Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pendidikan merupakan bagian penting dari proses pembangunan nasional

yang ikut menentukan pertumbuhan ekonomi suatu negara. Hal tersebut

dikarenakan bahwa pendidikan merupakan salah satu wahana yang dapat

meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Pendidikan memberikan kontribusi

yang sangat besar terhadap kemajuan suatu bangsa dan sebagai wahana investasi

dalam menerjemahkan pesan-pesan konstitusi serta suasana dalam membangun

watak bangsa (nation caracter building).

Masyarakat yang cerdas akan memberi nuansa kehidupan yang cerdas pula

dan segala progresif akan membentuk kemandirian yang bertanggung jawab. Proses

belajar mengajar atau proses pengajaran merupakan suatu kegiatan melaksanakan

kurikulum suatu lembaga pendidikan, agar dapat mempengaruhi para siswa

mencapai tujuan pendidikan yang telah ditetapkan.

Dalam upaya mencapai tujuan pendidikan nasional seorang guru tidak hanya

sebagai pengajar saja, tetapi juga sebagai pendidik.

Kecerdasan yang sering dinyatakan dengan angka IQ (Intelligence

Quotient), bukan satusatunya jaminan bagi kesuksesan seorang anak di masa depan.

Faktor lain yan perlu mendapat perhatian serius dari orangtua adalah kecerdasan

emosional. Kecerdasan emosional merupakan konsep baru yang dikembangkan

oleh Daniel Goleman dalam karyanya pada tahun 1995 berjudul “Emotional

Intelligence”. Ia mengambil konsep kecerdasan emosional dari

1
2

psikolog Peter Salovey dari Harvard University dan John Mayer dari University of

New Hampshire. Kecerdasan emosional merupakan salah satu kemampuan yang

dimiliki oleh individu dan bisa berkembang jika dilakukan beberapa latihan yang

sifatnya terus menerus.

Kecerdasan ini akan memberikan motivasi pada individu untuk menjadikan

orang lain dapat dipengaruhi oleh perilakunya. Kecerdasan emosional memberikan

andil yang cukup berarti dalam membina moralitas peserta didik, karena individu

yang memiliki kecerdasan emosional akan sangat peka dengan keadaan sekitar.

Kecerdasan emosional atau emotional intelligence merujuk kepada

kemampuan mengenali perasaan kita sendiri dan perasaan orang lain, kemampuan

memotivasi diri sendiri, dan kemampuan mengelola emosi dengan baik pada diri

sendiri dan dalam hubungan dengan orang lain. Mungkin kita sering bertanya-tanya

mengapa orang yang ber-IQ tinggi justru banyak yang mengalami kegagalan dalam

karirnya. Sedangkan orang yang ber-IQ sedang justru dapat lebih sukses dari orang

yang ber-IQ tinggi. Hal itu disebabkan karena ada satu kecerdasan yang lebih

berpengaruh dalam menentukan kesuksesan seseorang yaitu Emotional

Intelligence atau kecerdasan emosional.

Menurut penelitian yang dikemukakan oleh Daniel Golemen, kontribusi IQ

dalam seseorang hanya sekitar 20% dan 80% lagi ditentukan oleh kecerdasan

emosional. Oleh karena itu, pemahaman mengenai kecerdasan emosional harus

ditingkatkan agar kita dapat menyeimbangkan antara kecerdasan intelektual dan

kecerdasan emosional.

B. Rumusan Masalah
3

Berdasarkan latar belakang di atas, maka muncul rumusan masalah sebagai


berikut:
1. Apa saja teori Emotional Quotient?

2. Apa Defenisi Emotional Quotient?

3. Bagaimana Perkembangan Emotional Quotient?

4. Bagaimana Strategi Pengembangan Emotional Quotient?

5. Bagaimana cara mengukur Emotional Quotient?

C. Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah, tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai
berikut
1. Untuk mengetahui apa saja teori Emotional Quotient!

