PNPPK - I
Digitally signed by
Tim PNPPK IPK
Indonesia
DN: cn=Tim PNPPK
IPK Indonesia, o=IPK
Indonesia,
ou=PNPPK,
email=sekretariat@ip
kindonesia.or.id, c=ID
Date: 2021.02.01
00:53:27 +07'00'
i
PEDOMAN NASIONAL
PELAYANAN PSIKOLOGI KLINIS
Edisi Pertama
PNPPK - I
iii
DAFTAR ISI
SAMBUTAN KETUA IPK INDONESIA vi
SAMBUTAN KETUA KOLEGIUM PSIKOLOGI KLINIS vii
SAMBUTAN KETUA TIM PENYUSUN PNPPK viii
CATATAN EDITOR ix
SEJARAH PENYUSUNAN xi
TIM PENYUSUN xiv
BAB 1
PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG, TUJUAN, DAN DASAR HUKUM 2
Latar Belakang 2
Tujuan 3
Dasar Hukum 4
DEFINISI DAN KONSEP PSIKOLOGI KLINIS 5
RUANG LINGKUP PSIKOLOGI KLINIS 6
Sasaran 6
Aktivitas 7
Metode Penanganan/Intervensi 8
KLASIFIKASI PERMASALAHAN PSIKOLOGIS 9
DINAMIKA DAN PROSES GANGGUAN PSIKOLOGIS 12
BAB 2
PRAKTIK PSIKOLOGI KLINIS
STANDAR DAN KOMPETENSI PSIKOLOG KLINIS 17
ASESMEN PSIKOLOGIS 19
Wawancara Klinis 20
Observasi 23
Alat Tes Psikologi Terstandar 25
Integrasi Data Asesmen 27
PENEGAKAN DIAGNOSIS 29
Dinamika Psikologis 29
Diagnosis (dx) dan Diagnosis Banding (dd) 31
Manifestasi Fungsi Psikologis dan Perilaku 32
Prognosis 32
iv
Intervensi 34
Hasil Pemeriksaan Psikologi 36
BAB 3
TATA LAKSANA DAN MASALAH GANGGUAN PSIKOLOGIS
1. Disabilitas Intelektual 42
2. Gangguan Bahasa 59
3. Gangguan Bicara/Speech Sound Disorder 70
4. Gangguan Kefasihan Bicara (Gagap) Onset Masa Kanak-kanak 82
5. Gangguan Komunikasi Sosial (Pragmatis) 91
6. Gangguan Spektrum Autisme 99
7. Gangguan Pemusatan Perhatian dan/atau Hiperaktif (GPPH) 117
8. Gangguan Belajar Spesifik 133
9. Gangguan Koordinasi Perkembangan 148
10. Gangguan Gerak Stereotipik 158
11. Gangguan Tic 167
12. Psikosis dan Gangguan Skizofrenia Lainnya 178
13. Gangguan Bipolar 194
14. Gangguan Depresi 210
15. Gangguan Fobia Spesifik 231
16. Gangguan Kecemasan Sosial 240
17. Gangguan Panik 252
18. Gangguan Cemas Menyeluruh 259
19. Gangguan Obsesif Kompulsif 269
20. Gangguan Dismorfik Tubuh 282
21. Gangguan Makan 292
22. Gangguan Perilaku Menentang 319
23. Gangguan Penyalahgunaan Zat 332
24. Gangguan Neurokognitif Mayor (Demensia) 343
25. Gangguan Kepribadian Ambang 355
26. Gangguan Mental Terkait Usia Lanjut (Geriatri) 371
LAMPIRAN 378
v
SAMBUTAN
Ketua IPK Indonesia
Ikatan Psikolog Klinis Indonesia (IPK Indonesia) dalam memenuhi peran sebagai
organisasi profesi yang relatif baru bagi salah satu tenaga kesehatan yaitu tenaga
psikologi klinis di Indonesia berupaya maksimal untuk memenuhi segala kebutuhan
bagi optimalisasi pelayanan psikologi klinis di lapangan. Berbagai peraturan
perundangan bagi tenaga kesehatan, membawa dampak yang cukup signifikan bagi
tenaga psikologi klinis.
Dalam memberikan pelayanan pada masyarakat, diperlukan berbagai pedoman
dan standar keprofesian sebagai bagian dari amanah peraturan perundangan tersebut.
Salah satu yang sangat penting dan dibutuhkan adalah Pedoman Nasional Pelayanan
Psikologi Klinis (PNPPK), sebagai panduan tenaga psikologi klinis dalam menjalankan
praktik keprofesiannya.
PNPPK yang disusun berdasarkan kajian ilmiah dan berbasis bukti merupakan
upaya terjaminnya mutu layanan psikologi klinis. PNPPK merupakan pedoman baku,
yang dalam aplikasinya dapat diterapkan pada berbagai tempat layanan dan kasus.
Ucapan terima kasih yang tak terhingga disampaikan kepada tim penyusun, editor,
inisiator, dan kontributor yang telah mewujudkan buku pedoman ini. Diharapkan
PNPPK edisi 1 ini dapat segera dikuti edisi-edisi berikutnya dan terus berkembang
seiring dengan perkembangan keilmuan dan kebutuhan layanan psikologi klinis.
vi
SAMBUTAN
Ketua Kolegium Psikologi Klinis
Puji Syukur kita panjatkan atas berkah dan rahmat-Nya kita masih diberikan
nikmat sehat sehingga masih diijinkan untuk berkarya. Dalam perjalanannya, IPK
Indonesia semakin menunjukkan eksistensinya sebagai sebuah Organisasi Profesi bagi
salah satu tenaga kesehatan, yaitu tenaga psikologi klinis.
Kolegium Psikologi Klinis menyambut baik dengan disusunnya Pedoman
Nasional Pelayanan Psikologi Klinis ( PNPPK ). PNPPK yang berisi pokok-pokok
layanan dan praktik para psikolog klinis diharapkan dapat diselaraskan dengan
kurikulum pendidikan psikologi klinis di perguruan tinggi. Dengan adanya
penyelarasan antara kenyataan di lapangan dan kurikulum pendidikan psikologi klinis
maka calon psikolog klinis dapat lebih siap ketika memulai karir sebagai psikolog klinis,
terutama dalam memberikan layanan pada masyarakat.
Semoga Allah SWT meridhoi langkah IPK Indonesia untuk membawa kemajuan
bagi profesi psikologi klinis dan membawa banyak manfaat bagi kesejahteraan
psikologis masyarakat Indonesia.
vii
SAMBUTAN
Ketua Tim PNPPK
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahmat-Nya Buku
Pedoman Nasional Pelayanan Psikologi Klinis (PNPPK) bagi para psikolog klinis edisi
pertama tahun 2020 dapat diselesaikan.
Tujuan penyusunan buku ini adalah agar para praktisi psikolog klinis di Indonesia
memiliki panduan yang dapat dijadikan acuan dasar atas praktik psikologi klinis yang
dapat dipertanggungjawabkan dalam memberikan layanan bagi masyarakat Indonesia
yang membutuhkan.
Penggunaan buku ini diharapkan dapat menciptakan kendali mutu berbasis bukti
dan praktik baik yang akan melindungi klien/pasien pengguna jasa psikolog. Dengan
demikian, buku ini juga menunjang efisiensi dan efektifitas dalam pelayanan kesehatan
mental demi terwujudnya peningkatan derajat kesehatan mental masyarakat Indonesia.
Kami menyadari bahwa dalam penyusunan buku ini masih terdapat kekurangan.
Oleh karena itu, saran dan kritik untuk penyempurnaan buku ini sangat kami harapkan.
Tidak lupa, kami mengucapkan terima kasih atas peran serta para penulis, editor,
kontributor, dan inisiator sehingga PNPPK edisi pertama ini dapat diterbitkan secara
berkala, In shaa Allah, kita akan meninjau kembali dan memutakhirkan pedoman ini
sejauh diperlukan. Diskusi dan komunikasi yang dibangun mungkin tidak hanya
mencakup pada profesi psikolog klinis saja, namun sejawat lain dari profesi terkait, baik
inter maupun antar disiplin akan kita perlukan, agar pedoman ini dapat lebih berdaya
guna dan makin bermanfaat.
PNPPK ini diharapkan dapat digunakan oleh semua psikolog klinis yang
berpraktik, baik pribadi, di klinik, lembaga maupun rumah sakit, untuk membantu
melayani masyarakat yang membutuhkan sehingga dasar ilmiahnya dapat
dipertanggungjawabkan. Penyusunan PNPPK dibuat seperti buku referensi yang dapat
dibaca sesuai dengan keperluan pada saat menangani pasien dengan gangguan
psikologis untuk membantu psikolog klinis dalam menentukan keputusan klinis.
Misalnya, seorang psikolog klinis menangani seorang pasien yang datang dengan
keluhan lesu, sedih, sering menangis, dan memiliki pemikiran bunuh diri. Dari hal
tersebut, psikolog klinis yang menduga bahwa pasien tersebut memiliki diagnosis
depresi dapat membuka PNPPK bab gangguan depresi lalu melihat seperti apa batasan
dan uraian umum, manifestasi klinis, bagaimana cara asesmen dan diagnosis, diagnosis
banding, komorbiditas, cara penanganan menggunakan intervensi psikologi, serta
prognosisnya. Selanjutnya, jika diputuskan pasien memiliki depresi ringan maka dapat
diperkirakan bahwa pasiennya akan mencapai remisi dalam waktu 9-12 minggu jika
diintervensi dengan psikoterapi. Bila penanganan tidak efektif maka dapat dievaluasi
ulang apakah terdapat ketidakcocokan penanganan, kekeliruan diagnosis, atau faktor
lainnya.
Bab-bab PNPPK diharapkan dapat mempermudah psikolog klinis, terutama ketika
ia harus menangani pasien yang jarang ditangani dalam praktik pelayanannya. Selain
itu, pedoman ini dapat membantu fasyankes dalam membuat Panduan Pelayanan Klinik
(PPK) dengan menyesuaikan konteks fasyankes tersebut.
PNPPK ini juga dapat dijadikan pijakan oleh para ilmuwan psikologi untuk
menginisiasi penelitian-penelitian baik berupa validitas asesmen hingga efektivitas
intervensi yang sesuai dalam konteks masyarakat Indonesia. Hal ini mengingat bahwa
praktik berbasis bukti yang dijadikan contoh dalam buku ini kebanyakan berasal dari
riset-riset di negara-negara barat. Kebutuhan akan konstruksi dan adaptasi instrumen
untuk skrining, asesmen, dan diagnosis dianggap perlu agar mendapatkan data yang
valid dan reliabel pada masyarakat kita. Selain itu, metariset terkait efektivitas
intervensi juga perlu dilakukan untuk mengetahui dampak sebenarnya yang teruji secara
ix
ilmiah dari intervensi yang dilakukan. Oleh karenanya, PNPPK ini adalah langkah awal
dalam memulai dibangunnya layanan praktik psikologi klinis yang lebih membumi dan
berdaya guna tinggi bagi masyarakatnya. Cita-citanya, PNPPK dapat selalu ditinjau
ulang dan ditambah dengan hal-hal yang lebih bersifat terkini secara berkala.
Penambahan, pengurangan, dan penghapusan pada beberapa konten di edisi selanjutnya
menjadi sangat dimungkinkan karena di masa depan barangkali hasil riset ilmiah
menunjukkan bukti yang sudah tidak relevan lagi.
Masukan, tanggapan, dan kritik yang membangun sangat dinantikan. PNPPK
adalah milik kita, Psikolog Klinis Indonesia. Semoga dapat terus berkembang lebih
sempurna, lebih bermanfaat, dan maslahat bagi kesehatan mental masyarakat Indonesia
tercinta.
x
SEJARAH PENYUSUNAN
xi
Klinis
Kredensialing Pedoman Pelayanan Psikologi
xii
Dinamika keanggotaan tim tersebut semakin berkembang sebagai bagian dari
proses percepatan penyelesaian PNPPK. Hal tersebut disadari diperlukan karena
pengidentifikasian, pemetaan gangguan dan masalah kejiwaan, beserta penanganannya,
membutuhkan pikiran dan komitmen bersama, serta dedikasi waktu di luar dari jam
kerja sehari-hari dari seluruh anggota tim. Apalagi, penggunaan PNPPK ini juga akan
melingkupi wilayah praktik psikolog klinis di seluruh Indonesia.
Pada akhirnya, segala pikiran dan pendapat dari inisiator dan seluruh kontributor
disarikan dan difinalisasi oleh Tim inti PNPPK yang terakhir. Tim ini diketuai oleh Dr.
Ahmad Gimmy Prathama Siswadi, M.Si., Psikolog Klinis, Amalia Darmawan, M.Psi.,
Psikolog Klinis, Intan Kusuma Wardhani, M.Psi., Psikolog Klinis, Nurhamidah, M.Psi.,
Psikolog Klinis, Dr. Phil. Edo S. Jaya, M.Si., Psikolog Klinis.
Proses penyuntingan naskah juga membutuhkan waktu yang tidak sebentar karena
adanya beberapa masukan dan revisi yang perlu diakomodir dan disesuaikan sehingga
dapat menghasilkan PNPPK yang cukup komprehensif untuk digunakan oleh semua
praktisi psikolog klinis. Proses penyuntingan diketuai oleh Amalia Darmawan, M.Psi.,
Psikolog Klinis, dengan anggota Ahmad Gimmy Prathama, Dr., M.Si., Psikolog Klinis;
Aulia Iskandarsyah, M.Psi., MSc., Ph.D, Psikolog Klinis; Esti Wungu, M.Ed., Psikolog;
Laila Qodariah, M.Psi., Psikolog Klinis; Nido Dipo Wardana, M.Sc.
xiii
TIM PENYUSUN
Daftar Penulis
Daftar Editor
xiv
Daftar Kontributor
xv
Daftar Inisiator
Agustina Dwi Rahmawati, S.Psi., M.Psi., Laila Nurrokhmah, S.Psi., M.Psi., Psikolog
Psikolog Klinis Klinis
Andhika Kustaryono, M.Psi., Psikolog Nelly Frida Hursepuny, S.Psi., M.Psi.,
Any Reputrawati, S.Psi., Psikolog Klinis Psikolog Klinis
Aril Halida, M.Psi., Psikolog Klinis Ni Made Ratna Paramita, M.Psi., Psikolog
Klinis
Catur Herry Widayanti, S.Psi., M.Si.,
M.Psi., Psikolog Klinis Patricia Elfira Vinny, M.Psi., Psikolog
Klinis
Dian Fatmawati, S.Psi., M.Psi., Psikolog
Klinis Pelita Verawaty, S.Psi., MM, Psikolog
Klinis
Dian Kristyawati, dra., M.Si., Psikolog
Klinis Prescilla Taniu, S.Psi., M.Si., Psikolog
Klinis
Dini Latifatun Nafiati, S.Psi., M.Psi.,
Psikolog Klinis Reni Kusumowardhani, dra., M.Psi.,
Psikolog Klinis
Dwi Susilawati, S.Psi., MA, Psikolog Klinis
Retno Artanti, M.Psi., Psikolog Klinis
Dyah Tjitrawati, S.Psi., M.Si., Psikolog
Klinis Retno Indaryati, dra., M.Kes., Psikolog
Klinis
lfa Yunira, S.Psi., Psikolog Klinis
Rifqoh Ihdayati, S.Psi., MAP, Psikolog
Elina Raharisti Rufaidhah, S.Psi., MA,
Klinis
Psikolog Klinis
Rika Kisnarini, M.Psi., Psikolog Klinis
Ellen Arlina Dentjik, S.Psi., M.Si., Psikolog
Klinis Romi Arif Rianto, S.Psi., Psikolog Klinis
Gusti Noor Ermawati, S.Psi., Psikolog Safri Dhaini, S.Psi., Psikolog Klinis
Klinis Sri Astuti, dra., Psikolog Klinis
Hardiono, S.Psi., Psikolog Klinis Sri Haryanti, dra., MA, Psikolog Klinis
Hestitami, S.Psi., Psikolog Klinis Suci Murni Karini,dra., M.Si., Psikolog
Ira Oktora Dwi Artati, S.Psi., M.Psi., Klinis
Psikolog Klinis Taufik Hidayat, Dr., M.Kes., Psikolog
Karni, dra., Psikolog Klinis Klinis
Kuswardani Susari Putri, S.Psi., M.Si., Tjiptati Noegrahani, dra., MA, Psikolog
Psikolog Klinis Klinis
Yulia Tri Haryanti, S.Psi., M.Psi., Psikolog
Klinis
Yuni Djuachiriaty, S.Psi., M.Si., Psikolog
Klinis
xvi
BAB 1
PENDAHULUAN
1
LATAR BELAKANG, TUJUAN, DAN DASAR HUKUM
Latar Belakang
2
Penyusunan PNPPK ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, kritik
membangun dari rekan-rekan psikolog klinis untuk memperbaiki dan
menyempurnakan pedoman ini sangat diharapkan. Masukan yang berkaitan dengan
pemahaman dan penanganan kasus maupun argumen teoritis sangat dinantikan.
Dengan demikian, PNPPK sebagai suatu acuan terstandar dapat menjadi lebih kaya
dan teruji. Akhir kata, kami mengajak rekan-rekan psikolog klinis untuk tetap
berkontribusi dan menjaga semangat perubahan demi psikologi klinis Indonesia yang
lebih baik.
Tujuan
3
Namun demikian, perkembangan keilmuan saat ini justru tidak merekomendasikan
lobotomi.
Situasi keilmuan seperti ini sangat kontras dengan cabang disiplin ilmu
kesehatan lainnya. Antibiotik berupa penisillin ditemukan di tahun 1917, sekitar 100
tahun yang lalu, dan masih rutin diberikan hingga sekarang (walaupun menggunakan
zat yang berbeda dari versi tahun 1917).
Cepatnya penemuan yang baru dan mudanya usia disiplin ilmu kita
menyebabkan sulitnya prediksi di bagian mana dari rekomendasi PNPPK di buku ini
yang ternyata keliru di kemudian hari. Dengan demikian, PNPPK ini dirancang
dengan kerangka yang relatif umum dan bisa bertahan lama, tetapi isinya bisa terus
diubah untuk mengakomodir penemuan-penemuan terbaru.
Dasar Hukum
4
4. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587); sebagaimana telah
beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun
2015 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014
tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2015 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5679);
5. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 298, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5607);
6. Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2016 tentang Fasilitas Pelayanan
Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 229,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5942);
7. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 46 Tahun 2013 tentang Registrasi
Tenaga Kesehatan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor
977);
8. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 67 Tahun 2013 tentang
Pendayagunaan Tenaga Kesehatan Warga Negara Asing (Berita Negara
Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 1320);
9. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 64 Tahun 2015 tentang Organisasi dan
Tata Kerja Kementerian Kesehatan (Berita Negara Republik Indonesia
Tahun 2015 Nomor 1508);
10. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 45 Tahun 2017 tentang Izin dan
Penyelenggaraan Praktik Psikologi Klinis.
5
Definisi tersebut memberikan pemahaman bahwa tujuan utama dari psikologi
klinis adalah untuk membenahi permasalahan psikologis manusia melalui prinsip,
metode, dan prosedur tertentu. Guna merealisasikan tujuan tersebut maka psikolog
klinis perlu melakukan penelitian, pengajaran, serta pelayanan psikologi klinis.
Pada Pasal 1 ayat 2 Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 45
Tahun 2017 Tentang Izin dan Penyelenggaraan Praktik Psikologi Klinis dijelaskan
bahwa pelayanan psikologi klinis adalah segala aktivitas pemberian jasa dan praktik
psikologi klinis untuk menolong individu dan/atau kelompok yang dimaksudkan
untuk pemeriksaan dan intervensi psikologis untuk upaya promotif, preventif, kuratif,
rehabilitatif, maupun paliatif pada masalah psikologi klinis.
Pelayanan, penelitian, maupun pengajaran dalam psikologi klinis meliputi
berbagai area, di antaranya adalah psikologi klinis anak dan remaja, psikologi
kesehatan, neuropsikologi, psikologi konseling, psikologi rehabilitasi, psikologi
keluarga, gerontologi, psikologi sekolah, psikologi forensik, psikofarmakologi
(Barlow, 2014). Luasnya cakupan psikologi klinis tersebut membuat Divisi 12
American Psychological Association (APA) membagi area klinis ke dalam beberapa
seksi, antara lain: geropsikologi/geriatrik, psikologi komunitas, psikologi perempuan,
psikologi etnis minoritas, psikologi krisis dan kebencanaan, psikolog di akademi pusat
kesehatan, asesmen, dan psikologi klinis untuk promosi karir psikolog klinis (Society
of Clinical Psychology, 2016).
Prawitasari (2011) membagi psikologi klinis dalam terapan mikro dan makro.
Terapan mikro adalah psikologi klinis yang lebih berfokus pada penanganan
perseorangan, sedangkan terapan makro lebih berfokus pada area di luar perseorangan,
seperti keluarga, kelompok, dan komunitas. Cakupan dan area pelayanan psikologi
klinis yang luas akhirnya berkembang secara lebih spesifik menjadi ruang lingkup
psikologi klinis.
Sasaran
Lingkup sasaran psikologi klinis mencakup rentang usia sejak lahir sampai
dengan lanjut usia. Selain itu, ada pula lingkup sasaran berdasarkan latar pelayanan
berupa individu, keluarga, kelompok, dan komunitas. Rentang usia menjadi lingkup
sasaran psikologi klinis karena permasalahan klinis dapat terjadi di berbagai rentang
6
usia. Setiap kelompok usia biasanya memiliki ciri khas gangguannya masing-masing
sehingga membutuhkan cara yang berbeda untuk menanganinya.
Dalam psikoanalisis, Freud menjelaskan bahwa rentang perkembangan
psikoseksual individu dapat menjadi awal mula munculnya psikopatologis, terutama
ketika tugas perkembangan pada masa tersebut tidak terselesaikan dengan adekuat
(Feist & Feist, 2008). Sementara itu, Erikson (1977) menjelaskan bahwa manusia
mengalami delapan fase krisis yang dimulai sejak ia lahir sampai dengan lanjut usia.
Ketika individu tidak mampu menyelesaikan krisis di setiap rentang
perkembangannya maka bukan tidak mungkin ia mengalami gangguan psikologis
(Hall & Lindzey, 1985). Bahkan, Kerig, Ludlow, dan Wenar (2012) memformulasikan
konsep psikopatologi berdasarkan setiap masa perkembangan individu di mana setiap
masa memiliki kekhasan masalahnya masing-masing.
Tidak hanya berdasarkan rentang usia, psikologi klinis pun memiliki lingkup
sasaran berupa individu, keluarga, kelompok, dan komunitas (Trull & Prinstein, 2013).
Hal ini sebagaimana yang sudah termaktub dalam Pasal 17 ayat 5 Peraturan Menteri
Kesehatan Nomor 45 tahun 2017 tentang Izin dan Penyelenggaraan Praktik Psikologi
Klinis bahwa psikolog klinis memiliki kewenangan untuk memberikan intervensi
klinis bagi individu, kelompok, maupun komunitas. Terkait hal tersebut, Prawitasari
(2011) mengembangkan sebuah terminologi terapan mikro untuk sasaran intervensi
yang bersifat individual; sementara sasaran keluarga, kelompok, dan komunitas
diistilahkan sebagai terapan makro.
Aktivitas
Pasal 17 ayat 1 Peraturan Menteri Kesehatan No 45 tahun 2017 tentang Izin dan
Penyelenggaraan Praktik Psikologi Klinis menjelaskan bahwa lingkup aktivitas yang
menjadi kewenangan psikolog klinis meliputi pelaksanaan asesmen psikologi klinis,
penegakan diagnosis dan prognosis psikologi klinis, penentuan dan pelaksanaan
intervensi psikologi klinis, melakukan rujukan dan evaluasi proses pelayanan.
Asesmen adalah proses evaluasi terhadap kondisi psikologis pasien dan proses
pembuatan formulasi masalah, termasuk etiologi gangguan (Trull, 2005). Sementara
itu, proses penegakan diagnosis dilakukan sebagai upaya penilaian klinis yang
dilakukan psikolog mengenai jenis gangguan psikologis yang dialami oleh pasien.
Selain diagnosis, psikolog klinis melakukan aktivitas prognosis. Prognosis
adalah kegiatan memprediksi mengenai kemungkinan pasien kembali ke kondisi
normal (Barlow, 2014).
7
Aktivitas yang dilakukan psikolog klinis dalam memberikan pelayanan, adalah
intervensi, yaitu perlakuan berupa konseling, psikoedukasi, psikoterapi, baik dalam
bentuk promosi, prevensi, kurasi, maupun rehabilitasi.
Setelah seluruh layanan diberikan, psikolog klinis pun perlu melakukan evaluasi
terhadap proses asesmen dan intervensi yang dilakukannya, serta jika diperlukan
melakukan rujukan terhadap profesi lain. Untuk hal ini dapat dilihat lebih lanjut
tentang keterangan SOAP atau SOHP di Bab 2.3.
Metode Penanganan/Intervensi
Praktik atau pelayanan psikologi klinis adalah kegiatan yang dilakukan oleh
psikolog klinis dalam memberikan pelayanan jasa psikologi kepada anggota
masyarakat yang membutuhkan solusi dari permasalahan psikologis yang dialaminya,
baik secara individual maupun kelompok. Cakupan pelayanan psikologi klinis dapat
meliputi:
1. Promosi, yaitu pelayanan psikologi klinis yang meliputi upaya-upaya
mempertahankan dan meningkatkan kesehatan atau kesejahteraan psikologis
individu pasien, kelompok, dan masyarakat;
2. Prevensi, yaitu pelayanan psikologi klinis yang meliputi upaya-upaya untuk
mencegah atau meminimalkan kemungkinan timbulnya permasalahan atau
gangguan psikologis baik di tingkat individual, kelompok, maupun
masyarakat;
3. Kurasi, yaitu pelayanan psikologi klinis yang berupa intervensi psikologis
yang bertujuan untuk mencari solusi permasalahan atau gangguan psikologis
yang sedang dialami oleh individu, kelompok, maupun masyarakat;
4. Rehabilitasi, yaitu adalah pelayanan psikologi klinis yang meliputi upaya-
upaya pemulihan kembali fungsi psikologis pasien baik individu maupun
kelompok masyarakat setelah pulih dari permasalahan/gangguan psikologis.
Pelayanan ini juga mempersiapkan pasien untuk beradaptasi dan berfungsi
secara patut di lingkungan sosial di mana pasien berada;
5. Paliasi, yaitu pelayanan psikologi klinis total dan aktif untuk pasien yang
penyakitnya tidak lagi responsif terhadap pengobatan medis. Perawatan
Paliasi tersebut diberikan sejak diagnosa ditegakkan hingga akhir hayat.
Perawatan paliasi tidak berhenti setelah pasien meninggal dunia, namun
masih dilanjutkan dengan memberikan dukungan psikologis bagi anggota
keluarga yang masih berduka setelah pasien meninggal dunia.
8
KLASIFIKASI PERMASALAHAN PSIKOLOGIS
Dalam konteks konstitusi negara Indonesia, individu dengan permasalahan
psikologis dibagi ke dalam dua kelompok besar. Sebagaimana yang termaktub pada
Pasal 1 UU RI Nomor 18 tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa, pasien psikolog klinis
adalah: 1) Orang Dengan Masalah Kejiwaan (ODMK); dan 2) Orang Dengan
Gangguan Jiwa (ODGJ). ODMK merupakan individu yang memiliki masalah fisik,
mental, sosial, pertumbuhan dan perkembangan, dan/atau kualitas hidup sehingga
memiliki risiko mengalami gangguan jiwa. Sementara itu, ODGJ adalah individu yang
mengalami gangguan dalam pikiran, perilaku, dan perasaan yang termanifestasi dalam
bentuk sekumpulan gejala dan/atau perubahan perilaku yang bermakna, serta dapat
menimbulkan penderitaan dan hambatan dalam menjalankan fungsinya sebagai
manusia.
Dalam konteks psikologi klinis, Trull dan Prinstein (2013) menjelaskan bahwa
permasalahan psikologis setidaknya dapat dibagi menjadi dua kategori besar, yaitu
perilaku bermasalah/menyimpang (abnormal behavior) dan gangguan mental (mental
illness/ disorder). Perilaku menyimpang dapat didefinisikan dalam tiga hal, yaitu: 1)
perilaku yang dianggap bermasalah/menyimpang karena tidak sesuai dengan
kebiasaan, norma, budaya, standar, atau prevalensi statistik tertentu; 2) perilaku
bermasalah/menyimpang didasari pada perasaan tidak nyaman atau distres yang
dialami individu, seperti merasa cemas, khawatir atau frustrasi; dan 3) perilaku
dianggap bermasalah/menyimpang ketika mengalami disabilitas, disfungsi atau
kerusakan.
Berbeda dari perilaku bermasalah/menyimpang, gangguan mental berada pada
taraf yang lebih berat. Pasalnya, seseorang dikatakan mengalami gangguan mental
ketika sudah memenuhi kriteria sindrom gangguan tertentu (Trull & Prinstein, 2013).
Dapat dikatakan bahwa perilaku menyimpang belum tentu merupakan gangguan
mental, namun gangguan mental adalah kumpulan dari berbagai gejala atau perilaku
menyimpang.
Konsep gangguan mental dalam DSM-5 dirumuskan sebagai “sindrom dengan
karakteristik gangguan klinis signifikan pada area kognitif, emosi, dan perilaku yang
merefleksikan suatu disfungsi psikologis, biologis, atau proses perkembangan yang
mendasari fungsi mental individu. Gangguan mental seringkali diasosiasikan dengan
distres atau disabilitas yang signifikan di lingkup sosial, pekerjaan ataupun aktivitas
lainnya. Sementara itu, respon terhadap stresor yang masih bisa diterima oleh
lingkungan tidak termasuk ke dalam gangguan mental. Begitupun dengan perilaku
9
menyimpang secara sosial (misalnya politik, religi, atau seksual) dan konflik antara
individu dengan masyarakat belum tentu tergolong dalam kategori gangguan mental
“ (American Psychiatric Association, 2013, hal 20).
Pengetahuan mengenai gangguan mental menjadi sangat penting karena
berkaitan erat dengan proses diagnosis, prognosis, serta perencanaan intervensi yang
akan dilakukan. Konsep individu yang sehat mental dirumuskan oleh World
Federation of Mental Health (WFMH) sebagai suatu keadaan optimal pada sisi
intelektual, emosional, dan sosial, namun hal ini bukan berarti individu tersebut tidak
memiliki masalah mental sama sekali (Wiramihardja, 2010). Permasalahan tersebut
dapat diterima sepanjang tidak menganggu fungsinya di lingkungan sosial
(Wiramihardja, 2010). Definisi tersebut memberikan suatu poin penting bahwa
pribadi yang sehat sesekali dapat mengalami masalah psikologis, namun ia dapat tetap
menjalankan fungsinya sebagai individu dan anggota masyarakat.
Kompleksitas permasalahan psikologis membawa berbagai institusi kesehatan di
berbagai belahan dunia melakukan klasifikasi sistematis yang ditujukan untuk
mempermudah layanan profesi. Klasifikasi atas kompleksitas permasalahan dan
gangguan mental tersebut bersifat kontinum yang artinya bergerak merentang dari
kondisi normal sampai dengan abnormal. Hal ini juga menjadi bahasan dalam
klasifikasi gangguan mental seperti Pedoman Penggolongan Diagnostik Gangguan
Jiwa (PPDGJ) III (1993), International Classification of Diseases (ICD) dan
Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM) IV TR (American
Psychiatric Association, 2000) dan DSM-5 (American Psychiatric Association, 2013).
Indonesia merujuk tiga panduan tersebut dalam memahami klasifikasi gangguan
mental.
PPDGJ merupakan panduan dalam melakukan diagnosis gangguan jiwa yang
dibuat oleh tim psikiater Indonesia. Sementara itu, ICD merupakan panduan yang
dikembangkan oleh WHO (1992). ICD menjadi salah satu rujukan yang digunakan
secara internasional dalam memahami klasifikasi berbagai macam penyakit, termasuk
gangguan mental di dalamnya. Adapun DSM adalah referensi yang dibuat secara
khusus oleh APA sebagai panduan untuk melakukan proses diagnosis gangguan
mental.
Proses klasifikasi pada PPDGJ, ICD, maupun DSM menggunakan kode-kode
khusus untuk menentukan diagnosis kelompok gangguan tertentu. Kode tersebut
digunakan untuk memudahkan komunikasi antar profesi. Pasalnya, panduan gangguan
mental digunakan tidak hanya oleh psikolog, namun juga oleh profesi kesehatan lain
seperti psikiater, dokter, atau perawat kesehatan jiwa. Pada dasarnya, bentuk
pengkodean gangguan pada PPDGJ, ICD dan DSM memiliki kesamaan. Meski
10
demikian, bukan berarti kode setiap gangguan pada tiga rujukan tersebut persis sama.
Hal tersebut dikarenakan setiap panduan memiliki dasar rujukan, revisi, dan
perkembangan referensi yang berbeda-beda.
PPDGJ yang dibuat oleh Departemen Kesehatan Indonesia sudah sampai pada
edisi III. Proses pembuatan PPDGJ III didasarkan pada adaptasi serta kombinasi
antara ICD-10 dan DSM-IV. Hal ini menunjukkan bahwa kode klasifikasi PPDGJ-III
memiliki kemiripan dengan ICD-10 dan DSM-IV. Meski demikian, dalam
perkembangannya di tahun 2018, ICD-10 sedang dalam proses revisi final menjadi
ICD-11. Sementara itu, DSM-IV-TR pun telah direvisi menjadi DSM-5. Kondisi ini
secara tidak langsung membuat kode klasifikasi pada tiga panduan tersebut
mengalami perbedaan. Implikasinya, secara teoritis akan ada beberapa pemahaman
yang berbeda mengenai klasifikasi dan diagnosis suatu gangguan tertentu. Walaupun
demikian, secara pragmatis proses klasifikasi dan diagnosis gangguan mental tetap
dapat dilakukan sesuai dengan panduan yang menjadi standar prosedur di tempat kerja.
Salah satu bentuk klasifikasi yang digunakan dalam PPDGJ sebagai rujukan
diagnosis di Indonesia dipetakan menjadi lima aksis gangguan yang disebut diagnosis
multiaksial. Pada diagnosis multiaksial, setiap aksis merepresentasikan kelompok
gangguan tertentu. Adapun aksis tersebut dijelaskan sebagai berikut:
Aksis I : Gangguan klinis dan kondisi lain yang menjadi fokus perhatian klinis
Aksis II : Gangguan kepribadian dan retardasi mental
Aksis III : Kondisi medis umum
Aksis IV : Masalah psikososial dan lingkungan
Aksis V : Skala Global Assessment of Functioning (GAF)
Pada dasarnya penggunaan aksis dalam diagnosis di PPDGJ merupakan bentuk
adaptasi dari DSM-IV. Dalam PPDGJ dijelaskan bahwa diagnosis multiaksial
digunakan sebagai sumber informasi yang komprehensif untuk memahami suatu
gangguan berdasarkan lima perspektif (lima aksis). Keuntungannya, hal tersebut dapat
membantu proses perencanaan terapi, membuat prognosis, menata dan
mengkomunikasikan informasi klinis, memahami kompleksitas keadaan klinis,
menggambarkan heterogenitas individu (individual differences) pada diagnosis yang
sama, dan mendorong pada pemahaman pendekatan biopsikososial dalam mengatasi
masalah-masalah psikologis.
11
DINAMIKA DAN PROSES GANGGUAN PSIKOLOGIS
Bersumber dari berbagai referensi tentang psikologi abnormal, hubungan
resiprokal antara faktor disposisional dan biologis yang dibawa individu dengan faktor
situasional yang dialami individu dapat menjadi sumber munculnya gangguan
psikologis. Salah satu aspek disposisional yang memegang peranan penting dalam
menentukan kondisi kesehatan mental individu adalah kepribadian.
Kepribadian merupakan suatu dinamika kompleks yang terbangun dari interaksi
dialektik antara konstruk biologis dan pengalaman. Allport mendefinisikan
kepribadian sebagai suatu sistem dinamis yang terdiri atas aspek psikofisis yang
berfungsi agar individu bisa menyesuaikan diri secara unik dengan lingkungannya
(Hall & Lindzey, 1985). Kepribadian membantu seorang individu dalam bertingkah
laku sesuai dengan konteks lingkungannya. Individu yang mampu berperilaku sesuai
dengan lingkungan dapat dikatakan mampu menyesuaikan diri sehingga sehat secara
psikologis. Sebaliknya, individu yang tidak mampu beradaptasi dengan berbagai
tuntutan lingkungan dimungkinkan akan mengalami permasalahan psikologis.
Kepribadian tidak hanya berkaitan dengan perilaku individu. Lebih dari itu,
kepribadian menentukan bagaimana individu merespon suatu situasi dan melakukan
koping terhadap permasalahan (Millon dkk., 2004). Hal ini bermakna bahwa ambang
stress dan penerimaan terhadap suatu tuntutan berkenaan dengan kepribadian yang
dimiliki individu. Sebagai contoh, individu dengan kecenderungan kepribadian
neuroticism yang tinggi berpotensi mengalami depresi yang lebih besar dibandingkan
dengan empat kepribadian lainnya berdasarkan Big Five Personality Trait (Koorevaar
dkk., 2013). Sementara itu, individu dengan tipe kepribadian ekstraversi memiliki
kepuasan hidup yang lebih tinggi dan afek yang lebih positif dibandingkan
kepribadian neuroticism (Steel, Schmidt, & Shultz, 2008). Penelitian-peneltian
tersebut menunjukkan bahwa kepribadian sebagai faktor disposisional menjadi
variabel penting dalam menentukan kualitas hidup individu.
Determinan kehidupan psikologis individu tidak hanya berkaitan dengan faktor
disposisional, melainkan juga situasional. Faktor situasional adalah keadaan
lingkungan yang memiliki probabilitas dalam menentukan kondisi psikologis individu.
Lingkungan yang dipersepsikan individu memberikan tuntutan dapat menjadi stresor
yang memicu munculnya berbagai permasalahan psikologis. Berbagai studi
menunjukkan bahwa lingkungan yang suportif dapat membangun kualitas kehidupan
yang lebih positif, seperti menurunkan level depresi dan delinkuen pada remaja
(Licitra-Kleckler & Waas, 1993), serta menjadi mediator untuk memunculkan
kepuasan hidup dan afek positif pada orang dewasa (Ferguson & Goodwin, 2010).
Sebaliknya, lingkungan yang tidak mendukung, bermasalah, dan penuh konflik, justru
12
berpengaruh terhadap menurunnya kondisi kesehatan mental, seperti konflik dalam
rumah tangga (Young, Schieman, & Milkie, 2013), status sosioekonomi yang rendah
(Eroglu, Bozgeyikli, & Calisir, 2009; Roth, Hahn & Spinath, 2017), ataupun masalah
di lingkungan pekerjaan (Butterworth, Leach, & Kiely, 2015; Johnson, Boutain, Tsai,
& de Castro, 2015).
Maka dari itu, jika semisal mengacu pada DSM-IV-TR maka dapat dikatakan
bahwa berbagai macam gangguan psikologis yang termasuk dalam Aksis 1 merupakan
hasil interaksi antara faktor kepribadian sebagai aksis 2 dan lingkungan sebagai aksis
4 (Millon dkk., 2004). Hasilnya akan terwujud dalam realisasi fungsi yang ada di
dalam aksis 5, yaitu Asesmen Fungsional Global (Global Assessment of Function).
Dari asesmen pada aksis 5 tersebut dapat dilihat apakah seseorang dapat dikategorikan
masih fungsional atau tidak (lihat DSM-IV-TR, 2000)
13
Referensi
15
BAB 2
PRAKTIK PSIKOLOGI
KLINIS
16
STANDAR DAN KOMPETENSI PSIKOLOG KLINIS
Dalam menjalankan pelayanan kepada masyarakat, IPK telah menetapkan
standar kompetensi yang merupakan penggabungan antara pemahaman konseptual,
dasar-dasar filosofis keilmuan, dan keterampilan. Standar pendidikan profesi psikolog
klinis melekat pada pendidikan setara magister (S2) pada jalur akademik. Model
pendidikan semacam ini telah menjadi model yang disepakati bersama antar
perguruan tinggi penyelenggara program studi pendidikan profesi psikologi S2 se-
Indonesia (Penjelasan Keputusan Bersama AP2TPI dengan HIMPSI tentang
Kurikulum Program Studi Psikologi Profesi S2, 2017).
Muatan kompetensi psikolog klinis dibuat dengan mengacu pada revisi
taksonomi Bloom (Anderson & Krathwohl, 2001) dan piramida Miller (1990). Muatan
kompetensi berdasarkan revisi taksonomi Bloom, yaitu: 1) mengingat; 2) memahami;
3) menerapkan; 4) menganalisis; 5) mengevaluasi; dan; (6) Menciptakan. Selain itu,
muatan kompetensi psikolog klinis berdasarkan piramida Miller mencakup aspek: 1)
knows (pengetahuan mengumpulkan fakta); 2) knows how (interpretasi dan aplikasi);
3) shows (demonstrasi pembelajaran); 4) does (performa yang terintegrasi dalam
praktik).
Dengan mengacu pada Kualifikasi Kompetensi Nasional Indonesia dan dasar
revisi taksonomi Bloom serta piramida Miller di atas maka dengan mengintegrasikan
dengan standar perguruan tinggi dapat ditetapkan bahwa kompetensi dasar psikolog
klinis sebagai tenaga kesehatan adalah sebagai berikut:
1. Area profesionalitas yang luhur (generik)
a. Berketuhanan Yang Maha Esa/Yang Maha Kuasa;
b. Bermoral, beretika, dan disiplin;
c. Sadar dan taat hukum;
d. Berwawasan sosial budaya.
2. Area mawas diri dan pengembangan diri (generik)
a. Menerapkan mawas diri;
b. Mempraktikkan belajar sepanjang hayat;
c. Mengembangkan Pengetahuan dan Teknologi.
3. Area komunikasi efektif (generik)
a. Berkomunikasi dengan pasien dan keluarganya;
b. Berkomunikasi dengan mitra kerja;
c. Berkomunikasi dengan masyarakat.
4. Area pengelolaan informasi (generik)
a. Mengakses serta menilai informasi dan pengetahuan;
17
b. Mendiseminasikan informasi dan pengetahuan secara efektif kepada pelaku
profesional kesehatan, pasien, masyarakat, dan pihak terkait untuk
peningkatan mutu pelayanan kesehatan.
5. Area landasan ilmiah psikologi klinis
a. Mempelajari dan menerapkan konsep dan teori psikologi secara umum dan
psikologi klinis secara khusus;
b. Mempelajari dan menerapkan ilmu psikologi serta ilmu kesehatan yang
terkini untuk mengelola masalah kesehatan jiwa secara holistik dan
komprehensif.
6. Area ketrampilan psikolog klinis
a. Melakukan asesmen psikologi;
b. Melakukan pencatatan, penskoran, dan interpretasi hasil asesmen;
c. Mengintegrasikan hasil asesmen dan analisis;
d. Melakukan diagnosis dan prognosis;
e. Melakukan intervensi psikologis;
f. Membuat dan menerima rujukan;
g. Memonitor dan mengevaluasi;
h. Membuat laporan dan pencatatan rekam psikologis;
i. Menjadi saksi ahli;
j. Mentransfer pengetahuan.
k. Meneliti dan melakukan pengembangan;
l. Mengabdi pada masyarakat;
m. Mengadvokasi dan menyupervisi.
7. Area pengelolaan masalah psikologis dalam lingkup kesehatan
a. Berpikir logis, kritis, sistematis, dalam melakukan identifikasi dan analisis
terhadap permasalahan psikologis dalam lingkup kesehatan yang dialami
oleh individu, keluarga, kelompok, dan komunitas masyarakat;
b. Melaksanakan promosi kesehatan jiwa pada individu, keluarga, dan
masyarakat;
c. Melaksanakan pencegahan dan deteksi dini terjadinya masalah kesehatan
jiwa pada individu, keluarga, kelompok, dan komunitas masyarakat;
d. Melakukan penanganan masalah kesehatan jiwa individu, keluarga,
kelompok, dan komunitas masyarakat;
e. Memberdayakan dan berkolaborasi dengan masyarakat dalam upaya
meningkatkan derajat kesehatan jiwa;
f. Mengelola sumber daya secara efektif, efisien, dan berkesinambungan
dalam penyelesaian masalah kesehatan jiwa dengan menyadari batasan-
18
batasan kewenangan/kompetensinya yang dikaitkan dengan kesadaran akan
kemampuan dirinya;
g. Menganalisis, mengakses, serta bila memungkinkan turut serta menangani
masalah psikologis yang menjadi prioritas daerah masing-masing di
Indonesia termasuk perhatian terhadap daerah dengan risiko tinggi (rawan
bencana, rawan terkena infeksi dan penyakit, serta daerah konflik).
