Anda di halaman 1dari 5

Konsep tentang Tuhan[sunting 

| sunting sumber]
Tidak ada kesepahaman mengenai konsep ketuhanan. Konsep ketuhanan dalam agama
samawi meliputi definisi monoteistis tentang Tuhan dalam agama Yahudi,
pandangan Kristen tentang Tritunggal, dan konsep Tuhan dalam Islam. Agama-
agama dharma juga memiliki pandangan berbeda-beda mengenai Tuhan. Konsep
ketuhanan dalam agama Hindu tergantung pada wilayah, sekte, kasta, dan beragam, mulai dari
panenteistis, monoteistis, politeistis, bahkan ateistis. Keberadaan sosok ilahi juga diakui
oleh Gautama Buddha, terutama Śakra dan Brahma.
Monoteisme dan henoteisme[sunting | sunting sumber]

Hubungan antara Allah Bapa, Allah Anak, dan Roh Kudus dalam Scutum Fidei, menjelaskan


garis besar konsep Tritunggal.
Penganut monoteisme mengklaim bahwa Tuhan hanya ada satu, dan beberapa ajaran monoteistis
mengklaim bahwa Tuhan sejati adalah Tuhan yang dipuja oleh semua agama dengan nama yang
berbeda-beda. Pandangan bahwa seluruh pemuja Tuhan (dalam agama yang berbeda-beda)
sesungguhnya memuja satu Tuhan yang sama—entah disadari atau tidak disadari oleh umat
tersebut—terutama diajarkan dalam agama Hindu[26] dan Sikh.[27]
Agama samawi atau dikenal juga sebagai rumpun agama abrahamis (karena
meyakini Abraham/Ibrahim sebagai nabi) atau agama langit dimaksudkan untuk
menunjuk agama Yahudi, Kristen, dan Islam. Agama-agama ini dikenal sebagai agama
monoteistis karena hanya menekankan keberadaan satu Tuhan. Yahudi dan Islam bahkan
menolak visualisasi Tuhan karena menurut mereka tidak ada sesuatu yang dapat menyerupai
Tuhan. Meskipun serumpun, agama-agama ini menggunakan sebutan/panggilan yang berbeda
yang disebabkan oleh perbedaan bahasa dan rentang sejarahnya. Adapun nama yang sering
disebutkan yaitu: Yahweh dalam agama Yahudi; Bapa atau Yesus dalam Kristen; Allah dalam
Islam.
Agama Kristen mengenal konsep Tritunggal, yang maksudnya Tuhan memiliki tiga pribadi:
Bapa, Putra, dan Roh Kudus. Konsep ini terutama dipakai dalam Gereja Katolik dan Gereja
Ortodoks. Konsep ini merupakan paham monoteistis yang dipakai sejak Konsili Nicea I pada
tahun 325 M. Kata "Tritunggal" sendiri tidak ada dalam Alkitab. Di dalam Ulangan 6:4 ditulis
bahwa Tuhan itu Esa. Keesaan ini pada bahasa aslinya (ekhad) adalah "kesatuan dari berbagai
satuan". Contohnya, pada Kejadian 2:24 ditulis "keduanya (manusia dan istrinya)
menjadi satu (ekhad) daging" berarti kesatuan dari 2 manusia. Di Kejadian 1:26 Allah menyebut
diri-Nya dengan kata ganti "Kita", mengandung kejamakan dalam sifat Tuhan. Pengertiannya
adalah satu substansi ketuhanan, tetapi terdiri dari tiga pribadi.
Di samping monoteisme yang menolak keberadaan dewa-dewi, ada ajaran henoteisme yang
meyakini dan memuja satu Tuhan, tetapi juga meyakini keberadaan dewa-dewi lainnya dan
bahkan dapat turut memuja mereka. Variasi istilah tersebut adalah "monoteisme inklusif" dan
"politeisme monarkis", dipakai untuk membedakan ragam dari fenomena tersebut. Henoteisme
mirip namun kurang eksklusif daripada monolatri (pemujaan satu Tuhan) karena monolator
hanya memuja satu Tuhan (menolak keberadaan dewa-dewi untuk disembah), sedangkan
penganut henoteisme dapat memuja dewa-dewi dari panteon yang mereka yakini, tergantung
keadaan, meskipun biasanya mereka hanya akan memuja satu Tuhan saja sepanjang hidup
mereka (kecuali ada konversi tertentu). Dalam beberapa agama, pemilihan Tuhan Mahakuasa
dalam kerangka henoteistis dapat saja terjadi, tergantung alasan kultural, geografis, historis,
bahkan politis.
Teisme, deisme, dan panteisme[sunting | sunting sumber]
Teisme pada umumnya mengajarkan bahwa Tuhan ada secara realistis, objektif, dan independen.
Tuhan diyakini sebagai pencipta dan pengatur segala hal; mahakuasa dan kekal abadi; personal
dan berinteraksi dengan alam semesta melalui pengalaman religius dan doa-doa umat-Nya.
[28]
 Teisme menegaskan bahwa Tuhan sukar dipahami oleh manusia sekaligus kekal selamanya;
maka, Tuhan bersifat tak terbatas sekaligus ada untuk mengurus kejadian di dunia. [29] Meski
demikian, tidak seluruh penganut teisme mengakui dalil tersebut.[28] Teologi Katolik menyatakan
bahwa Tuhan Mahakuasa sehingga tidak akan terikat pada waktu. Banyak penganut teisme
percaya bahwa Tuhan Mahakuasa, Mahatahu, dan Mahapenyayang, meskipun keyakinan ini
memicu timbulnya pertanyaan mengenai tanggung jawab Tuhan terhadap adanya kejahatan dan
penderitaan di dunia. Beberapa penganut teisme menganggap Tuhan menahan diri meskipun
memiliki kuasa, tahu apa yang akan terjadi, dan penuh kasih sayang. Sebaliknya, menurut teisme
terbuka, karena adanya sifat asasi waktu, atribut Mahatahu tidak berarti bahwa Tuhan juga dapat
memprediksikan masa depan. "Teisme" kadang kala digunakan untuk mengacu kepada
kepercayaan terhadap adanya Tuhan dan dewa/dewi secara umum,
contohnya monoteisme dan politeisme. [30][31]

