Anda di halaman 1dari 429

PEDOMAN NASIONAL

PELAYANAN PSIKOLOGI KLINIS


Edisi Pertama

PNPPK - I

IKATAN PSIKOLOG KLINIS INDONESI A

Digitally signed by
Tim PNPPK IPK
Indonesia
DN: cn=Tim PNPPK
IPK Indonesia, o=IPK
Indonesia,
ou=PNPPK,
email=sekretariat@ip
kindonesia.or.id, c=ID
Date: 2021.02.01
00:53:27 +07'00'
i
PEDOMAN NASIONAL
PELAYANAN PSIKOLOGI KLINIS
Edisi Pertama

PNPPK - I

IKATAN PSIKOLOG KLINIS INDONESIA


ii
Pedoman Nasional Pelayanan Psikologi Klinis
Copyright @2021, Ikatan Psikolog Klinis Indonesia
Pertama kali diterbitkan dalam bahasa Indonesia
Oleh Penerbit IPK Indonesia, 2021
Alamat: Margoyasan PA II/470 RT 30, RW 08,
Kel. Gunungketur Kec. Pakualaman Yogyakarta 55111
Website : https://ipkindonesia.or.id/
Email : sekretariat@ipkindonesia.or.id

Kutipan yang benar untuk buku ini adalah


Ikatan Psikolog Klinis Indonesia (2021).
Pedoman Nasional Pelayanan Psikologi Klinis, Edisi Pertama.
Yogyakarta, Ikatan Psikolog Klinis Indonesia

Pedoman Nasional Pelayanan Psikologi Klinis: PNPPK-I. — Edisi Pertama


Disiapkan oleh Tim Penyusun PNPPK dari Ikatan Psikolog Klinis.
xvi + 414 (430 hlm); 14,8 cm x 21 cm

Desain Sampul dan tata letak: Antonius Heru & RA


Ilustrasi sampul diolah berdasarkan simbol-simbol yang digunakan
Ikatan Psikolog Klinis Indonesia

Hak cipta dilindungi oleh undang-undang


Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian
atau seluruh isi buku ini tanpa ijin tertulis dari Penerbit

iii
DAFTAR ISI
SAMBUTAN KETUA IPK INDONESIA vi
SAMBUTAN KETUA KOLEGIUM PSIKOLOGI KLINIS vii
SAMBUTAN KETUA TIM PENYUSUN PNPPK viii
CATATAN EDITOR ix
SEJARAH PENYUSUNAN xi
TIM PENYUSUN xiv

BAB 1
PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG, TUJUAN, DAN DASAR HUKUM 2
Latar Belakang 2
Tujuan 3
Dasar Hukum 4
DEFINISI DAN KONSEP PSIKOLOGI KLINIS 5
RUANG LINGKUP PSIKOLOGI KLINIS 6
Sasaran 6
Aktivitas 7
Metode Penanganan/Intervensi 8
KLASIFIKASI PERMASALAHAN PSIKOLOGIS 9
DINAMIKA DAN PROSES GANGGUAN PSIKOLOGIS 12

BAB 2
PRAKTIK PSIKOLOGI KLINIS
STANDAR DAN KOMPETENSI PSIKOLOG KLINIS 17
ASESMEN PSIKOLOGIS 19
Wawancara Klinis 20
Observasi 23
Alat Tes Psikologi Terstandar 25
Integrasi Data Asesmen 27
PENEGAKAN DIAGNOSIS 29
Dinamika Psikologis 29
Diagnosis (dx) dan Diagnosis Banding (dd) 31
Manifestasi Fungsi Psikologis dan Perilaku 32
Prognosis 32
iv
Intervensi 34
Hasil Pemeriksaan Psikologi 36

BAB 3
TATA LAKSANA DAN MASALAH GANGGUAN PSIKOLOGIS
1. Disabilitas Intelektual 42
2. Gangguan Bahasa 59
3. Gangguan Bicara/Speech Sound Disorder 70
4. Gangguan Kefasihan Bicara (Gagap) Onset Masa Kanak-kanak 82
5. Gangguan Komunikasi Sosial (Pragmatis) 91
6. Gangguan Spektrum Autisme 99
7. Gangguan Pemusatan Perhatian dan/atau Hiperaktif (GPPH) 117
8. Gangguan Belajar Spesifik 133
9. Gangguan Koordinasi Perkembangan 148
10. Gangguan Gerak Stereotipik 158
11. Gangguan Tic 167
12. Psikosis dan Gangguan Skizofrenia Lainnya 178
13. Gangguan Bipolar 194
14. Gangguan Depresi 210
15. Gangguan Fobia Spesifik 231
16. Gangguan Kecemasan Sosial 240
17. Gangguan Panik 252
18. Gangguan Cemas Menyeluruh 259
19. Gangguan Obsesif Kompulsif 269
20. Gangguan Dismorfik Tubuh 282
21. Gangguan Makan 292
22. Gangguan Perilaku Menentang 319
23. Gangguan Penyalahgunaan Zat 332
24. Gangguan Neurokognitif Mayor (Demensia) 343
25. Gangguan Kepribadian Ambang 355
26. Gangguan Mental Terkait Usia Lanjut (Geriatri) 371

LAMPIRAN 378

v
SAMBUTAN
Ketua IPK Indonesia

Ikatan Psikolog Klinis Indonesia (IPK Indonesia) dalam memenuhi peran sebagai
organisasi profesi yang relatif baru bagi salah satu tenaga kesehatan yaitu tenaga
psikologi klinis di Indonesia berupaya maksimal untuk memenuhi segala kebutuhan
bagi optimalisasi pelayanan psikologi klinis di lapangan. Berbagai peraturan
perundangan bagi tenaga kesehatan, membawa dampak yang cukup signifikan bagi
tenaga psikologi klinis.
Dalam memberikan pelayanan pada masyarakat, diperlukan berbagai pedoman
dan standar keprofesian sebagai bagian dari amanah peraturan perundangan tersebut.
Salah satu yang sangat penting dan dibutuhkan adalah Pedoman Nasional Pelayanan
Psikologi Klinis (PNPPK), sebagai panduan tenaga psikologi klinis dalam menjalankan
praktik keprofesiannya.
PNPPK yang disusun berdasarkan kajian ilmiah dan berbasis bukti merupakan
upaya terjaminnya mutu layanan psikologi klinis. PNPPK merupakan pedoman baku,
yang dalam aplikasinya dapat diterapkan pada berbagai tempat layanan dan kasus.
Ucapan terima kasih yang tak terhingga disampaikan kepada tim penyusun, editor,
inisiator, dan kontributor yang telah mewujudkan buku pedoman ini. Diharapkan
PNPPK edisi 1 ini dapat segera dikuti edisi-edisi berikutnya dan terus berkembang
seiring dengan perkembangan keilmuan dan kebutuhan layanan psikologi klinis.

Salam IPK Indonesia


Yogyakarta, Desember 2020

Dr. Indria Laksmi Gamayanti., MSi., Psikolog Klinis


Ketua PP IPK IndonEsia

vi
SAMBUTAN
Ketua Kolegium Psikologi Klinis

Puji Syukur kita panjatkan atas berkah dan rahmat-Nya kita masih diberikan
nikmat sehat sehingga masih diijinkan untuk berkarya. Dalam perjalanannya, IPK
Indonesia semakin menunjukkan eksistensinya sebagai sebuah Organisasi Profesi bagi
salah satu tenaga kesehatan, yaitu tenaga psikologi klinis.
Kolegium Psikologi Klinis menyambut baik dengan disusunnya Pedoman
Nasional Pelayanan Psikologi Klinis ( PNPPK ). PNPPK yang berisi pokok-pokok
layanan dan praktik para psikolog klinis diharapkan dapat diselaraskan dengan
kurikulum pendidikan psikologi klinis di perguruan tinggi. Dengan adanya
penyelarasan antara kenyataan di lapangan dan kurikulum pendidikan psikologi klinis
maka calon psikolog klinis dapat lebih siap ketika memulai karir sebagai psikolog klinis,
terutama dalam memberikan layanan pada masyarakat.
Semoga Allah SWT meridhoi langkah IPK Indonesia untuk membawa kemajuan
bagi profesi psikologi klinis dan membawa banyak manfaat bagi kesejahteraan
psikologis masyarakat Indonesia.

Yogyakarta, Desember 2020

Ketua Kolegium Psikologi Klinis


Prof. Dr. M. Noor Rochman Hadjam, Psikolog Klinis

vii
SAMBUTAN
Ketua Tim PNPPK

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahmat-Nya Buku
Pedoman Nasional Pelayanan Psikologi Klinis (PNPPK) bagi para psikolog klinis edisi
pertama tahun 2020 dapat diselesaikan.
Tujuan penyusunan buku ini adalah agar para praktisi psikolog klinis di Indonesia
memiliki panduan yang dapat dijadikan acuan dasar atas praktik psikologi klinis yang
dapat dipertanggungjawabkan dalam memberikan layanan bagi masyarakat Indonesia
yang membutuhkan.
Penggunaan buku ini diharapkan dapat menciptakan kendali mutu berbasis bukti
dan praktik baik yang akan melindungi klien/pasien pengguna jasa psikolog. Dengan
demikian, buku ini juga menunjang efisiensi dan efektifitas dalam pelayanan kesehatan
mental demi terwujudnya peningkatan derajat kesehatan mental masyarakat Indonesia.
Kami menyadari bahwa dalam penyusunan buku ini masih terdapat kekurangan.
Oleh karena itu, saran dan kritik untuk penyempurnaan buku ini sangat kami harapkan.
Tidak lupa, kami mengucapkan terima kasih atas peran serta para penulis, editor,
kontributor, dan inisiator sehingga PNPPK edisi pertama ini dapat diterbitkan secara
berkala, In shaa Allah, kita akan meninjau kembali dan memutakhirkan pedoman ini
sejauh diperlukan. Diskusi dan komunikasi yang dibangun mungkin tidak hanya
mencakup pada profesi psikolog klinis saja, namun sejawat lain dari profesi terkait, baik
inter maupun antar disiplin akan kita perlukan, agar pedoman ini dapat lebih berdaya
guna dan makin bermanfaat.

Bandung, Desember 2020


Ketua Tim PNPPK

Ahmad Gimmy Prathama, Dr., M.Si., Psikolog Klinis


viii
CATATAN EDITOR

PNPPK ini diharapkan dapat digunakan oleh semua psikolog klinis yang
berpraktik, baik pribadi, di klinik, lembaga maupun rumah sakit, untuk membantu
melayani masyarakat yang membutuhkan sehingga dasar ilmiahnya dapat
dipertanggungjawabkan. Penyusunan PNPPK dibuat seperti buku referensi yang dapat
dibaca sesuai dengan keperluan pada saat menangani pasien dengan gangguan
psikologis untuk membantu psikolog klinis dalam menentukan keputusan klinis.
Misalnya, seorang psikolog klinis menangani seorang pasien yang datang dengan
keluhan lesu, sedih, sering menangis, dan memiliki pemikiran bunuh diri. Dari hal
tersebut, psikolog klinis yang menduga bahwa pasien tersebut memiliki diagnosis
depresi dapat membuka PNPPK bab gangguan depresi lalu melihat seperti apa batasan
dan uraian umum, manifestasi klinis, bagaimana cara asesmen dan diagnosis, diagnosis
banding, komorbiditas, cara penanganan menggunakan intervensi psikologi, serta
prognosisnya. Selanjutnya, jika diputuskan pasien memiliki depresi ringan maka dapat
diperkirakan bahwa pasiennya akan mencapai remisi dalam waktu 9-12 minggu jika
diintervensi dengan psikoterapi. Bila penanganan tidak efektif maka dapat dievaluasi
ulang apakah terdapat ketidakcocokan penanganan, kekeliruan diagnosis, atau faktor
lainnya.
Bab-bab PNPPK diharapkan dapat mempermudah psikolog klinis, terutama ketika
ia harus menangani pasien yang jarang ditangani dalam praktik pelayanannya. Selain
itu, pedoman ini dapat membantu fasyankes dalam membuat Panduan Pelayanan Klinik
(PPK) dengan menyesuaikan konteks fasyankes tersebut.
PNPPK ini juga dapat dijadikan pijakan oleh para ilmuwan psikologi untuk
menginisiasi penelitian-penelitian baik berupa validitas asesmen hingga efektivitas
intervensi yang sesuai dalam konteks masyarakat Indonesia. Hal ini mengingat bahwa
praktik berbasis bukti yang dijadikan contoh dalam buku ini kebanyakan berasal dari
riset-riset di negara-negara barat. Kebutuhan akan konstruksi dan adaptasi instrumen
untuk skrining, asesmen, dan diagnosis dianggap perlu agar mendapatkan data yang
valid dan reliabel pada masyarakat kita. Selain itu, metariset terkait efektivitas
intervensi juga perlu dilakukan untuk mengetahui dampak sebenarnya yang teruji secara

ix
ilmiah dari intervensi yang dilakukan. Oleh karenanya, PNPPK ini adalah langkah awal
dalam memulai dibangunnya layanan praktik psikologi klinis yang lebih membumi dan
berdaya guna tinggi bagi masyarakatnya. Cita-citanya, PNPPK dapat selalu ditinjau
ulang dan ditambah dengan hal-hal yang lebih bersifat terkini secara berkala.
Penambahan, pengurangan, dan penghapusan pada beberapa konten di edisi selanjutnya
menjadi sangat dimungkinkan karena di masa depan barangkali hasil riset ilmiah
menunjukkan bukti yang sudah tidak relevan lagi.
Masukan, tanggapan, dan kritik yang membangun sangat dinantikan. PNPPK
adalah milik kita, Psikolog Klinis Indonesia. Semoga dapat terus berkembang lebih
sempurna, lebih bermanfaat, dan maslahat bagi kesehatan mental masyarakat Indonesia
tercinta.

Bandung, Desember 2020


Koordinator Tim Editor

Amalia Darmawan, M.Psi., Psikolog Klinis

x
SEJARAH PENYUSUNAN

Peraturan perundangan mengamanatkan organisasi profesi untuk membuat


Pedoman nasional yang akan ditetapkan oleh Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia sehingga dapat dijadikan acuan bagi setiap pelayanan kesehatan dalam
membuat standar pelayanan operasional atau pedoman pelayanan klinis.
Berdasarkan amanah tersebut, pada tanggal 7 Mei 2015 dalam Kongres Nasional
III Ikatan Psikologi klinis (IPK) tahun 2015, sekelompok psikolog rumah sakit
menginisiasi pertemuan dalam rangka mewujudkan Pedoman Nasional Pelayanan
Psikologi Klinis (PNPPK). Pertemuan tesebut mendiskusikan empat (4) hal pokok,
yaitu: 1) Pedoman Praktik Klinis Psikologi dan Alur Proses Pelayanan Praktik Klinis
(Clinical Pathway); 2) Pedoman Pelayanan Psikologi; 3) Kredensialing; 4) BPJS
Psikologi
Pokok bahasan tersebut sekaligus dijadikan dasar dalam pembagian kelompok
diskusi dengan koordinator dan anggota sebagai berikut:
Pedoman Praktik Klinis Psikologi Pedoman Pelayanan Psikologi
dan Alur Proses Pelayanan Praktik

Retno Indaryati, dra., M.Kes., Psikolog Reni Kusumowardhani, dra., M.Psi.,


Klinis (Koordinator) Psikolog Klinis (Koordinator)
Romi Arif Rianto, S.Psi., Psikolog Klinis Pelita Verawaty, S.Psi., MM., Psikolog
Gusti Noor Ermawati, S.Psi., Psikolog Klinis
Klinis ElfaYunira, S.Psi., Psikolog Klinis
Agustina Dwi Rahmawati, S.Psi., M.Psi., Rifqoh Ihdayati, S,Psi., MAP., Psikolog
Psikolog Klinis Klinis
Any Reputrawati, S.Psi., Psikolog Klinis Ira Oktora Dwi artati, S.Psi., M.Psi.,
Laila Nurrokhmah, S.Psi., M.Psi., Psikolog Psikolog Klinis
Sri Astuti, dra. ., Psikolog Klinis Sri Haryanti, dra., MA., Psikolog Klinis
Prescilla Taniu, S.Psi., M.Si., Psikolog Aril Halida, M.Psi., Psikolog Klinis
Klinis Suci Murni Karini, dra., M.Si., Psikolog
Dian Fatmawati, S.Psi., M.Psi., Psikolog Andhika Kustaryono, M.Psi., Psikolog
Klinis Klinis
Dini Latifatun Nafiati, S.Psi., M.Psi., Patricia Elfira Vinny, M.Psi., Psikolog
Psikolog Klinis Klinis
Retno Artanti, M.Psi., Psikolog Klinis Yulia Tri Haryanti, S.Psi., M.Psi., Psikolog

xi
Klinis
Kredensialing Pedoman Pelayanan Psikologi

Dian Kristyawati, dra.,M.Si., Psikolog Taufik Hidayat, Dr., M.Kes., Psikolog


Klinis (Koordinator) Klinis (Koordinator)
Rika Kisnarini, M.Psi., Psikolog Klinis Dyah Tjitrawati, S.Psi., M.Si., Psikolog
Dwi Susilawati, S.Psi., MA., Psikolog Klinis Klinis
Karni, Dra.,Psikolog Klinis Tjiptati Noegrahani, dra., MA., Psikolog
Klinis
Elina Raharisti Rufaidhah, S.Psi., MA.,
Psikolog Klinis Nelly Frida Hursepuny, S.Psi., M.Psi.,
Psikolog Klinis
Yuni Djuachiriaty, S.Psi.,M.Si., Psikolog
Klinis Catur Herry Widayanti, S.Psi., M.Si.,
M.Psi., Psikolog Klinis
Ni Made Ratna Paramita, M.Psi., Psikolog
Klinis Ellen Arlina Dentjik, S.Psi., M.Si., Psikolog
Klinis
Hardiono, S.Psi., Psikolog
Kuswardani Susari Putri, S.Psi., M.Si.,
Psikolog Klinis
Safri Dhaini, S.Psi., Psikolog Klinis
Hestitami, S.Psi., Psikolog Klinis

Pertemuan tersebut menghasilkan rancangan awal PNPPK. Rancangan yang


dibuat tersebut kemudian ditindaklanjuti oleh Dewan Pakar IPK. Prof. Dr. Sawitri
Supardi Sadarjoen yang merupakan Anggota Dewan Pakar IPK menginisiasi dan
mengkoordinasikan proses pengerjaan draf awal PNPPK yang dibantu oleh Veronica
Adesla, M.Psi., Psikolog Klinis; Annisa Fitria, M.Psi., Psikolog Klinis; dan Alwin
Muhammad Reza, M.Psi., Psikolog Klinis.
Dalam perjalanannya, disadari bahwa persoalan psikologis dan kesehatan mental
merupakan hal yang kompleks. Mempertimbangkan banyaknya spektrum gangguan dan
masalah kejiwaan yang biasa dihadapi oleh psikolog klinis dan penggunaan panduan
yang harus menaungi praktik dan pelayanan psikolog klinis di seluruh Indonesia maka
saat itu dianggap perlu untuk membuat gugus tugas yang bertanggung jawab dalam
rangka penyelesaian PNPPK.
Tim penyusunan PNPPK kemudian segera dibentuk di tahun 2019 yang diketuai
oleh Dr. Ahmad Gimmy Prathama, M.Si., Psikolog Klinis. Rapat awal tim penyusun
PNPPK yang dilakukan di rumah Prof. Dr. Sawitri Supardi Sadarjoen, Psi., Klinis pada
bulan Oktober 2019 merumuskan arah serta strategi penyelesaian PNPPK sehingga
dapat segera diterbitkan.

xii
Dinamika keanggotaan tim tersebut semakin berkembang sebagai bagian dari
proses percepatan penyelesaian PNPPK. Hal tersebut disadari diperlukan karena
pengidentifikasian, pemetaan gangguan dan masalah kejiwaan, beserta penanganannya,
membutuhkan pikiran dan komitmen bersama, serta dedikasi waktu di luar dari jam
kerja sehari-hari dari seluruh anggota tim. Apalagi, penggunaan PNPPK ini juga akan
melingkupi wilayah praktik psikolog klinis di seluruh Indonesia.
Pada akhirnya, segala pikiran dan pendapat dari inisiator dan seluruh kontributor
disarikan dan difinalisasi oleh Tim inti PNPPK yang terakhir. Tim ini diketuai oleh Dr.
Ahmad Gimmy Prathama Siswadi, M.Si., Psikolog Klinis, Amalia Darmawan, M.Psi.,
Psikolog Klinis, Intan Kusuma Wardhani, M.Psi., Psikolog Klinis, Nurhamidah, M.Psi.,
Psikolog Klinis, Dr. Phil. Edo S. Jaya, M.Si., Psikolog Klinis.
Proses penyuntingan naskah juga membutuhkan waktu yang tidak sebentar karena
adanya beberapa masukan dan revisi yang perlu diakomodir dan disesuaikan sehingga
dapat menghasilkan PNPPK yang cukup komprehensif untuk digunakan oleh semua
praktisi psikolog klinis. Proses penyuntingan diketuai oleh Amalia Darmawan, M.Psi.,
Psikolog Klinis, dengan anggota Ahmad Gimmy Prathama, Dr., M.Si., Psikolog Klinis;
Aulia Iskandarsyah, M.Psi., MSc., Ph.D, Psikolog Klinis; Esti Wungu, M.Ed., Psikolog;
Laila Qodariah, M.Psi., Psikolog Klinis; Nido Dipo Wardana, M.Sc.

xiii
TIM PENYUSUN

Daftar Penulis

Sawitri Supardi Sadarjoen, Prof. Dr. Psikolog Klinis


Ahmad Gimmy Prathama, Dr., M.Si., Psikolog Klinis
Amalia Darmawan, M.Psi., Psikolog Klinis
Intan Kusuma Wardhani, M.Psi., Psikolog Klinis
Nurhamidah, M.Psi., Psikolog Klinis
Edo Sebastian Jaya, Dr.phil., M.Psi., Psikolog Klinis

Daftar Editor

Amalia Darmawan, M.Psi., Psikolog Klinis


Ahmad Gimmy Prathama, Dr., M.Si., Psikolog Klinis
Aulia Iskandarsyah, M.Psi., MSc., Ph.D, Psikolog Klinis
Laila Qodariah, M.Psi., Psikolog Klinis
Esti Wungu, M.Ed., Psikolog Klinis
Nido Dipo Wardana, M.Sc in Clinical Neuropsychology

xiv
Daftar Kontributor

Alwin Muhammad Reza, M.Psi., Psikolog Klinis


Andhika Kustaryono, M.Psi., Psikolog Klinis
Annisa Fitria, M.Psi., Psikolog Klinis
Dian Kristyawati, dra., M.Si., Psikolog Klinis
Indria Laksmi Gamayanti, Dr., M.Si., Psikolog Klinis
Johanna Endang Prawitasari, Prof., Ph.D., Psikolog Klinis
Juke Roosjati Siregar, Prof., Dr., M.Pd., Psikolog
Kartika Embriamaningsih, M.Psi., Psikolog Klinis
Oktavianus Ken Manungkarjono, M.Psi., M.Eng., Psikolog Klinis
Riza Sarasvita, M.Si., MHS., Ph.D., Psikolog Klinis
Sofia Retnowati, Prof., Dr., Psikolog Klinis
Sri Haryanti, dra., MA., Psikolog Klinis
Tri Hayuningtyas, MA., Psikolog Klinis
Veronica Adesla, M.Psi., Psikolog Klinis;

xv
Daftar Inisiator

Agustina Dwi Rahmawati, S.Psi., M.Psi., Laila Nurrokhmah, S.Psi., M.Psi., Psikolog
Psikolog Klinis Klinis
Andhika Kustaryono, M.Psi., Psikolog Nelly Frida Hursepuny, S.Psi., M.Psi.,
Any Reputrawati, S.Psi., Psikolog Klinis Psikolog Klinis
Aril Halida, M.Psi., Psikolog Klinis Ni Made Ratna Paramita, M.Psi., Psikolog
Klinis
Catur Herry Widayanti, S.Psi., M.Si.,
M.Psi., Psikolog Klinis Patricia Elfira Vinny, M.Psi., Psikolog
Klinis
Dian Fatmawati, S.Psi., M.Psi., Psikolog
Klinis Pelita Verawaty, S.Psi., MM, Psikolog
Klinis
Dian Kristyawati, dra., M.Si., Psikolog
Klinis Prescilla Taniu, S.Psi., M.Si., Psikolog
Klinis
Dini Latifatun Nafiati, S.Psi., M.Psi.,
Psikolog Klinis Reni Kusumowardhani, dra., M.Psi.,
Psikolog Klinis
Dwi Susilawati, S.Psi., MA, Psikolog Klinis
Retno Artanti, M.Psi., Psikolog Klinis
Dyah Tjitrawati, S.Psi., M.Si., Psikolog
Klinis Retno Indaryati, dra., M.Kes., Psikolog
Klinis
lfa Yunira, S.Psi., Psikolog Klinis
Rifqoh Ihdayati, S.Psi., MAP, Psikolog
Elina Raharisti Rufaidhah, S.Psi., MA,
Klinis
Psikolog Klinis
Rika Kisnarini, M.Psi., Psikolog Klinis
Ellen Arlina Dentjik, S.Psi., M.Si., Psikolog
Klinis Romi Arif Rianto, S.Psi., Psikolog Klinis
Gusti Noor Ermawati, S.Psi., Psikolog Safri Dhaini, S.Psi., Psikolog Klinis
Klinis Sri Astuti, dra., Psikolog Klinis
Hardiono, S.Psi., Psikolog Klinis Sri Haryanti, dra., MA, Psikolog Klinis
Hestitami, S.Psi., Psikolog Klinis Suci Murni Karini,dra., M.Si., Psikolog
Ira Oktora Dwi Artati, S.Psi., M.Psi., Klinis
Psikolog Klinis Taufik Hidayat, Dr., M.Kes., Psikolog
Karni, dra., Psikolog Klinis Klinis
Kuswardani Susari Putri, S.Psi., M.Si., Tjiptati Noegrahani, dra., MA, Psikolog
Psikolog Klinis Klinis
Yulia Tri Haryanti, S.Psi., M.Psi., Psikolog
Klinis
Yuni Djuachiriaty, S.Psi., M.Si., Psikolog
Klinis

xvi
BAB 1

PENDAHULUAN

1
LATAR BELAKANG, TUJUAN, DAN DASAR HUKUM

Latar Belakang

Pedoman Nasional Pelayanan Psikologi Klinis (PNPPK) disusun agar dapat


menjadi pedoman bagi psikolog klinis di berbagai latar untuk memberikan pelayanan
yang berkualitas. Pedoman praktik nasional adalah buku pegangan yang diwajibkan
untuk ada oleh Kementerian Kesehatan dan diterbitkan oleh setiap organisasi tenaga
kesehatan. Hal ini sesuai dengan UU Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga
Kesehatan di mana diharapkan setiap tenaga kesehatan bertindak sesuai standar
pelayanan profesinya. Dalam Pasal 37 UU tersebut dituliskan bahwa setiap Konsil
Tenaga Kesehatan diharapkan menerbitkan standar praktiknya. Artinya, Ikatan
Psikolog Klinis (IPK) Indonesia maupun Konsil Tenaga Kesehatan lainnya di
Indonesia diwajibkan untuk menerbitkan standar praktik profesinya. Buku pedoman
praktik atau pelayanan yang bersifat nasional dapat diterbitkan oleh konsil tenaga
kesehatan nonspesialis seperti IPK Indonesia ataupun konsil tenaga kesehatan
spesialis seperti Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia.
Dengan adanya PNPPK, pelayanan yang dilakukan oleh psikolog klinis dapat
selalu didasarkan pada nilai-nilai ilmiah sehingga dapat dipertanggungjawabkan. Hal
tersebut perlu dilakukan mengingat bahwa psikolog klinis memiliki peran sebagai
praktisi ilmiah (scientific practicioners), yaitu profesional yang melandasi praktik-
praktik keprofesiannya berdasarkan kerangka berpikir ilmiah dan bukti-bukti empiris.
Selain itu, PNPPK dapat dijadikan acuan bagi peneliti maupun tenaga pengajar
untuk menyelaraskan kebutuhan lapangan dengan materi ajar di pendidikan profesi
psikologi klinis. Hal ini dikarenakan PNPPK disusun berdasarkan kasus-kasus yang
ditemui para psikolog klinis yang bepraktik. Dengan adanya kesinambungan antara
apa yang dipelajari di kelas dan fenomena di lapangan, diharapkan para calon psikolog
klinis nantinya menjadi lebih siap dan matang ketika memulai berkarir sebagai
psikolog klinis.
Hal yang perlu dicatat adalah PNPPK ini bukan satu-satunya acuan dan referensi
ilmiah yang dapat digunakan psikolog kinis di Indonesia dalam memberikan
pelayanan. Para psikolog klinis di Indonesia diharapkan tetap memperluas khazanah
keilmuan serta senantiasa menjaga semangat untuk terus belajar dan mengembangkan
diri, baik dari sisi keterampilan praktis maupun sisi kematangan pribadi. Dengan
demikian, pelayanan psikologi klinis di Indonesia akan terus berkembang dan menjadi
lebih berkualitas, serta dapat memberikan dampak positif bagi pembangunan bangsa
Indonesia yang lebih baik, khususnya di bidang kesehatan jiwa.

2
Penyusunan PNPPK ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, kritik
membangun dari rekan-rekan psikolog klinis untuk memperbaiki dan
menyempurnakan pedoman ini sangat diharapkan. Masukan yang berkaitan dengan
pemahaman dan penanganan kasus maupun argumen teoritis sangat dinantikan.
Dengan demikian, PNPPK sebagai suatu acuan terstandar dapat menjadi lebih kaya
dan teruji. Akhir kata, kami mengajak rekan-rekan psikolog klinis untuk tetap
berkontribusi dan menjaga semangat perubahan demi psikologi klinis Indonesia yang
lebih baik.

Tujuan

Penyusunan PNPPK bertujuan untuk membuat sebuah pedoman praktik yang


lengkap dan komprehensif serta sesuai dengan perkembangan ilmu terkini agar
mengedepankan semangat praktik klinis berbasis bukti (evidence-based clinical
practice). Oleh karena terdapat sekitar 250 jenis diagnosis gangguan psikologis yang
perlu dikuasai seseorang psikolog klinis di mana setiap gangguan psikologis tersebut
memiliki cara diagnosis, teknik penanganan, dan prognosis yang berbeda-beda, maka
kami memulai dengan memilih beberapa jenis diagnosis gangguan psikologis prioritas
yang sekiranya relatif umum ditemukan dalam praktik sehari-hari.
Setelah terbitnya PNPPK ini, kami akan melanjutkan melengkapi gangguan-
gangguan psikologis yang belum dibahas di PNPPK edisi berikutnya. PNPPK ini
diharapkan akan terbit secara berkala (dalam jangka menengah misalnya 3-5 tahun
sekali) dan setiap penerbitan akan terdapat penambahan gangguan psikologis dengan
pembaharuan teknik diagnosis, penanganan, dan prognosis.
Gangguan psikologis merupakan bagian dari disiplin ilmu kesehatan yang relatif
lebih muda dari disiplin ilmu kesehatan lainnya. Selain itu, riset mengenai gangguan
psikologis sangatlah banyak dan pesat sehingga selalu ada penemuan terbaru
mengenai cara penanganan gangguan psikologis yang lebih baik. Apalagi, orang
dengan gangguan psikologis baru mulai dianggap “pasien” di rumah sakit baru sekitar
abad 20 dari sebelumnya yang dianggap “tahanan (inmates)” di rumah sakit jiwa
(asylum).
Pesatnya studi terkait gangguan psikologis juga dapat dilihat dari beberapa kasus,
semisal lobotomi, yaitu sebuah prosedur bedah yang memotong bagian korteks
prefrontal otak. Hanya sekitar 70 tahun yang lalu (1930 – 1950), lobotomi dianggap
sebagai penanganan gangguan psikologis yang paling tepat di mana penemunya
António Egas Moniz mendapatkan hadiah Nobel untuk fisiologi atau kedokteran di
tahun 1949. Saat itu, adik dari presiden AS John Kennedy juga menjalani prosedurnya.

3
Namun demikian, perkembangan keilmuan saat ini justru tidak merekomendasikan
lobotomi.
Situasi keilmuan seperti ini sangat kontras dengan cabang disiplin ilmu
kesehatan lainnya. Antibiotik berupa penisillin ditemukan di tahun 1917, sekitar 100
tahun yang lalu, dan masih rutin diberikan hingga sekarang (walaupun menggunakan
zat yang berbeda dari versi tahun 1917).
Cepatnya penemuan yang baru dan mudanya usia disiplin ilmu kita
menyebabkan sulitnya prediksi di bagian mana dari rekomendasi PNPPK di buku ini
yang ternyata keliru di kemudian hari. Dengan demikian, PNPPK ini dirancang
dengan kerangka yang relatif umum dan bisa bertahan lama, tetapi isinya bisa terus
diubah untuk mengakomodir penemuan-penemuan terbaru.

Dasar Hukum

Seperti sudah dijelaskan di bagian sebelumnya, Undang-undang Nomor 36 tahun


2014 tentang Tenaga Kesehatan Pasal 66 mengamanatkan organisasi profesi membuat
standar profesi dan standar pelayanan profesi sebagai acuan dalam penyelenggaraan
profesi. Oleh sebab itu, Ikatan Psikolog Klinis Indonesia dalam kesempatan ini
menyusun PNPPK sebagai acuan dalam pelaksanaan tugas pelayanan psikologi klinis
di ranah kesehatan.
Penyusunan ini juga mengacu pada Peraturan Pendayagunaan Aparatur Negara
Per/11/M.Pan/5/2008 tentang jabatan psikolog klinis dan angka kreditnya yang mana
mengatur pekerjaan dan praktik psikolog klinis, serta Peraturan Menteri Kesehatan
Nomor 60 tahun 2015 tentang standar kompetensi manajerial jabatan fungsional
psikolog klinis (berisi tentang wewenang dan ruang lingkup layanan psikologi klinis).
Selain aturan-aturan tersebut, terdapat beberapa peraturan yang dijadikan sebagai
dasar hukum penyusunan PNPPK, sebagai berikut:
1. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5063);
2. Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 153, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5072);
3. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 185, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5571);

4
4. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587); sebagaimana telah
beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun
2015 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014
tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2015 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5679);
5. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 298, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5607);
6. Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2016 tentang Fasilitas Pelayanan
Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 229,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5942);
7. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 46 Tahun 2013 tentang Registrasi
Tenaga Kesehatan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor
977);
8. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 67 Tahun 2013 tentang
Pendayagunaan Tenaga Kesehatan Warga Negara Asing (Berita Negara
Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 1320);
9. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 64 Tahun 2015 tentang Organisasi dan
Tata Kerja Kementerian Kesehatan (Berita Negara Republik Indonesia
Tahun 2015 Nomor 1508);
10. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 45 Tahun 2017 tentang Izin dan
Penyelenggaraan Praktik Psikologi Klinis.

DEFINISI DAN KONSEP PSIKOLOGI KLINIS


Society of Clinical Psychology sebagai divisi ke-12 dari American Psychological
Association (Society of Clinical Psychology, 2016) merumuskan psikologi klinis
sebagai salah satu cabang keilmuan psikologi yang mencakup penelitian, pengajaran,
dan pelayanan dengan berbasis pada prinsip, metode, dan prosedur untuk memahami,
memprediksi dan mengurangi penyimpangan (maladjusment), disabilitas, serta
ketidaknyamanan dalam hal intelektual, emosional, biologis, psikologis, sosial, dan
perilaku. Hal penting lain adalah psikologi klinis tidak hanya sekedar berperan dalam
menanggulangi masalah penyimpangan (maladjusment), namun juga membantu
manusia untuk melakukan peningkatan dan pengembangan aspek psikologis
(Pomerantz, 2017).

5
Definisi tersebut memberikan pemahaman bahwa tujuan utama dari psikologi
klinis adalah untuk membenahi permasalahan psikologis manusia melalui prinsip,
metode, dan prosedur tertentu. Guna merealisasikan tujuan tersebut maka psikolog
klinis perlu melakukan penelitian, pengajaran, serta pelayanan psikologi klinis.
Pada Pasal 1 ayat 2 Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 45
Tahun 2017 Tentang Izin dan Penyelenggaraan Praktik Psikologi Klinis dijelaskan
bahwa pelayanan psikologi klinis adalah segala aktivitas pemberian jasa dan praktik
psikologi klinis untuk menolong individu dan/atau kelompok yang dimaksudkan
untuk pemeriksaan dan intervensi psikologis untuk upaya promotif, preventif, kuratif,
rehabilitatif, maupun paliatif pada masalah psikologi klinis.
Pelayanan, penelitian, maupun pengajaran dalam psikologi klinis meliputi
berbagai area, di antaranya adalah psikologi klinis anak dan remaja, psikologi
kesehatan, neuropsikologi, psikologi konseling, psikologi rehabilitasi, psikologi
keluarga, gerontologi, psikologi sekolah, psikologi forensik, psikofarmakologi
(Barlow, 2014). Luasnya cakupan psikologi klinis tersebut membuat Divisi 12
American Psychological Association (APA) membagi area klinis ke dalam beberapa
seksi, antara lain: geropsikologi/geriatrik, psikologi komunitas, psikologi perempuan,
psikologi etnis minoritas, psikologi krisis dan kebencanaan, psikolog di akademi pusat
kesehatan, asesmen, dan psikologi klinis untuk promosi karir psikolog klinis (Society
of Clinical Psychology, 2016).
Prawitasari (2011) membagi psikologi klinis dalam terapan mikro dan makro.
Terapan mikro adalah psikologi klinis yang lebih berfokus pada penanganan
perseorangan, sedangkan terapan makro lebih berfokus pada area di luar perseorangan,
seperti keluarga, kelompok, dan komunitas. Cakupan dan area pelayanan psikologi
klinis yang luas akhirnya berkembang secara lebih spesifik menjadi ruang lingkup
psikologi klinis.

RUANG LINGKUP PSIKOLOGI KLINIS


Secara umum, lingkup layanan psikologi klinis yang luas dapat dikategorikan
menjadi tiga, yaitu berdasarkan sasaran, cara penanggulangan, dan aktivitas.

Sasaran

Lingkup sasaran psikologi klinis mencakup rentang usia sejak lahir sampai
dengan lanjut usia. Selain itu, ada pula lingkup sasaran berdasarkan latar pelayanan
berupa individu, keluarga, kelompok, dan komunitas. Rentang usia menjadi lingkup
sasaran psikologi klinis karena permasalahan klinis dapat terjadi di berbagai rentang
6
usia. Setiap kelompok usia biasanya memiliki ciri khas gangguannya masing-masing
sehingga membutuhkan cara yang berbeda untuk menanganinya.
Dalam psikoanalisis, Freud menjelaskan bahwa rentang perkembangan
psikoseksual individu dapat menjadi awal mula munculnya psikopatologis, terutama
ketika tugas perkembangan pada masa tersebut tidak terselesaikan dengan adekuat
(Feist & Feist, 2008). Sementara itu, Erikson (1977) menjelaskan bahwa manusia
mengalami delapan fase krisis yang dimulai sejak ia lahir sampai dengan lanjut usia.
Ketika individu tidak mampu menyelesaikan krisis di setiap rentang
perkembangannya maka bukan tidak mungkin ia mengalami gangguan psikologis
(Hall & Lindzey, 1985). Bahkan, Kerig, Ludlow, dan Wenar (2012) memformulasikan
konsep psikopatologi berdasarkan setiap masa perkembangan individu di mana setiap
masa memiliki kekhasan masalahnya masing-masing.
Tidak hanya berdasarkan rentang usia, psikologi klinis pun memiliki lingkup
sasaran berupa individu, keluarga, kelompok, dan komunitas (Trull & Prinstein, 2013).
Hal ini sebagaimana yang sudah termaktub dalam Pasal 17 ayat 5 Peraturan Menteri
Kesehatan Nomor 45 tahun 2017 tentang Izin dan Penyelenggaraan Praktik Psikologi
Klinis bahwa psikolog klinis memiliki kewenangan untuk memberikan intervensi
klinis bagi individu, kelompok, maupun komunitas. Terkait hal tersebut, Prawitasari
(2011) mengembangkan sebuah terminologi terapan mikro untuk sasaran intervensi
yang bersifat individual; sementara sasaran keluarga, kelompok, dan komunitas
diistilahkan sebagai terapan makro.

Aktivitas

Pasal 17 ayat 1 Peraturan Menteri Kesehatan No 45 tahun 2017 tentang Izin dan
Penyelenggaraan Praktik Psikologi Klinis menjelaskan bahwa lingkup aktivitas yang
menjadi kewenangan psikolog klinis meliputi pelaksanaan asesmen psikologi klinis,
penegakan diagnosis dan prognosis psikologi klinis, penentuan dan pelaksanaan
intervensi psikologi klinis, melakukan rujukan dan evaluasi proses pelayanan.
Asesmen adalah proses evaluasi terhadap kondisi psikologis pasien dan proses
pembuatan formulasi masalah, termasuk etiologi gangguan (Trull, 2005). Sementara
itu, proses penegakan diagnosis dilakukan sebagai upaya penilaian klinis yang
dilakukan psikolog mengenai jenis gangguan psikologis yang dialami oleh pasien.
Selain diagnosis, psikolog klinis melakukan aktivitas prognosis. Prognosis
adalah kegiatan memprediksi mengenai kemungkinan pasien kembali ke kondisi
normal (Barlow, 2014).

7
Aktivitas yang dilakukan psikolog klinis dalam memberikan pelayanan, adalah
intervensi, yaitu perlakuan berupa konseling, psikoedukasi, psikoterapi, baik dalam
bentuk promosi, prevensi, kurasi, maupun rehabilitasi.
Setelah seluruh layanan diberikan, psikolog klinis pun perlu melakukan evaluasi
terhadap proses asesmen dan intervensi yang dilakukannya, serta jika diperlukan
melakukan rujukan terhadap profesi lain. Untuk hal ini dapat dilihat lebih lanjut
tentang keterangan SOAP atau SOHP di Bab 2.3.

Metode Penanganan/Intervensi

Praktik atau pelayanan psikologi klinis adalah kegiatan yang dilakukan oleh
psikolog klinis dalam memberikan pelayanan jasa psikologi kepada anggota
masyarakat yang membutuhkan solusi dari permasalahan psikologis yang dialaminya,
baik secara individual maupun kelompok. Cakupan pelayanan psikologi klinis dapat
meliputi:
1. Promosi, yaitu pelayanan psikologi klinis yang meliputi upaya-upaya
mempertahankan dan meningkatkan kesehatan atau kesejahteraan psikologis
individu pasien, kelompok, dan masyarakat;
2. Prevensi, yaitu pelayanan psikologi klinis yang meliputi upaya-upaya untuk
mencegah atau meminimalkan kemungkinan timbulnya permasalahan atau
gangguan psikologis baik di tingkat individual, kelompok, maupun
masyarakat;
3. Kurasi, yaitu pelayanan psikologi klinis yang berupa intervensi psikologis
yang bertujuan untuk mencari solusi permasalahan atau gangguan psikologis
yang sedang dialami oleh individu, kelompok, maupun masyarakat;
4. Rehabilitasi, yaitu adalah pelayanan psikologi klinis yang meliputi upaya-
upaya pemulihan kembali fungsi psikologis pasien baik individu maupun
kelompok masyarakat setelah pulih dari permasalahan/gangguan psikologis.
Pelayanan ini juga mempersiapkan pasien untuk beradaptasi dan berfungsi
secara patut di lingkungan sosial di mana pasien berada;
5. Paliasi, yaitu pelayanan psikologi klinis total dan aktif untuk pasien yang
penyakitnya tidak lagi responsif terhadap pengobatan medis. Perawatan
Paliasi tersebut diberikan sejak diagnosa ditegakkan hingga akhir hayat.
Perawatan paliasi tidak berhenti setelah pasien meninggal dunia, namun
masih dilanjutkan dengan memberikan dukungan psikologis bagi anggota
keluarga yang masih berduka setelah pasien meninggal dunia.

8
KLASIFIKASI PERMASALAHAN PSIKOLOGIS
Dalam konteks konstitusi negara Indonesia, individu dengan permasalahan
psikologis dibagi ke dalam dua kelompok besar. Sebagaimana yang termaktub pada
Pasal 1 UU RI Nomor 18 tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa, pasien psikolog klinis
adalah: 1) Orang Dengan Masalah Kejiwaan (ODMK); dan 2) Orang Dengan
Gangguan Jiwa (ODGJ). ODMK merupakan individu yang memiliki masalah fisik,
mental, sosial, pertumbuhan dan perkembangan, dan/atau kualitas hidup sehingga
memiliki risiko mengalami gangguan jiwa. Sementara itu, ODGJ adalah individu yang
mengalami gangguan dalam pikiran, perilaku, dan perasaan yang termanifestasi dalam
bentuk sekumpulan gejala dan/atau perubahan perilaku yang bermakna, serta dapat
menimbulkan penderitaan dan hambatan dalam menjalankan fungsinya sebagai
manusia.
Dalam konteks psikologi klinis, Trull dan Prinstein (2013) menjelaskan bahwa
permasalahan psikologis setidaknya dapat dibagi menjadi dua kategori besar, yaitu
perilaku bermasalah/menyimpang (abnormal behavior) dan gangguan mental (mental
illness/ disorder). Perilaku menyimpang dapat didefinisikan dalam tiga hal, yaitu: 1)
perilaku yang dianggap bermasalah/menyimpang karena tidak sesuai dengan
kebiasaan, norma, budaya, standar, atau prevalensi statistik tertentu; 2) perilaku
bermasalah/menyimpang didasari pada perasaan tidak nyaman atau distres yang
dialami individu, seperti merasa cemas, khawatir atau frustrasi; dan 3) perilaku
dianggap bermasalah/menyimpang ketika mengalami disabilitas, disfungsi atau
kerusakan.
Berbeda dari perilaku bermasalah/menyimpang, gangguan mental berada pada
taraf yang lebih berat. Pasalnya, seseorang dikatakan mengalami gangguan mental
ketika sudah memenuhi kriteria sindrom gangguan tertentu (Trull & Prinstein, 2013).
Dapat dikatakan bahwa perilaku menyimpang belum tentu merupakan gangguan
mental, namun gangguan mental adalah kumpulan dari berbagai gejala atau perilaku
menyimpang.
Konsep gangguan mental dalam DSM-5 dirumuskan sebagai “sindrom dengan
karakteristik gangguan klinis signifikan pada area kognitif, emosi, dan perilaku yang
merefleksikan suatu disfungsi psikologis, biologis, atau proses perkembangan yang
mendasari fungsi mental individu. Gangguan mental seringkali diasosiasikan dengan
distres atau disabilitas yang signifikan di lingkup sosial, pekerjaan ataupun aktivitas
lainnya. Sementara itu, respon terhadap stresor yang masih bisa diterima oleh
lingkungan tidak termasuk ke dalam gangguan mental. Begitupun dengan perilaku
9
menyimpang secara sosial (misalnya politik, religi, atau seksual) dan konflik antara
individu dengan masyarakat belum tentu tergolong dalam kategori gangguan mental
“ (American Psychiatric Association, 2013, hal 20).
Pengetahuan mengenai gangguan mental menjadi sangat penting karena
berkaitan erat dengan proses diagnosis, prognosis, serta perencanaan intervensi yang
akan dilakukan. Konsep individu yang sehat mental dirumuskan oleh World
Federation of Mental Health (WFMH) sebagai suatu keadaan optimal pada sisi
intelektual, emosional, dan sosial, namun hal ini bukan berarti individu tersebut tidak
memiliki masalah mental sama sekali (Wiramihardja, 2010). Permasalahan tersebut
dapat diterima sepanjang tidak menganggu fungsinya di lingkungan sosial
(Wiramihardja, 2010). Definisi tersebut memberikan suatu poin penting bahwa
pribadi yang sehat sesekali dapat mengalami masalah psikologis, namun ia dapat tetap
menjalankan fungsinya sebagai individu dan anggota masyarakat.
Kompleksitas permasalahan psikologis membawa berbagai institusi kesehatan di
berbagai belahan dunia melakukan klasifikasi sistematis yang ditujukan untuk
mempermudah layanan profesi. Klasifikasi atas kompleksitas permasalahan dan
gangguan mental tersebut bersifat kontinum yang artinya bergerak merentang dari
kondisi normal sampai dengan abnormal. Hal ini juga menjadi bahasan dalam
klasifikasi gangguan mental seperti Pedoman Penggolongan Diagnostik Gangguan
Jiwa (PPDGJ) III (1993), International Classification of Diseases (ICD) dan
Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM) IV TR (American
Psychiatric Association, 2000) dan DSM-5 (American Psychiatric Association, 2013).
Indonesia merujuk tiga panduan tersebut dalam memahami klasifikasi gangguan
mental.
PPDGJ merupakan panduan dalam melakukan diagnosis gangguan jiwa yang
dibuat oleh tim psikiater Indonesia. Sementara itu, ICD merupakan panduan yang
dikembangkan oleh WHO (1992). ICD menjadi salah satu rujukan yang digunakan
secara internasional dalam memahami klasifikasi berbagai macam penyakit, termasuk
gangguan mental di dalamnya. Adapun DSM adalah referensi yang dibuat secara
khusus oleh APA sebagai panduan untuk melakukan proses diagnosis gangguan
mental.
Proses klasifikasi pada PPDGJ, ICD, maupun DSM menggunakan kode-kode
khusus untuk menentukan diagnosis kelompok gangguan tertentu. Kode tersebut
digunakan untuk memudahkan komunikasi antar profesi. Pasalnya, panduan gangguan
mental digunakan tidak hanya oleh psikolog, namun juga oleh profesi kesehatan lain
seperti psikiater, dokter, atau perawat kesehatan jiwa. Pada dasarnya, bentuk
pengkodean gangguan pada PPDGJ, ICD dan DSM memiliki kesamaan. Meski

10
demikian, bukan berarti kode setiap gangguan pada tiga rujukan tersebut persis sama.
Hal tersebut dikarenakan setiap panduan memiliki dasar rujukan, revisi, dan
perkembangan referensi yang berbeda-beda.
PPDGJ yang dibuat oleh Departemen Kesehatan Indonesia sudah sampai pada
edisi III. Proses pembuatan PPDGJ III didasarkan pada adaptasi serta kombinasi
antara ICD-10 dan DSM-IV. Hal ini menunjukkan bahwa kode klasifikasi PPDGJ-III
memiliki kemiripan dengan ICD-10 dan DSM-IV. Meski demikian, dalam
perkembangannya di tahun 2018, ICD-10 sedang dalam proses revisi final menjadi
ICD-11. Sementara itu, DSM-IV-TR pun telah direvisi menjadi DSM-5. Kondisi ini
secara tidak langsung membuat kode klasifikasi pada tiga panduan tersebut
mengalami perbedaan. Implikasinya, secara teoritis akan ada beberapa pemahaman
yang berbeda mengenai klasifikasi dan diagnosis suatu gangguan tertentu. Walaupun
demikian, secara pragmatis proses klasifikasi dan diagnosis gangguan mental tetap
dapat dilakukan sesuai dengan panduan yang menjadi standar prosedur di tempat kerja.
Salah satu bentuk klasifikasi yang digunakan dalam PPDGJ sebagai rujukan
diagnosis di Indonesia dipetakan menjadi lima aksis gangguan yang disebut diagnosis
multiaksial. Pada diagnosis multiaksial, setiap aksis merepresentasikan kelompok
gangguan tertentu. Adapun aksis tersebut dijelaskan sebagai berikut:
Aksis I : Gangguan klinis dan kondisi lain yang menjadi fokus perhatian klinis
Aksis II : Gangguan kepribadian dan retardasi mental
Aksis III : Kondisi medis umum
Aksis IV : Masalah psikososial dan lingkungan
Aksis V : Skala Global Assessment of Functioning (GAF)
Pada dasarnya penggunaan aksis dalam diagnosis di PPDGJ merupakan bentuk
adaptasi dari DSM-IV. Dalam PPDGJ dijelaskan bahwa diagnosis multiaksial
digunakan sebagai sumber informasi yang komprehensif untuk memahami suatu
gangguan berdasarkan lima perspektif (lima aksis). Keuntungannya, hal tersebut dapat
membantu proses perencanaan terapi, membuat prognosis, menata dan
mengkomunikasikan informasi klinis, memahami kompleksitas keadaan klinis,
menggambarkan heterogenitas individu (individual differences) pada diagnosis yang
sama, dan mendorong pada pemahaman pendekatan biopsikososial dalam mengatasi
masalah-masalah psikologis.

11
DINAMIKA DAN PROSES GANGGUAN PSIKOLOGIS
Bersumber dari berbagai referensi tentang psikologi abnormal, hubungan
resiprokal antara faktor disposisional dan biologis yang dibawa individu dengan faktor
situasional yang dialami individu dapat menjadi sumber munculnya gangguan
psikologis. Salah satu aspek disposisional yang memegang peranan penting dalam
menentukan kondisi kesehatan mental individu adalah kepribadian.
Kepribadian merupakan suatu dinamika kompleks yang terbangun dari interaksi
dialektik antara konstruk biologis dan pengalaman. Allport mendefinisikan
kepribadian sebagai suatu sistem dinamis yang terdiri atas aspek psikofisis yang
berfungsi agar individu bisa menyesuaikan diri secara unik dengan lingkungannya
(Hall & Lindzey, 1985). Kepribadian membantu seorang individu dalam bertingkah
laku sesuai dengan konteks lingkungannya. Individu yang mampu berperilaku sesuai
dengan lingkungan dapat dikatakan mampu menyesuaikan diri sehingga sehat secara
psikologis. Sebaliknya, individu yang tidak mampu beradaptasi dengan berbagai
tuntutan lingkungan dimungkinkan akan mengalami permasalahan psikologis.
Kepribadian tidak hanya berkaitan dengan perilaku individu. Lebih dari itu,
kepribadian menentukan bagaimana individu merespon suatu situasi dan melakukan
koping terhadap permasalahan (Millon dkk., 2004). Hal ini bermakna bahwa ambang
stress dan penerimaan terhadap suatu tuntutan berkenaan dengan kepribadian yang
dimiliki individu. Sebagai contoh, individu dengan kecenderungan kepribadian
neuroticism yang tinggi berpotensi mengalami depresi yang lebih besar dibandingkan
dengan empat kepribadian lainnya berdasarkan Big Five Personality Trait (Koorevaar
dkk., 2013). Sementara itu, individu dengan tipe kepribadian ekstraversi memiliki
kepuasan hidup yang lebih tinggi dan afek yang lebih positif dibandingkan
kepribadian neuroticism (Steel, Schmidt, & Shultz, 2008). Penelitian-peneltian
tersebut menunjukkan bahwa kepribadian sebagai faktor disposisional menjadi
variabel penting dalam menentukan kualitas hidup individu.
Determinan kehidupan psikologis individu tidak hanya berkaitan dengan faktor
disposisional, melainkan juga situasional. Faktor situasional adalah keadaan
lingkungan yang memiliki probabilitas dalam menentukan kondisi psikologis individu.
Lingkungan yang dipersepsikan individu memberikan tuntutan dapat menjadi stresor
yang memicu munculnya berbagai permasalahan psikologis. Berbagai studi
menunjukkan bahwa lingkungan yang suportif dapat membangun kualitas kehidupan
yang lebih positif, seperti menurunkan level depresi dan delinkuen pada remaja
(Licitra-Kleckler & Waas, 1993), serta menjadi mediator untuk memunculkan
kepuasan hidup dan afek positif pada orang dewasa (Ferguson & Goodwin, 2010).
Sebaliknya, lingkungan yang tidak mendukung, bermasalah, dan penuh konflik, justru
12
berpengaruh terhadap menurunnya kondisi kesehatan mental, seperti konflik dalam
rumah tangga (Young, Schieman, & Milkie, 2013), status sosioekonomi yang rendah
(Eroglu, Bozgeyikli, & Calisir, 2009; Roth, Hahn & Spinath, 2017), ataupun masalah
di lingkungan pekerjaan (Butterworth, Leach, & Kiely, 2015; Johnson, Boutain, Tsai,
& de Castro, 2015).
Maka dari itu, jika semisal mengacu pada DSM-IV-TR maka dapat dikatakan
bahwa berbagai macam gangguan psikologis yang termasuk dalam Aksis 1 merupakan
hasil interaksi antara faktor kepribadian sebagai aksis 2 dan lingkungan sebagai aksis
4 (Millon dkk., 2004). Hasilnya akan terwujud dalam realisasi fungsi yang ada di
dalam aksis 5, yaitu Asesmen Fungsional Global (Global Assessment of Function).
Dari asesmen pada aksis 5 tersebut dapat dilihat apakah seseorang dapat dikategorikan
masih fungsional atau tidak (lihat DSM-IV-TR, 2000)

13
Referensi

American Psychiatric Association. (2000). Diagnostic and statistical manual of


mental disorders (4th ed., text rev.). Washington, DC: Author.
American Psychiatric Association. (2013). Diagnostic and statistical manual of
mental disorders (5th ed.). doi: 10.1176/appi.books.9780890425596
Barlow, D.H. (2014). A Prolegomenon to Clinical Psychology: Two 40-year
Odysseys. dalam D.H. Barlow (ed), The Oxford Handbook of Clinical
Psychology (hal. 3-20). Oxford University Press
Butterworth, P., Leach, L. S., & Kiely, K. M. (2016). Why it’s important for it to stop:
Examining the mental health correlates of bullying and ill-treatment at work in a
cohort study. Australian & New Zealand Journal of Psychiatry, 50(11), 1085–
1095. doi:10.1177/0004867415622267
Depkes RI. (1993). Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di
Indonesia III (Cetakan Pertama). Jakarta: Depkes RI
Erikson, E.H. (1977). Life history and the historical moment: Diverse presentations.
New York: W.W. Norton & Company.
Eroğlu, S. E., Bozgeyikli, H., & Çalişir, V. (2009). Life Satisfaction Depending on
Socio-Economic Status and Gender among Turkish Students. Policy Futures in
Education, 7(4), 379–386. doi:10.2304/pfie.2009.7.4.379
Feist, J., & Feist, G.J. (2008). Theories of Personality (seventh edition). Mc Graw Hill
Ferguson, S. J., & Goodwin, A. D. (2010). Optimism and Well-Being in Older Adults:
The Mediating Role of Social Support and Perceived Control. The International
Journal of Aging and Human Development, 71(1), 43–68. doi:10.2190/ag.71.1.c
Hall, C.S., & Lindzey, G (1985). Introduction to Theories of Personality. New York:
John Wiley & Sons. Inc.
Johnson, S. L., Boutain, D. M., Tsai, J. H. C., & de Castro, A. B. (2015). Managerial
and organizational discourses of workplace bullying. Journal of Nursing
Administration, 45, 457–461. Dapat diakses di
https://www.researchgate.net/publication/301275553_Nurses_Perceptions_of_
Horizontal_Violence
Kerig, P.K., Ludlow, A., & Wenar, C. (2012). Developmental Psychopathology (6th
ed.). McGraw Hill
Koorevaar, A. M. L., Comijs, H. C., Dhondt, A. D. F., van Marwijk, H. W. J., van der
Mast, R. C., Naarding, P., … Stek, M. L. (2013). Big Five personality and
depression diagnosis, severity and age of onset in older adults. Journal of
14
Affective Disorders, 151(1), 178–185. doi: 10.1016/j.jad.2013.05.075
Licitra-Kleckler, D., & Waas, G. A. (1993). Perceived social support among high-
stress adolescents: The role of peers and family. Journal of Adolescent Research,
8(4), 381-402. doi: https://doi.org/10.1177/074355489384003
Millon, T., Grossman, S., Millon, C., Meagher, S., & Ramnath, R. (2004). Personality
disorders in modern life (2nd ed.). John Wiley & Sons Inc.
Pomerantz, A.M (2017). Clinical Psychology: Science, Practice, and Culture (Fourth
Edition). Sage
Prawitasari. J.E. (2011). Psikologi Klinis Pengantar Terapan Mikro&Makro. Jakarta:
Penerbit Erlangga.
Roth, B., Hahn, E., & Spinath, F. M. (2017). Income inequality, life satisfaction, and
economic worries. Social Psychological and Personality Science, 8(2), 133–141.
doi: https://doi.org/10.1177/1948550616664955
Society of Clinical Psychology (2016). Society of Clinical Psychology Division 12 of
the APA. Dapat diakses di https://div12.org/
Steel, P., Schmidt, J., & Shultz, J. (2008). Refining the relationship between
personality and subjective well-being. Psychological Bulletin, 134(1), 138–161.
doi: https://doi.org/10.1037/0033-2909.134.1.138
Wiramihardja, S. (2010). Pengantar Psikologi Abnormal. Bandung: Refika Aditama.
Trull, T. J. (2005). Clinical Psychology. California: Wadsworth Cengage
Learning.
Trull, T.J., & Prinstein, M.J. (2013). The science and Practice of Clinical Psychology
(8th. Ed.). Canada: Wadsworth Cengage Learning
World Health Organization. (1992). International Statistical Classification of
Diseases and Related Health Problems, 10th Revision (ICD-10). Geneva: WHO.
Young, M., Schieman, S., & Milkie, M. A. (2013). Spouse’s Work-to-family Conflict,
Family Stressors, and Mental Health among Dual-earner Mothers and Fathers.
Society and Mental Health, 4(1), 1–20. doi:10.1177/2156869313504931

15
BAB 2

PRAKTIK PSIKOLOGI
KLINIS

16
STANDAR DAN KOMPETENSI PSIKOLOG KLINIS
Dalam menjalankan pelayanan kepada masyarakat, IPK telah menetapkan
standar kompetensi yang merupakan penggabungan antara pemahaman konseptual,
dasar-dasar filosofis keilmuan, dan keterampilan. Standar pendidikan profesi psikolog
klinis melekat pada pendidikan setara magister (S2) pada jalur akademik. Model
pendidikan semacam ini telah menjadi model yang disepakati bersama antar
perguruan tinggi penyelenggara program studi pendidikan profesi psikologi S2 se-
Indonesia (Penjelasan Keputusan Bersama AP2TPI dengan HIMPSI tentang
Kurikulum Program Studi Psikologi Profesi S2, 2017).
Muatan kompetensi psikolog klinis dibuat dengan mengacu pada revisi
taksonomi Bloom (Anderson & Krathwohl, 2001) dan piramida Miller (1990). Muatan
kompetensi berdasarkan revisi taksonomi Bloom, yaitu: 1) mengingat; 2) memahami;
3) menerapkan; 4) menganalisis; 5) mengevaluasi; dan; (6) Menciptakan. Selain itu,
muatan kompetensi psikolog klinis berdasarkan piramida Miller mencakup aspek: 1)
knows (pengetahuan mengumpulkan fakta); 2) knows how (interpretasi dan aplikasi);
3) shows (demonstrasi pembelajaran); 4) does (performa yang terintegrasi dalam
praktik).
Dengan mengacu pada Kualifikasi Kompetensi Nasional Indonesia dan dasar
revisi taksonomi Bloom serta piramida Miller di atas maka dengan mengintegrasikan
dengan standar perguruan tinggi dapat ditetapkan bahwa kompetensi dasar psikolog
klinis sebagai tenaga kesehatan adalah sebagai berikut:
1. Area profesionalitas yang luhur (generik)
a. Berketuhanan Yang Maha Esa/Yang Maha Kuasa;
b. Bermoral, beretika, dan disiplin;
c. Sadar dan taat hukum;
d. Berwawasan sosial budaya.
2. Area mawas diri dan pengembangan diri (generik)
a. Menerapkan mawas diri;
b. Mempraktikkan belajar sepanjang hayat;
c. Mengembangkan Pengetahuan dan Teknologi.
3. Area komunikasi efektif (generik)
a. Berkomunikasi dengan pasien dan keluarganya;
b. Berkomunikasi dengan mitra kerja;
c. Berkomunikasi dengan masyarakat.
4. Area pengelolaan informasi (generik)
a. Mengakses serta menilai informasi dan pengetahuan;

17
b. Mendiseminasikan informasi dan pengetahuan secara efektif kepada pelaku
profesional kesehatan, pasien, masyarakat, dan pihak terkait untuk
peningkatan mutu pelayanan kesehatan.
5. Area landasan ilmiah psikologi klinis
a. Mempelajari dan menerapkan konsep dan teori psikologi secara umum dan
psikologi klinis secara khusus;
b. Mempelajari dan menerapkan ilmu psikologi serta ilmu kesehatan yang
terkini untuk mengelola masalah kesehatan jiwa secara holistik dan
komprehensif.
6. Area ketrampilan psikolog klinis
a. Melakukan asesmen psikologi;
b. Melakukan pencatatan, penskoran, dan interpretasi hasil asesmen;
c. Mengintegrasikan hasil asesmen dan analisis;
d. Melakukan diagnosis dan prognosis;
e. Melakukan intervensi psikologis;
f. Membuat dan menerima rujukan;
g. Memonitor dan mengevaluasi;
h. Membuat laporan dan pencatatan rekam psikologis;
i. Menjadi saksi ahli;
j. Mentransfer pengetahuan.
k. Meneliti dan melakukan pengembangan;
l. Mengabdi pada masyarakat;
m. Mengadvokasi dan menyupervisi.
7. Area pengelolaan masalah psikologis dalam lingkup kesehatan
a. Berpikir logis, kritis, sistematis, dalam melakukan identifikasi dan analisis
terhadap permasalahan psikologis dalam lingkup kesehatan yang dialami
oleh individu, keluarga, kelompok, dan komunitas masyarakat;
b. Melaksanakan promosi kesehatan jiwa pada individu, keluarga, dan
masyarakat;
c. Melaksanakan pencegahan dan deteksi dini terjadinya masalah kesehatan
jiwa pada individu, keluarga, kelompok, dan komunitas masyarakat;
d. Melakukan penanganan masalah kesehatan jiwa individu, keluarga,
kelompok, dan komunitas masyarakat;
e. Memberdayakan dan berkolaborasi dengan masyarakat dalam upaya
meningkatkan derajat kesehatan jiwa;
f. Mengelola sumber daya secara efektif, efisien, dan berkesinambungan
dalam penyelesaian masalah kesehatan jiwa dengan menyadari batasan-

18
batasan kewenangan/kompetensinya yang dikaitkan dengan kesadaran akan
kemampuan dirinya;
g. Menganalisis, mengakses, serta bila memungkinkan turut serta menangani
masalah psikologis yang menjadi prioritas daerah masing-masing di
Indonesia termasuk perhatian terhadap daerah dengan risiko tinggi (rawan
bencana, rawan terkena infeksi dan penyakit, serta daerah konflik).
Atas dasar standar kompetensi yang telah disepakati bersama maka segala
aktivitas pelayanan psikolog klinis harus menunjukkan sifat praktisi ilmiah sehingga
perlu dilakukan dengan sistematika yang jelas dan dapat dipertanggungjawabkan
dengan berbasis bukti ilmiah dalam psikologi (evidence-based practice in psychology).
Basis bukti ilmiah dalam psikologi mengupayakan praktik psikologi yang
berlandaskan bukti empiris dalam setiap aktivitas asesmen, formulasi kasus, hubungan
terapeutik, dan intervensi. Perlunya integrasi teoritis dan praktis dengan
mempertimbangkan karakteristik pasien diperuntukkan untuk pencapaian hasil
pelayanan yang optimal (American Psychological Association, 2006).
Dengan mengacu pada Standar Pelayanan Psikologi Klinis (SPPK) (Ikatan
Psikologi Klinis, 2008), prosedur pelayanan psikologi klinis perlu mengikuti dan/atau
memenuhi prosedur kerja sebagai berikut: 1) asesmen psikologis; 2) diagnosis
psikologis; 3) konseling dan psikoterapi; 4) rujukan (bila diperlukan); 5) evaluasi dan
tindak lanjut; dan 6) pencatatan rekam psikologis.
Bagian selanjutnya akan menjelaskan dengan lebih rinci mengenai rangkaian
pelayanan yang diberikan psikolog klinis.

ASESMEN PSIKOLOGIS
Asesmen merupakan keseluruhan proses mengumpulkan, mengorganisasikan,
dan menginterpretasikan hasil evaluasi psikologis (Eells, 2007). Proses asesmen selalu
mendahului pengambilan keputusan yang dilakukan oleh psikolog klinis dalam
memberikan pelayanan dan psikoterapi sehingga asesmen dalam ranah klinis biasanya
tidak dilakukan dalam waktu singkat. Asesmen klinis merupakan hal penting bagi
penegakan diagnosis dan perencanaan penanganan yang sesuai.
Asesmen klinis meliputi aspek:
1. Inteligensi;
2. Kepribadian (temperamen, afek, mood); dan
3. Perilaku (Trull, 2005).
Ridley dan Kelly (2007) menyebutkan sepuluh prinsip yang melandasi proses
asesmen psikologis, yaitu:
19
1. Asesmen psikologi harus akurat dan komprehensif;
2. Asesmen psikologi melibatkan konsep yang lebih luas dari klasifikasi
diagnostik;
3. Asesmen psikologi merupakan proses kompleks;
4. Asesmen psikologi merupakan proses berkelanjutan yang memengaruhi
pengambilan keputusan;
5. Asesmen psikologi dalam pengambilan keputusan bersifat subjektif;
6. Asesmen psikologi memiliki kegunaan klinis;
7. Asesmen psikologi tidak dapat dipisahkan dari faktor budaya;
8. Asesmen psikologi harus melibatkan faktor disposisi individu dan faktor
lingkungan;
9. Asesmen psikologi dilaksanakan berdasarkan metodologi dan konsep yang
sistematis;
10. Asesmen psikologi harus dapat dipertanggungjawabkan secara etik.
Komponen asesmen terdiri atas wawancara, data observasi, tes psikologi
terstandar, informal tes, survey, rekam medis, dan dokumen (Eabon & Abrahamson,
2017).

Wawancara Klinis

Sebagai elemen utama dalam asesmen yang dilakukan psikolog klinis,


wawancara klinis memiliki dua tujuan utama yang membedakannya dengan
wawancara lain, yaitu: mengandung evaluasi klinis; dan/atau menginisiasi konseling
atau psikoterapi (Sommers-Flanagan & Sommers-Flanagan, 2014).
Dalam wawancara klinis diperlukan adanya rumusan tujuan yang spesifik,
seperti asesmen terkait kekuatan pasien, kemampuan penyesuaian diri, sejarah
permasalahan, diagnosis, dan informasi relevan mengenai pengalaman hidup serta
keluarga (Groth-Marnat, 2010).
Berdasarkan urutan pelaksanaannya, wawancara klinis dibedakan atas
wawancara awal (intake-admission interview) dan wawancara diagnostik (diagnostic
interview) (Trull, 2005). Wawancara awal merujuk pada wawancara yang dilakukan
ketika pasien datang pertama kali. Fungsinya adalah mengevaluasi latar belakang
kunjungan (keluhan), ketersediaan sumber daya, dan dukungan bagi kebutuhan pasien
selama proses pelayanan berlangsung.
Pada saat wawancara awal perlu disampaikan persetujuan intervensi (informed
consent) yang merupakan lembar persetujuan untuk terlibat dalam pelayanan
psikologis. Pemberian persetujuan intervensi psikologis dilakukan terhadap pasien

20
yang diasumsikan secara mental mampu melakukan pengambilan keputusan. Bagi
pasien anak, pasien berkebutuhan khusus, maupun pasien dengan gangguan mental
tertentu, persetujuan intervensi psikologis dapat diberikan pada orang yang dianggap
penting oleh pasien (significant others), seperti orangtua, anak, kerabat, atau orang
yang bertanggung jawab atas pasien, baik secara tertulis atau dalam dokumentasi
nontertulis lainnya.
Persetujuan intervensi psikologis mencakup aspek-aspek sebagai berikut
(Himpunan Psikologi Indonesia, 2010; Pedersen, 2014):
1. Kesediaan untuk mengikuti proses tanpa paksaan;
2. Perkiraan waktu yang dibutuhkan;
3. Gambaran tentang apa yang akan dilakukan;
4. Keuntungan dan/atau risiko yang dialami selama proses tersebut;
5. Jaminan kerahasiaan selama proses tersebut;
6. Orang yang bertanggung jawab jika terjadi efek samping yang merugikan
selama proses tersebut.
Pasien memiliki hak untuk melanjutkan atau menolak pelayanan yang diberikan
oleh psikolog klinis. Dalam kondisi darurat dimungkinkan untuk memberlakukan
tindakan di luar persetujuan dengan tetap mengedepankan kesejahteraan pasien dan
memperhatikan hukum yang berlaku (American Hospital Association, 1992, dalam
Pedersen, 2014).
Jika pasien bersedia melanjutkan pelayanan maka dilakukan wawancara untuk
penegakan diagnosis secara lebih mendalam guna memperoleh gambaran lengkap
mengenai kehidupan pribadi dan sosial pasien. Eksplorasi pengalaman kehidupan
dibutuhkan agar dapat menempatkan masalah pasien secara lebih jelas berdasarkan
rentang perkembangannya (Trull, 2005).
Beberapa hal yang penting untuk dievaluasi melalui wawancara klinis dapat
dilihat di tabel 2.1.

21
Tabel 2.1
Komponen Wawancara Klinis

EVALUASI GEJALA EVALUASI PSIKOSOSIAL


Psikososial riwayat perkembangan Riwayat keluarga
Riwayat kasus psikiatri Riwayat pendidikan
riwayat penggunaan obat-obatan/ alkohol Riwayat kriminalitas/terkait hukum
Riwayat medis Riwayat hubungan sosial
Riwayat keluarga dengan gangguan
Riwayat psikoseksual
medis/gangguan Jiwa
Faktor multikultural
Catatan: diambil dari Conducting Psychological Assessment, A Guide for
Practitioners, Wright 2011, hal. 15.
Metode eksplorasi melalui wawancara dilakukan terhadap pasien
(autoanamnesis) maupun terhadap individu sekitar pasien (alloanamnesis). Istilah
anamnesis mulai digunakan pada abad ke-19 untuk merujuk pada wawancara
psikiatris. Dalam perkembangannya, istilah anamnesis semakin dikenal luas oleh
praktisi kesehatan mental (Tirch, Silberstein, & Kolts, 2016).
Wawancara klinis memiliki tiga tingkatan (Ikatan Psikolog Klinis, 2008):
1. Sederhana, yaitu merujuk pada wawancara pendahuluan yang hanya bersifat
dangkal, sesuai dengan isian pada daftar periksa (checklist) psikologi. Biasanya
terjadi pada pertemuan awal.
2. Sedang, yaitu tingkatan wawancara yang sudah mengarah pada gejala-gejala
yang menyertai pasien (misalnya perilaku tampak, respon fisiologis, mimpi
buruk, dsb).
3. Kompleks, yaitu tingkatan wawancara yang mengarah pada gejala-gejala
spesifik yang menyertai pasien (misalnya delusi, halusinasi, dsb)
Dengan mengacu pada SPPK (Ikatan Psikologi Klinis, 2008) langkah-langkah
wawancara klinis dirumuskan dalam langkah umum dan khusus. Langkah umum
dimulai dengan pengisian daftar periksa psikologi, psikolog membuka komunikasi
dengan pasien, serta menanyakan keperluan dan apa yang dirasakan pasien. Langkah
khusus mencakup penggalian data lebih jauh dan spesifik dengan memperhatikan
simtom-simtom yang ada pada pasien serta melakukan observasi/pengamatan pada
pasien mengenai kondisi fisik yang tampak. Simtom yang berkaitan dengan kondisi

22
tampak tersebut sebagai contoh adalah tidak rapi, banyak keringat dingin, gelisah,
bicara dalam tempo cepat, dsb.
Selain langkah-langkah diatas, gambaran teknik wawancara klinis meliputi:
1. Persiapan
a. Menformulasikan pertanyaan yang relevan;
b. Menformulasikan pertanyaan yang dapat memotivasi pasien untuk
menjawab;
c. Menyadari kapan harus menggunakan bentuk pertanyaan tertentu;
d. Membangun susasana komunikatif dengan memperhatikan latar fisik dan
verbal.
2. Pelaksanaan
a. Memberikan pertanyaan;
b. Mendengarkan pasien secara aktif;
c. Melakukan observasi selama wawancara;
d. Mengevaluasi respon responden;
e. Menggali lebih lanjut respon pasien (probing). Hal ini dapat dilakukan
dengan beberapa teknik, seperti refleksi perasaan, parafrase, interpretasi
respon, atau konfrontasi;
f. Merekam respon pasien dengan menggunakan alat perekam (suara, video,
dsb), catatan singkat, atau catatan verbatim.
3. Analisis hasil wawancara
a. Menelaah keterkaitan antar data berdasarkan kerangka teoritis;
b. Memberikan penilaian/kesimpulan yang bisa mengarah pada klasifikasi
kondisi kejiwaan pasien yang bersangkutan;

Observasi

Istilah observasi diarahkan pada kegiatan memerhatikan secara akurat, mencatat


kemunculan fenomena, dan mempertimbangkan hubungan antar aspek dalam
fenomena tersebut. Observasi bertujuan untuk memberikan deskripsi serta makna
berdasarkan perspektif komponen kejadian yang diamati (latar, aktivitas, dan
individu). Dalam latar wawancara klinis, observasi digunakan untuk mempelajari
secara langsung perilaku pasien, seperti komunikasi nonverbal atau respon fisiologis.
Selain dalam konteks alamiah seperti di tempat praktik, observasi juga dapat
berlangsung dalam konteks laboratorium (eksperimental).

23
Data observasi memberi manfaat bagi psikolog klinis, yaitu (Ikatan Psikologi
Klinis, 2008):
1. Pemahaman lebih baik mengenai konteks;
2. Penemuan yang didasarkan pada pembuktian;
3. Refleksi terhadap hal-hal yang kurang disadari oleh pasien;
4. Penemuan hal-hal yang tidak diungkapkan secara terbuka dengan
wawancara;
5. Data tidak terbatas pada persepsi selektif;
6. Impresi dan refleksi perasaan menjadi bagian untuk memahami fenomena
yang dialami pasien.
Observasi memiliki beberapa jenis di antaranya (Ikatan Psikologi Klinis, 2008):
1. Observasi sistematik (terstruktur). Hal ini mengacu pada adanya kerangka
pengamatan yang memuat ciri-ciri khusus dari setiap aspek yang diamati;
2. Observasi eksperimental. Hal ini merujuk pada adanya pengendalian
terhadap unsur-unsur penting ke dalam situasi yang diamati untuk
mengurangi atau menghindari bahaya timbulnya faktor-faktor lain yang
dapat memengaruhi situasi amatan sehingga sesuai dengan tujuan riset;
3. Observasi partisipan. Hal ini mengacu pada adanya interaksi dan
keterlibatan antara pengamat dengan subjek yang dipelajari. Observasi
partisipan biasanya merupakan bagian dari proses wawancara;
4. Observasi berjarak (unobtrusive). Hal ini mengacu pada adanya upaya dari
observer selama proses observasi untuk tidak menampakkan diri
(penyembunyian diri) dan memisahkan diri dari subjek yang diamati.
American Psychological Association (2006) mencantumkan observasi sebagai
salah satu teknik asesmen yang mendukung psikolog klinis dalam menjalankan
praktik berbasis bukti. Dengan demikian, proses observasi perlu memenuhi
sistematika dan standar etis yang berlaku. Unsur etika—yang mencakup privasi,
persetujuan, jaminan perlindungan, kenyamanan, dan keamanan, proses diseminasi
informasi kepada profesional dan komunitas ilmuwan, pencegahan kecurangan dan
penipuan, serta pertanggungjawaban terhadap penggunaan data—penting dipahami
oleh pasien. Selain itu, agar dapat mempertanggungjawabkan keabsahan datanya,
pemilihan metode observasi disesuaikan dengan tujuan pengamatan, konteks amatan,
dan ketersediaan sumber daya pada kondisi yang diamati.
Hal lain yang dapat dilakukan untuk meningkatkan validitas dan reliabilitas data
observasi antara lain: 1) variabel amatan didefinisikan dengan jelas; 2) observasi
dilakukan secara hati-hati oleh individu terlatih; 3) tindak lanjut data observasi dengan

24
pemonitoran berkala; dan (4) penyesuaian keterlibatan jumlah penilai (rater) dalam
proses observasi.

Alat Tes Psikologi Terstandar

Di Indonesia, standarisasi penggunaan alat tes psikologi tercantum dalam Kode


Etik Psikologi Indonesia (Himpunan Psikologi Indonesia, 2010). Secara ilmiah,
penggunaan alat tes psikologi untuk asesmen harus memenuhi kualifikasi tertentu
berdasarkan standar tertentu. Untuk itu maka digunakan standar yang dikembangkan
bersama oleh American Educational Research Association (AERA), American
Psychological Association (APA), dan National Council on Measurement in
Education (NCME) (2014).
Dengan memperhatikan standar 6.7, 12.8, 13.10, dan 13.12 yang dibuat oleh
AERA, APA, dan NCME (2014) maka pengembang dan penerbit tes telah membuat
sistem tingkat kualifikasi penggunaan alat tes terstandar level A, S, B, dan C
sebagaimana tercantum dalam tabel 2.2 (PAR, 2021).

Tabel 2.2

Kualifikasi alat tes psikologi terstandar


Level Tidak dibutuhkan adanya kualifikasi khusus dalam penggunaan alat tes
A psikologi terstandar.
Dibutuhkan derajat khusus, sertifikasi, atau lisensi praktik sebagai
profesional di bidang kesehatan, medis, neurologi, terapi okupasi, atau
Level
profesi perawatan kesehatan lainnya (seperti asisten terapis, psikiatri, dan
S
pekerja sosial). Pelatihan tambahan diperlukan terkait dengan etika,
penskoran, interpretasi perilaku dan klinis dari instrumen yang digunakan.
Dibutuhkan derajat pendidikan terakreditasi di bidang psikologi,
konseling, patologi, atau keilmuwan lain yang relevan. Diperlukan
kualifikasi tambahan berupa pelatihan dalam interpretasi tes, psikometri,
Level
teori pengukuran, statistik pendidikan, atau pengetahuan di bidang lain
B
yang terkait erat. Memperoleh sertifikasi dari lembaga kredibel yang
memberikan pelatihan dan pengalaman dalam menggunakan alat tes
psikologi secara kompeten dan beretika.

25
Kualifikasi alat tes psikologi terstandar
Terpenuhinya seluruh kualifikasi level B ditambah dengan derajat
profesional dalam administrasi dan interpretasi tes psikologi. Memperoleh
Level
sertifikasi dari lembaga kredibel yang memberikan pelatihan dan
C
pengalaman dalam menggunakan alat tes psikologi secara kompeten dan
beretika.
Catatan: diambil dari Qualification levels, PAR 2020,
https://www.parinc.com/Support/Qualification-Levels.

Terdapat berbagai macam alat tes psikologi terstandar untuk asesmen klinis yang
administrasinya disesuaikan dengan ranah dan konstruk psikologis yang akan diukur.
Pada tabel 2.3 akan disertakan beberapa contoh alat tes psikologi terstandar yang biasa
digunakan untuk asesmen dalam aspek inteligensi, kepribadian, dan perilaku.

Tabel 2.3
Contoh Alat Tes Psikologi Terstandar Berdasarkan Aspek Ukur
ALAT TES PSIKOLOGI TERSTANDAR
DEFINISI ASPEK
ANAK REMAJA/DEWASA
Inteligensi (Trull, 2005): Raven CPM, FRT, Raven SPM/APM,
• Kapasitas individu MIR, WPPSI, WISC, Tes Memori Indonesia,
melakukan penyesuaian Stanford Binet, Tintum, Army Alpha,
diri dalam berbagai Goodenough Harris, FRT, TIDI, TIKI, WPT,
situasi. SON, CFIT 1, dan MIR (Multiple
• Kemampuan untuk lain- lain. Intelligence Research),
belajar yang tidak hanya CFIT 2, CFIT 3,
terbatas akademik. WAIS/WB, IST, TKD,
TIU, SON, KBIT, dan
• Kemampuan berpikir
lain-lain.
abstrak, konseptual, dan
simbolik (verbal maupun
nonverbal).

26
ALAT TES PSIKOLOGI TERSTANDAR
DEFINISI ASPEK
ANAK REMAJA/DEWASA
Kepribadian (Kazdin, Proyektif: Proyektif:
2000 dalam American DAM/HTP/BAUM, SSCT, DAM/HTP/
Psychological Association, Wartegg, CAT, CSCT/ BAUM, TAT, Wartegg,
n.d.; Hampson & Goldberg FSCT, Doodle Test, Hand Test, dan lain-lain.
2020) yaitu pola berpikir, CHAD, Duss Despert, Inventori:
emosi, dan perilaku Blacky, dan lain-lain.
berdasarkan perbedaan CPI, Big Five,
Inventori: Eysenck Personality
individu yang berintegrasi
untuk menggambarkan Piers Harris Self Inventory, EPPS, Pappi
karakter individual secara Concept, dan lain-lain. Kostic, DISC, MBTI,
khusus yang relatif stabil MMPI, 16 PF, dan lain-
lain.
Perilaku (Haynes & dapat melalui observasi dengan bantuan skala
Heiby, 2004) dan/atau daftar periksa perilaku, seperti:
Asesmen perilaku Children Behavior Adolescent Anger Rating
merupakan suatu proses Check List, dan lain- Scale (AARS), dan lain-
evaluasi melalui analisis lain lain
fungsional yang dilakukan
dalam rentang waktu
tertentu dengan berbagai
metode serta melibatkan
berbagai sumber daya dan
dalam konteks yang
beragam.

Integrasi Data Asesmen

Integrasi data merupakan proses eksplorasi, eksplanasi, dan penggabungan


berbagai hasil asesmen untuk diolah secara logis sehingga mendapatkan gambaran
komprehensif mengenai pasien (Wright, 2011). Integrasi data adalah tahapan paling
kompleks dari proses asesmen psikologi.
Pomerantz (2017) menyatakan tidak ada praktisi kesehatan mental lain (seperti
psikiater, pekerja sosial, konselor, dan nonpsikolog klinis) yang melakukan kolaborasi
dan mengintegrasikan data asesmen secara mendalam seperti halnya psikolog klinis.
27
Psikolog klinis dituntut untuk memiliki pemahaman mengenai konsep dan teori
psikodiagnostik yang mendasari penjelasan mengenai fungsi kepribadian pasien
(Wright, 2011). Setiap metode asesmen memiliki ciri khas dalam mendeskripsikan
individu sehingga data asesmen perlu dikolaborasikan agar menghasilkan model
integrasi yang dapat dipertanggungjawabkan.
Berikut ini adalah tahapan yang dapat menjadi acuan proses integrasi data
(Wright, 2011):
1. Pengumpulan Data
Pengumpulan data dapat dilakukan dengan membuat daftar hasil asesmen.
Data berupa simtom maupun isu lain yang berkaitan dengan keluhan pasien
berdasarkan wawancara klinis perlu dicantumkan dalam tahapan ini.
2. Identifikasi Tema
Identifikasi tema merupakan proses menempatkan data dalam suatu
pengelompokkan yang bersifat spesifik, koheren, jelas, dan tidak bertele-tele.
Tema dapat mengangkat informasi terkait simtom, aspek lingkungan, aspek
emosi, aspek kognitif, dan sebagainya.
Perlu diperhatikan bahwa data asesmen mungkin berkontradiksi. Jika hal
tersebut terjadi maka dapat dibentuk tema yang lebih besar untuk menaungi
kontradiksi tersebut atau memecahnya menjadi tema berbeda, namun tetap
menggambarkan dinamika data. Tidak ada batasan dari jumlah tema yang perlu
diidentifikasi, namun diharapkan tema yang dibuat cukup untuk menjelaskan
kondisi pasien.
3. Organisasi Data
Organisasi data dimaksudkan untuk memberi argumen berdasarkan teori
psikologi yang menguatkan hubungan antar tema. Setiap metode asesmen
memiliki kelemahan dan kelebihan, namun konsistensi data antar tes menjadi
indikator untuk meyakinkan bahwa data yang diperoleh telah cukup mampu
menjelaskan pasien.
4. Konseptualisasi
Konseptualisasi merupakan tahap menarasikan tema dan bukti yang
diperoleh dari hasil asesmen psikologi. Narasi akan membuat data menjadi lebih
mudah dipahami secara logis karena mengandung makna konseptual yang
mendukung kesimpulan, diagnosis, dan rekomendasi dari psikolog klinis. Tema
yang sama dapat dirangkai dalam narasi yang berbeda sehingga psikolog klinis
dapat mengembangkan model integrasi data selama didukung oleh teori.

28
PENEGAKAN DIAGNOSIS

Dinamika Psikologis

Pada beberapa literatur, dinamika psikologis disebut juga dengan formulasi


kasus. Dinamika psikologis merupakan kesimpulan yang digunakan sebagai hipotesis
untuk menjelaskan munculnya gangguan (Eells, 2007).
Lebih lanjut, Lazare (1976, dalam Ingram, 2012) menyatakan pentingnya
dinamika psikologis sebagai skema konseptual untuk mengorganisasi, menjelaskan,
atau memberi makna pada data sehingga memengaruhi pengambilan keputusan dalam
pemberian intervensi.
Tidak ada ketentuan baku dalam membangun dinamika psikologis selama sesuai
dengan kondisi pasien dan dapat dipertanggungjawabkan secara teoritis. Namun
demikian, untuk membangun dinamika psikologis yang komprehensif, penting bagi
psikolog klinis untuk mengintegrasikan hasil asesmen individual dengan konteks
budaya. Aspek individual yang biasanya dilibatkan dalam membangun dinamika
psikologis antara lain: predisposisi serta faktor resiko yang biasanya terjadi akibat
pengalaman trauma di masa kanak-kanak, proses belajar yang patogenik, pengaruh
faktor biologis/genetis, pengaruh faktor sosiokultural, pengaruh penguatan yang tidak
tepat, atau adanya skema maladaptif terhadap diri sendiri maupun orang lain (Eells,
2007).
Jika dinamika psikologis merupakan formulasi yang digunakan untuk menjawab
hipotesis maka intervensi berperan sebagai rancangan eksperimennya. Intervensi
dinyatakan efektif jika tujuan yang diharapkan tercapai. Hal tersebut sekaligus
mengonfirmasi kesahihan dan kualitas dinamika psikologis yang dibuat. Akan tetapi,
jika intervensi tidak sesuai harapan maka perlu dilakukan pengambilan data baru,
evaluasi terhadap dinamika psikologis, dan merancang kembali strategi intervensi
sehingga menghasilkan tujuan yang diinginkan.
Langkah-langkah yang dapat dilakukan untuk membangun dinamika psikologis,
yaitu: 1) mengumpulkan data; 2) mendefinisikan permasalahan secara jelas dan
spesifik; 3) menentukan tujuan yang realistis dan perubahan yang ingin dicapai; 4)
mengorganisasi data; 5) membuat formulasi kasus berdasarkan hipotesis klinis yang
relevan; dan 6) merancang rencana intervensi dan melakukan pemonitoran.
Alur pembuatan dinamika psikologis dapat dilihat pada gambar 2.1.

29
Gambar 2.1

Alur Proses Perancangan Dinamika Psikologis

Catatan: diambil dari Clinical Case Formulations: Matching the Integrative


Treatment Plan to the Client (2nd edition), Ingram, 2012, hal. 7.

Berdasarkan bagan di atas, dinamika psikologis mengandung empat elemen


utama, yaitu SOHP. Prinsip SOHP sebenarnya sama dengan SOAP. Ingram (2012)
menyebut sebagai SOHP karena A atau H sebetulnya pengertiannya sama, yaitu A=
Analisis, sementara H = Hipotesis. Hipotesis yang disimpulkan berdasarkan analisis
psikolog klinis atas rumusan problem dan perubahan/tujuan yang diinginkan. Elemen
cerita riwayat keluhan dari pasien (S) dan observasi dari psikolog (O) merupakan
bagian dari proses mengumpulkan data dasar untuk proses pelayanan psikologi
selanjutnya.
Komponen lain berdasarkan SOHP/SOAP yang juga perlu diperhatikan ketika
mengumpulkan data antara lain: 1) Keluhan pasien; 2) pengalaman masa lalu yang
melatarbelakangi masalah saat ini; 3) observasi klinis (seperti status mental); 4)
ketersediaan aset dan sumber daya (seperti kekuatan, kerentanan, jaringan, dan relasi
yang dimiliki pasien); 5) linimasa (timeline) tugas perkembangan; 6) genogram; 7)
30
informasi dari orang lain yang signifikan mempunyai hubungan dengan pasien terkait
riwayat konsultasi; dan 8) hasil rekam medis, psikodiagnostik, serta dokumen lain
yang mendukung (Ingram, 2006).
Posisi hipotesis klinis (A atau H) dalam dinamika psikologi mengarahkan pada
pemahaman, pengambilan keputusan, dan pemilihan intervensi yang terbaik. Ingram
(2012) merekomendasikan tujuh hipotesis inti untuk membangun dinamika masalah
psikologis yang lebih terstruktur, antara lain: 1) krisis, situasi stres, transisi, dan
trauma; 2) tubuh dan emosi; 3) model kognitif; 4) model perilaku dan belajar; 5) model
eksistensial dan spiritual; 6) model psikodinamik; dan 7) faktor sosial, kultural, dan
lingkungan.
Setelah mengumpulkan data dan memformulasikan hipotesis maka psikolog
klinis perlu untuk merencanakan langkah intervensi. Hal-hal yang perlu diperhatikan
adalah sebagai berikut (Ingram, 2006):
1. Merumuskan tujuan intervensi;
2. Merencanakan strategi dan teknik intervensi;
3. Menentukan prioritas;
4. Membina hubungan terapeutik antara pasien dan psikolog klinis;
5. Mengidentifikasi sumber daya yang memadai;
6. Memperhatikan isu etika dan hukum;
7. Membuat rujukan jika dibutuhkan.

Diagnosis (dx) dan Diagnosis Banding (dd)

Diagnosis (dx) merupakan pelabelan atau penamaan terhadap gejala yang


ditunjukkan pasien berdasarkan kedekatan dengan kriteria gangguan mental dalam
sistem klasifikasi. Sebelum penegakan diagnosis (dx), psikolog klinis perlu untuk
mempertimbangkan kemungkinan lain sebagai penyebab gangguan melalui diagnosis
banding (dd) (Richardson, Glasziou, Polashenski, & Wilson, 2000). Diagnosis (dx)
yang valid memilki tiga fungsi utama, yaitu: 1) media komunikasi antar profesi; 2)
membangun kerangka hubungan antar diagnosis; 3) memperkaya informasi mengenai
pasien dan gangguan psikologis (Craighead, Miklowitz, & Craighead, 2013).
Terdapat dua pendekatan dalam sistem klasifikasi gangguan mental, yaitu
pendekatan kategorikal (categorical approach) dan dimensional (dimensional
approach). Pendekatan kategorikal mengklasifikasikan gangguan berdasarkan
kemunculan di masa kini, sedangkan pendekatan dimensional mengklasifikasikan
gangguan berdasarkan intensitas kemunculan simtom selama masa perkembangan.

31
Manifestasi Fungsi Psikologis dan Perilaku
Manifestasi fungsi psikologis dan perilaku (MPP) merupakan penilaian yang
disertai dengan deskripsi terhadap tingkatan keberfungsian individu dalam kontinum
adaptif hingga maladaptif. MPP dibangun berdasarkan fungsi psikodinamik, kognitif,
dan tugas perkembangan yang didukung oleh penelitian terkait. Deskripsi MPP
membantu untuk memberikan gambaran dalam menjelaskan kepribadian berdasarkan
kapasitas mental setiap individu.
Prognosis
Prognosis adalah kegiatan memprediksi mengenai kemungkinan pasien kembali
ke kondisi normal (Barlow, 2014). Prognosis membantu psikolog memberikan
pertimbangan terhadap aksis V sistem multiaksial DSM-IV mengenai tingkat
keberfungsian individu secara keseluruhan.
Selain itu, informasi tersebut bermanfaat dalam merencanakan intervensi,
mengukur dampak intervensi, dan memprediksi hasil intervensi (American
Psychiatric Association, 1994). Pelaporan fungsi umum pada Aksis V bisa dilakukan
dengan menggunakan skala Global Assessment of Functioning (GAF). Meskipun
penggunaan skala GAF dihapuskan dalam sistem aksial DSM-5 (American
Psychiatric Association, 2013), namun pemahaman terhadap GAF memudahkan
psikolog klinis melakukan penilaian hipotetis terhadap kemajuan klinis seseorang
secara global berdasarkan satu ukuran.
Secara khusus skala GAF dibagi dalam 10 tingkat fungsi terkait psikologi, sosial,
dan pekerjaan (Ikatan Psikologi Klinis, 2008; American Psychiatric Association,
2000).

32
Tabel 2.4
Skala Global Assessment of Functioning (GAF)

SKALA GA F

100 – 91 Gejala tidak ada, berfungsi maksimal, tidak ada masalah yang tak
tertanggulangi

90 – 81 Gejala minimal, berfungsi baik, cukup puas, tidak lebih dari


masalah harian biasa

80 – 71 Gejala sementara dan dapat diatasi, disabilitas ringan dalam sosial,


pekerjaan, sekolah, dll

70 – 61 Beberapa gejala ringan dan menetap, disabilitas ringan dalam


fungsi, secara umum masih baik
60 – 51 Gejala sedang (moderat), disabilitas sedang

50 – 41 Gejala berat (serius), disabilitas berat

40 – 31 Beberapa disabilitas dalam hubungan dengan realitas dan


komunikasi, disabilitas berat dalam beberapa fungsi

30 – 21 Disabilitas berat dalam komunikasi dan daya nilai, tidak mampu


berfungsi hampir semua bidang

20 – 11 Bahaya mencederai diri/orang lain, disabilitas sangat berat dalam


komunikasi dan mengurus diri

10 – 01 Bahaya mencederai diri/orang lain, disabilitas sangat berat dalam


komunikasi dan mengurus diri, persisten dan lebih serius

0 Informasi tidak adekuat

Catatan: diadaptasi dari DSM-IV-TR, American Psychiatric Association. (2000), hal


34.

Sebagai pengganti GAF, DSM-5 merekomendasikan penggunaan WHO


Disability Assessment Schedule (WHODAS) sebagai asesmen self-report untuk
mengevaluasi keberfungsian diri individu dalam enam domain, yaitu: 1) pemahaman
dan komunikasi; 2) mobilitas; 3) perawatan diri; 4) fungsi sosial dan interpersonal; 5)
aktivitas sehari-hari, pekerjaan, dan pendidikan; 6) partisipasi aktivitas sosial (Gold,
2014).

33
Intervensi

Intervensi mewakili seluruh pelayanan yang secara langsung diberikan oleh


psikolog sebagai tenaga kesehatan yang meliputi: asesmen, diagnosis, prevensi,
penanganan, psikoterapi, dan konsultasi (American Psychological Association, 2006).
Beberapa bentuk intervensi adalah psikoedukasi, konseling, dan terapi

Psikoedukasi
Psikoedukasi adalah kegiatan yang dilakukan untuk meningkatkan pemahaman
dan/atau keterampilan sebagai usaha pencegahan dari munculnya dan/atau meluasnya
gangguan psikologis di suatu kelompok, komunitas, atau masyarakat. Psikoedukasi
dilakukan untuk meningkatkan pemahaman bagi lingkungan (terutama keluarga)
tentang gangguan yang dialami seseorang setelah menjalani psikoterapi. Psikoedukasi
dapat berbentuk pelatihan dan maupun nonpelatihan (Himpunan Psikologi Indonesia,
2010).

Konseling
Konseling psikologi adalah kegiatan yang dilakukan untuk membantu mengatasi
masalah psikologis yang berfokus pada aktivitas preventif dan pengembangan potensi
positif yang dimiliki dengan menggunakan prosedur berdasar teori yang relevan.
Istilah untuk individu yang menjalani layanan konseling psikologi adalah pasien.
Konseling dapat dilakukan secara individual maupun kelompok untuk menyelesaikan
masalah pendidikan, perkembangan manusia, ataupun pekerjaan (Himpunan
Psikologi Indonesia, 2010).
Terdapat beberapa tujuan konseling, antara lain (Ikatan Psikologi Klinis, 2008):
1. Memfasilitasi perubahan perilaku pasien;
2. Memfasilitasi keterampilan koping pasien;
3. Memfasilitasi kemampuan pasien dalam pengambilan keputusan;
4. Memfasilitasi kualitas hubungan pasien dengan orang lain;
5. Memfasilitasi perkembangan potensi pasien.
Dalam konseling, pasien tidak dipandang sebagai individu yang sakit secara
mental, melainkan sebagai individu yang mampu menentukan tujuan, mengambil
keputusan, dan bertanggung jawab atas perilaku dan masa depannya. Di sisi lain,
konselor adalah fasilitator bukan figur otoritas.
Seorang konselor perlu menguasai keterampilan komunikasi verbal, nonverbal,
dan keterampilan-keterampilan mikro (seperti mendengarkan aktif, merefleksikan
perasaan, isi pikiran dan pengalaman pasien, menginterpretasikan keluhan pasien, dan
34
lain-lain). Sikap dasar yang meliputi empati, tulus, konsisten, dan penghargaan yang
positif, serta respek terhadap pasien perlu dimiliki oleh konselor.
Langkah- langkah dalam memberikan konseling adalah sebagai berikut:
1. Menelaah potensi untuk berubah;
2. Menetapkan tujuan dan kriteria hasil;
3. Memikirkan solusi alternatif;
4. Membuat keputusan;
5. Mengembangkan perencanaan;
6. Melaksanakan rencana;
7. Mengevaluasi;
8. Menghargai usaha dan hasil (kembali ke poin 1 mengenai telaah potensi).

Terapi
Terapi psikologi adalah kegiatan intervensi dengan menggunakan prinsip-prinsip
psikologi untuk membantu mengatasi masalah psikologi, membangun pemahaman,
dan/atau membangun perilaku pasien agar dapat berfungsi secara optimal (Ikatan
Psikologi Klinis, 2008). Terapi psikologi disebut psikoterapi yang dalam
pelaksanaannya membutuhkan kelengkapan dokumen berupa kartu status pasien,
formulir psikoterapi, dan rekam medis (Ikatan Psikologi Klinis, 2008). Sasaran
psikoterapi mencakup pasien anak, remaja, dewasa, atau lansia yang dilaksanakan
secara individual maupun kelompok (Himpunan Psikologi Indonesia, 2010).
Prosedur yang secara umum dilakukan dalam psikoterapi, yaitu (Ikatan Psikologi
Klinis, 2008):
1. Psikolog klinis menentukan metode psikoterapi sesuai kebutuhan;
2. Psikolog klinis mempersiapkan proses psikoterapi;
3. Psikolog klinis melaksanakan proses psikoterapi;
4. Psikolog klinis melakukan pencatatan dan pelaporan;
5. Psikolog klinis merencanakan dan melakukan kegiatan tindak lanjut.
Pendekatan psikoterapi yang ada saat ini sudah sangat beragam dan bervariasi
teknik-tekniknya. Namun demikian, dengan mengacu pada beberapa referensi
psikoterapi maka secara umum pendekatan yang saat ini banyak dilakukan dapat
dijelaskan dalam tabel 2.5.

35
Tabel 2.5
Pendekatan dan Teknik Psikoterapi

Pendekatan Penyebab Fokus Psikoterapi Bentuk dan Teknik


Permasalahan Psikoterapi
Psikodinamika Masalah atau Menemukan akar Analisis mimpi,
konflik yang permasalahan dan tranference, katarsis
mengakar dalam menumbuhkan
pada pemahaman baru
ketidaksadaran (insight) pada pasien
Humanistik Tidak berfungsi Mengembangkan Terapi person-
optimal; kesadaran akan centered;
kesenjangan kekuatan/potensi dan pengembangan
antara diri yang mengarah pada apresiasi diri
nyata dan ideal pertumbuhan (growth)
Perilaku Pola belajar Mengubah pola belajar Belajar melalui
maladaptif ke arah yang lebih model;
adaptif pengkondisian
operan atau klasikal
Kognitif Pemikiran yang Merekonstruksi Pertanyaan sokratik;
tidak konstruktif; pemikiran sehingga diskusi rekonstruksi
terdistorsi tindakan dan perasaan pemikiran.
menjadi lebih baik

Selain pendekatan di atas juga terdapat pendekatan lain, seperti transpersonal dan
eksistensial yang secara rinci belum dimuat dalam panduan ini. Psikolog Klinis dapat
memperdalamnya pada buku referensi Ingram (2012) dan buku rujukan ilmiah lainnya
untuk mendapatkan gagasan-gagasan mengenai psikoterapi terkini yang berbasis pada
bukti.

Hasil Pemeriksaan Psikologi

Hasil Pemeriksaan Psikologi (HPP) adalah dokumen yang berisi catatan atau
rangkuman pelayanan psikologis yang dilakukan terhadap pasien. Rekam psikologis
harus selalu diperbarui pada setiap kedatangan pasien (Ikatan Psikologi Klinis, 2008).
Penulisan HPP dibuat dengan tujuan pertanggungjawaban, komunikasi, dan
dokumentasi, baik itu antar psikolog, antara psikolog dengan profesi lain, dan antara
36
psikolog dengan pasien dan/atau keluarganya (Craighead, Miklowitz, & Craighead,
2013; Ikatan Psikologi Klinis, 2008).
Prosedur pembuatan hasil pemeriksaan psikologis diharapkan dapat memenuhi
kriteria sebagai berikut :
1. Sistematis, terinci, dan jelas;
2. Menjelaskan aspek-aspek psikologis (kognisi, afeksi, perilaku, dan
sosial) termasuk dinamika psikologis yang terjadi;
3. Menggunakan istilah baku sehingga terjadi pemahaman yang standar;
4. Kerahasiaannya terjamin dan dapat dipertanggungjawabkan.
Sistematika penulisan HPP dapat diisikan pada rekam psikologis yang bersifat
fleksibel dan disesuaikan dengan kebutuhan (contoh dapat dilihat dalam lampiran).
Namun demikian, perlu diperhatikan bahwa rekam psikologis setidaknya
mengandung informasi di bawah ini:
1. Informasi kedatangan pertama
a. Nomor rekam psikologis (nomer induk pasien);
b. Identitas (nama, usia, jenis kelamin, alamat, nama orang tua, pendidikan,
pekerjaan);
c. Tanggal kedatangan pertama;
d. Permasalahan yang dikeluhkan;
e. Data rujukan (siapa yang merujuk/yang mengantar);
f. Riwayat hidup (pendidikan, pekerjaan, keluarga, pribadi, sosial);
g. Jenis pelayanan (observasi, wawancara, tes, konseling,terapi);
h. SOAP/SOHP Pasien;
i. Dinamika psikologi (berdasarkan analisis/hipotesis, kepribadian, dukungan
sosial, fungsi, dan integrasi data pemeriksaan);
j. Diagnosis.
2. Informasi yang perlu dicatat pada kedatangan berikutnya
a. Tanggal pelayanan;
b. Jenis pelayanan (observasi, wawancara, tes, konseling, terapi);
c. Permasalahan dan kondisi saat ini;
d. Hasil pemeriksaan/asesmen (observasi, wawancara, tes psikologi yang
dilakukan pada kedatangan tersebut);
e. Intervensi yang dilakukan pada kedatangan tersebut dan yang perlu
dilakukan oleh pasien;
f. Rujukan/rekomendasi yang bertujuan untuk mendapatkan pendapat banding
(second opinion) dan/atau konsultasi, dan/atau penanganan lanjut guna

37
memberikan pelayanan atau solusi yang lebih sesuai, komprehensif, dan
tepat.
g. Jika psikolog klinis mengalami kesulitan dalam melengkapi rekam
psikologis maka disarankan untuk: 1) konsultasi dengan atasan (psikolog
senior; 2) diskusi dengan kolega seprofesi (teman sejawat); dan 3) merujuk
pada pedoman penulisan laporan hasil pemeriksaan psikologis (Ikatan
Psikologi Klinis, 2008).
h. Secara singkat, HPP termasuk intervensinya dapat dituliskan dalam
rangkuman sebagai berikut:
i. Pengumpulan data (permasalahan utama dan diagnosis);
j. Penentuan tujuan intervensi;
k. Implementasi intervensi (implementasi, pemonitoran, dan evaluasi);
l. Kesimpulan dan rujukan atau terminasi.

