Anda di halaman 1dari 35

MAKALAH

Metode dan Pendekatan Evaluasi BK


Dosen Pengampu : Dr. Agus Wibowo M.Pd

Disusun oleh:
Kelompok 3

Ajeng Pratiwi 20130061


Alfonsus Dea Novan 20130041
Algi Mega Utami 20130036
Devia Larasati 20130022
Reihan Haffiyan Putri 20130045
Sigit Priyo Wibowo 20130070

PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH METRO

2022/2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami ucapkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat-Nya
sehingga makalah ini dapat tersusun sampai dengan selesai. Tidak lupa kami
mengucapkan terima kasih terhadap bantuan dari pihak yang telah berkontribusi
dengan memberikan sumbangan baik pikiran maupun materinya.
Penulis sangat berharap semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan
dan pengalaman bagi pembaca. Bahkan kami berharap lebih jauh lagi agar makalah ini
bisa pembaca praktekkan dalam kehidupan sehari-hari.
Bagi kami sebagai penyusun merasa bahwa masih banyak kekurangan dalam
penyusunan makalah ini karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman kami.
Untuk itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca
demi kesempurnaan makalah ini.

Metro, 4 April 2023

Penyusun

i
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL
KATA PENGANTAR.............................................................................................i
DAFTAR ISI.......................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN........................................................................................1
A. Latar Belakang..........................................................................................1
B. Rumusan Masalah....................................................................................2
C. Tujuan ......................................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN.........................................................................................3
A. Pengertian Evaluasi program Bimbingan dan Konseling...........................3
B. Klasifikasi model evaluasi program...........................................................5
C. Model evaluasi program bimbingan dan konseling....................................9
D. Model Pendekatan Evaluasi Program BK................................................26
E. Prosedur Evaluasi Pelaksanaan Program Bimbingan dan Konseling
di Sekolah...............................................................................................29

BAB III PENUTUP..............................................................................................31


A. Kesimpulan.............................................................................................31
B. Saran ......................................................................................................31

DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Evaluasi adalah suatu proses pengumpulan informasi (data) untuk
mengetahui efektivitas (keterlaksanaan dan ketercapaian) kegiatan-kegiatan
yang telah dilaksanakan dalam upaya mengambil keputusan. Pengertian lain
evaluasi adalah suatu usaha untuk mendapatkan berbagai informasi secara
berkala, berkesinambungan, dan menyeluruh tentang proses dan hasil dari
perkembangan sikap dan perilaku, atau tugas-tugas perkembangan para siswa
melalui program kegiatan yang telah dilaksanakan. Evaluasi atau penilaian
merupakan bagian penting dalam pengelolaan atau manajemen pelaksanaan
bimbingan dan konseling sesuai dengan perkembangan yang terjadi baik pada
program sekolah secara keseluruhan, perkembangan sosial dan tantangan
yang terjadi dalam pendidikan maka program layanan bimbingan dan konseling
tidak boleh statis atau itu ke itu.
Demikian pula dilihat dari perkembangan program itu sendiri, suatu
program layanan bimbingan dan konseling perlu dikembangkan dan diperbaiki
sehingga dapat dirancang dan direalisasikan sesuai dengan perkembangan
kebutuhan peserta didik sebagai salah satu sasaran layanan. Sekalipun
layanan evaluasi bukan merupakan layanan yang Langsung kepada siswa,
namun pelaksanaan evaluasi akan memberikan dampak terhadap peningkatan
layanan yang dibutuhkan oleh siswa. Sehingga pada akhirnya siswa dapat
merasakan dampak peningkatan atau perubahan yang sesuai dengan
dinamika pada aspek yang dikembangkan dalam suatu program. Pada konteks
pembelajaran, evaluasi pada umumnya berorientasi pada tujuan pendidikan
yang didalamnya mencakup beberapa macam tujuan termasuk tujuan
pendidikan nasional, tujuan institusi, tujuan instruksional umum dan tujuan
instruksional khusus yang didalamnya mengandung penampilan (performance).
Pada konteks yang lebih luas, evaluasi kurikulum maupun evaluasi
sistem bervariasi sesuai dengan pilihan dari evaluator itu sendiri. Pada konteks
yang lebih luas, misalnya evaluasi kurikulum atau sistem kelembagaan dikenal
dengan adanya macam-macam model evaluasi yang digunakan untuk
memudahkan pemahaman tentang evaluasi. Model secara definisi diartikan
sebagai a likeness that aid on in understanding a structure process used by
scientist, when the phenomena studied would otherwise be underscribable.

1
Atau sesuatu yang membantu dalam pemahaman struktur atau proses yang
digunakan oleh ahli, ketika fenomena dipelajari untuk dapat diterangkan.
Di samping itu, Sukardi memberikan batasan tentang model atau
paradigma yaitu struktur sejenis berfungsi sebagai penyederhanaan konsep
yang digunakan untuk mempelajari secara intensif tentang model, seorang
evaluator dapat lebih mudah memahami dan kemudian evaluasi dalam konteks
yang lebih luas. Model evaluasi muncul karena adanya usaha eksplanasi
secara kontinu yang diturunkan dari perkembangan dan keinginan manusia
untuk berusaha menerapkan prinsip-prinsip evaluasi pada cakupan yang lebih
abstrak termasuk pada bidang ilmu pendidikan, perilaku dan seni. Dalam
makalah ini akan dipaparkan beberapa model-model yang dapat digunakan
dalam evaluasi program bimbingan dan konseling, yaitu model evaluasi goal
attainment, model evaluasi formative dan summative, model evaluasi
responsive dan model evaluasi CIPP (Context, Inputs, Process dan Product).

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dari metode evaluasi?
2. Apa saja pendektan evaluasi program dalam bimbingan dan konseling?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian dari metode evaluasi
2. Untuk mengetahui model-model evaluasi program dalam bimbingan dan
konseling

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Evaluasi Program BK


Evaluasi program bimbingan dan konseling merupakan salah satu
komponen penting dari manajemen bimbingan dan konseling. Evaluasi program
bimbingan dan konseling adalah kegiatan yang dilakukan oleh tenaga
pembimbing atau guru BK untuk menilai seberapa efektif dan efisien program
bimbingan dan konseling. Evaluasi program bimbingan dan konseling dapat
diartikan pula sebagai suatu upaya yang dilakukan oleh guru BK untuk menilai
pelaksanaan program yang sudah direncanakan apakah berjalan sesuai
dengan tujuan atau tidak.
Menurut Fitzpatric (dalam Susanta, 2004: 5), mendefinisikan mengenai
evaluasi sebagai berikut :
Bahkan, dalam mempertimbangkan peran bahasa dalam evaluasi. Michael
Scriven, salah satu pendiri evaluasi, baru-baru ini mencatat ada hampir
enam puluh istilah berbeda untuk evaluasi yang berlaku untuk satu konteks
atau yang lain. Ini termasuk menilai, menganalisis, mengkritik, memeriksa,
menginspeksi, memberi peringkat, meninjau,belajar, ujian, dan sebagainya

Dari kutipan diatas dapat dipahami bahwa dalam mempertimbangkan


bahasa dalam evaluasi, Michael Scriven, salah satu penemu evaluasi, baru-
baru ini mencatat ada hampir enam puluh istilah yang berbeda untuk evaluasi
yang berlaku satu konteks atau lainnya. Termasuk didalamnya, melabeli,
menilai, menganalisis, mengritik, memeriksa, tingkatan, review, skor, studi, test.
Dengan demikian di era ini banyak sekali definisi mengenai evaluasi. Hanya
saja dalam memilih definisi itu harus disesuaikan dengan konteks nya.
Menurut Sugiyo (dalam Susanta, 2011: 97), mendefinisikan penilaian
program bimbingan dan konseling adalah “usaha untuk mengetahui sejauh
mana pelaksanaan program bimbingan itu mencapai tujuan yang ditetapkan”.
Sedangkan menurut Badrujaman (dalam Susanta 2014: 16), evaluasi
merupakan “proses pemberian penilaian terhadap keberhargaan dan
keberhasilan suatu program yang dilakukan melalui pengumpulan data,
pengolahan data, serta analisis data yang akan dijadikan dasar untuk membuat
keputusan”. Kedua pendapat tersebut menunjukan bahwa di dalam sebuah

