Anda di halaman 1dari 10

Makalah Bidang Teknik Produk Pertanian

ISSN 2081-7152

PEMBUATAN GULA SEMUT AREN MENGGUNAKAN TEKNIK PENGUAPAN HAMPA Satrijo Saloko dan Lalu Iskandar Jurusan Teknologi Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Mataram Jl. Pendidikan 37 Mataram 83125 Telp. (0370) 647857 e-mail : satrijo_s@yahoo.com
ABSTRAK

Gula semut merupakan hasil pengentalan nira berbentuk serbuk yang berasal dari pohon palma, berwarna kuning sampai coklat tua. Kelebihan gula semut dibandingkan gula merah dan gula pasir antara lain yaitu daya simpannya lebih lama (kurang lebih dua tahun), mudah larut, bentuknya menarik, memiliki aroma yang khas dan nilai ekonominya lebih tinggi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui proses pembuatan gula semut aren menggunakan teknik penguapan hampa. Metode yang digunakan adalah metode eksperimental dengan percobaan di laboratorium. Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap faktorial terdiri atas dua faktor yaitu faktor suhu evaporasi (T) dan lama evaporasi (t). Data hasil pengamatan dianalisis dengan analisis keragaman pada taraf nyata 5% dan bila berbeda nyata dilanjutkan dengan uji beda nyata jujur pada taraf nyata yang sama. Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor suhu memberikan pengaruh yang nyata terhadap rendemen, kadar air, gula reduksi, kadar sukrosa serta warna. Sedangkan faktor lama evaporasi memberikan pengaruh yang tidak nyata terhadap rendemen, kadar air, kadar abu, gula reduksi, kadar sukrosa serta rasa. Interaksi antara perlakuan memberikan pengaruh yang nyata terhadap kadar sukrosa namun tidak memberikan pengaruh yang nyata pada rendemen, kadar air, kadar abu kadar dan gula reduksi. Panelis lebih menyukai perlakuan T3t3 (suhu 90oC dan lama evaporasi 50 menit) dengan kriteria warna coklat kekuningan, sedangkan rasa disukai untuk semua perlakuan. Kata kunci: Gula semut aren, Penguapan Hampa PENDAHULUAN Gula semut merupakan hasil pengentalan nira palma (aren, kelapa, siwalan) berbentuk serbuk dan lebih dikenal dengan nama palm sugar, berwarna kuning sampai coklat tua (Balai Informasi Pertanian, 2000). Gula semut masih kalah populer dengan gula pasir, tetapi disisi lain bisnis gula semut cukup menguntungkan, bukan saja harganya yang lebih mahal dari gula pasir, namun permintaan pasar terutama ekspor masih belum terpenuhi. Gula semut dikenal sebagai bahan pemanis,

penyedap, memberikan tekstur dan warna coklat pada berbagai jenis makanan. Pembuatan gula semut sebetulnya hampir sama dengan pembuatan gula aren cetak yaitu dengan jalan menguapkan nira sampai kental, kemudian didinginkan dan dilanjutkan dengan pengadukan sampai terbentuk butiran atau serbuk gula (Balai Penelitian dan Pengembangan Industri,1988). Teknik pembuatan gula semut dengan alat penguapan hampa (vacuum evaporator) dilakukan dengan memanaskan bahan dengan menentukan suhu dan
Seminar Nasional dan Gelar Teknologi PERTETA, Mataram 8 9 Agustus 2009 Peran Teknik Pertanian dalam Pengembangan Agroindustri Berbasis Bahan Baku Lokal

