Anda di halaman 1dari 23

1.

PATHWAY

Genetik yang berkurang yang berlebihan

Gangguan metabolisme purin

Gout

Hiperurisemia dan serangan sinovitis


akut berulang-ulang

Penimbunan kristal urat monohidrat


monosodium

Penimbunan asam urat di Penimbunan kristal pada membran


korteks dan reaksi inflamasi sinovia dan tulang rawan
artikular pada ginjal

Terjadi hialinisasi dan fibrosis Erosi tulang rawan, proliferasi


pada glomerulus sinovia, & pembentukan
panus

Pielonefritis, sklerosis arteriolar, Degenerasi tulang


atau nefritis kronis rawan sendi

Terbentuk batu asam urat, gagal Terbentuk tofus serta fibrosis dan
ginjal kroni, hipertensi, & sklerosis ankilosis pada tulang

Perubahan bentuk tubuh pada


tulang & sendi
Nyeri Intoleransi Ansietas
Akut Aktivitas
Gangguan

Citra Tubuh
2. Proses Terjadinya Nyeri

Reseptor nyeri dalam tubuh adalah ujung-ujung saraf telanjang yang ditemukan hampir

pada setiap jaringan tubuh. Impuls nyeri dihantarkan ke Sistem Saraf Pusat (SSP) melalui dua

sistem Serabut. Sistem pertama terdiri dari serabut Aδ bermielin halus bergaris tengah 2-5

µm, dengan kecepatan hantaran 6-30 m/detik. Sistem kedua terdiri dari serabut C tak

bermielin dengan diameter 0.4-1.2 µm, dengan kecepatan hantaran 0,5-2 m/detik. Serabut Aδ

berperan dalam menghantarkan "nyeri cepat" dan menghasilkan persepsi nyeri yang jelas,

tajam dan terlokalisasi, sedangkan serabut C menghantarkan "nyeri lambat" dan menghasilkan

persepsi samar-samar, rasa pegal dan perasaan tidak enak. Pusat nyeri terletak di talamus,

kedua jenis serabut nyeri berakhir pada neuron traktus spinotalamus lateral dan impuls nyeri

berjalan ke atas melalui traktus ini ke nukleus posteromidal ventral dan posterolateral dari

talamus. Dari sini impuls diteruskan ke gyrus post sentral dari korteks otak (Rahmatul Fitriani,

2015).

3. Pengukuran Skala Nyeri

Menurut Black & Hawks, 2014 (dalam Mulyanto dkk, 2014) intensitas nyeri merupakan

gambaran tentang seberapa parah nyeri dirasakan oleh individu. Pengukuran intensitas nyeri

sangat subjektif dan individual. Intensitas nyeri yang dirasakan setiap individu berbeda-beda.

Respon nyeri secara subjektif dideskripsikan dengan nyeri ringan, nyeri sedang, dan nyeri

parah. Mendeskripsikan nyeri berbeda antara perawat dan pasien. Skala deskriptif merupakan

alat pengukuran tingkat keparahan nyeri yang lebih objektif. Sebelum melakukan manajemen

nyeri, perlu dilakukan penilaian atau asesment intesitasnya. Intensitas nyeri adalah gambaran

tentang seberapa parah nyeri dirasakan oleh individu, pengukuran intensitas nyeri sangat

subyektif dan individual, serta kemungkinan nyeri dalam intensitas yang sama dirakan sangat

berbeda oleh dua orang yang berbeda. Banyak cara untuk menentukan intensitas nyeri, namun

yang paling sederhana ada 2 macam yakni; Numeric Rating Scale (NRS) dan Faces Scale dari

Wong-Backer (Mubarak, Indrawati and Susanto, 2015):

a. Skala nyeri deskriptif


Skala nyeri deskriptif merupakan alat pengukuran tingkat keparahan nyeri yang

objektif. Skala ini juga disebut sebagai skala pendeskripsian verbal Verbal descriptor

scale (VDS) merupakan garis yang terdiri tiga sampai lima kata pendeskripsian yang

tersusun dengan jarak yang sama disepanjang garis. Pendeskripsian ini mulai dari “tidak

terasa nyeri” sampai “nyeri tak tertahankan”, dan klien diminta untuk menunjukkan

keadaan yang sesuai dengan keadaan nyeri saat ini.