3
evaluasi terdapat proses pengumpulan data, pengolahan data dan juga analisis
untuk membuat keputusan. Dari keputusan tersebut maka dapat diketahui
sejauh mana keberhasilan sebuah program itu dijalankan.
Seperti yang dituliskan oleh Salahudin (dalam Susanta 2010: 218)
“evaluasi program bimbingan dan konseling merupakan suatu usaha untuk
mendapatkan berbagai informasi secara berkala, berkesinambungan, dan
menyeluruh tentang proses dan hasil dari perkembangan sikap dan perilaku
atau tugas-tugas perkembangan para siswa melalui kegiatan program yang
telah dilaksanakan.” Penilaian kegiatan bimbingan di sekolah dapat dimaknai
sebagai suatu usaha, tindakan atau proses untuk menentukan drajat kualitas
kemajuan yang berkaiatan dengan pelaksanaan program bimbingan dan
konseling dengan mengacu pada kriteria atau patokan-patokan tertentu sesuai
dengan program bimbingan yang dilaksanakan.
Dari beberapa pendapat para ahli diatas maka dapat disimpulkan
bahwa evaluasi program bimbingan dan konseling adalah kegiatan yang
terpsoses untuk memberikan penilaian terhadap program. Terproses dapat
dimaknai sebagai suatu rangkain kegiatan yang terdiri dari pengukuran,
penilaian dan pengambilan keputusan. Dengan demikian, evaluasi program BK
merupakan suatu kegiatan yang sangat penting karena bersadarkan hasil
evaluasi dapat diambil suatu kesimpulan apakah kegiatan yang telah dilakukan
dapat mencapai sasaran yang ditunagkan dalam tujuan secara efektif dan
efisien.
Evaluasi program BK juga dapat dikatakan sebagai suatu kegiatan atau
uasaha yang dilakukan oleh tenaga pembimbing atau guru BK sekolah untuk
mencari informasi secara sistematik dan menilai efisiensi serta seberapa efektif
program bimbingan dan konseling yang digunakan untuk peningkatan mutu dan
kualitas program bimbingan dan konseling di sekolah dengan prosedur dan
kriteria yang sudah ditentukan. Dari uraian diatas maka guru BK dapat
dikatakan paham dengan evaluasi program jika dapat menafsirkan pengertian
evaluasi program bimbingan dan konseling. Dalam hal ini kemampuan yang
diharapkan berupa kesanggupan untuk mengenal dan memahami ide yang ada
dari beberpa pengertian mengenai evaluasi program bimbingan dan konseling.

4
B. Klasifikasi Model Evaluasi Program
Model-model evaluasi memiliki karakteristik yang berbeda yang
membedakan satu model dengan model lainnya sehingga satu model akan
lebih tepat diterapkan pada satu setting tertentu dengan tujuan tertentu
daripada model evaluasi yang lain. Klasifikasi didasarkan atas 12 (duabelas)
karakteristik perbedaan dan persamaan dari masing-masing model evaluasi
yaitu: definisi, tujuan, penekanan, peran evaluator, keterkaitan dengan tujuan,
keterkaitan dengan pembuatan rancangan, tipe evaluasi, konstruk, kriteria
penilaian, implikasi terhadap rancangan, kontribusi dan keterbatasan. Menurut
Issac dan Michael (dalam Ananda, R., & Rafida, T, 2017:36-37)
Mengklasifikasikan 6 (enam) model evaluasi program dengan pendekatan dan
tujuan yang berbeda antara masing-masing model.Klasifikasi 6 (enam) model
tersebut adalah:
1. Goal oriented evaluation model.
Evaluasi dilakukan secara berkesinambungan dan kontiniu yang
bertujuan untuk menilai sejauhmana program telah tercapai.
2. Decision oriented evaluation model.
Evaluasi diorientasikan untuk memberikan masukan dan
pertimbangan dalam pengambilan keputusan.
3. Transactional evaluation model.
Evaluasi ditujukan untuk menggambarkan proses program dan
perspektif nilai dari tokoh-tokoh penting dalam masyarakat.
4. Evaluation research model.
Evaluasi dilakukan untuk menjelaskan pengaruh kependidikan
dan pertimbangan strategi pembelajaran.
5. Goal-free evaluation model.
Evaluasi tidak mengacu pada tujuan program, namun fokus
mengevaluasi pengaruh program baik yang diharapkan maupun yang
tidak diharapkan namun terjadi.
6. Adversary evaluation model.
Evaluasi yang bertujuan mengumpulkan kasus-kasus menonjol
untuk yang sama tentang program.

House (dalam Ananda, R., & Rafida, T, 2017:37) mengklasifikasikan


model evaluasi berdasarkan “asumsi filosofis yang mendasari model evaluasi
tersebut dikonstruk.” Satu model evaluasi dibedakan dengan model evaluasi
lainnya didasarkan atas asumsi dasarnya sehingga bisa dilihat bagaimana
model evaluasi secara logis serupa atau berbeda dengan model evaluasi
lainnya. Berdasarkan hasil kajiannya maka House (dalam dalam Ananda, R., &
Rafida, T, 2017:37-38) mengklasifikasikan 8 (delapan) model evaluasi yaitu:
1. System Analysis
Model evaluasi ini melihat suatu program dan menggunakan
pengukuran output secara kualitatif,
2. Behavior objectives.

5
Model evaluasi yang tujuan program dirumuskan ke dalam
bentuk prilaku spesifik yang terukur. Tujuan program dirumuskan dalam
bentuk prilaku spesfik kemudian diukur dengan tes acuan norma atau
tes tes acuan patokan.
3. Decision making.
Model evaluasi ini bertujuan sebagai dasar pembuatan
kebijakan. dalam pengambilan keputusan terhadap program yang
dievaluasi.
4. Goal free.
Model evaluasi ini tidak diorientasikan untuk mengevaluasi
tujuan program namun lebih menitikberatkan evaluasi dampak program
berdasar pandangan pihak pengguna program (klien-konsumen).
5. Art criticism.
Model evaluasi yang digali dari seni tradisional dan sastra,
dengan tujuan melakukan kritik terhadap program yang dikaji.
6. Accreditarion.
Model ini menggunakan standar eksternal yang diharapkan
untuk mengevaluasi suatu program oleh tim profesional dari luar dengan
menggunakan standar dari luar pula. Tim evaluator berperan sebagai
reviewer yang menilai baik-buruk berdasarkan standar dari luar
program.
7. Transaction.
Model yang memfokuskan evaluasi pada proses pembelajaran di
ruang kelas, sekolah atau program yang sedang berlangsung. Model ini
banyak menggunakan metode informal dalam melakukan investigasi.
8. Adversary.
Model evaluasi yang menekankan pada keragaman argumentasi
dari evaluator tentang program yang diteliti.

Sedangkan menurut Kifer (dalam dalam Ananda, R., & Rafida, T,


2017:37-38-39) mengklasifikasikan evaluasi program kepada 4 (empat)
kelompok model evaluasi yaitu:
1 Model evaluasi tradisional.
Model evaluasi ini merupakan model evaluasi pertama yang
disebut sebagai evaluasi yang mendasarkan atas konsistensi antara
tujuan, aktivitas dan hasil akhir. Model evaluasi ini dikenal dengan a
goal attainment model yakni tujuan umum dijabarkan secara
operasional dalam terminologi khusus dalam bentuk perilaku yang
terukur. Tokoh pengembang model evaluasi ini adalah Ralph Tyler pada
tahun 1949.
2 Model evaluasi studi kasus dan etnografi.
Model evaluasi studi kasus dan etnografi ini menggunakan
pendekatan kualitatif, tidak seperti model evaluasi tradisional
berorientasi pada kebijakan dengan menggunakan kuantitarif. Model
evaluasi ini menekankan pada pemahaman tentang evaluasi respon
seseorang atas berbagai hal yang diminad, seringkali disebut
stakeholder evaluasi dengan menggunakan metode antropologi untuk
mengumpulkan fakta tentang objek yang dievaluasi, Karakteristik
pendekatan Ini melibatkan observer participant yang menanyakan
kepada informan kund tentang apa yang terjadi, memberikan informasi
tentang program yang diimplementasikan. Model evaluasi Ini

6
berpandangan bahwa pengumpulan data didasarkan kepercayaan
terhadap persepsi dan pengalaman observer. Model evaluasi studi
kasus dan etnografi ini dikembangkan oleh Stake pada tahun 1977.
3 Model evaluasi goal free dan integratif.
Model evaluasi goal free (tanpa tujuan atau bebas tujuan) ini
mengkaji semua dampak atau hasil akhir secara integratif. Model
evaluasi goal free dan integratif ini dikembangkan oleh Scriven pada
tahun 1983.
4 Model evaluasi berorientasi kebijakan.
Model evaluasi ini mengkaji seluruh aspek yang terdapat objek
yang dikaji, dalam hal ini informasi dan data diperoleh dari berbagai
sumber untuk membuat kebijakan. Model evaluasi ini seringkali disebut
dengan istilah CIPP (context, input, process, product).

