Anda di halaman 1dari 19

Tugas Mata Kuliah

Ulumul Hadis II

KAEDAH-KAEDAH MAYOR DAN MINOR KESHAHEHAN HADIS II

Dosen Pengampu: Suja’i Sarifandi, M.Ag

Ditulis

O
L
E
H

Muhammad Reza (12130215013)


Suci Mawarni (12130221026)
Siti Nur Aisyah (12130221363)

KELAS IAT E
SEMESTER III
JURUSAN ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN SYARIF KASIM RIAU
2022
KATA PENGANTAR

َّ ‫الر ْح ٰمن‬ ‫ه‬


‫الر ِح ْي ِم‬ ِ
َّ ‫اّٰلل‬
ِ ‫ِب ْس ِم‬

Puji syukur yang tak terhingga ditujukan kepada Allah SWT yang telah menurunkan
Al-Quran kepada manusia untuk menjadi petunjuk dalam menjalankan kehidupan. Sedemikian
rupa manusia memungkinkan memiliki pengetahuan dan keyakinan sebagai bukti nyata
keberadaannya sebagai makhluk rasional dan religius. Shalawat dan salam dikirimkan kepada
Nabi Muhammad saw yang telah membuat jalan kehidupan terang penuh nikmat bagi manusia.

Dalam penyusunan makalah dengan judul “Kaedah-Kaedah Mayor dan Minor


Keshahehan Hadis II”. kami penulis mengalami beberapa kendala. Penulis sadar bahwa
makalah ini masih memiliki kelemahan dan kekurangan. Karenanya, penulis memohon maaf
atas kekurangan tersebut. Penulis juga senantiasa membuka tangan untuk menerima kritik dan
saran yang membangun agar kelak penulis bisa berkarya lebih baik lagi.

Akhir kata, penulis berharap agar karya kecil ini tercatat sebagai amal saleh dan
menjadi motivator. Serta berfungsi sebagai mana mestinya.

Pekanbaru, 4 Oktober 2022

Tim Penulis
DAFTAR ISI

BAB I ..................................................................................................................................... 4
PENDAHULUAN.................................................................................................................. 4
A. Latar Belakang ................................................................................................................ 4
B. Rumusan Masalah ........................................................................................................... 4
C. Tujuan Penulisan ............................................................................................................. 4
BAB II .................................................................................................................................... 5
PEMBAHASAN .................................................................................................................... 5
A. Unsur-unsur Kaedah Minor Keshahehan Hadis. ............................................................ 5
B. Argumen-Argumen yang mendasari kaidah keshahehan hadis II ................................ 13
BAB III................................................................................................................................. 18
PENUTUP ............................................................................................................................ 18
A. Kesimpulan ................................................................................................................... 18
B. Saran ......................................................................................................................................... 18
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................................................... 19
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dalam bab-bab terdahulu telah diterangkan, bahwa untuk kepentingan penelitian
telah menciptakan berbagai kaidah dan ilmu (pengetahuan) hadis. Dengan kaidah dan ilmu
hadis itu, ulama mengadakan pembagian kualitas hadis. Di antara kaidah yang telah
diciptakan oleh ulama adalah kesahihan sanad hadis, yakni segala syarat atau kriteria yang
harus dipenuhi oleh suatu sanad hadis yang berkualitas sahih. Dalam Bab Pertama telah
diterangkan, bahwa segala syarat atau kriteria kesa hihan sanad hadis tersebut, ada yang
bersifat umum dan ada yang bersifat khusus. Segala syarat atau kriteria itu melingkupi
seluruh bagian sanad. Berbagai syarat atau kriteria yang bersifat umum, dalam kajian ini,
diberi istilah sebagai kaidah mayor, sedang yang bersifat khusus atau rincian dari kaidah
mayor diberi istilah sebagai kaidah minor.

Berikut ini, dikemukakan pembahasan kedua kaidah tersebut beserta istilah-istilah


yang dipakai untuk hadis yang memenuhi dan yang tidak memenuhi kedua kaidah
dimaksud.

B. Rumusan Masalah
1. Apa sajakah kaedah-kaedah Minor yang periwayat bersifat Adil?
2. Apa sajakah kaedah-kaedah minor yang periwayat bersifat Dhabit (Tsiqah)?

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui kaedah-kaedah Minor yang periwayat bersifat Adil.
2. Untuk memahami kaedah-kaedah minor yang periwayat bersifat Dhabit (Tsiqah).
BAB II
PEMBAHASAN

A. Unsur-unsur Kaedah Minor Keshahehan Hadis.


1. Sanad Bersambung.
Unsur -unsur kaedah minor keshahehan hadis yang pertama yaitu sanad
bersambung, jadi dikarenakan sanad bersambung sudah dibahas dikelompok
sebelumnya, disini kami akan membahas tentang periwayat bersifat adil dan
dhabith
2. Periwayat bersifat Adil.
Kata adil (al-adl) memiliki lebih dari satu arti, baik dari segi bahasa maupun
istilah.1 Berbagai ulama telah membahas siapa orang yang dinya takan bersifat adil.
Dalam hal ini, ulama berbeda pendapat. Untuk membe rikan gambaran betapa
beragamnya pendapat ulama tersebut, berikut ini dikemukakan pokok-pokok
pendapat ulama dimaksud dalam bentuk ikh tisar. Pendapat-pendapat yang
diikhtisarkan dibatasi hanya berasal dari 15 orang ulama di berbagai zaman. Dari
kelimabelas ulama ini, sepuluh orang di antaranya dikenal sebagai ulama hadis, di
samping juga di antara mere ka ini dikenai di bidang ilmu keislaman tertentu
lainnya. Kelima orang ula ma selebihnya dikenal sebagai ulama usul al-fiqh dan
atau fiqh, di samping dikenal juga di bidang ilmu keislaman tertentu lainnya.
Kesepuluh orang ulama yang disebutkan pertama itu ialah: [1] al-Ha-kim al-
Naysaburiy (wafat 405 H = 1014 M). [2] Ibn al-Şalab (wafat 643 H = 1245 M), [3]
al-Nawawiy (wafat 676 H = 1277 M). (4) Ibn Hajar al-'Asqala nly (wafat 852 H =
1449 M). [5] al-Harawiy (wafat 873 H = 1470 M). [6] al Syawkaniy (wafat 1250
H= 1834 M). [7] Muhammad Mahfuz al-Tirmisiy (wafat 1329 H). [8] Ahmad
Muhammad Syakir. [9] Nur al-Din 'itr, dan (10) Muhammad Aijaj al-Khatib." Lima