Gambar 2.1. Skala Nyeri Deskriptif

b. Numerical rating scale (NRS) (Skala numerik angka)

Pasien menyebutkan intensitas nyeri berdasarkan angka 0 – 10. Titik 0 berarti tidak

nyeri, 5 nyeri sedang, dan 10 adalah nyeri berat yang tidak tertahankan. NRS digunakan

jika ingin menentukan berbagai perubahan pada skala nyeri, dan juga menilai respon

turunnya nyeri pasien terhadap terapi yang diberikan. Jika pasien mengalami disleksia ,

autism, atau geriatri yang demensia maka ini bukan metode yang cocok.

Gambar 2.2 Numerik rating scale

c. Faces scale (Skala wajah)

Pasien disuruh melihat skala gambar wajah. Gambar pertama tidak nyeri (anak tenang)

kedua sedikit nyeri dan selanjutnya lebih nyeri dan gambar paling akhir, adalah orang

dengan ekpresi nyeri yang sangat berat. Setelah itu, pasien disuruh menunjuk gambar
yang cocok dengan nyerinya. Metode ini digunakan untuk pediatri, tetapi juga dapat

digunakan pada geriatri dengan gangguan kognitif.

Gambar 2.3 Faces scale

d. Intensitas skala nyeri

Menurut Judha (2012) menyatakan secara umum level nyeri dibagi menjadi atas 5

bagian yaitu:

1. 0 : Tidak Nyeri

2. 1-2 : Nyeri Ringan

3. 3-5 : Nyeri Sedang

4. 6-7 : Nyeri Berat

5. 8-10 : Nyeri Yang Tidak Tertahankan

4. Komplikasi

Terdapat beberapa komplikasi pada penyakit gout arthritis ini yaitu:

a. Deformitas pada persendian yang terserang

b. Urolitiasis akibat deposit Kristal urat pada saluran kemih

c. Nephrophaty akibat deposit Kristal urat dalam intertisial ginjal

d. Hipertensi ringan

e. Proteinuria

f. Hyperlipidemia

g. Gangguan parenkim ginjal dan batu ginjal (Aspiani, 2014).

Penyakit ginjal dapat terjadi pada pasien gout yang tidak ditangani, terutama ketika

hipertensi juga ada. Kristal urat menumpuk di jaringan interstisial ginjal. Kristal asam urat

juga terbentuk dalam tubula pengumpul, pelvis ginjal, dan ureter, membentuk batu. Batu dapat

memiliki ukuran yang beragam dari butiran pasir hingga struktur masif yang mengisi ruang
ginjal. Batu asam urat dapat berpotensi mengobstruksi aliran urine dan menyebabkan gagal

ginjal akut (LeMone, 2015).

5. Pemeriksaan Penunjang

1. Serum asam urat

Umumnya meningkat, diatas 7,5 mg/dl. Pemeriksaan ini mengindikasikan hiperurisemia,

akibat peningkatan produksi asam urat atau gangguan ekskresi.

2. Leukosit

Menunjukkan peningkatan yang signifikan mencapai 20.000/mm3 selama serangan akut.

Selama periode asimtomatik angka leukosit masih dalam batas normal yaitu 5000-

10000/mm3.

3. Eusinofil Sedimen Rate (ESR)

Meningkat selama serangan akut. Peningkatan kecepatan sedimen rate mengindikasikan

proses inflamasi akut, sebagai akibat deposit asam urat di persendian.

4. Urin specimen 24 jam

Urin dikumpulkan dan diperiksa untuk menentukan prosuksi dan ekskresi.Jumlah normal

seorang mengekskresikan 250-750 mg/24/jam asam urat di dalam urin. Ketika produksi

asam urat meningkat maka level asam urat urin meningkat. Kadar kurang dari 800 mg/24

jam mengindikasikan gangguan ekskresi pada pasien dengan peningkatan serum asam

urat. Intruksikan pasien untuk menampung semua urin dengan feses atau tisu toilet selama

waktu pengumpulan. Biasanya diet purin normal direkomendasikan selama pengumpulan

urin meskipun diet bebas purin pada waktu itu diindikasikan.

5. Analisis cairan aspirasi sendi

` Analisis cairan aspirasi dari sendi yang mengalami inflamasi akut atau material aspirasi

dari sebuah tofi menggunakan jarum kristal urat yang tajam, memberikan diagnosis

definitif gout.

6. Pemeriksaan radiografi

Pada sendi yang terserang, hasil pemeriksaan menunjukkan tidak terdapat perubahan pada
awal penyakit, tetapi setelah penyakit berkembang progresif maka akan terlihat jelas/area

terpukul pada tulang yang berada di bawah sinavial sendi (Aspiani, 2014).