Selanjutnya klasifikasi model evaluasi program ditinjau dari maksud dan


tujuannya menurut Purwanto dan Suparman (1999:16-17) maka dikelompokkan
menjadi 6 (enam) kelompok yaitu:
1 Evaluasi berorientasi tujuan (goal-oriented evaluation).
Tujuan dari evaluasi ini pada tujuan untuk melakukan
pengukuran terhadap kernajuan tinggi hasil belajar yang dicapai peserta
setelah mengikuti program yang ditentukan. Tokoh evaluasi ini adalah
Bloom dan Provus.
2 Evaluasi berorientasi kepurusan (decision-oriented evaluation).
Tujuan dari evaluasi adalah menghasilkan rekomendasi bagi
pembuat keputusan tentang apa yang harus dilakukan oleh pengambil
keputusan sehubungan dengan program yang dievaluasi. Tokoh
evaluasi ini adalah Stufflebeam.
3 Evaluasi transaksional.
Model ini biasanya terkonsentrasi pada proses
pendidikan/program itu sendiri dan menggunakan berbagai metode
informal dalam investigasi dan menggunakan studi kasus sebagai
metode utama. Salah saru evaluasi transaksional ini adalah pendekatan
Tesponsif dalam evaluasi atau responsive approach to evaluarion
Stake', termasuk dalam evaluasi transaksional ini adalah contenance
model yang juga dikembangkan oleh Stake. Evaluasi kasus sebagai
suatu unik dan didasarkan kepada persepsi dan pengetahuan evaluator
dan pelaksanaannya cenderung menggunakan pendekatan naturalistik.
Tokoh dalam model ini adalah Stake dan Rippey
4 Penelitian evaluasi.
Evaluasi model ini berfokus pada upaya untuk memperoleh
penjelasan tentang pengaruh pendidikan dan pelatihan terhadap
perbaikan kinerja individu atau organisasi. Penjelasan tentang kajian
teori ini menjadi ciri khas evaluation research. Tokoh penelitian evaluasi
in) adalah Campbell dan Coliey
5 Evaluasi bebas tujuan (goal free evaluarion).
Evaluasi harus mengukur pengaruh program dan didasarkan
pada kriteria program. Secara esensial evaluasi diartikan sebagai
pengumpulan data secara umum tentang pengaruh aktual. Evaluasi
juga menilai pentingnya pengaruh tersebur dalam mencapai kebutuhan
yang ditentukan. Ada empat alasan untuk melakukan evaluasi bebas
tujuan yaitu:

7
a. Untuk menghindari resiko dari keterbatasan tujuan program dan
menghindari hilangnya resiko dari keterbatasan tujuan program
b. Untuk mengubah konotasi negatif dari darmpak yang tidak
dikehendaki.
c. Untuk mengurangi bias pemikiran dalam evaluasi.
d. Menjaga objektivitas dan independensi evaluator. Tokoh dalam
model evaluasi ini adalah Sriven.
6 Evaluasi adversary (adversary models of evaluaaon).
Evaluasi harus Menampilkan kasus terbaik bagi setiap
permasalahan yang timbul dalam program. Oleh karena itu evaluasi ini
menggunakan berbagai jenis sumber data, dan berusaha menggali
penilaian berbagai pihak tentang segi posirif dan negative dari program.
Tokoh model evaluasi ini adalah Levine dan Owens.

Berdasarkan pendekatan dalam melakukan evaluasi, maka model


evaluasi program diklasifikasikan oleh Brinkerhoff et-al kepada 9 (sembilan)
kelompok sebagaimana dikutip Purwanto dan Suparman (1999:17-18) sebagai
berikut:
a. Pendekatan kesepadanan dan ketaatan atau (congruency and
compliance). Dalam pendekatan ini kemajuan program dan aktivitas
dicatat dan dibandingkan dengan rencana (desain, maksud/tujuan),
beberapa standar eksternal atau kriteria. Tujuannya antara lain
untuk membantu manajemen memelihara jalannya program agar
sesuai dengan aruran, mendokumentasi bahwa rencana dan
proposal telah memadai, menGdemontrasikan dan memenuhi
ketenruan atau aturan. Model yang relevan dengan pendekatan ini
antara lain: model evaluasi kesenjangan, program evaluarion and
review technigue (PERT) dan management by objective (MBO).
b. Pendekatan pembuatan keputusan (decision making). Dalam
pendekatan ini informasi dikumpulkan dengan sebaik-baiknya dan
selengkap mungkin agar dapat diolah dan dianalisis sehingga dapat
dijadikan dasar bagi kegiatan pembuatan keputusan.
c. Pendekatan responsif (responsive). Menurut pendekatan ini evaluasi
harus mampu menjawab permasalahan yang muncul atau yang
diprediksi akan muncul dalam kegiatan.
d. Pendekatan objectives based. Termasuk dalam kelompok ini adalah
evaluasi yang dikembangkan oleh Popham's yaitu instructional
objectives approach.
e. Pendekatan naturalisric. Jenis-jenis evaluasi yang termasuk paling
cocok dengan pendekatan ini adalah evaluasi transaksional,
evaluasi bebas tujuan dan adversary evaluarion.
f. Pendekatan expert judgement. Berdasarkan pendekatan ini evaluasi
harus dilaksanakan oleh evaluator yang benar-benar memiliki
kompetensi dan kemampuan dibidangnya.
g. Pendekatan eksperimental. Data tentang hasil secara hati-hati dicari
dan diukur di bawah kondisi perlakuan yang terkontrol, sesudah
menggunakan kelompok kontrol atau metode statistik untuk
mengukur dan mengontrol kesalahan. Tujuan adalah untuk
membandingkan pengaruh suaru pendekatan dengan yang lain,
mendemontrasikan hubungan sebab-akibat, memberikan bukti
bahwa program mempengaruhi hasil, mengidentifikasi keterkaitan

8
dan hubungan di antara variabel variabel kunci dalam program, dan
menwalidasi perolehan dari program. Model yang relevan adalah
Campbell dan Stanley.
h. Pendekatan cos analysis. Pembiayaan program ditetapkan dan
dianalisis untuk menentukan jumlah yang dialokasikan untuk
kegiatan apa dan untuk tujuan mana? Tujuan, keterkaitan antara
peningkatan hasil dengan peningkatan biaya, memfasilitasi upaya-
upaya replikasi. Model ini adalah cost effectiveness analysis dari
Levin'.
i. Pendekatan pengembangan organisasi (organisational
development). Informasi tentang staf dan masalah-masalah proyek,
harapan-harapan dan kemajuan secara regular dikumpulkan,
kemudian dikembalikan kepada staf. Tujuan evaluasi dengan
pendekatan ini adalah untuk membantu meningkatkan pengetahuan
dan kepastian tentang apa yang terjadi bagaimana kejadiannya dan
mengapa, membantu staf agar lebih efektif, produkrif dan puas,
mengidentifikasi kebutuhan pengembangan staf dan pengembangan
organisasi, memfasilitasi pertumbuhan staf dan proyek. Model
evaluasi ini adalah discrepancy evaluation dari Provus, pelatihan
evaluation dari Brinkerhoff dan action research dari Shumsky.

C. Model Evaluasi Program Bimbingan dan Konseling


Pelaksanaan kegiatan evaluasi program bimbingan dan konseling
memerlukan suatu strategi atau metode-metode yang efektif dan efisien. Tidak
jarang suatu perencanaan evaluasi itu baik, tetapi hasilnya tidak sesuai dengan
tujuan semula karena semata-mata terdapat kesalahan dalam pelaksanaannya.
Sehubungan dengan metode pelaksanaan evaluasi program bimbingan dan
konseling, menurut Gibson and Mitchell (dalam Kamaruzzaman 2016:179-180)
mengemukakan tiga macam metode evaluasi seperti berikut:
1. Before and After Method: metode ini digunakan untuk mengidentifikasi
kemajuan yang telah dicapai melalui suatu kegiatan tertentu, pada
waktu tertentu. Caranya adalah membandingkan kemampuan sebelum
dan setelah kegiataan dilakukan, dalam pelaksanaannya sering
menggunakan pre-tes dan post-tes.
2. Comparison Method: yaitu metode yang dilakukan dengan cara
membandingkan kelompok yang diberikan layanan bimbingan dengan
yang tidak diberikan layanan bimbingan. Dengan kata lain, teknik ini
dilakukan dengan cara membuat dua kondisi yang berbeda tetapi
mempunyai tujuan yang sama.
3. The How do We Stand Method: yaitu metode yang digunakan untuk
mengidentifikasi hasil-hasil program yang diharapkan sesuai dengan
karakteristik dan kriteria keberhasilannya. Metode ini biasanya
digunakan untuk mengevaluasi rumusan program, kondisi-kondisi atau
komponen-komponen yang mendukung, pelaksanaanya (interaksi
anatara komponen-komponen itu, apakah sesuai dengan yang
seharusnya atau tidak).