A180

Makalah Bidang Teknik Produk Pertanian

ISSN 2081-7152

waktu pemanasan menggunakan tekanan di bawah satu atmosfer hingga bahan yang dipanaskan mengental berbentuk konsentrat. Pada aplikasinya alat ini bekerja

berdasarkan perputaran yang bisa diatur, sehingga secara langsung rotari ini dapat juga berfungsi sebagai pengaduk. Penelitian Saloko, Catur dan Handayani (1997) pada pembuatan konsentrat srikaya menghasilkan volume akhir berkisar antara 121,70 177,33 ml dari volume awal 200 ml. Semakin lama tingkat pemekatan ternyata memberikan jumlah volume yang semakin sedikit. Sunarnani dan Soedibyo (1992) menggunaan teknik penguapan hampa selama 20 menit pada pembuatan konsentrat jeruk menghasilkan total padatan 32,76 Brix dengan tingkat retensi vitamin C sebesar 77,8%. Sedangkan Hariyadi (2002) menggunakan suhu penguapan 60oC pada

pembuatan tepung dari whey tahu dapat meningkatkan stabilitas emulsi. Sementara itu, Belibali dan Dalgic (2007) menggunakan suhu evaporasi 50 oC pada konsentrat buah cherry. Berdasarkan uraian tersebut maka telah dilakukan penelitian mengenai cara pembuatan gula semut menggunakan teknik penguapan hampa dengan variasi suhu dan lama evaporasi, sehingga diharapkan dapat diperoleh gula semut dengan mutu produk yang lebih baik dari sifat fisik maupun kimiawi bila dibandingkan dengan produk yang ada di pasaran. METODOLOGI PENELITIAN Rancangan Penelitian Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap faktorial yang terdiri atas dua faktor. Faktor pertama yaitu faktor suhu evaporasi (T) terdiri dari tiga aras yaitu T1 = suhu evaporasi 70 oC; T2 = suhu evaporasi 80 oC; T3 = suhu evaporasi 90oC. Sedangkan faktor kedua yaitu lama evaporasi (t) terdiri atas tiga aras yaitu t1 = lama evaporasi 30 menit; t 2 = lama evaporasi 40 menit; t 3 = lama evaporasi 50 menit. Masing-masing aras dari kedua faktor dikombinasi dan selanjutnya diulang tiga kali sehingga diperoleh 27 unit percobaan. Data hasil pengamatan dianalisis dengan analisis keragaman (analysis of variance) pada taraf nyata 5% dan bila berbeda nyata dilanjutkan dengan uji beda nyata jujur (BNJ) pada taraf nyata yang sama (Sastrosupadi, 2000). Pelaksanaan Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboraturium Teknologi Hasil-hasil Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Mataram dengan tahapan sebagai berikut : Pengambilan nira dilakukan dari hasil penyadapan pengerajin gula aren di Desa Kekait Kecamatan Gunung Sari. Nira hasil sadapan disaring dengan menggunakan
Seminar Nasional dan Gelar Teknologi PERTETA, Mataram 8 9 Agustus 2009 Peran Teknik Pertanian dalam Pengembangan Agroindustri Berbasis Bahan Baku Lokal

A181

Makalah Bidang Teknik Produk Pertanian

ISSN 2081-7152

kain saring untuk menghilangkan ranting, daun, serangga dan kotoran lainnya, kemudian nira hasil saringan ditempatkan pada jerigen yang bersih. Nira hasil

penyaringan selanjutnya dimasukkan ke dalam labu evaporator hampa dan dipanaskan sampai kental. Suhu pemanasan diatur sesuai dengan perlakuan, dengan tekanan di bawah 1 atmosfir (50 ml Bar). Setelah nira mengental, kemudian dilakukan proses pengeringan dengan menggunakan cabinet dryer pada suhu 50oC selama kurang lebih 9 jam untuk mempermudah di dalam proses penghancuran. Setelah dilakukan

pengeringan selanjutnya dilakukan penggilingan atau penghancuran menggunakan blender sehingga diperoleh hancuran gula berbentuk serbuk. Selanjutnya dilakukan proses pengayakan dengan menggunakan ayakan berukuran 80 mesh. Gula semut yang diperoleh kemudian dikemas menggunakan kantong plastik Poli etilen (PE). Parameter yang dianalisa dalam penelitian ini meliputi rendemen (Ranggana, 1986), kadar air (thermografimetri, AOAC, 2000), kadar abu (thermografimetri, AOAC, 2000), gula reduksi dan sukrosa (Spektrofotometri, metode Nelson-Somogy, Sudarmadji et al., 1987), dan organoleptik yaitu rasa (Hedonic, Qazuini, 1984), warna (Scoring, Qazuini, 1984)