6. Penatalaksanaan

1. Farmakologis

a. Stadium I (Asimtomatik)

1) Biasanya tidak membutuhkan pengobatan.

2) Turunkan kadar asam urat dengan obat-obat urikosurik dan penghambat xanthin

oksidase.

b. Stadium II (Artritis Gout akut)

1) Kalkisin diberikan 1 mg (2 tablet) kemudian 0,5 mg (1 tablet) setiap 2 jam sampai

serangan akut menghilang.

2) Indometasin 4 x 50 mg sehari.

3) Fenil butazon 3 x 100-200 mg selama serangan, kemudian diturunkan.

4) Penderita ini dianjurkan untuk diet rendah purin, hindari alkohol dan obat- obatan

yang menghambat ekskresi asam urat.

c. Stadium III (Interkritis)

1) Hindari faktor pencetus timbulnya serangan seperti banyak makan lemak, alkohol dan

protein, trauma dan infeksi.

2) Berikan obat profilaktik (Kalkisin 0,5-1 mg indometasin tiap hari).

d. Stadium IV (Gout Kronik)

1) Alopurinol 100 mg 2 kali/hari menghambat enzim xantin oksidase sehingga

mengurangi pembentukan asam urat.

2) Obat-obat urikosurik yaitu prebenesid 0,5 g/hari dansulfinpyrazone (Anturane) pada

pasien yang tidak tahan terhadap benemid.

3) Tofi yang besar atau tidak hilang dengan pengobatan konservatif perlu dieksisi

(Aspiani, 2014).
2. Non Farmakologis

Penyakit asam urat memang sangat erat kaitannya dengan pola makan seseorang.

Pola makan yang tidak seimbang dengan jumlah protein yang sangat tinggi merupakan

penyebab penyakit ini. Meskipun demikian, bukan berarti penderita asam urat tidak boleh

mengkonsumsi makanan yang mengandung protein asalkan jumlahnya dibatasi. Selain itu,

pengaturan diet yang tepat bagi penderita asam urat mampu mengontrol kadar asam dan

urat dalam darah. Berkaitan dengan diet tersebut, berikut ini beberapa prinsip diet yang

harus dipatuhi oleh penderita asam urat.

a. Membatasi asupan purin atau rendah purin

Pada diet normal, asupan purin biasanya mencapai 600-1000 mg per hari. Namun

penderita asam urat harus membatasi menjadi 120-150 mg per hari. Purin merupakan

salah satu bagian dari protein. Membatasi asupan purin berarti juga mengurangi

konsumsi makanan yang berprotein tinggi. Asupan protein yang dianjurkan bagi

penderita asam urat sekitar 50-70 gram bahan mentah per hari atau 0,8-1 gram/kg berat

badan/hari

b. Asupan energi sesuai dengan kebutuhan

Jumlah asupan energi harus disesuaikan dengan kebutuhan tubuh berdasarkan

pada tinggi badan dan berat badan.

c. Mengonsumsi lebih banyak karbohidrat

Jenis karbohidrat yang dianjurkan untuk dikonsumsi penderita asam urat adalah

karbohidrat kompleks seperti nasi, singkong, roti, dan ubi. Karbohidrat kompleks ini

sebaiknya dikonsumsi tidak kurang dari 100 gram per hari, yaitu sekitar 65-75% dari

kebutuhan energi total.

d. Mengurangi konsumsi lemak

Makanan yang mengandung lemak tinggi seperti jeroan, seafood, makanan yang

digoreng, makanan yang bersantan, margarin, mentega, avokad, dan durian sebaiknya

dihindari. Konsumsi lemak sebaiknya hanya 10-15% kebutuhan energi total.


A. KONSEP DASAR LANSIA

1. Pengertian Lansia

Lanjut usia adalah bagian dari proses tumbuh kembang. Manusia

tidak secara tiba-tiba menjadi tua, tetapi berkembang dari bayi, anak-anak

dan dewasa akhirnya menjadi tua. Hal ini normal, dengan perubahan fisik

dan tingkah laku yang dapat diramalkan yang terjadi pada semua orang pada

saat mereka mencapai usia tahap perkembangan kronologis tertentu. Lansia

merupakan suatu proses alami yang ditentukan oleh Tuhan Yang Maha Esa.

Semua orang akan mengalami proses menjadi tua dan masa tua merupakan

masa hidup manusia yang terakhir. Dimana saat ini seseorang mengalami

kemunduran fisik, mental dan sosial secara bertahap ( Azizah, 2011).