9
1. Model Evaluasi Goal Attainment
Menurut Tyler (dalam Sri 2017:273) “pengertian evaluasi perlu
ditekankan pada pemerolehan gambaran mengenai efektivitas sistem
pendidikan yang mempengaruhi pencapaian tujuan pendidikan/
pembelajaran”. Penekanan evaluasi pada aspek hasil ini didasarkan
pada pemahaman bahwa tujuan pendidikan/ pembelajaran adalah
adanya perubahan tingkah laku yang diinginkan pada peserta didik.
Untuk itu, maka evaluasi diarahkan untuk memeriksa sejauh mana
perubahan-perubahan tingkah laku yang diinginkan itu telah terjadi pada
peserta didik. Dengan diperolehnya informasi mengenai sejauh mana
tujuan-tujuan dicapai, dapat diambil keputusan tentang tindakan yang
perlu diambil sehubungan dengan perbaikan sistem pendidikan dan
peserta didik yang bersangkutan.
Evaluasi harus dilaksanakan secara berkesinambungan dan
terus menerus sesuai dengan tujuan pembelajaran yang akan dicapai
secara berkelanjutan. Perubahan tingkah laku sebagai hasil tidak hanya
terbatas pada segi pengetahuan (kognitif) saja, melainkan juga
mencakup dimensi keterampilan dan nilai atau sikap. Bervariasinya
tujuan pendidikan tersebut memberikan implikasi pada penggunaan alat
ukur/ instrumen evaluasi. Evaluasi tidak lagi hanya menggunakan tes
tertulis, akan tetapi juga tes perbuatan, lembar pengamatan, serta
inventori.

2. Model Evaluasi Formative dan Summative


Model evaluasi formative dan summative menurut Michael
Scriven (dalam Sri 2017: 276) mengemukakan bahwa:
Mendefinisikan evaluasi sebagai proses mengumpulkan dan
mengkombinasikan data performance dengan seperangkat tujuan
yang telah ditetapkan. Definisi Scriven ini, tidak hanya memberikan
tekanan pada pencapaian hasil, akan tetapi juga memberikan
perhatian pada aspek proses
a. Evaluasi Formatif
Menurut Sriven (dalam Sri 2017:277 ) “mendefinisikan
evaluasi formatif sebagai suatu evaluasi yang biasanya dilakukan
ketika suatu produk atau program tertentu sedang dikembangkan

10
dan biasanya dilakukan lebih dari sekali dengan tujuan untuk
melakukan perbaikan”. Dalam konteks bimbingan dan konseling,
evaluasi formatif dapat didefinisikan sebagai suatu proses
pengumpulan data untuk menentukan keberhasilan atau menilai
tentang kelebihan dan kelemahan suatu program ketika program
tersebut masih dalam tahap pengembangan (proses kegiatan
sedang berjalan), kekuatan dan kelemahan yang terindentifikasi
melalui evaluasi forrmatif kemudian digunakan sebagai bahan acuan
untuk melakukan perbaikan (revisi).
Tujuan evaluasi formatif adalah untuk merevisi program
layanan yang sedang dikembangkan dengan cara mengumpulkan
data dari berbagai sumber dengan menggunakan berbagai metode
dan alat pengumpul data tertentu. Evaluasi formatif dapat
menanggapi program dalam konteks yang dinamis, dan berusaha
memperbaiki keadaan kerumitan yang merupakan bagian yang tidak
dapat dihindarkan dari berbagai bentuk program dalam lingkungan
kebijakan yang berubah-ubah. Kesesuaian antara perencanaan dan
pelaksanaan program baik pada konteks organisasi, personel,
struktur dan prosedur menjadi fokus evaluasi ini.
Beberapa ketidakcocokan antara petunjuk dan pelaksanaan
dapat dijadikan dasar untuk menganalisis kekuatan dan kelemahan,
menemukan halangan, rintangan serta peluang yang ada untuk
menimbulkan pemahaman tentang bagaimana program dapat
diimplementasikan secara lebih baik. Evaluasi dilakukan dengan
mengumpulkan dan menganalisis data dari seluruh pelaksanaan
program dan timbal balik yang tepat dari evaluasi. Hal ini
dimaksudkan agar terdapat informasi yang akurat bagi pelaku
program dalam rangka pengambilan keputusan dan tindak lanjut.
Evaluasi formatif terdiri dari beragam bentuk. Menurut Tessmer
(dalam Sri 2017: 278) evaluasi formatif dapat dilakukan sebagai
berikut:
1) Review ahli (expert review), yakni evaluasi dimana ahli
mengkaji ulang program layanan dengan atau tanpa
kehadiran evaluator. Ahli ini bisa ahli materi, ahli teknis,
pearncang atau instruktur.
2) Evaluasi orang per orang (one to one evaluation), yakni
wawancara yang dilakukan secara perorangan oleh

11
evaluator terhadap beberapa siswa dimana secara satu per
satu siswa diminta untuk memberikan komentarnya.
3) Evaluasi kelompok kecil (small group), yakni evaluasi dimana
evaluator mengujicobakan suatu program layanan pada
suatu kelompok siswa dan mencatat performance dan
komentar-komentarnya.
4) Uji lapangan (field test), yakni evaluasi dimana evaluator
mengobservasi program layanan yang diujicobakan kepada
sekelompok siswa tertentu dalam suatu situasi nyata.

b. Evaluasi Sumatif
Evaluasi sumatif dilaksanakan untuk menilai manfaat suatu
program sehingga dari hasil evaluasi akan dapat ditentukan suatu
program tertentu akan diteruskan atau dihentikan. Pada evaluasi
sumatif difokuskan pada variabelvariabel yang dianggap penting
bagi sponsor program maupun pihak pembuat keputusan. Waktu
pelaksanaan evaluasi sumatif terletak pada akhir implementasi
program.

3. Model Evaluasi Responsif


Menurut Stake (dalam Sri 2017: 279) “evaluasi merupakan
usaha mendeskripsikan program-program dan memberikan judgment
kepadanya”. Evaluasi responsif adalah sebuah pendekatan untuk
dievaluasi pendidikan dan program lainnya. Dibandingkan dengan
pendekatan lainnya, evaluasi responsif lebih berorientasi pada aktivitas,
keunikan dan keragaman sosial dari program. Keistimewaan utama dari
pendekatan ini adalah kemampuan reaksi terhadap isu kunci atau
masalah yang dikenal masyarakat di lapangan. Tujuan evaluasi
dirancang secara perlahan dan terus berkembang selama proses
pengumpulan data berlangsung.

4. Model Judgment
Menurut Stake (dalam Sri 2017:279) “evaluasi ialah usaha
mendeskripsikan dan memberikan judgment pada program-program”.
Model evaluasi ini bukan hanya menekankan pada keputusan yang
dibuat sepanjang evaluasi, tetapi juga menambahkan dimensi lain yaitu
deskripsi. Model ini berpandangan bahwa kegiatan penilaian tidak
hanya berakhir pada suatu deskripsi tentang keadaan, peristiwa,
kejadian atau objek melainkan harus sampai pada judgment mengenai

12
baik-buruknya, efektif tidaknya proses dan akhinya pada program. Stake
mengatakan bahwa evaluasi tidak sempurna jika tidak memberikan
judgment. Dalam memberikan judgment dapat digunakan standar atau
kriteria absolut (mutlak) atau relatif. Stake menawarkan tiga fase dalam
evaluasi yakni:
a. Antecedents dimaksudkan untuk menilai sumber/modal/input,
seperti tenaga keuangan, karakteristik siswa dan tujuan yang
ingin dicapai
b. Tahap transaksi dimaksudkan untuk menilai rencana kegiatan
dan proses pelaksanaannya, termasuk ke dalamnya urutan
kegiatan, penjadwalan waktu, bentuk interaksi dan seterusnya.
c. Outcomes dimaksudkan untuk menilai efek dari program setelah
selesai dilaksanakan

5. Model Evaluasi CIPP


Model context input process product (CIPP) merupakan hasil
kerja para tim peneliti, yang bergabung dalam suatu organisasi komite
Phi Delta Kappa USA, yang ketika itu diketuai oleh Daniel StuffleBeam.
Stufflebeam merupakan ahli evaluasi yang mengusulkan evaluasi
melalui pendekatan yang berorientasi kepada pengambilan keputusan
(a decision oriented evaluation approach structured). Menurut
Sufflebeam (dalam Sri 2017:281) berpendapat bahwa “evaluasi
seharusnya memiliki tujuan untuk memperbaiki (to improve) bukan
untuk membuktikan (to prove). Dengan demikian evaluasi seharusnya
dapat membuat suatu perbaikan, meningkatkan akuntabilitas, serta
pemahaman yang lebih dalam mengenai fenomena”.
Pada akhirnya, ia melihat terdapat empat komponen evaluasi
yang juga merupakan tahapan dalam evaluasi. Keempat komponen
tersebut adalah context, input, process, serta product
a. Evaluasi Konteks (context evaluation), Evaluasi konteks merupakan
penggambaran dan spefikasi tentang lingkungan program,
kebutuhan yang belum terpenuhi, karakteristik populasi dan sampel
dari individu yang dilayani dan tujuan program. Evaluasi konteks
membantu merencanakan keputusan, menentukan kebutuhan yang
akan dicapai oleh program dan merumuskan tujuan program.
Evaluasi konteks menurut Suharsimi (dalam Sri 2017: 282)
dilakukan untuk menjawab pertanyaan:
a) Kebutuhan apa yang belum dipenuhi oleh kegiatan program

13
b) Tujuan pengembangan manakah yang berhubungan dengan
pemenuhan kebutuhan
c) Tujuan manakah yang paling mudah dicapai.
b. Evaluasi Input (input evaluation), Evaluasi input membantu
mengatur keputusan, menentukan sumbersumber yang ada,
alternatif apa yang diambil, apa rencana dan strategi untuk
mencapai tujuan, bagaimana prosedur kerja untuk mencapainya.
Komponen evaluasi input meliputi:
a) sumber daya manusia,
b) sarana dan peralatan pendukung
c) dana/ anggaran
d) berbagai prosedur dan aturan yang diperlukan.