1
Dalam kamus bahasa ladonesia, kata adil diartikan sebagai: "[1] tidak berat sebelah (tidak memihak): (2)
sepatutnya; tidak sewenang-wenang:Lebih lanjut, lihat, WJ.S. Poerwadarminta, op. cit., hlm. 16. Kata adil
berasal dari bahasa Arab: oladi. Kata al adlinu sendiri merupakan masdar dari kata kerja adala. Menurut bahasa,
kata oladi memiliki ba nyak arti, antara lain: keadilan (al'adalat atau akudular); pertengahan (aHtidal); lurus (at
istiqamat); condong kepada kebenaran (al-may! ia akhogg). Orang yang bersifat adil disebut cladi, kata
jamaknya: aludul. Lebih lanjut hhat, Ibn Manzur, op. cit., juz XII, hlm. 456 463; al-Fayyumiy, op. cit., Juz. I,
hlm. 470-477; al-Syarif Ally ibn Muhammad al-Jurjaniy (se lanjutnya ditulis sebagai al-Jurjanly), Kitab alta
rifat (Singapura: Al-Haramayn, (tth]), blin 147-148; Luwis Ma'luf, al-Munjid fiy al-Lugot (Beirut: Dar al-
Masyriq, 1873 M. him, 491-492; Abu al-Hasan Aliy ibn Abiy Ally ibn Muhammad al-Amidiy (selanjutnya
ditulis sebagai al Amidiy), al-Ihkam fiy Usul al-Ahkam ([ttp): Muhammad 'Ally Sabih wa Awladuh, 1387 H=
1968 M). Juz 1 blm. 263-264.
orang ulama selebihnya ialah: [1] al-Gazaliy (wafat 505 H = 1111 M). [2] Ibn
Qudamah (wafat 620 H = 1223 M). Al-Amidiy (wafat 631 H=1233 M). [4] Aliy ibn
Muhammad al Jurjaniy (wafat 816 H = 1413 M), dan [5] Muhammad al-Khudariy
Bik (wafat 1927 M).2
Butir-butir kriteria atau syarat yang memiliki kesamaan diletakkan pada ikhtisar
pada kolom yang sama. Sedang butir-butir kriteria atau syarat yang berbeda
diletakkan dalam ikhtisar pada kolom yang berbeda.
Dari kelima belas orang ulama yang pendapatnya diikhtisarkan, telah terhimpun
15 butir syarat bagi periwayat yang bersifat adil. Dari kelima belas butir itu, ternyata
hanya ada seorang ulama saja, yakni Nur al-Din’Itt yang menyebutkan jumlah butir
yang terbanyak, dalam hal ini tujuh butir syarat. Ulama selainnya menyebutkan kurang
dari tujuh butir. Pada umumnya, ulama menyebutkan empat atau lima butir. Al-Hakim
al-Naysaburiy merupakan satu-satunya ulama hadis yang menyebutkan butir yang
tersedikit bagi syarat periwayat yang bersifat adil, yakni tiga butir.
Ulama yang pendapatnya sama, ada dua kelompok. Satu kelompok sama-sama
menyebutkan butir-butir A (beragama Islam), B (balig), C(ber akal), (memelihara
muru'ah), G (tidak berbuat dosa besar, misalnya syirik), H (menjauhi -tidak selalu
berbuat- dosa kecil), dan L (menjauhi hal-hal yang dibolehkan yang dapat merusakkan
muru'ah). Mereka itu adalah al-Syawkaniy dan al-Gazaliy
Butir D (taqwa) disebutkan oleh lima orang ulama. Butir ini mereka kemukakan
ketika mereka menjelaskan pengertian istilah adil (al-adalah). Mereka menyatakan,
yang dimaksud dengan adil (al-'adalah) ialah sifat pribadi seseorang berupa ketaqwaan
kepada Allah dan pemeliharaan muru'ah. Kemudian mereka merinci bentuk taqwa yang
penting. Ibn Hajar merincinya kepada tiga butir, yakni G, I, dan K. Al-Syaukaniy
sependapat dengan al-Gazaliy yang merinci taqwa kepada G, H, dan L. Sedang Nur al
Din ltr sejalan dengan al-Khudariy-Bik yang merinci taqwa kepada butir butir G dan
H.
Kedudukan taqwa sesunggulnya adalah syarat umuri dari seorang yang bersifat
zdil Syarat umum itu dirinci ke beberapa butir. Jadi sesung guhnya kurang tepat bila

