanan kesehatan berjenjang dalam sistem rujukan dimulai dari Fasilitas
Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) ke Fasilitas Kesehatan Tingkat Lanjut
(FKTL) sekunder, lalu FKTL tersier. Pada pelayanan kesehatan tingkat
pertama, pasien dapat berobat ke fasilitas kesehatan primer seperti
puskesmas, klinik pratama (dokter umum), dan dokter praktik mandiri atau
dokter keluarga. Apabila memerlukan pelayanan lanjutan oleh dokter
spesialis, maka pasien dapat dirujuk ke fasilitas kesehatan tingkat kedua atau
fasilitas kesehatan sekunder. Rujukan ini hanya diberikan jika peserta BPJS
kesehatan membutuhkan pelayanan kesehatan spesialistik, atau jika fasilitas
kesehatan primer yang ditunjuk untuk melayani peserta tersebut, tidak dapat
memberikan pelayanan kesehatan karena keterbatasan fasilitas, pelayanan,
dan atau tenaga medis (Umami, 2018).

Yang dimaksud dengan fasilitas pelayanan kesehatan dalam


tingkatan pelayanan sekunder adalah klinik utama yang mempunyai dokter
spesialis, RS Tipe B dengan dokter spesialis dasar, spesialis penunjang dan
subspesialis, RS Tipe C dengan 4 dokter spesialis dasar (IPD, anak, bedah,
dan obgyn), dan RS Tipe D dengan 2 dari 4 spesialis dasar. Jika pasien masih
belum dapat tertangani di fasilitas kesehatan sekunder, maka dapat dirujuk ke

Putri Aswariyah Ramli


fasilitas kesehatan tersier untuk ditangani oleh dokter sub-spesialis yang
menggunakan pengetahuan dan teknologi kesehatan sub-spesialistik. Yang
dimaksud dengan fasilitas pelayanan kesehatan dalam tingkatan pelayanan
tersier adalah RS Tipe A dengan lebih dari 2 dokter subspesialis. Tidak
menutup kemungkinan segala tindak tatalaksana diagnosis dan terapi dapat
dilakukan di Tingkat Pelayanan Sekunder (II) bila kompetensi SDM dan
fasilitas yang tersedia memenuhi persyaratan (Umami, 2018).

Sumber :
Umami, L.S., Soeharto, B.P., Wulandari, D.R. 2018. Analisis Pelaksanaan
Rujukan Rawat Jalan Tingkat Pertama Peserta BPJS Kesehatan di
Puskesmas. Jurnal Kedokteran Diponegoro. Vol. 6 (2): 758-771.
Viewed on 31 Januari 2023. From: ejournal-s1.undip.ac.id.
Zainuddin, A., et al. 2014. Panduan Praktik Klinis Dokter di Fasilitas
Pelayanan Kesehatan Klinis. Jakarta : IDI Indonesia.

4. Posisi Pemeriksaan Radiologi untuk Rhinosinusitis


Jawab :
Pemeriksaan radiologi pada pasien dengan kasus rinosinusitis
diperlukan jika gejala tidak jelas, hasil pemeriksaan fisik meragukan atau
respons pengobatan tidak memuaskan. Dengan pemeriksaan radiologi, akan
diperoleh gambaran anatomi atau variasi anatomi, kelainan patologis pada
sinus paranasalis dan struktur tulang di sekitarnya, sehingga dapat
menegakkan diagnosis secara lebih dini. Pemeriksaan radiologi untuk
menegakkan diagnosis rinosinusitis dapat dengan menggunakan foto polos
atau Compited Tomography (CT) scan. Foto polos masih digunakan untuk
mendeteksi foreign bodies pada suspek rinosinusitis (Amalia, 2018).
Foto polos memiliki spesifitas yang tinggi untuk melihat gambaran
semua sinus, sensitivitas sebesar 80% untuk sinus maxillaris, dan sensitivitas
yang lebih rendah untuk sinus ethmoidalis, sinus sphenoidalis, dan sinus
frontalis. Spesifitas foto polos sebesar 96-100% dan sensitivitas foto polos
sebesar 70%. Meskipun demikian, foto polos lebih sering digunakan untuk

Putri Aswariyah Ramli


menunjang diagnosis rinosinusitis, dikarenakan pemeriksaan dengan foto
polos tidak membutuhkan biaya yang mahal, tersedianya alat pemeriksaan
dalam jumlah yang memadai di rumah sakit, dan waktu pemeriksaan yang
cepat (Amalia, 2018).

Gambar 3. CT-scan penampang koronal menunjukkan


rinosinusistis kronik akibat konka bulosa sehingga mengakibatka
penyempitan KOM

Gambar 4. Water’s View

Putri Aswariyah Ramli


Pada beberapa rumah sakit atau klinik di Indonesia, untuk
mengevaluasi sinus paranasal, cukup dengan dilakukan pemeriksaan foto
kepala AP dan lateral serta posisi Waters. Apabila pada foto dengan posisi
tersebut belum dapat menentukan atau belum didapatkan informasi yang
lengkap, maka dilanjutkan dengan pengambilan foto dengan posisi lainnya.
Posisi rutin yang digunakan untuk menegakkan diagnosis sinusitis adalah
posisi Waters, PA, dan lateral. Posisi waters terutama digunakan untuk
melihat adanya kelainan di sinus maksilaris, frontalis, dan etmoidalis. Posisi
postero-anterior untuk menilai sinus frontalis, dan posisi lateral untuk menilai
sinus frontalis, sfenoidalis dan etmoidalis. Foto Waters umumnya dilakukan
pada keadaan mulut tertutup. Pada posisi mulut terbuka akan dapat menilai
daerah dinding posterior sinus sfenoidalis dengan baik (Amalia, 2018).
Sumber :
Amalia, P. S., Wardhana, A. 2018. Gambaran Radiologis Foto Polos pada
Pasien Sinusitis di Rumah Sakit Sekarwangi Periode Juni 2015-
Juni 2016. Majalah Kesehatan PharmaMedika. Vol. 1 (1) : 040-
046. Viewed on 08 Februari 2023. From :
academicjournal.yarsi.ac.id.

5. Diagnosis Banding
Jawab :
Diagnosis banding pada pasien dengan kasus rinosinusitis kronik,
yaitu sebagai berikut (Zainuddin, 2014) :
a) Refluks gastro-esofageal
b) Tumor ganas rongga hidung
c) Tumor ganas nasofaring
d) Tumor ganas sinus
e) Benda asing pada saluran napas
f) Fibrosis kistik
g) Sinusistis jamur
Sumber :

Putri Aswariyah Ramli


Zainuddin, A., et al. 2014. Panduan Praktik Klinis Dokter di Fasilitas
Pelayanan Kesehatan Klinis. Jakarta : IDI Indonesia.

Putri Aswariyah Ramli

Anda mungkin juga menyukai