Input dalam bimbingan dan konseling dapat berupa


jumlah sumber daya manusia dalam divisi bimbingan dan
konseling, dukungan keuangan, ruangan, peralatan (komputer,
software serta media bimbingan). Evaluasi ini dapat dilakukan
dengan menggunakan metode menginventarisasi dan
menganalisis sumber-sumber yang tersedia, baik guru
bimbingan dan konseling, ataupun material, strategi solusi,
relevansi desain prosedur, kepraktisan dan biaya, kemudian
dibandingkan dengan kriteria yang ditetapkan berdasarkan
telaah literatur atau dengan mengunjungi program yang telah
berhasil atau berdasarkan ahli. Evaluasi Proses (process
evaluation) Evaluasi proses merupakan evaluasi yang dilakukan
untuk melihat apakah pelaksanaan program sesuai dengan
strategi yang telah direncanakan. Evaluasi proses bertujuan
untuk mengidentfikasikan atau memprediksi dalam proses
pelaksanaan, seperti cacat dalam desain prosedur atau
implementasinya. Evaluasi proses juga bertujuan untuk
menyediakan informasi sebagai dasar memperbaiki program,
serta untuk mencatat, dan menilai prosedur kegiatan dan
peristiwa. Evalausi proses ini dapat dilakukan dengan memonitor
kegiatan, berinteraksi terus-menerus, serta dengan
mengobservasi kegiatan dan staf.

14
c. Evaluasi Produk (product evaluation), Evaluasi produk adalah
evaluasi yang berujuan untuk mengukur, menginterpretasikan,
dan menilai pencapaian program. Feedback atas pencapaian/
prestasi ini penting selama pelaksanaan program dan sebagai
sebuah kesimpulan. Evaluasi produk juga bertujuan
mengumpulkan deskripsi dan penilaian terhadap luaran
(outcome) dan menghubungkan itu semua dengan objektif,
konteks, input, dan informasi proses, serta untuk
menginterprestasikan kelayakan dan keberhargaan program.
Apabila ditinjau berdasarkan tujuan, model CIPP di atas dapat
dikelompokkan menjadi dua bagian, meliputi tujuan (intention)
dan yang telah terjadi (actual). Keempat komponen evaluasi
CIPP bukanlah komponen yang berdiri sendiri-sendiri akan tetapi
komponen yang saling berinteraksi secara dinamis.

6. Model Evaluasi Program Jembatan Akuntabilitas


Salah satu model evaluasi program layanan konseling adalah
model jembatan akuntabilitas. Menurut Faricha Azizah, Herda F. B. G.,
Robbi S. U. (2017:184) mengemukakan bahwa “model evaluasi
program jembatan akuntabilitas dikembangkan oleh Astramovich dan
Coker, model evaluasi program jembatan akuntabilitas ini digunakan di
Las Vegas.” Model jembatan akuntabilitas merupakan kerangka kerja
yang dikembangkan dapat membantu memfasilitasi keduanya yaitu
melakukan evaluasi program dan mengkomunikasikan hasil.
Model jembatan akuntabilitas dirancang untuk membantu
konselor sekolah dalam perencanaan, pelaksanaan, dan penilian
terhadap efektivitas dan dampak layanan mereka. Menurut Dahir &
Stone (dalam Faricha Azizah, Herda F. B. G., Robbi S. U., 2017:184)
mengemukakan bahwa “konselor sekolah profesional sebagai bagian
dari tim pendidik di sekolah memiliki kinerja yang menunjang
pencapaian tujuan yang dicanangkan oleh sekolah.” Sesuai dengan
Astramovich, Coker & Hoskins (dalam Faricha Azizah, Herda F. B. G.,
Robbi S. U., 2017:184) menjelaskan bahwa: “kinerja konselor sekolah
tersebut tertuang dalam program layanan konseling dan program
tersebut terbukti keefektifannya dalam pencapaian tujuan sekolah dan

15
peningkatan prestasi belajar siswa.” Sedangkan menurut Bardhoshi &
Duncan (dalam Faricha Azizah, Herda F. B. G., Robbi S. U., 2017:184)
“untuk menunjukkan efektitifitas program layanan konseling di sekolah
yang bisa diukur (measurable), konselor sekolah sekolah yang
profesional melaporkan bagaimana siswa memperoleh keuntungan
sebagai hasil dari program layanan konseling di sekolah.” Konselor
sekolah yang profesional menggunakan data untuk menunjukkan
pengaruh program layanan konseling dalam meningkatkan prestasi
siswa.
Konselor sekolah profesional melakukan audit program
konseling di sekolah sebagai petunjuk pelaksanaan tindakan di masa
depan. Menurut Astramovich & Coker (dalam Faricha Azizah, Herda F.
B. G., Robbi S. U., 2017:185) mengemukakan bahwa “pada model
jembatan akuntabilitas ini, evaluasi konseling dibagi dalam dua siklus
kejadian. Siklus pertama adalah siklus evaluasi program konseling dan
siklus kedua adalah siklus evaluasi konteks konseling yang mewakili
perbaikan terus-menerus terhadap layanan berdasarkan hasil.” Siklus
evaluasi program konseling berfokus pada persediaan dan hasil layanan
konseling, sedangkan siklus evaluasi konteks konseling pengujian
dampak layanan konseling oleh stakeholder dan mengunakan umpan
baliknya, bersama dengan hasil dari need assesment, untuk
membangun dan memperbaiki tujuan program konseling. Kedua siklus
dihubungkan oleh sebuah jembatan akuntabilitas, dimana hasil dari
praktik konseling dikomunikasikan kepada stakeholder dalam konteks
sistem pelayanan yang lebih besar. Memberikan pertanggung jawaban
kepada stakeholder merupakan bagian integral dari model ini.

7. Model Evaluasi Gysbers dan Hendarson


Model evaluasi sangat banyak, alah satu yang sering digunakan
dalam Bimbingan dan Konseling adalah model evaluasi program Gybers
dan Handerson. Sesuai dengan Sudarho & Asni (2017:55) menjelaskan
bahwa “model evaluasi Gysbers menekankan pada tiga aspek evaluasi
yaitu evaluasi personil, evaluasi proses dan evaluasi hasil.”
Berdasarkan penjelasan Gysbers (dalam Sudarho & Asni, 2017:55-56)
mengenai evaluasi diketahui bahwa:

16
Evaluasi model Gysbers dibagi berdasarkan tujuan. Evaluasi
personil tujuannya untuk mengevaluasi konselor sekolah. Evaluasi
Ini apabila diamati lebih jauh merupakan dapat dikatakan evaluasi
pada aspek Input. Evaluasi program yang dilakukan untuk melihat
kesesuaian program dengan standar program yang ditetapkan.
Evaluasi program disebut juga evaluasi proses. Evaluasi hasil berisi
mengenai dampak dari kegiatan dan layanan program yang
diberikan kepada siswa, sekolah, dan masyarakat. Evaluasi ini
dengan kata lain merupakan evaluasi (dampak).