2
Pendapat mereka penulis kemukakan juga dalam IKHTISAR II dan dikutip dari kitab mereka masing-masing.
Lihat, Abu al-Hamid ibn Muhammad ibn Muhammad al-Gazaliy (selanjutnya ditulis sebagal al-Gazally), al-
Mustasfa min Thn al-Usul (Mesir. Maktabat al Jadidah, 1391 H = 1971 M), hlm. 182-183; Abu Muhammad
'Abd Allah fon Ahmad ibn Mu hammad ibn Qudamah (selanjutnya ditulis sebagal Ibn Qudamab), al-Mugnly II
Ibn Qu damah (Riyad: Maktabat al-Riyad al-Hadisah, 1401 H= 1981 M), Juz IX, hlm. 167-168; al Amidiy, op.
cit., Juz 1. him. 264; al-Jurjanty, op. cft, hlm. 147; Muhammad al-Khudarty Bik (se lanjutnya ditulis sebagai al-
Khudariy Bik). Usul al-Fiqh (Beirut: Dar al-Fikr, 1401 H = 1981 M), him. 216-217.
butir taqwa dijadikan salah satu syarat yang berdiri sendiri. Karena pada dasarnya,
butir-butir lain yang disebutkan oleh ulama yang pendapatnya dikhtisarkan di atas
adalah bagian dari indi kasi ketaqwaan seseorang diukur dari ajaran Islam.
Tentang butir-butir A (beragama Islam), B (balig), dan C (berakal). jumlah
ulama yang menyebutkannya lebih sedikit daripada yang tidak menye butkannya. Jadi
pada umumnya, ulama tidak menyebutkan ketiga butir syarat di atas secara eksplisit
bagi periwayat yang bersifat adil. Al-Gazaliy dan al-Amidiy tidak menyebutkan ketiga
butir tersebut, karena mereka menempatkan ketiga butir itu pada syarat-syarat umum
periwayatan yang Sapat diterima beritanya.3 Kalau begitu, sesungguhnya al-Gazaliy
dan al Amidiy tidak meniadakan ketiga butir dimaksud sebagai bagian dari sya rat-
syarat periwayat yang bersifat adil. Ulama lainnya tidak menyebutkan ketiga butir itu,
menurut hemat penulis, karena mereka beranggapan bahwa ketiga butir tersebut telah
dimaklumi keharusan adanya.
Dengan demikian dapat dinyatakan, butir A, B, dan C merupakan bagian dari
unsur periwayat yang bersifat adil. Apabila istilah balig (B) dan berakal (Q
digabungkan menjadi satu istilah saja, yakni mukalaf (al mukallaf), maka ketiga butir
itu (A, B, dan Q) dapat diringkas menjadi dua macam, yakni: [1] beragama Islam dan
[2] mukalaf.
Dari kelima belas butir syarat yang dikemukakan dalam ikhtisar II di atas
ternyata hanya ada satu butir saja yang secara eksplisit disebutkan oleh hampir seluruh
ulama. Yakni butir E (memelihara muru'ah)." Hanya al-Hakim saja tidak
menyebutkannya. Sedangkan al-Gazaliy, al-Amidiy, dan al-Syawkanly malah
menyebutkan butir yang mengandung pemeliharaan murah itu sebanyak dua kali yakni
butir E dan L. Pada dasarnya, butir E telah mencakup butir Ljuga.

Disebutkannya butir (memelihara muru'ah) oleh hampir seluruh ulama tersebut


memberikan isyarat, bahwa butir dimaksud merupakan salah satu syarat yang sangat
penting yang harus dimiliki oleh periwayat yang adil Jadi, pemeliharaan muru'ah
merupakan salah satu unsur kaidah ninor periwayat bersijat adil.

Tentang butir-butir G dan H, lebih separuh dari jumlah ulama, yakni masing-
masing sembilan dan delapan orang, telah menyebutkannya. Ke dua butir itu, dilihat

3
Lihat, al-Gazaliy, op. cit., hlm. 180 dan 187; al-Amidiy, op. cit, hlm. 263-264.
dari bubungan logisnya, dapat digabungkan dengan butir-butir F (teguh dalam agama),
1 (tidak berbuat bidah). J (tidak berbuat maksiat). K (tidak berbuat fasiq), dan M (baik
akhlaknya), menjadi satu isti lah saja, yakni melaksanakan ketentuan agama. Karena,
orang yang melak sanakan butir-butir tersebut pada dasarnya adalah orang yang
melaksana kan ketentuan agama, Ketentuan agama itu ada yang berupa perintah dan
ada yang berupa larangan. Orang yang melanggar ketentuan agama ada yang berstatus
berdosa besar dan ada yang berstatus berdosa-kecil." Orang yang melaksanakan
ketentuan agama adalah orang yang teguh pendirian agamanya dan sekaligus memiliki
akhlak yang mulia.
Orang yang melaksanakan ketentuan agama pada dasarnya adalah orang yang
memelihara muru'ah-nya. Hanya saja, tekanan pengertian me laksanakan ketentuan
agama terletak pada pelaksanaan perintah dan penghindaran diri dari larangan agama.
Sedang tekanan pengertian me melihara muru'ah terletak pada pemeliharaan diri dari
perbuatan halal yang bila perbuatan itu dilakukan akan mengurangi kehormatan pribadi
pelakunya di mata masyarakat. Karenanya, kedua butir itu tidak digabung kan.
Adapun butir-butir N (dapat dipercaya beritanya) dan O (biasanya benar) tidak
perlu secara eksplisit dinyatakan sebagai syarat keadilan periwayat. Sebab kedua butir
itu merupakan akibat dari sosok pribadi yang telah memenuhi syarat-syarat yang
disebutkan terdahulu Dengan demikian maka dapat dinyatakan, butir-butir syarat yang
dapat ditetapkan sebagai unsur-unsur kaidah minor periwayat yang adil ialah: [1]
beragama Islam; (2) mukalaf (3) melaksanakan ketentuan agama; dan [4] memelihara
muru'ah.
Secara umum, ulama telah mengemukakan cara penetapan keadilan periwayat
hadis. Yakni, berdasarkan:
a. Popularitas keutamaan periwayat di kalangan ulama hadis; periwayat yang
terkenal keutamaan pribadinya, misalnya Malik ibn Anas dan Sufyan al-Sawriy,
tidak lagi diragukan keadilannya.
b. Pernilaian dari para kritikus periwayat hadis; pernilaian ini berisi pengungkapan
kelebihan dan kekurangan yang ada pada diri periwayat hadis.
c. Penerapan kaidah al-jarh wa al-ta'dil; cara ini ditempuh, bila para laritikus
periwayat hadis tidak sepakat tentang kualitas pribadi periwayat tertentu.4