38
Referensi

American Educational Research Association, American Psychological Association, &


National Council on Measurement in Education. (Eds.). (2014). Standards for
educational and psychological testing. American Educational Research
Association.
American Psychiatric Association. (1994). Diagnostic and Statistical Manual of
Mental Disorders (DSM) (4th ed.). Washington DC: American Psychiatric
Association.
American Psychiatric Association. (2013). Diagnostic and statistical manual of
mental disorders (5th ed.). doi: 10.1176/appi.books.9780890425596
American Psychological Association. (2006). Evidence-based practice in psychology.
American Psychologist, 61(4), 271–285. doi:10.1037/0003-066x.61.4.271
American Psychological Association. (n.d.) Personality.
https://www.apa.org/topics/personality/
Anderson, L. W., & Krathwohl, D. R. (2001). A Taxonomy for Teaching, Learning,
and Assessing A Revision of Bloom’s Taxonomy of Educational Objectives. New
York Longman.
Barlow, D.H. (2014). A Prolegomenon to Clinical Psychology: Two 40-year
Odysseys. dalam D.H Barlow (ed), The Oxford Handbook of Clinical
Psychology (hal. 3-20). Oxford University Press
Craighead, W. E., Miklowitz, D. J., & Craighead, L. W. (2013). Psychopathology
History, Diagnosis, and Emprical Foundations. New Jersey: John WIley &
Sons, Inc.
Eabon, M. F., & Abrahamson, D. (2017). Understanding Psychological Testing and
Assessment. American Psychological Association. Diakses di
https://www.apa.org/topics/psychological-testing-assessment
Eells, T.D. (2007). History and Current Status of Psychotherapy Case Formulation.
dalam T. D. Eells (Ed.), Handbook of Psychotherapy Case Formulation (Second
edition) (hal. 3-32). The Guilford Press.
Gold, L. H. (2014). DSM-5 and the Assessment of Functioning: The World Health
Organization Disability Assessment Schedule 2.0 (WHODAS 2.0). Journal of
the American Academy of Psychiatry and the Law Online, 42(2), 173-181.
Groth-Marnat, G. (2010). Handbook of Pychological Assessment (4 ed.). New Jersey:
John Wiley & Sons, Inc.
Hampson, S.E. & Goldberg, L.R. (2020) Personality Stability and Change Over time.
dalam B.J. Carducci, C.S. Nave, J.S. Mio., & R.E. Riggio (Eds), The Wiley
Encyclopedia of Personality and Individual Differences Volume I: Models and
theories (hal 317-321). John Wiley & Sons
Haynes, S. N. and Heiby, E. H. (Vol. Eds.). (2004). In M. Hersen (Series Ed.),
39
Comprehensive handbook of psychological assessment: Vol. 3. Behavioral
assessment. New York: Wiley
Himpunan Psikologi Indonesia. (2010). Kode Etik Psikologi Indonesia. Jakarta:
Himpunan Psikologi Indonesia.
Ikatan Psikolog Klinis (2008). Standar Pelayanan Psikologi Klinis (SPPK). Ikatan
Psikologi Klinis-HIMPSI
Ingram, B. L. (2006). Clinical Case Formulations. Matching the integrative treatment
plan to the client (1st edition). New Jersey: John Wiley & Sons, Inc.
Ingram, B. L. (2012). Clinical Case Formulations. Matching the integrative treatment
plan to the client (2nd edition). New Jersey: John Wiley & Sons, Inc.
Miller, G.E. (1990). The assessment of clinical kills/competence/performance.
Academic Medicine, 65(9 suppl), S63–7. https://doi.org/10.1097/00001888-
199009000-00045
PAR (2021). Qualification levels. Diakses di
https://www.parinc.com/Support/Qualification-Levels
Pedersen, D. D. (2014). PsychNotes: Clinical Pocket Guide (2nd edition).
Philadelphia: F.A. Davis Company.
Penjelasan Keputusan Bersama AP2TPI dengan HIMPSI tentang Kurikulum Program
Studi Psikologi Profesi S2 (2017). https://ap2tpi.or.id/wp-
content/uploads/2019/05/Penjelasan-Keputusan-Bersama-AP2TPI-dan-
HIMPSI-TENTANG-KURIKULUM-PROFESI.pdf
Pomerantz, A.M (2017). Clinical Psychology: Science, Practice, and Culture (Fourth
Edition). Sage
Richardson, W. S., Glasziou, P., Polahenski, W. A., & Wilson, M. (2000). A new
arrival: Evidence about Differential Diagnosis. BMJ Evidence-Based Medicine,
164-165. http://dx.doi.org/10.1136/ebm.5.6.164
Ridley, C.R. & Kelly, S.M (2007). Multicultural Consideration in Case Formulation.
dalam T. D. Eells (Ed.), Handbook of Psychotherapy Case Formulation (Second
edition) (hal. 33-64). The Guilford Press.
Sommers-Flanagan, J., & Sommers-Flanagan, R. (2014). Clinical Interviewing (Fifth
Edition). New Jersey: John Wiley & Sons, Inc.
Tirch, D., Silberstein, L. R., & Kolts, R. L. (2016). Buddhist Psychology and Cognitive
Behavioral Therapy A Clinician;s Guide. New York: The Guilford Press.
Trull, T. J. (2005). Clinical Psychology. California: Wadsworth Cengage Learning.
Wright, A. J. (2011). Conducting Psychological Assessment, A Guide for
Practitioners. New Jersey: John Wiley & Sons, Inc.

40
BAB 3

TATA LAKSANA DAN


MASALAH GANGGUAN
PSIKOLOGIS

41
1. Disabilitas Intelektual

Batasan dan Uraian Umum

Sebagaimana tercantum dalam International Classification of Diseases revisi ke-


10 (ICD-10) (World Health Organization, 2011) dan Diagnostic and Statistical Manual
of Mental Disorders edisi 5 (DSM-5) (American Psychiatric Association, 2013):
1. Disabilitas intelektual merupakan terminologi yang mulai digunakan pada
DSM-5 untuk menggantikan penggunaan istilah retardasi mental, sepadan
dengan istilah intellectual developmental disorder / gangguan perkembangan
intelektual di ICD-10.
2. Disabilitas intelektual ditandai dengan adanya gangguan dalam fungsi
intelektual dan adaptif yang muncul pada masa perkembangan.
3. Sejauh mana gangguan yang dimiliki / tingkat keparahan disabilitas
intelektual ditentukan dan dijelaskan berdasarkan fungsi adaptif, bukan
semata-mata skor IQ. Hal ini dikarenakan fungsi adaptif menentukan tingkat
dukungan yang diperlukan anak dengan disabilitas intelektual. Selain itu,
pengukuran IQ kadang dianggap kurang valid pada rentang intelegensi yang
sangat rendah.
4. Adapun pengelompokan Gangguan Perkembangan Disabilitas Intelektual
adalah sebagai berikut:
319 (_.__) Disabilitas intelektual (gangguan perkembangan intelektual), dengan
kategori:
(F70) Ringan
(F71) Sedang
(F72) Berat
(F73) Sangat Berat
315.8 (F88) Keterlambatan perkembangan global
319 (F79) Disabilitas intelektual tidak spesifik

42
Disabilitas Intelektual

Manifestasi Klinis

Disabilitas intelektual/gangguan perkembangan intelektual menunjukkan adanya


gangguan pada kemampuan mental individu secara umum yang memengaruhi
kemampuan adaptif di area konseptual, sosial, dan praktikal (Siegel, dkk, 2020).
1. Pemahaman konseptual meliputi kemampuan membaca, menulis, bahasa,
matematika, pengetahuan, memori, pemecahan masalah, dan penilaian
terhadap berbagai situasi
2. Pemahaman sosial meliputi kemampuan menyadari pikiran, perasaan, dan
pengalaman orang lain, kemampuan komunikasi interpersonal, dan
pemecahan masalah sosial
3. Pemahaman praktis meliputi kemampuan mengelola diri di berbagai setting
kehidupan, termasuk merawat diri, tanggung jawab, transportasi, finansial,
sekolah, dan kemampuan okupasional.
Kemampuan-kemampuan ini menentukan keefektifan keberfungsian individu
dalam melakukan tugas-tugas keseharian dengan level yang diharapkan sesuai usia
yang diharapkan. Sehingga, keterbatasan anak dengan disabilitas intelektual di area-
area ini memengaruhi proses pembelajaran dari instruksi dan pengalaman (Siegel, dkk,
2020).
Kondisi anak dengan Disabilitas Intelektual menjadi perhatian klinis ketika
tampak adanya keterlambatan dalam pencapaian tahapan perkembangan, dan dengan
adanya tuntutan penggunaan kemampuan kognitif, sosial, dan praktikal yang semakin
meningkat sehingga ada kesenjangan antara harapan lingkungan dengan kapasitas
kemampuannya. Kondisi ini dapat disertai rasa frustrasi, penghargaan diri rendah, yang
mengarah pada gangguan perilaku (Siegel, dkk, 2020).

Asesmen dan Diagnosis

Identifikasi
Identifikasi pasien dengan dugaan disabilitas intelektual dapat dilakukan dengan
mengidentifikasi keluhan orangtua terhadap kemampuan perkembangan anak (meliputi
kemampuan kognitif, bahasa dan bicara, sosial personal, emosi, serta motorik). Keluhan
orangtua dapat berupa kesulitan anak dalam belajar informasi baru, melakukan
komunikasi dua arah, serta kesulitan dalam melakukan aktivitas hidup sehari-hari.

43
Disabilitas Intelektual

Asesmen
Asesmen dilakukan secara sistematis dan komprehensif berkaitan dengan latar
belakang informasi terkait pasien, termasuk riwayat pemeriksaan sebelumnya.
Asesmen dapat dilakukan di berbagai setting, seperti rumah, klinik, dan sekolah. Akan
lebih baik jika data asesmen diperoleh dari berbagai sumber, seperti pasien, orangtua,
pengasuh, maupun guru.
1. Wawancara Klinis
Wawancara dapat dilakukan secara semi terstruktur dengan adanya panduan
wawancara dan probing terhadap data yang diperoleh (Farisandy & Hartini, 2019).
Wawancara dilakukan untuk mengetahui informasi-informasi sebagai berikut
(Deb, dkk, 2001; Grimaji, 2008; Kishore, dkk, 2019):
a. Latar belakang keluarga, seperti ada tidaknya riwayat disabilitas intelektual,
gangguan mental, gangguan neurologis (epilepsi), maupun riwayat penyakit
fisik yang relevan; serta kualitas relasi pasien dan anggota keluarga yang lain.
Interaksi orangtua-anak, meliputi kualitas keterlibatan dengan pasien, pola
komunikasi, tingkat dan kualitas kontrol terhadap anak, respon terkait
perilaku baik dan buruk pasien
b. Riwayat personal dan perkembangan, seperti informasi riwayat kehamilan
dan kelahiran, serta progresnya hingga saat ini; tumbuh kembang pasien,
pengelolaan keluarga dalam mengasuh pasien dengan disabilitas intelektual;
riwayat pendidikan; relasi dengan teman atau guru di sekolah; perilaku
pasien, tingkat keberfungsian dalam kehidupan keseharian, dsb
c. Riwayat kesehatan, seperti riwayat dan informasi kesehatan terkini; ada
tidaknya gangguan dalam fungsi penglihatan, pendengaran, bicara, atau
gerak; eksplorasi cara pasien mengkomunikasikan rasa sakit atau
ketidaknyamanan tubuh yang dirasakan
d. Riwayat sosial, seperti riwayat dan informasi terkini terkait tingkat fungsi
perilaku adaptif; pengelolaan hidup keseharian; serta kuantitas dan kualitas
dukungan sosial yang dimiliki
e. Keberfungsian keluarga, seperti persepsi orangtua terhadap kondisi
disabilitas intelektual pasien dan dampaknya, dukungan yang tersedia,
mekanisme stres dan koping orangtua
Psikolog klinis dapat mempersiapkan wawancara klinis dengan setting
ruangan yang memiliki berbagai mainan, buku, gambar, kertas dan pensil, sofa
dan furnitur ramah anak, serta memastikan adanya ruang untuk bergerak yang

44
Disabilitas Intelektual

aman dari bahaya bagi pasien (Grimaji, 2008). Adapun langkah-langkah dalam
proses wawancara pada pasien dan keluarga, yaitu (Grimaji, 2008):
a. Membangun rapport
i. Memastikan pasien dan orangtuanya merasa nyaman
ii. Menggunakan nama panggilan pasien dan mengetahui usianya secara
pasti
iii. Bersiap untuk berinteraksi dengan pasien melalui beberapa aktivitas
yang dilakukan bersama-sama
iv. Menawarkan mainan, buku, atau hal-hal lain yang menjadi minat pasien
dan sesuai dengan kemampuannya, serta mengapresiasi dan
menyampaikannya pada orangtua
b. Membangun hubungan kerjasama dengan orangtua
i. Menghargai pendapat dan impresi orangtua terhadap pasien
ii. Mengapresiasi orangtua atas usaha orangtua dalam mendampingi
pasien
c. Melakukan wawancara verbal sesuai dengan kemampuan bahasa dan
komunikasi pasien
i. Gunakan bahasa yang sederhana, singkat, dan terstruktur
ii. Gunakan pertanyaan yang jelas dan konkrit
iii. Hindari pertanyaan yang mengarahkan pada respon jawaban tertentu
iv. Libatkan orangtua dalam proses wawancara jika diperlukan
2. Observasi Klinis
Observasi pada pasien dengan dugaan disabilitas intelektual dapat dilakukan
oleh psikolog klinis dengan mengamati beberapa hal berikut, di antaranya (Deb,
dkk, 2001; Grimaji, 2008):
a. Penampilan fisik pasien
b. Perubahan kondisi mental selama pemeriksaan berlangsung, seperti ada
tidaknya gejala baru yang muncul, perubahan kualitas dan intensitas gejala
yang sudah ada
c. Respon pasien terhadap situasi pemeriksaan
d. Kelekatan dengan orangtua dan respon ketika berpisah
e. Kemampuan sosialisasi (kontak mata, respon sosial)
f. Suasana hati (seperti riang, rewel, menangis, mudah kesal)
g. Tingkat aktivitas motorik (misal kekakuan gerak, hiperaktif, lesu)
h. Respon terhadap instruksi (seperti perilaku diam, tidak merespon)
i. Kontrol terhadap impuls (misal merebut, menumpahkan, menabrak, terjatuh,
perilaku agresif seperti memukul, melempar, menjambak, menggigit)
45
Disabilitas Intelektual

j. Atensi dan konsentrasi (meliputi mudah tidaknya terdistraksi, fokus pada


tujuan, penyelesaian tugas)
k. Kemampuan bahasa, bicara, dan komunikasi (penggunaan bahasa dan
ekspresi verbal serta nonverbal, kosakata yang dikuasai, artikulasi, tempo
bicara)
l. Perilaku bermain (seperti jenis aktivitas bermain, durasi, tema permainan)
m. Perilaku khusus lain (misal perilaku stereotip, perilaku melukai diri).
Pengamatan perilaku pasien juga dapat dilakukan oleh orangtua maupun
anggota keluarga yang memantau perilaku pasien dari waktu ke waktu dengan
instruksi yang jelas dari psikolog klinis dan dilakukan dokumentasi terhadap data
tersebut. Misal, observasi perilaku tidur, nafsu makan dan berat badan, aktivitas,
maupun perilaku tertentu yang menunjang penegakan diagnosis (Deb, dkk, 2001).
3. Tes Psikologi
Pemeriksaan dengan tes psikologi juga dilakukan untuk memetakan
kemampuan pasien dan menunjang penegakan diagnosis yang lebih jelas.
a. Skrining awal terhadap kemampuan perkembangan pasien dilakukan dengan
menggunakan salah satu di antara beberapa tes berikut (Kishore, dkk, 2019;
Siegel, dkk, 2020; Sonnander, 2007):
i. Denver Developmental Screening Test
ii. Bayley Scales of Infant and Toddler Development
Ketika tes intelegensi sulit dilakukan pada anak usia di bawah 3 tahun,
anak dengan permasalahan sensori, dan kurang stimulasi motorik, dapat
digunakan tes skrining awal perkembangan dan pemeriksaan perkembangan
untuk mengetahui kemampuan perkembangan pasien. Tes perkembangan
menghasilkan Developmental Quotient (DQ) yang diinterpretasikan serupa
dengan skor IQ (Kishore, dkk, 2019).
b. Skrining awal dan pemeriksaan terhadap fungsi kognitif pasien dilakukan
dengan menggunakan salah satu di antara beberapa tes berikut (Farisandy &
Hartini, 2019; Goharpey, Crewther, & Crewther, 2013; Grimaji, 2008; Siegel,
dkk, 2020):
i. Skala Raven, seperti Coloured Progressive Matrices (CPM) digunakan
untuk skrining awal kemampuan kecerdasan pasien anak, seperti
kemampuan pemecahan masalah
ii. Tes intelegensi dengan Stanford-Binet Intelligent Scale digunakan
untuk penegakan diagnosa dan menentukan kategori disabilitas
intelektual berdasarkan skor IQ yang diperoleh.

46
Disabilitas Intelektual

iii. Tes intelegensi dengan skala Wechsler, seperti Wechsler Preschool and
Primary Scale of Intelligence (WPPSI), Wechsler Intelligence Scale for
Children (WISC) digunakan untuk penegakan diagnosa dan
menentukan kategori disabilitas intelektual berdasarkan skor IQ yang
diperoleh.
iv. Snijders-Oomen Nonverbal Intelligence Test
Pemeriksaan intelegensi pada pasien dengan gangguan pendengaran
dapat dilakukan dengan SON-Nonverbal Intelligence Test. Namun,
perlu menjadi pertimbangan, hasil studi yang dilakukan untuk
mengukur kemampuan nonverbal intelegensi anak dengan disabilitas di
Australia menggunakan SON dan WPPSI skala nonverbal
menunjukkan skor IQ yang diperoleh dari SON cenderung lebih rendah
daripada skor IQ yang diperoleh dari WPPSI skala nonverbal
(Jenkinson, dkk, 1996).
c. Pemeriksaan fungsi adaptif pasien dilakukan dengan menggunakan salah
satu di antara beberapa tes berikut (Farisandy & Hartini, 2019; Grimaji,
2008; Kishore, dkk, 2019; Siegel, dkk, 2020):
i. Vineland Social Maturity Scale (VSMS)
Pemeriksaan fungsi adaptif dengan VSMS menghasilkan Social
Quotient (SQ). Meski skor IQ dan SQ dapat membedakan tingkat
keparahan kondisi disabilitas intelektual, skor SQ menunjukkan
kemampuan pasien dalam memenuhi tuntutan aktivitas hidup
keseharian yang sesuai dengan budaya pasien disabilitas intelektual
(Kishore, dkk, 2019).
Kalkulasi disabilitas berdasarkan skor VSMS adalah sebagai berikut
(Kishore, dkk, 2019):
• Skor 0-20 = disabilitas sangat berat
• Skor 21-35 = disabilitas berat
• Skor 36-54 = disabilitas sedang
• Skor 55-69 = disabilitas ringan
• Skor 70-84 = borderline
ii. Vineland Adaptive Behavior Scale (VABS)
Jika tes fungsi adaptif tidak dapat dilakukan, psikolog klinis dapat
mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang relevan untuk memahami
tingkat fungsi perilaku adaptif pasien (Kishore, dkk, 2019).
Selain tes psikologi yang telah disebutkan di atas, beberapa literatur
menunjukkan identifikasi permasalahan lain terkait disabilitas intelektual dapat

47
Disabilitas Intelektual

dilakukan dengan menggunakan tes psikologi berikut, di antaranya (Brannigan,


2009; Beh‐Pajooh, Abdollahi, & Hosseinian, 2018; Farisandy & Hartini, 2019;
Memisevic & Sinanovic, 2012):
a. Children Behavior Check List (CBCL)
b. Visual Motoric Integration (VMI)
c. Bender Gestalt (BG)
d. Goodenough Harris Drawing Test
e. BAUM, Draw A Person (DAP), House Tree Person (HTP)
Tes-tes psikologi yang telah disebutkan di atas merupakan alternatif yang
dapat digunakan sebagai acuan psikolog klinis dalam melakukan pemeriksaan
psikologi pada pasien dengan disabilitas intelektual. Tes-tes psikologi tersebut
telah tersedia dalam bahasa Indonesia, namun masih perlu dilakukan penelitian
untuk melihat sejauh mana keefektifannya sebagai basis bukti dalam asesmen
penegakan diagnosis disabilitas intelektual di Indonesia.
Diagnosis
1. Disabilitas Intelektual
Berdasarkan DSM-5, kriteria penegakan diagnosis disabilitas intelektual
atau gangguan perkembangan intelektual dapat dilihat pada tabel 3.1.1.

Tabel 3.1.1
Kriteria Diagnosis Disabilitas Intelektual Berdasarkan DSM-5
Kriteria Diagnosis Ada Tidak
A Defisit pada fungsi intelektual, meliputi
kemampuan penalaran, pemecahan masalah,
perencanaan, kemampuan berpikir abstrak,
pengambilan keputusan, kemampuan belajar
akademis dan belajar dari pengalaman. Kondisi ini
perlu dikonfirmasi melalui pemeriksaan klinis
yang dilakukan secara individual dan tes
intelegensi yang terstandar.
B Defisit pada fungsi adaptif yang terjadi karena
kegagalan mencapai kemandirian personal dan
tanggung jawab sosial sesuai standar
perkembangan dan sosial budaya. Tanpa
dukungan yang berkelanjutan, kekurangan ini
membatasi keberfungsian anak dalam satu atau
48
Disabilitas Intelektual

Kriteria Diagnosis Ada Tidak


lebih aktivitas keseharian, seperti komunikasi,
partisipasi sosial, dan kehidupan yang mandiri di
berbagai lingkungan, baik di rumah, sekolah,
tempat kerja, dan masyarakat.
C Onset dari defisit pada fungsi intelektual dan
adaptif terjadi selama periode perkembangan.

Tingkat kondisi Disabilitas Intelektual anak berdasarkan hasil tes IQ


diklasifikasikan sebagai berikut (Tabel 3.1.2) (Girimaji, 2008; Maslim, 2013; WHO,
2011):

Tabel 3.1.2
Klasifikasi Disabilitas Intelektual Berdasarkan IQ
Kategori Skor IQ
Ringan 50 – 69
Sedang 35 – 49
Berat 20 – 34
Sangat berat < 20

Berdasarkan PPDGJ III, pedoman diagnosis disabilitas intelektual (retardasi


mental), yaitu:
a. Tingkat kecerdasan (intelegensia) bukan satu-satunya karakteristik,
melainkan harus dinilai berdasarkan sejumlah besar keterampilan spesifik
yang berbeda. Meskipun ada kecenderungan umum bahwa semua
keterampilan ini akan berkembang ke tingkat yang sama pada setiap individu,
namun dapat terjadi suatu ketimpangan yang besar, khususnya pada
penyandang disabilitas intelektual. Pasien tersebut mungkin semakin
memperlihatkan hendaya (impairement) berat dalam satu bidang tertentu
(misalnya bahasa), atau mungkin mempunyai suatu area keterampilan
tertentu yang lebih tinggi (misalnya tugas visuospatial sederhana) yang
berlawanan dengan latar belakang adanya disabilitas intelektual berat.
Keadaan ini menimbulkan kesulitan pada saat menentukan kategori
diagnosis

49
Disabilitas Intelektual

b. Penilaian tingkat kecerdasan harus berdasarkan semua informasi yang


tersedia, termasuk temuan klinis, perilaku adaptif (yang dinilai dalam kaitan
dengan latar belakang budayanya), dan hasil tes psikometrik
c. Untuk diagnosis yang pasti, harus ada penurunan tingkat kecerdasan yang
mengakibatkan berkurangnya kemampuan adaptasi terhadap tuntutan dari
lingkungan sosial sehari-hari yang bersifat umum
d. Gangguan jiwa dan fisik yang menyertai disabilitas intelektual mempunyai
pengaruh besar pada gambaran klinis dan penggunaan dari semua
keterampilannya
e. Penilaian diagnostik adalah kemampuan umum, bukan terhadap suatu area
tertentu yang spesifik dari hendaya (impairement) atau keterampilan yang
dimiliki.
2. Keterlambatan perkembangan global
Diagnosis disabilitas intelektual ditegakkan pada anak usia di atas lima tahun.
Sementara istilah keterlambatan perkembangan global digunakan ketika gangguan
klinis sulit ditegakkan pada anak usia di bawah lima tahun. Keterlambatan
perkembangan global ditandai dengan adanya keterlambatan perkembangan signifikan
pada dua atau lebih area perkembangan (motorik kasar/halus, bahasa/bicara,
sosial/personal, kognisi, dan aktivitas-aktivitas hidup keseharian). Berdasarkan DSM-
5, kriteria penegakan diagnosis keterlambatan perkembangan global adalah sebagai
berikut:

Tabel 3.1.3
Kriteria Diagnosis Keterlambatan Perkembangan Global Berdasarkan DSM-5
Kriteria Diagnosis Ya Tidak
Diagnosis diberikan pada anak usia di bawah 5 tahun ketika
tingkat gangguan klinis tidak dapat diperiksa secara tepat
selama awal masa kanak-kanak. Kategori ini ditegakkan
ketika anak gagal memenuhi tahapan perkembangan yang
diharapkan pada beberapa area fungsi intelektual, dan anak
tidak dapat menjalani pemeriksaan fungsi intelektual yang
tersistematis, termasuk anak-anak yang terlalu muda untuk
mengikuti tes terstandar. Kategori ini membutuhkan
asesmen ulang setelah jangka waktu tertentu.

50
Disabilitas Intelektual

3. Disabilitas intelektual tidak spesifik


Istilah disabilitas intelektual tidak spesifik digunakan pada anak usia di atas lima
tahun dimana ada gangguan lain yang membuat pemeriksaan sulit dilakukan.
Berdasarkan DSM-5, kriteria penegakan diagnosis disabilitas intelektual tidak spesifik
dapat dilihat pada tabel 3.1.4.
Tabel 3.1.4
Kriteria Diagnosis Disabilitas Intelektual Tidak Spesifik Berdasarkan DSM-5
Kriteria Diagnosis Ada Tidak
Diberikan pada anak dengan usia di atas 5 tahun yang
kesulitan mengikuti prosedur asesmen yang seharusnya
dilakukan karena:
a. Ada kondisi kelemahan sensorik dan fisik, seperti
kebutaan, prelingual deafness (ketikdakmampuan
mendengar sejak lahir atau sebelum bisa berbicara),
locomotor disability (ketidakmampuan anak dalam
beraktivitas yang melibatkan gerak diri akibat adanya
gangguan pada otot, tulang, dan sistem saraf, atau
ketiganya).
b. Permasalahan perilaku muncul diikuti dengan gangguan
mental.
Ditetapkan pada kondisi khusus dan membutuhkan asesmen
ulang secara berkala (disarankan maksimal setiap 6 bulan
dengan dilakukan intervensi sesuai hambatan yang dialami
selama rentang dua asesmen tersebut).

Komorbiditas

Berdasarkan DSM-5, Disabilitas Intelektual dapat disertai kondisi penyerta


berikut:
1. Down Syndrome (kelainan genetik pada kromosom 21)
2. Fenilketonuria (PKU) / kekurangan enzim liver
3. Kretinisme/kelenjar tiroid tidak berfungsi sempurna
4. Anomali kranial / ukuran kepala tidak normal
5. Gangguan komunikasi dan belajar
6. Sindrom turner
7. Sindrom klinefelter

51
Disabilitas Intelektual

Diagnosis Banding

Berdasarkan DSM-5, penegakan diagnosis disabilitas intelektual dapat disertai


penegakan diagnosis banding sebagai berikut:
1. Gangguan neuro-kognitif mayor dan ringan
2. Gangguan komunikasi
3. Gangguan belajar
4. Gangguan Spektrum Autisme

Intervensi Psikologis

Disabilitas intelektual merupakan kondisi permanen yang memunculkan adanya


kebutuhan khusus bagi anak maupun keluarga yang mendampingi, seperti kebutuhan
komunikasi, perawatan fisik, kemampuan gerak mandiri, kurikulum pembelajaran yang
dimodifikasi, kesempatan bekerja, dan pengobatan terkait kondisi medis yang dialami
(Deb, dkk, 2001). Beberapa alternatif intervensi psikologis dengan pendekatan perilaku
bagi pasien anak yang memiliki disabilitas intelektual dan keluarga adalah sebagai
berikut:
1. Intervensi berbasis keluarga
Intervensi psikologi yang ditujukan bagi orangtua yang memiliki anak dengan
disabilitas intelektual dan perilaku menantang penggunaan prinsip-prinsip operan
dan teori belajar sosial yang disusun dalam strategi-strategi Applied Behavior
Analysis (ABA) (McIntyre, 2013). Intervensi pada keluarga meliputi konseling
orangtua terkait penurunan tingkat stres dan peningkatan kemampuan koping dan
adaptasi; pelatihan orangtua terkait penerapan intervensi di rumah; maupun
membantu keluarga untuk mengakses layanan (Grimanji, 2008; Kishore, dkk,
2019).
Intervensi psikologi berbasis bukti terkait pelatihan orangtua dari anak dengan
disabilitas intelektual di antaranya terapi interaksi orangtua-anak (Parent-Child
Interaction Therapy / PCIT) dan Program Pengasuhan Positif (3P) (McIntyre,
2013). Tujuan dari program pelatihan bagi orangtua dengan pendekatan perilaku
ini adalah meningkatkan interaksi orangtua-anak sehingga menguatkan perilaku
positif anak seiring menurunkan perilaku negatif anak. Di samping itu, program
pelatihan ini berfokus untuk memberikan pelatihan bagi orangtua dan menerapkan
perencanaan perilaku yang menguatkan orangtua dalam mendampingi anak
dengan disabilitas intelektual (McIntyre, 2013).

52
Disabilitas Intelektual

2. Terapi perilaku
Pasien dengan disabilitas intelektual dapat menunjukkan perilaku bermasalah,
seperti perilaku hiperaktif, tantrum, maupun perilaku agresif. Salah satu
penyebabnya adalah terbatasnya kemampuan komunikasi pasien (Kishore, dkk,
2019). Salah satu teknik yang digunakan dalam mengatasi perilaku bermasalah
pada anak dengan disabilitas intelektal adalah teknik dukungan perilaku positif
dengan prinsip Applied Behavior Analysis (ABA) (Ali, Blickwedel, & Hassiotis,
2014), yang terwujud dalam beberapa hal berikut:
a. Bertujuan meningkatkan kualitas hidup pasien dengan menumbuhkan
partisipasinya dalam komunitas, meningkatkan pilihan dan kompetensi
personal dalam rangka mengubah perilaku
b. Analisis fungsional dilakukan untuk memahami tujuan perilaku
c. Intervensi berusaha untuk menurunkan pemicu kemunculan perilaku
(termasuk menciptakan situasi-situasi tertentu) dalam rangka mengurangi
kemunculan perilaku bermasalah/maladaptif
d. Mengajarkan keterampilan-keterampilan pada pasien, termasuk
keterampilan komunikasi dan koping
e. Intervensi dapat berfokus pada berbagai komponen sesuai dengan berbagai
perilaku menantang yang muncul
f. Tidak menggunakan hukuman dalam mengubah perilaku
bermasalah/maladaptif
g. Menggunakan penguatan / reinforcement untuk mempertahankan perilaku
yang baik
h. Menggunakan strategi yang reaktif dan proaktif
i. Intervensi menumbuhkan perubahan perilaku pengasuh dan cara
memberikan layanan bagi pasien dengan disabilitas intelektual.
Adapun prosedur pelaksanaan terapi perilaku yang mengacu pada penelitian
Amalia & Savitri (2019), Manurung (2017), dan Puspasari (2018) adalah sebagai
berikut:
a. Menentukan data baseline
Berdasarkan hasil asesmen, psikolog klinis melakukan analisis
fungsional terhadap perilaku pasien dan interaksi dengan lingkungan yang
dapat memicu, meningkatkan, ataupun mengurangi kemunculan perilaku
tersebut (Ali, Blickwedel, & Hassiotis, 2014). Adapun proses analisis
fungsional adalah sebagai berikut:
i. Mendeskripsikan perilaku dengan jelas
ii. Mengidentifikasi faktor yang dapat memprediksi kemunculan perilaku

53
Disabilitas Intelektual

iii. Mengidentifikasi faktor ataupun konsekuensi yang mempertahankan


perilaku
iv. Mengembangkan hipotesis tentang fungsi perilaku
v. Melakukan observasi langsung yang menemukan bukti-bukti yang
mendukung hipotesis
Data ini yang digunakan untuk menentukan target perilaku yang diukur
sebagai data awal / baseline.
b. Melaksanakan terapi perilaku
i. Persiapan, termasuk menentukan prinsip-prinsip modifikasi yang akan
digunakan. Misal pada prinsip reinforcement positive, menentukan
reinforcer atau penguat yang akan digunakan (seperti pujian verbal, tos,
tepuk tangan, pemberian sticker bintang, dan sebagainya).
ii. Menerapkan prinsip modifikasi perilaku terhadap target perilaku
c. Melakukan evaluasi
d. Terminasi
Beberapa studi menunjukkan efek terapi perilaku pada anak dengan
disabilitas intelektual terkait peningkatan keterampilan berpakaian (Amalia &
Savitri, 2019; Murpratiwi & Tjakrawiralaksana, 2018), kemampuan bahasa
ekspresif (Manurung, 2017), keterampilan sosial (Puspasari, 2018), dan
penurunan perilaku disruptif anak (Farisandy & Hartini, 2019).
3. Terapi bermain
Terapi bermain menjadi salah satu alternatif intervensi bagi pasien dengan
disabilitas intelektual dalam mengatasi kesulitan keberfungsian pada aspek
psikososial, emosional, dan perilaku adaptif (Astramovich, dkk, 2015; Mora, dkk,
2018; Rathnakumar, 2020). Terkait dengan kemampuan fungsi kognitif dan
perilaku adaptif anak yang terbatas, anak dengan disabilitas intelektual sering
mengalami kesulitan dalam mengekspresikan pengalaman diri dan emosi yang
dirasakan, kesulitan dalam mengenali tanda-tanda sosial dari lingkungan,
kesulitan dalam mengambil keputusan dan menemui hambatan dalam
mengembangkan keterampilan koping (Astramovich, dkk, 2015). Melalui
aktivitas bermain terapeutik dalam terapi bermain, anak memiliki kesempatan
untuk mengeksplorasi dan mengekspresikan pikiran, perasaan, pengalaman, dan
perilakunya (Landreth, 2012; Mora, dkk, 2018; Rathnakumar, 2020). Anak dapat
mengembangkan keterampilan motorik kasar dan halus melalui bermain dengan
gerakan meraih, meraba, memanipulasi, dan melepaskan benda-benda yang
digunakan untuk bermain. Keterampilan sosial anak dapat berkembang melalui
54
Disabilitas Intelektual

aktivitas bermain dengan berbagi, bergantian sesuai giliran, serta adanya


kesempatan menumbuhkan inisiatif dalam berinteraksi dengan sebayanya. Anak
juga dapat mengembangkan keterampilan bantu diri, keterampilan komunikasi
verbal dan nonverbal, dan menurunkan perilaku maladaptif yang tidak diinginkan
melalui aktivitas bermain terapeutik (Astramovich, dkk, 2015).
Secara konseptual, aktivitas bermain anak berkembang dalam kontinum yang
sejalan dengan perkembangan kemampuan kognitifnya (Astramovich, dkk, 2015).
Level perkembangan bermain anak dengan disabilitas intelektual sering kali
mengikuti usia mentalnya dibandingkan usia kronologisnya. Dengan
mempertimbangkan kemampuan dan kebutuhan khusus anak, psikolog klinis dapat
menentukan pendekatan yang akan digunakan dalam terapi bermain (Astramovich,
dkk, 2015). Studi menunjukkan selain modifikasi perilaku, terapi bermain dengan
pendekatan yang berpusat pada klien (client centered play therapy) dapat menjadi
alternatif dalam mengembangkan perilaku adaptif, keterampilan sosial, dan
permasalahan perilaku pada anak dengan disabilitas intelektual (Swan & Ray, 2014).
Beberapa alternatif intervensi psikologi tersebut di atas dapat menjadi acuan
tatalaksana bagi pasien dengan disabilitas intelektual. Psikolog klinis juga dapat
menggunakan alternatif intervensi lain yang sudah memiliki basis bukti ilmiah.

Prognosis

Faktor yang perlu dipertimbangkan dalam memberikan prognosis pada anak


dengan disabilitas Intelektual adalah adanya riwayat keluarga dengan disabilitas
intelektual yang dapat memperburuk prognosisnya

Catatan Lain

Selain pemeriksaan dan intervensi psikologis, asesmen serta tatalaksana pada anak
dengan disabilitas intelektual dapat dilakukan dengan berkolaborasi dengan profesional
lain. Di antaranya: dokter, perawat, terapis wicara, dan terapis okupasi.

55
Disabilitas Intelektual

Referensi

Ali, A., Blickwedel, J., & Hassiotis, A. (2014). Interventions for challenging behaviour
in intellectual disability. Advances in psychiatric treatment, 20(3), 184–192.
doi:10.1192/apt.bp.113.011577
Amalia, N. A., & Savitri, L. S. Y. (2019). Modifikasi Perilaku Peningkatan Kemampuan
Memakai Kaus pada Anak dengan Intellectual Disability Tingkat Sedang.
Cognicia, 7(3), 281-294.
American Psychiatric Association. (2013). Diagnostic and statistical manual of mental
disorders (DSM-5) (5th ed). Washington, DC: American Psychiatric Publishing.
Astramovich, R.L., Lyons, C., & Hamilton, N.J. (2015). Play therapy for children with
intellectual disabilities. Journal of Child and Adolescent Counseling, 1(1), 27–36.
doi :10.1080/23727810.2015.1015904.
Beh‐Pajooh, A., Abdollahi, A., & Hosseinian, S. (2018). The effectiveness of painting
therapy program for the treatment of externalizing behaviors in children with
intellectual disability. Vulnerable Children and Youth Studies, 13(3), 221–227.
doi:10.1080/17450128.2018.1428779
Brannigan, G. G. (2009). Bender Visual-Motor Gestalt Test. The Corsini Encyclopedia
of Psychology. doi:10.1002/9780470479216.corpsy0124
Deb, S., Matthews, T., Holt, G., & Bouras, N. (2001). Practice guidelines for the
assessment and diagnosis of mental health problems in adult with intellectual
disability. UK: Paterson Printing Ltd.
Farisandy, E. D., & Hartini, N. (2019). Efektivitas modifikasi perilaku pada anak
dengan retardasi mental dan DBD (Disruptive Behavior Disorder). Motiva: Jurnal
Psikologi, 2(2), 51-59.
Goharpey N, Crewther DP, Crewther SG. (2013). Problem solving ability in children
with intellectual disability as measured by the Raven's colored progressive
matrices. Research in Developmental Disability, 34(12), 4366-74. doi:
10.1016/j.ridd.2013.09.013.
Grimaji, S. C. (2008). Clinical practice guidelines for the diagnosis and management
of children with mental retardation. National Institute of Mental Health and Neuro
Sciences. Retrieved from https://www.researchgate.net/publication/239805090
Jenkinson, J., Roberts, S., Dennehy, S., & Tellegen, P. (1996). Validation of the
Snijders-Oomen Nonverbal Intelligence Test - Revised 2½-7 for Australian
Children with Disabilities. Journal of Psychoeducational Assessment, 14(3), 276–
286. doi:10.1177/073428299601400307
56
Disabilitas Intelektual

Kishore, M.T., Udipi, G.A., & Seshadri, S.P. (2019). Clinical practice guidelines for
assessment and management of intellectual disability. Indian Journal of
Psychiatry, 61(8),194-210. Retrieved from:
https://www.indianjpsychiatry.org/text.asp?2019/61/8/194/250038
Landreth, G. L. (2012). Play therapy: The art of the relationship (3rd ed.). New York:
Routledge
Maslim, R. (2013). Buku saku diagnosis gangguan jiwa rujukan ringkas dari PPDGJ-
III dan DSM-5. Jakarta: Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK Unika Atmajaya.
Manurung, Y. S. (2017). Terapi modifikasi perilaku dengan positive reinforcement
untuk meningkatkan kemampuan bahasa ekspresif anak yang mengalami mild
intellectual disability. Majalah Ilmiah Politeknik Mandiri Bina Prestasi, 6(2).
McIntyre, L. L. (2013). Parent Training Interventions to Reduce Challenging Behavior
in Children with Intellectual and Developmental Disabilities. International
Review of Research in Developmental Disabilities, 44,245-279.
doi:10.1016/B978-0-12-401662-0.00008-7
Memisevic, H., & Sinanovic, O. (2012). Predictors of visual-motor integration in
children with intellectual disability. International Journal of Rehabilitation
Research, 35(4), 372–374. doi:10.1097/mrr.0b013e32835a23d0
Mora, L., Sebille, K. V., & Neill, L. (2018). An evaluation of play therapy for children
and young people with intellectual disabilities, Research and Practice in
Intellectual and Developmental Disabilities, 5(2), 178-191. doi:
10.1080/23297018.2018.1442739
Murpratiwi, I. A., & Tjakrawiralaksana, M. A. (2018). Prompting dan positive
reinforcement untuk meningkatkan keterampilan berpakaian pada anak dengan
intellectual disability. Jurnal Psikologi Teori dan Terapan, 8(2), 112-123.
Puspasari, K. D. (2018). Teknik modelling simbolik dan reinforcement positif untuk
meningkatkan keterampilan sosial pada anak intellectual disability. Procedia,
Studi Kasus dan Intervensi Psikologi, 6(2). doi: 10.22219/procedia.v6i2.12641
Rathnakumar, D. (2020). Play therapy and children with intellectual disability. Shanlax
International Journal of Education, 8(2),35–42.
doi:10.34293/education.v8i2.2299
Siegel, M., McGuire, K., Veenstra-VanderWeele, J., dkk. (2020). Practice parameter
for the assessment and treatment of psychiatric disorders in children and
adolescents with intellectual disability (intellectual developmental disorder).

57
Disabilitas Intelektual

Journal of the American Academy of Child & Adolescent


Psychiatry, 59(4), 468–496. doi:
10.1016/j.jaac.2019.11.018
Sonnander, K. (2007). Early identification of children with developmental disabilities.
Acta Paediatrica, 89, 17–23. doi:10.1111/j.1651-2227.2000.tb03091.x
Swan, K. L., & Ray, D. C. (2014). Effects of child-centered play therapy on irritability
and hyperactivity behaviors of children with intellectual disabilities. Journal of
Humanistic Counseling, 53, 120–133. doi:10.1002/ j.2161-1939.2014.00053.x
World Health Organization. (2011). International Statistical Classification of Disease
and Related Health Problems. 10th Revision, Volume 2: Instruction Manual. 2010
Ed. Geneva: World Health Organization.

58
2. Gangguan Bahasa

Batasan dan Uraian Umum

Sebagaimana tercantum dalam International Classification of Diseases revisi ke-


10 (ICD-10) (World Health Organization, 2011) dan Diagnostic and Statistical Manual
of Mental Disorders edisi 5 (DSM-5) (American Psychiatric Association, 2013):
1. Gangguan bahasa atau language disorder merupakan terminologi yang digunakan
pada DSM-5, sepadan dengan istilah gangguan bahasa reseptif dan gangguan
bahasa ekspresif di ICD-10.
2. Gangguan bahasa merupakan bagian dari gangguan komunikasi, yang ditandai
dengan adanya kesulitan pasien dalam perolehan dan penggunaan bahasa.
Gangguan ini mengakibatkan kemampuan memahami dan memproduksi kosa kata,
struktur kalimat, dan kemampuan bercakap-cakap menjadi terbatas. Keterbatasan
bahasa yang dimiliki tampak pada komunikasi baik dalam bentuk ucapan, tulisan,
dan bahasa isyarat.
3. Pembelajaran dan penggunaan bahasa bergantung pada keterampilan reseptif dan
ekspresif. Kemampuan reseptif mengacu pada proses menerima dan memahami
pesan bahasa. Kemampuan ekspresif mengacu pada produksi suara, gestur,
ataupun tanda-tanda verbal.

Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis pada anak dengan gangguan bahasa, di antaranya (American


Psychiatric Association, 2013; Feldman, 2019; Lisa, dkk, 2019; Willinger, dkk, 2003):
1. Kemampuan bahasa (reseptif dan ekspresif) yang sangat di bawah usia yang
diharapkan
2. Sebagian anak mengalami keterlambatan di fase awal pembelajaran bahasa dan
sebagian dari anak-anak tersebut mengalami kesulitan yang persisten, seperti
kesulukan dalam melakukan interaksi dan komunikasi sosial, mengenali dan
merespon tanda-tanda sosial dan emosi.
3. Terbatasnya kosa kata yang dikuasai, kesulitan mempelajari kata-kata baru,
kesulitan menemukan kata yang tepat atau menggunakan kosa kata yang keliru,
memperpendek kalimat, menyederhanakan struktur bahasa, terbatasnya variasi
struktur bahasa dan kalimat yang digunakan, menghilangkan bagian-bagian
penting dalam suatu kalimat, dan penggunaaan kata dengan urutan yang tidak
biasa.

59
Gangguan Bahasa

4. Minimnya penggunaan gestur tubuh dalam berinteraksi dan berkomunikasi,


kesulitan mengekspresikan diri secara bebas
5. Kesulitan mengikuti instruksi sederhana
6. Mengalami permasalahan emosi dan perilaku
7. Manifestasi gangguan bahasa reseptif tampak pada kesulitan pasien dalam
menguraikan informasi-informasi (seperti suara, kata, kalimat, dan informasi
tekstual).
8. Menifestasi klinis gangguan bahasa reseptif-ekspresif tampak pada kesulitan
memahami kata, kalimat, atau kata tertentu dengan kombinasi gangguan fonologi
dan gangguan bahasa ekspresif

Asesmen dan Diagnosis

Identifikasi
Identifikasi pasien dengan dugaan gangguan bahasa dapat dilakukan dengan
mengidentifikasi keluhan orang tua terhadap kemampuan perkembangan bahasa dan
bicara anak. Keluhan orang tua dapat berupa adanya keterlambatan bicara, minimnya
kontak mata, minimnya respon anak saat dipanggil namanya, serta kesulitan anak dalam
interaksi dan komunikasi sosial.
Asesmen
Asesmen dilakukan secara sistematis dan komprehensif berkaitan dengan latar
belakang informasi terkait pasien, termasuk aspek perkembangan kognisi, bahasa, dan
sosial-emosional pasien. Asesmen dapat dilakukan di berbagai setting, seperti rumah,
klinik, dan sekolah. Akan lebih baik jika data asesmen diperoleh dari berbagai sumber,
seperti pasien, orang tua, pengasuh, maupun guru.
1. Wawancara Klinis
Wawancara dilakukan untuk mengetahui informasi-informasi yang lebih
mendalam terkait beberapa hal berikut, di antaranya:
a. Riwayat kesehatan
b. Riwayat perkembangan dan kondisi kemampuan perkembangan terkini,
khususnya kemampuan bahasa (reseptif dan ekspresif) pasien.
c. Riwayat pendidikan
d. Riwayat keluarga
e. Faktor lingkungan, seperti interaksi dengan orang tua, riwayat paparan gawai
dalam keseharian.
2. Observasi Klinis

60
Gangguan Bahasa

Observasi pada pasien dengan dugaan gangguan bahasa dapat dilakukan oleh
psikolog klinis untuk mengamati gejala-gejala klinis yang tampak pada perilaku
anak, seperti penggunaan bahasa verbal dan nonverbal dalam berinteraksi dan
berkomunikasi dengan orang lain, artikulasi dan tempo bicara anak, respon
sosialisasi (kontak mata, respon saat dipanggil namanya), respon terhadap
instruksi, serta perilaku bermain anak.
3. Tes Psikologi
Pemeriksaan dengan tes psikologi juga dilakukan untuk memetakan
kemampuan anak dan menunjang penegakan diagnosis yang lebih jelas.
a. Skrining awal terhadap kemampuan perkembangan pasien dilakukan dengan
menggunakan salah satu di antara beberapa tes berikut (Özcebe, Erbas, &
Tiğrak, 2019; Prelock & Hutchins, 2018; Torras-Mañá, dkk, 2014):
i. Denver Developmental Screening Test
ii. Bayley Scales of Infant and Toddler Development
b. Pemeriksaan fungsi adaptif pasien dilakukan dengan menggunakan salah
satu di antara beberapa tes berikut:
i. Vineland Social Maturity Scale (VSMS)
ii. Vineland Adaptive Behavior Scale (VABS)
c. Pemeriksaan terhadap fungsi kognitif pasien dilakukan dengan
menggunakan salah satu di antara beberapa tes berikut (Assous, dkk, 2018):
i. Skala Raven, seperti Coloured Progressive Matrices (CPM)
ii. Tes inteligensi dengan Stanford-Binet Intelligent Scale
iii. Tes inteligensi dengan skala Weschler, seperti Wechsler Preschool
and Primary Scale of Intelligence (WPPSI), Wechsler Intelligence
Scale for Children (WISC)
Selain tes psikologi yang telah disebutkan di atas, identifikasi permasalahan
lain terkait gangguan bahasa dapat dilakukan dengan menggunakan tes psikologi
berikut, di antaranya (Lisa, dkk, 2019; Noterdaeme & Amorosa, 1999):
a. Children Behavior Check List (CBCL)
b. BAUM, Draw A Person (DAP), House Tree Person (HTP)
c. Strength and Difficulties Questionnaire (SDQ)
Tes-tes psikologi yang telah disebutkan di atas merupakan alternatif yang
dapat digunakan sebagai acuan psikolog klinis dalam melakukan pemeriksaan
psikologi pada pasien dengan gangguan bahasa. Tes-tes psikologi tersebut telah
tersedia dalam bahasa Indonesia, namun masih perlu dilakukan penelitian untuk
melihat sejauh mana keefektifannya sebagai evidence based dalam asesmen
penegakan diagnosis gangguan bahasa di Indonesia.
61
Gangguan Bahasa

Diagnosis
Kriteria penegakan diagnosis gangguan bahasa berdasarkan DSM-5 dapat dilihat
pada tabel 3.2.1.
Tabel 3.2.1
Kriteria Diagnosis Gangguan Bahasa Berdasarkan DSM-5
Kriteria Diagnosis Ada Tidak
A Kesulitan yang persisten dalam menambahkan dan
menggunakan modalitas yang dimiliki (seperti
ucapan, tulisan, bahasa isyarat, atau yang lain)
dikarenakan kurangnya pemahaman atau produksi
beberapa hal berikut:
1. Kurangnya kosa kata yang dikuasai
(pengetahuan dan penggunaan kata).
2. Struktur kalimat yang terbatas (kemampuan
menempatkan kata-kata dan mengakhiri kata
untuk membentuk kalimat berdasarkan aturan
tata bahasa dan morfologi).
3. Gangguan dalam percakapan (kemampuan
untuk menggunakan kosa kata dan
menghubungkan kalimat-kalimat untuk
menjelaskan atau menggambarkan suatu topik
atau serangkaian kejadian atau bercakap-
cakap).
B Kemampuan bahasa yang terukur berada di bawah
usia yang diharapkan, mengakibatkan keterbatasan
fungsi dalam komunikasi efektif, partisipasi sosial,
pencapaian akademik, ataupun performa kinerja,
salah satu di antaranya ataupun kombinasi.
C Onset gejala terjadi di masa awal perkembangan
D Kesulitan tidak berkaitan dengan gangguan
pendengaran atau gangguan sensori lain, disfungsi
motorik, atau kondisi medis/neurologis lain yang
tidak lebih baik dijelaskan oleh disabilitas
intelektual (gangguan perkembangan intelektual)
atau global developmental delay.

62
Gangguan Bahasa

Berdasarkan PPDGJ III, pedoman diagnosis gangguan bahasa terdiri dari (Maslim,
2013):
1. Gangguan bahasa reseptif (F80.2)
a. Gangguan perkembangan khas dimana pengertian anak dalam bahasa di
bawah kemampuan rata-rata anak dalam usia mentalnya
b. Kegagalan dalam memberi respon terhadap nama yang familier (tidak
adanya petunjuk nonverbal) pada ulang tahun yang pertama,
ketidakmampuan dalam identifikasi beberapa objek yang sederhana dalam
usia 18 bulan, atau kegagalan dalam mengikuti instruksi sederhana pada usia
2 tahun, dapat dicatat sebagai tanda-tanda dari kelambatan. Di kemudian hari
kesulitan-kesulitan mencakup ketidakmampuan untuk mengerti struktur tata
bahasa (bentuk kalimat negatif, pertanyaan, perbandingan, dsb) dan
kekurangan dalam mengerti aspek penghalus dari bahasa (nada suara,
gerakan tubuh, dsb).
c. Kriteria dari gangguan perkembangan pervasive tidak dijumpai
d. Pada hampir semua kasus, perkembangan dari bahasa ekspresif juga
terlambat dan lazim ada suara ucapan yang tidak normal.
e. Dari semua variasi gangguan perkembangan khas berbicara dan berbahasa,
gangguan bahasa reseptif mempunyai tingkat hubungan yang tinggi dengan
gangguan sosio-emosional-perilaku. Namun demikian, mereka berbeda dari
anak autistik dalam hal interaksi sosial yang lebih normal, permainan
imajinasi yang normal, pemanfaatan orang tua untuk berlindung normal,
penggunaan gerak tubuh yang hampir normal, dan hanya sedikit kesulitan
dalam komunikasi.
2. Gangguan bahasa ekspresif (F80.1)
a. Gangguan perkembangan khas dimana kemampuan anak dalam
mengekspresikan bahasa dengan berbicara, jelas di bawah rata-rata anak
dalam usia mentalnya, tetapi pengertian bahasa dalam batas-batas normal,
dengan atau tanpa gangguan artikulasi
b. Meskipun terdapat variasi individual yang luas dalam perkembangan bahasa
yang normal, tidak adanya kata atau beberapa kata yang muncul pada usia 2
tahun, dan ketidakmampuan dalam mengerti kata majemuk sederhana pada
usia 3 tahun, dapat diambil sebagai tanda yang bermakna dari kelambatan
c. Kesulitan-kesulitan yang tampak belakangan termasuk perkembangan kosa
kata yang terbatas, kesulitan dalam memilih dan mengganti kata-kata yang
tepat, penggunaan yang berlebihan dari sekelompok kecil kata-kata umum,
memendekkan ucapan yang panjang, struktur kalimat yang mentah,
kesalahan kalimat (sintaksis), kehilangan awalan atau akhiran yang khas, dan
63
Gangguan Bahasa

salah atau gagal dalam menggunakan aturan tata bahasa seperti kata
penghubung, kata ganti, kata sandang, dan kata kerja dan kata benda yang
terinfleksi (berubah). Dapat dijumpai generalisasi berlebihan yang tidak
tepat dari aturan tata bahasa, seperti kekurangan dalam pengucapan kalimat
dan kesulitan mengurutkan kejadian-kejadian yang telah lewat.
d. Ketidakmampuan dalam bahasa lisan sering disertai dengan kelambatan atau
kelainan dalam bunyi kata yang dihasilkan
e. Penggunaan bahasa nonverbal (seperti senyum dan gerakan tubuh) dan
bahasa “internal” yang tampak dalam imajinasi atau dalam permainan
khayalan harus secara relatif utuh, dan kemampuan dalam komunikasi sosial
tanpa kata-kata tidak terganggu
f. Sebagai kompensasi dari kekurangannya, anak akan berusaha berkomunikasi
dengan menggunakan gestur, mimik, atau bunyi yang non bahasa.

Komorbiditas

Berdasarkan DSM-5, gangguan bahasa dapat disertai kondisi penyerta berikut


(American Psychiatric Association, 2013):
1. Gangguan belajar spesifik (literasi dan angka)
2. Attention Deficit-Hiperactivity Disorder (ADHD)
3. Autism Spectrum Disorder (ASD)
4. Developmental Coordination Disorder (CDC)
5. Social (Pragmatism) Communication Disorder (SCD)

Diagnosis Banding

Berdasarkan DSM-5, penegakan diagnosis gangguan bahasa dapat disertai


penegakan diagnosis banding sebagai berikut (American Psychiatric Association,
2013):
1. Variasi bicara normal
2. Gangguan pendengaran dan gangguan sensori lainnya
3. Disabilitas intelektual
4. Gangguan neurologis, seperti epilepsi, sindrom afasia, sindrom Landau-Kleffner
5. Regresi bahasa. Pada pasien di bawah 3 tahun, hilangnya kemampuan berbicara
dan regresi bahasa bisa menjadi tanda-tanda gangguan spektrum autisme dengan
kemunduran perkembangan atau kondisi neurologis khusus. Pada pasien di atas
usia 3 tahun, hilangnya bahasa bisa merupakan gejala dari kejang (perlu
pemeriksaan diagnostik untuk menghilangkan kemungkinan diagnosis epilepsi).
64
Gangguan Bahasa

Intervensi Psikologis

Bahasa memainkan peranan penting dalam perkembangan kognitif, sosial, emosi,


dan perilaku anak (Willinger, dkk, 2003), dan penguasaan bahasa anak berkaitan
dengan interaksi orang tua-anak (Allen & Marshall, 2011). Gangguan bahasa dapat
mengarah pada permasalahan perilaku dan permasalahan emosional, yang disebabkan
anak kesulitan mengekspresikan dirinya atau memahami orang lain secara tepat, serta
memengaruhi komunikasi orang tua-anak (Willinger, dkk, 2003). Beberapa komponen
yang dapat memengaruhi interaksi orang tua dengan anak yang memiliki gangguan
bahasa, di antaranya (Allen & Marshall, 2011):
1. Tingkat responsif orang tua
Orang tua yang memiliki anak dengan kesulitan berbahasa kurang responsif
terhadap komunikasi nonverbal anak dan lebih fokus pada bahasa verbal.
2. Arahan orang tua
Orang tua yang memiliki anak dengan kesulitan berbahasa tidak hanya kurang
responsif, namun juga lebih banyak mengarahkan anak.
3. Bicara bergantian
Orang tua yang memiliki anak dengan kesulitan berbahasa lebih banyak
berbicara daripada bergantian bicara dengan anak.
4. Kontingensi semantik
Kemampuan orang tua untuk memahami maksud anak. Orang tua yang
memiliki anak dengan kesulitan berbahasa jarang memberikan umpan balik pada
topik-topik yang diucapkan anak.
5. Kompleksitas semantik dan sintak dalam bahasa yang digunakan orang tua
Perkembangan bahasa anak yang cepat diasosiasikan dengan stimulus dari
orang tua yang tidak terlalu kompleks, sehingga stimulus berupa bahasa dari orang
tua dapat dipahami oleh level anak-anak untuk mencapai perkembangan bahasa
yang lebih optimal.
6. Reinforcement
Orang tua yang memiliki anak dengan kesulitan berbahasa kurang mengenali
dan memberi respon secara positif terhadap ucapan-ucapan anak.
Oleh karena itu, diperlukan program intervensi yang berfokus pada modifikasi
kualitas interaksi orang tua-anak (Allen & Marshall, 2011). Salah satu alternatif
intervensi psikologis yang dapat diberikan pada pasien dengan gangguan bahasa/
language disorder dengan pendekatan perilaku (behavioral treatment) adalah terapi
interaksi orang tua-anak atau Parent-Child Interaction Therapy (PCIT).

65
Gangguan Bahasa

Terapi interaksi orang tua-anak adalah penanganan berbasis bukti yang


dikembangkan dari integrasi beberapa konsep, yaitu konsep client centered play
therapy, teori attachment, dan teori pembelajaran sosial. Terapi interaksi orang tua-anak
bertujuan untuk menguatkan hubungan orang tua-anak, meningkatkan penggunaan
keterampilan pengasuhan positif, dan mengurangi perilaku bermasalah anak (Niec,
2018). Terapi ini biasa digunakan pada pasien dan keluarga yang memiliki
permasalahan psikologis (Falkus, dkk, 2015), dengan mengubah pola negatif interaksi
orang tua-anak dan menciptakan pola baru yang sehat, hangat, dan suportif (Niec, 2018).
Terapi interaksi orang tua-anak terdiri dari dua fase, yaitu (Niec, 2018; Tempel,
Wagner, & McNeil, 2009):
a. Child Directed Interaction (CDI) atau interaksi terarah pada anak dengan berfokus
membangun pengasuhan positif dan meningkatkan keterampilan sosial anak
melalui aktivitas bermain.
b. Parent Directed Interaction (PDI) atau interaksi terarah oleh orang tua dengan
berfokus pada tujuan untuk meningkatkan kemampuan orang tua dalam melatih
kedisiplinan dan kepatuhan anak terhadap instruksi.
Keterampilan-keterampilan yang dipelajari orang tua dalam terapi interaksi orang
tua-anak disebut dengan PRIDE skills, yaitu praise (apresiasi), reflection (refleksi),
imitation (meniru), behavioral description (deskripsi perilaku), dan enjoyment
(kesenangan) (Tempel, Wagner, & McNeil, 2009). Beberapa contoh penerapan PRIDE
skills yang dapat dilakukan orangtua, yaitu (Tempel, Wagner, & McNeil, 2009):
a. Memberikan apresiasi dengan label, misal “Hebat, kamu sudah memindahkan
truknya”.
b. Memberikan apresiasi tanpa label, misal “Terima kasih ”.
c. Melakukan refleksi, misal anak mengatakan “Mobil garasi ”, orang tua
mengatakan, “Mobil di garasi ”.
d. Melakukan imitasi, misal anak meletakkan hidung di mainan kepala kentang (Mr.
potato head), orang tua melakukan hal yang sama dan mengatakan, “Aku
meletakkan hidung ini di Tuan Kepala Kentang seperti yang kamu lakukan ”.
e. Melakukan deskripsi perilaku, misal “Kamu bermain mobil biru”, “Kamu
mengendarai mobil”, “Kamu parkir di garasi”.
f. Melakukan deskripsi informasi, misal “Mobil biru melaju kencang ”, “Aku
bermain mobil biru “.
g. Menunjukkan antusiasme sebagai ekspresi senang, antusias, dan persetujuan.
Misal, mengatakan “Ya, kereta merah ”.
Orang tua dapat bertemu terapis di klinik dan berlatih untuk menggunakan PRIDE
skills. Sesi terapi berlangsung selama 1 jam sekali dalam seminggu (Falkus, dkk, 2015;
66
Gangguan Bahasa

Tempel, Wagner, McNeil, 2009). Kemudian orang tua berperan sebagai terapis bagi
anak, dengan mempraktikkan strategi yang telah dipelajari melalui aktivitas bermain
bersama anak di waktu khusus selama 3-5 kali dalam seminggu di rumah (Falkus, dkk,
2015). Orang tua mengikuti arahan anak dan membiarkan anak berinisiatif. Orang tua
memberikan apresiasi dan komentar, mengembangkan dan mengulangi apa yang anak
ucapkan, yang dapat meningkatkan komunikasi orang tua-anak dan memfasilitasi
perkembangan bahasa anak yang lebih baik (Falkus, dkk, 2015; Tempel, Wagner, &
McNeil, 2009).
Penerapan terapi interaksi orang tua-anak disertai pengukuran terhadap kondisi
sebelum terapi, setiap minggu selama terapi, dan pascaterapi (Niec, 2018). Sebelum
menjalani terapi, pemeriksaan dilakukan untuk menentukan baseline. Pengukuran
paska terapi dilakukan untuk mengetahui perubahan setelah menjalani terapi.
Pengukuran dilakukan terhadap keterampilan interaksi orangtua, kemampuan rata-rata
pengucapan anak, dan rasio waktu saat anak dan orangtua bicara (Falkus, dkk, 2015).
Tata laksana utama pada pasien dengan gangguan bahasa dilakukan oleh terapis
wicara dalam rangka meningkatkan kemampuan bahasa reseptif dan ekspresif pasien.
Tatalaksana yang dilakukan oleh psikolog klinis dilakukan untuk menyasar gangguan-
gangguan sekunder yang dialami oleh pasien dengan gangguan bahasa, seperti
permasalahan emosi dan perilaku.
Salah satu alternatif intervensi psikologi tersebut di atas dapat menjadi acuan
tatalaksana bagi pasien dengan gangguan bahasa. Psikolog klinis juga dapat
menggunakan alternatif intervensi lain yang sudah memiliki basis bukti ilmiah.

Prognosis

Beberapa faktor prognosis pada anak dengan gangguan bahasa, di antaranya:


1. Anak dengan gangguan bahasa reseptif memiliki prognosis yang lebih buruk
dibandingkan anak yang memiliki gangguan bahasa ekspresif
2. Adanya riwayat keluarga dengan gangguan bahasa memperbesar peluang
seseorang mengalami gangguan bahasa

Catatan Lain

Selain pemeriksaan dan intervensi psikologis, asesmen serta tatalaksana pada


pasien dengan gangguan bahasa dapat dilakukan dengan berkolaborasi dengan
profesional lainnya, yaitu: dokter, perawat, terapis wicara, dan terapis okupasi.

67
Gangguan Bahasa

Referensi

Allen, J., & Marshall, C. R. (2011). Parent–Child Interaction Therapy (PCIT) in school-
aged children with specific language impairment. International Journal of
Languange and Communication Disorder, 46(4), 397–410. doi:
10.3109/13682822.2010.517600
American Psychiatric Association. (2013). Diagnostic and statistical manual of mental
disorders (5th ed.). Washington, DC: American Psychiatric Association
Assous, A., Borghini, A., dkk. (2018). Children with mixed developmental language
disorder have more insecure patterns of attachment. BMC Psychology, 6(54).
https://doi.org/10.1186/s40359-018-0268-6
Deckner, C. W., Soraci, S. A., Deckner, P. O., dkk. (1981). Consistency among
commonly used procedures for assessment of abnormal children. Journal of
Clinical Psychology, 37(4). doi: 10.1002/1097-4679(198110)37:4<856::aid-
jclp2270370432>3.0.co;2-5.
Falkus, G., Tilley, C., Thomas, C., dkk. (2015). Assessing the effectiveness of parent-
child interaction therapy with language delayed children: a clinical investigation.
Child Language Teaching and Therapy, 1-11, doi: 10.1177/0265659015574918
Lisa, R., Pola, R., Franz, P., & Jessica, M. (2019). Developmental language disorder:
Maternal stress level and behavioural difficulties of children with expressive and
mixed receptive-expressive DLD. Journal of Communication Disorders, 80,
1-10. doi:10.1016/j.jcomdis.2019.03.006
Maslim, R. (2013). Buku saku diagnosis gangguan jiwa rujukan ringkas dari PPDGJ-
III dan DSM-5. Jakarta: Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK Unika Atmajaya.
Niec, L. N. (2018). Handbook of Parent Child Interaction Therapy: Innovations and
Applications for Research and Practice. Springer. https://doi.org/10.1007/978-3-
319-97698-3
Noterdaeme, M., & Amorosa, H. (1999). Evaluation of emotional and behavioral
problems in language impaired children using the Child Behavior Checklist. Eur
Child Adolesc Psychiatry, 8(2):71-7. doi: 10.1007/s007870050087
Özcebe, E., Erbas, A. N., & Tiğrak, T. K. (2019): Analysis of behavioural
characteristics of children with developmental language disorders. International
Journal of Speech-Language Pathology, doi: 10.1080/17549507.2019.1571631
Prelock, P. A., & Hutchins, T. L. (2018). Approaches to the Screening and
Identification of Communication Disorders. Clinical Guide to Assessment and

68
Gangguan Bahasa

Treatment of Communication Disorders, 23–30. doi:10.1007/978-3-319-93203-


3_3.
Tempel, A. B., Wagner, S. M., & McNeil, C. B. (2009). Parent-Child Interaction
Therapy and language facilitation: the role of parent-training on language
development. The Journal of Speech and Language Pathology - Applied Behavior
Analysis, 3(2-3):216-232. doi: 10.1037/h0100241
Torras-Mañá, M., Guillamón-Valenzuela, M., dkk. (2014). Usefulness of the Bayley
scales of infant and toddler development, third edition, in the early diagnosis of
language disorder. Psicothema, 26(3), 349-356. DOI:
10.7334/psicothema2014.29
Webster, R., Erdos, C., Kehayla, E., & Evans, A. C. The Clinical Spectrum of
Developmental Language Impairment in School-Aged Children: Language,
Cognitive, and Motor Findings. Pediatrics, 118(5):e1541-9. doi:
10.1542/peds.2005-2761
William, U., Bruner, E., Diendorfer-Radner, G., dkk. (2003). Behavior in children with
language development disorder. The Canadian Journal of Psychiatry, 84(9).
https://doi.org/10.1177/070674370304800907
World Health Organization. (2011). International Statistical Classification of Disease
and Related Health Problems Tenth Revision Volume Second Edition. Geneva:
World Health Organization.

69
3. Gangguan Bicara/Speech Sound Disorder

Batasan dan Uraian Umum

Sebagaimana tercantum dalam International Classification of Diseases revisi ke-


10 (ICD-10) (World Health Organization, 2011) dan Diagnostic and Statistical Manual
of Mental Disorders edisi 5 (DSM-5) (American Psychiatric Association, 2013):
1. Speech sound disorder atau gangguan bicara merupakan terminologi yang
digunakan pada DSM-5, sepadan dengan istilah gangguan artikulasi bicara
spesifik di ICD-10.
2. Speech sound disorder merupakan bagian dari gangguan komunikasi yang
ditandai dengan adanya gangguan fonologi dan gangguan artikulasi, sehingga
produksi ucapan tidak seperti usia dan tahapan perkembangan yang diharapkan.
3. Produksi ucapan menunjukkan artikulasi yang jelas dari fonem-fonem (termasuk
suara seseorang) yang dikombinasikan menjadi ucapan kata-kata. Produksi
ucapan membutuhkan pengetahuan fonologi bicara dan kemampuan untuk
mengkoordinasikan gerakan artikulator (seperti rahang, lidah, dan bibir) dengan
napas dan vokalisasi ucapan.
4. Pasien yang kesulitan memproduksi ucapan dapat mengalami kesulitan
memahami fonologi bicara atau kemampuan untuk mengoordinasikan gerakan
untuk berbicara dengan tingkatan yang bervariasi. Verbal dyspraxia adalah istilah
lain yang digunakan untuk permasalahan produksi ucapan.
5. Diagnosis perlu ditegakkan hanya ketika gangguan bicara termasuk berat dan di
luar batas variasi normal usia mental pasien, dengan kecerdasan nonverbal yang
normal, kemampuan bahasa reseptif dan ekspresif termasuk normal, kesulitan
dalam artikulasi bukan karena permasalahan sensori, struktural, maupun
neurologis

70
Gangguan Bicara/Speech Sound Disorder

Manifestasi Klinis

1. Manifestasi klinis pada pasien dengan gangguan bicara tampak pada adanya
kesulitan untuk menggunakan artikulator yang berkaitan dengan otot-otot wajah,
seperti gerakan mengunyah, mempertahankan mulut untuk tetap tertutup, dan
mendengus dari hidung (American Psychiatric Association, 2013).
2. Kemampuan produksi ucapan pasien dengan gangguan bicara di bawah rentang
yang diharapkan pada anak-anak seusianya (Krueger, 2019). Pasien dengan
gangguan bicara menggunakan kata-kata yang lebih pendek dan suku kata-suku
kata seiring prosesnya belajar bicara, namun progres penguasaan produksi ucapan
tidak tampak di usia 3 tahun. Pasien dengan gangguan bicara terus menggunakan
fonologi yang disederhanakan ketika sebagian besar anak sudah bisa
memproduksi kata dengan jelas (American Psychiatric Association, 2013).

Adapun perkembangan bicara normal dan abnormal pada anak dapat dilihat pada
tabel 3.3.1.

Tabel 3.3.1
Perkembangan Bicara Normal dan Abnormal pada Anak
Perkembangan Normal Perkembangan Abnormal
1. Pada anak usia 4 tahun, umum 1. Perkembangan yang abnormal
adanya kesalahan bicara, meski terjadi ketika penguasaan
anak mampu memahami ucapan kemampuan bicara anak
orang lain. terlambat dan/atau belum
2. Pada anak usia 6-7 tahun, dikuasai, yang mengarah pada
kebanyakan kemampuan bicara artikulasi yang tidak tepat pada
dikuasai. Meski ada kesulitan ucapan anak dengan
untuk menggunakan kombinasi konsekuensi orang lain kesulitan
suara, tidak ada permasalahan memahami anak
dalam komunikasi. 2. Terdapat ucapan yang hilang,
3. Pada anak usia 11-12 tahun, teralih, atau tergantikan
penguasaan bicara sudah harus 3. Adanya pengucapan yang tidak
dikuasai. konsisten (anak mungkin
memproduksi fonem dengan
tepat pada kata tertentu namun
kesulitan pada kata lainnya)

71
Gangguan Bicara/Speech Sound Disorder

Perkembangan bicara pada anak-anak dengan dua bahasa (bilingual) sering kali
lebih lambat dibanding anak-anak yang menggunakan satu bahasa (monolingual).
Gangguan bunyi bicara pada anak dengan bilingual maupun monolingual menunjukkan
adanya kesalahan pada jenis elemen yang serupa, yaitu: kelompok konsonan, kata-kata
dengan beberapa suku kata, dan bentuknya (Goldstein & Gildersleeve-Neumann, 2015).
Gangguan bicara meliputi gangguan artikulasi, kesulitan fonologi, tidak fasih
dalam pengucapan, dysarthria, dan apraxia (Lewis, dkk, 2006), yang berdampak pada
kemampuan anak untuk dipahami oleh orang lain, yang bukan disebabkan oleh
permasalahan kognitif, sensori, motorik, permasalahan struktural, maupun afektif
(Allen, dkk, 2013).
Pasien dengan gangguan bicara mengalami kesulitan dalam komunikasi oral
dan/atau tertulis, yang berdampak pada penggunaan bahasa dalam situasi sosial maupun
akademik. Persepsi, sikap, dan perasaan anak lain terhadap pasien dengan gangguan
bicara dapat membatasi persepsi anak terkait interaksi sosial dan partisipasinya dalam
setting pendidikan. Misalnya, kesulitan menjalin hubungan pertemanan ataupun
mengalami perundungan di setting sekolah (Krueger, 2019).

Asesmen dan Diagnosis

Identifikasi
Identifikasi pasien dengan dugaan gangguan bicara dapat dilakukan dengan
mengidentifikasi keluhan orang tua terhadap kemampuan perkembangan bahasa dan
bicara anak. Keluhan orang tua dapat berupa keterlambatan bicara anak dan kesulitan
anak dalam interaksi dan komunikasi sosial.
Asesmen
Faktor-faktor yang dapat memengaruhi produksi bicara anak selama masa
perkembangan adalah faktor biologis dan faktor lingkungan (Wertzner, dkk, 2017).
Asesmen kemampuan bicara anak dengan tujuan penegakan diagnosis perlu didasari
oleh rujukan (termasuk rujukan keluarga); status medis, sensori, atau status
perkembangan; dan kegagalan menjalani skrining awal kemampuan bahasa dan bicara
(Bowen, 2015). Beberapa alternatif metode asesmen yang dapat digunakan adalah
sebagai berikut:
1. Wawancara Klinis
Wawancara klinis dapat dilakukan secara terstruktur maupun tidak
terstruktur. Wawancara pada orang tua dan/atau pasien dengan gangguan bicara
72
Gangguan Bicara/Speech Sound Disorder

dilakukan untuk mendapatkan informasi secara lebih mendalam terkait beberapa


hal berikut (Gironda & Fabus, 2011; Krueger, 2019):
a. Riwayat kesehatan dan pengobatan terkini yang dijalani
b. Riwayat perkembangan dan kemampuan perkembangan pasien terkini
c. Riwayat pendidikan
d. Riwayat keluarga
e. Riwayat kesulitan bicara, termasuk manifestasi klinis di masa lampau dan
masa kini, termasuk dampak kesalahan bicara pasien yang memengaruhi
komunikasinya dengan orang lain serta interpretasi pasien terhadap kesulitan
komunikasi yang dialaminya.
f. Faktor lingkungan: interaksi dan komunikasi sosial dengan teman sebaya,
orangtua, guru, dsb.
2. Observasi Klinis
Observasi klinis pada pasien dengan gangguan bicara/speech sound disorder
dapat dilakukan di berbagai konteks, seperti rumah, sekolah, maupun klinik
dengan metode yang terstruktur maupun tidak terstruktur. Melalui observasi,
dapat diamati gejala-gejala klinis yang tampak pada perilaku anak, misalnya
ucapan spontan anak yang menyederhanakan aturan fonologi, penamaan warna,
gambar, meniru kata dan/atau kalimat. Pemeriksaan perlu menentukan
pengucapan bahasa anak yang bermakna, intonasi, volume suara, pola tingkatan
kata dan frasa yang digunakan (Goldstein & Gildersleeve-Neumann, 2015;
Krueger, 2019; Sices, dkk, 2007; Wertzner, dkk, 2017).
3. Tes Psikologi
Pemeriksaan dengan tes psikologi juga dilakukan untuk memetakan
kemampuan pasien dan menunjang penegakan diagnosis yang lebih jelas.
a. Skrining awal terhadap kemampuan perkembangan pasien dilakukan dengan
menggunakan salah satu di antara beberapa tes berikut (Prelock & Hutchins,
2018):
i. Denver Developmental Screening Test
ii. Bayley Scales of Infant and Toddler Development
b. Pemeriksaan fungsi adaptif pasien dilakukan dengan menggunakan salah
satu di antara beberapa tes berikut:
i. Vineland Social Maturity Scale (VSMS)
ii. Vineland Adaptive Behavior Scale (VABS)
c. Pemeriksaan terhadap fungsi kognitif pasien dilakukan dengan
menggunakan salah satu di antara beberapa tes berikut (Lewis, dkk, 2006;
Murphy, dkk, 2015; Sices, dkk, 2017):

73
Gangguan Bicara/Speech Sound Disorder

i. Skala Raven, seperti Coloured Progressive Matrices (CPM)


ii. Tes inteligensi dengan Stanford-Binet Intelligent Scale
iii. Tes inteligensi dengan skala Weschler, seperti Wechsler Preschool and
Primary Scale of Intelligence (WPPSI), Wechsler Intelligence Scale for
Children (WISC)
Selain tes psikologi yang telah disebutkan di atas, identifikasi permasalahan
lain terkait speech sound disorder dapat dilakukan dengan menggunakan tes
psikologi berikut, di antaranya:
a. Children Behavior Check List (CBCL)
b. BAUM, Draw A Person (DAP), House Tree Person (HTP)
Tes-tes psikologi yang telah disebutkan di atas merupakan alternatif yang
dapat digunakan sebagai acuan psikolog klinis dalam melakukan pemeriksaan
psikologi pada pasien dengan speech sound disorder. Tes-tes psikologi tersebut
telah tersedia dalam bahasa Indonesia, namun masih perlu dilakukan penelitian
untuk melihat sejauh mana validitas dan reliabilitasnya sebagai dasar bukti ilmiah
dalam asesmen penegakan diagnosis speech sound disorder di Indonesia.
Diagnosis
Kriteria penegakan diagnosis speech sound disorder berdasar DSM-5 dapat dilihat
pada tabel 3.3.2. (American Psychiatric Association, 2013).
Tabel 3.3.2
Kriteria Diagnosis Speech Sound Disorder Berdasarkan DSM-5
Kriteria Diagnosis Ada Tidak
A Kesulitan memproduksi ucapan yang persisten yang
mengganggu kejelasan bicara atau menghambat
penyampaian pesan dalam komunikasi verbal
B Gangguan menyebabkan keterbatasan komunikasi
efektif yang mengganggu partisipasi sosial,
pencapaian akademik, ataupun performa kinerja,
baik salah satu ataupun kombinasi
C Onset gejala terjadi di masa awal perkembangan
D Kesulitan tidak berkaitan dengan kongenital atau
kondisi tambahan, seperti cerebral palsy, cleft
palate, tuli atau kehilangan pendengaran, traumatic
brain injury, atau kondisi medis / neurologis lain

74
Gangguan Bicara/Speech Sound Disorder

Berdasarkan PPDGJ-III, kriteria penegakan diagnosis gangguan artikulasi bicara


khas (F80.0) yaitu (Maslim, 2013):
1. Gangguan perkembangan khas dimana penggunaan suara untuk berbicara dari
anak, berada di bawah tingkat yang sesuai dengan usia mentalnya, sedangkan
tingkat kemampuan bahasanya normal.
2. Usia penguasaan suara untuk berbicara dan urutan dimana suara ini berkembang
menunjukkan variasi individual yang cukup besar
3. Diagnosis ditegakkan hanya jika beratnya gangguan artikulasi di luar batas variasi
normal bagi usia mental anak; kecerdasan (intelegensia) nonverbal dalam batas
normal; kemampuan bahasa ekspresif dan reseptif dalam batas normal, kelainan
artikulasi tidak langsung diakibatkan oleh suatu kelainan sensorik, struktural, atau
neurologis; dan salah ucap jelas tidak normal dalam konteks pemakaian bahasa
percakapan sehari-hari dalam kehidupan anak.

Komorbiditas

Speech sound disorder dapat disertai kondisi penyerta yaitu gangguan bahasa
(Lewis, dkk, 2011)

Diagnosis Banding

Berdasarkan DSM-5, penegakan diagnosis speech sound disorder dapat disertai


penegakan diagnosis banding sebagai berikut (American Psychiatric Association,
2013):
1. Variasi bicara normal
2. Gangguan pendengaran dan gangguan sensori lainnya
3. Keterbatasan struktural, seperti cleft palate
4. Dysarthria
5. Selective Mutism

Intervensi Psikologis

Studi menunjukkan intervensi bagi pasien dengan gangguan bicara dapat efektif
dengan mendukung perkembangan bicara anak menggunakan berbagai pendekatan
(Sugden, dkk, 2019). Terapis dianjurkan untuk membuat keputusan klinis berdasarkan
prinsip-prinsip praktik berbasis bukti (Sugden, dkk, 2018). Beberapa model intervensi
bagi anak dengan gangguan biacara di antaranya (Sugden, dkk, 2018):
a. Intervensi individual
75
Gangguan Bicara/Speech Sound Disorder

b. Intervensi kelompok
c. Pelatihan bagi orang tua
d. Program rumah
e. Pelatihan guru
f. Terapi berbasis kelas
g. Edukasi komunitas
Sebagaimana disebutkan di atas, selain intervensi individual maka salah satu
alternatif intervensi psikologis yang dapat diberikan pada pasien dengan gangguan
bicara dengan pendekatan perilaku (behavioral treatment) adalah sebagai berikut:
1. Intervensi berbasis keluarga
Pasien dengan gangguan bicara mengalami kesulitan dalam mempelajari dan
mengucapkan vokal dan konsonan, suku kata, kata, frase, dan kalimat dalam
berbicara dengan fonologi dan/atau artikulasi yang sesuai dengan aturan tata
bahasa, yang memengaruhi kejelasan bicara, penerimaan pesan oleh orang lain,
dan kesulitan menjalin komunikasi bermakna (Bowen, 2015; Sugden, dkk, 2019).
Selain itu, pasien dengan gangguan bicara mengalami risiko kesulitan belajar
membaca, menulis, dan mengeja, (Sugden, dkk, 2019), mengalami kesulitan
sosial-emosional (Sugden, dkk, 2018), serta berisiko mengalami perundungan dari
sebayanya (Sugden, dkk, 2019; Sugden, dkk, 2018).
2. Pelatihan bagi orang tua.
Pelatihan bagi orang tua yang memiliki anak dengan gangguan bicara dapat
menggunakan beberapa metode, di antaranya (Sugden, dkk, 2017):
a. Observasi kekeliruan bahasa dan bicara anak selama sesi terapi berlangsung
dan teknik terapi.
b. Kesempatan orang tua dan anggota keluarga lain untuk melakukan terapi
pada anak selama sesi intervensi yang disupervisi oleh terapis.
c. Menyediakan informasi tertulis.
d. Menyediakan umpan balik langsung pada orang tua selama sesi intervensi
berlangsung.
e. Memberi kesempatan orang tua untuk merefleksikan interaksi dan
performanya dalam melakukan aktivitas latihan di rumah bersama anak.
f. Melakukan role play dengan orang tua.
g. Menggunakan presentasi (video dan/atau tayangan) untuk memberikan
informasi dan/atau menunjukkan teknik terapi.
h. Kesempatan belajar secara berkelompok.

76
Gangguan Bicara/Speech Sound Disorder

Beberapa teknik dan/atau pengetahuan yang diberikan pada pelatihan bagi


orang tua yang memiliki anak dengan gangguan bicara, di antaranya (Sugden, dkk,
2017):
a. Memberikan contoh pengucapan dari target bicara secara tepat.
b. Cara memberikan umpan balik segera setelah anak mengucapkan sesuatu
dengan benar.
c. Cara menggunakan tanda-tanda dan prompt untuk meningkatkan produksi
pengucapan target bicara yang tepat.
d. Cara memberikan umpan balik segera setelah anak mengucapkan sesuatu
dengan keliru / tidak jelas.
e. Cara mengintegrasikan tugas terapi dalam situasi keseharian.
f. Cara memberikan umpan balik pada anak dalam percakapan keseharian.
g. Mengidentifikasi kekeliruan pengucapan anak saat berbicara.
h. Mengajarkan anak cara pengucapan huruf, suku kata, kata, frase, kalimat,
lalu percakapan.
i. Mengubah perilaku bicara, seperti mengurangi kecepatan bicara.
j. Mengubah lingkungan anak (misal, mengurangi suara mengganggu yang
ada).
k. Cara mengumpulkan data terapi selama sesi di rumah dan/atau tugas latihan
di rumah.
Pelatihan bagi orang tua dianggap penting karena orang tua menghabiskan
lebih banyak waktu dengan anak dan menjadi agen perubahan dalam hidup anak,
khususnya di tahun-tahun prasekolah. Orang tua dilatih cara melakukan teknik
terapi, menjadi contoh / model pengucapan target bicara yang benar, memberikan
umpan balik segera setelah anak mengucapkan target bicara dengan benar, dan
mengumpulkan data dari performa anak. Artinya, orang tua dilibatkan dalam
intervensi pada anak dengan gangguan bicara (Sugden, dkk, 2017). Menurut
Sugden, dkk (2018), keterlibatan orang tua menjadi salah satu cara meningkatkan
intensitas latihan bagi anak dengan gangguan bicara. Orang tua dapat memberikan
aktivitas latihan di rumah.
Keterlibatan keluarga dalam intervensi dapat meningkatkan banyaknya
kesempatan pasien untuk berlatih bicara di rumah dengan menerapkan teknik
terapeutik dalam konteks komunikasi keseharian (Sugden, dkk, 2019).
Terapis menganalisis kemampuan bicara pasien dan mengidentifikasi serta
memprioritaskan kesalahan bicara yang akan menjadi target terapi dan menyusun
aktivitas yang sesuai dengan usia pasien (Sugden, dkk, 2019). Melalui aktivitas bermain,
terapis akan mengajarkan pasien pentingnya menggunakan suara untuk mengucapkan
kata-kata bermakna dan memberikan umpan balik atau tanda-tanda untuk mengajari
77
Gangguan Bicara/Speech Sound Disorder

pasien cara mengucapkan target bicara dengan tepat. Selama pasien menjalani sesi
intervensi dengan terapis, orang tua akan mengamati secara aktif prosesnya untuk dapat
melakukannya bersama anak di rumah (Sugden, dkk, 2019). Orang tua akan melibatkan
anak dalam aktivitas yang menargetkan pengucapan suara atau kata-kata melalui
permainan, menyelesaikan lembar kerja, pembetulan dari orang tua terhadap
pengucapan anak di percakapan keseharian, atau mengintegrasikan berbagai latihan
dalam keseharian anak. Aktivitas latihan di rumah ini perlu dilakukan 5 sampai 7 kali
dalam seminggu selama 5 – 15 menit. Pelaksanaan aktivitas latihan di rumah dilakukan
oleh orang tua dengan pengamatan langsung dari terapis (Sugden, dkk, 2018). Terapis
akan memandu jalannya intervensi dan orang tua akan mendukung penerapan intervensi
di rumah (Sugden, dkk, 2019).
Beberapa jenis tugas latihan di rumah yang diberikan terapis pada pasien dengan
speech sound disorder, di antaranya (Sugden, dkk, 2017):
a. Latihan pengucapan dengan serangkaian tugas berfokus pada fonologi
(minimal menggunakan kata-kata berpasangan).
b. Latihan pengucapan selama percakapan keseharian.
c. Latihan pengucapan dengan serangkaian tugas berfokus pada artikulasi
(menggunakan target ucapan yang disusun dalam hierarki dari kata tunggal
ke level percakapan).
d. Aktivitas alami yang diintegrasikan dalam rutinitas keseharian (misal,
stimulasi bicara ketika aktivitas mandi).
e. Tugas mendengarkan (anak mendengarkan target dan/atau suara pengucapan
yang keliru yang dikatakan oleh orang lain).
f. Tugas orang tua (misal memodifikasi gaya komunikasi, melakukan
generalisasi ide-ide terapi dan/atau melakukan refleksi).
g. Membaca buku bersama.
Beberapa intervensi psikologi tersebut di atas dapat menjadi acuan tatalaksana bagi
pasien dengan gangguan bicara. Psikolog klinis juga dapat menggunakan alternatif
intervensi lain yang sudah memiliki basis bukti ilmiah.
Prognosis
Beberapa faktor prognosis pada pasien anak dengan gangguan speech sound
disorder, di antaranya (Sices, dkk, 2007; Sugden, dkk, 2019):
1. Anak dengan gangguan bicara memiliki memiliki konsep pengetahuan dan
strategi penggunaan bahasa yang lebih baik dibandingkan anak dengan gangguan
bicara disertai gangguan bahasa
2. Anak dengan gangguan bicara yang memiliki riwayat keluarga dengan gangguan
bahasa dan bicara memiliki faktor risiko yang lebih besar
78
Gangguan Bicara/Speech Sound Disorder

Catatan Lain
Selain pemeriksaan dan intervensi psikologis, asesmen serta tatalaksana pada
pasien dengan gangguan bicara dapat dilakukan dengan berkolaborasi dengan
profesional lain, yaitu: dokter, perawat, terapis wicara, dan terapis okupasi.

79
Gangguan Bicara/Speech Sound Disorder

Referensi

Allen, M. M. (2013). Intervention efficacy and intensity for children with speech sound
disorder. Journal of Speech, Language, and Hearing Research, 56, 865–877. doi:
10.1044/1092-4388(2012/11-0076)
American Psychiatric Association. (2013). Diagnostic and statistical manual of mental
disorders (5th ed.). Washington, DC. American Psychiatric Publishing
Bowen, C. (2015). Children’s speech sound disorders second edition. John Wiley &
Sons, Ltd.
Gironda & Fabus. (2011). Assessment of articulation and phonological disorders. dalam
Stein, C. & Fabus, R. (eds), A guide to clinical assessment and professional report
writing in speech-language pathology. Delmar Publications
Goldstein, B. A., & Gildersleeve-Neumann, C. E. (2015). Bilingualism and Speech
Sound Disorders. Current Developmental Disorders Reports, 2, 237–244, doi:
10.1007/s40474-015-0049-3
Krueger, B. I. (2019). Eligibility and speech sound disorder: assessment of social
impact. Perspectives, SIG1 Language Learning and Education, 4, 85–90,
https://doi.org/10.1044/2018_PERS-SIG1-2018-0016
Lewis, B. A., Freebairn, L. A., dkk. (2006). Dimensions of early speech sound
disorders: A factor analytic study. Journal of Communication Disorders, 39, 139–
157. doi:10.1016/j.jcomdis.2005.11.003
Lewis, B. A., Avrich, A. A., dkk. (2011). Subtyping children with speech sound
disorders by endophenotypes. Top Lang Disorders, 31(2), 112-127. doi:
10.1097/TLD.0b013e318217b5dd.
Maslim, R. (2013). Buku saku diagnosis gangguan jiwa rujukan ringkas dari PPDGJ-
III dan DSM-5. Jakarta: Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK Unika Atmajaya.
Murphy, C. F. B., Pagan-Neves, L. O., dkk. (2015). Children with speech sound
disorder: comparing a non-linguistic auditory approach with a phonological
intervention approach to improve phonological skills. Frontiers in psychology, 6,
(64). https://doi.org/10.3389/fpsyg.2015.00064
Prelock, P. A., & Hutchins, T. L. (2018). Approaches to the Screening and
Identification of Communication Disorders. Clinical Guide to Assessment and
Treatment of Communication Disorders, 23–30. doi:10.1007/978-3-319-93203-
3_3.

80
Gangguan Bicara/Speech Sound Disorder

Sices, L., Taylor, G., Freebairn, L., dkk. (2007). Relationship between speech sound
disorders and early literacy skills in preschool-age children: impact of comorbid
language impairment. Journal Dev Behav Pediatr. 28(6), 438–447.
doi:10.1097/DBP.0b013e31811ff8ca.
Sugden, E., Baker, E., dkk. (2017). An Australian survey of parent involvement in
intervention for childhood speech sound disorders. International Journal of
Speech-Language Pathology, 1-13. doi: 10.1080/17549507.2017.1356936
Sugden, E., Baker, E., dkk. (2018). Service delivery and intervention intensity for
phonology-based speech sound disorders. International Journal of Language &
Communication Disorders, 1-17. doi: 10.1111/1460-6984.12399
Sugden, E., Munro, N., dkk. (2019). Parents’ experiences of completing home practice
for speech sound disorders. Journal of Early Intervention, 1-23.
https://doi.org/10.1177/1053815119828409
Wertzner, H. F., Fransisco, D. T., Barrozo, T. F., & Pagan-Neves, L. O. (2017).
Evidence for Speech Sound Disorder (SSD) assessment. Chapter from the book
Advances in Speech-language Pathology. Intech,
http://dx.doi.org/10.5772/intechopen.70036
World Health Organization. (2011). International Statistical Classification of Disease
and Related Health Problems Tenth Revision Volume Second Edition. Geneva:
World Health Organization.

81
Gangguan Kefasihan Bicara (Gagap) Onset Masa Kanak-kanak

4. Gangguan Kefasihan Bicara (Gagap) Onset Masa Kanak-kanak

Batasan dan Uraian Umum

Sebagaimana tercantum dalam International Classification of Diseases revisi ke-


10 (ICD-10) (World Health Organization, 2011) dan Diagnostic and Statistical Manual
of Mental Disorders edisi 5 (DSM-5) (American Psychiatric Association, 2013):
1. Gangguan kefasihan bicara (gagap) onset masa kanak-kanak merupakan gangguan
kefasihan dengan pola waktu bicara yang tidak sesuai dengan anak seusianya.
2. Gangguan ini meliputi pengucapan yang lama, pengulangan suku kata, atau tidak
fasih dalam bicara yang ditunjukkan dengan adanya jeda dalam kata ataupun
kalimat.

Manifestasi Klinis

1. Manifestasi klinis pada pasien dengan gangguan kefasihan bicara (gagap) onset
masa kanak-kanak tampak adanya gangguan di area komunikasi sosial maupun
pencapaian akademis. Tidak fasih dalam bicara sering kali tidak muncul ketika
anak membaca, menyanyi, atau bicara pada benda maupun binatang peliharaan
(World Health Organization, 2011).
2. Kegagapan bicara kerap diasosiasikan dengan konsekuensi psikososial di tahun-
tahun prasekolah dan sekolah, termasuk evaluasi negatif dari sebaya yang tidak
mengalami gagap bicara, stereotip dari guru, dan meningkatnya risiko menjadi
korban ejekan dan perundungan (Donaghy & Smith, 2016), serta meningkatnya
risiko kecemasan sosial (O’Brian & Onslow, 2011).
3. Kegagapan bicara membuat pasien bicara dengan lambat dan menggunakan
banyak usaha untuk berbicara. Pada pasien dengan kegagapan bicara derajat
ringan, ia hanya gagap beberapa kali sehari, yang sering kali tidak perlu mencari
bantuan. Sementara pada pasien dengan kegagapan bicara derajat berat, pasien
sering gagap dan kesulitan berkomunikasi (O’Brian & Onslow, 2011).

Asesmen dan Diagnosis

Identifikasi
Identifikasi pasien dengan dugaan gangguan kefasihan bicara (gagap) onset masa
kanak-kanak dapat dilakukan dengan mengidentifikasi keluhan orang tua terhadap

82
Gangguan Kefasihan Bicara (Gagap) Onset Masa Kanak-kanak

kemampuan perkembangan bicara, artikulasi bicara yang kurang jelas, kegagapan


bicara, serta kemampuan interaksi dan komunikasi sosial.
Asesmen
Beberapa alternatif metode asesmen yang dapat digunakan adalah sebagai berikut:
1. Wawancara Klinis
Wawancara klinis pada pasien dan keluarga dengan gangguan kefasihan
bicara (gagap) onset masa kanak-kanak dapat dilakukan untuk mengumpulkan
informasi-informasi berikut, di antaranya:
a. Riwayat kesehatan dan pengobatan terkini yang dijalani
b. Riwayat perkembangan dan kemampuan perkembangan anak terkini
c. Riwayat pendidikan
d. Riwayat keluarga
e. Riwayat kegagapan bicara, termasuk manifestasi klinis di masa lampau dan
masa kini, serta dampaknya terhadap komunikasi anak dengan orang lain
serta interpretasi anak terhadap kesulitan komunikasi yang dialaminya.
f. Faktor lingkungan: interaksi dan komunikasi sosial dengan teman sebaya,
orang tua, guru, dsb.
2. Observasi Klinis
Observasi klinis pada pasien dengan gangguan kefasihan bicara (gagap)
onset masa kanak-kanak dapat dilakukan di berbagai setting, seperti lingkungan
rumah, sekolah, maupun klinik. Observasi dapat dilakukan dengan mengamati
gejala-gejala klinis yang tampak pada perilaku anak. Beberapa hal yang dapat
diamati, antara lain (O’Brian & Onslow, 2011):
a. Gerak rahang, mulut, otot wajah saat anak bicara.
b. Jeda dalam berbicara, yang terkadang bisa terjadi lebih dari 30 detik, disertai
perilaku nonverbal seperti menyeringai, berkedut, atau gerak tubuh lainnya.
c. Perilaku bermain.
d. Perilaku dalam berinteraksi dan berkomunikasi.
e. Perilaku selama pengetesan.
f. Perubahan suasana hati.
3. Tes Psikologi
Pemeriksaan dengan tes psikologi juga dilakukan untuk memetakan
kemampuan pasien dan menunjang penegakan diagnosis yang lebih jelas.
a. Skrining awal terhadap kemampuan perkembangan pasien dilakukan dengan
menggunakan salah satu di antara beberapa tes berikut (Prelock & Hutchins,
2018):
83
Gangguan Kefasihan Bicara (Gagap) Onset Masa Kanak-kanak

i. Denver Developmental Screening Test


ii. Bayley Scales of Infant and Toddler Development
b. Pemeriksaan terhadap fungsi kognitif pasien dilakukan dengan
menggunakan salah satu di antara beberapa tes berikut:
i. Skala Raven, seperti Coloured Progressive Matrices (CPM)
ii. Tes inteligensi dengan Stanford-Binet Intelligent Scale
iii. Tes inteligensi dengan skala Weschler, seperti Wechsler Preschool and
Primary Scale of Intelligence (WPPSI), Wechsler Intelligence Scale for
Children (WISC)
c. Pemeriksaan fungsi adaptif pasien dilakukan dengan menggunakan salah
satu di antara beberapa tes berikut:
i. Vineland Social Maturity Scale (VSMS)
ii. Vineland Adaptive Behavior Scale (VABS)
Selain tes psikologi yang telah disebutkan di atas, identifikasi permasalahan
lain terkait gangguan kefasihan bicara (gagap) onset masa kanak-kanak dilakukan
dengan menggunakan tes psikologi berikut, di antaranya:
i. Children Behavior Check List (CBCL)
ii. BAUM, Draw A Person (DAP), House Tree Person (HTP)
Tes-tes psikologi yang telah disebutkan di atas merupakan alternatif yang
dapat digunakan sebagai acuan klinisi dalam melakukan pemeriksaan psikologi
pada pasien dengan gangguan kefasihan bicara (gagap) onset masa kanak-kanak.
Tes-tes psikologi tersebut telah tersedia dalam bahasa Indonesia, namun masih
perlu dilakukan penelitian untuk melihat sejauh mana keefektifannya sebagai
evidence based dalam asesmen penegakan diagnosis gangguan kefasihan bicara
(gagap) onset masa kanak-kanak di Indonesia.
Diagnosis
Berdasarkan DSM-5, kriteria penegakan diagnosis gangguan kefasihan bicara
(gagap) onset masa kanak-kanak dapat dilihat pada tabel 3.4.1. (American Psychiatric
Association, 2013).

84
Gangguan Kefasihan Bicara (Gagap) Onset Masa Kanak-kanak

Tabel 3.4.1
Kriteria Diagnosis Gangguan Kefasihan Bicara (Gagap) Onset Masa Kanak-Kanak
Berdasarkan DSM-5
Kriteria Diagnosis Ada Tidak
A Gangguan pola kefasihan dan tempo bicara yang
tidak sesuai dengan usia dan keterampilan bahasa
pasien, yang bertahan seiring waktu, dan sering
dicirikan dan ditandai dengan kemunculan satu (atau
lebih) beberapa hal berikut:
1. Repetisi suara dan suku kata
2. Perpanjangan bunyi konsonan dan vokal
3. Pengucapan kata-kata yang tidak utuh/broken
words (misal, ada jeda dalam kata)
4. Ada blocking yang terdengar ataupun senyap
(memenuhi atau tidak memenuhi jeda dalam
bicara)
5. Kesulitan menemukan kata-kata yang tepat
(menggunakan pengganti kata untuk
menghindari kata-kata sulit)
6. Sangat tegang ketika memproduksi kata-kata
7. Mengulang satu suku kata yang merupakan
keseluruhan kata (misal, I-I-I-I see him)
B Gangguan menyebabkan kecemasan berbicara atau
terbatasnya komunikasi efektif, partisipasi sosial,
atau performa akademik atau kinerja (baik salah satu
maupun kombinasi)
C Onset munculnya gejala pada awalm masa
perkembangan (catatan onset di masa perkembangan
lanjutan didiagnosis 307.0 (F98.5) gangguan
kefasihan bicara onset masa dewasa
D Gangguan tidak berkaitan dengan keterbatasan gerak
atau sensori bicara, bicara yang tidak lancar yang
berkaitan dengan kondisi neurologis (seperti stroke,
tumor, trauma), atau kondisi medis lain, dan tidak
lebih baik dijelaskan oleh gangguan mental lain

85
Gangguan Kefasihan Bicara (Gagap) Onset Masa Kanak-kanak

Berdasarkan PPDGJ-III, kriteria penegakan diagnosis gangguan kefasihan bicara


(gagap) onset masa kanak-kanak yaitu (Maslim, 2013):
1. Cara berbicara yang ditandai dengan pengulangan suara atau perpanjangan suku
kata atau kata, atau sering gugup atau terhenti sehingga mengganggu irama alur
bicara
2. Disritmia ringan dari gangguan ini sering ditemukan sebagai suatu fase transisi
pada usia dini anak, atau sebagai pola berbicara yang ringan namun berkelanjutan
pada usia selanjutnya dan usia dewasa. Harus digolongkan sebagai gangguan
hanya bila tingkat keparahan sangat mengganggu kelancaran berbicara. Mungkin
kondisi ini disertai gerakan pada wajah dan/atau bagian tubuh lainnya yang
bersamaan waktu dengan pengulangan, atau hambatan alur bicara. Tidak
ditemukan gangguan neurologis yang mendasari.
3. Pada beberapa kasus dapat pula disertai oleh gangguan perkembangan berbicara
atau berbahasa, dalam hal ini maka harus diberi kode secara terpisah di bawah
kode F80.

Komorbiditas

Gangguan kefasihan bicara (gagap) onset masa kanak-kanak dapat disertai kondisi
penyerta berikut (American Psychiatric Association, 2013; O’Brian & Onslow, 2011):
1. Gangguan tic
2. Cluttering atau pola bicara yang cepat dan tidak beraturan

Diagnosis Banding

Berdasarkan DSM-5, penegakan diagnosis gangguan kefasihan bicara (gagap)


onset masa kanak-kanak dapat disertai penegakan diagnosis banding sebagai berikut
(American Psychiatric Association, 2013):
1. Keterbatasan kemampuan sensori
2. Tidak fasih dalam bicara normal
3. Efek samping obat
4. Tidak fasih bicara onset pada masa dewasa
5. Gangguan tourette

86
Gangguan Kefasihan Bicara (Gagap) Onset Masa Kanak-kanak

Intervensi Psikologis

Tidak fasih bicara (gagap) umum muncul pada anak-anak prasekolah di usia 2-4
tahun, yang dapat menghilang dengan sendirinya di tahun-tahun prasekolah (Blomgren,
2013). Meski demikian, intervensi dini direkomendasikan bagi anak dengan gangguan
kefasihan bicara (gagap) onset pada masa kanak-kanak dalam rentang kurang dari satu
tahun sejak onset gejala muncul (O’Brian & Onslow, 2011). Beberapa referensi
menunjukkan intervensi bagi anak yang bicara dengan gagap dapat dilakukan dengan
beberapa pendekatan berikut (Donaghy & Smith, 2016; Shafiei, dkk, 2019; Sidavi &
Fabus, 2010):
1. Intervensi dengan pendekatan langsung
Intervensi dengan pendekatan langsung berfokus pada perilaku bicara anak
(Donaghy & Smith, 2016; Shafiei, dkk, 2019; Sidavi & Fabus, 2010), dengan
menghilangkan gangguan kefasihan bicara (gagap) dan mempertahankan
kefasihan bicara (Donaghy & Smith, 2016), yang dapat difasilitasi oleh
profesional maupun orang tua (Sidavi & Fabus, 2010). Pendekatan ini dilakukan
dengan menggunakan teknik modifikasi perilaku, seperti modelling
memperlambat kecepatan bicara (Shafiei, dkk, 2019; Sidavi & Fabus, 2010),
memperlama jeda ketika bergantian berbicara, membiarkan anak menyelesaikan
ucapannya tanpa interupsi, penerapan teknik pernafasan (Sidavi & Fabus, 2010),
serta memberikan pujian, pengakuan, dan pembetulan terhadap gangguan
kefasihan bicara (gagap) (Shafiei, dkk, 2019). Salah satu alternatif program
dengan pendekatan langsung adalah Program Lidcombe (O’Brian & Onslow,
2011).
2. Intervensi dengan pendekatan tidak langsung
Beberapa referensi menyebutkan bahwa pendekatan tidak langsung dengan
pendekatan multifactorial, yang secara teoritis gangguan kefasihan bicara (gagap)
dianggap sebagai gangguan dari berbagai faktor, meliputi faktor fisiologis,
linguistik, psikologis, dan lingkungan, yang memengaruhi onset, dampak, dan
prognosis gangguan kefasihan bicara (gagap) (Shafiei, dkk, 2019). Program
dengan pendekatan tidak langsung memfasilitasi kefasihan bicara anak dengan
mengubah lingkungan (Sidavi & Fabus, 2010), dan melakukan modifikasi pada
pola bicara orang tua untuk mengubah sikap, perasaan, dan bahasa anak dalam
interaksi keseharian (Shafiei, dkk, 2019). Tujuan dari pendekatan ini adalah
mengelola gangguan kefasihan bicara (gagap) dan meningkatkan kepercayaan diri
anak untuk bicara dengan lancar. Salah satu alternatif program dengan pendekatan

87
Gangguan Kefasihan Bicara (Gagap) Onset Masa Kanak-kanak

tidak langsung adalah Parent-Child Interaction Therapy (PCIT) (Shafiei, dkk,


2019).
3. Intervensi yang mengombinasikan pendekatan langsung dan tidak langsung
Studi yang dilakukan Shafiei, dkk (2019) menunjukkan program dengan
pendekatan langsung (Lidcombe), pendekatan tidak langsung (PCIT), dan
integrasi program dengan pendekatan langsung (Lidcombe) dan tidak langsung
(PCIT) yang disebut dengan Lid-PCIT dapat mengurangi tingkat parahnya
gangguan dan persentase suku kata yang diucapkan dengan gagap. Bukti ini
menunjukkan potensi program dengan pendekatan langsung dan tidak langsung
dapat membantu anak dengan gangguan kefasihan bicara (gagap) di usia
prasekolah (Shafiei, dkk, 2019). Studi lain menunjukkan penanganan langsung
kurang tepat diberikan pada anak usia 2 tahun 6 bulan. Penanganan tidak langsung
dilakukan dalam jangka pendek, dan jika diperlukan, baru dilakukan penanganan
langsung (Sidavi & Fabus, 2010).
Alternatif intervensi psikologi bagi anak dengan gangguan kefasihan bicara
(gagap) onset pada masa kanak-kanak dengan pendekatan perilaku dapat dilakukan
dengan intervensi berbasis keluarga. Intervensi / terapi yang berfokus pada keluarga
bertujuan untuk membantu orang tua dalam mempelajari gangguan kefasihan bicara
(gagap) dan menerapkan modifikasi komunikasi dalam berinteraksi dengan anak
(Blomgren, 2013). Terapi ini melatih orang tua untuk dapat memfasilitasi
perkembangan kelancaran bicara, sikap komunikasi yang sehat, dan keterampilan
komunikasi efektif anak. Terapi ini terdiri dari tiga sesi, yaitu (Blomgren, 2013):
1. Edukasi dan konseling
Sesi ini mempersiapkan orang tua dan anak untuk berpartisipasi dalam
intervensi dengan memberikan informasi dasar terkait komunikasi efektif dan
gangguan kefasihan bicara (gagap). Konseling dapat membantu orang tua
mengurangi kecemasannya terhadap gangguan kefasihan bicara anak dan
mengajarkan orang tua memberi respon pada anak dengan cara yang suportif.
Selain itu, orang tua membantu mengidentifikasi potensi karakteristik kepribadian
anak yang memengaruhi kelancaran bicara dan komunikasinya. Orang tua
melakukan pengamatan dan pencatatan terhadap situasi-situasi percakapan anak
dengan lawan bicara, intensitas bicara dengan gagap, tipe gangguan kefasihan
bicara yang muncul, tingkat kesadaran anak terhadap gangguan kefasihan
bicaranya, dan reaksi orang yang mendengar anak bicara.