2. Untuk mengetahui apa Defenisi Emotional Quotient!

3. Untuk mengetahui bagaimana Perkembangan Emotional Quotient!

4. Untuk mengetahui bagaimana Strategi Pengembangan Emotional Quotient!

5. Untuk mengetahui bagaimana cara mengukur Emotional Quotient!

D. Manfaat

Berdasarkan tujuan penulisan, adapun manfaat yang dapat diperoleh dari

makalah ini sebagai berikut:

a. Manfaat Teoritis

Bagi penulis, makalah ini memberikan manfaat yang sangat besar,

karena dengan adanya penyusunan makalah mengenai Emotional Quotient

dapat menambah wawasan dan pengetahuan mengenai kecerdasan

emosional.

b. Manfaat praktis
4

Bagi pembaca, makalah ini dapat memberikan wawasan mengenai

kecerdasan emosional dan dengan adanya makalah ini pembaca dapat

mengetahui serta memahami seperti apa kecerdasan emosional.


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Teori Intelegence Quotient

Ada beberapa teori yang dikemukakan oleh para ahli dengan beberapa

variasi perbedaan. Intelegence Quotient adalah bagaiman seseorang memproses

emosi yang diterima dari luar. Tentu saja, dalam perkembangannya, bukan hanya

konsep kecerdasan emosional Solevey dan Meyer yang dipakai. Faktanya, ada

pemikiran Daniel Goleman sendiri yang ikut mewarni pemahamanan soal

keceradasan emosional ini ada beberapa ahli menyampaikan teori intelegensi,

antara lain:

1.Teori Kemampuan (Ability Theory)

Teori ability inilah yang dilekatkan dengan Peter Solevey dan John Mayer

sejak pertama kali mereka memperkenalkan EQ. Teori ini melihat emosi sebagai

suatu sumber informasi yang berharga, yang membuat seseorang bisa memahami

lingkungannya serta mengambil hikmah dari sekitarnya.

Teori ini intinya mengingatkan bahwa emosi adalah suatu proses yang harus

diterima, dipahami, diolah serta dikelola. Itulah sebabnya dalam model teori

kemampuan (ability theory) ini, kemampuan dibagi menjadi empat hal:

a. Menerima emosi (Perceiving emotion)

menyangkut kemampuan seseorang untuk menerima emosi, termasuk

disini adalah kemampuan menerima sinyal non-verbal

5
6

b. Menggunakan emosi (using emotion)

termasuk disini adalah memakai emosi untuk membantu proses berpikir

khususnya dengan apa yang menjadi pusat perhatian kit.

c. Memahami emosi (understanding emotion)

termasuk disini adalah memahami makna emosi yang seseorang ungkapkan,

misalkan ketika atasan marah dengan kerjaan kita bisa jadi ia hanya melampiaskan

kemarahannya ke kita ataukah ia memang kurang puas dengan hasil kerjaan kita.

4. Mengelola emosi (managing emotion)

disini kita belajar bagaimana mengekspresikan emosi secara positif.

Bagaimana teori kemampuan ini diukur? Salah satu alat ukur tes EQ terkenal yang

mengukur kemampuan ini adalah Mayer-Salovey-Caruso Emotional Intelligence

Tests (MSCEIT). Dalm pengukuran kemampuan ini, bentuknya mirip seperti

pengukuran IQ. Jadi, ada pertanyaan terkait dengan emosi dimana seseorang harus

memilih jawabannya.

Ada yang dalam bentuk kasus, foto ataupun suatu situasi. Lantas, jawaban

ini nantinya bisa dicocokkan dengan kebenaran dari jawaban yang seharusnya

diberikan. Dari jawaban inilah, seseorang bisa dinilai level kemampuannya dalam

pemahaman emosi. Dari konsep dan pengukurannya ini, kita bisa lihat bahwa teori

ini memang ada bagusnya. Yakni, seseorang tidak bisa berpura-pura. Seorang harus

merespon, ada pilihan jawabannya yang lantas akan dibandingkan dengan jawaban

yang semestinya. Sayangnya, banyak yang menganggap justru dinilah kelemahan

dari teori ini. Yakni, seseorang seolah-olah harus disamakan dengan yang lainnya.
7

Orangpun dibandingkan satu dengan lainnya, berdasarkan jawaban yang benar.

Padahal menurut para pengritik teori ini, emosi orang bisa berbeda-beda.

2.Teori Sifat (Trait Theory)

Teori sifat ini diperkenalkan istilahnya oleh psikolg Inggris kelahiran Rusia

yakni Konstantin Vasily Petrides. Menurut Petrides (2007), yang namanya

Kecerdasan Emosional itu merupakan kumpulan sifat-sifat kepribadian, dan

didefiniskan sebagai gabungan persepsi diri yang terletak di level bawah dari

kepribadian seseorang.