4
Lihat misalnya, al-Nawawiy, op. cit., hlm. 12; al-Harawiy, op. cit., hlm. 55-56; Ibn
Kasir,Ikhtisar,op.cit.,hlm.35;al-Suyutiy, op. cit., Jilid 1, hlm. 301-302; perbandingkan juga dengan:
Jadi, penetapan keadilan periwayat diperlukan kesaksian dari ulama, dalam hal
ini ulama ahli kritik periwayat. Khusus para sahabat Nabi, hampir seluruh ulama
menilai mereka bersifat adil Karenanya, dalam proses pernilaian periwayat hadis,
pribadi sahabat Nabi tidak dikritik oleh ulama hadis dari segi keadilan sahabat dan
telaah kritis terhadap argumen-argumen itu dikemukakannya.

3. Periwayat Bersifat Dhabith (Tsiqah)


Pengertian dhabith5 menurut istilah telah dikemukakan oleh ulama dalam
berbagai bentuk keterangan. Menurut Ibn Hajar al-Asqalaniy dan al-Sakhawiy,
yang dinyatakan sebagai orang dabit ialah orang yang kuat hafalannya tentang apa
yang telah didengarnya dan mampu menyampaikan hafalannya itu kapan saja dia
mengkehendakinya. Ada pula ulama yang menyatakan, orang dabit ialah orang
yang mendengarkan pembicaraan seharusnya; dia memahami arti pembicaraan itu
secara benar, kemudian dia menghafalnya dengan sungguh-sungguh dan dia ber
hasil hafal dengan sempurna, sehingga dia mampu menyampaikan hafalannya itu
kepada orang lain dengan baik. Sebagian ulama menyatakan, orang yang dobit ialah
orang yang mendengarkan riwayat sebagaimana seharusnya; dia memahaminya
dengan pemahaman yang mendetail kemudian dia bafal secara sempurna; dan dia
memiliki kemampuan yang demikian itu, sedikitaya mulai dari saat dia mendengar
riwayat itu sampai dia menyampaikan riwayat tersebut kepada orang lain. Masih
ada lagi beberapa pernyataan ulama tentang pengertian dabit, yang walaupun
redaksinya berbeda-beda tetapi prinsip-prinsip yang terkandung di dalam nya
banyak kesamaannya.
Apabila berbagai pernyataan ulama tersebut digabungkan, maka bu tir-butir
sifat dabit yang telah disebutkan adalah:
a) Periwayat itu memahami dengan baik riwayat yang telah didengarnya
(diterimanya).
b) Periwayat itu hafal dengan baik riwayat yang telah didengarnya (dite
rimanya).

al-Qasimiy, al-jarh wa al-Ta'dil (Beirut: Mu'assasat al-Risalah, 1399 H = 1979 M), him. 6-9.
5
Lihat misalnya, Ibn al-Salah, op. cit., hlm. 264; al-Syawkaniy, op. cit., hlm. 61; al-Khudariy Bik, op. cit., hlm.
222-223; al-Sakhawiy, al-Mutakallimun fiy al-Rijal (Kairo: Maktabat al Matbu'ch al-Islamiyyah, 1400 H = 1980
M), hlm. 86: Abu al-'Abbas Syihab al-Din Ahmad ibn Muhammad al-Qastalaniy, Irsyad al-Sarty li Syarh Sahih
al-Bukhariy (Beirut: Dar al-Fikr, [th]), hlm. 16.
c) Periwayat itu mampu menyampaikan riwayat yang telah dihafalaya itu
dengan baik [1] kapan saja dia menghendakinya; [2] sampai saat dia
menyampaikan riwayat itu kepada orang lain.

Butir yang disebutkan pertama, tidak semua ulama menyebutkannya.


Butir yang disebutkan kedua, ulama sependapat menyatakannya. Untuk
butir yang disebutkan ketiga (c). pendapat ulama terbagi kepada dua versi;
'ada yang tidak membatasi waktu dan ada yang membatasi waktu.

Ulama yang tidak menyatakan butir yang disebutkan pertama, boleh jadi
mereka tidak mempunyai pertimbangan, bahwa:

1) Apabila seorang periwayat telah hafal dengan baik riwayat yang


diterimanya, maka dengan sendirinya dia telah memahami apa yang
telah dihafalnya itu; atau
2) Yang dipentingkan bagi seorang periwayat adalah hafa.annya dan
bukan pemahamannya tentang apa yang diriwayatkannya.