Atas dasar standar kompetensi yang telah disepakati bersama maka segala
aktivitas pelayanan psikolog klinis harus menunjukkan sifat praktisi ilmiah sehingga
perlu dilakukan dengan sistematika yang jelas dan dapat dipertanggungjawabkan
dengan berbasis bukti ilmiah dalam psikologi (evidence-based practice in psychology).
Basis bukti ilmiah dalam psikologi mengupayakan praktik psikologi yang
berlandaskan bukti empiris dalam setiap aktivitas asesmen, formulasi kasus, hubungan
terapeutik, dan intervensi. Perlunya integrasi teoritis dan praktis dengan
mempertimbangkan karakteristik pasien diperuntukkan untuk pencapaian hasil
pelayanan yang optimal (American Psychological Association, 2006).
Dengan mengacu pada Standar Pelayanan Psikologi Klinis (SPPK) (Ikatan
Psikologi Klinis, 2008), prosedur pelayanan psikologi klinis perlu mengikuti dan/atau
memenuhi prosedur kerja sebagai berikut: 1) asesmen psikologis; 2) diagnosis
psikologis; 3) konseling dan psikoterapi; 4) rujukan (bila diperlukan); 5) evaluasi dan
tindak lanjut; dan 6) pencatatan rekam psikologis.
Bagian selanjutnya akan menjelaskan dengan lebih rinci mengenai rangkaian
pelayanan yang diberikan psikolog klinis.
ASESMEN PSIKOLOGIS
Asesmen merupakan keseluruhan proses mengumpulkan, mengorganisasikan,
dan menginterpretasikan hasil evaluasi psikologis (Eells, 2007). Proses asesmen selalu
mendahului pengambilan keputusan yang dilakukan oleh psikolog klinis dalam
memberikan pelayanan dan psikoterapi sehingga asesmen dalam ranah klinis biasanya
tidak dilakukan dalam waktu singkat. Asesmen klinis merupakan hal penting bagi
penegakan diagnosis dan perencanaan penanganan yang sesuai.
Asesmen klinis meliputi aspek:
1. Inteligensi;
2. Kepribadian (temperamen, afek, mood); dan
3. Perilaku (Trull, 2005).
Ridley dan Kelly (2007) menyebutkan sepuluh prinsip yang melandasi proses
asesmen psikologis, yaitu:
19
1. Asesmen psikologi harus akurat dan komprehensif;
2. Asesmen psikologi melibatkan konsep yang lebih luas dari klasifikasi
diagnostik;
3. Asesmen psikologi merupakan proses kompleks;
4. Asesmen psikologi merupakan proses berkelanjutan yang memengaruhi
pengambilan keputusan;
5. Asesmen psikologi dalam pengambilan keputusan bersifat subjektif;
6. Asesmen psikologi memiliki kegunaan klinis;
7. Asesmen psikologi tidak dapat dipisahkan dari faktor budaya;
8. Asesmen psikologi harus melibatkan faktor disposisi individu dan faktor
lingkungan;
9. Asesmen psikologi dilaksanakan berdasarkan metodologi dan konsep yang
sistematis;
10. Asesmen psikologi harus dapat dipertanggungjawabkan secara etik.
Komponen asesmen terdiri atas wawancara, data observasi, tes psikologi
terstandar, informal tes, survey, rekam medis, dan dokumen (Eabon & Abrahamson,
2017).
Wawancara Klinis
20
yang diasumsikan secara mental mampu melakukan pengambilan keputusan. Bagi
pasien anak, pasien berkebutuhan khusus, maupun pasien dengan gangguan mental
tertentu, persetujuan intervensi psikologis dapat diberikan pada orang yang dianggap
penting oleh pasien (significant others), seperti orangtua, anak, kerabat, atau orang
yang bertanggung jawab atas pasien, baik secara tertulis atau dalam dokumentasi
nontertulis lainnya.
Persetujuan intervensi psikologis mencakup aspek-aspek sebagai berikut
(Himpunan Psikologi Indonesia, 2010; Pedersen, 2014):
1. Kesediaan untuk mengikuti proses tanpa paksaan;
2. Perkiraan waktu yang dibutuhkan;
3. Gambaran tentang apa yang akan dilakukan;
4. Keuntungan dan/atau risiko yang dialami selama proses tersebut;
5. Jaminan kerahasiaan selama proses tersebut;
6. Orang yang bertanggung jawab jika terjadi efek samping yang merugikan
selama proses tersebut.
Pasien memiliki hak untuk melanjutkan atau menolak pelayanan yang diberikan
oleh psikolog klinis. Dalam kondisi darurat dimungkinkan untuk memberlakukan
tindakan di luar persetujuan dengan tetap mengedepankan kesejahteraan pasien dan
memperhatikan hukum yang berlaku (American Hospital Association, 1992, dalam
Pedersen, 2014).
Jika pasien bersedia melanjutkan pelayanan maka dilakukan wawancara untuk
penegakan diagnosis secara lebih mendalam guna memperoleh gambaran lengkap
mengenai kehidupan pribadi dan sosial pasien. Eksplorasi pengalaman kehidupan
dibutuhkan agar dapat menempatkan masalah pasien secara lebih jelas berdasarkan
rentang perkembangannya (Trull, 2005).
Beberapa hal yang penting untuk dievaluasi melalui wawancara klinis dapat
dilihat di tabel 2.1.
21
Tabel 2.1
Komponen Wawancara Klinis
22
tampak tersebut sebagai contoh adalah tidak rapi, banyak keringat dingin, gelisah,
bicara dalam tempo cepat, dsb.
Selain langkah-langkah diatas, gambaran teknik wawancara klinis meliputi:
1. Persiapan
a. Menformulasikan pertanyaan yang relevan;
b. Menformulasikan pertanyaan yang dapat memotivasi pasien untuk
menjawab;
c. Menyadari kapan harus menggunakan bentuk pertanyaan tertentu;
d. Membangun susasana komunikatif dengan memperhatikan latar fisik dan
verbal.
2. Pelaksanaan
a. Memberikan pertanyaan;
b. Mendengarkan pasien secara aktif;
c. Melakukan observasi selama wawancara;
d. Mengevaluasi respon responden;
e. Menggali lebih lanjut respon pasien (probing). Hal ini dapat dilakukan
dengan beberapa teknik, seperti refleksi perasaan, parafrase, interpretasi
respon, atau konfrontasi;
f. Merekam respon pasien dengan menggunakan alat perekam (suara, video,
dsb), catatan singkat, atau catatan verbatim.
3. Analisis hasil wawancara
a. Menelaah keterkaitan antar data berdasarkan kerangka teoritis;
b. Memberikan penilaian/kesimpulan yang bisa mengarah pada klasifikasi
kondisi kejiwaan pasien yang bersangkutan;
Observasi
23
Data observasi memberi manfaat bagi psikolog klinis, yaitu (Ikatan Psikologi
Klinis, 2008):
1. Pemahaman lebih baik mengenai konteks;
2. Penemuan yang didasarkan pada pembuktian;
3. Refleksi terhadap hal-hal yang kurang disadari oleh pasien;
4. Penemuan hal-hal yang tidak diungkapkan secara terbuka dengan
wawancara;
5. Data tidak terbatas pada persepsi selektif;
6. Impresi dan refleksi perasaan menjadi bagian untuk memahami fenomena
yang dialami pasien.
Observasi memiliki beberapa jenis di antaranya (Ikatan Psikologi Klinis, 2008):
1. Observasi sistematik (terstruktur). Hal ini mengacu pada adanya kerangka
pengamatan yang memuat ciri-ciri khusus dari setiap aspek yang diamati;
2. Observasi eksperimental. Hal ini merujuk pada adanya pengendalian
terhadap unsur-unsur penting ke dalam situasi yang diamati untuk
mengurangi atau menghindari bahaya timbulnya faktor-faktor lain yang
dapat memengaruhi situasi amatan sehingga sesuai dengan tujuan riset;
3. Observasi partisipan. Hal ini mengacu pada adanya interaksi dan
keterlibatan antara pengamat dengan subjek yang dipelajari. Observasi
partisipan biasanya merupakan bagian dari proses wawancara;
4. Observasi berjarak (unobtrusive). Hal ini mengacu pada adanya upaya dari
observer selama proses observasi untuk tidak menampakkan diri
(penyembunyian diri) dan memisahkan diri dari subjek yang diamati.
American Psychological Association (2006) mencantumkan observasi sebagai
salah satu teknik asesmen yang mendukung psikolog klinis dalam menjalankan
praktik berbasis bukti. Dengan demikian, proses observasi perlu memenuhi
sistematika dan standar etis yang berlaku. Unsur etika—yang mencakup privasi,
persetujuan, jaminan perlindungan, kenyamanan, dan keamanan, proses diseminasi
informasi kepada profesional dan komunitas ilmuwan, pencegahan kecurangan dan
penipuan, serta pertanggungjawaban terhadap penggunaan data—penting dipahami
oleh pasien. Selain itu, agar dapat mempertanggungjawabkan keabsahan datanya,
pemilihan metode observasi disesuaikan dengan tujuan pengamatan, konteks amatan,
dan ketersediaan sumber daya pada kondisi yang diamati.
Hal lain yang dapat dilakukan untuk meningkatkan validitas dan reliabilitas data
observasi antara lain: 1) variabel amatan didefinisikan dengan jelas; 2) observasi
dilakukan secara hati-hati oleh individu terlatih; 3) tindak lanjut data observasi dengan
24
pemonitoran berkala; dan (4) penyesuaian keterlibatan jumlah penilai (rater) dalam
proses observasi.
Tabel 2.2
25
Kualifikasi alat tes psikologi terstandar
Terpenuhinya seluruh kualifikasi level B ditambah dengan derajat
profesional dalam administrasi dan interpretasi tes psikologi. Memperoleh
Level
sertifikasi dari lembaga kredibel yang memberikan pelatihan dan
C
pengalaman dalam menggunakan alat tes psikologi secara kompeten dan
beretika.
Catatan: diambil dari Qualification levels, PAR 2020,
https://www.parinc.com/Support/Qualification-Levels.
Terdapat berbagai macam alat tes psikologi terstandar untuk asesmen klinis yang
administrasinya disesuaikan dengan ranah dan konstruk psikologis yang akan diukur.
Pada tabel 2.3 akan disertakan beberapa contoh alat tes psikologi terstandar yang biasa
digunakan untuk asesmen dalam aspek inteligensi, kepribadian, dan perilaku.
Tabel 2.3
Contoh Alat Tes Psikologi Terstandar Berdasarkan Aspek Ukur
ALAT TES PSIKOLOGI TERSTANDAR
DEFINISI ASPEK
ANAK REMAJA/DEWASA
Inteligensi (Trull, 2005): Raven CPM, FRT, Raven SPM/APM,
• Kapasitas individu MIR, WPPSI, WISC, Tes Memori Indonesia,
melakukan penyesuaian Stanford Binet, Tintum, Army Alpha,
diri dalam berbagai Goodenough Harris, FRT, TIDI, TIKI, WPT,
situasi. SON, CFIT 1, dan MIR (Multiple
• Kemampuan untuk lain- lain. Intelligence Research),
belajar yang tidak hanya CFIT 2, CFIT 3,
terbatas akademik. WAIS/WB, IST, TKD,
TIU, SON, KBIT, dan
• Kemampuan berpikir
lain-lain.
abstrak, konseptual, dan
simbolik (verbal maupun
nonverbal).
26
ALAT TES PSIKOLOGI TERSTANDAR
DEFINISI ASPEK
ANAK REMAJA/DEWASA
Kepribadian (Kazdin, Proyektif: Proyektif:
2000 dalam American DAM/HTP/BAUM, SSCT, DAM/HTP/
Psychological Association, Wartegg, CAT, CSCT/ BAUM, TAT, Wartegg,
n.d.; Hampson & Goldberg FSCT, Doodle Test, Hand Test, dan lain-lain.
2020) yaitu pola berpikir, CHAD, Duss Despert, Inventori:
emosi, dan perilaku Blacky, dan lain-lain.
berdasarkan perbedaan CPI, Big Five,
Inventori: Eysenck Personality
individu yang berintegrasi
untuk menggambarkan Piers Harris Self Inventory, EPPS, Pappi
karakter individual secara Concept, dan lain-lain. Kostic, DISC, MBTI,
khusus yang relatif stabil MMPI, 16 PF, dan lain-
lain.
Perilaku (Haynes & dapat melalui observasi dengan bantuan skala
Heiby, 2004) dan/atau daftar periksa perilaku, seperti:
Asesmen perilaku Children Behavior Adolescent Anger Rating
merupakan suatu proses Check List, dan lain- Scale (AARS), dan lain-
evaluasi melalui analisis lain lain
fungsional yang dilakukan
dalam rentang waktu
tertentu dengan berbagai
metode serta melibatkan
berbagai sumber daya dan
dalam konteks yang
beragam.
28
PENEGAKAN DIAGNOSIS
Dinamika Psikologis
29
Gambar 2.1
31
Manifestasi Fungsi Psikologis dan Perilaku
Manifestasi fungsi psikologis dan perilaku (MPP) merupakan penilaian yang
disertai dengan deskripsi terhadap tingkatan keberfungsian individu dalam kontinum
adaptif hingga maladaptif. MPP dibangun berdasarkan fungsi psikodinamik, kognitif,
dan tugas perkembangan yang didukung oleh penelitian terkait. Deskripsi MPP
membantu untuk memberikan gambaran dalam menjelaskan kepribadian berdasarkan
kapasitas mental setiap individu.
Prognosis
Prognosis adalah kegiatan memprediksi mengenai kemungkinan pasien kembali
ke kondisi normal (Barlow, 2014). Prognosis membantu psikolog memberikan
pertimbangan terhadap aksis V sistem multiaksial DSM-IV mengenai tingkat
keberfungsian individu secara keseluruhan.
Selain itu, informasi tersebut bermanfaat dalam merencanakan intervensi,
mengukur dampak intervensi, dan memprediksi hasil intervensi (American
Psychiatric Association, 1994). Pelaporan fungsi umum pada Aksis V bisa dilakukan
dengan menggunakan skala Global Assessment of Functioning (GAF). Meskipun
penggunaan skala GAF dihapuskan dalam sistem aksial DSM-5 (American
Psychiatric Association, 2013), namun pemahaman terhadap GAF memudahkan
psikolog klinis melakukan penilaian hipotetis terhadap kemajuan klinis seseorang
secara global berdasarkan satu ukuran.
Secara khusus skala GAF dibagi dalam 10 tingkat fungsi terkait psikologi, sosial,
dan pekerjaan (Ikatan Psikologi Klinis, 2008; American Psychiatric Association,
2000).
32
Tabel 2.4
Skala Global Assessment of Functioning (GAF)
SKALA GA F
100 – 91 Gejala tidak ada, berfungsi maksimal, tidak ada masalah yang tak
tertanggulangi
33
Intervensi
Psikoedukasi
Psikoedukasi adalah kegiatan yang dilakukan untuk meningkatkan pemahaman
dan/atau keterampilan sebagai usaha pencegahan dari munculnya dan/atau meluasnya
gangguan psikologis di suatu kelompok, komunitas, atau masyarakat. Psikoedukasi
dilakukan untuk meningkatkan pemahaman bagi lingkungan (terutama keluarga)
tentang gangguan yang dialami seseorang setelah menjalani psikoterapi. Psikoedukasi
dapat berbentuk pelatihan dan maupun nonpelatihan (Himpunan Psikologi Indonesia,
2010).
Konseling
Konseling psikologi adalah kegiatan yang dilakukan untuk membantu mengatasi
masalah psikologis yang berfokus pada aktivitas preventif dan pengembangan potensi
positif yang dimiliki dengan menggunakan prosedur berdasar teori yang relevan.
Istilah untuk individu yang menjalani layanan konseling psikologi adalah pasien.
Konseling dapat dilakukan secara individual maupun kelompok untuk menyelesaikan
masalah pendidikan, perkembangan manusia, ataupun pekerjaan (Himpunan
Psikologi Indonesia, 2010).
Terdapat beberapa tujuan konseling, antara lain (Ikatan Psikologi Klinis, 2008):
1. Memfasilitasi perubahan perilaku pasien;
2. Memfasilitasi keterampilan koping pasien;
3. Memfasilitasi kemampuan pasien dalam pengambilan keputusan;
4. Memfasilitasi kualitas hubungan pasien dengan orang lain;
5. Memfasilitasi perkembangan potensi pasien.
Dalam konseling, pasien tidak dipandang sebagai individu yang sakit secara
mental, melainkan sebagai individu yang mampu menentukan tujuan, mengambil
keputusan, dan bertanggung jawab atas perilaku dan masa depannya. Di sisi lain,
konselor adalah fasilitator bukan figur otoritas.
Seorang konselor perlu menguasai keterampilan komunikasi verbal, nonverbal,
dan keterampilan-keterampilan mikro (seperti mendengarkan aktif, merefleksikan
perasaan, isi pikiran dan pengalaman pasien, menginterpretasikan keluhan pasien, dan
34
lain-lain). Sikap dasar yang meliputi empati, tulus, konsisten, dan penghargaan yang
positif, serta respek terhadap pasien perlu dimiliki oleh konselor.
Langkah- langkah dalam memberikan konseling adalah sebagai berikut:
1. Menelaah potensi untuk berubah;
2. Menetapkan tujuan dan kriteria hasil;
3. Memikirkan solusi alternatif;
4. Membuat keputusan;
5. Mengembangkan perencanaan;
6. Melaksanakan rencana;
7. Mengevaluasi;
8. Menghargai usaha dan hasil (kembali ke poin 1 mengenai telaah potensi).
Terapi
Terapi psikologi adalah kegiatan intervensi dengan menggunakan prinsip-prinsip
psikologi untuk membantu mengatasi masalah psikologi, membangun pemahaman,
dan/atau membangun perilaku pasien agar dapat berfungsi secara optimal (Ikatan
Psikologi Klinis, 2008). Terapi psikologi disebut psikoterapi yang dalam
pelaksanaannya membutuhkan kelengkapan dokumen berupa kartu status pasien,
formulir psikoterapi, dan rekam medis (Ikatan Psikologi Klinis, 2008). Sasaran
psikoterapi mencakup pasien anak, remaja, dewasa, atau lansia yang dilaksanakan
secara individual maupun kelompok (Himpunan Psikologi Indonesia, 2010).
Prosedur yang secara umum dilakukan dalam psikoterapi, yaitu (Ikatan Psikologi
Klinis, 2008):
1. Psikolog klinis menentukan metode psikoterapi sesuai kebutuhan;
2. Psikolog klinis mempersiapkan proses psikoterapi;
3. Psikolog klinis melaksanakan proses psikoterapi;
4. Psikolog klinis melakukan pencatatan dan pelaporan;
5. Psikolog klinis merencanakan dan melakukan kegiatan tindak lanjut.
Pendekatan psikoterapi yang ada saat ini sudah sangat beragam dan bervariasi
teknik-tekniknya. Namun demikian, dengan mengacu pada beberapa referensi
psikoterapi maka secara umum pendekatan yang saat ini banyak dilakukan dapat
dijelaskan dalam tabel 2.5.
35
Tabel 2.5
Pendekatan dan Teknik Psikoterapi
Selain pendekatan di atas juga terdapat pendekatan lain, seperti transpersonal dan
eksistensial yang secara rinci belum dimuat dalam panduan ini. Psikolog Klinis dapat
memperdalamnya pada buku referensi Ingram (2012) dan buku rujukan ilmiah lainnya
untuk mendapatkan gagasan-gagasan mengenai psikoterapi terkini yang berbasis pada
bukti.
Hasil Pemeriksaan Psikologi (HPP) adalah dokumen yang berisi catatan atau
rangkuman pelayanan psikologis yang dilakukan terhadap pasien. Rekam psikologis
harus selalu diperbarui pada setiap kedatangan pasien (Ikatan Psikologi Klinis, 2008).
Penulisan HPP dibuat dengan tujuan pertanggungjawaban, komunikasi, dan
dokumentasi, baik itu antar psikolog, antara psikolog dengan profesi lain, dan antara
36
psikolog dengan pasien dan/atau keluarganya (Craighead, Miklowitz, & Craighead,
2013; Ikatan Psikologi Klinis, 2008).
Prosedur pembuatan hasil pemeriksaan psikologis diharapkan dapat memenuhi
kriteria sebagai berikut :
1. Sistematis, terinci, dan jelas;
2. Menjelaskan aspek-aspek psikologis (kognisi, afeksi, perilaku, dan
sosial) termasuk dinamika psikologis yang terjadi;
3. Menggunakan istilah baku sehingga terjadi pemahaman yang standar;
4. Kerahasiaannya terjamin dan dapat dipertanggungjawabkan.
Sistematika penulisan HPP dapat diisikan pada rekam psikologis yang bersifat
fleksibel dan disesuaikan dengan kebutuhan (contoh dapat dilihat dalam lampiran).
Namun demikian, perlu diperhatikan bahwa rekam psikologis setidaknya
mengandung informasi di bawah ini:
1. Informasi kedatangan pertama
a. Nomor rekam psikologis (nomer induk pasien);
b. Identitas (nama, usia, jenis kelamin, alamat, nama orang tua, pendidikan,
pekerjaan);
c. Tanggal kedatangan pertama;
d. Permasalahan yang dikeluhkan;
e. Data rujukan (siapa yang merujuk/yang mengantar);
f. Riwayat hidup (pendidikan, pekerjaan, keluarga, pribadi, sosial);
g. Jenis pelayanan (observasi, wawancara, tes, konseling,terapi);
h. SOAP/SOHP Pasien;
i. Dinamika psikologi (berdasarkan analisis/hipotesis, kepribadian, dukungan
sosial, fungsi, dan integrasi data pemeriksaan);
j. Diagnosis.
2. Informasi yang perlu dicatat pada kedatangan berikutnya
a. Tanggal pelayanan;
b. Jenis pelayanan (observasi, wawancara, tes, konseling, terapi);
c. Permasalahan dan kondisi saat ini;
d. Hasil pemeriksaan/asesmen (observasi, wawancara, tes psikologi yang
dilakukan pada kedatangan tersebut);
e. Intervensi yang dilakukan pada kedatangan tersebut dan yang perlu
dilakukan oleh pasien;
f. Rujukan/rekomendasi yang bertujuan untuk mendapatkan pendapat banding
(second opinion) dan/atau konsultasi, dan/atau penanganan lanjut guna
37
memberikan pelayanan atau solusi yang lebih sesuai, komprehensif, dan
tepat.
g. Jika psikolog klinis mengalami kesulitan dalam melengkapi rekam
psikologis maka disarankan untuk: 1) konsultasi dengan atasan (psikolog
senior; 2) diskusi dengan kolega seprofesi (teman sejawat); dan 3) merujuk
pada pedoman penulisan laporan hasil pemeriksaan psikologis (Ikatan
Psikologi Klinis, 2008).
h. Secara singkat, HPP termasuk intervensinya dapat dituliskan dalam
rangkuman sebagai berikut:
i. Pengumpulan data (permasalahan utama dan diagnosis);
j. Penentuan tujuan intervensi;
k. Implementasi intervensi (implementasi, pemonitoran, dan evaluasi);
l. Kesimpulan dan rujukan atau terminasi.
38
Referensi
40
BAB 3
41
1. Disabilitas Intelektual
42
Disabilitas Intelektual
Manifestasi Klinis
Identifikasi
Identifikasi pasien dengan dugaan disabilitas intelektual dapat dilakukan dengan
mengidentifikasi keluhan orangtua terhadap kemampuan perkembangan anak (meliputi
kemampuan kognitif, bahasa dan bicara, sosial personal, emosi, serta motorik). Keluhan
orangtua dapat berupa kesulitan anak dalam belajar informasi baru, melakukan
komunikasi dua arah, serta kesulitan dalam melakukan aktivitas hidup sehari-hari.
43
Disabilitas Intelektual
Asesmen
Asesmen dilakukan secara sistematis dan komprehensif berkaitan dengan latar
belakang informasi terkait pasien, termasuk riwayat pemeriksaan sebelumnya.
Asesmen dapat dilakukan di berbagai setting, seperti rumah, klinik, dan sekolah. Akan
lebih baik jika data asesmen diperoleh dari berbagai sumber, seperti pasien, orangtua,
pengasuh, maupun guru.
1. Wawancara Klinis
Wawancara dapat dilakukan secara semi terstruktur dengan adanya panduan
wawancara dan probing terhadap data yang diperoleh (Farisandy & Hartini, 2019).
Wawancara dilakukan untuk mengetahui informasi-informasi sebagai berikut
(Deb, dkk, 2001; Grimaji, 2008; Kishore, dkk, 2019):
a. Latar belakang keluarga, seperti ada tidaknya riwayat disabilitas intelektual,
gangguan mental, gangguan neurologis (epilepsi), maupun riwayat penyakit
fisik yang relevan; serta kualitas relasi pasien dan anggota keluarga yang lain.
Interaksi orangtua-anak, meliputi kualitas keterlibatan dengan pasien, pola
komunikasi, tingkat dan kualitas kontrol terhadap anak, respon terkait
perilaku baik dan buruk pasien
b. Riwayat personal dan perkembangan, seperti informasi riwayat kehamilan
dan kelahiran, serta progresnya hingga saat ini; tumbuh kembang pasien,
pengelolaan keluarga dalam mengasuh pasien dengan disabilitas intelektual;
riwayat pendidikan; relasi dengan teman atau guru di sekolah; perilaku
pasien, tingkat keberfungsian dalam kehidupan keseharian, dsb
c. Riwayat kesehatan, seperti riwayat dan informasi kesehatan terkini; ada
tidaknya gangguan dalam fungsi penglihatan, pendengaran, bicara, atau
gerak; eksplorasi cara pasien mengkomunikasikan rasa sakit atau
ketidaknyamanan tubuh yang dirasakan
d. Riwayat sosial, seperti riwayat dan informasi terkini terkait tingkat fungsi
perilaku adaptif; pengelolaan hidup keseharian; serta kuantitas dan kualitas
dukungan sosial yang dimiliki
e. Keberfungsian keluarga, seperti persepsi orangtua terhadap kondisi
disabilitas intelektual pasien dan dampaknya, dukungan yang tersedia,
mekanisme stres dan koping orangtua
Psikolog klinis dapat mempersiapkan wawancara klinis dengan setting
ruangan yang memiliki berbagai mainan, buku, gambar, kertas dan pensil, sofa
dan furnitur ramah anak, serta memastikan adanya ruang untuk bergerak yang
44
Disabilitas Intelektual
aman dari bahaya bagi pasien (Grimaji, 2008). Adapun langkah-langkah dalam
proses wawancara pada pasien dan keluarga, yaitu (Grimaji, 2008):
a. Membangun rapport
i. Memastikan pasien dan orangtuanya merasa nyaman
ii. Menggunakan nama panggilan pasien dan mengetahui usianya secara
pasti
iii. Bersiap untuk berinteraksi dengan pasien melalui beberapa aktivitas
yang dilakukan bersama-sama
iv. Menawarkan mainan, buku, atau hal-hal lain yang menjadi minat pasien
dan sesuai dengan kemampuannya, serta mengapresiasi dan
menyampaikannya pada orangtua
b. Membangun hubungan kerjasama dengan orangtua
i. Menghargai pendapat dan impresi orangtua terhadap pasien
ii. Mengapresiasi orangtua atas usaha orangtua dalam mendampingi
pasien
c. Melakukan wawancara verbal sesuai dengan kemampuan bahasa dan
komunikasi pasien
i. Gunakan bahasa yang sederhana, singkat, dan terstruktur
ii. Gunakan pertanyaan yang jelas dan konkrit
iii. Hindari pertanyaan yang mengarahkan pada respon jawaban tertentu
iv. Libatkan orangtua dalam proses wawancara jika diperlukan
2. Observasi Klinis
Observasi pada pasien dengan dugaan disabilitas intelektual dapat dilakukan
oleh psikolog klinis dengan mengamati beberapa hal berikut, di antaranya (Deb,
dkk, 2001; Grimaji, 2008):
a. Penampilan fisik pasien
b. Perubahan kondisi mental selama pemeriksaan berlangsung, seperti ada
tidaknya gejala baru yang muncul, perubahan kualitas dan intensitas gejala
yang sudah ada
c. Respon pasien terhadap situasi pemeriksaan
d. Kelekatan dengan orangtua dan respon ketika berpisah
e. Kemampuan sosialisasi (kontak mata, respon sosial)
f. Suasana hati (seperti riang, rewel, menangis, mudah kesal)
g. Tingkat aktivitas motorik (misal kekakuan gerak, hiperaktif, lesu)
h. Respon terhadap instruksi (seperti perilaku diam, tidak merespon)
i. Kontrol terhadap impuls (misal merebut, menumpahkan, menabrak, terjatuh,
perilaku agresif seperti memukul, melempar, menjambak, menggigit)
45
Disabilitas Intelektual
46
Disabilitas Intelektual
iii. Tes intelegensi dengan skala Wechsler, seperti Wechsler Preschool and
Primary Scale of Intelligence (WPPSI), Wechsler Intelligence Scale for
Children (WISC) digunakan untuk penegakan diagnosa dan
menentukan kategori disabilitas intelektual berdasarkan skor IQ yang
diperoleh.
iv. Snijders-Oomen Nonverbal Intelligence Test
Pemeriksaan intelegensi pada pasien dengan gangguan pendengaran
dapat dilakukan dengan SON-Nonverbal Intelligence Test. Namun,
perlu menjadi pertimbangan, hasil studi yang dilakukan untuk
mengukur kemampuan nonverbal intelegensi anak dengan disabilitas di
Australia menggunakan SON dan WPPSI skala nonverbal
menunjukkan skor IQ yang diperoleh dari SON cenderung lebih rendah
daripada skor IQ yang diperoleh dari WPPSI skala nonverbal
(Jenkinson, dkk, 1996).
c. Pemeriksaan fungsi adaptif pasien dilakukan dengan menggunakan salah
satu di antara beberapa tes berikut (Farisandy & Hartini, 2019; Grimaji,
2008; Kishore, dkk, 2019; Siegel, dkk, 2020):
i. Vineland Social Maturity Scale (VSMS)
Pemeriksaan fungsi adaptif dengan VSMS menghasilkan Social
Quotient (SQ). Meski skor IQ dan SQ dapat membedakan tingkat
keparahan kondisi disabilitas intelektual, skor SQ menunjukkan
kemampuan pasien dalam memenuhi tuntutan aktivitas hidup
keseharian yang sesuai dengan budaya pasien disabilitas intelektual
(Kishore, dkk, 2019).
Kalkulasi disabilitas berdasarkan skor VSMS adalah sebagai berikut
(Kishore, dkk, 2019):
• Skor 0-20 = disabilitas sangat berat
• Skor 21-35 = disabilitas berat
• Skor 36-54 = disabilitas sedang
• Skor 55-69 = disabilitas ringan
• Skor 70-84 = borderline
ii. Vineland Adaptive Behavior Scale (VABS)
Jika tes fungsi adaptif tidak dapat dilakukan, psikolog klinis dapat
mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang relevan untuk memahami
tingkat fungsi perilaku adaptif pasien (Kishore, dkk, 2019).
Selain tes psikologi yang telah disebutkan di atas, beberapa literatur
menunjukkan identifikasi permasalahan lain terkait disabilitas intelektual dapat
47
Disabilitas Intelektual
Tabel 3.1.1
Kriteria Diagnosis Disabilitas Intelektual Berdasarkan DSM-5
Kriteria Diagnosis Ada Tidak
A Defisit pada fungsi intelektual, meliputi
kemampuan penalaran, pemecahan masalah,
perencanaan, kemampuan berpikir abstrak,
pengambilan keputusan, kemampuan belajar
akademis dan belajar dari pengalaman. Kondisi ini
perlu dikonfirmasi melalui pemeriksaan klinis
yang dilakukan secara individual dan tes
intelegensi yang terstandar.
B Defisit pada fungsi adaptif yang terjadi karena
kegagalan mencapai kemandirian personal dan
tanggung jawab sosial sesuai standar
perkembangan dan sosial budaya. Tanpa
dukungan yang berkelanjutan, kekurangan ini
membatasi keberfungsian anak dalam satu atau
48
Disabilitas Intelektual
Tabel 3.1.2
Klasifikasi Disabilitas Intelektual Berdasarkan IQ
Kategori Skor IQ
Ringan 50 – 69
Sedang 35 – 49
Berat 20 – 34
Sangat berat < 20
49
Disabilitas Intelektual
Tabel 3.1.3
Kriteria Diagnosis Keterlambatan Perkembangan Global Berdasarkan DSM-5
Kriteria Diagnosis Ya Tidak
Diagnosis diberikan pada anak usia di bawah 5 tahun ketika
tingkat gangguan klinis tidak dapat diperiksa secara tepat
selama awal masa kanak-kanak. Kategori ini ditegakkan
ketika anak gagal memenuhi tahapan perkembangan yang
diharapkan pada beberapa area fungsi intelektual, dan anak
tidak dapat menjalani pemeriksaan fungsi intelektual yang
tersistematis, termasuk anak-anak yang terlalu muda untuk
mengikuti tes terstandar. Kategori ini membutuhkan
asesmen ulang setelah jangka waktu tertentu.
50
Disabilitas Intelektual
Komorbiditas
51
Disabilitas Intelektual
Diagnosis Banding
Intervensi Psikologis
52
Disabilitas Intelektual
2. Terapi perilaku
Pasien dengan disabilitas intelektual dapat menunjukkan perilaku bermasalah,
seperti perilaku hiperaktif, tantrum, maupun perilaku agresif. Salah satu
penyebabnya adalah terbatasnya kemampuan komunikasi pasien (Kishore, dkk,
2019). Salah satu teknik yang digunakan dalam mengatasi perilaku bermasalah
pada anak dengan disabilitas intelektal adalah teknik dukungan perilaku positif
dengan prinsip Applied Behavior Analysis (ABA) (Ali, Blickwedel, & Hassiotis,
2014), yang terwujud dalam beberapa hal berikut:
a. Bertujuan meningkatkan kualitas hidup pasien dengan menumbuhkan
partisipasinya dalam komunitas, meningkatkan pilihan dan kompetensi
personal dalam rangka mengubah perilaku
b. Analisis fungsional dilakukan untuk memahami tujuan perilaku
c. Intervensi berusaha untuk menurunkan pemicu kemunculan perilaku
(termasuk menciptakan situasi-situasi tertentu) dalam rangka mengurangi
kemunculan perilaku bermasalah/maladaptif
d. Mengajarkan keterampilan-keterampilan pada pasien, termasuk
keterampilan komunikasi dan koping
e. Intervensi dapat berfokus pada berbagai komponen sesuai dengan berbagai
perilaku menantang yang muncul
f. Tidak menggunakan hukuman dalam mengubah perilaku
bermasalah/maladaptif
g. Menggunakan penguatan / reinforcement untuk mempertahankan perilaku
yang baik
h. Menggunakan strategi yang reaktif dan proaktif
i. Intervensi menumbuhkan perubahan perilaku pengasuh dan cara
memberikan layanan bagi pasien dengan disabilitas intelektual.
Adapun prosedur pelaksanaan terapi perilaku yang mengacu pada penelitian
Amalia & Savitri (2019), Manurung (2017), dan Puspasari (2018) adalah sebagai
berikut:
a. Menentukan data baseline
Berdasarkan hasil asesmen, psikolog klinis melakukan analisis
fungsional terhadap perilaku pasien dan interaksi dengan lingkungan yang
dapat memicu, meningkatkan, ataupun mengurangi kemunculan perilaku
tersebut (Ali, Blickwedel, & Hassiotis, 2014). Adapun proses analisis
fungsional adalah sebagai berikut:
i. Mendeskripsikan perilaku dengan jelas
ii. Mengidentifikasi faktor yang dapat memprediksi kemunculan perilaku
53
Disabilitas Intelektual
Prognosis
Catatan Lain
Selain pemeriksaan dan intervensi psikologis, asesmen serta tatalaksana pada anak
dengan disabilitas intelektual dapat dilakukan dengan berkolaborasi dengan profesional
lain. Di antaranya: dokter, perawat, terapis wicara, dan terapis okupasi.
55
Disabilitas Intelektual
Referensi
Ali, A., Blickwedel, J., & Hassiotis, A. (2014). Interventions for challenging behaviour
in intellectual disability. Advances in psychiatric treatment, 20(3), 184–192.
doi:10.1192/apt.bp.113.011577
Amalia, N. A., & Savitri, L. S. Y. (2019). Modifikasi Perilaku Peningkatan Kemampuan
Memakai Kaus pada Anak dengan Intellectual Disability Tingkat Sedang.
Cognicia, 7(3), 281-294.
American Psychiatric Association. (2013). Diagnostic and statistical manual of mental
disorders (DSM-5) (5th ed). Washington, DC: American Psychiatric Publishing.
Astramovich, R.L., Lyons, C., & Hamilton, N.J. (2015). Play therapy for children with
intellectual disabilities. Journal of Child and Adolescent Counseling, 1(1), 27–36.
doi :10.1080/23727810.2015.1015904.
Beh‐Pajooh, A., Abdollahi, A., & Hosseinian, S. (2018). The effectiveness of painting
therapy program for the treatment of externalizing behaviors in children with
intellectual disability. Vulnerable Children and Youth Studies, 13(3), 221–227.
doi:10.1080/17450128.2018.1428779
Brannigan, G. G. (2009). Bender Visual-Motor Gestalt Test. The Corsini Encyclopedia
of Psychology. doi:10.1002/9780470479216.corpsy0124
Deb, S., Matthews, T., Holt, G., & Bouras, N. (2001). Practice guidelines for the
assessment and diagnosis of mental health problems in adult with intellectual
disability. UK: Paterson Printing Ltd.
Farisandy, E. D., & Hartini, N. (2019). Efektivitas modifikasi perilaku pada anak
dengan retardasi mental dan DBD (Disruptive Behavior Disorder). Motiva: Jurnal
Psikologi, 2(2), 51-59.
Goharpey N, Crewther DP, Crewther SG. (2013). Problem solving ability in children
with intellectual disability as measured by the Raven's colored progressive
matrices. Research in Developmental Disability, 34(12), 4366-74. doi:
10.1016/j.ridd.2013.09.013.
Grimaji, S. C. (2008). Clinical practice guidelines for the diagnosis and management
of children with mental retardation. National Institute of Mental Health and Neuro
Sciences. Retrieved from https://www.researchgate.net/publication/239805090
Jenkinson, J., Roberts, S., Dennehy, S., & Tellegen, P. (1996). Validation of the
Snijders-Oomen Nonverbal Intelligence Test - Revised 2½-7 for Australian
Children with Disabilities. Journal of Psychoeducational Assessment, 14(3), 276–
286. doi:10.1177/073428299601400307
56
Disabilitas Intelektual
Kishore, M.T., Udipi, G.A., & Seshadri, S.P. (2019). Clinical practice guidelines for
assessment and management of intellectual disability. Indian Journal of
Psychiatry, 61(8),194-210. Retrieved from:
https://www.indianjpsychiatry.org/text.asp?2019/61/8/194/250038
Landreth, G. L. (2012). Play therapy: The art of the relationship (3rd ed.). New York:
Routledge
Maslim, R. (2013). Buku saku diagnosis gangguan jiwa rujukan ringkas dari PPDGJ-
III dan DSM-5. Jakarta: Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK Unika Atmajaya.
Manurung, Y. S. (2017). Terapi modifikasi perilaku dengan positive reinforcement
untuk meningkatkan kemampuan bahasa ekspresif anak yang mengalami mild
intellectual disability. Majalah Ilmiah Politeknik Mandiri Bina Prestasi, 6(2).
McIntyre, L. L. (2013). Parent Training Interventions to Reduce Challenging Behavior
in Children with Intellectual and Developmental Disabilities. International
Review of Research in Developmental Disabilities, 44,245-279.
doi:10.1016/B978-0-12-401662-0.00008-7
Memisevic, H., & Sinanovic, O. (2012). Predictors of visual-motor integration in
children with intellectual disability. International Journal of Rehabilitation
Research, 35(4), 372–374. doi:10.1097/mrr.0b013e32835a23d0
Mora, L., Sebille, K. V., & Neill, L. (2018). An evaluation of play therapy for children
and young people with intellectual disabilities, Research and Practice in
Intellectual and Developmental Disabilities, 5(2), 178-191. doi:
10.1080/23297018.2018.1442739
Murpratiwi, I. A., & Tjakrawiralaksana, M. A. (2018). Prompting dan positive
reinforcement untuk meningkatkan keterampilan berpakaian pada anak dengan
intellectual disability. Jurnal Psikologi Teori dan Terapan, 8(2), 112-123.
Puspasari, K. D. (2018). Teknik modelling simbolik dan reinforcement positif untuk
meningkatkan keterampilan sosial pada anak intellectual disability. Procedia,
Studi Kasus dan Intervensi Psikologi, 6(2). doi: 10.22219/procedia.v6i2.12641
Rathnakumar, D. (2020). Play therapy and children with intellectual disability. Shanlax
International Journal of Education, 8(2),35–42.
doi:10.34293/education.v8i2.2299
Siegel, M., McGuire, K., Veenstra-VanderWeele, J., dkk. (2020). Practice parameter
for the assessment and treatment of psychiatric disorders in children and
adolescents with intellectual disability (intellectual developmental disorder).
57
Disabilitas Intelektual
58
2. Gangguan Bahasa
Manifestasi Klinis
59
Gangguan Bahasa
Identifikasi
Identifikasi pasien dengan dugaan gangguan bahasa dapat dilakukan dengan
mengidentifikasi keluhan orang tua terhadap kemampuan perkembangan bahasa dan
bicara anak. Keluhan orang tua dapat berupa adanya keterlambatan bicara, minimnya
kontak mata, minimnya respon anak saat dipanggil namanya, serta kesulitan anak dalam
interaksi dan komunikasi sosial.
Asesmen
Asesmen dilakukan secara sistematis dan komprehensif berkaitan dengan latar
belakang informasi terkait pasien, termasuk aspek perkembangan kognisi, bahasa, dan
sosial-emosional pasien. Asesmen dapat dilakukan di berbagai setting, seperti rumah,
klinik, dan sekolah. Akan lebih baik jika data asesmen diperoleh dari berbagai sumber,
seperti pasien, orang tua, pengasuh, maupun guru.
1. Wawancara Klinis
Wawancara dilakukan untuk mengetahui informasi-informasi yang lebih
mendalam terkait beberapa hal berikut, di antaranya:
a. Riwayat kesehatan
b. Riwayat perkembangan dan kondisi kemampuan perkembangan terkini,
khususnya kemampuan bahasa (reseptif dan ekspresif) pasien.
c. Riwayat pendidikan
d. Riwayat keluarga
e. Faktor lingkungan, seperti interaksi dengan orang tua, riwayat paparan gawai
dalam keseharian.
2. Observasi Klinis
60
Gangguan Bahasa
Observasi pada pasien dengan dugaan gangguan bahasa dapat dilakukan oleh
psikolog klinis untuk mengamati gejala-gejala klinis yang tampak pada perilaku
anak, seperti penggunaan bahasa verbal dan nonverbal dalam berinteraksi dan
berkomunikasi dengan orang lain, artikulasi dan tempo bicara anak, respon
sosialisasi (kontak mata, respon saat dipanggil namanya), respon terhadap
instruksi, serta perilaku bermain anak.