88
Gangguan Kefasihan Bicara (Gagap) Onset Masa Kanak-kanak

2. Pelatihan modifikasi komunikasi


Sesi ini melatih orang tua dengan strategi yang dapat digunakan dalam
memfasilitasi kelancaran bicara anak, misal bicara dengan santai, meminimalkan
tekanan waktu dalam bicara, mengurangi tuntutan komunikasi dengan
memodifikasi gaya bertanya, refleksi, parafrase ucapan anak untuk memberikan
contoh yang akurat, serta menyediakan lingkungan komunikasi yang mendukung.
3. Tinjauan dan asesmen ulang
Sesi ini dilakukan dengan pemeriksaan ulang terhadap tanda-tanda
kemunculan gangguan kefasihan bicara (gagap).
Salah satu alternatif intervensi psikologi tersebut di atas dapat menjadi acuan tata
laksana bagi pasien dengan gangguan kefasihan bicara (gagap) onset pada masa kanak-
kanak. Psikolog klinis juga dapat menggunakan alternatif intervensi lain yang sudah
memiliki basis bukti.

Prognosis

Faktor yang perlu dipertimbangkan dalam memberikan prognosis pada pasien


dengan gangguan kefasihan bicara (gagap) onset masa kanak-kanak adalah kondisi stres
dan cemas yang bisa memperparah gangguan kefasihan bicara sehingga berdampak
pada kegagalan dalam fungsi sosial anak.

Catatan Lain

Selain pemeriksaan dan intervensi psikologis, asesmen serta tatalaksana pada


pasien dengan gangguan kefasihan bicara (gagap) onset masa kanak-kanak dapat
dilakukan dengan berkolaborasi dengan profesional lain, yaitu: dokter, perawat, terapis
wicara, dan terapis okupasi.

89
Gangguan Kefasihan Bicara (Gagap) Onset Masa Kanak-kanak

Referensi

American Psychiatric Association. (2013). Diagnostic and statistical manual of mental


disorders (5th ed.). doi: 10.1176/appi.books.9780890425596
Blomgren, M. (2013). Behavioral treatments for children and adults who stutter: a
review. Psychology Research and Behavior Management, 6, 9-19.
http://dx.doi.org./10.2147/PRBM.S31450
Donaghy, M. A., & Smith, K. A. (2016). Management options for pediatric patients
who stutter: current challenges and future directions. Pediatric Health, Medicine
and Therapeutics, 7(7), 71–77. doi: 10.2147/PHMT.S77568
Maslim, R. (2013). Buku saku diagnosis gangguan jiwa rujukan ringkas dari PPDGJ-
III dan DSM-5. Jakarta: Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK Unika Atmajaya.
O’Brian, S., & Onslow, M. (2011). Clinical management of stuttering in children and
adults. BMJ, 342: d3742. doi: 10.1136/bmj.d3742
Prelock, P. A., & Hutchins, T. L. (2018). Approaches to the Screening and
Identification of Communication Disorders. Clinical Guide to Assessment and
Treatment of Communication Disorders, 23–30. doi:10.1007/978-3-319-93203-
3_3.
Shafiei, B.,Faramarzi, S., dkk. (2019). Effects of the Lidcombe Program and Parent-
Child Interaction Therapy on Stuttering Reduction in Preschool Children. Folia
Phoniatrica et Logopaedica, 71(1), 29-41. doi: 10.1159/000493915
Sidavi, A. & Fabus, R. (2010). A Review of Stuttering Intervention Approaches for
Preschool-Age and Elementary School-Age Children. Contemporary Issues in
Communication Science and Disorder, 37, 14-26. DOI: 1092-5171/10/3701-0014
World Health Organization. (2011). International Statistical Classification of Disease
and Related Health Problems Tenth Revision Volume Second Edition. Geneva:
World Health Organization.

90
Gangguan Komunikasi Sosial (Pragmatis)

5. Gangguan Komunikasi Sosial (Pragmatis)

Batasan dan Uraian Umum

Sebagaimana tercantum dalam International Classification of Diseases revisi ke-


10 (ICD-10) (World Health Organization, 2011) dan Diagnostic and Statistical Manual
of Mental Disorders edisi 5 (DSM-5) (American Psychiatric Association, 2013):
1. Social (pragmatism) communication disorder (SPCD) atau gangguan komunikasi
sosial (pragmatis) merupakan gangguan komunikasi yang ditandai dengan
terbatasnya pemahaman untuk mengikuti aturan sosial dalam berkomunikasi
secara verbal maupun nonverbal. Misal, kesulitan mengubah bahasa yang
digunakan sesuai kebutuhan pendengar atau situasi yang dihadapi, kesulitan
mengikuti aturan dalam percakapan dua arah, dan kesulitan bercerita.
2. Gangguan komunikasi sosial (pragmatis) jarang ditemui pada anak usia di bawah
empat tahun dengan mempertimbangkan perkembangan bahasa dan berbicara
anak yang diharapkan sudah berkembang adekuat di usia 4 atau 5 tahun.
3. Keterbatasan kemampuan komunikasi yang dimiliki tidak disebabkan oleh
minimnya kemampuan kognitif maupun kemampuan bahasa struktural.

Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis pada pasien dengan gangguan komunikasi sosial (pragmatis) di


antaranya: Kesulitan berkomunikasi untuk tujuan sosial dan menyesuaikan komunikasi
di berbagai konteks sosial (Mandy, dkk, 2017), termasuk kesulitan memahami dan
menggunakan bahasa dengan mengikuti aturan bahasa sosial, meski anak memiliki
pengetahuan kosa kata dan tata bahasa yang kuat (Swineford, dkk, 2014)
1. Kesulitan berpartisipasi secara sosial, terlibat dalam percakapan, serta
mengembangkan relasi sosial (American Psychiatric Association, 2013)
2. Kesulitan memaknai informasi yang tidak disampaikan secara eksplisit (Mandy,
dkk, 2017; Yuan & Dollaghan, 2018)
3. Kesulitan dalam bahasa pragmatis memengaruhi pencapaian akademik, perilaku
bermasalah, dan gangguan neuro-psikiatri (Swineford, dkk, 2014).

91
Gangguan Komunikasi Sosial (Pragmatis)

Asesmen dan Diagnosis

Identifikasi
Identifikasi pasien dengan dugaan gangguan komunikasi sosial (pragmatis) dapat
dilakukan dengan mengidentifikasi keluhan orang tua terhadap kemampuan
perkembangan bahasa dan bicara, serta kemampuan interaksi dan komunikasi sosial
anak.
Asesmen
Beberapa alternatif metode asesmen yang dapat digunakan adalah sebagai berikut:
1. Wawancara Klinis
Wawancara klinis dilakukan pada orang tua, pengasuh, guru, maupun orang
terdekat pasien dengan gangguan komunikasi sosial (pragmatis). Beberapa
informasi yang digali melalui wawancara, antara lain (Swineford, dkk, 2014):
a. Riwayat kesehatan
b. Riwayat perkembangan dan kondisi perkembangan terkini
c. Riwayat pendidikan
d. Riwayat keluarga
e. Perilaku anak dalam berinteraksi dan berkomunikasi sosial
f. Kondisi sosio-demografi dan faktor budaya
2. Observasi Klinis
Observasi klinis pada pasien anak dengan gangguan komunikasi sosial
(pragmatis) dapat dilakukan di berbagai setting, seperti rumah, sekolah, dan klinik.
Observasi perilaku juga dapat dilakukan selama sesi pemeriksaan, aktivitas
bermain, maupun saat pasien terlibat dalam interaksi dan komunikasi sosial.
Adapun beberapa hal yang dapat diamati, antara lain (Adams, dkk, 2006; Norbury,
2014):
a. Perilaku komunikasi nonverbal (seperti tatapan mata, gestur).
b. Perilaku komunikasi verbal atau ucapan anak untuk dapatkan perhatian
orang lain.
c. Respon verbal dan nonverbal terhadap instruksi langsung.
d. Keterampilan sosial timbal balik
e. Perilaku stereotip

92
Gangguan Komunikasi Sosial (Pragmatis)

3. Tes Psikologi
Pemeriksaan dengan tes psikologi juga dilakukan untuk memetakan
kemampuan pasien dengan gangguan komunikasi sosial (pragmatis) dan
menunjang penegakan diagnosis yang lebih jelas.
a. Skrining awal terhadap kemampuan perkembangan pasien dilakukan dengan
menggunakan salah satu di antara beberapa tes berikut (Prelock & Hutchins,
2018):
i. Denver Developmental Screening Test
ii. Bayley Scales of Infant and Toddler Development
b. Pemeriksaan terhadap fungsi kognitif pasien dilakukan dengan
menggunakan salah satu di antara beberapa tes berikut:
i. Skala Raven, seperti Coloured Progressive Matrices (CPM)
ii. Tes inteligensi dengan Stanford-Binet Intelligent Scale
iii. Tes inteligensi dengan skala Weschler, seperti Wechsler Preschool and
Primary Scale of Intelligence (WPPSI), Wechsler Intelligence Scale for
Children (WISC)
c. Pemeriksaan fungsi adaptif pasien dilakukan dengan menggunakan salah
satu di antara beberapa tes berikut:
i. Vineland Social Maturity Scale (VSMS)
ii. Vineland Adaptive Behavior Scale (VABS)
Selain tes psikologi yang telah disebutkan di atas, beberapa literatur
menunjukkan identifikasi permasalahan lain terkait gangguan komunikasi sosial
(pragmatis) dilakukan dengan menggunakan tes psikologi berikut, di antaranya:
a. Children Behavior Check List (CBCL)
b. Bender Gestalt (BG)
c. BAUM, Draw A Person (DAP), House Tree Person (HTP)
Tes-tes psikologi yang telah disebutkan di atas merupakan alternatif yang
dapat digunakan sebagai acuan psikolog klinis dalam melakukan pemeriksaan
psikologi pada pasien dengan gangguan komunikasi sosial (pragmatis). Tes-tes
psikologi tersebut telah tersedia dalam bahasa Indonesia, namun masih perlu
dilakukan penelitian untuk melihat sejauh mana keefektifannya sebagai basis
bukti ilmiah dalam asesmen penegakan diagnosis gangguan komunikasi sosial
(pragmatis) di Indonesia.

93
Gangguan Komunikasi Sosial (Pragmatis)

4. Data penunjang lain


Data penunjang lainnya yang mungkin diperlukan adalah dokumen / laporan
orang tua dan guru terkait kemampuan komunikasi pasien (Norbury, 2014)
Diagnosis
Kriteria penegakan diagnosis gangguan komunikasi sosial (pragmatis) berdasarkan
DSM-5 dapat dilihat pada tabel 3.5.1 (American Psychiatric Association, 2013).

Tabel 3.5.1
Kriteria Diagnosis Gangguan Komunikasi Sosial (Pragmatis) Berdasarkan DSM-5
Kriteria Diagnosis Ada Tidak
A Kesulitan dalam menggunakan komunikasi verbal
dan nonverbal yang persisten dan manifestasinya
tampak pada beberapa hal berikut:
1. Keterbatasan menggunakan komunikasi untuk
tujuan sosial, seperti menyapa, berbagi
informasi, dengan tata krama yang sesuai
dengan konteks sosial.
2. Gangguan dalam kemampuan menyesuaikan
komunikasi sesuai konteks ataupun kebutuhan
pendengar, seperti bicara dengan cara yang
berbeda saat berada di kelas dengan di taman
bermain; bicara pada anak-anak dan orang
dewasa dengan cara yang berbeda, serta
menghindari untuk menggunakan bahasa yang
formal.
3. Kesulitan mengikuti aturan percakapan dan
berbagi cerita, seperti bergiliran dalam
berbicara, menggunakan parafrase ketika ada
kesalahpahaman, dan mengetahui cara
menggunakan tanda-tanda verbal dan nonverbal
untuk meregulasi interaksi.
4. Kesulitan memahami informasi yang tidak
disampaikan secara eksplisit (seperti membuat
kesimpulan), bahasa dengan makna yang
ambigu (seperti idiom, humor, metafor,

94
Gangguan Komunikasi Sosial (Pragmatis)

Kriteria Diagnosis Ada Tidak


bermakna ganda yang diartikan sesuai konteks
interpretasinya).
B Kesulitan yang dimiliki berdampak pada terbatasnya
fungsi salah satu atau kombinasi pada area
komunikasi efektif, partisipasi sosial, relasi sosial,
pencapaian akademik, maupun performansi kerja.
C Onset terjadinya gejala pada masa perkembangan
awal (tetapi kesulitan tidak termanifestasi secara
utuh hingga tuntutan komunikasi sosial melebihi
kapasitasnya)
D Gejala-gejala tidak berkaitan dengan kondisi medis
atau neurologis lain serta rendahnya kemampuan di
area struktur tata bahasa dan kalimat, dan tidak dapat
dijelaskan oleh gangguan spektrum autisme,
disabilitas intelektual (gangguan perkembangan
intelektual), keterlambatan perkembangan global,
maupun gangguan mental lain.

Komorbiditas

Gangguan komunikasi sosial (pragmatis) dapat disertai kondisi penyerta berikut


(Swineford, dkk, 2014):
1. Gangguan bahasa
2. Gangguan bicara
3. Gangguan kefasihan bicara (gagap) onset masa kanak-kanak
4. Gangguan komunikasi tidak spesifik

Diagnosis Banding

Berdasarkan DSM-5, penegakan diagnosis gangguan komunikasi sosial (pragmatis)


dapat disertai penegakan diagnosis banding sebagai berikut:
1. Autism Spectrum Disorder (ASD)
2. Attention Deficit/Hiperactivity Disorder (ADHD)
3. Gangguan kecemasan sosial (fobia sosial)
4. Disabilitas intelektual (gangguan perkembangan intelektual)

95
Gangguan Komunikasi Sosial (Pragmatis)

Intervensi Psikologis

Intervensi psikologis yang dapat diberikan pada pasien dengan gangguan


komunikasi sosial (pragmatis) adalah pendekatan perilaku (behavioral treatment).
Hal yang perlu diperhatikan adalah adanya perubahan istilah yang digunakan dari
gangguan bahasa pragmatis menjadi gangguan komunikasi sosial (pragmatis) (Adams,
dkk, 2012). Gangguan komunikasi sosial (pragmatis) dikategorikan sebagai gangguan
komunikasi pada masa kanak-kanak yang ditandai dengan kesulitan dalam
berkomunikasi sesuai konteks sosial. Anak-anak dengan gangguan komunikasi sosial
(pragmatis) mengalami kesulitan untuk bergantian dalam bercakap-cakap, kesulitan
mempertahankan topik pembicaraan, kesulitan mengembangkan keterampilan
berkomunikasi, kesulitan memaknai bahasa tersirat (Adams, dkk, 2006; Yuan &
Dollaghan, 2018), serta kesulitan menggunakan tanda-tanda verbal dan nonverbal
dalam meregulasi interaksi interpersonal (Yuan & Dollaghan, 2018).
Program intervensi bagi pasien dengan gangguan komunikasi sosial (pragmatis)
didesain sesuai profil individual pasien, dengan mempertimbangkan persepsi orang tua
terhadap anak (Adams, dkk, 2006). Prinsip-prinsip dalam intervensi bertujuan
mengurangi gangguan semantik dan keterampilan bahasa tingkat tinggi, kesulitan
pragmatis dalam interaksi sosial dan interpretasi tanda-tanda sosial.
Target intervensi ditentukan dari hasil pemeriksaan terhadap pasien dan
perencanaan intervensi dilakukan secara individual untuk merefleksikan kemampuan
komunikasi pragmatis pada pasien (Adams, dkk, 2006). Intervensi ditujukan untuk
membangun kekuatan komunikasi melalui latihan dan permainan dalam komunikasi
interpersonal, serta mengembangkan strategi untuk meningkatkan komunikasi efektif
dengan orang lain di lingkungan. Intervensi komunikasi menyasar area aturan pragmatis
dalam percakapan, bergantian bicara, memahami dan memainkan peran sosial,
memahami perbedaan, dan cara memformulasikan percakapan. Paska intervensi, akan
dilakukan pengukuran ulang dan melihat perubahan perilaku bahasa pragmatis (Adams,
dkk, 2006).
Studi yang dilakukan Adams, dkk (2006) menunjukkan sebagian orang tua
memiliki pemahaman yang lebih baik akan kebutuhan dan kesulitan anak, serta cara
menggunakan strategi komunikasi di rumah. Sebagian orang tua juga menghabiskan
lebih banyak waktu individual dengan anak berlatih keterampilan percakapan di rumah,
dengan menggunakan bahasa yang sederhana. Selain itu, orang tua juga mengurangi
tekanan pada anak dengan memberi anak lebih banyak ruang dibandingkan mengontrol
anak (Adams, dkk, 2006).

96
Gangguan Komunikasi Sosial (Pragmatis)

Studi yang dilakukan Adams, dkk (2012) menunjukkan program intervensi


komunikasi sosial dianggap efektif dalam meningkatkan fungsi pragmatis dan
keterampilan komunikasi sosial anak di rumah dan sekolah. Intervensi dalam studi ini
dilakukan 16-20 sesi individual selama 1 jam/sesi yang dilakukan 3 kali dalam
seminggu. Implikasi dari studi ini adalah intervensi dilakukan dalam model penelitian,
pada anak-anak lain dengan gangguan komunikasi sosial (pragmatis) intervensi dapat
berlangsung lebih lama dengan perubahan individual yang beragam (Adams, dkk,
2012).
Salah satu alternatif intervensi psikologi tersebut di atas dapat menjadi acuan
tatalaksana bagi pasien dengan gangguan komunikasi sosial (pragmatis). Psikolog
klinis juga dapat menggunakan alternatif intervensi lain yang sudah memiliki evidence
based.

Prognosis

Beberapa faktor prognosis pada pasien dengan gangguan komunikasi sosial


(pragmatis), di antaranya adalah adanya riwayat keluarga dengan autism spectrum
disorder, gangguan komunikasi, atau gangguan belajar spesifik meningkatkan risiko
gangguan komunikasi sosial (pragmatis), yang memperburuk prognosisnya.

Catatan Lain

Pemeriksaan dan tatalaksana pada pasien gangguan komunikasi sosial (pragmatis)


dapat dilakukan dengan berkolaborasi dengan tenaga kesehatan lain, seperti dokter
spesialis anak, terapis wicara, terapis okupasi.

97
Gangguan Komunikasi Sosial (Pragmatis)

Referensi

Adams, C., Lloyd, J., Aldred, C., & Baxendale, J. (2006). Exploring the effects of
communication intervention for developmental pragmatic language impairments:
a signal-generation study. International Journal of Language Communication
Disorder, 41(1), 41-65. doi: 10.1080/13693780500179793.
Adams, C., Lockton, E., Freed, J., dkk. (2012). The Social Communication Intervention
Project: a randomized controlled trial of the effectiveness of speech and language
therapy for school-age children who have pragmatic and social communication
problems with or without autism spectrum disorder. International Journal of
Language Communication Disorder, 47(3), 233-244. doi: 10.1111/j.1460-
6984.2011.00146.x.
American Psychiatric Association. (2013). Diagnostic and statistical manual of mental
disorders (5th ed.). Washington, DC: author.
Mandy, W., Wang, A., Lee, I., & Skuse, D. (2017). Evaluating social (pragmatic)
communication disorder. Journal of Child Psychology and Psychiatry 58(10)
1166–1175. doi:10.1111/jcpp.12785
Norbury, C. F. (2014). Practitioner Review: Social (pragmatic) communication disorder
conceptualization, evidence and clinical implications. Journal of Child
Psychology and Psychiatry, 55(3), 204–216. doi: 10.1111/jcpp.12154
Prelock, P. A., & Hutchins, T. L. (2018). Approaches to the Screening and
Identification of Communication Disorders. Clinical Guide to Assessment and
Treatment of Communication Disorders, 23–30. doi:10.1007/978-3-319-93203-
3_3.
Swineford, L. B., Thurm, A., dkk. (2014). Social (pragmatic) communication disorder:
a research riview of this new DSM-5 diagnostic category. Journal of
Neurodevelopmental Disorders. doi: 10.1186/1866-1955-6-42
World Health Organization. (2011). International Statistical Classification of Disease
and Related Health Problems Tenth Revision Volume Second Edition. Geneva:
World Health Organization.
Yuan, H., & Dollaghan, C. (2018). Measuring the diagnostic features of social
(pragmatic) communication disorder: an exploratory study. American Journal of
Speech-Language Pathology, 27(2):647-656. doi: 10.1044/2018_AJSLP-16-0219.

98
6. Gangguan Spektrum Autisme

Batasan dan Uraian Umum

Sebagaimana tercantum dalam International Classification of Diseases revisi ke-10


(ICD-10) (World Health Organization, 2011) dan Diagnostic and Statistical Manual of
Mental Disorders edisi 5 (DSM-5) (American Psychiatric Association, 2013):
1. Autism Spectrum Disorder atau gangguan spektrum autism merupakan gangguan
neurodevelopmental dengan karakteristik defisit kemampuan interaksi dan
komunikasi sosial di berbagai konteks sosial, seperti respon perilaku dan
komunikasi sosial yang dibutuhkan untuk menjalin interaksi sosial,
mengembangkan, mempertahankan, dan memahami suatu relasi. Kondisi ini
disertai dengan adanya perilaku repetitif, minat dan aktivitas yang terbatas.
2. Berdasarkan klasifikasinya, tampak adanya perbedaan klasifikasi gangguan
spektrum autism yang dapat dilihat pada tabel berikut (American Psychiatric
Association, 2013; American Psychiatric Association, 1994; World Health
Organization, 2011):
Tabel 3.6.1
Perbandingan Klasifikasi Gangguan Spektrum Autism Berdasarkan DSM-IV, DSM-IV-
TR, ICD-10, dan DSM-5
DSM-IV (1994-2000) ICD-10 (1996-saat ini) DSM-5 (2013-saat ini)
DSM-IV-TR (2000-
2013)
299.00 Autistic Disorder F84.0 Childhood Autism 299.00 Autism Spectrum
299.80 Asperger’s Disorder F84.5 Asperger Syndrome Disorder
299.80 Pervasive F84.1 Atypical Autism (Asperger termasuk dalam
Developmental Disorder – Autism Spectrum Disorder,
F84.8 Other pervasive Rett syndrome menjadi
Not Otherwise Specified developmental disorder
(including atypical autism) gangguan yang terpisah)
F84.9 Pervasive
– PDD-NOS
developmental disorder,
299.80 Rett’s Disorder unspecified
299.10 Childhood F84.4 Overactive disorder
Disintegrative Disorder associated with mental
retardation and stereotyped
movements
F84.2 Rett’s syndrome
F84.3 Childhood
Disintegrative Disorder

99
Gangguan Spektrum Autisme

Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis pada pasien dengan gangguan spektrum autisme, di antaranya


(World Health Organization, 2011):
1. Minimnya minat sosial, cenderung bermain sendiri daripada bermain dengan
teman sebaya.
2. Terbatasnya kemampuan mengintegrasikan perilaku sosial, emosional, dan
komunikasi sosial di berbagai konteks sosial. Pasien hanya sedikit menunjukkan
atau sama sekali tidak menunjukkan afeksi dalam berinteraksi sosial, serta kurang
menunjukkan respon tanda-tanda sosial-emosional ataupun respon terhadap emosi
orang lain.
3. Pada sebagian pasien dengan gangguan spektrum autisme, tidak tampak adanya
ekspresi wajah maupun gerak tubuh.
4. Ekolalia
5. Perilaku dan minat yang terbatas dan berulang, seperti bermain dengan mainan
yang sama berulang kali, menggunakan benda yang sama terus-menerus, hanya
memperhatikan bagian tertentu dari mainan.
6. Menunjukkan perilaku atipikal, seperti gestur yang tidak biasa / aneh, melakukan
tindakan melukai diri (misal, menggigit lengan).
7. Kurang fleksibel terhadap perubahan, terpaku pada rutinitas atau ritual yang biasa
dilakukan
Manifestasi klinis pada pasien anak dengan gangguan spektrum autisme biasanya
tampak sebelum usia 3 tahun (Villagrán, dkk, 2017; World Health Organization, 2011).
Beberapa tanda yang muncul di usia 1,5 – 2 tahun dan dapat dipertimbangkan sebagai
kemungkinan gangguan spektrum autisme adalah sebagai berikut (Villagrán, dkk,
2017):
1. Sering tantrum dan memiliki toleransi yang rendah terhadap perubahan.
2. Tidak berceloteh / babbling di usia 9 bulan.
3. Tidak tampak adanya tanda-tanda atau gerak isyarat tangan di usia 12 bulan, tidak
memberi respon ketika dipanggil namanya.
4. Tidak mengucapkan 1 kata di usia 16 bulan.
5. Tidak menunjukkan permainan simbolik di usia 18 bulan.
6. Tidak mengucapkan 2 kata di usia 24 bulan.
Pasien dengan gangguan spektrum autisme mungkin memiliki kemampuan kognitif
rendah, disertai kondisi disabilitas intelektual kategori sedang, berat, atau sangat berat
yang ditunjukkan dengan hasil tes inteligensi. Pasien anak dengan gangguan spektrum
100
Gangguan Spektrum Autisme

autism yang memiliki kemampuan inteligensi normal cenderung salah memahami


pesan-pesan nonverbal, menunjukkan kesulitan dalam hubungan interpersonal, dapat
berbicara dengan nada yang tidak wajar, kurang ekspresif, dan mengulang-ulang topik
pembicaraan yang menarik baginya (Villagrán, dkk, 2017).

Asesmen dan Diagnosis

Identifikasi
Identifikasi pasien dengan dugaan gangguan spektrum autisme dapat dilakukan
dengan mengidentifikasi keluhan orangtua terhadap kemampuan perkembangan anak,
kemampuan interaksi dan komunikasi sosial, perilaku keseharian anak, serta kekakuan
terhadap perubahan.
Asesmen
Beberapa alternatif metode pemeriksaan klinis yang dapat digunakan adalah sebagai
berikut:
1. Wawancara Klinis
Wawancara klinis dapat dilakukan pada orang tua, pengasuh, guru, maupun
orang-orang terdekat pasien dengan gangguan spektrum autisme. Beberapa
informasi yang perlu diperoleh dalam wawancara di antaranya (Cervera, dkk,
2011; Genovese & Butler, 2020; Sanchak & Thomas, 2016; Villagrán, dkk, 2017):
a. Riwayat keluarga
b. Riwayat kesehatan
c. Riwayat perkembangan dan kemampuan perkembangan terkini.
d. Pola perilaku dan kemampuan pasien dalam menjalankan aktivitas
keseharian.
e. Kompetensi sosial anak, termasuk kemampuan interaksi dan penyesuaian
sosial.
f. Lingkungan pasien (seperti situasi yang memunculkan tantrum, kesempatan
interaksi dan belajar dalam keluarga, persepsi orang lain terhadap pasien).
g. Onset pertama munculnya gejala autistik
h. Riwayat penanganan maupun penanganan terkini yang sedang dijalani oleh
pasien.
2. Observasi Klinis
Observasi klinis dilakukan terhadap perilaku pasien dan mengidentifikasi
ada tidaknya tanda / gejala gangguan spektrum autisme, termasuk perilaku
interaksi dan komunikasi sosial pada pasien. Observasi dapat dilakukan di
101
Gangguan Spektrum Autisme

berbagai setting, seperti rumah, sekolah, klinik (NICE, 2011; SIGN, 2016).
Observasi klinis juga bisa dilakukan ketika proses pemeriksaan menggunakan
instrumen diagnosis untuk gangguan spektrum autisme, misalnya The Childhood
Autism Rating Scale (CARS) atau instrumen lain yang mencakup pengamatan
perilaku autistik (Matson, 2008; SIGN, 2016). Beberapa hal yang dapat diamati
dari perilaku pasien dengan gangguan spektrum autisme, antara lain (Cervera, dkk,
2011):
a. Kemampuan relasi sosial
i. Kontak mata
ii. Joint attention dan aksi
iii. Inisiatif memulai interaksi
iv. Keadaan emosional
v. Reaksi terhadap kontak fisik
vi. Respon dalam beraktivitas dengan orang lain
vii. Pola perilaku penyesuaian sosial
b. Kemampuan bahasa dan komunikasi
i. Komunikasi nonverbal / gestur tubuh
ii. Ekspresi verbal
iii. Penggunaan bahasa unik anak
iv. Ekolalia
v. Kemampuan untuk menyusun secara teratur
c. Kemampuan bermain
i. Kemampuan memanipulasi dan menggunakan benda
ii. Respon spontan dan imajinatif
iii. Bermain simbolik
d. Fleksibilitas perilaku dan mental
i. Penyesuaian terhadap perubahan lingkungan
ii. Perilaku rutin / ritual
iii. Perilaku obsesif
3. Tes Psikologi
Pemeriksaan dengan tes psikologi juga dilakukan untuk memetakan
kemampuan pasien dan menunjang penegakan diagnosis yang lebih jelas.
a. Skrining awal terhadap kemampuan perkembangan pasien dilakukan dengan
menggunakan salah satu tes berikut ini (Filipek, dkk, 2000; Matson, 2008;
Ozonoff, Goodlin-Jones, & Solomon, 2005):
i. Denver Developmental Screening Test
ii. Bayley Scales of Infant and Toddler Development

102
Gangguan Spektrum Autisme

b. Pemeriksaan terhadap perilaku autistik pasien yang dapat dilakukan dengan


tes-tes berikut, di antaranya (Filipek, dkk, 2000; Cervera, dkk, 2011; Matson,
2008; Ozonoff, Goodlin-Jones, & Solomon, 2005; Zwaigenbaum & Penner,
2018):
i. The Modified Checklist for Autism in Toddlers (M-CHAT)
ii. Childhood Autism Rating Scales (CARS)
c. Pemeriksaan fungsi adaptif pasien dilakukan dengan menggunakan salah
satu di antara beberapa tes berikut (Ganaie, dkk, 2015; Matson, 2008;
Ozonoff, Goodlin-Jones, & Solomon, 2005):
i. Vineland Social Maturity Scale (VSMS)
ii. Vineland Adaptive Behavior Scale (VABS)
d. Pemeriksaan terhadap fungsi kognitif pasien dilakukan dengan
menggunakan salah satu di antara beberapa tes inteligensi berikut (Matson,
2008; Ozonoff, Goodlin-Jones, & Solomon, 2005):
i. Stanford-Binet Intelligent Scale
ii. Skala Wechsler, seperti Wechsler Preschool and Primary Scale of
Intelligence (WPPSI), Wechsler Intelligence Scale for Children
(WISC)
Asesmen terhadap fungsi intelektual pada pasien dengan gangguan
spektrum autisme dapat membantu memahami kondisi anak terkait tingkat
parahnya gejala, kemampuan untuk mempelajari suatu keterampilan, dan
fungsi adaptifnya.
Selain tes psikologi yang telah disebutkan di atas, beberapa literatur
menunjukkan identifikasi permasalahan lain terkait gangguan spektrum autisme
dilakukan dengan menggunakan tes psikologi berikut, di antaranya
(Aleksandrovich & Zoglowek, 2014; Duarte, dkk, 2003; Volker, dkk, 2010):
a. Children Behavior Check List (CBCL)
b. Visual Motoric Integration (VMI)
c. Bender Gestalt (BG)
d. Goodenough Harris Drawing Test
e. BAUM, Draw A Person (DAP), House Tree Person (HTP)
Tes-tes psikologi yang telah disebutkan dapat digunakan sebagai acuan
psikolog klinis dalam melakukan pemeriksaan psikologi pada pasien dengan
gangguan spektrum autisme. Tes-tes psikologi tersebut telah tersedia dalam
bahasa Indonesia, namun masih perlu dilakukan penelitian untuk melihat sejauh
mana validitas dan reliabilitasnya sebagai basis bukti ilmiah dalam asesmen
penegakan diagnosis gangguan spektrum autisme di Indonesia.
103
Gangguan Spektrum Autisme

Diagnosis
Kriteria penegakan diagnosis gangguan spektrum autisme berdasarkan DSM-5 dapat
dilihat pada tabel 3.6.2 (American Psychiatric Association, 2013).

Tabel 3.6.2
Kriteria Diagnosis Gangguan Spektrum Autisme Berdasarkan DSM-5
Kriteria Diagnosis Ada Tidak
A Defisit komunikasi dan interaksi sosial yang
persisten di berbagai situasi, sebagaimana yang
manifestasinya tampak sebagai berikut, baik riwayat
maupun yang dialami saat ini:
1. Kurangnya resiprositas sosial-emosional, mulai
dari pendekatan sosial yang abnormal,
kegagalan untuk bercakap-cakap dengan
normal, mengurangi berbagi minat, emosi,
maupun afek, gagal memulai atau memberi
respon saat berinteraksi sosial.
2. Kurangnya perilaku komunikasi nonverbal yang
digunakan untuk interaksi sosial, sebagai contoh
komunikasi verbal dan nonverbal yang tidak
terintegrasi dengan baik, kontak mata dan
bahasa tubuh yang tidak normal, defisit dalam
memahami dan menggunakan gestur, sangat
minim dalam ekspresi wajah dan komunikasi
nonverbal.
3. Defisit dalam mengembangkan,
mempertahankan, dan memahami relasi, sebagai
contoh kesulitan menyesuaikan perilaku di
berbagai konteks sosial, kesulitan berbagi
permainan imajinatif atau menjalin pertemanan,
tidak adanya minta pada teman sebaya.
B Pola perilaku, minat, atau aktivitas yang terbatas
dan berulang, yang manifestasinya tampak
setidaknya oleh dua dari beberapa hal berikut, baik
riwayat maupun yang dialami saat ini:

104
Gangguan Spektrum Autisme

Kriteria Diagnosis Ada Tidak


1. Gerakan motorik, penggunaan objek, atau
bicara yang repetitif atau stereotip (seperti gerak
motor stereotip sederhana, menyejajarkan
mainan-mainan, atau membalik objek, ekolalia,
frase idiosyncratic).
2. Bersikeras pada kesamaan, tidak fleksibel pada
perubahan rutinitas, atau pola ritual perilaku
verbal dan nonverbal (misal, distres ekstrem
pada perubahan kecil, kesulitan dengan transisi-
transisi, pola berpikir yang kaku, ritual-ritual
sapaan, kebutuhan untuk mengambil rute yang
sama atau makan makanan yang sama setiap
hari).
3. Keterbatasan dan keterpakuan minat dengan
intensitas dan fokus yang tidak wajar (misal
kelekatan yang kuat atau terpaku pada objek
yang tidak biasa, minat yang berlebihan maupun
yang perseverasi).
4. Hyper/hyporeactivity terhadap input sensori
atau minat sensori yang tidak biasa pada
lingkungan (misal, tidak peduli pada rasa
sakit/suhu, respon yang tidak sesuai terhadap
suara / tekstur tertentu, membaui / menyentuh
objek secara berlebihan, ketertarikan visual
pada cahaya atau gerakan).
C Gejala-gejala tampak di awal periode
perkembangan (tapi mungkin tidak sepenuhnya
termanifestasi sampai tuntutan sosial melebihi
kapasitas kemampuannya yang terbatas, atau
mungkin tertutupi oleh strategi pembelajaran di
masa mendatang).
D Gejala-gejala secara klinis menyebabkan kesulitan
yang signifikan di area sosial, okupasional, maupun
area penting lainnya dari keberfungsiannya saat ini.
E Gangguan-gangguan ini tidak lebih baik dijelaskan
oleh disabilitas intelektual (gangguan
perkembangan intelektual) atau keterlambatan
105
Gangguan Spektrum Autisme

Kriteria Diagnosis Ada Tidak


perkembangan global. Disabilitas intelektual dan
gangguan spektrum autisme sering terjadi
bersamaan, untuk menegakkan diagnosis komorbid
gangguan spektrum autisme dan disabilitas
intelektual, komunikasi sosial harus di bawah dari
tingkat perkembangan yang diharapkan secara
umum.
Catatan: Pasien yang didiagnosis gangguan autisme, gangguan asperger, atau PDD-NOS
(Pervasive Developmental Disorder Not Otherwise Specified) di DSM-IV harus diberikan
diagnosis gangguan spektrum autisme. Pasien dengan defisit komunikasi sosial, namun tidak
memenuhi kriteria gangguan spektrum autisme, perlu dievaluasi untuk diagnosis gangguan
komunikasi sosial (pragmatis).
Ketentuan dalam melakukan diagnosis adalah:
1. Dengan / tanpa disertai gangguan intelektual.
2. Dengan / tanpa disertai gangguan bahasa.
3. Berkaitan dengan kondisi medis/genetik, atau faktor lingkungan (catatan
pemberian kode: gunakan kode tambahan untuk identifikasi yang berkaitan
dengan kondisi medis/genetik).
4. Berkaitan dengan gangguan neurodevelopmental, gangguan mental, atau
gangguan perilaku lain (catatan pemberian kode: gunakan kode tambahan untuk
identifikasi yang berkaitan dengan gangguan neurodevelopmental, gangguan
mental, atau gangguan perilaku).
5. Dengan katatonia (mengacu pada kriteria katatonik yang berkaitan dengan
gangguan mental lain) (catatan pemberian kode: gunakan kode tambahan 293.89
[F06.1] katatonia berkaitan dengan gangguan spektrum autisme untuk
mengindikasikan adanya kondisi penyerta katatonia).
Level keparahan gangguan spektrum autisme berdasarkan DSM-5 dapat dilihat
pada tabel 3.6.3 (American Psychiatric Association, 2013; Khalifeh, dkk, 2016).

106
Gangguan Spektrum Autisme

Tabel 3.6.3
Level Keparahan Gangguan Spektrum Autisme Berdasarkan DSM-5
Level Keparahan
Aspek
Level 3 Level 2 Level 1
Bantuan yang Sangat banyak Banyak bantuan yang Dibutuhkan bantuan
dibutuhkan anak bantuan yang dibutuhkan
dibutuhkan
Defisit Parah / berat Ditandai kurangnya Tampak ada defisit
keterampilan keterampilan ketika tidak ada
komunikasi verbal komunikasi verbal bantuan yang
diberikan
Defisit Parah / berat Ditandai kurangnya Tampak ada defisit
keterampilan keterampilan ketika tidak ada
komunikasi komunikasi bantuan yang
nonverbal nonverbal diberikan
Kendala dalam Parah / berat Tampak jelas meski Kurangnya minat
fungsi sosial ada bantuan yang untuk berinteraksi
diberikan sosial
Inisiatif berinteraksi Sangat terbatas Terbatas Sulit, aneh, atau tidak
sosial berhasil
Respon sosial Minimal / sedikit Berkurang Atipikal / tidak
terhadap ajakan berhasil
dari orang lain
Perilaku tidak Tampak Tampak Mengganggu fungsi
fleksibel sosial
Coping terhadap Sangat sulit Sulit Kendala dalam
perubahan pengorganisasian dan
perencanaan
Perilaku terbatas Sangat Memengaruhi fungsi -
dan berulang mempengaruhi sosial
fungsi sosial
Perubahan fokus / Menyebabkan Sulit / menyebabkan Sulit
aksi distres yang besar distres

6. Berdasarkan PPDGJ-III, pedoman kriteria penegakan diagnosis autisme masa


kanak (F84.0) adalah sebagai berikut (Maslim, 2013):
a. Gangguan perkembangan pervasive yang ditandai oleh adanya kelainan
dan/atau hendaya (impairment) perkembangan yang muncul sebelum usia 3
tahun, dan dengan ciri kelainan fungsi dalam tiga bidang: interaksi sosial,
komunikasi, dan perilaku yang terbatas dan berulang
107
Gangguan Spektrum Autisme

b. Biasanya tidak jelas ada periode perkembangan yang normal sebelumnya,


tetapi bila ada, kelainan perkembangan sudah menjadi jelas sebelum usia 3
tahun, sehingga diagnosis sudah dapat ditegakkan. Tetapi gejala-gejalanya
(sindrom) dapat didiagnosis pada semua kelompok umur.
c. Selalu ada hendaya (impairment) kualitatif dalam interaksi sosial yang
timbal balik (reciprocal social interaction). Ini berbentuk apresiasi yang
tidak adekuat terhadap isyarat sosio-emosional, yang tampak sebagai
kurangnya respon terhadap emosi orang lain dan/atau kurangnya modulasi
terhadap perilaku dalam konteks sosial; buruk dalam menggunakan isyarat
sosial dan integrasi yang lemah dalam perilaku sosial, emosional, dan
komunikatif, dan khususnya kurangnya respon timbal balik sosio-emosional
d. Demikian juga terdapat hendaya (impairment) kualitatif dalam komunikasi.
Ini berbentuk kurangnya penggunaan keterampilan bahasa yang dimiliki di
dalam hubungan sosial, hendaya (impairment) dalam permainan imajinatif
dan imitasi sosial, keserasian yang buruk dan kurangnya interaksi timbal
balik dalam percakapan, buruknya keluwesan dalam bahasa ekspresif dan
kreativitas dan fantasi dalam proses pikir yang relatif kurang, kurangnya
respon emosional terhadap ungkapan verbal dan nonverbal orang lain,
hendaya (impairment) dalam menggunakan variasi irama atau penekanan
sebagai modulasi komunikatif dan kurangnya isyarat tubuh untuk
menekankan atau memberi arti tambahan dalam komunikasi lisan.
e. Kondisi ini juga ditandai oleh pola perilaku, minat, dan kegiatan yang
terbatas, berulang, dan stereotip. Ini berbentuk kecenderungan untuk
bersikap kaku dan rutin dalam aspek kehidupan sehari-hari, ini biasanya
berlaku untuk kegiatan baru dan juga untuk kebiasaan sehari-hari serta pola
bermain. Terutama sekali dalam masa kanak yang dini, dapat terjadi
kelekatan yang khas terhadap benda-benda yang aneh, khususnya benda
yang tidak lunak. Anak dapat memaksakan suatu kegiatan rutin dalam ritual
yang sebenarnya tidak perlu; dapat terjadi keterpakuan yang stereotip
terhadap suatu minat seperti tanggal, rute, atau jadwal; sering terdapat
stereotip motorik; sering menunjukkan minat khusus terhadap segi-segi
nonfungsional dari benda-benda (misalnya bau atau rasanya); dan terdapat
penolakan terhadap perubahan dari rutinitas atau detail dari lingkungan
hidup pribadi (seperti perpindahan mebel atau hiasan dalam rumah).
f. Semua tingkatan IQ dapat ditemukan dalam hubungannya dengan autisme,
tetapi pada tiga perempat kasus secara signifikan terdapat retardasi mental.

108
Gangguan Spektrum Autisme

Komorbiditas

Gangguan spektrum autisme dapat disertai kondisi penyerta berikut:


1. Gangguan bahasa
2. Disabilitas intelektual
3. Gangguan pemusatan perhatian dan/atau hiperaktif

Diagnosis Banding

Berdasarkan DSM-5 dan ICD-10, penegakan diagnosis gangguan spektrum autisme


dapat disertai penegakan diagnosis banding sebagai berikut:
1. Rett syndrome
2. Selective mutism
3. Gangguan bahasa
4. Gangguan komunikasi sosial (pragmatis)
5. Disabilitas intelektual tanpa gangguan spektrum autisme
6. Gangguan gerak stereotip
7. Gangguan pemusatan perhatian dan/atau hiperaktif
8. Skizofrenia

Intervensi Psikologis

Intervensi bagi pasien dengan gangguan spektrum autisme ditujukan bagi anak,
keluarga, dan lingkungan (rumah, sekolah, komunitas, dan layanan kesehatan) (Cervera,
dkk, 2011). Intervesi perlu menyasar berbagai multi-disiplin, di antaranya penanganan
perilaku, psikososial, pendidikan, kesehatan, kualitas hidup, fungsi sosial anak secara
mandiri, serta memberikan edukasi pada kerabat dan guru untuk berpartisipasi aktif
selama proses intervensi (Cervera, dkk, 2011; Subramanyam, dkk, 2019; Villagrán, dkk,
(2017). Beberapa alternatif intervensi psikologis dengan pendekatan perilaku yang
dapat diberikan pada pasien dengan gangguan spektrum autisme adalah sebagai berikut:
1. Intervensi berbasis keluarga
Program intervensi yang dimediasi oleh orang tua perlu dipertimbangkan
bagi anak usia dini yang mengalami gangguan spektrum autisme. Intervensi ini
diharapkan dapat membantu interaksi keluarga dengan anak, memajukan
perkembangan anak (Cervera, dkk, 2011; SIGN, 2016), meningkatkan kepuasan
pengasuhan, penguatan, dan kesehatan mental (SIGN, 2016). Intervensi keluarga
dapat dilakukan dengan memberikan informasi terkait ASD, kondisi pasien, dan
109
Gangguan Spektrum Autisme

proses penyesuaian ekspektasi orang tua dengan kondisi anak. Intervensi keluarga
memberikan panduan pada orang tua dalam menyediakan lingkungan yang dapat
menunjang proses perkembangan anak, di antaranya (Cervera, dkk, 2011):
a. Menyediakan lingkungan yang dapat diprediksi oleh anak
b. Menggunakan gestur yang jelas dan bahasa yang sederhana dalam
memfasilitasi pemahaman anak
c. Memfasilitasi anak belajar dari pengalaman dengan cara yang
menyenangkan di lingkungan yang aman dalam mengembangkan aspek
emosi anak
d. Menghindari lingkungan yang kompleks, seperti terlalu berisik, terlalu
banyak stimulus, ataupun tidak terstruktur
e. Bersikap sabar dan menyiapkan strategi dalam mengelola perilaku
mengganggu, perilaku stereotip ataupun perilaku ritual anak
Salah satu program intervensi berbasis keluarga adalah family-centered
positive behavior support (PBS) atau dukungan perilaku positif berpusat pada
keluarga (Cervera, dkk, 2011). Pendekatan ini menekankan pembentukan dan
penguatan perilaku positif anak sebagai diferential reinforcement of others yang
efektif digunakan dalam menurunkan perilaku kurang adaptif yang menjadi target
intervensi (Siegel, Mays, & Homen, 2014).
2. Applied Behavioral Analysis (ABA)
Applied Behavioral Analysis (ABA) merupakan modifikasi perilaku intensif
dengan menggunakan teknik operant conditioning yang merupakan penanganan
berbasis bukti bagi pasien dengan gangguan spektrum autisme (Matson, 2009;
Oltmanns & Emery, 2018; Siegel, Mays, & Homen, 2014). Intervensi dengan
komponen-komponen ABA menyasar pada area keterampilan komunikasi,
perilaku adaptif, keterampilan kognitif, keterampilan sosial, dan keterampilan
bermain (Oltmanns & Emery, 2018; Matson, 2008). Durasi intervensi dengan
ABA setidaknya dilakukan sebanyak 40 jam per minggu selama 2 tahun (Matson,
2008).
Tujuan awal ABA adalah mengidentifikasi target perilaku yang spesifik,
kemudian meningkatkan kontrol terhadap perilaku pasien dengan menggunakan
teknik-teknik modifikasi perilaku (Oltmanns & Emery, 2018). Intervensi diawali
dengan melakukan analisis fungsional terhadap perilaku pasien untuk menentukan
ABC (Antecedents, Behaviors, Consequences), dan menentukan target perilaku
yang menjadi baseline (Matson, 2009; Siegel, Mays, & Homen, 2014). Selama
terapi, pengukuran tetap dilakukan untuk mengetahui efektivitasnya terhadap
perilaku pasien (Matson, 2009). Beberapa metode dapat digunakan untuk
110
Gangguan Spektrum Autisme

mengubah perilaku pasien antara lain prompting, reinforcement, chaining,


differential reinforcement of other incompatible behavior, dan extinction (Siegel,
Mays, & Homen, 2014). Setelah terminasi program intervensi, perlu dilakukan
follow up untuk mengevaluasi perilaku pasien secara umum dan perilaku yang
masih bertahan (Matson, 2009).
Model ABA yang sering digunakan adalah Discrete Trial Training (DTT)
dan Pivotal Response Training (PRT) dalam penanganan pasien dengan gangguan
spektrum autisme.
a. Discrete Trial Training (DTT)
DTT menerapkan pembelajaran satu per satu, dengan langkah awal
adalah keterampilan kesiapan belajar, seperti perhatian, kepatuhan, dan
imitasi, lalu menyesuaikan konsep dengan usia kronologis (seperti
identifikasi reseptif terhadap bagian-bagian tubuh), serta dapat mengikuti
kurikulum perkembangan. DTT terdiri dari cue, prompt, response,
consequences, dan intertrial interval (Siegel, Mays, & Homen, 2014).
Secara umum, stimulus diberikan secara verbal, singkat, dan jelas dengan
target perilaku yang dibagi menjadi bagian-bagian kecil. Hanya satu
keterampilan tertentu yang diajarkan pada satu waktu pemberian DTT.
Ketika anak memberikan respon yang sesuai, psikolog klinis segera
memberikan penguatan positif. Akan tetapi, jika pasien gagal
memberikan respon yang sesuai, psikolog klinis melakukan prompting
yang memfasilitasi anak untuk merespon dengan tepat. Seiring progres
pasien, prompt dihilangkan secara bertahap (Matson, 2009). DTT
direkomendasikan untuk dilakukan 40 jam per minggu terutama pada
pasien yang memulai intervensi di usia 4-5 tahun (Smith, 2001).
Penerapan DTT mengarah pada peningkatan skor IQ, nonverbal IQ,
bahasa, dan keterampilan adaptif (Siegel, Mays, & Homen, 2014).
b. Pivotal Response Training (PRT)
PRT merupakan model ABA yang digunakan saat momen
pengajaran ketika pasien menginginkan atau membutuhkan sesuatu, atau
ketika disusun situasi adanya pilihan reinforcement yang berbeda. PRT
dibangun berdasarkan DTT, hanya saja perilaku dikuatkan berdasarkan
keinginan anak untuk mendapatkan pilihan reinforcement yang
disediakan. PRT didesain untuk menurunkan ketergantungan prompt dan
meningkatkan generalisasi dan spontanitas (seperti dalam menginisiasi
pilihan komunikasi). PRT dianggap lebih siap diterapkan oleh orang tua
di rumah daripada DTT, yang menumbuhkan inisiatif anak dan rasa
111
Gangguan Spektrum Autisme

keingintahuannya. Program pelatihan orang tua sering kali diasosiasikan


dengan administrasi PRT, membekali orang tua dengan keterampilan
untuk memfasilitasi keterampilan sosial dan komunikasi anak dalam
aktivitas keseharian (Siegel, Mays, & Homen, 2014).
Beberapa studi menunjukkan efek penerapan ABA, DTT, ataupun PRT pada
pasien dengan gangguan spektrum autisme, di antaranya (Apnoza, Madjid, &
Savitri, 2018; Hardiani & Rahmawati, 2012; Jaleha & Mirnawati, 2019; Jessy &
Diswantika, 2019; Matson, 2009; Smith, 2001):
a. Meningkatkan joint attention.
b. Meningkatkan keterampilan sosial.
c. Meningkatkan kontak mata.
d. Meningkatkan keterampilan bahasa reseptif dan ekspresif.
e. Menurunkan perilaku bermasalah, seperti perilaku melukai diri, perilaku
tantrum, dll.
f. Keterampilan imitasi verbal, vokal, dan gerak.
g. Keterampilan bermain.
3. Developmental, individual-difference, relationship-based (DIR) model/DIR
Floortime/Floortime.
Ia merupakan intervensi berbasis bermain yang diarahkan oleh pasien yang
menggunakan interaksi sosial untuk memfasilitasi peningkatan keterampilan.
Intervensi ini melibatkan significant others dari pasien, seperti orang tua, terapis,
dan guru (Matson, 2008). Prosedur DIR/Floortime menekankan pemahaman
terhadap kapasitas yang perlu dikembangkan dari anak melalui pemberian tugas-
tugas yang diperlukan (Mercer, 2015).
DIR/Floortime mengacu pada pencapaian setiap tujuan adaptif awal pasien
dengan gejala autistik yang belum tercapai pada satu atau beberapa fase tertentu
(Mercer, 2015). Greenspan menekankan DIR / Floortime sebagai penanganan
berbasis relasi dengan berfokus pada kebutuhan pasien dan kontribusi primer dari
pengasuh. Intervensi ini dimulai dengan observasi dan pemeriksaan orang dewasa
terhadap aktivitas, minat, serta kondisi emosi pasien. Psikolog klinis meniru
perilaku pasien, mengorganisasikan dan mengelaborasikan ide-ide serta perasaan-
perasaan pasien. Aktivitas dilakukan dengan membangun balok, merangkai manik,
permainan pura-pura dengan boneka, mainan mobil-mobilan, atau mainan
binatang yang dapat digunakan secara terapeutik. Melakukan aktivitas bersama
yang menarik bagi pasien dapat membantunya untuk lebih terlibat dengan orang
dewasa. DIR / Floortime direkomendasikan dilakukan selama 15 jam per minggu
dengan beberapa jam tambahan untuk terapi bicara maupun terapi lainnya. Selain
112
Gangguan Spektrum Autisme

itu, disarankan sesi Floortime setiap harinya yang dilakukan dengan orang tua,
konseling orang tua satu / dua kali dalam seminggu, dan empat sesi psikoterapi
individu per minggu (Mercer, 2015).
Beberapa alternatif intervensi psikologi tersebut di atas dapat menjadi acuan
tatalaksana bagi pasien dengan gangguan spektrum autisme. Psikolog klinis juga dapat
menggunakan alternatif intervensi lain yang sudah memiliki evidence based.

Prognosis

Beberapa faktor prognosis pada pasien dengan gangguan spektrum autisme, di


antaranya (American Psychiatric Association, 2013; Villagrán, dkk, 2017):
1. Ada tidaknya kondisi disabilitas intelektual dan gangguan bahasa yang
menyertai. Keterampilan bahasa yang berfungsi dengan baik di usia 5 tahun
adalah pertanda prognosis yang baik. Berkembangnya bahasa komunikasi
sebelum usia 6 tahun menunjukkan adanya disabilitas intelektual ringan atau
tidak ada sama sekali, yang membuat prognosisnya semakin baik.
2. Deteksi dini terhadap gangguan spektrum autisme mempengaruhi prognosis
perkembangan pasien dan kemampuan keluarga untuk menghadapi kesulitan
dalam mendampinginya. Semakin dini diagnosis ditegakkan, semakin cepat
pasien dan keluarga mendapatkan bantuan untuk meningkatkan kemampuan
fungsi sosial dan adaptif, komunikasi, dan proses intelektual.
3. Derajat / level keparahan gangguan spektrum autisme.
4. Intervensi psikoterapi yang diberikan secara intensif sedini mungkin,
semakin dini semakin baik prognosisnya.
5. Akses terhadap penanganan gangguan spektrum autisme, semakin banyak
akses yang dimiliki terhadap berbagai penanganan, semakin baik
prognosisnya.

Catatan Lain

Pemeriksaan dan tatalaksana pada pasien gangguan spektrum autisme dapat


dilakukan dengan berkolaborasi dengan tenaga kesehatan lain, yaitu: dokter spesialis
anak, terapis wicara, terapis okupasi.

113
Gangguan Spektrum Autisme

Referensi

Aleksandrovich, M., & Zoglowek, H. (2014). Autistic Spectrum Disorders and


Creativity:Comparative Study of the Art Works. Revija za elementarno
izobraževanje št.
American Psychiatric Association. (2013). Diagnostic and statistical manual of mental
disorders (5th ed.). Washington, DC: author.
American Psychiatric Association. (1994). Diagnostic and statistical manual of mental
disorders (4th ed.). Washington, DC: author.
Apnoza, R., Madjid, E. M., & Savitri, L. S. Y. (2018). Penerapan pivotal response
training oleh orangtua untuk meningkatkan kemampuan joint attention pada anak
dengan autism spectrum disorder. Jurnal Psikologi, 11(01). doi:
http://dx.doi.org/10.35760/psi.2018.v11i1.2073
Cervera, G. R., Romero, M. G. M., Mas, L. A., & Delgado, F. M. (2011). Intervention
Models in Children with Autism Spectrum Disorders. Autism Spectrum Disorders
- From Genes to Environment. doi:10.5772/18512
Duarte, C. S., Bordin, I. A., dkk. (2003). The CBCL and the identification of children
with autism and related conditions in Brazil: pilot findings. Journal of Autism &
Developmental Disorder, 33(6),703-7. doi:
10.1023/B:JADD.0000006005.31818.1c
Filipek, P. A., Accardo, P. J., dkk. (2000). Practice parameter: screening and diagnosis
of autism. Report of the quality standards subcommittee of the American academy
of neurology and the child neurology society. Neurology, 55, 468-479. doi:
10.1212/wnl.55.4.468.
Genovese, A., & Butler, M. G. (2020). Clinical Assessment, Genetics, and Treatment
Approaches in Autism Spectrum Disorder (ASD). International Journal of
Molecular Sciences, 21(13), 4726. doi: 10.3390/ijms21134726.
Hardiani, R. S., & Rahmawati, S. (2012). Metode ABA (Applied Behaviour Analysis):
kemampuan bersosialisasi terhadap kemampuan interaksi sosial anak autis. Jurnal
Keperawatan Soedirman, 7(1). http://dx.doi.org/10.20884/1.jks.2012.7.1.336
Jaleha, S., & Mirnawati. (2019). Application of DTT (Discrete Trail Training) method
in improving the eye contact ability of autistic children. Journal of ICSAR, 3(2),
48-52. http://journal2.um.ac.id/index.php/icsar/article/view/7495/4671
Jessy, M., & Diswantika, N. (2019). Efektivitas terapi Applied Behavior Analysis
(ABA) terhadap perkembangan bahasa anak berkebutuhan khusus autisme. Jurnal
Cakrawala Pendidikan Dasar, 5(2). http://dx.doi.org/10.31949/jcp.v5i2.1353
114
Gangguan Spektrum Autisme

Khalifeh, S. S., Yassin, W. F., Kourtian, S., & Boustany, R. N. (2016). Autism in review.
Lebanese Medical Journal, 64 (2). doi: 10.12816/0027470
Maslim, R. (2013). Buku saku diagnosis gangguan jiwa rujukan ringkas dari PPDGJ-
III dan DSM-5. Jakarta: Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK Unika Atmajaya.
Matson, J. (2008). Clinical assessment and intervention for autism spectrum disorders.
Elsevier Inc.
Matson, J. (2009). Applied Behavior Analysis for children with autism spectrum
disorders. Springer.
Mercer, J. (2015). Examining DIR/Floortime™ as a treatment for children with autism
spectrum disorders: a review of research and theory. Research on Social Work
Practice. doi: 10.1177/1049731515583062.
NICE. (2011). Autism Spectrum Disorder in under 19s: recognition, referral and
diagnosis. https://www.nice.org.uk/guidance/cg128/resources/autismspectrum-
disorder-in-under-19s-recognition-referral-and-diagnosis-pdf35109456621253,
diakses November 2020.
Oltmanns, T. F., & Emery, R. E. (2018). Abnormal psychology. (9th edition). Upper
Saddle River, NJ: Pearson.
Ozonoff, S., Goodlin-Jones, B. L., & Solomon, M. (2005). Evidence-based assessment
of Autism Spectrum Disorders in children and adolescent. Journal of clinical child
and adolescent psychology, 34(3), 523-540.
https://doi.org/10.1207/s15374424jccp3403_8
Sanchak, K. E., & Thomas, C. A. (2016). Autism Spectrum Disorder: Primary care
principles. American Family Physician, 94(12). 972-979A.
https://www.aafp.org/afp/2016/1215/afp20161215p972.pdf
Scottish Intercollegiate Guidelines Network (SIGN). (2016). SIGN 145: assessment,
diagnosis and interventions for Autism Spectrum Disorders: a national clinical
guideline. http://www.sign.ac.uk/assets/sign145.pdf,
Siegel, B., Mays, L. A., & Homen, A. M. (2014). Autism spectrum disorder in
gabbard’s treatments of psychiatrics disorders 5th edition. American Psychiatric
Association.
Smith, T. (2001). Discrete Trial Training in the Treatment of Autism. Focus on Autism
and Other Developmental Disabilities, 16(2), 86–92.
doi:10.1177/108835760101600204

115
Gangguan Spektrum Autisme

Subramanyam, A. A., Mukherjee, A., Dave, M., & Chavda, K. (2019). Clinical
Practices Guidelines for Autism Spectrum Disorder. Indian J Psychiatry, 61(Suppl
2), 254–269. doi: 10.4103/psychiatry.IndianJPsychiatry_542_18
Villagrán, L. L. V., Bautista, E. M., Moo-Rivas, C. D., dkk. (2017). Autism Spectrum
Disorder review: diagnosis and treatment update. Revista Mexicana de
Neurociencia, 18(5), 31-45.
Volker, M. A., Lopata, C., Vujnovic, R. K., dkk. (2010). Comparison of the Bender
Gestalt-II and VMI-V in Samples of Typical Children and Children with High-
Functioning Autism Spectrum Disorders. Journal of Psychoeducational
Assessment, 28(3): 187–200. doi: 10.1177/0734282909348216
World Health Organization. (2011). International Statistical Classification of Disease
and Related Health Problems Tenth Revision Volume Second Edition. Geneva:
World Health Organization.
Zwaigenbaum, L., & Penner, M. (2018). Autism Spectrum Disorder: advances in
diagnosis and evaluation. BMJ, 36, k1674. doi: 10.1136/bmj.k1674

116
7. Gangguan Pemusatan Perhatian dan/atau Hiperaktif (GPPH)

Batasan dan Uraian Umum

Sebagaimana tercantum dalam International Classification of Diseases revisi ke-10


(ICD-10) (World Health Organization, 2011) dan Diagnostic and Statistical Manual of
Mental Disorders edisi 5 (DSM-5) (American Psychiatric Association, 2013) maka
1. Attention-Deficit/Hiperactivity Disorder (ADHD) atau Gangguan Pemusatan
Perhatian dan/atau Hiperaktif (GPPH) merupakan gangguan neurodevelopmental
yang ditandai dengan adanya gangguan memusatkan perhatian dan/atau
hiperaktif-impulsif yang persisten.
2. Gangguan Pemusatan Perhatian dan/atau Hiperaktif (GPPH) terdiri dari:
a. 314.01 (F90.2) Tipe kombinasi
b. 314.00 (F90.0) Tipe inatensi
c. 314.01 (F90.1) Tipe hiperakatif/impulsif
d. 314.01 (F90.8) Other Specified Attention-Deficit/Hiperactivity Disorder
e. 314.01 (F90.9) Unspecified Attention-Deficit/Hiperactivity Disorder

Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis pasien dengan Gangguan Pemusatan Perhatian dan/atau


Hiperaktif (GPPH) tampak pada perilaku yang sulit mengelola kemarahan, agresi,
impulsif, sulit mengerjakan tugas hingga tuntas, sulit mengorganisasikan sesuatu,
perilaku interaksi sosial yang bermasalah, kurang berprestasi, perilaku menganggu di
kelas, banyak bicara, mudah frustrasi dengan tugas-tugas yang diberikan orang tua
maupun guru (Schellack & Meyer, 2019).

Asesmen dan Diagnosis

Identifikasi
Identifikasi pasien dengan dugaan Gangguan Pemusatan Perhatian dan/atau
Hiperaktif (GPPH) dapat dilakukan dengan mengidentifikasi keluhan orangtua terhadap
kemampuan perkembangan pasien, perilaku keseharian pasien, kemampuan interaksi
dan komunikasi sosial, kemampuan dalam mempertahankan atensi dan konsentrasi
dalam berkegiatan, serta tugas yang sering tidak selesai dikerjakan.

117
Gangguan Pemusatan Perhatian dan/atau Hiperaktif (GPPH)

Asesmen
Beberapa alternatif metode pemeriksaan klinis yang dapat digunakan adalah sebagai
berikut:
1. Wawancara Klinis
Wawancara klinis pada orangtua dilakukan untuk mengetahui informasi
terkait beberapa hal berikut (Drechsler, dkk, 2020; NICE, 2019):
a. Kondisi klinis terkait perilaku pasien
b. Riwayat perkembangan
c. Riwayat kesehatan
d. Riwayat pendidikan
e. Interaksi dengan sebaya
f. Interaksi dengan orangtua
g. Kondisi sosial-ekonomi dan keberfungsian keluarga
2. Observasi Klinis
Observasi klinis pada pasien dengan Gangguan Pemusatan Perhatian
dan/atau Hiperaktif (GPPH) dapat dilakukan di berbagai setting, seperti rumah,
sekolah, maupun klinik. Observasi dilakukan untuk mengetahui beberapa hal
berikut (McConaughy, dkk, 2009):
a. Aktivitas motorik
b. Fokus atensi dan konsentrasi
c. Kontrol impuls
d. Perilaku meninggalkan tempat duduk
e. Perilaku selama pengetesan ataupun selama pengerjaan tugas
f. Perilaku bermain
3. Tes Psikologi
Pemeriksaan dengan tes psikologi juga dilakukan untuk memetakan
kemampuan pasien dan menunjang penegakan diagnosis yang lebih jelas.
a. Skrining awal terhadap kemampuan perkembangan pasien dilakukan
dengan menggunakan salah satu di antara beberapa tes berikut
(Athanasiadou, dkk, 2019; Gurevitz, dkk, 2014):
i. Denver Developmental Screening Test
ii. Bayley Scales of Infant and Toddler Development
b. Pemeriksaan terhadap perilaku inatensi dan hiperaktif pasien yang
dapat dilakukan dengan Conner’s Rating Scale (Drechsler, dkk, 2020;
Hall, dkk, 2015; Pelham, Fabiano, & Massetti, 2005).

118
Gangguan Pemusatan Perhatian dan/atau Hiperaktif (GPPH)

c. Pemeriksaan fungsi adaptif pasien dilakukan dengan menggunakan


salah satu di antara beberapa tes berikut (Garg & Arun, 2013; Sikora,
dkk, 2012):
i. Vineland Social Maturity Scale (VSMS)
ii. Vineland Adaptive Behavior Scale (VABS)
d. Skrining awal dan pemeriksaan terhadap fungsi kognitif pasien
dilakukan dengan menggunakan salah satu di antara beberapa tes
inteligensi berikut (Frazier, Demaree, & Youngstrom, 2004; Garg &
Arun, 2013; Hall, dkk, 2015):
i. Skala Raven, seperti Coloured Progressive Matrices (CPM)
ii. Stanford-Binet Intelligent Scale
iii. Skala Wechsler, seperti Wechsler Preschool and Primary Scale of
Intelligence (WPPSI), Wechsler Intelligence Scale for Children
(WISC)
Selain tes psikologi yang telah disebutkan di atas, beberapa literatur
menunjukkan identifikasi permasalahan lain terkait Gangguan Pemusatan
Perhatian dan/atau Hiperaktif (GPPH) dilakukan dengan menggunakan tes
psikologi berikut, di antaranya (Allen & Decker, 2008; Hall, dkk, 2015;
Farhangnia, Hassanzadeh, & Ghorbani, 2020; Pelham, Fabiano, & Massetti, 2005;
Rader & Callen, 2009):
a. Children Behavior Check List (CBCL)
b. Visual Motoric Integration (VMI)
c. Bender Gestalt (BG)
d. BAUM, Draw A Person (DAP), House Tree Person (HTP)
Tes-tes psikologi yang telah disebutkan di atas merupakan alternatif yang
dapat digunakan sebagai acuan klinis dalam melakukan pemeriksaan psikologi
pada pasien dengan Gangguan Pemusatan Perhatian dan/atau Hiperaktif (GPPH).
Tes-tes psikologi tersebut telah tersedia dalam bahasa Indonesia, namun masih
perlu dilakukan penelitian untuk melihat sejauh mana keefektifannya sebagai
dasar bukti ilmiah dalam asesmen penegakan diagnosis Gangguan Pemusatan
Perhatian dan/atau Hiperaktif (GPPH) di Indonesia.
Diagnosis
Berdasarkan DSM-5, kriteria penegakan diagnosis Gangguan Pemusatan
Perhatian dan/atau Hiperaktif (GPPH) dapat dilihat pada tabel 3.7.1. (American
Psychiatric Association, 2013).

119
Gangguan Pemusatan Perhatian dan/atau Hiperaktif (GPPH)

Tabel 3.7.1
Kriteria Diagnosis Gangguan Pemusatan Perhatian dan/atau Hiperaktif (GPPH)
Berdasarkan DSM-5
Kriteria Diagnosis Ada Tidak
A Pola inatensi dan/atau hiperaktif-impulsif yang
menetap dan memengaruhi keberfungsian maupun
perkembangan individu, ditunjukkan dengan
karakteristik (1) dan/atau (2):
1. Inatensi: Enam (atau lebih) dari gejala-gejala
berikut muncul selama 6 bulan terakhir yang
tidak konsisten dengan level perkembangan
individu dan berdampak negatif secara
langsung pada aktivitas sosial dan
akademik/pekerjaan.
Catatan: Gejala-gejala tidak hanya
termanifestasi pada perilaku menentang,
menantang, kekerasan, atau kegagalan
memahami tugas/instruksi. Pada remaja yang
lebih tua dan dewasa (usia 17 tahun ke atas)
minimal 5 gejala memenuhi.
a. Sering gagal memberikan perhatian pada
detail atau kurang teliti dalam
mengerjakan tugas sekolah, pekerjaan,
atau aktivitas lainnya (misal,
menghilangkan atau melewatkan detail,
hasil pekerjaan tidak teliti).
b. Sering kesulitan mempertahankan
perhatian ketika mengerjakan tugas
maupun dalam aktivitas bermain (misal,
sulit untuk tetap fokus selama
pembelajaran berlanagsung, percakapan,
ataupun aktivitas membaca yang
panjang).
c. Sering bersikap seakan tidak mendengar
ketika diajak bicara secara langsung
(misal, memikirkan hal lain meski di
situasi tanpa distraksi).
120
Gangguan Pemusatan Perhatian dan/atau Hiperaktif (GPPH)

Kriteria Diagnosis Ada Tidak


d. Sering tidak mengikuti instruksi dan
gagal menyelesaikan tugas sekolah,
tugas rumah, maupun tanggung jawab di
tempat kerja (misal, mulai mengerjakan
tugas tetapi mudah kehilangan fokus dan
terdistraksi).
e. Sering kesuilitan mengorganisasikan
berbagai tugas dan aktivitas (misal, sulit
mengelola tugas-tugas yang berurutan,
sulit merapikan barang pribadinya,
berantakan, tidak terorganisir dalam
bekerja, manajemen waktu buruk, dan
gagal memenuhi batas waktu
pengumpulan).
f. Sering menghindari, tidak suka, atau
enggan terlibat dalam tugas yang
memerlukan usaha berpikir terus-
menerus (misal tugas sekolah / pekerjaan
rumah; pada remaja dan dewasa,
menghindari tugas membuat laporan,
mengisi formulir, membaca naskah
panjang).
g. Sering kehilangan barang-barang yang
dibutuhkan untuk mengerjakan tugas
atau aktivitas (misal perlengkapan
sekolah, pensil, buku, dompet, kunci,
kacamata, handphone).
h. Sering mudah teralih perhatiannya oleh
rangsangan dari luar (pada remaja yang
lebih tua dan dewasa termasuk
munculnya pikiran-pikiran yang tidak
berkaitan).
i. Sering lupa terhadap kegiatan sehari-hari
(seperti melakukan tugas rumah harian,
berbelanja; pada anak remaja yang lebih
tua dan dewasa, menelepon kembali,

121
Gangguan Pemusatan Perhatian dan/atau Hiperaktif (GPPH)

Kriteria Diagnosis Ada Tidak


membayar tagihan, dan menepati janji).
2. Hiperaktif dan impulsif: Enam (atau lebih)
dari gejala-gejala berikut muncul selama 6
bulan terakhir yang tidak konsisten dengan
level perkembangan individu dan
berdampak negatif secara langsung pada
aktivitas sosial dan akademik/pekerjaan.
Catatan: Gejala-gejala tidak hanya
termanifestasi pada perilaku menentang,
menantang, kekerasan, atau kegagalan
memahami tugas/instruksi. Pada remaja yang
lebih tua dan dewasa (usia 17 tahun ke atas)
minimal 5 gejala memenuhi.
a. Sering menggerakkan tangan dan
kakinya atau sering berganti posisi
duduk.
b. Sering meninggalkan tempat duduk saat
di situasi yang diharapkan untuk duduk
(misal, meninggalkan kursinya di kelas,
di kantor, atau di tempat kerja lain, atau
di situasi yang menuntut tetap duduk di
kursinya).
c. Sering berlari-lari atau memanjat
berlebihan dalam situasi yang tidak
sesuai untuk hal tersebut (pada remaja
atau dewasa terlihat gelisah).
d. Sering mengalami kesulitan
bermain/mengikuti kegiatan waktu
luang dengan tenang.
e. Sering dalam keadaan “siap bergerak”
seakan-akan “digerakkan mesin” (misal,
tidak nyaman duduk dalam waktu lama
di restoran, pertemuan, dirasakan orang
lain sebagai kegelisahan atau kesulitan
berpartisipasi).
f. Sering bicara berlebihan/terlalu banyak.

122
Gangguan Pemusatan Perhatian dan/atau Hiperaktif (GPPH)

Kriteria Diagnosis Ada Tidak


g. Sering menjawab sebelum pertanyaan
selesai ditanyakan.
h. Sering sulit menunggu giliran (misal
saat antri).
i. Sering menyela atau mengganggu orang
lain.
B Beberapa gejala inatensi atau hiperaktif-impulsif
muncul sebelum usia 12 tahun.
C Beberapa gejala inatensi atau hiperaktif-impulsif
muncul di dua tempat / lebih (seperti di rumah,
sekolah, tempat kerja; ketika bersama teman
maupun di tempat kerabat; serta di berbagai
aktivitas lain).
D Ada bukti nyata bahwa gejala mengganggu atau
mengurangi kualitas fungsi sosial, akademik,
maupun fungsi kerja individu.
E Gejala tidak terjadi selama fase skizofrenia atau
gangguan psikosis lain dan tidak dapat dijelaskan
oleh gangguan mental lain (seperti gangguan
suasana hati, gangguan kecemasan, gangguan
disosiatif, gangguan kepribadian, maupun
ketergantungan zat adiktif).

Ketentuan:
a. 314.01 (F90.2) Tipe Kombinasi: Jika kriteria A1 (inatensi) dan kriteria A2
(hiperaktif-impulsif) terpenuhi selama 6 bulan terakhir.
b. 314.00 (F90.0) Tipe Inatensi: Jika kriteria A1 (inatensi) terpenuhi dan
kriteria A2 (hiperaktif-impulsif) tidak terpenuhi selama 6 bulan terakhir.
c. 314.01 (F90.1) Tipe Hiperaktif/impulsif: Jika kriteria A1 (inatensi) tidak
terpenuhi dan kriteria A2 (hiperaktif-impulsif) terpenuhi selama 6 bulan
terakhir
Fase remisi adalah ketika sebelumnya seluruh kriteria terpenuhi, namun selama 6
bulan terakhir kriteria tidak terpenuhi, dan gejala-gejala masih menjadi kendala dalam
fungsi sosial, akademik, maupun okupasi.

123
Gangguan Pemusatan Perhatian dan/atau Hiperaktif (GPPH)

Berdasarkan DSM-5, level keparahan Attention Deficit/Hiperactivity Disorder


(ADHD) dikategorikan menjadi tiga, yaitu:
a. Mild / ringan: Sedikit, jika gejala-gejala yang ada melebihi kriteria untuk
penegakan diagnosis, dan gejala-gejala tersebut hanya memunculkan
kendala kecil dalam fungsi sosial ataupun okupasional.
b. Moderate / sedang: Gejala-gejala atau kesulitan fungsi ada di antara ringan
dan berat
c. Severe / berat: Ada banyak gejala yang melebihi kriteria yang dibutuhkan
untuk penegakan diagnosis atau beberapa gejala sangat parah hingga
menimbulkan gangguan fungsi sosial ataupun okupasional.
Berdasarkan PPDGJ-III, pedoman kriteria penegakan diagnosis gangguan
hiperkinetik (F90) adalah sebagai berikut (Maslim, 2013):
a. Ciri-ciri utama ialah berkurangnya perhatian dan aktivitas berlebihan. Kedua
ciri ini menjadi syarat mutlak untuk diagnosis dan haruslah nyata ada pada
lebih dari satu situasi (misalnya di rumah, di kelas, di klinik)
b. Berkurangnya perhatian tampak jelas dari terlalu dini dihentikannya tugas
dan ditinggalkannya suatu kegiatan sebelum tuntas selesai. Anak-anak ini
sering kali beralih dari satu kegiatan ke kegiatan lain, rupanya kehilangan
tugasnya terhadap minat yang satu, karena perhatiannya tertarik pada
kegiatan lainnya (sekalipun kajian laboratorium pada umumnya tidak
menunjukkan adanya derajat gangguan sensorik atau perseptual yang tidak
biasa). Berkurangnya dalam ketekunan dan perhatian ini seharusnya hanya
didiagnosis bila sifatnya berlebihan bagi anak dengan usia atau IQ yang sama.
c. Hiperaktivitas dinyatakan dalam kegelisahan yang berlebihan, khususnya
dalam situasi yang menuntut keadaan relatif tenang. Hal ini, tergantung dari
situasinya, mencakup anak itu berlari-lari, atau berlompat-lompat sekeliling
ruangan, ataupun bangun dari duduk/kursi dalam situasi yang menghendaki
anak itu tetap duduk, terlalu banyak bicara dan ribut, atau
kegugupan/kegelisahan dan berputar-putar (berbelit-belit). Tolok ukur untuk
penilaiannya ialah bahwa suatu aktivitas disebut berlebihan dalam konteks
apa yang diharapkan pada suatu situasi dan dibandingkan dengan anak-anak
lain yang sama umur dan nilai IQ-nya. Ciri khas perilaku ini yang paling
nyata di dalam suatu situasi yang berstruktur dan diatur yang menuntut suatu
tingkat sikap pengendalian diri yang tinggi.
d. Gambaran penyerta tidaklah cukup bahkan tidak diperlukan bagi suatu
diagnosis, namun demikian ia dapat mendukung. Kecerobohan-kecerobohan
dalam hubungan sosial, kesembronoan dalam situasi yang berbahaya dan
124
Gangguan Pemusatan Perhatian dan/atau Hiperaktif (GPPH)

sikap yang secara impulsif melanggar tata tertib sosial (yang diperlihatkan
dengan mencampuri urusan atau mengganggu kegiatan orang lain, terlampau
cepat menjawab pertanyaan-pertanyaan yang belum lengkap diucapkan
orang, atau tidak sabar menunggu gilirannya), kesemuanya merupakan ciri
khas dari anak-anak dengan gangguan ini.
e. Gangguan belajar serta kekakuan motorik sangat sering terjadi dan haruslah
dicatat secara terpisah (di bawah F80-F89) bila ada; namun demikian tidak
boleh dijadikan bagian dari diagnosis aktual mengenai gangguan
hiperkinetik yang sesungguhnya.
f. Gejala-gejala dari gangguan tingkah laku bukan merupakan kriteria eksklusi
ataupun kriteria inklusi untuk diagnosis utamanya, tetapi ada tidaknya
gejala-gejala itu dijadikan dasar untuk subdivisi utama dari gangguan
tersebut.
Berdasarkan PPDGJ-III tersebut maka kriteria penegakan diagnosis gangguan
aktivitas dan perhatian (F90.0) atas kriteria umum mengenai gangguan hiperkinetik (F
90) telah terpenuhi, tetapi kriteria untuk gangguan tingkah laku (F91) tidak terpenuhi.
Kriteria penegakan diagnosis Other Specified Attention-Deficit/Hiperactivity
Disorder (ADHD) berdasarkan DSM-5 adalah sebagaimana tabel 3.7.2. (American
Psychiatric Association, 2013).

Tabel 3.7.2
Kriteria Diagnosis Other Specified Attention-Deficit/Hiperactivity Disorder (ADHD)
Berdasarkan DSM-5
Kriteria Diagnosis Ya Tidak
Kategori ini digunakan ketika karakteristik gejala GPPH yang
menyebabkan distress klinis atau mengganggu keberfungsian
di area sosial, okupasi, atau area penting lain, tetapi tidak
memenuhi kriteria GPPH dari gangguan di kelompok
diagnostik gangguan perkembangan neurologis. Kategori ini
digunakan jika psikolog klinis memilih mencantumkan alasan
khusus tidak terpenuhinya kriteria diagnosis GPPH atau
gangguan neurologis lain. Pencatatan ‘Other Specified
Attention-Deficit/Hyperactivity Disorder’ diikuti dengan
alasan khusus (misal, dengan tidak terpenuhinya gejala-gejala
inatensi).

125
Gangguan Pemusatan Perhatian dan/atau Hiperaktif (GPPH)

Sedangkan kriteria penegakan diagnosis Unspecified Attention-


Deficit/Hyperactivity Disorder (ADHD) berdasarkan DSM-5 adalah sebagaimana
dalam tabel 3.7.3. (American Psychiatric Association, 2013).

Tabel 3.7.3
Kriteria Diagnosis Unspecified Attention-Deficit/Hyperactivity Disorder (ADHD)
Berdasarkan DSM-5
Kriteria Diagnosis Ya Tidak
Kategori ini digunakan ketika karakteristik gejala GPPH yang
menyebabkan distress klinis atau mengganggu keberfungsian
di area sosial, okupasi, atau area penting lain, tetapi tidak
memenuhi kriteria GPPH dari gangguan di kelompok
diagnostik gangguan perkembangan neurologis. Kategori ini
digunakan jika psikolog klinis memilih tidak mencantumkan
alasan khusus tidak terpenuhinya kriteria diagnosis GPPH
atau gangguan neurologis lain, termasuk terbatasnya informasi
untuk menegakkan diagnosis yang lebih spesifik.

Komorbiditas

Gangguan Pemusatan Perhatian dan/atau Hiperaktif (GPPH) dapat disertai kondisi


berikut:
1. Oppositional defiant disorder
2. Conduct disorder
3. Disruptive mood dysregulation disorder
4. Gangguan belajar spesifik
5. Gangguan cemas
6. Gangguan depresi mayor
7. Intermittent explosive disorder
8. Gangguan penyalahgunaan zat
9. Gangguan kepribadian anti sosial dan gangguan kepribadian lainnya
10. Gangguan obsesif kompulsif
11. Gangguan tic
12. Gangguan spektrum autisme

126
Gangguan Pemusatan Perhatian dan/atau Hiperaktif (GPPH)

Diagnosis Banding

Berdasarkan DSM-5, penegakan diagnosis Gangguan Pemusatan Perhatian dan/atau


Hiperaktif (GPPH) dapat disertai penegakan diagnosis banding sebagai berikut:
1. Oppositional defiant disorder
2. Intermittent explosive disorder
3. Gangguan perkembangan neurologis lainnya
4. Gangguan belajar spesifik
5. Disabilitas intelektual (gangguan perkembangan intelektual)
6. Gangguan spektrum autisme
7. Reactive attachment disorder
8. Gangguan cemas
9. Gangguan depresi
10. Gangguan bipolar
11. Disruptive mood dysregulation disorder
12. Gangguan penyalahgunaan zat
13. Gangguan kepribadian
14. Gangguan psikosis
15. Medication-indiced symtomps of ADHD
16. Gangguan neurokognitif

Intervensi Psikologis

Beberapa alternatif intervensi psikologis dengan pendekatan perilaku yang dapat


diberikan pada pasien dengan Gangguan Pemusatan Perhatian dan/atau Hiperaktif
(GPPH) adalah sebagai berikut:
1. Intervensi berbasis keluarga
Salah satu alternatif intervensi bagi orang tua yang memiliki anak dengan
Gangguan Pemusatan Perhatian dan/atau Hiperaktif (GPPH) adalah Behavioral
Parent Training (BPT), yang mengajarkan prinsip-prinsip modifikasi perilaku
kepada orangtua untuk menerapkannya pada anak di lingkungan rumah (Lee, dkk,
2012; Wolraich, dkk, 2011). Lamanya pelaksanaan Behavioral Parent Training
(BPT) cukup bervariasi, dari 8 sesi hingga 12 sesi individual maupun kelompok
(Loren, dkk, 2013; Pfiffner & Hack, 2014) yang berfokus pada beberapa hal
berikut:
a. Memberikan psikoedukasi terkait Gangguan Pemusatan Perhtian
dan/atau Hiperaktif

127
Gangguan Pemusatan Perhatian dan/atau Hiperaktif (GPPH)

b. Mengajarkan keterampilan pengasuhan yang efektif dalam


meningkatkan perilaku yang diharapkan dan menurunkan perilaku
bermasalah
c. Melatih penerapan keterampilan manajemen perilaku anak
Selama menerapkan teknik perilaku di rumah, orang tua perlu menentukan
prioritas terhadap perilaku anak yang ingin dikelola, meningkatkan level
toleransinya dalam mendampingi anak, bersikap konsisten terhadap aturan yang
dibuat, serta memberikan penghargaan terhadap perilaku baik anak (Shivanna,
Chikkanna, 2016). Keterlibatan orang tua dalam menggeneralisasikan teknik
perilaku dari setting klinik / sekolah ke lingkungan rumah akan berdampak positif
bagi orang tua dan anak, antara lain (Daley, dkk, 2014; Kohut & Andrews, 2004;
Lee, dkk, 2012; Wolraich, dkk, 2011):
a. Menurunkan perilaku bermasalah anak
b. Meningkatkan keterampilan sosial maupun pemecahan masalah anak
c. Meningkatkan kepatuhan anak terhadap instruksi
d. Meningkatkan pemahaman orang tua terhadap prinsip perilaku
e. Meningkatkan strategi perilaku positif dengan penguatan maupun
pujian,
f. Memutuskan siklus interaksi orang tua-anak yang negatif
2. Terapi Perilaku
Tinjauan sistematis membuktikan terapi dengan pendekatan perilaku efektif
dalam penanganan pasien dengan Gangguan Pemusatan Perhatian dan/atau
Hiperaktif (GPPH), dan memberikan efek terhadap keberfungsian orangtua dan
anak (Daley, dkk, 2014). Terapi perilaku berfokus pada memberikan reward pada
perilaku pasien yang diharapkan dan menerapkan konsekuensi pada perilaku
bermasalah untuk membentuk pola berpikir dan perilaku pasien (Rader & Callen,
2009). Terapi perilaku dilakukan dengan menerapkan teknik-teknik modifikasi
perilaku, di antaranya positive reinforcement, time-out, response cost, dan token
economy (Schellack & Meyer, 2019).
Hasil penelitian Hidayati & Purwandari (2010) menunjukkan metode time-
out dapat menurunkan perilaku mengganggu pada anak. Adapun prosedur time-
out yang dilakukan adalah sebagai berikut:
a. Fase sosialisasi, yaitu membuat kontrak kesepakatan orang tua-anak.
b. Fase pelaksanaan
c. Peringatan sebagai wujud ketegasan orang tua dan anak lebih awas
dalam bertindak. Peringatan dapat diberikan sebanyak 1-3 kali.
d. Time-out selama 5-10 menit, sebagai refleksi akan perilaku
mengganggu pada anak menuju insight.
128
Gangguan Pemusatan Perhatian dan/atau Hiperaktif (GPPH)

e. Konsistensi, orangtua memberikan peringatan atas perilaku


mengganggu pada anak dan konsekuensinya.
f. Reward, sebagai penghargaan terhadap perilaku baik anak yang akan
meminimalkan time-out.
3. Terapi bermain
Terapi bermain dapat digunakan sebagai salah satu intervensi pada anak
dengan Gangguan Pemusatan Perhatian dan/atau Hiperaktif (GPPH). Beberapa
studi menunjukkan efek terapi bermain bagi anak dengan Gangguan Pemusatan
Perhatian dan/atau Hiperaktif (GPPH), di antaranya (Ashori & Bidgoli, 2018;
Hatiningsih, 2013; El-Nagger, Abo-Elmagd, & Ahmed, 2017):
a. Meningkatkan konsentrasi anak
b. Menurunkan perilaku bermasalah anak
c. Meningkatkan keterampilan sosial anak
d. Menurunkan perilaku hiperaktif anak
e. Mengendalikan perilaku impulsif anak
Beberapa alternatif intervensi psikologi tersebut di atas dapat menjadi acuan
tatalaksana bagi pasien dengan Gangguan Pemusatan Perhatian dan/atau Hiperaktif
(GPPH). Psikolog klinis juga dapat menggunakan alternatif intervensi lain yang sudah
memiliki basis bukti ilmiah.

Prognosis

Faktor prognosis pada gangguan ini adalah anak dengan Gangguan Pemusatan
Perhatian dan/atau Hiperaktif (GPPH) dengan komorbid Developmental Coordination
Disorder memiliki prognosis yang lebih buruk dibandingkan anak dengan Gangguan
Pemusatan Perhatian dan/atau Hiperaktif (GPPH) saja.

Catatan Lain

1. Pemeriksaan dan tatalaksana pada pasien Gangguan Pemusatan Perhatian dan/atau


Hiperaktif (GPPH) dapat dilakukan dengan berkolaborasi dengan tenaga
kesehatan lain. Di antaranya: dokter spesialis anak, terapis wicara, terapis okupasi.
2. Penanganan multimodal (kombinasi farmakoterapi dan terapi perilaku) menjadi
alternatif yang efektif dalam tatalaksana pada pasien dengan Gangguan Pemusatan
Perhatian dan/atau Hiperaktif (GPPH)

129
Gangguan Pemusatan Perhatian dan/atau Hiperaktif (GPPH)

Referensi

Allen, R. A., & Decker, S. L. (2008). Utility of the bender visual-motor gestalt test –
second edition in the assessment of attention-deficit/hyperactivity disorder.
Perceptual & Motor Skills, 107(3), 663 – 675.
https://doi.org/10.2466/pms.107.3.663-675.
American Psychiatric Association. (2013). Diagnostic and statistical manual of mental
disorders (5th ed.). Washington, DC: American Psychiatric Association.
Ashori, M., & Bidgoli, F D. (2018). The efectiveness of play therapy based on
cognitive-behavioral model: behavioral problems and social skills of pre-school
children with attention defcit hyperactivity disorder (persian). Archives of
Rehabilitation. 19(2), 102-115. doi: 10.32598/rj.19.2.102
Athanasiadou, A., Buitelaar, J. K., dkk. (2019). Early motor signs of attention-deficit
hyperactivity disorder: a systematic review. European Child & Adolescent
Psychiatry. doi:10.1007/s00787-019-01298-5
Daley, D., van der Oord, S., dkk. (2014). Behavioral Interventions in Attention-
Deficit/Hyperactivity Disorder: A Meta-Analysis of Randomized Controlled
Trials Across Multiple Outcome Domains. Journal of the american academy of
child & adolescent psychiatry, 53(8). doi: 10.1016/j.jaac.2014.05.013
Drechsler, R., Brem, S., Brandeis, D., dkk. (2020). ADHD: Current concepts and
treatments in children and adolescents. Neuropediatrics, 51, 315–335. doi:
10.1055/s-0040-1701658.
El-Nagger, N. S., Abo-Elmagd, M. H., & Ahmed, H. I. (2017). Effect of applying play
therapy on children with attention deficit hyperactivity disorder. Journal of
Nursing Education and Practice, doi: 10.5430/jnep.v7n5p104
Farhangnia, Hassanzadeh, & Ghorbani. (2020). Handwriting Performance of Children
with Attention Deficit Hyperactivity Disorder: The Role of Visual-Motor
Integration. Int J Pediatr, 8(11), 83. doi: 10.22038/ijp.2020.47633.3857
Frazier, T. W., Demaree, H. A., & Youngstrom, E. A. (2004). Meta-Analysis of
Intellectual and Neuropsychological Test Performance in Attention-
Deficit/Hyperactivity Disorder. Neuropsychology, 18(3), 543–555.
doi:10.1037/0894-4105.18.3.543
Garg, J., & Arun, P. (2013). A Follow-up Study of Academic Functioning and Social
Adjustment in Children with Attention Deficit Hyperactivity Disorder. Indian J
Psychol Med. 35(1), 47–52. DOI: 10.4103/0253-7176.112201

130
Gangguan Pemusatan Perhatian dan/atau Hiperaktif (GPPH)

Gurevitz, M., Geva, R., Varon, M., & Leitner, Y. (2014). Early Markers in Infants and
Toddlers for Development of ADHD. Journal of Attention Disorders, 18(1) 14–
22. https://doi.org/10.1177/1087054712447858
Hall, C. L., Valentine, A. Z., Groom, M. J., Walker, G. M., Sayal, K., Daley, D., &
Hollis, C. (2015). The clinical utility of the continuous performance test and
objective measures of activity for diagnosing and monitoring ADHD in children:
a systematic review. European Child & Adolescent Psychiatry, 25(7), 677–699.
https://doi.org/10.1007/s00787-015-0798-x
Hatiningsih, N. (2013). Play therapy untuk meningkatkan konsentrasi pada anak
Attention Deficit/Hiperactivity Disorder (ADHD). Jurnal Ilmiah Psikologi
Terapan. 1(02). https://doi.org/10.23917/indigenous.v0i0.4749
Hidayati, D.M.R., & Purwandari, E. (2010). Time out: alternatif modifikasi perilaku
anak ADHD (Attention Deficit/Hiperactivity Disorder). Indigenous, Jurnal Ilmiah
Berkala Psikologi, 12(2), 101-114.
Kohut, C. S., & Andrews, J. (2004). The efficacy of parent training programs for ADHD
children: A fifteen-year review. Developmental Disabilities Bulletin, 32(2), 155-
172. https://files.eric.ed.gov/fulltext/EJ848196.pdf
Lee, P., Niew, W., Yang, H., dkk. (2012). A meta-analysis of behavioral parent training
for children with attention deficit hyperactivity disorder. Research in
Developmental Disabilities, 33 (2012), 2040-2049. doi:
10.1016/j.ridd.2012.05.011
Loren, Richard & Vaughn, Aaron & Langberg, Joshua & Cyran, Jessica & Proano-Raps,
Tara & Smolyansky, Beverly & Tamm, Leanne & Epstein, Jeffery. (2013). Effects
of an 8-Session Behavioral Parent Training Group for Parents of Children With
ADHD on Child Impairment and Parenting Confidence. Journal of attention
disorders. 19. doi: 10.1177/1087054713484175.
Maslim, R. (2013). Buku saku diagnosis gangguan jiwa rujukan ringkas dari PPDGJ-
III dan DSM-5. Jakarta: Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK Unika Atmajaya.
McConaughy, S. H., Ivanova, M. Y., dkk. (2009). Standardized Observational
Assessment of Attention Deficit Hyperactivity Disorder Combined and
Predominantly Inattentive Subtypes. I. Test Session Observations. School
Psychology Review, 38(1), 45-66.
https://doi.org/10.1080/02796015.2009.12087849
National Institute for Health and Care Excellence (NICE). (2019) Attention deficit
hyperactivity disorder: diagnosis and management. NICE guideline [NG87].
https://www.nice.org.uk/guidance/ng87, diakses 9 November 2020.
131
Gangguan Pemusatan Perhatian dan/atau Hiperaktif (GPPH)

Pelham, W.E., Fabiano, G. A., & Massetti, G. M. (2005). Evidence-Based Assessment


of Attention Deficit Hyperactivity Disorder in Children and Adolescents. Journal
of Clinical Child and Adolescent Psychology, 34(3), 449–476. doi:
10.1207/s15374424jccp3403_5.
Pfiffner, L. J., & Hack, L. M. (2014). Behavior Management for School-Aged Children
with ADHD. Child Adolesc Psychiatric Clin N Am, 23, 731–746. doi:
10.1016/j.chc.2014.05.014
Rader, R. & Callen, E. C. (2009). Current Strategies in the Diagnosis and Treatment of
Childhood Attention-Deficit/Hyperactivity Disorder. American Family Physician,
79(8).
Schellak, N., & Meyer, J. C. (2019). The management of attention-deficit/hyperactivity
disorder in children: Updated 2019. South African Pharmacy Journal, 86(5).
Shivanna, V., & Chikkanna, Y. M. (2016). Behavioral management in child with
Attention Deficit/Hiperactivity Disorder-review. Journal of Dental and Oral, 2(3).
https://scientonline.org/open-access/behavioral-management-in-child-with-
attention-deficit-hyperactive-disorder-review.pdf
Sikora, D. M., Vora, P., dkk. (2012). Attention-Deficit/Hyperactivity Disorder
Symptoms, Adaptive Functioning, and Quality of Life in Children With Autism
Spectrum Disorder. Pediatrics, 130(2). doi: 10.1542/peds.2012-0900G.
Wolraich, M., DulPaul, G.F., Earls, M. F., & Feldman, H. M. (2011). ADHD: Clinical
Practice Guidelines for the Diagnosis, Evaluation, and Treatment of Attention-
Deficit/Hiperactivity Disorder in Children and Adolescent. Pediatrics, 128(5),
doi: 10.1542/peds.2011-2654\
World Health Organization. (2011). International Statistical Classification of Disease
and Related Health Problems Tenth Revision Volume Second Edition. Geneva:
World Health Organization.

132
8. Gangguan Belajar Spesifik

Batasan dan Uraian Umum

Sebagaimana tercantum dalam International Classification of Diseases revisi ke-10


(ICD-10) (World Health Organization, 2011) dan Diagnostic and Statistical Manual of
Mental Disorders edisi 5 (DSM-5) (American Psychiatric Association, 2013) maka
1. Specific learning disorder/gangguan belajar spesifik merupakan gangguan
neurodevelopmental yang ditandai dengan kesulitan belajar keterampilan
akademik yang persisten dan terjadi selama tahun-tahun sekolah formal.
Keterampilan akademik meliputi kemampuan membaca kata-kata dengan
akurat dan fasih, memahami bacaan, menulis dan mengeja, penghitungan
aritmetika, dan penalaran matematika (pemecahan masalah matematika).
2. Gangguan belajar spesifik terdiri dari:
a. 315.00 (F81.0) Kesulitan dalam membaca (disleksia)
b. 315.2 (F81.81) Kesulitan dalam menulis (disgrafia)
c. 315.1 (F81 .2) Kesulitan dalam matematika (diskalkulia)

Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis pasien dengan gangguan belajar spesifik tampak pada adanya
kesulitan belajar yang persisten, ditandai dengan kemajuan belajar yang terbatas. Tidak
ada bukti bahwa individu bisa mengejar ketertinggalannya dengan teman sekelas
selama setidaknya 6 bulan meski sudah mendapatkan bantuan ekstra di rumah maupun
sekolah (American Psychiatric Association, 2013).
Indikator klinis dari kesulitan belajar akademik adalah rendahnya pencapaian
akademik untuk usianya atau pencapaian rata-rata yang dipertahankan dengan usaha
dan dukungan yang tinggi. Pada anak-anak, keterampilan akademik yang rendah
berdampak pada performa sekolah disertai perilaku menghindari tugas-tugas yang
membutuhkan keterampilan akademik (American Psychiatric Association, 2013).
Konsekuensi fungsional dari gangguan belajar spesifik meliputi pencapaian
akademik yang lebih rendah, tingkat putus sekolah yang lebih tinggi, tingkat pendidikan
yang lebih rendah dari sekolah menengah, level tekanan psikologis yang tinggi, level
kesehatan mental yang rendah, tingkat pengangguran tinggi, dan pendapatan yang
rendah (American Psychiatric Association, 2013).

133
Gangguan Belajar Spesifik

Asesmen dan Diagnosis

Identifikasi
Identifikasi pasien dengan dugaan gangguan belajar spesifik dapat dilakukan
dengan mengidentifikasi keluhan orang tua dan guru terhadap minimnya motivasi
pasien dalam mengerjakan tugas, malas, kemampuan akademik yang rendah, kesulitan
belajar (kesulitan membaca, menulis, menghitung), perilaku keseharian, kemampuan
mempertahankan atensi dan konsentrasi dalam berkegiatan, serta minimnya komitmen
untuk menyelesaikan tugas hingga tuntas.
Asesmen
Beberapa alternatif metode pemeriksaan klinis yang dapat digunakan adalah
sebagai berikut:
1. Wawancara Klinis
Wawancara klinis dilakukan untuk mengetahui informasi terkait beberapa
hal berikut (American Psychiatric Association, 2013; NICE, 2015; Shah, dkk,
2019):
a. Riwayat kesehatan dan pemeriksaan fisik terhadap pasien
b. Riwayat perkembangan
c. Riwayat pendidikan
d. Riwayat keluarga
e. Riwayat kesulitan belajar, termasuk manifestasi klinis di masa lampau
dan masa kini
f. Riwayat permasalahan emosional dan perilaku
g. Keluhan orang tua dan kemajuannya
h. Kesadaran orang tua dan persepsinya terhadap permasalahan anak
i. Relasi dalam keluarga
2. Observasi Klinis
Observasi klinis pada pasien dengan gangguan belajar spesifik dapat
dilakukan di berbagai latar, seperti rumah, sekolah, maupun klinik. Melalui
observasi, dapat diamati gejala-gejala klinis yang terlihat pada perilaku dan
kondisi status mental anak (American Psychiatric Association, 2013; Shah, dkk,
2019). Observasi pada pasien dengan gangguan belajar spesifik dapat dilakukan
oleh psikolog klinis dengan mengamati beberapa hal berikut, di antaranya:
a. Perubahan suasana hati selama berkegiatan.
b. Motivasi dalam mengerjakan tugas.

134
Gangguan Belajar Spesifik

c. Perilaku dalam berkegiatan akademik (membaca, menulis,


menghitung).
d. Perilaku selama pengetesan.
3. Tes Psikologi
Pemeriksaan dengan tes psikologi juga dilakukan untuk memetakan
kemampuan pasien dan menunjang penegakan diagnosis yang lebih jelas.
a. Skrining awal dan pemeriksaan terhadap fungsi kognitif pasien
dilakukan dengan menggunakan salah satu di antara beberapa tes
inteligensi berikut (Poletti, 2014; Shah, dkk, 2019):
i. Stanford-Binet Intelligent Scale
ii. Skala Wechsler, seperti Wechsler Intelligence Scale for Children
(WISC)
b. Pemeriksaan fungsi adaptif pasien dilakukan dengan menggunakan
salah satu di antara beberapa tes berikut (Trites & Price, 1978;
Baharudin, dkk, 2019):
i. Vineland Social Maturity Scale (VSMS)
ii. Vineland Adaptive Behavior Scale (VABS)
Selain tes psikologi yang telah disebutkan di atas, beberapa literatur
menunjukkan identifikasi permasalahan lain terkait gangguan belajar spesifik
dilakukan dengan menggunakan tes psikologi berikut di antaranya (Di Brina, dkk,
2018; Horbach, dkk, 2019; Shah, dkk, 2019):
a. Children Behavior Check List (CBCL)
b. Visual Motoric Integration (VMI)
c. Bender Gestalt (BG)
d. BAUM, Draw A Person (DAP), House Tree Person (HTP)
Tes-tes psikologi yang telah disebutkan di atas merupakan alternatif yang
dapat digunakan sebagai acuan psikolog klinis dalam melakukan pemeriksaan
psikologi pada pasien dengan gangguan belajar spesifik. Tes-tes psikologi tersebut
telah tersedia dalam bahasa Indonesia, namun masih perlu dilakukan penelitian
untuk melihat sejauh mana keefektifannya sebagai basis bukti ilmiah dalam
asesmen penegakan diagnosis gangguan belajar spesifik di Indonesia.
Diagnosis
Kriteria penegakan diagnosis gangguan belajar spesifik berdasarkan DSM-5,
dapat dilihat pada tabel 3.8.1 (American Psychiatric Association, 2013).

135
Gangguan Belajar Spesifik

Tabel 3.8.1
Kriteria Diagnosis Gangguan Belajar Spesifik Berdasarkan DSM-5
Kriteria Diagnosis Ada Tidak
A Kesulitan dalam mempelajari dan menggunakan
keterampilan akademik yang ditandai dengan
sedikitnya satu dari gejala-gejala berikut yang bertahan
setidaknya selama 6 bulan, meski tersedia intervensi
terhadap kesulitan-kesulitan tersebut:
1. Tidak tepat atau lambat dan perlu banyak usaha
saat membaca kata (misal, membaca kata per kata
dengan keras namun tidak tepat atau dengan
lambat dan ragu-ragu, sering menebak-nebak kata,
dan sulit melafalkan kata-kata).
2. Kesulitan memahami makna bacaan yang dibaca
(misal, mungkin bisa membaca teks dengan tepat,
tetapi tidak memahami urutan, hubungan,
kesimpulan, atau makna mendalam dari bacaan
yang dibaca).
3. Kesulitan mengeja (misal, mungkin
menambahkan, mengurangi, atau mengganti kata
vokal ataupun konsonan).
4. Kesulitan dalam ekspresi tertulis (misal, membuat
banyak kesalahan tata bahasa atau tanda baca
dalam kalimat, buruk dalam mengorganisasikan
suatu paragraf, tidak memiliki kejelasan dalam
menuliskan ide).
5. Kesulitan menguasai number sense (pemahaman
akan konsep bilangan), number fact (pemahaman
konsep perhitungan sederhana), maupun berhitung
(misal, sulit memahami angka, besaran, dan
hubungannya; menghitung dengan jari untuk
penjumlahan angka-angka satu digit daripada
mengingat perhitungan matematika seperti yang
dilakukan sebayanya; kebingungan di tengah
proses menghitung dan mungkin berganti
prosedur).