Pertimbangan yang disebutkan pertama tidak cukup kuat. Karena, orang


yang hafal tidak dengan sendirinya paham akan apa yang telah dihafalnya.
Kalau begitu, pertimbangan yang disebutkan kedua merupakan dasar ke-
dabit-an periwayat menurut sebagian ulama di atas.

Ulama yang lebih hati-hati adalah yang mendasarkan ke-dabit-an bu kan


hanya kepada kemampuan hafalan saja, melainkan juga pada kemam puan
pemahaman. Masalahnya, bila pendapat yang lebih hati-hati itu yang harus
diperpegangi, maka periwayat yang memiliki kemampuan hafalan saja dan
tidak memiliki kecerdasan memahami apa yang telah di hafalaya tidak lagi
termasuk sebagai periwayat yang dobit. Padahal, mere ka itu oleh sebagian
ulama hadis dinyatakan sebagai periwayat yang dabit juga. Kalau begitu,
periwayat yang memiliki kemampuan hafalan dan pemahaman harus
dihargai lebih tinggi tingkat ke-dabit-annya daripada peri wayat yang hanya
memilild kemampuan hafalan saja.

Adapun butir (c) dari syarat ke-dobit-an di atas, walaupun terbagi dua
pendapat, tetapi pada dasarnya kedua pendapat itu sama. Sebab,
kemampuan hafalan yang dituntut dari seorang periwayat, sehingga
karenanya dia dapat dinyatakan sebagai seorang yang dabit, adalah tatkala
periwayat itu menyampaikan riwayat kepada orang lain. Hanya saja,
pendapat yang membatasi secara tegas dengan menunjuk "sampai saat dia
menyampai kan riwayat itu kepada orang lain", merupakan pendapat yang
lebih rasio nal dan hati-hati. Karena bagaimana pun, kemampuan hafalan
seseorang empunyai batas, misalnya pikun atau karena sebab tertentu
lainnya. Periwayat yang mengalami perubahan kemampuan hafalan, tetap
dinyatakan sebagai periwayat yang dabit sampai saat sebelum mengalami
perubahan. Sedang sesudah mengalami perubahan, dia dinyatakan tidak
dabit.

Adapun cara penetapan ke-dabit-an seorang periwayat, menurut


berbagai pendapat ulama, dapat dinyatakan sebagai berikut:

a) Ke-dabit-an periwayat dapat diketahui berdasarkan kesaksian ulama.


b) Ke-dabit-an periwayat dapat diketahui juga berdasarkan kesesuaian
riwayatnya dengan riwayat yang disampaikan oleh periwayat lain yang
telah dikenal ke-dabit-annya Tingkat kesesuaiannya itu mungkin hanya
sampai ke tingkat makna atau mungkin ke tingkat harfiah.
c) Apabila seorang periwayat sekali-sekali mengalami kekeliruan, maka
dia masih dapat dinyatakan sebagai periwayat yang dabit. Tetapi apa
bila kesalahan itu sering terjadi, maka periwayat yang bersangkutan
tidak lagi disebut sebagai periwayat yang dabit.6

Dalam hubungan ini, yang menjadi dasar penetapan ke-dabit-an


periwayat secara implisic ialah hafalannya dan bukan tingkat kepahaman
periwayat tersebut terhadap hadis yang diriwayatkannya.

Kepahaman periwayat akan hadis yang diriwayatkannya tetap sangat


berguna dalam periwayatan hadis, khususnya ketika terjadi perbedaan ri wayat
antara sesama periwayat yang dabit. Dalam keadaan yang demikian ini, maka
periwayat yang paham dan hafal dinilai lebih kuat (rajih) dari pada periwayat
yang sekedar hafal saja. Jadi, bagaimana pun, periwayat yang paham, hafal, dan

6
Lihat, al-Nawawiy, Sahih Muslim bi Syarh al-Nawawiy, op. cit, Juz 1, hlm. 50; al-Harawiy, op. cit, hlm. 56; Ibn
Kasir, op. cit., hlm. 46; al-Khudariy Bik, op. cit., him: 217; al-Khatib, op. cit., him. 232; Şubhiy al-Salih, loc.
mampu menyampaikan hadis yang diriwayatkan nya itu kepada orang lain, akan
tetap mendapat tempat yang lebih tinggi daripada periwayat yang hanya hafal
dan mampu menyampaikan hadis yang diriwayatkannya itu kepada orang lain.

Karena bentuk ke-dabit-an para periwayat yang dinyatakan bersifat


dabit tidak sama, maka seharusnya istilah yang digunakan untuk menyi fati
mereka dibedakan juga. Perbedaan istilah itu dapat berupa sebagai berikut:

a) Istilah dabit diperuntukkan bagi periwayat yang: [1] hafal dengan


sempurna hadis yang diterimanya; [2] mampu menyampaikan dengan
baik hadis yang dihafalnya itu kepada orang lain.
b) Istilah camm al-dabr yang bila diindonesiakan dapat dipakai istilah dabit
plus, diperuntukkan bagi periwayat yang [1] hafal dengan sem purna
hadis yang diterimanya; [2] mampu menyampaikan dengan baik hadis
yang dihafalnya itu kepada orang lain; dan. [3] paham dengan baik hadis
yang dihafalnya itu.

Klasifikasi ini akan sangat berguna bagi bahan analisis di pembahasan,


misalnya ke-syat-an dan ke-'illat-an sanad.