Menjadi tua merupakan proses alamiah yang berarti seseorang

melalui tahap tahap kehidupannya yaitu nenonatus toddler, praschool,

remaja,dewasa dan lansia terhadap beberapa ini dimulai baik secara biologis

maupun psikologis (Padila, 2013). Menurut komisi nasional lansia dengan

semakin meningkatnya penduduk lansia, dibutuhkan perhatian dari semua

pihak dalam mengantisipasi berbagai permasalahan yang berkaitan penuaan

penduduk. Penuaan penduduk membawa berbagai implikasi baik dari aspek

social, ekonomi, hukum, politik dan terutama kesehatan (Komisi Lansia,

2010).
2. Karakteristik Lansia

Menurut Budi Ana Keliat (1999), lansia memiliki karakteristik

sebagai berikut :

a. Berusia lebih dari 60 th (sesuai pasal 1 ayat (2) UU No. 13 ttg kesehatan).

b. Kebutuhan dan masalah yang bervariasi dari rentang sehat sampai sakit,

dari kebutuhan biopsikososial sampai spiritual serta dari kondisi adaptif

hingga maladaptif.

c. Lingkungan tempat tinggal yang bervariasi.

3. Batasan Lanjut Usia

a. Pra usia lanjut (prasenilis)

Seseorang yang berusia 45-59 tahun

b. Lanjut usia

Seseorang yang berusia 60 tahun atau lebih. Usia lanjut adalah

tahap masa tua dalam perkembangan individu (usia 60 tahun keatas).

Sedangkan lanjut usia adalah sudah berumur atau tua.

c. Usia lanjut Resiko Tinggi

Seseorang yang berusia 70 tahun atau lebih atau seseorang yang

berusia 60 tahun atau lebih dengan masalah kesehatan

d. Usia lanjut Potensial

Usia lanjut yang masih mampu melaksanakan pekerjaan dan atau

kegiatan yang dapat menghasilkan barang/jasa.

4. Perubahan Perubahan yang Terjadi Pada Lansia

Perubahan yang Terjadi pada Lansia meliputi perubahan fisik, sosial,

dan psikologis.
a. Perubahan Fisik

1. Perubahan sel dan ekstrasel pada lansia mengakibatkan penurunan

tampilan dan fungsi fisik. lansia menjadi lebih pendek akibat adanya

pengurangan lebar bahu dan pelebaran lingkar dada dan perut, dan

diameter pelvis. Kulit menjadi tipis dan keriput, masa tubuh

berkurang dan masa lemak bertambah.

2. Perubahan kardiovaskular yaitu pada katup jantung terjadi adanya

penebalan dan kaku, terjadi penurunan kemampuan memompa

darah (kontraksi dan volume) elastisistas pembuluh darah menurun

serta meningkatnya resistensi pembuluh darah perifer sehingga

tekanan darah meningkat.

3. Perubahan sistem pernapasan yang berhubungan dengan usia yang

mempengaruhi kapasitas fungsi paru yaitu penurunan elastisitas

paru, otototot pernapasan kekuatannya menurun dan kaku, kapasitas

residu meningkat sehingga menarik nafas lebih berat, alveoli

melebar dan jumlahnya menurun, kemampuan batuk menurun dan

terjadinya penyempitan pada bronkus.

4. Perubahan integumen terjadi dengan bertambahnya usia

mempengaruhi fungsi dan penampilan kulit, dimana epidermis dan

dermis menjadi lebih tipis, jumlah serat elastis berkurang dan

keriput serta kulit kepala dan rambut menipis, rambut dalam hidung

dan telinga menebal, vaskularisasi menurun, rambut memutih

(uban), kelenjar keringat menurun, kuku keras dan rapuh serta kuku

kaki tumbuh seperti tanduk.


5. Perubahan sistem persyarafan terjadi perubahan struktur dan fungsi

sistem saraf. Saraf pancaindra mengecil sehingga fungsi menurun

serta lambat dalam merespon dan waktu bereaksi khususnya yang

berhubungan dengan stress, berkurangnya atau hilangnya lapisan

mielin akson sehingga menyebabkan berkurangnya respon motorik

dan refleks.

6. Perubahan musculoskeletal sering terjadi pada wanita pasca

monopause yang dapat mengalami kehilangan densitas tulang yang

masif dapat mengakibatkan osteoporosis, terjadi bungkuk (kifosis),

persendian membesar dan menjadi kaku (atrofi otot), kram, tremor,

tendon mengerut dan mengalami sklerosis.