a) Macam Evaluasi Gysbers


Penjelasan Gysber dan Henderson juga memberikan arti bahwa ntuk
mengetahui hasil layanan BK yang telah diberikan evaluasi yang
dilakukan harus menyeluruh. Menurut Sudarho & Asni (2017:56)
mengemukakan bahwa “formula yang diberikan yaitu evaluasi personil +
evaluasi program = evaluasi hasil.” Model Gysbers memandang bahwa
evaluasi ini merupakan satu kesatuan yang utuh untuk mengevaluasi
seluruh program.
1) Evaluasi Personil
Evaluasi ini dilakukan untuk menunjukan unjuk kerja
konselor dalam melaksankan program kerja yang telah dibuat.
Menurut Sudarho & Asni (2017:56) mengemukakan bahwa
“evaluasi personil merupakan cara untuk memberikan penilaian
dan pengukuran pada pelaksana program.” Ketika diketahui
berdasarakan evaluasi ada unjuk kerja yang masih kurang dari
konselor maka dapat diperbaiki. Perbaikan Ini diharapakan
berdampak pada pelayanannya dan program yang diberikan
pada stakeholder.
Menurut Gybers ( dalam Sudarho & Asni, 2017:56-57)
menjelaskan bahwa:
Ada tiga hal yang menjadi kriteria dalam evaluasi
personil. Evaluasi diri, evaluasi adminsitratif dan evaluasi
tujuan. Evaluasi diri dan adminsitratif fokus pada
kompetensi konselor dalam melaksanakan profesinya dan
menunjukan data yang dapat menunjang keputusan
profesionalnya. Evaluasi tujuan berfokus pada program
pengembangan diri konselor. Evaluasi ini dapat dilakukan
tiap tahun. Agar evaluasi personil berjalan dengan sesuai
maka konselor dan evaluator misalnya kordinator BK atau
kepala sekolah dilatih untuk memahami tugas-tugas
konselor sekolah dan sikap profesional juga dengan
menggunakan metode-metode yang sesuai untuk

17
mengumpulkan data yang dapat mendukung evaluasi.

Sedangkan menurut Sudarho & Asni (2017:57) proses


evaluasi diri dan pekerjaan terdiri atas enam langkah
“pengumpulan data, analisis data, penyelesaian penulisan
evaluasi formulir draf evaluasi, konferensi evaluasi, analisis
setalah evaluasi dan penyelesaian formulir evaluasi.” Pada
proses ini, konselor sekolah dan evaluator menyelesaikan 3
langkah pertama secara terpisah. Pada konferensi evaluasi,
langkah keempatnya, mereka mendiskusikan evaluasi mereka
terhadap hasil kerja konselor. Evaluator kemudian
mempengaruhi langkah kelima dan keenam, memerlukan tanda
tangan penting, dan mengantarkan salinan dari formulir tersebut
seperti yang telah ditetapkan. Evaluasi ini meninjau rencana
pengembangan kompetensi profesional guru BK. Menurut
Sudarho & Asni (2017:57-58) mengemukakan bahwa :
Tujuan evaluasi ini menilai sebarapa jauh guru BK ikut serta
dalam program pengembangan yang diadakan dikampus
atau wilayahnya dan mengukur seberapa jauh adanaya
peningkatan skill profesional yang mereka dapatkan. Penilai
evaluasi ini dapat dilakukan oleh staff guru BK yang lain,
kordinator guru 8K, dan kepala sekolah.

Formulir yang digunakan dalam proses harus


mendukung kesesuaian dan evaluasi pekerjaan konselor
sekolah yang adil dan relevan pada harapan yang telah
diucapkan untuk pekerjaan mereka didalam hubungannya
dengan penentuan program bimbingan sebaik dan sesuai
dengan deskripsi tugas konselor di tiap sekolah.

2) Evaluasi Program
Kemampuan yang dimiliki konselor sangat menunjang
dalam merancang dan melaksanakan program. Program yang
ada meski telah dirancang oleh konselor yang mendapatkan
penilaian dengan kategori baik melalui evaluasi personil tetap
diperlukan evaluasi. Program dalam BK sendiri sekarang telah
memiliki ketentuan dan standar. Sesuai dengan ABKIN (dalam

18
Sudarho & Asni, 2017:58) menjelaskan bahwa”di Indonesia
ketentuan program dapat dilihat dalam rambu-rambu
penyelenggaran BK.” Kriteria yang dapat digunakan dalam
mengukur program BK yaitu kriteria eksternal dan internal. the
ASCA (dalam Sudarho & Asni, 2017:58) “merekomendasikan
evaluasi program diadakan ketika program tersebut sudah
didesain (pertama kali atau baru saja) dan kemudian sekali
setahun sesudah itu.” Proses belajar mandiri (self study review)
memberikan guru BK kesempatan untuk menuliskan program BK
yang aktual yang dapat implementasikan wilayah tersebut.
Menurut Sudarho & Asni (2017:58) mengemukakan bahwa “hasil
dari program evaluasi berisi pernyataan kemajuan yang telah
dicapai atau dapat memberi informasi mengenai kekurangan
didalam pelaksaan program.” Guru BK harus bekerjasama
dengan staf sekolah yang ada dengan alasan membangun
tujuan untuk menjamin bahwa program bimbingan dan konseling
tertulis di distrik (sekolah) menjadi sebenarnya program distrik
yang dilaksanakan sepenuhnya
3) Evaluasi Hasil
Salah satu model evaluasi hasil pada layanan dasar yang
sesuai untuk mengukur kriteria keberhasilan layanan dasar pada
aspek hasil ABKIN (dalam Sudarho & Asni, 2017:59) adalah
“model evaluasi hasil Gysbers.” Evaluasi model Gysbers
memiliki kriteria yang sama. Kriteria evaluasi hasil model
Gysbers adalah mengukur kontribusi BK terhadap pada
kesuksesan siswa khususnya prestasi akademiknya dan
menunjukan apa yang dilakukan serta bagaimana caranya.
Pengukuran kontribusi layanan BK pada pencapaian
kesuksesan siswa di Sekolah tentu bukan hal mudah. Kesulitan
pengukuran kontribusi terjadi karena program BK merupakan
bagian dari keseluruhan program di Sekolah artinya terdapat
faktor lain yang mempengaruhi kesuksesan siswa. Menurut
Sudarho & Asni (2017:60) mengemukakan bahwa “model
evaluasi hasil Gysber terdiri dari sejumlah tahap dan tindakan
yang diambil pada tiap tahap disesuaikan dengan kondisi

19
program BK di Sekolah.” Prosedur pada evaluasi hasil model
Gysbers yaitu:
a) Mengindentifikasi Pencapaian Siswa
Pencapaian siswa merupakan target utama dari sebuah
tujuan program. Evaluasi hasil pada program BK dapat
dimulai dari mengidentifikasi misi sekolah dan program
peningkatan pencapaian sekolah. Sesuai dengan
Sudarho & Asni (2017:60) menjelaskan bahwa “cara
mengidentifikasi dampak dari sebuah program BK dapat
dilihat khususnya melalui program peningkatan
pencapaian sekolah.” Dokumen tersebut berfokus pada
pencapaian prestasi akademik siswa, penciptaan kondisi
lingkungan yang mendukung perkembangan siswa, dan
memastikan bahwa siswa memiliki persiapan kerja yang
baik.
b) Mempertimbangkan Penggunaan Data
Menurut Gysbers dan Henderson (dalam Sudarho &
Asni, 2017:61) mengemukakan bahwa “ada empat jenis
data yang dapat di pertimbangkan dalam rencana
evaluasi hasil. Student Achievment, progress and
behavior data, Process data, preception data, dan result
data.”
c) Student Achievment, Progress and Behavior Data (Data
prestasi akademik, peningaktan akademik, dan data
prilaku) Data yang termasuk pada data ini yaitu standar
skor tes, rata-rata skor tes, jumlah kehadiran, dan jumlah
pekerjaan rumah (PR) yang diselesaikan. Data tersebut
apabila sudah dikumpulkan di sekolah dapat digunakan
untuk hasil dalam menetapkan efektivitas program
bimbingan dan konseling
d) Process Data (Data Proses)
Data Proses digunakan didalam program evaluasi (aspek
proses) dan juga pada evaluasi hasil. Proses data berisi
mengenai bentuk kegiatan dan layanan dilaksanakan
serta subjek program BK. Data proses memberikan bukti

20
bahwa layanan telah benar-benar diselenggarakan.
Menurut ASCA (dalam Sudarho & Asni, 2017:61-62)
memberikan contoh data yang dihasilkan dari evaluasi
hasil program pada aspek data proses sebagai berikut:
(a) Delapan siswa kelas empat berpartisipasi dalam
belajar kelompok yang bertemu enam kali selama
45 menit.
(b) 450 kesembilan siswa kelas mengkuti layanan
klasikal
(c) 38 orang tua menghadiri pertemuan orientasi
sekolah menengah

e) Preception Data (Data Persepsi)