HASIL DAN PEMBAHASAN Signifikansi pengaruh faktor suhu dan lama evaporasi serta interaksinya pada gula semut terhadap parameter yang diamati disajikan pada Tabel 1 dan Tabel 2.
Tabel 1. Signifikansi Pengaruh Faktor Suhu Evaporasi (T) dan Lama Evaporasi (t) serta Interaksi (T*t) terhadap Parameter yang diamati Faktor Parameter Interaksi (T*t) Suhu (T) Waktu (t) Rendemen (%) 6,75 S 0,41 NS 0,88 NS Kadar Air (%) 586,15 S 1,46 NS 27,55 NS Kadar Abu (%) 1,05 NS 0,02 NS 1,57 NS Kadar Gula Reduksi (%) 5,70 S 1,32 NS 2,18 NS Kadar Sukrosa (%) 18,86 S 5,65 S 4,09 S Keterangan : S : Signifikan pada taraf nyata 5% NS : Nonsignifikan pada taraf nyata 5% Tabel 2. Signifikansi Pengaruh Kombinasi Perlakuan Suhu Evaporasi (T) dan Evaporasi (t) Terhadap Warna dan Rasa Parameter Signifikansi Warna 2,02 S Rasa 2,02 NS Ket. : S : Signifikan pada taraf nyata 5% NS : Nonsignifikan pada taraf nyata 5% Lama

Hasil analisis purata rendemen, kadar air dan kadar gula reduksi gula semut yang dihasilkan terhadap faktor suhu disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3. Analisis Purata Rendemen, Kadar Air dan Kadar Gula Reduksi Gula Semut Pada Perlakuan Faktor Suhu (T)
Seminar Nasional dan Gelar Teknologi PERTETA, Mataram 8 9 Agustus 2009 Peran Teknik Pertanian dalam Pengembangan Agroindustri Berbasis Bahan Baku Lokal

A182

Makalah Bidang Teknik Produk Pertanian Perlakuan Rendemen Kadar Air

ISSN 2081-7152 Kadar Gula Reduksi

T1 8,59 a 3,00 a 5,62 a T2 9,66 b 2,39 b 5,96 b T3 10,13 c 2,04 c 6,77 c BNJ 5% 1,09 0,12 0,94 Ket. : Angka pada kolom yang sama diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf nyata 5%

Sedangkan hasil analisis purata kadar sukrosa gula semut pada interaksi perlakuan suhu (T) dan lama evaporasi (t) yang dihasilkan disajikan pada Tabel 4.
Tabel 4. Analisis Purata Kadar Sukrosa dan Warna Gula Semut pada Interaksi Perlakuan Suhu (T) dan Lama Evaporasi (t) Perlakuan Kadar Sukrosa Warna T1t1 70,63 a 8,33 a T1t2 76,73 b 7,40 b T1t3 76,49 cb 7,27 bc T2t1 73,13 a 7,80 bd T2t2 81,53 b 5,20 a T2t3 75,40 c 7,47 b T3t1 86,84 c 8,80 c T3t2 82,53 b 8,27 cb T3t3 84,09 c 8,67 cc BNJ. 5% 7,41 0,07

Dari hasil analisis keragaman rendemen gula semut (Tabel 1) menunjukkan bahwa faktor suhu memberikan pengaruh yang nyata terhadap rendemen gula semut yang dihasilkan, sedangkan lama evaporasi dan interaksinya memberikan pengaruh yang tidak nyata. Rendemen gula semut untuk perlakuan T1 (suhu 70 oC) berbeda nyata dengan perlakuan T2 (suhu 80 oC ) dan T3 (suhu 90 oC). Rendemen tertinggi diperoleh pada perlakuan T3 (10,13%), sedangkan rendemen terendah diperoleh pada perlakuan T1(8,59%). Hubungan suhu evaporasi dengan rendemen gula semut