7. Perubahan gastroinstestinal terjadi pelebaran esofagus, terjadi

penurunan asam lambung, peristaltik menurun sehingga daya

absorpsi juga ikut menurun, ukuran lambung mengecil serta fungsi

organ aksesoris menurun sehingga menyebabkan berkurangnya

produksi hormon dan enzim pencernaan.

8. Perubahan genitourinaria terjadi pengecilan ginjal, pada aliran darah

ke ginjal menurun, penyaringan di glomerulus menurun dan fungsi

tubulus menurun sehingga kemampuan mengonsentrasikan urine

ikut menurun.

9. Perubahan pada vesika urinaria terjadi pada wanita yang dapat

menyebabkan otot-otot melemah, kapasitasnya menurun, dan

terjadi retensi urine.

10. Perubahan pada pendengaran yaitu terjadi membran timpani atrofi

yang dapat menyebabkan ganguan pendengaran dan tulang-tulang

pendengaran mengalami kekakuan.


11. Perubahan pada penglihatan terjadi pada respon mata yang menurun

terhadap sinar, adaptasi terhadap menurun, akomodasi menurun,

lapang pandang menurun, dan katarak.

b. Perubahan Psikologis

Pada lansia dapat dilihat dari kemampuanya beradaptasi terhadap

kehilangan fisik, sosial, emosional serta mencapai kebahagiaan,

kedamaian dan kepuasan hidup.ketakutan menjadi tua dan tidak mampu

produktif lagi memunculkan gambaran yang negatif tentang proses

menua. Banyak kultur dan budaya yang ikut menumbuhkan anggapan

negatif tersebut, dimana lansia dipandang sebagai individu yang tidak

mempunyai sumbangan apapun terhadap masyarakat dan memboroskan

sumber daya ekonomi

c. Perubahan Kognitif

Pada lansia dapat terjadi karena mulai melambatnya proses

berfikir, mudah lupa, bingung dan pikun. Pada lansia kehilangan jangak

pendek dan baru merrupakan hal yang sering terjadi

d. Perubahan Sosial,

Post power syndrome, single woman,single parent, kesendirian,

kehampaan, ketika lansia lainnya meninggal, maka muncul perasaan

kapan meninggal

5. Tipe Lansia

a. Tipe arif Bijaksana

Kaya dengan hikmah, pengalaman, menyesuaikan diri dengan

perubahan zaman, mempunyai kesibukan, bersikap ramah, rendah hati,

sederhana, dermawan memenuhi undangan dan menjadi panutan.

b. Tipe mandiri
Mengganti kegiatan yang hilang dengan yang baru, selektif dalam

mencari pekerjaan, teman bergaul dan memenuhi ruangan.

c. Tipe Tidak Puas

Konflik lahir batin menentang proses penuaan sehingga menjadi

pemarah, tidak sabar, mudah tersinggung, sulit dilayani, pengkritik dan

banyak menuntut.

d. Tipe Pasrah

Menerima dan menunggu nasib baik, mengikuti kegiatan agama,

ringan kaki, pekerjaan apa saja dilakukan

e. Tipe bingung

Kaget, kehilangan kepribadian, mengasingkan diri, minder,

menyesal, pasif acuh tak acuh. Tipe lain dari usia lanjut : Tipe optimis,

Tipe konstruktif, Tipe dependen (ketergantungan), Tipe defensif

(bertahan) tipe militan dan serius, tipe marah / frustasi (kecewa akibat

kegagalam dalam melakukan sesuatu), Tipe putus asa (benci pada diri

sendiri).

6. Tugas perkembangan Lansia

Kesiapan lansia untuk beradaptasi terhadap tugas perkembangan

lansia dipengaruh oleh proses tumbang pada tahap sebelumnya.

a. Mempersiapkan diri untuk kondisi yang menurun

b. Mempersiapkan diri untuk pensiun

c. Membentuk hubungan baik dengan orang seusianya

d. Mempersiapkan kehidupan baru

e. Melakukan penyesuaian terhadap kehiduan sosial/masyarakat secara santai

f. Mempersiapkan diri untuk kematiannya dan kematian pasangan.


B. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan Asam urat

A. Pengkajian
1. pengumpulan data
a. Identitas
Nama, umur, agama, jenis kelamin, tanggal masuk dan penanggung jawab.
b. Riwayat kesehatan
a) Riwayat kesehatan dahulu
Apakah klien pernah mengalami sakit yang sangat berat.
b) Riwayat kesehatan sekarang
Beberapa hal yang harus diungkapkan pada setiap gejala
yaitu sakit kepala,kelelahan,pundak terasa berat.
c. Riwayat kesehatan keluarga
Apakah keluarga pernah mengalami penyakit yang sama.
d. Aktivitas / istirahat
1. Gejala: kelelahan, letih, nafas pendek, gaya hidup monoton.
2. Tanda : frekuensi jantung meningkat, perubahan irma
jantung, dan takipnea.

e. Sirkulasi
1. Gejala: riwayat penyakit, aterosklerosis, penyakit jantung
koroner, dan penyakit serebrovaskuler. Dijumpai pula episode
palpitasi.
1. Tanda : Kenaikan TD (pengukuran serial dari tekanan darah)
diperlukan untuk menegakkan diagnosis. Hipertensi postural
mungkin berhubungan dengan regimen obat.
f. Integritas Ego
1. Gejala : riwayat kepribadian, ansietas, faktor stress multiple
(hubungan keuangan, yang berkaitan dengan pekerjaan)
1. Tanda : letupan suasana hati, gelisah, penyempitan continue
perhatian, tangisan meledak, otot muka tegang, pernapasan
menghela, peningkatan pola bicara.
g. Eliminasi
Gejala : adanya gangguan ginjal saat ini atau (seperti
obstruksi atau riwayat penyakit ginjal pada masa lalu.
h. Makanan/cairan
Gejala : makanan yang disukai dapat mencakup makanan
tinggi garam, tinggi lemak, tinggi kolesterol (seperti makanan
yang di goreng, keju, telur), gula-gula yang berwarna hitam,
dan kandungan tinggi kalori, mual, muntah dan perubahan BB
meningkat / turun, riwayat penggunaan obat diuretik.

i. Neurosensori
Gejala : keluhan pusing, berdenyut, sakit kepala suboksipita
( terjadinya saat bangun dan menghilang secara spontan setelah
beberapa jam, gangguan penglihatan (diplobia, penglihatan
kabur, epistakis).
j. Nyeri / ketidaknyamanan
Gejala : Angina (penyakit arteri koroner / keterlibatan
jantung), sakit kepala oksipital berat, seperti yang pernah
terjadi sebelumnya.
k. Pernapasan
1. Gejala: dispnea yang berkaitan dengan aktivitas atau kerja.
Takipnea, orthopnea, dispnea, batuk dengan atau tanpa
pembentukan sputum, riwayat merokok.
2. Tanda : distress respirasi atau penguunaan otot aksesori
pernapasan, bunyi nafas tambahan (krakles / mengi),
sianosis
l. Keamanan
Gejala : gangguan koordinasi / cara berjalan, hipotensi postural.
2. Pola fungsi kesehatan
1. Pola persepsi dan tata laksana hidup sehat
Menggambarkan persepsi, pemeliharaan, dan penanganan kesehatan
2. Pola nutrisi
Menggambarkan masukan nutrisi, balance cairan, dan elektrolit,
nafsu makan, pola makan, diet, kesulitan menelan,mual/muntah, dan
makanan kesehatan.
3. Pola tidur dan istirahat
Menggambarkan pola tidur, istirahat, dan persepsi terhadap
energy, jumlah tidur pada siang dan malam, masalah tidur, dan
insomnia
4. Pola aktivitas dan istirahat
Menggambarkan pola latihan, aktivitas, fungsi pernafasan,
dan sirkulasi. Riwayat penyakit jantung, frekuensi, irama, dan
kedalaman pernafasan.
5. Pola aktivitas dan istirahat

Menggambarkan pola latihan, aktivitas, fungsi pernafasan, dan

sirkulasi. Riwayat penyakit jantung, frekuensi, irama, dan kedalaman

pernafasan

Tabel 2.2 Pengkajian Indeks KATZ

Skor INTERPRETASI

A Kemandirian dalam hal makan, minum, kontinen (BAB/BAK),


berpindah, kekamar kecil, berpakaian dan mandi

B Kemandirian dalam aktivitas hidup sehari-hari, kecuali satu dari


fungsi tersebut

C Kemandirian dalam aktivitas hidup sehari-hari, kecuali mandi dan satu


fungsi tambahan

D Kemandirian dalam aktivitas hidup sehari-hari, kecuali


mandi,berpakaian dan satu fungsi tambahan

E Kemandirian dalam aktivitas hidup sehari-hari, kecuali mandi,


berpakaian, kekamar kecil, dan satu fungsi tambahan

F Kemandirian dalam aktivitas hidup sehari-hari, kecuali berpakaian,


kekamar kecil, berpindah dan satu fungsi tambahan

Lain- Ketergantungan pada sedikitnya dua fungsi tetapi tidak dapat


lain diklasifikasikan sebagai C,D dan E

6. Pola hubungan dan peran


Menggambarkan dan mengetahui hubungan dan peran klien terhadap
anggota keluarga dan masyarakat tempat tinggal, pekerjaan, tidak punya
rumah, dan masalah keuangan.