3. Tes Psikologi
Pemeriksaan dengan tes psikologi juga dilakukan untuk memetakan
kemampuan anak dan menunjang penegakan diagnosis yang lebih jelas.
a. Skrining awal terhadap kemampuan perkembangan pasien dilakukan dengan
menggunakan salah satu di antara beberapa tes berikut (Özcebe, Erbas, &
Tiğrak, 2019; Prelock & Hutchins, 2018; Torras-Mañá, dkk, 2014):
i. Denver Developmental Screening Test
ii. Bayley Scales of Infant and Toddler Development
b. Pemeriksaan fungsi adaptif pasien dilakukan dengan menggunakan salah
satu di antara beberapa tes berikut:
i. Vineland Social Maturity Scale (VSMS)
ii. Vineland Adaptive Behavior Scale (VABS)
c. Pemeriksaan terhadap fungsi kognitif pasien dilakukan dengan
menggunakan salah satu di antara beberapa tes berikut (Assous, dkk, 2018):
i. Skala Raven, seperti Coloured Progressive Matrices (CPM)
ii. Tes inteligensi dengan Stanford-Binet Intelligent Scale
iii. Tes inteligensi dengan skala Weschler, seperti Wechsler Preschool
and Primary Scale of Intelligence (WPPSI), Wechsler Intelligence
Scale for Children (WISC)
Selain tes psikologi yang telah disebutkan di atas, identifikasi permasalahan
lain terkait gangguan bahasa dapat dilakukan dengan menggunakan tes psikologi
berikut, di antaranya (Lisa, dkk, 2019; Noterdaeme & Amorosa, 1999):
a. Children Behavior Check List (CBCL)
b. BAUM, Draw A Person (DAP), House Tree Person (HTP)
c. Strength and Difficulties Questionnaire (SDQ)
Tes-tes psikologi yang telah disebutkan di atas merupakan alternatif yang
dapat digunakan sebagai acuan psikolog klinis dalam melakukan pemeriksaan
psikologi pada pasien dengan gangguan bahasa. Tes-tes psikologi tersebut telah
tersedia dalam bahasa Indonesia, namun masih perlu dilakukan penelitian untuk
melihat sejauh mana keefektifannya sebagai evidence based dalam asesmen
penegakan diagnosis gangguan bahasa di Indonesia.
61
Gangguan Bahasa
Diagnosis
Kriteria penegakan diagnosis gangguan bahasa berdasarkan DSM-5 dapat dilihat
pada tabel 3.2.1.
Tabel 3.2.1
Kriteria Diagnosis Gangguan Bahasa Berdasarkan DSM-5
Kriteria Diagnosis Ada Tidak
A Kesulitan yang persisten dalam menambahkan dan
menggunakan modalitas yang dimiliki (seperti
ucapan, tulisan, bahasa isyarat, atau yang lain)
dikarenakan kurangnya pemahaman atau produksi
beberapa hal berikut:
1. Kurangnya kosa kata yang dikuasai
(pengetahuan dan penggunaan kata).
2. Struktur kalimat yang terbatas (kemampuan
menempatkan kata-kata dan mengakhiri kata
untuk membentuk kalimat berdasarkan aturan
tata bahasa dan morfologi).
3. Gangguan dalam percakapan (kemampuan
untuk menggunakan kosa kata dan
menghubungkan kalimat-kalimat untuk
menjelaskan atau menggambarkan suatu topik
atau serangkaian kejadian atau bercakap-
cakap).
B Kemampuan bahasa yang terukur berada di bawah
usia yang diharapkan, mengakibatkan keterbatasan
fungsi dalam komunikasi efektif, partisipasi sosial,
pencapaian akademik, ataupun performa kinerja,
salah satu di antaranya ataupun kombinasi.
C Onset gejala terjadi di masa awal perkembangan
D Kesulitan tidak berkaitan dengan gangguan
pendengaran atau gangguan sensori lain, disfungsi
motorik, atau kondisi medis/neurologis lain yang
tidak lebih baik dijelaskan oleh disabilitas
intelektual (gangguan perkembangan intelektual)
atau global developmental delay.
62
Gangguan Bahasa
Berdasarkan PPDGJ III, pedoman diagnosis gangguan bahasa terdiri dari (Maslim,
2013):
1. Gangguan bahasa reseptif (F80.2)
a. Gangguan perkembangan khas dimana pengertian anak dalam bahasa di
bawah kemampuan rata-rata anak dalam usia mentalnya
b. Kegagalan dalam memberi respon terhadap nama yang familier (tidak
adanya petunjuk nonverbal) pada ulang tahun yang pertama,
ketidakmampuan dalam identifikasi beberapa objek yang sederhana dalam
usia 18 bulan, atau kegagalan dalam mengikuti instruksi sederhana pada usia
2 tahun, dapat dicatat sebagai tanda-tanda dari kelambatan. Di kemudian hari
kesulitan-kesulitan mencakup ketidakmampuan untuk mengerti struktur tata
bahasa (bentuk kalimat negatif, pertanyaan, perbandingan, dsb) dan
kekurangan dalam mengerti aspek penghalus dari bahasa (nada suara,
gerakan tubuh, dsb).
c. Kriteria dari gangguan perkembangan pervasive tidak dijumpai
d. Pada hampir semua kasus, perkembangan dari bahasa ekspresif juga
terlambat dan lazim ada suara ucapan yang tidak normal.
e. Dari semua variasi gangguan perkembangan khas berbicara dan berbahasa,
gangguan bahasa reseptif mempunyai tingkat hubungan yang tinggi dengan
gangguan sosio-emosional-perilaku. Namun demikian, mereka berbeda dari
anak autistik dalam hal interaksi sosial yang lebih normal, permainan
imajinasi yang normal, pemanfaatan orang tua untuk berlindung normal,
penggunaan gerak tubuh yang hampir normal, dan hanya sedikit kesulitan
dalam komunikasi.
2. Gangguan bahasa ekspresif (F80.1)
a. Gangguan perkembangan khas dimana kemampuan anak dalam
mengekspresikan bahasa dengan berbicara, jelas di bawah rata-rata anak
dalam usia mentalnya, tetapi pengertian bahasa dalam batas-batas normal,
dengan atau tanpa gangguan artikulasi
b. Meskipun terdapat variasi individual yang luas dalam perkembangan bahasa
yang normal, tidak adanya kata atau beberapa kata yang muncul pada usia 2
tahun, dan ketidakmampuan dalam mengerti kata majemuk sederhana pada
usia 3 tahun, dapat diambil sebagai tanda yang bermakna dari kelambatan
c. Kesulitan-kesulitan yang tampak belakangan termasuk perkembangan kosa
kata yang terbatas, kesulitan dalam memilih dan mengganti kata-kata yang
tepat, penggunaan yang berlebihan dari sekelompok kecil kata-kata umum,
memendekkan ucapan yang panjang, struktur kalimat yang mentah,
kesalahan kalimat (sintaksis), kehilangan awalan atau akhiran yang khas, dan
63
Gangguan Bahasa
salah atau gagal dalam menggunakan aturan tata bahasa seperti kata
penghubung, kata ganti, kata sandang, dan kata kerja dan kata benda yang
terinfleksi (berubah). Dapat dijumpai generalisasi berlebihan yang tidak
tepat dari aturan tata bahasa, seperti kekurangan dalam pengucapan kalimat
dan kesulitan mengurutkan kejadian-kejadian yang telah lewat.
d. Ketidakmampuan dalam bahasa lisan sering disertai dengan kelambatan atau
kelainan dalam bunyi kata yang dihasilkan
e. Penggunaan bahasa nonverbal (seperti senyum dan gerakan tubuh) dan
bahasa “internal” yang tampak dalam imajinasi atau dalam permainan
khayalan harus secara relatif utuh, dan kemampuan dalam komunikasi sosial
tanpa kata-kata tidak terganggu
f. Sebagai kompensasi dari kekurangannya, anak akan berusaha berkomunikasi
dengan menggunakan gestur, mimik, atau bunyi yang non bahasa.
Komorbiditas
Diagnosis Banding
Intervensi Psikologis
65
Gangguan Bahasa
Tempel, Wagner, McNeil, 2009). Kemudian orang tua berperan sebagai terapis bagi
anak, dengan mempraktikkan strategi yang telah dipelajari melalui aktivitas bermain
bersama anak di waktu khusus selama 3-5 kali dalam seminggu di rumah (Falkus, dkk,
2015). Orang tua mengikuti arahan anak dan membiarkan anak berinisiatif. Orang tua
memberikan apresiasi dan komentar, mengembangkan dan mengulangi apa yang anak
ucapkan, yang dapat meningkatkan komunikasi orang tua-anak dan memfasilitasi
perkembangan bahasa anak yang lebih baik (Falkus, dkk, 2015; Tempel, Wagner, &
McNeil, 2009).
Penerapan terapi interaksi orang tua-anak disertai pengukuran terhadap kondisi
sebelum terapi, setiap minggu selama terapi, dan pascaterapi (Niec, 2018). Sebelum
menjalani terapi, pemeriksaan dilakukan untuk menentukan baseline. Pengukuran
paska terapi dilakukan untuk mengetahui perubahan setelah menjalani terapi.
Pengukuran dilakukan terhadap keterampilan interaksi orangtua, kemampuan rata-rata
pengucapan anak, dan rasio waktu saat anak dan orangtua bicara (Falkus, dkk, 2015).
Tata laksana utama pada pasien dengan gangguan bahasa dilakukan oleh terapis
wicara dalam rangka meningkatkan kemampuan bahasa reseptif dan ekspresif pasien.
Tatalaksana yang dilakukan oleh psikolog klinis dilakukan untuk menyasar gangguan-
gangguan sekunder yang dialami oleh pasien dengan gangguan bahasa, seperti
permasalahan emosi dan perilaku.
Salah satu alternatif intervensi psikologi tersebut di atas dapat menjadi acuan
tatalaksana bagi pasien dengan gangguan bahasa. Psikolog klinis juga dapat
menggunakan alternatif intervensi lain yang sudah memiliki basis bukti ilmiah.
Prognosis
Catatan Lain
67
Gangguan Bahasa
Referensi
Allen, J., & Marshall, C. R. (2011). Parent–Child Interaction Therapy (PCIT) in school-
aged children with specific language impairment. International Journal of
Languange and Communication Disorder, 46(4), 397–410. doi:
10.3109/13682822.2010.517600
American Psychiatric Association. (2013). Diagnostic and statistical manual of mental
disorders (5th ed.). Washington, DC: American Psychiatric Association
Assous, A., Borghini, A., dkk. (2018). Children with mixed developmental language
disorder have more insecure patterns of attachment. BMC Psychology, 6(54).
https://doi.org/10.1186/s40359-018-0268-6
Deckner, C. W., Soraci, S. A., Deckner, P. O., dkk. (1981). Consistency among
commonly used procedures for assessment of abnormal children. Journal of
Clinical Psychology, 37(4). doi: 10.1002/1097-4679(198110)37:4<856::aid-
jclp2270370432>3.0.co;2-5.
Falkus, G., Tilley, C., Thomas, C., dkk. (2015). Assessing the effectiveness of parent-
child interaction therapy with language delayed children: a clinical investigation.
Child Language Teaching and Therapy, 1-11, doi: 10.1177/0265659015574918
Lisa, R., Pola, R., Franz, P., & Jessica, M. (2019). Developmental language disorder:
Maternal stress level and behavioural difficulties of children with expressive and
mixed receptive-expressive DLD. Journal of Communication Disorders, 80,
1-10. doi:10.1016/j.jcomdis.2019.03.006
Maslim, R. (2013). Buku saku diagnosis gangguan jiwa rujukan ringkas dari PPDGJ-
III dan DSM-5. Jakarta: Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK Unika Atmajaya.
Niec, L. N. (2018). Handbook of Parent Child Interaction Therapy: Innovations and
Applications for Research and Practice. Springer. https://doi.org/10.1007/978-3-
319-97698-3
Noterdaeme, M., & Amorosa, H. (1999). Evaluation of emotional and behavioral
problems in language impaired children using the Child Behavior Checklist. Eur
Child Adolesc Psychiatry, 8(2):71-7. doi: 10.1007/s007870050087
Özcebe, E., Erbas, A. N., & Tiğrak, T. K. (2019): Analysis of behavioural
characteristics of children with developmental language disorders. International
Journal of Speech-Language Pathology, doi: 10.1080/17549507.2019.1571631
Prelock, P. A., & Hutchins, T. L. (2018). Approaches to the Screening and
Identification of Communication Disorders. Clinical Guide to Assessment and
68
Gangguan Bahasa
69
3. Gangguan Bicara/Speech Sound Disorder
70
Gangguan Bicara/Speech Sound Disorder
Manifestasi Klinis
1. Manifestasi klinis pada pasien dengan gangguan bicara tampak pada adanya
kesulitan untuk menggunakan artikulator yang berkaitan dengan otot-otot wajah,
seperti gerakan mengunyah, mempertahankan mulut untuk tetap tertutup, dan
mendengus dari hidung (American Psychiatric Association, 2013).
2. Kemampuan produksi ucapan pasien dengan gangguan bicara di bawah rentang
yang diharapkan pada anak-anak seusianya (Krueger, 2019). Pasien dengan
gangguan bicara menggunakan kata-kata yang lebih pendek dan suku kata-suku
kata seiring prosesnya belajar bicara, namun progres penguasaan produksi ucapan
tidak tampak di usia 3 tahun. Pasien dengan gangguan bicara terus menggunakan
fonologi yang disederhanakan ketika sebagian besar anak sudah bisa
memproduksi kata dengan jelas (American Psychiatric Association, 2013).
Adapun perkembangan bicara normal dan abnormal pada anak dapat dilihat pada
tabel 3.3.1.
Tabel 3.3.1
Perkembangan Bicara Normal dan Abnormal pada Anak
Perkembangan Normal Perkembangan Abnormal
1. Pada anak usia 4 tahun, umum 1. Perkembangan yang abnormal
adanya kesalahan bicara, meski terjadi ketika penguasaan
anak mampu memahami ucapan kemampuan bicara anak
orang lain. terlambat dan/atau belum
2. Pada anak usia 6-7 tahun, dikuasai, yang mengarah pada
kebanyakan kemampuan bicara artikulasi yang tidak tepat pada
dikuasai. Meski ada kesulitan ucapan anak dengan
untuk menggunakan kombinasi konsekuensi orang lain kesulitan
suara, tidak ada permasalahan memahami anak
dalam komunikasi. 2. Terdapat ucapan yang hilang,
3. Pada anak usia 11-12 tahun, teralih, atau tergantikan
penguasaan bicara sudah harus 3. Adanya pengucapan yang tidak
dikuasai. konsisten (anak mungkin
memproduksi fonem dengan
tepat pada kata tertentu namun
kesulitan pada kata lainnya)
71
Gangguan Bicara/Speech Sound Disorder
Perkembangan bicara pada anak-anak dengan dua bahasa (bilingual) sering kali
lebih lambat dibanding anak-anak yang menggunakan satu bahasa (monolingual).
Gangguan bunyi bicara pada anak dengan bilingual maupun monolingual menunjukkan
adanya kesalahan pada jenis elemen yang serupa, yaitu: kelompok konsonan, kata-kata
dengan beberapa suku kata, dan bentuknya (Goldstein & Gildersleeve-Neumann, 2015).
Gangguan bicara meliputi gangguan artikulasi, kesulitan fonologi, tidak fasih
dalam pengucapan, dysarthria, dan apraxia (Lewis, dkk, 2006), yang berdampak pada
kemampuan anak untuk dipahami oleh orang lain, yang bukan disebabkan oleh
permasalahan kognitif, sensori, motorik, permasalahan struktural, maupun afektif
(Allen, dkk, 2013).
Pasien dengan gangguan bicara mengalami kesulitan dalam komunikasi oral
dan/atau tertulis, yang berdampak pada penggunaan bahasa dalam situasi sosial maupun
akademik. Persepsi, sikap, dan perasaan anak lain terhadap pasien dengan gangguan
bicara dapat membatasi persepsi anak terkait interaksi sosial dan partisipasinya dalam
setting pendidikan. Misalnya, kesulitan menjalin hubungan pertemanan ataupun
mengalami perundungan di setting sekolah (Krueger, 2019).
Identifikasi
Identifikasi pasien dengan dugaan gangguan bicara dapat dilakukan dengan
mengidentifikasi keluhan orang tua terhadap kemampuan perkembangan bahasa dan
bicara anak. Keluhan orang tua dapat berupa keterlambatan bicara anak dan kesulitan
anak dalam interaksi dan komunikasi sosial.
Asesmen
Faktor-faktor yang dapat memengaruhi produksi bicara anak selama masa
perkembangan adalah faktor biologis dan faktor lingkungan (Wertzner, dkk, 2017).
Asesmen kemampuan bicara anak dengan tujuan penegakan diagnosis perlu didasari
oleh rujukan (termasuk rujukan keluarga); status medis, sensori, atau status
perkembangan; dan kegagalan menjalani skrining awal kemampuan bahasa dan bicara
(Bowen, 2015). Beberapa alternatif metode asesmen yang dapat digunakan adalah
sebagai berikut:
1. Wawancara Klinis
Wawancara klinis dapat dilakukan secara terstruktur maupun tidak
terstruktur. Wawancara pada orang tua dan/atau pasien dengan gangguan bicara
72
Gangguan Bicara/Speech Sound Disorder
73
Gangguan Bicara/Speech Sound Disorder
74
Gangguan Bicara/Speech Sound Disorder
Komorbiditas
Speech sound disorder dapat disertai kondisi penyerta yaitu gangguan bahasa
(Lewis, dkk, 2011)
Diagnosis Banding
Intervensi Psikologis
Studi menunjukkan intervensi bagi pasien dengan gangguan bicara dapat efektif
dengan mendukung perkembangan bicara anak menggunakan berbagai pendekatan
(Sugden, dkk, 2019). Terapis dianjurkan untuk membuat keputusan klinis berdasarkan
prinsip-prinsip praktik berbasis bukti (Sugden, dkk, 2018). Beberapa model intervensi
bagi anak dengan gangguan biacara di antaranya (Sugden, dkk, 2018):
a. Intervensi individual
75
Gangguan Bicara/Speech Sound Disorder
b. Intervensi kelompok
c. Pelatihan bagi orang tua
d. Program rumah
e. Pelatihan guru
f. Terapi berbasis kelas
g. Edukasi komunitas
Sebagaimana disebutkan di atas, selain intervensi individual maka salah satu
alternatif intervensi psikologis yang dapat diberikan pada pasien dengan gangguan
bicara dengan pendekatan perilaku (behavioral treatment) adalah sebagai berikut:
1. Intervensi berbasis keluarga
Pasien dengan gangguan bicara mengalami kesulitan dalam mempelajari dan
mengucapkan vokal dan konsonan, suku kata, kata, frase, dan kalimat dalam
berbicara dengan fonologi dan/atau artikulasi yang sesuai dengan aturan tata
bahasa, yang memengaruhi kejelasan bicara, penerimaan pesan oleh orang lain,
dan kesulitan menjalin komunikasi bermakna (Bowen, 2015; Sugden, dkk, 2019).
Selain itu, pasien dengan gangguan bicara mengalami risiko kesulitan belajar
membaca, menulis, dan mengeja, (Sugden, dkk, 2019), mengalami kesulitan
sosial-emosional (Sugden, dkk, 2018), serta berisiko mengalami perundungan dari
sebayanya (Sugden, dkk, 2019; Sugden, dkk, 2018).
2. Pelatihan bagi orang tua.
Pelatihan bagi orang tua yang memiliki anak dengan gangguan bicara dapat
menggunakan beberapa metode, di antaranya (Sugden, dkk, 2017):
a. Observasi kekeliruan bahasa dan bicara anak selama sesi terapi berlangsung
dan teknik terapi.
b. Kesempatan orang tua dan anggota keluarga lain untuk melakukan terapi
pada anak selama sesi intervensi yang disupervisi oleh terapis.
c. Menyediakan informasi tertulis.
d. Menyediakan umpan balik langsung pada orang tua selama sesi intervensi
berlangsung.
e. Memberi kesempatan orang tua untuk merefleksikan interaksi dan
performanya dalam melakukan aktivitas latihan di rumah bersama anak.
f. Melakukan role play dengan orang tua.
g. Menggunakan presentasi (video dan/atau tayangan) untuk memberikan
informasi dan/atau menunjukkan teknik terapi.
h. Kesempatan belajar secara berkelompok.
76
Gangguan Bicara/Speech Sound Disorder
pasien cara mengucapkan target bicara dengan tepat. Selama pasien menjalani sesi
intervensi dengan terapis, orang tua akan mengamati secara aktif prosesnya untuk dapat
melakukannya bersama anak di rumah (Sugden, dkk, 2019). Orang tua akan melibatkan
anak dalam aktivitas yang menargetkan pengucapan suara atau kata-kata melalui
permainan, menyelesaikan lembar kerja, pembetulan dari orang tua terhadap
pengucapan anak di percakapan keseharian, atau mengintegrasikan berbagai latihan
dalam keseharian anak. Aktivitas latihan di rumah ini perlu dilakukan 5 sampai 7 kali
dalam seminggu selama 5 – 15 menit. Pelaksanaan aktivitas latihan di rumah dilakukan
oleh orang tua dengan pengamatan langsung dari terapis (Sugden, dkk, 2018). Terapis
akan memandu jalannya intervensi dan orang tua akan mendukung penerapan intervensi
di rumah (Sugden, dkk, 2019).
Beberapa jenis tugas latihan di rumah yang diberikan terapis pada pasien dengan
speech sound disorder, di antaranya (Sugden, dkk, 2017):
a. Latihan pengucapan dengan serangkaian tugas berfokus pada fonologi
(minimal menggunakan kata-kata berpasangan).
b. Latihan pengucapan selama percakapan keseharian.
c. Latihan pengucapan dengan serangkaian tugas berfokus pada artikulasi
(menggunakan target ucapan yang disusun dalam hierarki dari kata tunggal
ke level percakapan).
d. Aktivitas alami yang diintegrasikan dalam rutinitas keseharian (misal,
stimulasi bicara ketika aktivitas mandi).
e. Tugas mendengarkan (anak mendengarkan target dan/atau suara pengucapan
yang keliru yang dikatakan oleh orang lain).
f. Tugas orang tua (misal memodifikasi gaya komunikasi, melakukan
generalisasi ide-ide terapi dan/atau melakukan refleksi).
g. Membaca buku bersama.
Beberapa intervensi psikologi tersebut di atas dapat menjadi acuan tatalaksana bagi
pasien dengan gangguan bicara. Psikolog klinis juga dapat menggunakan alternatif
intervensi lain yang sudah memiliki basis bukti ilmiah.
Prognosis
Beberapa faktor prognosis pada pasien anak dengan gangguan speech sound
disorder, di antaranya (Sices, dkk, 2007; Sugden, dkk, 2019):
1. Anak dengan gangguan bicara memiliki memiliki konsep pengetahuan dan
strategi penggunaan bahasa yang lebih baik dibandingkan anak dengan gangguan
bicara disertai gangguan bahasa
2. Anak dengan gangguan bicara yang memiliki riwayat keluarga dengan gangguan
bahasa dan bicara memiliki faktor risiko yang lebih besar
78
Gangguan Bicara/Speech Sound Disorder
Catatan Lain
Selain pemeriksaan dan intervensi psikologis, asesmen serta tatalaksana pada
pasien dengan gangguan bicara dapat dilakukan dengan berkolaborasi dengan
profesional lain, yaitu: dokter, perawat, terapis wicara, dan terapis okupasi.
79
Gangguan Bicara/Speech Sound Disorder
Referensi
Allen, M. M. (2013). Intervention efficacy and intensity for children with speech sound
disorder. Journal of Speech, Language, and Hearing Research, 56, 865–877. doi:
10.1044/1092-4388(2012/11-0076)
American Psychiatric Association. (2013). Diagnostic and statistical manual of mental
disorders (5th ed.). Washington, DC. American Psychiatric Publishing
Bowen, C. (2015). Children’s speech sound disorders second edition. John Wiley &
Sons, Ltd.
Gironda & Fabus. (2011). Assessment of articulation and phonological disorders. dalam
Stein, C. & Fabus, R. (eds), A guide to clinical assessment and professional report
writing in speech-language pathology. Delmar Publications
Goldstein, B. A., & Gildersleeve-Neumann, C. E. (2015). Bilingualism and Speech
Sound Disorders. Current Developmental Disorders Reports, 2, 237–244, doi:
10.1007/s40474-015-0049-3
Krueger, B. I. (2019). Eligibility and speech sound disorder: assessment of social
impact. Perspectives, SIG1 Language Learning and Education, 4, 85–90,
https://doi.org/10.1044/2018_PERS-SIG1-2018-0016
Lewis, B. A., Freebairn, L. A., dkk. (2006). Dimensions of early speech sound
disorders: A factor analytic study. Journal of Communication Disorders, 39, 139–
157. doi:10.1016/j.jcomdis.2005.11.003
Lewis, B. A., Avrich, A. A., dkk. (2011). Subtyping children with speech sound
disorders by endophenotypes. Top Lang Disorders, 31(2), 112-127. doi:
10.1097/TLD.0b013e318217b5dd.
Maslim, R. (2013). Buku saku diagnosis gangguan jiwa rujukan ringkas dari PPDGJ-
III dan DSM-5. Jakarta: Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK Unika Atmajaya.
Murphy, C. F. B., Pagan-Neves, L. O., dkk. (2015). Children with speech sound
disorder: comparing a non-linguistic auditory approach with a phonological
intervention approach to improve phonological skills. Frontiers in psychology, 6,
(64). https://doi.org/10.3389/fpsyg.2015.00064
Prelock, P. A., & Hutchins, T. L. (2018). Approaches to the Screening and
Identification of Communication Disorders. Clinical Guide to Assessment and
Treatment of Communication Disorders, 23–30. doi:10.1007/978-3-319-93203-
3_3.
80
Gangguan Bicara/Speech Sound Disorder
Sices, L., Taylor, G., Freebairn, L., dkk. (2007). Relationship between speech sound
disorders and early literacy skills in preschool-age children: impact of comorbid
language impairment. Journal Dev Behav Pediatr. 28(6), 438–447.
doi:10.1097/DBP.0b013e31811ff8ca.
Sugden, E., Baker, E., dkk. (2017). An Australian survey of parent involvement in
intervention for childhood speech sound disorders. International Journal of
Speech-Language Pathology, 1-13. doi: 10.1080/17549507.2017.1356936
Sugden, E., Baker, E., dkk. (2018). Service delivery and intervention intensity for
phonology-based speech sound disorders. International Journal of Language &
Communication Disorders, 1-17. doi: 10.1111/1460-6984.12399
Sugden, E., Munro, N., dkk. (2019). Parents’ experiences of completing home practice
for speech sound disorders. Journal of Early Intervention, 1-23.
https://doi.org/10.1177/1053815119828409
Wertzner, H. F., Fransisco, D. T., Barrozo, T. F., & Pagan-Neves, L. O. (2017).
Evidence for Speech Sound Disorder (SSD) assessment. Chapter from the book
Advances in Speech-language Pathology. Intech,
http://dx.doi.org/10.5772/intechopen.70036
World Health Organization. (2011). International Statistical Classification of Disease
and Related Health Problems Tenth Revision Volume Second Edition. Geneva:
World Health Organization.
81
Gangguan Kefasihan Bicara (Gagap) Onset Masa Kanak-kanak
Manifestasi Klinis
1. Manifestasi klinis pada pasien dengan gangguan kefasihan bicara (gagap) onset
masa kanak-kanak tampak adanya gangguan di area komunikasi sosial maupun
pencapaian akademis. Tidak fasih dalam bicara sering kali tidak muncul ketika
anak membaca, menyanyi, atau bicara pada benda maupun binatang peliharaan
(World Health Organization, 2011).
2. Kegagapan bicara kerap diasosiasikan dengan konsekuensi psikososial di tahun-
tahun prasekolah dan sekolah, termasuk evaluasi negatif dari sebaya yang tidak
mengalami gagap bicara, stereotip dari guru, dan meningkatnya risiko menjadi
korban ejekan dan perundungan (Donaghy & Smith, 2016), serta meningkatnya
risiko kecemasan sosial (O’Brian & Onslow, 2011).
3. Kegagapan bicara membuat pasien bicara dengan lambat dan menggunakan
banyak usaha untuk berbicara. Pada pasien dengan kegagapan bicara derajat
ringan, ia hanya gagap beberapa kali sehari, yang sering kali tidak perlu mencari
bantuan. Sementara pada pasien dengan kegagapan bicara derajat berat, pasien
sering gagap dan kesulitan berkomunikasi (O’Brian & Onslow, 2011).
Identifikasi
Identifikasi pasien dengan dugaan gangguan kefasihan bicara (gagap) onset masa
kanak-kanak dapat dilakukan dengan mengidentifikasi keluhan orang tua terhadap
82
Gangguan Kefasihan Bicara (Gagap) Onset Masa Kanak-kanak
84
Gangguan Kefasihan Bicara (Gagap) Onset Masa Kanak-kanak
Tabel 3.4.1
Kriteria Diagnosis Gangguan Kefasihan Bicara (Gagap) Onset Masa Kanak-Kanak
Berdasarkan DSM-5
Kriteria Diagnosis Ada Tidak
A Gangguan pola kefasihan dan tempo bicara yang
tidak sesuai dengan usia dan keterampilan bahasa
pasien, yang bertahan seiring waktu, dan sering
dicirikan dan ditandai dengan kemunculan satu (atau
lebih) beberapa hal berikut:
1. Repetisi suara dan suku kata
2. Perpanjangan bunyi konsonan dan vokal
3. Pengucapan kata-kata yang tidak utuh/broken
words (misal, ada jeda dalam kata)
4. Ada blocking yang terdengar ataupun senyap
(memenuhi atau tidak memenuhi jeda dalam
bicara)
5. Kesulitan menemukan kata-kata yang tepat
(menggunakan pengganti kata untuk
menghindari kata-kata sulit)
6. Sangat tegang ketika memproduksi kata-kata
7. Mengulang satu suku kata yang merupakan
keseluruhan kata (misal, I-I-I-I see him)
B Gangguan menyebabkan kecemasan berbicara atau
terbatasnya komunikasi efektif, partisipasi sosial,
atau performa akademik atau kinerja (baik salah satu
maupun kombinasi)
C Onset munculnya gejala pada awalm masa
perkembangan (catatan onset di masa perkembangan
lanjutan didiagnosis 307.0 (F98.5) gangguan
kefasihan bicara onset masa dewasa
D Gangguan tidak berkaitan dengan keterbatasan gerak
atau sensori bicara, bicara yang tidak lancar yang
berkaitan dengan kondisi neurologis (seperti stroke,
tumor, trauma), atau kondisi medis lain, dan tidak
lebih baik dijelaskan oleh gangguan mental lain
85
Gangguan Kefasihan Bicara (Gagap) Onset Masa Kanak-kanak
Komorbiditas
Gangguan kefasihan bicara (gagap) onset masa kanak-kanak dapat disertai kondisi
penyerta berikut (American Psychiatric Association, 2013; O’Brian & Onslow, 2011):
1. Gangguan tic
2. Cluttering atau pola bicara yang cepat dan tidak beraturan
Diagnosis Banding
86
Gangguan Kefasihan Bicara (Gagap) Onset Masa Kanak-kanak
Intervensi Psikologis
Tidak fasih bicara (gagap) umum muncul pada anak-anak prasekolah di usia 2-4
tahun, yang dapat menghilang dengan sendirinya di tahun-tahun prasekolah (Blomgren,
2013). Meski demikian, intervensi dini direkomendasikan bagi anak dengan gangguan
kefasihan bicara (gagap) onset pada masa kanak-kanak dalam rentang kurang dari satu
tahun sejak onset gejala muncul (O’Brian & Onslow, 2011). Beberapa referensi
menunjukkan intervensi bagi anak yang bicara dengan gagap dapat dilakukan dengan
beberapa pendekatan berikut (Donaghy & Smith, 2016; Shafiei, dkk, 2019; Sidavi &
Fabus, 2010):
1. Intervensi dengan pendekatan langsung
Intervensi dengan pendekatan langsung berfokus pada perilaku bicara anak
(Donaghy & Smith, 2016; Shafiei, dkk, 2019; Sidavi & Fabus, 2010), dengan
menghilangkan gangguan kefasihan bicara (gagap) dan mempertahankan
kefasihan bicara (Donaghy & Smith, 2016), yang dapat difasilitasi oleh
profesional maupun orang tua (Sidavi & Fabus, 2010). Pendekatan ini dilakukan
dengan menggunakan teknik modifikasi perilaku, seperti modelling
memperlambat kecepatan bicara (Shafiei, dkk, 2019; Sidavi & Fabus, 2010),
memperlama jeda ketika bergantian berbicara, membiarkan anak menyelesaikan
ucapannya tanpa interupsi, penerapan teknik pernafasan (Sidavi & Fabus, 2010),
serta memberikan pujian, pengakuan, dan pembetulan terhadap gangguan
kefasihan bicara (gagap) (Shafiei, dkk, 2019). Salah satu alternatif program
dengan pendekatan langsung adalah Program Lidcombe (O’Brian & Onslow,
2011).
2. Intervensi dengan pendekatan tidak langsung
Beberapa referensi menyebutkan bahwa pendekatan tidak langsung dengan
pendekatan multifactorial, yang secara teoritis gangguan kefasihan bicara (gagap)
dianggap sebagai gangguan dari berbagai faktor, meliputi faktor fisiologis,
linguistik, psikologis, dan lingkungan, yang memengaruhi onset, dampak, dan
prognosis gangguan kefasihan bicara (gagap) (Shafiei, dkk, 2019). Program
dengan pendekatan tidak langsung memfasilitasi kefasihan bicara anak dengan
mengubah lingkungan (Sidavi & Fabus, 2010), dan melakukan modifikasi pada
pola bicara orang tua untuk mengubah sikap, perasaan, dan bahasa anak dalam
interaksi keseharian (Shafiei, dkk, 2019). Tujuan dari pendekatan ini adalah
mengelola gangguan kefasihan bicara (gagap) dan meningkatkan kepercayaan diri
anak untuk bicara dengan lancar. Salah satu alternatif program dengan pendekatan
87
Gangguan Kefasihan Bicara (Gagap) Onset Masa Kanak-kanak
88
Gangguan Kefasihan Bicara (Gagap) Onset Masa Kanak-kanak
Prognosis
Catatan Lain
89
Gangguan Kefasihan Bicara (Gagap) Onset Masa Kanak-kanak
Referensi
90
Gangguan Komunikasi Sosial (Pragmatis)
Manifestasi Klinis
91
Gangguan Komunikasi Sosial (Pragmatis)
Identifikasi
Identifikasi pasien dengan dugaan gangguan komunikasi sosial (pragmatis) dapat
dilakukan dengan mengidentifikasi keluhan orang tua terhadap kemampuan
perkembangan bahasa dan bicara, serta kemampuan interaksi dan komunikasi sosial
anak.
Asesmen
Beberapa alternatif metode asesmen yang dapat digunakan adalah sebagai berikut:
1. Wawancara Klinis
Wawancara klinis dilakukan pada orang tua, pengasuh, guru, maupun orang
terdekat pasien dengan gangguan komunikasi sosial (pragmatis). Beberapa
informasi yang digali melalui wawancara, antara lain (Swineford, dkk, 2014):
a. Riwayat kesehatan
b. Riwayat perkembangan dan kondisi perkembangan terkini
c. Riwayat pendidikan
d. Riwayat keluarga
e. Perilaku anak dalam berinteraksi dan berkomunikasi sosial
f. Kondisi sosio-demografi dan faktor budaya
2. Observasi Klinis
Observasi klinis pada pasien anak dengan gangguan komunikasi sosial
(pragmatis) dapat dilakukan di berbagai setting, seperti rumah, sekolah, dan klinik.
Observasi perilaku juga dapat dilakukan selama sesi pemeriksaan, aktivitas
bermain, maupun saat pasien terlibat dalam interaksi dan komunikasi sosial.
Adapun beberapa hal yang dapat diamati, antara lain (Adams, dkk, 2006; Norbury,
2014):
a. Perilaku komunikasi nonverbal (seperti tatapan mata, gestur).
b. Perilaku komunikasi verbal atau ucapan anak untuk dapatkan perhatian
orang lain.
c. Respon verbal dan nonverbal terhadap instruksi langsung.
d. Keterampilan sosial timbal balik
e. Perilaku stereotip
92
Gangguan Komunikasi Sosial (Pragmatis)
3. Tes Psikologi
Pemeriksaan dengan tes psikologi juga dilakukan untuk memetakan
kemampuan pasien dengan gangguan komunikasi sosial (pragmatis) dan
menunjang penegakan diagnosis yang lebih jelas.
a. Skrining awal terhadap kemampuan perkembangan pasien dilakukan dengan
menggunakan salah satu di antara beberapa tes berikut (Prelock & Hutchins,
2018):
i. Denver Developmental Screening Test
ii. Bayley Scales of Infant and Toddler Development
b. Pemeriksaan terhadap fungsi kognitif pasien dilakukan dengan
menggunakan salah satu di antara beberapa tes berikut:
i. Skala Raven, seperti Coloured Progressive Matrices (CPM)
ii. Tes inteligensi dengan Stanford-Binet Intelligent Scale
iii. Tes inteligensi dengan skala Weschler, seperti Wechsler Preschool and
Primary Scale of Intelligence (WPPSI), Wechsler Intelligence Scale for
Children (WISC)
c. Pemeriksaan fungsi adaptif pasien dilakukan dengan menggunakan salah
satu di antara beberapa tes berikut:
i. Vineland Social Maturity Scale (VSMS)
ii. Vineland Adaptive Behavior Scale (VABS)
Selain tes psikologi yang telah disebutkan di atas, beberapa literatur
menunjukkan identifikasi permasalahan lain terkait gangguan komunikasi sosial
(pragmatis) dilakukan dengan menggunakan tes psikologi berikut, di antaranya:
a. Children Behavior Check List (CBCL)
b. Bender Gestalt (BG)
c. BAUM, Draw A Person (DAP), House Tree Person (HTP)
Tes-tes psikologi yang telah disebutkan di atas merupakan alternatif yang
dapat digunakan sebagai acuan psikolog klinis dalam melakukan pemeriksaan
psikologi pada pasien dengan gangguan komunikasi sosial (pragmatis). Tes-tes
psikologi tersebut telah tersedia dalam bahasa Indonesia, namun masih perlu
dilakukan penelitian untuk melihat sejauh mana keefektifannya sebagai basis
bukti ilmiah dalam asesmen penegakan diagnosis gangguan komunikasi sosial
(pragmatis) di Indonesia.
93
Gangguan Komunikasi Sosial (Pragmatis)
Tabel 3.5.1
Kriteria Diagnosis Gangguan Komunikasi Sosial (Pragmatis) Berdasarkan DSM-5
Kriteria Diagnosis Ada Tidak
A Kesulitan dalam menggunakan komunikasi verbal
dan nonverbal yang persisten dan manifestasinya
tampak pada beberapa hal berikut:
1. Keterbatasan menggunakan komunikasi untuk
tujuan sosial, seperti menyapa, berbagi
informasi, dengan tata krama yang sesuai
dengan konteks sosial.
2. Gangguan dalam kemampuan menyesuaikan
komunikasi sesuai konteks ataupun kebutuhan
pendengar, seperti bicara dengan cara yang
berbeda saat berada di kelas dengan di taman
bermain; bicara pada anak-anak dan orang
dewasa dengan cara yang berbeda, serta
menghindari untuk menggunakan bahasa yang
formal.
3. Kesulitan mengikuti aturan percakapan dan
berbagi cerita, seperti bergiliran dalam
berbicara, menggunakan parafrase ketika ada
kesalahpahaman, dan mengetahui cara
menggunakan tanda-tanda verbal dan nonverbal
untuk meregulasi interaksi.
4. Kesulitan memahami informasi yang tidak
disampaikan secara eksplisit (seperti membuat
kesimpulan), bahasa dengan makna yang
ambigu (seperti idiom, humor, metafor,
94
Gangguan Komunikasi Sosial (Pragmatis)
Komorbiditas
Diagnosis Banding
95
Gangguan Komunikasi Sosial (Pragmatis)
Intervensi Psikologis
96
Gangguan Komunikasi Sosial (Pragmatis)
Prognosis
Catatan Lain
97
Gangguan Komunikasi Sosial (Pragmatis)
Referensi
Adams, C., Lloyd, J., Aldred, C., & Baxendale, J. (2006). Exploring the effects of
communication intervention for developmental pragmatic language impairments:
a signal-generation study. International Journal of Language Communication
Disorder, 41(1), 41-65. doi: 10.1080/13693780500179793.
Adams, C., Lockton, E., Freed, J., dkk. (2012). The Social Communication Intervention
Project: a randomized controlled trial of the effectiveness of speech and language
therapy for school-age children who have pragmatic and social communication
problems with or without autism spectrum disorder. International Journal of
Language Communication Disorder, 47(3), 233-244. doi: 10.1111/j.1460-
6984.2011.00146.x.
American Psychiatric Association. (2013). Diagnostic and statistical manual of mental
disorders (5th ed.). Washington, DC: author.
Mandy, W., Wang, A., Lee, I., & Skuse, D. (2017). Evaluating social (pragmatic)
communication disorder. Journal of Child Psychology and Psychiatry 58(10)
1166–1175. doi:10.1111/jcpp.12785
Norbury, C. F. (2014). Practitioner Review: Social (pragmatic) communication disorder
conceptualization, evidence and clinical implications. Journal of Child
Psychology and Psychiatry, 55(3), 204–216. doi: 10.1111/jcpp.12154
Prelock, P. A., & Hutchins, T. L. (2018). Approaches to the Screening and
Identification of Communication Disorders. Clinical Guide to Assessment and
Treatment of Communication Disorders, 23–30. doi:10.1007/978-3-319-93203-
3_3.
Swineford, L. B., Thurm, A., dkk. (2014). Social (pragmatic) communication disorder:
a research riview of this new DSM-5 diagnostic category. Journal of
Neurodevelopmental Disorders. doi: 10.1186/1866-1955-6-42
World Health Organization. (2011). International Statistical Classification of Disease
and Related Health Problems Tenth Revision Volume Second Edition. Geneva:
World Health Organization.
Yuan, H., & Dollaghan, C. (2018). Measuring the diagnostic features of social
(pragmatic) communication disorder: an exploratory study. American Journal of
Speech-Language Pathology, 27(2):647-656. doi: 10.1044/2018_AJSLP-16-0219.
98
6. Gangguan Spektrum Autisme
99
Gangguan Spektrum Autisme
Manifestasi Klinis
Identifikasi
Identifikasi pasien dengan dugaan gangguan spektrum autisme dapat dilakukan
dengan mengidentifikasi keluhan orangtua terhadap kemampuan perkembangan anak,
kemampuan interaksi dan komunikasi sosial, perilaku keseharian anak, serta kekakuan
terhadap perubahan.
Asesmen
Beberapa alternatif metode pemeriksaan klinis yang dapat digunakan adalah sebagai
berikut:
1. Wawancara Klinis
Wawancara klinis dapat dilakukan pada orang tua, pengasuh, guru, maupun
orang-orang terdekat pasien dengan gangguan spektrum autisme. Beberapa
informasi yang perlu diperoleh dalam wawancara di antaranya (Cervera, dkk,
2011; Genovese & Butler, 2020; Sanchak & Thomas, 2016; Villagrán, dkk, 2017):
a. Riwayat keluarga
b. Riwayat kesehatan
c. Riwayat perkembangan dan kemampuan perkembangan terkini.
d. Pola perilaku dan kemampuan pasien dalam menjalankan aktivitas
keseharian.
e. Kompetensi sosial anak, termasuk kemampuan interaksi dan penyesuaian
sosial.
f. Lingkungan pasien (seperti situasi yang memunculkan tantrum, kesempatan
interaksi dan belajar dalam keluarga, persepsi orang lain terhadap pasien).
g. Onset pertama munculnya gejala autistik
h. Riwayat penanganan maupun penanganan terkini yang sedang dijalani oleh
pasien.
2. Observasi Klinis
Observasi klinis dilakukan terhadap perilaku pasien dan mengidentifikasi
ada tidaknya tanda / gejala gangguan spektrum autisme, termasuk perilaku
interaksi dan komunikasi sosial pada pasien. Observasi dapat dilakukan di
101
Gangguan Spektrum Autisme
berbagai setting, seperti rumah, sekolah, klinik (NICE, 2011; SIGN, 2016).
