Anda di halaman 1dari 4

THEOLOGY OF THE PRIESTHOOD

By; JEAN GALOT, S.J.

Chapter XI
THE PRIESTLY WAY OF LIFE
Ada beberapa gagasan baru tentang cara hidup imam yang muncul di kalangan para
klerus di Belanda yakni; para imam harus bebas untuk terlibat dalam pekerjaan sekuler, bebas
untuk melakukan tindakan politik dan sosial serta bebas untuk memilih pernikahan atau selibat.
Ketiga hal tersebut digagas oleh para imam di belanda yang sudah menikah dan yang memiliki
keinginan untuk terlibat secara langsung dalam kehidupan masyarakat.
Dasar ketiga isu yang mereka gagaskan tersebut yakni inkarnasi. Bagi mereka, ketiga hal
tersebut jika tidak dihidupi oleh para imam maka kehidupan para imam belumlah benar-benar
berinkarnasi ke dalam hidup umatnya. Dengan inkarnasi tersebut, imam sedapat mungkin terlibat
bahkan menyerupai masuk dalam kehidupan awam. Tugas sebagai seorang gembala tidak hanya
dilihat secara formal atau fungsionalis saja melainkan juga harus dihidupi dan dijalankan secara
baik oleh seorang imam dalam kehidupan umatnya. Maka, satu-satunya jalan yang mungkin
adalah para imam bebas terlibat secara langsung dalam kehidupan masyarakat.
Tanggapan terhadap ketiga isu:
Seorang imam mengambil langkah dan menjalankan imamatnya bukan atas dasar
paksaan, tetapi karna secara pribadi mengambil dan menjalankan komitmen tersebut. Secara
biblis, Yesus sendiri menuntut kesetiaan tanpa syarat. Yesus sendiri menghendaki bahwa setiap
orang harus meninggalkan segala sesuatu untuk mengikuti-Nya; rumah, sanak saudara dan harta
(Mat 10:29), serta istri (Luk 18:29). Penyerahan total tanpa syarat kepada Allah tidak hanya pada
para murid, tetapi untuk semua. Lukas memberikan gambaran bahwa ada wanita yang mengikuti
Yesus dalam membantu komunitas para murid (Luk 8:2-3). Oleh karena itu, cara hidup pengikut
Kristus tersebut, tidak terbatas hanya pada pelayanan imamat saja tetapi meluas kepada semua
orang.
Berkaitan dengan pekerjaan sekuler, Yesus sendiri telah mencontohkan sikap penolakan.
Setelah bekerja sebagai pengrajin sampai Ia berusia sekitar tiga puluh tahun, Ia meninggalkan
pekerjaan-Nya untuk mengabdikan pada pemberitaan kabar baik. Yesus mendedikasikan seluruh
kekuatan-Nya untuk pelaksanaan pelayanan publiknya. Dalam peristiwa lain, Yesus menjanjikan
pekerjaan yang jauh lebih mulia “..mulai sekarang engkau akan menjala manusia” (Luk 5:10).
Sebuah pelepasan keduniawian untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi. Konsili Vatikan II juga
menegaskan secara kontekstual: “...berdasarkan panggilan khusus dan tugas mereka terutama

1
diperuntukkan bagi pelayanan suci” (LG, 31). Sinode para Uskup tahun 1971 menambahkan
dengan lebih tegas bahwa nilai utama pelayanan imamat: itu lebih tinggi daripada nilai kegiatan
manusia lainnya. Sebagai aturan umum, pelayanan imam harus menjadi pekerjaan yang penuh
waktu. Ikut serta dalam kegiatan sekuler sama sekali tidak dianggap sebagai tujuan utama dan
tanggung jawab khusus para imam.
Dalam kasus tertentu pelaksanaan pekerjaan sekuler juga dapat dijalankan dengan baik
oleh para imam. Pertama, dalam hal mencari nafkah demi kehidupan komunitasnya secara tepat.
Hal ini dapat diartikan sebagai ekspresi solidaritas dengan semua pekerja di dunia. Kedua, oleh
karena tuntutan kebutuhan masyarakat. Dalam hal tertentu imam dapat melakukan pekerjaan
yang diperlukan untuk memperbaiki keadaan ekonomi umatnya. Biasanya ini adalah situasi
sementara dan dimaksudkan untuk berakhir ketika awam telah mencapai kapasitas yang
mumpuni dalam kesejahteraan mereka sendiri. Ketiga, demi pengajaran atau kerasulan. Dalam
profesi yang diembannya, seorang imam mendapat akses ke lingkungan demi kerasulan yang
lebih tepat sasaran. Seperti halnya imam yang bekerja di pabrik dapat mewartakan injil kepada
rekan kerja mereka. Hal ini juga mau menunjukkan bahwa sains dan iman tidak berbenturan
melainkan saling melengkapi. Keempat, dengan alasan prestise yang digunakan untuk
mendukung pelaksanaan profesi sekular. Prestise yang diperoleh imam dari profesi sekularnya,
akan memungkinkan dia untuk mencapai efektifitas yang lebih besar dalam pelaksanaan
kerasulannya. Imam yang memiliki prestise atas profesi sekuluernya, tidak menarik atau
menghapus otoritas imamatnya dari prestise tersebut, karena otoritas sejatinya berasal dari
Kristus yang telah memanggil dan mengutus dia. Oleh karena itu dalam pelayanannya, seorang
imam bertindak atas nama Kristus dan pada hakikatnya dari Kristuslah ia harus mengharapkan
keberhasilan usahanya. Secara biblis Yesus sendiri telah mencontohkan hal tersebut. Yesus
membiarkan diri-Nya diabaikan dan ditolak. Agar pesan-Nya bisa didengar, dia memohon
otoritas Bapa yang telah mengutusnya. Ketika Dia bertemu dengan oposisi, Dia tidak mencari
cara lain untuk membuat diri-Nya lebih dipahami atau untuk prestise. Ketika keajaiban memberi-
Nya ketenaran, Dia secara eksplisit menyangkalnya.
Dalam hal berpolitik, Yesus sendiri telah menunjukkan penolakan-Nya. Godaan yang
ditentang Yesus di padang gurun adalah kedaulatan politik atas dunia (Mat 4:8). Yesus sendiri
memproklamirkan diri-Nya dengan sebutan ‘Anak Manusia’ dan bukan ‘Anak Daud’,
menunjukkan niat-Nya untuk menghindari partikularisme yang dibangun ke dalam keterlibatan