Tabel 2.3 Pengkajian APGAR Keluarga (Tabel APGAR Keluarga)

No Item Penilaian Selalu Kadang- Tidak


(2) kadang pernah
(1) (0)

1. A : adaptasi
Saya puas bisa kembali pada keluarga
(teman-teman) saya untuk membantu
apabila saya mengalami kesulitan
( adaptasi )

2. P : Partnership
Saya puas dengan cara keluarga
( teman-teman ) saya membicarakan
sesuatu dan mengungkapkan masalah
dengan saya ( hubungan )

3. G : Growth
Saya puas bahwa keluarga ( teman-
teman ) saya menerima dan
mendukung keinginan saya untuk
melakukan aktivitas ( pertumbuhan )

4. A : Afek
Saya puas dengan cara keluarga
( teman-teman ) saya mengekspresikan
afek dan berespon terhadap emosi saya
seperti, marah sedih, atau mencintai
5. R : Resolve
Saya puas dengan cara teman dan
keluarga saya dan saya menyediakan
waktu bersama-sama mengekspresikan
afek dan berespon

Keterangan :
Total nilai < 3 : disfungsi keluarga yang sangat
tinggi Total nilai 4 – 6 : disfungsi keluarga
sedang
Total nilai 7 – 10 : tidak ada disfungsi keluarga
7. Pola sensori dan kognitif
Menjelaskan persepsi sensori dan kognitif, pola persepsi sensori
meliputi pengkajian penglihatan, pendengaran,perasaan, dan pembau. Pada
klien katarak dapat ditemukan gejala gangguan penglihatan perifer,
kesulitan memfokuskan kerja dengan merasa diruang gelap. Sedangkan
tandanya adalah tampak kecoklatan atau putih susu pada pupil, peningkatan
air mata.

Tabel 2.4 Pengkajian Status Mental

Tabel Short Portable Mental Status Quesioner (SPMSQ)

Skor
+ - No Pertanyaan Jawaban
1 Tanggal berapa hari ini?
2 Hari apa sekarang?
3 Apa nama tempat ini?
4 Dimana alamat anda?
5 Kapan anda lahir?
6 Berapa umur anda?
7 siapa presiden Indonesia
sekarang?
8 Siapa presiden sebelumnya?
9 Siapa nama anak anda?
10 Siapa nama ibu anda?
Jumlah Kesalahan Total
Kesimpulan :

1. Kesalahan 0 – 2 = Fungsi Intelektual Utuh


2. Kesalahan 3 – 4 = Kerusakan Intelektual Ringan
3. Kesalahan 5 – 7 = Kerusakan Intelektual Sedang
4. Kesalahan 8 – 10 = Kerusakan Intelektual Berat
Keterangan :
a. Bisa dimaklumi bila lebih dari 1 ( satu ) kesalahan bila subyek hanya
berpendidikan SD
b. Bisa dimaklumi bilang kurang dari 1 ( satu ) kesalahan bila subyek
mempunyai pendidikan lebih dari SD
c. Bisa dimaklumi bila lebih dari 1 ( satu ) kesalahan untuk subyek kulit hitam
dengan menggunakan kriteria pendidikan yang lama.

8. Pola persepsi dan konsep diri


Menggambarkan sikap tentang diri sendiri dan persepsi terhadap
kemampuan konsep diri. Konsep diri menggambarkan gambaran harga diri,
peran, identitas diri. Manusia sebagai sistem terbuka makhluk bio-psiko-sosio-
kultural-spritual, kecemasan, ketakutan, dan dampak terhadap sakit. Pengkajian
tingkat depresi menggunakan Tabel Inventaris Depresi Back
9. Pola seksual dan reproduksi
Menggambarkan kepuasan/masalah terhadap seksualitas.
10. Pola mekanisme/penanggulangan stress dan koping
Menggambarkan kemampuan untuk menangani stress
11. Pola tata nilai dan kepercayaan
Menggambarkan dan menjelaskan pola, nilai keyakinan termasuk spiritual( Aspiani, 2014 ).
2. Diagnosa Keperawatan

a. Nyeri akut (D.0077)

b. Intoleransi Aktivitas (D.0056)