Observasi klinis juga bisa dilakukan ketika proses pemeriksaan menggunakan
instrumen diagnosis untuk gangguan spektrum autisme, misalnya The Childhood
Autism Rating Scale (CARS) atau instrumen lain yang mencakup pengamatan
perilaku autistik (Matson, 2008; SIGN, 2016). Beberapa hal yang dapat diamati
dari perilaku pasien dengan gangguan spektrum autisme, antara lain (Cervera, dkk,
2011):
a. Kemampuan relasi sosial
i. Kontak mata
ii. Joint attention dan aksi
iii. Inisiatif memulai interaksi
iv. Keadaan emosional
v. Reaksi terhadap kontak fisik
vi. Respon dalam beraktivitas dengan orang lain
vii. Pola perilaku penyesuaian sosial
b. Kemampuan bahasa dan komunikasi
i. Komunikasi nonverbal / gestur tubuh
ii. Ekspresi verbal
iii. Penggunaan bahasa unik anak
iv. Ekolalia
v. Kemampuan untuk menyusun secara teratur
c. Kemampuan bermain
i. Kemampuan memanipulasi dan menggunakan benda
ii. Respon spontan dan imajinatif
iii. Bermain simbolik
d. Fleksibilitas perilaku dan mental
i. Penyesuaian terhadap perubahan lingkungan
ii. Perilaku rutin / ritual
iii. Perilaku obsesif
3. Tes Psikologi
Pemeriksaan dengan tes psikologi juga dilakukan untuk memetakan
kemampuan pasien dan menunjang penegakan diagnosis yang lebih jelas.
a. Skrining awal terhadap kemampuan perkembangan pasien dilakukan dengan
menggunakan salah satu tes berikut ini (Filipek, dkk, 2000; Matson, 2008;
Ozonoff, Goodlin-Jones, & Solomon, 2005):
i. Denver Developmental Screening Test
ii. Bayley Scales of Infant and Toddler Development
102
Gangguan Spektrum Autisme
Diagnosis
Kriteria penegakan diagnosis gangguan spektrum autisme berdasarkan DSM-5 dapat
dilihat pada tabel 3.6.2 (American Psychiatric Association, 2013).
Tabel 3.6.2
Kriteria Diagnosis Gangguan Spektrum Autisme Berdasarkan DSM-5
Kriteria Diagnosis Ada Tidak
A Defisit komunikasi dan interaksi sosial yang
persisten di berbagai situasi, sebagaimana yang
manifestasinya tampak sebagai berikut, baik riwayat
maupun yang dialami saat ini:
1. Kurangnya resiprositas sosial-emosional, mulai
dari pendekatan sosial yang abnormal,
kegagalan untuk bercakap-cakap dengan
normal, mengurangi berbagi minat, emosi,
maupun afek, gagal memulai atau memberi
respon saat berinteraksi sosial.
2. Kurangnya perilaku komunikasi nonverbal yang
digunakan untuk interaksi sosial, sebagai contoh
komunikasi verbal dan nonverbal yang tidak
terintegrasi dengan baik, kontak mata dan
bahasa tubuh yang tidak normal, defisit dalam
memahami dan menggunakan gestur, sangat
minim dalam ekspresi wajah dan komunikasi
nonverbal.
3. Defisit dalam mengembangkan,
mempertahankan, dan memahami relasi, sebagai
contoh kesulitan menyesuaikan perilaku di
berbagai konteks sosial, kesulitan berbagi
permainan imajinatif atau menjalin pertemanan,
tidak adanya minta pada teman sebaya.
B Pola perilaku, minat, atau aktivitas yang terbatas
dan berulang, yang manifestasinya tampak
setidaknya oleh dua dari beberapa hal berikut, baik
riwayat maupun yang dialami saat ini:
104
Gangguan Spektrum Autisme
106
Gangguan Spektrum Autisme
Tabel 3.6.3
Level Keparahan Gangguan Spektrum Autisme Berdasarkan DSM-5
Level Keparahan
Aspek
Level 3 Level 2 Level 1
Bantuan yang Sangat banyak Banyak bantuan yang Dibutuhkan bantuan
dibutuhkan anak bantuan yang dibutuhkan
dibutuhkan
Defisit Parah / berat Ditandai kurangnya Tampak ada defisit
keterampilan keterampilan ketika tidak ada
komunikasi verbal komunikasi verbal bantuan yang
diberikan
Defisit Parah / berat Ditandai kurangnya Tampak ada defisit
keterampilan keterampilan ketika tidak ada
komunikasi komunikasi bantuan yang
nonverbal nonverbal diberikan
Kendala dalam Parah / berat Tampak jelas meski Kurangnya minat
fungsi sosial ada bantuan yang untuk berinteraksi
diberikan sosial
Inisiatif berinteraksi Sangat terbatas Terbatas Sulit, aneh, atau tidak
sosial berhasil
Respon sosial Minimal / sedikit Berkurang Atipikal / tidak
terhadap ajakan berhasil
dari orang lain
Perilaku tidak Tampak Tampak Mengganggu fungsi
fleksibel sosial
Coping terhadap Sangat sulit Sulit Kendala dalam
perubahan pengorganisasian dan
perencanaan
Perilaku terbatas Sangat Memengaruhi fungsi -
dan berulang mempengaruhi sosial
fungsi sosial
Perubahan fokus / Menyebabkan Sulit / menyebabkan Sulit
aksi distres yang besar distres
108
Gangguan Spektrum Autisme
Komorbiditas
Diagnosis Banding
Intervensi Psikologis
Intervensi bagi pasien dengan gangguan spektrum autisme ditujukan bagi anak,
keluarga, dan lingkungan (rumah, sekolah, komunitas, dan layanan kesehatan) (Cervera,
dkk, 2011). Intervesi perlu menyasar berbagai multi-disiplin, di antaranya penanganan
perilaku, psikososial, pendidikan, kesehatan, kualitas hidup, fungsi sosial anak secara
mandiri, serta memberikan edukasi pada kerabat dan guru untuk berpartisipasi aktif
selama proses intervensi (Cervera, dkk, 2011; Subramanyam, dkk, 2019; Villagrán, dkk,
(2017). Beberapa alternatif intervensi psikologis dengan pendekatan perilaku yang
dapat diberikan pada pasien dengan gangguan spektrum autisme adalah sebagai berikut:
1. Intervensi berbasis keluarga
Program intervensi yang dimediasi oleh orang tua perlu dipertimbangkan
bagi anak usia dini yang mengalami gangguan spektrum autisme. Intervensi ini
diharapkan dapat membantu interaksi keluarga dengan anak, memajukan
perkembangan anak (Cervera, dkk, 2011; SIGN, 2016), meningkatkan kepuasan
pengasuhan, penguatan, dan kesehatan mental (SIGN, 2016). Intervensi keluarga
dapat dilakukan dengan memberikan informasi terkait ASD, kondisi pasien, dan
109
Gangguan Spektrum Autisme
proses penyesuaian ekspektasi orang tua dengan kondisi anak. Intervensi keluarga
memberikan panduan pada orang tua dalam menyediakan lingkungan yang dapat
menunjang proses perkembangan anak, di antaranya (Cervera, dkk, 2011):
a. Menyediakan lingkungan yang dapat diprediksi oleh anak
b. Menggunakan gestur yang jelas dan bahasa yang sederhana dalam
memfasilitasi pemahaman anak
c. Memfasilitasi anak belajar dari pengalaman dengan cara yang
menyenangkan di lingkungan yang aman dalam mengembangkan aspek
emosi anak
d. Menghindari lingkungan yang kompleks, seperti terlalu berisik, terlalu
banyak stimulus, ataupun tidak terstruktur
e. Bersikap sabar dan menyiapkan strategi dalam mengelola perilaku
mengganggu, perilaku stereotip ataupun perilaku ritual anak
Salah satu program intervensi berbasis keluarga adalah family-centered
positive behavior support (PBS) atau dukungan perilaku positif berpusat pada
keluarga (Cervera, dkk, 2011). Pendekatan ini menekankan pembentukan dan
penguatan perilaku positif anak sebagai diferential reinforcement of others yang
efektif digunakan dalam menurunkan perilaku kurang adaptif yang menjadi target
intervensi (Siegel, Mays, & Homen, 2014).
2. Applied Behavioral Analysis (ABA)
Applied Behavioral Analysis (ABA) merupakan modifikasi perilaku intensif
dengan menggunakan teknik operant conditioning yang merupakan penanganan
berbasis bukti bagi pasien dengan gangguan spektrum autisme (Matson, 2009;
Oltmanns & Emery, 2018; Siegel, Mays, & Homen, 2014). Intervensi dengan
komponen-komponen ABA menyasar pada area keterampilan komunikasi,
perilaku adaptif, keterampilan kognitif, keterampilan sosial, dan keterampilan
bermain (Oltmanns & Emery, 2018; Matson, 2008). Durasi intervensi dengan
ABA setidaknya dilakukan sebanyak 40 jam per minggu selama 2 tahun (Matson,
2008).
Tujuan awal ABA adalah mengidentifikasi target perilaku yang spesifik,
kemudian meningkatkan kontrol terhadap perilaku pasien dengan menggunakan
teknik-teknik modifikasi perilaku (Oltmanns & Emery, 2018). Intervensi diawali
dengan melakukan analisis fungsional terhadap perilaku pasien untuk menentukan
ABC (Antecedents, Behaviors, Consequences), dan menentukan target perilaku
yang menjadi baseline (Matson, 2009; Siegel, Mays, & Homen, 2014). Selama
terapi, pengukuran tetap dilakukan untuk mengetahui efektivitasnya terhadap
perilaku pasien (Matson, 2009). Beberapa metode dapat digunakan untuk
110
Gangguan Spektrum Autisme
itu, disarankan sesi Floortime setiap harinya yang dilakukan dengan orang tua,
konseling orang tua satu / dua kali dalam seminggu, dan empat sesi psikoterapi
individu per minggu (Mercer, 2015).
Beberapa alternatif intervensi psikologi tersebut di atas dapat menjadi acuan
tatalaksana bagi pasien dengan gangguan spektrum autisme. Psikolog klinis juga dapat
menggunakan alternatif intervensi lain yang sudah memiliki evidence based.
Prognosis
Catatan Lain
113
Gangguan Spektrum Autisme
Referensi
Khalifeh, S. S., Yassin, W. F., Kourtian, S., & Boustany, R. N. (2016). Autism in review.
Lebanese Medical Journal, 64 (2). doi: 10.12816/0027470
Maslim, R. (2013). Buku saku diagnosis gangguan jiwa rujukan ringkas dari PPDGJ-
III dan DSM-5. Jakarta: Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK Unika Atmajaya.
Matson, J. (2008). Clinical assessment and intervention for autism spectrum disorders.
Elsevier Inc.
Matson, J. (2009). Applied Behavior Analysis for children with autism spectrum
disorders. Springer.
Mercer, J. (2015). Examining DIR/Floortime™ as a treatment for children with autism
spectrum disorders: a review of research and theory. Research on Social Work
Practice. doi: 10.1177/1049731515583062.
NICE. (2011). Autism Spectrum Disorder in under 19s: recognition, referral and
diagnosis. https://www.nice.org.uk/guidance/cg128/resources/autismspectrum-
disorder-in-under-19s-recognition-referral-and-diagnosis-pdf35109456621253,
diakses November 2020.
Oltmanns, T. F., & Emery, R. E. (2018). Abnormal psychology. (9th edition). Upper
Saddle River, NJ: Pearson.
Ozonoff, S., Goodlin-Jones, B. L., & Solomon, M. (2005). Evidence-based assessment
of Autism Spectrum Disorders in children and adolescent. Journal of clinical child
and adolescent psychology, 34(3), 523-540.
https://doi.org/10.1207/s15374424jccp3403_8
Sanchak, K. E., & Thomas, C. A. (2016). Autism Spectrum Disorder: Primary care
principles. American Family Physician, 94(12). 972-979A.
https://www.aafp.org/afp/2016/1215/afp20161215p972.pdf
Scottish Intercollegiate Guidelines Network (SIGN). (2016). SIGN 145: assessment,
diagnosis and interventions for Autism Spectrum Disorders: a national clinical
guideline. http://www.sign.ac.uk/assets/sign145.pdf,
Siegel, B., Mays, L. A., & Homen, A. M. (2014). Autism spectrum disorder in
gabbard’s treatments of psychiatrics disorders 5th edition. American Psychiatric
Association.
Smith, T. (2001). Discrete Trial Training in the Treatment of Autism. Focus on Autism
and Other Developmental Disabilities, 16(2), 86–92.
doi:10.1177/108835760101600204
115
Gangguan Spektrum Autisme
Subramanyam, A. A., Mukherjee, A., Dave, M., & Chavda, K. (2019). Clinical
Practices Guidelines for Autism Spectrum Disorder. Indian J Psychiatry, 61(Suppl
2), 254–269. doi: 10.4103/psychiatry.IndianJPsychiatry_542_18
Villagrán, L. L. V., Bautista, E. M., Moo-Rivas, C. D., dkk. (2017). Autism Spectrum
Disorder review: diagnosis and treatment update. Revista Mexicana de
Neurociencia, 18(5), 31-45.
Volker, M. A., Lopata, C., Vujnovic, R. K., dkk. (2010). Comparison of the Bender
Gestalt-II and VMI-V in Samples of Typical Children and Children with High-
Functioning Autism Spectrum Disorders. Journal of Psychoeducational
Assessment, 28(3): 187–200. doi: 10.1177/0734282909348216
World Health Organization. (2011). International Statistical Classification of Disease
and Related Health Problems Tenth Revision Volume Second Edition. Geneva:
World Health Organization.
Zwaigenbaum, L., & Penner, M. (2018). Autism Spectrum Disorder: advances in
diagnosis and evaluation. BMJ, 36, k1674. doi: 10.1136/bmj.k1674
116
7. Gangguan Pemusatan Perhatian dan/atau Hiperaktif (GPPH)
Manifestasi Klinis
Identifikasi
Identifikasi pasien dengan dugaan Gangguan Pemusatan Perhatian dan/atau
Hiperaktif (GPPH) dapat dilakukan dengan mengidentifikasi keluhan orangtua terhadap
kemampuan perkembangan pasien, perilaku keseharian pasien, kemampuan interaksi
dan komunikasi sosial, kemampuan dalam mempertahankan atensi dan konsentrasi
dalam berkegiatan, serta tugas yang sering tidak selesai dikerjakan.
117
Gangguan Pemusatan Perhatian dan/atau Hiperaktif (GPPH)
Asesmen
Beberapa alternatif metode pemeriksaan klinis yang dapat digunakan adalah sebagai
berikut:
1. Wawancara Klinis
Wawancara klinis pada orangtua dilakukan untuk mengetahui informasi
terkait beberapa hal berikut (Drechsler, dkk, 2020; NICE, 2019):
a. Kondisi klinis terkait perilaku pasien
b. Riwayat perkembangan
c. Riwayat kesehatan
d. Riwayat pendidikan
e. Interaksi dengan sebaya
f. Interaksi dengan orangtua
g. Kondisi sosial-ekonomi dan keberfungsian keluarga
2. Observasi Klinis
Observasi klinis pada pasien dengan Gangguan Pemusatan Perhatian
dan/atau Hiperaktif (GPPH) dapat dilakukan di berbagai setting, seperti rumah,
sekolah, maupun klinik. Observasi dilakukan untuk mengetahui beberapa hal
berikut (McConaughy, dkk, 2009):
a. Aktivitas motorik
b. Fokus atensi dan konsentrasi
c. Kontrol impuls
d. Perilaku meninggalkan tempat duduk
e. Perilaku selama pengetesan ataupun selama pengerjaan tugas
f. Perilaku bermain
3. Tes Psikologi
Pemeriksaan dengan tes psikologi juga dilakukan untuk memetakan
kemampuan pasien dan menunjang penegakan diagnosis yang lebih jelas.
a. Skrining awal terhadap kemampuan perkembangan pasien dilakukan
dengan menggunakan salah satu di antara beberapa tes berikut
(Athanasiadou, dkk, 2019; Gurevitz, dkk, 2014):
i. Denver Developmental Screening Test
ii. Bayley Scales of Infant and Toddler Development
b. Pemeriksaan terhadap perilaku inatensi dan hiperaktif pasien yang
dapat dilakukan dengan Conner’s Rating Scale (Drechsler, dkk, 2020;
Hall, dkk, 2015; Pelham, Fabiano, & Massetti, 2005).
118
Gangguan Pemusatan Perhatian dan/atau Hiperaktif (GPPH)
119
Gangguan Pemusatan Perhatian dan/atau Hiperaktif (GPPH)
Tabel 3.7.1
Kriteria Diagnosis Gangguan Pemusatan Perhatian dan/atau Hiperaktif (GPPH)
Berdasarkan DSM-5
Kriteria Diagnosis Ada Tidak
A Pola inatensi dan/atau hiperaktif-impulsif yang
menetap dan memengaruhi keberfungsian maupun
perkembangan individu, ditunjukkan dengan
karakteristik (1) dan/atau (2):
1. Inatensi: Enam (atau lebih) dari gejala-gejala
berikut muncul selama 6 bulan terakhir yang
tidak konsisten dengan level perkembangan
individu dan berdampak negatif secara
langsung pada aktivitas sosial dan
akademik/pekerjaan.
Catatan: Gejala-gejala tidak hanya
termanifestasi pada perilaku menentang,
menantang, kekerasan, atau kegagalan
memahami tugas/instruksi. Pada remaja yang
lebih tua dan dewasa (usia 17 tahun ke atas)
minimal 5 gejala memenuhi.
a. Sering gagal memberikan perhatian pada
detail atau kurang teliti dalam
mengerjakan tugas sekolah, pekerjaan,
atau aktivitas lainnya (misal,
menghilangkan atau melewatkan detail,
hasil pekerjaan tidak teliti).
b. Sering kesulitan mempertahankan
perhatian ketika mengerjakan tugas
maupun dalam aktivitas bermain (misal,
sulit untuk tetap fokus selama
pembelajaran berlanagsung, percakapan,
ataupun aktivitas membaca yang
panjang).
c. Sering bersikap seakan tidak mendengar
ketika diajak bicara secara langsung
(misal, memikirkan hal lain meski di
situasi tanpa distraksi).
120
Gangguan Pemusatan Perhatian dan/atau Hiperaktif (GPPH)
121
Gangguan Pemusatan Perhatian dan/atau Hiperaktif (GPPH)
122
Gangguan Pemusatan Perhatian dan/atau Hiperaktif (GPPH)
Ketentuan:
a. 314.01 (F90.2) Tipe Kombinasi: Jika kriteria A1 (inatensi) dan kriteria A2
(hiperaktif-impulsif) terpenuhi selama 6 bulan terakhir.
b. 314.00 (F90.0) Tipe Inatensi: Jika kriteria A1 (inatensi) terpenuhi dan
kriteria A2 (hiperaktif-impulsif) tidak terpenuhi selama 6 bulan terakhir.
c. 314.01 (F90.1) Tipe Hiperaktif/impulsif: Jika kriteria A1 (inatensi) tidak
terpenuhi dan kriteria A2 (hiperaktif-impulsif) terpenuhi selama 6 bulan
terakhir
Fase remisi adalah ketika sebelumnya seluruh kriteria terpenuhi, namun selama 6
bulan terakhir kriteria tidak terpenuhi, dan gejala-gejala masih menjadi kendala dalam
fungsi sosial, akademik, maupun okupasi.
123
Gangguan Pemusatan Perhatian dan/atau Hiperaktif (GPPH)
sikap yang secara impulsif melanggar tata tertib sosial (yang diperlihatkan
dengan mencampuri urusan atau mengganggu kegiatan orang lain, terlampau
cepat menjawab pertanyaan-pertanyaan yang belum lengkap diucapkan
orang, atau tidak sabar menunggu gilirannya), kesemuanya merupakan ciri
khas dari anak-anak dengan gangguan ini.
e. Gangguan belajar serta kekakuan motorik sangat sering terjadi dan haruslah
dicatat secara terpisah (di bawah F80-F89) bila ada; namun demikian tidak
boleh dijadikan bagian dari diagnosis aktual mengenai gangguan
hiperkinetik yang sesungguhnya.
f. Gejala-gejala dari gangguan tingkah laku bukan merupakan kriteria eksklusi
ataupun kriteria inklusi untuk diagnosis utamanya, tetapi ada tidaknya
gejala-gejala itu dijadikan dasar untuk subdivisi utama dari gangguan
tersebut.
Berdasarkan PPDGJ-III tersebut maka kriteria penegakan diagnosis gangguan
aktivitas dan perhatian (F90.0) atas kriteria umum mengenai gangguan hiperkinetik (F
90) telah terpenuhi, tetapi kriteria untuk gangguan tingkah laku (F91) tidak terpenuhi.
Kriteria penegakan diagnosis Other Specified Attention-Deficit/Hiperactivity
Disorder (ADHD) berdasarkan DSM-5 adalah sebagaimana tabel 3.7.2. (American
Psychiatric Association, 2013).
Tabel 3.7.2
Kriteria Diagnosis Other Specified Attention-Deficit/Hiperactivity Disorder (ADHD)
Berdasarkan DSM-5
Kriteria Diagnosis Ya Tidak
Kategori ini digunakan ketika karakteristik gejala GPPH yang
menyebabkan distress klinis atau mengganggu keberfungsian
di area sosial, okupasi, atau area penting lain, tetapi tidak
memenuhi kriteria GPPH dari gangguan di kelompok
diagnostik gangguan perkembangan neurologis. Kategori ini
digunakan jika psikolog klinis memilih mencantumkan alasan
khusus tidak terpenuhinya kriteria diagnosis GPPH atau
gangguan neurologis lain. Pencatatan ‘Other Specified
Attention-Deficit/Hyperactivity Disorder’ diikuti dengan
alasan khusus (misal, dengan tidak terpenuhinya gejala-gejala
inatensi).
125
Gangguan Pemusatan Perhatian dan/atau Hiperaktif (GPPH)
Tabel 3.7.3
Kriteria Diagnosis Unspecified Attention-Deficit/Hyperactivity Disorder (ADHD)
Berdasarkan DSM-5
Kriteria Diagnosis Ya Tidak
Kategori ini digunakan ketika karakteristik gejala GPPH yang
menyebabkan distress klinis atau mengganggu keberfungsian
di area sosial, okupasi, atau area penting lain, tetapi tidak
memenuhi kriteria GPPH dari gangguan di kelompok
diagnostik gangguan perkembangan neurologis. Kategori ini
digunakan jika psikolog klinis memilih tidak mencantumkan
alasan khusus tidak terpenuhinya kriteria diagnosis GPPH
atau gangguan neurologis lain, termasuk terbatasnya informasi
untuk menegakkan diagnosis yang lebih spesifik.
Komorbiditas
126
Gangguan Pemusatan Perhatian dan/atau Hiperaktif (GPPH)
Diagnosis Banding
Intervensi Psikologis
127
Gangguan Pemusatan Perhatian dan/atau Hiperaktif (GPPH)
Prognosis
Faktor prognosis pada gangguan ini adalah anak dengan Gangguan Pemusatan
Perhatian dan/atau Hiperaktif (GPPH) dengan komorbid Developmental Coordination
Disorder memiliki prognosis yang lebih buruk dibandingkan anak dengan Gangguan
Pemusatan Perhatian dan/atau Hiperaktif (GPPH) saja.
Catatan Lain
129
Gangguan Pemusatan Perhatian dan/atau Hiperaktif (GPPH)
Referensi
Allen, R. A., & Decker, S. L. (2008). Utility of the bender visual-motor gestalt test –
second edition in the assessment of attention-deficit/hyperactivity disorder.
Perceptual & Motor Skills, 107(3), 663 – 675.
https://doi.org/10.2466/pms.107.3.663-675.
American Psychiatric Association. (2013). Diagnostic and statistical manual of mental
disorders (5th ed.). Washington, DC: American Psychiatric Association.
Ashori, M., & Bidgoli, F D. (2018). The efectiveness of play therapy based on
cognitive-behavioral model: behavioral problems and social skills of pre-school
children with attention defcit hyperactivity disorder (persian). Archives of
Rehabilitation. 19(2), 102-115. doi: 10.32598/rj.19.2.102
Athanasiadou, A., Buitelaar, J. K., dkk. (2019). Early motor signs of attention-deficit
hyperactivity disorder: a systematic review. European Child & Adolescent
Psychiatry. doi:10.1007/s00787-019-01298-5
Daley, D., van der Oord, S., dkk. (2014). Behavioral Interventions in Attention-
Deficit/Hyperactivity Disorder: A Meta-Analysis of Randomized Controlled
Trials Across Multiple Outcome Domains. Journal of the american academy of
child & adolescent psychiatry, 53(8). doi: 10.1016/j.jaac.2014.05.013
Drechsler, R., Brem, S., Brandeis, D., dkk. (2020). ADHD: Current concepts and
treatments in children and adolescents. Neuropediatrics, 51, 315–335. doi:
10.1055/s-0040-1701658.
El-Nagger, N. S., Abo-Elmagd, M. H., & Ahmed, H. I. (2017). Effect of applying play
therapy on children with attention deficit hyperactivity disorder. Journal of
Nursing Education and Practice, doi: 10.5430/jnep.v7n5p104
Farhangnia, Hassanzadeh, & Ghorbani. (2020). Handwriting Performance of Children
with Attention Deficit Hyperactivity Disorder: The Role of Visual-Motor
Integration. Int J Pediatr, 8(11), 83. doi: 10.22038/ijp.2020.47633.3857
Frazier, T. W., Demaree, H. A., & Youngstrom, E. A. (2004). Meta-Analysis of
Intellectual and Neuropsychological Test Performance in Attention-
Deficit/Hyperactivity Disorder. Neuropsychology, 18(3), 543–555.
doi:10.1037/0894-4105.18.3.543
Garg, J., & Arun, P. (2013). A Follow-up Study of Academic Functioning and Social
Adjustment in Children with Attention Deficit Hyperactivity Disorder. Indian J
Psychol Med. 35(1), 47–52. DOI: 10.4103/0253-7176.112201
130
Gangguan Pemusatan Perhatian dan/atau Hiperaktif (GPPH)
Gurevitz, M., Geva, R., Varon, M., & Leitner, Y. (2014). Early Markers in Infants and
Toddlers for Development of ADHD. Journal of Attention Disorders, 18(1) 14–
22. https://doi.org/10.1177/1087054712447858
Hall, C. L., Valentine, A. Z., Groom, M. J., Walker, G. M., Sayal, K., Daley, D., &
Hollis, C. (2015). The clinical utility of the continuous performance test and
objective measures of activity for diagnosing and monitoring ADHD in children:
a systematic review. European Child & Adolescent Psychiatry, 25(7), 677–699.
https://doi.org/10.1007/s00787-015-0798-x
Hatiningsih, N. (2013). Play therapy untuk meningkatkan konsentrasi pada anak
Attention Deficit/Hiperactivity Disorder (ADHD). Jurnal Ilmiah Psikologi
Terapan. 1(02). https://doi.org/10.23917/indigenous.v0i0.4749
Hidayati, D.M.R., & Purwandari, E. (2010). Time out: alternatif modifikasi perilaku
anak ADHD (Attention Deficit/Hiperactivity Disorder). Indigenous, Jurnal Ilmiah
Berkala Psikologi, 12(2), 101-114.
Kohut, C. S., & Andrews, J. (2004). The efficacy of parent training programs for ADHD
children: A fifteen-year review. Developmental Disabilities Bulletin, 32(2), 155-
172. https://files.eric.ed.gov/fulltext/EJ848196.pdf
Lee, P., Niew, W., Yang, H., dkk. (2012). A meta-analysis of behavioral parent training
for children with attention deficit hyperactivity disorder. Research in
Developmental Disabilities, 33 (2012), 2040-2049. doi:
10.1016/j.ridd.2012.05.011
Loren, Richard & Vaughn, Aaron & Langberg, Joshua & Cyran, Jessica & Proano-Raps,
Tara & Smolyansky, Beverly & Tamm, Leanne & Epstein, Jeffery. (2013). Effects
of an 8-Session Behavioral Parent Training Group for Parents of Children With
ADHD on Child Impairment and Parenting Confidence. Journal of attention
disorders. 19. doi: 10.1177/1087054713484175.
Maslim, R. (2013). Buku saku diagnosis gangguan jiwa rujukan ringkas dari PPDGJ-
III dan DSM-5. Jakarta: Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK Unika Atmajaya.
McConaughy, S. H., Ivanova, M. Y., dkk. (2009). Standardized Observational
Assessment of Attention Deficit Hyperactivity Disorder Combined and
Predominantly Inattentive Subtypes. I. Test Session Observations. School
Psychology Review, 38(1), 45-66.
https://doi.org/10.1080/02796015.2009.12087849
National Institute for Health and Care Excellence (NICE). (2019) Attention deficit
hyperactivity disorder: diagnosis and management. NICE guideline [NG87].
https://www.nice.org.uk/guidance/ng87, diakses 9 November 2020.
131
Gangguan Pemusatan Perhatian dan/atau Hiperaktif (GPPH)
132
8. Gangguan Belajar Spesifik
Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis pasien dengan gangguan belajar spesifik tampak pada adanya
kesulitan belajar yang persisten, ditandai dengan kemajuan belajar yang terbatas. Tidak
ada bukti bahwa individu bisa mengejar ketertinggalannya dengan teman sekelas
selama setidaknya 6 bulan meski sudah mendapatkan bantuan ekstra di rumah maupun
sekolah (American Psychiatric Association, 2013).
Indikator klinis dari kesulitan belajar akademik adalah rendahnya pencapaian
akademik untuk usianya atau pencapaian rata-rata yang dipertahankan dengan usaha
dan dukungan yang tinggi. Pada anak-anak, keterampilan akademik yang rendah
berdampak pada performa sekolah disertai perilaku menghindari tugas-tugas yang
membutuhkan keterampilan akademik (American Psychiatric Association, 2013).
Konsekuensi fungsional dari gangguan belajar spesifik meliputi pencapaian
akademik yang lebih rendah, tingkat putus sekolah yang lebih tinggi, tingkat pendidikan
yang lebih rendah dari sekolah menengah, level tekanan psikologis yang tinggi, level
kesehatan mental yang rendah, tingkat pengangguran tinggi, dan pendapatan yang
rendah (American Psychiatric Association, 2013).
133
Gangguan Belajar Spesifik
Identifikasi
Identifikasi pasien dengan dugaan gangguan belajar spesifik dapat dilakukan
dengan mengidentifikasi keluhan orang tua dan guru terhadap minimnya motivasi
pasien dalam mengerjakan tugas, malas, kemampuan akademik yang rendah, kesulitan
belajar (kesulitan membaca, menulis, menghitung), perilaku keseharian, kemampuan
mempertahankan atensi dan konsentrasi dalam berkegiatan, serta minimnya komitmen
untuk menyelesaikan tugas hingga tuntas.
Asesmen
Beberapa alternatif metode pemeriksaan klinis yang dapat digunakan adalah
sebagai berikut:
1. Wawancara Klinis
Wawancara klinis dilakukan untuk mengetahui informasi terkait beberapa
hal berikut (American Psychiatric Association, 2013; NICE, 2015; Shah, dkk,
2019):
a. Riwayat kesehatan dan pemeriksaan fisik terhadap pasien
b. Riwayat perkembangan
c. Riwayat pendidikan
d. Riwayat keluarga
e. Riwayat kesulitan belajar, termasuk manifestasi klinis di masa lampau
dan masa kini
f. Riwayat permasalahan emosional dan perilaku
g. Keluhan orang tua dan kemajuannya
h. Kesadaran orang tua dan persepsinya terhadap permasalahan anak
i. Relasi dalam keluarga
2. Observasi Klinis
Observasi klinis pada pasien dengan gangguan belajar spesifik dapat
dilakukan di berbagai latar, seperti rumah, sekolah, maupun klinik. Melalui
observasi, dapat diamati gejala-gejala klinis yang terlihat pada perilaku dan
kondisi status mental anak (American Psychiatric Association, 2013; Shah, dkk,
2019). Observasi pada pasien dengan gangguan belajar spesifik dapat dilakukan
oleh psikolog klinis dengan mengamati beberapa hal berikut, di antaranya:
a. Perubahan suasana hati selama berkegiatan.
b. Motivasi dalam mengerjakan tugas.
134
Gangguan Belajar Spesifik
135
Gangguan Belajar Spesifik
Tabel 3.8.1
Kriteria Diagnosis Gangguan Belajar Spesifik Berdasarkan DSM-5
Kriteria Diagnosis Ada Tidak
A Kesulitan dalam mempelajari dan menggunakan
keterampilan akademik yang ditandai dengan
sedikitnya satu dari gejala-gejala berikut yang bertahan
setidaknya selama 6 bulan, meski tersedia intervensi
terhadap kesulitan-kesulitan tersebut:
1. Tidak tepat atau lambat dan perlu banyak usaha
saat membaca kata (misal, membaca kata per kata
dengan keras namun tidak tepat atau dengan
lambat dan ragu-ragu, sering menebak-nebak kata,
dan sulit melafalkan kata-kata).
2. Kesulitan memahami makna bacaan yang dibaca
(misal, mungkin bisa membaca teks dengan tepat,
tetapi tidak memahami urutan, hubungan,
kesimpulan, atau makna mendalam dari bacaan
yang dibaca).
3. Kesulitan mengeja (misal, mungkin
menambahkan, mengurangi, atau mengganti kata
vokal ataupun konsonan).
4. Kesulitan dalam ekspresi tertulis (misal, membuat
banyak kesalahan tata bahasa atau tanda baca
dalam kalimat, buruk dalam mengorganisasikan
suatu paragraf, tidak memiliki kejelasan dalam
menuliskan ide).
5. Kesulitan menguasai number sense (pemahaman
akan konsep bilangan), number fact (pemahaman
konsep perhitungan sederhana), maupun berhitung
(misal, sulit memahami angka, besaran, dan
hubungannya; menghitung dengan jari untuk
penjumlahan angka-angka satu digit daripada
mengingat perhitungan matematika seperti yang
dilakukan sebayanya; kebingungan di tengah
proses menghitung dan mungkin berganti
prosedur).
136
Gangguan Belajar Spesifik
137
Gangguan Belajar Spesifik
141
Gangguan Belajar Spesifik
Komorbiditas
Diagnosis Banding
Intervensi Psikologis
142
Gangguan Belajar Spesifik
143
Gangguan Belajar Spesifik
144
Gangguan Belajar Spesifik
Prognosis
Catatan Lain
145
Gangguan Belajar Spesifik
Referensi
146
Gangguan Belajar Spesifik
Trites, R.L., & Price, M.A. (1978). Specific Learning Disability in Primary French
Immersion. Interchange, 9(4),1978-79. https://doi.org/10.1007/BF01189551
World Health Organization. (2011). International Statistical Classification of Disease
and Related Health Problems Tenth Revision Volume Second Edition. Geneva:
World Health Organization.
147
9. Gangguan Koordinasi Perkembangan
Manifestasi Klinis
148
Gangguan Koordinasi Perkembangan
Identifikasi
Identifikasi pasien dengan dugaan gangguan koordinasi perkembangan dapat
dilakukan dengan mengidentifikasi keluhan pasien dan keluarga terhadap kemampuan
perkembangan anak dan perilaku keseharian anak, serta interaksi dan komunikasi sosial
anak dengan orang lain.
Asesmen
Beberapa alternatif metode pemeriksaan klinis yang dapat digunakan adalah sebagai
berikut:
1. Wawancara Klinis
Wawancara klinis pada orangtua pasien dengan gangguan koordinasi
perkembangan dilakukan untuk mendapatkan informasi secara lebih mendalam
terkait beberapa hal, di antaranya (Blank, dkk, 2019; Harris, Mickelson, &
Zwicker, 2015):
a. Alasan dirujuk dan kemunculan gangguan
b. Riwayat kesehatan dan pemeriksaan fisik terkini, meliputi informasi
kecelakaan yang sifatnya mayor, penyakit, gangguan neurologis,
permasalahan psikologis yang terkait dan relevan, permasalahan
sensori (yang terdokumentasikan pada pemeriksaan terdahulu,
kemunculan gejala baru), dan riwayat pengobatan
c. Riwayat perkembangan dan kondisi perkembangan terkini, meliputi
informasi terkait kehamilan, kelahiran, tahapan perkembangan
(motorik dan non motorik), riwayat keterlibatan motorik (kebiasaan
keluarga, lingkungan rumah, akses terhadap aktivitas motorik),
kompetensi sosial, dan kemampuan untuk berinteraksi dengan orang
lain
d. Riwayat pendidikan dan performa akademik saat ini, meliputi proses
pendidikan di taman bermain, prasekolah, sekolah, dan informasi
terkait pengukuran evaluasi akademik
e. Riwayat keluarga, meliputi informasi keberadaan gangguan
perkembangan ataupun kondisi genetik lain di keluarga
149
Gangguan Koordinasi Perkembangan
150
Gangguan Koordinasi Perkembangan
151
Gangguan Koordinasi Perkembangan
Tabel 3.9.1
Kriteria Diagnosis Gangguan Koordinasi Perkembangan Berdasarkan DSM-5
Kriteria Diagnosis Ada Tidak
A Pemerolehan dan eksekusi keterampilan koordinasi
gerak pasien, serta kesempatan menggunakan
keterampilan yang dipelajari termasuk di bawah usia
kronologis yang diharapkan. Kesulitan
termanifestasikan dalam perilaku canggung /
clumsiness (seperti menjatuhkan atau menabrak
suatu objek) dan juga performa keterampilan gerak
yang lambat dan tidak tepat (seperti menangkap
bola, menggunting atau memotong, menulis,
bersepeda, atau berolahraga)
B Kurangnya keterampilan gerak pada kriteria A
secara signifikan dan persisten memengaruhi
aktivitas bantu diri harian yang seharusnya dikuasai
sesuai usia kronologisnya (seperti keterampilan
merawat dan memelihara diri), yang berdampak
pada produktivitas akademis/sekolah, aktivitas pra-
kejuruan dan pekerjaan, keterampilan menggunakan
waktu luang dan bermain
C Onset dari gejala terjadi di awal periode
perkembangan
D Kurangnya keterampilan gerak tidak lebih baik jika
dijelaskan dengan disabilitas intelektual (gangguan
perkembangan intelektual), gangguan penglihatan,
dan tidak diakibatkan kondisi neurologis yang
menyebabkan pergerakan (cerebral palsy, muscular
dystrophy, degenerative disorder)
Komorbiditas
Diagnosis Banding
Intervensi Psikologis
153
Gangguan Koordinasi Perkembangan
Prognosis
Catatan Lain
155
Gangguan Koordinasi Perkembangan
Referensi
156
Gangguan Koordinasi Perkembangan
Sumner, E., Pratt, M. L., & Hill, E. L. (2016). Examining the cognitive profile of
children with Developmental Coordination Disorder. Research in Developmental
Disabilities, 56, 10–17. doi: 10.1016/j.ridd.2016.05.012.
World Health Organization. (2011). International Statistical Classification of Disease
and Related Health Problems. 10th Revision, Volume 2: Instruction Manual. 2010
Ed. Geneva: World Health Organization.
Zwicker, J. G., Suto, M., Harris, S. R., dkk. (2017). Developmental coordination
disorder is more than a motor problem: Children describe the impact of daily
struggles on their quality of life. British Journal of Occupational Therapy, 81(2),
65-73. doi:10.1177/0308022617735046
157
10. Gangguan Gerak Stereotipik
Manifestasi Klinis
Identifikasi
Identifikasi pasien dengan dugaan gangguan gerak stereotipik dapat dilakukan
dengan mengidentifikasi keluhan orangtua terhadap kemampuan perkembangan dan
perilaku keseharian pasien.
158
Gangguan Gerak Stereotipik
Asesmen
Beberapa alternatif metode pemeriksaan klinis yang dapat digunakan adalah
sebagai berikut:
1. Wawancara Klinis
Wawancara klinis pada orangtua pasien anak dengan gangguan gerak
stereotipik dilakukan untuk mendapatkan informasi secara lebih mendalam terkait
beberapa hal berikut (Oakley, dkk, 2015):
a. Riwayat keluarga
b. Riwayat gangguan, termasuk onset usia, pola gerak stereotipik, frekuensi dan
durasi gerak stereotipik
c. Riwayat pendidikan
d. Riwayat penanganan
2. Observasi Klinis
Observasi klinis pada pasien anak dengan gangguan gerak stereotipik dapat
dilakukan di berbagai konteks, seperti rumah, sekolah, maupun klinik. Melalui
observasi, teramati gejala-gejala klinis yang tampak pada perilaku anak, seperti:
a. Gerak mata, respon visual terhadap stimulus
b. Ekspresi wajah dan gestur tubuh
c. Fungsi keterampilan motorik kasar dan halus
d. Perilaku bermain
e. Perilaku selama pengetesan
f. Perilaku interaksi dan komunikasi sosial
g. Perubahan suasana hati
3. Tes Psikologi
Pemeriksaan dengan tes psikologi juga dilakukan untuk memetakan
kemampuan pasien dan menunjang penegakan diagnosis yang lebih jelas.
a. Skrining awal terhadap kemampuan perkembangan pasien dilakukan dengan
menggunakan salah satu di antara beberapa tes berikut:
i. Denver Developmental Screening Test
ii. Bayley Scales of Infant and Toddler Development
b. Pemeriksaan terhadap fungsi kognitif pasien dilakukan dengan
menggunakan salah satu di antara beberapa tes intelegensi berikut (Cardona,
dkk, 2016; Valente, dkk, 2019):
i. Skala Raven, seperti Coloured Progressive Matrices (CPM)
ii. Stanford-Binet Intelligent Scale
159
Gangguan Gerak Stereotipik
160
Gangguan Gerak Stereotipik
Tabel 3.10.1
Kriteria Diagnosis Gangguan Gerak Stereotipik Berdasarkan DSM-5
Kriteria Diagnosis Ada Tidak
A Gerakan yang berulang, tidak terkendali, dan tidak
bertujuan (seperti melambaikan atau
menggoyangkan tangan, mengayun-ayunkan badan,
membenturkan kepala, menggigit diri atau memukul
diri sendiri)
B Gerak berulang mengganggu aktivitas sosial,
akademis, atau aktivitas lain yang bisa berakibat
melukai diri sendiri
C Onset munculnya gejala terjadi di awal periode
perkembangan
D Gerak berulang tidak berhubungan dengan efek
fisiologis dari kondisi neurologis atau penggunaan
zat dan tidak lebih baik jika dijelaskan dengan
gangguan mental atau gangguan perkembangan
neurologis lain (seperti trichotillomania / mencabuti
rambut, gangguan obsesif-kompulsif)
Catatan tambahan terkait kriteria diagnosis :
a. Tentukan jika :
i. Dengan perilaku melukai diri (atau perilaku yang bisa mengakibatkan luka
jika tindakan pencegahan tidak dilakukan)
ii. Tanpa perilaku melukai diri
b. Tentukan jika :
Terkait dengan adanya kondisi genetis atau medis, gangguan perkembangan
neurologis, atau faktor lingkungan (seperti Lesch-Nyhan syndrome, disabilitas
intelektual / gangguan perkembangan intelektual, intrauterine alcohol exposure).
c. Pencatatan kode: gunakan kode tambahan untuk mengidentifikasi kondisi genetis
atau medis atau gangguan perkembangan neurologis yang terkait
d. Tingkat keparahan gangguan gerak stereotipik dikategorikan menjadi tiga:
i. Mild/ringan: gejala-gejala mudah ditekan oleh rangsangan atau distraksi
sensori
ii. Moderate/sedang: gejala-gejala yang tampak memerlukan tindakan
pencegahan dan modifikasi perilaku
iii. Severe/berat: memerlukan tindakan pencegahan dan pemantauan
berkelanjutan untuk mencegah terjadinya luka yang parah.
161
Gangguan Gerak Stereotipik
Komorbiditas
Diagnosis Banding
Intervensi Psikologis
162
Gangguan Gerak Stereotipik
dkk (2018) dan Specht, dkk (2017) menunjukkan program berbasis rumah (home-
based program) dengan pendekatan perilaku yang dilakukan oleh orangtua di
rumah pada anak dengan gangguan gerak stereotipik dapat menurunkan perilaku
gerak stereotipik anak. Beberapa prosedur home-based program, yaitu (Singer,
dkk, 2018; Specht, dkk, 2017):
a. Melakukan pengukuran awal dan menentukan baseline perilaku gerak
stereotipik anak
b. Penerapan program oleh orangtua
i. Parent-directed video-based behavioral therapy, merupakan instruksi
pelaksanaan terapi yang diberikan oleh psikolog perilaku melalui video
yang ditonton oleh orangtua.
• Awareness training
Latihan ini dilakukan selama satu minggu di awal program, untuk
membuat anak menyadari perilaku stereotipiknya dan memberikan
apresiasi verbal pada anak ketika anak tidak melakukan perilaku
tersebut.
• Differential reinforcement of other behavior (DRO) atau Reinforced
complex motor stereotypies suppression
Orangtua memberikan reinforcement selama dua minggu / lebih
terhadap perilaku lain yang muncul dan/atau terhadap supresi
perilaku stereotipik anak, seperti apresiasi verbal atau hadiah.
ii. Telepon dengan psikolog
iii. Sesi telepon dengan psikolog menjadi bagian dari home-based program
yang dilakukan Singer, dkk (2018), namun tidak termasuk aktivitas
program dalam studi Specht, dkk (2017). Sesi ini dilakukan sebanyak 4
kali untuk meriviu pelaksanaan dan progres terapi.
c. Melakukan pengukuran kembali untuk memantau dan mengevaluasi proses
intervensi
Pelaksanaan program ini dilengkapi dengan video rekaman arahan dari
psikolog, instruksi tertulis, dan lembar pencatatan perilaku harian (Singer,
dkk, 2018; Specht, dkk, 2017).