Dengan kalimat sederhananya, EQ diartikan sebagai persepsi seseorang

terkait dengan kemampuan emosionalnya. Karena itulah konsep EQ yang satu ini

mencakup bagaimana seseorang menilai dirinya terkait dengan kemampuan

perilakunya dalam bentuk self-report atau semacam penilaian atas dirinya sendiri

(Petrides & Furnham, 2000). Menurut mereka, inilah sebenarnya adalah sisi

emosional dari kepribadian seseorang.

Dalam penjelasanya, Petrides menyebutkan ada 15 sifat yang termasuk

dalam pengukuran EQ ini yakni: adaptasi (adaptability), asertif, ekspresi emosi,

manajemen emosi (pada orang lain), persepsi emosi, regulasi emosi, kontrol impuls,

hubungan (relationship), harga diri, motivasi diri, kesadaran social, manajemen

stress, sifat berempati, sifat kebahagiaan serta sifat optimis. Intinya, sifat-sifat ini

berbeda degan kepribadian seseorang, dan justru akan menentukan kepribadian

seseorang.

7
8

Bagaimana pengukurannya? Salah satu alat ukur yang terkenal dari pengukuran

model EQ ini adalah alat Trait Emotional Intelligence Questionnaire (TEIQue)

yang dikembangkan oleh Petrides dan Furnham (2001).

Keseluruhan alat ini mengukur sifat-sifat yang terkait dengan aspek

emosional dari kepribadian seseorang. Oleh karena sifatnya yang umum dan

mengukur banyak aspek terkait sisi emosional seseorang, konsep ini dianggap baik

untuk memprediksi banyak hal tentang seseorang. Hanya saja, oleh karena sifatnya

pengukuran diri (self-report) banyak yang menyangsikan objektivitas hasil tes ini.

Valid tidaknya alat tes ini, akhirnya sangat tergantung pada kejujuran orang yang

mengisinya. Itulah yang banyak menimbulkan pertentangan soal efektifnya model

ini.

c. Teori Campuran (Mixed-Model Theory)

Dalam, teori model campuran atau gabungan ini, termasuk diantaranya

adalah konsep yang diperkenalkan oleh Daniel Goleman serta Bar-On. Sesuai

dengan namanya, teori ini menggabungkan antara konsep sifat serta kemampuan

emosional seseorang. Jika kita dalami, model Daniel Goleman mencakup empat

kompetensi pokok yakni:

1. self-awareness atau kesadaran diri

2. self-managament atau pengelolaan diri

3. social awareness atau pengenalan social serta

4. social relationship atau interaksi social.

8
9

Sementara, menurut konsepnya Bar-On ada lima aspek utama EQ seseorang yakni:

1. Intrapersonal

2. Interpersonal

3. Manajemen Stres

4. Kemampuan beradaptasi serta

5. Mood secara umum (general mood)

Jika diperhatikan, maka kita melihat bahwa dalam mixed model ini, baik

yang diperkenalkan oleh Daniel Goleman maupun Bar-On, umumnya mencakup

kemampuan seseorang untuk menerima dan mengelola emosi dari luar, juga

termasuk sifat-sifat yang harus dimiliki oleh sesorang, agar bisa dikatakan EQnya

bagus.

Bagaimana pengukurannya mixed model ini? Dalam prakteknya ada dua

alat ukur yang terkenal dari model ini yakni Bar-On Emotional Quotient Inventory

(EQ-i) yang dikembangkan oleh Bar-On. Serta ada pula, Emotional and Social

competence Inventory (ESCI) yang dikembangkan oleh Daniel Goleman serta

Richard Boyatzis.

Biasanya, alat ukur dari model campuran ini menggunakan pendekatan

asesmen 360 derajat. Oleh karena sifatnya yang multi-rater atau bisa diberikan

penilaian dari berbagai pihak lantas bisa disbanding-bandingkan, model inipun

lantas banyak disukai dan dipakai khususnya di dunia kerja dan komersial.

Ada yang menganggap berbagai teori EQ ini menunjukkan bahwa Kecerdasan

Emosional menjadi ilmu yang terus berkembang. Namun, di sisi lain ada yang

9
10

menganggapnya ini justru jadi semakin membingungkan. Untungnya, belakangan

ini berbagai riset dan analisa mulai dikembangkan.