mengikuti pola linier dengan persamaan y = 0,7649x + 7,928 (Gambar tidak disajikan). Hal ini berarti bahwa kenaikan suhu satu satuan akan menyebabkan

peningkatan rendemen sebesar 76,49,%. Tingkat perbedaan rendemen tersebut ditentukan oleh kadar sukrosanya. Hasil analisis menunjukkan semakin tinggi suhu evaporasi terhadap gula semut memberikan kadar sukrosa yang semakin meningkat, karena sukrosa mempunyai sifat higroskopis dan sangat mudah larut dalam air yang berarti daya kelarutan sukrosa akan lebih cepat bila suhu yang digunakan dalam proses pembuatan gula semut terus ditingkatkan. Hal ini berarti bahwa semakin tinggi suhu maka daya larut sukrosa akan semakin cepat dan akan menghasilkan rendemen yang semakin tinggi. Dengan

melihat jumlah air yang teruapkan pada saat evaporasi, semakin tinggi suhu dan semakin lama waktu yang digunakan untuk memanaskan nira maka air yang teruapkan lebih banyak pada suhu yang lebih tinggi sehingga kandungan sukrosa yang
Seminar Nasional dan Gelar Teknologi PERTETA, Mataram 8 9 Agustus 2009 Peran Teknik Pertanian dalam Pengembangan Agroindustri Berbasis Bahan Baku Lokal

A183

Makalah Bidang Teknik Produk Pertanian

ISSN 2081-7152

ada pada setiap perlakuan akan meningkat diikuti dengan peningkatan jumlah air yang teruapkan (penurunan kadar air pada setiap perlakuan). Analisis keragaman kadar air gula semut menunjukkan bahwa faktor suhu evaporasi memberikan pengaruh yang nyata terhadap kadar air gula semut yang dihasilkan. Pengaruh faktor suhu evaporasi terhadap kadar air gula semut untuk perlakuan T1 (suhu 70 oC) berbeda nyata dengan perlakuan T2 (suhu 80 oC ) dan T3 (suhu 90oC). Kadar air tertinggi diperoleh pada perlakuan T1(3,00%), sedangkan kadar air terendah diperoleh pada perlakuan T3 (2,04%). Meningkatnya suhu

evaporasi yang digunakan mengikuti pola linier dengan persamaan y = -0,632x + 3,887 (Gambar tidak disajikan). Hal ini berarti bahwa setiap peningkatan suhu

pengentalan satu satuan akan mengakibatkan penurunan kadar air sebesar 63,23%. Penurunan kadar air gula semut ini disebabkan semakin tingginya suhu dan semakin lamanya evaporasi akan mengakibatkan semakin menurunnya kadar air gula semut yang dihasilkan. Semakin tinggi suhu penguapan yang diterima oleh bahan akan mengakibatkan terjadinya perubahan sifat semi permiabel menjadi lebih permiabel sehingga dalam keadaan seperti ini akan lebih memudahkan keluarnya air selama proses penguapan. Rendahnya kadar air disebabkan oleh semakin tingginya suhu evaporasi yang digunakan sehingga penguapan yang terjadi pada cairan nira semakin tinggi. Semakin lama tingkat pemekatan memberikan persentasi kadar air yang semakin kecil. Hal tersebut terlihat pada saat evaporasi nira dengan menggunakan teknik penguapan hampa menunjukkan semakin tinggi suhu dan semakin lama evaporasi menunjukkan volume air yang teruapkan semakin meningkat. Kisaran

kadar air gula semut yang dihasilkan selama penelitian ini masih memenuhi Standar Nasional Indonesia yaitu maksimal 3,0%. Perlakuan evaporasi pada gula semut dengan suhu lebih tinggi dapat mempengaruhi kadar abu, dimana evaporasi dengan suhu yang lebih tinggi memberikan kadar abu yang lebih tinggi pula bila dibandingkan dengan suhu yang lebih rendah. Hal tersebut terjadi karena dengan meningkatnya suhu mengakibatkan terjadinya perombakan atau perusakan senyawa-senyawa makro molekul seperti karbohidrat (sukrosa) akan lebih banyak terurai dan menguap pada saat pengabuan, sehingga hanya komponen mineral yang tertinggal yang ada pada bahan. Hasil