136
Gangguan Belajar Spesifik

Kriteria Diagnosis Ada Tidak


6. Kesulitan dengan penalaran matematika
(misalnya, sangat kesulitan menerapkan konsep
matematika, fakta, atau prosedur-prosedur untuk
memecahkan permasalahan kuantitatif)
B Keterampilan akademik yang terkena dampak, secara
substansial dan terukur berada di bawah yang
diharapkan dari usia kronologis pasien, dan
mengganggu performa akademik maupun kinerja
secara signifikan, ataupun mengganggu aktivitas
keseharian, yang dikonfirmasi baik melalui pengukuran
secara individual yang terstandar terhadap prestasi
akademik pasien dan dikonfirmasi melalui asesmen
klinis yang komprehensif.
C Kesulitan belajar dimulai selama bertahun-tahun usia
sekolah namun mungkin tidak tampak hingga tuntutan
keterampilan akademis melebihi kapasitas individu
(seperti waktu tes, membaca atau menulis laporan yang
panjang dan kompleks dengan tenggat waktu yang
singkat, memiliki beban akademik yang terlalu berat)
D Kesulitan belajar tidak berkaitan dengan disabilitas
intelektual, ketajaman penglihatan dan pendengaran
yang tidak dikoreksi, gangguan neurologis atau
gangguan mental lain, kesulitan psikososial, kurangnya
kemahiran dalam memahami bahasa pengantar
akademis, atau tidak memahami
instruksi pengajaran.
Catatan: Keempat kriteria diagnosis terpenuhi berdasarkan sintesa klinis riwayat
individu (riwayat perkembangan, riwayat kesehatan, riwayat keluarga, dan riwayat
pendidikan), laporan sekolah, dan asesmen psikoedukasi.
Catatan pemberian kode adalah tentukan semua area akademis dan sub keterampilan
yang mengalami gangguan. Ketika lebih dari satu area yang mengalami gangguan,
setiap gangguan perlu diberikan kode masing-masing berdasarkan ketentuan berikut:
315.00 (F81.0) Kesulitan dalam membaca
Ketepatan membaca
Kecepatan ataupun kefasihan membaca
Pemahaman bacaan

137
Gangguan Belajar Spesifik

Catatan: Disleksia merupakan istilah alternatif yang mengacu pada pola


kesulitan belajar dengan karakteristik adanya permasalahan dalam
mengenali kata secara jelas maupun akurat, buruknya kemampuan decoding
dan kemampuan mengeja. Jika disleksia digunakan untuk menentukan
sebagian pola kesulitan belajar, penting untuk menuliskan kesulitan
tambahan yang muncul, seperti kesulitan memahami bacaan atau penalaran
matematika.
315.2 (F81.81) Kesulitan dalam menulis
Ketepatan mengeja
Keakuratan tata bahasa dan tanda baca
Ekspresi menulis yang jelas atau terorganisir
315.1 (F81 .2) Kesulitan dalam matematika
Number sense (pemahaman akan konsep bilangan)
Mengingat arithmetic fact (pemahaman konsep operasi perhitungan)
Berhitung dengan lancar ataupun akurat
Penalaran matematika yang akurat
Catatan: Diskalkulia merupakan istilah alternatif yang mengacu pada pola
kesulitan belajar dengan karakteristik adanya permasalahan dalam
memproses informasi numerik, mempelajari aritmetika, menghitung dengan
akurat / lancar. Jika diskalkulia digunakan untuk menentukan pola kesulitan
belajar matematis, penting untuk menuliskan kesulitan tambahan yang
muncul, misal kesulitan penalaran matematika atau ketepatan dalam
penalaran kata-kata.
Level keparahan kesulitan belajar spesifik dikelompokkan menjadi tiga tingkatan
yang akan menentukan tingkat dukungan yang diperlukan, yaitu (American Psychiatric
Association, 2013):
a. Mild / ringan: mengalami beberapa kesulitan dalam mempelajari satu atau
dua area akademik, tetapi cukup ringan, sehingga membuat individu
mungkin bisa berfungsi dengan baik ketika adanya dukungan atau
akomodasi yang dibutuhkan, khususnya selama tahun-tahun sekolah.
b. Moderate / sedang: ditandai adanya kesulitan mempelajari satu atau lebih
area akademik, yang membuat individu tidak mungkin menjadi cakap/ahli
tanpa beberapa kali pengajaran khusus dan intensif selama tahun-tahun
sekolah. Beberapa akomodasi atau layanan dukungan yang menjadi bagian
dari sekolah, tempat kerja, atau rumah, setidaknya dibutuhkan untuk
menyelesaikan aktivitas dengan akurat dan efisien.
138
Gangguan Belajar Spesifik

c. Severe / berat: kesulitan yang berat dalam keterampilan belajar,


memengaruhi beberapa area akademik, yang membuat pasien sulit
mempelajari keterampilan tanpa mendapatkan pengajaran khusus secara
individual yang dilakukan secara intensif dan terus-menerus selama hampir
di seluruh tahun-tahun sekolah. Meskipun tersedia akomodasi dan dukungan
baik di rumah, sekolah, atau tempat kerja, individu mungkin tidak berhasil
menyelesaikan aktivitas-aktivitasnya dengan efisien.
Berdasarkan PPDGJ-III, pedoman kriteria penegakan diagnosis gangguan
perkembangan belajar yang khas (F81) adalah sebagai berikut (Maslim, 2013):
a. Terdapat beberapa syarat dasar untuk penegakan diagnosis gangguan
perkembangan belajar yang khas:
i. Secara klinis terdapat derajat hendaya (impairment) yang bermakna
dalam keterampilan skolastik tertentu (beratnya hendaya/impairment
dinilai dari ukuran skolastik, gangguan perkembangan yang
mendahului, masalah yang terkait, pola, dan respon).
ii. Hendayanya (impairment) harus khas dalam arti bahwa tidak semata-
mata dapat dijelaskan dari retardasi mental atau hendaya (impairment)
ringan dalam intelegensia umum, sebab IQ dan kinerja skolastik tidak
persis berjalan bersamaan / parallel.
iii. Hendaya (impairment) harus dalam masa perkembangan, dalam arti
harus sudah ada pada awal usia sekolah dan tidak didapat pada proses
perjalanan pendidikan lebih lanjut
iv. Harus tidak ada faktor luar yang dapat menjadi alasan untuk kesulitan
skolastik (misalnya kesempatan belajar, sistem pengajaran, pindah
sekolah, dsb)
v. Tidak langsung disebabkan oleh hendaya (impairment) virus atau
pendengaran yang tidak terkoreksi
b. Dengan petunjuk di atas, diagnosis gangguan perkembangan belajar khas
harus berlandaskan temuan positif dari gangguan kinerja skolastik yang
secara klinis bermakna yang berkaitan dengan faktor-faktor “dalam”
intrinsic dari perkembangan anak.
1. Gangguan membaca khas
Berdasarkan PPDGJ-III, pedoman kriteria penegakan diagnosis
gangguan membaca khas (F81.0) adalah sebagai berikut (Maslim, 2013):
a. Kemampuan membaca anak harus secara bermakna lebih rendah
tingkatannya daripada kemampuan yang diharapkan berdasarkan
pada usianya, inteligensia umum, dan tingkatan sekolahnya.
139
Gangguan Belajar Spesifik

b. Gangguan perkembangan khas membaca biasanya didahului oleh


riwayat gangguan perkembangan berbicara atau berbahasa.
c. Hakikat yang tepat dari masalah membaca tergantung pada taraf
yang diharapkan dari kemampuan membaca, berbahasa, dan tulisan.
Namun pada tahap awal dari belajar membaca tulisan abjad, dapat
terjadi kesulitan mengucapkan huruf abjad, menyebut nama yang
benar dari tulisan, memberi irama sederhana dari kata-kata yang
diucapkan, dan dalam menganalisis atau mengelompokkan bunyi-
bunyi (meskipun ketajaman pendengaran normal). Kemudian dapat
terjadi kesalahan dalam kemampuan membaca lisan, seperti
ditunjukkan berikut ini:
i. Ada kata-kata atau bagian-bagiannya yang mengalami
penghilangan, penggantian, penyimpangan, atau penambahan.
ii. Kecepatan membaca yang lambat.
iii. Salah memulai, keraguan yang lama, atau kehilangan bagian
dari teks dan tidak tepat menyusun kalimat.
iv. Susunan kata-kata yang terbalik dalam kalimat, atau huruf-
huruf yang terbalik dalam kata-kata.
Dapat juga terdapat defisit dalam memahami bacaan, seperti
diperlihatkan oleh contoh:
i. Ketidakmampuan menyebut kembali isi bacaan.
ii. Ketidakmampuan untuk menarik kesimpulan dari materi
bacaan.
iii. Dalam menjawab pertanyaan perihal sesuatu bacaan, lebih
menggunakan pengetahuan umum sebagai latar belakang
informasi yang berasal dari materi bacaan tersebut.
d. Gangguan emosional dan/atau perilaku yang menyertai biasanya
timbul pada masa usia sekolah. Masalah emosional biasanya lebih
banyak pada masa tahun pertama sekolah, tetapi gangguan perilaku
dan sindrom hiperaktivitas hampir selalu ada pada akhir masa kanak
dan remaja.
2. Gangguan mengeja khas
Berdasarkan PPDGJ-III, pedoman kriteria penegakan diagnosis
gangguan mengeja khas (F81.1) adalah sebagai berikut (Maslim, 2013):
a. Gambaran utama dari gangguan ini adalah hendaya (impairment)
yang khas dan bermakna dalam perkembangan kemampuan
mengeja tanpa riwayat gangguan membaca khas yang bukan
disebabkan oleh rendahnya usia mental, pendidikan sekolah yang
140
Gangguan Belajar Spesifik

tidak adekuat, masalah ketajaman penglihatan, pendengaran, atau


fungsi neurologis, dan juga bukan didapatkan sebagai akibat
gangguan neurologis, gangguan jiwa, atau gangguan lainnya
b. Kemampuan mengeja anak harus secara bermakna di bawah tingkat
yang seharusnya berdasarkan usianya, inteligensia umum, dan
tingkat sekolahnya, dan terbaik dinilai dengan cara pemeriksaan
untuk kemampuan mengeja yang baku
3. Gangguan berhitung khas
Berdasarkan PPDGJ-III, pedoman kriteria penegakan diagnosis
gangguan berhitung khas (F81.2) adalah sebagai berikut (Maslim, 2013):
a. Gangguan ini meliputi hendaya (impairment) yang khas dalam
kemampuan berhitung yang tidak dapat diterangkan berdasarkan
adanya retardasi mental umum atau tingkat pendidikan di sekolah
yang tidak adekuat. Kekurangannya ialah penguasaan pada
kemampuan dasar berhitung yaitu tambah, kurang, kali, bagi (bukan
kemampuan matematik yang lebih abstrak dalam aljabar,
trigonometri, geometri atau kalkulus)
b. Kemampuan berhitung anak harus secara bermakna lebih rendah
dari tingkat yang seharusnya dicapai berdasarkan usianya,
inteligensia umum, tingkat sekolahnya, dan terbaik dinilai dengan
cara pemeriksaan untuk kemampuan berhitung yang baku.
c. Keterampilan membaca dan mengeja harus dalam batas normal
sesuai dengan umur mental anak.
d. Kesulitan dalam berhitung bukan disebabkan pengajaran yang tidak
adekuat, atau efek langsung dari ketajaman penglihatan,
pendengaran, atau fungsi neurologis, dan tidak didapatkan sebagai
akibat dari gangguan neurologis, gangguan jiwa, atau gangguan
lainnya
4. Gangguan belajar campuran
Berdasarkan PPDGJ-III, pedoman kriteria penegakan diagnosis
gangguan belajar campuran (F81.3) adalah sebagai berikut (Maslim,
2013):
a. Merupakan kategori sisa gangguan yang batasannya tidak jelas
b. Hendaya (impairment) pada kemampuan berhitung, membaca, atau
mengeja secara bermakna, tetapi tidak dapat diterangkan sebagai
akibat dari retardasi mental atau pengajaran yang tidak adekuat,

141
Gangguan Belajar Spesifik

atau efek langsung dari ketajaman penglihatan, pendengaran, atau


fungsi neurologis
c. Gangguan yang memenuhi kriteria F81.2, F81.0, atau F81.1

Komorbiditas

Gangguan belajar spesifik dapat disertai kondisi penyerta berikut (American


Psychiatric Association, 2013; Shah, dkk, 2019):
1. Gangguan Pemusatan Perhatian dan/atau Hiperaktif
2. Gangguan komunikasi
3. Developmental Coordination Disorder
4. Gangguan spektrum autisme
5. Gangguan mental lain, seperti gangguan kecemasan, depresi, dan bipolar
6. Conduct Disorder
7. Gangguan Bahasa

Diagnosis Banding

Penegakan diagnosis gangguan belajar spesifik dapat disertai penegakan diagnosis


banding sebagai berikut (American Psychiatric Association, 2013; Shah, dkk, 2019):
1. Kesulitan akademis yang normal
2. Disabilitas intelektual (gangguan perkembangan intelektual)
3. Kecerdasan borderline
4. Kesulitan belajar akibat gangguan neurologis atau gangguan sensori, seperti stroke
pada anak, luka trauma otak, gangguan pendengaran, gangguan penglihatan
5. Gangguan neuro-kognitif, seperti neurodegenerative cognitive disorder
6. Gangguan Pemusatan Perhatian dan/atau Hiperaktif
7. Gangguan spektrum autisme
8. Gangguan psikosis

Intervensi Psikologis

Beberapa alternatif intervensi psikologis dengan pendekatan perilaku yang dapat


diberikan pada pasien dengan gangguan belajar spesifik adalah sebagai berikut:
1. Intervensi berbasis keluarga
Salah satu intervensi yang dapat dilakukan dalam penanganan pasien dengan
gangguan belajar spesifik adalah intervensi keluarga. Orang tua dikuatkan untuk

142
Gangguan Belajar Spesifik

mendorong penghargaan diri anak dengan memberikan perhatian pada kekuatan,


potensi, dan minat anak yang tidak dipengaruhi oleh gangguan (Amerongen &
Mishna, 2004). Orang tua disarankan untuk menghargai pencapaian anak dan
mengenali usaha yang anak lakukan. Dengan menciptakan lingkungan yang
suportif, orang tua dapat meningkatkan kepercayaan diri anak. Menurut panduan
NICE (2015), program pelatihan orang tua berfokus pada pengembangan fungsi
sosial dan komunikasi.
2. Terapi Perilaku
Intervensi bagi pasien dengan gangguan belajar spesifik yang didasarkan
pada prinsip-prinsip perilaku dan asesmen perilaku fungsional, meliputi (NICE,
2015):
a. Menentukan target perilaku yang jelas dengan kesepakatan hasil yang
ingin dicapai.
b. Melakukan modifikasi lingkungan berdasarkan hasil pemeriksaan
terhadap faktor-faktor lingkungan yang dapat memicu atau
mempertahankan perilaku bermasalah (misal, mengurangi kebisingan).
c. Melibatkan anggota keluarga dan pengasuh untuk merespon perilaku
bermasalah pada pasien.
d. Membuat jadwal yang jelas terkait penghargaan terhadap perilaku yang
diinginkan dan kapasitas bantuan yang diberikan.
e. Rentang waktu yang spesifik untuk mencapai tujuan intervensi
(memodifikasi strategi intervensi yang tidak mendukung perubahan
selama waktu yang ditentukan).
f. Pertimbangkan untuk mempertahankan dan mengembangkan
perencanaan aktivitas keseharian yang terstruktur yang merefleksikan
minat dan kapasitas kemampuan pasien. Memantau efek perilaku
bermasalah dan membuat penyesuaian rencana dengan
mendiskusikannya pada pasien, anggota keluarga, maupun pengasuh.
3. Program Remedial
Program remidial adalah proses yang membantu pasien menguasai
keterampilan sesuai usianya di berbagai area dasar yang dibutuhkan untuk
memperoleh pengetahuan sesuai tempo dan potensinya. Intervensi ini perlu
melibatkan pengajaran langsung, pembelajaran, dan konsolidasi waktu. Perbaikan
yang dilakukan berulang kali menjadi perhatian penting dalam intervensi ini,
sehingga fokus pada keunikan anak, strategi pengajaran dan konten pembelajaran,
serta fokus pada penguatan dasar-dasar yang perlu dipelajari anak (Shah, dkk,
2019).

143
Gangguan Belajar Spesifik

Beberapa prinsip dalam intervensi remedial yang bisa diterapkan adalah


sebagai berikut (McDowell, 2018):
a. Eksplisit
Setiap keterampilan, komponen sub keterampilan diajarkan secara pasti
daripada secara implisit.
b. Sistematis
Urutan komponen keterampilan dilatih dalam urutan perkembangan
yang sesuai.
c. Multisensory
Pengetahuan dan keterampilan lebih mungkin dipertahankan, jika ada
persimpangan di beberapa jalur (penglihatan, pendengaran, sentuhan)
yang juga diasosiasikan dengan emosi positif.
d. Fleksibel dan adaptif
Pendekatan adaptif yang mengevaluasi respon intervensi sepanjang sesi,
dengan fleksibel untuk mengubah respon yang diperlukan. Hal ini
berbeda dengan program lain yang berjalan dengan proses yang kaku.
e. Penggunaan
Sebagai komponen yang baru dipelajari, dapat diterapkan penggunaan
dan penerapannya dalam konteks pembelajaran yang lebih luas,
misalnya membaca materi yang baru dan menarik.
f. Pengulangan
Pada beberapa aspek pembelajaran tertentu (seperti tabel perkalian,
kata ganti tidak tetap) hanya dapat dicapai dan dipertahankan melalui
pengulangan.
g. Intensitas
Waktu sesi, frekuensi, durasi program, dan level tugas haruslah cukup
untuk memengaruhi perubahan neuroplasticity. Salah satu penyebab
kegagalan program remedial adalah kurangnya tugas. Pedoman
sederhana yang dapat digunakan adalah minimal 30 menit, dilakukan
4-5 hari dalam seminggu, selama beberapa bulan.
h. Dapat diukur
Kemajuan tujuan dan umpan balik, setiap program remedial harus
memiliki tujuan yang terukur jelas dalam kerangka waktu, dengan
pengukuran kemajuan sepanjang proses.
Beberapa alternatif intervensi psikologi tersebut di atas dapat menjadi acuan
tatalaksana bagi pasien dengan gangguan belajar spesifik. Psikolog klinis juga dapat
menggunakan alternatif intervensi lain yang sudah memiliki basis bukti ilmiah.

144
Gangguan Belajar Spesifik

Prognosis

Beberapa faktor prognosis pada pasien dengan gangguan belajar spesifik, di


antaranya:
1. Adanya riwayat keluarga dengan gangguan belajar spesifik dapat memperburuk
prognosisnya.
2. Adanya kondisi penyerta seperti Gangguan Pemusatan Perhatian dan/atau
Hiperaktif (GPPH) dapat memperburuk prognosisnya.
3. Adanya riwayat gangguan bahasa dan bicara dapat memperburuk prognosisnya.

Catatan Lain

Pemeriksaan dan tatalaksana pada pasien gangguan belajar spesifik dapat


dilakukan dengan berkolaborasi dengan tenaga kesehatan lain, seperti: dokter spesialis
anak, terapis wicara, terapis okupasi.

145
Gangguan Belajar Spesifik

Referensi

American Psychiatric Association. (2013). Diagnostic and statistical manual of mental


disorders (5th ed.). Washington, DC: author.
Amerongen, M., & Mishna, F. (2004). Learning disabilities and behavior problems: a
self psychological and intersubjective approach to working with parents.
Psychoanalytic Social Work, 11(2). doi: 10.1300/J032v11n02_03.
Baharudin, N. S., Harun, D., & Kadar, M. (2019). An Assessment of the Movement and
Function of Children with Specific Learning Disabilities: A Review of Five
Standardised Assessment Tools. Malays J Med Sci. 27(2): 21–36.
https://doi.org/10.21315/mjms2020.27.2.3
Di Brina, C., Averna, R., Rampoldi, P., Rossetti, S., & Penge, R. (2018). Reading and
Writing Skills in Children With Specific Learning Disabilities With and Without
Developmental Coordination Disorder. Motor Control, 1–
15. doi:10.1123/mc.2016-0006
Horbach, J., Mayer, A., Scharke, W., Heim, S., & Günther, T. (2019). Development of
Behavior Problems in Children with and without Specific Learning Disorders in
Reading and Spelling from Kindergarten to Fifth Grade. Scientific Studies of
Reading, 1–15. doi:10.1080/10888438.2019.1641504
Maslim, R. (2013). Buku saku diagnosis gangguan jiwa rujukan ringkas dari PPDGJ-
III dan DSM-5. Jakarta: Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK Unika Atmajaya.
McDowell, M. (2018). Specific Learning Disability. Journal of Pediatrics and Child
Health, 54, 1077–1083. https://doi.org/10.1111/jpc.14168
National Institute for Health and Care Excellence (NICE). (2015). Challenging
behaviour and learning disabilities: prevention and interventions for people with
learning disabilities whose behaviour challenges. Diakses 11 November 2020, di
laman https://www.nice.org.uk/guidance/ng11/
Poletti, M. (2014). WISC-IV Intellectual Profiles in Italian Children With Specific
Learning Disorder and Related Impairments in Reading, Written Expression, and
Mathematics. Journal of Learning Disabilities, 1–16.
https://doi.org/10.1177/0022219414555416
Shah, R., Sagar, J. K. V., Somaiya, M. P., & Nagpal, J. K. (2019). Clinical practice
guidelines on assessment and management of Specific Learning Disorders. Indian
Journal of Psychiatry 61, 211-25. doi:
10.4103/psychiatry.IndianJPsychiatry_564_18

146
Gangguan Belajar Spesifik

Trites, R.L., & Price, M.A. (1978). Specific Learning Disability in Primary French
Immersion. Interchange, 9(4),1978-79. https://doi.org/10.1007/BF01189551
World Health Organization. (2011). International Statistical Classification of Disease
and Related Health Problems Tenth Revision Volume Second Edition. Geneva:
World Health Organization.

147
9. Gangguan Koordinasi Perkembangan

Batasan dan Uraian Umum

Sebagaimana tercantum dalam International Classification of Diseases revisi ke-


10 (ICD-10) (World Health Organization, 2011) dan Diagnostic and Statistical Manual
of Mental Disorders, Edisi 5 (DSM-5) (American Psychiatric Association, 2013) maka
1. Developmental Coordination Disorder (DCD) atau gangguan koordinasi
perkembangan merupakan koordinasi motorik kasar dan halus yang ditandai
dengan keterlambatan penguasaan keterampilan motorik dan memengaruhi
keberfungsian seseorang dalam aktivitas hidup keseharian
2. Diagnosis gangguan koordinasi perkembangan biasanya tidak ditegakkan sebelum
anak berusia 5 tahun dengan mempertimbangkan variasi usia penguasaan
keterampilan motorik ataupun keterbatasan pengukuran yang stabil pada masa
kanak-kanak awal, ataupun karena penyebab keterlambatan motorik belum
sepenuhnya termanifestasi.

Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis pada pasien anak dengan gangguan koordinasi perkembangan,


di antaranya (American Psychiatric Association, 2013; Blank, dkk, 2019; Harris,
Mickelson, & Zwicker, 2015; Kirby & Sugden, 2007; World Health Organization,
2011):
1. Keterlambatan perkembangan motorik pada anak usia dini, seperti kemampuan
duduk, merangkak, berjalan, naik turun tangga, mengayuh sepeda,
mengancingkan kemeja, menyelesaikan puzzle, dan menggunakan resleting
2. Kendala dalam menyelesaikan aktivitas-aktivitas motorik pada anak yang lebih
besar, seperti aktivitas menyusun puzzle, membangun balok, bermain permainan
bola, menulis, mengetik, ataupun keterampilan bantu diri
3. Keterlambatan perkembangan motorik yang disertai keterlambatan bicara atau
gangguan artikulasi bicara
4. Canggung (clumsy) dalam bergerak yang biasanya dikaitkan dengan kendala
dalam penyelesaian tugas visuospatial dimana kemampuan koordinasi motorik
anak di bawah level intelektual dan kelompok usia yang diharapkan pada
umumnya
5. Adanya kendala keberfungsian dalam aktivitas keseharian yang dapat
menyebabkan timbulnya penghargaan diri rendah, rasa tidak berharga,

148
Gangguan Koordinasi Perkembangan

permasalahan emosional dan perilaku, kendala dalam pencapaian akademik, dan


minimnya aktivitas fisik atau olahraga, dimana kesulitan motorik dan psikososial
dapat berlangsung hingga masa dewasa.

Asesmen dan Diagnosis

Identifikasi
Identifikasi pasien dengan dugaan gangguan koordinasi perkembangan dapat
dilakukan dengan mengidentifikasi keluhan pasien dan keluarga terhadap kemampuan
perkembangan anak dan perilaku keseharian anak, serta interaksi dan komunikasi sosial
anak dengan orang lain.

Asesmen
Beberapa alternatif metode pemeriksaan klinis yang dapat digunakan adalah sebagai
berikut:
1. Wawancara Klinis
Wawancara klinis pada orangtua pasien dengan gangguan koordinasi
perkembangan dilakukan untuk mendapatkan informasi secara lebih mendalam
terkait beberapa hal, di antaranya (Blank, dkk, 2019; Harris, Mickelson, &
Zwicker, 2015):
a. Alasan dirujuk dan kemunculan gangguan
b. Riwayat kesehatan dan pemeriksaan fisik terkini, meliputi informasi
kecelakaan yang sifatnya mayor, penyakit, gangguan neurologis,
permasalahan psikologis yang terkait dan relevan, permasalahan
sensori (yang terdokumentasikan pada pemeriksaan terdahulu,
kemunculan gejala baru), dan riwayat pengobatan
c. Riwayat perkembangan dan kondisi perkembangan terkini, meliputi
informasi terkait kehamilan, kelahiran, tahapan perkembangan
(motorik dan non motorik), riwayat keterlibatan motorik (kebiasaan
keluarga, lingkungan rumah, akses terhadap aktivitas motorik),
kompetensi sosial, dan kemampuan untuk berinteraksi dengan orang
lain
d. Riwayat pendidikan dan performa akademik saat ini, meliputi proses
pendidikan di taman bermain, prasekolah, sekolah, dan informasi
terkait pengukuran evaluasi akademik
e. Riwayat keluarga, meliputi informasi keberadaan gangguan
perkembangan ataupun kondisi genetik lain di keluarga
149
Gangguan Koordinasi Perkembangan

f. Dampak dari kondisi, termasuk dampak dari penggunaan alat bantu


dengar dan partisipasinya
g. Perilaku anak dalam fungsi sosial, kemandirian dalam aktivitas
keseharian
h. Faktor kontekstual (seperti dukungan sosial, status sosioekonomi, akses
terhadap layanan intervensi).
2. Observasi Klinis
Observasi klinis pada pasien anak dengan gangguan koordinasi
perkembangan dilakukan dengan mengamati gejala-gejala klinis yang tampak
pada perilaku anak, di antaranya (Blank, dkk, 2019; Harris, Mickelson, & Zwicker,
2015):
a. Gerak mata, respon visual terhadap stimulus
b. Ekspresi wajah dan gestur tubuh
c. Fungsi keterampilan motorik kasar (seperti lari, lompat, berdiri dengan
satu kaki)
d. Fungsi keterampilan motorik halus (seperti mengancingkan baju,
mengaitkan resleting, memotong dengan gunting, menalikan tali
sepatu)
e. Observasi aktivitas motorik saat bermain.
3. Tes Psikologi
Pemeriksaan dengan tes psikologi juga dilakukan untuk memetakan
kemampuan anak dan menunjang penegakan diagnosis yang lebih jelas.
a. Skrining awal terhadap kemampuan perkembangan pasien dilakukan
dengan menggunakan salah satu di antara beberapa tes berikut (Blank,
dkk, 2019; Matheis & Estabillo, 2018):
i. Denver Developmental Screening Test
ii. Bayley Scales of Infant and Toddler Development
b. Pemeriksaan fungsi adaptif pasien dilakukan dengan menggunakan
salah satu di antara beberapa tes berikut (Matheis & Estabillo, 2018;
Miller, dkk, 2001):
i. Vineland Social Maturity Scale (VSMS)
ii. Vineland Adaptive Behavior Scale (VABS)
c. Pemeriksaan terhadap fungsi kognitif pasien dilakukan dengan
menggunakan salah satu di antara beberapa tes intelegensi berikut
(Crane, Sumner, & Hill, 2017; Cummins, Piek, & Dyck, 2005; Sumner,
Pratt, & Hill, 2016):
i. Skala Raven, seperti Coloured Progressive Matrices (CPM)

150
Gangguan Koordinasi Perkembangan

ii. Stanford-Binet Intelligent Scale


iii. Skala Wechsler, seperti Wechsler Preschool and Primary Scale of
Intelligence (WPPSI), Wechsler Intelligence Scale for Children
(WISC)
Selain tes psikologi yang telah disebutkan di atas, beberapa literatur
menunjukkan identifikasi permasalahan lain terkait gangguan koordinasi
perkembangan dilakukan dengan menggunakan tes psikologi berikut, di antaranya
(Cummins, Piek, & Dyck, 2005; Crane, Sumner, & Hill, 2017; Miller, dkk, 2001):
a. Children Behavior Check List (CBCL)
b. Visual Motoric Integration (VMI)
c. Bender Gestalt (BG)
d. Strength and Difficult Questionnaire (SDQ)
Tes-tes psikologi yang telah disebutkan di atas merupakan alternatif yang
dapat digunakan sebagai acuan psikolog klinis dalam melakukan pemeriksaan
psikologi pada pasien dengan gangguan koordinasi perkembangan. Tes-tes
psikologi tersebut telah tersedia dalam bahasa Indonesia, namun masih perlu
dilakukan penelitian untuk melihat sejauh mana keefektifannya sebagai evidence
based dalam asesmen penegakan diagnosis gangguan koordinasi perkembangan
di Indonesia.
4. Data penunjang
Dokumen formal atau laporan dari profesional lain dan orang yang signifikan
(guru, dokter, psikolog, terapis), di antaranya (Blank, dkk, 2019):
a. Laporan tertulis berisikan data persetujuan dan wawancara dari anggota
keluarga
b. Laporan fungsi motorik dari guru ataupun terapis
c. Laporan hasil pemeriksaan psikologi terdahulu
d. Laporan terkait pencapaian akademik di sekolah
e. Laporan terkait perilaku pasien
Diagnosis
Kriteria penegakan diagnosis gangguan koordinasi perkembangan berdasarkan DSM-5,
dapat dilihat pada tabel 3.9.1.

151
Gangguan Koordinasi Perkembangan

Tabel 3.9.1
Kriteria Diagnosis Gangguan Koordinasi Perkembangan Berdasarkan DSM-5
Kriteria Diagnosis Ada Tidak
A Pemerolehan dan eksekusi keterampilan koordinasi
gerak pasien, serta kesempatan menggunakan
keterampilan yang dipelajari termasuk di bawah usia
kronologis yang diharapkan. Kesulitan
termanifestasikan dalam perilaku canggung /
clumsiness (seperti menjatuhkan atau menabrak
suatu objek) dan juga performa keterampilan gerak
yang lambat dan tidak tepat (seperti menangkap
bola, menggunting atau memotong, menulis,
bersepeda, atau berolahraga)
B Kurangnya keterampilan gerak pada kriteria A
secara signifikan dan persisten memengaruhi
aktivitas bantu diri harian yang seharusnya dikuasai
sesuai usia kronologisnya (seperti keterampilan
merawat dan memelihara diri), yang berdampak
pada produktivitas akademis/sekolah, aktivitas pra-
kejuruan dan pekerjaan, keterampilan menggunakan
waktu luang dan bermain
C Onset dari gejala terjadi di awal periode
perkembangan
D Kurangnya keterampilan gerak tidak lebih baik jika
dijelaskan dengan disabilitas intelektual (gangguan
perkembangan intelektual), gangguan penglihatan,
dan tidak diakibatkan kondisi neurologis yang
menyebabkan pergerakan (cerebral palsy, muscular
dystrophy, degenerative disorder)

Komorbiditas

Gangguan koordinasi perkembangan dapat disertai kondisi penyerta, di antaranya


(American Psychiatric Association, 2013; Blank, dkk, 2019):
1. Gangguan bahasa dan berbicara
2. Gangguan belajar spesifik (khususnya kesulitan membaca dan menulis)
152
Gangguan Koordinasi Perkembangan

3. Gangguan Pemusatan Perhatian dan/atau Hiperaktif (GPPH)


4. Gangguan spektrum autisme
5. Gangguan emosi dan perilaku mengganggu
6. Joint hypermobility syndrome

Diagnosis Banding

Berdasarkan DSM-5, penegakan diagnosis gangguan koordinasi perkembangan


dapat disertai penegakan diagnosis banding sebagai berikut:
1. Gangguan gerak akibat gangguan medis lain, seperti kelainan fungsi visual dan
gangguan neurologis spesifik (cerebral palsy, progressive lesions of the cerebellum,
neuromuscular disorder)
2. Disabilitas intelektual (gangguan perkembangan intelektual)
3. Gangguan Pemusatan Perhatian dan/atau Hiperaktif (GPPH)
4. Gangguan spektrum autisme
5. Joint hypermobility syndrome, pada pemeriksaan fisik ditemukan perluasan sendi
yang mengakibatkan nyeri

Intervensi Psikologis

Perencanaan program intervensi bagi pasien anak dengan gangguan koordinasi


perkembangan perlu mempertimbangkan kekuatan dan keterbatasan pasien dalam
konteks lingkungan (rumah, sekolah, komunitas), serta faktor psikososial lain dalam
rangka meningkatkan fungsi motoriknya (Blank, dkk, 2019).
Intervensi psikologis yang diberikan pada pasien dengan gangguan koordinasi
perkembangan mengarah pada permasalahan sekunder yang dialami, sementara
intervensi pada permasalahan primer dilakukan oleh terapi okupasi. Terapi perilaku
dapat diberikan pada pasien anak dengan gangguan koordinasi perkembangan
Secara umum, studi mengenai anak dengan gangguan koordinasi perkembangan
menunjukkan sebagian besar anak mengatasi kondisi gangguan yang dimiliki tanpa
adanya intervensi, hanya saja penelitian terkait intervensi pada gangguan koordinasi
perkembangan tidak sekomprehensif penelitian pada gangguan perkembangan lainnya
(Kirby & Sugden, 2007). Selain keterbatasan panduan praktik klinis intervensi pada
gangguan koordinasi perkembangan, penelitian menunjukkan intervensi terbaik yang
dapat dilakukan adalah mencegah kesulitan-kesulitan sekunder dengan meningkatkan
performa anak dalam aktivitas motorik (Magalhães, Cardoso, & Missiuna, 2011; Rigoli
& Piek, 2020) yang dapat mencegah siklus withdrawal yang mengarah pada hilangnya

153
Gangguan Koordinasi Perkembangan

kesempatan berpartisipasi yang rentan dialami anak dengan gangguan koordinasi


perkembangan (Rigoli & Piek, 2020).
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam penanganan bagi pasien dengan
gangguan koordinasi perkembangan adalah (Blank, dkk, 2019):
a. Menentukan kekuatan dan kelemahan anak dalam konteks lingkungannya
b. Menentukan tujuan (tingkat aktivitas dan partisipasi pasien), pertimbangkan juga
sudut pandang pasien, keluarga, dan pengasuh
c. Menentukan terapi dilakukan secara individual atau berkelompok
d. Menentukan pendekatan yang akan digunakan, pendekatan berorientasi aktivitas
atau pendekatan lain. Pertimbangkan evidence based, faktor psikososial, konsep
diri pasien, aspek yang menjadi prioritas intervensi (aspek motorik atau aspek
perkembangan lain), kekuatan fisik pasien.
e. Berikan instruksi pada orangtua dan pengasuh untuk melibatkan pasien dalam
aktivitas keseharian
f. Melakukan evaluasi, pemantauan/pemonitoran terhadap intervensi pada pasien
dengan gangguan koordinasi perkembangan dilakukan setidaknya setiap 3 bulan,
sehingga dapat dievaluasi efek program intervensi, pencapaian tujuan, dan
menentukan perlu tidaknya intervensi lanjutan.
g. Melakukan intervensi lanjutan atau terminasi
Beberapa intervensi pada pasien dengan gangguan koordinasi perkembangan
menggunakan pendekatan-pendekatan berikut, yaitu (Kirby & Sugden, 2007):
a. Pendekatan berorientasi pada proses
Biasanya dilakukan oleh profesional di bidang kesehatan menggunakan
metode sensori integrasi. Pendekatan ini berfokus pada proses perkembangan
pasien anak yang belum berkembang optimal. Misal fungsi kinestetik yang
digunakan memfungsikan beberapa keterampilan motorik.
b. Pendekatan berorientasi pada tugas
Berfokus pada tugas yang dilakukan pasien anak yang berkaitan dengan
prosses kognisi. Pendekatan ini menekankan pada interaksi pasien anak dengan
sumber daya yang tersedia, tugas yang akan dipelajari, dan konteks situasinya.
Tugas yang akan dipelajari ditentukan berdasarkan hasil konsultasi dengan
orangtua dan pasien anak, yang diajarkan secara langsung, dan terkadang dibagi
menjadi beberapa bagian.
Studi menunjukkan intervensi dengan pendekatan yang berorientasi pada tugas
terbukti dapat meningkatkan kemampuan pasien dengan Developmental Coordination
Disorder dalam melakukan aktivitas-aktivitas keseharian (Zwicker, dkk, 2017).
154
Gangguan Koordinasi Perkembangan

Beberapa alternatif intervensi psikologi tersebut di atas dapat menjadi acuan


tatalaksana bagi pasien dengan gangguan koordinasi perkembangan. Psikolog klinis
juga dapat menggunakan alternatif intervensi lain yang sudah memiliki bukti secara
ilmiah.

Prognosis

Beberapa faktor prognosis pada pasien anak dengan gangguan koordinasi


perkembangan, di antaranya:
1. Adanya riwayat keluarga dengan Developmental Coordination Disorder dapat
memperburuk prognosisnya
2. Adanya kondisi penyerta (comorbid) pada anak dengan Developmental
Coordination Disorder dapat memperburuk prognosisnya

Catatan Lain

Pemeriksaan dan tatalaksana pada pasien gangguan koordinasi perkembangan dapat


dilakukan dengan berkolaborasi dengan tenaga kesehatan lain, di antaranya: dokter
spesialis anak, dokter spesialis saraf anak, terapis wicara, terapis okupasi.

155
Gangguan Koordinasi Perkembangan

Referensi

American Psychiatric Association. (2013). Diagnostic and statistical manual of mental


disorders (5th ed.). Washington, DC: American Psychiatric Publishing.
Blank, R., Barnett, A. L., dkk. (2019). International clinical practice recommendations
on the definition, diagnosis, assessment, intervention, and psychosocial aspects of
developmental coordination disorder. Developmental Medicine & Child
Neurology, 61(3), 242–285. doi:10.1111/dmcn.14132
Crane, L., Sumner, E., & Hill, E. L. (2017). Emotional and behavioural problems in
children with Developmental Coordination Disorder: Exploring parent and
teacher reports. Research in Developmental Disabilities, 70, 67–74. doi:
10.1016/j.ridd.2017.08.001
Cummins, A., Piek, J. P., & Dyck, M. J. (2005). Motor coordination, empathy, and
social behaviour in school-aged children. Developmental Medicine & Child
Neurology, 47 (7), 437-442. doi:10.1017/s001216220500085x
Harris, S. R., Mickelson, E. C. R., & Zwicker, J. G. (2015). Diagnosis and management
of developmental coordination disorder. Canadian Medical Association Journal,
187(9): 659–665. doi: 10.1503/cmaj.140994
Kirby, A., & Sugden, D. A. (2007). Children with developmental coordination disorders.
Journal of the Royal Society of Medicine, 100, 182-186.
doi:10.1258/jrsm.100.4.182
Magalhães, L. C., Cardoso, A. A., & Missiuna, C. (2011). Activities and participation
in children with developmental coordination disorder: A systematic review.
Research in Developmental Disabilities, 32(4), 1309-1316.
doi:10.1016/j.ridd.2011.01.029
Matheis, M., & Estabillo, J. A. (2018). Assessment of Fine and Gross Motor Skills
in Children. Handbook of Childhood Psychopathology and Developmental
Disabilities Assessment, Autism and Child Psychopathology Series.
https://doi.org/10.1007/978-3-319-93542-3_25
Miller, L. T., Polatajko, H. J., dkk. (2001). A pilot trial of a cognitive treatment for
children with developmental coordination disorder. Human Movement Science, 20
(1-2), 183-210. https://doi.org/10.1016/S0167-9457(01)00034-3
Rigoli, D., & Piek, J. P. (2020). Motor disorders. The Encyclopedia of Child and
Adolescent Development. doi: 10.1002/9781119171492.wecad395

156
Gangguan Koordinasi Perkembangan

Sumner, E., Pratt, M. L., & Hill, E. L. (2016). Examining the cognitive profile of
children with Developmental Coordination Disorder. Research in Developmental
Disabilities, 56, 10–17. doi: 10.1016/j.ridd.2016.05.012.
World Health Organization. (2011). International Statistical Classification of Disease
and Related Health Problems. 10th Revision, Volume 2: Instruction Manual. 2010
Ed. Geneva: World Health Organization.
Zwicker, J. G., Suto, M., Harris, S. R., dkk. (2017). Developmental coordination
disorder is more than a motor problem: Children describe the impact of daily
struggles on their quality of life. British Journal of Occupational Therapy, 81(2),
65-73. doi:10.1177/0308022617735046

157
10. Gangguan Gerak Stereotipik

Batasan dan Uraian Umum

Sebagaimana tercantum dalam International Classification of Diseases revisi ke-


10 (ICD-10) (World Health Organization, 2011) dan Diagnostic and Statistical Manual
of Mental Disorders, Edisi 5 (DSM-5) (American Psychiatric Association, 2013) maka
1. Stereotypic Movement Disorder atau gangguan gerak stereotipik merupakan
gangguan gerak yang terjadi pada masa perkembangan awal, ditandai dengan
adanya perilaku motorik yang dilakukan berulang kali meski tidak bertujuan,
yang sering kali berirama namun bukan bagian dari kondisi neurologis
maupun psikiatri.
2. Gerakan stereotip pada gangguan gerak stereotipik dapat terjadi beberapa
kali dalam sehari, selama beberapa detik hingga menit, ketika anak merasa
antusias, stres, lelah, ataupun bosan, yang dapat memengaruhi kualitas
interaksi sosial, akademik, dan aktivitas lainnya.

Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis pada pasien anak dengan gangguan gerak stereotipik, di


antaranya:
1. Perilaku gerak stereotipik tanpa menyakiti diri, seperti menggoyang-goyangkan
badan, menggeleng-gelengkan kepala, mencabuti rambut, menjentikkan jari,
ataupun flapping
2. Perilaku gerak stereotipik yang menyakiti diri, seperti perilaku membenturkan
kepala secara berulang, menampar wajah, menusuk-nusuk mata, dan menggigit
tangan, bibir, atau bagian tubuh lainnya.

Asesmen dan Diagnosis

Identifikasi
Identifikasi pasien dengan dugaan gangguan gerak stereotipik dapat dilakukan
dengan mengidentifikasi keluhan orangtua terhadap kemampuan perkembangan dan
perilaku keseharian pasien.

158
Gangguan Gerak Stereotipik

Asesmen
Beberapa alternatif metode pemeriksaan klinis yang dapat digunakan adalah
sebagai berikut:
1. Wawancara Klinis
Wawancara klinis pada orangtua pasien anak dengan gangguan gerak
stereotipik dilakukan untuk mendapatkan informasi secara lebih mendalam terkait
beberapa hal berikut (Oakley, dkk, 2015):
a. Riwayat keluarga
b. Riwayat gangguan, termasuk onset usia, pola gerak stereotipik, frekuensi dan
durasi gerak stereotipik
c. Riwayat pendidikan
d. Riwayat penanganan
2. Observasi Klinis
Observasi klinis pada pasien anak dengan gangguan gerak stereotipik dapat
dilakukan di berbagai konteks, seperti rumah, sekolah, maupun klinik. Melalui
observasi, teramati gejala-gejala klinis yang tampak pada perilaku anak, seperti:
a. Gerak mata, respon visual terhadap stimulus
b. Ekspresi wajah dan gestur tubuh
c. Fungsi keterampilan motorik kasar dan halus
d. Perilaku bermain
e. Perilaku selama pengetesan
f. Perilaku interaksi dan komunikasi sosial
g. Perubahan suasana hati

3. Tes Psikologi
Pemeriksaan dengan tes psikologi juga dilakukan untuk memetakan
kemampuan pasien dan menunjang penegakan diagnosis yang lebih jelas.
a. Skrining awal terhadap kemampuan perkembangan pasien dilakukan dengan
menggunakan salah satu di antara beberapa tes berikut:
i. Denver Developmental Screening Test
ii. Bayley Scales of Infant and Toddler Development
b. Pemeriksaan terhadap fungsi kognitif pasien dilakukan dengan
menggunakan salah satu di antara beberapa tes intelegensi berikut (Cardona,
dkk, 2016; Valente, dkk, 2019):
i. Skala Raven, seperti Coloured Progressive Matrices (CPM)
ii. Stanford-Binet Intelligent Scale

159
Gangguan Gerak Stereotipik

iii. Skala Wechsler, seperti Wechsler Preschool and Primary Scale of


Intelligence (WPPSI), Wechsler Intelligence Scale for Children
(WISC)
c. Pemeriksaan fungsi adaptif pasien dilakukan dengan menggunakan salah
satu di antara beberapa tes berikut:
i. Vineland Social Maturity Scale (VSMS)
ii. Vineland Adaptive Behavior Scale (VABS)
Selain tes psikologi yang telah disebutkan di atas, beberapa literatur
menunjukkan identifikasi permasalahan lain terkait Gangguan Gerak Stereotipik
dilakukan dengan menggunakan tes psikologi berikut, di antaranya (Cardona, dkk,
2016; Valente, dkk, 2019):
a. Children Behavior Check List (CBCL)
b. Visual Motoric Integration (VMI)
c. Bender Gestalt (BG)
d. BAUM, Draw A Person (DAP), House Tree Person (HTP)
Tes-tes psikologi yang telah disebutkan di atas merupakan alternatif yang
dapat digunakan sebagai acuan psikolog Klinis dalam melakukan pemeriksaan
psikologi pada pasien dengan gangguan gerak stereotipik. Tes-tes psikologi
tersebut telah tersedia dalam bahasa Indonesia, namun masih perlu dilakukan
penelitian untuk melihat sejauh mana keefektifannya sebagai evidence based
dalam asesmen penegakan diagnosis gangguan gerak stereotipik di Indonesia.
Diagnosis
Kriteria penegakan diagnosis gangguan gerak stereotipik berdasarkan DSM-5
dapat dilihat pada tabel 3.10.1.

160
Gangguan Gerak Stereotipik

Tabel 3.10.1
Kriteria Diagnosis Gangguan Gerak Stereotipik Berdasarkan DSM-5
Kriteria Diagnosis Ada Tidak
A Gerakan yang berulang, tidak terkendali, dan tidak
bertujuan (seperti melambaikan atau
menggoyangkan tangan, mengayun-ayunkan badan,
membenturkan kepala, menggigit diri atau memukul
diri sendiri)
B Gerak berulang mengganggu aktivitas sosial,
akademis, atau aktivitas lain yang bisa berakibat
melukai diri sendiri
C Onset munculnya gejala terjadi di awal periode
perkembangan
D Gerak berulang tidak berhubungan dengan efek
fisiologis dari kondisi neurologis atau penggunaan
zat dan tidak lebih baik jika dijelaskan dengan
gangguan mental atau gangguan perkembangan
neurologis lain (seperti trichotillomania / mencabuti
rambut, gangguan obsesif-kompulsif)
Catatan tambahan terkait kriteria diagnosis :
a. Tentukan jika :
i. Dengan perilaku melukai diri (atau perilaku yang bisa mengakibatkan luka
jika tindakan pencegahan tidak dilakukan)
ii. Tanpa perilaku melukai diri
b. Tentukan jika :
Terkait dengan adanya kondisi genetis atau medis, gangguan perkembangan
neurologis, atau faktor lingkungan (seperti Lesch-Nyhan syndrome, disabilitas
intelektual / gangguan perkembangan intelektual, intrauterine alcohol exposure).
c. Pencatatan kode: gunakan kode tambahan untuk mengidentifikasi kondisi genetis
atau medis atau gangguan perkembangan neurologis yang terkait
d. Tingkat keparahan gangguan gerak stereotipik dikategorikan menjadi tiga:
i. Mild/ringan: gejala-gejala mudah ditekan oleh rangsangan atau distraksi
sensori
ii. Moderate/sedang: gejala-gejala yang tampak memerlukan tindakan
pencegahan dan modifikasi perilaku
iii. Severe/berat: memerlukan tindakan pencegahan dan pemantauan
berkelanjutan untuk mencegah terjadinya luka yang parah.

161
Gangguan Gerak Stereotipik

Berdasarkan PPDGJ-III, pedoman kriteria penegakan diagnosis Gangguan


Hiperkinetik (F90) adalah sebagai berikut:
a. Ciri-ciri utama ialah berkurangnya perhatian dan aktivitas berlebihan. Kedua
ciri ini menjadi syarat mutlak untuk diagnosis dan haruslah nyata ada pada
lebih dari satu situasi (misalnya di rumah, di kelas, di klinik)
b. Berkurangnya perhatian tampak jelas dari terlalu dini dihentikannya tugas

Komorbiditas

Gangguan gerak stereotipik dapat disertai kondisi berikut (American Psychiatric


Association, 2013; Freeman, Soltanifar, & Baer, 2010):
1. Gangguan neurologis, seperti Lesch-Nyhan syndrome, Rett syndrome, fragile X
syndrome, Cornelia de Lange syndrome, dan Smith-Magenis syndrome. Ketika
gangguan gerakan stereotipik terjadi bersamaan kondisi medis lain, diagnosis
kedua gangguan ini perlu ditegakkan
2. Gangguan Pemusatan Perhatian dan/atau Hiperaktif
3. Gangguan koordinasi perkembangan

Diagnosis Banding

Berdasarkan DSM-5, penegakan diagnosis gangguan gerak stereotipik dapat disertai


penegakan diagnosis banding sebagai berikut:
1. Perkembangan normal. Gerakan stereotipik wajar muncul di masa bayi dan masa
kanak-kanak awal
2. Gangguan spektrum autisme
3. Gangguan tic
4. Gangguan obsesif-kompulsif dan gangguan terkait
5. Kondisi neurologis dan medis lainnya

Intervensi Psikologis

Beberapa alternatif intervensi psikologis dengan pendekatan perilaku yang dapat


diberikan pada pasien dengan gangguan gerak stereotipik adalah sebagai berikut:
1. Intervensi berbasis keluarga
Salah satu intervensi berbasis keluarga dalam penanganan Stereotypic
Movement Disorder adalah dengan melibatkan orangtua dalam melaksanakan
home-based program dengan pendekatan perilaku. Studi yang dilakukan Singer,

162
Gangguan Gerak Stereotipik

dkk (2018) dan Specht, dkk (2017) menunjukkan program berbasis rumah (home-
based program) dengan pendekatan perilaku yang dilakukan oleh orangtua di
rumah pada anak dengan gangguan gerak stereotipik dapat menurunkan perilaku
gerak stereotipik anak. Beberapa prosedur home-based program, yaitu (Singer,
dkk, 2018; Specht, dkk, 2017):
a. Melakukan pengukuran awal dan menentukan baseline perilaku gerak
stereotipik anak
b. Penerapan program oleh orangtua
i. Parent-directed video-based behavioral therapy, merupakan instruksi
pelaksanaan terapi yang diberikan oleh psikolog perilaku melalui video
yang ditonton oleh orangtua.
• Awareness training
Latihan ini dilakukan selama satu minggu di awal program, untuk
membuat anak menyadari perilaku stereotipiknya dan memberikan
apresiasi verbal pada anak ketika anak tidak melakukan perilaku
tersebut.
• Differential reinforcement of other behavior (DRO) atau Reinforced
complex motor stereotypies suppression
Orangtua memberikan reinforcement selama dua minggu / lebih
terhadap perilaku lain yang muncul dan/atau terhadap supresi
perilaku stereotipik anak, seperti apresiasi verbal atau hadiah.
ii. Telepon dengan psikolog
iii. Sesi telepon dengan psikolog menjadi bagian dari home-based program
yang dilakukan Singer, dkk (2018), namun tidak termasuk aktivitas
program dalam studi Specht, dkk (2017). Sesi ini dilakukan sebanyak 4
kali untuk meriviu pelaksanaan dan progres terapi.
c. Melakukan pengukuran kembali untuk memantau dan mengevaluasi proses
intervensi
Pelaksanaan program ini dilengkapi dengan video rekaman arahan dari
psikolog, instruksi tertulis, dan lembar pencatatan perilaku harian (Singer,
dkk, 2018; Specht, dkk, 2017).
2. Terapi Perilaku
Intervensi dengan pendekatan perilaku terbukti efektif dalam penanganan
pasien anak dengan Stereotypic Movement Disorder (Barry, dkk, 2011; Miller,
dkk, 2006; Ricketts, dkk, 2013; Rigoli & Piek, 2020). Adapun sesi penanganan
pada Stereotypic Movement Disorder, terdiri dari (Ricketts, dkk, 2013):
a. Memberikan psikoedukasi tentang Stereotypic Movement Disorder dan
melakukan pemeriksaan wawancara fungsional informal
163
Gangguan Gerak Stereotipik

b. Memperkenalkan sistem reward perilaku untuk menguatkan kepatuhan


terhadap penanganan (misal, kehadiran dan partisipasi dalam sesi)
c. Menerapkan habit reversal training (meliputi awareness training, competing
response, dan dukungan sosial)
d. Menerapkan teknik relapse prevention
Penanganan perilaku pada pasien dengan Stereotypic Movement Disorder
didesain dengan fleksibel, dimana sesi 1 kali dalam seminggu dapat
dialihkan menjadi 1 kali dalam 2 minggu seiring berkurangnya gejala yang
tampak (Ricketts, dkk, 2013).
Beberapa alternatif intervensi psikologi tersebut di atas dapat menjadi acuan
tatalaksana bagi pasien dengan gangguan gerak stereotipik. Psikolog klinis juga dapat
menggunakan alternatif intervensi lain yang sudah memiliki basis bukti ilmiah.

Prognosis

Beberapa faktor prognosis pada pasien anak dengan gangguan gerak stereotipik, di
antaranya:
1. Lingkungan yang memicu stres dan rasa takut, serta adanya isolasi sosial dapat
memicu munculnya gerakan stereotip dengan perilaku melukai diri yang
memperburuk prognosis
2. Fungsi kognitif anak dengan Stereotypic Movement Disorder, dimana semakin
rendah fungsi kognitifnya maka resiko melakukan perilaku stereotipik semakin
besar dan respon terhadap intervensi semakin rendah, yang dapat memperburuk
prognosisnya.

Catatan Lain

Pemeriksaan dan tatalaksana pada pasien gangguan gerak stereotipik dapat dilakukan
dengan berkolaborasi dengan tenaga kesehatan lain, di antaranya: dokter spesialis anak,
dokter spesialis saraf anak, terapis wicara, terapis okupasi.

164
Gangguan Gerak Stereotipik

Referensi

American Psychiatric Association. (2013). Diagnostic and statistical manual of mental


disorders (5th ed.). Washington, DC: author.
Barry, S., Baird, G., dkk. (2011). Neurodevelopmental movement disorders – an update
on childhood motor stereotypies. Developmental Medicine & Child Neurology, 53,
979–985. doi: 10.1111/j.1469-8749.2011.04058.x
Cardona, F., Valente, F., Miraglia, D., dkk. (2016). Developmental Profile and
Diagnoses in children Presenting with Motor stereotypies. Frontiers in Pediatric,
4, 126. doi: 10.3389/fped.2016.00126
Freeman, R. D., Soltanifar, A., & Baer, S. (2010). Stereotypic movement disorder:
easily missed. Developmental Medicine & Child Neurology, 52, 733–738,
DOI: 10.1111/j.1469-8749.2010.03627.x
Maslim, R. (2013). Buku saku diagnosis gangguan jiwa rujukan ringkas dari PPDGJ-
III dan DSM-5. Jakarta: Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK Unika Atmajaya.
Miller, J. M., Singer, H. S., dkk. (2006). Behavioral Therapy for Treatment of
Stereotypic Movements in Nonautistic Children. Journal of Child Neurology,
21(2). doi: 10.1177/08830738060210020701
Oakley, C., Mahone, E. M., dkk. (2015). Primary complex motor stereotypies in older
children and adolescents: clinical features and longitudinal follow-up. Pediatric
Neurology, 52, 398-403. http://dx.doi.org/10.1016/j.pediatrneurol.2014.11.002
Ricketts, E. J., Bauer, C. C., dkk. (2013). Behavior therapy for stereotypic movement
disorder in typically developing children: a clinical case series. Cognitive and
Behavioral Practice, 20, 544-555. https://doi.org/10.1016/j.cbpra.2013.03.002
Rigoli, D., & Piek, J. P. (2020). Motor disorders. The Encyclopedia of Child and
Adolescent Development. doi: 10.1002/9781119171492.wecad395
Singer, H. S., Rajendran, S., dkk. (2018). Home-Based, Therapist-Assisted, Therapy
for Young Children with Primary Complex Motor Stereotypies. Pediatr Neurol.
2018 August ; 85: 51–57. doi:10.1016/j.pediatrneurol.2018.05.004
Specht, M. W., Mahone, E. M., dkk. (2017). Efficacy of parent-delivered behavioral
therapy for primary complex motor stereotypies. Developmental Medicine &
Child Neurology, 59(2): 168–173. doi:10.1111/dmcn.13164
Valente, F., Pesola, C., dkk. (2019). Developmental Motor Profile in Preschool
Children with Primary Stereotypic Movement Disorder. BioMed Research
International Volume. https://doi.org/10.1155/2019/1427294

165
Gangguan Gerak Stereotipik

World Health Organization. (2011). International Statistical Classification of Disease


and Related Health Problems Tenth Revision Volume Second Edition. Geneva:
World Health Organization.

166
11. Gangguan Tic

Batasan dan Uraian Umum

Sebagaimana tercantum dalam International Classification of Diseasesrevisi ke-10


(ICD-10) (World Health Organization, 2011) dan Diagnostic and Statistical Manual of
Mental Disorders edisi 5 (DSM-5) (American Psychiatric Association, 2013) maka
1. Gangguan tic merupakan bagian dari gangguan gerak, meliputi tic gerakan dan tic
vokal yang terjadi secara tiba-tiba, cepat, berulang, tidak berirama dengan gerak
motorik ataupun vokal yang stereotip. Ketika seseorang mengalami berbagai tic
motorik dan vokal yang berlangsung setidaknya 1 tahun, ia mengalami gangguan
Tourette.
2. Gangguan tic terdiri dari beberapa jenis seperti pada tabel dibawah ini:

Tabel 3.11.1
Jenis Gangguan Tic
ICD – 10 DSM - 5
F95.0 Gangguan tic sementara 307.23 (F95.2) Tourette’s disorder
F95.1 Gangguan tic motorik dan vokal 307.22 (F95.1) Persistent (chronic)
kronis motor or vocal tic
F95.2 Gangguan kombinasi tic vokal disorder
dan motorik multipel 307.21 (F95.0) Provisional tic
F95.8 Gangguan tic lainnya 307.20 (F95.8) disorder
F95.9 Gangguan tic YTT Other specified tic
307.20 (F95.9) disorder
Unspecified tic
disorder

Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis pada pasien anak dengan gangguan tic di antaranya (APA,
2013; Rigoli & Piek, 2020):
1. Adanya tic motorik sederhana, seperti mengedipkan mata, mengangkat bahu
2. Adanya tic motorik kompleks, seperti kombinasi gerakan mengangkat bahu dan
menoleh
3. Adanya permasalahan dengan sebaya dan permasalahan emosi
167
Gangguan Tic

Asesmen dan Diagnosis

Identifikasi
Identifikasi pasien dengan dugaan gangguan tic dapat dilakukan dengan
mengidentifikasi keluhan orangtua terhadap kemampuan perkembangan anak, perilaku
keseharian anak, dan kemampuan interaksi dan komunikasi sosial.
Asesmen
Beberapa alternatif metode pemeriksaan klinis yang dapat digunakan adalah
sebagai berikut:
1. Wawancara Klinis
Wawancara klinis pada orangtua pasien anak dengan gangguan tic dilakukan
untuk mendapatkan informasi secara lebih mendalam terkait beberapa hal berikut:
a. Riwayat kesehatan dan pemeriksaan fisik terkini
b. Riwayat perkembangan
c. Riwayat pendidikan
d. Riwayat keluarga
e. Riwayat gangguan tic, termasuk manifestasi klinis di masa lampau dan masa
kini
f. Perilaku anak dalam fungsi sosial, kemandirian dalam aktivitas keseharian
g. Keadaan sosio-emosi anak
h. Lingkungan (seperti kebiasaan keluarga, dukungan sosial, status sosio-
ekonomi, akses terhadap layanan intervensi)
2. Observasi Klinis
Observasi klinis pada pasien dengan gangguan tic dapat dilakukan di
berbagai setting, seperti rumah, sekolah, maupun klinik. Melalui observasi,
teramati gejala-gejala klinis yang tampak pada perilaku anak, seperti:
a. Gerak mata, respon visual terhadap stimulus
b. Ekspresi wajah dan gestur tubuh
c. Perilaku bermain
d. Perilaku selama pengetesan
e. Perilaku interaksi dan komunikasi sosial
f. Perubahan suasana hati
3. Tes Psikologi
Pemeriksaan dengan tes psikologi juga dilakukan untuk memetakan
kemampuan anak dan menunjang penegakan diagnosis yang lebih jelas.
168
Gangguan Tic

a. Skrining terhadap kemampuan perkembangan pasien dilakukan dengan


menggunakan salah satu di antara beberapa tes berikut:
i. Denver Developmental Screening Test
ii. Bayley Scales of Infant and Toddler Development
b. Pemeriksaan terhadap fungsi kognitif pasien dilakukan dengan
menggunakan salah satu di antara beberapa tes inteligensi berikut:
i. Skala Raven, seperti Coloured Progressive Matrices (CPM)
ii. Stanford-Binet Intelligent Scale
iii. Skala Wechsler, seperti Wechsler Preschool and Primary Scale of
Intelligence (WPPSI), Wechsler Intelligence Scale for Children
(WISC)
c. Pemeriksaan fungsi adaptif pasien dilakukan dengan menggunakan salah
satu di antara beberapa tes berikut:
i. Vineland Social Maturity Scale (VSMS)
ii. Vineland Adaptive Behavior Scale (VABS)
Selain tes psikologi yang telah disebutkan di atas, identifikasi permasalahan
lain terkait gangguan tic dilakukan dengan menggunakan tes psikologi berikut, di
antaranya (Murphy, dkk, 2013; Nissen, dkk, 2019):
a. Children Behavior Check List (CBCL)
b. Visual Motoric Integration (VMI)
c. Bender Gestalt (BG)
d. BAUM, Draw A Person (DAP), House Tree Person (HTP)
Tes-tes psikologi yang telah disebutkan di atas merupakan alternatif yang
dapat digunakan sebagai acuan psikolog klinis dalam melakukan pemeriksaan
psikologi pada pasien dengan gangguan tic. Tes-tes psikologi tersebut telah
tersedia dalam bahasa Indonesia, namun masih perlu dilakukan penelitian untuk
melihat sejauhmana keefektifannya sebagai basis bukti ilmiah dalam asesmen
penegakan diagnosis gangguan tic di Indonesia.
Diagnosis
Berdasarkan DSM-5, gangguan tic terdiri dari gangguan tourette, persistent
(Chronic) motor or vocal tic disorder, provisional tic disorder, Other specified tic
disorder, unspecified tic disorder.
Kriteria penegakan diagnosis gangguan tourette (307.23) berdasarkan DSM-5
dapat dilihat pada tabel 3.11.2.

169
Gangguan Tic

Tabel 3.11.2
Kriteria Diagnosis Gangguan Tourette Berdasarkan DSM-5
Kriteria Diagnosis Ada Tidak
A Beberapa tic gerak dan satu atau lebih tic vokal
muncul selama beberapa waktu ketika sakit, meski
tidak selalu terjadi bersamaan
B Frekuensi tic mungkin bertambah / berkurang tetapi
persisten lebih dari satu tahun sejak onset terjadinya
tic pertama kali.
C Onset terjadinya sebelumnya usia 18 tahun.
D Gangguan tidak berkaitan dengan efek fisiologis dari
penggunaan zat (seperti kokain) atau kondisi medis
lain (seperti Huntington’s disease, postviral
encephalitis)

Berdasarkan PPDGJ-III, pedoman kriteria penegakan diagnosis gangguan


kombinasi tic vokal dan motorik multipel (F95.2) adalah sebagai berikut:
a. Tic motoric multiple dengan satu atau beberapa tic vokal yang tidak harus timbul
secara serentak dan dalam riwayatnya hilang timbul
b. Onset hampir selalu pada masa kanak-kanak atau remaja. Lazimnya ada riwayat
tic motorik sebelum timbulnya tic vokal; sindrom ini sering memburuk pada usia
remaja dan lazim pula menetap sampai usia dewasa
c. Tic vokal sering bersifat berulang dengan letupan vokalisasi yang berulang-ulang,
seperti suara mendehem, bunyi ngorok, dan ada kalanya diucapkan kata-kata atau
kalimat-kalimat cabul. Ada kalanya diiringi gerakan isyarat ekopraksia, yang
dapat juga bersifat cabul (copropraxia). Seperti juga pada tic motorik, tic vokal,
mungkin ditekan dengan kemauan untuk jangka waktu singkat, bertambah parah
karena stres dan berhenti saat tidur.

170
Gangguan Tic

Berdasarkan DSM-5, kriteria penegakan diagnosis persistent (chronic) motor atau


vocal tic disorder (307.22) dapat dilihat pada tabel 3.11.3.
Tabel 3.11.3
Kriteria Diagnosis Gangguan Persistent (Chronic) Motor atau Tic Vocal Berdasarkan
DSM-5
Kriteria Diagnosis Ada Tidak
A Satu atau beberapa tic gerak atau vokal muncul
selama sakit, tapi tidak keduanya
B Frekuensi tic mungkin bertambah / berkurang tetapi
persisten lebih dari satu tahun sejak onset terjadinya
tic pertama kali.
C Onset terjadinya sebelumnya usia 18 tahun.
D Gangguan tidak berkaitan dengan efek fisiologis dari
penggunaan zat (seperti kokain) atau kondisi medis
lain (seperti Huntington’s disease, postviral
encephalitis)
E Tidak memenuhi kriteria Tourette’s Disorder
Catatan tambahan terkait kriteria diagnosis, yaitu tentukan jika:
a. Hanya tic gerak saja
b. Hanya tic vokal saja
Berdasarkan PPDGJ-III, pedoman kriteria penegakan diagnosis gangguan tic
motorik dan vokal kronis (F95.1) adalah sebagai berikut:
a. Umumnya memenuhi kriteria untuk suatu gangguan tic motorik atau vokal
(namun bukan kedua-duanya) dan berlangsung selama lebih dari setahun
b. Tic dapat tunggal atau multipel (tetapi lebih sering bersifat multipel)

171
Gangguan Tic

Kriteria penegakan diagnosis gangguan provisional tic (307.21) berdasarkan


DSM-5 dapat dilihat pada tabel 3.11.4.
Tabel 3.11.4
Kriteria Diagnosis Gangguan Tic Provisional Berdasarkan DSM-5
Kriteria Diagnosis Ada Tidak
A Satu atau beberapa tic gerak dan atau tic vokal
muncul selama sakit, tapi tidak keduanya
B Tic muncul kurang dari satu tahun sejak onset
terjadinya tic pertama kali.
C Onset terjadinya sebelumnya usia 18 tahun.
D Gangguan tidak berkaitan dengan efek fisiologis dari
penggunaan zat (seperti kokain) atau kondisi medis
lain (seperti Huntington’s disease, postviral
encephalitis)
E Tidak memenuhi kriteria gangguan Tourette dan
gangguan tic gerak/vokal menetap (kronis)
Berdasarkan PPDGJ-III, pedoman kriteria penegakan diagnosis gangguan tic
sementara (F95.0) adalah sebagai berikut (Maslim, 2013):
a. Gangguan ini pada umumnya memenuhi kriteria untuk diagnosis gangguan tic,
tetapi tidak melampaui 12 bulan.
b. Bentuk ini paling sering dijumpai pada anak usia 4-5 tahun; biasanya berupa
kedipan mata, muka menyeringai, atau kedutan kepala. Pada sebagian kasus hanya
berupa episode tunggal, namun pada beberapa kasus lain hilang timbul selama
beberapa bulan.

172
Gangguan Tic

Kriteria penegakan diagnosis other specified tic disorder (307.20) atau gangguan
tic lainnya (F95.8) dapat dilihat pada tabel 3.11.5.
Tabel 3.11.5
Kriteria Diagnosis Gangguan Tic Lainnya Berdasarkan DSM-5
Kriteria Diagnosis Ada Tidak
Kategori ini digunakan jika karakteristik gejala gangguan tic
yang menyebabkan distres klinis atau mengganggu
keberfungsian di area sosial, okupasi, atau area penting lain
tetapi tidak memenuhi kriteria gangguan tic atau gangguan
lain di kelompok diagnostik gangguan perkembangan
neurologis. Kategori ini digunakan ketika psikolog klinis
memilih mencantumkan alasan khusus tidak terpenuhinya
kriteria diagnosis gangguan tic atau gangguan
perkembangan neurologis yang spesifik. Pencatatan dengan
diagnosa “other specified tic disorder” harus diikuti dengan
alasan khusus (seperti onset terjadi di atas usia 18 tahun).

Kriteria penegakan diagnosis unspecified tic disorder (307.20) atau gangguan tic
YTT dapat dilihat pada tabel 3.11.6.
Tabel 3.11.6
Kriteria Diagnosis Gangguan Tic YTT Berdasarkan DSM-5
Kriteria Diagnosis Ada Tidak
Kategori ini digunakan jika karakteristik gangguan tic
menyebabkan distres klinis atau mengganggu keberfungsian
di area sosial, okupasi, atau area penting lain, tetapi tidak
memenuhi kriteria gangguan tic atau gangguan lain di
kelompok diagnostik gangguan perkembangan neurologis.
Kategori ini digunakan ketika psikolog klinis memilih tidak
mencantumkan alasan khusus tidak terpenuhinya kriteria
diagnosis gangguan tic atau gangguan perkembangan
neurologis yang spesifik, termasuk terbatasnya informasi
yang diperoleh untuk menegakkan diagnosis yang lebih
spesifik.

173
Gangguan Tic

Komorbiditas

Gangguan tic dapat disertai kondisi penyerta sebagai berikut (American


Psychiatric Association, 2013; Murphy, dkk, 2013):
1. Gangguan Pemusatan Perhatian dan/atau Hiperaktif (GPPH)
2. Gangguan obsesif-kompulsif dan gangguan terkait
3. Gangguan gerak lainnya
4. Gangguan mental lainnya, seperti depresi, bipolar, gangguan penyalahgunaan zat

Diagnosis Banding

Berdasarkan DSM-5, penegakan diagnosis gangguan tic dapat disertai penegakan


diagnosis banding sebagai berikut:
1. Gerakan-gerakan tidak wajar / abnormal yang menyertai kondisi medis lain dan
gangguan gerakan stereotipi
2. Substance-induced and paroxysmal dyskinesias
3. Myoclonus
4. Gangguan obsesif kompulsif dan gangguan terkait

Intervensi Psikologis

Intervensi psikologis dengan pendekatan perilaku yang dapat diberikan pada


pasien dengan gangguan tic adalah dengan menggunakan terapi perilaku. Intervensi
dengan pendekatan perilaku atau terapi perilaku menjadi alternatif penanganan bagi
pasien anak dengan gangguan tic, di antaranya adalah Habit Reversal Training (HRT)
(Dutta & Cavanna, 2013; Miltenberger, Fuqua, & Woods, 1998; Rigoli & Piek, 2020),
Exposure with Response Prevention (ERP) (Nissen, dkk, 2019; Rigoli & Piek, 2020),
intervensi berbasis fungsi, dan manajemen kontingensi (Rigoli & Piek, 2020; Van de
Griendt, dkk, 2013).
Habit Reveral Training dikembangkan oleh Azrin & Nunn (1973) untuk
menangani kebiasaan tic dengan komponen-komponen penanganan yang
dikelompokkan ke dalam 4 fase berikut (Azrin & Nun, 1973; Miltenberger, Fuqua, &
Woods, 1998; Nissen, dkk, 2019):
1. Awareness training
a. Prosedur deskripsi respon, memfasilitasi pasien untuk mendeskripsikan
gangguan tic

174
Gangguan Tic

b. Prosedur deteksi respon, memfasilitasi pasien untuk mendeteksi tanda-tanda


munculnya gangguan tic
c. Prosedur peringatan dini, memfasilitasi pasien untuk praktik mendeteksi
tanda-tanda kemunculan gangguan tic, misal pada perilaku tic menggigit kuku,
tanda-tanda awal adalah gerakan tangan mendekat ke wajah.
d. Menyadari perilaku kebiasaan tic
e. Menyadari situasi, orang, tempat yang dapat memicu kebiasaan tic, serta
memfasilitasi pasien untuk menggambarkan proses terjadinya kebiasaan tic di
situasi-situasi tersebut.
2. Competing response training
Pasien diajak untuk mempraktikkan competing response (perilaku yang
bertentangan) selama 3 menit di situasi-situasi ketika pasien menyadari kebiasaan
tic akan segera terjadi. Misal pada gerak tic menolehkan kepala ke belakang,
pasien dapat melakukan competing response dengan menggerakkan kepala dan
dagu ke bawah; atau pada pasien dengan kebiasaan tic menggigit kuku-kuku jari,
pasien dapat melakukan competing response dengan memposisikan tangan
membuka dan mengepal di samping tubuh.
3. Motivation procedures
Terapis mengajak pasien menelaah situasi ketika kebiasaan tic terasa
mengganggu dan menumbuhkan peran dukungan sosial dalam pengelolaan
perilaku tic. Fase ini dilakukan ketika pasien tampak sudah dapat mengendalikan
perilaku tic yang dialami. Melalui prosedur dukungan sosial, terapis melibatkan
orangtua maupun orang terdekat lainnya untuk mengapresiasi usaha pasien di
situasi ketika perilaku tic tidak muncul dan mendorong pasien untuk terus berlatih.
Pada pasien anak yang belum termotivasi untuk menghilangkan perilaku tic,
orangtua, guru, dan orang terdekat lain dilibatkan dalam penanganan dan
mengarahkan anak untuk mau memulai latihan mengelola tic.
4. Generalization procedures
Selama sesi, pasien diberi instruksi dan latihan untuk mengelola kebiasaan
tic di situasi keseharian dengan menggunakan prosedur rehearsal simbolic. Pasien
membayangkan situasi yang diidentifikasi berisiko tinggi memicu perilaku tic dan
berlatih untuk mengelola tic, dalam rangka menumbuhkan generalisasi
keberhasilan pasien mengelola tic.
Panduan penangangan terapeutik untuk individual maupun kelompok bagi pasien
dengan gangguan tic terdiri dari 9 sesi terapi, yaitu (Nissen, dkk, 2019):
a. Sesi 1: psikoedukasi mengenai gangguan tic
b. Sesi 2: pengantar dan pelatihan Habit Reversal Training (HRT)
175
Gangguan Tic

c. Sesi 3: Habit Reversal Training (HRT) lanjutan


d. Sesi 4: pengantar dan pelatihan Exposure with Response Prevention (ERP)
e. Sesi 5: Exposure with Response Prevention (ERP) lanjutan
f. Sesi 6: pelatihan Habit Reversal Training (HRT) dan/atau Exposure with
Response Prevention (ERP)
g. Sesi 7: pelatihan Habit Reversal Training (HRT) dan/atau Exposure with
Response Prevention (ERP)
h. Sesi 8: pelatihan Habit Reversal Training (HRT) dan/atau Exposure with
Response Prevention (ERP), pencegahan relapse
i. Sesi 9: pelatihan Habit Reversal Training (HRT) dan/atau Exposure with
Response Prevention (ERP), pencegahan relapse
Sesi individual berlangsung selama 1 jam dan orangtua berpartisipasi selama 15
menit di akhir sesi. Sesi kelompok dapat dilakukan dengan 1 terapis dan 4 partisipan
dengan durasi 2 jam dan orangtua akan berpartisipasi selama 20 menit di akhir sesi 2,
4, 8, dan 9 (Nissen, dkk, 2019).
Beberapa alternatif intervensi psikologi tersebut di atas dapat menjadi acuan
tatalaksana bagi pasien dengan gangguan tic. Psikolog klinis juga dapat menggunakan
alternatif intervensi lain yang sudah memiliki basis bukti ilmiah.

Prognosis

Beberapa faktor prognosis pada pasien dengan gangguan tic, di antaranya:


1. Situasi yang stressful dan kondisi kecemasan dapat memperparah gangguan tic
pasien dibandingkan dengan situasi yang tenang
2. Riwayat keluarga, adanya riwayat keluarga dengan gangguan tic memperburuk
prognosis pasien dengan gangguan tic

Catatan Lain

Pemeriksaan dan tatalaksana pada pasien gangguan tic dapat dilakukan dengan
berkolaborasi dengan tenaga kesehatan lain, di antaranya: dokter spesialis anak, dokter
spesialis saraf anak, terapis wicara, terapis okupasi, dan fisioterapis.

176
Gangguan Tic

Referensi

American Psychiatric Association(2013). Diagnostic and statistical manual of mental


disorders (DSM-5) (5th ed). Washington, DC: American Psychiatric Publishing.
Azrin, N. H. & Nunn, R. G. (1973). Habit reversal: a method of eliminating nervous
habits and tics. Behavior Research and Therapy, 11(4), 619 – 628.
https://doi.org/10.1016/0005-7967(73)90119-8
Dutta, N., & Cavanna, A. E. (2013). The effectiveness of habit reversal therapy in the
treatment of Tourette syndrome and other chronic tic disorders: a systematic
review. Functional Neurology, 28(1): 7-12. https://www.directceu.com/wp-
content/uploads/2017/06/Treatment-Models-for-Tourettes-Tics-and-Other-
Motor-Disorders-Text.pdf
Maslim, R. (2013). Buku saku diagnosis gangguan jiwa rujukan ringkas dari PPDGJ-
III dan DSM-5. Jakarta: Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK Unika Atmajaya.
Miltenberger, R. G., Fuqua, R. W., & Woods, D. W. (1998). Applying behavior analysis
to clinical problems: review and analysis of habit reversal. Journal of Applied
Behavior Analysis, 31(3), 447-169. https://doi.org/10.1901/jaba.1998.31-447
Murphy, T. K., Lewin, A. B., dkk. (2013). Practice parameter for the assessment and
treatment of children and adolescents with tic disorders. Journal of the American
Academy of Child & Adolescent Psychiatry, 52(12), 1341-1359.
https://doi.org/10.1016/j.jaac.2013.09.015
Nissen, J. B., Kaergaard, M., dkk. (2019). Combined habit reversal training
and exposure response prevention in a group setting compared to individual
training: a randomized controlled clinical trial. European Child & Adolescent
Psychiatry, 28, 57-68. doi:10.1007/s00787-018-1187-z
Rigoli, D., & Piek, J. P. (2020). Motor disorders. The Encyclopedia of Child and
Adolescent Development. doi10.1002/9781119171492.wecad395
Van de Griendt, J. M. T. M., Verdellen, C. W. J., dkk. (2013). Behavioural treatment of
tics: Habit reversal and exposure with response prevention. Neuroscience and
Biobehavioral Reviews, 37(6), 1172–1177.
https://doi.org/10.1016/j.neubiorev.2012.10.007
World Health Organization. (2011). International Statistical Classification of Disease
and Related Health Problems. 10th Revision, Volume 2: Instruction Manual. 2010
Ed. Geneva: World Health Organization.

177
12. Psikosis dan Gangguan Skizofrenia Lainnya

Batasan dan Uraian Umum

Psikosis dan spektrum skizofrenia adalah kelompok gangguan serius yang


ditandai dengan gejala-gejala psikotik seperti halusinasi, waham, disfungsi motorik,
sikap apatis, dan penarikan diri dari sosial, serta gangguan kognitif yang mengakibatkan
berbagai masalah dalam konteks akademik, pekerjaan, maupun hubungan interpersonal.
Gejala-gejala tersebut juga tidak dapat dijelaskan oleh alasan atau gangguan fisik yang
menimbulkan ekspresi gejala yang serupa, seperti penggunaan obat-obatan terlarang.
Saat panduan ini dibuat, terdapat kesepakatan antar para peneliti psikosis bahwa subtipe
skizofrenia dan istilah diagnostik skizofrenia memiliki fungsi ilmu dan terapeutik yang
rendah. Panduan penanganan yang diuraikan di sini dapat dipakai untuk seluruh tipe
psikosis, baik skizofrenia, gangguan waham, ataupun episode pertama psikosis.

Manifestasi Klinis

1. Gangguan proses berpikir, yaitu asosiasi longgar, pemikiran intrusif berlebihan,


pemikiran terhambat, asosiasi klang, ekolalia, alogia, neologisme.
2. Gangguan isi pikiran, yaitu waham yang merujuk pada suatu kepercayaan yang
salah yang menetap yang tidak sesuai dengan fakta dan tidak bisa dikoreksi. Jenis-
jenis waham, antara lain:
a. Waham kejar (kepercayaan bahwa seseorang yang disakiti oleh individu,
organisasi, ataupun kelompok lainnya);
b. Waham rujukan (kepercayaan bahwa gerakan tubuh, ucapan, tanda-tanda
alam, dan lain-lain ditujukan pada dirinya secara spesifik);
c. Waham kebesaran (ketika individu mempercayai bahwa ia memiliki
kemampuan, kekayaan, atau status yang luar biasa);
d. Waham penyiaran pikiran (ketika individu percaya bahwa isi pikirannya
tersiarkan secara publik, sehingga orang di sekitarnya dapat mengetahui isi
pikirannya);
e. Waham pemasukan pikiran (kepercayaan bahwa orang lain, organisasi, atau
bahkan makhluk luar biasa dapat memasukkan pikiran tertentu ke dalam
kepalanya dan mengendalikan kehidupannya);
f. Waham aneh (kepercayaan yang tidak dapat dimengerti, bahkan bagi orang-
orang yang memiliki kebudayaan yang sama dengan individu tersebut).
3. Gangguan persepsi yang merujuk pada halusinasi, ilusi, depersonalisasi, dan
derealisasi.
178
Psikosis dan Gangguan Skizofrenia Lainnya

4. Gangguan emosi yang merujuk pada adanya perbedaan yang terlihat pada afek
dasar yang sering diperlihatkan oleh pasien dengan skizofrenia (tetapi tidak
patogonomonik), seperti afek tumpul atau datar, afek tak serasi atau inkongruen,
dan afek labil.
5. Gangguan perilaku, yaitu berbagai perilaku yang tidak sesuai dengan konteks dan
aneh yang dapat terlihat pada gerakan tubuh yang aneh, menyeringai, perilaku
ritual, sangat tidak sesuai dengan norma sosial yang berlaku, perilaku agresif, serta
perilaku seksual yang tak pantas.
6. Gangguan motivasi yang merujuk pada menurunnya atau hilangnya motivasi
untuk melakukan aktivitas yang disadari dan bertujuan. Hal ini sering kali
ditunjukkan dalam bentuk tidak adanya inisiasi untuk memulai kegiatan apapun,
sehingga banyak waktu habis secara sia-sia.
7. Gangguan neurokognitif yang merujuk pada adanya gangguan atensi, penurunan
kemampuan untuk menyelesaikan masalah, gangguan memori (misalnya, memori
kerja, spasial dan verbal), dan fungsi eksekutif (seperti berpikir kritis dan
merencanakan sesuatu).
Sub-tipe Skizofrenia adalah sebagai berikut:
1. Skizofrenia paranoid dengan karakteristik utama berupa kecurigaan terhadap
orang lain yang tak berdasar.
2. Skizofrenia disorganisasi (hebefrenik) dengan karakteristik utama berupa gejala-
gejala tidak teratur/berantakan pada perkataan, perilaku, dan afek.
3. Skizofrenia katatonik dengan karakteristik utama berupa adanya gangguan fungsi
motorik, seperti peningkatan atau penurunan gerakan aneh.
4. Skizofrenia tak terinci yang terjadi ketika gejala-gejala utama yang muncul tidak
cocok dengan tiga kategori di atas.
5. Skizofrenia residual yang merujuk pada kategori yang diberikan bagi individu
yang sedang tidak mengalami gejala-gejala waham, halusinasi, disorganisasi
ucapan dan perilaku secara primer, namun masih menunjukkan gejala-gejala
tersebut secara ringan.

Asesmen dan Diagnosis

Identifikasi

Gangguan skizofrenia diidentifikasi dengan adanya kelainan pada satu atau lebih
dari lima domain berikut, yakni waham, halusinasi, pemikiran yang tidak teratur
(berbicara), perilaku motorik yang tidak teratur atau abnormal (termasuk katatonia), dan
gejala negatif.
179
Psikosis dan Gangguan Skizofrenia Lainnya

1. Waham adalah keyakinan tetap yang tidak bisa diubah dengan adanya bukti yang
bertentangan. Waham dianggap menjadi keanehan jika jelas-jelas hal tersebut
tidak masuk akal dan tidak dapat dipahami oleh lingkungan budaya yang sama
dan tidak berasal dari pengalaman hidup yang biasa.
2. Halusinasi adalah persepsi yang dirasakan seperti pengalaman nyata yang terjadi
tanpa rangsangan eksternal. Persepsinya dirasakan jelas dan nyata, dengan
kekuatan dan dampak penuh seperti persepsi normal, dan tidak di bawah kendali
sukarela.
3. Pemikiran yang tidak teratur (gangguan pemikiran formal) biasanya disimpulkan
dari cara berbicara individu. Individu dapat beralih dari satu topik ke topik lain
(secara tiba-tiba atau kurang terasosiasi secara menyambung).
4. Perilaku motorik yang sangat tidak teratur atau abnormal dapat termanifestasi
dalam berbagai cara, mulai dari "kekonyolan" seperti anak kecil hingga agitasi
yang tidak dapat diprediksi. Permasalahan dapat dikenali dalam bentuk apapun
dari ekspresi perilaku bertujuan yang menyebabkan kesulitan dalam melakukan
aktivitas sehari-hari.
5. Gejala negatif menyebabkan sebagian besar morbiditas yang terkait dengan
skizofrenia, tetapi kurang menonjol pada gangguan psikotik lainnya. Dua gejala
negatif yang menonjol pada skizofrenia, yaitu: ekspresi emosi yang berkurang dan
avolisi. Ekspresi emosi yang berkurang meliputi pengurangan ekspresi emosi pada
wajah, kontak mata, intonasi nada bicara, dan gerakan tangan, kepala, dan wajah
yang biasanya memberikan penekanan emosional saat berbicara. Avolisi adalah
penurunan motivasi pada aktivitas yang bertujuan, seperti mandi, bersosialisasi,
dan lain-lain.

Asesmen

1. Skrining dan Wawancara Klinis


Dalam melakukan asesmen untuk menegakkan diagnosis gangguan psikotik
seperti skizofrenia, dapat digunakan panduan wawancara terstruktur dan juga
kuesioner. Namun, wawancara terstruktur untuk diagnosis skizofrenia hingga saat
panduan ini ditulis belum ditemukan versi Bahasa Indonesia yang teruji validitas
dan reliabilitasnya dengan baik, serta dipublikasikan dalam jurnal ilmiah dengan
kualitas peer-reviewed. Dalam bentuk kuesioner, ada banyak kuesioner yang
dapat digunakan untuk mengukur gejala psikosis seperti Community Assessment
of Psychic Experiences (CAPE) dengan versi terjemahan Bahasa Indonesia yang
telah melalui uji validitas dan reliabilitasnya dan sudah dipublikasikan di jurnal
Makara Human Behavior Studies in Asia pada tahun 2017 (lihat Jaya, 2017).

180
Psikosis dan Gangguan Skizofrenia Lainnya

Asesmen dalam bentuk wawancara perlu dilakukan supaya penyusunan


intervensi yang akurat dapat terbentuk. Idealnya, pemeriksaan dilakukan oleh para
ahli multiprofesi, seperti psikolog, psikiater, maupun pekerja sosial yang sudah
berpengalaman dalam menangani individu dengan gangguan psikotik. Asesmen
perlu memeriksa domain-domain berikut ini:
a. Faktor psikologis (gangguan dan gejala mental, risiko untuk melukai diri
sendiri dan orang lain);
b. Faktor risiko fisik (riwayat kesehatan, terutama yang memberikan informasi
tentang gangguan pada struktur otak, serta riwayat konsumsi obat yang
berpotensi menghasilkan efek samping gejala psikosis);
c. Faktor kesehatan fisik (berat badan, riwayat merokok, nutrisi, pola aktivitas
fisik, dan kesehatan seksual);
d. Faktor psikososial (lingkaran sosial, komunitas, dan riwayat trauma);
e. Faktor perkembangan (dimensi psikososial, kognitif, motorik);
f. Faktor sosial (budaya, etnis, rekreasi, tanggung jawab sebagai pengasuh);
g. Faktor okupasional dan pendidikan (kehadiran di universitas, pencapaian
akademik, riwayat pekerjaan);
h. Kualitas hidup;
i. Status ekonomi.
2. Skala wawancara gejala psikotik
Berikut ini akan diberikan contoh-contoh dari panduan/pedoman dan skala
wawancara untuk memeriksa gejala psikotik. Namun demikian, perlu diperhatikan
bahwa skala-skala di bawah ini belum teruji reliabilitas dan validitasnya untuk
digunakan di Indonesia akan tetapi skala ini merupakan skala yang paling umum
dipakai di dunia untuk pemeriksaan gejala psikotik.
a. Skala Gejala Positif
Yakni alat-alat ukur yang memeriksa keberadaan dan intensitas dari gejala-
gejala positif dalam kelompok psikotik, seperti halusinasi, waham, dan
disorganisasi pikiran dan ucapan. Berikut adalah skala-skala yang mengukur
gejala-gejala di atas:
• Clinical Interview for Psychotic Disorders (CIPD);
• Positive and Negative Syndrome Scale (PANSS);
• Brief Psychiatric Rating Scale (BPRS);
• Scale for the Assessment of Positive Symptoms (SAPS).

181
Psikosis dan Gangguan Skizofrenia Lainnya

b. Skala Gejala Negatif


Yakni alat-alat ukur yang memeriksa gejala negatif dalam dimensi
psikotik, seperti afek datar, alogia, anhedonia, dan amotivasi. Berikut ini
adalah skala untuk memeriksa gejala negatif secara spesifik:
• Scale for the Assessment of Negative Symptoms (SANS);
• Negative Symptom Assessment Scale (NSA).
3. Skala untuk mengukur gejala selain gejala psikotik
a. Skala Kemampuan Kognitif
Defisit dalam kemampuan neurokognitif merupakan salah satu gejala
utama yang dialami oleh individu dengan gangguan psikotik. Berikut adalah
contoh alat ukur yang dapat digunakan jika psikolog klinis memutuskan untuk
memeriksa seberapa jauh pasien mengalami penurunan fungsi kognitif secara
spesifik:
i. Berbasis kertas & pensil
• Wechsler Adult Intelligence Scale (WAIS);
• Wechsler Memory Scale (WMS);
• Measurement and Treatment Research to Improve Cognition in
Schizophrenia (MATRICS) Consensus Cognitive Battery;
• Repeatable Battery for the Assessment of Neuropsychological
Status (RBANS);
• Brief Assessment of Cognition in Schizophrenia (BACS).
ii. Berbasis komputer
• Cambridge Neuropsychological Test Automated Battery
(CANTAB) schizophrenia assessment;
• CogState Schizophrenia Battery;
• Cognitive Drug Research (CDR) computerized assessment system.
b. Skala Fungsi Sehari-hari
Defisit dalam performa sehari-hari sangat sering ditemui dalam pasien
dengan gangguan psikotik. Hal ini meliputi defisit dalam aktivitas yang
produktif, fungsi sosial, dan segala kegiatan yang membutuhkan kemandirian.
Berikut adalah contoh skala yang dapat digunakan untuk mengukur kualitas
fungsi sehari-hari pasien:
• Heinrichs-Carpenter Quality of Life Scale (QLS);
• Specific Levels of Functioning Scale (SLOF);
• Birchwood Social Functioning Scale (SFS);
• Social Behavior Schedule (SBS);
182
Psikosis dan Gangguan Skizofrenia Lainnya

• Life Skills Profile (LSP);


• Independent Living Skills Survey (ILSS).
c. Skala Kualitas Hidup
Dengan adanya gejala-gejala dari gangguan psikotik, maka kualitas
hidup pasien pun akan mengalami penurunan yang signifikan. Perlu
diperhatikan bahwa kualitas hidup merupakan variabel yang sifatnya luas dan
multidimensional, sehingga psikolog klinis perlu memperhatikan
karakteristik dari skala yang digunakan. Jika psikolog klinis ingin memeriksa
aspek ini secara spesifik, maka psikolog klinis dapat menggunakan:
• Satisfaction with Life Domains Scale (SLDS);
• Quality of Life Interview (QoLI);
• Quality of Life Scale (QLS);
• Subjective Quality of Life Analysis (S.QUA.L.A.);
• Quality of Life Questionnaire (S-QUOL-41);
• Schizophrenia Quality of Life Scale (SQLS).
Perlu diperhatikan bahwa skala-skala yang telah disebutkan di atas,
hingga dokumen ini ditulis, belum ada versi Bahasa Indonesia yang telah melalui
proses adaptasi, yakni uji reliabilitas dan validitas untuk digunakan di Indonesia.
Namun, skala-skala di atas merupakan gold standard untuk asesmen gejala-gejala
psikotik, sehingga penggunaan skala-skala tersebut tetap direkomendasikan.
Diagnosis
Kiteria diagnosis psikosis dan gangguan skizofrenia lainnya berdasarkan DSM-
dapat dilihat pada tabel 3.12.1.
Tabel 3.12.1
Kriteria Diagnosis Psikosis dan Gangguan Skizofrenia Lainnya Berdasarkan DSM-5
Kriteria Diagnostik Ada Tidak
A Dua (atau lebih) dari gejala berikut ini, masing-
masing hadir untuk porsi waktu yang signifikan
selama periode satu bulan (atau kurang jika
berhasil dirawat). Setidaknya satu dari tiga kondisi
(1), (2) atau (3) harus muncul:
a. Waham;
b. Halusinasi;
c. Bicara yang tidak teratur (seperti

183
Psikosis dan Gangguan Skizofrenia Lainnya

Kriteria Diagnostik Ada Tidak


inkoherensi);
d. Perilaku yang sangat tidak teratur atau
katatonik;
e. Gejala negatif (seperti berkurangnya ekspresi
emosional atau avolisi).
B Selama sebagian besar waktu sejak permulaan
gangguan dimulai, tingkat fungsi di satu atau lebih
bidang utama, seperti pekerjaan, hubungan
antarpribadi, atau perawatan diri, secara nyata
berada di bawah tingkat yang dicapai sebelum
permulaan gangguan tersebut muncul (atau apabila
permulaannya di masa kanak-kanak atau remaja,
ada kegagalan untuk mencapai tingkat fungsi
interpersonal, akademik, atau pekerjaan yang
diharapkan).
C Secara terus-menerus mengalami gangguan selama
minimal 6 bulan. Dalam masa 6 bulan ini harus
terdapat gejala yang sesuai dengan kriteria A
setidaknya 1 bulan (atau kurang jika berhasil
ditangani) dan memungkinkan terdapat masa
gejala prodromal atau residu. Selama masa
prodromal atau residu ini, tanda-tanda gangguan
mungkin dapat dimanifestasikan hanya dengan
gejala negatifnya saja atau dengan dua atau lebih
gejala yang tercantum dalam kriteria A hadir
dalam bentuk yang dilemahkan.
D Gangguan skizoafektif dan depresi atau gangguan
bipolar dengan ciri-ciri psikotik telah
dikesampingkan karena 1) tidak ada episode
depresi mayor atau manik yang terjadi bersamaan
dengan gejala fase aktif, atau 2) jika episode
suasana hati telah terjadi selama gejala fase aktif,
episode tersebut telah hadir dalam sebagian kecil
dari total durasi dari periode aktif dan residu
penyakit.
184
Psikosis dan Gangguan Skizofrenia Lainnya

Kriteria Diagnostik Ada Tidak


E Gangguan tersebut tidak disebabkan oleh efek
fisiologis suatu zat (misal, penyalahgunaan obat,
pengobatan) atau kondisi medis lainnya.

F Jika ada riwayat gangguan spektrum autisme atau


gangguan komunikasi pada awal masa kanak-
kanak, diagnosis tambahan skizofrenia dibuat
hanya jika waham atau halusinasi yang menonjol,
selain gejala skizofrenia lain yang diperlukan, juga
hadir setidaknya selama 1 bulan (atau kurang jika
berhasil dirawat).

Sementara pada PPDGJ-III semua kriteria diagnosis di bawah ini harus dipenuhi
untuk menegakkan diagnosis yang pasti:
1. Pikiran yang berulang, penyisipan atau penarikan pikiran, dan penyiaran pikiran;
2. Waham dikendalikan, waham dipengaruhi, atau kepasifan, yang jelas merujuk
pada pergerakan tubuh atau pergerakan anggota gerak, atau pikiran, perbuatan
atau perasaan (sensations) khusus;
3. Suara halusinasi yang berkomentar secara terus-menerus terhadap perilaku pasien,
atau mendiskusikan perihal pasien di antara mereka sendiri, atau jenis suara
halusinasi lain yang berasal dari salah satu bagian tubuh;
4. Waham-waham menetap jenis lain yang menurut budaya setempat dianggap tidak
wajar dan/atau sama sekali mustahil;
5. Halusinasi yang menetap dalam setiap modalitas, apabila disertai baik oleh waham
yang mengambang/melayang maupun yang setengah berbentuk tanpa kandungan
afektif yang jelas, ataupun oleh ide-ide berlebihan (over-valued ideas) yang
menetap, yang terjadi setiap hari selama berminggu-minggu atau berbulan-bulan
secara terus-menerus;
6. Arus pikiran yang terputus atau yang mengalami sisipan (interpolasi) yang
berakibat inkoherensi atau pembicaraan yang tidak relevan, atau neologisme;
7. Perilaku katatonik, seperti keadaan gaduh-gelisah (excitement), sikap tubuh
tertentu (posturing), atau fleksibilitas serea, negativisme, mutisme, dan stupor;
8. Gejala-gejala “negatif” seperti sikap sangat masa bodoh (apatis), pembicaraan
yang terhenti, dan respon emosional yang menumpul atau tidak wajar, biasanya
yang mengakibatkan penarikan diri dari pergaulan sosial dan menurunnya kinerja

185
Psikosis dan Gangguan Skizofrenia Lainnya

sosial, tetapi harus jelas bahwa semua hal tersebut tidak disebabkan oleh depresi
atau medikasi neuroleptika;
9. Suatu perubahan yang konsisten dan bermakna dalam mutu keseluruhan dari
beberapa aspek perilaku perorangan, bermanifestasi sebagai hilangnya minat, tak
bertujuan, sikap malas, sikap berdiam diri (self-absorbed attitude), dan penarikan
diri secara sosial.
Persyaratan yang normal untuk diagnosis skizofrenia ialah harus ada sedikitnya
satu gejala tersebut di atas yang amat jelas (dan biasanya dua gejala atau lebih apabila
gejala-gejala itu kurang tajam atau kurang jelas) dari gejala yang termasuk salah satu
dari kelompok gejala (a) sampai (d) tersebut di atas, atau paling sedikit dua gejala dari
kelompok (e) sampai (h), yang harus selalu ada secara jelas selama kurun waktu satu
bulan atau lebih. Kondisi-kondisi yang memenuhi persyaratan gejala tersebut yang
lamanya kurang dari satu bulan (baik diobati atau tidak), harus didiagnosis pertama kali
sebagai gangguan psikotik lir-skizofrenia akut (F23.2) dan baru diklasifikasikan ulang
kalau gejala-gejala tersebut menetap selama kurun waktu yang lebih lama.
Diagnosis skizofrenia tidak boleh dibuat bila terdapat secara luas gejala-gejala
depresif atau manik, kecuali bila memang jelas bahwa gejala-gejala skizofrenik itu
mendahului gangguan afektif tersebut. Jika gejala-gejala skizofrenik dan afektif
berkembang bersama-sama secara seimbang dan sama banyak, maka diagnosis
gangguan skizoafektif (F25._) harus dibuat walaupun gejala-gejala skizofrenia itu saja
cukup beralasan untuk menegakkan diagnosis skizofrenia. Skizofrenia tidak boleh
didiagnosis bila terdapat penyakit otak yang nyata, atau dalam keadaan intoksikasi atau
putus zat (withdrawal).

Diagnosis Banding

Diagnosis banding untuk gangguan skizofrenia terdiri dari:


1. Depresi mayor atau gangguan bipolar dengan gejala psikotik atau katatonik;
2. Gangguan skizoafektif;
3. Gangguan skizoniform dan gangguan psikotik singkat (brief psychotic disorder);
4. Gangguan waham;
5. Gangguan kepribadian skizotipal;
6. Gangguan obsesif kompulsif dan gangguan dismorfik tubuh;
7. Gangguan stres pasca-trauma;
8. Gangguan spektrum autisme atau gangguan komunikasi;
9. Gangguan mental lainnya yang berhubungan dengan episode psikotik.

186
Psikosis dan Gangguan Skizofrenia Lainnya

Komorbiditas

1. Gangguan mental dan perilaku akibat penggunaan zat psikoaktif


2. Gangguan neurotik/kecemasan
3. Gangguan obsesif kompulsif
4. Gangguan kepribadian schizoid
5. Gangguan kepribadian paranoid

Intervensi Psikologi

Panduan penanganan umum dalam segala fase psikosis dan skizofrenia


1. Evaluasi dan pilihan penanganan
Jalankan suatu evaluasi multidisiplin yang komprehensif pada orang dengan
gejala psikotik di perawatan sekunder. Langkah ini harus melibatkan evaluasi
yang dilakukan oleh psikolog, psikiater atau seorang profesional yang ahli dalam
perawatan psikologis pada penderita psikosis atau skizofrenia. Evaluasi tersebut
harus meliputi bidang berikut:
a. Psikologi klinis: Masalah kesehatan jiwa, risiko yang membahayakan diri
sendiri dan orang lain, konsumsi alkohol, serta riwayat penggunaan obat
yang diresepkan atau pun yang tidak);
b. Medis: Termasuk riwayat medis dan pemeriksaan fisik penuh untuk
mengidentifikasi penyakit fisik (meliputi gangguan otak organik) dan resep
obat perawatan yang dapat menyebabkan psikosis;
c. Kesehatan dan kesejahteraan secara fisik: Meliputi berat badan, merokok,
nutrisi, aktivitas fisik, dan kesehatan seksual;
d. Psikologis dan psikososial: Termasuk jaringan sosial, hubungan dengan
orang lain, dan riwayat trauma;
e. Perkembangan: Secara sosial, kognitif, perkembangan motorik, dan
keterampilan (termasuk kondisi perkembangan saraf yang beriringan);
f. Sosial: Adaptasi, budaya dan etnik, kegiatan di waktu senggang dan rekreasi,
serta tanggung jawab sebagai anak atau sebagai seorang pengasuh;
g. Okupasional dan edukasional: Kehadiran dalam institusi pendidikan, prestasi
pendidikan, pekerjaan, dan kegiatan sehari-hari;
h. Kualitas kehidupan;
i. Status perekonomian.
Pasien dengan episode pertama psikosis dapat ditawarkan beberapa
penanganan, yaitu:
187
Psikosis dan Gangguan Skizofrenia Lainnya

a. Farmakoterapi dengan obat antipsikotik oral; beriringan dengan


b. Intervensi psikologis (intervensi keluarga dan psikoterapi kognitif perilaku
secara individu);
c. Jika pasien yang ingin mencoba intervensi psikologis saja dan tidak ingin
menjalani farmakoterapi maka harus dijelaskan bahwa psikoterapi lebih
efektif jika dijalankan bersamaan dengan farmakoterapi.
Jika orang tersebut tetap ingin mencoba intervensi psikologis saja maka
psikolog klinis hendaknya
a. memberikan intervensi keluarga dan psikoterapi kognitif perilaku;
b. sepakati suatu waktu (1 bulan atau kurang) untuk dilakukannya diskusi opsi
penanganan lain, terutama dalam memperkenalkan farmakoterapi, yaitu
antipsikotik oral;
c. terus mengawasi gejala, distres, hendaya (impairment), dan tingkatan fungsi
(termasuk edukasi, pelatihan, dan pekerjaan) secara rutin.
2. Beberapa Intervensi psikologis yang dapat dilakukan adalah
a. Terapi kognitif perilaku. Tawarkan terapi kognitif perilaku yang mendorong
pemulihan pada pasien yang memiliki gejala positif dan negatif yang
persisten, serta pada orang yang mengalami kondisi remisi. Terapi kognitif
umumnya terdiri dari 26 jam sesi (hingga 30 jam, dalam kurun waktu 6-9
bulan) dan 4 sesi booster dalam kurun waktu 6-12 bulan. Terapi kognitif
perilaku mencakup:
i. Membuat hubungan antara pikiran, perasaan, dan perilaku yang juga
berkaitan dengan gejala yang muncul pada saat ini atau masa lalu, atau
keberfungsian sehari-hari;
ii. Mengevaluasi kembali persepsi, keyakinan, atau pemikiran mereka
terkait gejala psikotik;
iii. Penderita memantau pikiran, perasaan, atau perilaku mereka sendiri
sehubungan dengan gejala atau kambuhnya gejala;
iv. Memberikan langkah alternatif untuk mengatasi gejala;
v. Pengurangan distres dan peningkatan keberfungsian sehari-hari.
b. Terapi keluarga.
Tawarkan terapi keluarga pada keluarga dari pasien dengan psikosis
atau skizofrenia yang tinggal atau berada dekat dengan pasien. Intervensi
keluarga dijalankan dengan durasi antara 3 bulan hingga 1 tahun, serta
memiliki setidaknya 10 sesi terencana. Intervensi keluarga akan sangat
bermanfaat untuk keluarga pasien dengan psikosis dan skizofrenia yang
memiliki:
188
Psikosis dan Gangguan Skizofrenia Lainnya

i. Kekambuhan yang terjadi belakangan ini atau memiliki risiko akan


terjadinya kekambuhan;
ii. Gejala yang persisten.
c. Intervensi keluarga harus:
i. Melibatkan pasien dengan psikosis atau skizofrenia (jika
memungkinkan);
ii. Mempertimbangkan preferensi seluruh keluarga penderita untuk
melakukan intervensi keluarga inti atau intervensi kelompok keluarga
besar;
iii. Mempertimbangkan hubungan antara pengasuh utama dan pasien
dengan psikosis atau skizofrenia;
iv. Memiliki fungsi dukungan, edukasional, atau perawatan yang spesifik
serta cara menyelesaikan masalah atau penanganan krisis yang telah
dirundingkan.
3. Hal-hal yang perlu diperhatikan bagi pasien yang belum memperlihatkan reaksi
signifikan pada perawatan terutama untuk pasien dengan skizofrenia yang belum
memperlihatkan reaksi signifikan pada perawatan farmakologis atau psikologis,
yaitu:
a. Tinjau ulang hasil diagnosis;
b. Tinjau keterlibatan dan penggunaan perawatan psikologis, serta memastikan
bahwa perawatan tersebut telah diberikan sesuai dengan pedoman yang ada.
Anjurkan psikoterapi kognitif perilaku jika intervensi keluarga telah
dilakukan; jika psikoterapi kognitif perilaku telah dilakukan, anjurkan
intervensi keluarga kepada pasien yang berada dekat dengan keluarga
mereka;
c. Tinjau efektivitas penggunaan obat antipsikotik yang dikonsumsi oleh pasien
saat ini (jenis dan jumlah obat);
d. Pertimbangkan penyebab dari tidak adanya reaksi, seperti penyalahgunaan
zat (termasuk alkohol) yang bersifat komorbid, penggunaan pengobatan
yang diresepkan secara bersamaan, atau penyakit fisik.
4. Periode pascaakut psikosis
a. Setelah tiap episode psikosis akut, yakinkan penderita psikosis atau
skizofrenia untuk mencatat laporan mengenai penyakit mereka pada buku
catatan pasien;
b. Perawat kesehatan profesional dapat mempertimbangkan penggunaan
prinsip psikoanalisis dan psikodinamika untuk membantu mereka

189
Psikosis dan Gangguan Skizofrenia Lainnya

memahami pengalaman dari pasien dengan psikosis atau skizofrenia dan


hubungan interpersonal mereka;
c. Informasikan kepada pasien bahwa penghentian pengobatan untuk 1-2 tahun
mendatang dapat meningkatkan risiko terjadinya kekambuhan;
d. Dalam menghentikan pengobatan antipsikotik pada pasien, lakukan
penghentian secara perlahan serta awasi secara rutin akan tanda dan gejala
kekambuhan;
e. Setelah menghentikan pengobatan antipsikotik, teruskan mengawasi tanda
dan gejala akan kekambuhan sekurang-kurangnya selama 2 tahun.
5. Mengawasi dan tindakan lanjutan
Jika pasien memiliki gejala yang berkelanjutan, pelemahan fungsi, atau
tampak mengalami distres setelah dilakukannya perawatan, tetapi diagnosis
psikosis tidak dapat dilakukan secara tepat, awasi pasien secara teratur untuk
mengetahui perubahan pada gejala dan fungsi dengan melakukan evaluasi yang
terstruktur dan tervalidasi dalam kurun waktu tiga tahun. Tetapkan frekuensi dan
durasi pengawasan dengan melihat:
a. Tingkat keparahan dan frekuensi dari munculnya gejala;
b. Tingkat hendaya (impairment) dan/atau distres; lalu
c. Tingkat dari family disruption atau keprihatinan keluarga.
Jika pasien meminta untuk dipulangkan dari layanan, tawarkanlah
pembuatan janji temu sebagai tindakan lanjutan dan opsi untuk merujukkan
dirinya di masa yang akan datang. Selanjutnya, mintalah dokter umum yang
menangani pasien untuk mengawasi perubahan pada kondisi kejiwaan penderita.
6. Terkait ras, budaya, dan etnik
Tenaga kesehatan yang kurang berpengalaman dalam menangani pasien
dengan psikosis atau skizofrenia dari berbagai etnik dan latar belakang budaya,
diharuskan meminta saran dan pengawasan dari tenaga kesehatan yang
berpengalaman dalam penanganan lintas kultur.
Tenaga kesehatan yang menangani pasien dengan psikosis atau skizofrenia
harus memastikan bahwa mereka kompeten dalam:
a. Keterampilan mengevaluasi orang dari berbagai suku dan latar belakang
budaya;
b. Menggunakan explanatory models of illness pada orang dari berbagai etnik
dan latar belakang budaya;
c. Menjelaskan penyebab dari psikosis atau skizofrenia dan berbagai opsi dalam
perawatan;

190
Psikosis dan Gangguan Skizofrenia Lainnya

d. Membahas pengaruh perbedaan budaya dan etnik pada ekspektasi dan


komitmen dalam perawatan;
e. Membahas perbedaan keyakinan pada berbagai budaya dan etnis akan
pengaruh biologis, sosial, dan keluarga pada penyebab dari kondisi kejiwaan
yang abnormal;
f. Kemampuan bernegosiasi dalam menangani keluarga pasien dengan psikosis
atau skizofrenia;
g. Menangani dan menyelesaikan konflik.
Layanan kesehatan jiwa harus berkolaborasi dengan kelompok suku dan
agama setempat guna menyediakan perawatan psikologis dan psikososial yang
mengapresiasi budaya kepada orang dengan berbagai suku dan latar belakang
budaya. Perawatan tersebut harus dijalankan sesuai dengan pedoman ini dan
dipraktikkan oleh praktisi yang kompeten.