3. Perencanaan / Intervnsi Keperawatan

1. Nyeri Akut

Tujuan :setelah dilakukan intervensi keperawatan selama 3x24 jam

dilaporkan tingkat nyeri menurun dengan

Kriteria Hasil :

a. Keluhan nyeri dari cukup meningkat 2 menjadi cukup menurun 4

b. Meringis dari cukup meningkat 2 menjadi cukup menurun 4

c. Kesulitan tidur dari cukup meningkat 2 menjadi cukup menurun 4

Intervensi :Manajemen nyeri (I.08238)

a. Observasi:

1) Identifikasi lokasi, karakteristik, frekuensi, kualitas, intensitas

nyeri

2) Identifikasi skala nyeri

3) Identifikasi faktor yang memperberat dan memperingan nyeri

a. Terapeutik : Berikan teknik non farmakologis untuk mengurangi rasa

nyeri, fasilitasi istirahat dan tidur

b. Edukasi : jelaskan strategi meredakan nyeri

c. Kolaborasi : Kolaborasi pemberian analgeti, jika perlu

2. Intoleransi Aktivitas (D.0056)


Tujuan : setelah dilakukan intervensi keperawatan selama 3x24 jam

dilaporkan toleransi aktivitas meningkat dengan

Kriteria Hasil :

Intervensi : Manajemen energi (1.05178)

a) Observasi

-Identifikasi gangguuan fungsi tubuh yang mengakibatkan

kelelahan

-Monitor kelelahan fisik dan emosional

-Monitor pola dan jam tidur

b) Terapeutik

-Sediakan lingkungan yang nyaman

-berikan aktivitas distraksi yang menyenangkan

c) Edukasi

-Anjurkan tirah baring

-Anjurkan melakukan aktivitas secara bertahap

d) Kolaborasi

Kolaborasi dengan ahli gizi tentang cara meningkatkan asupan

makanan

4. Implementasi

Menurut Nursalam (2013) adapun sebagai berikut:

Implementasi adalah pelaksanaan dari rencana intervensi untuk


mencapai tujuan yang pesifik. Tahap Implementasi dimulai

setelah rencana intervensi disusun dan ditujukan padanursing

order untuk membantu klien mencapai tujuan yang diharapkan.

Oleh karena itu rencana intervensi yang spesifik dilaksanakan

untuk memodifikasi faktor -faktor yang mempengaruhi masalah

kesehatan klien.

Tujuan dari implementasi adalah membantu klien dalam

mencapai tujuan yang telah ditetapkan yang mencakup

peningkatan kesehatan. pencegahan penyakit, pemulihan

kesehatan, dan memfasilitasi koping perencanaan asuhan

keperawatan akan dapat dilaksanakan dengan baik, jika klien

mempunyai keinginan untuk berpartisipasi dalam implementasi

keperawatan. Selama tahap implementasi, perawat melakukan

pengumpulan data dan memilih asuhan keperawatan yang paling

sesuai dengan kebutuhan klien.

5. Evaluasi

Evaluasi adalah tindakan intelektual untuk melengkapi

proses keperawatan yangmenandakan keberhasilan dari diagnosis

keperawatan, rencana intervensi,dan implementasi. Tujuan

evaluasi adalah untuk melihat kemampuan klien dalam mencapai

tujuan. Hal ini dapat dilakukan dengan melihat respon klien

terhadap asuhan keperawatan yang diberikan sehingga perawat

dapat mengambil keputusan (Nursalam, 2013).


DAFTAR PUSTAKA

Ganong W. F McpheeStephen. (2010). Patofisiologi Penyakit Edisi 5. EGC : Jakarta

Http://sectiocadaveris.wordpress.com/artikel-kedokteran/patofisiologi-asam urat-arthritis/

Prince, Sylvia, Wolson M. Lerradne. (2006). Patofisiologi Konsep Klinis, Proses Penyakit.
EGC : Jakarta

Smeltzer G. E . (2006). Keperawatan Medikal Bedah Edisi 8 . EGC : Jakarta

Wilkinson, M. Judith. (2007). Buku saku Diagnosis Keperawatan dengan Intervensi SDKI dan
Kriteria Hasil SIKI. EGC : Jakarta

Anda mungkin juga menyukai