analisis keragaman kadar abu gula semut (Tabel 1) menunjukkan bahwa faktor suhu dan lama evaporasi memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata terhadap kadar abu gula semut yang dihasilkan. Kadar abu tertinggi pada kombinasi perlakuan T1t1 (1,03%), sedangkan kadar abu terendah diperoleh pada perlakuan T2t2 (0,97%). Kedua kombinasi tersebut menghasilkan kadar abu yang masih memenuhi SNI yaitu
Seminar Nasional dan Gelar Teknologi PERTETA, Mataram 8 9 Agustus 2009 Peran Teknik Pertanian dalam Pengembangan Agroindustri Berbasis Bahan Baku Lokal

A184

Makalah Bidang Teknik Produk Pertanian

ISSN 2081-7152

maksimal 2%. Hasil analisis purata kadar gula reduksi gula semut (Tabel 3) menunjukkan bahwa faktor suhu evaporasi memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap kadar gula reduksi gula semut yang dihasilkan. Perlakuan T1 (suhu 70 oC) memberikan perbedaan yang nyata dengan perlakuan T2 (suhu 80 oC) dan T3 (suhu 90oC). Kadar gula reduksi tertinggi pada perlakuan T3 (6,77%), sedangkan kadar gula reduksi terendah diperoleh pada perlakuan T1 (5,62%). Hubungan suhu

evaporasi dengan kadar gula reduksi gula semut mengikuti pola linier dengan persamaan y = 0,5704x + 4,905 (Gambar tidak disajikan). Hal ini berarti bahwa kenaikan suhu satu satuan akan menyebabkan peningkatan kadar gula reduksi sebesar 57,04%. Peningkatan kadar gula reduksi sejalan dengan meningkatnya kadar air bahan dimana semakin tinggi kadar air bahan semakin tinggi pula kadar gula reduksi yang dihasikan. Namun pada kenyataanya dengan menggunakan teknik penguapan hampa ini akan memberikan dampak yang sebaliknya yaitu semakin rendah kadar airnya maka kadar gula reduksi semakin tinggi. Hal ini diduga terjadi karena pada saat pemasakan suhu yang digunakan lebih rendah dengan suhu titik didih air (kurang dari 100oC) dengan tekanan rendah dapat menguapkan air lebih cepat dan lebih banyak sehingga hal tersebut dapat membuktikan bahwa dengan menggunakan teknik evaporasi hampa proses terjadinya inversi dapat dikurangi atau dapat dicegah. Sedangkan rendahnya kadar gula reduksi ini diduga disebabkan oleh suhu pengentalan yang digunakan rendah namun dapat menguapkan cairan nira lebih cepat dari pada menggunakan suhu titik didih air, sehingga air yang akan diuapkan lebih cepat dan lebih banyak. Kadar gula reduksi gula semut yang dihasilkan terkecil diperoleh pada kombinasi perlakuan T1t1 (5,62%) sedangkan kadar gula reduksi tertinggi diperoleh pada kombinasi perlakuam T3t3 (6,77%), dan kisaran kadar gula reduksi tersebut masih memenuhi SNI. Faktor suhu dan lama evaporasi memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap kadar sukrosa gula semut. Pengaruh faktor suhu evaporasi terhadap kadar sukrosa gula semut untuk perlakuan T1 (suhu 70oC) memberikan perbedaan yang nyata dengan perlakuan T2 (suhu 80oC ) dan T3 (suhu 90 oC). Kadar sukrosa tertinggi pada perlakuan T3 (84,49 %), sedangkan kadar sukrosa terendah diperoleh pada perlakuan T1 (66,93 %). Hubungan suhu dan lama evaporasi terhadap kadar sukrosa mengikuti pola linier dengan persamaan y = 2,0295x + 671 (Gambar tidak disajikan). Hal ini berarti bahwa kenaikan suhu dan waktu satu satuan menyebabkan peningkatan kadar sukrosa sebesar 20,295%. Pola linier yang ditunjukkan pada kadar sukrosa gula semut ini disebabkan
Seminar Nasional dan Gelar Teknologi PERTETA, Mataram 8 9 Agustus 2009 Peran Teknik Pertanian dalam Pengembangan Agroindustri Berbasis Bahan Baku Lokal