Prognosis

Dalam menentukan prognosis pasien dengan gangguan skizofrenia dapat


mempertimbangkan dua aspek berikut ini:
1. Lingkungan: anak yang dibesarkan di lingkungan perkotaan dan di beberapa
kelompok etnik minoritas memiliki derajat kerentanan gangguan yang tinggi;
2. Genetik dan fisiologis: terdapat kontribusi yang sangat kuat dari faktor genetik
dalam menentukan kerentanan gangguan skizofrenia meskipun banyak individu
yang telah didiagnosis dengan skizofrenia tidak memiliki riwayat keluarga dengan
psikosis. Komplikasi kehamilan dan kelahiran dengan hipoksia dan usia ayah yang
lebih tua dikaitkan dengan risiko skizofrenia yang lebih tinggi pada janin yang
sedang berkembang. Sebagai tambahan, faktor prenatal dan perinatal lainnya juga
berkontribusi pada prognosis psikosis, termasuk stres, infeksi, malnutrisi, diabetes
pada ibu, dan kondisi medis lainnya. Namun, tetap perlu diperhatikan bahwa
sebagian besar keturunan dengan faktor risiko ini tidak mengembangkan
skizofrenia

Catatan Lain

1. Psikolog klinis perlu bekerja sama/merujuk pasien ke psikiater untuk


farmakoterapi.
2. Psikolog klinis dapat menawarkan program dukungan dalam bidang pekerjaan
kepada pasien dengan psikosis atau skizofrenia yang berharap untuk dapat

191
Psikosis dan Gangguan Skizofrenia Lainnya

menemukan pekerjaan atau kembali bekerja melalui rujukan ke pekerja sosial.


Pertimbangkan untuk memberikan kegiatan okupasional atau edukasional lain,
termasuk pelatihan pravokasional, kepada pasien yang tidak dapat bekerja atau
belum mendapatkan pekerjaan.
3. Layanan kesehatan jiwa harus bekerja sama dengan pemangku kepentingan lokal,
termasuk mereka yang mewakili kelompok etnis minoritas, agar dapat
memberikan kesempatan kepada orang dengan masalah kejiwaan, termasuk
psikosis dan skizofrenia, untuk tetap bekerja atau belajar, serta dibolehkan untuk
mengakses kesempatan pekerjaan baru (termasuk mempekerjakan diri), pekerjaan
sukarela, dan pendidikan.
4. Buatlah catatan kegiatan harian pasien dengan psikosis atau skizofrenia secara
rutin dalam rencana perawatan yang mereka lakukan, termasuk hasil yang bersifat
okupasional.

192
Psikosis dan Gangguan Skizofrenia Lainnya

Referensi

American Psychiatric Association. (2013). Diagnostic and Statistical Manual of Mental


Disorders (DSM-5) (edisi ke-5). Washington, D.C.: APA.
https://doi.org/10.1176/appi.books.9780890425596.744053
Jaya, E. S. (2017). Confirmatory Factor Analysis of the Indonesian Version of
Community Assessment of Psychic Experiences. Makara Human Behavior
Studies in Asia, 21(1), 1. https://doi.org/10.7454/mssh.v21i1.3495
Keefe, R. (Ed.). (2012). Guide to Assessment Scales in Schizophrenia. Heidelberg:
Springer Healthcare UK. https://doi.org/10.1007/978-1-908517-71-5
Martins, M. J., Carvalho, C., Castilho, P., Pereira, A. T., & Macedo, A. (2015). The
“Clinical Interview for Psychotic Disorders” (CIPD): Development and expert
evaluation. International Journal of Clinical Neurosciences and Mental Health,
(2), 7. https://doi.org/10.21035/ijcnmh.2015.2.7
Morrison, A. P. (2017). A Manualised Treatment Protocol to Guide Delivery of
Evidence-based Cognitive Therapy for People with Distressing Psychosis:
Learning from Clinical Trials. Psychosis, 9(3), 271–281.
https://doi.org/10.1080/17522439.2017.1295098
National Institute for Health and Care Excellence. (2014). Psychosis and Schizophrenia
in Adults: Prevention and Management (Clinical Guidelines [CG185]). Diakses
pada tanggal 15 Desember 2020 dari:
https://www.nice.org.uk/guidance/cg178/chapter/1-
Recommendations#preventing-psychosis-2
World Health Organization. (1992). The ICD-10 Classification of Mental and
Behavioural Disorders: Clinical Descriptions and Diagnostic Guidelines.
Geneva: World Health Organization.

193
13. Gangguan Bipolar

Batasan dan Uraian Umum

Merujuk pada Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders edisi 5


(DSM-5) (American Psychiatric Association, 2013), terdapat tiga tipe gangguan bipolar,
yakni bipolar I, bipolar II, dan gangguan siklotimia. Gejala manik merupakan fitur yang
menonjol dari tiap tipe gangguan bipolar. Ketiga tipe tersebut berbeda dari tingkat
keparahan dan juga durasi gejala manik. Gangguan ini dinamakan bipolar karena
sebagian besar individu yang mengalami episode manik juga mengalami episode
depresi selama hidupnya (manik dan depresi dinilai sebagai kutub yang berlawanan).
Episode depresi tidak diperlukan untuk mendiagnosis adanya bipolar I namun
diperlukan sebagai syarat diagnosis bipolar II.
Sementara itu, diagnosis gangguan siklotimia diberikan kepada individu dewasa
yang telah mengalami baik periode depresif dan hipomanik selama setidaknya dua
tahun (untuk anak selama setahun) tanpa memenuhi kriteria untuk episode manik,
hipomanik, atau depresi mayor.
Secara umum, diketahui bahwa episode manik, hipomanik, atau depresi pertama
kalinya muncul di usia 18 tahun untuk tipe bipolar I. Onset episode pada usia dewasa
akhir perlu mempertimbangkan adanya kondisi medis lainnya. Rata-rata 60% episode
manik muncul sebelum episode depresif. Individu dengan diagnosis bipolar I yang
mengalami empat atau lebih episode mood (depresi, manik, atau hipomanik dalam satu
tahun akan mendapatkan spesifikasi “dengan rapid cycling”).

Manifestasi Klinis

1. Ketika ada dalam episode manik, individu akan berperilaku dan berpikir secara
tidak biasa, seperti sulit untuk berhenti berbicara dan membuat komentar yang tak
ada hentinya. Terkadang komentar tersebut bisa jadi mengandung lelucon, bersifat
puitis, atau apapun yang menarik perhatian mereka.
2. Saat episode manik, individu menjadi sulit untuk diinterupsi dan pembicaraannya
secara cepat berganti dari satu topik ke topik lainnya. Hal ini dinamakan dengan
flight of ideas.
3. Ketika episode manik, individu bisa menjadi sangat ramah hingga tidak jarang
mengganggu dan bisa memiliki kepercayaan diri yang berlebihan.
4. Ketika episode manik, terdapat potensi perilaku yang membahayakan, seperti
aktivitas seksual secara tidak aman, berbelanja secara berlebihan, dan menyetir
194
Gangguan Bipolar

tidak berhati-hati. Aktivitas tidur pun bisa menjadi sangat berkurang, bahkan tidak
tidur sama sekali namun tetap berenergi. Manik biasanya berlangsung secara tiba-
tiba selama sehari hingga dua hari.
5. DSM-5 juga memasukkan kriteria hipomanik, yang berarti manik dengan
intensitas lebih rendah. Sementara manik melibatkan adanya penurunan nyata
pada fungsi kehidupan sehari-hari, hipomanik tidak melibatkan gangguan namun
melibatkan adanya perubahan pada keberfungsiannya. Individu dengan
hipomanik bisa jadi merasa lebih ramah, berhasrat, berenergi, dan produktif.

Asesmen dan Diagnosis

Identifikasi
1. Ketika seorang dewasa datang ke pelayanan kesehatan primer ataupun sekunder
dengan gejala depresi, maka coba identifikasi kondisi manik sebelumnya dengan
bertanya mengenai kemungkinan adanya periode aktivitas berlebih. Jika ada dan
dialami selama 4 hari atau lebih, maka pertimbangkan untuk melakukan
pemeriksaan terkait kemungkinan adanya bipolar.
2. Lakukan pemeriksaan segera ketika kondisi manik atau depresif membahayakan,
baik untuk diri sendiri maupun orang lain.
Asesmen
Asesmen terhadap gangguan bipolar dan perawatannya harus dilakukan di layanan
yang:
1. Menekankan pada hubungan dengan pasien dan juga pengelolaan risiko;
2. Menawarkan perawatan di lingkungan yang minim gangguan dan minim stigma,
serta adanya suasana penuh dengan harapan dan optimisme.
Ketika melakukan asesmen kepada individu yang terduga memiliki gangguan
bipolar, pastikan:
1. Melakukan asesmen psikologi klinis secara lengkap, mendokumentasikan secara
lengkap riwayat episode mood, aktivitas berlebih, dan disinhibisi atau episode
lainnya dan perubahan perilaku, gejala antar-episode, pencetus episode
sebelumnya dan pola kekambuhan, serta riwayat gangguan yang dimiliki oleh
keluarga;
2. Periksa perkembangan dan perubahan gangguan afektif dan permasalahan klinis
terkait sepanjang kehidupan individu (contoh: adanya trauma masa kecil,
gangguan perkembangan, atau disfungsi kognitif);
195
Gangguan Bipolar

3. Periksa keberfungsian sosial dan personal serta stresor psikososial saat ini;
4. Periksa adanya potensi komorbiditas mental dan fisik;
5. Periksa kesehatan fisik individu dan lakukan peninjauan ulang terhadap medikasi
dan efek samping termasuk penambahan berat badan;
6. Diskusikan riwayat perawatan dan identifikasi intervensi yang efektif dan tidak
efektif untuk individu tersebut di masa lalu;
7. Dorong individu untuk mengundang anggota keluarga atau orang terdekat yang
merawatnya untuk memberikan verifikasi terhadap riwayatnya;
8. Diskusikan kemungkinan faktor yang terkait dengan perubahan afektif, seperti
hubungan interpersonal, faktor psikososial, dan perubahan gaya hidup;
9. Identifikasi tujuan pribadi individu terkait dengan intervensi.
Pertimbangkan adanya kemungkinan diagnosis banding, seperti gangguan
spektrum skizofrenia, gangguan kepribadian, penyalahgunaan obat-obatan,
penyalahgunaan alkohol, ADHD, dan gangguan fisik seperti hipotiroid atau hipertiroid.
Sertakan juga asesmen risiko terkait dengan pasien dan juga orang terdekatnya yang
berfokus pada area mengenai kemungkinan akan bahaya, seperti menyakiti diri sendiri,
pikiran dan intensi perilaku bunuh diri, risiko untuk orang lain termasuk anggota
keluarga, menyetir, menghabiskan uang secara berlebih, eksploitasi finansial atau
seksual, terganggunya hubungan keluarga atau romantis, perilaku disinhibisi dan
seksual, dan risiko penyakit seksual menular. Selain melakukan wawancara klinis,
asesmen gangguan bipolar juga bisa dilakukan dengan menggunakan instrumen
swalapor (self-report). Beberapa jenis skala yang dapat digunakan di antaranya:
1. Hypomanic Personality Scale (HPS-6);
2. Mood Disorder Questionnaire;
3. General Behavior Inventory (GBI-15).
Perlu diperhatikan bahwa skala-skala tersebut belum teruji reliabilitas dan
validitasnya untuk digunakan di Indonesia. Akan tetapi, skala-skala ini merupakan
skala yang paling umum dipakai di dunia untuk pemeriksaan gejala bipolar.
Diagnosis
Kriteria gangguan bipolar berdasarkan DSM-5 dapat dilihat pada tabel 3.13.1.

196
Gangguan Bipolar

Tabel 3.13.1
Kriteria Diagnosis Gangguan Bipolar Berdasarkan DSM-5
Kriteria Diagnostik Ada Tidak
1. Episode Manik
A Adanya periode di mana suasana hati meningkat
secara tidak normal dan konsisten, atau mudah
tersinggung dan adanya aktivitas yang mengarah pada
satu tujuan atau energi yang juga meningkat secara
konsisten dan tidak normal setidaknya selama satu
minggu dan berlangsung hampir setiap hari.
B Selama periode gangguan mood atau afek dan
meningkatnya energi atau aktivitas, tiga (atau lebih)
gejala di bawah ini muncul dengan intensitas yang
signifikan dan terlihat adanya perubahan perilaku:
i. Tingkat kepercayaan diri yang meningkat atau
grandiosity;
ii. Kurangnya kebutuhan untuk tidur (seperti
merasa cukup meski hanya tidur selama 3 jam);
iii. Lebih banyak berbicara dibandingkan biasanya;
iv. Flight of ideas atau pengalaman subjektif
adanya pikiran yang meluap;
v. Mudah teralihkan;
vi. Meningkatnya aktivitas yang bertujuan (baik
dalam aspek sosial, pekerjaan, atau seksual) atau
adanya agitasi psikomotor;
Melibatkan diri secara berlebihan dalam aktivitas
yang berpotensi tinggi membahayakan (seperti belanja
secara tidak terkendali, melakukan perselingkuhan
seksual, atau investasi bisnis secara tidak berhati-
hati).
C Gangguan afek (mood) cukup parah untuk
menyebabkan adanya hendaya dalam keberfungsian
sosial ataupun okupasional atau memenuhi syarat
untuk dirawat di rumah sakit dalam rangka
menghindari menyakiti diri sendiri atau orang lain,
197
Gangguan Bipolar

Kriteria Diagnostik Ada Tidak


atau adanya fitur psikotik.
D Episode yang dimiliki tidak berkaitan dengan adanya
efek fisiologis dari obat-obatan atau kondisi medis
lainnya.
2. Episode Hipomanik
A Adanya periode di mana suasana hati meningkat
secara tidak normal dan konsisten, atau mudah
tersinggung dan adanya aktivitas yang mengarah pada
satu tujuan atau energi yang juga meningkat secara
konsisten dan tidak normal setidaknya selama empat
hari berturut-turut dan berlangsung hingga saat ini,
hampir setiap hari.
B Selama periode gangguan mood atau afek dan
meningkatnya energi atau aktivitas, tiga (atau lebih)
gejala di bawah ini muncul dengan intensitas yang
signifikan dan terlihat adanya perubahan perilaku:
i. Tingkat kepercayaan diri yang meningkat atau
grandiosity;
ii. Kurangnya kebutuhan untuk tidur (seperti
merasa cukup meski hanya tidur selama 3 jam);
iii. Lebih banyak berbicara dibandingkan biasanya;
iv. Flight of ideas atau pengalaman subjektif
adanya pikiran yang meluap;
v. Mudah teralihkan;
vi. Meningkatnya aktivitas yang bertujuan (baik
dalam aspek sosial, pekerjaan, atau seksual) atau
adanya agitasi psikomotor;
vii. Melibatkan diri secara berlebihan dalam
aktivitas dengan potensi tinggi yang
membahayakan (seperti belanja secara tidak
terkendali, melakukan perselingkuhan seksual,
atau investasi bisnis secara tidak berhati-hati).
C Episode yang berlangsung terasosiasi dengan
perubahan dalam keberfungsian yang tidak terlihat

198
Gangguan Bipolar

Kriteria Diagnostik Ada Tidak


saat individu berada dalam kondisi yang normal.
D Gangguan dalam afek (mood) dan perubahan dalam
keberfungsian dapat diobservasi oleh orang lain.
E Episode tidak cukup parah untuk menyebabkan
adanya hendaya dalam keberfungsian sosial atau
vokasional atau hingga memerlukan adanya rawat
inap di rumah sakit. Jika ada tanda psikotik, episode
tersebut masuk ke dalam kategori manik.
F Episode tidak berkaitan dengan efek psikologis dari
zat tertentu (contoh: penyalahgunaan obat-obatan,
medikasi, perawatan lainnya) (catatan: episode
hipomanik penuh yang terjadi ketika sedang dalam
perawatan antidepresan (seperti medikasi atau terapi
elektrokonvulsif/ECT) namun melebihi efek fisiologis
dari perawatan tersebut dapat memenuhi bukti untuk
diberikan diagnosis gejala hipomanik. Bagaimanapun,
kehati-hatian diperlukan agar satu atau dua gejala
(terutama meningkatnya amarah, kegelisahan, atau
agitasi setelah penggunaan antidepresan) tidak
dianggap cukup untuk memberikan diagnosis episode
hipomanik, atau juga tidak cukup sebagai indikasi
adanya bipolar.
Catatan: Kriteria A-F membentuk episode hipomanik. Episode ini
sering kali ditemukan dalam gangguan bipolar I, tetapi tidak cukup
untuk menegakkan diagnosis bipolar I.
3. Episode depresi mayor
A Lima (atau lebih) gejala di bawah ini muncul dalam
kurun dua minggu dan terdapat perubahan dari fungsi
sebelumnya; setidaknya salah satu gejala adalah (1)
suasana hati tertekan atau (2) hilangnya minat atau
kesenangan.
Catatan: Jangan menyertakan gejala yang secara jelas
terkait dengan kondisi medis lainnya.
i. Suasana hati tertekan hampir sepanjang hari,
199
Gangguan Bipolar

Kriteria Diagnostik Ada Tidak


hampir di setiap harinya yang ditunjukkan oleh
laporan subjektif (misalnya, merasa sedih,
hampa, atau putus asa) atau pengamatan yang
dilakukan oleh orang lain (misalnya, tampak
menangis). (Catatan: pada anak dan remaja,
bisa jadi suasana hati mudah marah).
ii. Menurunnya minat atau kesenangan dalam
semua, atau hampir semua aktivitas hampir
sepanjang hari, hampir setiap hari (seperti yang
ditunjukkan oleh laporan subyektif atau
observasi dari orang lain).
iii. Penurunan berat badan secara signifikan
meskipun tidak sedang berdiet, atau
penambahan berat badan (misalnya, perubahan
lebih dari 5% berat badan dalam satu bulan),
atau penurunan atau peningkatan nafsu makan
hampir setiap hari. (Catatan: pada anak-anak,
pertimbangkan kegagalan untuk mencapai berat
badan yang diharapkan).
iv. Insomnia atau hipersomnia hampir setiap hari.
v. Agitasi atau retardasi psikomotor hampir setiap
hari (dapat teramati oleh orang lain, bukan
hanya perasaan subjektif adanya kegelisahan
atau pergerakan yang melambat).
vi. Kelelahan atau kehilangan energi hampir setiap
hari.
vii. Perasaan tidak berharga atau rasa bersalah yang
berlebihan atau tidak seharusnya (yang
mungkin bersifat delusional) hampir setiap hari
(bukan hanya menyalahkan diri sendiri atau
rasa bersalah karena sakit).
viii. Penurunan kemampuan untuk berpikir atau
berkonsentrasi, atau kesulitan untuk membuat
keputusan, hampir setiap hari (baik secara
subjektif atau seperti yang teramati oleh orang
lain).

200
Gangguan Bipolar

Kriteria Diagnostik Ada Tidak


ix. Pemikiran berulang tentang kematian (bukan
hanya takut akan kematian), ide bunuh diri
yang berulang tanpa adanya rencana yang
spesifik, atau percobaan bunuh diri atau adanya
rencana yang spesifik untuk bunuh diri.
B Gejala-gejala tersebut menyebabkan distres yang
cukup signifikan secara klinis atau hendaya pada area
keberfungsian sosial, vokasional, atau area penting
lainnya.
C Episode yang dialami tidak disebabkan oleh efek
fisiologis suatu zat atau kondisi medis lainnya.

Sementara kriteria diagnosis menurut PPDGJ-III mengacu pada istilah yang disebut
sebagai gangguan afektif bipolar (F31) yang masuk ke dalam golongan gangguan
suasana perasaan (gangguan afektif/mood). Gangguan ini dicirikan dengan episode
berulang (sekurang-kurangnya dua episode) di mana afek pasien dan tingkat
aktivitasnya jelas terganggu, pada waktu tertentu terdiri dari peningkatan afek disertai
penambahan energi dan aktivitas (manik atau hipomanik), dan pada waktu lain berupa
penurunan afek disertai pengurangan energi dan aktivitas (depresi). Yang khas adalah
biasanya ada penyembuhan (remisi) yang sempurna antarepisode. Episode manik
biasanya dimulai dengan tiba-tiba dan berlangsung antara 2 minggu sampai 4-5 bulan,
episode depresi cenderung berlangsung lebih lama (rata-rata sekitar 6 bulan) meskipun
jarang melebihi 1 tahun, kecuali pada orang usia lanjut. Kedua macam episode itu sering
kali terjadi setelah peristiwa hidup yang penuh stres atau trauma mental lain (adanya
stres tidak esensial untuk penegakan diagnosis). Pada PPDGJ III, gangguan yang
termasuk ke dalam kategori ini antara lain:
1. Gangguan Afektif Bipolar, Episode Kini Hipomanik;
2. Gangguan Afektif Bipolar, Episode Kini Manik tanpa Gejala Psikotik;
3. Gangguan Afektif Bipolar, Episode Kini Manik dengan Gejala Psikotik;
4. Gangguan Afektif Bipolar, Episode Kini Depresif Ringan atau Sedang;
5. Gangguan Afektif Bipolar, Episode Kini Depresif Berat tanpa Gejala Psikotik;
6. Gangguan Afektif Bipolar, Episode Kini Depresif Berat dengan Gejala Psikotik;
7. Gangguan Afektif Bipolar, Episode Kini Campuran;
8. Gangguan Afektif Bipolar, Kini dalam Remisi;
9. Gangguan Afektif Bipolar Lainnya;
10. Gangguan Afektif Bipolar YTT (Yang Tidak Tergolongkan).
201
Gangguan Bipolar

Diagnosis Banding

1. Gangguan depresi mayor;


2. Gangguan bipolar lainnya;
3. Gangguan kecemasan umum, gangguan panik, gangguan stres pasca-trauma
(PTSD), atau gangguan kecemasan lainnya;
4. Gangguan bipolar berkaitan dengan obat-obatan atau medikasi;
5. Gangguan Pemusatan Perhatian dan/atau Hiperaktif (GPPH);
6. Gangguan kepribadian, terutama gangguan kepribadian ambang;
7. Gangguan dengan adanya toleransi emosi rendah.

Komorbiditas

1. Gangguan kecemasan;
2. Gangguan Pemusatan Perhatian dan/atau Hiperaktif (GPPH);
3. Gangguan perilaku menentang atau kontrol impuls;
4. Gangguan penyalahgunaan zat.

Intervensi Psikologi

Beberapa panduan penanganan umum dalam gangguan bipolar adalah sebagai


berikut:
1. Manajemen krisis, risiko, dan perilaku yang menantang pada pasien dewasa
dengan gangguan bipolar dalam perawatan sekunder. Dalam hal ini psikologi
klinis perlu mengembangkan rencana manajemen risiko dengan pasien dan
dengan wali mereka apabila memungkinkan. Hal ini meliputi:
a. Identifikasi penyebab yang memicu pasien secara personal, sosial, pekerjaan,
atau lingkungan dan tanda peringatan dini, serta gejala akan terjadinya
kekambuhan;
b. Sebuah protokol untuk menerapkan strategi koping dan mengatur
penambahan dosis atau pemberian obat tambahan (yang dapat diberikan pada
penderita lebih awal) untuk penderita yang memiliki risiko mengalami manik
atau untuk mereka yang tanda peringatan dininya atau gejalanya dapat
diidentifikasi;
c. Kesepakatan dalam perawatan primer atau sekunder mengenai cara
menanggapi peningkatan risiko atau potensi risiko yang dapat terjadi;
d. Informasi mengenai orang yang dapat dihubungi, jika memungkinkan,
pengasuhnya, ketika pasien dikhawatirkan atau sedang dalam masa krisis.
202
Gangguan Bipolar

Data tersebut meliputi nama-nama perawat kesehatan profesional dalam


perawatan primer dan sekunder yang dapat dihubungi;
e. Berikan salinan dari rencana tersebut kepada pasien dan dokter umum
mereka;
f. Menawarkan layanan darurat untuk membantu pasien dengan gangguan
bipolar dalam keadaan krisis.
2. Menangani manik atau hipomanik pada dewasa dalam perawatan sekunder.
Psikolog klinis perlu memastikan ahwa pasien dengan gangguan manik atau
hipomanik memiliki akses ke dalam lingkungan yang menenangkan dan tidak
terlalu banyak stimulasi. Kemudian, berikan mereka saran agar tidak membuat
keputusan yang penting sampai mereka telah benar-benar pulih dari gangguan
tersebut, serta dorong mereka, jika memungkinkan, untuk memelihara hubungan
dengan pengasuh/ wali mereka.
3. Menangani depresi bipolar pada dewasa dalam perawatan sekunder
Psikolog klinis perlu menawarkan pasien dewasa dengan depresi bipolar dengan:
a. Sebuah intervensi psikologi yang telah dikembangkan secara khusus untuk
gangguan bipolar dengan panduan berdasarkan bukti konkret yang
menjelaskan penerapan intervensi tersebut; atau
b. Intervensi psikologi berintensitas tinggi (terapi kognitif dan perilaku, terapi
interpersonal, atau terapi perilaku pasangan secara rutin minimal satu sesi
per minggu);
c. Diskusikan dengan penderita mengenai perkiraan manfaat dan risiko dalam
intervensi psikologis dan preferensi penderita terkait hal tersebut. Awasi
suasana perasaan penderita terkait tanda-tanda manik, hipomanik, atau
memburuknya gejala depresi.
4. Menangani gangguan bipolar pada dewasa yang dirawat dalam jangka panjang
pada perawatan sekunder. Dalam menangani pasien dengan gangguan bipolar
dalam jangka panjang. Psikolog klinis perlu berdiskusi dengan pasien dan jika
memungkinkan dengan pengasuhnya pula setelah tiap episode manik atau depresi
bipolar. Diskusi tersebut bertujuan untuk membantu mereka memahami gangguan
bipolar yang secara umum merupakan kondisi ‘kian memburuk-kian membaik’
dalam jangka panjang yang membutuhkan penanganan diri, keikutsertaan dalam
perawatan profesional primer dan sekunder, serta keterlibatan para pengasuh.
Langkah diskusi ini harus mencakup:
a. Sifat dan pengobatan jangka panjang untuk gangguan bipolar;
b. Peran dari intervensi psikologi dan farmakologi dalam mencegah
kekambuhan dan mengurangi gejala gangguan;
203
Gangguan Bipolar

c. Risiko kekambuhan setelah pengurangan atau penghentian penggunaan obat


untuk suatu episode akut;
d. Perkiraan akan manfaat dan risiko dari pengobatan jangka panjang dan
intervensi psikologi, serta perlunya mengawasi suasana perasaan pasien dan
pengobatannya;
e. Perkiraan akan manfaat dan risiko dari menghentikan pengobatan pada
pasien serta wanita yang memiliki keinginan untuk mengandung;
f. Riwayat gangguan bipolar penderita yang meliputi
i. Tingkat keparahan dan frekuensi terjadinya episode manik atau depresi
bipolar, dengan berfokus pada pengaitan risiko dan konsekuensi yang
merugikan
ii. Respons pasien terhadap perawatan sebelumnya
iii. Gejala-gejala di antara episode
iv. Penyebab yang berpotensi menjadi pemicu kekambuhan, tanda
peringatan dini, dan strategi penanganan diri;
g. Perkiraan durasi perawatan serta waktu dan frekuensi pengkajian yang harus
dilakukan pada proses penanganan tersebut;
h. Berikan keterangan tertulis mengenai gangguan bipolar yang mudah
dipahami. Selain itu, pastikan bahwa ada waktu yang cukup untuk membahas
berbagai pilihan dan permasalahan yang ada.
5. Psikoterapi yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut:
a. Intervensi keluarga untuk pasien dengan gangguan bipolar yang tinggal atau
memiliki hubungan yang dekat dengan keluarganya.
b. Intervensi psikologi terstruktur (secara individu, kelompok, atau dengan
keluarga) yang telah dirancang untuk pasien dengan gangguan bipolar serta
dilengkapi dengan panduan berdasarkan bukti konkret yang menjelaskan
cara menerapkan intervensi tersebut untuk mencegah terjadinya kekambuhan
atau untuk pasien yang memiliki gejala persisten di antara episode manik
atau depresi bipolar yang dialaminya. Beberapa intervensi psikologi
terstruktur yang direkomendasikan adalah sebagai berikut
i. Psikoedukasi individu/kelompok
Prinsip dasar dari pemberian psikoedukasi adalah dengan
memahami gejala, penanganan, dan strategi koping, pasien dapat lebih
terampil dalam memanajemen kondisi yang dialami. Umumnya,
psikoedukasi terdiri dari 6-21 sesi terstruktur selama 9 bulan, terdiri
dari pengajaran dalam kelompok atau individu untuk meningkatkan
pemahaman mengenai gangguan bipolar, termasuk gejala, klasifikasi,

204
Gangguan Bipolar

etiologi, penanganan, dan prognosis. Kemudian, mengembangkan


pendekatan untuk mendeteksi episode baru, yaitu deteksi gejala awal
kekambuhan dan pencegahannya, serta identifikasi strategi koping
terhadap gangguan dan manajemen stres.
ii. Terapi kognitif perilaku
Terapi kognitif perilaku adalah terapi berbasis keterampilan yang
dapat diberikan secara individu maupun kelompok. Umumnya, terapi
ini terdiri dari 12-20 sesi dalam periode 6 bulan. Terapi kognitif
perilaku untuk gangguan bipolar berlandaskan bahwa pikiran dan
keyakinan yang disfungsional dapat dipicu oleh peristiwa kehidupan
yang positif dan negatif dan dapat mempengaruhi suasana hati dan
perilaku. Dengan demikian, terapi kognitif perilaku membantu pasien
menyadari dan memodifikasi hubungan antara pikiran maladaptif dan
perasaan. Terapi ini menggunakan latihan-latihan terstruktur untuk
identifikasi dan modifikasi pikiran maladaptif dan perilaku, melalui
diari suasana perasaan dan pola berpikir, serta membuat perencanaan
aktivitas harian.
iii. Family-focused therapy
Family focused therapy adalah program psikoedukasi bagi pasien
dan keluarga yang berlandaskan pada prinsip perilaku. Umumnya,
terapi ini terdiri dari 21 sesi selama periode 9 bulan dan terdiri dari 3
fase yang dimulai dari psikoedukasi dan pencegahan kekambuhan,
latihan terstruktur untuk meningkatkan pola komunikasi keluarga, dan
pelatihan kemampuan pemecahan masalah pada pasien dan keluarga
iv. Interpersonal and Social Rhythm Therapy (IPSRT)
Terapi IPSRT berlandaskan pada terapi interpersonal yang
diadaptasikan untuk pasien dengan bipolar agar membantu mereka
mengembangkan ritme sosial yang lebih stabil. Ritme sosial adalah
aktivitas-aktivitas sehari-hari yang dapat membantu atau mengganggu
ritme biologis. IPSRT berfokus pada 2 hal, yaitu membantu pasien
untuk diskusi perubahan dan kerugian yang dihasilkan dari kondisi
bipolar mereka dan bagaimana cara mengatasinya, serta membantu
mereka untuk memonitor pola tidur dan aktivitas, sehingga dapat
melakukan stabilisasi pada area-area yang diperlukan. Umumnya,
IPSRT dilakukan secara individual sebanyak 39-40 sesi dalam periode
2 tahun.

205
Gangguan Bipolar

6. Intervensi psikologi secara individu atau berkelompok guna mencegah


kekambuhan pada pasien harus meliputi:
a. Penyediaan informasi mengenai gangguan bipolar;
b. Peninjauan akan dampak pola pikir dan perilaku pada suasana perasaan dan
kekambuhan;
c. Pemantauan diri berdasarkan suasana perasaan, pola pikir, dan perilaku;
d. Penyuluhan atas risiko kekambuhan, distres, dan cara meningkatkan fungsi
hidup pasien;
e. Pengembangan rencana untuk menangani kekambuhan dan mempertahankan
kesehatan;
f. Pertimbangan solusi pemecahan masalah untuk mengatasi kesulitan dalam
pola berkomunikasi dan menangani kesulitan keberfungsian sehari-hari yang
dimiliki pasien.
Beberapa hal tambahan penting ketika melakukan intervensi tersebut adalah
a. Program individual harus disesuaikan dengan kebutuhan pasien dan didasari
oleh hasil evaluasi yang dibuat untuk individu tersebut serta formulasi kajian
psikologis.
b. Program kelompok harus mencakup fokus pembahasan informasi yang
relevan dengan partisipannya.
Terdapat beberapa catatan dalam intervensi gangguan bipolar jika pasiennya
adalah remaja, yaitu menyangkut kemampuan kognitif, kematangan emosi, tingkat
pertumbuhan dan perkembangan, kemampuan pasien dalam memberikan persetujuan
untuk dirawat, keakutan gangguan bipolar yang dideritanya, serta risiko-risiko bunuh
diri, menyakiti diri, atau risiko lainnya. Beberapa hal yang dapat dilakukan oleh
psikolog adalah:
1. Menawarkan intervensi psikologi secara terstruktur (terapi perilaku kognitif secara
individu atau terapi interpersonal) kepada remaja yang memiliki depresi bipolar.
Intervensi tersebut diharuskan memiliki durasi sekurang-kurangnya 3 bulan dan
telah menerbitkan panduan berdasarkan bukti konkret yang mendeskripsikan
penerapan intervensi tersebut.
2. Jika setelah 4 hingga 6 minggu tidak ada respons atau respons yang ada sangat
minim dari penerapan terapi perilaku kognitif atau terapi interpersonal, lakukanlah
evaluasi secara multidisiplin dan pertimbangkanlah intervensi psikologi alternatif
dengan fokus individu atau keluarga yang dapat digunakan.
3. Jika ditemui risiko bunuh diri, menyakiti diri sendiri, atau risiko lain, segera
lakukan kajian dan mengembangkan rencana penanganan risiko.

206
Gangguan Bipolar

4. Jika menghadapi pasien dengan kondisi komorbid, faktor risiko psikososial yang
persisten (seperti perselisihan keluarga atau orang tua yang menderita penyakit
mental) maka pertimbangkan:
a. intervensi psikologi alternatif untuk depresi bipolar yang dialami anak, orang
tua mereka, dan anggota keluarga lainnya; atau
b. intervensi psikologi tambahan untuk masalah kesehatan mental yang muncul
berdampingan.
5. Penanganan jangka panjang
Gangguan bipolar perlu dikaji secara multidisiplin, untuk itu pertimbangkan
intervensi psikologi individu atau keluarga yang terstruktur ketika menangani
pasien remaja yang mengalami gangguan bipolar dalam jangka panjang.
6. Perhatikan aktivitas-aktivitas yang berkaitan dengan pekerjaan, edukasi, dan
kehidupan sehari-hari.
Untuk pasien dengan bipolar dalam perawatan primer dan sekunder yang
memiliki keinginan untuk kembali bekerja maka berikan program-program
bantuan yang berkaitan dengan pekerjaan. Sebaliknya, pertimbangkan aktivitas
sehari-hari atau pembelajaran lainnya, termasuk pelatihan persiapan memasuki
dunia kerja, terutama untuk penderita yang tidak dapat bekerja atau kesulitan.

Prognosis

Untuk kebanyakan orang, gangguan bipolar biasanya dialami lebih dari sekali.
Terdapat variasi akan jumlah pengalaman kekambuhan, tetapi rata-rata jumlah episode
yang dialami adalah sepuluh kali. Biasanya, episode manik dan depresi akan
berlangsung bergantian dalam satu waktu. Pola hipomanik dan episode depresif sering
kali ditemui pada tipe gangguan bipolar II. Risiko terjadinya kekambuhan 12 bulan
setelah episode pertama cukup tinggi (50% dalam 1 tahun, 75% dalam 4 tahun, dan
10% di tahun–tahun setelahnya) dibandingkan dengan gangguan psikiatri yang lainnya.
Kemungkinan untuk kambuh tiga kali lebih awal pada individu yang memiliki gejala
residual. Kemungkinan untuk kambuh pada individu yang telah mencapai tahap
kesembuhan secara menyeluruh dan tidak mengalami kekambuhan dalam 4 tahun
adalah 10%.

Catatan Lain

1. Psikolog klinis perlu bekerja sama atau merujuk pasien ke psikiater agar pasien
mendapatkan intervensi farmakologis terkait kondisi manik, hipomanik, dan
depresi bipolar.
207
Gangguan Bipolar

2. Jika pasien dengan gangguan bipolar menunjukkan risiko menyakiti dirinya atau
orang lain dalam episode akut, maka dapat dilakukan manajemen dalam jangka
pendek:
3. Pasien yang melakukan tindakan melukai diri harus diperlakukan dengan
perhatian, rasa hormat, dan privasi yang sama seperti pasien lainnya. Para tenaga
profesional kesehatan harus memperhitungkan sepenuhnya kemungkinan distres
terkait tindakan menyakiti diri sendiri;
4. Memberikan pelayanan untuk dampak fisik dari perilaku menyakiti diri
bagaimana pun keinginan mereka untuk menerima asesmen psikologis;
5. Memberikan informasi mengenai pilihan pelayanan yang tersedia, sehingga
pasien memiliki kesempatan untuk memberikan persetujuan sebelum
dilakukannya prosedur pemeriksaan;
6. Memberikan asesmen kebutuhan yang komprehensif, yang berisi evaluasi faktor
sosial, psikologis, dan motivasi mengenai perilaku menyakiti diri dan keinginan
bunuh diri, rasa putus asa, serta pemeriksaan mental secara menyeluruh;
7. Memberikan asesmen risiko, yaitu identifikasi faktor demografis dan klinis yang
berkaitan dengan perilaku menyakiti atau keinginan bunuh diri, dan identifikasi
karakteristik psikologis yang berkaitan dengan risiko, seperti depresi, rasa putus
asa, dan keinginan bunuh diri yang muncul terus menerus;
8. Setelah asesmen psikologis, keputusan untuk merujuk pada perawatan selanjutnya
harus didasari oleh asesmen psikologis, sosial, dan psikiatri secara komprehensif,
termasuk asesmen risiko, dan tidak selalu berdasarkan perilaku menyakiti diri
sebagai faktor penentu tunggal.

208
Gangguan Bipolar

Referensi

American Psychiatric Association. (2013). Diagnostic and Statistical Manual of Mental


Disorders (DSM-5) (edisi ke-5). Washington, D.C.: APA.
https://doi.org/10.1176/appi.books.9780890425596.744053
National Institute for Health and Care Excellence. (2014). Bipolar Disorder:
Assessment and Management (Clinical Guidelines [CG185]). Diakses pada 15
Desember 2020 dari: https://www.nice.org.uk/guidance/cg185
World Health Organization. (2004). International Statistical Classification of Disease
and Related Health Problems Tenth Revision Volume 2 (edisi ke-2). Geneva:
World Health Organization. Diakses dari
https://www.who.int/classifications/icd/ICD-10_2nd_ed_volume2.pdf

209
14. Gangguan Depresi

Batasan dan Uraian Umum

Gangguan depresi ditandai dengan kesedihan, kehilangan minat atau kesenangan,


perasaan bersalah atau rendah diri, gangguan tidur atau nafsu makan, perasaan lelah,
dan konsentrasi yang buruk. Depresi bisa berlangsung lama atau berulang dan secara
substansial mengganggu kemampuan pasien untuk berfungsi di tempat kerja, sekolah,
atau menghadapi kehidupan sehari-hari. Yang paling parah, depresi dapat menyebabkan
bunuh diri (World Health Organization, 2017).
Gangguan depresi mayor atau depresi klinis merupakan gangguan yang paling
sering terjadi dan mempengaruhi orang di seluruh dunia (World Health Organization,
2017). Depresi mayor merupakan penyebab utama bunuh diri dan perilaku menyakiti
diri lainnya. Gangguan depresi mayor adalah gangguan suasana perasaan (mood) yang
umum, tetapi serius. Episode depresi mayor ditandai dengan suasana perasaan yang
sedih, putus asa dan tidak berharga, perubahan pola tidur atau nafsu makan, kehilangan
motivasi, serta kehilangan kesenangan dalam aktivitas yang biasa dilakukan. Episode
tersebut bertahan hampir setiap hari, setidaknya selama 2 minggu berturut-turut, serta
disertai dengan gangguan yang signifikan secara klinis dalam bidang fungsi sosial,
pekerjaan, atau fungsi penting lainnya. Untuk beberapa pasien dengan episode yang
lebih ringan, fungsi keseharian mungkin masih tampak normal, tetapi membutuhkan
upaya yang lebih besar untuk melakukan aktivitasnya.
Gangguan depresi yang dibahas di sini adalah gangguan depresi mayor, namun
panduan penanganan bertahap (stepped-care) yang diuraikan pada bagian intervensi
psikologi dapat dipakai untuk gangguan depresi secara umum.

Manifestasi Klinis

1. Perubahan kondisi emosional:


a. Perubahan suasana perasaan (periode terpuruk, depresi, sedih, atau murung
yang persisten);
b. Mudah menangis;
c. Meningkatnya iritabilitas (mudah tersinggung), kegelisahan, atau amarah.
2. Perubahan motivasi:
a. Merasa tidak termotivasi, atau kesulitan melakukan aktivitas pada pagi hari
atau bahkan bangun dari tempat tidur;
b. Berkurangnya tingkat partisipasi sosial atau minat dalam aktivitas sosial;
210
Gangguan Depresi

c. Kehilangan kesenangan atau minat dalam aktivitas yang menyenangkan;


d. Berkurangnya minat seks;
e. Tidak mampu merespon pujian atau penghargaan.
3. Perubahan fungsional dan perilaku motorik:
a. Bergerak atau berbicara lebih lambat dari biasanya;
b. Perubahan kebiasaan tidur (terlalu banyak atau terlalu sedikit tidur, bangun
lebih cepat daripada biasanya dan sulit kembali tidur di pagi buta – disebut
mudah terbangun di pagi buta);
c. Perubahan selera makan (makan terlalu banyak atau terlalu sedikit);
d. Perubahan berat badan (meningkat atau menurunnya berat badan);
e. Berfungsi secara kurang efektif di tempat kerja atau sekolah, gagal
memenuhi tanggung jawab dan mengabaikan penampilan fisik seseorang.
4. Perubahan kognitif:
a. Sulit berkonsentrasi atau berpikir jernih;
b. Berpikir negatif tentang diri dan masa depan seseorang;
c. Merasa bersalah atau menyesal dengan kelakuan buruk di masa lalu;
d. Kurangnya rasa percaya diri atau merasa tidak memenuhi syarat;
e. Berpikir akan kematian atau bunuh diri.

Asesmen dan Diagnosis

Identifikasi
Dalam mengidentifikasi pasien dengan dugaan gangguan depresi mayor (terlebih
pada pasien yang memiliki riwayat depresi atau masalah kesehatan fisik dengan
penurunan fungsi yang terkait), dapat mempertimbangkan dua pertanyaan yang
diajukan berikut ini:
1. Selama satu bulan terakhir, apakah Anda sering merasa sedih, tertekan, atau
putus asa?
2. Selama satu bulan terakhir, apakah Anda sering merasa kurang memiliki
ketertarikan atau kepuasan dalam melakukan sesuatu yang biasa dilakukan?
Apabila jawaban yang disampaikan pasien mengindikasikan kemungkinan
mengalami gangguan depresi maka psikolog klinis dapat melakukan asesmen lanjutan
untuk memperkuat pengambilan keputusan dalam memberikan diagnosis yang tepat
kepada pasien.

211
Gangguan Depresi

Asesmen
1. Wawancara klinis
Psikolog klinis hendaknya mengevaluasi beberapa hal berikut pada pasien
yang diduga memiliki gangguan depresi:
a. Terdapat pemikiran bunuh diri atau percobaan bunuh diri sebelumnya
b. Terdapat gejala psikotik dan gangguan mental yang merupakan komorbiditas
dari gangguan depresif
c. Riwayat keluarga dengan gangguan depresi dan gangguan mental lainnya
d. Gangguan perkembangan pada masa kanak-kanak
e. Riwayat trauma
2. Observasi klinis
Observasi klinis dilakukan pada pasien dengan dugaan gangguan depresi
untuk mengamati beberapa hal berikuit ini :
a. Memperhatikan gejala fisiologis yang merupakan manifestasi klinis dari
pasien dengan dugaan gangguan depresi, seperti perubahan kondisi emosi,
motivasi, fungsional dan perilaku motorik, serta kognisi.
b. Jika pasien depresi memperlihatkan risiko tinggi yang bersifat impulsif pada
dirinya atau orang lain untuk segera rujuk ke layanan spesialis kesehatan jiwa.
3. Alat tes psikologi
Dalam melakukan asesmen untuk menegakkan diagnosis gangguan depresi
mayor, psikolog klinis dapat menggunakan panduan wawancara terstruktur dan
juga kuesioner yang teruji validitas dan reliabilitasnya. Berikut ini terdapat
beberapa skala pengukuran yang diperoleh dari berbagai sumber :
1. Beck Depression Inventory (BDI-II);
2. Major Depression Inventory (MDI);
3. Hamilton Rating Scale for Depression (HRSD);
4. Children’s Depression Inventory (CDI);
5. Zung Self-Rating Depression Scale (SDS);
6. Geriatric Depression Scale (GDS);
7. Patient Health Questionnaire-9 (PHQ-9);
8. PHQ-9 modified for Adolescents (PHQ-A);
9. Center for Epidemiological Studies-Depression (CES-D);
10. Structured Clinical Interview for DSM (SCID).
Perlu diperhatikan bahwa skala-skala yang telah disebutkan di atas
merupakan instrumen yang direkomendasikan dalam melakukan asesmen kepada
pasien dengan gangguan depresi mayor. Namun demikian, masih perlu dilakukan

212
Gangguan Depresi

pengecekan sejauhmana validitas dan reliabilitas instrumen tersebut ketika


diadaptasi ke dalam bahasa Indonesia untuk asesmen penegakan diagnosis
gangguan.
Diagnosis
Berdasarkan DSM-5 maka perhatikan lima (atau lebih) dari gejala berikut telah
hadir dalam kurun 2 minggu dan terdapat perubahan dari fungsi sebelumnya; setidaknya
salah satu gejala adalah: (1) suasana hati tertekan; atau (2) kehilangan minat atau
kesenangan. Namun demikian, perlu dicatat untuk jangan menyertakan gejala yang
secara jelas terkait dengan kondisi medis lain. Kriteria gangguan depresi dalam DSM-
5 dapat dilihat pada tabel 3.14.1.
Tabel 3.14.1
Kriteria Diagnosis Gangguan Depresi Berdasarkan DSM-5
Kriteria Diagnosis Ada Tidak
A 1. Suasana hati tertekan hampir sepanjang
hari, hampir di setiap harinya, seperti
yang ditunjukkan oleh laporan subjektif
(misalnya, merasa sedih, hampa, putus
asa) atau pengamatan yang dilakukan
oleh orang lain (misalnya, tampak
menangis). (Catatan: Pada anak-anak dan
remaja, bisa jadi suasana hati mudah
marah).
2. Menurunnya minat atau kesenangan
dalam semua, atau hampir semua,
aktivitas hampir sepanjang hari, hampir
setiap hari (seperti yang ditunjukkan oleh
laporan subjektif atau observasi dari
orang lain).
3. Penurunan berat badan secara signifikan
meskipun tidak sedang berdiet atau
penambahan berat badan (misalnya,
perubahan lebih dari 5% berat badan
dalam satu bulan), atau penurunan atau
peningkatan nafsu makan hampir setiap
hari. (Catatan: Pada anak-anak,
pertimbangkan kegagalan untuk
213
Gangguan Depresi

Kriteria Diagnosis Ada Tidak


mencapai kenaikan berat badan yang
diharapkan).
4. Insomnia atau hipersomnia hampir setiap
hari.
5. Agitasi atau retardasi psikomotor hampir
setiap hari (dapat teramati oleh orang
lain, bukan hanya perasaan subjektif
adanya kegelisahan atau pergerakan yang
melambat).
6. Kelelahan atau kehilangan energi hampir
setiap hari.
7. Perasaan tidak berharga atau rasa
bersalah yang berlebihan atau tidak
seharusnya (yang mungkin bersifat
delusional) hampir setiap hari (bukan
hanya menyalahkan diri sendiri atau rasa
bersalah karena sakit).
8. Penurunan kemampuan untuk berpikir
atau berkonsentrasi, atau kesulitan untuk
membuat keputusan, hampir setiap hari
(baik secara subjektif atau seperti yang
teramati oleh orang lain).
9. Pemikiran berulang tentang kematian
(bukan hanya takut akan kematian), ide
bunuh diri yang berulang tanpa adanya
rencana yang spesifik, atau percobaan
bunuh diri atau adanya rencana yang
spesifik untuk bunuh diri.
B Gejala-gejala tersebut menyebabkan distres yang
cukup signifikan secara klinis atau hendaya pada
area keberfungsian sosial, vokasional, atau area
penting lainnya.
C Episode yang dialami tidak disebabkan oleh efek
fisiologis suatu zat atau kondisi medis lainnya.

214
Gangguan Depresi

Kriteria Diagnosis Ada Tidak


Catatan: Kriteria A-C merupakan episode depresi mayor.
Catatan: Respons terhadap kehilangan yang cukup signifikan bisa jadi melibatkan
perasaan kesedihan yang intens, terus menerus berpikir mengenai kehilangan
tersebut, nafsu makan yang buruk, dan turunnya berat badan sehingga
menyerupai episode depresif. Meskipun gejala-gejala tersebut bisa jadi dapat
dimaklumi atau wajar dalam merespons kehilangan, kehadiran episode depresi
mayor bersamaan dengan respons yang normal terhadap kehilangan juga
harus dipertimbangkan secara hati-hati. Keputusan ini melibatkan penilaian
klinis yang didasari oleh riwayat individu dan norma budaya terkait dengan
ekspresi atau respon terkait kehilangan.
D Kemunculan episode depresi mayor tidak
disebabkan oleh gangguan skizoafektif,
skizofrenia, gangguan skizoniform, gangguan
waham, atau gangguan spektrum skizofrenia, dan
psikotik lainnya.
E Tidak pernah ada episode manik maupun
hipomanik
Catatan: Kriteria eksklusi ini tidak berlaku apabila
episode yang menyerupai manik atau hipomanik
disebabkan oleh efek zat atau efek fisiologis dari
kondisi medis lainnya.

Gejala batas ambang depresi memiliki kurang dari 5 gejala depresi.


1. Depresi ringan: Memiliki ≥ 5 gejala yang dibutuhkan dalam pembuatan
diagnosis, di mana gejala tersebut menghasilkan penurunan fungsi secara
minor.
2. Depresi sedang: Memiliki gejala atau penurunan fungsi yang berada di antara
‘ringan’ dan ‘berat’.
3. Depresi berat: Sebagian besar gejala yang ada mempengaruhi fungsi pasien.
Kondisi ini dapat terjadi bersamaan dengan atau tanpa gejala psikotik.
Perlu diperhatikan bahwa suatu evaluasi depresi secara menyeluruh tidak boleh
hanya didasari pada jumlah gejala, tetapi juga harus mempertimbangkan tingkat
penurunan fungsi dan/atau disabilitas.

215
Gangguan Depresi

Sementara episode depresif menurut kriteria diagnosis dalam PPDGJ-III adalah


sebagai berikut:
1. Gejala utama (pada derajat ringan, sedang, dan berat):
a. Afek depresif;
b. Kehilangan minat dan kegembiraan; dan
c. Berkurangnya energi yang menuju meningkatnya keadaan mudah lelah (rasa
lelah yang nyata sesudah kerja sedikit saja) dan menurunnya aktivitas.
2. Gejala lainnya :
a. Konsentrasi dan perhatian berkurang;
b. Harga diri dan kepercayaan diri berkurang;
c. Gagasan tentang rasa bersalah dan tidak berguna;
d. Pandangan masa depan yang suram dan pesimistis;
e. Tidur terganggu;
f. Nafsu makan berkurang.
Untuk episode depresif dari ketiga tingkat keparahan sebagaimana di sebutkan
di bawah diperlukan masa sekurang-kurangnya 2 minggu untuk penegakan
diagnosis. Akan tetapi, periode lebih pendek dapat dibenarkan jika gejala luar biasa
beratnya dan berlangsung cepat.
Kategori diagnosis episode depresif ringan, sedang, dan berat hanya digunakan
untuk episode depresif tunggal (yang pertama).
3. Pedoman diagnostik untuk episode depresif ringan, yaitu:
a. Sekurang-kurangnya harus ada 2 dari 3 gejala depresi;
b. Ditambah sekurang-kurangnya 2 dari gejala lainnya;
c. Tidak boleh ada gejala yang berat di antaranya;
d. Lamanya seluruh episode berlangsung sekurang-kurangnya sekitar 2
minggu;
e. Hanya sedikit kesulitan dalam pekerjaan dan kegiatan sosial yang biasa
dilakukannya.
4. Pedoman diagnostik untuk episode depresif sedang, yaitu:
a. Sekurang-kurangnya harus ada 2 dari 3 gejala utama depresi seperti pada
episode depresi ringan;
b. Ditambah sekurang-kurangnya 3 (dan sebaiknya 4) dari gejala lainnya;
c. Lamanya seluruh episode berlangsung minimum sekitar 2 minggu;
d. Menghadapi kesulitan nyata untuk meneruskan kegiatan sosial, pekerjaan
dan urusan rumah tangga.

216
Gangguan Depresi

5. Pedoman diagnostik untuk episode depresif berat tanpa gejala psikotik, yaitu:
a. Semua 3 gejala utama depresi harus ada;
b. Ditambah sekurang-kurangnya 4 dari gejala lainnya dan beberapa di
antaranya harus berintensitas berat;
c. Bila ada gejala penting (misalnya agitasi atau retardasi psikomotor) yang
mencolok maka pasien mungkin tidak mau atau tidak mampu untuk
melaporkan banyak gejalanya secara rinci;
d. Dalam hal demikian, penilaian secara menyeluruh terhadap episode depresif
berat masih dapat dibenarkan;
e. Episode depresif biasanya harus berlangsung sekurang-kurangnya 2 minggu,
akan tetapi jika gejala amat berat dan ber-onset sangat cepat, maka masih
dibenarkan untuk menegakkan diagnosis dalam kurun waktu kurang dari 2
minggu;
f. Sangat tidak mungkin pasien akan mampu meneruskan kegiatan sosial,
pekerjaan atau urusan rumah tangga, kecuali pada taraf yang sangat terbatas.
6. Pedoman diagnostik untuk episode depresif berat dengan gejala psikotik, yaitu:
a. Episode depresi berat yang memenuhi kriteria gejala lainnya;
b. Disertai waham, halusinasi atau stupor depresif. Waham biasanya melibatkan
ide tentang dosa, kemiskinan atau malapetaka yang mengancam, dan pasien
merasa bertanggung jawab atas hal itu. Halusinasi auditorik atau olfatorik
biasanya berupa suara yang menghina atau menuduh, atau bau kotoran atau
daging membusuk.
7. Retardasi psikomotor yang berat dapat menuju pada stupor. Jika diperlukan,
waham atau halusinasi dapat ditentukan sebagai serasi atau tidak serasi dengan afek.

Diagnosis Banding

Diagnosis banding untuk gangguan depresi mayor terdiri dari:


1. Episode manik dengan suasana perasaan yang mudah marah atau episode
campuran;
2. Gangguan suasana perasaan (mood) karena kondisi medis lain;
3. Gangguan depresi atau bipolar yang disebabkan oleh zat/obat;
4. Gangguan pemusatan perhatian dan/atau hiperaktif (GPPH).

Komorbiditas

Gangguan lain yang sering terjadi bersamaan dengan gangguan depresi mayor
terdiri dari:
217
Gangguan Depresi

1. Gangguan yang berhubungan dengan zat;


2. Gangguan panik;
3. Gangguan obsesif kompulsif;
4. Anorexia nervosa;
5. Bulimia nervosa;
6. Gangguan kepribadian ambang.

Intervensi Psikologis

Rekomendasi penanganan untuk gangguan depresi mayor umumnya akan


ditentukan berdasarkan jumlah dan tingkat keparahan gejala, usia dan kemampuan
fungsional pasien, serta adanya gangguan yang terjadi bersamaan. Ketika terdapat
kecenderungan psikosis dan pikiran atau tindakan untuk bunuh diri, kombinasi antara
pengobatan medis dan psikoterapi hampir selalu direkomendasikan. Dalam kasus yang
parah, rawat inap mungkin diperlukan untuk memastikan keselamatan pasien.
Berdasarkan hasil penelitian empiris terdapat berbagai penanganan psikososial
yang efektif untuk gangguan depresi mayor, di antaranya:
a. Cognitive Behavioral Therapy (CBT)
b. Mindfulness, Acceptance-Based Cognitive-Behavioral Therapy (ACT, MBCT)
c. Cognitive Behavioral Analysis System of Psychotherapy (CBASP)
d. Interpersonal Therapy (IPT)
e. Behavioral Activation (BA)
f. Behavioral Couples Therapy (BCT)
g. Psychodynamic Therapy
Model penanganan bertahap (stepped-care) adalah kerangka kerja yang mengatur
penyediaan layanan dan bantuan untuk pasien, pengasuh, dan psikolog klinis dalam
mengidentifikasi dan mengakses intervensi yang paling efektif (lihat tabel 3.14.2).
Dalam penanganan bertahap, intervensi yang paling efektif akan ditawarkan
pertama kali pada pasien, namun pasien bisa saja tidak memperlihatkan kemajuan atau
menolak intervensi tersebut. Jika hal tersebut terjadi maka pasien akan ditawarkan
intervensi yang sesuai untuk langkah intervensi selanjutnya. Penjelasan lebih rinci
model penanganan bertahap dapat dilihat pada tabel 3.14.3.

218
Gangguan Depresi

Tabel 3.14.2
Model Penanganan Bertahap
Fokus Intervensi Kebutuhan Intervensi
LANGKAH 1: Pengenalan, evaluasi, Perlu dilakukan asesmen, dukungan
dan penanganan pertama sosial, psikoedukasi, evaluasi secara
aktif, dan pemberian rujukan untuk
pemeriksaan dan penanganan lebih
lanjut
LANGKAH 2: Mengenali ambang Perlu intervensi psikososial dengan
batas gejala depresi yang persisten atau intensitas rendah, penanganan
depresi ringan sampai sedang psikologis, medis, serta rujukan untuk
pemeriksaan dan penanganan lebih
lanjut
LANGKAH 3: Seluruh gejala Perlu penanganan medis, intervensi
mendekati ambang batas depresi dan psikologis yang sangat intensif,
berlangsung secara persisten, atau penanganan secara kolaboratif dan
ringan sampai sedang yang nonreaktif rujukan untuk pemeriksaan dan
terhadap intervensi yang telah penanganan lebih lanjut
dilakukan; tingkat depresi sedang dan
berat.
LANGKAH 4: Depresi berat dan Perlu penanganan medis, intervensi
kompleks; terdapat risiko bunuh diri; psikologis yang sangat intensif, terapi
pengabaian-diri yang parah seperti elektrokonvulsif (ECT), layanan gawat
perawatan diri dasar (semisal mandi, darurat, penanganan terintegrasi
makan, mengganti pakaian, dan multiprofesional dan rawat inap
perawatan kebersihan diri dasar, dll)

219
Gangguan Depresi

Tabel 3.14.3
Penjelasan Model Intervensi Bertahap
Tahapan Langkah intervensi

Langkah 1: 4. Mengidentifikasi dan mengenali kasus


Dalam mengidentifikasi pasien dengan dugaan
Pengenalan, gangguan depresi (terlebih pada pasien yang memiliki riwayat
evaluasi, dan depresi atau masalah kesehatan fisik dengan penurunan fungsi
penanganan yang terkait) dapat mempertimbangkan dua pertanyaan yang
pertama diajukan kepada pasien berikut ini:
a. Selama satu bulan terakhir, apakah Anda sering merasa
sedih, tertekan, atau putus asa?
b. Selama satu bulan terakhir, apakah Anda sering merasa
kurang memiliki ketertarikan atau kepuasan dalam
melakukan sesuatu yang biasa dilakukan?
Apabila jawaban pasien mengindikasikan kemungkinan
mengalami gangguan depresi dan praktisi memiliki
kompetensi dalam melakukan evaluasi kesehatan mental
maka praktisi dapat melakukan tahap selanjutnya, yaitu
mencermati kembali keadaan mental pasien serta
permasalahan yang berkaitan dengan fungsi, interpersonal dan
sosial pasien. Sebaliknya, apabila praktisi belum memiliki
kompetensi maka harus merujuk pasien ke profesional lain
yang sesuai.
5. Evaluasi risiko dan pengawasan
Jika pasien depresi memperlihatkan risiko tinggi yang
bersifat impulsif pada dirinya atau orang lain, segera rujuk ke
layanan spesialis kesehatan jiwa.
Berikan pemahaman dan kesadaran pada pasien mengenai
potensi meningkatnya kekalutan, kecemasan, dan pikiran
bunuh diri dalam tahap awal penanganan; telusuri gejala
tersebut secara aktif, serta:
a. Pastikan bahwa pasien mengetahui cara mendapat
pertolongan dengan cepat;
b. Tinjau penanganan pasien jika mereka mulai mengalami
kekalutan yang tampak dan/atau berkepanjangan.
Sarankan kepada pasien dengan depresi dan keluarga
220
Gangguan Depresi

Tahapan Langkah intervensi


atau pengasuh untuk mewaspadai perubahan suasana
perasaan, kemurungan dan keputusasaan, pikiran bunuh diri,
serta untuk segera menghubungi psikolog klinis mereka jika
khawatir. Langkah ini sangat penting dalam periode berisiko
tinggi, seperti pada saat memulai atau mengubah penanganan
dan kadang ketika stres pasien sedang meningkat.

Langkah 2: 1. Tindakan secara umum


Mengenali Ketika depresi diikuti oleh gejala kecemasan maka
ambang batas penanganan depresi diharuskan menjadi prioritas pertama.
gejala depresi Jika pasien tersebut memiliki gangguan kecemasan dan
yang persisten depresi komorbid atau gejala depresi, pertimbangkan
atau depresi menangani gangguan kecemasan terlebih dahulu karena jika
ringan sampai gangguan kecemasan ditangani dengan efektif, biasanya akan
sedang mengurangi depresi atau gejala depresi.
2. Pola tidur sehat
Berikan saran kepada pasien dengan depresi mengenai
pola tidur sehat jika dibutuhkan, termasuk:
a. Menetapkan waktu tidur dan bangun yang teratur;
b. Menghindari makan berlebihan, merokok atau minum-
minuman keras sebelum tidur;
c. Menciptakan sebuah lingkungan yang memadai untuk
tidur;
d. Melakukan olahraga fisik secara teratur.
3. Pengawasan secara aktif
Untuk pasien yang dinilai psikolog klinis dapat sembuh
tanpa intervensi secara formal, atau pasien dengan depresi
ringan yang tidak menginginkan intervensi, maupun orang
dengan gejala batas ambang depresi yang meminta
dilakukannya intervensi maka:
a. Bahaslah permasalahan yang ada dan kekhawatiran yang
mungkin dimiliki pasien mengenai permasalahan
tersebut;
b. Sediakan informasi mengenai sifat dan arah dari depresi;
c. Sepakati sebuah evaluasi lebih lanjut, biasanya dalam

221
Gangguan Depresi

Tahapan Langkah intervensi


jangka waktu 2 minggu;
d. Lakukan kontak jika pasien tidak menghadiri janji temu
setelahnya.
4. Intervensi psikososial dengan intensitas rendah
Untuk pasien dengan depresi yang persisten atau depresi
ringan sampai sedang, pertimbangkan menawarkan satu atau
lebih intervensi berikut yang dilakukan sesuai dengan
preferensi pasien:
a. Program pertolongan diri (self-help) berbasis terapi
kognitif perilaku. Penanganan ini dilakukan dengan cara
pasien mengerjakan tugas melalui buku panduan
pertolongan diri. Psikolog klinis akan memberikan
dukungan dan memeriksa kemajuan baik secara tatap
muka atau melalui daring. Durasi perawatan umumnya
berada dalam jangka 6 sampai 8 sesi dengan kurun waktu
9 sampai 12 minggu.
b. Terapi kognitif perilaku terkomputerisasi (Computerized
Cognitive Behavioral Therapy/CCBT). Dalam
penanganan berbasis terapi kognitif perilaku ini, pasien
mengerjakan melalui program komputer yang membantu
mereka memahami depresi dan mengembangkan
keterampilan untuk menghadapi masalah, termasuk
menantang pikiran negatif dan memantau perilaku
mereka sendiri. Psikolog klinis harus memberikan
dukungan, menunjukkan kepada pasien bagaimana cara
menggunakan program dan meninjau kemajuan mereka.
Durasi penanganan umumnya berada dalam kurun waktu
antara 9 sampai 12 minggu.
c. Program aktivitas fisik. Penanganan dilakukan melalui
kelompok latihan, umumnya terdiri dari 3 sesi
(berlangsung 45 menit hingga satu jam) selama 10 sampai
14 minggu.
5. Memberikan intervensi psikososial dengan intensitas rendah
Penanganan melalui program pertolongan diri
berdasarkan prinsip terapi kognitif oerilaku (termasuk teknik

222
Gangguan Depresi

Tahapan Langkah intervensi


aktivasi perilaku dan penyelesaian masalah) untuk pasien
dengan depresi yang persisten atau depresi ringan sampai
sedang sebaiknya:
a. Menyediakan materi tertulis yang disesuaikan dengan
kemampuan membaca pasien (atau media alternatif lain
yang mudah diakses);
b. Didukung oleh praktisi terlatih yang akan memfasilitasi
program pertolongan diri, serta meninjau kemajuan dan
hasilnya;
c. Memuat enam sampai delapan sesi (tatap muka dan lewat
daring) yang biasanya berlangsung selama 9 sampai 12
minggu, termasuk observasi lebih lanjut.
6. Intervensi terapi kognitif perilaku kelompok
Intervensi terapi tersebut pada pasien dengan depresi ringan
sampai sedang sebaiknya :
a. Didasari oleh model terstruktur seperti coping with
depression model;
b. Dipraktikkan oleh dua psikolog klinis terlatih dan
kompeten;
c. Terdiri dari 10 sampai 12 pertemuan dengan delapan
sampai sepuluh peserta;
d. Biasanya memakan waktu 12 sampai 16 minggu,
termasuk observasi lebih lanjut.
7. Penanganan Medis
Rujukan untuk penggunaan obat antidepresan dapat
dipertimbangkan pada pasien dengan:
a. Riwayat depresi sedang atau berat; atau
b. Kemunculan awal dari batas ambang gejala depresi telah
ada untuk kurun waktu yang lama (biasanya sekurang-
kurangnya 2 tahun); atau
c. Gejala batas ambang depresi atau depresi ringan yang
tetap persisten setelah dilakukannya intervensi lain.

Langkah 3: 1. Pilihan penanganan


Gangguan Untuk pasien dengan gejala batas ambang depresi yang

223
Gangguan Depresi

Tahapan Langkah intervensi


depresi persisten atau depresi yang ringan sampai sedang yang belum
dengan memperlihatkan kemajuan dari sebuah intervensi psikososial
ambang batas berintensitas rendah maka diskusikan bersama pasien
gejala depresi mengenai manfaat yang diberikan atas berbagai intervensi,
yang persisten dan anjurkan:
atau depresi a. Pengobatan antidepresan (biasanya adalah Selective
ringan sampai Serotonin Reuptake Inhibitor [SSRI]); atau
sedang yang b. Intervensi psikologis berintensitas tinggi, biasanya
nonreaktif adalah salah satu dari opsi berikut:
terhadap i. Cognitive Behavioral Therapy (CBT)
intervensi ii. Interpersonal Therapy (IPT)
awal; dengan iii. Behavioral Activation (BA)
tingkat depresi iv. Behavioral Couples Therapy (BCT)
sedang dan Untuk pasien dengan depresi sedang atau berat, anjurkan
berat kombinasi pengobatan antidepresan dan intervensi psikologis
berintensitas tinggi (CBT atau IPT). Pemilihan intervensi
harus dipengaruhi oleh:
a. Durasi dari episode depresi dan arah perkembangan dari
gejala;
b. Arah perkembangan dari depresi sebelumnya dan respons
terhadap perawatan;
c. Kemungkinan komitmen pada perawatan dan adanya
potensi efek yang berlawanan;
d. Preferensi dan prioritas perawatan yang dimiliki oleh
pasien.
Untuk pasien dengan depresi yang menolak antidepresan,
CBT, BA, IPT, BCT maka pertimbangkan:
a. Konseling untuk pasien dengan gejala depresi batas
ambang yang persisten atau depresi ringan sampai sedang;
b. Psikoterapi psikodinamika jangka pendek untuk pasien
dengan depresi ringan sampai sedang.

2. Memberikan intervensi psikologis dengan intensitas tinggi.


Untuk semua intervensi psikologis berintensitas tinggi,
durasi dari perawatan umumnya harus berada dalam batas
yang dianjurkan dalam pedoman ini karena tujuan dari
224
Gangguan Depresi

Tahapan Langkah intervensi


perawatan adalah untuk mendapatkan kemajuan atau remisi
yang signifikan. Durasi dari perawatan akan:
a. Dikurangi jika remisi telah dicapai;
b. Ditambah jika terdapat kemajuan dan terdapat
persetujuan di antara psikolog klinis dan pasien dengan
depresi bahwa sesi selanjutnya akan bermanfaat
(contohnya, jika terdapat gangguan kepribadian
komorbid atau faktor psikososial signifikan yang
memiliki dampak pada kemampuan pasien untuk
mendapatkan kemajuan dari perawatan).
Untuk semua pasien dengan depresi yang menjalani CBT
secara individu, durasi dari perawatan umumnya berada dalam
jangka 16 sampai 20 sesi yang dilakukan dalam kurun waktu
3 sampai 4 bulan. Selain itu, pertimbangkan juga untuk
menyediakan:
a. Dua sesi per minggu untuk 2 sampai 3 minggu pertama
perawatan bagi pasien dengan depresi sedang atau berat;
b. Sesi setelahnya biasanya terdiri dari 3 sampai 4 sesi dalam
3 sampai 6 bulan ke depan untuk semua pasien depresi.
Untuk semua pasien dengan depresi yang menjalankan
IPT, durasi perawatan umumnya berada dalam jangka 16
sampai 20 sesi dengan kurun waktu 3 sampai 4 bulan. Untuk
pasien dengan depresi berat, pertimbangkan menyediakan dua
sesi per minggu untuk 2 sampai 3 minggu pertama perawatan.
Untuk semua pasien dengan depresi yang menjalankan
aktivasi perilaku, durasi perawatan umumnya berada dalam
jangka 16 sampai 20 sesi dengan kurun waktu 3 sampai 4
bulan. Selain itu, pertimbangkan juga menyediakan:
a. Dua (2) sesi per minggu untuk 3 sampai 4 minggu
pertama perawatan untuk pasien dengan depresi sedang
atau berat;
b. Sesi setelahnya biasanya terdiri dari tiga sampai empat
sesi dalam 3 sampai 6 bulan ke depan untuk semua pasien
dengan depresi.
c. Terapi perilaku pasangan untuk depresi harus berbasis
pada prinsip perilaku, dan sebuah sesi terapi yang

225
Gangguan Depresi

Tahapan Langkah intervensi


memadai harus meliputi 15 sampai 20 sesi dalam kurun
waktu 5 sampai 6 bulan.
3. Memberikan konseling
Untuk semua pasien dengan gejala batas ambang depresi
yang persisten atau depresi ringan sampai sedang yang
menjalankan konseling, durasi perawatan umumnya berada
dalam jangka enam sampai sepuluh sesi dengan kurun waktu
8 sampai 12 minggu.
4. Memberikan psikoterapi psikodinamika jangka pendek
Untuk semua pasien dengan depresi ringan sampai
sedang yang menjalani psikoterapi psikodinamika jangka
pendek, durasi perawatan umumnya berada dalam jangka 16
sampai 20 sesi dengan kurun waktu 4 sampai 6 bulan.
5. Pilihan penanganan berdasarkan subtipe depresi dan
karakteristik personal
Hanya terdapat sedikit bukti yang dapat digunakan untuk
mengarahkan penanganan jika dikaitkan dengan subtipe
depresi dan karakteristik personal. Masalah pokoknya adalah
dampak dari gangguan fisik lainnya terhadap perawatan
depresi.
Tidak disarankan untuk mengubah strategi penanganan
depresi yang telah dijabarkan dalam pedoman ini untuk
disesuaikan dengan subtipe depresi (contohnya depresi
atipikal) maupun karakteristik personal (contohnya jenis
kelamin atau etnik) karena tidak ada bukti yang mendukung
dilakukannya langkah tersebut.

6. Peningkatan penanganan untuk depresi


Untuk pasien dengan depresi berat dan mereka yang
mengalami depresi sedang serta masalah kompleks,
pertimbangkan:
a. Memberikan rujukan ke layanan spesialis kesehatan jiwa
untuk dilakukannya program penanganan oleh
multiprofesional yang terkoordinasi;
b. Menyediakan penanganan secara kolaboratif jika depresi
226
Gangguan Depresi

Tahapan Langkah intervensi


yang diderita berkaitan dengan masalah kesehatan fisik
kronis dengan penurunan fungsi yang terkait.

7. Menyusun penanganan selanjutnya setelah terjadi respon yang


nonreaktif terhadap penanganan pertama
Terdapat beberapa pasien dengan depresi yang tidak
memperlihatkan respon yang baik pada penanganan pertama.
Bagian ini menjelaskan strategi yang dapat digunakan jika hal
ini terjadi.
a. Perawatan dengan obat, mengganti antidepresan,
menggabung dan menambah obat: penambahan obat
adalah saat di mana sebuah antidepresan digunakan
bersama dengan obat bukan antidepresan, sementara
penggabungan obat adalah ketika dua antidepresan
digunakan secara bersamaan.
b. Penggabungan perawatan psikologis dan perawatan
dengan obat: untuk pasien dengan depresi yang belum
menunjukkan respons terhadap intervensi farmakologi
atau psikologis, pertimbangkan menggabung pengobatan
antidepresan dengan terapi kognitif perilaku (CBT).
c. Rujukan: untuk pasien dengan depresi yang tidak bereaksi
pada berbagai strategi penambahan dan penggabungan
perawatan, pertimbangkan memberi rujukan ke praktisi
spesialis dalam menangani depresi, atau kepada sebuah
layanan spesialis.
8. Penghentian atau pengurangan antidepresan
Informasikan kepada pasien yang menggunakan obat
antidepresan bahwa mereka harus berdiskusi terlebih dahulu
dengan praktisi mereka sebelum menghentikan pengobatan.
Informasikan kepada pasien bahwa jika mereka
menghentikan penggunaan obat antidepresan secara tiba-tiba,
melewatkan dosis yang harus digunakan, atau tidak
menggunakan dosis secara penuh, mereka akan memiliki
gejala putus zat seperti:
a. Kegelisahan;
b. Kesulitan tidur;
227
Gangguan Depresi

Tahapan Langkah intervensi


c. Ketidakseimbangan;
d. Berkeringat;
e. Gejala abdominal;
f. Perubahan sensasi (contohnya sensasi sengatan listrik di
kepala);
g. Perubahan perasaan (contohnya sifat mudah kesal,
kecemasan atau kebingungan).

Langkah 4: Rujukan kepada layanan spesialis kesehatan jiwa umumnya


Depresi harus diberikan kepada pasien dengan depresi yang memiliki risiko
Kompleks dan signifikan untuk melukai diri, memiliki gejala psikotik,
berat membutuhkan penanganan multi-profesional yang kompleks, atau
membutuhkan seorang ahli untuk pengobatan dan penanganannya.
Evaluasi pasien depresi yang dirujuk ke layanan spesialis
kesehatan jiwa sebaiknya berisi:
a. Profil gejala pasien, risiko bunuh diri, dan riwayat
perawatan sebelumnya;
b. Penyebab stres psikososial, faktor perilaku, dan
kesulitan signifikan dalam relasi sosial, terutama saat
depresi tersebut menjadi kronis atau kambuh;
c. Komorbiditas yang terkait, termasuk penyalahgunaan
alkohol dan zat, serta gangguan kepribadian.
Setelah dilakukannya evaluasi secara seksama terhadap
perawatan depresi sebelumnya dalam layanan spesialis kesehatan
jiwa, pertimbangkan mengenalkan kembali perawatan sebelumnya
yang telah diterapkan atau dijalankan dengan kurang maksimal.
Pengobatan dalam layanan kesehatan jiwa harus
dilaksanakan dalam pengawasan seorang dokter jiwa sebagai
konsultan. Psikolog klinis hendaknya juga mempertimbangkan
pasien untuk melakukan rawat inap jika memiliki risiko signifikan
untuk melakukan bunuh diri, melukai diri, atau menelantarkan diri.

Prognosis

Prognosis keseluruhan untuk gangguan depresi mayor sangat baik dan berkorelasi
dengan tingkat keparahan depresi, adanya hubungan interpersonal yang mendukung,
228
Gangguan Depresi

sumber daya yang dimiliki klien, dan adanya gangguan yang terjadi bersamaan di antara
fitur lainnya (Craighead, Sheets, Brosse, & Ilardi, 2007).

Catatan Lain

Gangguan depresi mayor memiliki tingkat kekambuhan yang tinggi sehingga


pencegahan kekambuhan menjadi komponen penting dalam penanganan gangguan ini.
Pasien yang dinyatakan berada dalam risiko kambuh yang tinggi atau memiliki gejala
yang masih tersisa sebaiknya dianjurkan untuk menggunakan salah satu intervensi
psikologis berikut ini:
1. Terapi kognitif perilaku individual
Durasi perawatan umumnya sebanyak 16-20 sesi selama 3 sampai 4 bulan;
2. Mindfulness-Based Cognitive Therapy (MBCT)
Terapi kognitif berbasis mindfulness dianjurkan untuk pasien yang pada saat
ini sehat, tetapi sebelumnya telah mengalami 3 atau lebih episode depresi.
Pada umumnya, terapi ini diterapkan dalam kelompok yang terdiri dari 8
hingga 15 peserta dan meliputi 2 jam pertemuan dalam 8 minggu dan 4 sesi
susulan selama 12 bulan setelah perawatan terakhir.

229
Gangguan Depresi

Referensi

American Psychiatric Association. (2013). Diagnostic and Statistical Manual of Mental


Disorders (DSM-5) (edisi ke-5). Washington, D.C.: APA.
https://doi.org/10.1176/appi.books.9780890425596.744053
Craighead, W. E., Sheets, E. S., Brosse, A. L., & Ilardi, S. S. (2007). Psychosocial
Treatments for Major Depressive Disorder. Dalam P. E. Nathan & J. M. Gorman
(Eds.), A Guide to Treatments that Work (pp. 289–307). Oxford University Press.
Maslim, R. (2013). Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa: Rujukan Ringkas dari
PPDGJ-III dan DSM-5. Jakarta: Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK-Unika
Atmajaya.
National Institute for Health and Care Excellence. (2009). Depression in Adults:
Recognition and Management (Clinical Guidelines [CG90]). Diakses pada 5
Desember 2020 dari https://www.nice.org.uk/guidance/cg90
Nevid, J. S., Rathus, S. A., & Greene, B. (2018). Abnormal Psychology in A Changing
World (edisi ke-9). USA: Pearson.
Reichenberg, L. W., & Seligman, L. (2016). Selecting Effective Treatments: A
Comprehensive, Systematic Guide to Treating Mental Disorders (edisi ke-5).
USA: John Wiley & Sons.
World Health Organization. (2017). Depression and Other Common Mental Disorders:
Global Health Estimates. Diakses pada 10 Desember 2020 dari
https://apps.who.int/iris/bitstream/handle/10665/254610/WHO-MSD-MER-
2017.2-eng.pdf

230
15. Gangguan Fobia Spesifik

Batasan dan Uraian Umum

Sebagaimana tercantum dalam Diagnostic and Statistical Manual of Mental


Disorders edisi ke-5 (DSM-5) (American Psychiatric Association, 2013), fobia spesifik
merupakan sebuah gangguan mental yang ditandai oleh adanya ketakutan atau
kecemasan berlebihan atas situasi atau objek tertentu yang dapat disebut sebagai
stimulus fobik. Kategori atas situasi atau objek yang ditakuti menjadi spesifikasi atas
gangguan ini.

Manifestasi Klinis

1. Ketakutan atau kecemasan berlebihan atas situasi atau objek tertentu yang dapat
disebut sebagai stimulus fobik.
2. Respon terhadap situasi atau objek yang ditakuti berbeda dari respon orang pada
populasi normal, bersifat kuat atau berat, serta bersifat tidak rasional dan tidak
sebanding dengan ancaman atau bahaya dari situasi atau objek yang ditakuti.
Respon tersebut muncul secara langsung dan cepat ketika pasien berhadapan
dengan stimulus fobik, baik ketika ia sudah maupun belum mengantisipasi
munculnya stimulus fobik tersebut.
3. Respon takut dan cemas muncul pada hampir setiap saat pasien bertemu dengan
stimulus fobik, tidak hanya pada saat-saat tertentu saja. Meskipun demikian,
tingkat ketakutan atau kecemasan yang diekspresikan dapat bervariasi tergantung
dari konteks situasi misalnya ada tidaknya orang lain saat kejadian, durasi pasien
berada pada situasi atau berhadapan dengan objek yang ditakuti, serta adanya hal
lain yang menimbulkan rasa terancam seperti misalnya terjadi turbulensi di
pesawat bagi pasien yang takut terbang. Ekspresi ketakutan dan kecemasan juga
berbeda antara pada anak-anak dengan orang dewasa. Ketakutan dan kecemasan
yang dialami dapat memunculkan gejala penuh atau sebagian gejala serangan
panik
4. Pasien yang mengalami fobia spesifik akan secara aktif menghindari situasi fobik
untuk mencegah atau meminimalkan kontak dengan stimulus fobik (contoh:
memilih melewati jalur bawah tanah daripada melewati jembatan pada pasien
yang takut dengan ketinggian; menghindari memasuki ruangan yang gelap dan
kotor untuk mengindari laba-laba; menghindari pergi ke dokter atau rumah sakit
karena takut melihat darah). Perilaku menghindar ini umumnya dilakukan selama
bertahun tahun sehingga berpengaruh dan mengubah pola kehidupan keseharian
231
Gangguan Fobia Spesifik

mereka, membatasai lingkup kerja dan aktivitas, menurunkan self-esteem (harga


diri), dan dapat menyebabkan kendala pada hubungan dengan orang lain.
5. Sebagian fobia berkembang sejak masa anak-anak, namun sebagian besar muncul
tak terduga di mana umumnya selama masa remaja atau dewasa awal.
Kemunculannya biasanya tiba-tiba dan dapat terjadi pada situasi yang sebelumnya
tidak menyebabkan ketidaknyamanan atau kecemasan.

Asesmen dan Diagnosis

Identifikasi
Identifikasi dapat dilakukan dengan melihat adanya keluhan fisik maupun
psikologis sebagai berikut:
1. Keluhan fisik
a. Jantung berdetak kencang
b. Kesulitan bernafas
c. Gemetaran
d. Berkeringat
e. Mual
f. Mulut kering
g. Nyeri dada
2. Keluhan emosional/psikologis
a. Merasakan ketakutan atau kecemasan yang sangat mengganggu
b. Mengetahui bahwa ketakutan atau kecemasan yang dirasakan tidak masuk
akal, namun tidak dapat mengendalikan perasaan tersebut
c. Takut kehilangan kendali
d. Merasa sangat ingin menghindari objek atau situasi yang ditakuti
3. Keluhan fisik maupun emosional muncul berkaitan dengan suatu objek atau situasi
spesifik
Asesmen
Metode asesmen yang bisa dilakukan berupa skrining, wawancara klinis, dan tes
objektif (Anthoni, 2002).
1. Skrining
a. Menanyakan pada pasien apakah ia merasa takut atau tidak nyaman ketika
dihadapkan pada suatu objek atau situasi seperti laba-laba, serangga, ular,
anjing, kucing, burung, badai, air, ketinggian,melihat darah atau operasi,

232
Gangguan Fobia Spesifik

diambil darahnya atau disuntik, menyetir, terbang, ruangan tertutup,


perawatan gigi, atau objek dan situasi lainnya
b. Pertanyaan di atas dilanjutkan dengan pertanyaan tambahan di antaranya
seberapa kuat ketakutan yang dirasakan, seberapa sering pasien menghindari
situasi yang ditakuti, serta derajat ketertekanan atau gangguan pada fungsi
keseharian seperti apa yang ditimbulkan
2. Wawancara Klinis
Variabel yang perlu diketahui pada wawancara klinis meliputi:
a. Penyebab dan perjalanan gangguan
b. Reaksi fisik yang dirasakan
c. Adanya riwayat pingsan pada situasi yang ditakuti (terutama untuk pasien
yang takut dengan darah dan suntikan)
d. Tipe pikiran irasional (keyakinan bahwa suatu hal menakutkan, prediksi
yang berlebihan, bias kognitif)
e. Sejauh mana ketakutan pasien terfokus pada gejala fisik yang muncul
(contoh pasien yang takut dengan ruangan tertutup seringkali ketakutan
kesulitan bernafas)
f. Pola penghindaran yang biasa dilakukan (mengalihkan perhatian, mencari
jalan atau situasi yang aman)
g. Variabel lain yang mempengaruhi ketakutan pasien (misalnya untuk pasien
dengan fobia menyetir maka keadaan cuaca, tingkat kemacetan, suasana
gelap atau terang dapat berpengaruh)
h. Riwayat penanganan yang pernah dilakukan
i. Faktor keluarga
j. Adakah kondisi kesehatan yang berkaitan
3. Skala (self-report)
Beberapa jenis skala yang dapat digunakan di antaranya:
a. Fear of Spider Questionnaire
b. Snake Anxiety Questionnaire
c. Dog Phobia Questionnaire
d. The Achronophobia Questionnaire
e. The Blood Injection Symptom Scale
f. The Claustrophobia Questionnaire
g. The Fear of Flying Scale
h. The Dental Anxiety Inventory
Penggunaan dari skala-skala tersebut masih memerlukan proses adaptasi serta
uji reliabilitas dan validitas untuk bisa digunakan di Indonesia.

233
Gangguan Fobia Spesifik

4. Behavioral Approach Test (BAT)


BAT menggunakan observasi untuk melihat respon langsung pasien saat
berhadapan dengan stimulus fobik. Terdapat 2 (dua) tipe BAT:
a. Progressive BAT
Pada BAT tipe ini, psikolog meminta pasien untuk mendekati stimulus
fobik secara bertahap dan mengukur respon pasien tahap demi tahap. Sebagai
contoh, BAT untuk pasien dengan fobia laba-laba dapat dilakukan dengan
meminta pasien untuk melihat laba-laba dari jarak tertentu terlebih dahulu, lalu
berdiri sedekat mungkin dengan wadah yang berisi laba-laba, memegang
wadah yang berisi laba-laba, membuka wadah berisi laba-laba, menyenuh
laba-laba dengan pensil, dan yang terakhir memegang laba-laba dengan tangan
Hal yang perlu dicatat di antaranya jumlah tahapan yang dilakukan,
tingkat ketakutan pada tiap tahap (dapat menggunakan skala 0 – 100), pikiran
irasional atau kecemasan yang muncul, perilaku menghindar yang muncul,
serta detak jantung.
b. Selective BAT
Pada BAT tipe ini, psikolog memilih satu atau lebih situasi dari hierarki
ketakutan yang dibuat pasien dan memintanya untuk menghadapi situasi
tersebut. Misalnya pada pasien yang fobia ketinggian dapat diminta untuk
menaiki 6 anak tangga atau berdiri di dekat tepian gedung dua lantai menatap
ke bawah. Hal-hal yang perlu dicatat sama dengan pada progressive BAT.

Diagnosis
Kriteria gangguan fobia spesifik berdasarkan DSM-5 dapat dilihat pada tabel
3.15.1.

234
Gangguan Fobia Spesifik

Tabel 3.15.1
Kriteria Diagnosis Gangguan Fobia Spesifik Berdasarkan DSM-5

Kriteria Diagnosis Ada Tidak


A Ditandai ketakutan atau kecemasan terhadap objek
atau situasi tertentu (di antaranya: terbang, ketinggian,
binatang, disuntik, melihat darah)
Catatan: pada anak-anak, ketakutan atau kecemasan
dapat diekspresikan dengan cara menangis, tantrum,
mematung, atau perilaku melekat
B Objek atau situasi fobik hampir selalu memicu
ketakutan atau kecemasan secara langsung
C Objek atau situasi fobik secara aktif dihindari atau
ditahan dengan ketakutan atau kecemasan yang intens
D Ketakutan atau kecemasan melebihi proporsi yang
sesuai dengan bahaya aktual dari objek atau situasi
fobik, maupun konteks sosial budaya
E Ketakutan, kecemasan atau penghindaran bersifat
persisten, biasanya berlangsung selama 6 bulan atau
lebih
F Ketakutan, kecemasan atau penghindaran
menyebabkan tekanan yang signifikan secara klinis
ataupun gangguan pada fungsi sosial, pekerjaan, atau
bidang yang penting lainnya
G Gangguan tersebut tidak lebih baik dijelaskan oleh
gejala gangguan mental lainnya, termasuk ketakutan,
kecemasan dan penghindaran yang terkait dengan
gejala seperti panik atau gejala melumpuhkan lainnya
(seperti dalam agorafobia): objek atau situasi yang
berkaitan dengan obsesi (seperti pada gangguan
obsesif-kompulsif); pengingat peristiwa traumatis
(seperti dalam gangguan stres paska trauma);
pemisahan dari rumah atau figur lekat (seperti pada
gangguan cemas perpisahan); atau situasi sosial
(seperti dalam gangguan kecemasan sosial)
235
Gangguan Fobia Spesifik

Jenis-jenis stimulus fobik dan kode diagnosisnya:


1. 300.29 (F40.218) binatang (misalnya laba-laba, serangga, anjing)
2. 300.29 (F40.228) lingkungan alam (misalnya ketinggian, badai, air)
3. 300.29 (F40.23X) darah, suntikan, dan luka (misalnya takut pada jarum, tindakan
medis yang bersifat invasif)
4. 300.29 (F40.248) situasional (misalnya pesawat terbang, lift, tempat tertutup)
5. 300.29 (F40.298) lainnya (misalnya situasi yang dapat menyebabkan tersedak atau
muntah, pada anak-anak, misalnya suara keras atau kostum karakter tertentu)
Menurut PPDGJ III istilah yang digunakan yaitu fobia khas (terisolasi) (F.40.2)
yang masuk ke dalam golongan gangguan kecemasan fobik. Untuk penegakan diagnosa,
kecemasan pada gangguan ini digambarkan sebagai berikut:
1. Kecemasan dicetuskan oleh adanya situasi atau objek yang jelas (dari luar individu
itu sendiri), yang sebenarnya pada saat kejadian ini tidak membahayakan. Kondisi
lain (dari diri individu itu sendiri) seperti perasaan takut akan adanya penyakit
(nosofobia) dan ketakutan akan perubahan bentuk badan (dismorfofobia) yang tak
realistik dimasukan dalam klasifikasi F45.2 (Gangguan hipokondrik).
2. Sebagai akibatnya, objek atau situasi tersebut dihindari atau dihadapi dengan rasa
terancam.
3. Secara subjekif, fisiologik dan tampilan perilaku, kecemasan fobik tidak berbeda
dari kecemasan yang lain dan dapat dalam bentuk yang ringan sampai yang berat
(serangan panik).
4. Kecemasan fobik seringkali berbarengan dengan depresi. Suatu episode depresif
seringkali memperburuk keadaan kecemasan fobik yang sudah ada sebelumnya.
Beberapa episode depresif dapat disertai kecemasan fobik yang temporer,
sebaliknya afek depresif seringkali menyertai berbagai fobia, khususnya
agorafobia. Pembuatan diagnosis tergantung dari mana yang jelas-jelas timbul
lebih dahulu dan mana yang lebih dominan pada saat pemeriksaan.
5. Semua kriteria di bawah ini harus dipenuhi untuk diagnosis pasti fobia spesifik:
a. Gejala psikologis, perilaku atau otonomik yang timbul harus merupakan
manifestasi primer dari kecemasannya dan bukan sekunder dari gejala-gejala
lain seperti misalnya waham atau pikiran obsesif;
b. Kecemasan harus terbatas pada adanya objek atau situasi fobik tertentu
(situasi yang sangat spesifik); dan
c. Situasi fobik tersebut sebisa mungkin dihindarinya.
6. Pada fobia spesifik ini umumnya tidak ada gejala psikiatrik lain, tidak seperti
halnya agorafobia dan fobia sosial.

236
Gangguan Fobia Spesifik

Diagnosis Banding

1. Agorafobia
2. Gangguan Kecemasan Sosia
3. Gangguan Cemas Perpisahan
4. Gangguan Panik
5. Gangguan Obsesif Kompulsif
6. Trauma dan Gangguan Terkait Stres
7. Gangguan Makan
8. Spektrum Skizofrenia dan gangguan psikotik lainnya

Komorbiditas

1. Depresi
2. Gangguan Kecemasan Lainnya
3. Gangguan Bipolar
4. Gangguan Penyalahgunaan Zat
5. Ganggua Somatik
6. Gangguan Kepribadian (khususnya gangguan kepribadian dependen)

Intervensi Psikologi

1. Cognitive Behavioral Therapy (CBT)


CBT disebut sebagai gold standard untuk penanganan fobia spesifik.
Penggunakan metode CBT menekankan pada peran pikiran tidak fungsional
dalam mempengaruhi emosi dan perilaku. Terapi difokuskan untuk mengubah
pikiran dan keyakinan negatif dengan tujuan untuk mengubah reaksi pasien
terhadap stimulus fobik. Di dalam CBT yang dilakukan dapat meliputi pemberian
psikoedukasi, latihan relaksasi, eksperimen perilaku, serta restrukturisasi kognitif.
Terapi dapat dilakukan dalam 6 (enam) sesi yang terdiri atas tahap perkenalan,
introduksi, menentukan tujuan/taget terapi, implementasi terapi, terminasi, dan
dilanjutkan dengan evaluasi
2. Metode Exposure
Metode ini dapat dilakukan sebagai bagian dari CBT dengan pendekatan in
sensu exposure (menghadirkan stimulus fobik dalam imajinasi), maupun in vivo
exposure (menghadirkan stimulus fobik secara langsung. Seiring dengan
perkembangan teknologi terdapat pula metode virtual reality exposure yang
berdasarkan hasil penelitian (Wechsler, Kumpers, F & Muhlberger, 2019) terbukti
237
Gangguan Fobia Spesifik

juga dapat memberikan efetifitas yang baik untuk penanganan fobia spesifik.
Metode ini menggunakan perangkat komputer yang memungkinkan pasien
merasakan sensasi stimulus fobik secara virtual dengan visualisasi dan audio yang
dimunculkan.
3. Hipnosis
Telaah literatur maupun studi metaanalisis oleh Valentine, Milling, Clark,
dan Moriarty (2019) menyebutkan bahwa hypnosis merupakan salah stau metode
yang efektif dan dapat digunakan untuk mengatasi fobia spesifik, meskipun
beberapa penelitian merekomendasikan dalam penggunaannya tetap disertai
dengan pendekatan psikologis yang lain.

Prognosis

Melalui penanganan yang baik, prognosis fobia spesifik tergolong baik. Respon
terhadap penanganan yang kurang baik biasanya dipengaruhi oleh kepatuhan untuk
menjalani penanganan, motivasi, serta ketidakpahaman mengenai prosedur treatmen
yang dilakukan.

Catatan Lain

Psikolog klinis perlu bekerjasama/merujuk pasien ke psikiater untuk pasien


mendapatkan intervensi farmakologis terutama jika gejala fobia yang dialami sangat
mengganggu fungsi-fungsi penting dalam kehidupan keseharian pasien.

238
Gangguan Fobia Spesifik

Referensi

American Psychiatric Association. (2013). Diagnostic and Statistical Manual of Mental


Disorder Edition (DSM-5). Washington : American Psychiatric Publishing.
Anthoni, M. M. (2002). Spesific Phobia: A Brief Overview and Guide for Assessment.
Practitioner ‘s Guide to Empirically Based Measure of Anxiety. P 127 -132.
Diakses pada tanggal 23 November 2020 dari
https://link.springer.com/chapter/10.1007%2F0-306-47628-2_11
Maslim, R. (2013). Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa Rujukan Ringkas dari
PPDGJ – III dan DSM 5. Jakarta : Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK Unika Atma
Jaya.
Valentine, K.E., Milling, L.S., Clark, L.J & Moriarty, C.L. (2019). The Efficacy of
Hypnosis as a Treatment of Anxiety: A Meta Analysis. International Journal of
Clinical and Experimental Hypnosis Volume 67. Diakses pada tanggal 23
November 2020 dari
https://www.tandfonline.com/doi/abs/10.1080/00207144.2019.1613863
Wechsler, T.F. , Kumpers, F., & Muhlberger, A (2019). Inferiority or Even Superiority
of Virtual Reality Exposure Therapy in Phobias?—A Systematic Review and
Quantitative Meta-Analysis on Randomized Controlled Trials Specifically
Comparing the Efficacy of Virtual Reality Exposure to Gold Standard in
vivo Exposure in Agoraphobia, Specific Phobia, and Social Phobia. Front.
Psychol., 10, https://doi.org/10.3389/fpsyg.2019.01758
World Health Organization. (2011). International Statistical Classification of Disease
and Related Health Problems Tenth Revision Volume 2 second edition. Geneva:
World Health Organization.

239
16. Gangguan Kecemasan Sosial

Batasan dan Uraian Umum

Sebagaimana tercantum di dalam Diagnostic and Statistical Manual of Mental


Disorders edisi ke-5 (DSM-5) (American Psychiatric Association, 2013), gangguan
kecemasan sosial, sebelumnya sering juga disebut dengan fobia sosial, adalah gangguan
kecemasan yang ditandai dengan rasa takut atau kecemasan yang intens terhadap situasi
sosial di mana tindakan atau perilakunya akan dievaluasi secara negatif oleh orang lain.
Kecemasan yang begitu kuat seringkali menyebabkan pasien menghindari
berbagai situasi sosial, seperti: tempat kerja, sekolah atau kegiatan hidup sehari-hari
seperti bertemu orang baru, berkencan, wawancara kerja, menjawab pertanyaan di kelas,
atau harus berbicara dengan kasir di toko, makan/ minum di depan orang lain atau
menggunakan toilet umum karena takut dihina, dikritik dan ditolak.
Beberapa pasien dengan gangguan kecemasan sosial ada juga yang tidak memiliki
kecemasan dalam situasi sosial, namun justru mengalami kecemasan yang berkaitan
dengan performa mereka di depan publik (performance only) seperti berpidato,
bertanding olahraga, menari atau memainkan alat musik di atas panggung. Mereka bisa
mencemaskannya selama berminggu-minggu sebelumnya. Terkadang, mereka
akhirnya menghindar dari tempat atau situasi di mana harus tampil melakukan sesuatu
yang akan mempermalukan mereka, hal ini seringkali mengganggu kehidupan
profesional mereka.

Manifestasi Klinis

1. Perut terasa bergejolak


2. Jantung berdebar cepat
3. Keringat berlebihan
4. Tersipu
5. Mual
6. Mulut dan tenggorakan kering
7. Gemetar
8. Kesulitan menelan
9. Otot berkedut di sekitar wajah dan pipi

240
Gangguan Kecemasan Sosial

Asesmen dan Diagnosis

Identifikasi
Dalam mengidentifikasi pasien dengan dugaan gangguan kecemasan sosial, dapat
mempertimbangkan pertanyaan identifikasi berikut ini:
1. Mengajukan 2 (dua) pertanyaan ini kepada pasien :
a. Apakah anda merasa bahwa anda menghindari situasi atau kegiatan sosial?
b. Apakah anda merasa ketakutan atau malu dalam situasi sosial?
2. Bisa juga mengajukan pertanyaan menggunakan 3-item mini-SPIN

Apabila jawaban yang disampaikan pasien mengindikasikan kemungkinan


mengalami gangguan kecemasan sosial atau mendapatkan nilai 6 atau lebih pada mini-
SPIN maka Psikolog Klinis dapat melakukan asesmen lanjutan untuk memperkuat
pengambilan keputusan dalam menegakkan diagnosis yang tepat kepada pasien.
Asesmen
Beberapa hal yang perlu dilakukan dalam mengevaluasi pasien dengan potensi
gangguan kecemasan sosial, yaitu:
1. Lakukan sebuah asesmen yang mempertimbangkan ketakutan/kecemasan, perilaku
menghindar, distres, dan penurunan fungsi yang dialami pasien.
2. Perhatikan adanya gangguan yang bersifat komorbid, termasuk gangguan
kepribadian menghindar, penyalahgunaan alkohol dan zat, gangguan mood,
gangguan kecemasan lainnya, psikosis, dan autisme.
Beberapa asesmen yang dapat digunakan adalah sebagai berikut:

1. Wawancara klinis
Wawancara terhadap pasien dengan dugaan gangguan kecemasan sosial
dapat dilakukan menggunakan panduan terstruktur atau semi terstruktur dan
probing (menggali) terhadap data yang diperoleh guna mengetahui informasi
secara detail mengenai kecemasan sosial yang sedang dialami pasien serta
masalah dan keadaan terkait, termasuk:
a. Situasi sosial yang ditakuti dan dihindari pasien
b. Ketakutan pasien akan sesuatu yang dapat terjadi dalam situasi sosial
(contohnya: terlihat gelisah, muka yang memerah, berkeringat, gemetaran,
atau tampak membosankan)
c. Gejala kecemasan yang dirasakan
d. Pandangan pasien terhadap dirinya
241
Gangguan Kecemasan Sosial

e. Citra diri pasien


f. Perilaku mencari keselamatan
g. Fokus perhatian pasien dalam situasi sosial
h. Bentuk antisipasi sebelum dan setelah kejadian
i. Situasi pekerjaan, sekolah, finansial, dan sosial
j. Penggunaan pengobatan, alkohol, dan obat rekreasional
k. Ada atau tidaknya gangguan yang bersifat komorbid.
2. Observasi klinis pada pasien dengan dugaan gangguan kecemasan sosial untuk
mengamati beberapa hal berikut ini:
a. Menghindari kontak mata saat berbicara
b. Ekspresi wajah (muka memerah, malu, gelisah, tegang)
c. Gemetar
d. Berkeringat
e. Bicara terbata-bata atau terdiam
f. Perilaku menghindar
3. Tes Psikologi
Asesmen dengan menggunakan alat tes psikologi dilakukan untuk
menegakkan diagnosis gangguan kecemasan sosial secara tepat. Berikut ini
terdapat beberapa skala pengukuran yang diperoleh dari berbagai sumber :
a. Mini-Social Phobia Inventory (Mini-SPIN) (Connor, Kobak, Churchill,
Katzel- nick, & Davidson, 2001) dan klinik khusus kecemasan (Weeks,
Spokas, & Heimberg, 2007). Alat ukur ini merupakan self-report yang terdiri
dari 3 item untuk mengukur gangguan kecemasan sosial.
b. Social Phobia Inventory (SPIN) (Antony, Coons, McCabe, Ashbaugh, &
Swinson, 2006; Connor et al., 2000). Instrumen ini merupakan self-report
yang terdiri dari 17 item untuk mengukur gangguan kecemasan sosial dan
membedakan antara gangguan kecemasan sosial dengan gangguan
kecemasan lainnya).
c. Liebowitz Social Anxiety Scale (LSAS) (Liebowitz, 1987). Tes ini mengukur
secara terpisah perbedaan antara ketakutan dievaluasi dan perilaku
menghindar.
d. ADIS-5. Tes ini mengukur keberadaan berbagai jenis kecemasan, termasuk
kecemasan sosial, DSM-5 (Brown & Barlow, 2014)
e. Social Interaction Anxiety Scale (SAIS) (Mattick & Clarke, 1998). Skala ini
membantu dalam mengukur kecemasan sosial.