Deisme mengajarkan bahwa Tuhan sukar dipahami oleh akal manusia. Menurut penganut
deisme, Tuhan itu ada, tetapi tidak ikut campur dalam urusan kejadian di dunia setelah Ia selesai
menciptakan alam semesta.[29] Menurut pandangan ini, Tuhan tidak memiliki sifat-sifat
kemanusiaan, tidak serta-merta menjawab doa umat-Nya dan tidak menunjukkan mukjizat.
Secara umum, deisme meyakini bahwa Tuhan memberi kebebasan kepada manusia dan tidak
mau tahu mengenai apa yang diperbuat manusia. Dua cabang
deisme, pandeisme dan panendeisme mengkombinasikan deisme
dengan panteisme dan panenteisme. [15][32][33]
 Pandeisme dimaksudkan untuk menjelaskan
mengapa Tuhan menciptakan alam semesta kemudian mengabaikannya,[34] sebagaimana
panteisme menjelaskan asal mula dan maksud keberadaan alam semesta.[34][35]
Panteisme mengajarkan bahwa Tuhan adalah alam semesta dan alam semesta itu Tuhan,
sedangkan panenteisme menyatakan bahwa Tuhan meliputi alam semesta, tetapi alam semesta
bukanlah Tuhan. Konsep ini merupakan pandangan dalam ajaran Gereja Katolik
Liberal, Theosophy, beberapa mazhab agama Hindu, Sikhisme, beberapa
divisi Neopaganisme dan Taoisme. Kabbalah, mistisisme Yahudi, melukiskan pandangan Tuhan
yang panteistis/panenteistis—yang diterima secara luas oleh aliran Yahudi Hasidik, khususnya
dari pendiri mereka, Baal Shem Tov—namun hanya sebagai tambahan terhadap pandangan
Yahudi mengenai Tuhan personal, tidak dalam pandangan panteistis murni yang menolak batas-
batas persona Tuhan.
Konsep ketuhanan lainnya[sunting | sunting sumber]
Disteisme, yang terkait dengan teodisi, adalah bentuk teisme yang mengajarkan bahwa Tuhan
tidak sepenuhnya baik namun juga tidak sepenuhnya jahat sebagai konsekuensi adanya masalah
kejahatan. Salah satu contoh aplikasi pandangan ini berasal dari kisah
karya Dostoevsky, Karamazov Bersaudara.[36]
Pada masa kini, beberapa konsep yang lebih abstrak telah dikembangkan, misalnya teologi
proses dan teisme terbuka. Filsuf Prancis kontemporer Michel Henry menyatakan
suatu pendekatan fenomenologi dan pengertian Tuhan sebagai esensi fenomenologis dari
kehidupan.[37]
Tuhan juga diyakini sebagai zat yang tak berwujud, sesuatu yang berkepribadian, sumber segala
kewajiban moral, dan "hal terbesar yang dapat direnungkan". [1] Atribut-atribut tersebut diakui
oleh teolog Yahudi, Kristen awal, dan muslim, yang terkemuka di antaranya
adalah: Maimonides,  Agustinus dari Hippo,  dan Al-Ghazali.
[38] [38] [2]

Keberadaan Tuhan[sunting | sunting sumber]