A185

Makalah Bidang Teknik Produk Pertanian

ISSN 2081-7152

karena semakin tinggi suhu evaporasi akan semakin tinggi kadar sukrosanya. Hal ini disebabkan pada suhu yang lebih tinggi pembentukan kristal gula lebih cepat bila dibandingkan dengan suhu yang lebih rendah karena pada proses penguapan nira berbentuk larutan gula encer (air dan molekul sukrosa) akan mengalami pergerakan antara molekul sukrosa yang satu dengan yang lainnya. Bila molekul airnya diuapkan maka jarak antara molekul sukrosa yang satu dengan yang lainnya akan semakin dekat bahkan bertabrakan akibatnya terjadi penggabungan dan pembentukan rantai rantai yang dinamakan submikron. Selama proses penguapan dengan menggunakan teknik penguapan hampa akan terlihat inti-inti kristal. Inti kristal tersebut akan berangsur-angsur terbentuk yang secara bertahap menempel pada bidang permukaan inti kristal. Sehingga dapat dikatakan bahwa semakin tinggi suhu penguapan akan semakin cepat pembentukan kristal. Menurut Goutara dan Wijandi (1975),

terbentuknya inti kristal karena terjadinya penggabungan dan terbentuknya rantairantai submikron terjadi dalam keadaan jenuh selama penguapan. Peningkatan dan penurunan kadar sukrosa erat kaitannya dengan keberadaan air yang ada pada bahan. Pada tingkat kadar air yang lebih tinggi akan memberikan sukrosa yang semakin rendah. Hal ini disebabkan semakin tingginya kadar air akan memperbesar terjadinya reaksi hidrolisis. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Suroso dkk, (2003) yang menyatakan reaksi hidrolisis akan meningkat dengan semakin meningkatnya kadar ion hidrogen dan semakin meningkatnya suhu. Sejalan dengan semakin lama evaporasi akan memberikan kadar sukrosa yang lebih tinggi. Peningkatan kadar sukrosa tersebut berhubungan dengan suhu

pemanasan. Pada tingkat evaporasi yang lebih lama jumlah air yang teruapkan lebih besar sehingga komposisi gula yang dihasilkan lebih banyak mengandung sukrosa atau kadar sukrosa menjadi bertambah sejalan dengan semakin lama pengentalan. Menurut Goutara dan Wijandi (1975), proses penguapan atau pengentalan diupayakan menguapkan atau membuang bahan-bahan bukan gula sebanyak-banyaknya sehingga dihasilkan kadar sukrosa yang maksimal dalam nira, karena keberadaan bahan-bahan bukan gula tersebut dapat menghambat pembentukan kristal. Kadar sukrosa gula semut yang dihasilkan terkecil diperoleh pada kombinasi perlakuan T1t1 (71,60%), sedangkan kadar sukrosa terbesar diperoleh pada kombinasi perlakuan T3t3 (84,48%). Perolehan kadar sukrosa tersebut masih dibawah SNI yang mensyaratkan minimal 90%. Berdasarkan hasil analisis keragaman (Tabel 2) bahwa warna gula semut memberikan hasil yang berbeda nyata antar perlakuan. Pola perubahan warna gula semut dapat dilihat pada Gambar 1a, yang menunjukkan bahwa hasil rerata tingkat suhu dan lama evaporasi memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap warna
Seminar Nasional dan Gelar Teknologi PERTETA, Mataram 8 9 Agustus 2009 Peran Teknik Pertanian dalam Pengembangan Agroindustri Berbasis Bahan Baku Lokal