242
Gangguan Kecemasan Sosial

f. Social Phobia and Anxiety Inventory (SPAI) Turner, Beidel, Dancu, &
Stanley, 1989). Instrumen ini disarankan untuk pasien yang berusia 15 tahun
ke atas.
g. Beck Depression Inventory-II (BDI-II) (Beck, Steer & Brown, 1996).
Instrumen ini mengukur depresi serta adanya pikiran untuk bunuh diri.
h. Social Anxiety Scale for Children-Revised (SASC-R) (La Greca dan Stone,
1993). Skala ini merupakan self-report yang terdiri dari 22 item untuk
mengukur gangguan kecemasan sosial pada anak-anak.
i. Social Phobia and Anxiety Inventory for Children (SPAI-C) (Beidel, Turner,
& Morris, 1998). Instrumen ini cocok untuk anak-anak berusia 8-14 tahun.

Perlu diperhatikan bahwa skala-skala yang telah disebutkan di atas merupakan


instrumen yang dapat digunakan sebagai acuan psikolog klinis dalam melakukan
asesmen kepada pasien dengan gangguan kecemasan sosial. Namun demikian, masih
perlu dilakukan pengecekan sejauh mana validitas dan reliabilitas instrumen tersebut
ketika diadaptasi ke dalam bahasa Indonesia untuk asesmen penegakan diagnosis
gangguan.

Diagnosis
Kriteria gangguan kecemasan sosial berdasarkan DSM-5 dapat dilihat pada tabel
3.16.1.
Tabel 3.16.1
Kriteria Diagnosis Gangguan Kecemasan Sosial Berdasarkan DSM-5
Kriteria Diagnosis Ada Tidak
A Ketakutan atau kecemasan yang ditandai tentang
satu atau lebih situasi sosial di mana pasien
dihadapkan pada kemungkinan pengawasan oleh
orang lain. Contohnya termasuk interaksi sosial
(misalnya, memiliki percakapan, bertemu orang
yang tidak dikenal), diamati (misalnya, makan atau
minum), dan tampil di depan orang lain (misalnya,
memberikan pidato).
Catatan: Pada pasien anak-anak, kecemasan harus
terjadi di lingkungan teman sebaya dan tidak hanya
selama interaksi dengan orang dewasa.

243
Gangguan Kecemasan Sosial

Kriteria Diagnosis Ada Tidak


B Ketakutan pasien bahwa dia akan bertindak dengan
cara atau menunjukkan gejala kecemasan yang akan
dievaluasi secara negatif (yaitu, akan
mempermalukan atau memalukan: akan
menyebabkan penolakan atau menyinggung orang
lain).
C Situasi sosial hampir selalu menimbulkan ketakutan
atau kecemasan.
Catatan: Pada pasien anak-anak, ketakutan atau
kecemasan dapat diekspresikan dengan menangis,
mengamuk, membeku, melekat, menyusut, atau
gagal berbicara dalam situasi sosial.
D Situasi sosial dihindari atau ditahan dengan
ketakutan atau kecemasan yang intens
E Ketakutan atau kecemasan di luar proporsi ancaman
aktual yang ditimbulkan oleh situasi sosial dan
konteks sosiokultural.
F Ketakutan, kecemasan, atau penghindaran
berlangsung lama, biasanya berlangsung selama 6
bulan atau lebih.
G Ketakutan, kecemasan, atau penghindaran
menyebabkan tekanan atau gangguan yang
signifikan secara klinis dalam bidang fungsi sosial,
pekerjaan, atau penting lainnya.
H Ketakutan, kecemasan, atau penghindaran tidak
disebabkan oleh efek fisiologis suatu zat (misalnya
penyalahgunaan obat, pengobatan) atau kondisi
medis lainnya.
I Ketakutan, kecemasan, atau penghindaran tidak
lebih baik dijelaskan oleh gejala gangguan mental
lain, seperti gangguan panik, gangguan dismorfik
tubuh, atau gangguan spektrum autisme.
J Jika ada kondisi medis lain (misalnya, penyakit
parkinson, obesitas, kerusakan akibat gelandangan
244
Gangguan Kecemasan Sosial

Kriteria Diagnosis Ada Tidak


atau cedera), ketakutan, kecemasan, atau
penghindaran jelas tidak berhubungan atau
berlebihan.

Pada PPDGJ-III, semua kriteria di bawah harus dipenuhi untuk diagnosis pasti:
1. Gejala psikologis, perilaku atau otonomik yang timbul harus merupakan
manifestasi sekunder dari kecemasannya dan bukan sekedar dari gejala-gejala lain
seperti misalnya waham atau pikiran obsesif;
2. Kecemasan harus mendominasi atau terbatas pada situasi sosial tertentu (outside
the family circle); dan
3. Menghindari situasi fobik harus atau sudah merupakan gejala yang menonjol.
Bila terlalu sulit membedakan antara fobia sosial dengan agorafobia, hendaknya
diutamakan diagnosis agorafobia.

Diagnosis Banding

1. Rasa malu normatif


2. Agorafobia
3. Gangguan panik
4. Gangguan kecemasan umum
5. Gangguan kecemasan perpisahan
6. Fobia spesifik
7. Mutisme elektif
8. Gangguan depresi mayor
9. Gangguan dismorfik tubuh
10. Gangguan delusi
11. Gangguan spektrum autisme
12. Gangguan kepribadian
13. Gangguan jiwa lainnya
14. Kondisi medis lainnya
15. Gangguan sikap menentang (membangkang)

Komorbiditas

1. Gangguan kecemasan lainnya


2. Gangguan depresi mayor
245
Gangguan Kecemasan Sosial

3. Gangguan penggunaan zat


4. Gangguan bipolar
5. Gangguan dismorfik tubuh
6. Gangguan kepribadian cemas menghindar
7. Gangguan spektrum autism dengan tingkat keberfungsian tinggi
8. Mutisme elektif

Intervensi Psikologis

Penanganan pada pasien dengan gangguan kecemasan sosial dapat menggunakan


beberapa pendekatan psikoterapi berikut ini:
1. Terapi perilaku kognitif
Pendekatan intervensi yang banyak digunakan dan telah teruji secara ilmiah
untuk menangani gangguan kecemasan sosial adalah terapi perilaku kognitif
(Cognitive Behavior Therapy/CBT). Psikolog klinis dapat menawarkan kepada
pasien pendekatan penanganan gangguan dengan CBT yang telah dikembangkan
khusus untuk menangani gangguan kecemasan sosial, berdasarkan model Clark
and Wells (1995) atau model Rapee and Heimberg (1997):
a. Model Clark dan Wells
CBT individual (model Clark and Wells) untuk gangguan kecemasan
sosial harus terdiri dari 14 sesi dengan durasi 90 menit dalam jangka waktu
sekitar 4 bulan dan berisi:
i. Memberikan edukasi mengenai kecemasan sosial
ii. Latihan melalui pengalaman dalam menerapkan terapi untuk
mendemonstrasikan efek merugikan dari perhatian yang terfokus pada
diri dan perilaku mencari keselamatan
iii. Video umpan balik untuk mengoreksi distorsi citra diri negatif
iv. Latihan secara sistematis untuk perhatian yang terfokus ke luar
(eksternal)
v. Eksperimen perilaku yang dilakukan dalam sesi untuk memeriksa
keyakinan negatif menggunakan tugas pekerjaan rumah yang saling
terkoneksi
vi. Latihan pemisahan atau rescripting untuk menanggulangi memori
bermasalah yang didapat dari trauma sosial
vii. Pemeriksaan dan modifikasi core belief
viii. Modifikasi pada pemrosesan sebelum dan setelah kejadian
ix. Pencegahan kekambuhan.

246
Gangguan Kecemasan Sosial

b. Model Rapee dan Heimberg


CBT individu (model Rapee dan Heimberg) untuk gangguan
kecemasan sosial harus terdiri dari 15 sesi dengan durasi 60 menit dan 1 sesi
dengan durasi 90 menit untuk paparan (exposure) dalam perkiraan jangka
waktu 4 bulan. Model ini memuat:
i. Edukasi mengenai kecemasan sosial
ii. Restrukturisasi kognitif
iii. Eksposur bertahap pada situasi sosial yang ditakuti pasien, dilakukan
dalam sesi terapi dan sebagai pekerjaan rumah
iv. Pemeriksaan dan modifikasi pada core belief
v. Pencegahan kekambuhan
Pada pasien dewasa dengan gejala gangguan kecemasan sosial yang
hanya memperlihatkan sebagian respon terhadap CBT individual setelah
menjalankan sesi terapi yang memadai, dapat mempertimbangkan sebuah
intervensi farmakologis yang dikombinasikan dengan CBT individual.
c. Cognitive Behavioral Therapy (CBT)-based guided self-help (GSH)
Pada pasien dewasa yang menolak CBT dan ingin mempertimbangkan
intervensi psikologis lain dapat ditawarkan pendekatan penanganan CBT-
based GSH. Pertolongan diri terbimbing untuk gangguan kecemasan sosial
hendaknya terdiri dari paling tidak 9 sesi berdasarkan panduan CBT-based
GSH dalam kurun waktu 3-4 bulan
Bantuan untuk menggunakan materi tersebut dapat dilakukan melalui
tatap muka atau telepon dengan jumlah durasi 3 jam sepanjang penanganan.
2. Melatih keterampilan sosial
Pelatihan keterampilan sosial (social skills training) digunakan untuk
mengurangi rasa takut dan meningkatkan sosialisasi dan keterampilan sosial.
Dengan modul perawatan khusus yang berisi:
a. Keterampilan komunikasi
b. Nada suara
c. Postur tubuh
d. Kontak mata
e. Aspek lainnya sesuai dengan kebutuhan pasien
3. Melatih teknik relaksasi
Berbagai teknik relaksasi seperti relaksasi otot progresif (progressive muscle
relaxation), visualisasi (visualization), pernapasan perut (abdominal breathing),
dan teknik relaksasi lainnya juga dapat diajarkan untuk membantu pasien agar
dapat mengelola kecemasannya secara mandiri.
247
Gangguan Kecemasan Sosial

Prognosis

Berbagai modalitas telah ditemukan efektif untuk penanganan gangguan


kecemasan sosial. Terapi perilaku kognitif umumnya layak menjadi penanganan pilihan,
karena memiliki efek jangka panjang. Bagi pasien yang tidak dapat menghadiri sesi atau
tidak mau terlibat dalam terapi, berbagai pilihan yang bersifat biologis juga tersedia.
Meskipun demikian, kebanyakan akan kembali ke tingkat fungsi sebelum penanganan
setelah 2 bulan penanganan dihentikan (Hofmann & Barlow, 2002). Psikoterapi terbaru
untuk penanganan gangguan kecemasan sosial, yaitu termasuk mindfulness-based
cognitive therapies, cognitive bias modification, dan manualized version of
psychodinamic psychotherapy. Penelitian lebih lanjut diharapkan dapat membantu
memperjelas berbagai faktor yang berkontribusi mengarahkan pada perkembangan
gangguan kecemasan sosial serta bentuk pengobatan terbaik dan paling efektif.
Dalam menentukan prognosis pasien dengan gangguan kecemasan sosial, perlu
mempertimbangkan 3 (tiga) aspek berikut ini:
1. Temperamen, yaitu predisposisi karakteristik individu yang mendasarinya
mengalami gangguan kecemasan sosial yaitu perilaku inhibisi dan ketakutan
akan penilaian negatif.
2. Lingkungan, yaitu perlakuan yang salah dan permasalahan dalam pengasuhan
pada masa kanak-kanak dapat dijadikan pertimbangan sebagai faktor
penyebab individu mengalami gangguan kecemasan sosial, walaupun hal ini
tidak dapat dijadikan penyebab utama perkembangan gangguan tersebut.
3. Genetik dan fisiologis, yaitu predisposisi perilaku inhibisi yang dimiliki
individu sangat kuat dipengaruhi secara genetik. Pasien dengan karakteristik
ini cenderung mudah terpengaruh oleh lingkungannya, khususnya orang-orang
terdekatnya (seperti orang tua). Garis pertama dalam keturunan/hubungan
kekerabatan keluarga memiliki peluang dua hingga enam kali lebih besar
untuk mengalami gangguan kecemasan sosial ini yang disebabkan faktor
genetik tidak spesifik (ketakutan akan penialaian yang negatif) dan faktor
genetik spesifik (neurotisme) yang saling berhubungan.

Catatan Lain

Prinsip Perawatan
Intervensi psikologi pada pasien dewasa dengan gangguan kecemasan sosial harus
dilakukan oleh psikolog klinis yang kompeten. Selain itu, intervensi juga perlu
mempertimbangkan penggunaan kerangka kerja yang didasari oleh manual penanganan

248
Gangguan Kecemasan Sosial

yang relevan. Hal tersebut akan dijadikan pedoman untuk struktur dan durasi intervensi.
Seluruh intervensi hendaknya:
1. Menggunakan alat ukur untuk hasil periodik yang bersifat rutin (contohnya SPIN
atau LSAS yang tervalidasi) dan pastikan bahwa pasien terlibat dalam meninjau
efikasi dari penanganan.
2. Jika pasien dengan gangguan kecemasan sosial merasa kesulitan atau distres untuk
menghadiri pertemuan pertama secara tatap muka, pertimbangkan melakukan
kontak pertama melalui telepon atau internet dengan tujuan melakukan asesmen
dan penanganan selanjutnya secara tatap muka.
3. Jika pasien dengan gangguan kecemasan sosial tidak kembali setelah dilakukan
asesmen awal, hubungi pasien (menggunakan metode komunikasi pilihan mereka)
untuk membahas alasan kenapa pasien tidak kembali. Singkirkanlah segala
hambatan yang diidentifikasi oleh pasien untuk dilakukannya asesmen atau
penanganan lebih lanjut.

249
Gangguan Kecemasan Sosial

Referensi

American Psychiatric Association. (2013). Diagnostic and Statistical Manual of Mental


Disorder Edition (DSM-5). Washington: American Psychiatric Publishing.
Antony, M. M., Coons, M. J., McCabe, R. E., Ashbaugh, A., & Swinson, R. P. (2006).
Psychometric properties of the social phobia inventory: Further evaluation.
Behaviour Research and Therapy, 44(8), 1177–1185.
https://doi.org/10.1016/j.brat.2005.08.013
Barlow, D. H. 2014. Clinical Handbook of Psychological Disorders. New York. The
Guilford Publication Press.
Beck, A.T., Steer, R.A., & Brown, G.K. (1996). Manual for the Beck Depression
Inventory-II. San Antonio, TX: Psychological Corporation.
Beidel, D. C., Turner, S. M., & Morris, T. L. (1998). Social Phobia and Anxiety
Inventory for Children. North Tonawanda, NY: MultiHealth Systems.
Brown, T. A., & Barlow, D. H. (2014). Anxiety and related disorders interview schedule
for DSM-5 (ADIS-5L): Client interview schedule.
Clark, D. M., & Wells, A. (1995). A cognitive model of social phobia. Dalam R. G.
Heimberg, M. R. Liebowitz, D. A. Hope, & F. R. Schneier (Eds.), Social phobia:
Diagnosis, assessment, and treatment (p. 69–93). The Guilford Press.
Connor, K. M., Kobak, K. A., Churchill, L. E., Katzelnick, D., & Davidson, J. R. (2001).
Mini-SPIN: A brief screening assessment for generalized social anxiety disorder.
Depression and Anxiety, 14, 137–140. doi: 10.1002/da.1055.
Connor, K. M., Davidson, J. R. T., Churchill, E., Sherwood, A., Foa, E., Weisler, R. W.
(2000) Psychometric properties of the Social Phobia Inventory (SPIN). British
Journal of Psychiatry, 176, 379–386. doi: 10.1192/bjp.176.4.379.
Greene, A. (2015). Social Anxiety : Ultimate Guide to Overcoming Fear, Shyness, and
Social Phobia to Achieve Success in All Social Situations. CreateSpace
Independent Publishing Platform
Hofmann, S. G., & Barlow, D. H. (2002). Social phobia (social anxiety disorder).
Dalam D. H. Barlow (Ed.), Anxiety and Its Disorders: The Nature and Treatment
of Anxiety and Panic, 2nd Edition (pp. 454-476). New York: Guilford Press.
la Greca, A. M., & Stone, W. L. (1993). Social Anxiety Scale for Children—Revised:
Factor structure and concurrent validity. Journal of Clinical Child Psychology,
22(1), 17–27. https://doi.org/10.1207/s15374424jccp2201_2

250
Gangguan Kecemasan Sosial

Liebowitz, M. R. (1987). Social phobia. Modern Problems of Pharmacopsychiatry, 22,


141–173. https://doi.org/10.1159/000414022.
Mattick RP, Clarke JC. (1998). Development and validation of measures of social
phobia scrutiny fear and social interaction anxiety. Behav Res Ther. 36(4), 455-
70. doi: 10.1016/s0005-7967(97)10031-6. PMID: 9670605.
Maslim, R. (2013). Diagnosis Gangguan Jiwa, Rujukan Ringkas PPDFJ-III dan DSM-
5. Jakarta : Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK Unika Atma Jaya.
Nevid, J. S., Spencer A. R. & Greene, B. (2018). Abnormal Psychology in A Changing
World (tenth edition). Pearson
World Health Organization. (2011). International Statistical Classification of Disease
and Related Health Problems Tenth Revision Volume 2 second edition. Geneva :
World Health Organization.
National Institute of Mental Health. (2016). Social Anxiety Disorder: More Than Just
Shyness. Diakses pada tanggal 10 Desember 2020 dari
https://www.nimh.nih.gov/health/publications/social-anxiety-disorder-more-
than-just-shyness/index.shtml
National Institute for Health and Care Excellence. (2013). Social Anxiety Disorder:
recognition, Asessment and Treatment. Diakses pada tanggal 5 Desember 2020
dari https://www.nice.org.uk/guidance/cg159/resources/social-anxiety-disorder-
recognition-assessment-and-treatment-pdf-35109639699397
Rapee, R. M., & Heimberg, R. G. (1997). A Cognitive-Behavioral Model of Anxiety in
Social Phobia. Behaviour Research and Therapy, 35, 741-756. doi:
10.1016/s0005-7967(97)00022-3.
Reichenberg, L. W., & Seligman, L. (2016). Selecting effective treatments : a
comprehensive, systematic guide to treating mental disorders (5th ed.). Wiley.
Turner, S. M., Beidel, D. C., Dancu, C. V., & Stanley, M. A. (1989). An empirically
derived inventory to measure social fears and anxiety: The Social Phobia and
Anxiety Inventory. Psychological Assessment: A Journal of Consulting and
Clinical Psychology, 1(1), 35–40. https://doi.org/10.1037/1040-3590.1.1.35
Weeks, J. W., Spokas, M. E., & Heimberg, R. G. (2007). Psychometric evaluation of
the Mini-Social Phobia Inventory (Mini-SPIN) in a treatment-seeking sample.
Depression and Anxiety, 24(6), 382–391. https://doi.org/10.1002/da.20250

251
17. Gangguan Panik

Batasan dan Uraian Umum

Sebagaimana tercantum dalam Diagnostic and Statistical Manual of Mental


Disorders edisi ke-5 (DSM-5) (American Psychiatric Association, 2013), gangguan
panik merupakan kemunculan berulang (lebih dari satu kali) dari serangan panik yang
tidak terduga. Serangan panik itu sendiri adalah suatu ketakutan yang kuat atau
ketidaknyamanan yang kuat yang muncul melonjak secara tiba-tiba yang mencapai
puncaknya terjadi dalam hitungan menit, dan selama kejadian gangguan tersebut
muncul empat atau lebih gejala fisik dan kognitif. Kemunculan serangan panik pada
gangguan ini bersifat tak terduga karena muncul tanpa tanda atau pemicu yang jelas
(contoh dapat muncul saat pasien dalam kondisi rileks), berbeda dengan serangan panik
yang dapat diduga kemunculannya pada situasi-situasi tertentu.

Manifestasi Klinis

1. Frekuensi dan tingkat keparahan serangan panik sangat bervariasi. Frekuensi


dapat berada pada tingkat sedang (1 kali per minggu) dalam satu bulan, atau dapat
pula lebih sering (setiap hari), namun terdapat jarak minggu atau bulan tanpa
serangan, atau dengan frekuensi yang lebih jarang (dua kali per bulan) selama
beberapa tahun.
2. Dalam hal tingkat keparahan, pasien dengan gangguan panik dapat mengalami
baik full symptom (empat atau lebih simtom) dan limited symptom (kurang dari 4
simtom) dan jumlah serta tipe gejala serangan panik dapat bervariasi dari suatu
serangan panik ke serangan berikutnya.
3. Kekhawatiran mengenai serangan panik atau konsekuensi dari serangan panik
tersebut biasanya memunculkan perhatian khusus pada kondisi fisik, misalnya
kekhawatiran bahwa serangan panik merupakan bentuk dari penyakit yang
mengancam kehidupan (di antaranya penyakit jantung, kejang); muncul rasa malu
atau ketakutan akan penilaian sosial karena gejala panik tampak dihadapan orang
lain; muncul pikiran tentang munculnya permasalahan fungsi mental seperti
misalnya menjadi gila atau kehilangan kendali akan dirinya. Hal ini umumnya
membuat pasien menjadi berusaha untuk meminimalkan serangan panik dengan
menghindari kegiatan yang banyak mengerahkan tenaga, membatasi aktivitas
rutin harian, dan menghindari tipe-tipe situasi agorafobia seperti meninggalkan
rumah, menggunakan transportasi umum, atau berbelanja.

252
Gangguan Panik

4. Serangan panik yang muncul berulang dan tidak terduga. Muncul dalam bentuk
beberapa gejala fisik yang dapat berbeda tingkat keparahannya dari satu serangan
ke serangan yang lain
5. Muncul perubahan perilaku menjadi maladaptif sebagai bentuk upaya pasien
untuk menghindari terjadinya serangan panik.

Asesmen dan Diagnosis

Identifikasi
Dalam mengidentifikasi Gangguan Panik dapat dibantu dengan pohon keputusan
sebagai berikut:
Gambar 1.
Pohon keputusan Ganguan Panik

Asesmen
Belum ada bukti yang cukup mengenai instrumen self-report apa yang memiliki
validitas baik untuk digunakan dalam proses diagnosis gangguan panik sehingga
ketrampilan wawancara sangat diandalkan untuk dapat memunculkan informasi-
informasi penting berikut:
1. Penanganan yang pernah dijalani sebelumnya, termasuk efektivitas serta
kesesuaiannya
253
Gangguan Panik

2. Aneka zat yang dikonsumsi, termasuk nikotin, alkohol, kafein, dan narkoba
3. Gangguan penyerta
4. Fungsi keseharian pasien
5. Jaringan sosial pasien
6. Budaya pasien
7. Stresor yang bersifat kronis dan berkelanjutan
8. Ada tidaknya gejala agorafobia dan gejala menghindar lainnya.

Diagnosis

Kriteria gangguan panik berdasarkan DSM-5 dapat dilihat pada tabel 3.17.1.
Tabel 3.17.1
Kriteria Diagnosis Gangguan Panik Berdasarkan DSM-5
Kriteria Diagnosis Ada Tidak
A Kemunculan berulang serangan panik yang tidak
terduga. Serangan panik itu sendiri adalah suatu
ketakutan yang kuat atau ketidaknyamanan yang kuat
yang muncul melonjak secara tiba-tiba, yang
mencapai puncaknya dalam hitungan menit, dan
selama selama kejadian empat atau lebih dari gejala-
gejala sebagai berikut muncul:
Catatan: Lonjakan tiba-tiba dapat muncul dari suatu
kondisi tenang atau pun suatu kondisi cemas.
1. Palpitasi, jantung bedebar kencang, atau
percepatan detak jantung
2. Gemetaran
3. Sensasi nafas memendek
4. Merasa tersedak
5. Merasa nyeri atau tidak nyaman pada dada
6. Mual atau gangguan perut
7. Merasa pusing, goyah, atau lemas
8. Sensasi panas dingin
9. Parasthesias (sensasi mati rasa atau kesemutan)
10. Derealisasi (merasa tidak nyata) atau
depersonalisasi (merasa terlepas dari diri)
11. Ketakutan kehilangan kendali atau “menjadi
gila”
12. Ketakutan akan kematian
Catatan: gejala yang bersifat spesifik secara budaya
(di antaranya telinga berdengung, nyeri leher,
254
Gangguan Panik

Kriteria Diagnosis Ada Tidak


teriakan atau tangisan yang tidak terkontrol) dapat
ditemukan, namun sebaiknya tidak dihitung sebagai
salah satu dari syarat jumlah empat gejala di atas.
B Paling tidak satu dari serangan panik diikuti oleh satu
atau kedua hal berikut selama 1 bulan (atau lebih):
1. Perhatian atau kekhawatiran yang menetap
mengenai serangan panik atau konsekuensinya
(di antaranya: kehilangan kendali, mengalami
serangan jantung, menjadi gila)
2. Suatu perubahan perilaku maladaptif yang
signifikan terkait dengan serangan panik
(perilaku ditujukan untuk menghindari terjadinya
serangan panik, misalnya menghindari berolah
raga atau pergi ke situasi yang belum dikenal.
C Gangguan yang dialami bukan disebabkan oleh efek
fisiologis suatu zat (contoh suatu penyalahgunaan
obat, atau suatu proses pengobatan), atau kondisi
medis lain (di antaranya hipertiroid, gangguan
jantung, atau paru-paru)
D Gangguan yang dialami tidak lebih baik dijelaskan
sebagai gangguan mental lain (contoh : serangan
panik tidak muncul hanya sebagai respon atas situasi
sosial yang ditakutkan seperti pada gangguan
kecemasan sosial; sebagai respon atas situasi atau
objek spesifik seperti pada fobia spesifik; sebagai
respon atas obsesi seperti pada gangguan obsesif
kompulsif; sebagai respon atas pengingat pada
kejadian traumatis seperti pada PTSD; atau sebagai
respon atas keterpisahan dari figur lekat seperti pada
gangguan cemas perpisahan)

255
Gangguan Panik

Kriteria diagnosis menurut PPDGJ-III adalah sebagai berikut:


1. Gangguan panik baru ditegakkan sebagai diagnosis utama bila tidak ditemukan
adanya gangguan kecemasan fobik (F40._)
2. Untuk diagnosis pasti, harus ditemukan adanya beberapa kali serangan kecemasan
berat (severe attacks of autonomic anxiety) dalam masa kira-kira satu bulan
3. Pada keadaan-keadaan dimana sebenarnya secara objektif tidak ada bahaya
4. Tidak terbatas pada situasi yang telah diketahui atau yang dapat diduga sebelumnya
5. Dengan keadaan yang relative bebas dari gejala-gejala kecemasan pada periode di
atara serangan-serangan panik (meskipun demikian, umumnya dapat terjadi juga
kecemasan antisipatorik, yaitu kecemasan yang terjadi setelah membayangkan
sesuatu yang mengkhawatirkan akan terjadi.

Diagnosis Banding

1. Gangguan cemas karena kondisi medis lainnya


2. Gangguan cemas yang disebabkan karena penggunaan zat/ pengobatan
3. Gangguan mental lain dengan serangan panik sebagai penyerta (di antaranya
gangguan kecemasan lain, gangguan psikotik)

Komorbiditas

1. Gangguan kecemasan lainnya (khususnya agorafobia)


2. Depresi mayor
3. Gangguan bipolar
4. Penyalahgunaan alkohol

Intervensi Psikologi

Bentuk Intervensi yang paling banyak direkomendasikan untuk gangguan panik


adalah Cognitive Behavioral Therapy (CBT) berdasarkan tingkat efektivitasnya jika
dibandingkan dengan pendekatan lain, seperti psikoterapi suportif, psikodinamika, serta
terapi perilaku, atau terapi kognitif saja (Pompoli dkk, 2016). National Institute for
Health and Care Excellence (NICE, 2019) merekomendasikan pelaksanaan CBT
sebagai berikut:
1. CBT dilakukan secara tatap muka;
2. CBT sebaiknya dilakukan dengan durasi optimal (total 7-14 jam);
3. Untuk sebagian besar kasus, CBT perlu dilakukan mingguan dengan durasi 1-2 jam,
dan diselesaikan dalam waktu maksimal 4 bulan;
256
Gangguan Panik

4. CBT yang lebih singkat sebaiknya dilengkapi dengan informasi dan tugas yang
terfokus dan memadai;
5. Apabila yang digunakan adalah CBT singkat (brief CBT), sebaiknya berlangsung
selama 7 jam (keseluruhan sesi) dan dirancang untuk diintegrasikan dengan
material self-help yang terstruktur;
6. Bagi sebagian kecil pasien, CBT yang sifatnya lebih intensif namun singkat bisa
jadi lebih sesuai;
7. Psikoterapi menggunakan pendekatan perilaku kognitif juga dapat dilakukan
dengan latar kelompok.
CBT yang dilakukan dapat meliputi komponen utama seperti psikoedukasi,
relaksasi, latihan ulang pernafasan, restrukturisasi kognitif, eksperimen perilaku,
memberikan paparan interoseptif (interoceptive exposure) yaitu memaparkan pasien
pada sensasi fisik dari gangguan panik yang dirasakan seperti jantung yang berdebar
kencang dan otot yang menegang, serta paparan in vivo, yaitu memberikan pasian
paparan langsung pada situasi yang ditakuti.

Prognosis

Melalui penanganan yang memadai, prognosis dari gangguan panik ini baik.
Antara 30%-40% pasien dapat seterusnya bebas dari gejala, sementara 50% lainnya
tetap mengalami gejala, namun dalam taraf yang ringan dan tidak secara signifikan
mengganggu kehidupan keseharian (Harvard Health Publishing, 2018).

Catatan Lain

Psikolog klinis perlu bekerjasama/merujuk pasien ke psikiater untuk pasien


mendapatkan intervensi farmakologis, terutama jika gangguan panik berada pada taraf
sedang atau berat.

257
Gangguan Panik

Referensi

American Psychiatric Association. (2013). Diagnostic and Statistical Manual of


Mentall Disorder Edition (DSM-5). Washington : American Psychiatric
Publishing.
Pompoli, A., Furukawa, T.A., Imai, H., Tajika, A., Efthimiou, O., & Salanti, G. (2016).
Psychological therapies for panic disorder with or without agoraphobia in adults:
a network meta‐analysis. Cochrane Database of Systematic Review. Version
published: 13 April 2016 https://doi.org/10.1002/14651858.CD011004.pub2
Harvard Health Publishing. (2018). Panic Disorder, diakses pada tanggal 10 November
2020 dari https://www.health.harvard.edu/a_to_z/panic-disorders-a-to-z
Maslim, R. (2013). Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa Rujukan Ringkas dari
PPDGJ – III dan DSM 5. Jakarta : Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK Unika Atma
Jaya.
National Institute for Health and Care Excellence (NICE). (2019). Generalized Anxiety
Disorder and Panic Disorder in Adults: Management. diakses pada tanggal 10
November 2020 dari https://www.nice.org.uk/guidance/cg113/chapter/1-
Guidance
World Health Organization. 2011. International Statistical Classification of Disease
and Related Health Problems Tenth Revision Volume 2 (second edition). Geneva:
World Health Organization.

258
18. Gangguan Cemas Menyeluruh

Batasan dan Uraian Umum

Sebagaimana tercantum dalam Diagnostic and Statistical Manual of Mental


Disorders edisi ke-5 (DSM-5) (American Psychiatric Association, 2013), gangguan
cemas menyeluruh adalah adanya kecemasan dan kekhawatiran yang berlebihan dan
sulit dikontrol mengenai sejumlah peristiwa atau aktivitas sehingga mengganggu fungsi
psikologis pasien.

Manifestasi Klinis

Pasien mengalami kecemasan dan kekhawatiran yang berlebihan mengenai


sejumlah peristiwa atau aktivitas. Pasien kesulitan untuk mengontrol kekhawatiran
mereka tersebut sehingga mengganggu fokus dalam aktivitas sehari-hari.
Pasien dewasa dengan gangguan cemas menyeluruh sering mengkhawatirkan
rutinitas sehari-hari seperti tanggung jawab pekerjaan yang harus diemban, kesehatan
diri dan keluarga, kondisi keuangan, nasib buruk anak mereka, atau permasalahan-
permasalahan dalam melakukan pekerjaan rumah tangga sehari-hari di rumah,
terlambat memenuhi janji pada suatu pertemuan, dan lain sebagainya. Semakin luas
situasi kehidupan yang dikhawatirkan maka semakin tinggi kecenderungan pasien
untuk mengalami gangguan cemas menyeluruh. Anak-anak yang mengalami gangguan
cemas menyeluruh memiliki kecenderungan untuk mengkhawatirkan kompetensi dan
prestasi mereka.
Hal yang membedakan antara gangguan cemas menyeluruh dengan kecemasan
yang tidak bersifat patologis adalah tingkat kekhawatiran yang berlebihan sehingga
secara signifikan menggangu fungsi psikologis. Perbedaan yang kedua, yaitu
kekhawatiran yang ada pada gangguan cemas menyeluruh bersifat lebih menyebar
(pervasive), lebih tampak, menekan, memiliki durasi yang lebih lama dan dapat sering
muncul tanpa ada pencetus. Perbedaan yang ketiga, kecemasan yang tidak bersifat
patologis cenderung lebih jarang diikuti oleh simtom fisik (contoh gelisah).

259
Gangguan Cemas Menyeluruh

Asesmen dan Diagnosis

Identifikasi
Psikolog klinis perlu memikirkan kemungkinan pasien mengalami gangguan cemas
menyeluruh apabila terdapat kecemasan atau kekhawatiran yang berlebihan dan juga
pada pasien yang sering datang ke fasilitas pelayanan kesehatan dengan gejala:
1. Memiliki suatu masalah kesehatan fisik yang kronis, atau
2. Tidak memiliki masalah kesehatan fisik namun mencari kepastian mengenai
gejala somatik yang dirasakan
3. Berulang kali mengkhawatirkan mengenai berbagai jenis permasalahan yang
berbeda.
Apabila pasien yang telah diketahui atau diduga mengalami gangguan cemas
menyeluruh datang ke fasilitas pelayanan kesehatan untuk mencari kepastian mengenai
suatu ganggaun kesehatan fisik atau gejala somatik, dan/atau kekhawatiran yang
berulang, maka pikirkan bahwa beberapa gejala yang dikeluhkan kemungkinan
disebabkan oleh gangguan cemas menyeluruh.
Dalam mengidentifikasi gangguan cemas menyeluruh dapat dibantu dengan pohon
keputusan sebagai berikut:

260
Gangguan Obsesif Kompulsif

Gambar 1.
Pohon keputusan Gangguan Cemas Menyeluruh

261
Gangguan Cemas Menyeluruh

Asesmen
Asesmen sebaiknya meliputi jumlah dan tingkat keparahan gejala yang dialami,
durasi dari episode gangguan terkini, dan perjalanan gangguan tersebut. Kemudian
tanyakan seberapa besar tekanan yang dirasakan, serta fungsi keseharian yang
terganggu.
Sebagai bagian dari asesmen yang bersifat komprehensif, pertimbangkan bahwa
faktor-faktor penyerta berikut ini kemungkinan dapat mempengaruhi perkembangan
dan keparahan gangguan yang dialami:
1. Gangguan depresi atau gangguan kecemasan yang lain
Apabila pasien memiliki gangguan ini sebagai penyerta maka tangani terlebih
dahulu gangguan utamanya (yaitu gangguan yang lebih parah dan jika tertangani
kemungkinan dapat berpengaruh lebih baik pada fungsi individu pasien secara
keseluruhan)
2. Penyalahgunaan zat
Apabila pasien juga memiliki penyerta penyalahgunaan zat, pertimbangkan
bahwa hal ini dapat menjadi komplikasi dari gangguan cemas menyeluruh yang
dialami; dan jika zat yang disalahgunakan berbahaya dan menimbulkan
ketergantungan maka hal ini harus ditangani terlebih dahulu, tentunya dengan
bekerjasama dengan psikiater.
3. Kondisi medis
Riwayat pasien mengalami gangguan kesehatan mental
4. Pengalaman dan respon terhadap treatmen sebelumnya yang pernah dijalani.
Alat tes yang dapat digunakan untuk mendukung asesmen di antaranya sebagai
berikut:
1. Self-rated scales, seperti Beck Anxiety Inventory (BAI) dll (Pedersen, 2014)
2. GAD-7 (Locke, Kirst, & Shultz, 2015)
3. Hamilton Anxiety Rating Scale (Pedersen, 2014)

Diagnosis

Kriteria gangguan cemas menyeluruh berdasarkan DSM-5 dapat dilihat pada tabel
3.18.1.

262
Gangguan Obsesif Kompulsif

Tabel 3.18.1
Kriteria Diagnosis Gangguan Cemas Menyeluruh Berdasarkan DSM-5
Kriteria Diagnosis Ada Tidak
A Kecemasan dan kekhawatiran berlebihan muncul pada
sebagian besar hari dibandingkan dengan
ketidakmunculannya, selama paling tidak 6 (enam)
bulan lamanya, mengenai sejumlah kejadian atau
aktivitas (contoh: prestasi dalam pekerjaan atau
sekolah)
B Pasien mengalami kesulitan untuk mengontrol
kekhawatirannya
C Kecemasan dan kekhawatiran berkaitan dengan 3 (tiga)
atau lebih di antara 6 (enam) gejala berikut (paling tidak
beberapa gejala telah muncul pada sebagian besar hari
selama 6 (enam) bulan terakhir jika dibandingkan
dengan ketidakmunculannya):
Catatan: hanya 1 gejala yang diperlukan untuk
diagnosa pada anak, yaitu:
1. Kegelisahan
2. Mudah kelelahan
3. Kesulitan berkonsentrasi atau pikiran menjadi
buntu
4. Mudah tersinggung
5. Ketegangan otot
6. Gangguan tidur (kesulitan memulai tidur,
gelisah, atau tidur tidak memuaskan)
D Kecemasan, kekhawatiran atau gejala fisik secara
signifikan menyebabkan tekanan atau gangguan pada
fungsi sosial, pekerjaan, atau fungsi penting lainnya.
E Gangguan yang dialami bukan disebabkan oleh efek
fisiologis suatu zat (contoh penyalahgunaan obat, dalam
masa pengobatan) atau kondisi medis lain (contoh
hiperthyroid)

263
Gangguan Cemas Menyeluruh

F Gangguan yang dialami tidak lebih baik dijelaskan


sebagai gangguan mental lain (contoh kecemasan atau
kekhawatiran akan mendapatkan serangan panik pada
gangguan panik, evalusi negatif pada gangguan
kecemasan sosial), kontaminasi atau obsesi lainnya
dalam gangguan obsesif kompulsif, keterpisahan
dengan figur lekat pada gangguan cemas perpisahan,
teringat peristiwa traumatik pada gangguan cemas
pascatrauma, mengalami kenaikan berat badan pada
anorexia nervosa, keluhan fisik pada gangguan somatis,
persepsi penampilan yang kurang baik pada gangguan
dismorfik tubuh, memiliki penyakit serius pada illness
anxiety disorder, atau bentuk keyakinan delusional pada
Skizofrenia dan gangguan waham).

Sementara kriteria diagnosis menurut PPDGJ-III adalah sebagai berikut:


1. Penderita harus menunjukkan kecemasan sebagai gejala primer yang berlangsung
hampir setiap hari untuk beberapa minggu sampai beberapa bulan, yang tdak
terbatas atau hanya menonjol pada keadaan situasi khusus tertentu saja (sifatnya
“free floating” atau “mengambang”)
2. Gejala-gejala tersebut biasanya mencakup unsur-unsur berikut:
a. Kecemasan (khawatir akan nasib buruk, merasa seperti di ujung tanduk, sulit
konsentrasi, dan lain sebagainya)
b. Ketegangan motorik (gelisah, sakit kepala, gemetaran, tidak bisa santai); dan
c. Overaktivitas otonomik (kepala terasa ringan, berkeringat, jantung berdebar-
debar, sesak napas, keluhan lambung, pusing kepala, mulut kering, dan lain
sebagainya).
3. Pada anak-anak sering terlihat adanya kebutuhan berlebihan untuk ditenangkan
(reassurance) serta keluhan-keluhan somatis berulang yang menonjol.
4. Adanya gejala-gejala lain yang sifatnya sementara (untuk beberapa hari),
khususnya depresi, tidak membatalkan diagnosis utama, selama hal tersebut tidak
memenuhi kriteria lengkap dari episode depresif (F32._), gangguan kecemasan
fobik (F.40-), gangguan panik (F41.0), atau gangguan obsesif kompulsif (F.42,_)

Diagnosis Banding

1. Kecemasan karena kondisi medis


2. Gangguan kecemasan akibat zat atau pengobatan
264
Gangguan Obsesif Kompulsif

3. Gangguan kecemasan sosial


4. Gangguan obsesif kompulsif
5. Gangguan stress pasca trauma dan gangguan penyesuaian
6. Gangguan depresi, bipolar, dan psikotik

Komorbiditas

Pasien yang memenuhi kriteria diagnosa gangguan cemas menyeluruh memiliki


kecenderungan untuk pernah, atau saat ini juga memenuhi kriteria gangguan kecemasan
yang lain dan gangguan depresi tipe unipolar.

Intervensi Psikologis

Mengacu pada manajemen intervensi untuk gangguan cemas menyeluruh pada


National Institute for Health and Care Exellence (NICE, 2019)maka langkah-langkah
intervesi psikologis yang sebaiknya dilakukan :
Langkah 1:
1. Memberikan edukasi mengenai gambaran gangguan cemas menyeluruh serta
pilihan intervensi yang dapat dilakukan;
2. Melakukan pemantauan atas gejala dan fungsi keseharian pasien.
Langkah 2:
1. Tawarkan pada pasien untuk menjalani intervensi yang paling dasar, pasien boleh
memilih untuk menjalani beberapa alternatif berikut:
a. Intervensi dalam bentuk self-help mandiri
b. Pasien diberi materi tertulis atau elektronik yang disesuaikan dengan tingkat
usia pasien.
c. Materi disusun berdasarkan prinsip-prinsip CBT.
d. Materi meliputi instruksi pada pasien untuk melakukan tugas atau latihan
secara sistematis selama kurang lebih 6 minggu.
e. Kontak dengan terapis hanya bersifat sesekali melalui telefon dan singkat.
2. Intervensi bentuk self-help dengan pendampingan
a. Intervensi dirancang berdasarkan prinsip-prinsip CBT.
b. Meliputi pemberian materi tertulis atau elektronik yang disesuaikan dengan
usia pasien.
c. Terdapat peran terapis untuk memfasilitasi program serta mengevaluasi
perkembangan dan hasil yang dicapai.

265
Gangguan Cemas Menyeluruh

d. Umumnya berlangsung sesi tatap muka atau sesi telepon dengan durasi 20-
30 menit dengan frekuensi seminggu sekali selama 5-7 minggu atau dua
minggu sekali.
3. Kelompok psikoedukasi
a. Intervensi dirancang berdasarkan prinsip-prinsip CBT, bersifat interaktif,
dan mendorong terjadinya observational learning.
b. Meliputi aktivitas presentasi dan pemberian panduan self-help.
c. Dilakukan oleh praktisi psikolog klinis yang terlatih.
d. Memiliki rasio yaitu 1 terapis berbanding 12 partisipan.
e. Umumnya sesi berlangsung 2 jam untuk masing-masing sesi satu minggu
sekali selama 6 minggu.
Langkah 3:
Pasien dengan gangguan cemas menyeluruh dan gangguan fungsional yang
mengkhawatirkan atau pasien yang gejalanya tidak mengalami perubahan meskipun
telah menjalani intervensi tahap 2, dapat ditawarkan untuk menjalani intervensi
psikologis dengan intensitas tinggi, di antaranya dengan CBT dan penerapan relaksasi,
serta merujuk pasien ke psikiater untuk mendapatkan farmakoterapi.
CBT untuk pasien yang mengalami gangguan cemas menyeluruh, sebaiknya:
1. Menggunakan panduan yang telah digunakan pada uji klinis CBT untuk Gangguan
Cemas Menyeluruh.
2. Dilakukan oleh psikolog klinis yang kompeten dan terlatih.
3. Biasanya terdiri atas 12-15 sesi mingguan (dapat lebih singkat jika pasien lebih
cepat membaik; dapat lebih lama jika pasien masih membutuhkan), dengan
masing-masing sesi berlangsung kurang lebih selama 1 jam.
Psikolog klinis yang memberikan intervensi psikologis dengan intensitas tinggi
sebaiknya:
1. Menggunakan pengukuran atau pemonitoran secara rutin dengan melibatkan
pasien untuk mengevaluasi capaian dari intervensi yang dilakukan.
2. Menggunaan preferensi bahasa pasien dalam memberikan intervensi.
Langkah 4:
Langkah 4 dilakukan untuk pasien dengan permasalahan yang kompleks, tidak
menunjukan perkembangan yang signifikan pada langkah-langkah penanganan
sebelumnya, serta memiliki gangguan fungsional yang berat atau terdapat resiko untuk
menyakiti diri sendiri. Penanganan pada taraf ini merupakan bentuk penanganan yang
membutuhkan ketrampilan spesialis karena membutuhkan terapi obat maupun

266
Gangguan Obsesif Kompulsif

psikoterapi yang kompleks, memerlukan keterlibatan dengan banyak pihak, termasuk


keluarga, komunitas atau lembaga, dan jika diperlukan dilakukan rawat inap.

Prognosis

Prognosis secara umum baik jika gejala ditangani. Dengan penanganan yang
memadai, sekitar 50% klien menunjukkan kemajuan dalam waktu 3 minggu sejak awal
penanganan, dan 77% menunjukan kemajuan dalam 9 bulan (Harvard Health
Publishing, 2018).

Catatan Lain

Informasi dan dukungan yang sebaiknya diberikan untuk pasien, keluarga,


maupun pengasuh:
1. Membangun hubungan yang penuh keterbukaan keterlibatan, dan tidak
menghakimi.
2. Eksplorasi kekhawatiran pasien .
3. Eksplorasi pilihan penanganan yang dapat dilakukan secara kolaboratif dengan
pasien sehingga keputusan yang diambil merupakan hasil dari proses bersama
antara psikolog klinis dengan pasien.
4. Memastikan bahwa diskusi dengan pasien dilakukan pada latar yang dapat menjaga
kerahasian, privasi, serta menghargai pasien.
5. Informasi mengenai gangguan serta alternatif penindakan yang diberikan
sebaiknya disesuaikan dengan tingkat pemahaman pasien. Jika memungkinkan
sediakan pula informasi secara tertulis maupun dalam format audio jika diperlukan.
Apabila keluarga dan pengasuh dilibatkan dalam mendukung penanganan pasien
maka hal-hal berikut ini perlu untuk dilakukan:
1. Menyediakan informasi, termasuk detail kontak organisasi atau support group
untuk keluarga, dan sampaikan kepada mereka bagaimana cara mengaksesnya.
2. Melakukan negosiasi antara pasien dan keluarga atau pengasuh mengenai
kerahasiaan serta informasi mana yang boleh dibagikan.
3. Memberikan informasi lisan maupun tertulis mengenai gangguan dan
penanganannya, termasuk bagaimana cara keluarga dan pengasuh dapat
mendukung pasien.
4. Memberikan nomor telefon dan informasi yang dapat diakses jika terjadi situasi
krisis atau darurat.

267
Gangguan Cemas Menyeluruh

Referensi

American Psychiatric Association. (2013). Diagnostic and Statistical Manual of


Mentall Disrorder Edition (DSM-5). Washington : American Psychiatric
Publishing.
Harvard Health Publishing. (2018). Generalized Anxiety Disorder. diakses pada
tanggal 10 November 2020 dari
https://www.health.harvard.edu/a_to_z/generalized-anxiety-disorder-a-to-z
Locke, A. B., Kirst, N., & Shultz, C. G. (2015). Diagnosis and Management of
Generalized Anxiety Disorder and Panic Disorder in Adults. American Academy
Family Physicians, 91(9), 617-624.
https://www.aafp.org/afp/2015/0501/p617.html
Maslim, R. (2013). Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa Rujukan Ringkas dari
PPDGJ – III dan DSM 5. Jakarta : Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK Unika Atma
Jaya.
National Institute for Health and Care Excellence (NICE). (2019). Generalized Anxiety
Disorder and Panic Disorder in Adults: Management, diakses pada tanggal 10
November 2020 dari https://www.nice.org.uk/guidance/cg113/chapter/1-
Guidance
Pederson, D. D. (2014). Psych Notes Clinical Pocket Guide (Vol. 4). Philadelphia: F.
A. Davis Company.

268
19. Gangguan Obsesif Kompulsif

Batasan dan Uraian Umum

Sebagaimana tercantum dalam Diagnostic and Statistical Manual of Mental


Disorders edisi ke-5 (DSM-5) (American Psychiatric Association, 2013), gangguan
obsesif kompulsif adalah kemunculan pikiran obsesif (berulang dan terus menerus)
yang bersifat mengganggu, serta menyebabkan kesulitan dan kecemasan pada diri
pasien. Pasien yang mengalami hal ini umumnya akan berupaya untuk mengabaikan
atau menekan obsesi (misalnya dengan menghindari pemicu atau atau menekan pikiran
secara sadar), atau berupaya menetralisir dengan pikiran atau tindakan (di antaranya
dengan melakukan perilaku kompulsif). Pikiran obsesif dan perilaku kompulsif pada
sebagian besar pasien muncul sebagai suatu rangkaian sehingga gangguan ini disebut
sebagai gangguan obsesif kompulsif.

Manifestasi Klinis

1. Obsesi dapat muncul dalam bentuk pikiran yang berulang dan terus menerus
(misalnya terkontaminasi kuman), gambaran mental (misalnya adegan kekerasan
atau mengerikan), atau desakan (misalnya untuk menusuk seseorang). Obsesi ini
merupakan hal yang tidak menyenangkan bagi pasien dan tidak muncul atas
keinginan pasien sendiri, bersifat mengganggu, serta menyebabkan kesulitan dan
kecemasan pada diri pasien. Pasien yang mengalami hal ini umumnya akan
berupaya untuk mengabaikan atau menekan obsesi (misalnya dengan menghindari
pemicu atau atau menekan pikiran secara sadar), atau berupaya menetralisir dengan
pikiran atau tindakan (misalnya dengan melakukan perilaku kompulsif).
2. Kompulsi muncul dalam bentuk perilaku berulang (contoh mencuci, mengecek)
atau tindakan mental (misalnya berhitung, mengulang-ulang suatu kata dengan
lirih) yang dilakukan pasien karena adanya dorongan untuk merespon obsesi atau
aturan yang harus diterapkan dengan kaku.
3. Obsesi dan kompulsi pada sebagian besar pasien muncul sebagai suatu rangkaian
karena kompulsi muncul sebagai respon atas suatu obsesi (misalnya pikiran bahwa
diri terkontaminiasi akan mendorong pasien untuk melakukan ritual mencuci
tangan secara berulang-ulang. Tujuannya adalah untuk mengurangi tekanan yang
muncul akibat pikiran obsesif serta untuk mencegah terjadinya peristiwa yang
ditakuti (misalnya takut terkena penyakit tertentu). Meskipun demikian perilaku
kompulsif ini tidak memiliki keterkaitan yang realistis dengan peristiwa yang
269
Gangguan Obsesif Kompulsif

ditakuti (misalnya menyusun benda-benda secara simetris untuk mencegah


terjadinya hal yang tidak diinginkan pada orang tercinta), atau bersifat berlebihan
(misalnya mandi berjam-jam setiap hari). Perilaku kompulsif tidak dilakukan untuk
kesenangan, meskipun sebagian orang meraskan kecemasan dan tekanan yang
dirasakan menjadi berkurang setelah melakukannya.
4. Untuk dikatakan sebagai sebuah gangguan, obsesi dan kompulsi haruslah menyita
waktu (lebih dari satu jam tiap hari) dan menyebabkan tekanan atau kesulitan
dalam kehidupan pasien. Hal ini untuk membedakan dengan perilaku berulang
yang umum dilakukan orang dalam keseharian (misalnya mengecek ulang apakah
pintu sudah terkunci atau belum).
5. Frekuensi serta tingkat keparahan obsesi dan kompulsi bervariasi antara pasien satu
dengan yang lain. Sebagian orang mengalami gejala ringan hingga sedang
menghabiskan 1-3 jam tiap hari untuk obsesi dan melakukan perilaku kompulsif,
sementara sebagian lainnya mengalami pikiran obsesif yang konstan mengganggu
dan membuatnya merasa tidak sanggup menjalani.

Asesmen dan Diagnosis

Identifikasi
Identifikasi dapat dilakukan dengan melihat adanya risiko tinggi pada pasien,
misalnya pada pasien dengan gejala depresi, kecemasan, penyalahgunaan alkohol atau
zat, gangguan dismorfik tubuh, atau gangguan makan; melalui wawancara, psikolog
klinis dapat mengajukan pertanyaan langsung mengenai gejala gangguan obsesif
kompulsif yang mungkin ada, seperti:
1. Apakah anda sering sekali mencuci atau membersihkan sesuatu?
2. Apakah anda sering sekali memeriksa/mengecek sesuatu?
3. Apakah ada pikiran yang terus mengganggu anda dan ingin anda singkirkan tetapi
tidak bisa?
4. Apakah anda memerlukan waktu lama untuk menyelesaikan aktivitas keseharian
anda?
5. Apakah anda memiliki perhatian khusus untuk menempatkan sesuatu menurut
urutan tertentu, atau apakah sangat kecewa jika melihat kondisi berantakan?
6. Apakah permasalahan-permasalahan tersebut mengganggu anda?
Pada pasien yang telah terdiagnosa mengalami gangguan obsesif kompulsif,
psikolog klinis sebaiknya memastikan adanya resiko menyakiti diri sendiri atau bunuh
diri, terutama jika pasien juga telah terdiagnosa mengalami depresi. Hal yang perlu
dipastikan meliputi dampak dari perilaku kompulsif pasien terhadap orang lain dan
270
Gangguan Obsesif Kompulsif

dirinya sendiri, serta kondisi penyerta dan kondisi psikososial yang dapat berkontribusi
memunculkan risiko tersebut.
Asesmen
1. Hamilton anxiety rating scale (HAM-A) (Pedersen, 2014)
2. Yale-Brown obsessive compulsive scale (Y-BOCS) (Pedersen, 2014)
3. Pemeriksaan status mental (Pedersen, 2014)

Diagnosis
Kriteria gangguan obsesi kompulsif berdasarkan DSM-5 dapat dilihat pada tabel 3.19.1.

Tabel 3.19.1
Kriteria Diagnosis Gangguan Obsesif Kompulsif Berdasarkan DSM-5
Kriteria Diagnosis Ada Tidak
A Munculnya obsesi, kompulsi, atau keduanya
Obsesi didefinisikan sebagai pikiran, dorongan,
atau gambaran yang muncul secara berulang dan
terus menerus; bersifat mengganggu dan tidak
diinginkan, dan pada sebagian besar pasien
menyebabkan kecemasan dan tekanan yang nyata.
Pasien berupaya untuk mengabaikan atau secara
sengaja menekan pikiran, dorongan atau gambaran,
atau menetralisirnya dengan berbagai pikiran dan
tindakan lain (misalnya dengan melakukan tindakan
kompulsif).
Kompulsi didefiniskan sebagai perilaku berulang
(misalnya mencuci, mengecek) atau tindakan
mental (misalnya berdoa, berhitung, mengucap kata
berulang dengan lirih) yang dilakukan pasien atas
dorongan untuk merespon suatu obsesi, atau aturan
yang harus diterapkan dengan kaku.
Perilaku atau tindakan mental dilakukan untuk
mencegah atau mengurangi kecemasan atau
distress, atau mencegah kejadian atau situasi yang
ditakuti. Meskipun demikian perilaku kompulsif ini
tidak memiliki keterkaitan yang realistis dengan
271
Gangguan Obsesif Kompulsif

peristiwa yang ditakuti, atau bersifat berlebihan.


Catatan: anak-anak mungkin tidak mampu untuk
menyampaikan tujuan dari perilaku ini.
B Obsesi dan kompulsi menyita waktu (lebih dari satu
jam tiap hari) atau menyebabkan tekanan atau
kesulitan yang signifikan dalam kehidupan sosial,
pekerjaan, atau fungsi penting lainnya.
C Gejala obsesif kompulsif tidak disebabkan oleh
efek fisiologis dari suatu zat (misalnya
penyalahgunaan obat atau pengobatan), atau
kondisi medis lainnya.
D Gangguan tidak lebih baik dijelaskan sebagai gejala
dari gangguan mental yang lain (misalnya
kekhawatiran berlebihan seperti pada gangguan
kecemasan umum; preokupasi dengan penampilan
seperti pada gangguan dismorfik tubuh; mencabuti
rambut seperti pada trichotiolmania; mengelupas
kulit seperti pada gangguan excoriation; stereotip
seperti pada gangguan gerakan stereotipik; perilaku
ritual makan seperti pada gangguan makan;
preokupasi pada zat atau judi seperti pada gangguan
terkait zat dan kecanduan; preokupasi terserang
penyakit seperti pada gangguan kecemasan
penyakit; dorongan seksual atau fantasi seperti pada
gangguan parafilia impuls seperti pada gangguan
perilaku disruptif, kontrol impuls dan tingkah laku;
rasa bersalah melakukan ruminasi seperti pada
gangguan depresi mayor; sisip pikir atau preokupasi
delusional, seperti pada spektrum skizofrenia dan
gangguan psikotik lainnya; atau pola perilaku
berulang pada gangguan spektrum autis).

Spesifikasi jika:
1. Memiliki insight yang baik di mana pasien menyadari bahwa keyakinan
obsesif kompulsif yang ada pada dirinya pasti atau mungkin tidak benar.

272
Gangguan Obsesif Kompulsif

2. Insight kurang di mana pasien menyadari bahwa keyakinan obsesif kompulsif


yang ada pada dirinya mungkin benar.
3. Tidak ada insight/pikiran bersifat delusional, yaitu pasien meyakini bahwa
obsesif kompulsif yang ada pada dirinya adalah benar.
Spesifikasi jika berhubungan dengan tic di mana pasien memiliki riwayat atau saat
ini mengalami gangguan tic.
Sementara kriteria diagnosis menurut PPDGJ-III adalah sebagai berikut:
1. Untuk menegakkan diagnosis pasti, gejala-gejala obsesif atau tindakan kompulsif,
atau kedua-duanya, harus ada hampir setiap hari selama sedikitnya 2 (dua) minggu
berturut-turut
2. Hal tersebut merupakan sumber penderitaan (distres) atau mengganggu aktivitas
pasien.
3. Gejala-gejala obsesif harus mencakup hal-hal berikut:
a. Harus disadari sebagai pikiran atau impuls diri sendiri.
b. Sedikitnya ada satu pikiran atau tindakan yang tidak berhasil dilawan,
meskipun ada lainnya yang tidak lagi dilawan oleh pasien.
c. Pikiran untuk melakukan tindakan tersebut di atas bukan merupakan hal
yang memberikan kepuasan atau kesenangan (sekedar perasaan lega dari
ketegangan atau kecemasan, tidak dianggap sebagai kesenangan seperti
dimaksud di atas).
d. Gagasan, bayangan, pikiran, atau impuls tersebut harus merupakan
pengulangan yang tidak menyenangkan.
4. Diagnosis gangguan obsesif kompulsif ditegakkan hanya bila tidak ada gangguan
depresif pada saat gejala gangguan obsesif -kompulsif timbul. Hal ini mengingat
ada kaitan erat antara gejala obsesif, terutama pikiran obsesif dengan depresi.
Dalam PPDGJ-III, gangguan ini ditandai dengan kode F42.0; F.42.1; F.42.2;
F.42.8; dam F.42.9. Penjelasannya adalah sebagai berikut:
(F42.0) Predominan pikiran obsesif atau pengulangan
1. Keadaan ini dapat berupa: gagasan, bayangan pikiran, atau impuls (dorongan
perbuatan), yang sifatnya mengganggu (ego alien)
2. Meskipun isi pikiran tersebut berbeda-beda, umumnya hampir selalu
menyebabkan penderitaan (distress)
(F42.1) Predominan tindakan kompulsif (obsessional rituals)
1. Umumnya tindakan kompulsif berkaitan dengan kebersihan (khususnya
mencuci tangan), memeriksa berulang untuk meyakinkan bahwa suatu situasi
yang dianggap berpotensi bahaya tidak terjadi, atau masalah kerapian dan
273
Gangguan Obsesif Kompulsif

keteraturan. Hal tersebut dilatar belakangi perasaan takut terhadap bahaya


yang mengancam dirinya atau bersumber dari dirinya, dan tindakan ritual
tersebut merupakan upaya simbolik dan tidak efektif untuk menghindari
bahaya tersebut.
2. Tindakan ritual kompulsif tersebut menyita banyak waktu sampai beberapa
jam dalam sehari dan kadang-kadang berkaitan dengan ketidakmampuan
mengambil keputusan dan kelambanan.
F42.2 Campuran Pikiran dan Tindakan Obsesif
1. Kebanyakan dari penderita obsesif-kompulsif memperlihatkan pikiran obsesif
serta tindakan kompulsif. Diagnosis ini digunakan bilamana kedua hal tersebut
sama-sama menonjol yang umumnya memang demikian.
2. Apabila salah satu memang jelas lebih dominan, sebaiknya dinyatakan dalam
diagnosa F42.0 atau F42.1. Hal ini berkaitan dengan respon yang berbeda
terhadap pengobatan. Tindakan kompulsif lebih responsive terhadap terapi
perilaku.
F 42.8 Gangguan obsesif kompulsif lainnya
F 42.9 Gangguan obsesif kompulsif YTT

Diagnosis Banding

1. Depresi mayor
2. Gangguan terkait Obsesif Kompulsif lainnya
3. Gangguan makan
4. Gangguan tic dan Gerakan stereotipik lainnya
5. Gangguan psikotik
6. Perilaku menyerupai kompusif lainnya
7. Gangguan kepribadian obsesif kompulsif

Komorbiditas

Gangguan Kecemasan (di antaranya gangguan panik, gangguan kecemasan sosial,


gangguan kecemasan umum, fobia spesifik)
1. Gangguan depresi
2. Gangguan bipolar
3. Gangguan kepribadian obsesif kompulsif
4. Gangguan tic
5. Body dysmorphic disorder
274
Gangguan Obsesif Kompulsif

6. Trichotilomania
7. Gangguan excoration (mengelupas kulit)
8. Gangguan Makan
9. Gangguan Tourette

Intervensi Psikologi

Mengacu pada rekomendasi dari National Institute for Health and Care
Excellence (NICE, 2019) intervensi psikologis utama untuk gangguan obsesif
kompulsif adalah CBT dengan exposure and response prevention (ERP). Terapi
kognitif saja dapat dilakukan tanpa ERP pada pasien dengan pertimbangan tertentu.
CBT adalah intervensi psikologis yang didasarkan pada gagasan bahwa apa yang kita
rasakan dipengaruhi oleh pikiran (atau 'kognisi') dan keyakinan kita, dan oleh cara kita
berperilaku. Misalnya, jika kita memiliki pikiran negatif, hal ini dapat menimbulkan
perilaku negatif, yang dapat memengaruhi perasaan kita. CBT membantu orang menilai
kembali makna pikiran dan tindakan mereka. ERP membantu orang menghadapi situasi
atau hal-hal yang membuat mereka cemas atau ketakutan. Dengan dukungan Psikolog
Klinis, pasien 'dipaparkan' pada apa pun yang membuat mereka takut atau cemas
(misalnya, kotoran atau kuman). Daripada menghindari situasi atau melakukan perilaku
kompulsif secara berulang, pasien diajari cara lain untuk mengatasi kecemasan atau
ketakutan. Proses ini diulang sampai pasien tidak lagi merasa cemas atau takut. Apabila
pasien memiliki pemikiran obsesif tetapi tidak memiliki perilaku kompulsif yang nyata,
pasien tetap dapat diberikan CBT dengan ERP, namun ERP akan berfokus pada ritual
mental dan metode apa pun yang mungkin digunakan pasien untuk menangani pikiran
obsesif.
1. Intervensi Awal
a. Untuk Pasien Dewasa
i. Intervensi awal diberikan pada pasien dewasa dengan tingkat gangguan
fungsional ringan, atau pada pasien yang memang memilih untuk
menjalani intervensi dengan intensitas rendah
ii. Intervensi awal intensitas rendah terdiri atas 10 jam sesi yang dapat
dilakukan dengan format:
• CBT singkat individual, di dalamnya termasuk ERP , dan
menggunakan material self-help terstruktur
• CBT singkat individual, didalamnya termasuk ERP melalui telefon
• CBT kelompok, didalamnya termasuk ERP. Pada format kelompok,
masing-masing pasien dapat menerima lebih dari 10 jam sesi

275
Gangguan Obsesif Kompulsif

iii. Pasien dengan gangguan fungsional ringan yang tidak dapat mengikuti
CBT intensitas rendah, atau sudah mengikuti, namun tidak
menunjukkan perkembangan yang baik maka sebaiknya ditawarkan
untuk dilakukan rujukan ke psikiater untuk mendapatkan farmakoterapi
atau menjalani CBT yang bersifat intensif (termasuk ERP) dengan lebih
dari 10 jam sesi untuk tiap pasien.
iv. Pasien dengan gangguan fungsional sedang sebaiknya ditawarkan
dirujuk ke psikiater untuk mendapatkan farmakoterapi atau menjalani
CBT yang bersifat intensif (termasuk ERP) dengan lebih dari 10 jam
sesi untuk tiap pasien.
v. Pasien dengan gangguan fungsional berat sebaiknya mendapatkan
kombinasi CBT (termasuk ERP) dan juga farmakoterapi.
b. Untuk pasien anak dan remaja
i. Bagi pasien anak dan remaja yang mengalami gangguan obsesif
kompulsif dengan hambatan fungsional ringan, disarankan untuk
diberikan panduan self-help, serta dukungan dan informasi bagi
keluarga atau pengasuhnya.
ii. Bagi pasien anak dan remaja dengan hambatan fungsional sedang
hingga berat, atau intervensi dengan panduan self-help tidak efektif atau
ditolak, sebaiknya ditawarkan untuk menjalani CBT (termasuk ERP)
yang melibatkan orang tua atau pengasuh dan diadaptasi menyesuaikan
dengan usia perkembangan mereka. Intervensi dapat ditawarkan
apakah dikehendaki dalam format individual atau kelompok
iii. Apabila pasien tidak dapat mengikuti interevensi maka perlu
dipertimbangkan untuk merujuk pada psikiater untuk mendapatkan
farmakoterapi
iv. Kemunculan kondisi komorbid, gangguan belajar, faktor risiko
psikososial seperti perselisihan keluarga, atau adanya gangguan mental
yang dialami orang tua merupakan hal-hal yang data mempengaruhi
efektifitas inetrvensi. Intervensi tambahan atau alternatif perlu
dipertimbangkan untuk dilakukan guna mengatasi faktor-faktor
tersebut.
2. Telaah multidisipliner
Tinjauan/telaah atau evaluasi multidisiplin oleh psikolog klinis, psikiater,
maupun profesional lain yang terkait perlu dilakukan jika pasien tidak
menunjukkan respon atau kemajuan yang baik atas intervensi awal yang dilakukan.

276
Gangguan Obsesif Kompulsif

3. Intervensi intensif dan rawat inap


a. Pasien dengan tingkat gangguan yang berat dan kronis perlu mendapatkan
akses penanganan lanjutan secara intensif oleh tenaga Kesehatan mental
profesional secara multidisiplin.
b. Penanganan dengan seting rawat inap perlu dilakukan untuk sebagian pasien
gangguan obsesif kompulsif, terutama jika:
i. Terdapat risiko terhadap hidup pasien.
ii. Terdapat pengabaian diri yang parah.
iii. Terdapat tekanan atau hambatan fungsional yang ekstrim.
iv. Tidak ada respon atau kemajuan setelah menjalani intervensi
psikologis/farmakologis/kombinasi keduanya meskipun sudah
dilakukan dalam waktu yang lama.
v. Jika pasien memiliki diagnosis lain seperti depresi berat, anorexia
nervosa atau skizofrenia yang membuat rawat jalan sulit untuk
dilakukan secara optimal.
vi. Pasien mengalami perubahan pola tidur yang membuat kehadiran untuk
intervensi di siang hari sulit untuk dilakukan.
vii. Perilaku kompulsif dan menghindar sangat berat sehingga membuat
pasien kesulitan menjalani aktivitas sehari-hari secara normal.
c. Menghubungkan pasien dengan lingkungan yang suportif untuk
pengembangan ketrampilan hidup dan kemandirian mereka
4. Pelepasan dan pemulihan
a. Ketika pasien menunjukkan perbaikan gejala (gejala yang muncul tidak
signifikan dan pasien dapat berfungsi dengan baik selama 12 minggu), maka
perlu dilakukan peninjauan secara rutin selama 12 bulan. Frekuensi kontak
dengan psikolog klinis dapat diatur berdasar kesepakatan dengan pasien
dan/atau keluarga pasien. Apabila di akhir periode 12 bulan pemulihan
terjaga dengan baik maka pasien dapat dilepaskan dari rangkaian proses
intervensi.
b. Gejala pada gangguan obsesif kompulsif bersifat fluktuatif dan mungkin saja
muncul kembali setelah pasien sukses melewati rangkaian intervensi. Jika
pasien seperti ini datang kembali maka lakukan penanganan sesegera
mungkin.

277
Gangguan Obsesif Kompulsif

Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam menjalankan intervensi psikologis untuk


gangguan obsesif kompulsif
1. Pasien dewasa
a. Untuk pasien dewasa dengan pikiran obsesif namun tidak tampak perilaku
kompulsif sebaiknya dilakukan CBT (meliputi metode exposure untuk
pikiran obsesif dan response prevention untuk ritual dan strategi pasien
menetralisir kecemasannya).
b. Untuk pasien dewasa dengan gangguan obsesif kompulsif, terapi kognitif
yang telah diadaptasi untuk penanganan gangguan obsesif kompulsif
sebaiknya dilakukan sebagai tambahan dari ERP untuk memperkuat
penurunan gejala jangka panjang.
c. Untuk pasien dewasa dengan gangguan obsesif kompulsif yang tinggal
dengan keluarga atau pengasuh, melibatkan anggota keluarga sebagai co-
therapist dalam pelaksanaan ERP perlu dipertimbangkan, jika memang
dirasa sesuai dan dapat diterima oleh mereka yang terlibat.
d. Untuk pasien dewasa dengan gangguan obsesif kompulsif dengan gangguan
fungsional yang lebih parah yang tinggal di rumah, tidak mampu atau enggan
untuk datang ke klinik, atau memiliki masalah menimbun barang yang cukup
signifikan, maka penanganan berbasis rumah dapat dipertimbangkan.
e. Untuk pasien dewasa dengan gangguan obsesif kompulsif dengan gangguan
fungsional yang lebih parah yang tinggal di rumah dan tidak dapat
melakukan perawatan di rumah karena sifat gejalanya (seperti masalah
kontaminasi atau penimbunan yang mencegah akses terapis ke rumah pasien),
metode CBT melalui telepon dapat dipertimbangkan.
f. Untuk pasien dewasa dengan gangguan obsesif kompulsif yang menolak atau
tidak dapat mengikuti penanganan yang di dalamnya mencakup ERP maka
sebaiknya dilakukan terapi kognitif individual yang secara spesifik
diadaptasi untuk gangguan obsesif kompulsif.
g. Ketika pasien dewasa dengan gangguan obsesif kompulsif meminta bentuk
terapi psikologis selain terapi kognitif dan/atau perilaku sebagai pengobatan
khusus untuk gangguan obsesif kompulsif (seperti psikoanalisis, analisis
transaksional, hipnosis, terapi perkawinan/pasangan), mereka harus
diberikan informasi bahwa belum ada bukti yang meyakinkan mengenai efek
klinis penting dari metode tersebut.
h. Ketika anggota keluarga atau pengasuh pasien dengan obsesif kompulsif
telah terlibat dalam perilaku kompulsif, penghindaran, atau upaya
menenangkan hati maka rencana penanganan harus membantu mereka

278
Gangguan Obsesif Kompulsif

mengurangi keterlibatan mereka dalam perilaku tersebut dengan cara yang


sensitif dan suportif.
i. Pasien dewasa dengan gangguan obsesif kompulsif yang memiliki gangguan
fungsional yang signifikan perlu memperoleh akses untuk mendapatkan
bantuan transportasi yang memungkinkan mereka untuk dapat menghadiri
program intervensi.
j. Menjelang akhir intervensi, psikolog klinis harus memberi tahu pasien
bahwa prinsip yang dipelajari dapat diterapkan pada gejala yang sama atau
gejala lainnya jika muncul di masa mendatang.
2. Pasien anak dan remaja
Penanganan psikologis untuk pasien anak-anak dan remaja harus bersifat
kolaboratif dan melibatkan keluarga atau pengasuh. Selain itu, psikolog klinis
harus mempertimbangkan konteks yang lebih luas dan profesional lain yang
terlibat. Rekomendasi tentang penggunaan intervensi psikologis untuk orang
dewasa juga dapat dipertimbangkan, jika sesuai.
a. Penerapan CBT untuk anak-anak yang mengalami gangguan obsesif
kompulsif sebaiknya memperhatikan secara khusus hal-hal sebagai berikut:
i. Mengembangkan dan menjaga hubungan terapeutik yang baik dengan
pasien anak atau remaja, demikian pula dengan keluarga atau
pengasuh mereka
ii. Menjaga optimisme pasien maupun keluarga atau pengasuhnya
iii. Secara kolaboratif dengan pasien mengidentifikasi target awal dan
target lanjutan dari intervensi yang dilakukan
iv. Secara aktif melibatkan keluarga atau pengasuh dalam merencanakan
intervensi dan juga dalam proses intervensi, terutama dalam
pelaksanaan ERP di mana mereka dapat diminta untuk mendampingi
pasien
v. Mendorong penggunaan ERP jika suatu gejala baru atau berbeda
muncul setelah intervensi berhasil
vi. Berhubungan dengan profesional lain yang terlibat dalam kehidupan
pasien, termasuk guru, pekerja sosial, dan profesional tenaga
kesehatan lainnya, terutama bila aktivitas kompulsif mengganggu
fungsi keseharian pasien.
vii. Menawarkan satu atau lebih sesi tambahan jika diperlukan setelah
seluruh sesi CBT selesai dilakukan
b. Dalam penanganan psikologis pasien anak-anak dan remaja dengan gangguan
obsesif kompulsif, psikolog klinis harus mempertimbangkan untuk

279
Gangguan Obsesif Kompulsif

menyertakan pemberian reward untuk meningkatkan motivasi mereka dan


memperkuat perubahan perilaku yang diinginkan.

Prognosis

Dalam Sharma dan Math (2019) disebutkan bahwa selama 2-3 dekade terakhir hasil
jangka panjang pada gangguan obsesif kompulsif tidak selalu buruk. Setidaknya
setengah dari pasien yang mencari penanganan menunjukkan perbaikan gejala dalam
jangka panjang. Gangguan yang berlangsung dalam jangka pendek dengan tingkat
keparahan rendah yang ditangani secara dini dan intensif serta penanganan
berkelanjutan dalam jangka panjang memiliki hasil yang baik. Studi terbaru juga
mengidentifikasi neuroimaging dan korelasi neuropsikologis dengan hasil yang baik,
meskipun hal ini masih membutuhkan studi lebih lanjut untuk memperoleh bukti
empiris yang lebih kuat.

280
Gangguan Obsesif Kompulsif

Referensi

American Psychiatric Association. (2013). Diagnostic and Statistical Manual of


Mentall Disorder Edition (DSM-5). Washington: American Psychiatric
Publishing.
National Institute of Mental Health. (2020). Obsesive Compulsive Disorder: When
Unwanted Thoughts or Repetitive Behaviors Take Over. Diakses pada tanggal 30
November 2020 dari https://www.nimh.nih.gov/health/publications/obsessive-
compulsive-disorder-when-unwanted-thoughts-take-over/index.shtml
National Institute for Health and Care Excellence. (2019). Obsessive Compulsive
Disorder and Body Dysmorphic Disorder: Treatment. Diakses pada tanggal 30
November 2020 dari https://www.nice.org.uk/guidance/cg31/chapter/1-Guidance
Maslim, R. (2013). Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa Rujukan Ringkas dari
PPDGJ – III dan DSM 5. Jakarta : Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK Unika Atma
Jaya.
Pedersen, D. D. (2014). Psych Notes Clinical Pocket Guide (Vol. 4). Philadelphia: F A
Davis Company.
Sharma, E & Math, S.B. (2019). Course and Outcome Of Obsessive Compulsive
Disorder. Indian Journal of Psychiatry, 61. Diakses pada tanggal 30 November
2020 dari https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC6343417/
World Health Organization. (2011). International Statistical Classification of Disease
and Related Health Problems Tenth Revision Volume 2 (second edition). Geneva:
World Health Organization.

281
20. Gangguan Dismorfik Tubuh

Batasan dan Uraian Umum

Sebagaimana tercantum dalam Diagnostic and Statistical Manual of Mental


Disorders edisi ke-5 (DSM-5) (American Psychiatric Association, 2013), body
dysmorphic disorder (selanjutnya disebut gangguan dismorfik tubuh) merupakan suatu
gangguan mental dimana pasien memiliki preokupasi dengan satu atau lebih
kekurangan yang dirasakan dalam penampilan fisik mereka yang mereka yakini terlihat
jelek, tidak menarik, abnormal, atau cacat. Cacat yang dirasakan tidak dapat diamati
atau hanya tampak kecil bagi orang lain. Perhatian pasien berkisar dari terlihat "tidak
menarik" atau "tidak benar" hingga terlihat "mengerikan" atau "seperti monster".
Perhatian pasien yang mengalami gangguan ini dapat berfokus pada satu atau
banyak area tubuh, paling umum pada kulit (misalnya timbulnya jerawat, bekas luka,
garis, kerutan, pucat), rambut (misalnya rambut yang "menipis" atau rambut tubuh atau
wajah yang "berlebihan"), atau hidung (misalnya, ukuran atau bentuk). Namun, area
tubuh manapun dapat menjadi fokus perhatian (misalnya mata, gigi, berat badan, perut,
payudara, kaki, ukuran atau bentuk wajah, bibir, dagu, alis, alat kelamin). Beberapa
pasien prihatin tentang asimetri yang dirasakan pada area tubuh. Perhatian berlebihan
pada kondisi tubuh ini bersifat mengganggu, tidak diinginkan, memakan waktu (terjadi,
rata-rata, 3-8 jam per hari), dan biasanya sulit untuk ditolak atau dikendalikan.

Manifestasi Klinis

1. Preokupasi berlebihan dengan satu atau lebih kekurangan yang dirasakan dalam
penampilan fisik mereka yang mereka yakini terlihat jelek, tidak menarik,
abnormal, atau cacat.
2. Muncul perilaku berulang yang berlebihan atau tindakan mental (misalnya
membandingkan) sebagai respons terhadap preokupasi yang ada. Pasien merasa
terdorong untuk melakukan perilaku ini yang bersifat tidak menyenangkan dan
dapat meningkatkan kecemasan dan kesedihan. Perilaku ini memakan waktu dan
sulit untuk ditolak atau dikendalikan. Perilaku yang umum dilakukan adalah
membandingkan penampilan pasien dengan orang lain; berulang kali memeriksa
cacat yang dirasakan pada cermin atau permukaan pemantul lainnya atau
memeriksanya secara langsung; perawatan berlebihan (misalnya menyisir, menata,
mencukur, mencabut, atau menarik rambut); penyamaran (misalnya berulang kali
merias wajah atau menutupi area yang tidak disukai dengan hal-hal seperti topi,
pakaian, riasan, atau rambut); mencari kepastian tentang bagaimana kelemahan
282
Gangguan Dismorfik Tubuh

yang dirasakan terlihat; menyentuh area yang tidak disukai untuk memeriksanya;
berolahraga secara berlebihan atau mengangkat beban; dan mencari prosedur
kosmetik.
3. Beberapa orang melakukan penggelapan kulit secara berlebihan (misalnya untuk
menggelapkan kulit yang "pucat" atau menghilangkan kesan jerawat), berulang
kali mengganti pakaian mereka (misalnya menyamarkan cacat yang dirasakan),
atau berbelanja secara kompulsif (misalnya untuk produk kecantikan). Pengelupas
kulit yang dimaksudkan untuk memperbaiki cacat kulit yang dirasakan juga
merupakan hal yang biasa dilakukan dan dapat menyebabkan kerusakan kulit,
infeksi, atau pecahnya pembuluh darah.
4. Muscle dysmorphia merupakan suatu bentuk gangguan dismorfik tubuh yang
terjadi secara eksklusif pada pria, terdiri dari preokupasi dengan gagasan bahwa
tubuhnya terlalu kecil, kurang ramping atau kurang berotot. Pasien dengan bentuk
kelainan ini sebenarnya memiliki tubuh yang terlihat normal atau bahkan sangat
berotot. Mereka mungkin juga disibukkan dengan area tubuh lain, seperti kulit atau
rambut. Mayoritas (tapi tidak semua) diet, olahraga, dan/atau angkat beban secara
berlebihan, terkadang menyebabkan kerusakan tubuh. Beberapa menggunakan
steroid anabolik-androgenik yang berpotensi berbahaya dan zat lain untuk
mencoba membuat tubuh mereka lebih besar dan lebih berotot.
5. Body dysmorphic disorder by proxy adalah bentuk gangguan dismorfik tubuh di
mana pasien memiliki preokupasi dengan cacat yang mereka rasakan dalam
penampilan orang lain.
6. Kesadaran mengenai keyakinan gangguan dismorfik tubuh dapat berkisar dari baik
hingga tidak ada/delusi (yaitu keyakinan delusional yang kuat bahwa pandangan
pasien tentang penampilan dirinya bersifat akurat dan tidak terdistorsi). Rata-rata
kesadaran pasien dengan gangguan dismorfik tubuh buruk; sepertiga atau lebih
pasien dengan gangguan dismorfik tubuh saat ini memiliki keyakinan delusional.
7. Pemikiran dan perilaku tersebut di atas secara serius berdampak negatif pada
kehidupan pekerjaan, sosial, dan hubungan dengan orang lain.
8. Dapat muncul gejala depresi , menyakiti diri, atau pikiran untuk bunuh diri.

Asesmen dan Diagnosis

Identifikasi
1. Identifikasi dapat dilakukan dengan melihat adanya risiko tinggi pada pasien
(misalnya pada pasien dengan gejala depresi, kecemasan, penyalahgunaan alkohol
atau zat, gangguan obsesif kompulsif atau gangguan makan), atau pasien dengan

283
Gangguan Dismorfik Tubuh

cacat atau noda ringan pada tubuh yang mencari prosedur kosmetik atau
dermatologis. Apabila menemui kondisi tersebut, psikolog klinis perlu
mengeksplorasi kemungkinan gangguan dismorfik tubuh dengan wawancara
mengenai gejala gangguan dismorfik tubuh mungkin ada, seperti:
a. Apakah Anda sangat mengkhawatirkan penampilan anda dan berharap Anda
bisa tidak terlalu memikirkannya?
b. Hal spesifik apa yang menjadi perhatian khusus Anda terhadap penampilan
Anda?
c. Pada hari biasa, berapa jam dalam sehari yang Anda habiskan untuk
memikirkan penampilan anda? (lebih dari satu jam dalam sehari tergolong
berlebihan)
d. Bagaimana efek hal tersebut pada kehidupan Anda?
e. Apakah hal tersebut membuat Anda menjadi kesulitan dalam melakukan
pekerjaan atau dalam pergaulan?
2. Pada pasien yang telah terdiagnosa gangguan dismorfik tubuh, psikolog klinis
sebaiknya memeriksa adanya risiko menyakiti diri dan bunuh diri, terutama jika
pasien juga telah terdiagnosa mengalami depresi. Kondisi penyerta lainnya serta
dan faktor psikososial yang dapat berkontribusi pada munculnya risiko tersebut
juga perlu diperhatikan
3. Semua pasien anak dan remaja yang telah terdiagnosa gangguan dismorfik tubuh
juga sebaiknya dilakukan asesmen untuk melihat adanya ide bunuh diri dan
asesmen risiko secara menyeluruh sebelum terapi dilakukan. Apabila
teridentifikasi adanya risiko, maka seluruh professional yang terlibat dalam
penanganan pasien perlu diinformasikan.
Asesmen
Mengacu pada International OCD Foundation (2019, Desember 12), asesmen yang
dapat digunakan di antaranya:
1. Body Dismorphic Disorder Questionnaire (BDDQ)
2. Body Image Disturbance Questionnaire (BIDQ)
3. Pengukuran/penegakan diagnosis
4. Structured Clinical Interview for DSM-5 (SCID)
5. BDD Diagnostic Module
6. Body Dysmorphic Disorder Examination (BDDE)
7. Alat ukur tingkat keparahan gejala
8. BDD-YBOCS
9. BDD PSR
284
Gangguan Dismorfik Tubuh

10. Body Dysmorphic Disorder Examination (BDDE)


11. Pengukuran Insight
12. Brown Assessment Beliefs Scale (BABS)
13. Overvalued Ideas Scale

Diagnosis
Kiteria gangguan dismorfik tubuh berdasarkan DSM-5 dapat dilihat pada tabel
3.20.1.
Tabel 3.20.1
Kriteria Diagnosis Gangguan Dismorfik tubuh Berdasarkan DSM-5
Kriteria Diagnostik (Menurut DSM 5) Ada Tidak
A. Preokupasi terhadap satu atau lebih penampilan fisik
yang dipersepsikan cacat atau terdapat kekurangan,
dimana cacat atau kekurangan tersebut tidak tampak
atau hanya tampak kecil bagi orang lain.
B. Di beberapa poin selama terjadinya gangguan, pasien
menunjukkan perilaku berulang (misalnya: bercermin,
perawatan berlebihan, mengelupas kulit, memastikan
penampilan berulang kali) atau tindakan mental
(misalnya membandingkan penampilan diri dengan
orang lain) sebagai respon atas perhatian yang tinggi
terhadap penampilan.
C. Preokupasi terhadap penampilan menyebabkan
tekanan atau gangguan pada fungsi sosial, pekerjaan,
atau area penting lainnya.
D. Preokupasi terhadap penampilan tidak lebih baik
dijelaskan sebagai perhatian terhadap kegemukan atau
berat padan pada pasien yang memenuhi kriteria
diagnosis gangguan makan.

Spesifikasikan jika dengan muscle dysmorphia di mana pasien memiliki


preokupasi terhadap pemikiran bahwa struktur tubuhnya terlalu kecil atau tidak cukup
berotot. Spesifikasi ini tetap digunakan meskipun pasien juga memiliki preokupasi pada
bagian tubuh yang lain.
Spesifikasikan jika indikasi tingkat kesadaran pasien atas keyakinan gangguan
dismorfik tubuhnya (misalnya “saya tampak buruk rupa atau “saya tampak cacat”)
285
Gangguan Dismorfik Tubuh

Dengan kesadaran baik atau rata-rata: pasien menyadari bahwa keyakinan


gangguan dismorfik tubuhyang ada pastinya atau mungkin tidak benar.
Dengan kesadaran yang buruk maka pasien berpikir bahwa keyakinan gangguan
dismorfik tubuhyang ada mungkin benar. Namun, dengan tidak ada
kesadaran/keyakinan bersifat delusional maka pasien sepenuhnya meyakini bahwa
keyakinan gangguan dismorfik tubuh yang ada adalah benar.

Diagnosis Banding

1. Perhatian terhadap penampilan yang bersifat normal dan cacat fisik yang terlihat
jelas
2. Gangguan terkait obsesif kompulsif lainnya
3. Gangguan makan
4. Gangguan kecemasan akan penyakit
5. Gangguan depresi
6. Gangguan kecemasan
7. Gangguan psikotik

Komorbiditas

1. Depresi mayor
2. Gangguan obsesif kompulsif
3. Gangguan kecemasan sosial
4. Gangguan penyalahgunaan zat

Intervensi Psikologi

Mengacu pada advance review yang dilakukan oleh Fang dan Wilhem, S (2015)
serta panduan yang dikeluarkan oleh National Institute for Health and Care Excellence
(2019), intervensi yang direkomendasikan untuk penanganan gangguan dismorfik
tubuh adalah menggunakan pendekatan CBT. CBT yang digunakan untuk gangguan
dismorfik tubuh meliputi unsur:
1. Psikoedukasi dan formulasi kasus
Berdasarkan informasi yang dikumpulkan selama asesmen awal, psikolog
klinis dan pasien bersama-sama mengembangkan model kognitif-perilaku untuk
gejala spesifik gangguan dismorfik tubuh pada pasien, termasuk kemungkinan
mekanisme yang menyebabkan dan/atau mempertahankan gejala.

286
Gangguan Dismorfik Tubuh

2. Melibatkan pasien
Keyakinan penampilan pasien gangguan dismorfik tubuh seringkali bersifat
delusif, sehingga dapat menjadi tantangan tersendiri untuk melibatkan pasien
dalam intervensi. Oleh karena itu, perlu dilakukan teknik tertentu untuk
memotivasi pasien yang ragu untuk memulai CBT.
3. Intervensi Kognitif
Pasien gangguan dismorfik tubuh mengalami distorsi kognitif termasuk
adanya pemikiran perfeksionis (misalnya: “jerawat saya membuat saya terlihat
sangat mengerikan") dan identifikasi emosi / pembacaan pikiran yang terdistorsi
dan bersifat delusional (misalnya: "Orang yang duduk diseberang saya ini
memiliki ekspresi aneh di wajahnya, dia mungkin sangat jijik dengan kulit saya ”).
Pada intervensi kognitif, pasien diajak untuk mempelajari keterampilan
restrukturisasi kognitif untuk mengidentifikasi distorsi kognitif dan mencari
penilaian situasi alternatif (misalnya:"Ada kemungkinan pria itu memikirkan hal
lain yang lebih penting baginya) Dengan demikian, restrukturisasi kognitif
menargetkan bias interpretif negatif dalam gangguan dismorfik tubuh dengan
mempertimbangkan adanya penjelasan alternatif atas hasil pasien.
Intervensi kognitif juga meliputi strategi agar pasien dapat mengidentifikasi
adanya keyakinan yang kurang tepat mengenai harga diri mereka (misalnya: “Saya
hanya berarti jika penampilanku membaik”, atau “Hidupku berakhir karena
penampilanku” , dan kemudian mencari alternatif sumber dari dalam diri yang
lebih luas untuk meningkatkan penghargaan diri mereka (misalnya: Bakat,
Kecerdasan, Sikap moral yang baik).
4. Mindfullness/ Perceptual Retraining
Perceptual retraining dikombinasikan dengan mindfulness untuk membantu
pasien belajar memperluas sudut pandangnya dan memperhatikan aspek lain pada
diri mereka sendiri selain kekurangan yang dirasakan. Pasien diinstruksikan untuk
berdiri. Pasien diminta untuk berdiri dengan jarak satu lengan dari cermin, lalu
menjelaskan setiap bagian tubuh dari kepala sampai kaki. Mereka belajar
mengamati dan menjelaskan penampilan mereka dengan cara yang penuh
perhatian, holistik, dan tidak menghakimi. Daripada hanya menatap mata yang
tidak disukai dan berkata: "Mataku jelek," pasien diajarkan untuk mencurahkan
perhatian dalam jumlah waktu yang sama untuk setiap bagian tubuh,
menggunakan bahasa deskriptif dan tidak menghakimi seperti "Mataku berwarna
coklat dan berbentuk almond”, “Saya memiliki alis coklat”, “Warna kulit saya
pucat". Dengan memperhatikan setiap bagian tubuh secara merata tanpa

287
Gangguan Dismorfik Tubuh

memandang tingkat kekhawatiran, pasien gangguan dismorfik tubuh melawan


keinginan mereka untuk mengamati sebagian kecil dari penampilan mereka.
Pasien juga diminta menghindari perilaku "memperbaiki penampilan"
selama latihan ini. Selain itu, mereka belajar untuk melatih kembali perhatian saat
berinteraksi dengan orang lain daripada hanya membandingkan penampilan
mereka dengan orang lain. Mereka belajar memperhatikan aspek lain dari orang
lain, serta lingkungan mereka.
5. Exposure and Ritual Prevention (ERP)
Pasien didorong untuk berani menghadapi situasi yang menimbulkan
kecemasan bagi mereka dengan cara memaparkan pasien pada situasi tersebut
secara berulang serta mencegah dilakukannya ritual menghindari atau
memperbaiki penampilan yang biasa dilakukan pasien. Contohnya pada pasien
yang memiliki pemikiran bahwa “Aku akan ditertawakan jika pergi naik kereta
tanpa make-up”. Paparan pada kondisi naik kereta tanpa make-up secara berulang
akan membuat pasien mempelajari bahwa prediksi atau kekhawatiran mereka
tidak terjadi, atau kalaupun terjadi mereka dapat berhasil melewatinya. Pada
bentuk ritual lain, misalnya bercermin secara berlebihan, dapat dilakukan
pemonitoran atas frekuensi bercermin dan situasi apa aja yang memicu
dilakukannya ritual tersebut untuk kemudian dicari strategi spesifik untuk
mencegahnya.
6. Pencegahan kekambuhan
Di akhir intervensi, pasien diajak untuk fokus pada konsolidasi ketrampilan
yang sudah dipelajari dan bagaimana strategi untuk tetap menjaga manfaat
intervensi yang telah didapatkan.
7. Intervensi Tambahan
Intervensi atau modul tambahan dapat dilakukan untuk kondisi spesifik
misalnya ketika pasien memiliki simtom secara kompulsif mencabuti kulit atau
rambut; perhatian berlebihan pada otot atau bentuk tubuh atau mencari perawatan
kecantikan
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam menjalankan intervensi psikologis untuk
gangguan dismorfik tubuh
1. Pasien Dewasa
a. Pasien dengan gangguan fungsional ringan sebaiknya disarankan untuk
menjalani CBT yang mentargetkan pada manifestasi gejala gangguan
dismorfik tubuh di latar individual maupun kelompok.

288
Gangguan Dismorfik Tubuh

b. Pasien dengan gangguan fungsional taraf sedang sebaiknya disarankan untuk


menjalani CBT secara lebih intensif atau farmakoterapi dengan bantuan
psikiater
c. Pasien dengan gangguan fungsional taraf berat sebaiknya disarankan untuk
menjalankan kombinasi intervensi CBT dan farmakoterapi (oleh psikiater)
d. Ketika anggota keluarga atau pengasuh pasien gangguan dismorfik tubuh
telah terlibat dalam perilaku kompulsif, penghindaran atau, upaya
menenangkan hati, maka rencana penanganan harus membantu mereka
mengurangi keterlibatan mereka dalam perilaku tersebut dengan cara yang
sensitif dan suportif
e. Pasien dewasa dengan gangguan dismorfik tubuh yang memiliki gangguan
fungsional yang signifikan, perlu memperoleh akses untuk mendapatkan
bantuan transportasi yang memungkinkan mereka untuk dapat menghadiri
program intervensi
f. Menjelang akhir intervensi, psikolog klinis harus memberi tahu pasien
bahwa prinsip yang dipelajari dapat diterapkan pada gejala yang sama atau
gejala lainnya jika muncul di masa mendatang.
2. Pasien Anak dan Remaja
Penanganan psikologis untuk anak-anak dan remaja harus bersifat
kolaboratif dan melibatkan keluarga atau pengasuh. Selain itu, Psikolog klinis
harus mempertimbangkan konteks yang lebih luas dan profesional lain yang
terlibat. Rekomendasi tentang penggunaan intervensi psikologis untuk orang
dewasa juga dapat dipertimbangkan, jika sesuai.
a. Penerapan CBT untuk anak-anak dan remaja, sebaiknya memperhatikan
secara khusus hal-hal sebagai berikut:
i. Mengembangkan dan menjaga hubungan terapeutik yang baik dengan
pasien anak atau remaja, demikian pula dengan keluarga atau pengasuh
mereka;
ii. Menjaga optimisme pasien maupun keluarga atau pengasuhnya;
iii. Secara kolaboratif dengan pasien mengidentifikasi target awal dan
target lanjutan dari intervensi yang dilakukan;
iv. Secara aktif melibatkan keluarga atau pengasuh dalam merencanakan
intervensi dan juga dalam proses intervensi, terutama dalam
pelaksanaan ERP dimana mereka dapat diminta untuk mendampingi
pasien;
v. Mendorong penggunaan ERP jika suatu gejala baru atau berbeda
muncul setelah intervensi berhasil;

289
Gangguan Dismorfik Tubuh

vi. Berhubungan dengan profesional lain yang terlibat dalam kehidupan


pasien, termasuk guru, pekerja sosial, dan profesional tenaga kesehatan
lainnya, terutama bila aktivitas kompulsif mengganggu fungsi
keseharian pasien;
vii. Apabila pasien tidak dapat mengikuti intervensi maka perlu
dipertimbangkan untuk merujuk pada psikiater untuk mendapatkan
farmakoterapi;
viii. Kemunculan kondisi komorbid, gangguan belajar, faktor risiko
psikososial seperti perselisihan keluarga, atau adanya gangguan mental
yang dialami orang tua merupakan hal-hal yang data mempengaruhi
efektifitas intervensi. Intervensi tambahan atau alternatif perlu
dipertimbangkan untuk dilakukan guna mengatasi faktor-faktor
tersebut.
b. Dalam penanganan psikologis pasien anak-anak dan remaja dengan
gangguan gangguan dismorfik tubuh, psikolog klinis harus
mempertimbangkan untuk menyertakan pemberian reward untuk
meningkatkan motivasi mereka dan memperkuat perubahan perilaku yang
diinginkan.

Prognosis

Gangguan dismorfik tubuh adalah kondisi yang serius dan seringkali kronis.
Tingkat komorbiditas yang tinggi dan efek merugikan yang mendalam pada fungsi
psikososial mendasari kualitas hidup yang sangat buruk dan kecenderungan tingkat
bunuh diri yang sangat tinggi. Penderita gangguan dismorfik tubuh sering mencari
perawatan kosmetik yang seringkali justru memperburuk keparahan gangguan.
Prognosis untuk gangguan dismorfik tubuh tergolong buruk, terutama jika tidak dirujuk
untuk menjalani penanganan kesehatan mental. Beberapa faktor yang dapat
menentukan prognosis di antaranya tingkat keparahan, lamanya gangguan, serta jika
awal kemunculan gangguan sebelum usia 18 tahun (Thiele, 2015).

290
Gangguan Dismorfik Tubuh

Referensi

American Psychiatric Association. (2013). Diagnostic and Statistical Manual of


Mentall Disorder Edition (DSM-5). Washington : American Psychiatric
Publishing.
Fang, A & Wilhem, S. (2015). Clinical Features, Cognitive Biases and Treatment of
Body Dysmorphic Disorder. The Annual Review of Clinical Psychology, 11.
Diakses pada tanggal 3 Desember 2020 dari
https://www.annualreviews.org/doi/abs/10.1146/annurev-clinpsy-032814-
112849
International OCD Foundation. (2019). Assessment Tools for BDD. Diakses dari
https://bdd.iocdf.org/professionals/assessment-tools-for-bdd/ pada tanggal 12
Desember 2020
National Health Service. (2020). Body Dysmorphic Disorder. Diakses pada tanggal 3
Desember 2020 dari https://www.nhs.uk/conditions/body-dysmorphia/
National Institute for Health and Care Excellence. (2019). Obsessive Compulsive
Disorder and Body Dysmorphic Disorder: Treatment. Diakses pada tanggal 30
November 2020 dari https://www.nice.org.uk/guidance/cg31/chapter/1-Guidance
Thiele, J. (2015). Prognosis and the Effect of Body Dysmorphic Disorder on Life.
Diakses pada tanggal 12 Desember 2020 dari
https://www.researchgate.net/publication/312739237_Prognosis_and_the_Effect
_of_Body_Dysmorphic_Disorder_on_Life

291
21. Gangguan Makan

Batasan dan Uraian Umum

Berdasarkan Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders edisi ke-5


(DSM-5) (American Psychiatric Association, 2013), gangguan makan ditandai dengan
gangguan perilaku makan persisten yang mengakibatkan perubahan konsumsi atau
penyerapan makanan dan secara signifikan mengganggu kesehatan fisik atau fungsi
psikososial.
Gangguan makan dikaitkan dengan peningkatan stres dan disabilitas fungsional,
masalah terkait kesehatan, dan bahkan kematian (Reichenberg & Seligman, 2016).
Pasien dengan gangguan makan mengalami komplikasi fisik, komorbiditas psikologis,
kualitas hidup yang buruk, gangguan relasi sosial, distres emosional, isolasi sosial dan
masalah ekonomi (Beating Eating Disorders Charity, 2015).
Subtipe dari gangguan makan menurut DSM-5 adalah sebagai berikut:
1. Pica
2. Rumination disorders
3. Avoidant/restrictive food intake disorders
4. Anorexia nervosa
5. Bulimia nervosa
6. Gangguan Binge eating
7. Other spescified feeding or eating disorders
8. Unspecified feeding or eating disorders
Skema DSM-5 mengklasifikasikan dan mendiagnosis 3 (tiga) gangguan makan
spesifik yang umum, yaitu: anorexia nervosa, bulimia nervosa, dan binge eating
(American Psychiatric Association, 2013). Panduan penanganan yang akan diuraikan
disini hanya untuk 3 tipe gangguan makan yang paling umum, yaitu anorexia nervosa,
bulimia nervosa, dan binge-eating.

Manifestasi Klinis

1. Anorexia Nervosa
a. Evaluasi berlebihan terhadap bentuk dan berat badan yaitu menilai harga diri
secara umum atau eksklusif dari bentuk dan berat badan;
b. Sering kali diekspresikan dalam bentuk keinginan yang kuat untuk menjadi
kurus serta ketakutan yang intens akan bertambahnya berat badan dan
menjadi gemuk;
292
Gangguan Makan

c. Menjaga dan mempertahankan berat badan terlalu rendah kurang dari 85%
dari yang diharapkan atau indeks massa tubuh ≤ 17,51;
d. Gejala lain dari gangguan tersebut termasuk citra tubuh yang terganggu dan
takut kehilangan kendali;
e. Gejala fisiologis gangguan ini meliputi intoleransi, kulit kering, peningkatan
rambut halus pada tubuh, tekanan darah rendah, dan edema;
f. Perubahan metabolisme, kehilangan kalium, dan kerusakan jantung dapat
terjadi akibat gangguan ini dan bisa mematikan;
g. Kompulsi seperti gangguan obsesi kompulsif terkait makanan sering terlihat
dan termasuk dalam ritual perilaku seputar binge (makan berlebih).
2. Bulimia Nervosa
a. Evaluasi berlebihan terhadap bentuk dan berat badan, seperti pada anorexia
nervosa;
b. Makan berlebihan secara berulang (binge-eating), yaitu suatu episode makan
di mana individu mengonsumsi makanan dalam jumlah besar dari
kebanyakan orang dalam periode waktu yang sama dan ada perasaan
kehilangan kendali pada saat itu;
c. Perilaku pengendalian berat badan yang ekstrem dengan menggunakan
berbagai perilaku kompensasi termasuk diet ketat, memuntahkan makanan
yang diinduksi sendiri, penyalahgunaan obat pencahar, penggunaan diuretik,
enema, dan pil diet, puasa, olahraga berlebihan, atau kombinasi dari perilaku
tersebut;
d. Tanda fisik yang biasanya menyertai perilaku muntah seperti pembengkakan
kelenjar parotis, bekas luka di punggung tangan (dari kontak dengan gigi saat
muntah), suara serak, dan mulut kering.
3. Makan berlebihan (binge-eating)
a. Makan berlebihan secara berulang yang ditandai dengan mengonsumsi
makanan dalam jumlah besar tanpa adanya perilaku kontrol berat badan yang
ekstrem seperti yang terlihat pada bulimia nervosa dan anorexia nervosa;
b. Makan lebih cepat;
c. Makan sampai kenyang;
d. Makan dalam jumlah banyak bahkan saat tidak lapar;
e. Makan sendiri;
f. Merasa jijik atau bersalah terhadap perilaku makannya.

293
Gangguan Makan

Asesmen dan Diagnosis

Identifikasi
1. Pasien dengan gangguan makan harus dievaluasi dan diberikan penanganan sedini
mungkin;
2. Penanganan dini sangat penting bagi pasien yang memiliki atau berisiko mengidap
emaciation (pengurusan secara ekstrem) parah, sehingga penanganan harus
diprioritaskan;
3. Gangguan makan dapat terjadi pada semua umur, namun risiko tertinggi terdapat
pada remaja (laki-laki dan perempuan) yang berumur antara 13 sampai dengan 17
tahun;
4. Hindari hanya menggunakan satu alat ukur sebagai metode dalam menetapkan
adanya gangguan makan pada pasien;
5. Dalam melakukan identifikasi dan evaluasi gangguan makan atau memutuskan
pemberian rujukan, perhatikan beberapa hal berikut ini:
a. Body Mass Index (BMI) guna melihat berat badan yang tidak wajar untuk
usianya;
b. Penurunan berat badan secara terus menerus;
c. Diet ketat atau perilaku membatasi makan yang membahayakan;
d. Anggota keluarga atau caregiver melaporkan adanya perubahan dalam
perilaku makan;
e. Menarik diri secara sosial, terutama pada situasi yang melibatkan makanan
f. Adanya masalah mental lainnya;
g. Kekhawatiran yang tidak wajar mengenai berat badan atau ukuran tubuh
pasien;
h. Gangguan menstruasi atau gangguan endokrin lain, atau gejala percernaan
yang tidak dapat dijelaskan secara medis;
i. Tanda fisik berupa malnutrisi, termasuk sirkulasi yang buruk, kepala pusing,
takikardi (palpitasi), pingsan, atau berwajah pucat, serta perilaku
kompensasi;
j. Rasa sakit pada abdomen yang berkaitan dengan muntah atau diet ketat, yang
tidak dapat dijelaskan secara medis;
k. Gigi yang aus secara tidak wajar (seperti terjadinya pengikisan);
l. Memiliki aktivitas pekerjaan yang berkaitan dengan risiko tinggi akan
gangguan makan (contohnya atlet, penari, atau model).

294
Gangguan Makan

Rujukan
Jika pada evaluasi dini terdapat dugaan gangguan makan maka segera rujuk pasien
kepada layanan professional gangguan makan yang sesuai umur pasien untuk
mendapatkan evaluasi penanganan lebih lanjut.
Asesmen
1. Wawancara klinis
Psikolog klinis harus mengevaluasi beberapa hal berikut pada pasien yang
diduga memiliki gangguan makan:
a. Kesehatan fisik, termasuk memeriksa efek dari malnutrisi atau perilaku
kompensasi;
b. Masalah kesehatan jiwa yang umumnya berkaitan dengan gangguan makan
seperti depresi, kecemasan, melukai diri, dan gangguan obsesif kompulsif;
c. Kemungkinan adanya penyalahgunaan minuman beralkohol dan zat adiktif;
d. Kebutuhan penanganan darurat pada pasien yang kesehatan fisiknya rentan
atau memiliki risiko bunuh diri.
2. Observasi klinis
Observasi klinis dilakukan pada pasien dengan dugaan gangguan makan
untuk mengamati beberapa hal berikut ini:
a. Pasien anak dan remaja yang memiliki gangguan makan mungkin akan
memperlihatkan pertumbuhan yang melambat (contohnya berat badan atau
tinggi badan yang rendah untuk usianya) atau pubertas yang tertunda;
b. Perhatikan gejala fisiologis yang merupakan manifestasi klinis pada masing-
masing gangguan makan.
3. Tes psikologi
Asesmen dengan menggunakan alat tes psikologi dilakukan untuk menegakkan
diagnosis gangguan makan secara tepat. Berikut ini terdapat beberapa skala
pengukuran yang diperoleh dari berbagai sumber:
a. Anorexia nervosa
i. Questionnaire on Eating and Weight Patterns-Revised (QEWP-R)
(Yanovski, 1993)
ii. Eating Disorder Examination Questionnaire (EDEQ) (Fairburn, Cooper,
& O’Connor, 2008).
b. Bulimia nervosa & gangguan makan berlebihan
i. Binge Eating Scale (BES) 16 item self-report (Gormally, Black, Daston,
& Rardin, 1982)
295
Gangguan Makan

ii. Eating Expectancy Inventory (EEI), 34 item kuesioner tipe likert dengan
tiga subkelompok untuk membedakan bulimia dengan gangguan makan
lainnya (Hohlstein, Smith, & Atlas, 1998)
iii. Kentucky Inventory of Mindfulness Skills (KIMS) yang merupakan self-
report terkait keterampilan mindfulness (Baer, Smith, & Allen, 2004)
iv. Beck Depression Inventory-II (BDI-II) (Beck, 1996). Pertanyaan-
pertanyaan dalam BDI-II tersebut dapat dipertimbangkan dan
dimodifikasi ke dalam asesmen awal, seperti:
• Sejauh mana motivasi pasien untuk perawatan saat ini?
• Apakah pasien mau memantau dirinya sendiri? atau perilaku
makannya?
• Apakah pasien bersedia untuk fokus pada pengurangan perilaku
makan berlebihan sebelum menangani masalah penurunan berat
badan?
• Apakah pasien tertarik menggunakan intervensi selain diet?
• Apakah ada masalah kesehatan mental lain yang harus
dipertimbangkan sebelum menentukan tujuan penanganan?
• Apa manfaat dari makan berlebih (binge-eating)? (Craighead, 2002)
Perlu diperhatikan bahwa skala-skala yang telah disebutkan di atas
merupakan instrumen yang dapat digunakan sebagai acuan psikolog klinis
dalam melakukan asesmen kepada pasien dengan gangguan makan. Namun
demikian, masih perlu dilakukan pengecekkan sejauh mana validitas dan
reliabilitas instrumen tersebut ketika diadaptasi ke dalam bahasa Indonesia
untuk asesmen penegakan diagnosis gangguan.
Diagnosis
Kriteria diagnosis gangguan makan berdasarkan DSM-5 di mana terbagi menjadi
3 gangguan dapat dilihat terpisah di tabel 3.21.1 untuk anorexia nervosa; tabel 3.21.2
untuk bulimia nervosa; dan tabel 3.21.3 untuk gangguan makan berlebihan.