2. Terapi Perilaku
Intervensi dengan pendekatan perilaku terbukti efektif dalam penanganan
pasien anak dengan Stereotypic Movement Disorder (Barry, dkk, 2011; Miller,
dkk, 2006; Ricketts, dkk, 2013; Rigoli & Piek, 2020). Adapun sesi penanganan
pada Stereotypic Movement Disorder, terdiri dari (Ricketts, dkk, 2013):
a. Memberikan psikoedukasi tentang Stereotypic Movement Disorder dan
melakukan pemeriksaan wawancara fungsional informal
163
Gangguan Gerak Stereotipik
Prognosis
Beberapa faktor prognosis pada pasien anak dengan gangguan gerak stereotipik, di
antaranya:
1. Lingkungan yang memicu stres dan rasa takut, serta adanya isolasi sosial dapat
memicu munculnya gerakan stereotip dengan perilaku melukai diri yang
memperburuk prognosis
2. Fungsi kognitif anak dengan Stereotypic Movement Disorder, dimana semakin
rendah fungsi kognitifnya maka resiko melakukan perilaku stereotipik semakin
besar dan respon terhadap intervensi semakin rendah, yang dapat memperburuk
prognosisnya.
Catatan Lain
Pemeriksaan dan tatalaksana pada pasien gangguan gerak stereotipik dapat dilakukan
dengan berkolaborasi dengan tenaga kesehatan lain, di antaranya: dokter spesialis anak,
dokter spesialis saraf anak, terapis wicara, terapis okupasi.
164
Gangguan Gerak Stereotipik
Referensi
165
Gangguan Gerak Stereotipik
166
11. Gangguan Tic
Tabel 3.11.1
Jenis Gangguan Tic
ICD – 10 DSM - 5
F95.0 Gangguan tic sementara 307.23 (F95.2) Tourette’s disorder
F95.1 Gangguan tic motorik dan vokal 307.22 (F95.1) Persistent (chronic)
kronis motor or vocal tic
F95.2 Gangguan kombinasi tic vokal disorder
dan motorik multipel 307.21 (F95.0) Provisional tic
F95.8 Gangguan tic lainnya 307.20 (F95.8) disorder
F95.9 Gangguan tic YTT Other specified tic
307.20 (F95.9) disorder
Unspecified tic
disorder
Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis pada pasien anak dengan gangguan tic di antaranya (APA,
2013; Rigoli & Piek, 2020):
1. Adanya tic motorik sederhana, seperti mengedipkan mata, mengangkat bahu
2. Adanya tic motorik kompleks, seperti kombinasi gerakan mengangkat bahu dan
menoleh
3. Adanya permasalahan dengan sebaya dan permasalahan emosi
167
Gangguan Tic
Identifikasi
Identifikasi pasien dengan dugaan gangguan tic dapat dilakukan dengan
mengidentifikasi keluhan orangtua terhadap kemampuan perkembangan anak, perilaku
keseharian anak, dan kemampuan interaksi dan komunikasi sosial.
Asesmen
Beberapa alternatif metode pemeriksaan klinis yang dapat digunakan adalah
sebagai berikut:
1. Wawancara Klinis
Wawancara klinis pada orangtua pasien anak dengan gangguan tic dilakukan
untuk mendapatkan informasi secara lebih mendalam terkait beberapa hal berikut:
a. Riwayat kesehatan dan pemeriksaan fisik terkini
b. Riwayat perkembangan
c. Riwayat pendidikan
d. Riwayat keluarga
e. Riwayat gangguan tic, termasuk manifestasi klinis di masa lampau dan masa
kini
f. Perilaku anak dalam fungsi sosial, kemandirian dalam aktivitas keseharian
g. Keadaan sosio-emosi anak
h. Lingkungan (seperti kebiasaan keluarga, dukungan sosial, status sosio-
ekonomi, akses terhadap layanan intervensi)
2. Observasi Klinis
Observasi klinis pada pasien dengan gangguan tic dapat dilakukan di
berbagai setting, seperti rumah, sekolah, maupun klinik. Melalui observasi,
teramati gejala-gejala klinis yang tampak pada perilaku anak, seperti:
a. Gerak mata, respon visual terhadap stimulus
b. Ekspresi wajah dan gestur tubuh
c. Perilaku bermain
d. Perilaku selama pengetesan
e. Perilaku interaksi dan komunikasi sosial
f. Perubahan suasana hati
3. Tes Psikologi
Pemeriksaan dengan tes psikologi juga dilakukan untuk memetakan
kemampuan anak dan menunjang penegakan diagnosis yang lebih jelas.
168
Gangguan Tic
169
Gangguan Tic
Tabel 3.11.2
Kriteria Diagnosis Gangguan Tourette Berdasarkan DSM-5
Kriteria Diagnosis Ada Tidak
A Beberapa tic gerak dan satu atau lebih tic vokal
muncul selama beberapa waktu ketika sakit, meski
tidak selalu terjadi bersamaan
B Frekuensi tic mungkin bertambah / berkurang tetapi
persisten lebih dari satu tahun sejak onset terjadinya
tic pertama kali.
C Onset terjadinya sebelumnya usia 18 tahun.
D Gangguan tidak berkaitan dengan efek fisiologis dari
penggunaan zat (seperti kokain) atau kondisi medis
lain (seperti Huntington’s disease, postviral
encephalitis)
170
Gangguan Tic
171
Gangguan Tic
172
Gangguan Tic
Kriteria penegakan diagnosis other specified tic disorder (307.20) atau gangguan
tic lainnya (F95.8) dapat dilihat pada tabel 3.11.5.
Tabel 3.11.5
Kriteria Diagnosis Gangguan Tic Lainnya Berdasarkan DSM-5
Kriteria Diagnosis Ada Tidak
Kategori ini digunakan jika karakteristik gejala gangguan tic
yang menyebabkan distres klinis atau mengganggu
keberfungsian di area sosial, okupasi, atau area penting lain
tetapi tidak memenuhi kriteria gangguan tic atau gangguan
lain di kelompok diagnostik gangguan perkembangan
neurologis. Kategori ini digunakan ketika psikolog klinis
memilih mencantumkan alasan khusus tidak terpenuhinya
kriteria diagnosis gangguan tic atau gangguan
perkembangan neurologis yang spesifik. Pencatatan dengan
diagnosa “other specified tic disorder” harus diikuti dengan
alasan khusus (seperti onset terjadi di atas usia 18 tahun).
Kriteria penegakan diagnosis unspecified tic disorder (307.20) atau gangguan tic
YTT dapat dilihat pada tabel 3.11.6.
Tabel 3.11.6
Kriteria Diagnosis Gangguan Tic YTT Berdasarkan DSM-5
Kriteria Diagnosis Ada Tidak
Kategori ini digunakan jika karakteristik gangguan tic
menyebabkan distres klinis atau mengganggu keberfungsian
di area sosial, okupasi, atau area penting lain, tetapi tidak
memenuhi kriteria gangguan tic atau gangguan lain di
kelompok diagnostik gangguan perkembangan neurologis.
Kategori ini digunakan ketika psikolog klinis memilih tidak
mencantumkan alasan khusus tidak terpenuhinya kriteria
diagnosis gangguan tic atau gangguan perkembangan
neurologis yang spesifik, termasuk terbatasnya informasi
yang diperoleh untuk menegakkan diagnosis yang lebih
spesifik.
173
Gangguan Tic
Komorbiditas
Diagnosis Banding
Intervensi Psikologis
174
Gangguan Tic
Prognosis
Catatan Lain
Pemeriksaan dan tatalaksana pada pasien gangguan tic dapat dilakukan dengan
berkolaborasi dengan tenaga kesehatan lain, di antaranya: dokter spesialis anak, dokter
spesialis saraf anak, terapis wicara, terapis okupasi, dan fisioterapis.
176
Gangguan Tic
Referensi
177
12. Psikosis dan Gangguan Skizofrenia Lainnya
Manifestasi Klinis
4. Gangguan emosi yang merujuk pada adanya perbedaan yang terlihat pada afek
dasar yang sering diperlihatkan oleh pasien dengan skizofrenia (tetapi tidak
patogonomonik), seperti afek tumpul atau datar, afek tak serasi atau inkongruen,
dan afek labil.
5. Gangguan perilaku, yaitu berbagai perilaku yang tidak sesuai dengan konteks dan
aneh yang dapat terlihat pada gerakan tubuh yang aneh, menyeringai, perilaku
ritual, sangat tidak sesuai dengan norma sosial yang berlaku, perilaku agresif, serta
perilaku seksual yang tak pantas.
6. Gangguan motivasi yang merujuk pada menurunnya atau hilangnya motivasi
untuk melakukan aktivitas yang disadari dan bertujuan. Hal ini sering kali
ditunjukkan dalam bentuk tidak adanya inisiasi untuk memulai kegiatan apapun,
sehingga banyak waktu habis secara sia-sia.
7. Gangguan neurokognitif yang merujuk pada adanya gangguan atensi, penurunan
kemampuan untuk menyelesaikan masalah, gangguan memori (misalnya, memori
kerja, spasial dan verbal), dan fungsi eksekutif (seperti berpikir kritis dan
merencanakan sesuatu).
Sub-tipe Skizofrenia adalah sebagai berikut:
1. Skizofrenia paranoid dengan karakteristik utama berupa kecurigaan terhadap
orang lain yang tak berdasar.
2. Skizofrenia disorganisasi (hebefrenik) dengan karakteristik utama berupa gejala-
gejala tidak teratur/berantakan pada perkataan, perilaku, dan afek.
3. Skizofrenia katatonik dengan karakteristik utama berupa adanya gangguan fungsi
motorik, seperti peningkatan atau penurunan gerakan aneh.
4. Skizofrenia tak terinci yang terjadi ketika gejala-gejala utama yang muncul tidak
cocok dengan tiga kategori di atas.
5. Skizofrenia residual yang merujuk pada kategori yang diberikan bagi individu
yang sedang tidak mengalami gejala-gejala waham, halusinasi, disorganisasi
ucapan dan perilaku secara primer, namun masih menunjukkan gejala-gejala
tersebut secara ringan.
Identifikasi
Gangguan skizofrenia diidentifikasi dengan adanya kelainan pada satu atau lebih
dari lima domain berikut, yakni waham, halusinasi, pemikiran yang tidak teratur
(berbicara), perilaku motorik yang tidak teratur atau abnormal (termasuk katatonia), dan
gejala negatif.
179
Psikosis dan Gangguan Skizofrenia Lainnya
1. Waham adalah keyakinan tetap yang tidak bisa diubah dengan adanya bukti yang
bertentangan. Waham dianggap menjadi keanehan jika jelas-jelas hal tersebut
tidak masuk akal dan tidak dapat dipahami oleh lingkungan budaya yang sama
dan tidak berasal dari pengalaman hidup yang biasa.
2. Halusinasi adalah persepsi yang dirasakan seperti pengalaman nyata yang terjadi
tanpa rangsangan eksternal. Persepsinya dirasakan jelas dan nyata, dengan
kekuatan dan dampak penuh seperti persepsi normal, dan tidak di bawah kendali
sukarela.
3. Pemikiran yang tidak teratur (gangguan pemikiran formal) biasanya disimpulkan
dari cara berbicara individu. Individu dapat beralih dari satu topik ke topik lain
(secara tiba-tiba atau kurang terasosiasi secara menyambung).
4. Perilaku motorik yang sangat tidak teratur atau abnormal dapat termanifestasi
dalam berbagai cara, mulai dari "kekonyolan" seperti anak kecil hingga agitasi
yang tidak dapat diprediksi. Permasalahan dapat dikenali dalam bentuk apapun
dari ekspresi perilaku bertujuan yang menyebabkan kesulitan dalam melakukan
aktivitas sehari-hari.
5. Gejala negatif menyebabkan sebagian besar morbiditas yang terkait dengan
skizofrenia, tetapi kurang menonjol pada gangguan psikotik lainnya. Dua gejala
negatif yang menonjol pada skizofrenia, yaitu: ekspresi emosi yang berkurang dan
avolisi. Ekspresi emosi yang berkurang meliputi pengurangan ekspresi emosi pada
wajah, kontak mata, intonasi nada bicara, dan gerakan tangan, kepala, dan wajah
yang biasanya memberikan penekanan emosional saat berbicara. Avolisi adalah
penurunan motivasi pada aktivitas yang bertujuan, seperti mandi, bersosialisasi,
dan lain-lain.
Asesmen
180
Psikosis dan Gangguan Skizofrenia Lainnya
181
Psikosis dan Gangguan Skizofrenia Lainnya
183
Psikosis dan Gangguan Skizofrenia Lainnya
Sementara pada PPDGJ-III semua kriteria diagnosis di bawah ini harus dipenuhi
untuk menegakkan diagnosis yang pasti:
1. Pikiran yang berulang, penyisipan atau penarikan pikiran, dan penyiaran pikiran;
2. Waham dikendalikan, waham dipengaruhi, atau kepasifan, yang jelas merujuk
pada pergerakan tubuh atau pergerakan anggota gerak, atau pikiran, perbuatan
atau perasaan (sensations) khusus;
3. Suara halusinasi yang berkomentar secara terus-menerus terhadap perilaku pasien,
atau mendiskusikan perihal pasien di antara mereka sendiri, atau jenis suara
halusinasi lain yang berasal dari salah satu bagian tubuh;
4. Waham-waham menetap jenis lain yang menurut budaya setempat dianggap tidak
wajar dan/atau sama sekali mustahil;
5. Halusinasi yang menetap dalam setiap modalitas, apabila disertai baik oleh waham
yang mengambang/melayang maupun yang setengah berbentuk tanpa kandungan
afektif yang jelas, ataupun oleh ide-ide berlebihan (over-valued ideas) yang
menetap, yang terjadi setiap hari selama berminggu-minggu atau berbulan-bulan
secara terus-menerus;
6. Arus pikiran yang terputus atau yang mengalami sisipan (interpolasi) yang
berakibat inkoherensi atau pembicaraan yang tidak relevan, atau neologisme;
7. Perilaku katatonik, seperti keadaan gaduh-gelisah (excitement), sikap tubuh
tertentu (posturing), atau fleksibilitas serea, negativisme, mutisme, dan stupor;
8. Gejala-gejala “negatif” seperti sikap sangat masa bodoh (apatis), pembicaraan
yang terhenti, dan respon emosional yang menumpul atau tidak wajar, biasanya
yang mengakibatkan penarikan diri dari pergaulan sosial dan menurunnya kinerja
185
Psikosis dan Gangguan Skizofrenia Lainnya
sosial, tetapi harus jelas bahwa semua hal tersebut tidak disebabkan oleh depresi
atau medikasi neuroleptika;
9. Suatu perubahan yang konsisten dan bermakna dalam mutu keseluruhan dari
beberapa aspek perilaku perorangan, bermanifestasi sebagai hilangnya minat, tak
bertujuan, sikap malas, sikap berdiam diri (self-absorbed attitude), dan penarikan
diri secara sosial.
Persyaratan yang normal untuk diagnosis skizofrenia ialah harus ada sedikitnya
satu gejala tersebut di atas yang amat jelas (dan biasanya dua gejala atau lebih apabila
gejala-gejala itu kurang tajam atau kurang jelas) dari gejala yang termasuk salah satu
dari kelompok gejala (a) sampai (d) tersebut di atas, atau paling sedikit dua gejala dari
kelompok (e) sampai (h), yang harus selalu ada secara jelas selama kurun waktu satu
bulan atau lebih. Kondisi-kondisi yang memenuhi persyaratan gejala tersebut yang
lamanya kurang dari satu bulan (baik diobati atau tidak), harus didiagnosis pertama kali
sebagai gangguan psikotik lir-skizofrenia akut (F23.2) dan baru diklasifikasikan ulang
kalau gejala-gejala tersebut menetap selama kurun waktu yang lebih lama.
Diagnosis skizofrenia tidak boleh dibuat bila terdapat secara luas gejala-gejala
depresif atau manik, kecuali bila memang jelas bahwa gejala-gejala skizofrenik itu
mendahului gangguan afektif tersebut. Jika gejala-gejala skizofrenik dan afektif
berkembang bersama-sama secara seimbang dan sama banyak, maka diagnosis
gangguan skizoafektif (F25._) harus dibuat walaupun gejala-gejala skizofrenia itu saja
cukup beralasan untuk menegakkan diagnosis skizofrenia. Skizofrenia tidak boleh
didiagnosis bila terdapat penyakit otak yang nyata, atau dalam keadaan intoksikasi atau
putus zat (withdrawal).
Diagnosis Banding
186
Psikosis dan Gangguan Skizofrenia Lainnya
Komorbiditas
Intervensi Psikologi
189
Psikosis dan Gangguan Skizofrenia Lainnya
190
Psikosis dan Gangguan Skizofrenia Lainnya
Prognosis
Catatan Lain
191
Psikosis dan Gangguan Skizofrenia Lainnya
192
Psikosis dan Gangguan Skizofrenia Lainnya
Referensi
193
13. Gangguan Bipolar
Manifestasi Klinis
1. Ketika ada dalam episode manik, individu akan berperilaku dan berpikir secara
tidak biasa, seperti sulit untuk berhenti berbicara dan membuat komentar yang tak
ada hentinya. Terkadang komentar tersebut bisa jadi mengandung lelucon, bersifat
puitis, atau apapun yang menarik perhatian mereka.
2. Saat episode manik, individu menjadi sulit untuk diinterupsi dan pembicaraannya
secara cepat berganti dari satu topik ke topik lainnya. Hal ini dinamakan dengan
flight of ideas.
3. Ketika episode manik, individu bisa menjadi sangat ramah hingga tidak jarang
mengganggu dan bisa memiliki kepercayaan diri yang berlebihan.
4. Ketika episode manik, terdapat potensi perilaku yang membahayakan, seperti
aktivitas seksual secara tidak aman, berbelanja secara berlebihan, dan menyetir
194
Gangguan Bipolar
tidak berhati-hati. Aktivitas tidur pun bisa menjadi sangat berkurang, bahkan tidak
tidur sama sekali namun tetap berenergi. Manik biasanya berlangsung secara tiba-
tiba selama sehari hingga dua hari.
5. DSM-5 juga memasukkan kriteria hipomanik, yang berarti manik dengan
intensitas lebih rendah. Sementara manik melibatkan adanya penurunan nyata
pada fungsi kehidupan sehari-hari, hipomanik tidak melibatkan gangguan namun
melibatkan adanya perubahan pada keberfungsiannya. Individu dengan
hipomanik bisa jadi merasa lebih ramah, berhasrat, berenergi, dan produktif.
Identifikasi
1. Ketika seorang dewasa datang ke pelayanan kesehatan primer ataupun sekunder
dengan gejala depresi, maka coba identifikasi kondisi manik sebelumnya dengan
bertanya mengenai kemungkinan adanya periode aktivitas berlebih. Jika ada dan
dialami selama 4 hari atau lebih, maka pertimbangkan untuk melakukan
pemeriksaan terkait kemungkinan adanya bipolar.
2. Lakukan pemeriksaan segera ketika kondisi manik atau depresif membahayakan,
baik untuk diri sendiri maupun orang lain.
Asesmen
Asesmen terhadap gangguan bipolar dan perawatannya harus dilakukan di layanan
yang:
1. Menekankan pada hubungan dengan pasien dan juga pengelolaan risiko;
2. Menawarkan perawatan di lingkungan yang minim gangguan dan minim stigma,
serta adanya suasana penuh dengan harapan dan optimisme.
Ketika melakukan asesmen kepada individu yang terduga memiliki gangguan
bipolar, pastikan:
1. Melakukan asesmen psikologi klinis secara lengkap, mendokumentasikan secara
lengkap riwayat episode mood, aktivitas berlebih, dan disinhibisi atau episode
lainnya dan perubahan perilaku, gejala antar-episode, pencetus episode
sebelumnya dan pola kekambuhan, serta riwayat gangguan yang dimiliki oleh
keluarga;
2. Periksa perkembangan dan perubahan gangguan afektif dan permasalahan klinis
terkait sepanjang kehidupan individu (contoh: adanya trauma masa kecil,
gangguan perkembangan, atau disfungsi kognitif);
195
Gangguan Bipolar
3. Periksa keberfungsian sosial dan personal serta stresor psikososial saat ini;
4. Periksa adanya potensi komorbiditas mental dan fisik;
5. Periksa kesehatan fisik individu dan lakukan peninjauan ulang terhadap medikasi
dan efek samping termasuk penambahan berat badan;
6. Diskusikan riwayat perawatan dan identifikasi intervensi yang efektif dan tidak
efektif untuk individu tersebut di masa lalu;
7. Dorong individu untuk mengundang anggota keluarga atau orang terdekat yang
merawatnya untuk memberikan verifikasi terhadap riwayatnya;
8. Diskusikan kemungkinan faktor yang terkait dengan perubahan afektif, seperti
hubungan interpersonal, faktor psikososial, dan perubahan gaya hidup;
9. Identifikasi tujuan pribadi individu terkait dengan intervensi.
Pertimbangkan adanya kemungkinan diagnosis banding, seperti gangguan
spektrum skizofrenia, gangguan kepribadian, penyalahgunaan obat-obatan,
penyalahgunaan alkohol, ADHD, dan gangguan fisik seperti hipotiroid atau hipertiroid.
Sertakan juga asesmen risiko terkait dengan pasien dan juga orang terdekatnya yang
berfokus pada area mengenai kemungkinan akan bahaya, seperti menyakiti diri sendiri,
pikiran dan intensi perilaku bunuh diri, risiko untuk orang lain termasuk anggota
keluarga, menyetir, menghabiskan uang secara berlebih, eksploitasi finansial atau
seksual, terganggunya hubungan keluarga atau romantis, perilaku disinhibisi dan
seksual, dan risiko penyakit seksual menular. Selain melakukan wawancara klinis,
asesmen gangguan bipolar juga bisa dilakukan dengan menggunakan instrumen
swalapor (self-report). Beberapa jenis skala yang dapat digunakan di antaranya:
1. Hypomanic Personality Scale (HPS-6);
2. Mood Disorder Questionnaire;
3. General Behavior Inventory (GBI-15).
Perlu diperhatikan bahwa skala-skala tersebut belum teruji reliabilitas dan
validitasnya untuk digunakan di Indonesia. Akan tetapi, skala-skala ini merupakan
skala yang paling umum dipakai di dunia untuk pemeriksaan gejala bipolar.
Diagnosis
Kriteria gangguan bipolar berdasarkan DSM-5 dapat dilihat pada tabel 3.13.1.
196
Gangguan Bipolar
Tabel 3.13.1
Kriteria Diagnosis Gangguan Bipolar Berdasarkan DSM-5
Kriteria Diagnostik Ada Tidak
1. Episode Manik
A Adanya periode di mana suasana hati meningkat
secara tidak normal dan konsisten, atau mudah
tersinggung dan adanya aktivitas yang mengarah pada
satu tujuan atau energi yang juga meningkat secara
konsisten dan tidak normal setidaknya selama satu
minggu dan berlangsung hampir setiap hari.
B Selama periode gangguan mood atau afek dan
meningkatnya energi atau aktivitas, tiga (atau lebih)
gejala di bawah ini muncul dengan intensitas yang
signifikan dan terlihat adanya perubahan perilaku:
i. Tingkat kepercayaan diri yang meningkat atau
grandiosity;
ii. Kurangnya kebutuhan untuk tidur (seperti
merasa cukup meski hanya tidur selama 3 jam);
iii. Lebih banyak berbicara dibandingkan biasanya;
iv. Flight of ideas atau pengalaman subjektif
adanya pikiran yang meluap;
v. Mudah teralihkan;
vi. Meningkatnya aktivitas yang bertujuan (baik
dalam aspek sosial, pekerjaan, atau seksual) atau
adanya agitasi psikomotor;
Melibatkan diri secara berlebihan dalam aktivitas
yang berpotensi tinggi membahayakan (seperti belanja
secara tidak terkendali, melakukan perselingkuhan
seksual, atau investasi bisnis secara tidak berhati-
hati).
C Gangguan afek (mood) cukup parah untuk
menyebabkan adanya hendaya dalam keberfungsian
sosial ataupun okupasional atau memenuhi syarat
untuk dirawat di rumah sakit dalam rangka
menghindari menyakiti diri sendiri atau orang lain,
197
Gangguan Bipolar
198
Gangguan Bipolar
200
Gangguan Bipolar
Sementara kriteria diagnosis menurut PPDGJ-III mengacu pada istilah yang disebut
sebagai gangguan afektif bipolar (F31) yang masuk ke dalam golongan gangguan
suasana perasaan (gangguan afektif/mood). Gangguan ini dicirikan dengan episode
berulang (sekurang-kurangnya dua episode) di mana afek pasien dan tingkat
aktivitasnya jelas terganggu, pada waktu tertentu terdiri dari peningkatan afek disertai
penambahan energi dan aktivitas (manik atau hipomanik), dan pada waktu lain berupa
penurunan afek disertai pengurangan energi dan aktivitas (depresi). Yang khas adalah
biasanya ada penyembuhan (remisi) yang sempurna antarepisode. Episode manik
biasanya dimulai dengan tiba-tiba dan berlangsung antara 2 minggu sampai 4-5 bulan,
episode depresi cenderung berlangsung lebih lama (rata-rata sekitar 6 bulan) meskipun
jarang melebihi 1 tahun, kecuali pada orang usia lanjut. Kedua macam episode itu sering
kali terjadi setelah peristiwa hidup yang penuh stres atau trauma mental lain (adanya
stres tidak esensial untuk penegakan diagnosis). Pada PPDGJ III, gangguan yang
termasuk ke dalam kategori ini antara lain:
1. Gangguan Afektif Bipolar, Episode Kini Hipomanik;
2. Gangguan Afektif Bipolar, Episode Kini Manik tanpa Gejala Psikotik;
3. Gangguan Afektif Bipolar, Episode Kini Manik dengan Gejala Psikotik;
4. Gangguan Afektif Bipolar, Episode Kini Depresif Ringan atau Sedang;
5. Gangguan Afektif Bipolar, Episode Kini Depresif Berat tanpa Gejala Psikotik;
6. Gangguan Afektif Bipolar, Episode Kini Depresif Berat dengan Gejala Psikotik;
7. Gangguan Afektif Bipolar, Episode Kini Campuran;
8. Gangguan Afektif Bipolar, Kini dalam Remisi;
9. Gangguan Afektif Bipolar Lainnya;
10. Gangguan Afektif Bipolar YTT (Yang Tidak Tergolongkan).
201
Gangguan Bipolar
Diagnosis Banding
Komorbiditas
1. Gangguan kecemasan;
2. Gangguan Pemusatan Perhatian dan/atau Hiperaktif (GPPH);
3. Gangguan perilaku menentang atau kontrol impuls;
4. Gangguan penyalahgunaan zat.
Intervensi Psikologi
204
Gangguan Bipolar
205
Gangguan Bipolar
206
Gangguan Bipolar
4. Jika menghadapi pasien dengan kondisi komorbid, faktor risiko psikososial yang
persisten (seperti perselisihan keluarga atau orang tua yang menderita penyakit
mental) maka pertimbangkan:
a. intervensi psikologi alternatif untuk depresi bipolar yang dialami anak, orang
tua mereka, dan anggota keluarga lainnya; atau
b. intervensi psikologi tambahan untuk masalah kesehatan mental yang muncul
berdampingan.
5. Penanganan jangka panjang
Gangguan bipolar perlu dikaji secara multidisiplin, untuk itu pertimbangkan
intervensi psikologi individu atau keluarga yang terstruktur ketika menangani
pasien remaja yang mengalami gangguan bipolar dalam jangka panjang.
6. Perhatikan aktivitas-aktivitas yang berkaitan dengan pekerjaan, edukasi, dan
kehidupan sehari-hari.
Untuk pasien dengan bipolar dalam perawatan primer dan sekunder yang
memiliki keinginan untuk kembali bekerja maka berikan program-program
bantuan yang berkaitan dengan pekerjaan. Sebaliknya, pertimbangkan aktivitas
sehari-hari atau pembelajaran lainnya, termasuk pelatihan persiapan memasuki
dunia kerja, terutama untuk penderita yang tidak dapat bekerja atau kesulitan.
Prognosis
Untuk kebanyakan orang, gangguan bipolar biasanya dialami lebih dari sekali.
Terdapat variasi akan jumlah pengalaman kekambuhan, tetapi rata-rata jumlah episode
yang dialami adalah sepuluh kali. Biasanya, episode manik dan depresi akan
berlangsung bergantian dalam satu waktu. Pola hipomanik dan episode depresif sering
kali ditemui pada tipe gangguan bipolar II. Risiko terjadinya kekambuhan 12 bulan
setelah episode pertama cukup tinggi (50% dalam 1 tahun, 75% dalam 4 tahun, dan
10% di tahun–tahun setelahnya) dibandingkan dengan gangguan psikiatri yang lainnya.
Kemungkinan untuk kambuh tiga kali lebih awal pada individu yang memiliki gejala
residual. Kemungkinan untuk kambuh pada individu yang telah mencapai tahap
kesembuhan secara menyeluruh dan tidak mengalami kekambuhan dalam 4 tahun
adalah 10%.
Catatan Lain
1. Psikolog klinis perlu bekerja sama atau merujuk pasien ke psikiater agar pasien
mendapatkan intervensi farmakologis terkait kondisi manik, hipomanik, dan
depresi bipolar.
207
Gangguan Bipolar
2. Jika pasien dengan gangguan bipolar menunjukkan risiko menyakiti dirinya atau
orang lain dalam episode akut, maka dapat dilakukan manajemen dalam jangka
pendek:
3. Pasien yang melakukan tindakan melukai diri harus diperlakukan dengan
perhatian, rasa hormat, dan privasi yang sama seperti pasien lainnya. Para tenaga
profesional kesehatan harus memperhitungkan sepenuhnya kemungkinan distres
terkait tindakan menyakiti diri sendiri;
4. Memberikan pelayanan untuk dampak fisik dari perilaku menyakiti diri
bagaimana pun keinginan mereka untuk menerima asesmen psikologis;
5. Memberikan informasi mengenai pilihan pelayanan yang tersedia, sehingga
pasien memiliki kesempatan untuk memberikan persetujuan sebelum
dilakukannya prosedur pemeriksaan;
6. Memberikan asesmen kebutuhan yang komprehensif, yang berisi evaluasi faktor
sosial, psikologis, dan motivasi mengenai perilaku menyakiti diri dan keinginan
bunuh diri, rasa putus asa, serta pemeriksaan mental secara menyeluruh;
7. Memberikan asesmen risiko, yaitu identifikasi faktor demografis dan klinis yang
berkaitan dengan perilaku menyakiti atau keinginan bunuh diri, dan identifikasi
karakteristik psikologis yang berkaitan dengan risiko, seperti depresi, rasa putus
asa, dan keinginan bunuh diri yang muncul terus menerus;
8. Setelah asesmen psikologis, keputusan untuk merujuk pada perawatan selanjutnya
harus didasari oleh asesmen psikologis, sosial, dan psikiatri secara komprehensif,
termasuk asesmen risiko, dan tidak selalu berdasarkan perilaku menyakiti diri
sebagai faktor penentu tunggal.
208
Gangguan Bipolar
Referensi
209
14. Gangguan Depresi
Manifestasi Klinis
Identifikasi
Dalam mengidentifikasi pasien dengan dugaan gangguan depresi mayor (terlebih
pada pasien yang memiliki riwayat depresi atau masalah kesehatan fisik dengan
penurunan fungsi yang terkait), dapat mempertimbangkan dua pertanyaan yang
diajukan berikut ini:
1. Selama satu bulan terakhir, apakah Anda sering merasa sedih, tertekan, atau
putus asa?
2. Selama satu bulan terakhir, apakah Anda sering merasa kurang memiliki
ketertarikan atau kepuasan dalam melakukan sesuatu yang biasa dilakukan?
Apabila jawaban yang disampaikan pasien mengindikasikan kemungkinan
mengalami gangguan depresi maka psikolog klinis dapat melakukan asesmen lanjutan
untuk memperkuat pengambilan keputusan dalam memberikan diagnosis yang tepat
kepada pasien.
211
Gangguan Depresi
Asesmen
1. Wawancara klinis
Psikolog klinis hendaknya mengevaluasi beberapa hal berikut pada pasien
yang diduga memiliki gangguan depresi:
a. Terdapat pemikiran bunuh diri atau percobaan bunuh diri sebelumnya
b. Terdapat gejala psikotik dan gangguan mental yang merupakan komorbiditas
dari gangguan depresif
c. Riwayat keluarga dengan gangguan depresi dan gangguan mental lainnya
d. Gangguan perkembangan pada masa kanak-kanak
e. Riwayat trauma
2. Observasi klinis
Observasi klinis dilakukan pada pasien dengan dugaan gangguan depresi
untuk mengamati beberapa hal berikuit ini :
a. Memperhatikan gejala fisiologis yang merupakan manifestasi klinis dari
pasien dengan dugaan gangguan depresi, seperti perubahan kondisi emosi,
motivasi, fungsional dan perilaku motorik, serta kognisi.
b. Jika pasien depresi memperlihatkan risiko tinggi yang bersifat impulsif pada
dirinya atau orang lain untuk segera rujuk ke layanan spesialis kesehatan jiwa.
3. Alat tes psikologi
Dalam melakukan asesmen untuk menegakkan diagnosis gangguan depresi
mayor, psikolog klinis dapat menggunakan panduan wawancara terstruktur dan
juga kuesioner yang teruji validitas dan reliabilitasnya. Berikut ini terdapat
beberapa skala pengukuran yang diperoleh dari berbagai sumber :
1. Beck Depression Inventory (BDI-II);
2. Major Depression Inventory (MDI);
3. Hamilton Rating Scale for Depression (HRSD);
4. Children’s Depression Inventory (CDI);
5. Zung Self-Rating Depression Scale (SDS);
6. Geriatric Depression Scale (GDS);
7. Patient Health Questionnaire-9 (PHQ-9);
8. PHQ-9 modified for Adolescents (PHQ-A);
9. Center for Epidemiological Studies-Depression (CES-D);
10. Structured Clinical Interview for DSM (SCID).
Perlu diperhatikan bahwa skala-skala yang telah disebutkan di atas
merupakan instrumen yang direkomendasikan dalam melakukan asesmen kepada
pasien dengan gangguan depresi mayor. Namun demikian, masih perlu dilakukan
212
Gangguan Depresi
214
Gangguan Depresi
215
Gangguan Depresi
216
Gangguan Depresi
5. Pedoman diagnostik untuk episode depresif berat tanpa gejala psikotik, yaitu:
a. Semua 3 gejala utama depresi harus ada;
b. Ditambah sekurang-kurangnya 4 dari gejala lainnya dan beberapa di
antaranya harus berintensitas berat;
c. Bila ada gejala penting (misalnya agitasi atau retardasi psikomotor) yang
mencolok maka pasien mungkin tidak mau atau tidak mampu untuk
melaporkan banyak gejalanya secara rinci;
d. Dalam hal demikian, penilaian secara menyeluruh terhadap episode depresif
berat masih dapat dibenarkan;
e. Episode depresif biasanya harus berlangsung sekurang-kurangnya 2 minggu,
akan tetapi jika gejala amat berat dan ber-onset sangat cepat, maka masih
dibenarkan untuk menegakkan diagnosis dalam kurun waktu kurang dari 2
minggu;
f. Sangat tidak mungkin pasien akan mampu meneruskan kegiatan sosial,
pekerjaan atau urusan rumah tangga, kecuali pada taraf yang sangat terbatas.
6. Pedoman diagnostik untuk episode depresif berat dengan gejala psikotik, yaitu:
a. Episode depresi berat yang memenuhi kriteria gejala lainnya;
b. Disertai waham, halusinasi atau stupor depresif. Waham biasanya melibatkan
ide tentang dosa, kemiskinan atau malapetaka yang mengancam, dan pasien
merasa bertanggung jawab atas hal itu. Halusinasi auditorik atau olfatorik
biasanya berupa suara yang menghina atau menuduh, atau bau kotoran atau
daging membusuk.
7. Retardasi psikomotor yang berat dapat menuju pada stupor. Jika diperlukan,
waham atau halusinasi dapat ditentukan sebagai serasi atau tidak serasi dengan afek.
Diagnosis Banding
Komorbiditas
Gangguan lain yang sering terjadi bersamaan dengan gangguan depresi mayor
terdiri dari:
217
Gangguan Depresi
Intervensi Psikologis
218
Gangguan Depresi
Tabel 3.14.2
Model Penanganan Bertahap
Fokus Intervensi Kebutuhan Intervensi
LANGKAH 1: Pengenalan, evaluasi, Perlu dilakukan asesmen, dukungan
dan penanganan pertama sosial, psikoedukasi, evaluasi secara
aktif, dan pemberian rujukan untuk
pemeriksaan dan penanganan lebih
lanjut
LANGKAH 2: Mengenali ambang Perlu intervensi psikososial dengan
batas gejala depresi yang persisten atau intensitas rendah, penanganan
depresi ringan sampai sedang psikologis, medis, serta rujukan untuk
pemeriksaan dan penanganan lebih
lanjut
LANGKAH 3: Seluruh gejala Perlu penanganan medis, intervensi
mendekati ambang batas depresi dan psikologis yang sangat intensif,
berlangsung secara persisten, atau penanganan secara kolaboratif dan
ringan sampai sedang yang nonreaktif rujukan untuk pemeriksaan dan
terhadap intervensi yang telah penanganan lebih lanjut
dilakukan; tingkat depresi sedang dan
berat.
LANGKAH 4: Depresi berat dan Perlu penanganan medis, intervensi
kompleks; terdapat risiko bunuh diri; psikologis yang sangat intensif, terapi
pengabaian-diri yang parah seperti elektrokonvulsif (ECT), layanan gawat
perawatan diri dasar (semisal mandi, darurat, penanganan terintegrasi
makan, mengganti pakaian, dan multiprofesional dan rawat inap
perawatan kebersihan diri dasar, dll)
219
Gangguan Depresi
Tabel 3.14.3
Penjelasan Model Intervensi Bertahap
Tahapan Langkah intervensi
221
Gangguan Depresi
222
Gangguan Depresi
223
Gangguan Depresi
225
Gangguan Depresi
Prognosis
Prognosis keseluruhan untuk gangguan depresi mayor sangat baik dan berkorelasi
dengan tingkat keparahan depresi, adanya hubungan interpersonal yang mendukung,
228
Gangguan Depresi
sumber daya yang dimiliki klien, dan adanya gangguan yang terjadi bersamaan di antara
fitur lainnya (Craighead, Sheets, Brosse, & Ilardi, 2007).
Catatan Lain
229
Gangguan Depresi
Referensi
230
15. Gangguan Fobia Spesifik
Manifestasi Klinis
1. Ketakutan atau kecemasan berlebihan atas situasi atau objek tertentu yang dapat
disebut sebagai stimulus fobik.
2. Respon terhadap situasi atau objek yang ditakuti berbeda dari respon orang pada
populasi normal, bersifat kuat atau berat, serta bersifat tidak rasional dan tidak
sebanding dengan ancaman atau bahaya dari situasi atau objek yang ditakuti.
Respon tersebut muncul secara langsung dan cepat ketika pasien berhadapan
dengan stimulus fobik, baik ketika ia sudah maupun belum mengantisipasi
munculnya stimulus fobik tersebut.
3. Respon takut dan cemas muncul pada hampir setiap saat pasien bertemu dengan
stimulus fobik, tidak hanya pada saat-saat tertentu saja. Meskipun demikian,
tingkat ketakutan atau kecemasan yang diekspresikan dapat bervariasi tergantung
dari konteks situasi misalnya ada tidaknya orang lain saat kejadian, durasi pasien
berada pada situasi atau berhadapan dengan objek yang ditakuti, serta adanya hal
lain yang menimbulkan rasa terancam seperti misalnya terjadi turbulensi di
pesawat bagi pasien yang takut terbang. Ekspresi ketakutan dan kecemasan juga
berbeda antara pada anak-anak dengan orang dewasa. Ketakutan dan kecemasan
yang dialami dapat memunculkan gejala penuh atau sebagian gejala serangan
panik
4. Pasien yang mengalami fobia spesifik akan secara aktif menghindari situasi fobik
untuk mencegah atau meminimalkan kontak dengan stimulus fobik (contoh:
memilih melewati jalur bawah tanah daripada melewati jembatan pada pasien
yang takut dengan ketinggian; menghindari memasuki ruangan yang gelap dan
kotor untuk mengindari laba-laba; menghindari pergi ke dokter atau rumah sakit
karena takut melihat darah). Perilaku menghindar ini umumnya dilakukan selama
bertahun tahun sehingga berpengaruh dan mengubah pola kehidupan keseharian
231
Gangguan Fobia Spesifik
Identifikasi
Identifikasi dapat dilakukan dengan melihat adanya keluhan fisik maupun
psikologis sebagai berikut:
1. Keluhan fisik
a. Jantung berdetak kencang
b. Kesulitan bernafas
c. Gemetaran
d. Berkeringat
e. Mual
f. Mulut kering
g. Nyeri dada
2. Keluhan emosional/psikologis
a. Merasakan ketakutan atau kecemasan yang sangat mengganggu
b. Mengetahui bahwa ketakutan atau kecemasan yang dirasakan tidak masuk
akal, namun tidak dapat mengendalikan perasaan tersebut
c. Takut kehilangan kendali
d. Merasa sangat ingin menghindari objek atau situasi yang ditakuti
3. Keluhan fisik maupun emosional muncul berkaitan dengan suatu objek atau situasi
spesifik
Asesmen
Metode asesmen yang bisa dilakukan berupa skrining, wawancara klinis, dan tes
objektif (Anthoni, 2002).
1. Skrining
a. Menanyakan pada pasien apakah ia merasa takut atau tidak nyaman ketika
dihadapkan pada suatu objek atau situasi seperti laba-laba, serangga, ular,
anjing, kucing, burung, badai, air, ketinggian,melihat darah atau operasi,
232
Gangguan Fobia Spesifik
233
Gangguan Fobia Spesifik
Diagnosis
Kriteria gangguan fobia spesifik berdasarkan DSM-5 dapat dilihat pada tabel
3.15.1.
234
Gangguan Fobia Spesifik
Tabel 3.15.1
Kriteria Diagnosis Gangguan Fobia Spesifik Berdasarkan DSM-5
236
Gangguan Fobia Spesifik
Diagnosis Banding
1. Agorafobia
2. Gangguan Kecemasan Sosia
3. Gangguan Cemas Perpisahan
4. Gangguan Panik
5. Gangguan Obsesif Kompulsif
6. Trauma dan Gangguan Terkait Stres
7. Gangguan Makan
8. Spektrum Skizofrenia dan gangguan psikotik lainnya
Komorbiditas
1. Depresi
2. Gangguan Kecemasan Lainnya
3. Gangguan Bipolar
4. Gangguan Penyalahgunaan Zat
5. Ganggua Somatik
6. Gangguan Kepribadian (khususnya gangguan kepribadian dependen)
Intervensi Psikologi
juga dapat memberikan efetifitas yang baik untuk penanganan fobia spesifik.
Metode ini menggunakan perangkat komputer yang memungkinkan pasien
merasakan sensasi stimulus fobik secara virtual dengan visualisasi dan audio yang
dimunculkan.
3. Hipnosis
Telaah literatur maupun studi metaanalisis oleh Valentine, Milling, Clark,
dan Moriarty (2019) menyebutkan bahwa hypnosis merupakan salah stau metode
yang efektif dan dapat digunakan untuk mengatasi fobia spesifik, meskipun
beberapa penelitian merekomendasikan dalam penggunaannya tetap disertai
dengan pendekatan psikologis yang lain.
Prognosis
Melalui penanganan yang baik, prognosis fobia spesifik tergolong baik. Respon
terhadap penanganan yang kurang baik biasanya dipengaruhi oleh kepatuhan untuk
menjalani penanganan, motivasi, serta ketidakpahaman mengenai prosedur treatmen
yang dilakukan.
Catatan Lain
238
Gangguan Fobia Spesifik
Referensi
239
16. Gangguan Kecemasan Sosial
Manifestasi Klinis
240
Gangguan Kecemasan Sosial
Identifikasi
Dalam mengidentifikasi pasien dengan dugaan gangguan kecemasan sosial, dapat
mempertimbangkan pertanyaan identifikasi berikut ini:
1. Mengajukan 2 (dua) pertanyaan ini kepada pasien :
a. Apakah anda merasa bahwa anda menghindari situasi atau kegiatan sosial?
b. Apakah anda merasa ketakutan atau malu dalam situasi sosial?