A186

Makalah Bidang Teknik Produk Pertanian

ISSN 2081-7152

gula semut yang dihasilkan. Makin tinggi nilai panelis warna menggambarkan makin coklat kekuningan warna gula semut yang dihasilkan. Skor warna tertinggi diperoleh pada perlakuan T3t1 (10,12), dengan kreteria warna coklat kekuningan. Warna yang terbentuk pada gula semut disebabkan proses penguapan yang digunakan untuk proses evaporasi nira dalam kondisi hampa sehingga dapat mencegah terjadinya proses karamelisasi. Penggunaan suhu yang relatif rendah dan waktu evaporasi yang singkat memberikan warna gula semut yang disenangi oleh panelis. Pembentukan warna gula semut terjadi karena reaksi browning selama proses evaporasi hal ini sesuai dengan pendapat Winarno (1992) yang menyatakan bahwa warna dapat ditimbulkan karena reaksi kimia antara gula dan asam amino dari protein yang dihasilkan sehingga terjadi browning atau reaksi maillard. Pendapat ini juga didukung oleh Desrosier (1988) yang menyatakan bahwa produk-produk yang menggunakan panas dapat

menyebabkan warna coklat pada bahan pangan tersebut karena bereaksinya gula reduksi dengan asam amino.
7,6 7,4 7,2 7 6,8 6,6 6,4 6,2 6 5,8

10
Kadar Warna

6 4 2 0
T1t1 T1t2 T1t3 T2t1 T2t2 T2t3 T3t1 T3t2 T3t3 Suhu dan Lama Pemanasan

Kadar Rasa

T1t1 T1t2 T1t3 T2t1 T2t2 T2t3 T3t1 T3t2 T3t3

Suhu dan Lama Pemanasan


(a) (b)

Gambar 1. Grafik Pengaruh Suhu dan Lama Evaporasi Terhadap Warna Gula Semut (a) dan Warna Gula Semut (b).

Skor warna terendah diperoleh pada perlakuan T2t2 (5,07) dengan kriteria warna agak coklat kekuningan. Keadaan ini disebabkan karena suhu pemasakan yang diberikan tidak dapat menghirolisis sukrosa secara maksimum, sehingga gula reduksi yang dihasilkan rendah, dengan demikian gula reduksi yang akan bereaksi dengan asam amino sangat sedikit, maka terjadinya reaksi browning dapat dicegah. Menurut Komalasari (1991), bahwa sifat-sifat cita rasa dan warna dari bahan pangan yang dimasak dan diolah tergantung dari reaksi gula reduksi dan kelompok asam amino yang menghasilkan zat warna coklat. Berdasarkan hasil analisis keragaman pada rasa gula semut memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata antar perlakuan. Pola perubahan rasa gula semut dapat dilihat pada Gambar 1b, yang menunjukkan hasil pengaruh yang tidak berbeda

Seminar Nasional dan Gelar Teknologi PERTETA, Mataram 8 9 Agustus 2009 Peran Teknik Pertanian dalam Pengembangan Agroindustri Berbasis Bahan Baku Lokal

A187

Makalah Bidang Teknik Produk Pertanian

ISSN 2081-7152

nyata antar perlakuan. Skor rasa tertinggi diperoleh pada perlakuan T3t1 (7,48) dengan kriteria rasa suka, sedangkan skor rasa terendah diperoleh pada perlakuan T1t3 (6,48) dengan kriteria rasa agak suka. Hal ini disebabkan pada proses pembuatan gula semut dengan teknik penguapan hampa menggunakan suhu evaporasi dibawah titik didih air dan waktu yang singkat, sehingga hasil yang diperoleh tetap memberikan rasa yang sama yaitu disukai oleh panelis. Dengan suhu rendah dan waktu yang relatif singkat serta