296
Gangguan Makan

Tabel 3.21.1
Kriteria Diagnosis Anorexia Nervosa Berdasarkan DSM-5
Kriteria Diagnosis Ada Tidak
A Pembatasan asupan energi relatif terhadap kebutuhan,
menyebabkan bobot tubuh yang sangat rendah dalam
konteks usia, jenis kelamin, lintasan perkembangan, dan
kesehatan fisik. Berat badan yang sangat rendah
didefinisikan sebagai berat badan yang kurang dari
normal minimal atau, untuk anak-anak dan remaja,
kurang dari yang diharapkan seminimal mungkin.
B Ketakutan yang intens terhadap kenaikan berat badan
atau menjadi gemuk, serta perilaku persisten yang
mencegah terjadinya penambahan berat badan, meskipun
berat badan sangat rendah.
C Gangguan berat badan atau bentuk tubuh yang dialami
oleh seseorang, yang dipengaruhi oleh evaluasi terhadap
bentuk tubuh dan berat badan, atau kurangnya kesadaran
yang persisten terhadap bahaya rendahnya berat badan
saat ini.

Tabel 3.21.2
Kriteria Diagnosis Bulimia Nervosa Berdasarkan DSM-5
Kriteria Diagnosis Ada Tidak
A Episode makan berlebihan ditandai dengan dua hal
berikut:
1. Makan dalam periode waktu tertentu (misalnya
dalam periode 2 jam), sejumlah makanan yang
lebih besar dari kebanyakan orang makan
dalam waktu yang sama dalam keadaan yang
sama.
2. Perasaan kurang kontrol selama episode makan
berlebihan (misalnya perasaan tidak dapat
berhenti makan atau mengontrol apa atau
seberapa banyak makannya).
B Perilaku kompensasi tidak tepat yang berulang untuk
mencegah penambahan berat badan, seperti muntah

297
Gangguan Makan

Kriteria Diagnosis Ada Tidak


yang disengaja, penyalahgunaan obat pencahar,
diuretik, atau obat lain, puasa, atau olahraga
berlebihan.
C Makan berlebihan dan perilaku kompensasi yang tidak
tepat terjadi setidaknya seminggu sekali selama 3
bulan.
D Evaluasi diri terlalu dipengaruhi oleh bentuk tubuh dan
berat badan.
E Gangguan tidak terjadi secara eksklusif selama episode
anorexia nervosa

Tabel 3.21.3
Kriteria Diagnosis Gangguan Makan Berlebihan Berdasarkan DSM-5
Kriteria Diagnosis Ada Tidak
A Episode makan berlebih ditandai dengan dua hal
berikut:
1. Makan dalam periode waktu tertentu (misalnya
dalam 2 jam), sejumlah makanan yang lebih
besar dari yang kebanyakan orang makan dalam
periode waktu dan keadaan yang sama.
2. Perasaan kurang kontrol selama episode binge-
eating (misalnya perasaan tidak dapat berhenti
makan atau mengontrol apa atau seberapa
banyak makannya).

B Episode makan berlebih dikaitkan dengan tiga (atau


lebih) hal berikut:
1. Makan lebih cepat dari biasanya.
2. Makan sampai kekenyangan.
3. Makan dalam jumlah besar saat tidak merasa
lapar.
4. Makan sendiri karena merasa malu dengan
jumlah makanannya.
Merasa jijik dengan diri sendiri, depresi, atau sangat
bersalah sesudahnya.

298
Gangguan Makan

Kriteria Diagnosis Ada Tidak


C Adanya stres yang ditandai dengan makan berlebih.
D Makan berlebihan terjadi setidaknya seminggu
sekali selama 3 bulan.
E Makan berlebihan tidak berkaitan dengan perilaku
kompensasi berulang yang tidak tepat seperti pada
bulimia nervosa dan tidak terjadi secara eksklusif
selama bulimia nervosa atau anorexia nervosa.

Sementara pada PPDGJ-III kriteria diagnosis dapat dilihat sebagai berikut:


1. Anorexia Nervosa
Ciri khas gangguan adalah mengurangi berat badan dengan sengaja, dipacu
dan atau dipertahankan oleh pasien. Untuk suatu diagnosis yang pasti, dibutuhkan
semua hal- hal seperti di bawah ini:
a. Berat badan tetap dipertahankan 15% di bawah yang seharusnya (baik yang
berkurang maupun yang tak pernah dicapai), atau Quetelet's body-mass index
ada1ah 17,5 atau kurang (Quetelet's body-mass index = berat [kg] / tinggi
[m]2 ). Pada pasien prapubertas bisa saja gagal mencapai berat badan yang
diharap selama periode pertumbuhan;
b. Berkurangnya berat badan dilakukan sendiri dengan menghindarkan
makanan yang mengandung lemak dan salah satu atau lebih dari hal-hal yang
berikut ini
i. merangsang muntah oleh diri sendiri;
ii. menggunakan pencahar (urus-urus);
iii. olah raga berlebihan;
iv. memakai obat penekan nafsu makan dan / atau diuretika.
c. Terdapat distorsi citra tubuh dalam bentuk psikopatologi yang spesifik
dimana ketakutan gemuk terus menerus menyerang penderita, penilaian yang
berlebihan terhadap berat badan yang rendah;
d. Adanya gangguan endokrin yang meluas, melibatkan hypothalamic-
pituitarygonadal axis dengan manifestasi pada wanita sebagai amenore dan
pada pria sebagai kehilangan minat dan potensi seksual (suatu kekecualian
adalah pendarahan vagina yang menetap pada wanita yang anorexia yang
menerima terapi hormon, umumnya dalam bentuk pil kontrasepsi). Juga
dapat terjadi kenaikan hormon pertumbuhan naiknya kadar kortisol,

299
Gangguan Makan

perubahan metabolisme periferal dari hormon tiroid, dan sekresi insulin


abnormal;
e. Jika onset terjadinya pada masa prapubertas, perkembangan pubertas
tertunda, atau dapat juga tertahan (pertumbuhan berhenti, pada anak
perempuan buah dadanya tidak berkembang dan terdapat amenore primer;
pada anak laki- laki genitalnya tetap kecil). Pada penyembuhan, pubertas
kembali normal, tetapi menarche terlambat.
Diagnosis Banding :
i. Kehilangan nafsu makan organik (R63.0)
ii. Kehilangan nafsu makan psikogenik (F50.8)
2. Bulimia Nervosa
Untuk diagnosis pasti dibutuhkan semua berikut ini:
a. Terdapat preokupasi yang menetap untuk makan dan ketagihan (craving)
terhadap makanan yang tidak bisa dilawan; penderita tidak berdaya terhadap
datangnya episode makan berlebihan dimana makanan dalam jumlah yang
besar dimakan dalam waktu yang singkat.
b. Pasien berusaha melawan efek kegemukkan dengan salah satu atau lebih cara
seperti berikut:
i. merangsang muntah oleh diri sendiri,
ii. menggunakan pencahar berlebihan,
iii. puasa berkala,
iv. memakai obat-obatan seperti penekan nafsu makan, sediaan tiroid atau
diuretika. Jika terjadi pada penderita diabetes, mereka akan
mengabaikan pengobatan insulinnya.
c. Gejala psikopatologinya terdiri dari ketakutan yang luar biasa akan
kegemukan dan pasien mengatur sendiri batasan yang ketat dari ambang
berat badannya sehingga berat badan yang di bawah normal justru dianggap
berat badan yang sehat atau optimal. Gejalanya, seringkali-walau tidak
selalu- terdapat riwayat episode anorexia nervosa sebelumnya. Interval
antara gangguan tersebut berkisar antara beberapa bulan sampai beberapa
tahun. Episode sebelumnya dapat jelas terungkap atau dalam bentuk ringan
justru tersembunyi di mana pasien kehilangan berat badan yang sedang dan
atau suatu fase sementara dari amenore. Bulimia nervosa harus dibedakan
dari gangguan depresif, walaupun penderita bulimia sering mengalami
gejala-gejala depresi.

300
Gangguan Makan

3. Gangguan makan berlebihan


a. Makan berlebihan sebagai reaksi terhadap hal-hal yang membuat stres
(emotionally distressing events) sehingga menimbulkan "obesitas reaktif”,
terutama pada pasien dengan predisposisi untuk bertambah berat badan;
b. Obesitas sebagai penyebab timbulnya berbagai gangguan psikologis tidak
termasuk disini (obesitas dapat menyebabkan seseorang menjadi sensitif
terhadap penampilannya dan meningkatkan kurang percaya diri dalam
hubungan interpersonal);
c. Obesitas sebagai efek samping penggunaan obat-obatan (neuroleptika,
antidepresan, dll) juga tidak termasuk disini.

Diagnosis Banding

1. Anorexia Nervosa
a. Kondisi medis;
b. Gangguan depresi mayor;
c. Skizofrenia;
d. Gangguan penggunaan zat;
e. Gangguan kecemasan sosial, gangguan obsesif kompulsif, dan gangguan
dismorfik tubuh;
f. Bulimia nervosa;
g. Gangguan menghindari makan (avoidant/restrictive food intake).
2. Bulimia Nervosa
a. Anorexia nervosa, makan berlebihan/tipe membersihkan perut (purging);
b. Makan berlebihan;
c. Sindrom kleine-levin;
d. Gangguan depresi mayor dengan fitur atipikal;
e. Gangguan kepribadian ambang (borderline);
3. Gangguan makan berlebihan
a. Bulimia nervosa;
b. Obesitas;
c. Gangguan bipolar dan depresi;
d. Gangguan kepribadian ambang (borderline);

301
Gangguan Makan

Komorbiditas

1. Anorexia Nervosa
a. Gangguan bipolar;
b. Depresi;
c. Kecemasan;
d. Gangguan penggunaan alkohol dan zat adiktif lainnya.
2. Bulimia Nervosa
a. Gangguan mental;
b. Gangguan bipolar;
c. Gangguan depresi;
d. Gangguan mood;
e. Gangguan kecemasan;
f. Gangguan kepribadian ambang (borderline);
3. Gangguan makan berlebihan
a. Gangguan bipolar;
b. Gangguan depresi;
c. Gangguan kecemasan;
d. Gangguan penggunaan zat.

Intervensi Psikologis

I. Anorexia Nervosa
1. Beberapa hal yang harus diperhatikan terkait penanganan psikologis untuk
anorexia nervosa adalah sebagai berikut
a. Pemberian penanganan untuk semua pasien anorexia nervosa yang
dilakukan dengan layanan spesialis hendaknya:
i. Berisi psikoedukasi mengenai gangguan;
ii. Berisi pengawasan pada berat badan, kesehatan mental dan fisik,
dan faktor risiko;
iii. Bersifat multidisiplin dan terkoordinasi;
iv. Melibatkan anggota keluarga atau caregiver.
b. Dalam menangani anorexia nervosa perlu diperhatikan bahwa:
i. Membantu pasien dalam mencapai berat badan atau BMI yang
sehat sesuai usianya adalah target utama;

302
Gangguan Makan

ii. Penambahan berat badan merupakan kunci dalam mendukung


perubahan psikologis, fisik, dan kualitas hidup yang dibutuhkan
untuk kemajuan atau kesembuhan;
c. Dalam menimbang berat badan pasien dengan anorexia nervosa,
pertimbangkan untuk membagikan hasilnya kepada pasien dan keluarga/
caregiver;
2. Penanganan psikologis untuk anorexia nervosa pada dewasa:
a. Sebelum penanganan hendaknya dijelaskan kepada pasien apa saja yang
termasuk ke dalam penanganan guna memilih penanganan yang sesuai
preferensi pasien. Psikolog klinis dapat mempertimbangkan salah satu
dari psikoterapi berikut ini:
i. Program CBT-ED (Cognitive Behavioural Therapy Eating
Disorders) secara individual dideskripsikan:
• Dilakukan dalam 40 sesi dalam 40 minggu dengan dua sesi per
minggu dalam 2 atau 3 minggu pertama;
• Bertujuan untuk mengurangi risiko pada kesehatan fisik dan
gejala lain pada gangguan makan;
• Mendorong pola makan sehat dan mencapai berat badan yang
sehat;
• Meliputi nutrisi, restrukturisasi kognitif, pengaturan mood,
kemampuan bersosialisasi, kekhawatiran terhadap body image,
harga diri, dan pencegahan kekambuhan;
• Berisi rencana penanganan yang disesuaikan dengan pasien;
• Menjabarkan risiko dari malnutrisi dan berat badan di bawah
normal (underweight);
• Meningkatkan efikasi diri;
• Meliputi observasi pasien terhadap diet yang dilakukan dan
pikiran serta perasaan yang terkait;
• Termasuk pekerjaan rumah untuk membantu penderita
mempraktikkan apa yang telah mereka pelajari pada saat
pemberian intervensi, dalam kehidupan mereka sehari-hari.
ii. MANTRA (Maudsley Anorexia Nervosa Treatment for Adults)
dideskripsikan:
• dilakukan dalam 20 sesi terapi dengan sesi per minggu untuk 10
minggu pertama dan setelahnya dilanjutkan dengan jadwal yang
fleksibel;

303
Gangguan Makan

• dilakukan dengan Sepuluh (10) sesi tambahan untuk pasien yang


memiliki masalah kompleks;
• berdasarkan workbook MANTRA;
• Memotivasi dan mendorong pasien untuk bekerja sama dengan
psikolog klinisnya;
• Fleksibel dalam menerapkan dan menekankan modul
MANTRA;
• Membahas nutrisi, penanganan gejala, dan perubahan perilaku
ketika pasien sudah siap;
• Mendorong pasien untuk mengembangkan sebuah non-anorexic
identity;
• Melibatkan anggota keluarga dan caregiver untuk membantu
pasien dalam memahami kondisinya dan masalah yang
menyebabkannya serta hubungannya dengan konteks perubahan
perilaku sosial pasien yang lebih luas.
iii. Specialist Supportive Clinical Management (SSCM) dideskripsikan
sebagai berikut:
• Umumnya terdiri dari 20 atau lebih sesi per minggu (tergantung
pada tingkat keparahan);
• Mengevaluasi, mengidentifikasi, dan meninjau akar
permasalahan yang ada secara rutin
• Bertujuan untuk membangun hubungan yang positif di antara
pasien dan psikolog klinisnya
• Membantu pasien dalam menyadari adanya hubungan antara
gejala dan perilaku makan yang abnormal
• Mengembalikan berat badan
• Memberikan psikoedukasi dan saran mengenai nutrisi
• Pengawasan pada kesehatan fisik
• Menetapkan sebuah target berat badan
• Mendukung pasien dalam mencapai berat badan pola makan
yang sehat
• Memperbolehkan pasien menentukan hal lain yang harus
dimasukkan sebagai bagian dari terapi.
b. Jika CBT-ED, MANTRA, atau SSCM secara individual tidak efektif
pada pasien dewasa dengan anorexia nervosa, pertimbangkan untuk
memberikan salah satu dari 3 penanganan tersebut yang belum pernah

304
Gangguan Makan

dijalankan penderita atau Focal Psychodynamic Therapy (FPT) yang


fokus pada gangguan makan. CFT dideskripsikan sebagai berikut:
i. Terdiri dari sampai 40 sesi dalam 40 minggu;
ii. Membuat hipotesis fokal dengan fokus spesifik yang dibuat untuk
pasien tersebut dan membahas
• Arti gejala tersebut bagi pasien;
• Bagaimana gejala tersebut memengaruhi pasien;
• Bagaimana gejala tersebut memengaruhi hubungan pasien
dengan orang lain dan psikolog klinisnya;
iii. Pada fase pertama, fokus intervensi adalah membangun ikatan
terapeutik antara psikolog klinis dan pasien, bahas perilaku yang
mendukung anorexia dan keyakinan ego-sintonik (keyakinan,
nilai, dan perasaan yang konsisten dengan perasaan diri pasien),
dan membangun harga diri pasien;
iv. Pada fase kedua, fokus intervensi adalah pada hubungan pasien
dengan orang lain dan pengaruhnya terhadap perilaku makan;
v. Pada fase final, focus intervensi adalah memindahkan
pengalaman terapi pada situasi sehari-hari dan membahas
kekhawatiran pasien terhadap apa yang akan terjadi setelah
penanganan berakhir.
3. Penanganan psikologis untuk anorexia nervosa pada pasien anak dan remaja
a. Pertimbangkan Family Therapy Anorexia Nervosa (FT-AN) pada pasien
anak dan remaja, berikan dalam bentuk single-family atau kombinasi dari
single dan multi-family. Berikan opsi pada pasien anak dan remaja untuk
melakukan sesi single-family secara terpisah dengan anggota keluarga
atau caregiver atau bersama dengan anggota keluarga atau caregiver.
FT-AN untuk pasien anak dan remaja dideskripsikan sebagai berikut:
i. Terdiri dari 18-20 sesi selama 1 tahun;
ii. Meninjau kembali kebutuhan pasien 4 minggu setelah
penanganan dimulai, lalu setiap 3 bulan menetapkan seperti apa
sesi dan seberapa panjang penanganan berakhir;
iii. Menekankan peran keluarga dalam membantu penyembuhan
pasien;
iv. Tidak menyalahkan pasien atau anggota keluarga;
v. Berisi psikoedukasi mengenai nutrisi dan efek dari malnutrisi;

305
Gangguan Makan

vi. Pada penanganan dini, yakinkan para orang tua untuk mengambil
peran utama dalam membantu pasien menangani pola makan
mereka dan tekankan bahwa peran ini hanya sementara;
vii. Pada fase pertama, psikolog klinis hendaknya berusaha dalam
membuat hubungan terapeutik yang baik dengan pasien, orang tua,
atau caregiver;
viii. Pada fase kedua, psikolog klinis membantu pasien (dengan
bantuan dari orang tua atau caregiver) dalam menetapkan tingkat
kemandirian sesuai dengan usianya;
ix. Pada fase final psikolog klinis hendaknya
• Fokus pada rencana di saat penanganan berakhir (termasuk
kekhawatiran yang dimiliki pasien atau keluarga) dan
mencegah kekambuhan;
• Menyampaikan bagaimana pasien dapat menerima bantuan
jika penanganan berakhir
b. Jika FT-AN tidak efektif untuk pasien anak dan remaja, pertimbangkan
CBT-ED secara individual atau Anorexia Focused Psychotherapy (AFP-
AN).
c. CBT-ED secara individual dideskripsikan sebagai berikut:
i. Terdiri sampai 40 sesi dalam 40 minggu, dengan:
ii. Dua sesi per minggu dalam 2 atau 3 minggu pertama;
iii. 8-12 sesi tambahan singkat dengan keluarga pasien (semisal pasien
dan orang tua);
iv. Dalam sesi keluarga dan individual, psikolog klinis memberikan
psikoedukasi mengenai nutrisi dan efek dari malnutrisi. Selain itu
dalam sesi keluarga, psikolog klinis hendaknya:
• Mengidentifikasi hal apapun yang dapat membuat pasien
kesulitan untuk merubah perilaku mereka di dalam kehidupan
berkeluarga, dan temukan cara untuk membahasnya;
• Mendiskusikan rencana pola makan pasien;
• Mengurangi risiko kesehatan fisik dan gejala lain dari
gangguan makan;
• Mendorong tercapainya berat badan dan pola makan yang
sehat;
• Membahas nutrisi, pencegahan kekambuhan, restrukturisasi
kognitif, pengaturan suasana hati (mood), kemampuan
bersosialisasi, kekhawatiran pada body image, dan harga diri;

306
Gangguan Makan

• Membuat rencana penanganan yang disesuaikan dengan


pasien yang didasari oleh kemajuan pasien selama
penanganan;
• Perhatikan kebutuhan spesifik yang sesuai dengan
perkembangkan pasien;
• Menjelaskan risiko dari malnutrisi dan underweight;
• Meningkatkan efikasi diri;
• Meliputi observasi pasien terhadap diet yang dilakukan dan
pikiran serta perasaan yang terkait;
• Termasuk pekerjaan rumah untuk membantu pasien
mempraktikkan apa yang telah mereka pelajari pada saat
pemberian intervensi, dalam kehidupan mereka sehari-hari.
d. AFP-AN dideskripsikan sebagai berikut:
i. Terdiri dari 32-40 sesi individu selama 12-18 bulan dengan
ii. Sesi reguler di awal lebih banyak membangun hubungan antara
pasien dengan psikolog klinisnya dan memotivasi mereka untuk
mengubah perilaku;
iii. Memiliki 8-12 sesi tambahan dengan keluarga (semisal pasien dan
orang tua);
iv. Meninjau kembali kebutuhan pasien 4 minggu setelah penanganan
dimulai lalu setiap 3 bulan menetapkan seperti apa sesi dan seberapa
panjang penanganan berakhir;
v. Berisi psikoedukasi mengenai nutrisi dan efek dari malnutrisi;
vi. Fokus pada citra diri, emosi, dan hubungan interpersonal pasien,
serta pengaruhnya pada gangguan makan;
vii. Membangun sebuah formulasi dari masalah psikologis pasien dan
bagaimana mereka menggunakan perilaku anorexia sebagai strategi
koping;
viii. Membahas ketakutan bertambahnya berat badan, serta menekankan
bahwa penambahan berat badan dan pola makan yang sehat
merupakan bagian yang sangat penting dari terapi;
ix. Mencari strategi alternatif dalam mengatasi stres pasien.
x. Pada tahap lanjut dari penanganan dilakukan dengan menggali
masalah identitas dan membangun kemandirian pasien
xi. Menjelang akhir penanganan, fokus psikolog klinis adalah pada
menempatkan pengalaman terapi pada situasi dalam kehidupan
sehari-hari;

307
Gangguan Makan

xii. Dalam sesi keluarga, doronglah orang tua atau caregiver dalam
mendukung pasien untuk merubah perilaku;
xiii. Sampaikan bagaimana penderita dapat menerima bantuan jika
penanganan berakhir.
e. Psikolog klinis hendaknya mempertimbangkan bantuan anggota keluarga
untuk membantu pasien dalam menangani distres yang disebabkan oleh
kondisi tertentu.
f. Pertimbangkan memberikan pasien anak dan remaja pertemuan tambahan
yang terpisah dari anggota keluarga atau caregiver.

4. Intervensi psikologis lain yang direkomendasikan untuk pasien anorexia


nervosa:
a. Penanganan dapat melibatkan rumah sakit untuk pasien yang mengalami
penurunan berat badan semakin parah atau berkurang secara drastis,
terutama untuk pemberian nutrisi yang dimonitor secara ketat. Namun,
lebih dari 50% pasien yang dirawat karena anorexia nervosa akan kembali
dirawat dalam kurun waktu satu tahun setelah keluar dari rumah sakit
(Haynos & Fruzetti, 2011);
b. Terapi psikodinamika terkadang dikombinasikan dengan terapi perilaku
untuk menggali konflik psikologis
c. Terapi keluarga juga dapat digunakan untuk membantu mengatasi konflik
keluarga. Terapi berkelanjutan untuk individu atau keluarga disarankan
untuk dilakukan secara persisten.

II. Bulimia Nervosa


1. Penanganan psikologis untuk bulimia nervosa pada pasien dewasa hendaknya:
a. Menjelaskan kepada pasien bahwa penanganan psikologis memiliki efek
yang terbatas pada berat badan;
b. Mempertimbangkan guided self-help dengan fokus bulimia nervosa
untuk pasien dewasa;
c. Memprogram guided self-help dengan fokus bulimia nervosa dengan:
i. Menggunakan materi guided self-help dengan perilaku kognitif
untuk gangguan makan;
ii. Melengkapi program self-help dengan sesi pendukung singkat
(contohnya, 4 sampai 9 sesi berdurasi 20 menit setiap sesinya,
dalam 16 minggu yang berjalan per minggu di awal penanganan).

308
Gangguan Makan

d. Mempertimbangkan terapi perilaku kognitif individual berfokus pada


gangguan makan (Coginitive Behavioral Therapy Eating
Disorders/CBT-ED), jika guided self-help dengan fokus bulimia nervosa
tidak efektif setelah 4 minggu penanganan,
e. CBT-ED secara individu untuk pasien dewasa dengan bulimia nervosa
hendaknya terdiri dari sampai 20 sesi dalam 20 minggu. Dua sesi per
minggu pada fase pertama semestinya berfokus pada:
i. Keterlibatan dan edukasi
ii. Menetapkan sebuah pola makan reguler dan menyediakan
dukungan, saran, dan bantuan ketika pasien melaksanakannya
iii. Diikuti dengan menyampaikan psikopatologi dari gangguan makan
(contohnya pembatasan makan yang ekstrim, kekhawatiran
mengenai bentuk tubuh dan berat badan, dan tendensi untuk makan
berlebihan sebagai respon dari pikiran dan perasaan yang
kompleks)
Menjelang akhir penanganan, psikolog klinis hendaknya membuat
janji pertemuan dengan jarak jauh dan fokus dalam mempertahankan
perubahan positif dan mengurangi risiko kekambuhan. Jika
memungkinkan, libatkan pasangan pasien untuk membantu dalam
penanganan one-to-one.
2. Penanganan psikologis umum untuk bulimia nervosa pada pasien anak dan
remaja
a. Terapi keluarga berfokus pada bulimia nervosa (Family Therapy –
Bulimia Nervosa / FT-BN) pada pasien anak dan remaja. FT-BN tersebut
hendaknya:
i. Terdiri dari 18-20 sesi dalam 6 bulan secara reguler;
ii. Membangun hubungan terapeutik dengan pasien dan anggota
keluarga atau caregiver;
iii. Mendorong keluarga untuk membantu pasien dalam kesembuhan;
iv. Tidak menyalahkan pasien, anggota keluarga, atau caregiver;
v. Memberikan informasi mengenai
• Meregulasi berat badan;
• Melakukan diet;
• Efek samping dari upaya dalam mengontrol berat badan
dengan memaksakan diri untuk muntah, menggunakan
laksatif, atau perilaku mengompensasi lain;

309
Gangguan Makan

vi. Menggunakan sebuah pendekatan kolaboratif di antara orang tua


dan remaja tersebut untuk menciptakan pola makan reguler dan
meminimalisir perilaku kompensasi;
vii. Meliputi pemonitoran perilaku bulimia dan pembahasan dengan
anggota keluarga atau caregiver;
viii. Pada fase selanjutnya dalam penanganan, psikolog klinis membantu
pasien dan anggota keluarga atau caregiver dalam membangun
kemandirian yang sesuai dengan perkembangan mereka;
ix. Pada fase akhir dalam penanganan, psikolog klinis memfokuskan
pada rencana ketika penanganan berakhir (termasuk kekhawatiran
yang dimiliki pasien dan keluarganya) terutama juga dalam
mencegah kekambuhan.
x. Pertimbangkan pemberian bantuan kepada anggota keluarga yang
tidak terlibat dalam terapi keluarga untuk menolong mereka
beradaptasi dengan distres yang disebabkan oleh kondisi tersebut.
b. Jika FT-BN tidak efektif, pertimbangkan terapi perilaku kognitif
individual berfokus pada gangguan makan (CBT-ED) untuk pasien anak
dan remaja dengan bulimia nervosa. CBT-ED secara individual yang
dianjurkan untuk pasien anak dan remaja hendaknya:
i. Terdiri dari 18 sesi dalam 6 bulan dengan jumlah sesi yang lebih
banyak pada awal penanganan;
ii. Meliputi sampai 4 sesi tambahan dengan orang tua atau caregiver;
iii. Awalnya berfokus pada peran bulimia nervosa dalam hidup pasien
dan dalam membangun motivasi untuk berubah;
iv. Menyediakan psikoedukasi mengenai gangguan makan dan
bagaimana gejala tersebut ditangani, seraya mendorong pasien
untuk secara bertahap membangun kebiasaan makan yang reguler;
v. Mengembangkan sebuah formulasi kasus pasien;
vi. Mengajarkan pasien untuk mengawasi pikiran, perasaan, dan
perilaku mereka;
vii. Menetapkan target dan meyakinkan pasien untuk meyampaikan
pikiran, keyakinan, dan perilaku bermasalah dengan adanya
pemecahan masalah;
viii. Gunakan strategi pencegahan kekambuhan untuk antisipasi dan
memitigasi potensi kemunduran di masa yang akan datang;
ix. Dalam sesi dengan orang tua dan caregiver, sediakan edukasi
mengenai gangguan makan, mengidentifikasi faktor keluarga yang
menghentikan/menghambat pasien dalam merubah perilaku mereka,
310
Gangguan Makan

dan mendiskusikan bagaimana keluarga dapat mendukung proses


penyembuhan pasien.
3. Intervensi psikologis lain yang direkomendasikan untuk pasien bulimia
nervosa
a. Perawatan di rumah sakit juga dapat membantu memutus siklus makan
secara berlebihan dan menangani pasien bulimia nervosa. Perawatan ini
hanya diperlukan saat perilaku makan benar-benar tidak terkendali atau
penanganan rawat jalan tidak berhasil; atau terdapat komplikasi medis
yang parah, pikiran, atau usaha bunuh diri, ataupun penyalahgunaan zat.
b. Psikoterapi Interpersonal (IPT) yang merupakan bentuk terstruktur dari
terapi psikodinamika juga berguna dalam menangani bulimia nervosa
dan dapat berguna dalam kasus-kasus yang gagal merespons CBT
(Rieger et al., 2010). IPT berfokus pada penyelesaian masalah
interpersonal berdasarkan keyakinan bahwa fungsi interpersonal yang
lebih efektif akan menyebabkan seseorang mengadopsi kebiasaan dan
sikap makan yang lebih sehat.
III. Gangguan Makan Berlebihan
1. Penanganan psikologis untuk gangguan makan berlebihan pada pasien dewasa
hendaknya:
a. Menjelaskan kepada pasien dengan gangguan makan berlebihan bahwa
penanganan psikologis memiliki efek terbatas pada penurunan berat
badan dan bukan merupakan target dari terapi;
b. Menawarkan program guided self-help dengan fokus gangguan makan
berlebihan pada pasien dewasa. Program tersebut dianjurkan:
i. Menggunakan materi self-help dengan pendekatan CBT
ii. Fokus pada komitmen program self-help
iii. Dilengkapi dengan program self-help dengan sesi pendukung
singkat (contohnya 4 sampai 9 sesi berdurasi 20 menit setiap
sesinya dalam 16 minggu yang berjalan tiap minggu di awal
penanganan)
iv. Fokus pada menolong pasien dalam menjalankan program tersebut.
c. Jika guided self-help tidak efektif setelah 4 minggu, terapi perilaku
kognitif kelompok dengan fokus gangguan makan (Cognitive Behavior
Therapy-Eating Disorders / CBT-ED) dapat ditawarkan.
d. Program CBT-ED kelompok pada pasien dewasa hendaknya:
i. Terdiri dari 16 sesi kelompok berdurasi 90 menit per minggu dalam
waktu 4 bulan;
311
Gangguan Makan

ii. Fokus pada psikoedukasi, pemonitoran akan perilaku makan, dan


menolong pasien dalam menganalisa masalah dan target mereka;
iii. Membuat rencana konsumsi makanan setiap hari dan
mengidentifikasi gejala dari makan berlebihan;
iv. Memberikan pelatihan body exposure dan menolong pasien dalam
mengidentifikasi dan mengubah keyakinan negatif mengenai tubuh
mereka;
v. Membantu dalam menghindari kekambuhan dan beradaptasi
dengan risiko yang ada pada saat ini, di masa depan, dan pemicunya.
e. Jika CBT-ED kelompok tidak tersedia atau ditolak oleh pasien, maka
CBT-ED individual dapat digunakan. CBT-ED individual untuk pasien
dewasa hendaknya:
i. Meliputi 16-20 sesi
ii. Membangun sebuah formulasi mengenai masalah psikologis pasien,
untuk memastikan bagaimana faktor diet dan emosional
berkontribusi dalam perilaku makan berlebihan mereka. Formulasi
tersebut meliputi:
• saran pada pasien untuk mengkonsumsi makanan dan camilan
secara reguler untuk menghindari rasa lapar;
• bahasan pemicu emosional dalam perilaku makan berlebihan
pasien dengan menggunakan restrukturisasi kognitif dan
experiment behavioral exposure;
• pemonitoran perilaku makan berlebihan, diet, dan berat badan
yang dilakukan tiap minggu;
• informasi data berat badan pasien secara regular;
• bahasan permasalahan citra tubuh jika ada;
• penjelasan pada pasien bahwa walaupun CBT-ED tidak
bertujuan untuk mengurangi berat badan, pasien akan
mendapatkan efek yang sama dengan menghentikan makan
berlebihan dalam jangka panjang;
• saran pada pasien agar tidak mencoba menurunkan berat badan
(contohnya dengan melakukan diet) selama penanganan karena
hal ini akan memicu perilaku makan berlebihan.
2. Penanganan psikologis untuk gangguan makan berlebihan pada pasien anak
dan remaja adalah dengan menawarkan pasien penanganan yang
direkomendasikan kepada pasien dewasa dengan gangguan makan berlebihan.

312
Gangguan Makan

Prognosis

Onset awal, riwayat keluarga, peer dietting, konsep citra tubuh yang ideal, dan
pertimbangan budaya, semuanya berperan dalam perkembangan gangguan makan
(Reichenberg & Seligman, 2016).
1. Anorexia Nervosa
Terdapat berbagai pilihan penanganan untuk remaja dan dewasa dengan
anorexia nervosa. Saat ini, terapi keluarga untuk remaja dan olanzapine sebagai
bagian dari pengobatan tambahan untuk orang dewasa tampaknya sangat efektif
(Brown & Keel, 2012). Untuk yang tidak memiliki keadaan darurat medis dan
tidak mengalami krisis, terapi psikososial lainnya termasuk CBT-E, terapi
interpersonal, dan terapi berbasis kesadaran seperti DBT dinilai efektif.
Durasi juga menjadi variabel penting dalam keberhasilan pengobatan.
Penanganan lebih lama yang berlangsung selama 4 sampai 6 bulan, biasanya lebih
berhasil. Pasien dengan gangguan makan yang parah mungkin perlu program
rawat inap atau rawat jalan yang berlangsung selama satu tahun atau lebih. Secara
umum, 44% penderita Anorexia Nervosa pulih sepenuhnya melalui pengobatan,
28% membaik secara signifikan, 24% tidak membaik atau terganggu secara
signifikan, dan 10% meninggal sebelum waktunya dari efek kelaparan atau bunuh
diri.
Dalam menentukan prognosis pasien dengan gangguan makan, perlu
mempertimbangkan tiga aspek berikut:
i. Temperamental. Individu yang mengalami gangguan kecemasan atau
menunjukkan ciri-ciri obsesi di masa kanak-kanak berisiko lebih tinggi
mengalami anorexia nervosa.
ii. Lingkungan. Keberagaman sejarah dan lintas budaya menunjang hubungan
prevalensi anorexia nervosa yang berhubungan dengan budaya dan nilai di
mana tubuh yang kurus lebih dihargai. Pekerjaan dan hobi yang mendorong
tubuh kurus, seperti modeling dan atlet, juga berkaitan dengan peningkatan
risiko.
iii. Genetik dan fisiologis. Ada peningkatan risiko anorexia nervosa dan
bulimia nervosa di antara kerabat hubungan biologis tingkat pertama dengan
gangguan tersebut. Peningkatan risiko gangguan bipolar dan depresi juga
telah ditemukan di antara kerabat tingkat pertama dari individu dengan
anorexia nervosa, terutama kerabat individu dengan tipe makan
berlebihan/membersihkan perut (purging). Tingkat kesesuaian untuk
anorexia nervosa pada kembar monozygot secara signifikan lebih tinggi

313
Gangguan Makan

daripada kembar dizygotic. Berbagai kelainan otak telah dijelaskan pada


anorexia nervosa menggunakan teknologi functional imaging (pencitraan
resonansi magnetik fungsional, tomografi emisi positron). Sejauh mana
temuan ini mencerminkan perubahan yang terkait dengan malnutrisi versus
kelainan primer yang terkait dengan gangguan tersebut masih belum jelas.
2. Bulimia Nervosa
Kombinasi CBT dan fluoxetine (obat anti depresan) tampaknya untuk saat
ini menjadi pengobatan yang sangat efektif untuk bulimia nervosa, meskipun
tingkat remisi tetap rendah yaitu 20% untuk fluoxetine dan 40% untuk CBT
individual (Brown & Keel, 2012). Meski demikian, prognosis untuk penanganan
bulimia nervosa lebih baik daripada anorexia nervosa. Sebuah studi menemukan
bahwa 5 sampai 10 tahun setelah diagnosis bulimia, sekitar 50% perempuan telah
pulih sepenuhnya, 20% terus memenuhi kriteria untuk gangguan tersebut, dan
sekitar 30% kambuh kembali (Sagar, 2005). Seperti makan lainnya gangguan,
pengobatan jarang berjalan secara beriringan, dan rencana pencegahan kambuh
harus dimasukkan ke dalam proses penanganan.
Dalam menentukan prognosis pasien dengan gangguan makan perlu
mempertimbangkan empat aspek berikut:
a. Emosional. Masalah berat badan, harga diri rendah, gejala depresi, gangguan
kecemasan sosial, dan gangguan kecemasan pada masa anak-anak
berhubungan dengan peningkatan risiko perkembangan bulimia nervosa.
b. Lingkungan. Internalisasi tubuh kurus yang ideal telah terbukti
meningkatkan risiko mengembangkan masalah berat badan, yang pada
akhirnya meningkatkan risiko bulimia nervosa. Orang-orang yang
mengalami pelecehan seksual atau fisik pada masa anka-anak berisiko lebih
tinggi terkena bulimia nervosa.
c. Genetik dan fisiologis. Obesitas pada masa anak-anak dan masa pubertas dini
meningkatkan risiko bulimia nervosa. Bulimia nervosa kemungkinan
diturunkan dari keluarga, serta kerentanan genetik terhadap gangguan
tersebut.
d. Pengubah haluan. Keparahan komorbiditas psikiatrik memprediksi hasil
jangka panjang yang lebih buruk dari bulimia nervosa.

3. Gangguan makan berlebihan


Gangguan makan berlebihan adalah kondisi yang sangat memungkinkan
untuk disembuhkan dengan tingkat remisi lebih tinggi daripada anorexia atau
bulimia nervosa. CBT dan IPT telah terbukti memiliki manfaat jangka panjang
314
Gangguan Makan

dalam pengobatan gangguan makan berlebihan, keduanya menunjukkan tingkat


remisi lebih dari 80% (Wilfley et al., 2002; Wilson et al., 2010; Zweig & Leahy,
2012). DBT juga menjanjikan penyembuhan. Meskipun gangguan makan
berlebihan merupakan kondisi kronis dan dapat kambuh kembali, prognosis untuk
gangguan tersebut baik, dan jauh lebih baik daripada anorexia nervosa, bulimia
nervosa, atau obesitas saja. Fairburn dan rekan (2009) melaporkan tingkat
pemulihan yang lebih tinggi untuk gangguan makan berlebihan dibandingkan
bulimia dengan 82% kelompok gangguan makan berlebihan mempertahankan
pemulihan dalam 5 tahun setelahnya.
Dalam menentukan prognosis pasien dengan gangguan makan, perlu
mempertimbangkan aspek genetik dan fisiologis. Gangguan makan berlebihan
tampaknya diturunkan dalam keluarga, yang mungkin mencerminkan pengaruh
genetik aditif.

Catatan Lain

Bantuan untuk pasien dengan gangguan makan


Meninjau dampak dari lingkungan sosial dalam rumah, edukasi, pekerjaan, dan
lingkungan yang lebih besar (termasuk internet dan sosial media) pada gangguan makan
tiap pasien. Kemudian membahas kebutuhan emosional, edukasi, pekerjaan, dan sosial
sepanjang penanganan. Jika memungkinkan, yakinkan anggota keluarga, caregiver,
guru, serta teman dari anak dan remaja untuk mendukung pasien dalam penanganannya.
Bekerjasama dengan anggota keluarga dan caregiver
Perlu diketahui bahwa anggota keluarga atau caregiver dari pasien gangguan
makan mungkin mengalami distres berat. Oleh karena itu, tawarkan evaluasi mengenai
kebutuhkan mereka seiring berjalannya penanganan, termasuk:
1. Bagaimana dampak dari gangguan makan pasien pada kesehatan mental keluarga
atau caregiver;
2. Apakah bantuan yang keluarga atau caregiver butuhkan, termasuk practical
support dan rencana darurat jika pasien gangguan makan berada dalam risiko medis
dan psikiatri yang tinggi.
Jika memungkinkan, berikan informasi tertulis kepada anggota keluarga atau
caregiver yang tidak menghadiri pertemuan mengenai evaluasi atau penanganan
dengan pasien gangguan makan.
Meningkatkan akses pada layanan
Perhatikan bahwa pasien dengan gangguan makan mungkin:
315
Gangguan Makan

1. Merasa kesulitan atau distres dalam mendiskusikan masalahnya kepada tenaga


kesehatan, staf, dan pasien lain;
2. Rentan pada stigma dan penghinaan;
3. Membutuhkan informasi dan intervensi yang disesuaikan dengan usia dan
tingkat pertumbuhan mereka.
Tenaga kesehatan yang mengevaluasi pasien dengan gangguan makan (terutama
anak-anak dan remaja) harus mewaspadai adanya tanda-tanda agresi atau perundungan
(secara emosional, fisik, dan seksual), dan pengabaian sepanjang evaluasi dan
penanganan.
Saran diet untuk pasien dengan anorexia nervosa
1. Tawarkan dietary counselling sebagai bagian dari pendekatan multidisiplin.
2. Meyakinkan pasien dengan anorexia nervosa untuk mengonsumsi suplemen
multivitamin dan multimineral oral yang sesuai dengan usianya sampai diet
yang dilakukan nilai referensi diet pasien.
3. Libatkan keluarga atau caregiver dalam perencanaan pola makan untuk anak
dan remaja dengan anorexia nervosa yang sedang menjalani terapi individual.
4. Menawarkan saran diet pelengkap pada anak dan remaja dengan anorexia
nervosa dan keluarga atau caregiver untuk membantu pasien dalam
memenuhi kebutuhan diet mereka sesuai dengan pertumbuhan dan
perkembangannya (terutama dalam masa pubertas).
Masalah kesehatan mental komorbid
Dalam menentukan langkah penanganan gangguan makan dan kondisi kesehatan
mental komorbid maka dapat diperhatikan:
a. Tingkat keparahan dan kompleksitas dari gangguan makan dan komorbiditas
b. Tingkat fungsi pada pasien
c. Preferensi yang dimiliki pasien gangguan makan dan atau caregiver.
Istilah yang Digunakan dalam Pedoman Ini
Anak : Berumur 0-12 tahun.
Remaja : Berumur 13-17 tahun.
Dewasa : Berumur 18 tahun atau lebih tua.

316
Gangguan Makan

Referensi
American Psychiatric Association. (2013). Desk Reference to the Diagnostic Criteria
from DSM-5. London : American Psychiatric Publishing.
Barlow, D. H. (2014). Clinical Handbook of Psychological Disorders. New York : The
Guilford Publication Press.
Beating Eating Disorders Charity. (2015). The costs of eating disorders- social, health
and economic impacts.
https://www.nice.org.uk/guidance/qs175/documents/briefing-paper
Brown, T. A., & Keel, P. K. (2012). Current and emerging directions in the treatment
of eating disorders. Substance Abuse: Research and Treatment, 6,
https://doi.org/10.4137/SART.S7864
Fairburn C.G., Cooper, Z., Doll, H.A., O'Connor, M.E., Bohn, K., Hawker, D.M.,
Wales, J.A., Palmer, R.L. (2009). Transdiagnostic cognitive-behavioral
therapy for patients with eating disorders: a two-site trial with 60-week follow-
up. Am J Psychiatry, 166(3), 311-9. doi: 10.1176/appi.ajp.2008.08040608.
Haynos, A. F., & Fruzzetti, A. E. (2011). Anorexia nervosa as a disorder of emotion
dysregulation: Evidence and treatment implications. Clinical Psychology:
Science and Practice, 18(3), 183–202. https://doi.org/10.1111/j.1468-
2850.2011.01250.x
Maslim, R. (2013). Diagnosis Gangguan Jiwa, Rujukan Ringkas PPDFJ-III dan DSM-
5. Jakarta : Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK Unika Atma Jaya.
National Institute for Health and Care Excellence. (2017). Eating Disorders:
Recognition and Treatment. Diakses pada tanggal 08 November 2020 dari
https://www.nice.org.uk/guidance/ng69/resource/eating-disorders-
recognition-and-treatment-pdf-1837582159813
Nevid, J. S., Spencer A. R & Greene, B. (2018). Abnormal Psychology in A Changing
World, 8th Ed. New Jersey, USA: Pearson.
Reichenberg, L. W., & Seligman, L. (2016). Selecting effective treatments : a
comprehensive, systematic guide to treating mental disorders (5th ed.). Wiley.
Rieger, E., Van Buren, D. J., Bishop, M., Tanofsky-Kraff, M., Welch, R., & Wilfley,
D. E. (2010). An eating disorder-specific model of interpersonal
psychotherapy (IPT-ED): Causal pathways and treatment implications.
Clinical Psychology Review. https://doi.org/10.1016/j.cpr.2010.02.001

317
Gangguan Makan

Sagar, A. (2005). Long Term Health Risks Due to Impaired Nutrition in Women with
a Past History of Bulimia Nervosa. Nutrition Noteworthy, 7(1). Retrieved from
https://escholarship.org/uc/item/6vt2k42t
Wilfley DE, Welch RR, Stein RI, Spurrell EB, Cohen LR, Saelens BE, Dounchis JZ,
Frank MA, Wiseman CV, Matt GE. (2002). A randomized comparison of
group cognitive-behavioral therapy and group interpersonal psychotherapy for
the treatment of overweight individuals with binge-eating disorder. Arch Gen
Psychiatry, 59(8):713-21. doi: 10.1001/archpsyc.59.8.713. PMID: 12150647.
Wilson GT, Wilfley DE, Agras WS, Bryson SW. (2010). Psychological treatments of
binge eating disorder. Arch Gen Psychiatry, 67(1):94-101. doi:
10.1001/archgenpsychiatry.2009.170. PMID: 20048227; PMCID:
PMC3757519.
World Health Organization. (1992). The ICD-10 Classification of Mental and
Behavioural Disorders : Clinical Descriptions and Diagnostic Guidelines.
Switzerland : World Health Organization.
Zweig, R. D., & Leahy, R. L. (2012). Treatment plans and interventions for evidence-
based psychotherapy.Treatment plans and interventions for bulimia and
binge-eating disorder. Guilford Press.

318
22. Gangguan Perilaku Menentang

Batasan dan Uraian Umum

Sebagaimana tercantum dalam Diagnostic and Statistical Manual of Mental


Disorders, Edisi ke-5 (DSM-5) (American Psychiatric Association, 2013), kriteria
diagnosis gangguan tingkah laku (conduct disorder) berpusat pada kesulitan pasien
mengontrol perilaku yang melanggar hak orang lain atau melanggar norma sosial umum.
Mayoritas gejala perilaku agresi ini berakar dari tidak terkontrolnya emosi terutama
emosi marah. Gangguan tingkah laku lebih umum dialami oleh laki-laki dibandingkan
perempuan, dengan kecenderungan pembentukan gejala awal pada anak dan remaja.
Terdapat hubungan antara gangguan perilaku menentang dan gangguan tingkah
laku, yaitu pada sebagian besar kasus gangguan tingkah laku sebelumnya memenuhi
kriteria gangguan perilaku menentang. Akan tetapi, sebagian besar anak dengan
gangguan perilaku menentang tidak selalu berkembang menjadi orang dewasa dengan
gangguan tingkah laku. Anak dengan gangguan perilaku menentang juga berisiko lebih
tinggi untuk mengembangkan gangguan kecemasan dan depresi. Kebanyakan gejala di
kriteria diagnosis gangguan tingkah laku adalah perilaku yang secara umum muncul
dalam tahapan perkembangan pasien. Oleh karenanya, sangat penting untuk melihat
frekuensi, stabilitas, situasi-situasi di mana gejala muncul, dan gangguan yang
dihasilkan dari perilaku ini perlu dibedakan pada apa yang normatif bagi usia, jenis
kelamin, dan kultur pasien.

Manifestasi Klinis

Pasien dengan gangguan tingkah laku dapat terlihat di seringnya ia melakukan


perilaku menentang hak orang lain seperti agresivitas dan perusakan barang, dan pasien
banyak mengalami konflik dengan norma sosial dan figur otoritas.

Asesmen dan Diagnosis

Identifikasi
1. Lakukan penilaian awal untuk dugaan gangguan perilaku menentang jika orang tua,
pengasuh, guru, atau teman sebaya menyampaikan kekhawatiran tentang perilaku
antisosial terus menerus, seperti:
a. Menyakiti orang lain
b. Agresif atau menakutkan bagi orang lain
c. Melanggar aturan umum
319
Gangguan Perilaku Menentang

d. Melanggar hukum, seperti mencuri atau merusak properti


2. Memeriksa keberadaan beberapa faktor komplikasi
a. Keberadaan gangguan mental lainnya (misalnya depresi, PTSD)
b. Gangguan neurodevelopmental (terutama ADHD dan autisme)
c. Kesulitan dan gangguan belajar
d. Penggunaan zat adiktif
3. Apabila terdapat faktor komplikasi yang signifikan, maka perlu dilakukan asesmen
komprehensif. Apabila tidak terdapat faktor komplikasi maka dapat diarahkan
untuk mendapatkan intervensi.
Asesmen
1. Asesmen komprehensif pada pasien anak dan remaja dengan suspek gangguan
perilaku menentang perlu dilakukan oleh psikolog klinis dan perlu untuk:
a. Menawarkan pasien anak/ remaja untuk bertemu dengan pihak profesional
sendiri.
b. Melibatkan orang tua atau wali yang dapat memberikan informasi dan
riwayat perilaku.
2. Sebelum memulai asesmen komprehensif, jelaskan pada pasien anak/remaja
mengenai hasil dari asesmen ini akan dikomunikasikan pada mereka. Hal ini dapat
melibatkan orang tua atau wali untuk menjelaskan hasilnya.
3. Komponen penting dalam asesmen komprehensif gangguan perilaku menentang
perlu meliputi pertanyaan sebagai berikut:
a. Gejala gangguan perilaku menentang:
i. Pola perilaku negatif, kekerasan, dan perilaku menentang pada pasien
anak usia di bawah 11 tahun.
ii. Agresi pada orang lain dan hewan, perusakan properti, penipuan atau
pencurian, dan pelanggaran aturan pada pasien anak usia di atas 11
tahun.
b. Keberfungsian di rumah, sekolah, atau universitas, dan dengan teman
sebayanya.
c. Kualitas pola asuh orang tua.
d. Riwayat kesehatan mental dan fisik lainnya.
4. Menilai beberapa kondisi yang kemungkinan muncul bersamaan, seperti:
a. Kesulitan dan gangguan belajar
b. Kondisi neurodevelopmental seperti ADHD dan autisme
c. Gangguan neurologis seperti epilepsi dan motor impairment
d. Keberadaan masalah mental yang terjadi bersamaan (misalnya depresi,
PTSD, dan bipolar)
320
Gangguan Perilaku Menentang

e. Penyalahgunaan zat
f. Gangguan komunikasi seperti gangguan bicara dan bahasa
5. Meliputi asesmen formal untuk menunjang diagnosis dengan kondisi yang muncul
bersamaan, seperti:
a. Child Behavior Checklist
b. Strengths and Difficulties Questionnaire
c. Eyberg Child Behavior Inventory
d. The Connors Rating Scales
Penggunaan dari skala-skala di atas masih memerlukan proses adaptasi serta
uji reliabilitas dan validitas lanjutan di Indonesia. Walaupun demikian, Strengths
and Difficulties Questionnaire-Parent Report telah diuji secara klinis dan
psikometris di Indonesia dengan ambang batas khusus (Wimbarti, dkk., 2019)
6. Asesmen terhadap risiko yang dialami oleh pasien anak/remaja, apabila
diperlukan, membuat perencanaan manajemen risiko untuk pengabaian,
eksploitasi, perilaku menyakiti diri sendiri atau orang lain. Asesmen terhadap
keberadaan atau risiko adalah pada mereka yang mengalami kekerasan fisik,
seksual, dan emosi.
7. Melakukan asesmen komprehensif pada orang tua/wali dari pasien anak dan
remaja yang meliputi:
a. Aspek positif dan negatif pola asuh, terutama mengenai teknik disiplin
dengan memaksa anak.
b. Hubungan orang tua dan anak.
c. Aspek positif dan negatif pada hubungan orang tua dan keluarga anak,
meliputi kekerasan dalam rumah tangga.
d. Kesejahteraan orang tua, meliputi kesehatan mental dan penyalahgunaan zat
(meliputi penggunaan alkohol/obat-obatan terlarang yang digunakan saat
kehamilan) dan perilaku kriminal.
8. Membuat perencanaan dengan pasien anak/remaja dan dengan orang tua/walinya
yang meliputi profil kebutuhan mereka, risiko pada diri sendiri dan orang lain,
serta asesmen lebih lanjut yang dibutuhkan. Hal ini perlu meliputi perkembangan
dan gejala gangguan perilaku menentang yang bertahan serta hubungannya
dengan masalah perilaku lainnya, seperti gangguan mental dan kesehatan,
kesulitan bicara, bahasa, dan komunikasi, dalam konteks:
a. Kebutuhan personal, sosial, okupasi, tempat tinggal, dan edukasi
b. Kebutuhan orang tua dan wali
c. Kekuatan anak/ remaja dan orang tua/ wali

321
Gangguan Perilaku Menentang

Diagnosis

Berdasarkan DSM-5, gangguan tingkah laku merupakan pola perilaku yang


mengulang dan menetap di mana pasien merampas hak orang lain dan melanggar norma
atau aturan sosial, seperti yang ditunjukkan dengan setidaknya 3 dari 15 kriteria berikut
(tabel 3.22.1) dalam 12 bulan terakhir, setidaknya 1 kategori muncul dalam kurun waktu
6 bulan.

Tabel 3.22.1
Kriteria Diagnosis Gangguan Tingkah Laku berdasarkan DSM-5
Kriteria Diagnosis Ada Tidak
A Kekerasan pada orang lain dan binatang
1. Sering menindas/ menggertak, mengancam,
atau mengintimidasi orang lain
2. Sering memulai pertengkaran fisik
3. Menggunakan senjata yang dapat
menyebabkan cedera fisik yang serius bagi
orang lain (misalnya dengan potongan kayu,
batu, pecahan, pisau, dan senjata api)
4. Melakukan kekejaman fisik terhadap orang lain
5. Melakukan kekejaman fisik terhadap hewan
6. Telah mencuri saat menghadapi korban
(misalnya penjambretan, perampasan,
pemerasan, dan perampokan bersenjata)
7. Memaksa orang lain melakukan aktivitas
seksual
Perusakan pada properti
8. Secara sengaja merusak fasilitas umum yaitu
dengan cara membakarnya sehingga
menyebabkan kerusakan serius
9. Secara sengaja merusak harta benda orang lain
yang tidak melibatkan api
Kecurangan atau pencurian
10. Telah membobol rumah, gedung, atau mobil
orang lain.
322
Gangguan Perilaku Menentang

11. Seringkali melakukan penipuan untuk


memperoleh barang atau bantuan dari orang
lain, atau untuk menghindari kewajiban
12. Telah mencuri barang-barang yang tak bernilai
tanpa menghadapi korban (misalnya mengutil,
tapi tanpa membobol; pemalsuan atau
penipuan)
Pelanggaran serius terhadap aturan
13. Sering berada di luar rumah pada malam hari
meskipun ada larangan orang tua, dimulai
sebelum usia 13 tahun
14. Telah kabur dari rumah semalaman setidaknya
dua kali selama tinggal bersama orang tua atau
wali, atau sekali tanpa kembali untuk periode
yang lama
15. Sering bolos sekolah dimulai sebelum usia 13
tahun
B Gangguan perilaku menyebabkan kerusakan yang
signifikan dalam fungsi sosial, akademis, atau
pekerjaan
C Jika individu berusia 18 tahun atau lebih, kriteria
gangguan kepribadian antisosial tidak terpenuhi

Bedakan gangguan tingkat laku apabila:


1. 312.81 (F91.1) Childhood-onset type: Pasien menunjukkan setidaknya 1
karakteristik gejala dari gangguan tingkah laku sebelum usia 10 tahun.
2. 312.82 (F91.2) Adolescent- onset type: Karakteristik gejala gangguan tingkah laku
tidak ada yang ditampilkan sebelum usia 10 tahun.
3. 312.89 (F91.9) Unspecified onset: kriteria untuk gangguan tingkah laku terpenuhi,
namun usia kemunculan gangguan tidak diketahui.
Bedakan gangguan tingkah laku berdasarkan tingkat keparahan:
1. Ringan, yaitu ketika jumlah perilaku bermasalah lebih sedikit dan menyebabkan
kerusakan yang relatif minim kepada orang lain (misalnya berbohong, bolos, tetap
keluar rumah meski tanpa izin, pelanggaran peraturan lainnya).

323
Gangguan Perilaku Menentang

2. Moderat, yaitu ketika jumlah perilaku bermasalah dan pengaruh yang ditimbulkan
kepada orang lain tergolong berada diantara kategori ringan dan berat (misalnya,
mencuri tanpa menghadapi korban, vandalisme).
3. Berat, yaitu ketika banyak perilaku bermasalah, melebihi dari yang diperlukan
untuk diagnosa, atau perilaku bermasalah yang menyebabkan dampak besar pada
orang lain yang (misalnya, memaksa melakukan aktivitas seksual dan kekerasan
fisik).
Sementara itu, gejala perilaku menentang berdasarkan pada DSM-5 dapat dilihat
di tabel 3.22.2.

Tabel 3.22.2
Kriteria Diagnosis Gangguan Perilaku Menentang Berdasar DSM-5
Kriteria Diagnosis Ada Tidak
A Pola perilaku marah, mudah tersinggung, suka
mendebat, suka menentang, atau perilaku membalas
dendam yang muncul setidaknya selama 6 bulan.
Gejala yang muncul setidaknya 4 dari berbagai
kategori berikut dan ditunjukkan selama interaksi
dengan setidaknya satu orang yang bukan saudara
kandung.
Kemarahan/ suasana hati yang mudah tersinggung
1. Sering kehilangan kesabaran.
2. Sering merasa tersinggung dan mudah
terganggu.
3. Sering marah dan mengungkapkan kekesalan.
B Argumentatif/ Perilaku menentang
1. Sering berdebat dengan figur otoritas (untuk
pasien anak dan remaja, sering berdebat
dengan orang dewasa).
2. Sering secara aktif melawan atau menolak
untuk patuh pada permintaan figur otoritas dan
melanggar aturan.
3. Sering dengan sengaja mengganggu orang lain.
4. Sering menyalahkan orang lain atas kesalahan
dan perilaku buruknya.

324
Gangguan Perilaku Menentang

Kriteria Diagnosis Ada Tidak


C Keinginan untuk balas dendam
Merasa dendam dan ingin balas dendam, minimal 2
kali dalam 6 bulan terakhir.

Catatan: Kekuatan dan frekuensi dari perilaku ini


dapat digunakan untuk membedakan perilaku yang
berada dalam batas normal dengan perilaku yang
merupakan gejala gangguan. Untuk pasien anak-
anak yang berusia kurang dari 5 tahun, perilaku
harus terjadi hampir setiap hari dalam jangka waktu
minimal 6 bulan kecuali yang dinyatakan dalam
kriteria A8. Untuk pasien yang berusia 5 tahun atau
lebih, perilaku harus terjadi setidaknya sekali
seminggu selama minimal 6 bulan, kecuali yang
dinyatakan dalam kriteria A8. Sementara frekuensi
dari kriteria ini memberikan panduan tentang tingkat
minimal frekuensi untuk menentukan gejala, faktor
lain juga harus dipertimbangkan, seperti apakah
frekuensi dan intensitas perilaku berada di luar
rentang normatif untuk tingkat perkembangan, jenis
kelamin, dan budaya.

Bedakan gejala perilaku menentang berdasarkan tingkat keparahan:


1. Ringan: gejala terbatas pada 1 pengaturan lingkungan (misalnya di rumah, di
sekolah, di tempat kerja, atau dengan teman sebaya)
2. Moderat: beberapa gejala muncul setidaknya pada 2 pengaturan lingkungan
3. Berat: beberapa gejala muncul setidaknya pada 3 pengaturan lingkungan
PPDGJ III mengistilahkan hal ini sebagai gangguan tingkah laku (F.91). Untuk
penegakan diagnosa, gangguan perilaku digambarkan sebagai berikut:
1. Gangguan tingkah laku berciri khas dengan adanya suatu pola tingkah laku
dissosial, agresif atau menentang, yang berulang dan menetap.
2. Penilaian tentang adanya gangguan tingkah laku perlu memperhitungkan
tingkat perkembangan anak. Temper tantrums merupakan gejala normal pada
perkembangan anak berusia 3 tahun, dan adanya gejala ini bukan merupakan dasar
bagi diagnosis ini. Begitu pula, pelanggaran terhadap hak orang lain (seperti pada
325
Gangguan Perilaku Menentang

tindak pidana dengan kekerasan) tidak termasuk kemampuan anak berusia 7


tahun dan dengan demikian bukan merupakan kriteria diagnostik bagi
anak kelompok usia tersebut. Contoh- contoh perilaku yang dapat menjadi
dasar diagnosis mencakup hal-hal berikut: perkelahian atau menggertak
pada tingkat berlebihan; kejam terhadap hewan atau sesama manusia;
perusakan yang hebat atas barang milik orang; membakar; pencurian;
pendustaan berulang-ulang; membolos dari sekolah dan lari dari rumah;
sangat sering meluapkan temper tantrum yang hebat dan tidak biasa;
perilaku provokatif yang menyimpang; dan sikap menentang yang berat
serta menetap. Masing-masing dari kategori ini, apabila ditemukan, adalah
cukup untuk menjadi alasan bagi diagnosis ini, namun demikian perbuatan
dissosial yang terisolasi bukan merupakan alasan yang kuat.
3. Diagnosis ini tidak dianjurkan kecuali bila tingkah laku seperti yang diuraikan di
atas berlanjut selama 6 bulan atau lebih.
4. Kode-kode dalam PPDGJ-III dikategorikan sebagai berikut:
F91 GANGGUAN TINGKAH LAKU
F91.0 Gangguan tingkah laku yang terbatas pada lingkungan keluarga
F91.1 Gangguan tingkah laku tak berkelompok
F91.2 Gangguan tingkah laku berkelompok
F91.3 Gangguan sikap menentang (membangkang)
F91.8 Gangguan tingkah laku lainnya
F91.9 Gangguan tingkah laku YTT
PPDGJ-III menggunakan istilah gangguan sikap menentang (Membangkang)
(F91.3) yang masuk ke dalam golongan gangguan tingkah laku. Untuk penegakan
diagnosa dapat digambarkan sebagai berikut:
1. Ciri khas dari jenis gangguan tingkah laku ini ialah berawal pada anak di bawah
usia 9 dan 10 tahun. Ditandai oleh adanya perilaku menentang, ketidakpatuhan
(disobedient), perilaku provokatif dan tidak adanya perilaku disosial dan agresif
yang lebih berat yang melanggar hukum atau pun melanggar hak asasi orang lain.
2. Pola perilaku negativistik, bermusuhan, menentang, provokatif dan merusak
tersebut berlangsung secara berkelanjutan, yang jelas sekali melampaui rentang
perilaku normal bagi anak pada kelompok usia yang sama dalam
lingkungan sosial budaya yang serupa, dan tidak mencakup pelanggaran
yang lebih serius terhadap hak orang lain seperti dalam kategori F91.0 dan
F91.2. Anak dengan gangguan ini cenderung seringkali secara aktif
membangkang permintaan atau peraturan orang dewasa serta serta dengan sengaja
326
Gangguan Perilaku Menentang

mengusik orang lain. Lazimnya mereka bersikap marah, benci, dan mudah
terganggu oleh orang lain yang dipersalahkan atas kekeliruan dan kesulitan
yang mereka lakukan sendiri. Mereka umumnya mempunyai daya toleransi
terhadap frustrasi yang rendah dan cepat hilang kesabarannya. Lazimnya sikap
menentang bersifat provokatif sehingga mereka mengawali konfrontasi dan sering
menunjukkan sifat sangat kasar, kurang suka bekerjasama, dan menentang otoritas.

Diagnosis Banding

1. Attention-deficit/ hyperactivity disorder


2. Gangguan depresi dan bipolar
3. Disruptive mood dysregulation disorder
4. Intermittent explosive disorder
5. Disabilitas intelektual
6. Gangguan bahasa
7. Gangguan kecemasan sosial

Komorbiditas

1. ADHD
2. Gangguan depresi
3. Gangguan kecemasan umum
4. Gangguan penyalahgunaan zat

Intervensi Psikologi

Intervensi gangguan perilaku menentang dapat dibagi menjadi 3 (tiga), yaitu:


1. Program pelatihan orang tua baik secara individual maupun kelompok (untuk orang
tua yang memiliki anak usia 3-11 tahun);
2. Program yang berfokus pada anak, yaitu terapi kelompok dan terapi kognitif
dengan pemecahan masalah pada anak dengan rentang usia 9-14 tahun;
3. Intervensi keluarga fungsional untuk anak dan remaja usia 11-17 tahun.
Dengan indikator:
1. Pasien telah diidentifikasi memiliki risiko tinggi mengembangkan gangguan
perilaku menentang atau gangguan tingkah laku;
2. Pasien telah didiagnosa memiliki gangguan perilaku menentang atau gangguan
tingkah laku;
3. Pasien telah terlibat dengan pihak hukum karena perilaku antisosial.
327
Gangguan Perilaku Menentang

Pelatihan orang tua


Program pelatihan pada orang tua bertujuan untuk meningkatkan keterampilan
pengasuhan. Intervensi pola asuh yang berlandaskan teori pembelajaran sosial menilai
pengasuhan sebagai salah satu faktor penyebab dari gangguan perilaku menentang.
Umumnya program ini terdiri dari 10 sesi dengan durasi 60 menit. Pelatihan ini meliputi
5 (lima) unsur:
a. Meningkatkan hubungan positif dan bermain
Untuk memutuskan siklus perilaku menentang, maka penting untuk
meningkatkan pengalaman positif dan memperbaiki hubungan antara orang tua
dan anak. Hal ini dapat dilakukan dengan membantu orang tua untuk mempelajari
teknik bermain dengan cara yang konstruktif dan tanpa kekerasan pada anak serta
membantu mereka menyadari kebutuhan anak dan berespon secara lebih sensitif.
Dengan ini, anak akan mulai menghormati dan menghargai orang tua, dan anak
merasa aman dalam hubungannya.
b. Pujian dan penghargaan untuk perilaku
Orang tua diminta untuk memformulasikan perilaku menentang dengan
perilaku positif yang diharapkan sehingga mereka dapat mendorong perilaku yang
diinginkan dibandingkan selalu mengkritisasi perilaku yang tidak diinginkan.
Misalnya, dibandingkan berteriak pada anak untuk tidak lari-larian, mereka dapat
memuji anak ketika ia berhasil untuk berjalan sehingga mereka akan
melakukannya lebih sering. Melalui contoh lain dalam interaksi sehari-hari seperti
ini, tingkah laku anak dapat dimodifikasi secara menyeluruh. Ketika orang tua
sulit untuk memuji dan tidak mampu untuk menyadari perilaku positif ketika itu
terjadi, hasilnya adalah perilaku adaptif yang diinginkan semakin jarang terjadi.
c. Aturan dan perintah yang jelas
Peraturan perlu diberikan secara eksplisit, konsisten, tegas dan singkat. Oleh
sebab itu, berteriak pada anak untuk berhenti berperilaku nakal tidak
menginformasikan anak mengenai apa yang harus ia lakukan. Memberi tahu anak
untuk bermain dengan suara yang tenang dan menunjukkan instruksi yang jelas
akan membuat anak lebih mudah untuk mematuhi.
d. Konsekuensi konsisten dan tenang untuk perilaku yang tidak diinginkan
Ketidakpatuhan dan agresi perlu untuk direspon dengan tegas namun tenang,
contohnya dengan mengajak anak untuk time out dalam ruangan selama beberapa
menit. Metode time out terkesan sederhana, namun ini membutuhkan
keterampilan yang cukup untuk dikelola secara efektif. Perilaku mengganggu
yang lebih ringan seperti merengek dan teriakan seringkali merupakan respon
ketika anak merasa diabaikan.
328
Gangguan Perilaku Menentang

e. Merencanakan/ mengatur jalannya hari untuk mencegah masalah


Seringkali terdapat titik-titik masalah pada keseharian yang dapat diatasi
melalui tindakan yang cukup sederhana. Misalnya, menempatan saudara kandung
di ruangan yang berbeda untuk mencegah terjadinya perkelahian saat pulang
sekolah, melarang televisi di pagi hari, sampai anak berganti pakaian dan
sebagainya.
Terapi keluarga fungsional

Terapi keluarga fungsional bertujuan untuk mengubah serangkaian kesulitan yang


menghalangi fungsi efektif pada pasien anak dan remaja dengan gangguan perilaku
menentang. Terapi ini umumnya terdiri dari 3-4 sesi per minggu dalam periode 3-5
bulan dan menggunakan kombinasi dari teori belajar sosial, pendekatan kognitif, dan
terapi keluarga.
Terapi keluarga fungsional menangani dinamika keluarga di antaranya banyaknya
negativitas dan saling menyalahkan, meningkatkan komunikasi antara orang tua dan
anak, mengurangi pola asuh yang tidak konsisten, meningkatkan supervisi dan
pengawasan, dan negosiasi aturan dan sanksi yang dapat diaplikasikan apabila
melanggar aturan. Kebutuhan anak dan orang tua dinilai dalam konteks di rumah dan
sistem yang berkaitan, yaitu di sekolah dan dengan teman sebaya. Setelah asesmen,
metode intervensi diberikan untuk mengatasi kesulitan dalam dinamika keluarga dan
meningkatkan kekuatan anak dan orang tua.
Manajemen amarah dan keterampilan interpersonal anak

Sebagian besar program yang diimplementasikan untuk meningkatkan


kemampuan interpersonal pasien anak diambil dari terapi kognitif perilaku (CBT) yang
biasanya terdiri dari 10-18 dalam durasi 2 jam. Komponen inti dalam terapi ini adalah:
a. Memperlambat respon impulsif terhadap situasi menentang dengan berhenti dan
berpikir;
b. Mengenali tingkat keterbangkitkan fisiologis mereka sendiri dan keadaan
emosional mereka;
c. Mengenali dan mendefinisikan masalah;
d. Mengembangkan beberapa tanggapan alternatif;
e. Memilih tanggapan alternatif terbaik berdasarkan antisipasi konsekuensi;
f. Melakukan tindakan yang sudah dipilih;
g. Segera setelah itu, berikan penghargaan kepada diri mereka karena berhasil
memegang kendali dan meninjau bagaiamana hal itu terjadi.

329
Gangguan Perilaku Menentang

Dalam jangka panjang, program tersebut bertujuan untuk meningkatkan perilaku


sosial yang positif dengan mengajari pasien anak untuk:
a. Belajar keterampilan untuk menjalin dan mempertahankan persahabatan;
b. Mengembangkan keterampilan interaksi sosial seperti mengambil giliran dan
berbagi;
c. Mengungkapkan sudut pandang dengan cara yang tepat dan mendengarkan orang
lain;
d. Mengajarkan pengendalian diri atas keterbangkitan emosi dan perilaku;
e. Mempromosikan konsep diri yang positif dan hubungan dengan teman sebaya;
f. Mengembangkan keterampilan pemecahan masalah anak-anak.

Prognosis

Faktor protektif adalah pola pengasuhan, orang tua suportif dan skor IQ tinggi,
serta resiliensi anak, seperti memiliki hubungan yang baik setidaknya dengan satu orang
dewasa (tidak harus orang tua), rasa bangga dan keberhargaan diri, memiliki
keterampilan khusus dan kompetensi.
Faktor risiko adalah ketika onset awal gangguan perilaku sebelum usia 8 tahun,
perilaku antisosial yang sering, buruk, dan bervariasi, komorbid dengan masalah
hiperaktivitas dan atensi, IQ rendah, orang tua alkoholik dan kriminal, pola asuh yang
kasar, tidak konsisten dengan penuh kritik dan tidak terlibat, serta status sosial ekonomi
keluarga rendah.

Catatan Lain

Psikolog klinis perlu bekerjasama/merujuk pasien ke psikiater untuk pasien agar


mendapatkan intervensi farmakologis terutama jika ditemukan kondisi komorbid
ADHD.

330
Gangguan Perilaku Menentang

Referensi

American Psychiatric Association. (2013). Diagnostic and Statistical Manual of


Mentall Disorder Edition (DSM-5). Washington : American Psychiatric
Publishing.
Maslim, R. (2013). Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa Rujukan Ringkas dari
PPDGJ – III dan DSM 5. Jakarta : Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK Unika Atma
Jaya.
National Institute for Health and Care Excellence. (2014). Antisocial behavior and
conduct disorders in children and young people: recognition and management.
Diakses pada tanggal 18 Desember 2020
dari https://www.nice.org.uk/guidance/cg158
Wimbarti, S., Siregar, J., Oktaviana, M., & Regiastri, R. (2019). Strengths and
Difficulties Questionnaire Parent Report (SDQ-PR) As Screening Instrument of
Children Mental Health in Indonesia. Jurnal Psikologi, 46(2), 130-144–144.
https://doi.org/10.22146/jpsi.46698
World Health Organization. 2011. International Statistical Classification of Disease
and Related Health Problems Tenth Revision Volume 2 (second edition). Geneva:
World Health Organization.

331
23. Gangguan Penyalahgunaan Zat

Batasan dan Uraian Umum

Penyalahgunaan zat merupakan nama kelompok gangguan yang memayungi


banyak jenis/kelas obat, seperti alkohol, kafein, kanabis/ganja, halusinogen, opioid,
stimulan, kokain, dan berbagai zat lain yang tidak masuk ke dalam kategori-kategori
yang telah disebutkan. Secara garis besar, penggunaan zat-zat tersebut memberikan
efek yang serupa, yakni mengaktifkan reward system dalam sistem syaraf yang
memberikan sensasi puas atau senang (pleasure) yang intens bagi penggunanya.
Sensasi tersebut sangatlah intens, sehingga berpotensi menyebabkan para penggunanya
mengabaikan kegiatan sehari-hari, dan/atau bahkan mengorbankan aspek kehidupannya
supaya dapat mengonsumsi zat tersebut.

Manifestasi Klinis

Adiksi merupakan terminologi yang sering ditemukan ketika membahas mengenai


penyalahgunaan zat. Adiksi dapat diartikan sebagai gangguan penyalahgunaan zat yang
terindikasi ketika individu memiliki gejala toleransi dan putus zat (withdrawal),
misalnya ditandai dengan menggunakan zat lebih dari jumlah atau dosis seharusnya
atau yang direncanakan pada awalnya. Adiksi juga dapat dilihat saat individu sudah
beberapa kali mencoba untuk berhenti atau menurunkan jumlah penggunaan namun
tidak berhasil, dan memiliki permasalahan psikologis maupun fisik yang bertambah
buruk seiring dengan penggunaan zat tersebut. Seringkali, adiksi menyebabkan juga
permasalahan interpersonal baik di rumah maupun di lingkungan sosial lainnya.

Asesmen dan Diagnosis

Identifikasi
Untuk dapat mengidentifikasi individu dengan potensi gangguan penyalahgunaan
zat, indikator-indikator yang paling tampak adalah indikator jenis psikososial.
Pengguna zat pada umumnya menunjukkan gejala-gejala gelisah atau tidak nyaman
ketika berada dalam fase “ketagihan” atau putus zat (withdrawal). Hal tersebut biasanya
disertai dengan keluhan-keluhan fisik dan perilaku, seperti penurunan berat badan yang
drastis, berkeringat dingin, sering mengeluhkan rasa sakit atau nyeri di tubuh, dan lain
sebagainya. Pada saat yang sama, pasien dengan gangguan penyalahgunaan zat akan
menunjukkan gejala-gejala psikososial, seperti:

332
Gangguan Penyalahgunaan Zat

1. Mood swing atau suasana perasaan yang berubah-ubah, suasana perasaan


tertekan (depresif), mudah marah, mudah tersinggung;
2. Gejala lelah dan lemas dalam fase putus zat;
3. Masalah interpersonal (dalam pernikahan, pertemanan, atau pun konteks
pekerjaan);
4. Penurunan kinerja fungsi sehari-hari (bolos kerja/sekolah);
5. Kinerja akademik dan pekerjaan yang menurun;
6. Masalah finansial (berhutang untuk memperoleh zat);
7. Isolasi sosial atau menarik diri dari hubungan sosial.
Asesmen
Dalam melakukan asesmen terhadap pasien dengan gangguan penyalahgunaan zat,
terdapat banyak faktor yang perlu dipertimbangkan, seperti:
1. Dugaan zat yang dikonsumsi: Karena setiap zat dapat menghasilkan gejala-
gejala fisik, psikologis, maupun perilaku yang berbeda-beda;
2. Kelompok usia: Karena alat ukur yang digunakan dapat menggunakan tata
bahasa, norma, dan sasaran utama yang berbeda bagi setiap kelompok usia;
3. Metode administrasi: Yakni diisi oleh individu itu sendiri (self-administered)
atau psikolog klinis (clinician-administered).
Berikut adalah contoh alat ukur yang digunakan untuk kepentingan pemeriksaan
penyalahgunaan zat pada individu berdasarkan jenis asesmennya:
1. Wawancara Klinis: Addiction Severity Index dari Thomas McClellan;
2. Skrining: Alcohol, Smoking and Substance Involvement Screening Test (ASSIST)
dari WHO.
Kedua alat ukur ini sudah diterjemahkan ke bahasa Indonesia dan sering
digunakan dalam praktik, terutama dalam konteks Kementerian Kesehatan, Badan
Narkotika Nasional (BNN), dan Rumah Sakit Ketergantungan Obat (RSKO), serta
sudah divalidasi secara internal oleh badan pemerintahan, tetapi masih dalam proses
penelitian lanjutan untuk publikasi pada jurnal dengan penelaahan sejawat (peer-
review).
Diagnosis
Dalam DSM-5, terdapat sepuluh kelompok atau kategori gangguan terkait zat
berdasarkan zat yang digunakan, yakni: alkohol, kafein, kanabis, halusinogen,
halusinogen khusus seperti LSD, inhalan, opioid, sedatif, hipnotik, ansiolitik, stimulan
(termasuk amfetamin, kokain, dan stimulan lainnya), tembakau, dan zat lain yang tidak
diketahui atau tidak termasuk dalam kategori yang telah disebutkan. Jadi ketika ditemui

333
Gangguan Penyalahgunaan Zat

suatu zat dan efeknya serupa dengan zat lainnya dalam suatu kelompok, maka ia masuk
dalam kelompok gangguan yang memiliki gejala yang serupa itu.
Jenis zat yang disalahgunakan berjumlah cukup banyak, sehingga mengakibatkan
adanya kelompok atau kategori gangguan penyalahgunaan zat yang sangat beragam
juga. Pada saat yang sama, meskipun jenis zat dan kriteria diagnosis yang digunakan
sangatlah beragam, terdapat kriteria-kriteria umum yang dapat digunakan untuk
mengidentifikasi pola perilaku patologis dan membantu proses penegakan diagnosis
berdasarkan DSM-5. Kriteria tersebut dapat dilihat di tabel 3.23.1.
Tabel 3.23.1
Kriteria Diagnosis Gangguan Penyalahgunaan Zat Berdasarkan DSM-5
Kriteria Diagnosa Ada Tidak
A. Gangguan pengendalian diri dalam penggunaan
obat
1. Individu mengonsumsi zat tersebut dalam jumlah
yang besar atau durasi penggunaan yang lebih
lama dari perkiraan individu tersebut.
2. Individu mengekspresikan keinginan yang kuat
untuk menghentikan atau mengurangi
penggunaan obat dan melaporkan upaya-upaya
penghentian konsumsi zat yang gagal di masa
lalu.
3. Individu menghabiskan waktu yang lama dalam
upaya untuk memperoleh dan menggunakan zat
tersebut, serta dalam pemulihan dari efek-efek
yang diberikan oleh zat terkait. Dalam kasus yang
parah, pola hidup individu seakan-akan hanya
bertujuan untuk memperoleh zat terkait.
4. Adanya craving atau keinginan/dorongan yang
kuat dan tak terkendali untuk memperoleh zat
terkait.
B. Gangguan fungsi sosial
5. Konsumsi zat secara berulang dapat mengganggu
tanggung jawab individu dalam dunia pekerjaan,
pendidikan, atau rumah tangga.
6. Individu tetap menggunakan zat-zat terkait
meskipun telah mengalami masalah interpersonal

334
Gangguan Penyalahgunaan Zat

serius yang disebabkan oleh zat yang dikonsumsi.


7. Penghentian aktivitas/kegiatan sosial,
okupasional, ataupun rekreasi karena penggunaan
zat-zat terkait. Individu juga cenderung
mengorbankan waktu bersama dengan anggota
keluarga dan melakukan hobinya, dan
menghabiskan waktunya dalam aktivitas terkait
penggunaan zat.
C. Perilaku berisiko dalam penggunaan zat
8. Adanya penggunaan zat berbahaya yang
dilakukan dalam kondisi berisiko tinggi, seperti
menyetir kendaraan.
9. Individu tetap melanjutkan penggunaan zat
meskipun memiliki pengetahuan dan pemahaman
penuh bahwa berbagai gangguan fisik dan
psikologis yang dialaminya merupakan akibat
dari konsumsi zat tersebut.
D. Gejala yang berkaitan dengan faktor farmakologis
10. Toleransi, yang berarti adanya peningkatan dosis
zat yang dikonsumsi untuk mencapai sensasi
menyenangkan yang sama, atau adanya
penurunan efek sensasi menyenangkan ketika
dosis yang sama dikonsumsi.
11. Putus zat, yang merupakan gejala-gejala mental
dan fisik yang sangat tidak menyenangkan, yang
terjadi ketika individu berhenti atau mengurangi
konsumsi zat terkait. Gejala-gejalanya dapat
berupa rasa mual, cemas, keringat dingin,
muntah, kejang-kejang, hingga gejala psikotik
seperti berhalusinasi.
Catatan: Untuk dapat menegakkan diagnosis gangguan penyalahgunaan zat
berdasarkan DSM-5, individu harus memenuhi 2 dari 11 kriteria di atas dalam kurun
waktu setahun terakhir.
Dalam PPDGJ-III, penyalahgunaan zat disebut juga sebagai Gangguan Mental dan
Perilaku Akibat Penyalahgunaan Zat (F10-F19). Gangguan ini memiliki variasi yang
luas dan berbeda tingkat keparahannya (dari intoksikasi tanpa komplikasi dan
penggunaan yang merugikan sampai gangguan psikotik yang jelas dan demensia), tetapi
335
Gangguan Penyalahgunaan Zat

semua itu diakibatkan oleh karena penggunaan satu atau lebih zat psikoaktif (dengan
atau tanpa resep dokter). Sistem kode yang digunakan dalam PPDGJ III adalah:
1. Zat yang digunakan: karakter ke-2 dan 3;
2. Keadaan klinis: karakter ke-4 dan 5.
Selain itu, jenis zat yang diidentifikasi dalam PPDGJ III adalah sebagai berikut:
F10: Alkohol
F11: Opioida
F12: Kanabinoida
F13: Sedativa atau Hipnotika
F14: Kokain
F15: Stimulansia lain termasuk kafein
F16: Halusinogenika
F17: Tembakau
F18: Pelarut yang mudah menguap
F19: Zat multipel atau penggunaan zat psikoaktif lainnya
Sementara itu, keadaan klinis terbagi menjadi intoksikasi akut, penggunaan yang
merugikan (harmful use), sindrom ketergantungan, keadaan putus zat, keadaan putus
zat dengan delirium, gangguan psikotik, sindrom amnesik, gangguan psikotik residual
atau onset lambat, gangguan mental dan perilaku lainnya, serta gangguan mental dan
perilaku YTT (Yang Tak Tergolongkan).
Identifikasi dari zat psikoaktif yang digunakan dapat dilakukan berdasarkan data
laporan dari individu, analisis objektif dari spesimen urine, darah, dan sebagainya, serta
bukti lain (laporan dari pihak ketiga atau adanya sampel obat yang ditemukan pada
pasien tanpa gejala klinis). Selalu dianjurkan untuk mencari bukti yang menguatkan
lebih dari satu sumber, yang berkaitan dengan penggunaan zat. Banyak pengguna obat
menggunakan lebih dari satu jenis obat, tetapi bila memungkinkan, diagnosis gangguan
harus diklasifikasikan sesuai dengan zat tunggal (kategori dan zat) yang paling penting
yang digunakannya (yang menyebabkan gangguan nyata). Sementara itu, kode F19
hanya digunakan bila pola penggunaan zat psikoaktif benar-benar kacau dan
sembarangan atau berbagai obat bercampur-baur. Penyalahgunaan obat selain zat
psikoaktif, seperti pencahar atau aspirin, harus diberi kode F55 (penyalahgunaan zat
yang tidak menyebabkan ketergantungan).

Diagnosis Banding

Secara garis besar, diagnosis banding dari setiap diagnosis tentunya berbeda-beda.
Namun secara umum, diagnosis banding untuk setiap diagnosis adalah kumpulan
336
Gangguan Penyalahgunaan Zat

diagnosis yang memiliki gejala yang hampir serupa dengan diagnosis akurat. Berikut
adalah daftar diagnosis banding yang sering ditemui:
1. Gangguan penyalahgunaan zat yang lain dari yang seharusnya, misalnya
kelompok zat halusinogen memiliki efek yang mirip dengan konsumsi zat
kanabis dan kokain yang berlebihan;
2. Skizofrenia dan gejala psikotik lainnya. Hal ini merujuk pada gejala psikosis
yang dihasilkan oleh spektrum skizofrenia dan penyalahgunaan zat sering
kali mirip satu sama lain sehingga para ahli perlu memastikan akar
permasalahan secara akurat;
3. Gangguan suasana perasaan. Hal ini merujuk pada gejala putus zat dalam
bentuk suasana perasaan yang rendah dan kecemasan berlebih, sering kali
ditunjukkan juga dalam gangguan depresi mayor dan kecemasan umum;
4. Gangguan kepribadian. Hal ini merujuk pada gangguan tingkah laku dan
gangguan kepribadian antisosial menyebabkan individu berperilaku kasar,
yang sering kali ditunjukkan juga oleh mereka yang memiliki gangguan
penyalahgunaan zat.

Komorbiditas

1. Gangguan depresi mayor


2. Gangguan neurotik/kecemasan
3. Gangguan panik
4. Gangguan kepribadian; antisocial personality disorder
5. Gangguan penyalahgunaan zat lainnya; Misalnya, individu dengan gangguan
penyalahgunaan zat kanabis, memiliki kemungkinan lebih tinggi untuk
memiliki gangguan penyalahgunaan zat alkohol, kokain, heroin, atau
metamfetamin juga

Intervensi Psikologi

Kriteria-kriteria utama dari efektivitas intervensi psikologis adalah:


1. Penurunan atau bahkan penghentian total konsumsi zat terkait;
2. Peningkatan keberfungsian individu dalam berbagai area, seperti kesehatan fisik
dan psikologis, meningkatnya kualitas hubungan interpersonal, mampu untuk
menjadi mandiri, serta penurunan atau penghentian total perilaku kriminal.
Terdapat banyak variasi dalam implementasi intervensi psikososial, seperti
administrasi dalam kelompok atau individual, atau dikombinasikan dengan intervensi

337
Gangguan Penyalahgunaan Zat

farmakologi. Intervensi psikologis dapat dilakukan dalam waktu relatif singkat atau pun
intensif berdasarkan kebutuhan dan evaluasi ahli terhadap pasien terkait.
Agar pasien dengan gangguan penyalahgunaan zat dapat membuat keputusan
yang dipahaminya terkait perawatan dan penanganannya, psikolog klinis harus
menjelaskan opsi intervensi dengan berorientasi pada perilaku menjauhkan diri,
pemeliharaan (maintenance), dan pengurangan dampak buruk di pertemuan pertama
antara pasien dengan psikolog klinis dan juga di peninjauan formal setelahnya.
Diskusikan dengan pasien gangguan penyalahgunaan zat mengenai apakah mereka
ingin melibatkan keluarga atau pengasuh dalam asesmen dan rencana perawatan
mereka. Hormatilah hak konfidensial pasien. Pastikan bahwa terdapat rencana yang
jelas dan telah disetujui dalam melakukan perpindahan fasilitas layanan secara efektif
bagi pasien dengan penyalahgunaan zat guna mengurangi kemungkinan hilangnya
kontak dengan pasien. Semua intervensi untuk pasien dengan gangguan
penyalahgunaan zat harus diterapkan oleh psikolog klinis yang kompeten dalam
membawakan intervensi tersebut dan mereka yang telah mendapatkan pengawasan
yang sesuai. Pasien dengan gangguan penyalahgunaan zat harus diberikan perawatan,
rasa hormat, dan privasi yang sama seperti orang lain.
Berikut adalah bentuk intervensi-intervensi psikologis/psikososial yang sudah
dikaji efektivitasnya dengan baik, tetapi belum diuji kembali efektivitasnya di
Indonesia:
1. Terapi kognitif perilaku (Cognitive Behavioral Therapy /CBT)
CBT merupakan kelompok terapi yang menggunakan berbagai teknik dan
pendekatan yang ditujukan untuk mengevaluasi dan mengubah kognisi individu
yang maladaptif/patologis. CBT merupakan salah satu gold standard dalam
penanganan penyalahgunaan zat, terutama konsumsi alkohol, kanabis, amfetamin,
kokain, dan heroin. Strategi yang terlibat dalam CBT pada umumnya adalah untuk
membantu pasien mengenali dan mengevaluasi pikiran-pikiran disfungsional yang
mendorong pasien untuk mengambil keputusan maladaptif terkait konsumsi zat
dan kambuh (relapse). CBT tidak hanya mempengaruhi aspek kognitif pasien,
melainkan kemampuan interpersonal dan penyelesaian masalah (problem solving)
yang berguna untuk mencegah pasien dari kekambuhan, serta menangani masalah-
masalah psikologis lain yang sering mengiringi pasien dengan gangguan
penyalahgunaan zat, seperti depresi dan kecemasan. CBT singkat dapat
berlangsung selama antara 8-12 sesi; atau jika diperlukan penanganan lebih
intensif dapat dilakukan lebih dari 12 sesi. Pedoman dapat mengacu pada A
Therapist’s Guide to Brief Cognitive Behavioral Therapy oleh Cully dan Teten
(2008) atau Cognitive Behavioral Therapy: Basics And Beyond oleh Beck (2011).
338
Gangguan Penyalahgunaan Zat

2. Wawancara motivasional (Motivational Interviewing / MI)


MI merupakan salah satu pedoman atau pendekatan konseling dengan tujuan
utama untuk membantu pasien mengeksplorasi dan mengambil keputusan terkait
ambivalensi internal mereka tentang penggunaan zat. Setelah melewati proses
tersebut, pasien akan mampu untuk mengambil keputusan dalam aspek psikologis
dan perilaku secara lebih positif. Prinsip-prinsip MI meliputi mendengarkan
secara reflektif (reflective listening), memberikan keawasan (awareness) kepada
pasien mengenai jarak antara tujuan (goals) dan nilai (values) mereka dengan
perilaku mereka saat ini, menghindari argumen dan konfrontasi secara langsung,
serta memberdayakan efikasi dan optimisme pasien. MI biasanya
diimplementasikan atau digabung (dan akan menjadi lebih efektif) dengan
intervensi-intervensi psikologis lainnya. Panduan pelaksanaan MI dapat mengacu
pada Miller dan Rollnick (2013).
3. Modifikasi perilaku (voucher-based therapy)
Tujuan utama dari pendekatan ini adalah untuk meningkatkan frekuensi
perilaku positif dengan memberikan penguatan (reinforcement) positif setiap kali
pasien berhasil melakukan tindakan yang sesuai dengan tujuan dari intervensi.
Fokus lain dari pendekatan ini adalah memberikan hukuman atau penguatan
negatif setiap kali individu melakukan perilaku yang tidak diinginkan (misalnya,
penggunaan zat atau hasil positif pada tes urine).
4. Terapi Perilaku Pasangan
Pertimbangkan terapi perilaku pasangan pada pasien yang dekat dengan
seorang pasangan yang tidak melakukan penyalahgunaan zat dan pada pasien yang
menghadiri perawatan penyalahgunaan stimulan atau opioid, termasuk mereka
yang terus menggunakan obat ilegal ketika menjalankan perawatan pemeliharaan
(maintenance) opioid atau setelah menyelesaikan detoksifikasi opioid. Intervensi
tersebut harus:
a. Berfokus pada penyalahgunaan zat yang dimiliki pasien;
b. Terdiri dari setidaknya 12 sesi.
5. Program Rehabilitasi Kelompok/Institusi
Merupakan program jangka panjang di mana pasien dengan gangguan
penyalahgunaan zat hidup dan bekerja/berkarya dalam suatu komunitas atau
institusi bersama dengan sesama pengguna zat, mantan pengguna, dan ahli
kesehatan. Program rehabilitasi dapat berlangsung antara 1 hingga 24 bulan (atau
lebih). Tujuan utama dari program rehabilitasi adalah untuk membantu pasien
mengembangkan kemampuan dan sikap yang penting dalam keberfungsian

339
Gangguan Penyalahgunaan Zat

kemasyarakatan (misalnya manajemen keuangan, keterampilan tangan, dan


kemampuan bersosialisasi).

Prognosis

Penentuan prognosis dalam pasien dengan gangguan penyalahgunaan zat sangatlah


bergantung pada faktor-faktor berikut ini:
1. Tingkat pendidikan: pasien dengan tingkat pendidikan yang lebih rendah
memiliki kecenderungan lebih tinggi untuk mengembangkan gangguan
penyalahgunaan zat;
2. Temperamen: pasien dengan perilaku antisosial memiliki kemungkinan lebih
besar juga untuk memiliki gangguan penyalahgunaan zat, baik dalam
pengembangannya maupun pemeliharaan (maintenance);
3. Lingkungan: pasien yang memiliki masalah interpersonal ataupun defisit
dalam kemampuan sosial cenderung tidak memiliki prognosis positif. Pasien
yang tinggal dalam lingkungan dengan akses dukungan sosial yang sulit juga
cenderung memiliki prognosis yang negatif dalam proses penyembuhan
(recovery).

Catatan Lain

Mendukung keluarga dan pengasuh


Diskusikan dengan keluarga dan pengasuh mengenai dampak dari
penyalahgunaan zat pada diri mereka sendiri dan anggota keluarga lainnya, termasuk
anak yang berada di bawah pengasuhan penderita.
1. Tawarkan sebuah asesmen kebutuhan personal, sosial, dan kesehatan mental
mereka.
2. Berikan saran dan informasi tertulis mengenai dampak dari penyalahgunaan zat.
Ketika kebutuhan yang dimiliki keluarga dan pengasuh telah teridentifikasi:
1. Tawarkan pertolongan diri terbimbing (biasanya terdiri dari satu sesi dengan
materi tertulis yang disediakan);
2. Informasikan kepada mereka mengenai kelompok bantuan, contohnya kelompok
pertolongan diri yang diperuntukkan kepada keluarga dan pengasuh, dan bantulah
mereka dalam melakukan kontak dengan kelompok tersebut.

340
Gangguan Penyalahgunaan Zat

Jika keluarga dan pengasuh kerap memiliki masalah yang signifikan,


pertimbangkan menawarkan pertemuan keluarga secara individual. Pertemuan ini
harus:
1. Menyediakan informasi dan edukasi mengenai penyalahgunaan zat;
2. Membantu mengidentifikasi stresor yang berhubungan dengan
penyalahgunaan zat;
3. Mendukung perilaku koping yang efektif.
Ruang lingkup perawatan komunitas, rawat inap, dan residensial
Rangkaian intervensi psikososial yang sama harus tersedia pada ruang lingkup rawat
inap dan residensial seperti dalam komunitas. Layanan harus mendorong dan
memfasilitasi partisipasi dalam kelompok pertolongan diri.
Pertimbangkan perawatan residensial kepada pasien yang menginginkan menjauh
dari pengaruh zat (abstain) dan mereka yang memiliki masalah fisik dan kesehatan
mental atau sosial komorbid yang signifikan. Pasien tersebut harus sudah
menyelesaikan sebuah program detoksifikasi residensial atau rawat inap dan belum
mendapatkan manfaat dari perawatan psikososial berbasis komunitas sebelumnya.
Segera lakukan asesmen pada pasien yang kambuh karena penggunaan opioid
selama atau setelah perawatan rawat inap atau residensial. Pertimbangkan memberikan
akses cepat ke bantuan komunitas alternatif dan residensial atau rawat inap, juga
perawatan pemeliharaan.

341
Gangguan Penyalahgunaan Zat

Referensi

American Psychiatric Association. (2013). Diagnostic and Statistical Manual of Mental


Disorders (DSM-5) (edisi ke-5). Washington, D.C.: APA.
https://doi.org/10.1176/appi.books.9780890425596.744053
Beck, J. S. (2011). Cognitive Behavioral Therapy: Basics and Beyond (edisi ke-2). New
York: The Guildford Press.
Cully, J. A., & Teten, A. L. (2008). A Therapist’s Guide to Brief Cognitive Behavioral
Therapy. Houston: Department of Veterans Affairs South Central MIRECC.
Diakses dari https://www.mirecc.va.gov/visn16/guide-to-brief-cbt-manual.asp
Jhanjee, S. (2014). Evidence Based Psychosocial Interventions in Substance Use.
Indian Journal of Psychological Medicine, 36(2), 112–118.
https://doi.org/10.4103/0253-7176.130960
Miller, W. R., & Rollnick, S. (2013). Motivational Interviewing: Helping People
Change (edisi ke-3). New York: The Guildford Press.
National Center on Substance Abuse and Child Welfare. (n.d.). Appendix D: Examples
of Screening and Assessment Tools for Substance Use Disorders. Diakses pada 5
Desember 2020 dari https://ncsacw.samhsa.gov/files/SAFERR_AppendixD.pdf
National Institute on Drug Abuse. (2018). Screening and Assessment Tools Chart.
Diakses pada 5 Desember 2020 dari https://www.drugabuse.gov/nidamed-
medical-health-professionals/screening-tools-resources/chart-screening-tools
World Health Organization. (1992). The ICD-10 Classification of Mental and
Behavioural Disorders: Clinical Descriptions and Diagnostic Guidelines.
Geneva: World Health Organization.

342
24. Gangguan Neurokognitif Mayor (Demensia)

Batasan dan Uraian Umum

Menurut World Health Organization (WHO; 2020), demensia adalah sindrom yang
ditandai dengan disorientasi ingatan, proses berpikir, dan perilaku, serta penurunan
kemampuan untuk melakukan aktivitas sehari-hari. Sindrom demensia biasanya
bersifat kronik dan progresif, disertai penurunan fungsi kognitif yang spesifik seperti
afasia (kemunduran bahasa), apraksia (kesulitan melakukan aktivitas motorik), agnosia
(ketidakmampuan untuk mengenali objek) dan gangguan fungsi eksekutif (penurunan
dalam penalaran abstrak, perencanaan dan mengerjakan aktivitas kompleks). Gangguan
fungsi kognitif biasanya disertai dengan penurunan kontrol emosi, perilaku sosial, atau
motivasi. Meskipun demensia umumnya dialami oleh kalangan lanjut usia (lansia),
sindrom ini bukan bagian dari proses penuaan yang normal.