Ada banyak persoalan filosofis mengenai keberadaan Tuhan. Beberapa definisi Tuhan tidak
bersifat spesifik, sementara yang lainnya menguraikan sifat-sifat yang saling bertentangan.
Argumen tentang keberadaan Tuhan pada umumnya meliputi tipe metafisis, empiris, induktif,
dan subjektif, sementara yang lainnya berkutat pada teori evolusioner, aturan, dan kompleksitas
di dunia. Pendapat yang menentang keberadaan Tuhan pada umumnya meliputi tipe empiris,
deduktif, dan induktif.
Ada banyak pendapat yang dikemukakan dalam usaha pembuktian keberadaan Tuhan.
[39]
 Beberapa pendapat terkemuka adalah Quinque viae, argumen dari keinginan yang
dikemukakan oleh C.S. Lewis, dan argumen ontologis yang dikemukakan oleh St.
Anselmus dan Descartes.[40] Bukti-bukti tersebut diperdebatkan dengan sengit, bahkan di antara
para penganut teisme sekalipun. Beberapa di antaranya, misalnya argumen ontologis, masih
sangat kontroversial di kalangan penganut teisme. Aquinas menulis risalah tentang Tuhan untuk
menyangkal bukti-bukti yang diajukan Anselmus.[41]
Pendekatan yang dilakukan Anselmus adalah untuk mendefinisikan Tuhan sebagai "tidak ada
yang lebih besar daripada-Nya untuk bisa direnungkan". Filsuf panteis Baruch
Spinoza membawa gagasan tersebut lebih ekstrem: "Melalui Tuhan aku memahami sesuatu yang
mutlak tak terbatas, yaitu, suatu zat yang mengandung atribut-atribut tak terbatas, masing-masing
menyiratkan esensi yang kekal dan tidak terbatas". Bagi Spinoza, seluruh alam semesta terbuat
dari satu zat, yaitu Tuhan, atau padanannya, yaitu alam. [42] Bukti keberadaan Tuhan yang
diajukannya merupakan variasi dari argumen ontologis.[43]
Fisikawan kondang, Stephen Hawking, dan penulis Leonard Mlodinow menyatakan dalam buku
mereka, The Grand Design, bahwa merupakan hal yang wajar untuk mencari tahu siapa atau apa
yang membentuk alam semesta, tetapi bila jawabannya adalah Tuhan, maka pertanyaannya
berbalik menjadi siapa atau apa yang menciptakan Tuhan. Terkait pertanyaan ini, lumrah
terdengar bahwa ada sesuatu yang tidak diciptakan dan tidak perlu pencipta, dan sesuatu itu
disebut Tuhan. Hal ini dikenal sebagai argumen sebab pertama untuk mendukung keberadaan
Tuhan. Akan tetapi, kedua penulis tersebut mengklaim bahwa pasti ada jawaban masuk akal
secara ilmiah, tanpa mencampur keyakinan tentang hal-hal gaib.[44]
Beberapa teolog, misalnya ilmuwan sekaligus teolog A.E. McGrath, berpendapat bahwa
keberadaan Tuhan bukanlah pertanyaan yang bisa dijawab dengan metode ilmiah.[45]
[46]
 Agnostik Stephen Jay Gould berpendapat bahwa ilmu pengetahuan dan agama tidak
bertentangan dan tidak saling menjatuhkan.[47]
Beberapa kesimpulan yang diperoleh dari berbagai argumen yang mendukung dan menentang
keberadaan Tuhan adalah: "Tuhan tidak ada" (ateisme kuat); "Tuhan hampir tidak
ada"[48] (ateisme de facto); "tidak jelas apakah Tuhan ada atau tidak" (agnostisisme[49]); "Tuhan
ada, tetapi tidak bisa dibuktikan atau dibantah (teisme lemah); dan "Tuhan ada dan dapat
dibuktikan" (teisme kuat).

Tuhan dalam sudut pandang nonteistis[sunting | sunting sumber]