Termasuk diantaranya ada beberapa ahli yang mulai mengembangkan teori

yang bisa mengintergrasikan ketiga model ini. Diantaranya Seal & Andrews-Brown

(2010) pernah menciptakan format yang menggabungkan ketiganya.

Menurut mereka, konsepnya Bar-On justru memberikan pemahaman bahwa EQ

adalah potensinya, yang tidak akan muncul kalau tidak dilatih.

Untuk itu perlu konsep kemampuan yang dikembangkan oleh Solevey dan

Mayer. Sementara konsep Daniel Goleman adalah bagian terakhir yang erat

kaitannya dengan kinerja yang ditunjukkan. Intinya, menurut mereka, ketifga

model ini tidak perlu dipertentangkan, tapi dikombinasikan sehingga memberikan

pemahaman yang lebih utuh soal kecerdasan emosional seseorang.

10
11

B. Defenisi Intellegensi Quotiont (IQ)

Emotional Quotient Intelligence (EQ) adalah kemampuan seseorang untuk

menerima, menilai, mengelola, serta mengontrol emosi dirinya dan orang lain di

sekitarnya. Dalam hal ini, emosi mengacu pada perasaan seseorang terhadap

informasi akan suatu hubungan.

Ciri-ciri Emotional Quotient pada diri seseorang dapat dilihat dari beberapa

perilaku, antara lain: mudah akrab dengan orang lain di berbagai situasi, terampil

dalam memecahkan masalah, serta memiliki sifat empati kepada orang lain. Selain

itu, seseorang dengan EQ yang baik juga umumnya dikenal sebagai pendengar yang

baik, mampu memotivasi diri sendiri, dan bisa memahami perilaku dan tindakan

orang lain.

Emosi itu merupakan warna afektif yang menyertai setiap keadaan atau

perilaku individu. Yang dimaksud dengan warna afektif ini adalah perasaan-

perasaan tertentu yang diamalami pada saat menghadapi (menghayati) suatu situasi

tertentu, contohnya gembira, bahagia, sedih, putus asa, terkejut, benci, dan

sebagainya. Adapun macam-macam emosi menurut penggolongannya adalah

sebagai berikut:

a. Gembira

merupakan perasaan atau rasa terbebas dari ketegangan. Misalnya, senang, lega,

bangga, dan sebagainya.

b. Amarah

Meliputi bringas, mengamuk, marah besar, jengkel, kesal hati, terganggu, dan

lain-lain.

11
12

c. Kesedihan

Meliputi rasa pedih, sedih, muram, suram, melankolis, putus asa, dan lain-lain.

d. Rasa takut

merupakan perasaan yang mendorong individu untuk menjauhi sesuatu.

Misalnya cemas, khawatir, waspada, fobia, dan lain-lain.

e. Kenikmatan, meliputi: bahagia, gembira, senang, dan lain-lain.

f. Cinta

misalnya penerimaan, persahabatan, kepercayaan, kebaikan hati, rasa dekat,

bakti, hormat, dan lain-lain.

g. Terkejut, misalnya: terkesiap, takjub, terpana.

h. Jengkel, meliputi: hina, jijik, mual, benci, tidak suka, dan lain-lain.

i. Malu, contohnya: rasa salah, malu hati, kesal hati, sesal, aib, dan lain-lain

12
13

C. Sejarah Perkembangan Emotional Quotient (EQ)

Peter Salovey dan John D. Mayer merupakan dua orang peneliti yang sejak

mulai mempublikasikan karya ilmiahnya dengan judul "Emotional Intelligence."

Melalui karyanya itu, dua orang peneliti itu kemudian memperkenalkan istilah

kecerdasan emosi pada khalayak. Mereka menjelaskan kecerdasan emosi

sebagai kemampuan untuk mengendalikan perasaan dan emosi diri sendiri dan

orang lain, untuk mengarahkan dan menggunakan informasi tersebut dalam

memandu pikiran dan tindakan seseorang. Sejak saat itu, minat terhadap konsep

dari kecerdasan emosi kemudian berkembang. Penelitian terkait hal tersembut

meningkat dalam kurun waktu beberapa tahun belakangan ini. Selanjutnya, sejak

tahun 1930-an, psikolog Edward Thorndike menggambarkan konsep "kecerdasan

sosial" sebagai kemampuan untuk bergaul dengan orang lain. Berselang beberapa

tahun kemudian, sekitar tahun 1940-an, psikolog David Wechsler mengusulkan

bahwa komponen kecerdasan efektif yang berbeda dapat memainkan peran penting

dalam seberapa sukses orang dalam kehidupan (Goleman, 2000).