Ke-dabit-an periwayat yang dibahas di atas adalah ke-dabit-an yang


oleh ulama hadis disebut dengan istilah dabit sadr. Di samping itu, ada ligi
ke-debit-an yang diberi istilah dengan dabit kitab. Yang dimaksud dengan
periwayat yang dabit kitab ialah periwayat yang memahami dengan baik
tulisan hadis yang tertulis dalam kitab yang ada padanya; apabila ada
kesalahan tulisan dalam kitab, dia mengetahui letak kesalahannya." Ke
dabit-an katab ini sangat diperlukan bagi periwayat yang tatkala menerima
dan atau menyampaikan riwayat hadis melalui cara al-qira'ah 'ala al-syaykh
ataupun al-ijazah.
B. Argumen-Argumen yang mendasari kaidah keshahehan hadis II
1) Sanad Bersambung
2) Periwayat bersifat Adil.
a. Beragama Islam.
Keislaman merupakan salah satu unsur yang harus dipenuhi oleh
periawayat yang adil, yakni Ketika periwayat itu menyampaikan Riwayat hadis
da bukan Ketika menerimanya.
Ulama berbeda pendapat tentang argument unsur beragama islam ini.
Mayoritas ulama memakai argmen Qur’an, surah al-hujarat (49) ayat 6. Ayat
dimaksud memerintahkan agar berita yang dibawa oleh orang fasiq diselidiki
terlebih dahulu. Dengan menunjuk ayat tersebut, kebanyakan ulama
berpendapat, orang fasiq saja tidak dapat diterima Riwayat hadisnya, apa lagi
orang kafir.7
Kalangan ulama lainnya lagi memakai argumen aksioma (al-badihty).
Mereka menyatakan, hadis itu berkenaan dengan sumber ajaran Islam. Orang
yang tidak beragama Islam, bagaimana mungkin dapat diterima beritanya
tentang sumber ajaran Islam. Hanya orang yang beragama Islam saja yang dapat
diterima beritanya tentang sumber ajaran Islam.
Jadi, argumen-argumen yang mendasari unsur beragama Islam tidak lah
berasal dari dalil naqliy yang sarih, tetapi berasal dari pemahaman ayat dan dalil
logika. Walaupun argumen-argumen tersebut berbeda-beda, teta pi semua
argumen itu saling memperkuat.
b. Berstatus mukalaf.
Argumen yang mendasari unsur berstatus mukalaf (al-mukallaf) ini ti
dak ada yang berupa dalil nagliy yang sarih, dalam arti khusus untuk sya rat
periwayatan hadis. Ulama dalam hal ini menggunakan dalil naqliy yang sifatnya
umum. Yakni, hadis Nabi yang menyatakan bahwa orang gila. orang lupa, dan
anak-anak terlepas dari tanggung jawab. etentuan yang bersifat umum itu
diterapkan juga oleh ulama hadis untuk periwayatan hadis. Hal ini logis.
Karena, orang yang belum atau tidak memiliki tanggung jawab tidak dapat
dituntut apa yang diperbuat atau dikatakannya.

7
Lihat, misalnya: al-Gazaliy, op. cit., hlm. 182; al-Amidly, op. cit. Juz 1, hlm. 261; al-Syaw kaniy, op. cit., hlm.
.45; al-Khatib, op. cit., hlm. 230. Uraian sekitar ayat tersebut dikemuka kan lebih lanjut dalam pembahasan
unsur Melaksanakan Ketentuan Agama.
Terlepas dari dalil hadis di atas, dalam hal ini dapat dinyatakan pula.
bahwa argumen yang mendasari unsur berstatus mukalaf adalah argumen
aksioma juga. Karena, pihak yang tidak berakal, atau dalam status tidak berakal,
beritanya yang bersifat umum saja tidak dapat dipercaya, apalagi beritanya yang
berisi salah satu sumber ajaran agama.
c. Melaksanakan ketentuan Agama
argumen pokok yang mendasari unsur melaksanakan ketentuan agama ialah
firman Allah dalam Surat al-Hujurat (49), 6, yang berbunyi:

‫ٓ ا َٰيُّيه َا ذ ِاَّل ْي َن ٓا َمنُ ْوْٓا ِا ْن َج ۤا َء ُ ُْك فَ ِاس ٌۢق ِبن َ َب ٍا فَ َت َبيذنُ ْوْٓا َا ْن ت ُِص ْي ُب ْوا قَ ْو ًم ۢا ِ َِبه َ ٍَاَل فَ ُت ْص ِب ُح ْوا‬

‫عَ ٰٓل َما فَ َعلْ ُ ُْت نٓ ِد ِم ْ َي‬


Artinya: Wahai orang-orang yang beriman, jika seorang fasik datang kepadamu
membawa berita penting, maka telitilah kebenarannya agar kamu tidak
mencelakakan suatu kaum karena ketidaktahuan(-mu) yang berakibat kamu
menyesali perbuatanmu itu.