Menurut ajaran nonteisme, alam semesta dapat dijelaskan tanpa mengungkit hal-hal gaib atau
sesuatu yang tak teramati. Beberapa nonteis menghindari konsep ketuhanan, sementara menurut
yang lain, hal itu amat penting; nonteis lainnya memandang sosok Tuhan sebagai simbol nilai-
nilai dan aspirasi manusia. Ateis asal Inggris, Charles Bradlaugh menyatakan bahwa ia menolak
untuk berkata "Tuhan itu tidak ada", karena kata 'Tuhan' sendiri terdengar sebagai ungkapan
untuk maksud yang tidak jelas atau tak nyata; secara lebih spesifik, ia berkata bahwa ia tidak
meyakini Tuhan menurut agama Kristen.[50]
Stephen Jay Gould melakukan pendekatan dengan membagi dunia filosofi menjadi "non-
overlapping magisteria" (NOMA). Menurut pandangan tersebut, pertanyaan seputar hal-hal
gaib/supernatural, seperti halnya keberadaan dan sifat-sifat Tuhan, bersifat non-empiris dan lebih
layak diulas dalam bidang teologi. Metode ilmiah seyogianya dipakai untuk menjawab
pertanyaan mengenai dunia nyata, dan teologi dipakai untuk menjawab pertanyaan tentang
tujuan sejati dan nilai-nilai moral. Menurut pandangan ini, kurangnya bukti empiris tentang
kekuatan supernatural terhadap kejadian alam, menyebabkan ilmu pengetahuan menjadi pilihan
pokok dalam menjelaskan fenomena di dunia.[51]
Menurut pandangan lainnya, yang dikembangkan oleh Richard Dawkins, dinyatakan bahwa
keberadaan Tuhan adalah pertanyaan empiris, dengan alasan bahwa "alam semesta dengan tuhan
akan sungguh berbeda dengan yang tanpa tuhan, dan itu tentu merupakan perbedaan
ilmiah."[48] Carl Sagan berpendapat bahwa doktrin Pencipta Alam Semesta sulit dibuktikan
maupun dibantahkan, dan penemuan ilmiah yang dapat menyangkal keberadaan Sang Pencipta
tentu menjadi penemuan bahwa usia alam semesta tidak terbatas.[52]
Tuhan antropomorfis[sunting | sunting sumber]
Pascal Boyer berpendapat bahwa dalam dunia yang dipenuhi oleh berbagai konsep seputar hal
gaib yang berbeda-beda, secara umum, makhluk gaib tersebut cenderung bertindak selayaknya
manusia. Penggambaran dewa-dewi dan makhluk gaib lainnya selayaknya manusia adalah ciri
yang mudah dikenali dari suatu agama. Sebagai contoh, mitologi Yunani, yang menurutnya
cenderung menyerupai opera sabun masa kini daripada suatu sistem kepercayaan.[53] Bertrand du
Castel dan Timothy Jurgensen mendemonstrasikan melalui formalisasi bahwa penjelasan Boyer
cocok dengan epistemologi fisika dalam memosisikan entitas yang diamati sebagai intermedian
tidak secara langsung.[54] Antropolog Stewart Guthrie berpendapat bahwa masyarakat
memproyeksikan ciri manusia kepada aspek-aspek non-manusia di dunia karena itu akan
membuat aspek-aspek tersebut lebih familier. Sigmund Freud juga menyatakan bahwa konsep
ketuhanan adalah proyeksi sosok ayah bagi seseorang.[55]
Émile Durkheim adalah salah seorang pertama yang menyatakan bahwa tuhan merepresentasikan
ekstensi kehidupan sosial manusia untuk memasukkan unsur-unsur gaib. Mengimbangi
pernyataan tersebut, psikolog Matt Rossano berpendapat bahwa ketika manusia mulai hidup
dalam kelompok-kelompok yang lebih besar, mereka menciptakan sosok tuhan sebagai
penegakan atas moralitas. Dalam kelompok yang lebih kecil, moralitas dapat dijaga dengan
kekuatan sosial seperti penyebaran gosip atau penjagaan nama baik. Akan tetapi, lebih sulit
untuk menjaga moralitas dalam kelompok besar dengan menggunakan kekuatan sosial. Rossano
menyatakan bahwa dengan menambahkan kepercayaan akan tuhan dan makhluk gaib yang
mahatahu, maka manusia menemukan strategi efektif untuk mengendalikan keegoisan dan
membangun kelompok yang lebih kooperatif.[56]

Persentase kepercayaan akan Tuhan[sunting | sunting sumber]

yang dianut mengandung kepercayaan akan Tuhan, roh, dewa-dewi, dan makhluk gaib.
[57]
 Agama samawi selain Kristen, Islam Persentase populasi di negara-negara Eropa sebagai hasil
survei tahun 2005 bahwa mereka "percaya akan Tuhan". Negara mayoritas Katolik
Roma (e.g.: Polandia, Portugal), Gereja Ortodoks Timur (Yunani, Romania, Siprus)
atau Muslim (Turki) cenderung menunjukkan persentase tinggi.
Sampai tahun 2000, sekitar 53% populasi dunia teridentifikasi sebagai penganut salah satu dari
tiga agama samawi terbesar (33% Kristen, 20% Islam, <1% Yahudi), 6% Buddhis, 13% umat
Hindu, 6% penganut kepercayaan tradisional Tionghoa, 7% penganut agama lainnya, dan kurang
dari 15% mengaku tak beragama. Kebanyakan agama, dan Yahudi meliputi agama Baha'

Anda mungkin juga menyukai