2
politik. Dia menolak untuk menyetujui antagonisme antara bangsa Yahudi terhadap bangsa lain.
"Berikan kepada Kaisar apa yang wajib kamu berikan kepada Kaisar dan kepada Allah apa yang
wajib kamu berikan kepada Allah" (Mat 22:21).
Memang benar bahwa prinsip dasar amal memiliki banyak aplikasi dalam ranah sosial
dan politik. Akan tetapi, dalam keadaan normal, di sanalah tugas keterlibatan politik dan sosial
dilimpahkan kepada kaum awam Kristen. Dalam hal tertentu, seringkali imam diinginkan
mengembani tugas-tugas politik untuk menutupi kekurangan umat awam, tetapi ini adalah
situasi-situasi yang luar biasa dan sementara. Menganggap ini sebagai hal yang normal dan
definitif akan membawa bahaya klerikalisme dalam diri imam. Dalam diri imam, tetap ada
godaan untuk terjun ke dunia politik apalagi memperhatikan banyak hal yang harus dibela dan
diperjuangkan. Namun keterlibatan itu akan mengekspos dia pada risiko kepentingan temporal.
Terlibat secara langsung, akan membuat permusuhan dan merusak kemanjuran pelayanannya.
Permusuhan yang akan dia provokasi bahkan mungkin dilontarkan terhadap Gereja. Secara baik
sinode 1971 mengatur perilaku imam dalam berpolitik. Dinyatakan bahwa kewajiban imam dan
seluruh Gereja adalah membela hak asasi manusia, perkembangan pribadi, dan menegakkan
perdamaian serta keadilan: “Imam harus membantu kaum awam untuk mengabdikan diri mereka
dalam membentuk hati nurani secara benar.”
Dalam hal Selibat, Yesus sendiri menunjukkan keterkaitan antara selibat dan inkarnasi.
Melalui inkarnasi, Sabda menjadi Manusia, manusia dapat mengenal kasih Allah secara lebih
dekat melalui Yesus yang tidak menikah, dan karena itu juga selibat justru mendekatkan imam
dengan umatnya. Seandainya Yesus memilih untuk menikah, Dia akan hidup dalam
partikularisme domestik yakni sebuah keluarga kecil, hal itu akan menghambat cinta universal-
Nya. Respon Yesus terhadap orang-orang yang mencari-Nya di bait Allah menunjukkan misi
utama-Nya pada seluruh manusia (Mrk 3:31-35). Kendati tidak menikah, Yesus pun tetap
mengasihi semua anak kecil, setiap pria dan wanita dengan hati yang sepenuhnya terbuka tanpa
preferensi (Mat. 19:12). Yesus dapat menjadi “segala sesuatu bagi semua orang” (1Kor 9:12).
Maka bagi Yesus, hidup selibat berarti membangun keluarga yang paling universal dari semua
kemungkinan keluarga.
Namun semua hal tersebut bukanlah menunjukkan penghinaan Yesus terhadap
pernikahan. Yesus sendiri dalam pernikahan di Kana, melakukan mukjisat untuk pertama

3
kalinya. Hal ini menunjukkan minat-Nya pada pernikahan. Dengan cinta-Nya, Ia bermaksud
menyelamatkan pernikahan dari kekurangan manusia.

Anda mungkin juga menyukai