Data persepsi berisi mengenai hasil pemikiran siswa,
orang tua, administrator, dan lainnya, tentang layanan
yang telah diselenggarakan. Menurut ASCA (dalam
Sudarho & Asni, 2017:62-63) mengemukakan bahwa
“data persepsi merupakan identifikasi mengenai yang
konseli pikirkan, tahu, percaya atau yang konseli merasa
dapat melakukannya. Data ini dibagi menjadi tiga bagian
yaitu pencapaian kompetensi, perubahan sikap dan
keyakinan, dan peningkatan pengetahuan.”
(1) Contoh Data Pencapaian Kompetensi
(a) 100 persen siswa mengerti kebutuhan yang
harus dipenuhi Untuk lulus dan dapat
melengkapi perencanaan setelah mereka
selesai sekolah
(b) 100 persen anak dikelas 9 dapat mengetahui
tujuan karirnya
(2) Contoh Perubahan Sikap dan Keyakinan
(a) 93 persen dari keempat siswa kelas percaya
berkelahi bukanlah metode yang tepat untuk
memecahkan masalah
(b) 69 persen dari seluruh siswa melaporkan
merasa aman di sekolah

21
(c) 90 persen dari orang tua melaporkan manfaat
dari presentasi tentang persyaratan masuk
perguruan tinggi
(3) Contoh Peningkatan Pengetahuan
(a) 89 persen dari anak-anak kelas sembilan
menunjukkan adanya peningkatan
pengetahuan yang dibutuhakan mereka dalam
promosi
(b) 92 persen dari semua siswa dapat
mengidentifikasi tandatanda kekerasan yang
mungkin terjadi pada diri mereka

f) Result Data (Data Hasil)


Data hasil didalamnya terdapat mengenai
pengaruh dari pelaksanaan layanan guru BK kepada
siswa. Data hasil berisi peningkatan skor tes yang
dikaitkan pada absensi, kedisiplinan (membolos),
perolehan nilai rata-rata, dan skor tes prestasi.
Perubahan tersebut dapat dianggap sebagai hasil
partisipasi mereka pada keikutsertaannya dalam program
BK.
Menurut ASCA (dalam Sudarho & Asni, 2017:63),
menambahakan bahwa “data hasil adalah data yang
mampu menunjukan dampak dari intervensi.” Data hasil
melaporkan sejauh mana program telah memiliki dampak
yang positif pada kemampuan siswa untuk meningkatkan
pengetahuan konseli, sikap dan keterampilan yang
mempengaruhi perbaikan dalam prestasi, kehadiran dan
tingkah laku. Data tersebut dikumpukan melalui berbagai
macam sumber tingkat promosi, kehadiran, pembolosan,
standar kelulusan dan tingkat kelulusan siswa.
(1) Contoh Data Dampak Pencapaian Prestasi
(a) Terdapat peningkatan dari kelulusan dari 79
menjadi 86 persen

22
(b) Terdapat kenaikan pengetahuan dari 2.0 menjadi
3.4 sebelum dan sesudah layanan klasikan
dikelas sembilan
(c) Terdapat kenaikan dikelas empat pada
pencapaian skor matematika dari 69 menjadi 73
(2) Contoh Data Dampak Kehadiran
(a) Angka kehadiran dikelas naik dari 88 menjadi 91
persen
(b) Teridentifikasi jumlah hari absen siswa dari 15
hari menurun menjadi 8 hari sampai akhir periode
(3) Contoh Data Dampak Prilaku
(a) Pelanggaran disiplin menurun
(b) Terdapat angka penurunan 15 persen berkaitan
dengan disiplin

8. Model Evaluasi Jembatan (Brige)


Evaluasi merupakan sebuah cara untuk mengetahui efektivitas
layanan yang akan ditunjukan kepada stakeholder. Menurut
Astramovich and Coker (dalam Sudarho & Asni, 2017:83) mereka
mengatakan bahwa “hasil data dan temuan-temuan evaluasi merupakan
sarana untuk memberikan informasi tentang efektivitas program kepada
para stakeholder.” Menurut Sudarho & Asni (2017:83) mengemukakan
bahwa “model Bridge memiiliki dua siklus yaitu pada pengembangan
program dan evaluasi pada kontek (kondisi) serta satu jembatan
komunikasi (brige).” Pada siklus evaluasi pengembangan program
konseling akan perencanaan dan penerapan berbagai strategi,
intervensi dan program, pengawasan dan penyelarasan program-
program tersebut dan assessment hasil yang sebelumnya telah
teridentifikasi. Pada kegiatan evaluasi dalam siklus kontek (kondisi)
akan dihasilkan data hasil, saran dan respon pihak-pihak terkait atau
para stakeholder atau pihak yang berkepentingan dan kebutuhan siswa
yang mendapatkan layanan BK. Kedua siklus tersebut berjalan selaras
dan berkelanjutan terus menerus melalui penyampaian hasil evaluasi
kepada stakeholder untuk menghasilkan sejumlah masukan dari mereka
untuk menyusun program dengan melalui jembatan komunikasi (brige).

23
1. Tahap Evaluasi Model Jembatan (Brige Model)
a. Tahap Evaluasi Program BK
Menurut Sudarho & Asni (2017:84-85) pada tahap ini
terdapat empat tahapan yang harus dilalui. Tahapan tersebut
dijelaskan sebagai berikut:
1) Tahap Perencanaan Program
Pada tahap ini informasi dikumpulkan melalui proses
need assessment dan identifikasi tujuan layanan. Setelah itu
layanan dan program konseling direncanakan dan
dikembangkan. Pada tahap ini, konselor sekolah menentukan
berbagai intervensi dan program yang akan diterapkan serta
sumber daya yang dibutuhkan untuk menjalankan intervensi dan
program tersebut. Pada tahap ini juga, konselor sekolah juga
perlu membuat perencanaan yang seksama terkait dengan cara
yang akan mereka gunakan untuk menilai hasilnya. Cara yang
dapat digunakan untuk menilai hasil mencakup Instrumen pra-
pasca, indikator perfomansi, dan checklist. Selain data
tambahan, data sekolah, data dari hasil laporan sendiri/ self-
Report dan data observasi dapat digunakan.
2) Tahap Implementasi Program
Konselor sekolah mulai memulai melakukan program dan
layanan. Tahap merujuk pada evaluasi formatif karena
penyampaian atau pemberian layanan dibentuk dan oleh
masukan dari siklus kontek.
3) Tahap Penyelarasan Dan Pengawasan Program
Pertimbangakan kesesuaian seluruh masukan juga perlu
dilakukan. Hal ini berarti umpan balik dari para stakeholder perlu
dipilih. Program intervensi yang terpilih akan menjadi program
yang dijalankan oleh guru BK. Pertimbangan pemilihan tentu
mempertimbangkan kondisi sekolah dan kesiapan personil (Guru
BK).

b. Tahap Assessment Hasil Pada Siklus Evaluasi Program


Setelah melakukan tiga tahap konselor memiliki data.
Konselor Keterbatasan konselor mungkin dijumpai untuk melakukan
analisis dan interpretasi data. Oleh karena itu guru BK dapat
melakukan diskusi dengan guru BK yang lainnya atau dengan
kelapa supervisi mereka. Pengunaan teknologi juga
direkomendasikan untuk menganalisa data (seperti, SPSS dan
Microsoft EXCELL) dapat membantu mempercepat interpretasi dan
presentasi data.

c. Siklus konteks data


Menurut Sudarho & Asni (2017:85-87) pada saat siklus ini
dilakukan pada empat tahap yaitu:
1) Tahap Umpan Balik
Umpan balik dari pihak-pihak yang terkait, konselor
sekolah dengan aktif mengumpulkan umpan balik berdasarkan

24
pada hasil yang telah dikomunikasikan. Ketika pihak yang
terlibat merasa mereka juga memiliki hak untuk bersuara/
memberi saran dalam perencanaan dan penerapan berbagai
layanan yang diperlukan, mereka cenderung mendukung usaha-
usaha dalam meningkatkan layanan tersebut secara
berkelanjutan (Ernst & Hiebert).
2) Perencanaan Strategi Pelaksanaan
Konselor sekolah akan mulai melakukan perencanaan
dengan menggunakan sejumlah masukan dari stakeholder.
Strategi pelaksanaan mencakup pengkajian ulang dan revisi misi
dan tujuan dari program konseling sekolah secara menyeluruh.
Tahap ini didalam konteks di mana program konseling sekolah
tersebut diselenggarakan dan mempertimbangkan pengaruh
program terhadap keseluruhan misi dan tujuan sekolah.
3) Tahap need assessment
Tahap ini memberikan konselor sekolah berbagai
informasi penting yang akan mendesain dan mendefinisikan
kembali program konseling sekolah secara keseluruhan beserta
layanan yang ditawarkan didalam program tersebut. Need
assessment tidak hanya mencakup kebutuhan populasi tetapi
juga kebutuhan dari pihak-pihak terkait lainnya seperti pihak
pengelola sekolah, orang tua, dan para guru. Need assessment
yang komprehensif akan mengumpulkan informasi dari berbagai
macam sumber dan harus direncanakan dengan tujuan yang
jelas (Royse, Thyer, Padgett & Logan).
4) Identifikasi tujuan atau sasaran
Layanan harus didasarkan pada hasil-hasil utama yang
ingin dicapai oleh layanan konseling, perencanaan strategis
berdasarkan umpan balik pihak-pihak yang terkait, dan hasil dari
need assessment. Komponen penting dari penerapan suatu
program adalah penyusunan intervensi dan strategi yang
memiliki tujuan. Sasaran yang didesain dengan jelas. Jika
program yang diterapkan tidak memiliki tujuan yang
teridentifikasi dengan jelas, program tersebut tidak dapat
dievaluasi keefektifannya secara tepat. Ketika tujuan layanan
telah terbentuk dan teridentifikasi dengan jelas, maka seluruh
siklus evaluasi akan dimulai lagi dari siklus evaluasi konteks
konseling dengan memberikan umpan balik kepada
perencanaan program pada siklus evaluasi program konseling.