Pada tahun 1950-an muncul kebangkitan mazhab pemikiran yang dikenal

sebagai psikologi humanistik, dan pemikir seperti Abraham Maslow memusatkan

perhatian yang lebih besar pada cara-cara berbeda yang orang dapat membangun

kekuatan emosional. Konsep penting lain yang muncul dalam pengembangan

kecerdasan emosional adalah gagasan multiple intelligences. Konsep ini diajukan

pada pertengahan 1970-an oleh Howard Gardner, memperkenalkan gagasan bahwa

kecerdasan lebih dari sekadar kemampuan umum (Maitrianti, 2021).

13
14

Pada tahun 1985 istilah "kecerdasan emosional" pertama kali digunakan

dalam disertasi doktoral oleh Wayne Payne. Pada tahun 1987, sebuah artikel yang

diterbitkan di Mensa Magazine, Keith Beasley menggunakan istilah "emotional

quotient." Beberapa orang berpendapat bahwa ini adalah penggunaan frasa yang

pertama kali diterbitkan, meskipun Reuven Bar-On mengklaim telah menggunakan

istilah ini dalam versi yang tidak dipublikasikan dari tesis pascasarjananya. Pada

tahun 1990, psikolog Peter Salovey dan John Mayer menerbitkan artikel penting

mereka, "Kecerdasan Emosional," dalam jurnal Imagination, Cognition, and

Personality. Kemudian di tahun 1995, Daniel Goleman, menulis sebuah buku yang

berjudul Emotional Intelligence: Why It Can Matter More Than IQ. Akhirnya,

topik ini menarik minat publik dan menjadi penting di berbagai bidang (Wuwung,

2020).

14
15

D. Strategi Pengembangan Emotional Intelligence (EQ)

Menurut Goleman (2017), kecerdasan emosi ditandai oleh kemampuan

orang untuk mengekspresikan emosi kepada orang lain, mengenal emosi diri, dan

mengelola emosi dalam situasi kelompok. Namun tidak hanya cukup dengan

mengenalnya saja, meningkatkan kecerdasan emosi juga perlu dilakukan, dengan

beberapa cara:

1. Mengelola Perilaku

Apabila kita sedang stres, pasti kita akan mudah marah dan melakukan

sesuatu yang tidak menyenangkan bagi orang lain. Maka dari itu, salah satu

karakteristik orang dengan kecerdasan emosi yang baik adalah memiliki kontrol

terhadap perilakunya. Teman-teman tentu tahu bahwa perilaku kita berasal dari

respon terhadap stimulus. Nah, begitu pula dengan emosi. Ketika kita bisa

mengelola perilaku, maka kita juga bisa mengendalikan suasana di sekitar kita.

2. Berlatih Kesadaran Diri

Kita akan beralih pada cara kedua, yaitu melatih kesadaran diri. Eits,

kesadaran diri bukan berarti hanya paham mengenai hal-hal yang terjadi pada diri,

tetapi juga menumbuhkan kesadaran bahwa segala emosi yang kita alami

merupakan buah pengalaman hidup.

Kemampuan kita untuk mengelola emosi seperti marah, sedih, takut,

bahagia, dan lain-lain seringkali bergantung pada kualitas dan konsistensi

pengalaman emosional awal kehidupan kita. kuncinya adalah sebagai berikut:

15
16

1. Biarkan emosi yang muncul mengalir dengan sendirinya, jangan ditahan.

2. Perhatikan apakah emosi yang muncul diikuti dengan sensasi pada bagian-

bagian tubuh tertentu.

3. Kenali emosi apa saja yang muncul ketika kita mengalaminya, seperti marah,

sedih, senang, takut, dan lain-lain.

4. Tanyakan kepada diri sendiri, seberapa mampu kita menangkap emosi yang

intens.

5. Cari tahu apakah emosi tersebut mempengaruhi pengambilan keputusan kita,

terutama apabila keputusannya begitu mendesak.