2. Bisa juga mengajukan pertanyaan menggunakan 3-item mini-SPIN
1. Wawancara klinis
Wawancara terhadap pasien dengan dugaan gangguan kecemasan sosial
dapat dilakukan menggunakan panduan terstruktur atau semi terstruktur dan
probing (menggali) terhadap data yang diperoleh guna mengetahui informasi
secara detail mengenai kecemasan sosial yang sedang dialami pasien serta
masalah dan keadaan terkait, termasuk:
a. Situasi sosial yang ditakuti dan dihindari pasien
b. Ketakutan pasien akan sesuatu yang dapat terjadi dalam situasi sosial
(contohnya: terlihat gelisah, muka yang memerah, berkeringat, gemetaran,
atau tampak membosankan)
c. Gejala kecemasan yang dirasakan
d. Pandangan pasien terhadap dirinya
241
Gangguan Kecemasan Sosial
242
Gangguan Kecemasan Sosial
f. Social Phobia and Anxiety Inventory (SPAI) Turner, Beidel, Dancu, &
Stanley, 1989). Instrumen ini disarankan untuk pasien yang berusia 15 tahun
ke atas.
g. Beck Depression Inventory-II (BDI-II) (Beck, Steer & Brown, 1996).
Instrumen ini mengukur depresi serta adanya pikiran untuk bunuh diri.
h. Social Anxiety Scale for Children-Revised (SASC-R) (La Greca dan Stone,
1993). Skala ini merupakan self-report yang terdiri dari 22 item untuk
mengukur gangguan kecemasan sosial pada anak-anak.
i. Social Phobia and Anxiety Inventory for Children (SPAI-C) (Beidel, Turner,
& Morris, 1998). Instrumen ini cocok untuk anak-anak berusia 8-14 tahun.
Diagnosis
Kriteria gangguan kecemasan sosial berdasarkan DSM-5 dapat dilihat pada tabel
3.16.1.
Tabel 3.16.1
Kriteria Diagnosis Gangguan Kecemasan Sosial Berdasarkan DSM-5
Kriteria Diagnosis Ada Tidak
A Ketakutan atau kecemasan yang ditandai tentang
satu atau lebih situasi sosial di mana pasien
dihadapkan pada kemungkinan pengawasan oleh
orang lain. Contohnya termasuk interaksi sosial
(misalnya, memiliki percakapan, bertemu orang
yang tidak dikenal), diamati (misalnya, makan atau
minum), dan tampil di depan orang lain (misalnya,
memberikan pidato).
Catatan: Pada pasien anak-anak, kecemasan harus
terjadi di lingkungan teman sebaya dan tidak hanya
selama interaksi dengan orang dewasa.
243
Gangguan Kecemasan Sosial
Pada PPDGJ-III, semua kriteria di bawah harus dipenuhi untuk diagnosis pasti:
1. Gejala psikologis, perilaku atau otonomik yang timbul harus merupakan
manifestasi sekunder dari kecemasannya dan bukan sekedar dari gejala-gejala lain
seperti misalnya waham atau pikiran obsesif;
2. Kecemasan harus mendominasi atau terbatas pada situasi sosial tertentu (outside
the family circle); dan
3. Menghindari situasi fobik harus atau sudah merupakan gejala yang menonjol.
Bila terlalu sulit membedakan antara fobia sosial dengan agorafobia, hendaknya
diutamakan diagnosis agorafobia.
Diagnosis Banding
Komorbiditas
Intervensi Psikologis
246
Gangguan Kecemasan Sosial
Prognosis
Catatan Lain
Prinsip Perawatan
Intervensi psikologi pada pasien dewasa dengan gangguan kecemasan sosial harus
dilakukan oleh psikolog klinis yang kompeten. Selain itu, intervensi juga perlu
mempertimbangkan penggunaan kerangka kerja yang didasari oleh manual penanganan
248
Gangguan Kecemasan Sosial
yang relevan. Hal tersebut akan dijadikan pedoman untuk struktur dan durasi intervensi.
Seluruh intervensi hendaknya:
1. Menggunakan alat ukur untuk hasil periodik yang bersifat rutin (contohnya SPIN
atau LSAS yang tervalidasi) dan pastikan bahwa pasien terlibat dalam meninjau
efikasi dari penanganan.
2. Jika pasien dengan gangguan kecemasan sosial merasa kesulitan atau distres untuk
menghadiri pertemuan pertama secara tatap muka, pertimbangkan melakukan
kontak pertama melalui telepon atau internet dengan tujuan melakukan asesmen
dan penanganan selanjutnya secara tatap muka.
3. Jika pasien dengan gangguan kecemasan sosial tidak kembali setelah dilakukan
asesmen awal, hubungi pasien (menggunakan metode komunikasi pilihan mereka)
untuk membahas alasan kenapa pasien tidak kembali. Singkirkanlah segala
hambatan yang diidentifikasi oleh pasien untuk dilakukannya asesmen atau
penanganan lebih lanjut.
249
Gangguan Kecemasan Sosial
Referensi
250
Gangguan Kecemasan Sosial
251
17. Gangguan Panik
Manifestasi Klinis
252
Gangguan Panik
4. Serangan panik yang muncul berulang dan tidak terduga. Muncul dalam bentuk
beberapa gejala fisik yang dapat berbeda tingkat keparahannya dari satu serangan
ke serangan yang lain
5. Muncul perubahan perilaku menjadi maladaptif sebagai bentuk upaya pasien
untuk menghindari terjadinya serangan panik.
Identifikasi
Dalam mengidentifikasi Gangguan Panik dapat dibantu dengan pohon keputusan
sebagai berikut:
Gambar 1.
Pohon keputusan Ganguan Panik
Asesmen
Belum ada bukti yang cukup mengenai instrumen self-report apa yang memiliki
validitas baik untuk digunakan dalam proses diagnosis gangguan panik sehingga
ketrampilan wawancara sangat diandalkan untuk dapat memunculkan informasi-
informasi penting berikut:
1. Penanganan yang pernah dijalani sebelumnya, termasuk efektivitas serta
kesesuaiannya
253
Gangguan Panik
2. Aneka zat yang dikonsumsi, termasuk nikotin, alkohol, kafein, dan narkoba
3. Gangguan penyerta
4. Fungsi keseharian pasien
5. Jaringan sosial pasien
6. Budaya pasien
7. Stresor yang bersifat kronis dan berkelanjutan
8. Ada tidaknya gejala agorafobia dan gejala menghindar lainnya.
Diagnosis
Kriteria gangguan panik berdasarkan DSM-5 dapat dilihat pada tabel 3.17.1.
Tabel 3.17.1
Kriteria Diagnosis Gangguan Panik Berdasarkan DSM-5
Kriteria Diagnosis Ada Tidak
A Kemunculan berulang serangan panik yang tidak
terduga. Serangan panik itu sendiri adalah suatu
ketakutan yang kuat atau ketidaknyamanan yang kuat
yang muncul melonjak secara tiba-tiba, yang
mencapai puncaknya dalam hitungan menit, dan
selama selama kejadian empat atau lebih dari gejala-
gejala sebagai berikut muncul:
Catatan: Lonjakan tiba-tiba dapat muncul dari suatu
kondisi tenang atau pun suatu kondisi cemas.
1. Palpitasi, jantung bedebar kencang, atau
percepatan detak jantung
2. Gemetaran
3. Sensasi nafas memendek
4. Merasa tersedak
5. Merasa nyeri atau tidak nyaman pada dada
6. Mual atau gangguan perut
7. Merasa pusing, goyah, atau lemas
8. Sensasi panas dingin
9. Parasthesias (sensasi mati rasa atau kesemutan)
10. Derealisasi (merasa tidak nyata) atau
depersonalisasi (merasa terlepas dari diri)
11. Ketakutan kehilangan kendali atau “menjadi
gila”
12. Ketakutan akan kematian
Catatan: gejala yang bersifat spesifik secara budaya
(di antaranya telinga berdengung, nyeri leher,
254
Gangguan Panik
255
Gangguan Panik
Diagnosis Banding
Komorbiditas
Intervensi Psikologi
4. CBT yang lebih singkat sebaiknya dilengkapi dengan informasi dan tugas yang
terfokus dan memadai;
5. Apabila yang digunakan adalah CBT singkat (brief CBT), sebaiknya berlangsung
selama 7 jam (keseluruhan sesi) dan dirancang untuk diintegrasikan dengan
material self-help yang terstruktur;
6. Bagi sebagian kecil pasien, CBT yang sifatnya lebih intensif namun singkat bisa
jadi lebih sesuai;
7. Psikoterapi menggunakan pendekatan perilaku kognitif juga dapat dilakukan
dengan latar kelompok.
CBT yang dilakukan dapat meliputi komponen utama seperti psikoedukasi,
relaksasi, latihan ulang pernafasan, restrukturisasi kognitif, eksperimen perilaku,
memberikan paparan interoseptif (interoceptive exposure) yaitu memaparkan pasien
pada sensasi fisik dari gangguan panik yang dirasakan seperti jantung yang berdebar
kencang dan otot yang menegang, serta paparan in vivo, yaitu memberikan pasian
paparan langsung pada situasi yang ditakuti.
Prognosis
Melalui penanganan yang memadai, prognosis dari gangguan panik ini baik.
Antara 30%-40% pasien dapat seterusnya bebas dari gejala, sementara 50% lainnya
tetap mengalami gejala, namun dalam taraf yang ringan dan tidak secara signifikan
mengganggu kehidupan keseharian (Harvard Health Publishing, 2018).
Catatan Lain
257
Gangguan Panik
Referensi
258
18. Gangguan Cemas Menyeluruh
Manifestasi Klinis
259
Gangguan Cemas Menyeluruh
Identifikasi
Psikolog klinis perlu memikirkan kemungkinan pasien mengalami gangguan cemas
menyeluruh apabila terdapat kecemasan atau kekhawatiran yang berlebihan dan juga
pada pasien yang sering datang ke fasilitas pelayanan kesehatan dengan gejala:
1. Memiliki suatu masalah kesehatan fisik yang kronis, atau
2. Tidak memiliki masalah kesehatan fisik namun mencari kepastian mengenai
gejala somatik yang dirasakan
3. Berulang kali mengkhawatirkan mengenai berbagai jenis permasalahan yang
berbeda.
Apabila pasien yang telah diketahui atau diduga mengalami gangguan cemas
menyeluruh datang ke fasilitas pelayanan kesehatan untuk mencari kepastian mengenai
suatu ganggaun kesehatan fisik atau gejala somatik, dan/atau kekhawatiran yang
berulang, maka pikirkan bahwa beberapa gejala yang dikeluhkan kemungkinan
disebabkan oleh gangguan cemas menyeluruh.
Dalam mengidentifikasi gangguan cemas menyeluruh dapat dibantu dengan pohon
keputusan sebagai berikut:
260
Gangguan Obsesif Kompulsif
Gambar 1.
Pohon keputusan Gangguan Cemas Menyeluruh
261
Gangguan Cemas Menyeluruh
Asesmen
Asesmen sebaiknya meliputi jumlah dan tingkat keparahan gejala yang dialami,
durasi dari episode gangguan terkini, dan perjalanan gangguan tersebut. Kemudian
tanyakan seberapa besar tekanan yang dirasakan, serta fungsi keseharian yang
terganggu.
Sebagai bagian dari asesmen yang bersifat komprehensif, pertimbangkan bahwa
faktor-faktor penyerta berikut ini kemungkinan dapat mempengaruhi perkembangan
dan keparahan gangguan yang dialami:
1. Gangguan depresi atau gangguan kecemasan yang lain
Apabila pasien memiliki gangguan ini sebagai penyerta maka tangani terlebih
dahulu gangguan utamanya (yaitu gangguan yang lebih parah dan jika tertangani
kemungkinan dapat berpengaruh lebih baik pada fungsi individu pasien secara
keseluruhan)
2. Penyalahgunaan zat
Apabila pasien juga memiliki penyerta penyalahgunaan zat, pertimbangkan
bahwa hal ini dapat menjadi komplikasi dari gangguan cemas menyeluruh yang
dialami; dan jika zat yang disalahgunakan berbahaya dan menimbulkan
ketergantungan maka hal ini harus ditangani terlebih dahulu, tentunya dengan
bekerjasama dengan psikiater.
3. Kondisi medis
Riwayat pasien mengalami gangguan kesehatan mental
4. Pengalaman dan respon terhadap treatmen sebelumnya yang pernah dijalani.
Alat tes yang dapat digunakan untuk mendukung asesmen di antaranya sebagai
berikut:
1. Self-rated scales, seperti Beck Anxiety Inventory (BAI) dll (Pedersen, 2014)
2. GAD-7 (Locke, Kirst, & Shultz, 2015)
3. Hamilton Anxiety Rating Scale (Pedersen, 2014)
Diagnosis
Kriteria gangguan cemas menyeluruh berdasarkan DSM-5 dapat dilihat pada tabel
3.18.1.
262
Gangguan Obsesif Kompulsif
Tabel 3.18.1
Kriteria Diagnosis Gangguan Cemas Menyeluruh Berdasarkan DSM-5
Kriteria Diagnosis Ada Tidak
A Kecemasan dan kekhawatiran berlebihan muncul pada
sebagian besar hari dibandingkan dengan
ketidakmunculannya, selama paling tidak 6 (enam)
bulan lamanya, mengenai sejumlah kejadian atau
aktivitas (contoh: prestasi dalam pekerjaan atau
sekolah)
B Pasien mengalami kesulitan untuk mengontrol
kekhawatirannya
C Kecemasan dan kekhawatiran berkaitan dengan 3 (tiga)
atau lebih di antara 6 (enam) gejala berikut (paling tidak
beberapa gejala telah muncul pada sebagian besar hari
selama 6 (enam) bulan terakhir jika dibandingkan
dengan ketidakmunculannya):
Catatan: hanya 1 gejala yang diperlukan untuk
diagnosa pada anak, yaitu:
1. Kegelisahan
2. Mudah kelelahan
3. Kesulitan berkonsentrasi atau pikiran menjadi
buntu
4. Mudah tersinggung
5. Ketegangan otot
6. Gangguan tidur (kesulitan memulai tidur,
gelisah, atau tidur tidak memuaskan)
D Kecemasan, kekhawatiran atau gejala fisik secara
signifikan menyebabkan tekanan atau gangguan pada
fungsi sosial, pekerjaan, atau fungsi penting lainnya.
E Gangguan yang dialami bukan disebabkan oleh efek
fisiologis suatu zat (contoh penyalahgunaan obat, dalam
masa pengobatan) atau kondisi medis lain (contoh
hiperthyroid)
263
Gangguan Cemas Menyeluruh
Diagnosis Banding
Komorbiditas
Intervensi Psikologis
265
Gangguan Cemas Menyeluruh
d. Umumnya berlangsung sesi tatap muka atau sesi telepon dengan durasi 20-
30 menit dengan frekuensi seminggu sekali selama 5-7 minggu atau dua
minggu sekali.
3. Kelompok psikoedukasi
a. Intervensi dirancang berdasarkan prinsip-prinsip CBT, bersifat interaktif,
dan mendorong terjadinya observational learning.
b. Meliputi aktivitas presentasi dan pemberian panduan self-help.
c. Dilakukan oleh praktisi psikolog klinis yang terlatih.
d. Memiliki rasio yaitu 1 terapis berbanding 12 partisipan.
e. Umumnya sesi berlangsung 2 jam untuk masing-masing sesi satu minggu
sekali selama 6 minggu.
Langkah 3:
Pasien dengan gangguan cemas menyeluruh dan gangguan fungsional yang
mengkhawatirkan atau pasien yang gejalanya tidak mengalami perubahan meskipun
telah menjalani intervensi tahap 2, dapat ditawarkan untuk menjalani intervensi
psikologis dengan intensitas tinggi, di antaranya dengan CBT dan penerapan relaksasi,
serta merujuk pasien ke psikiater untuk mendapatkan farmakoterapi.
CBT untuk pasien yang mengalami gangguan cemas menyeluruh, sebaiknya:
1. Menggunakan panduan yang telah digunakan pada uji klinis CBT untuk Gangguan
Cemas Menyeluruh.
2. Dilakukan oleh psikolog klinis yang kompeten dan terlatih.
3. Biasanya terdiri atas 12-15 sesi mingguan (dapat lebih singkat jika pasien lebih
cepat membaik; dapat lebih lama jika pasien masih membutuhkan), dengan
masing-masing sesi berlangsung kurang lebih selama 1 jam.
Psikolog klinis yang memberikan intervensi psikologis dengan intensitas tinggi
sebaiknya:
1. Menggunakan pengukuran atau pemonitoran secara rutin dengan melibatkan
pasien untuk mengevaluasi capaian dari intervensi yang dilakukan.
2. Menggunaan preferensi bahasa pasien dalam memberikan intervensi.
Langkah 4:
Langkah 4 dilakukan untuk pasien dengan permasalahan yang kompleks, tidak
menunjukan perkembangan yang signifikan pada langkah-langkah penanganan
sebelumnya, serta memiliki gangguan fungsional yang berat atau terdapat resiko untuk
menyakiti diri sendiri. Penanganan pada taraf ini merupakan bentuk penanganan yang
membutuhkan ketrampilan spesialis karena membutuhkan terapi obat maupun
266
Gangguan Obsesif Kompulsif
Prognosis
Prognosis secara umum baik jika gejala ditangani. Dengan penanganan yang
memadai, sekitar 50% klien menunjukkan kemajuan dalam waktu 3 minggu sejak awal
penanganan, dan 77% menunjukan kemajuan dalam 9 bulan (Harvard Health
Publishing, 2018).
Catatan Lain
267
Gangguan Cemas Menyeluruh
Referensi
268
19. Gangguan Obsesif Kompulsif
Manifestasi Klinis
1. Obsesi dapat muncul dalam bentuk pikiran yang berulang dan terus menerus
(misalnya terkontaminasi kuman), gambaran mental (misalnya adegan kekerasan
atau mengerikan), atau desakan (misalnya untuk menusuk seseorang). Obsesi ini
merupakan hal yang tidak menyenangkan bagi pasien dan tidak muncul atas
keinginan pasien sendiri, bersifat mengganggu, serta menyebabkan kesulitan dan
kecemasan pada diri pasien. Pasien yang mengalami hal ini umumnya akan
berupaya untuk mengabaikan atau menekan obsesi (misalnya dengan menghindari
pemicu atau atau menekan pikiran secara sadar), atau berupaya menetralisir dengan
pikiran atau tindakan (misalnya dengan melakukan perilaku kompulsif).
2. Kompulsi muncul dalam bentuk perilaku berulang (contoh mencuci, mengecek)
atau tindakan mental (misalnya berhitung, mengulang-ulang suatu kata dengan
lirih) yang dilakukan pasien karena adanya dorongan untuk merespon obsesi atau
aturan yang harus diterapkan dengan kaku.
3. Obsesi dan kompulsi pada sebagian besar pasien muncul sebagai suatu rangkaian
karena kompulsi muncul sebagai respon atas suatu obsesi (misalnya pikiran bahwa
diri terkontaminiasi akan mendorong pasien untuk melakukan ritual mencuci
tangan secara berulang-ulang. Tujuannya adalah untuk mengurangi tekanan yang
muncul akibat pikiran obsesif serta untuk mencegah terjadinya peristiwa yang
ditakuti (misalnya takut terkena penyakit tertentu). Meskipun demikian perilaku
kompulsif ini tidak memiliki keterkaitan yang realistis dengan peristiwa yang
269
Gangguan Obsesif Kompulsif
Identifikasi
Identifikasi dapat dilakukan dengan melihat adanya risiko tinggi pada pasien,
misalnya pada pasien dengan gejala depresi, kecemasan, penyalahgunaan alkohol atau
zat, gangguan dismorfik tubuh, atau gangguan makan; melalui wawancara, psikolog
klinis dapat mengajukan pertanyaan langsung mengenai gejala gangguan obsesif
kompulsif yang mungkin ada, seperti:
1. Apakah anda sering sekali mencuci atau membersihkan sesuatu?
2. Apakah anda sering sekali memeriksa/mengecek sesuatu?
3. Apakah ada pikiran yang terus mengganggu anda dan ingin anda singkirkan tetapi
tidak bisa?
4. Apakah anda memerlukan waktu lama untuk menyelesaikan aktivitas keseharian
anda?
5. Apakah anda memiliki perhatian khusus untuk menempatkan sesuatu menurut
urutan tertentu, atau apakah sangat kecewa jika melihat kondisi berantakan?
6. Apakah permasalahan-permasalahan tersebut mengganggu anda?
Pada pasien yang telah terdiagnosa mengalami gangguan obsesif kompulsif,
psikolog klinis sebaiknya memastikan adanya resiko menyakiti diri sendiri atau bunuh
diri, terutama jika pasien juga telah terdiagnosa mengalami depresi. Hal yang perlu
dipastikan meliputi dampak dari perilaku kompulsif pasien terhadap orang lain dan
270
Gangguan Obsesif Kompulsif
dirinya sendiri, serta kondisi penyerta dan kondisi psikososial yang dapat berkontribusi
memunculkan risiko tersebut.
Asesmen
1. Hamilton anxiety rating scale (HAM-A) (Pedersen, 2014)
2. Yale-Brown obsessive compulsive scale (Y-BOCS) (Pedersen, 2014)
3. Pemeriksaan status mental (Pedersen, 2014)
Diagnosis
Kriteria gangguan obsesi kompulsif berdasarkan DSM-5 dapat dilihat pada tabel 3.19.1.
Tabel 3.19.1
Kriteria Diagnosis Gangguan Obsesif Kompulsif Berdasarkan DSM-5
Kriteria Diagnosis Ada Tidak
A Munculnya obsesi, kompulsi, atau keduanya
Obsesi didefinisikan sebagai pikiran, dorongan,
atau gambaran yang muncul secara berulang dan
terus menerus; bersifat mengganggu dan tidak
diinginkan, dan pada sebagian besar pasien
menyebabkan kecemasan dan tekanan yang nyata.
Pasien berupaya untuk mengabaikan atau secara
sengaja menekan pikiran, dorongan atau gambaran,
atau menetralisirnya dengan berbagai pikiran dan
tindakan lain (misalnya dengan melakukan tindakan
kompulsif).
Kompulsi didefiniskan sebagai perilaku berulang
(misalnya mencuci, mengecek) atau tindakan
mental (misalnya berdoa, berhitung, mengucap kata
berulang dengan lirih) yang dilakukan pasien atas
dorongan untuk merespon suatu obsesi, atau aturan
yang harus diterapkan dengan kaku.
Perilaku atau tindakan mental dilakukan untuk
mencegah atau mengurangi kecemasan atau
distress, atau mencegah kejadian atau situasi yang
ditakuti. Meskipun demikian perilaku kompulsif ini
tidak memiliki keterkaitan yang realistis dengan
271
Gangguan Obsesif Kompulsif
Spesifikasi jika:
1. Memiliki insight yang baik di mana pasien menyadari bahwa keyakinan
obsesif kompulsif yang ada pada dirinya pasti atau mungkin tidak benar.
272
Gangguan Obsesif Kompulsif
Diagnosis Banding
1. Depresi mayor
2. Gangguan terkait Obsesif Kompulsif lainnya
3. Gangguan makan
4. Gangguan tic dan Gerakan stereotipik lainnya
5. Gangguan psikotik
6. Perilaku menyerupai kompusif lainnya
7. Gangguan kepribadian obsesif kompulsif
Komorbiditas
6. Trichotilomania
7. Gangguan excoration (mengelupas kulit)
8. Gangguan Makan
9. Gangguan Tourette
Intervensi Psikologi
Mengacu pada rekomendasi dari National Institute for Health and Care
Excellence (NICE, 2019) intervensi psikologis utama untuk gangguan obsesif
kompulsif adalah CBT dengan exposure and response prevention (ERP). Terapi
kognitif saja dapat dilakukan tanpa ERP pada pasien dengan pertimbangan tertentu.
CBT adalah intervensi psikologis yang didasarkan pada gagasan bahwa apa yang kita
rasakan dipengaruhi oleh pikiran (atau 'kognisi') dan keyakinan kita, dan oleh cara kita
berperilaku. Misalnya, jika kita memiliki pikiran negatif, hal ini dapat menimbulkan
perilaku negatif, yang dapat memengaruhi perasaan kita. CBT membantu orang menilai
kembali makna pikiran dan tindakan mereka. ERP membantu orang menghadapi situasi
atau hal-hal yang membuat mereka cemas atau ketakutan. Dengan dukungan Psikolog
Klinis, pasien 'dipaparkan' pada apa pun yang membuat mereka takut atau cemas
(misalnya, kotoran atau kuman). Daripada menghindari situasi atau melakukan perilaku
kompulsif secara berulang, pasien diajari cara lain untuk mengatasi kecemasan atau
ketakutan. Proses ini diulang sampai pasien tidak lagi merasa cemas atau takut. Apabila
pasien memiliki pemikiran obsesif tetapi tidak memiliki perilaku kompulsif yang nyata,
pasien tetap dapat diberikan CBT dengan ERP, namun ERP akan berfokus pada ritual
mental dan metode apa pun yang mungkin digunakan pasien untuk menangani pikiran
obsesif.
1. Intervensi Awal
a. Untuk Pasien Dewasa
i. Intervensi awal diberikan pada pasien dewasa dengan tingkat gangguan
fungsional ringan, atau pada pasien yang memang memilih untuk
menjalani intervensi dengan intensitas rendah
ii. Intervensi awal intensitas rendah terdiri atas 10 jam sesi yang dapat
dilakukan dengan format:
• CBT singkat individual, di dalamnya termasuk ERP , dan
menggunakan material self-help terstruktur
• CBT singkat individual, didalamnya termasuk ERP melalui telefon
• CBT kelompok, didalamnya termasuk ERP. Pada format kelompok,
masing-masing pasien dapat menerima lebih dari 10 jam sesi
275
Gangguan Obsesif Kompulsif
iii. Pasien dengan gangguan fungsional ringan yang tidak dapat mengikuti
CBT intensitas rendah, atau sudah mengikuti, namun tidak
menunjukkan perkembangan yang baik maka sebaiknya ditawarkan
untuk dilakukan rujukan ke psikiater untuk mendapatkan farmakoterapi
atau menjalani CBT yang bersifat intensif (termasuk ERP) dengan lebih
dari 10 jam sesi untuk tiap pasien.
iv. Pasien dengan gangguan fungsional sedang sebaiknya ditawarkan
dirujuk ke psikiater untuk mendapatkan farmakoterapi atau menjalani
CBT yang bersifat intensif (termasuk ERP) dengan lebih dari 10 jam
sesi untuk tiap pasien.
v. Pasien dengan gangguan fungsional berat sebaiknya mendapatkan
kombinasi CBT (termasuk ERP) dan juga farmakoterapi.
b. Untuk pasien anak dan remaja
i. Bagi pasien anak dan remaja yang mengalami gangguan obsesif
kompulsif dengan hambatan fungsional ringan, disarankan untuk
diberikan panduan self-help, serta dukungan dan informasi bagi
keluarga atau pengasuhnya.
ii. Bagi pasien anak dan remaja dengan hambatan fungsional sedang
hingga berat, atau intervensi dengan panduan self-help tidak efektif atau
ditolak, sebaiknya ditawarkan untuk menjalani CBT (termasuk ERP)
yang melibatkan orang tua atau pengasuh dan diadaptasi menyesuaikan
dengan usia perkembangan mereka. Intervensi dapat ditawarkan
apakah dikehendaki dalam format individual atau kelompok
iii. Apabila pasien tidak dapat mengikuti interevensi maka perlu
dipertimbangkan untuk merujuk pada psikiater untuk mendapatkan
farmakoterapi
iv. Kemunculan kondisi komorbid, gangguan belajar, faktor risiko
psikososial seperti perselisihan keluarga, atau adanya gangguan mental
yang dialami orang tua merupakan hal-hal yang data mempengaruhi
efektifitas inetrvensi. Intervensi tambahan atau alternatif perlu
dipertimbangkan untuk dilakukan guna mengatasi faktor-faktor
tersebut.
2. Telaah multidisipliner
Tinjauan/telaah atau evaluasi multidisiplin oleh psikolog klinis, psikiater,
maupun profesional lain yang terkait perlu dilakukan jika pasien tidak
menunjukkan respon atau kemajuan yang baik atas intervensi awal yang dilakukan.
276
Gangguan Obsesif Kompulsif
277
Gangguan Obsesif Kompulsif
278
Gangguan Obsesif Kompulsif
279
Gangguan Obsesif Kompulsif
Prognosis
Dalam Sharma dan Math (2019) disebutkan bahwa selama 2-3 dekade terakhir hasil
jangka panjang pada gangguan obsesif kompulsif tidak selalu buruk. Setidaknya
setengah dari pasien yang mencari penanganan menunjukkan perbaikan gejala dalam
jangka panjang. Gangguan yang berlangsung dalam jangka pendek dengan tingkat
keparahan rendah yang ditangani secara dini dan intensif serta penanganan
berkelanjutan dalam jangka panjang memiliki hasil yang baik. Studi terbaru juga
mengidentifikasi neuroimaging dan korelasi neuropsikologis dengan hasil yang baik,
meskipun hal ini masih membutuhkan studi lebih lanjut untuk memperoleh bukti
empiris yang lebih kuat.
280
Gangguan Obsesif Kompulsif
Referensi
281
20. Gangguan Dismorfik Tubuh
Manifestasi Klinis
1. Preokupasi berlebihan dengan satu atau lebih kekurangan yang dirasakan dalam
penampilan fisik mereka yang mereka yakini terlihat jelek, tidak menarik,
abnormal, atau cacat.
2. Muncul perilaku berulang yang berlebihan atau tindakan mental (misalnya
membandingkan) sebagai respons terhadap preokupasi yang ada. Pasien merasa
terdorong untuk melakukan perilaku ini yang bersifat tidak menyenangkan dan
dapat meningkatkan kecemasan dan kesedihan. Perilaku ini memakan waktu dan
sulit untuk ditolak atau dikendalikan. Perilaku yang umum dilakukan adalah
membandingkan penampilan pasien dengan orang lain; berulang kali memeriksa
cacat yang dirasakan pada cermin atau permukaan pemantul lainnya atau
memeriksanya secara langsung; perawatan berlebihan (misalnya menyisir, menata,
mencukur, mencabut, atau menarik rambut); penyamaran (misalnya berulang kali
merias wajah atau menutupi area yang tidak disukai dengan hal-hal seperti topi,
pakaian, riasan, atau rambut); mencari kepastian tentang bagaimana kelemahan
282
Gangguan Dismorfik Tubuh
yang dirasakan terlihat; menyentuh area yang tidak disukai untuk memeriksanya;
berolahraga secara berlebihan atau mengangkat beban; dan mencari prosedur
kosmetik.
3. Beberapa orang melakukan penggelapan kulit secara berlebihan (misalnya untuk
menggelapkan kulit yang "pucat" atau menghilangkan kesan jerawat), berulang
kali mengganti pakaian mereka (misalnya menyamarkan cacat yang dirasakan),
atau berbelanja secara kompulsif (misalnya untuk produk kecantikan). Pengelupas
kulit yang dimaksudkan untuk memperbaiki cacat kulit yang dirasakan juga
merupakan hal yang biasa dilakukan dan dapat menyebabkan kerusakan kulit,
infeksi, atau pecahnya pembuluh darah.
4. Muscle dysmorphia merupakan suatu bentuk gangguan dismorfik tubuh yang
terjadi secara eksklusif pada pria, terdiri dari preokupasi dengan gagasan bahwa
tubuhnya terlalu kecil, kurang ramping atau kurang berotot. Pasien dengan bentuk
kelainan ini sebenarnya memiliki tubuh yang terlihat normal atau bahkan sangat
berotot. Mereka mungkin juga disibukkan dengan area tubuh lain, seperti kulit atau
rambut. Mayoritas (tapi tidak semua) diet, olahraga, dan/atau angkat beban secara
berlebihan, terkadang menyebabkan kerusakan tubuh. Beberapa menggunakan
steroid anabolik-androgenik yang berpotensi berbahaya dan zat lain untuk
mencoba membuat tubuh mereka lebih besar dan lebih berotot.
5. Body dysmorphic disorder by proxy adalah bentuk gangguan dismorfik tubuh di
mana pasien memiliki preokupasi dengan cacat yang mereka rasakan dalam
penampilan orang lain.
6. Kesadaran mengenai keyakinan gangguan dismorfik tubuh dapat berkisar dari baik
hingga tidak ada/delusi (yaitu keyakinan delusional yang kuat bahwa pandangan
pasien tentang penampilan dirinya bersifat akurat dan tidak terdistorsi). Rata-rata
kesadaran pasien dengan gangguan dismorfik tubuh buruk; sepertiga atau lebih
pasien dengan gangguan dismorfik tubuh saat ini memiliki keyakinan delusional.
7. Pemikiran dan perilaku tersebut di atas secara serius berdampak negatif pada
kehidupan pekerjaan, sosial, dan hubungan dengan orang lain.
8. Dapat muncul gejala depresi , menyakiti diri, atau pikiran untuk bunuh diri.
Identifikasi
1. Identifikasi dapat dilakukan dengan melihat adanya risiko tinggi pada pasien
(misalnya pada pasien dengan gejala depresi, kecemasan, penyalahgunaan alkohol
atau zat, gangguan obsesif kompulsif atau gangguan makan), atau pasien dengan
283
Gangguan Dismorfik Tubuh
cacat atau noda ringan pada tubuh yang mencari prosedur kosmetik atau
dermatologis. Apabila menemui kondisi tersebut, psikolog klinis perlu
mengeksplorasi kemungkinan gangguan dismorfik tubuh dengan wawancara
mengenai gejala gangguan dismorfik tubuh mungkin ada, seperti:
a. Apakah Anda sangat mengkhawatirkan penampilan anda dan berharap Anda
bisa tidak terlalu memikirkannya?
b. Hal spesifik apa yang menjadi perhatian khusus Anda terhadap penampilan
Anda?
c. Pada hari biasa, berapa jam dalam sehari yang Anda habiskan untuk
memikirkan penampilan anda? (lebih dari satu jam dalam sehari tergolong
berlebihan)
d. Bagaimana efek hal tersebut pada kehidupan Anda?
e. Apakah hal tersebut membuat Anda menjadi kesulitan dalam melakukan
pekerjaan atau dalam pergaulan?
2. Pada pasien yang telah terdiagnosa gangguan dismorfik tubuh, psikolog klinis
sebaiknya memeriksa adanya risiko menyakiti diri dan bunuh diri, terutama jika
pasien juga telah terdiagnosa mengalami depresi. Kondisi penyerta lainnya serta
dan faktor psikososial yang dapat berkontribusi pada munculnya risiko tersebut
juga perlu diperhatikan
3. Semua pasien anak dan remaja yang telah terdiagnosa gangguan dismorfik tubuh
juga sebaiknya dilakukan asesmen untuk melihat adanya ide bunuh diri dan
asesmen risiko secara menyeluruh sebelum terapi dilakukan. Apabila
teridentifikasi adanya risiko, maka seluruh professional yang terlibat dalam
penanganan pasien perlu diinformasikan.
Asesmen
Mengacu pada International OCD Foundation (2019, Desember 12), asesmen yang
dapat digunakan di antaranya:
1. Body Dismorphic Disorder Questionnaire (BDDQ)
2. Body Image Disturbance Questionnaire (BIDQ)
3. Pengukuran/penegakan diagnosis
4. Structured Clinical Interview for DSM-5 (SCID)
5. BDD Diagnostic Module
6. Body Dysmorphic Disorder Examination (BDDE)
7. Alat ukur tingkat keparahan gejala
8. BDD-YBOCS
9. BDD PSR
284
Gangguan Dismorfik Tubuh
Diagnosis
Kiteria gangguan dismorfik tubuh berdasarkan DSM-5 dapat dilihat pada tabel
3.20.1.
Tabel 3.20.1
Kriteria Diagnosis Gangguan Dismorfik tubuh Berdasarkan DSM-5
Kriteria Diagnostik (Menurut DSM 5) Ada Tidak
A. Preokupasi terhadap satu atau lebih penampilan fisik
yang dipersepsikan cacat atau terdapat kekurangan,
dimana cacat atau kekurangan tersebut tidak tampak
atau hanya tampak kecil bagi orang lain.
B. Di beberapa poin selama terjadinya gangguan, pasien
menunjukkan perilaku berulang (misalnya: bercermin,
perawatan berlebihan, mengelupas kulit, memastikan
penampilan berulang kali) atau tindakan mental
(misalnya membandingkan penampilan diri dengan
orang lain) sebagai respon atas perhatian yang tinggi
terhadap penampilan.
C. Preokupasi terhadap penampilan menyebabkan
tekanan atau gangguan pada fungsi sosial, pekerjaan,
atau area penting lainnya.
D. Preokupasi terhadap penampilan tidak lebih baik
dijelaskan sebagai perhatian terhadap kegemukan atau
berat padan pada pasien yang memenuhi kriteria
diagnosis gangguan makan.
Diagnosis Banding
1. Perhatian terhadap penampilan yang bersifat normal dan cacat fisik yang terlihat
jelas
2. Gangguan terkait obsesif kompulsif lainnya
3. Gangguan makan
4. Gangguan kecemasan akan penyakit
5. Gangguan depresi
6. Gangguan kecemasan
7. Gangguan psikotik
Komorbiditas
1. Depresi mayor
2. Gangguan obsesif kompulsif
3. Gangguan kecemasan sosial
4. Gangguan penyalahgunaan zat
Intervensi Psikologi
Mengacu pada advance review yang dilakukan oleh Fang dan Wilhem, S (2015)
serta panduan yang dikeluarkan oleh National Institute for Health and Care Excellence
(2019), intervensi yang direkomendasikan untuk penanganan gangguan dismorfik
tubuh adalah menggunakan pendekatan CBT. CBT yang digunakan untuk gangguan
dismorfik tubuh meliputi unsur:
1. Psikoedukasi dan formulasi kasus
Berdasarkan informasi yang dikumpulkan selama asesmen awal, psikolog
klinis dan pasien bersama-sama mengembangkan model kognitif-perilaku untuk
gejala spesifik gangguan dismorfik tubuh pada pasien, termasuk kemungkinan
mekanisme yang menyebabkan dan/atau mempertahankan gejala.
286
Gangguan Dismorfik Tubuh
2. Melibatkan pasien
Keyakinan penampilan pasien gangguan dismorfik tubuh seringkali bersifat
delusif, sehingga dapat menjadi tantangan tersendiri untuk melibatkan pasien
dalam intervensi. Oleh karena itu, perlu dilakukan teknik tertentu untuk
memotivasi pasien yang ragu untuk memulai CBT.
3. Intervensi Kognitif
Pasien gangguan dismorfik tubuh mengalami distorsi kognitif termasuk
adanya pemikiran perfeksionis (misalnya: “jerawat saya membuat saya terlihat
sangat mengerikan") dan identifikasi emosi / pembacaan pikiran yang terdistorsi
dan bersifat delusional (misalnya: "Orang yang duduk diseberang saya ini
memiliki ekspresi aneh di wajahnya, dia mungkin sangat jijik dengan kulit saya ”).
Pada intervensi kognitif, pasien diajak untuk mempelajari keterampilan
restrukturisasi kognitif untuk mengidentifikasi distorsi kognitif dan mencari
penilaian situasi alternatif (misalnya:"Ada kemungkinan pria itu memikirkan hal
lain yang lebih penting baginya) Dengan demikian, restrukturisasi kognitif
menargetkan bias interpretif negatif dalam gangguan dismorfik tubuh dengan
mempertimbangkan adanya penjelasan alternatif atas hasil pasien.
Intervensi kognitif juga meliputi strategi agar pasien dapat mengidentifikasi
adanya keyakinan yang kurang tepat mengenai harga diri mereka (misalnya: “Saya
hanya berarti jika penampilanku membaik”, atau “Hidupku berakhir karena
penampilanku” , dan kemudian mencari alternatif sumber dari dalam diri yang
lebih luas untuk meningkatkan penghargaan diri mereka (misalnya: Bakat,
Kecerdasan, Sikap moral yang baik).
4. Mindfullness/ Perceptual Retraining
Perceptual retraining dikombinasikan dengan mindfulness untuk membantu
pasien belajar memperluas sudut pandangnya dan memperhatikan aspek lain pada
diri mereka sendiri selain kekurangan yang dirasakan. Pasien diinstruksikan untuk
berdiri. Pasien diminta untuk berdiri dengan jarak satu lengan dari cermin, lalu
menjelaskan setiap bagian tubuh dari kepala sampai kaki. Mereka belajar
mengamati dan menjelaskan penampilan mereka dengan cara yang penuh
perhatian, holistik, dan tidak menghakimi. Daripada hanya menatap mata yang
tidak disukai dan berkata: "Mataku jelek," pasien diajarkan untuk mencurahkan
perhatian dalam jumlah waktu yang sama untuk setiap bagian tubuh,
menggunakan bahasa deskriptif dan tidak menghakimi seperti "Mataku berwarna
coklat dan berbentuk almond”, “Saya memiliki alis coklat”, “Warna kulit saya
pucat". Dengan memperhatikan setiap bagian tubuh secara merata tanpa
287
Gangguan Dismorfik Tubuh
288
Gangguan Dismorfik Tubuh
289
Gangguan Dismorfik Tubuh
Prognosis
Gangguan dismorfik tubuh adalah kondisi yang serius dan seringkali kronis.
Tingkat komorbiditas yang tinggi dan efek merugikan yang mendalam pada fungsi
psikososial mendasari kualitas hidup yang sangat buruk dan kecenderungan tingkat
bunuh diri yang sangat tinggi. Penderita gangguan dismorfik tubuh sering mencari
perawatan kosmetik yang seringkali justru memperburuk keparahan gangguan.
Prognosis untuk gangguan dismorfik tubuh tergolong buruk, terutama jika tidak dirujuk
untuk menjalani penanganan kesehatan mental. Beberapa faktor yang dapat
menentukan prognosis di antaranya tingkat keparahan, lamanya gangguan, serta jika
awal kemunculan gangguan sebelum usia 18 tahun (Thiele, 2015).
290
Gangguan Dismorfik Tubuh
Referensi
291
21. Gangguan Makan
Manifestasi Klinis
1. Anorexia Nervosa
a. Evaluasi berlebihan terhadap bentuk dan berat badan yaitu menilai harga diri
secara umum atau eksklusif dari bentuk dan berat badan;
b. Sering kali diekspresikan dalam bentuk keinginan yang kuat untuk menjadi
kurus serta ketakutan yang intens akan bertambahnya berat badan dan
menjadi gemuk;
292
Gangguan Makan
c. Menjaga dan mempertahankan berat badan terlalu rendah kurang dari 85%
dari yang diharapkan atau indeks massa tubuh ≤ 17,51;
d. Gejala lain dari gangguan tersebut termasuk citra tubuh yang terganggu dan
takut kehilangan kendali;
e. Gejala fisiologis gangguan ini meliputi intoleransi, kulit kering, peningkatan
rambut halus pada tubuh, tekanan darah rendah, dan edema;
f. Perubahan metabolisme, kehilangan kalium, dan kerusakan jantung dapat
terjadi akibat gangguan ini dan bisa mematikan;
g. Kompulsi seperti gangguan obsesi kompulsif terkait makanan sering terlihat
dan termasuk dalam ritual perilaku seputar binge (makan berlebih).
2. Bulimia Nervosa
a. Evaluasi berlebihan terhadap bentuk dan berat badan, seperti pada anorexia
nervosa;
b. Makan berlebihan secara berulang (binge-eating), yaitu suatu episode makan
di mana individu mengonsumsi makanan dalam jumlah besar dari
kebanyakan orang dalam periode waktu yang sama dan ada perasaan
kehilangan kendali pada saat itu;
c. Perilaku pengendalian berat badan yang ekstrem dengan menggunakan
berbagai perilaku kompensasi termasuk diet ketat, memuntahkan makanan
yang diinduksi sendiri, penyalahgunaan obat pencahar, penggunaan diuretik,
enema, dan pil diet, puasa, olahraga berlebihan, atau kombinasi dari perilaku
tersebut;
d. Tanda fisik yang biasanya menyertai perilaku muntah seperti pembengkakan
kelenjar parotis, bekas luka di punggung tangan (dari kontak dengan gigi saat
muntah), suara serak, dan mulut kering.