Ayat ini memerintahkan agar berita yang berasal dari orang fasiq di teliti
(diselidiki) kebenarannya. Mayoritas ulama menggunakan ayat tersebut sebagai
dalil bahwa riwayat (hadis) yang diriwayatkan oleh orang fasiq harus ditolak."
Ulama berpendapat demikian, tampaknya didasarkan atas pertim bangan bahwa
ayat di atas berkenaan dengan berita dalam arti umum, bukan berkenaan dengan
berita tentang sumber ajaran agama. Berita yang sifatnya umum yang dibawa
oleh orang fasiq haruslah diteliti, maka berita dari orang fastq yang berkenaan
dengan sumber ajaran agama Islam, dalam hal ini hadis Nabi, harus ditolak.8
Apabila ayat di atas dihubungkan dengan sebab turunnya, maka kata
fasiq dalam hal ini berarti orang yang berkata bohong." Sebagian ulama
mengartikan kata fasiq dalam ayat tersebut dengan pendusta. Sebagian ulama
lagi mengartikannya dengan orang yang dikenal berbuat dosa." Pendapat
pendapat tersebut tidak bertentangar. Sebab, orang yang suka berbohong adalah

8
Lihat, misalnya: al-Gazaliy, loc. dt; al-Amidiy, op. cit., Juz 1. hlm. 261 dan 269; al-Suyutiy.Tadrib al-Rawty,
op. cit., Jilid 1, hlm. 300.
orang yang melakukan perbuatan dosa, walaupun tidaklah setiap orang berbuat
dosa disebut sebagai orang fasiq.
Dalam menerapkan petunjuk Quran, kebanyakan ulama menganut ke
tentuan bahwa petunjuk yang berlaku adalah berdasarkan pengertian umum dari
redaksi ayat dan bukan berdasarkan kasus yang terjadi yang bersifat khusus (al-
ibrah bi umum al-lafz la bi khusus al-sabab)." Apabila ke tentuan ini yang
diterapkan, maka ayat di atas tidak hanya berlaku bagi al-Walid ibn 'Uqbah saja,
yakni orang yang telah membuat laporan bohong kepada Nabi, melainkan juga
berlaku bagi orang-orang lain yang melakukan kebohongan.
Jadi, perintah Allah kepada orang-orang yang beriman agar memeriksa
atau meneliti berita yang dibawa oleh orang fasiq tidak hanya berlaku pada
zaman Nabi saja, melainkan juga berlaku pada zaman sesudahnya. Dengan
demikian dapat dinyatakan, bahwa yang mendasari unsur melaksanakan
ketentuan agama bukan hanya argumen naqliy saja, melain kan juga argumen
logika dan kejiwaan.
d. Memelihara muru'ah.
muru'ah merupakan salah satu tata-nilai yang berlaku dalam masya rakat.
Seseorang yang tidak memelihara muru'ah-nya, berarti orang itu telah
mengabaikan salah satu tata-nilai yang berlaku dalam masyarakat. Hal ini dapat
berakibat, orang itu tidak dihargai oleh masyarakat. Orang yang tidak dihargai
oleh masyarakat berkecenderungan melakukan tindakan kompensasi untuk
memperoleh perhatian masyarakat. Boleh jadi, salah satu bentuk
kompensasinya ialah menyampaikan berita bohong. Jadi, argumen-argumen
yang mendasari unsur memelihara muru'ah selain berupa dalil naqtty, juga
berupa dalil logika dan kejiwaan.
e. Seluruh sahabat Nabi dinilai bersifat adil
Kalangan ulama yang secara keras telah menyatakan bahwa seluruh
sahabat Nabi bersifat adil telah mengajukan berbagai argumen. Menurut
mereka, banyak ayat Quran dan hadis Nabi yang memberi petunjuk bahwa
pernilaian tentang sifat tentang adilnya seluruh sahabat Nabi telah meru pakan
ijmak ulama. 9Jadi, menurut kalangan ulama tersebut, argumen argumen yang

9
Lihat, ibid. (al-Asqalanty, hlm. 10-12; Nur al-Din 'lur, hlm. 121-122); al-Sakhawiy, op. cit. Juz III, hlm. 100-
103; fbn al-Salah, op. cit., hlm. 262-265; al-Qurtubiy, op. cit., Juz XVI, hlm. 297-299: al-Suyutiy, op. cit., Jilid
II, hlm. 214-216; al-Syawkaniy, op. cit., him. 61.
mendasari sifat adilnya para sahabat Nabi adalah dalil-dalil Quran, hadis Nabi
dan ijmak ulama. Dalil-dalil Quran dan hadis Nabi yang mereka kutip sebagai
argumen tentang keadilan para sahabat Nabi tersebut memang cukup banyak.
Pada umumnya, dalil-dalil Quran dan hadis Nabi yang mereka kutip, dan pada
uralan berikutnya dalil-dalil tersebut ditelaah satu-persatu, ialah:
a) Ayat-ayat Quran yang termaktub dalam Surat al-Baqarah (2), 143; Surat All
'Imran (3), 110; Surat al-Fath (48), 18 dan 19. Menurut mereka. ayat-ayat
tersebut memberikan petunjuk tentang berbagai keutama an para sahabat Nabi.
Dinyatakan demikian, karena umat Islam yang dimaksud oleh ayat-ayat itu
adalah umat Islam pada zaman Nabi.
b) Sabda-sabda Nabi yang menyatakan tentang: (a) larangan Nabi memaki para
sahabat beliau; dan [b] generasi umat Islam yang paling baik adalah generasi
Nabi, yakni para sahabat Nabi.
3) Periwayat bersifat dhabith.
Ulama hadis pada umumnya tidak menerangkan argumen yang men dasari unsur kaidah
periwayat bersifat dabit. Yang mereka kemukakan umumnya hanya berkenaan dengan
pengertian dabit sebagai salah satuunsur kaidah kesahihan sanad hadis. Imam al-
Syafi'iy dan lain-lain telah meriwayatkan sabda Nabi yang berbunyi:
‫نظرائل عند امسع مناليت حتيهتاووانما وان ها قرب حامليهل رايه ورب حامل هللا اىل من موافقة به‬
)‫(قواه الشافعي من ابن مسعود‬

Artinya: “(Mudah-mudahan) Allah mengaruniakan keelokan wajah kepada hamba


(Nya) yang mendengar sabdaku, kemudian menghafalnya, memeli haranya, dan
menyampaikannya (kepada orang lain). Banyak orang yang menerima pengetahuan
(hadis) (hanya mampu menghafalnya dan) tidak memaharni benar pengetahuan itu; dan
banyak orang yang menerima (hadis) itu (kemudian-menyampaikannya) kepada orang
lain yang (ternyata orang lain itu) lebih paham daripada orang yang
menyampaikannya."

