Anda di halaman 1dari 2

Aku menghela nafasku perlahan dan bertanya pelan, "Apa kau baik-baik saja?

" Alysa
mengangkat kepalanya dan mengangguk. Kemudian, ia balik bertanya, "Apa kau baik-baik
saja?" Aku tertawa getir dan menggeleng. Hatiku tidak baik-baik saja.

Diam sejenak. Di atas angkasa, bulan purnama tergantung di sana. Tapi di sini, suara debur
ombak menghantam cadas di bawah sana terdengar berirama. Meskipun demikian,
pembicaraan ini membuat sepi banyak hal. Mungkin hatiku. Mungkin juga hati Alysa.
Rumah makan yang terletak di tepi jurang pantai eksotis ini tidak ramai. Hanya terlihat satu
atau dua pengunjung yang membawa keluarga mereka makan malam. Bukan musim liburan,
jadi sepi. Kami duduk berhadapan di meja paling pinggir, menyimak selimut gelap lautan di
kejauhan.

"Aku meminta maaf," ucap Alysa sambil menggigit bibirnya dan tertunduk lagi.

Aku menatap wajahnya dengan seksama. "Tidak ada yang perlu dimaafkan," kataku dengan
tegas. Meskipun aku tahu itu bohong, aku pura-pura bijaksana.

Kami terdiam sejenak lagi. Alysa menyeka sudut-sudut matanya dan berkata, "Sungguh
maafkan aku. Aku tidak pernah tahu akan seperti ini jadinya."

Aku menggeleng dan berkata, "Kau tidak harus minta maaf. Meskipun seharusnya kau tahu,
sehari setelah kau memutuskan pergi, aku lelah membujuk hatiku agar tegar, tetapi percuma.
Menyakitkan. Semua itu membuat sesak. Kalimat itu mungkin benar, ada seseorang dalam
hidupmu yang ketika ia pergi, maka ia juga membawa sepotong hatimu. Alysa, kau pergi.
Dan kau bahkan membawa lebih dari separuh hatiku."

"Kau tahu, aku melalui minggu-minggu menyedihkan itu. Dan yang lebih membuat
semuanya terasa menyedihkan, aku tidak pernah mengerti mengapa kau pergi. Sesungguhnya
aku tidak pernah yakin atas segalanya, aku tidak pernah baik-baik saja. Enam bulan berlalu,
hanya berkutat mengenangmu. Mendendang lagu-lagu patah-hati, membaca buku-buku
patah-hati. Hidupku jalan di tempat."

Alysa mulai menangis, dan ia berkata sambil menahan tangis, "Maafkan aku."

"Tidak ada yang perlu dimaafkan

Hening lagi sejenak.

Alysa mengangkat kepalanya, bertanya ragu-ragu, cemas, “Apakah di hati yang baru itu
masih tersisa namaku?”

Anda mungkin juga menyukai