3. Makan berlebihan (binge-eating)
a. Makan berlebihan secara berulang yang ditandai dengan mengonsumsi
makanan dalam jumlah besar tanpa adanya perilaku kontrol berat badan yang
ekstrem seperti yang terlihat pada bulimia nervosa dan anorexia nervosa;
b. Makan lebih cepat;
c. Makan sampai kenyang;
d. Makan dalam jumlah banyak bahkan saat tidak lapar;
e. Makan sendiri;
f. Merasa jijik atau bersalah terhadap perilaku makannya.
293
Gangguan Makan
Identifikasi
1. Pasien dengan gangguan makan harus dievaluasi dan diberikan penanganan sedini
mungkin;
2. Penanganan dini sangat penting bagi pasien yang memiliki atau berisiko mengidap
emaciation (pengurusan secara ekstrem) parah, sehingga penanganan harus
diprioritaskan;
3. Gangguan makan dapat terjadi pada semua umur, namun risiko tertinggi terdapat
pada remaja (laki-laki dan perempuan) yang berumur antara 13 sampai dengan 17
tahun;
4. Hindari hanya menggunakan satu alat ukur sebagai metode dalam menetapkan
adanya gangguan makan pada pasien;
5. Dalam melakukan identifikasi dan evaluasi gangguan makan atau memutuskan
pemberian rujukan, perhatikan beberapa hal berikut ini:
a. Body Mass Index (BMI) guna melihat berat badan yang tidak wajar untuk
usianya;
b. Penurunan berat badan secara terus menerus;
c. Diet ketat atau perilaku membatasi makan yang membahayakan;
d. Anggota keluarga atau caregiver melaporkan adanya perubahan dalam
perilaku makan;
e. Menarik diri secara sosial, terutama pada situasi yang melibatkan makanan
f. Adanya masalah mental lainnya;
g. Kekhawatiran yang tidak wajar mengenai berat badan atau ukuran tubuh
pasien;
h. Gangguan menstruasi atau gangguan endokrin lain, atau gejala percernaan
yang tidak dapat dijelaskan secara medis;
i. Tanda fisik berupa malnutrisi, termasuk sirkulasi yang buruk, kepala pusing,
takikardi (palpitasi), pingsan, atau berwajah pucat, serta perilaku
kompensasi;
j. Rasa sakit pada abdomen yang berkaitan dengan muntah atau diet ketat, yang
tidak dapat dijelaskan secara medis;
k. Gigi yang aus secara tidak wajar (seperti terjadinya pengikisan);
l. Memiliki aktivitas pekerjaan yang berkaitan dengan risiko tinggi akan
gangguan makan (contohnya atlet, penari, atau model).
294
Gangguan Makan
Rujukan
Jika pada evaluasi dini terdapat dugaan gangguan makan maka segera rujuk pasien
kepada layanan professional gangguan makan yang sesuai umur pasien untuk
mendapatkan evaluasi penanganan lebih lanjut.
Asesmen
1. Wawancara klinis
Psikolog klinis harus mengevaluasi beberapa hal berikut pada pasien yang
diduga memiliki gangguan makan:
a. Kesehatan fisik, termasuk memeriksa efek dari malnutrisi atau perilaku
kompensasi;
b. Masalah kesehatan jiwa yang umumnya berkaitan dengan gangguan makan
seperti depresi, kecemasan, melukai diri, dan gangguan obsesif kompulsif;
c. Kemungkinan adanya penyalahgunaan minuman beralkohol dan zat adiktif;
d. Kebutuhan penanganan darurat pada pasien yang kesehatan fisiknya rentan
atau memiliki risiko bunuh diri.
2. Observasi klinis
Observasi klinis dilakukan pada pasien dengan dugaan gangguan makan
untuk mengamati beberapa hal berikut ini:
a. Pasien anak dan remaja yang memiliki gangguan makan mungkin akan
memperlihatkan pertumbuhan yang melambat (contohnya berat badan atau
tinggi badan yang rendah untuk usianya) atau pubertas yang tertunda;
b. Perhatikan gejala fisiologis yang merupakan manifestasi klinis pada masing-
masing gangguan makan.
3. Tes psikologi
Asesmen dengan menggunakan alat tes psikologi dilakukan untuk menegakkan
diagnosis gangguan makan secara tepat. Berikut ini terdapat beberapa skala
pengukuran yang diperoleh dari berbagai sumber:
a. Anorexia nervosa
i. Questionnaire on Eating and Weight Patterns-Revised (QEWP-R)
(Yanovski, 1993)
ii. Eating Disorder Examination Questionnaire (EDEQ) (Fairburn, Cooper,
& O’Connor, 2008).
b. Bulimia nervosa & gangguan makan berlebihan
i. Binge Eating Scale (BES) 16 item self-report (Gormally, Black, Daston,
& Rardin, 1982)
295
Gangguan Makan
ii. Eating Expectancy Inventory (EEI), 34 item kuesioner tipe likert dengan
tiga subkelompok untuk membedakan bulimia dengan gangguan makan
lainnya (Hohlstein, Smith, & Atlas, 1998)
iii. Kentucky Inventory of Mindfulness Skills (KIMS) yang merupakan self-
report terkait keterampilan mindfulness (Baer, Smith, & Allen, 2004)
iv. Beck Depression Inventory-II (BDI-II) (Beck, 1996). Pertanyaan-
pertanyaan dalam BDI-II tersebut dapat dipertimbangkan dan
dimodifikasi ke dalam asesmen awal, seperti:
• Sejauh mana motivasi pasien untuk perawatan saat ini?
• Apakah pasien mau memantau dirinya sendiri? atau perilaku
makannya?
• Apakah pasien bersedia untuk fokus pada pengurangan perilaku
makan berlebihan sebelum menangani masalah penurunan berat
badan?
• Apakah pasien tertarik menggunakan intervensi selain diet?
• Apakah ada masalah kesehatan mental lain yang harus
dipertimbangkan sebelum menentukan tujuan penanganan?
• Apa manfaat dari makan berlebih (binge-eating)? (Craighead, 2002)
Perlu diperhatikan bahwa skala-skala yang telah disebutkan di atas
merupakan instrumen yang dapat digunakan sebagai acuan psikolog klinis
dalam melakukan asesmen kepada pasien dengan gangguan makan. Namun
demikian, masih perlu dilakukan pengecekkan sejauh mana validitas dan
reliabilitas instrumen tersebut ketika diadaptasi ke dalam bahasa Indonesia
untuk asesmen penegakan diagnosis gangguan.
Diagnosis
Kriteria diagnosis gangguan makan berdasarkan DSM-5 di mana terbagi menjadi
3 gangguan dapat dilihat terpisah di tabel 3.21.1 untuk anorexia nervosa; tabel 3.21.2
untuk bulimia nervosa; dan tabel 3.21.3 untuk gangguan makan berlebihan.
296
Gangguan Makan
Tabel 3.21.1
Kriteria Diagnosis Anorexia Nervosa Berdasarkan DSM-5
Kriteria Diagnosis Ada Tidak
A Pembatasan asupan energi relatif terhadap kebutuhan,
menyebabkan bobot tubuh yang sangat rendah dalam
konteks usia, jenis kelamin, lintasan perkembangan, dan
kesehatan fisik. Berat badan yang sangat rendah
didefinisikan sebagai berat badan yang kurang dari
normal minimal atau, untuk anak-anak dan remaja,
kurang dari yang diharapkan seminimal mungkin.
B Ketakutan yang intens terhadap kenaikan berat badan
atau menjadi gemuk, serta perilaku persisten yang
mencegah terjadinya penambahan berat badan, meskipun
berat badan sangat rendah.
C Gangguan berat badan atau bentuk tubuh yang dialami
oleh seseorang, yang dipengaruhi oleh evaluasi terhadap
bentuk tubuh dan berat badan, atau kurangnya kesadaran
yang persisten terhadap bahaya rendahnya berat badan
saat ini.
Tabel 3.21.2
Kriteria Diagnosis Bulimia Nervosa Berdasarkan DSM-5
Kriteria Diagnosis Ada Tidak
A Episode makan berlebihan ditandai dengan dua hal
berikut:
1. Makan dalam periode waktu tertentu (misalnya
dalam periode 2 jam), sejumlah makanan yang
lebih besar dari kebanyakan orang makan
dalam waktu yang sama dalam keadaan yang
sama.
2. Perasaan kurang kontrol selama episode makan
berlebihan (misalnya perasaan tidak dapat
berhenti makan atau mengontrol apa atau
seberapa banyak makannya).
B Perilaku kompensasi tidak tepat yang berulang untuk
mencegah penambahan berat badan, seperti muntah
297
Gangguan Makan
Tabel 3.21.3
Kriteria Diagnosis Gangguan Makan Berlebihan Berdasarkan DSM-5
Kriteria Diagnosis Ada Tidak
A Episode makan berlebih ditandai dengan dua hal
berikut:
1. Makan dalam periode waktu tertentu (misalnya
dalam 2 jam), sejumlah makanan yang lebih
besar dari yang kebanyakan orang makan dalam
periode waktu dan keadaan yang sama.
2. Perasaan kurang kontrol selama episode binge-
eating (misalnya perasaan tidak dapat berhenti
makan atau mengontrol apa atau seberapa
banyak makannya).
298
Gangguan Makan
299
Gangguan Makan
300
Gangguan Makan
Diagnosis Banding
1. Anorexia Nervosa
a. Kondisi medis;
b. Gangguan depresi mayor;
c. Skizofrenia;
d. Gangguan penggunaan zat;
e. Gangguan kecemasan sosial, gangguan obsesif kompulsif, dan gangguan
dismorfik tubuh;
f. Bulimia nervosa;
g. Gangguan menghindari makan (avoidant/restrictive food intake).
2. Bulimia Nervosa
a. Anorexia nervosa, makan berlebihan/tipe membersihkan perut (purging);
b. Makan berlebihan;
c. Sindrom kleine-levin;
d. Gangguan depresi mayor dengan fitur atipikal;
e. Gangguan kepribadian ambang (borderline);
3. Gangguan makan berlebihan
a. Bulimia nervosa;
b. Obesitas;
c. Gangguan bipolar dan depresi;
d. Gangguan kepribadian ambang (borderline);
301
Gangguan Makan
Komorbiditas
1. Anorexia Nervosa
a. Gangguan bipolar;
b. Depresi;
c. Kecemasan;
d. Gangguan penggunaan alkohol dan zat adiktif lainnya.
2. Bulimia Nervosa
a. Gangguan mental;
b. Gangguan bipolar;
c. Gangguan depresi;
d. Gangguan mood;
e. Gangguan kecemasan;
f. Gangguan kepribadian ambang (borderline);
3. Gangguan makan berlebihan
a. Gangguan bipolar;
b. Gangguan depresi;
c. Gangguan kecemasan;
d. Gangguan penggunaan zat.
Intervensi Psikologis
I. Anorexia Nervosa
1. Beberapa hal yang harus diperhatikan terkait penanganan psikologis untuk
anorexia nervosa adalah sebagai berikut
a. Pemberian penanganan untuk semua pasien anorexia nervosa yang
dilakukan dengan layanan spesialis hendaknya:
i. Berisi psikoedukasi mengenai gangguan;
ii. Berisi pengawasan pada berat badan, kesehatan mental dan fisik,
dan faktor risiko;
iii. Bersifat multidisiplin dan terkoordinasi;
iv. Melibatkan anggota keluarga atau caregiver.
b. Dalam menangani anorexia nervosa perlu diperhatikan bahwa:
i. Membantu pasien dalam mencapai berat badan atau BMI yang
sehat sesuai usianya adalah target utama;
302
Gangguan Makan
303
Gangguan Makan
304
Gangguan Makan
305
Gangguan Makan
vi. Pada penanganan dini, yakinkan para orang tua untuk mengambil
peran utama dalam membantu pasien menangani pola makan
mereka dan tekankan bahwa peran ini hanya sementara;
vii. Pada fase pertama, psikolog klinis hendaknya berusaha dalam
membuat hubungan terapeutik yang baik dengan pasien, orang tua,
atau caregiver;
viii. Pada fase kedua, psikolog klinis membantu pasien (dengan
bantuan dari orang tua atau caregiver) dalam menetapkan tingkat
kemandirian sesuai dengan usianya;
ix. Pada fase final psikolog klinis hendaknya
• Fokus pada rencana di saat penanganan berakhir (termasuk
kekhawatiran yang dimiliki pasien atau keluarga) dan
mencegah kekambuhan;
• Menyampaikan bagaimana pasien dapat menerima bantuan
jika penanganan berakhir
b. Jika FT-AN tidak efektif untuk pasien anak dan remaja, pertimbangkan
CBT-ED secara individual atau Anorexia Focused Psychotherapy (AFP-
AN).
c. CBT-ED secara individual dideskripsikan sebagai berikut:
i. Terdiri sampai 40 sesi dalam 40 minggu, dengan:
ii. Dua sesi per minggu dalam 2 atau 3 minggu pertama;
iii. 8-12 sesi tambahan singkat dengan keluarga pasien (semisal pasien
dan orang tua);
iv. Dalam sesi keluarga dan individual, psikolog klinis memberikan
psikoedukasi mengenai nutrisi dan efek dari malnutrisi. Selain itu
dalam sesi keluarga, psikolog klinis hendaknya:
• Mengidentifikasi hal apapun yang dapat membuat pasien
kesulitan untuk merubah perilaku mereka di dalam kehidupan
berkeluarga, dan temukan cara untuk membahasnya;
• Mendiskusikan rencana pola makan pasien;
• Mengurangi risiko kesehatan fisik dan gejala lain dari
gangguan makan;
• Mendorong tercapainya berat badan dan pola makan yang
sehat;
• Membahas nutrisi, pencegahan kekambuhan, restrukturisasi
kognitif, pengaturan suasana hati (mood), kemampuan
bersosialisasi, kekhawatiran pada body image, dan harga diri;
306
Gangguan Makan
307
Gangguan Makan
xii. Dalam sesi keluarga, doronglah orang tua atau caregiver dalam
mendukung pasien untuk merubah perilaku;
xiii. Sampaikan bagaimana penderita dapat menerima bantuan jika
penanganan berakhir.
e. Psikolog klinis hendaknya mempertimbangkan bantuan anggota keluarga
untuk membantu pasien dalam menangani distres yang disebabkan oleh
kondisi tertentu.
f. Pertimbangkan memberikan pasien anak dan remaja pertemuan tambahan
yang terpisah dari anggota keluarga atau caregiver.
308
Gangguan Makan
309
Gangguan Makan
312
Gangguan Makan
Prognosis
Onset awal, riwayat keluarga, peer dietting, konsep citra tubuh yang ideal, dan
pertimbangan budaya, semuanya berperan dalam perkembangan gangguan makan
(Reichenberg & Seligman, 2016).
1. Anorexia Nervosa
Terdapat berbagai pilihan penanganan untuk remaja dan dewasa dengan
anorexia nervosa. Saat ini, terapi keluarga untuk remaja dan olanzapine sebagai
bagian dari pengobatan tambahan untuk orang dewasa tampaknya sangat efektif
(Brown & Keel, 2012). Untuk yang tidak memiliki keadaan darurat medis dan
tidak mengalami krisis, terapi psikososial lainnya termasuk CBT-E, terapi
interpersonal, dan terapi berbasis kesadaran seperti DBT dinilai efektif.
Durasi juga menjadi variabel penting dalam keberhasilan pengobatan.
Penanganan lebih lama yang berlangsung selama 4 sampai 6 bulan, biasanya lebih
berhasil. Pasien dengan gangguan makan yang parah mungkin perlu program
rawat inap atau rawat jalan yang berlangsung selama satu tahun atau lebih. Secara
umum, 44% penderita Anorexia Nervosa pulih sepenuhnya melalui pengobatan,
28% membaik secara signifikan, 24% tidak membaik atau terganggu secara
signifikan, dan 10% meninggal sebelum waktunya dari efek kelaparan atau bunuh
diri.
Dalam menentukan prognosis pasien dengan gangguan makan, perlu
mempertimbangkan tiga aspek berikut:
i. Temperamental. Individu yang mengalami gangguan kecemasan atau
menunjukkan ciri-ciri obsesi di masa kanak-kanak berisiko lebih tinggi
mengalami anorexia nervosa.
ii. Lingkungan. Keberagaman sejarah dan lintas budaya menunjang hubungan
prevalensi anorexia nervosa yang berhubungan dengan budaya dan nilai di
mana tubuh yang kurus lebih dihargai. Pekerjaan dan hobi yang mendorong
tubuh kurus, seperti modeling dan atlet, juga berkaitan dengan peningkatan
risiko.
iii. Genetik dan fisiologis. Ada peningkatan risiko anorexia nervosa dan
bulimia nervosa di antara kerabat hubungan biologis tingkat pertama dengan
gangguan tersebut. Peningkatan risiko gangguan bipolar dan depresi juga
telah ditemukan di antara kerabat tingkat pertama dari individu dengan
anorexia nervosa, terutama kerabat individu dengan tipe makan
berlebihan/membersihkan perut (purging). Tingkat kesesuaian untuk
anorexia nervosa pada kembar monozygot secara signifikan lebih tinggi
313
Gangguan Makan
Catatan Lain
316
Gangguan Makan
Referensi
American Psychiatric Association. (2013). Desk Reference to the Diagnostic Criteria
from DSM-5. London : American Psychiatric Publishing.
Barlow, D. H. (2014). Clinical Handbook of Psychological Disorders. New York : The
Guilford Publication Press.
Beating Eating Disorders Charity. (2015). The costs of eating disorders- social, health
and economic impacts.
https://www.nice.org.uk/guidance/qs175/documents/briefing-paper
Brown, T. A., & Keel, P. K. (2012). Current and emerging directions in the treatment
of eating disorders. Substance Abuse: Research and Treatment, 6,
https://doi.org/10.4137/SART.S7864
Fairburn C.G., Cooper, Z., Doll, H.A., O'Connor, M.E., Bohn, K., Hawker, D.M.,
Wales, J.A., Palmer, R.L. (2009). Transdiagnostic cognitive-behavioral
therapy for patients with eating disorders: a two-site trial with 60-week follow-
up. Am J Psychiatry, 166(3), 311-9. doi: 10.1176/appi.ajp.2008.08040608.
Haynos, A. F., & Fruzzetti, A. E. (2011). Anorexia nervosa as a disorder of emotion
dysregulation: Evidence and treatment implications. Clinical Psychology:
Science and Practice, 18(3), 183–202. https://doi.org/10.1111/j.1468-
2850.2011.01250.x
Maslim, R. (2013). Diagnosis Gangguan Jiwa, Rujukan Ringkas PPDFJ-III dan DSM-
5. Jakarta : Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK Unika Atma Jaya.
National Institute for Health and Care Excellence. (2017). Eating Disorders:
Recognition and Treatment. Diakses pada tanggal 08 November 2020 dari
https://www.nice.org.uk/guidance/ng69/resource/eating-disorders-
recognition-and-treatment-pdf-1837582159813
Nevid, J. S., Spencer A. R & Greene, B. (2018). Abnormal Psychology in A Changing
World, 8th Ed. New Jersey, USA: Pearson.
Reichenberg, L. W., & Seligman, L. (2016). Selecting effective treatments : a
comprehensive, systematic guide to treating mental disorders (5th ed.). Wiley.
Rieger, E., Van Buren, D. J., Bishop, M., Tanofsky-Kraff, M., Welch, R., & Wilfley,
D. E. (2010). An eating disorder-specific model of interpersonal
psychotherapy (IPT-ED): Causal pathways and treatment implications.
Clinical Psychology Review. https://doi.org/10.1016/j.cpr.2010.02.001
317
Gangguan Makan
Sagar, A. (2005). Long Term Health Risks Due to Impaired Nutrition in Women with
a Past History of Bulimia Nervosa. Nutrition Noteworthy, 7(1). Retrieved from
https://escholarship.org/uc/item/6vt2k42t
Wilfley DE, Welch RR, Stein RI, Spurrell EB, Cohen LR, Saelens BE, Dounchis JZ,
Frank MA, Wiseman CV, Matt GE. (2002). A randomized comparison of
group cognitive-behavioral therapy and group interpersonal psychotherapy for
the treatment of overweight individuals with binge-eating disorder. Arch Gen
Psychiatry, 59(8):713-21. doi: 10.1001/archpsyc.59.8.713. PMID: 12150647.
Wilson GT, Wilfley DE, Agras WS, Bryson SW. (2010). Psychological treatments of
binge eating disorder. Arch Gen Psychiatry, 67(1):94-101. doi:
10.1001/archgenpsychiatry.2009.170. PMID: 20048227; PMCID:
PMC3757519.
World Health Organization. (1992). The ICD-10 Classification of Mental and
Behavioural Disorders : Clinical Descriptions and Diagnostic Guidelines.
Switzerland : World Health Organization.
Zweig, R. D., & Leahy, R. L. (2012). Treatment plans and interventions for evidence-
based psychotherapy.Treatment plans and interventions for bulimia and
binge-eating disorder. Guilford Press.
318
22. Gangguan Perilaku Menentang
Manifestasi Klinis
Identifikasi
1. Lakukan penilaian awal untuk dugaan gangguan perilaku menentang jika orang tua,
pengasuh, guru, atau teman sebaya menyampaikan kekhawatiran tentang perilaku
antisosial terus menerus, seperti:
a. Menyakiti orang lain
b. Agresif atau menakutkan bagi orang lain
c. Melanggar aturan umum
319
Gangguan Perilaku Menentang
e. Penyalahgunaan zat
f. Gangguan komunikasi seperti gangguan bicara dan bahasa
5. Meliputi asesmen formal untuk menunjang diagnosis dengan kondisi yang muncul
bersamaan, seperti:
a. Child Behavior Checklist
b. Strengths and Difficulties Questionnaire
c. Eyberg Child Behavior Inventory
d. The Connors Rating Scales
Penggunaan dari skala-skala di atas masih memerlukan proses adaptasi serta
uji reliabilitas dan validitas lanjutan di Indonesia. Walaupun demikian, Strengths
and Difficulties Questionnaire-Parent Report telah diuji secara klinis dan
psikometris di Indonesia dengan ambang batas khusus (Wimbarti, dkk., 2019)
6. Asesmen terhadap risiko yang dialami oleh pasien anak/remaja, apabila
diperlukan, membuat perencanaan manajemen risiko untuk pengabaian,
eksploitasi, perilaku menyakiti diri sendiri atau orang lain. Asesmen terhadap
keberadaan atau risiko adalah pada mereka yang mengalami kekerasan fisik,
seksual, dan emosi.
7. Melakukan asesmen komprehensif pada orang tua/wali dari pasien anak dan
remaja yang meliputi:
a. Aspek positif dan negatif pola asuh, terutama mengenai teknik disiplin
dengan memaksa anak.
b. Hubungan orang tua dan anak.
c. Aspek positif dan negatif pada hubungan orang tua dan keluarga anak,
meliputi kekerasan dalam rumah tangga.
d. Kesejahteraan orang tua, meliputi kesehatan mental dan penyalahgunaan zat
(meliputi penggunaan alkohol/obat-obatan terlarang yang digunakan saat
kehamilan) dan perilaku kriminal.
8. Membuat perencanaan dengan pasien anak/remaja dan dengan orang tua/walinya
yang meliputi profil kebutuhan mereka, risiko pada diri sendiri dan orang lain,
serta asesmen lebih lanjut yang dibutuhkan. Hal ini perlu meliputi perkembangan
dan gejala gangguan perilaku menentang yang bertahan serta hubungannya
dengan masalah perilaku lainnya, seperti gangguan mental dan kesehatan,
kesulitan bicara, bahasa, dan komunikasi, dalam konteks:
a. Kebutuhan personal, sosial, okupasi, tempat tinggal, dan edukasi
b. Kebutuhan orang tua dan wali
c. Kekuatan anak/ remaja dan orang tua/ wali
321
Gangguan Perilaku Menentang
Diagnosis
Tabel 3.22.1
Kriteria Diagnosis Gangguan Tingkah Laku berdasarkan DSM-5
Kriteria Diagnosis Ada Tidak
A Kekerasan pada orang lain dan binatang
1. Sering menindas/ menggertak, mengancam,
atau mengintimidasi orang lain
2. Sering memulai pertengkaran fisik
3. Menggunakan senjata yang dapat
menyebabkan cedera fisik yang serius bagi
orang lain (misalnya dengan potongan kayu,
batu, pecahan, pisau, dan senjata api)
4. Melakukan kekejaman fisik terhadap orang lain
5. Melakukan kekejaman fisik terhadap hewan
6. Telah mencuri saat menghadapi korban
(misalnya penjambretan, perampasan,
pemerasan, dan perampokan bersenjata)
7. Memaksa orang lain melakukan aktivitas
seksual
Perusakan pada properti
8. Secara sengaja merusak fasilitas umum yaitu
dengan cara membakarnya sehingga
menyebabkan kerusakan serius
9. Secara sengaja merusak harta benda orang lain
yang tidak melibatkan api
Kecurangan atau pencurian
10. Telah membobol rumah, gedung, atau mobil
orang lain.
322
Gangguan Perilaku Menentang
323
Gangguan Perilaku Menentang
2. Moderat, yaitu ketika jumlah perilaku bermasalah dan pengaruh yang ditimbulkan
kepada orang lain tergolong berada diantara kategori ringan dan berat (misalnya,
mencuri tanpa menghadapi korban, vandalisme).
3. Berat, yaitu ketika banyak perilaku bermasalah, melebihi dari yang diperlukan
untuk diagnosa, atau perilaku bermasalah yang menyebabkan dampak besar pada
orang lain yang (misalnya, memaksa melakukan aktivitas seksual dan kekerasan
fisik).
Sementara itu, gejala perilaku menentang berdasarkan pada DSM-5 dapat dilihat
di tabel 3.22.2.
Tabel 3.22.2
Kriteria Diagnosis Gangguan Perilaku Menentang Berdasar DSM-5
Kriteria Diagnosis Ada Tidak
A Pola perilaku marah, mudah tersinggung, suka
mendebat, suka menentang, atau perilaku membalas
dendam yang muncul setidaknya selama 6 bulan.
Gejala yang muncul setidaknya 4 dari berbagai
kategori berikut dan ditunjukkan selama interaksi
dengan setidaknya satu orang yang bukan saudara
kandung.
Kemarahan/ suasana hati yang mudah tersinggung
1. Sering kehilangan kesabaran.
2. Sering merasa tersinggung dan mudah
terganggu.
3. Sering marah dan mengungkapkan kekesalan.
B Argumentatif/ Perilaku menentang
1. Sering berdebat dengan figur otoritas (untuk
pasien anak dan remaja, sering berdebat
dengan orang dewasa).
2. Sering secara aktif melawan atau menolak
untuk patuh pada permintaan figur otoritas dan
melanggar aturan.
3. Sering dengan sengaja mengganggu orang lain.
4. Sering menyalahkan orang lain atas kesalahan
dan perilaku buruknya.
324
Gangguan Perilaku Menentang
mengusik orang lain. Lazimnya mereka bersikap marah, benci, dan mudah
terganggu oleh orang lain yang dipersalahkan atas kekeliruan dan kesulitan
yang mereka lakukan sendiri. Mereka umumnya mempunyai daya toleransi
terhadap frustrasi yang rendah dan cepat hilang kesabarannya. Lazimnya sikap
menentang bersifat provokatif sehingga mereka mengawali konfrontasi dan sering
menunjukkan sifat sangat kasar, kurang suka bekerjasama, dan menentang otoritas.
Diagnosis Banding
Komorbiditas
1. ADHD
2. Gangguan depresi
3. Gangguan kecemasan umum
4. Gangguan penyalahgunaan zat
Intervensi Psikologi
329
Gangguan Perilaku Menentang
Prognosis
Faktor protektif adalah pola pengasuhan, orang tua suportif dan skor IQ tinggi,
serta resiliensi anak, seperti memiliki hubungan yang baik setidaknya dengan satu orang
dewasa (tidak harus orang tua), rasa bangga dan keberhargaan diri, memiliki
keterampilan khusus dan kompetensi.
Faktor risiko adalah ketika onset awal gangguan perilaku sebelum usia 8 tahun,
perilaku antisosial yang sering, buruk, dan bervariasi, komorbid dengan masalah
hiperaktivitas dan atensi, IQ rendah, orang tua alkoholik dan kriminal, pola asuh yang
kasar, tidak konsisten dengan penuh kritik dan tidak terlibat, serta status sosial ekonomi
keluarga rendah.
Catatan Lain
330
Gangguan Perilaku Menentang
Referensi
331
23. Gangguan Penyalahgunaan Zat
Manifestasi Klinis
Identifikasi
Untuk dapat mengidentifikasi individu dengan potensi gangguan penyalahgunaan
zat, indikator-indikator yang paling tampak adalah indikator jenis psikososial.
Pengguna zat pada umumnya menunjukkan gejala-gejala gelisah atau tidak nyaman
ketika berada dalam fase “ketagihan” atau putus zat (withdrawal). Hal tersebut biasanya
disertai dengan keluhan-keluhan fisik dan perilaku, seperti penurunan berat badan yang
drastis, berkeringat dingin, sering mengeluhkan rasa sakit atau nyeri di tubuh, dan lain
sebagainya. Pada saat yang sama, pasien dengan gangguan penyalahgunaan zat akan
menunjukkan gejala-gejala psikososial, seperti:
332
Gangguan Penyalahgunaan Zat
333
Gangguan Penyalahgunaan Zat
suatu zat dan efeknya serupa dengan zat lainnya dalam suatu kelompok, maka ia masuk
dalam kelompok gangguan yang memiliki gejala yang serupa itu.
Jenis zat yang disalahgunakan berjumlah cukup banyak, sehingga mengakibatkan
adanya kelompok atau kategori gangguan penyalahgunaan zat yang sangat beragam
juga. Pada saat yang sama, meskipun jenis zat dan kriteria diagnosis yang digunakan
sangatlah beragam, terdapat kriteria-kriteria umum yang dapat digunakan untuk
mengidentifikasi pola perilaku patologis dan membantu proses penegakan diagnosis
berdasarkan DSM-5. Kriteria tersebut dapat dilihat di tabel 3.23.1.
Tabel 3.23.1
Kriteria Diagnosis Gangguan Penyalahgunaan Zat Berdasarkan DSM-5
Kriteria Diagnosa Ada Tidak
A. Gangguan pengendalian diri dalam penggunaan
obat
1. Individu mengonsumsi zat tersebut dalam jumlah
yang besar atau durasi penggunaan yang lebih
lama dari perkiraan individu tersebut.
2. Individu mengekspresikan keinginan yang kuat
untuk menghentikan atau mengurangi
penggunaan obat dan melaporkan upaya-upaya
penghentian konsumsi zat yang gagal di masa
lalu.
3. Individu menghabiskan waktu yang lama dalam
upaya untuk memperoleh dan menggunakan zat
tersebut, serta dalam pemulihan dari efek-efek
yang diberikan oleh zat terkait. Dalam kasus yang
parah, pola hidup individu seakan-akan hanya
bertujuan untuk memperoleh zat terkait.
4. Adanya craving atau keinginan/dorongan yang
kuat dan tak terkendali untuk memperoleh zat
terkait.
B. Gangguan fungsi sosial
5. Konsumsi zat secara berulang dapat mengganggu
tanggung jawab individu dalam dunia pekerjaan,
pendidikan, atau rumah tangga.
6. Individu tetap menggunakan zat-zat terkait
meskipun telah mengalami masalah interpersonal
334
Gangguan Penyalahgunaan Zat
semua itu diakibatkan oleh karena penggunaan satu atau lebih zat psikoaktif (dengan
atau tanpa resep dokter). Sistem kode yang digunakan dalam PPDGJ III adalah:
1. Zat yang digunakan: karakter ke-2 dan 3;
2. Keadaan klinis: karakter ke-4 dan 5.
Selain itu, jenis zat yang diidentifikasi dalam PPDGJ III adalah sebagai berikut:
F10: Alkohol
F11: Opioida
F12: Kanabinoida
F13: Sedativa atau Hipnotika
F14: Kokain
F15: Stimulansia lain termasuk kafein
F16: Halusinogenika
F17: Tembakau
F18: Pelarut yang mudah menguap
F19: Zat multipel atau penggunaan zat psikoaktif lainnya
Sementara itu, keadaan klinis terbagi menjadi intoksikasi akut, penggunaan yang
merugikan (harmful use), sindrom ketergantungan, keadaan putus zat, keadaan putus
zat dengan delirium, gangguan psikotik, sindrom amnesik, gangguan psikotik residual
atau onset lambat, gangguan mental dan perilaku lainnya, serta gangguan mental dan
perilaku YTT (Yang Tak Tergolongkan).
Identifikasi dari zat psikoaktif yang digunakan dapat dilakukan berdasarkan data
laporan dari individu, analisis objektif dari spesimen urine, darah, dan sebagainya, serta
bukti lain (laporan dari pihak ketiga atau adanya sampel obat yang ditemukan pada
pasien tanpa gejala klinis). Selalu dianjurkan untuk mencari bukti yang menguatkan
lebih dari satu sumber, yang berkaitan dengan penggunaan zat. Banyak pengguna obat
menggunakan lebih dari satu jenis obat, tetapi bila memungkinkan, diagnosis gangguan
harus diklasifikasikan sesuai dengan zat tunggal (kategori dan zat) yang paling penting
yang digunakannya (yang menyebabkan gangguan nyata). Sementara itu, kode F19
hanya digunakan bila pola penggunaan zat psikoaktif benar-benar kacau dan
sembarangan atau berbagai obat bercampur-baur. Penyalahgunaan obat selain zat
psikoaktif, seperti pencahar atau aspirin, harus diberi kode F55 (penyalahgunaan zat
yang tidak menyebabkan ketergantungan).
Diagnosis Banding
Secara garis besar, diagnosis banding dari setiap diagnosis tentunya berbeda-beda.
Namun secara umum, diagnosis banding untuk setiap diagnosis adalah kumpulan
336
Gangguan Penyalahgunaan Zat
diagnosis yang memiliki gejala yang hampir serupa dengan diagnosis akurat. Berikut
adalah daftar diagnosis banding yang sering ditemui:
1. Gangguan penyalahgunaan zat yang lain dari yang seharusnya, misalnya
kelompok zat halusinogen memiliki efek yang mirip dengan konsumsi zat
kanabis dan kokain yang berlebihan;
2. Skizofrenia dan gejala psikotik lainnya. Hal ini merujuk pada gejala psikosis
yang dihasilkan oleh spektrum skizofrenia dan penyalahgunaan zat sering
kali mirip satu sama lain sehingga para ahli perlu memastikan akar
permasalahan secara akurat;
3. Gangguan suasana perasaan. Hal ini merujuk pada gejala putus zat dalam
bentuk suasana perasaan yang rendah dan kecemasan berlebih, sering kali
ditunjukkan juga dalam gangguan depresi mayor dan kecemasan umum;
4. Gangguan kepribadian. Hal ini merujuk pada gangguan tingkah laku dan
gangguan kepribadian antisosial menyebabkan individu berperilaku kasar,
yang sering kali ditunjukkan juga oleh mereka yang memiliki gangguan
penyalahgunaan zat.
Komorbiditas
Intervensi Psikologi
337
Gangguan Penyalahgunaan Zat
farmakologi. Intervensi psikologis dapat dilakukan dalam waktu relatif singkat atau pun
intensif berdasarkan kebutuhan dan evaluasi ahli terhadap pasien terkait.
Agar pasien dengan gangguan penyalahgunaan zat dapat membuat keputusan
yang dipahaminya terkait perawatan dan penanganannya, psikolog klinis harus
menjelaskan opsi intervensi dengan berorientasi pada perilaku menjauhkan diri,
pemeliharaan (maintenance), dan pengurangan dampak buruk di pertemuan pertama
antara pasien dengan psikolog klinis dan juga di peninjauan formal setelahnya.
Diskusikan dengan pasien gangguan penyalahgunaan zat mengenai apakah mereka
ingin melibatkan keluarga atau pengasuh dalam asesmen dan rencana perawatan
mereka. Hormatilah hak konfidensial pasien. Pastikan bahwa terdapat rencana yang
jelas dan telah disetujui dalam melakukan perpindahan fasilitas layanan secara efektif
bagi pasien dengan penyalahgunaan zat guna mengurangi kemungkinan hilangnya
kontak dengan pasien. Semua intervensi untuk pasien dengan gangguan
penyalahgunaan zat harus diterapkan oleh psikolog klinis yang kompeten dalam
membawakan intervensi tersebut dan mereka yang telah mendapatkan pengawasan
yang sesuai. Pasien dengan gangguan penyalahgunaan zat harus diberikan perawatan,
rasa hormat, dan privasi yang sama seperti orang lain.
Berikut adalah bentuk intervensi-intervensi psikologis/psikososial yang sudah
dikaji efektivitasnya dengan baik, tetapi belum diuji kembali efektivitasnya di
Indonesia:
1. Terapi kognitif perilaku (Cognitive Behavioral Therapy /CBT)
CBT merupakan kelompok terapi yang menggunakan berbagai teknik dan
pendekatan yang ditujukan untuk mengevaluasi dan mengubah kognisi individu
yang maladaptif/patologis. CBT merupakan salah satu gold standard dalam
penanganan penyalahgunaan zat, terutama konsumsi alkohol, kanabis, amfetamin,
kokain, dan heroin. Strategi yang terlibat dalam CBT pada umumnya adalah untuk
membantu pasien mengenali dan mengevaluasi pikiran-pikiran disfungsional yang
mendorong pasien untuk mengambil keputusan maladaptif terkait konsumsi zat
dan kambuh (relapse). CBT tidak hanya mempengaruhi aspek kognitif pasien,
melainkan kemampuan interpersonal dan penyelesaian masalah (problem solving)
yang berguna untuk mencegah pasien dari kekambuhan, serta menangani masalah-
masalah psikologis lain yang sering mengiringi pasien dengan gangguan
penyalahgunaan zat, seperti depresi dan kecemasan. CBT singkat dapat
berlangsung selama antara 8-12 sesi; atau jika diperlukan penanganan lebih
intensif dapat dilakukan lebih dari 12 sesi. Pedoman dapat mengacu pada A
Therapist’s Guide to Brief Cognitive Behavioral Therapy oleh Cully dan Teten
(2008) atau Cognitive Behavioral Therapy: Basics And Beyond oleh Beck (2011).
338
Gangguan Penyalahgunaan Zat
339
Gangguan Penyalahgunaan Zat
Prognosis
Catatan Lain
340
Gangguan Penyalahgunaan Zat
341
Gangguan Penyalahgunaan Zat
Referensi
342
24. Gangguan Neurokognitif Mayor (Demensia)
Menurut World Health Organization (WHO; 2020), demensia adalah sindrom yang
ditandai dengan disorientasi ingatan, proses berpikir, dan perilaku, serta penurunan
kemampuan untuk melakukan aktivitas sehari-hari. Sindrom demensia biasanya
bersifat kronik dan progresif, disertai penurunan fungsi kognitif yang spesifik seperti
afasia (kemunduran bahasa), apraksia (kesulitan melakukan aktivitas motorik), agnosia
(ketidakmampuan untuk mengenali objek) dan gangguan fungsi eksekutif (penurunan
dalam penalaran abstrak, perencanaan dan mengerjakan aktivitas kompleks). Gangguan
fungsi kognitif biasanya disertai dengan penurunan kontrol emosi, perilaku sosial, atau
motivasi. Meskipun demensia umumnya dialami oleh kalangan lanjut usia (lansia),
sindrom ini bukan bagian dari proses penuaan yang normal.
Manifestasi Klinis
Gejala dini dari demensia berupa kesulitan mencari informasi baru dan mudah lupa
kejadian yang baru. Berdasarkan etiologinya, demensia dibedakan menjadi beberapa
sub-tipe:
1. Demensia pada Penyakit Alzheimer (DA)
Penyakit Alzheimer masih merupakan penyebab demensia yang paling
umum, mencakup sekitar 60-80% kasus. Gejala yang paling menonjol pada fase
awal adalah penurunan progresif memori jangka pendek, sementara memori
jangka panjang masih baik. Defisit ini mempengaruhi memori verbal maupun
nonverbal dan mengakibatkan "cepat lupa" terhadap informasi yang baru
dipelajari (Salmon & Bondi, 2009). Seiring perkembangan gangguan, defisit ini
menjadi lebih parah dan mulai mencakup hilangnya makna abstrak, kesulitan
perhatian, dan hilangnya kemampuan visuospasial (persepsi visual dan
kemampuan perseptual motorik).
Pada keadaan lebih lanjut muncul gangguan fungsi kognitif perilaku, yaitu:
a. Disorientasi waktu dan tempat;
b. Kesulitan melakukan pekerjaan sehari-hari;
c. Tidak mampu membuat keputusan;
d. Kesulitan berbahasa;
e. Kehilangan motivasi dan inisiatif;
f. Gangguan pengendalian;
g. Kemampuan sosial terganggu; dan
343
Gangguan Neurokognitif Mayor (Demensia)
Identifikasi
Mengevaluasi gangguan demensia harus dilakukan secara komprehensif.
Pendekatan yang dilakukan bertujuan untuk identifikasi dini demensia, penilaian
komplikasi, dan penegakan diagnosis yang akurat mengenai penyebab demensia, serta
melakukan penanganan psikologis yang sesuai untuk perawatan pasien dan keluarga
atau pengasuh.
Deteksi dan diagnosis dini penting karena beberapa penyebab penurunan fungsi
kognitif memiliki penyebab medis yang masih dapat diatasi. Untuk gangguan
neurokognitif stadium awal, perubahan gaya hidup atau pengobatan dapat
memperlambat perkembangan gangguan. Bahkan, ketika gangguan neurokognitif tidak
dapat disembuhkan, diagnosis setidaknya memberi kesempatan bagi pasien untuk
membuat keputusan selanjutnya sebelum gejalanya semakin parah.
Pasien yang harus dievaluasi terkait kemungkinan memiliki gangguan demensia
adalah pasien dengan keluhan sebagai berikut:
1. Pasien dengan keluhan gangguan kognitif/memori yang progresif, atau dengan
perilaku yang mengindikasikan demensia, baik dilaporkan oleh pasien maupun
oleh keluarga;
2. Pasien yang diduga memiliki gangguan kognitif dan perilaku saat dilakukan
pemeriksaan, walaupun pasien belum memiliki keluhan subjektif;
3. Pasien yang memiliki risiko tinggi demensia (adanya riwayat keluarga dengan
demensia).
Asesmen
Asesmen gejala demensia dapat dilakukan melalui:
1. Wawancara klinis, yaitu melakukan autoanamnesis kepada pasien dengan dugaan
demensia jika memungkinkan dan alloanamnesis pada keluarga atau pengasuh
untuk menggali data atau informasi tentang riwayat penyakit yang meliputi onset
gejala kognitif, perjalanan penyakit, pola gangguan kognisi, perilaku, psikologis,
dan sosial serta dampak dari gejala tersebut pada kehidupan sehari-hari
berdasarkan kriteria diagnosis DSM-5;
2. Observasi klinis, yaitu melakukan pengamatan perilaku spesifik secara langsung
saat melakukan pemeriksaan terhadap pasien. Observasi juga dapat dilakukan
dengan menggunakan metode daftar periksa untuk menentukan indikator perilaku
pasien yang diberikan kepada keluarga atau pengasuh;
345
Gangguan Neurokognitif Mayor (Demensia)
3. Tes psikologi.
Tidak semua skala dan/atau instrumen asesmen yang akan disebutkan di
bawah ini telah diadaptasi dengan pengujian validitas dan reliabilitas dalam
konteks Indonesia. Namun demikian, instrumen-instrumen berikut umum
digunakan untuk asesmen gejala-gejala demensia sehingga penggunaan skala-
skala tersebut tetap direkomendasikan. Untuk skrining kepada pasien dapat
dilakukan dengan:
a. Tes Kognitif
Pemeriksaan kognitif dan neuropsikologis dapat membantu menentukan
jenis gangguan kognitif, mengukur tingkat keparahan gangguan, dan
membantu penegakan diagnosis. Namun, pemeriksaan ini tidak membantu
dalam menentukan prognosis atau perjalanan gangguan.
Terdapat banyak tes fungsi kognitif singkat terstruktur yang dapat
digunakan untuk mengukur gangguan kognisi dan telah teruji divaliditas dan
reliabilitasnya, seperti:
i. Mini Mental State Examination (MMSE)
MMSE merupakan salah satu instrumen skrining yang paling
umum digunakan untuk pemeriksaan disfungsi kognitif dan menentukan
tingkat defisit kognitif pasien. Pemeriksaan menggunakan MMSE
memerlukan waktu sekitar 5-10 menit. Skor maksimal MMSE adalah 30
sebagai skor normal. Skor 21–26 adalah defisit kognitif ringan, skor 15–
20 adalah defisit kognitif sedang, skor 10-14 adalah defisit kognitif
sedang-berat, dan skor 0-9 adalah defisit kognitif berat.
