Nilai-nilai dan tradisi budaya yang melekat pada diri seorang pemimpin dapat
memengaruhi sikap dan perilaku pemimpin. Sehingga diperlukan pemahaman
mengenai perbedaan budaya untuk memudahkan serta memfasilitasi upaya individu
dan kolektif dalam mencapai tujuan bersama. Selain itu, perilaku kepemimpinan
dapat dipengaruhi oleh jenis organisasi, jenis industri, dan karakteristik posisi
manajerial. Dalam konteks perkantoran, budaya kerja yang diimplementasikan pada
suatu organisasi merefleksikan kepemimpinan di dalamnya. Sebagai contoh, di
perkantoran pemerintah memiliki budaya kerja ‘Budaya Tepat Waktu, Tepat
Kinerja’. Maksud dari budaya kerja tersebut telah memberikan kebebasan kepada
pegawai untuk mengembangkan ide dan gagasan secara bertanggung jawab, bersifat
fleksibel, serta mempertahankan stabilitas kantor dengan orientasi pada pencapaian
target yang telah ditetapkan.
Penerapan budaya kerja tersebut menggunakan metode sebagai berikut:
a) pendekatan kekeluargaan;
b) pembinaan pegawai;
c) pelatihan pegawai;
d) pengawasan dan evaluasi.
Metode lain yang digunakan dalam penerapan budaya kerja adalah pelatihan bagi
pegawai. Pelatihan meningkatkan efektivitas dan efisiensi kinerja agar mencapai
sasaran yang telah ditetapkan. Pelatihan dilaksanakan bagi organisasi yang ingin
mengembangkan dan meningkatkan kompetensi sumber daya manusia (Nickson,
2007). Selanjutnya metode pengawasan dan evaluasi dapat dilakukan oleh pemimpin
untuk menerapkan budaya kerja. Pengawasan dilakukan pemimpin sebagai bentuk
evaluasi terhadap kinerja pegawai. Pemimpin menilai perilaku dan hasil pekerjaan
yang dituntaskan pegawai sebagai kinerja (Armstrong, 2006). Implementasi budaya
kerja dapat memiliki hambatan yang dapat berdampak pada berjalannya organisasi.
Beberapa hambatan yang diidentifikasi terdapat dalam impelementasi budaya
kerja perkantoran pemerintah, antara lain:
Adanya perbedaan latar belakang budaya seperti suku, agama, dan ras yang
sering dicampuradukan dalam urusan pekerjaan menjadi hal yang paling dirasakan di
perkantoran. Hal yang sering dikaitkan seperti sikap dan tingkah individu dalam
pekerjaan dilihat sebagai cerminan dirinya sebagai kelompok tertentu. Penulis
menekankan perlu adanya kepemimpinan lintas budaya dan keragaman yang dapat
berkomunikasi dengan baik sehingga tidak terjadi kesalahpahaman antara suku atau
agama. Kepemimpinan yang bijaksana didukung dengan keterampilan berperilaku
secara efektif. Pemimpin harus memahami nilai-nilai budaya, memiliki keterampilan
berkomunikasi, memiliki kreativitas, dan dapat menyesuaikan diri serta mengambil
pelajaran dalam setiap kondisi (Luthans, 2006). Pemimpin yang dapat merangkul
perbedaan latar belakang budaya juga diminta adaptif dalam memahami perbedaan
karakter setiap pegawai sehingga bersikap dengan mempertimbangkan dua sisi ketika
memandang suatu masalah.
Pada bagian ini akan didiskusikan dimensi-dimensi dari nilai, diantaranya power
distance (perbedaan kekuatan), uncertainty avoidance (menghindari ketidakpastian),
individualism atau kolektivisme, kesetaraan gender, orientasi performa dan orientasi
humanis.
Power distance (jarak kekuatan)
Menggambarkan kondisi dimana individu merasa tidak nyaman dengan kondisi yang
ambigu, dan ketidakmampuan mereka dalam memprediksi event-event yang terjadi di
masa depan. Budaya yang mana individunya memiliki aspek ini lebih tinggi
cenderung menginginkan stabilitas, keamanan dan keteraturan. Dampak pada
kepemimpinan, manajer yang diharapkan adalah dia yang bisa diandalkan, hati-hati,
dan teratur, dibanding yang fleksibel dan tidak teratur.
Kesetaraan gender
Adalah bagaimana pria dan wanita memperoleh perlakuan setara dan baik atribut
maskulin maupun feminim dipertimbangkan penting dan layak diperhitungkan. Cara
pandang dari kesetaraan gender memberikan dampak pada seleksi dan evaluasi dari
pemimpin, dan tipe-tipe kepemimpinan yang secara social diterima dan layak
dipertimbangkan (Dickson et.al, 2003; Emrich et.al, 2004).
Orientasi performa
Adalah bagaimana performa dan pencapaian individual dinilai, inilah yang disebut
dengan orientasi performa (Javidan, 2004). Secara umum mempengaruhi
kepemimpinan karena memang ada beberapa model kepemimpinan yang secara
langsung dan relevan dalam meningkatkan performa dan efisiensi.
Adalah sebuah keinginan dan perhatian yang kuat kepada atas kesejahteraan orang
lain dan keinginan untuk mengorbankan kepentingan diri sendiri untuk menolong
yang lain. Orientasi ini mendorong perilaku kepemimpinan supportif seperti missal
memiliki perhatian untuk mempertimbangkan kebutuhan dan perasaan dari bawahan.