3. Meningkatkan Kesadaran Sosial

Menurut Greenspan, disadur dari McGrew (2008), kesadaran sosial adalah

konstruksi hierarki multidimensi yang meliputi: kepekaan sosial (yang

memasukkan subdomain pengambilan peran dan kesimpulan sosial); wawasan

sosial (subdomain dari pemahaman sosial, wawasan psikologis, dan penilaian

moral); dan komunikasi sosial (subdomain dari komunikasi referensial dan

pemecahan masalah sosial).

Kesadaran sosial memungkinkan kita untuk mengenali dan menafsirkan

isyarat nonverbal yang terus digunakan orang lain untuk berkomunikasi dengan

kita. Isyarat-isyarat nonverbal ini menunjukkan bagaimana perasaan orang lain,

bagaimana keadaan emosi mereka berubah dari waktu ke waktu, dan apa yang

benar-benar penting bagi mereka.

16
17

4. Mengelola Hubungan Sosial

Apabila kita sudah meningkatkan kesadaran sosial, langkah selanjutnya

adalah mengelola hubungan sosial. Contoh gampangnya, kita bisa mulai dengan

mendengarkan saat orang lain bercerita atau membalas pesan yang menumpuk di

kotak masuk chat. Namun, harus disadari juga bahwa seberapa efektif pun kamu

menggunakan komunikasi nonverbal, tidak mungkin menghindari pengiriman

pesan nonverbal kepada orang lain tentang apa yang Anda pikirkan dan rasakan.

Pesan nonverbal ini datang dari ekspresi wajah, gestur, serta bahasa tubuh

seseorang.

Selain belajar mengelola hubungan sosial melalui kepekaan komunikasi,

kita juga harus bisa melihat konflik sebagai kesempatan untuk tumbuh lebih dekat

dengan orang lain. Tentu saja, konflik dan ketidaksepakatan tidak bisa dihindari,

namun dengan cara yang benar, kita bisa meminimalisir dampak buruk adanya

konflik secara konstruktif. Dilansir oleh Clarke.edu (2020), beberapa cara yang bisa

diterapkan untuk mengelola konflik adalah sebagai berikut:

1. Belajar menerima konflik. Sadarlah bahwa konflik adalah sesuatu yang alami,

yang pasti terjadi dalam hubungan sosial.

2. Bersikap tenang. Setiap konflik pasti melibatkan pihak-pihak yang saling

menyampaikan emosi secara pedas. Apabila hal ini berlangsung terus

menerus, yang terjadi adalah konflik takkan pernah mencapai penyelesaian.

3. Menganalisis konflik. Cari tahu apa yang menyebabkannya, siapa saja yang

terlibat, apakah konflik tersebut hanya untuk membesar-besarkan masalah

yang sesungguhnya, dan lain-lain.

17
18

4. Fokus pada masa depan. Setiap konflik pasti didasari oleh hal-hal pahit yang

terjadi di masa lalu. Biarkan masa lalu itu berlalu. Daripada terus bergulat

dengan kesalahan itu, carilah cara untuk mengelolanya supaya konflik yang

sama tidak terjadi di masa depan.

18
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Adapun kesimpulan dari makalah ini adalah bahwa Kecerdasan yang sering

dinyatakan dengan angka IQ (Intelligence Quotient), bukan satusatunya jaminan

bagi kesuksesan seorang anak di masa depan. Faktor lain yan perlu mendapat

perhatian serius dari orangtua adalah kecerdasan emosional. Kecerdasan emosional

merupakan konsep baru yang dikembangkan oleh Daniel Goleman dalam karyanya

pada tahun 1995

B. Saran

Saran yang dapat penulis ajukan dalam makalah ini adalah semoga makalah

ini dapat menjadi sumber pengetahuan bagi yang membacanya serta bisa dijadikan

sebagai sumber referensi. Oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat

membangun dari para pembaca sangat diharapkan demi kesempurnaan makalah

berikutnya.

20
DAFTAR PUSTAKA

Goleman, D. 2000. Kecerdasan Emosional. Gramedia Pustaka Utama.

Maitrianti, C. 2021. Hubungan Antara Kecerdasan Intrapersonal dengan


Kecerdasan Emosional. Jurnal MUDARRISUNA: Media Kajian Pendidikan
Agama Islam, 11(2), 291-305.

Wuwung, O. C. 2020. Strategi Pembelajaran & Kecerdasan Emosional. Scopindo


Media Pustaka.

21

Anda mungkin juga menyukai