Skor MMSE dan nilai cut-off dipengaruhi tingkat pendidikan, usia
dan etnis. MMSE memiliki cut-off 27, sensitivitas 90%, spesifisitas 90%,
dan positive predictive value (PPV) 80% dalam mendiagnosis demensia.
Nilai luas area di bawah kurva (area under the curve) receiver operating
characteristic (AUC-ROC) MMSE berkisar antara 0.9 – 1.0,
mengindikasikan akurasi yang baik dalam mengidentifikasi demensia
pada populasi dengan beragam usia dan tingkat pendidikan. Namun,
MMSE hanyalah instrumen skrining awal. Skor yang tinggi
menunjukkan perlunya evaluasi tambahan dan tindak lanjut.
ii. Tes Menggambar Jam (Clock Drawing Test / CDT)
CDT merupakan instrumen skrining demensia yang dapat
diandalkan, tetapi dipengaruhi usia, jenis kelamin, dan tingkat
346
pendidikan. Tes ini dilakukan dengan cara menggambar mengikuti
perintah atau meniru gambar yang ada. Kedua cara ini menunjukkan nilai
AUC-ROC yang tinggi, yaitu masing-masing 84% dan 85%. Tes ini
memiliki akurasi yang cukup baik dalam membedakan demensia
frontotemporal (DFT) dari demensia Alzheimer (DA) dan pasien normal,
yakni dapat mengidentifikasi 88,9% kasus DFT dan 76% kasus DA
dengan prediksi akurasi 83,6%.
iii. Montreal Cognitive Assessment (MoCA)
MoCA merupakan instrumen lebih baru (Nasreddine dkk, 2005)
yang dikembangkan untuk mengevaluasi hendaya kognitif ringan (mild
cognitive impairment/MCI), meliputi orientasi, memori, perhatian,
bahasa (penamaan), fungsi eksekutif, dan fungsi visuospasial. MoCA
lebih sensitif dalam mendeteksi pasien dengan hendaya kognitif ringan
(MCI) dibandingkan dengan MMSE (sensitivitas 18% untuk MMSE
dibanding 90% untuk MoCA) dan demensia Alzheimer ringan
(sensitivitas 78% untuk MMSE dibanding 100% untuk MoCA).
Spesifisitas 100% untuk MMSE dan 87% untuk MoCA (Nasreddine dkk,
2005). MoCA juga cukup sensitif untuk mendeteksi MCI pada pasien
dengan penyakit Parkinson.
MoCA memiliki sejumlah keunggulan sebagai tes skrining untuk
memori dan demensia. Pertama, tes dan instruksi tersedia secara gratis di
situs web, www.mocatest.org. Kedua, memiliki instruksi dan penilaian
yang jelas. Ketiga, telah diterjemahkan lebih dari 45 bahasa. Keempat,
mencakup berbagai domain kognitif. Keterbatasan utamanya adalah
masih tergolong baru dan data normatif masih terbatas.
b. Tes gangguan perilaku dan psikologis
Perubahan perilaku sering terjadi pada sebagian besar pasien demensia
seiring dengan perjalanan penyakitnya. Gejala perilaku dan psikologis
demensia (behaviour and psychological symptoms in dementia / BPSD) atau
gejala neuropsikiatrik seperti depresi, kecemasan, agitasi, paranoid, halusinasi
dan gangguan tidur terdapat pada 90% pasien demensia Alzheimer.
i. Neuropsychiatric Inventory (NPI)
Salah satu skala yang sering digunakan untuk Gangguan
Neurokognitif Mayor adalah Neuropsychiatric Inventory (NPI).
Keluarga atau pengasuh diberikan pertanyaan tentang 10 kemungkinan
gangguan psikologis (misalnya, delusi, kecemasan, agitasi, disinhibisi,
disforia). NPI dapat membantu membedakan antara gangguan
347
Gangguan Neurokognitif Mayor (Demensia)
348
Diagnosis
DSM-5 menggunakan istilah gangguan neurokognitif (Neurocognitive
Disorder/NCD) dengan dua derajat keparahan, yaitu gangguan neurokognitif mayor
dan gangguan neurokognitif ringan. Demensia sebagai gangguan neurokognitif
mayor dapat dilihat pada tabel 3.24.1.
Tabel 3.24.1
Kriteria Diagnosis Gangguan Neurokognitif Mayor Berdasarkan DSM-5
Kriteria Diagnosis Ada Tidak
A. Adanya bukti penurunan fungsi kognitif yang
signifikan dibandingkan fungsi kognitif
sebelumnya. Penurunan ini terjadi pada satu atau
lebih area kognitif (atensi kompleks, fungsi
eksekusi, kemampuan belajar, ingatan, bahasa,
persepsi motorik, dan sosial).
B. Defisit kognitif mengganggu kemandirian
aktivitas sehari-hari (misalnya, membayar tagihan
atau mengelola pengobatan) sehingga pasien
membutuhkan bantuan.
C. Defisit kognitif tidak hanya terjadi pada saat pasien
mengalami delirium.
D. Defisit kognitif tidak disebabkan oleh gangguan
mental lainnya (misalnya gangguan depresi mayor,
skizofrenia).
Diagnosis Banding
1. Delirium
2. Mild Cognitive Impairment (MCI)
3. Gangguan depresi mayor
349
Gangguan Neurokognitif Mayor (Demensia)
Komorbiditas
1. Delirium
2. Gangguan depresi mayor
3. Geriatri
4. Vascular
5. Intervensi Psikologis
Intervensi Psikologis
Gejala perubahan emosi, motivasi, perilaku dan sosial pada pasien dengan
demensia merupakan sumber distres yang signifikan baik bagi pasien maupun keluarga
atau pengasuh. Tujuan dari intervensi psikologis adalah untuk meningkatkan kualitas
hidup keduanya dan menjadi pelengkap penting dalam pengobatan medis, terutama
pada tahap awal demensia karena penyakit Alzheimer atau demensia Vaskuler.
Psikoterapi diharapkan dapat meningkatkan keterampilan koping stres, yang
selanjutnya diharapkan dapat meningkatkan partisipasi dalam layanan rehabilitasi dan
lainnya.
Penurunan stres berbasis mindfulnes telah terbukti mengurangi atrofi otak dan
memiliki dampak positif pada area otak yang paling terkait dengan penyakit Alzheimer
dan gangguan kognitif ringan.
1. Penurunan Stres Berbasis Mindfulness (MBSR) dan Terapi Kognitif Berbasis
Mindfulness (MBCT)
Praktik meditasi mindfulness telah banyak digunakan dalam praktik
psikologi, terutama untuk menurunkan stres. MBCT juga sering digunakan untuk
mengobati nyeri, depresi, kecemasan, dan penyakit lainnya. Penelitian terbaru
menunjukkan bahwa terdapat dampak positif dari latihan meditasi mindfulness
pada otak. Hasil penelitian menunjukkan bahwa praktik kesadaran dapat
mengubah fungsi otak (Marchand, 2014).
2. Teknik meditasi
Teknik meditasi mudah diajarkan, dan relatif sederhana untuk dipraktikkan.
Hasil penelitian menunjukkan efek positif meditasi dalam peningkatan kognisi
dan memori, kefasihan verbal, dan fleksibilitas kognitif pada orang dengan
gangguan neurokognitif ringan (Marciniak dkk, 2014; Newberg dkk, 2014). Pada
kasus penurunan kognitif akibat dari stres, meditasi dapat mengurangi stres,
meningkatkan fungsi kognisi, dan meningkatkan perasaan sejahtera. Teknik ini
350
juga bersifat non-invasif, berbiaya rendah, dan memiliki efek samping yang
terbatas.
3. Terapi musik
Terapi musik sudah banyak digunakan untuk pengobatan berbagai gangguan
mental. Bagi para pasien dengan demensia, terapi musik selain menenangkan juga
memberikan pengalaman yang menyenangkan melalui kegiatan yang
memungkinkan pasien mendengarkan, menyanyi, dan berpartisipasi memainkan
instrumen. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa musik dapat
mengurangi perilaku gelisah. Musik latar juga dapat mengurangi perilaku agresi
dan agitasi pasien.
4. Terapi kenangan (Reminiscence)
Terapi kenangan dapat dipertimbangkan untuk pasien dengan demensia yang
mengalami gangguan perilaku dan psikologis. Terapi ini melibatkan diskusi
tentang kegiatan, peristiwa, dan pengalaman masa lalu bersama orang lain atau
sekelompok orang. Pada terapi ini, sering juga digunakan alat bantu berupa video,
gambar, arsip, dan buku kisah hidup. Penelitian menunjukkan peningkatan fungsi
kognitif dan suasana perasaan pasien setelah beberapa minggu terapi.
Prognosis
Catatan Lain
351
Gangguan Neurokognitif Mayor (Demensia)
352
Referensi
353
Gangguan Neurokognitif Mayor (Demensia)
354
25. Gangguan Kepribadian Ambang
Manifestasi Klinis
355
Gangguan Kepribadian Ambang
Identifikasi
Ketika pasien datang ke fasilitas pelayanan kesehatan dengan riwayat menyakiti
diri sendiri secara berulang dan menunjukkan perilaku berisiko atau adanya
ketidakstabilan emosi, pertimbangkan untuk melakukan asesmen terkait adanya
kemungkinan gangguan kepribadian ambang.
Asesmen
Ketika melakukan asesmen terhadap pasien yang terduga memiliki tipe
kepribadian ambang, maka pastikan untuk melakukan pemeriksaan terkait:
1. Keberfungsian psikososial dan okupasional, strategi koping, potensi atau
kelebihan, dan juga kerentanan yang dimiliki;
2. Komorbiditas gangguan jiwa lain dan permasalahan sosial;
3. Kebutuhan untuk mendapatkan layanan psikologis, dukungan sosial, serta
rehabilitasi vokasional;
4. Keberadaan anak di bawah pengasuhan pasien dengan gangguan kepribadian
ambang.
Asesmen mengenai risiko yang mungkin terjadi harus dilakukan dengan:
1. Membedakan antara risiko jangka panjang dan jangka menengah;
2. Mengidentifikasi risiko yang membahayakan baik diri sendiri maupun orang lain,
termasuk kesejahteraan anak yang berada di bawah pengasuhan pasien dengan
gangguan kepribadian ambang.
356
Gangguan Kepribadian Ambang
358
Gangguan Kepribadian Ambang
Tabel 3.25.2
Kriteria Diagnosis Umum Untuk Gangguan Kepribadian
Kriteria Diagnostik Ada Tidak
A. Pola pengalaman batin dan perilaku yang
menetap dan secara jelas menyimpang dari
yang diharapkan oleh budaya setempat. Pola
ini termanifestasi dalam dua (atau lebih) area
berikut:
i. Kognisi: Cara memandang dan
menilai diri, orang lain, atau
peristiwa;
ii. Afek: Termasuk rentang, intensitas,
kelabilan, dan kesesuaian respons
emosional;
iii. Fungsi interpersonal;
iv. Kendali impuls.
B. Pola yang menetap tersebut bersifat kaku
dan pervasif, terjadi pada berbagai situasi
personal dan sosial.
C. Pola yang menetap tersebut menyebabkan
distres atau hendaya yang bermakna secara
klinis di bidang sosial, okupasional, atau
bidang fungsi hidup lainnya.
D. Pola tersebut bersifat stabil dan berlangsung
lama, dan awal kemunculannya (onset) dapat
ditelusuri setidaknya sejak masa remaja atau
dewasa awal.
E. Pola yang menetap tersebut bukan
merupakan manifestasi atau konsekuensi
dari gangguan mental lainnya.
F. Pola yang menetap tersebut tidak sebabkan
oleh efek fisiologis dari suatu zat (misalnya,
penyalahgunaan obat, medikasi) atau kondisi
medis lainnya.
PPDGJ-III memiliki istilah terkait gangguan ini yang disebut sebagai gangguan
kepribadian emosional tak stabil (F 60.3) yang masuk ke dalam golongan gangguan
359
Gangguan Kepribadian Ambang
Diagnosis Banding
360
Gangguan Kepribadian Ambang
Komorbiditas
1. Depresi;
2. Skizofrenia;
3. Gangguan identitas disosiatif.
Intervensi Psikologi
Bagian ini akan membahas penanganan untuk pasien dengan gangguan kepribadian
ambang secara menyeluruh. Tujuannya adalah agar psikolog klinis dapat menjawab dan
membantu mengatur penanganan pasien dengan gangguan kepribadian ambang agar
mendapatkan penanganan yang maksimal.
1. Prinsip umum dalam menangani pasien dengan gangguan kepribadian ambang
a. Akses terhadap layanan
i. Pasien dengan gangguan kepribadian ambang tidak boleh diasingkan
dari segala layanan kesehatan atau sosial hanya karena terdiagnosis
gangguan kepribadian ambang atau memiliki riwayat melukai diri.
ii. Pastikan bahwa pasien dengan gangguan kepribadian ambang yang
berasal dari kelompok etnik minoritas, memiliki akses yang sama
dengan kelompok lainnya.
iii. Ketersediaan informasi yang dibuat dalam bahasa pasien dan dalam
format yang mudah diakses.
b. Gangguan kepribadian ambang dan disabilitas belajar
i. Lakukanlah evaluasi dan diagnosis terhadap pasien dengan disabilitas
belajar ringan yang memperlihatkan gejala gangguan kepribadian
ambang sambil berkonsultasi dengan spesialis layanan disabilitas
belajar.
ii. Ketika pasien dengan disabilitas belajar ringan memiliki diagnosis
gangguan kepribadian ambang, pasien harus memiliki akses pada
layanan yang sama sebagaimana yang dimiliki pasien dengan gangguan
kepribadian ambang.
iii. Pasien dengan disabilitas belajar sedang sampai berat tidak seharusnya
didiagnosis dengan gangguan kepribadian ambang. Jika mereka
memperlihatkan perilaku dan gejala yang mengindikasikan gangguan
kepribadian ambang, segera rujuk pasien ke spesialis layanan
disabilitas belajar untuk dilakukannya evaluasi dan penanganan.
361
Gangguan Kepribadian Ambang
iii. Jelaskan tentang diagnosis serta penggunaan dan arti dari istilah
gangguan kepribadian ambang.
iv. Tawarkan dukungan pascaevaluasi jika masalah sensitif, terutama
seperti trauma masa kecil, telah diperbincangkan.
g. Menangani penghentian layanan dan memberikan dukungan selama masa
transisi.
Psikolog klinis perlu mengantisipasi bahwa penghentian layanan atau
adanya transisi dari suatu layanan ke layanan lainnya atau proses rujukan
dapat memicu timbulnya emosi dan reaksi yang kuat pada pasien dengan
gangguan kepribadian ambang. Pastikan bahwa:
i. Perubahan tersebut sudah terlebih dahulu didiskusikan, disusun dan
dijadwalkan secara bertahap dengan pasien (jika memungkinkan, juga
bersama keluarga atau pengasuhnya);
ii. Rencana penanganan tersebut mendukung jalannya kerja sama yang
efektif dengan penyedia penanganan lainnya dalam penghentian dan
transisi penanganan juga, serta mencakup peluang dalam menggunakan
layanan di saat krisis;
iii. Ketika merujuk pasien untuk evaluasi yang dilakukan di layanan lain
(termasuk penanganan secara psikologis), pastikan bahwa mereka
mendapatkan dukungan selama periode rujukan dan pemberian
dukungan tersebut telah terlebih dahulu disetujui oleh pasien.
2. Pengenalan dan penanganan dalam layanan primer
a. Mengenali gangguan kepribadian ambang
Jika pasien yang dirawat di layanan primer telah beberapa kali melukai
dirinya, memperlihatkan perilaku berisiko yang persisten, atau menunjukkan
ketidakstabilan emosi, pertimbangkan untuk melakukan asesmen terkait
kemungkinan adanya gangguan kepribadian ambang.
b. Menangani krisis di layanan primer
Ketika pasien yang telah didiagnosis gangguan kepribadian ambang
diserahkan kep layanan primer dalam keadaan krisis:
i. Lakukan evaluasi mengenai tingkat risiko yang dimiliki pasien untuk
dirinya sendiri atau orang lain;
ii. Tanyakan mengenai episode sebelumnya dan strategi penanganan
efektif yang pernah dilakukan;
iii. Bantu menenangkan kegelisahan pasien dengan cara meningkatkan
kemampuan koping pasien serta membantunya untuk berfokus pada
masalah yang ada pada saat ini;
363
Gangguan Kepribadian Ambang
iv. Tawarkan pembuatan jadwal pertemuan setelah krisis pada waktu yang
telah disetujui.
3. Evaluasi dan penanganan dari psikolog klinis di layanan sekunder
a. Evaluasi
Psikolog klinis di layanan sekunder harus bertanggung jawab atas
evaluasi, penanganan, dan manajemen pasien dengan gangguan kepribadian
ambang secara rutin. Dalam mengevaluasi pasien yang berpotensi memiliki
gangguan kepribadian ambang di layanan kesehatan jiwa komunitas,
lakukanlah evaluasi penuh pada:
i. Fungsi psikososial dan okupasional, strategi koping, serta kelebihan
dan kekurangan yang dimiliki pasien;
ii. Gangguan dan permasalahan sosial yang bersifat komorbid;
iii. Kebutuhan dalam penanganan psikologis, dukungan dan layanan sosial,
serta rehabilitasi atau perkembangan secara okupasional;
iv. Kebutuhan yang dimiliki anak yang masih di bawah supervisi orang tua.
b. Rencana Penanganan
Kelompok profesional yang menangani pasien dengan gangguan
kepribadian ambang harus mengembangkan rencana penanganan
multidisiplin yang komprehensif dengan berkolaborasi dengan pasien serta
keluarga atau pengasuhnya, yang telah mendapat persetujuan dari pasien.
Rencana penanganan tersebut harus:
i. Secara jelas menjabarkan peranan dan pertanggungjawaban dari semua
pekerja sosial dan kesehatan profesional yang terlibat;
ii. Menjabarkan tujuan dari penanganan jangka pendek yang dapat
ditangani serta penjelasan spesifik mengenai langkah-langkah yang
harus diambil oleh pasien dan orang lain untuk mencapainya;
iii. Menganalisis tujuan jangka panjang yang ingin dicapai pasien,
termasuk tujuan yang berkaitan dengan pekerjaan dan okupasi, sebagai
dasar untuk keseluruhan strategi penanganan jangka panjang; tujuan ini
harus realistis dan berhubungan dengan tujuan dari penanganan jangka
pendek;
iv. Mengembangkan rencana penanganan krisis yang mengidentifikasi
potensi pemicu terjadinya krisis, dengan berfokus pada strategi
penanganan diri yang kemungkinan akan efektif dan penetapan cara
mengakses layanan (termasuk daftar nomor telepon bantuan dari tim
penyedia layanan dan tim penanganan krisis yang dapat dihubungi di
luar jam kerja) ketika strategi penanganan diri seorang dirasa tidak
cukup;
364
Gangguan Kepribadian Ambang
365
Gangguan Kepribadian Ambang
Prognosis
Catatan Lain
368
Gangguan Kepribadian Ambang
369
Gangguan Kepribadian Ambang
Referensi
370
26. Gangguan Mental Terkait Usia Lanjut (Geriatri)
Pada laman WHO (World Health Organization, 2018) tentang usia lanjut,
didapatkan keterangan bahwa antara tahun 2015 and tahun 2050, proporsi orang tua
berusia 60 atau 65 tahun ke atas diproyeksikan akan bertambah 2 (dua kali) lipat.
Bahkan, pada tahun 2020 saja, jumlah kelompok usia lanjut tersebut diestimasi akan
melebihi total jumlah anak-anak yang berusia 5 tahun. Sebanyak 80 persen individu
usia lanjut hidup di negara-negara yang tergolong berpendapatan rendah atau
menengah.
Dengan kondisi ini, WHO mengingatkan seluruh negara untuk segera
mengantisipasi hal tersebut dengan cara memodifikasi atau menyesuaikan sistem
kesehatannya agar dapat menangani ‘ledakan’ populasi usia lanjut ini dengan seksama.
Pertambahan jumlah kelompok usia lanjut yang makin lama makin cepat ini juga
sejalan dengan kemungkinan bertambahnya pula gangguan atau masalah kesehatan jiwa
pada populasi tersebut.
Infodatin (Pusat Data dan Informasi) Kementerian Kesehatan pada tahun 2019
(Budijanto, 2019) melaporkan prevalensi depresi yang ternyata juga semakin
meningkat di kalangan usia lanjut (sebagai pembanding, 6,2% pada kelompok usia 15-
24 tahun, kemudian diikuti tren menurun sampai dengan usia 45-54 tahun dan
meningkat perlahan ke angka 6.5 % pada usia 55-64 tahun, 8,0% pada usia 65-74 tahun,
dan 8.9% pada usia di atas 75 tahun. Data yang minim tentang kondisi permasalahan
kejiwaan di Indonesia pada usia lanjut membuat kami, tim penulis PNPPK ini
memandang perlu untuk memberikan perhatian lebih kepada kondisi gangguan atau
permasalahan mental pada usia lanjut. Mengacu pada Pedersen (2018) yang
berpedoman pada DSM-5, bersama ini kami berupaya untuk memberikan gambaran
tentang berbagai gangguan dan permasalahan mental/kejiwaan pada periode usia lanjut,
agar hal ini dapat menjadi salah satu fokus prioritas bagi penanganan gangguan klinis
di Indonesia.
Adapun gangguan atau permasalahan mental pada usia lanjut dapat terdiri dari:
1. Demensia;
2. Depresi geriatrik;
3. Pseudo-demensia;
4. Skizofrenia lanjut usia;
5. Pelecehan (abuse) terhadap lanjut usia;
6. Bunuh diri pada lanjut usia.
371
Gangguan Mental Terkait Usia Lanjut (Geriatri)
Manifestasi Klinis
372
Gangguan Mental Terkait Usia Lanjut (Geriatri)
373
Gangguan Mental Terkait Usia Lanjut (Geriatri)
Kumpulkan informasi dan jagalah komunikasi terbuka dengan cara yang tidak
menilai (judgemental). Jangan menggurui atau menawarkan saran yang terlalu langsung
dalam situasi ini.
Dalam asesmen, Mini Mental State Examination atau Suicidal Behaviors
Questionnaire- Revised (SBQ-R) dapat digunakan. Perlu diperhatikan bahwa hingga
saat panduan ini dibuat, belum ada SBQ-R versi Bahasa Indonesia yang telah melalui
proses validasi (uji reliabilitas dan validitas) yang mumpuni, sehingga pertimbangan
psikolog klinis dibutuhkan dalam penggunaannya.
Selain itu, perhatikan pula tanda-tanda lain yang sudah dijelaskan dalam PNPPK
ini, terutama terkait dengan Gangguan Depresi Mayor (subbab 3.14), kecemasan
(subbab 3.16 dan 3.18), serta Gangguan Mental Organis (Demensia) (subbab 3.24).
Pertimbangkan kemungkinan munculnya gejala-gejala yang dijabarkan dalam subbab-
subbab tersebut, termasuk faktor pemicu dan faktor penguat dari gejala-gejala tersebut.
Berkoordinasi dengan pejabat setempat mulai dari RT/RW, terutama Kelurahan
dan Kecamatan, serta Puskesmas terdekat bila mendapati kondisi-kondisi dengan
manifestasi klinis di atas, dan/atau disertai pelecehan/pengabaian.
Intervensi Psikologis
375
Gangguan Mental Terkait Usia Lanjut (Geriatri)
376
Gangguan Mental Terkait Usia Lanjut (Geriatri)
Referensi
377
Gangguan Mental Terkait Usia Lanjut (Geriatri)
LAMPIRAN
RAHASIA
LAMPIRAN
378
RAHASIA
LEMBAR PERSETUJUAN
Berkaitan dengan layanan psikologi klinis yang diberikan oleh psikolog klinis:
Nama : Nama psikolog klinis
STR : No STR
SIPPK : No SIPPK
kepada:
Nama : Nama pasien
Tanggal lahir :
KTP :
Alamat :
Pasien akan mendapatkan layanan psikologis berupa:
1. Pemeriksaan psikologi klinis, berupa pengambilan data melalui wawancara,
observasi, maupun tes psikologi yang diperlukan kepada pasien dan/atau keluarga
pasien
2. Penanganan / intervensi psikologi klinis, berupa psikoedukasi, konseling,
psikoterapi yang diperlukan
Melalui proses di atas, akan diperoleh informasi mengenai kondisi psikologis dan tindak
lanjut penanganan yang perlu diperoleh pasien. Selama proses layanan psikologi klinis
berlangsung, maka terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan, yaitu:
a. Segala data akan dijaga kerahasiaannya, baik identitas maupun informasi-informasi
yang disampaikan
b. Jika selama proses berlangsung terdapat permasalahan, maka hal tersebut akan
diselesaikan oleh kedua belah pihak (psikolog klinis dan pasien) dengan cara
kekeluargaan
c. Jika salah satu pihak, baik psikolog klinis maupun pasien merasa perlu mengakhiri
proses layanan psikologis yang berlangsung, maka proses dapat dihentikan dengan
pemberitahuan dan kesepakatan bersama
Dengan menandatangani lembar persetujuan ini, kedua belah pihak telah menyetujui
penjelasan di atas dan sepakat menjalani proses tersebut. Persetujuan ini dibuat dengan
penuh kesadaran dan tanpa paksaan dari pihak manapun untuk digunakan sebagaimana
mestinya.
Menyetujui,
Kota, tanggal bulan tahun
RILIS INFORMASI
Saya, nama pasien memberi kewenangan kepada nama psikolog klinis untuk
menghubungi dokter saya nama dokter terkait janji temu yang dibuat untuk tindak lanjut
perawatan saya, termasuk informasi terkait fungsi psikologis saya.
Mengetahui,
Kota, tanggal bulan tahun
A. IDENTITAS
IDENTITAS DIRI
Nama lengkap pasien :
Nama panggilan pasien :
Tempat tanggal lahir / Usia : / tahun
Jenis kelamin :
Pendidikan :
Pekerjaan :
Status perkawinan :
Nama perujuk :
Hubungan perujuk dengan pasien :
Alamat lengkap :
Kontak keluarga (No. HP) :
IDENTITAS KELUARGA
Nama Usia Jenis Posisi Keterangan
kelamin
Di bagian ini Di bagian ini dapat
dituliskan dituliskan kondisi
hubungan hidup / meninggal,
dengan status perkawinan,
pasien, tinggal di luar kota,
seperti ayah, dsb
ibu, saudara,
anak, dsb
IDENTITAS PASANGAN
SUAMI / ISTRI Masalah / keluhan utama:
Nama :
Umur :
Pendidikan :
Pekerjaan :
Agama :
Anak ke- : dari bersaudara Diagnosis:
Perkawinan : ke dari tahun 1.
Alamat : 2.
No. telp/HP : 3.
381 4.
Keterangan :
RAHASIA
B. KELUHAN
Permasalahan yang muncul (beri tanda √ pada keterangan yang sesuai)
□ Depresi □ Kecemasan □ Merasa tidak ada
□ Menangis □ Ketakutan / fobia harapan / tidak berdaya
□ Gangguan tidur □ Gemetaran □ Marah/frustrasi
□ Gangguan nafsu makan □ Jantung berdetak cepat □ Depersonalisasi
□ Kesulitan konsentrasi □ Berkeringat/merona/ □ Derealisasi
□ Permasalahan ingatan menggigil □ Pikiran-pikiran obsesif
□ Isolasi sosial □ Pusing / mual □ Perilaku kompulsif
□ Aktivitas menarik diri □ Kelelahan □ Permasalahan relasi
□ Sakit kepala □ Mudah kesal / sensitif □ Permasalahan keluarga
□ Permasalahan terkait □ Permasalahan terkait usus □ Isu kehilangan
saluran pencernaan □ Asma / alergi □ Stres
□ Ide bunuh diri □ Sangat waspada □ Sulit untuk rileks
□ Ide membunuh □ Pikiran-pikiran □ Permasalahan pekerjaan
□ Kekerasan / mengganggu □ Permasalahan legal /
penyerangan seksual □ Mania finansial
□ Gangguan makan □ Permasalahan sekolah / □ Hiperaktif
□ Melanggar aturan membolos □ Mudah kesal
□ Melanggar aturan □ Membuat orang lain □ Adu argumen
□ Mendendam jengkel □ Menggunakan napza
□ Menggunakan bahasa □ Minum minuman □ Lainnya_______________
cabul beralkohol berlebih
□ Permasalahan somatis □ Menyalahkan orang lain
382
RAHASIA
Masa remaja:
Masa dewasa:
383
RAHASIA
2. Observasi
Kondisi psikologis pasien secara umum
• Penampilan : □ Rapi □ Bersih □ Harum / wangi
□ Berantakan □ Dekil □ Lainnya ________
• Ekspresi
: □ Gelisah □ Tegang □ Bingung
wajah
□ Santai □ Tidak selaras □ Lainnya
• Perasaan / : □ Normal □ Depresi □ Manik
suasana hati □ Marah □ Frustrasi □ Cemas
□ Antusias □ Lainnya....
• Tingkah laku : □ Kompulsif □ Menarik diri □ Berbohong
□ Dependen pada □ Membiarkan diri □ Mencuri
orang lain dimanfaatkan □ Menggunakan
□ Reaktif oleh orang lain napza
□ Menghindar □ Memegang □ Menyakiti diri
□ Hiperaktif kendali □ Lainnya
• Fungsi umum : □ Normal □ Abnormal, _______________________
• Fungsi
: □ Di atas rata-rata □ Rata-rata □ Di bawah rata-rata
intelektual
• Pengalaman □ Hambatan relasi □ Membolos □ Perasaan
kerja dengan atasan □ Hambatan relasi negatif pada
:
□ Performa kerja dengan rekan pekerjaan
bermasalah kerja □ Lainnya ________
• Lain-lain : ____________________________________________________
384
RAHASIA
3. Tes Psikologi
Pelaksanaan Tes
Rencana Tes Hasil
Tes Psikologi Waktu Tester
D. DINAMIKA PSIKOLOGIS
385
RAHASIA
G. PROGNOSIS
H. RENCANA TRITMEN
□ Psikoterapi singkat □ Evaluasi medikasi dengan dokter layanan
□ Psikoterapi suportif primer
□ Menurunkan gejala-gejala □ Rujukan medis
□ Menstabilkan kondisi □ Meningkatkan keterampilan koping
□ Restrukturisasi kognitif □ Mengoptimalkan sumber daya yang
□ Kelompok khusus dimiliki
□ Layanan perlindungan anak □ Melatihkan keterampilan sosial
□ Program dukungan kelompok/keluarga □ Resolusi konflik/penyelesaian masalah
□ Penanganan ketergantungan zat □ Manajemen stres
□ Meningkatkan harga diri □ Modifikasi perilaku
□ Konseling orangtua □ Manajemen nyeri
□ Resolusi kedukaan □ Kewaspadaan terhadap bunuh diri
□ Program rawat inap / program rawat □ Kewaspadaan terhadap hukum/legal
inap parsial □ Lainnya
I. CATATAN TAMBAHAN
___________________________ ___________________________________ _________________
___________________________ ___________________________________ _________________
___________________________ ____________________________________________________
___________________________ ___________________________________ _________________
___________________________ ___________________________________ _________________
___________________________ ____________________________________________________
[Tanda Tangan]
387
RAHASIA
A. IDENTITAS
IDENTITAS ANAK
Nama lengkap :
Nama panggilan :
Jenis kelamin :
Tempat tanggal lahir :
Usia :
Pendidikan : (Foto Anak)
Agama :
Suku :
Alamat :
Urutan kelahiran : dari bersaudara
Keterangan : Kandung / Angkat / Tiri
IDENTITAS SAUDARA
No. Nama Jenis Kelamin Usia Pekerjaan / Sekolah
IDENTITAS ORANGTUA
AYAH IBU
Nama : Nama :
Umur : Umur :
Pendidikan : Pendidikan :
Pekerjaan : Pekerjaan :
Agama : Agama :
Anak ke- : dari bersaudara Anak ke- : dari bersaudara
Perkawinan : ke dari tahun Perkawinan : ke dari tahun
Alamat : Alamat :
No. telp/HP : No. telp/HP :
Keterangan : Keterangan
388 :
RAHASIA
B. KELUHAN
Permasalahan yang muncul (beri tanda √ pada keterangan yang sesuai)
□ Sangat sedih □ Impulsif □ Memicu kebakaran
□ Mudah kesal □ Keras kepala □ Mencuri
□ Ledakan kemarahan □ Menentang □ Berbohong
□ Menarik diri □ Kekurang matangan □ Permasalahan seksual
□ Melamun □ Kejam □ Performa akademik
□ Ketakutan □ Destruktif □ Membolos
□ Ceroboh □ Bermasalah dengan □ Mengompol
□ Terlalu aktif hukum □ BAB di celana
□ Lambat □ Kabur □ Permasalahan makan
□ Rentang atensi pendek □ Menyakiti diri □ Permasalahan tidur
□ Mudah terdistraksi □ Membenturkan kepala □ Sakit-sakitan
□ Kurang inisiatif □ Banyak bergerak □ Konsumsi zat adiktif
□ Tidak dapat diandalkan □ Malu □ Minum minuman
□ Konflik sebaya □ Perilaku aneh alkohol
□ Fobia □ Pikiran-pikiran aneh □ Ide bunuh diri
389
RAHASIA
Riwayat Kesehatan
Beri tanda √ pada semua permasalahan kesehatan yang pernah dialami atau
sedang dialami anak.
Usia Usia
□ Demam tinggi ____ □ Permasalahan terkait gigi ____
□ Pneumonia ____ □ Permasalahan berat badan ____
□ Flu ____ □ Alergi ____
□ Ensefalitis ____ □ Permasalahan kulit ____
□ Meningitis ____ □ Asma ____
□ Kejang ____ □ Sakit kepala ____
□ Tidak sadarkan diri ____ □ Permasalahan terkait perut ____
□ Gegar otak ____ □ Rawan kecelakaan ____
□ Pingsan ____ □ Anemia ____
□ Pusing ____ □ Tekanan darah tinggi/rendah ____
□ Permasalahan terkait □ Permasalahan terkait sinus ____
amandel ____ □ Permasalahan jantung ____
□ Permasalahan pengelihatan ____ □ Hiperaktif ____
□ Permasalahan pendengaran ____ □ Penyakit lain (jelaskan) ____
Riwayat Perkembangan
Masa kehamilan: Diinginkan □ Ya □ Tidak; Direncanakan □ Ya □ Tidak
Proses kehamilan normal: □ Ya □ Tidak
Jika ibu sakit atau tertekan selama masa kehamilan, jelaskan:
________________________________________________________________
________________________________________________________________
________________________________________________________________
Lama kehamilan:
390
RAHASIA
Masa kelahiran
Lama proses melahirkan:
Jika prematur, seberapa cepat:
Jika terlambat, berapa lama:
Proses melahirkan: □ Spontan □ Caesar
Tahap Perkembangan
Tuliskan usia dimana anak mencapai tahapan perkembangan berikut:
- Duduk :
- Merangkak :
- Berjalan :
- Bicara 1 kata :
- Bicara dengan kalimat-kalimat :
- Latihan BAK pada tempatnya :
- Latihan BAB pada tempatnya :
Kebiasaan-kebiasaan anak:
________________________________________________________________
________________________________________________________________
________________________________________________________________
Sekolah Dasar
Sekolah
Menengah
Pertama
Sekolah
Menengah Atas
391
RAHASIA
Apa anak mengikuti program akselerasi? (Jika YA, kapan dan berapa lama?)
__________________________________________________________________
Apa anak pernah tinggal kelas? (Jika YA, kapan dan berapa lama?)
__________________________________________________________________
2. Observasi
3. Tes Psikologi
Pelaksanaan Tes
Rencana Tes Hasil
Tes Psikologi Waktu Tester
392
RAHASIA
J. DINAMIKA PSIKOLOGIS
M. PROGNOSIS
393
RAHASIA
N. RENCANA TRITMEN
□ Psikoterapi singkat □ Evaluasi medikasi dengan dokter layanan
□ Psikoterapi suportif primer
□ Menurunkan gejala-gejala □ Rujukan medis
□ Menstabilkan kondisi □ Meningkatkan keterampilan koping
□ Restrukturisasi kognitif □ Mengoptimalkan sumber daya yang
□ Kelompok khusus dimiliki
□ Layanan perlindungan anak □ Melatihkan keterampilan sosial
□ Program dukungan kelompok/keluarga □ Resolusi konflik/penyelesaian masalah
□ Penanganan ketergantungan zat □ Manajemen stres
□ Meningkatkan harga diri □ Modifikasi perilaku
□ Konseling orangtua □ Manajemen nyeri
□ Resolusi kedukaan □ Kewaspadaan terhadap bunuh diri
□ Program rawat inap / program rawat □ Kewaspadaan terhadap hukum/legal
inap parsial □ Lainnya
O. CATATAN TAMBAHAN
___________________________ ___________________________________ _________________
___________________________ ___________________________________ _________________
___________________________ ____________________________________________________
___________________________ ___________________________________ _________________
___________________________ ___________________________________ _________________
___________________________ ____________________________________________________
[Tanda Tangan]
394
RAHASIA
A. IDENTITAS
IDENTITAS DIRI
Nama pasien : Nama lengkap pasien (nama panggilan)
Tempat tanggal lahir / Usia : / tahun
Jenis kelamin :
Agama :
Suku :
Pendidikan :
Pekerjaan :
Status perkawinan :
Hobi / kegemaran :
Alamat lengkap :
Kontak yang bisa dihubungi :
IDENTITAS ANAK
Anak ke- Nama Jenis Kelamin Usia K/A/T * Pekerjaan / Sekolah
Kandung
Angkat
Tiri
395
RAHASIA
B. KELUHAN / PERMASALAHAN
Permasalahan utama dalam pernikahan:
Sudah berapa lama permasalahan ini terjadi? (dalam hitungan minggu, bulan, tahun)
C. HARAPAN
Harapan terhadap pernikahan:
396
RAHASIA
2. Observasi
3. Tes Psikologi
Pelaksanaan Tes
Rencana Tes Hasil
Tes Psikologi Waktu Tester
F. DINAMIKA PSIKOLOGIS
397
RAHASIA
I. PROGNOSIS
J. RENCANA TRITMEN
□ Psikoterapi singkat □ Manajemen stress
□ Psikoterapi suportif □ Modifikasi perilaku
□ Menstabilkan kondisi □ Meningkatkan keterampilan koping
□ Restrukturisasi kognitif □ Mengoptimalkan sumber daya yang
□ Kelompok khusus dimiliki
□ Program dukungan kelompok/keluarga □ Resolusi konflik/penyelesaian masalah
□ Meningkatkan harga diri □ Resolusi kedukaan
□ Lainnya _________________________
398
Pertemuan selanjutnya: _________________________________________________
RAHASIA
K. CATATAN TAMBAHAN
___________________________ ___________________________________ _________________
___________________________ ___________________________________ _________________
___________________________ ____________________________________________________
___________________________ ___________________________________ _________________
___________________________ ___________________________________ _________________
___________________________ ____________________________________________________
[Tanda Tangan]
399
RAHASIA
A. IDENTITAS
IDENTITAS DIRI
Nama pasien : Nama lengkap pasien (nama panggilan)
Tempat tanggal lahir / Usia : / tahun
Jenis kelamin :
Agama :
Suku :
Pendidikan :
Pekerjaan :
Status perkawinan :
Hobi / kegemaran :
Alamat lengkap :
Kontak yang bisa dihubungi :
IDENTITAS ANAK
Anak ke- Nama Jenis Kelamin Usia K/A/T * Pekerjaan / Sekolah
Kandung
Angkat
Tiri
400
RAHASIA
B. KELUHAN / PERMASALAHAN
Permasalahan utama dalam pernikahan:
Sudah berapa lama permasalahan ini terjadi? (dalam hitungan minggu, bulan, tahun)
C. HARAPAN
Harapan terhadap pernikahan:
401
RAHASIA
2. Observasi
3. Tes Psikologi
Pelaksanaan Tes
Rencana Tes Hasil
Tes Psikologi Waktu Tester
F. DINAMIKA PSIKOLOGIS
402
RAHASIA
I. PROGNOSIS
J. RENCANA TRITMEN
□ Psikoterapi singkat □ Manajemen stress
□ Psikoterapi suportif □ Modifikasi perilaku
□ Menstabilkan kondisi □ Meningkatkan keterampilan koping
□ Restrukturisasi kognitif □ Mengoptimalkan sumber daya yang
□ Kelompok khusus dimiliki
□ Program dukungan kelompok/keluarga □ Resolusi konflik/penyelesaian masalah
□ Meningkatkan harga diri □ Resolusi kedukaan
□ Lainnya _________________________
403
Pertemuan selanjutnya: _________________________________________________
RAHASIA
K. CATATAN TAMBAHAN
___________________________ ___________________________________ _________________
___________________________ ___________________________________ _________________
___________________________ ____________________________________________________
___________________________ ___________________________________ _________________
___________________________ ___________________________________ _________________
___________________________ ____________________________________________________
[Tanda Tangan]
404
RAHASIA
V. Kesimpulan
Bagian ini berisi penjelasan singkat permasalahan pasien, kesimpulan keseluruhan
hasil pemeriksaan dan diagnosis. Dapat juga dilengkapi dengan dinamika psikologis
singkat jika diperlukan, disesuaikan dengan kebutuhan dan dibuat dengan kehati-
hatian.
VI. Rekomendasi
Tuliskan rekomendasi bagi pasien dan pendamping (jika diperlukan) di bagian ini,
termasuk psikoterapi yang dibutuhkan dan koordinasi lanjutan dengan instansi lain
yang terlibat.
Demikian hasil pemeriksaan ini dibuat, agar dapat digunakan sebagaimana mestinya.
[Tanda Tangan]
V. Kesimpulan
Bagian ini berisi penjelasan singkat permasalahan pasien, kesimpulan keseluruhan
hasil pemeriksaan dan diagnosis. Dapat juga dilengkapi dengan dinamika psikologis
singkat jika diperlukan, disesuaikan dengan kebutuhan dan dibuat dengan kehati-
hatian.
VI. Rekomendasi
Tuliskan rekomendasi bagi orangtua dan pendamping (jika diperlukan) di bagian ini,
termasuk psikoterapi yang dibutuhkan dan koordinasi lanjutan dengan instansi terkait
lainnya. Selain itu, mempertimbangkan kondisi anak yang masih dalam masa
perkembangan, maka hasil pemeriksaan ini hanya berlaku selama 6 bulan dan perlu
dilakukan evaluasi selanjutnya.
406
RAHASIA
Demikian hasil pemeriksaan ini dibuat, agar dapat digunakan sebagaimana mestinya.
[Tanda Tangan]
407
RAHASIA
Rekomendasi Catatan
Misal, anak siap masuk sekolah
dasar dengan catatan
Demikian hasil pemeriksaan ini dibuat, agar dapat digunakan sebagaimana mestinya.
[Tanda Tangan]
SURAT RUJUKAN
Kepada
Yth. Prof/Dr/dr/Ts _________________________
Di tempat
Diagnosis sementara:
[Tanda Tangan]
409
RAHASIA
Nama :
Jenis kelamin :
Tanggal lahir :
Usia :
Tanggal Pemeriksaan :
Tujuan Pemeriksaan :
Alamat :
cermat
Dorongan untuk mencapai hasil terbaik
Motivasi
dalam menjalankan tugas atau
KERJA
Berprestasi
menghadapi kesulitan
Daya juang untuk bekerja di bawah
Ketahanan
tekanan dan menyelesaikan tugas
Kerja
dengan tekun
Kemampuan untuk mengambil
Pengambilan
keputusan dengan penuh keberanian
Keputusan
dan pertimbangan
Kemampuan untuk mengendalikan diri
Kematangan dan mengelola emosi di berbagai
Emosi situasi, serta bertindak dengan penuh
PENGELOLAAN EMOSI
pertimbangan
KEMATANGAN DAN
C. Psikopatologis
Psikopatologi Ada Tidak Dinamika Psikologis
Gangguan Gambaran dinamika psikologis singkat,
Kepribadian disesuaikan dengan kebutuhan dan dilakukan
Kecenderungan dengan kehati-hatian.
Neurotik
Kecenderungan
Psikotik
D. Kesimpulan
Kriteria Uraian
Sehat secara psikologis
Normal dengan masalah
Patologis
Demikian surat keterangan ini dibuat, agar dapat digunakan sebagaimana mestinya.
[Tanda Tangan]
411