Manifestasi Klinis

Gejala dini dari demensia berupa kesulitan mencari informasi baru dan mudah lupa
kejadian yang baru. Berdasarkan etiologinya, demensia dibedakan menjadi beberapa
sub-tipe:
1. Demensia pada Penyakit Alzheimer (DA)
Penyakit Alzheimer masih merupakan penyebab demensia yang paling
umum, mencakup sekitar 60-80% kasus. Gejala yang paling menonjol pada fase
awal adalah penurunan progresif memori jangka pendek, sementara memori
jangka panjang masih baik. Defisit ini mempengaruhi memori verbal maupun
nonverbal dan mengakibatkan "cepat lupa" terhadap informasi yang baru
dipelajari (Salmon & Bondi, 2009). Seiring perkembangan gangguan, defisit ini
menjadi lebih parah dan mulai mencakup hilangnya makna abstrak, kesulitan
perhatian, dan hilangnya kemampuan visuospasial (persepsi visual dan
kemampuan perseptual motorik).
Pada keadaan lebih lanjut muncul gangguan fungsi kognitif perilaku, yaitu:
a. Disorientasi waktu dan tempat;
b. Kesulitan melakukan pekerjaan sehari-hari;
c. Tidak mampu membuat keputusan;
d. Kesulitan berbahasa;
e. Kehilangan motivasi dan inisiatif;
f. Gangguan pengendalian;
g. Kemampuan sosial terganggu; dan
343
Gangguan Neurokognitif Mayor (Demensia)

h. Berbagai perubahan perilaku dan psikologis lainnya (agresif impulsif,


halusinasi, waham).
Gejala-gejala klinis di atas adalah demensia tipe Alzheimer yang
berkembang perlahan-lahan, sampai pada tahap lanjut pasien menjadi tergantung
penuh pada keluarga yang merawatnya. Penyakit ini dialami oleh utamanya lansia
(>65 tahun) walaupun dapat ditemukan pula pada usia yang lebih muda.
2. Demensia Vaskuler
Demensia vaskuler adalah bentuk gangguan neurokognitif berat atau ringan
akibat kejadian serebrovaskular atau stroke yang mempengaruhi otak
(Staekenborg dkk, 2009). Gejala stroke umumnya terjadi secara tiba-tiba, dan
dalam waktu 3 bulan setelah mengalami stroke, sebanyak 30% akan terdiagnosis
demensia (DSM-5; American Psychiatric Association, 2013). Sebaliknya, gejala
yang hilang dalam 24 jam dianggap sebagai gejala serangan iskemik transien
(transient ischaemic attacks) yang sering mengawali perkembangan stroke yang
parah. Demensia vaskuler merupakan demensia kedua yang paling umum setelah
penyakit Alzheimer. Gejalanya mirip dengan demensia Alzheimer, tetapi
demensia vaskuler biasanya terjadi secara mendadak. Hipertensi, diabetes,
merokok, obesitas, dan kolesterol tinggi diketahui sebagai faktor risiko untuk
mengembangkan gejala neurokognitif vaskular berat atau ringan.
3. Demensia dengan Badan Lewy
Demensia dengan Badan Lewy (Lewy Body) ditandai dengan penurunan
kemampuan berpikir yang mungkin terlihat seperti penyakit Alzheimer. Namun,
seiring dengan waktu gejala-gejala spesifik akan muncul, termasuk perubahan
dalam kognitif (fluktuasi kognitif, halusinasi visual), parkinsonisme (kelambatan
gerakan atau kaku, tremor, masalah keseimbangan dan jatuh, postur tubuh
membungkuk, ekspresi wajah berkurang), gangguan tidur (REM, kantuk di siang
hari yang berlebihan, insomnia), perubahan perilaku dan suasana perasaan
(depresi, cemas, agitasi, delusi, paranoia).
4. Demensia Frontotemporal (DFT)
Demensia Frontotemporal (DFT) adalah penyebab demensia yang paling
sering didiagnosis pada orang dewasa sebelum usia 60 tahun dan mempengaruhi
sebanyak 20% kasus (Snowden, dkk, 2001; Weder, Aziz, Wilkins, & Tampi,
2007). Gejala yang paling menonjol yaitu adanya perubahan kepribadian dan
perilaku. Kondisi ini dapat mengganggu kemampuan untuk bekerja dan dapat
menyebabkan banyak masalah di area sosial sebagai akibat dari disinhibisi dan
perilaku yang tidak pantas lainnya (misalnya, ledakan verbal, perilaku impulsif),
serta perilaku kompulsif sering terjadi.
344
Asesmen dan Diagnosis

Identifikasi
Mengevaluasi gangguan demensia harus dilakukan secara komprehensif.
Pendekatan yang dilakukan bertujuan untuk identifikasi dini demensia, penilaian
komplikasi, dan penegakan diagnosis yang akurat mengenai penyebab demensia, serta
melakukan penanganan psikologis yang sesuai untuk perawatan pasien dan keluarga
atau pengasuh.
Deteksi dan diagnosis dini penting karena beberapa penyebab penurunan fungsi
kognitif memiliki penyebab medis yang masih dapat diatasi. Untuk gangguan
neurokognitif stadium awal, perubahan gaya hidup atau pengobatan dapat
memperlambat perkembangan gangguan. Bahkan, ketika gangguan neurokognitif tidak
dapat disembuhkan, diagnosis setidaknya memberi kesempatan bagi pasien untuk
membuat keputusan selanjutnya sebelum gejalanya semakin parah.
Pasien yang harus dievaluasi terkait kemungkinan memiliki gangguan demensia
adalah pasien dengan keluhan sebagai berikut:
1. Pasien dengan keluhan gangguan kognitif/memori yang progresif, atau dengan
perilaku yang mengindikasikan demensia, baik dilaporkan oleh pasien maupun
oleh keluarga;
2. Pasien yang diduga memiliki gangguan kognitif dan perilaku saat dilakukan
pemeriksaan, walaupun pasien belum memiliki keluhan subjektif;
3. Pasien yang memiliki risiko tinggi demensia (adanya riwayat keluarga dengan
demensia).
Asesmen
Asesmen gejala demensia dapat dilakukan melalui:
1. Wawancara klinis, yaitu melakukan autoanamnesis kepada pasien dengan dugaan
demensia jika memungkinkan dan alloanamnesis pada keluarga atau pengasuh
untuk menggali data atau informasi tentang riwayat penyakit yang meliputi onset
gejala kognitif, perjalanan penyakit, pola gangguan kognisi, perilaku, psikologis,
dan sosial serta dampak dari gejala tersebut pada kehidupan sehari-hari
berdasarkan kriteria diagnosis DSM-5;
2. Observasi klinis, yaitu melakukan pengamatan perilaku spesifik secara langsung
saat melakukan pemeriksaan terhadap pasien. Observasi juga dapat dilakukan
dengan menggunakan metode daftar periksa untuk menentukan indikator perilaku
pasien yang diberikan kepada keluarga atau pengasuh;

345
Gangguan Neurokognitif Mayor (Demensia)

3. Tes psikologi.
Tidak semua skala dan/atau instrumen asesmen yang akan disebutkan di
bawah ini telah diadaptasi dengan pengujian validitas dan reliabilitas dalam
konteks Indonesia. Namun demikian, instrumen-instrumen berikut umum
digunakan untuk asesmen gejala-gejala demensia sehingga penggunaan skala-
skala tersebut tetap direkomendasikan. Untuk skrining kepada pasien dapat
dilakukan dengan:
a. Tes Kognitif
Pemeriksaan kognitif dan neuropsikologis dapat membantu menentukan
jenis gangguan kognitif, mengukur tingkat keparahan gangguan, dan
membantu penegakan diagnosis. Namun, pemeriksaan ini tidak membantu
dalam menentukan prognosis atau perjalanan gangguan.
Terdapat banyak tes fungsi kognitif singkat terstruktur yang dapat
digunakan untuk mengukur gangguan kognisi dan telah teruji divaliditas dan
reliabilitasnya, seperti:
i. Mini Mental State Examination (MMSE)
MMSE merupakan salah satu instrumen skrining yang paling
umum digunakan untuk pemeriksaan disfungsi kognitif dan menentukan
tingkat defisit kognitif pasien. Pemeriksaan menggunakan MMSE
memerlukan waktu sekitar 5-10 menit. Skor maksimal MMSE adalah 30
sebagai skor normal. Skor 21–26 adalah defisit kognitif ringan, skor 15–
20 adalah defisit kognitif sedang, skor 10-14 adalah defisit kognitif
sedang-berat, dan skor 0-9 adalah defisit kognitif berat.
Skor MMSE dan nilai cut-off dipengaruhi tingkat pendidikan, usia
dan etnis. MMSE memiliki cut-off 27, sensitivitas 90%, spesifisitas 90%,
dan positive predictive value (PPV) 80% dalam mendiagnosis demensia.
Nilai luas area di bawah kurva (area under the curve) receiver operating
characteristic (AUC-ROC) MMSE berkisar antara 0.9 – 1.0,
mengindikasikan akurasi yang baik dalam mengidentifikasi demensia
pada populasi dengan beragam usia dan tingkat pendidikan. Namun,
MMSE hanyalah instrumen skrining awal. Skor yang tinggi
menunjukkan perlunya evaluasi tambahan dan tindak lanjut.
ii. Tes Menggambar Jam (Clock Drawing Test / CDT)
CDT merupakan instrumen skrining demensia yang dapat
diandalkan, tetapi dipengaruhi usia, jenis kelamin, dan tingkat

346
pendidikan. Tes ini dilakukan dengan cara menggambar mengikuti
perintah atau meniru gambar yang ada. Kedua cara ini menunjukkan nilai
AUC-ROC yang tinggi, yaitu masing-masing 84% dan 85%. Tes ini
memiliki akurasi yang cukup baik dalam membedakan demensia
frontotemporal (DFT) dari demensia Alzheimer (DA) dan pasien normal,
yakni dapat mengidentifikasi 88,9% kasus DFT dan 76% kasus DA
dengan prediksi akurasi 83,6%.
iii. Montreal Cognitive Assessment (MoCA)
MoCA merupakan instrumen lebih baru (Nasreddine dkk, 2005)
yang dikembangkan untuk mengevaluasi hendaya kognitif ringan (mild
cognitive impairment/MCI), meliputi orientasi, memori, perhatian,
bahasa (penamaan), fungsi eksekutif, dan fungsi visuospasial. MoCA
lebih sensitif dalam mendeteksi pasien dengan hendaya kognitif ringan
(MCI) dibandingkan dengan MMSE (sensitivitas 18% untuk MMSE
dibanding 90% untuk MoCA) dan demensia Alzheimer ringan
(sensitivitas 78% untuk MMSE dibanding 100% untuk MoCA).
Spesifisitas 100% untuk MMSE dan 87% untuk MoCA (Nasreddine dkk,
2005). MoCA juga cukup sensitif untuk mendeteksi MCI pada pasien
dengan penyakit Parkinson.
MoCA memiliki sejumlah keunggulan sebagai tes skrining untuk
memori dan demensia. Pertama, tes dan instruksi tersedia secara gratis di
situs web, www.mocatest.org. Kedua, memiliki instruksi dan penilaian
yang jelas. Ketiga, telah diterjemahkan lebih dari 45 bahasa. Keempat,
mencakup berbagai domain kognitif. Keterbatasan utamanya adalah
masih tergolong baru dan data normatif masih terbatas.
b. Tes gangguan perilaku dan psikologis
Perubahan perilaku sering terjadi pada sebagian besar pasien demensia
seiring dengan perjalanan penyakitnya. Gejala perilaku dan psikologis
demensia (behaviour and psychological symptoms in dementia / BPSD) atau
gejala neuropsikiatrik seperti depresi, kecemasan, agitasi, paranoid, halusinasi
dan gangguan tidur terdapat pada 90% pasien demensia Alzheimer.
i. Neuropsychiatric Inventory (NPI)
Salah satu skala yang sering digunakan untuk Gangguan
Neurokognitif Mayor adalah Neuropsychiatric Inventory (NPI).
Keluarga atau pengasuh diberikan pertanyaan tentang 10 kemungkinan
gangguan psikologis (misalnya, delusi, kecemasan, agitasi, disinhibisi,
disforia). NPI dapat membantu membedakan antara gangguan
347
Gangguan Neurokognitif Mayor (Demensia)

neurokognitif ringan dan mayor, membedakan antar berbagai etiologi


demensia, dan menentukan tingkat keparahan serta frekuensi perubahan
perilaku.
ii. Geriatric Depression Scale (GDS)
Pasien demensia juga dianjurkan untuk menjalani pemeriksaan
depresi karena prevalensinya yang tinggi. Diagnosis dan tingkat
keparahan depresi pada demensia dapat dinilai dengan menggunakan
skala seperti Geriatric Depression Scale (GDS).
iii. Clinical Dementia Rating (CDR)
Beberapa tes dapat digunakan untuk menentukan beratnya
gangguan dan juga dapat memonitor respons pasien terhadap terapi.
Selain MMSE, instrumen yang dapat digunakan adalah Clinical
Dementia Rating (CDR). CDR dapat digunakan untuk mendeteksi MCI
dan gejala dini demensia. Selain sebagai alat diagnosis standar, CDR
mempunyai sensitivitas 86% dan spesifisitas 80%. CDR juga
direkomendasikan untuk menentukan derajat keparahan demensia.
c. Tes Gangguan Fungsional
Pasien dengan hendaya kognitif ringan (MCI) menunjukkan
melambatnya performa dalam mengerjakan tugas dan tanggung jawab
fungsional secara klinis. Gangguan fungsional dapat dinilai berdasarkan
aktivitas hidup keseharian (activities of daily living / ADL), baik yang dasar
(basic activities of daily living / BADL), maupun instrumental (instrumental
activities of daily living / IADL). Keduanya menggambarkan kemampuan
untuk hidup mandiri. Terdapat banyak skala yang dapat dimanfaatkan untuk
menilai ADL secara subjektif oleh pasien maupun secara objektif oleh
keluarga atau pengasuh. Sub-tipe demensia yang berbeda dapat menyebabkan
gangguan yang berbeda dalam ADL. Pasien demensia perlu dinilai secara rutin
dalam aktivitas sehari-hari.
Selain hal tersebut juga perlu dilakukan skrining kepada keluarga atau pengasuh
pasien. Pada saat melakukan alloanamnesis pada keluarga atau pengasuh untuk
menggali informasi atau riwayat pasien dengan dugaan demensia, pertimbangkan
melengkapinya dengan instrumen terstruktur, seperti Informant Questionnaire on
Cognitive Decline in the Elderly (IQCODE).

348
Diagnosis
DSM-5 menggunakan istilah gangguan neurokognitif (Neurocognitive
Disorder/NCD) dengan dua derajat keparahan, yaitu gangguan neurokognitif mayor
dan gangguan neurokognitif ringan. Demensia sebagai gangguan neurokognitif
mayor dapat dilihat pada tabel 3.24.1.
Tabel 3.24.1
Kriteria Diagnosis Gangguan Neurokognitif Mayor Berdasarkan DSM-5
Kriteria Diagnosis Ada Tidak
A. Adanya bukti penurunan fungsi kognitif yang
signifikan dibandingkan fungsi kognitif
sebelumnya. Penurunan ini terjadi pada satu atau
lebih area kognitif (atensi kompleks, fungsi
eksekusi, kemampuan belajar, ingatan, bahasa,
persepsi motorik, dan sosial).
B. Defisit kognitif mengganggu kemandirian
aktivitas sehari-hari (misalnya, membayar tagihan
atau mengelola pengobatan) sehingga pasien
membutuhkan bantuan.
C. Defisit kognitif tidak hanya terjadi pada saat pasien
mengalami delirium.
D. Defisit kognitif tidak disebabkan oleh gangguan
mental lainnya (misalnya gangguan depresi mayor,
skizofrenia).

Sedangkan menurut menurut PPDGJ-III, kriteria diagnosisnya adalah sebagai


berikut:
1. Adanya penurunan kemampuan daya ingat dan daya pikir yang sampai
mengganggu kegiatan sehari-hari (personal activities of daily living), seperti
mandi, berpakaian, makan, kebersihan diri, buang air besar dan kecil.
2. Tidak ada gangguan kesadaran (clear consciousness).
3. Gejala dan disabilitas sudah nyata untuk paling sedikit 6 bulan.

Diagnosis Banding

1. Delirium
2. Mild Cognitive Impairment (MCI)
3. Gangguan depresi mayor
349
Gangguan Neurokognitif Mayor (Demensia)

Komorbiditas

1. Delirium
2. Gangguan depresi mayor
3. Geriatri
4. Vascular
5. Intervensi Psikologis

Intervensi Psikologis

Gejala perubahan emosi, motivasi, perilaku dan sosial pada pasien dengan
demensia merupakan sumber distres yang signifikan baik bagi pasien maupun keluarga
atau pengasuh. Tujuan dari intervensi psikologis adalah untuk meningkatkan kualitas
hidup keduanya dan menjadi pelengkap penting dalam pengobatan medis, terutama
pada tahap awal demensia karena penyakit Alzheimer atau demensia Vaskuler.
Psikoterapi diharapkan dapat meningkatkan keterampilan koping stres, yang
selanjutnya diharapkan dapat meningkatkan partisipasi dalam layanan rehabilitasi dan
lainnya.
Penurunan stres berbasis mindfulnes telah terbukti mengurangi atrofi otak dan
memiliki dampak positif pada area otak yang paling terkait dengan penyakit Alzheimer
dan gangguan kognitif ringan.
1. Penurunan Stres Berbasis Mindfulness (MBSR) dan Terapi Kognitif Berbasis
Mindfulness (MBCT)
Praktik meditasi mindfulness telah banyak digunakan dalam praktik
psikologi, terutama untuk menurunkan stres. MBCT juga sering digunakan untuk
mengobati nyeri, depresi, kecemasan, dan penyakit lainnya. Penelitian terbaru
menunjukkan bahwa terdapat dampak positif dari latihan meditasi mindfulness
pada otak. Hasil penelitian menunjukkan bahwa praktik kesadaran dapat
mengubah fungsi otak (Marchand, 2014).
2. Teknik meditasi
Teknik meditasi mudah diajarkan, dan relatif sederhana untuk dipraktikkan.
Hasil penelitian menunjukkan efek positif meditasi dalam peningkatan kognisi
dan memori, kefasihan verbal, dan fleksibilitas kognitif pada orang dengan
gangguan neurokognitif ringan (Marciniak dkk, 2014; Newberg dkk, 2014). Pada
kasus penurunan kognitif akibat dari stres, meditasi dapat mengurangi stres,
meningkatkan fungsi kognisi, dan meningkatkan perasaan sejahtera. Teknik ini

350
juga bersifat non-invasif, berbiaya rendah, dan memiliki efek samping yang
terbatas.
3. Terapi musik
Terapi musik sudah banyak digunakan untuk pengobatan berbagai gangguan
mental. Bagi para pasien dengan demensia, terapi musik selain menenangkan juga
memberikan pengalaman yang menyenangkan melalui kegiatan yang
memungkinkan pasien mendengarkan, menyanyi, dan berpartisipasi memainkan
instrumen. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa musik dapat
mengurangi perilaku gelisah. Musik latar juga dapat mengurangi perilaku agresi
dan agitasi pasien.
4. Terapi kenangan (Reminiscence)
Terapi kenangan dapat dipertimbangkan untuk pasien dengan demensia yang
mengalami gangguan perilaku dan psikologis. Terapi ini melibatkan diskusi
tentang kegiatan, peristiwa, dan pengalaman masa lalu bersama orang lain atau
sekelompok orang. Pada terapi ini, sering juga digunakan alat bantu berupa video,
gambar, arsip, dan buku kisah hidup. Penelitian menunjukkan peningkatan fungsi
kognitif dan suasana perasaan pasien setelah beberapa minggu terapi.

Prognosis

Prognosis demensia bervariasi dan biasanya ditentukan oleh penyebab gangguan


tersebut. Gangguan neurokognitif degeneratif karena penyakit alzheimer, penyakit
badan Lewy, infeksi HIV, penyakit Huntington, dan lainnya cenderung mengakibatkan
defisit kognitif yang mengganggu dalam menjalankan aktivitas kehidupan sehari-hari
secara mandiri. Jika depresi tidak ditangani dapat meningkatkan risiko demensia
vaskular dan stroke (Sibolt dkk, 2013).
Dalam menentukan prognosis untuk pasien dengan gangguan neurokognitif, dapat
mempertimbangkan aspek genetik dan fisiologis. Faktor risiko terkuat untuk gangguan
neurokognitif mayor dan ringan adalah usia karena usia meningkatkan risiko penyakit
neurodegeneratif dan serebrovaskular. Secara umum, perempuan memiliki prevalensi
demensia yang lebih tinggi, terutama demensia terkait penyakit alzheimer.

Catatan Lain

1. Melibatkan pasien dalam membuat keputusan


a. Dorong pasien dengan demensia untuk memberikan pandangan dan
pendapat mengenai perawatan mereka;

351
Gangguan Neurokognitif Mayor (Demensia)

b. Jika diperlukan, gunakanlah metode komunikasi tambahan (contohnya alat


bantu penglihatan atau tulisan yang disederhanakan);
c. Pertimbangkan untuk menggunakan alat terstruktur dalam mengevaluasi apa
yang disukai dan tidak disukai, rutinitas dan riwayat personal dari pasien
dengan demensia;
2. Menyediakan informasi
a. Sediakan informasi yang relevan tentang situasi dan tahap kondisi pasien,
baik kepada pasien maupun anggota keluarga atau pengasuh;
b. Pada tahap diagnosis, berikan pasien dan anggota keluarga atau pengasuh
informasi secara verbal dan lisan yang menjelaskan mengenai:
i. Sub-tipe demensia yang dialami pasien dan perubahan apa yang dapat
diharapkan;
ii. Tenaga kesehatan dan tim perawatan sosial yang akan terlibat dalam
penanganan pasien dan bagaimana cara menghubunginya.
3. Masalah tidur
Untuk pasien dengan demensia yang memiliki masalah tidur, pertimbangkan
pendekatan penanganan tidur multi-komponen yang disesuaikan secara personal
dan memuat edukasi mengenai pola tidur yang baik (sleep hygiene), paparan sinar
matahari, olah raga, dan aktivitas yang disesuaikan secara personal.
4. Intervensi untuk keluarga atau pengasuh
5. Berikan psikoedukasi dan pelatihan kemampuan intervensi yang meliputi:
a. Edukasi mengenai demensia: gejala dan perubahan yang dapat diharapkan;
b. Penyusunan strategi yang disesuaikan secara pribadi dan membangun
keterampilan mereka dalam merawat pasien;
c. Pelatihan untuk membantu mereka dalam menyediakan perawatan, termasuk
cara memahami dan bereaksi terhadap perubahan perilaku pasien;
d. Pelatihan untuk membantu keluarga atau pengasuh dalam menyesuaikan
gaya berkomunikasi mereka terhadap pasien untuk meningkatkan interaksi;
e. Saran mengenai cara untuk merawat kesehatan fisik dan mental mereka
sendiri, serta kesejahteraan emosional dan spiritual;
f. Informasi mengenai layanan yang relevan (termasuk layanan bantuan dan
terapi psikologis untuk keluarga atau pengasuh) serta cara untuk
mengaksesnya;
g. Saran mengenai hak dan cara mereka untuk mendapatkan asesmen formal
mengenai kebutuhan mereka, termasuk kesehatan fisik dan mental, serta
kebutuhan mereka akan istirahat sejenak.

352
Referensi

American Psychiatric Association. (2013). Diagnostic and Statistical Manual of Mental


Disorders (DSM-5) (edisi ke-5). Washington, D.C.: APA.
https://doi.org/10.1176/appi.books.9780890425596.744053
Draper, B. (2004). Dealing with Dementia : A Guide to Alzheimer’s Disease and Other
Dementias. Victoria: National Library of Australia.
Marchand, W. R. (2014). Neural Mechanisms of Mindfulness and Meditation: Evidence
from Neuroimaging Studies. World Journal of Radiology, 6(7), 471.
https://doi.org/10.4329/wjr.v6.i7.471
Marciniak, R., Sheardova, K., Čermáková, P., Hudeček, D., Šumec, R., & Hort, J.
(2014). Effect of Meditation on Cognitive Functions in Context of Aging and
Neurodegenerative Diseases. Frontiers in Behavioral Neuroscience, 8.
https://doi.org/10.3389/fnbeh.2014.00017
Maslim, R. (2013). BUKU SAKU DIAGNOSIS GANGGUAN JIWA: Rujukan Ringkas
dari PPDGJ-III dan DSM-5. Jakarta: Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK-Unika
Atmajaya.
Nasreddine, Z. S., Phillips, N. A., BÃcdirian, V., Charbonneau, S., Whitehead, V.,
Collin, I., … Chertkow, H. (2005). The Montreal Cognitive Assessment, MoCA:
A Brief Screening Tool For Mild Cognitive Impairment. Journal of the American
Geriatrics Society, 53(4), 695–699. https://doi.org/10.1111/j.1532-
5415.2005.53221.x
National Institute for Health and Care Excellence. (2018). Dementia: Assessment,
Management and Support for People Living with Dementia and Their Carers
(NICE Guidelines [NG97]). Diakses pada 1 November 2020 dari
https://www.nice.org.uk/guidance/ng97/
National Institutes of Neurological Disorders and Stroke. (2018). Lewy Body Dementia:
Hope Through Research. Diakses pada 1 November 2020 dari
https://www.ninds.nih.gov/Disorders/Patient-Caregiver-Education/Hope-
Through-Research/Lewy-Body-Dementia-Hope-Through-Research
Nevid, J. S., Rathus, S. A., & Greene, B. (2018). Abnormal Psychology in A Changing
World (edisi ke-9). USA: Pearson.
Newberg, A. B., Serruya, M., Wintering, N., Moss, A. S., Reibel, D., & Monti, D. A.
(2014). Meditation and Neurodegenerative Diseases. Annals of the New York
Academy of Sciences, 1307(1), 112–123. https://doi.org/10.1111/nyas.12187
Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia. (2015). Panduan Praktik Klinik :
Diagnosis dan Penatalaksanaan Demensia. Jakarta: Perhimpunan Dokter
Spesialis Saraf Indonesia.

353
Gangguan Neurokognitif Mayor (Demensia)

Reichenberg, L. W., & Seligman, L. (2016). Selecting Effective Treatments: A


Comprehensive, Systematic Guide to Treating Mental Disorders (edisi ke-5).
USA: John Wiley & Sons.
Salmon, D. P., & Bondi, M. W. (2009). Neuropsychological Assessment of Dementia.
Annual Review of Psychology, 60(1), 257–282.
https://doi.org/10.1146/annurev.psych.57.102904.190024
Sibolt, G., Curtze, S., Melkas, S., Pohjasvaara, T., Kaste, M., Karhunen, P. J., …
Erkinjuntti, T. (2013). Post-Stroke Depression and Depression-Executive
Dysfunction Syndrome Are Associated with Recurrence of Ischaemic Stroke.
Cerebrovascular Diseases, 36(5–6), 336–343. https://doi.org/10.1159/000355145
Snowden, J. S., Bathgate, D., Varmaa, A., Blackshawa, A., Gibbonsa, Z. C., & Neary,
D. (2001). Distinct Behavioural Profiles in Frontotemporal Dementia and
Semantic Dementia. Journal of Neurology, Neurosurgery & Psychiatry, 70(3),
323–332. https://doi.org/10.1136/jnnp.70.3.323
Staekenborg, S. S., Koedam, E. L. G. E., Henneman, W. J. P., Stokman, P., Barkhof,
F., Scheltens, P., & van der Flier, W. M. (2009). Progression of Mild Cognitive
Impairment to Dementia. Stroke, 40(4), 1269–1274.
https://doi.org/10.1161/STROKEAHA.108.531343
Weder, N. D., Aziz, R., Wilkins, K., & Tampi, R. R. (2007). Frontotemporal Dementias:
A Review. Annals of General Psychiatry, 6(1), 15. https://doi.org/10.1186/1744-
859X-6-15
World Health Organization. (2020). Dementia. Diakses pada 1 November 2020 dari
https://www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/dementia

354
25. Gangguan Kepribadian Ambang

Batasan dan Uraian Umum

Merujuk pada Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders edisi 5


(DSM-5) (American Psychiatric Association, 2013), ciri khas dari gangguan
kepribadian ambang (borderline personality disorder) adalah adanya perilaku impulsif
dan ketidakstabilan dalam hubungan serta afek (mood). Individu dengan ciri
kepribadian ambang menunjukkan fluktuasi kondisi dari waktu di mana ia merasa
sangat percaya diri hingga waktu di mana ia merasa tidak berdaya, ketidakstabilan
gambaran diri, perubahan suasana perasaan yang cenderung cepat, adanya ketakutan
akan diabaikan dan penolakan, serta pemikiran mengenai bunuh diri dan menyakiti diri
sendiri. Kebanyakan pasien menunjukkan gejala kepribadian ambang pada usia remaja
akhir atau dewasa awal. Terdapat anggapan bahwa individu di bawah 18 tahun
sebaiknya tidak diberikan diagnosis kepribadian ambang meskipun gejala-gejala
tersebut sudah terlihat. Gangguan kepribadian ambang paling terlihat dari kemampuan
yang buruk untuk menjalin hubungan yang stabil. Hal ini disebabkan adanya
ketidakstabilan emosi dan personal. Meskipun tidak semua pasien menunjukkan adanya
perilaku menyakiti diri sendiri atau bunuh diri, perilaku ini muncul pada sebagian besar
pasien dengan kepribadian ambang sehingga risiko kerusakan fisik atau disabilitas
tinggi.

Manifestasi Klinis

1. Karakteristik utama dari tipe kepribadian ambang adalah adanya pola


ketidakstabilan hubungan interpersonal, gambaran diri, dan suasana perasaan serta
adanya impulsivitas yang dimulai sejak dewasa awal dan masih tetap bertahan
hingga individu tersebut melaporkan dirinya ke penyedia layanan.
2. Pasien dengan tipe kepribadian ambang biasanya menunjukkan usaha untuk
menghindari adanya penolakan baik yang ada secara nyata atau yang hanya di
dalam imajinasinya. Hal ini membuat mereka sangat sensitif terhadap respons
yang ditunjukkan oleh lingkungannya. Tak jarang pasien dengan kepribadian
ambang membuat kesimpulan bahwa adanya penolakan berarti diri mereka buruk.
3. Terdapat pola ketidakstabilan dalam hubungan interpersonal yang cukup intens di
mana pada satu waktu sangat mengidolakan seseorang, tetapi di waktu yang lain
bisa jadi sangat tidak menyukai orang tersebut. Hal ini biasanya terjadi karena
pandangan yang dimiliki terhadap orang lain mudah berubah.

355
Gangguan Kepribadian Ambang

4. Pasien dengan kepribadian ambang biasanya juga menunjukkan adanya


ketidakstabilan afek (mood) yang ditandai dengan sensitivitas suasana perasaan.
Terdapat periode di mana muncul kemarahan, panik, atau kesedihan yang sulit
untuk dihilangkan. Selain itu, terdapat perasaan hampa yang intens. Adanya
kesulitan untuk mengontrol amarah membuat individu dengan kepribadian
ambang sering kali menunjukkan amarah mereka secara tidak pantas, tetapi
setelahnya mereka akan merasa malu atau bersalah karena menganggap dirinya
sendiri buruk.
5. Dalam periode stres yang cukup intens, muncul adanya ide paranoid atau gejala
disosiatif yang merupakan respons terhadap adanya pengabaian baik secara nyata
atau imajinatif.

Asesmen dan Diagnosis

Identifikasi
Ketika pasien datang ke fasilitas pelayanan kesehatan dengan riwayat menyakiti
diri sendiri secara berulang dan menunjukkan perilaku berisiko atau adanya
ketidakstabilan emosi, pertimbangkan untuk melakukan asesmen terkait adanya
kemungkinan gangguan kepribadian ambang.
Asesmen
Ketika melakukan asesmen terhadap pasien yang terduga memiliki tipe
kepribadian ambang, maka pastikan untuk melakukan pemeriksaan terkait:
1. Keberfungsian psikososial dan okupasional, strategi koping, potensi atau
kelebihan, dan juga kerentanan yang dimiliki;
2. Komorbiditas gangguan jiwa lain dan permasalahan sosial;
3. Kebutuhan untuk mendapatkan layanan psikologis, dukungan sosial, serta
rehabilitasi vokasional;
4. Keberadaan anak di bawah pengasuhan pasien dengan gangguan kepribadian
ambang.
Asesmen mengenai risiko yang mungkin terjadi harus dilakukan dengan:
1. Membedakan antara risiko jangka panjang dan jangka menengah;
2. Mengidentifikasi risiko yang membahayakan baik diri sendiri maupun orang lain,
termasuk kesejahteraan anak yang berada di bawah pengasuhan pasien dengan
gangguan kepribadian ambang.

356
Gangguan Kepribadian Ambang

Ketika menyepakati dilakukannya asesmen terkait dengan risiko yang mungkin


muncul, pasien dengan gangguan kepribadian ambang dan psikolog klinis diharapkan
dapat bersama-sama membuat rencana penanggulangan risiko yang:
1. Mencantumkan baik risiko jangka panjang maupun jangka pendek;
2. Berkaitan dengan strategi penanganan secara keseluruhan;
3. Mempertimbangkan adanya perubahan dalam hubungan interpersonal, termasuk
hubungan dengan pemberi layanan kesehatan jiwa.
Ketika menanggulangi risiko yang dimiliki oleh pasien dengan gangguan
kepribadian ambang dalam fasilitas pelayanan kesehatan, risiko harus ditanggulangi
dengan melibatkan tim yang terdiri dari berbagai disiplin dengan supervisi yang
memadai, terutama untuk anggota tim yang kurang berpengalaman. Diharapkan tim
tersebut dapat berhati-hati, terutama ketika pasien tersebut belum pernah ditangani
sebelumnya dan memiliki perilaku bunuh diri berkali-kali. Tim yang bekerja menangani
pasien dengan gangguan kepribadian ambang harus melakukan peninjauan ulang secara
berkala mengenai kesehatan emosional anggota tim yang terlibat.
Asesmen untuk menentukan diagnosis dengan pasti beserta tingkat keparahannya
dapat dilakukan dengan melakukan wawancara klinis terstruktur serta menggunakan
kuesioner yang dapat diisi secara mandiri, seperti Borderline Symptom List (BSL-23).
Akan tetapi, perlu diperhatikan bahwa skala tersebut belum memiliki versi Bahasa
Indonesia yang telah melalui proses adaptasi, yakni uji reliabilitas dan validitas untuk
digunakan di Indonesia.
Diagnosis
Terdapat pola ketidakstabilan hubungan interpersonal, gambaran diri, dan afek,
serta adanya perilaku impulsif yang dimulai sejak masa dewasa awal dan masih
dilakukan dalam beberapa konteks. DSM-5 memberikan kriteria diagnosis
sebagaimana dalam tabel 3.25.1.
Tabel 3.25.1
Kriteria Diagnosis Gangguan Kepribadian Ambang Berdasarkan DSM-5
Kriteria Diagnostik Ada Tidak
A. Usaha berlebih untuk menghindari adanya pengabaian
baik yang nyata ataupun yang masih ada di dalam
imajinasi. (Catatan: tidak termasuk perilaku menyakiti
diri sendiri);
B. Pola hubungan interpersonal yang tidak stabil dan
intens dicirikan dengan adanya perubahan yang
ekstrem antara idealisasi atau devaluasi;
357
Gangguan Kepribadian Ambang

Kriteria Diagnostik Ada Tidak


C. Gangguan identitas: tidak stabilnya gambaran diri atau
sense of self secara terus menerus dan terlihat dengan
jelas;
D. Adanya impulsivitas di setidaknya dua area yang
berpotensi membahayakan diri sendiri (contoh seks,
penyalahgunaan zat, menyetir tanpa berhati-hati,
makan dalam jumlah besar dalam satu waktu).
Catatan: tidak termasuk perilaku menyakiti diri
sendiri atau bunuh diri
E. Perilaku, gestur, atau ancaman bunuh diri yang
berulang, atau perilaku mutilasi diri sendiri;
F. Ketidakstabilan afek karena adanya reaktivitas suasana
perasaan (contoh disforia intens, mudah marah, atau
kecemasan yang biasanya bertahan beberapa saat dan
jarang lebih dari beberapa hari);
G. Perasan hampa yang kronis;
H. Kemarahan yang intens, tidak sesuai, atau kesulitan
mengontrol amarah (contoh sering kali menunjukkan
amarah, amarah yang konstan, perkelahian fisik yang
berulang);
I. Ide paranoid yang berkaitan dengan kondisi stres atau
gejala disosiatif yang cukup parah.

Perlu diperhatikan bahwa sebelum menegakkan diagnosis gangguan kepribadian


ambang berdasarkan kriteria di atas, perlu dipastikan terlebih dahulu bahwa kriteria
diagnosis umum untuk gangguan kepribadian sudah terpenuhi. Kriteria diagnosis
umum untuk gangguan kepribadian dapat dilihat pada tabel 3.25.2.

358
Gangguan Kepribadian Ambang

Tabel 3.25.2
Kriteria Diagnosis Umum Untuk Gangguan Kepribadian
Kriteria Diagnostik Ada Tidak
A. Pola pengalaman batin dan perilaku yang
menetap dan secara jelas menyimpang dari
yang diharapkan oleh budaya setempat. Pola
ini termanifestasi dalam dua (atau lebih) area
berikut:
i. Kognisi: Cara memandang dan
menilai diri, orang lain, atau
peristiwa;
ii. Afek: Termasuk rentang, intensitas,
kelabilan, dan kesesuaian respons
emosional;
iii. Fungsi interpersonal;
iv. Kendali impuls.
B. Pola yang menetap tersebut bersifat kaku
dan pervasif, terjadi pada berbagai situasi
personal dan sosial.
C. Pola yang menetap tersebut menyebabkan
distres atau hendaya yang bermakna secara
klinis di bidang sosial, okupasional, atau
bidang fungsi hidup lainnya.
D. Pola tersebut bersifat stabil dan berlangsung
lama, dan awal kemunculannya (onset) dapat
ditelusuri setidaknya sejak masa remaja atau
dewasa awal.
E. Pola yang menetap tersebut bukan
merupakan manifestasi atau konsekuensi
dari gangguan mental lainnya.
F. Pola yang menetap tersebut tidak sebabkan
oleh efek fisiologis dari suatu zat (misalnya,
penyalahgunaan obat, medikasi) atau kondisi
medis lainnya.

PPDGJ-III memiliki istilah terkait gangguan ini yang disebut sebagai gangguan
kepribadian emosional tak stabil (F 60.3) yang masuk ke dalam golongan gangguan
359
Gangguan Kepribadian Ambang

kepribadian khas. Gangguan kepribadian emosional tak stabil digambarkan sebagai


berikut:
1. Terdapat kecenderungan yang mencolok untuk bertindak secara impulsif tanpa
mempertimbangkan konsekuensinya bersamaan dengan ketidakstabilan
emosional;
2. Dua varian yang khas adalah berkaitan dengan impulsivitas dan kekurangan
pengendalian diri.
Perlu diperhatikan bahwa untuk menegakkan diagnosis, selain gambaran di atas,
pedoman diagnostik umum untuk Gangguan Kepribadian Khas juga harus dipenuhi.
Pedoman diagnostik tersebut mencakup:
1. Kondisi yang tidak berkaitan langsung dengan kerusakan atau penyakit otak beras
(gross brain damage or disease), atau gangguan jiwa lain.
2. Memenuhi kriteria berikut ini:
a. Disharmoni sikap dan perilaku yang cukup berat, biasanya meliputi beberapa
bidang fungsi, misalnya afek, kesiagaan, pengendalian impuls, cara
memandang dan berpikir, serta gaya berhubungan dengan orang lain;
b. Pola perilaku abnormal berlangsung lama, berjangka panjang, dan tidak
terbatas pada episode gangguan jiwa;
c. Pola perilaku abnormalnya bersifat pervasif (“mendalam”) dan maladaptif
yang jelas terhadap berbagai keadaan pribadi dan sosial yang luas;
d. Manifestasi di atas selalu muncul pada masa kanak atau remaja dan berlanjut
sampai usia dewasa;
e. Gangguan ini menyebabkan penderitaan pribadi (personal distress) yang
cukup berarti, tetapi baru menjadi nyata setelah perjalanan yang lanjut;
f. Gangguan ini biasanya, tetapi tidak selalu, berkaitan secara bermakna
dengan masalah-masalah dalam pekerjaan dan kinerja sosial.
3. Untuk budaya yang berbeda, mungkin penting untuk mengembangkan
seperangkat kriteria khas yang berhubungan dengan norma sosial, peraturan, dan
kewajiban.

Diagnosis Banding

1. Gangguan depresi mayor dan bipolar;


2. Gangguan kepribadian lainnya (misalnya, histrionik, paranoid);
3. Perubahan kepribadian terkait dengan kondisi medis lainnya;
4. Penyalahgunaan zat;
5. Permasalahan identitas.

360
Gangguan Kepribadian Ambang

Komorbiditas

1. Depresi;
2. Skizofrenia;
3. Gangguan identitas disosiatif.

Intervensi Psikologi

Bagian ini akan membahas penanganan untuk pasien dengan gangguan kepribadian
ambang secara menyeluruh. Tujuannya adalah agar psikolog klinis dapat menjawab dan
membantu mengatur penanganan pasien dengan gangguan kepribadian ambang agar
mendapatkan penanganan yang maksimal.
1. Prinsip umum dalam menangani pasien dengan gangguan kepribadian ambang
a. Akses terhadap layanan
i. Pasien dengan gangguan kepribadian ambang tidak boleh diasingkan
dari segala layanan kesehatan atau sosial hanya karena terdiagnosis
gangguan kepribadian ambang atau memiliki riwayat melukai diri.
ii. Pastikan bahwa pasien dengan gangguan kepribadian ambang yang
berasal dari kelompok etnik minoritas, memiliki akses yang sama
dengan kelompok lainnya.
iii. Ketersediaan informasi yang dibuat dalam bahasa pasien dan dalam
format yang mudah diakses.
b. Gangguan kepribadian ambang dan disabilitas belajar
i. Lakukanlah evaluasi dan diagnosis terhadap pasien dengan disabilitas
belajar ringan yang memperlihatkan gejala gangguan kepribadian
ambang sambil berkonsultasi dengan spesialis layanan disabilitas
belajar.
ii. Ketika pasien dengan disabilitas belajar ringan memiliki diagnosis
gangguan kepribadian ambang, pasien harus memiliki akses pada
layanan yang sama sebagaimana yang dimiliki pasien dengan gangguan
kepribadian ambang.
iii. Pasien dengan disabilitas belajar sedang sampai berat tidak seharusnya
didiagnosis dengan gangguan kepribadian ambang. Jika mereka
memperlihatkan perilaku dan gejala yang mengindikasikan gangguan
kepribadian ambang, segera rujuk pasien ke spesialis layanan
disabilitas belajar untuk dilakukannya evaluasi dan penanganan.

361
Gangguan Kepribadian Ambang

c. Kemandirian dan keputusan


Bangun kerja sama dengan pasien dengan gangguan kepribadian
ambang dalam mengembangkan kemandirian mereka dan mendorong
pengambilan keputusan, dengan cara:
i. Memastikan bahwa pasien terlibat secara aktif dalam pencarian solusi
untuk masalah mereka, termasuk solusi dalam masa krisis;
ii. Mendorong pasien untuk mempertimbangkan opsi penanganan lain dan
pilihan hidup yang tersedia untuk mereka, serta konsekuensi akan
pilihan yang mereka ambil.
d. Menumbuhkan hubungan yang bersifat optimis dan penuh kepercayaan
i. Jelajahi pilihan penanganan dalam suasana penuh pengharapan dan
optimisme seraya menjelaskan bahwa menjadi pulih merupakan hal
yang mungkin dan dapat dicapai.
ii. Tampilkan sosok yang konsisten dan dapat diandalkan dalam
menciptakan hubungan penuh kepercayaan dengan penanganan yang
dibawakan secara terbuka dan objektif.
iii. Perlu diingat bahwa dalam memberikan pelayanan, banyak pasien akan
mengalami penolakan, penindasan dan trauma, serta stigma yang sering
diasosiasikan dengan perilaku melukai diri sendiri dan gangguan
kepribadian ambang.
e. Melibatkan anggota keluarga atau pengasuh
Tanyakan secara langsung apakah pasien dengan gangguan kepribadian
ambang menginginkan keluarga atau pengasuh mereka untuk terlibat dalam
penanganan mereka, serta tekankan persetujuan dan hak konfidensial pasien
dalam:
i. Mendorong keluarga atau pengasuh untuk terlibat;
ii. Memastikan bahwa keterlibatan keluarga atau pengasuh tidak
mengarah pada ditariknya atau dikuranginya akses pasien terhadap
layanan;
iii. Memberitahu keluarga atau pengasuh mengenai kelompok dukungan
(jika ada);
iv. Tenaga kesehatan yang menangani remaja dengan gangguan
kepribadian ambang harus dapat menyeimbangkan berkembangnya
kemandirian dan daya tahan remaja tersebut dengan tanggung jawab
yang dimiliki orang tua atau pengasuhnya.
f. Prinsip dalam mengevaluasi
i. Terangkan dengan jelas mengenai proses evaluasi.
ii. Gunakan bahasa nonteknis di setiap saat yang memungkinkan.
362
Gangguan Kepribadian Ambang

iii. Jelaskan tentang diagnosis serta penggunaan dan arti dari istilah
gangguan kepribadian ambang.
iv. Tawarkan dukungan pascaevaluasi jika masalah sensitif, terutama
seperti trauma masa kecil, telah diperbincangkan.
g. Menangani penghentian layanan dan memberikan dukungan selama masa
transisi.
Psikolog klinis perlu mengantisipasi bahwa penghentian layanan atau
adanya transisi dari suatu layanan ke layanan lainnya atau proses rujukan
dapat memicu timbulnya emosi dan reaksi yang kuat pada pasien dengan
gangguan kepribadian ambang. Pastikan bahwa:
i. Perubahan tersebut sudah terlebih dahulu didiskusikan, disusun dan
dijadwalkan secara bertahap dengan pasien (jika memungkinkan, juga
bersama keluarga atau pengasuhnya);
ii. Rencana penanganan tersebut mendukung jalannya kerja sama yang
efektif dengan penyedia penanganan lainnya dalam penghentian dan
transisi penanganan juga, serta mencakup peluang dalam menggunakan
layanan di saat krisis;
iii. Ketika merujuk pasien untuk evaluasi yang dilakukan di layanan lain
(termasuk penanganan secara psikologis), pastikan bahwa mereka
mendapatkan dukungan selama periode rujukan dan pemberian
dukungan tersebut telah terlebih dahulu disetujui oleh pasien.
2. Pengenalan dan penanganan dalam layanan primer
a. Mengenali gangguan kepribadian ambang
Jika pasien yang dirawat di layanan primer telah beberapa kali melukai
dirinya, memperlihatkan perilaku berisiko yang persisten, atau menunjukkan
ketidakstabilan emosi, pertimbangkan untuk melakukan asesmen terkait
kemungkinan adanya gangguan kepribadian ambang.
b. Menangani krisis di layanan primer
Ketika pasien yang telah didiagnosis gangguan kepribadian ambang
diserahkan kep layanan primer dalam keadaan krisis:
i. Lakukan evaluasi mengenai tingkat risiko yang dimiliki pasien untuk
dirinya sendiri atau orang lain;
ii. Tanyakan mengenai episode sebelumnya dan strategi penanganan
efektif yang pernah dilakukan;
iii. Bantu menenangkan kegelisahan pasien dengan cara meningkatkan
kemampuan koping pasien serta membantunya untuk berfokus pada
masalah yang ada pada saat ini;

363
Gangguan Kepribadian Ambang

iv. Tawarkan pembuatan jadwal pertemuan setelah krisis pada waktu yang
telah disetujui.
3. Evaluasi dan penanganan dari psikolog klinis di layanan sekunder
a. Evaluasi
Psikolog klinis di layanan sekunder harus bertanggung jawab atas
evaluasi, penanganan, dan manajemen pasien dengan gangguan kepribadian
ambang secara rutin. Dalam mengevaluasi pasien yang berpotensi memiliki
gangguan kepribadian ambang di layanan kesehatan jiwa komunitas,
lakukanlah evaluasi penuh pada:
i. Fungsi psikososial dan okupasional, strategi koping, serta kelebihan
dan kekurangan yang dimiliki pasien;
ii. Gangguan dan permasalahan sosial yang bersifat komorbid;
iii. Kebutuhan dalam penanganan psikologis, dukungan dan layanan sosial,
serta rehabilitasi atau perkembangan secara okupasional;
iv. Kebutuhan yang dimiliki anak yang masih di bawah supervisi orang tua.
b. Rencana Penanganan
Kelompok profesional yang menangani pasien dengan gangguan
kepribadian ambang harus mengembangkan rencana penanganan
multidisiplin yang komprehensif dengan berkolaborasi dengan pasien serta
keluarga atau pengasuhnya, yang telah mendapat persetujuan dari pasien.
Rencana penanganan tersebut harus:
i. Secara jelas menjabarkan peranan dan pertanggungjawaban dari semua
pekerja sosial dan kesehatan profesional yang terlibat;
ii. Menjabarkan tujuan dari penanganan jangka pendek yang dapat
ditangani serta penjelasan spesifik mengenai langkah-langkah yang
harus diambil oleh pasien dan orang lain untuk mencapainya;
iii. Menganalisis tujuan jangka panjang yang ingin dicapai pasien,
termasuk tujuan yang berkaitan dengan pekerjaan dan okupasi, sebagai
dasar untuk keseluruhan strategi penanganan jangka panjang; tujuan ini
harus realistis dan berhubungan dengan tujuan dari penanganan jangka
pendek;
iv. Mengembangkan rencana penanganan krisis yang mengidentifikasi
potensi pemicu terjadinya krisis, dengan berfokus pada strategi
penanganan diri yang kemungkinan akan efektif dan penetapan cara
mengakses layanan (termasuk daftar nomor telepon bantuan dari tim
penyedia layanan dan tim penanganan krisis yang dapat dihubungi di
luar jam kerja) ketika strategi penanganan diri seorang dirasa tidak
cukup;
364
Gangguan Kepribadian Ambang

v. Dibagikan kepada dokter umum dan pengguna layanan.


c. Evaluasi dan penganganan risiko
i. Asesmen risiko yang ada pada pasien dengan gangguan kepribadian
ambang harus:
• Berlangsung sebagai bagian dari asesmen awal;
• Dapat membedakan antara risiko jangka panjang dan risiko yang
lebih diutamakan;
• Dapat mengidentifikasi risiko yang membahayakan diri sendiri
dan orang lain, serta keselamatan pada setiap anak yang masih
dalam supervisi orang tua dengan gangguan kepribadian ambang.
ii. Asesmen risiko tersebut harus disetujui secara eksplisit oleh pasien
dengan gangguan kepribadian ambang. Setelah itu, jalinlah kerja sama
dengan pasien dalam mengembangkan rencana penanganan risiko yang
meliputi:
• Pembahasan mengenai risiko jangka panjang dan risiko yang lebih
diutamakan;
• Relasi terhadap keseluruhan strategi penanganan jangka panjang;
• Dokumentasi perubahan yang terjadi dalam hubungan personal
pasien, termasuk hubungan terapeutik.
d. Penanganan psikologis
i. Dalam mempertimbangkan penanganan psikologis untuk pasien
dengan gangguan kepribadian ambang, perhatikan:
• Pilihan dan preferensi pengguna layanan;
• Tingkat fungsi kehidupan sehari-hari dan keparahan dari
gangguan yang ada;
• Kemauan pasien untuk terlibat dalam terapi dan motivasi mereka
untuk berubah;
• Kemampuan pasien untuk tetap berada dalam hubungan
terapeutik;
• Ketersediaan bantuan secara personal dan profesional.
ii. Berikanlah materi tertulis kepada pasien dengan gangguan kepribadian
ambang atau kondisi komorbid mengenai penanganan psikologis.
Selain itu, pastikan bahwa pasien memiliki kesempatan untuk
mendiskusikan informasi tersebut serta bukti yang menunjukkan
efektivitas berbagai tipe penanganan psikologis untuk gangguan
kepribadian ambang dan kondisi komorbid.

365
Gangguan Kepribadian Ambang

iii. Dalam memberikan penanganan psikologis untuk pasien dengan


gangguan kepribadian ambang, terutama mereka yang memiliki
berbagai komorbiditas atau fungsi kehidupan sehari-hari yang rendah,
karakteristik layanan berikut perlu diterapkan:
• Pendekatan teori secara eksplisit yang digunakan oleh kedua tim
penanganan dan psikolog klinis, yang juga dibagikan kepada
pasien;
• Penanganan terstruktur yang berjalan sesuai dengan pedoman;
• Terdapat pengawasan untuk psikolog klinis;
• Walaupun frekuensi sesi psikoterapi harus disesuaikan dengan
kebutuhan dan konteks kehidupan pasien, pertimbangkanlah
untuk melakukan dua sesi per minggu.
iv. Janganlah menggunakan intervensi psikologis singkat (memiliki durasi
kurang dari 3 bulan), khususnya untuk menangani gangguan
kepribadian ambang atau gejala spesifik yang ada dalam gangguan
tersebut.
v. Pertimbangkan suatu program Terapi Perilaku Dialektika (dialectical
behavior therapy/DBT) yang komprehensif untuk mengurangi perilaku
melukai diri yang kerap terjadi. Terdapat 4 tahapan dalam DBT yaitu:
• Sebelum terapi dilakukan dan mencapai kontrol perilaku;
• Memproses emosi yang terjadi di masa lalu;
• Mengatasi masalah sehari-hari ;
• Kapasitas untuk mengalami dan mempertahankan kegembiraan.
Umumnya, sesi dilakukan dua kali setiap minggunya dalam 1
tahun. DBT biasanya berfokus pada 2 hal dengan tujuan mencapai 1)
kontrol perilaku agar membantu pasien mengembangkan dan
mempertahankan motivasi untuk terapi dan 2) mengurangi perilaku
yang berkaitan dengan bunuh diri, menyakiti diri sendiri, dan perilaku
impulsif lainnya (contohnya penggunaan zat dan gangguan makan).
Prinsip awal dalam tahapan pertama terapi adalah fleksibilitas antara
prosedur penerimaan atau acceptance (melalui validasi emosi dan
mindfulness) dan strategi perubahan perilaku. Setelah keadaan pasien
lebih stabil, maka dapat dilanjutkan tahapan kedua, yaitu pengalaman
emosi dan memproses trauma di masa lalu. Strategi DBT menggunakan
aspek penerimaan dan perubahan yang merupakan bagian inti dari
terapi. Diharapkan psikolog klinis dapat menggunakan panduan DBT
untuk penanganan komprehensif (Linehan, 2014).
366
Gangguan Kepribadian Ambang

vi. Dalam memberikan penanganan psikologis untuk pasien dengan


gangguan kepribadian ambang, awasi dampak dari penanganan dalam
berbagai aspek, termasuk fungsi kehidupan sehari-hari, penggunaan
obat dan minuman keras, perilaku melukai diri, depresi, dan gejala
gangguan kepribadian ambang.
e. Peran farmakoterapi
i. Farmakoterapi tidak dapat digunakan secara spesifik untuk gangguan
kepribadian ambang atau gejala dan perilaku spesifik yang
diasosiasikan dengan gangguan tersebut (contohnya, perilaku melukai
diri yang terjadi berulang, instabilitas emosi yang tampak, perilaku
berisiko, dan gejala psikotik sementara).
ii. Obat antipsikotik tidak boleh digunakan pada penanganan gangguan
kepribadian ambang jangka menengah dan panjang.
iii. Farmakoterapi dapat dipertimbangkan dalam keseluruhan penanganan
kondisi komorbid.
iv. Penggunaan obat sedatif dalam jangka pendek dapat dipertimbangkan
secara hati-hati sebagai bagian dari keseluruhan rencana penanganan
untuk pasien dengan gangguan kepribadian ambang dalam masa krisis.
Durasi dalam penanganan tersebut harus disetujui oleh pasien, tetapi
penerapannya tidak boleh dilakukan lebih dari seminggu.
f. Menangani komorbiditas
Sebelum memulai penanganan untuk kondisi komorbid pada
pasien dengan gangguan kepribadian ambang, tinjaulah:
i. Hasil diagnosis gangguan kepribadian ambang dan kondisi komorbid
yang dimiliki pasien, terutama jika salah satu diagnosis tersebut dibuat
pada saat krisis atau darurat;
ii. Efektivitas dan tolerabilitas dari penanganan sekarang dan yang dulu;
hentikan penanganan yang tidak efektif.
iii. Tangani kondisi depresi, gangguan stres pasca-trauma, atau kecemasan
yang komorbid dalam suatu program penanganan yang telah disusun
dengan baik untuk gangguan kepribadian ambang. Rujuklah pasien
dengan gangguan kepribadian ambang yang juga memiliki psikosis,
ketergantungan zat, atau gangguan makan yang parah kepada pemberi
pelayanan yang ahli dalam bidang tersebut. Pemberi pelayanan
spesialis, seperti klinik rehabilitasi narkoba, harus kerap menjalin
komunikasi dengan psikolog klinis yang melakukan penanganan
gangguan kepribadian ambang agar penanganan tersebut dapat
dilanjutkan kembali pada waktu yang tepat.
367
Gangguan Kepribadian Ambang

Prognosis

Prognosis gangguan kepribadian ambang relatif baik dengan kebanyakan pasien


tidak mengalami gejala dalam kriteria diagnosis hingga 5 tahun. Namun, beberapa
pasien juga akan memiliki gejala yang menetap sepanjang hidupnya. Terkadang,
melukai diri sendiri secara berulang dapat menjadi masalah tersendiri pada pasien usia
lanjut dan hal ini bisa jadi disebabkan oleh gangguan kepribadian ambang walaupun
sudah dalam kondisi remisi. Kekambuhan gangguan kepribadian ambang yang sudah
remisi ini jauh lebih jarang diikuti oleh kekambuhan daripada kebanyakan kasus
gangguan lainnya.

Catatan Lain

1. Prinsip dan penanganan umum dalam krisis:


a. Ketika pasien dengan gangguan kepribadian ambang datang dalam suatu
krisis, berpeganglah pada rencana penanganan krisis;
b. Pertahankan sikap yang tenang dan tidak mengancam;
c. Berusaha untuk memahami krisis tersebut dari perspektif pasien;
d. Selidiki penyebab dari distres yang dialami pasien;
e. Bertanya pada pasien dengan cara yang terbuka dan jelas, termasuk kalimat-
kalimat yang menghargai pengalaman pasien (validating statements), untuk
mengidentifikasi pemicu dan arah dari permasalahan pada saat ini;
f. Mencari cara untuk mendorong pasien berpikir mencari solusi;
g. Hindari perilaku yang meremehkan alasan atas krisis yang dinyatakan oleh
pasien;
h. Menahan diri untuk tidak memberikan solusi sebelum menerima klarifikasi
lengkap dari masalah tersebut;
i. Jelajahi pilihan lain sebelum mempertimbangkan layanan rawat inap;
j. Tawarkan observasi lebih lanjut dalam jangka waktu yang disetujui oleh
pasien.
2. Penanganan untuk insomnia
Berikan saran umum kepada pasien yang memiliki gangguan tidur mengenai
pola tidur yang baik (sleep hygiene), seperti membuat rutinitas jam tidur,
menghindari kafein, mengurangi aktivitas yang dapat menunda tidur (seperti
menonton program televisi atau film yang penuh kekerasan atau memacu gairah),
dan menerapkan aktivitas yang dapat membantu tidur.

368
Gangguan Kepribadian Ambang

3. Layanan rawat inap


a. Rujuklah pasien untuk melakukan rawat jalan atau penanganan lain sebelum
mempertimbangkan opname di ruang rawat inap psikiatri akut.
b. Opname pasien dengan gangguan kepribadian ambang di unit ruang rawat
psikiatri akut hanya dilakukan untuk:
i. Penanganan krisis yang meliputi risiko yang signifikan terhadap diri
pasien atau orang lain yang tidak dapat ditangani oleh layanan lain
(seperti terus berupaya untuk selalu menyakiti dirinya yang
membahayakan nyawa);
ii. Ketika mempertimbangkan opname untuk pasien dengan gangguan
kepribadian ambang:
• Libatkanlah pasien secara aktif dalam pembuatan keputusan, serta:
• Pastikan bahwa keputusan itu dibuat berdasarkan pemahaman
bersama yang eksplisit bersama mengenai potensi pro dan kontra
yang dapat muncul dari opname;
• Pastikan bahwa pasien telah terlebih dahulu menyetujui durasi dan
tujuan dari opname tersebut.

369
Gangguan Kepribadian Ambang

Referensi

American Psychiatric Association. (2013). Diagnostic and Statistical Manual of Mental


Disorders (DSM-5) (edisi ke-5). Washington, D.C.: APA.
https://doi.org/10.1176/appi.books.9780890425596.744053
Linehan, M. M. (2014). DBT Training Manual. New York: The Guildford Press.
National Institute for Health and Care Excellence. (2009). Borderline Personality
Disorder: Recognition and Management (Clinical Guidelines [CG78]). Diakses
pada 18 Desember 2020 dari https://www.nice.org.uk/guidance/cg78/
World Health Organization. (2004). International Statistical Classification of Disease
and Related Health Problems Tenth Revision Volume 2 (edisi ke-2). Geneva:
World Health Organization. Diakses dari
https://www.who.int/classifications/icd/ICD-10_2nd_ed_volume2.pdf

370
26. Gangguan Mental Terkait Usia Lanjut (Geriatri)

Batasan dan Uraian Umum

Pada laman WHO (World Health Organization, 2018) tentang usia lanjut,
didapatkan keterangan bahwa antara tahun 2015 and tahun 2050, proporsi orang tua
berusia 60 atau 65 tahun ke atas diproyeksikan akan bertambah 2 (dua kali) lipat.
Bahkan, pada tahun 2020 saja, jumlah kelompok usia lanjut tersebut diestimasi akan
melebihi total jumlah anak-anak yang berusia 5 tahun. Sebanyak 80 persen individu
usia lanjut hidup di negara-negara yang tergolong berpendapatan rendah atau
menengah.
Dengan kondisi ini, WHO mengingatkan seluruh negara untuk segera
mengantisipasi hal tersebut dengan cara memodifikasi atau menyesuaikan sistem
kesehatannya agar dapat menangani ‘ledakan’ populasi usia lanjut ini dengan seksama.
Pertambahan jumlah kelompok usia lanjut yang makin lama makin cepat ini juga
sejalan dengan kemungkinan bertambahnya pula gangguan atau masalah kesehatan jiwa
pada populasi tersebut.
Infodatin (Pusat Data dan Informasi) Kementerian Kesehatan pada tahun 2019
(Budijanto, 2019) melaporkan prevalensi depresi yang ternyata juga semakin
meningkat di kalangan usia lanjut (sebagai pembanding, 6,2% pada kelompok usia 15-
24 tahun, kemudian diikuti tren menurun sampai dengan usia 45-54 tahun dan
meningkat perlahan ke angka 6.5 % pada usia 55-64 tahun, 8,0% pada usia 65-74 tahun,
dan 8.9% pada usia di atas 75 tahun. Data yang minim tentang kondisi permasalahan
kejiwaan di Indonesia pada usia lanjut membuat kami, tim penulis PNPPK ini
memandang perlu untuk memberikan perhatian lebih kepada kondisi gangguan atau
permasalahan mental pada usia lanjut. Mengacu pada Pedersen (2018) yang
berpedoman pada DSM-5, bersama ini kami berupaya untuk memberikan gambaran
tentang berbagai gangguan dan permasalahan mental/kejiwaan pada periode usia lanjut,
agar hal ini dapat menjadi salah satu fokus prioritas bagi penanganan gangguan klinis
di Indonesia.
Adapun gangguan atau permasalahan mental pada usia lanjut dapat terdiri dari:
1. Demensia;
2. Depresi geriatrik;
3. Pseudo-demensia;
4. Skizofrenia lanjut usia;
5. Pelecehan (abuse) terhadap lanjut usia;
6. Bunuh diri pada lanjut usia.

371
Gangguan Mental Terkait Usia Lanjut (Geriatri)

Manifestasi Klinis

1. Demensia: Gangguan neurokognitif akibat penyakit Alzheimer dan gangguan-


gangguan yang disebabkan kondisi neurokognitif lainnya.
2. Depresi geriatrik: Depresi pada usia lanjut sering kali diasumsikan sebagai sesuatu
yang normal, tetapi depresi pada usia berapa pun tidaklah normal dan butuh untuk
didiagnosis dan diobati. Faktor-faktor yang menjadi penyebabnya dapat berupa:
a. Penurunan fisik dan kognitif;
b. Kehilangan fungsi, kehilangan swadaya/kemandirian;
c. Kehilangan pasangan hidup, kerabat (menyempitnya dukungan sosial), atau
isolasi;
d. Memiliki keluhan somatik (sakit kepala, sakit pada perut) yang
menyembunyikan (menutup) depresi (Chenitz 1991 dalam Pedersen, 2014)
(bisa dilihat dari Geriatric Depression Scale).
3. Pseudo-demensia: Hambatan kognitif yang sebenarnya disebabkan oleh depresi
tetapi disalahartikan sebagai demensia. Gejala-gejala yang membutuhkan
pertimbangan atau analisis lebih lanjut dan perlu disingkirkan dari dugaan
demensia (Mini-Mental State Examination). Bisa jadi kondisi yang terjadi adalah
depresi dengan defisit kognisi.
4. Skizofrenia lanjut usia: Terjadi pada usia lanjut, setelah usia 40-60 tahun. Pada
kondisi ini, episode psikotik (delusi atau halusinasi) mungkin terlewat atau
terabaikan (karena skizofrenia dianggap sebagai penyakit orang muda). Penyakit
otak organik juga harus dipertimbangkan sebagai bagian dari diagnosis banding.
5. Karakteristik skizofrenia usia lanjut:
a. Delusi kejar umum, halusinasi; delusi “parsial/sebagian” (orang/objek
melewati rintangan/halangan dan memasuki rumah); jarang terjadi pada
tahap awal penyakit;
b. Defisit sensori: sering kali diiringi dengan kondisi gangguan (penurunan)
pendengaran dan penglihatan;
c. Mungkin sebelumnya pernah mengalami paranoid, menarik diri dari
lingkungan sosial;
d. Tinggal sendiri, terisolasi, atau tidak menikah;
e. Gejala negatif atau gangguan pikiran;
f. Lebih umum terjadi pada wanita (sementara tidak ada perbedaan gender pada
skizofrenia dengan onset yang lebih awal) (Lubman & Castle 2002 dalam
Pedersen, 2018).

372
Gangguan Mental Terkait Usia Lanjut (Geriatri)

6. Pelecehan terhadap Usia Lanjut


7. Terdapat banyak jenis pelecehan terhadap individu usia lanjut, meliputi:
a. Penelantaran individu usia lanjut: Kurangnya perawatan karena kelalaian
atau pengabaian (termasuk terkait perawatan diri dan kebutuhan primer
individu lanjut usia);
b. Kekerasan secara psikologis atau emosional (serangan verbal, penghinaan,
ancaman) dan juga secara fisik (cedera fisik, nyeri, obat-obatan,
pengekangan);
c. Pelecehan seksual (seks yang tidak konsensual, mencakup pemerkosaan,
sodomi);
d. Penyalahgunaan keuangan: Penyalahgunaan sumber daya, seperti jaminan
sosial dan properti.
8. Karakteristik kekerasan fisik pada usia lanjut:
a. Hematoma, bilur, gigitan, luka bakar, memar, luka tekan;
b. Fraktur (berbagai tahap kondisi patah tulang);
c. Ruam, impaksi tinja (mengerasnya tinja pada usus);
d. Penurunan berat badan, dehidrasi, kebersihan pribadi di bawah standar;
e. Kerusakan pada gigi palsu, alat bantu dengar, atau perangkat lain, kebersihan
mulut yang buruk, alopecia traumatic (kerontokan rambut akibat luka
traumatik), pendarahan subkongtiva.
9. Karakteristik penelantaran usia lanjut:
a. Penelantaran oleh pengasuh
i. Keinginan pengasuh yang terlalu kuat untuk selalu mendampingi pada
pertemuan yang mengundang individu usia lanjut sebagai pribadi.
ii. Pengasuh bicara atas nama atau mewakili individu usia lanjut.
iii. Pengasuh mengungkapkan ketidakpedulian atau kemarahan, tidak
menawarkan bantuan yang lebih spesifik.
iv. Pengasuh tidak mengunjungi pasien usia lanjut yang dirawat di rumah
sakit.
b. Kondisi pasien usia lanjut akibat penelantaran
i. Keragu-raguan untuk terbuka, menunjukkan ketakutan, kontak mata
yang kurang, malu, bicara seperti bayi.
ii. Paranoia, kecemasan, kemarahan, harga diri rendah.
iii. Ciri-ciri fisik: kontraktur, konsumsi obat yang tidak konsisten (tingkat
sub-terapeutik), malnutrisi, kebersihan yang buruk, dan dehidrasi.
iv. Finansial: menandatangani surat kuasa (secara paksa), kehilangan harta
benda, kekurangan uang.

373
Gangguan Mental Terkait Usia Lanjut (Geriatri)

Identifikasi dan Asesmen

1. Asesmen Pelecehan terhadap Usia Lanjut - Riwayat Medis dan Psikiatri


a. Wawancara kesehatan mental atau wawancara psikiatri (pemeriksaan status
kesehatan mental).
b. Melakukan asesmen depresi (sesuaikan dengan kondisi usia lanjut),
kecemasan, penyalahgunaan alkohol atau zat, dan insomnia.
c. Wawancara terkait kemandirian atau ketergantungan fungsional.
d. Pengukuran hendaya kognitif (Stile dkk 2002, dalam Pedersen, 2018).
2. Asesmen Perilaku Bunuh Diri pada Usia Lanjut
a. Ciri-ciri yang harus diwaspadai
• Pernah gagal melakukan usaha bunuh diri.
• Petunjuk secara tidak langsung, seperti menyimpan obat (menumpuk
atau tidak diminum), membeli senjata, membuat atau mengubah wasiat,
menyumbangkan bagian tubuh untuk penelitian, memberikan harta atau
uang, penurunan hubungan sosial (menyendiri, mengasingkan diri),
menghubungi dokter dengan cara yang baru atau kurang biasa.
• Petunjuk situasional, seperti kematian pasangan, teman, atau anak.
• Gejala-depresi, insomnia, agitasi, dan lainnya.
b. Profil individu usia lanjut yang berpotensi melakukan bunuh diri
• Jenis kelamin laki-laki.
• Bercerai atau menjanda/menduda.
• Tinggal sendiri, terisolasi, atau baru pindah.
• Menganggur, pensiun, atau tidak berkegiatan.
• Kesehatan yang buruk, nyeri, banyak penyakit, atau penyakit kronis.
• Depresi, penyalahgunaan zat, atau putus asa.
• Riwayat keluarga terkait bunuh diri, depresi, penyalahgunaan zat,
pengasuhan yang kasar, atau trauma pada masa kecil.
• Berharap untuk mengakhiri situasi yang tidak berdaya dan tidak
tertahankan.
• Memiliki benda-benda mematikan, seperti menyembunyikan senjata
dan menimbun obat-obatan.
• Percobaan bunuh diri sebelumnya.
• Tidak berkeinginan untuk berhubungan dengan orang atau sering
mengeluh gangguan somatik.
c. Menelusuri dugaan kecenderungan bunuh diri pada usia lanjut
374
Gangguan Mental Terkait Usia Lanjut (Geriatri)

3. Lakukan wawancara dengan mengajukan pertanyaan langsung berikut (Holkup


2002 dalam Pedersen, 2018):
a. Apakah Anda merasa begitu sedih sehingga Anda tidak punya alasan untuk
bertahan? (Jika jawabannya ya, telusuri lebih jauh: ceritakan lebih jauh lagi
kepada saya);
b. Pernahkah Anda berpikir untuk melakukan bunuh diri sendiri? (Kapan? Apa
yang dulu menghentikan Anda?)
c. Seberapa sering Anda memiliki pikiran tentang itu?
d. Bagaimana rencana Anda untuk melakukan bunuh diri tersebut? (rencana
letal).

Catatan tambahan (untuk kondisi di Indonesia) :

Kumpulkan informasi dan jagalah komunikasi terbuka dengan cara yang tidak
menilai (judgemental). Jangan menggurui atau menawarkan saran yang terlalu langsung
dalam situasi ini.
Dalam asesmen, Mini Mental State Examination atau Suicidal Behaviors
Questionnaire- Revised (SBQ-R) dapat digunakan. Perlu diperhatikan bahwa hingga
saat panduan ini dibuat, belum ada SBQ-R versi Bahasa Indonesia yang telah melalui
proses validasi (uji reliabilitas dan validitas) yang mumpuni, sehingga pertimbangan
psikolog klinis dibutuhkan dalam penggunaannya.
Selain itu, perhatikan pula tanda-tanda lain yang sudah dijelaskan dalam PNPPK
ini, terutama terkait dengan Gangguan Depresi Mayor (subbab 3.14), kecemasan
(subbab 3.16 dan 3.18), serta Gangguan Mental Organis (Demensia) (subbab 3.24).
Pertimbangkan kemungkinan munculnya gejala-gejala yang dijabarkan dalam subbab-
subbab tersebut, termasuk faktor pemicu dan faktor penguat dari gejala-gejala tersebut.
Berkoordinasi dengan pejabat setempat mulai dari RT/RW, terutama Kelurahan
dan Kecamatan, serta Puskesmas terdekat bila mendapati kondisi-kondisi dengan
manifestasi klinis di atas, dan/atau disertai pelecehan/pengabaian.

Intervensi Psikologis

1. Psikoterapi (terapi kognitif perilaku atau CBT) bila memungkinkan, atau


konseling suportif yang sesuai dengan usia lanjut, psikoedukasi kepada pengasuh,
dan pemantauan dari pihak yang berwenang atau tenaga kesehatan masyarakat
lainnya (misalnya pekerja sosial, penyuluh, perawat jiwa, dan lain-lain).

375
Gangguan Mental Terkait Usia Lanjut (Geriatri)

2. Farmakoterapi: Sejalan dengan yang disarankan dokter/psikiater dan membantu


memberikan edukasi tentang kepatuhan dan mendampingi pengobatan, bila
diperlukan.
3. Secara umum, menjalin kerja sama lintas profesi (dokter, pekerja sosial, perawat
jiwa, penyuluh kesehatan, dan pihak-pihak berwenang lainnya) yang terikat
dengan dinas kesehatan, sosial, dan pemerintahan setempat.

376
Gangguan Mental Terkait Usia Lanjut (Geriatri)

Referensi

Budijanto, D. (Penanggung Jawab). (2019). Situasi Kesehatan Jiwa di Indonesia.


Jakarta: InfoDatin/Pusat Data dan Informasi, Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia. Diakses dari
https://pusdatin.kemkes.go.id/article/view/20031100001/situasi-kesehatan-jiwa-
di-indonesia.html
Pedersen, D. D. (2018). Psych Notes: Clinical Guide Pocket (edisi ke-5). Philadelphia:
F.A. Davis Company.
World Health Organization. (2018). Ageing and Health. Diakses pada 5 Desember 2020
dari https://www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/ageing-and-health

377
Gangguan Mental Terkait Usia Lanjut (Geriatri)

LAMPIRAN
RAHASIA

LAMPIRAN

Bagian ini berisi contoh-contoh formulir psikologis yang


dalam penggunaannya dapat dikembangkan sesuai
kebutuhan dengan tetap mematuhi kode etik, khususnya
perihal kerahasiaan dan kesejahteraan pasien.

378
RAHASIA

LEMBAR PERSETUJUAN

Berkaitan dengan layanan psikologi klinis yang diberikan oleh psikolog klinis:
Nama : Nama psikolog klinis
STR : No STR
SIPPK : No SIPPK
kepada:
Nama : Nama pasien
Tanggal lahir :
KTP :
Alamat :
Pasien akan mendapatkan layanan psikologis berupa:
1. Pemeriksaan psikologi klinis, berupa pengambilan data melalui wawancara,
observasi, maupun tes psikologi yang diperlukan kepada pasien dan/atau keluarga
pasien
2. Penanganan / intervensi psikologi klinis, berupa psikoedukasi, konseling,
psikoterapi yang diperlukan
Melalui proses di atas, akan diperoleh informasi mengenai kondisi psikologis dan tindak
lanjut penanganan yang perlu diperoleh pasien. Selama proses layanan psikologi klinis
berlangsung, maka terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan, yaitu:
a. Segala data akan dijaga kerahasiaannya, baik identitas maupun informasi-informasi
yang disampaikan
b. Jika selama proses berlangsung terdapat permasalahan, maka hal tersebut akan
diselesaikan oleh kedua belah pihak (psikolog klinis dan pasien) dengan cara
kekeluargaan
c. Jika salah satu pihak, baik psikolog klinis maupun pasien merasa perlu mengakhiri
proses layanan psikologis yang berlangsung, maka proses dapat dihentikan dengan
pemberitahuan dan kesepakatan bersama
Dengan menandatangani lembar persetujuan ini, kedua belah pihak telah menyetujui
penjelasan di atas dan sepakat menjalani proses tersebut. Persetujuan ini dibuat dengan
penuh kesadaran dan tanpa paksaan dari pihak manapun untuk digunakan sebagaimana
mestinya.

Menyetujui,
Kota, tanggal bulan tahun

Pasien/Wali Pasien Psikolog Klinis

[Tanda Tangan] [Tanda Tangan]

Nama Pasien/Wali Pasien Nama Psikolog Klinis


Psikolog Klinis
STR:
379
SIPPK:
RAHASIA

Perihal kerahasiaan, psikolog klinis diharuskan mengungkapkan informasi yang bersifat


rahasia jika salah satu dari kondisi-kondisi berikut terjadi:

1. Pasien membahayakan diri sendiri dan/atau orang lain


2. Pasien mencari layanan psikologi klinis untuk menghindari deteksi atau situasi yang
memungkinkan siapapun untuk melakukan tindak kriminal
3. Psikolog klinis ditunjuk oleh pengadilan untuk memeriksa kondisi pasien
4. Kontak pasien dan psikolog klinis dilakukan dengan tujuan menentukan tingkat
kesehatan mental pasien dalam proses pengadilan
5. Kontak pasien dan psikolog klinis dilakukan untuk tujuan pengembangan
kompetensi diri pasien
6. Kontak pasien dan psikolog klinis terjadi dimana psikolog klinis harus mengajukan
laporan / catatan terbuka ke instansi publik.
7. Pasien berusia di bawah 18 tahun dan menjadi korban tindakan kriminal
8. Pasien berusia di bawah 18 tahun dan psikolog klinis memiliki alasan kuat atas
dugaan kekerasan terhadap anak
9. Pasien berusia 65 tahun ke atas dan psikolog klinis memiliki alasan kuat atas
dugaan pasien menjadi korban kekerasan fisik. Psikolog klinis dapat
mengungkapkan informasi jika pasien menjadi korban kekerasan emosional
10. Pasien meninggal dunia dan komunikasi penting dilakukan untuk membuat
keputusan terkait akta atau surat-surat lain yang memengaruhi properti pasien
11. Pasien mengajukan gugatan pada psikolog klinis terkait pelanggaran tugas dan
psikolog klinis mengajukan gugatan pada pasien
12. Pasien mengajukan gugatan pada siapa pun dan mengaku mendapatkan kerugian
mental maupun emosional sebagai bagian dari gugatan
13. Pasien memberikan hak istimewa atau memberikan persetujuan kepada psikolog
klinis untuk mengungkapkan sebagian informasi.
14. Perusahaan asuransi yang membayar layanan psikologi klinis memiliki hak untuk
meninjau catatan-catatan pendampingan psikologi klinis pada pasien

Jika pasien memiliki pertanyaan mengenai keterbatasan-keterbatasan ini, mohon


diskusikan dengan psikolog klinis yang menangani.

RILIS INFORMASI
Saya, nama pasien memberi kewenangan kepada nama psikolog klinis untuk
menghubungi dokter saya nama dokter terkait janji temu yang dibuat untuk tindak lanjut
perawatan saya, termasuk informasi terkait fungsi psikologis saya.

Mengetahui,
Kota, tanggal bulan tahun

Pasien/Wali Pasien Psikolog Klinis

[Tanda Tangan] [Tanda Tangan]

Nama Pasien/Wali Pasien Nama Psikolog Klinis


Psikolog Klinis
STR:
380 SIPPK:
RAHASIA

REKAM PSIKOLOGIS PASIEN DEWASA

No. Registrasi : Tanggal Pendaftaran :

A. IDENTITAS
IDENTITAS DIRI
Nama lengkap pasien :
Nama panggilan pasien :
Tempat tanggal lahir / Usia : / tahun
Jenis kelamin :
Pendidikan :
Pekerjaan :
Status perkawinan :
Nama perujuk :
Hubungan perujuk dengan pasien :
Alamat lengkap :
Kontak keluarga (No. HP) :

IDENTITAS KELUARGA
Nama Usia Jenis Posisi Keterangan
kelamin
Di bagian ini Di bagian ini dapat
dituliskan dituliskan kondisi
hubungan hidup / meninggal,
dengan status perkawinan,
pasien, tinggal di luar kota,
seperti ayah, dsb
ibu, saudara,
anak, dsb

IDENTITAS PASANGAN
SUAMI / ISTRI Masalah / keluhan utama:
Nama :
Umur :
Pendidikan :
Pekerjaan :
Agama :
Anak ke- : dari bersaudara Diagnosis:
Perkawinan : ke dari tahun 1.
Alamat : 2.
No. telp/HP : 3.
381 4.
Keterangan :
RAHASIA

B. KELUHAN
Permasalahan yang muncul (beri tanda √ pada keterangan yang sesuai)
□ Depresi □ Kecemasan □ Merasa tidak ada
□ Menangis □ Ketakutan / fobia harapan / tidak berdaya
□ Gangguan tidur □ Gemetaran □ Marah/frustrasi
□ Gangguan nafsu makan □ Jantung berdetak cepat □ Depersonalisasi
□ Kesulitan konsentrasi □ Berkeringat/merona/ □ Derealisasi
□ Permasalahan ingatan menggigil □ Pikiran-pikiran obsesif
□ Isolasi sosial □ Pusing / mual □ Perilaku kompulsif
□ Aktivitas menarik diri □ Kelelahan □ Permasalahan relasi
□ Sakit kepala □ Mudah kesal / sensitif □ Permasalahan keluarga
□ Permasalahan terkait □ Permasalahan terkait usus □ Isu kehilangan
saluran pencernaan □ Asma / alergi □ Stres
□ Ide bunuh diri □ Sangat waspada □ Sulit untuk rileks
□ Ide membunuh □ Pikiran-pikiran □ Permasalahan pekerjaan
□ Kekerasan / mengganggu □ Permasalahan legal /
penyerangan seksual □ Mania finansial
□ Gangguan makan □ Permasalahan sekolah / □ Hiperaktif
□ Melanggar aturan membolos □ Mudah kesal
□ Melanggar aturan □ Membuat orang lain □ Adu argumen
□ Mendendam jengkel □ Menggunakan napza
□ Menggunakan bahasa □ Minum minuman □ Lainnya_______________
cabul beralkohol berlebih
□ Permasalahan somatis □ Menyalahkan orang lain

C. ASESMEN PSIKOLOGI KLINIS


1. Wawancara
Permasalahan Saat Ini
• Sudah berapa lama permasalahan ini terjadi? (kronologis, frekuensi, intensitas,
dampak)

• Alasan yang membuat pasien mencari bantuan kali ini:

382
RAHASIA

• Permasalahan saat ini dinilai: □ Sangat serius □ Serius □ Kurang serius


karena

• Perubahan yang diinginkan dari diri sendiri:

• Perubahan yang diinginkan dari keluarga:

Riwayat hidup singkat (masa kanak-kanak, remaja, dewasa)


Masa kanak-kanak:

Masa remaja:

Masa dewasa:

Riwayat penyakit fisik / psikologis

Riwayat pengobatan / konsultasi

383
RAHASIA

2. Observasi
Kondisi psikologis pasien secara umum
• Penampilan : □ Rapi □ Bersih □ Harum / wangi
□ Berantakan □ Dekil □ Lainnya ________
• Ekspresi
: □ Gelisah □ Tegang □ Bingung
wajah
□ Santai □ Tidak selaras □ Lainnya
• Perasaan / : □ Normal □ Depresi □ Manik
suasana hati □ Marah □ Frustrasi □ Cemas
□ Antusias □ Lainnya....
• Tingkah laku : □ Kompulsif □ Menarik diri □ Berbohong
□ Dependen pada □ Membiarkan diri □ Mencuri
orang lain dimanfaatkan □ Menggunakan
□ Reaktif oleh orang lain napza
□ Menghindar □ Memegang □ Menyakiti diri
□ Hiperaktif kendali □ Lainnya
• Fungsi umum : □ Normal □ Abnormal, _______________________
• Fungsi
: □ Di atas rata-rata □ Rata-rata □ Di bawah rata-rata
intelektual
• Pengalaman □ Hambatan relasi □ Membolos □ Perasaan
kerja dengan atasan □ Hambatan relasi negatif pada
:
□ Performa kerja dengan rekan pekerjaan
bermasalah kerja □ Lainnya ________
• Lain-lain : ____________________________________________________

Kondisi psikopatologis pasien


□ Waham □ Waham somatik □ Delusi
• Delusi / waham :
kebesaran erotomanik
□ Waham kejar □ Waham kendali □ Waham siar
□ Waham ________________________
• Proses pikiran : □ Normal □ Blocking □ Asosiasi
□ Ide longgar
□ Berunding
berlompatan
□ Inkoherensi □ Ide bunuh diri □ Ide membunuh
□ Obsesi □ Tekun □ Depersonalisasi
• Halusinasi : □ Tidak ada □ Pendengaran □ Pengelihatan
□ Penciuman □ Pengecapan □ Somatis
□ Perabaan
• Afek : □ Normal □ Kaya □ Minim/terbatas
□ Datar □ Tidak pas □ Labil

384
RAHASIA

• Insight : □ Baik □ Cukup □ Buruk


• Kesadaran : □ Compos mentis □ Apatis □ Delirium
□ Somnolen □ Stupor □ Comatose
• Orientasi waktu : □ Baik □ Cukup □ Buruk
• Orientasi
: □ Baik □ Cukup □ Buruk
tempat
• Orientasi ruang : □ Baik □ Cukup □ Buruk
□ Mudah □ Sangat
• Perhatian : □ Normal
terdistraksi waspada
• Penilaian : □ Baik □ Cukup □ Buruk
• Kontrol
: □ Baik □ Cukup □ Buruk
terhadap impuls

3. Tes Psikologi
Pelaksanaan Tes
Rencana Tes Hasil
Tes Psikologi Waktu Tester

D. DINAMIKA PSIKOLOGIS

E. DIAGNOSIS (berdasarkan DSM / ICD / PPDGJ)


Kesan awal:

Diagnosis utama (dx):

Diagnosis banding (dd):

385
RAHASIA

F. MANIFESTASI FUNGSI PSIKOLOGIS

G. PROGNOSIS

H. RENCANA TRITMEN
□ Psikoterapi singkat □ Evaluasi medikasi dengan dokter layanan
□ Psikoterapi suportif primer
□ Menurunkan gejala-gejala □ Rujukan medis
□ Menstabilkan kondisi □ Meningkatkan keterampilan koping
□ Restrukturisasi kognitif □ Mengoptimalkan sumber daya yang
□ Kelompok khusus dimiliki
□ Layanan perlindungan anak □ Melatihkan keterampilan sosial
□ Program dukungan kelompok/keluarga □ Resolusi konflik/penyelesaian masalah
□ Penanganan ketergantungan zat □ Manajemen stres
□ Meningkatkan harga diri □ Modifikasi perilaku
□ Konseling orangtua □ Manajemen nyeri
□ Resolusi kedukaan □ Kewaspadaan terhadap bunuh diri
□ Program rawat inap / program rawat □ Kewaspadaan terhadap hukum/legal
inap parsial □ Lainnya

Pertemuan selanjutnya: _________________________________________________


386
RAHASIA

I. CATATAN TAMBAHAN
___________________________ ___________________________________ _________________
___________________________ ___________________________________ _________________
___________________________ ____________________________________________________
___________________________ ___________________________________ _________________
___________________________ ___________________________________ _________________
___________________________ ____________________________________________________

Kota, tanggal bulan tahun


Pemeriksa,

[Tanda Tangan]

Nama Psikolog Klinis


Psikolog Klinis
STR:
SIPPK:

387
RAHASIA

REKAM PSIKOLOGIS PASIEN ANAK/REMAJA

No. Registrasi : Tanggal Pendaftaran :

A. IDENTITAS
IDENTITAS ANAK
Nama lengkap :
Nama panggilan :
Jenis kelamin :
Tempat tanggal lahir :
Usia :
Pendidikan : (Foto Anak)
Agama :
Suku :
Alamat :
Urutan kelahiran : dari bersaudara
Keterangan : Kandung / Angkat / Tiri

Masalah / keluhan utama Diagnosis


1.
2.
3.
4.

IDENTITAS SAUDARA
No. Nama Jenis Kelamin Usia Pekerjaan / Sekolah

IDENTITAS ORANGTUA
AYAH IBU
Nama : Nama :
Umur : Umur :
Pendidikan : Pendidikan :
Pekerjaan : Pekerjaan :
Agama : Agama :
Anak ke- : dari bersaudara Anak ke- : dari bersaudara
Perkawinan : ke dari tahun Perkawinan : ke dari tahun
Alamat : Alamat :
No. telp/HP : No. telp/HP :
Keterangan : Keterangan
388 :
RAHASIA

B. KELUHAN
Permasalahan yang muncul (beri tanda √ pada keterangan yang sesuai)
□ Sangat sedih □ Impulsif □ Memicu kebakaran
□ Mudah kesal □ Keras kepala □ Mencuri
□ Ledakan kemarahan □ Menentang □ Berbohong
□ Menarik diri □ Kekurang matangan □ Permasalahan seksual
□ Melamun □ Kejam □ Performa akademik
□ Ketakutan □ Destruktif □ Membolos
□ Ceroboh □ Bermasalah dengan □ Mengompol
□ Terlalu aktif hukum □ BAB di celana
□ Lambat □ Kabur □ Permasalahan makan
□ Rentang atensi pendek □ Menyakiti diri □ Permasalahan tidur
□ Mudah terdistraksi □ Membenturkan kepala □ Sakit-sakitan
□ Kurang inisiatif □ Banyak bergerak □ Konsumsi zat adiktif
□ Tidak dapat diandalkan □ Malu □ Minum minuman
□ Konflik sebaya □ Perilaku aneh alkohol
□ Fobia □ Pikiran-pikiran aneh □ Ide bunuh diri

C. PEMERIKSAAN PSIKOLOGI KLINIS


1. Wawancara
Permasalahan Saat Ini
• Sudah berapa lama permasalahan ini terjadi? (kronologis, frekuensi,
intensitas, dampak)
____________________________________________________________
____________________________________________________________
___________________________________________________________
• Alasan yang membuat pasien mencari bantuan kali ini:
____________________________________________________________
____________________________________________________________
____________________________________________________________
• Permasalahan dinilai: □ Sangat serius □ Serius □ Kurang serius
karena
____________________________________________________________
____________________________________________________________
____________________________________________________________
• Harapan terhadap anak:
____________________________________________________________
____________________________________________________________
____________________________________________________________
• Perubahan yang diinginkan dari anak:
____________________________________________________________
____________________________________________________________
____________________________________________________________

389
RAHASIA

• Perubahan yang diinginkan dari diri sendiri:


____________________________________________________________
____________________________________________________________
____________________________________________________________
• Perubahan yang diinginkan dari keluarga:
____________________________________________________________
____________________________________________________________
____________________________________________________________

Riwayat Kesehatan
Beri tanda √ pada semua permasalahan kesehatan yang pernah dialami atau
sedang dialami anak.
Usia Usia
□ Demam tinggi ____ □ Permasalahan terkait gigi ____
□ Pneumonia ____ □ Permasalahan berat badan ____
□ Flu ____ □ Alergi ____
□ Ensefalitis ____ □ Permasalahan kulit ____
□ Meningitis ____ □ Asma ____
□ Kejang ____ □ Sakit kepala ____
□ Tidak sadarkan diri ____ □ Permasalahan terkait perut ____
□ Gegar otak ____ □ Rawan kecelakaan ____
□ Pingsan ____ □ Anemia ____
□ Pusing ____ □ Tekanan darah tinggi/rendah ____
□ Permasalahan terkait □ Permasalahan terkait sinus ____
amandel ____ □ Permasalahan jantung ____
□ Permasalahan pengelihatan ____ □ Hiperaktif ____
□ Permasalahan pendengaran ____ □ Penyakit lain (jelaskan) ____

Apa anak pernah dirawat di rumah sakit? (Jika YA, jelaskan)


________________________________________________________________
________________________________________________________________
________________________________________________________________
________________________________________________________________

Riwayat Perkembangan
Masa kehamilan: Diinginkan □ Ya □ Tidak; Direncanakan □ Ya □ Tidak
Proses kehamilan normal: □ Ya □ Tidak
Jika ibu sakit atau tertekan selama masa kehamilan, jelaskan:
________________________________________________________________
________________________________________________________________
________________________________________________________________

Lama kehamilan:
390
RAHASIA

Dukungan dan penerimaan suami (jelaskan):


________________________________________________________________
________________________________________________________________
________________________________________________________________

Masa kelahiran
Lama proses melahirkan:
Jika prematur, seberapa cepat:
Jika terlambat, berapa lama:
Proses melahirkan: □ Spontan □ Caesar

Tahap Perkembangan
Tuliskan usia dimana anak mencapai tahapan perkembangan berikut:
- Duduk :
- Merangkak :
- Berjalan :
- Bicara 1 kata :
- Bicara dengan kalimat-kalimat :
- Latihan BAK pada tempatnya :
- Latihan BAB pada tempatnya :

Relasi anak dengan saudara dan sebayanya:


□ Bermain sendiri □ Bermain dalam kelompok
□ Kompetitif □ Kooperatif
□ Berperan sebagai pemimpin □ Mengikuti permainan anak lain

Kebiasaan-kebiasaan anak:
________________________________________________________________
________________________________________________________________
________________________________________________________________

Riwayat Pendidikan Dan Performa Akademik


Nama Kota Tahun Tahun Lama Bersekolah
Sekolah Masuk Selesai
Taman Kanak-
kanak

Sekolah Dasar

Sekolah
Menengah
Pertama

Sekolah
Menengah Atas
391
RAHASIA

Jenis sekolah: □ regular □ inklusi □ sekolah luar biasa

Apa anak mengikuti program akselerasi? (Jika YA, kapan dan berapa lama?)
__________________________________________________________________

Apa anak pernah tinggal kelas? (Jika YA, kapan dan berapa lama?)
__________________________________________________________________

Apa anak mengalami kesulitan belajar spesifik? □ Ya □ Tidak

Apa anak bersemangat pergi ke sekolah? □ Ya □ Tidak

Apa anak pernah diskor atau dikeluarkan dari sekolah? □ Ya □ Tidak

Prestasi akademik anak di sekolah/tempat kursus?


__________________________________________________________________
__________________________________________________________________

Mata pelajaran favorit anak:


__________________________________________________________________
_

Mata pelajaran yang dirasa sulit bagi anak:


__________________________________________________________________

Minat, hobi, keterampilan yang dikuasai anak:


__________________________________________________________________
__________________________________________________________________
__________________________________________________________________

2. Observasi

3. Tes Psikologi
Pelaksanaan Tes
Rencana Tes Hasil
Tes Psikologi Waktu Tester

392
RAHASIA

J. DINAMIKA PSIKOLOGIS

K. DIAGNOSIS (berdasarkan DSM / ICD / PPDGJ)


Kesan awal:

Diagnosis utama (dx):

Diagnosis banding (dd):

L. MANIFESTASI FUNGSI PSIKOLOGIS

M. PROGNOSIS

393
RAHASIA

N. RENCANA TRITMEN
□ Psikoterapi singkat □ Evaluasi medikasi dengan dokter layanan
□ Psikoterapi suportif primer
□ Menurunkan gejala-gejala □ Rujukan medis
□ Menstabilkan kondisi □ Meningkatkan keterampilan koping
□ Restrukturisasi kognitif □ Mengoptimalkan sumber daya yang
□ Kelompok khusus dimiliki
□ Layanan perlindungan anak □ Melatihkan keterampilan sosial
□ Program dukungan kelompok/keluarga □ Resolusi konflik/penyelesaian masalah
□ Penanganan ketergantungan zat □ Manajemen stres
□ Meningkatkan harga diri □ Modifikasi perilaku
□ Konseling orangtua □ Manajemen nyeri
□ Resolusi kedukaan □ Kewaspadaan terhadap bunuh diri
□ Program rawat inap / program rawat □ Kewaspadaan terhadap hukum/legal
inap parsial □ Lainnya

Pertemuan selanjutnya: _________________________________________________

O. CATATAN TAMBAHAN
___________________________ ___________________________________ _________________
___________________________ ___________________________________ _________________
___________________________ ____________________________________________________
___________________________ ___________________________________ _________________
___________________________ ___________________________________ _________________
___________________________ ____________________________________________________

Kota, tanggal bulan tahun


Pemeriksa,

[Tanda Tangan]

Nama Psikolog Klinis


Psikolog Klinis
STR:
SIPPK:

394
RAHASIA

REKAM PSIKOLOGI PERKAWINAN


(Formulir diisi oleh pasien (suami) pada bagian A-D)

No. Registrasi : Tanggal Pendaftaran :

A. IDENTITAS
IDENTITAS DIRI
Nama pasien : Nama lengkap pasien (nama panggilan)
Tempat tanggal lahir / Usia : / tahun
Jenis kelamin :
Agama :
Suku :
Pendidikan :
Pekerjaan :
Status perkawinan :
Hobi / kegemaran :
Alamat lengkap :
Kontak yang bisa dihubungi :

IDENTITAS PASANGAN PERNIKAHAN


ISTRI Pernikahan ke:
Nama :
Umur : tahun Tempat dan tanggal menikah:
Pendidikan :
Pekerjaan : Lama pernikahan:
Agama :
Suku : Lama berkenalan sebelum menikah:
Anak ke- : dari bersaudara
Lama berpacaran sebelum menikah:
Alamat :
No. telp/HP :

IDENTITAS ANAK
Anak ke- Nama Jenis Kelamin Usia K/A/T * Pekerjaan / Sekolah
Kandung
Angkat
Tiri

Keterangan: K = Kandung, A = Angkat, T = Tiri

395
RAHASIA

B. KELUHAN / PERMASALAHAN
Permasalahan utama dalam pernikahan:

Sudah berapa lama permasalahan ini terjadi? (dalam hitungan minggu, bulan, tahun)

Alasan yang membuat pasien mencari bantuan kali ini:

Permasalahan saat ini dinilai: □ Sangat serius □ Serius □ Kurang serius


karena

C. HARAPAN
Harapan terhadap pernikahan:

Perubahan yang diinginkan dari diri sendiri:

Perubahan yang diinginkan dari pasangan:

Kemungkinan perbaikan pernikahan:

D. PEMAHAMAN DIRI DAN PASANGAN


Kelebihan suami Kekurangan suami
1. 1.
2. 2.
3. 3.
4. 4.
5. 5.

396
RAHASIA

Kelebihan istri Kekurangan istri


1. 1.
2. 2.
3. 3.
4. 4.
5. 5.

(Bagian E – K diisi oleh psikolog klinis)

E. PEMERIKSAAN PSIKOLOGI KLINIS


1. Wawancara

2. Observasi

3. Tes Psikologi
Pelaksanaan Tes
Rencana Tes Hasil
Tes Psikologi Waktu Tester

F. DINAMIKA PSIKOLOGIS

397
RAHASIA

G. DIAGNOSIS (berdasarkan DSM / ICD / PPDGJ)


Kesan awal:

Diagnosis utama (dx):

Diagnosis banding (dd):

H. MANIFESTASI FUNGSI PSIKOLOGIS

I. PROGNOSIS

J. RENCANA TRITMEN
□ Psikoterapi singkat □ Manajemen stress
□ Psikoterapi suportif □ Modifikasi perilaku
□ Menstabilkan kondisi □ Meningkatkan keterampilan koping
□ Restrukturisasi kognitif □ Mengoptimalkan sumber daya yang
□ Kelompok khusus dimiliki
□ Program dukungan kelompok/keluarga □ Resolusi konflik/penyelesaian masalah
□ Meningkatkan harga diri □ Resolusi kedukaan
□ Lainnya _________________________

398
Pertemuan selanjutnya: _________________________________________________
RAHASIA

K. CATATAN TAMBAHAN
___________________________ ___________________________________ _________________
___________________________ ___________________________________ _________________
___________________________ ____________________________________________________
___________________________ ___________________________________ _________________
___________________________ ___________________________________ _________________
___________________________ ____________________________________________________

Kota, tanggal bulan tahun


Pemeriksa,

[Tanda Tangan]

Nama Psikolog Klinis


Psikolog Klinis
STR:
SIPPK:

399
RAHASIA

REKAM PSIKOLOGI PERKAWINAN


(Formulir diisi oleh pasien (istri) pada bagian A-D)

No. Registrasi : Tanggal Pendaftaran :

A. IDENTITAS
IDENTITAS DIRI
Nama pasien : Nama lengkap pasien (nama panggilan)
Tempat tanggal lahir / Usia : / tahun
Jenis kelamin :
Agama :
Suku :
Pendidikan :
Pekerjaan :
Status perkawinan :
Hobi / kegemaran :
Alamat lengkap :
Kontak yang bisa dihubungi :

IDENTITAS PASANGAN PERNIKAHAN


SUAMI Pernikahan ke:
Nama :
Umur : tahun Tempat dan tanggal menikah:
Pendidikan :
Pekerjaan : Lama pernikahan:
Agama :
Suku : Lama berkenalan sebelum menikah:
Anak ke- : dari bersaudara
Lama berpacaran sebelum menikah:
Alamat :
No. telp/HP :

IDENTITAS ANAK
Anak ke- Nama Jenis Kelamin Usia K/A/T * Pekerjaan / Sekolah
Kandung
Angkat
Tiri

Keterangan: K = Kandung, A = Angkat, T = Tiri

400
RAHASIA

B. KELUHAN / PERMASALAHAN
Permasalahan utama dalam pernikahan:

Sudah berapa lama permasalahan ini terjadi? (dalam hitungan minggu, bulan, tahun)

Alasan yang membuat pasien mencari bantuan kali ini:

Permasalahan saat ini dinilai: □ Sangat serius □ Serius □ Kurang serius


karena

C. HARAPAN
Harapan terhadap pernikahan:

Perubahan yang diinginkan dari diri sendiri:

Perubahan yang diinginkan dari pasangan:

Kemungkinan perbaikan pernikahan:

D. PEMAHAMAN DIRI DAN PASANGAN


Kelebihan istri Kekurangan istri
1. 1.
2. 2.
3. 3.
4. 4.
5. 5.

401
RAHASIA

Kelebihan suami Kekurangan suami


1. 1.
2. 2.
3. 3.
4. 4.
5. 5.

(Bagian E – K diisi oleh psikolog klinis)

E. PEMERIKSAAN PSIKOLOGI KLINIS


1. Wawancara

2. Observasi

3. Tes Psikologi
Pelaksanaan Tes
Rencana Tes Hasil
Tes Psikologi Waktu Tester

F. DINAMIKA PSIKOLOGIS

402
RAHASIA

G. DIAGNOSIS (berdasarkan DSM / ICD / PPDGJ)


Kesan awal:

Diagnosis utama (dx):

Diagnosis banding (dd):

H. MANIFESTASI FUNGSI PSIKOLOGIS

I. PROGNOSIS

J. RENCANA TRITMEN
□ Psikoterapi singkat □ Manajemen stress
□ Psikoterapi suportif □ Modifikasi perilaku
□ Menstabilkan kondisi □ Meningkatkan keterampilan koping
□ Restrukturisasi kognitif □ Mengoptimalkan sumber daya yang
□ Kelompok khusus dimiliki
□ Program dukungan kelompok/keluarga □ Resolusi konflik/penyelesaian masalah
□ Meningkatkan harga diri □ Resolusi kedukaan
□ Lainnya _________________________

403
Pertemuan selanjutnya: _________________________________________________
RAHASIA

K. CATATAN TAMBAHAN
___________________________ ___________________________________ _________________
___________________________ ___________________________________ _________________
___________________________ ____________________________________________________
___________________________ ___________________________________ _________________
___________________________ ___________________________________ _________________
___________________________ ____________________________________________________

Kota, tanggal bulan tahun


Pemeriksa,

[Tanda Tangan]

Nama Psikolog Klinis


Psikolog Klinis
STR:
SIPPK:

404
RAHASIA

Hasil Pemeriksaan Psikologis


(Pasien Dewasa)

I. Identitas (Tuliskan identitas pasien di bagian ini)


Nama : Nama lengkap (nama panggilan)
Tanggal lahir :
Jenis kelamin :
Urutan kelahiran : dari bersaudara
Tanggal pemeriksaan :
Usia saat diperiksa :
Alamat :

II. Tujuan Pemeriksaan


Tuliskan tujuan pemeriksaan di bagian ini, misal pemeriksaan psikologis terkait
permasalahan kecemasan berbicara di depan publik. Dapat juga dilengkapi dengan
keluhan pasien.

III. Prosedur Pemeriksaan


Bagian ini berisi prosedur pemeriksaan yang digunakan, seperti observasi,
wawancara, dan tes psikologi.

IV. Hasil Pemeriksaan


Hasil pemeriksaan psikologis dapat dituliskan di bagian ini sesuai dengan aspek
psikologis yang diperiksa, misalnya:
a. Aspek kognitif
b. Aspek sosial
c. Aspek emosi
d. Kecenderungan Perilaku

V. Kesimpulan
Bagian ini berisi penjelasan singkat permasalahan pasien, kesimpulan keseluruhan
hasil pemeriksaan dan diagnosis. Dapat juga dilengkapi dengan dinamika psikologis
singkat jika diperlukan, disesuaikan dengan kebutuhan dan dibuat dengan kehati-
hatian.

VI. Rekomendasi
Tuliskan rekomendasi bagi pasien dan pendamping (jika diperlukan) di bagian ini,
termasuk psikoterapi yang dibutuhkan dan koordinasi lanjutan dengan instansi lain
yang terlibat.

Demikian hasil pemeriksaan ini dibuat, agar dapat digunakan sebagaimana mestinya.

Kota, tanggal bulan tahun


Pemeriksa,

[Tanda Tangan]

Nama Psikolog Klinis


Psikolog Klinis
STR:
405
SIPPK:
RAHASIA

Hasil Pemeriksaan Psikologis


(ditujukan kepada orangtua/pendamping pasien anak)

I. Identitas (Tuliskan identitas pasien di bagian ini)


Nama : Nama lengkap anak (nama panggilan)
Jenis kelamin :
Tanggal lahir :
Tanggal pemeriksaan :
Usia saat diperiksa :
Orangtua : Nama ayah dan nama ibu
Alamat :

II. Tujuan Pemeriksaan


Tuliskan tujuan pemeriksaan di bagian ini, seperti pemetaan potensi psikologis anak,
evaluasi kemampuan perkembangan, dan sebagainya.

III. Prosedur Pemeriksaan


Bagian ini berisi prosedur pemeriksaan yang digunakan, seperti observasi,
wawancara, dan tes psikologi.

IV. Hasil Pemeriksaan


Hasil pemeriksaan psikologis dapat dituliskan di bagian ini sesuai dengan aspek
perkembangan anak yang diperiksa, misalnya:
a. Aspek kognitif
b. Aspek bahasa dan bicara
c. Aspek motorik
d. Aspek sosial-emosi
e. Kecenderungan perilaku

V. Kesimpulan
Bagian ini berisi penjelasan singkat permasalahan pasien, kesimpulan keseluruhan
hasil pemeriksaan dan diagnosis. Dapat juga dilengkapi dengan dinamika psikologis
singkat jika diperlukan, disesuaikan dengan kebutuhan dan dibuat dengan kehati-
hatian.

VI. Rekomendasi
Tuliskan rekomendasi bagi orangtua dan pendamping (jika diperlukan) di bagian ini,
termasuk psikoterapi yang dibutuhkan dan koordinasi lanjutan dengan instansi terkait
lainnya. Selain itu, mempertimbangkan kondisi anak yang masih dalam masa
perkembangan, maka hasil pemeriksaan ini hanya berlaku selama 6 bulan dan perlu
dilakukan evaluasi selanjutnya.

406
RAHASIA

Demikian hasil pemeriksaan ini dibuat, agar dapat digunakan sebagaimana mestinya.

Kota, tanggal bulan tahun


Pemeriksa,

[Tanda Tangan]

Nama Psikolog Klinis


Psikolog Klinis
STR:
SIPPK:

407
RAHASIA

Hasil Pemeriksaan Psikologis


(ditujukan kepada instansi lain yang berkaitan dengan pasien anak)

I. Identitas (Tuliskan identitas pasien di bagian ini)


Nama : Nama lengkap anak (nama panggilan)
Jenis kelamin :
Tanggal lahir :
Tanggal pemeriksaan :
Usia saat diperiksa :
Orangtua : Nama ayah dan nama ibu
Alamat :

II. Tujuan Pemeriksaan


Tuliskan tujuan pemeriksaan di bagian ini, misalnya rekomendasi sekolah.

III. Prosedur Pemeriksaan


Bagian ini berisi prosedur pemeriksaan yang digunakan, seperti observasi,
wawancara, dan tes psikologi.

IV. Hasil Pemeriksaan


Tuliskan gambaran singkat hasil pemeriksaan psikologis sesuai dengan aspek
perkembangan anak yang diperiksa, misalnya:
a. Aspek kognitif
b. Aspek bahasa dan bicara
c. Aspek motorik
d. Aspek sosial-emosi
e. Kecenderungan perilaku

V. Kesimpulan dan Rekomendasi


Bagian ini berisi kesimpulan keseluruhan hasil pemeriksaan, diagnosis, dan
rekomendasi yang diberikan.

Rekomendasi Catatan
Misal, anak siap masuk sekolah
dasar dengan catatan

Demikian hasil pemeriksaan ini dibuat, agar dapat digunakan sebagaimana mestinya.

Kota, tanggal bulan tahun


Pemeriksa,

[Tanda Tangan]

Nama Psikolog Klinis


Psikolog Klinis
STR:
408 SIPPK:
RAHASIA

SURAT RUJUKAN

Kepada
Yth. Prof/Dr/dr/Ts _________________________
Di tempat

Mohon dilakukan pemeriksaan dan pengobatan lebih lanjut kepada pasien:

Nama : Nama pasien


Jenis kelamin :
Tanggal lahir :
Usia :
Alamat :

Yang datang periksa pada tanggal :


Tujuan kedatangan :

Dengan hasil pemeriksaan psikologis sebagai berikut:

Temuan pemeriksaan awal:

Diagnosis sementara:

Pemeriksaan lanjutan dan pengobatan yang diperlukan:

Atas kesediaan dan bantuannya, diucapkan terima kasih.

Kota, tanggal bulan tahun


Pemeriksa,

[Tanda Tangan]

Nama Psikolog Klinis


Psikolog Klinis
STR:
SIPPK:

409
RAHASIA

Surat Keterangan Sehat Secara Psikologis

Dengan ini, saya menerangkan bahwa:

Nama :
Jenis kelamin :
Tanggal lahir :
Usia :
Tanggal Pemeriksaan :
Tujuan Pemeriksaan :
Alamat :

A. Hasil Pemeriksaan Aspek Psikologis


SKOR
ASPEK PSIKOLOGI GAMBARAN UMUM
K C- C C+ B
Kecerdasan Kemampuan pemecahan masalah
Kemampuan menyelesaikan tugas
KECERDASAN DAN POLA

Ketelitian dengan penuh konsentrasi, teliti, dan


Kemampuan Umum

cermat
Dorongan untuk mencapai hasil terbaik
Motivasi
dalam menjalankan tugas atau
KERJA

Berprestasi
menghadapi kesulitan
Daya juang untuk bekerja di bawah
Ketahanan
tekanan dan menyelesaikan tugas
Kerja
dengan tekun
Kemampuan untuk mengambil
Pengambilan
keputusan dengan penuh keberanian
Keputusan
dan pertimbangan
Kemampuan untuk mengendalikan diri
Kematangan dan mengelola emosi di berbagai
Emosi situasi, serta bertindak dengan penuh
PENGELOLAAN EMOSI

pertimbangan
KEMATANGAN DAN

Stabilitas Kemampuan mempertahankan


Emosi kestabilan emosi di berbagai situasi
Kepercayaan Memahami dan menerima diri, serta
Diri pada kemampuan diri dalam bertindak
Kemampuan untuk memahami,
berbagi perasaan, dan
Empati
mempertimbangkan sudut pandang
orang lain
Daya Tahan Kemampuan untuk bekerja dalam
Stres situasi penuh tekanan
Kontak Minat untuk menjalin relasi sosial
Sosial dengan orang lain
RELASI SOSIAL DAN

Komunikasi Kemampuan untuk menerima dan


KOMUNIKASI

mengungkapkan gagasan dan pikiran


Kemampuan untuk menyesuaikan
Penyesuaian
kondisi diri dengan tuntutan
Diri
lingkungan di berbagai situasi
Kemampuan untuk bekerja dalam tim,
Kerja sama termasuk kemampuan untuk terbuka
dan menghargai pendapat orang lain
Keterangan: K = Kurang, C- = Cukup Rendah, C = Cukup, C+ = Cukup Tinggi, B = Baik
410
RAHASIA

B. Manifestasi Fungsi Psikologis Dan Perilaku


Fungsi
Psikologis K C- C C+ B Uraian
dan Perilaku
Fungsi Kognitif
Fungsi Emosi
Fungsi Sosial
Kecenderungan
perilaku
Keterangan: K = Kurang, C- = Cukup Rendah, C = Cukup, C+ = Cukup Tinggi, B = Baik

C. Psikopatologis
Psikopatologi Ada Tidak Dinamika Psikologis
Gangguan Gambaran dinamika psikologis singkat,
Kepribadian disesuaikan dengan kebutuhan dan dilakukan
Kecenderungan dengan kehati-hatian.
Neurotik
Kecenderungan
Psikotik

D. Kesimpulan
Kriteria Uraian
Sehat secara psikologis
Normal dengan masalah
Patologis

Demikian surat keterangan ini dibuat, agar dapat digunakan sebagaimana mestinya.

Kota, tanggal bulan tahun


Pemeriksa,

[Tanda Tangan]

Nama Psikolog Klinis


Psikolog Klinis
STR:
SIPPK:

411

Anda mungkin juga menyukai