Dari hadis tersebut dapat diperoleh petunjuk, bahwa penerimaan ri wayat hadis
yang lazim terjadi pada zaman Nabi ialah melalui cara al sama. Sedangkan orang yang
menyampaikan hadis (ada' al-hadis) terlebih dahulu harus hafal dan mampu
menyampaikan riwayat hadis yang diteri manya itu kepada orang lain. Periwayat yang
hafal, mampu menyampai kan dan paham dengan mendalam akan hadis yang
diriwayatkannya, dengan sendirinya lebih baik (berbobot) daripada periwayat yang
hanya hafal dan mampu menyampaikan riwayat hadis saja. Dengan demikian dapat
dinyatakan, bahwa penetapan unsur periwa yat bersifat dabit didasarkan kepada
argumen naqliy, dalam hal ini hadis Nabi. Dari hadis Nabi tersebut juga dapat dipahami,
bahwa ada periwayat yang hafal dan mampu menyampaikan riwayat hadis, tetapi dia
tidak (kurang) paham akan kandungannya.
Di samping itu, ada pula periwayat yang hafal, mampu menyampaikan hadis
yang telah dihafalnya dan paham akan kandungan hadis yang diriwayatkannya. Selain
argumen naqliy di atas, argumen yang unsur periwa yat bersifat dabit ialah argumen
sejarah dan argumen logika,Unsur tersebut dinyatakan memiliki argumen sejarah,
karena peri wayatan hadis dalam sejarahnya lebih banyak berlangsung secara lisan
daripada secara tertulis. Periwayatan lisan mengharuskan periwayatnya memiliki
hafalan yang baik. Periwayat yang tidak memiliki hafalan yang baik, sangat sulit
dipercaya kesahihan riwayatnya. 10
Adapun argumen logikanya dapat dinyatakan sebagai berikut: sulit dapat
dipercaya seorang periwayat menyampaikan riwayat ha dis secara lisan (hafalan),
sedang dia sendiri tidak hafal tentang hadis yang diriwayatkannya: sulit dapat dipercaya
seorang periwayat yang menyampaikan hadis secara tertulis, sedang dia sendiri tidak
memahami apa yang termak tub dalam catatan hadisnya; periwayat yang paham, hafal
dan mampu menyampaikan riwayat ha dis lebih dapat dipercaya daripada periwayat
yang hafal dan mampu menyampaikan riwayat hadis tetapi dia tidak memahami hadis
yang diriwayatkannya. Dengan demikian dapat dinyatakan, bahwa argumen-argumen
yang mendasari unsur periwayat bersifat dabit cukup kuat, baik argumen naqliy.
sejarah, maupun logika.

10
Al-Syafi'iy, op. cit, juz III, hlm. 401-403. Nama-nama mukharrij dan sahabat Nabi yang meriwayatkan hadis di
atas, lihat penjelasan Ahmad Muhammad Syakir pada catatan kali nomor 1, hlm. 402. di kitab al-Syafi'iy tersebut.
Lihat pula, misalnya: Ibn Hanbal, op. cit. Juz IV hlm. 80 dan 82, Abu Dawud, op. cit, Juz II, hlm. 322; al-
Turmużiy, op. cit., Juz IV, hlm.141-142; Ibn Majah, op. cit.. Juz 1 him, 85-86; dan al-Raziy, op. cit, Juz II, hlm.
9-11.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kaidah kesahihan sanad hadis yang diciptakan oleh ulama ternyata tidak seragam.
Walaupun demikian, ada kaidah yang telah disepakati oleh mayoritas ulama hadis dan tetap
bertaku sampai sekarang. Setelah diteliti, ternyata kaidah itu memiliki tingkat akurasi yang
tinggi. Kaidah dimaksud menyatakan bahwa suatu sanad hadis barulah dinyatakan
berkualitas sahih. Seluruh periwayat hadis itu bersifat adil. Yakni: (1) beragama islam: (2)
mukalaf; (3) melaksanakan ketentuan agama Islam; dan (4) meme lihara muru’ah. Dan
Seluruh periwayat hadis itu bersifat dabit. Yakni: (1) hafal dengan sempurna hadis yang
diriwayatkannya; dan (2) mampu dengan baik menyampaikan hadis yang dihafalnya itu
kepada orang lain tanpa ada kesalahan. Orang yang memiliki sifat-sifat adil dan dabit
biasanya disebut sebagai orang yang bersifat sigat.

B. Saran
Jadi harapan penulis semoga, dengan adanya mempelajari kaedah-kaedah
mayor dan minor keshahehan hadis II ini kita dapat memahami dan mengerti mataeri-
mataeti dalam hal tersebut.
DAFTAR PUSTAKA

Al-Nawawiy, a. T. (t.thn.). al-Nawawiy usul hadis. hlm. 2.

Al-Syawkaniy. (t.thn.). Asar al-ikhtilaf fiy al-qawa'id al-usuliyyah fiy ikhtilaf al-fuqaha'. hlm. 455-456.

Syuhudi Ismail, D. M. (1988). Kaidah Kesahihan Sanad Hadis . Jakarta: Bulan Bintang.

Anda mungkin juga menyukai