tekanan rendah pada alat mempunyai fungsi mempertahankan ciri khas rasa gula semut. Menurut Syarifudin (2001), untuk menghindari terjadinya reaksireaksi selama proses evaporasi dapat dilakukan dengan suhu rendah dan tekanan hampa yang bertujuan untuk mempertahankan ciri khas rasa, warna dan aroma bahan pangan. KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian ini, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut : Suhu evaporasi yang berbeda memberikan pengaruh yang nyata terhadap kadar rendemen, kadar air, kadar gula reduksi, kadar sukrosa dan warna, serta tidak berpengaruh nyata terhadap kadar abu dan rasa gula semut. Interaksi perlakuan memberikan pengaruh yang nyata terhadap kadar sukrosa. Warna gula semut yang paling disukai oleh penelis adalah perlakuan T3t3 (suhu 90oC dan lama evaporasi 50 menit dengan kriteria warna coklat kekuningan, sedangkan panelis menyukai rasa pada semua perlakuan. Suhu tinggi dan waktu yang relatif pendek pada tekanan rendah dengan teknik penguapan hampa ini mampu mempertahankan ciri khas rasa, warna dan aroma gula semut.

DAFTAR PUSTAKA AOAC., 2000. Official Methods of Analysis. 16th ed. Gaithersburg, Maryland. AOAC International.

Belibali Kadir B., and Ali C.Dalgic, 2007. Rheological Properties Of Sour-Cherry Juice and Concentrate. International Journal of Food Science & Technology. Vol. 42 No. 6 : 773-776. Balai Informasi Pertanian, 2000. Pembuatan Gula Semut. Padang. Liptan. Balai Penelitian dan Pengembangan Industri,1988. Alat Pengkristal Gula Serbuk/Gula Semut. Balai Penelitian dan Pengembangan Industri. Departemen Perindustrian Semarang. Departemen Perindustrian RI 1990. Standar Nasional Indonesia Gula Semut. Jakarta. Desrosier, N.W, 1988. Teknologi Pengawetan Pangan . Universitas Indonesia . Jakarta. Goutara dan S Wijandi, 1975. Dasar-Dasar Pengolahan Gula Tebu. Departemen Hasil Pertanian . Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Seminar Nasional dan Gelar Teknologi PERTETA, Mataram 8 9 Agustus 2009 Peran Teknik Pertanian dalam Pengembangan Agroindustri Berbasis Bahan Baku Lokal

A188

Makalah Bidang Teknik Produk Pertanian

ISSN 2081-7152

Hariyadi, Purwiyatno, 2002. Pemanfaatan Limbah Cair Tahu Untuk Memproduksi Ingredien Pangan Fungsional. Laporan Penelitian Hibah Bersaing. Lembaga Penelitan dan Pengabdian Masyarakat. IPB. Bogor. Qazuini, M. 1984. Pengujian inderawi Bahan Makanan dan Minuman. Universitas Mataram. Mataram Saloko, S. Cahyawan Catur ,E. M. dan Handayani, 1997. Pembuatan Konsentrat Sari Buah Srikaya dengan Evaporator Vakum. Lembaga Penelitian Universitas Mataram. Mataram Sudarmadji, S. Haryono dan Suhardi, 1987. Prosedur Analisa Untuk Bahan Makanan dan Pertanian. Liberty. Yogyakarta . Sunarnani dan Soedibyo, 1992. Pembuatan Konsentrat Sari Buah Jeruk Dengan Evaporator Vakum Jurnal Hortikultura . Volume 2. No. 3. 1992. Suroso, Adi Riswanto dan Aris Sujatmoko 2003. Pengaruh Kadar Air Bahan Baku dan Jumlah Bibit Terhadap Gula Semut yang Dihasilkan.Seminar Nasional dan (PATPI) Peranan Industri Dalam Pengembangan Produk Pangan Indonesia. Yogyakarta 22-23 juli 2003. Syarifudin, 2001. Pengaruh Suhu Pengentalan Terhadap Sifat Fisik dan Kimia Konsentrat Sari Buah Nenas (Ananas comossus L ). Skripsi Fakultas Pertanian Universitas Mataram. Mataram. Winarno, F.G. 1992. Kimia Pangan dan Gizi. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Seminar Nasional dan Gelar Teknologi PERTETA, Mataram 8 9 Agustus 2009 Peran Teknik Pertanian dalam Pengembangan Agroindustri Berbasis Bahan Baku Lokal

A189

Anda mungkin juga menyukai