2. Jembatan Komunikasi
Pengelola sekolah, orang tua, pegawai kantor urusan
pendidikan dan konseling, konselor sekolah lainnya dan para guru
adalah pihak-pihak yang dapat dijadikan masukan penitng pada
pencapaian keberhasilan siswa. Komunikasi antara guru BK dengan
stakeholder menjadi aspek penting dalam brige model. Menurut
Ernst & Hlebert (dalam Sudarho & Asni, 2017:87) mengemukakan
bahwa “guru BK yang mengkomunikasikan rancangan programnya

25
dapat membantu konselor sekolah dalam mendukung layanan yang
mereka berikan dan meningkatkan permintaan akan layanan yang
diberikan pada siswa.” Komunikasi hasil dapat berupa beberapa
bentuk termasuk laporan, ringkasan, presentasi dan diskusi.

D. Model Pendekatan Evaluasi Program BK


1. Pendekatan Berdasarkan System Nilai yang Diacu
Menurut Farid Mashudi (2018:43) “Ada tiga jenis pendekatan
berdasarkan system nilai yang diacau, yaitu evaluasi semu, evaluasi teori
kepitusan, evaluasi formal”.
a. Evaluasi semu (Pseudo Evaluation)
Sifat dari evaluasi semu ini adalah melakukan penilain berdasarkan
parameter tertentu, yang secara umum disepakati (self evident) dan
tidak kontroversial (uncontroversial). Hasil evaluasi ini mudah
diterima oleh public dan tidak terlalu rumit (complicated).
Penilaiannya berkisaran antara gagal atau berhasil. Pseudo
evaluation ini sering kali dijadikan sebagai salah satu metode
monitoring.
b. Evaluasi Teori Keputusan (Decision Theoretic Evaluation/DTE)
Sifat dari DTE adalah melakukan penilaian berdasarkan parameter
yang disepakati oleh pihak-pihak terkait secara langsung/tidak
langsung pihak yang bersitegang. Sistem penilaiannya juga
didasarkan kesepakatan antara pihak yang bersitegang, biasanya
berkisar antara benar atau salah.
c. Evaluasi Formal (Formal Evaluation)
Dalam evaluasi formal, metode yang ditempuh untuk menghasilkan
informasi valid dan reliable dapata dilakukan dengan beberapa cara,
yakni menurut legislasi (peraturan perundang-undangan); Menurut
Farid Mashudi (2018:45) evaluasi formal ini dibagi atas dua jenis.
1) Summative evaluation
2) formative evaluation

2. Pendekatan Berdasarkan Dasar Evaluasi


Menurut Farid Mashudi (2018:45-47) “Ada enam jenis pendekatan
berdasarkan dasar evaluasi”. Keenam pendekatan tersebut adalah sebagai
berikut :
a. Before vs after comparisons (pembandingan antara sebleum dan
sesudah). Karakterisktik dari pendekatan jenis ini antara lain hanya
berlaku untuk satu komunitas yang sama, dengan membandingkan
konsidi sebelum dan sesudah adanya intervensi.
b. With vs withot comparisons (pembandingan antara dengan atau
tanpa intervensi). Karakteristik dari pendekatan jenis ini antara lain
hanya berlaku untuk lebih dari satu komunitas,dengan
membandingkan antara komunitas yang diberi intervensi dengan
komunitas yang tidak diberi intervensi dalam waktu bersamaan.

26
c. Actual vs planned performance comparisons (pembandingan antara
kenyataan dan rencana). Karakteristik dari pendekatan jenis ini
antara lain membandingkan antara rencana dengan kenyataan di
lapangan (sesuai atau tidak).
d. Experimental (controlled) models. Karakteristik dari pendekatan ini
melihat dampak dari perubahan kebijakan/policy terhadap suatu
kegiatan yang memiliki standar ketat. Dampaknya dilihat dari proses
dan hasil kegiatan tersebut.
e. Quasi experimental (uncontrolled) models. Karakteristik dari
pendekatan ini melihat dampak dari perubahan kebijakan/policy
terhadap suatu kegiatan yang tidak memiliki standar. Dampaknya
dilihat hanya berdasarkan hasilnya saja, sedangkan prosesnya
diabaikan.
f. Cost oriented approach (efisiensi penggunaan dana). Cost oriented
approach terbagi atas tiga jenis, yaitu ex-ante evalution, on-going
evalution, dan ex-post evalution. Ex-ante evalution adalah evaluasi
yang dilakukan sebelum kegiatan tersebut dilaksanakan. On-going
evalution adalah evaluasi yang dilakukan saat kegiatan sedang
berjalan. Sedangkan, ex-post evalution adalah evaluasi yang
dilakukan setelah kegiatan tersebut selesai.

3. Pendekatan Berdasarkan Kriteria Evaluasi


Menurut Farid Mashudi (2018:47) “Pendekatan berdasarkan kriteria
evaluasi terbagi atas enam indikator”. Keenam indikator tersebut antara lain
sebagai berikut :
a. Efektivitas. Penilaian terhadap efektivitas ditujukan untuk
menjawab ketepatan waktu pencapaian hasil atau tujuan.
Parameternya adalah ketepatan waktu.
b. Efisiensi. Penilaian terhadap efisiensi ditujukan untuk menjawab
pengorbanan yang minim (usaha minimal)untuk mencapai hasil
maksimal. Parameternya adalah biaya, rasio, keuntungan dan
manfaat.
c. Adequacy (ketepatan dalam menjawab masalah). Penilaian
terhadap adequacy ditujukan untuk melihat sejauh mana tingkat
pencapaian hasil dapat memecahkan masalah.
d. Equity (pemerataan). Penilaian terhadap equity ditujukan untuk
melihat manfaat dan biaya dari unit pelayanan.
e. Responsiveness(responsivitas). Penilaian terhadap seberapa
jauh suatu kebijakan dapat memuaskan kebutuhan, prefensi,
atau nilai kelompok-kelompok masyarakat tertentu.
f. Appropriateness(ketepatan). Penilaian terhadap ketepatan
secara dekat berhubungan dengan rasionalitas, substansif,
karena pertanyaan tentang ketepatan kebijakan tidak berkenaan
dengan satuan kriteria individu tetapi dua atau lebih kriteria
secara bersama-sama.

4. Pendekatan Evaluasi Berorientasi (Goals-Oriented)


Ralph W Tyler pertama kali memprakarsai pendekatan evaluasi
goal-oriented pada tahun 1940-1950an sebagai tolok ukur terhadap

27
evaluasi pendidikan. Tyler memakai sistematika yang lebih lengkap untuk
menautkan hasil yang dicapai siswa dengan yang didambakan.Tyler
memformulasikan penilaian hasil belajar dari goal pembelajaran yang
didasarkan pada taksonomi yang diuraikan Bloom beserta Krathwohl, yang
selajutnya dinamakan orientasi Tyler.
Menurut Novalinda dalam (Tayibnapis:2008) Penilaian pendekatan
yang goals oriented telah menstimulasi proses berkembangnya
perancangan tujuan secara spesifik serta pengembangan atau penemuan
instrumen-instrumen ataupun prosedur pengukuran yang
beranekaragamsecara teknologis. pendekatan dalam melakukan evaluasi
program yang menitik beratkan pada penilaian ketercapaian tujuan. Oleh
karena itu, pandangan ini mempersyaratkan bahwa suatu program
pendidikan harus menetapkan atau merumuskan tujuan-tujuan spesifiknya
secara jelas. Terhadap tujuan-tujuan program yang sudah ditetapkan
tersebut barulah evaluasi program difokuskan.
Dalam perkembangan selanjutnya, orientasi Tyler juga
dikembangkan oleh beberapa ahli, seperti Metfessel dan Michael (1967),
Hammond (1973), dan Provus (1973). Beberapa pendekatan tersebut
memiliki ciri yang sama, yaitu inti evaluasi program tersebut sejauh mana
tujuan telah dicapai setelah program dilaksanakan. Ambiyar ( dalam
Oriondo dan Eleanor, 1998) menjelaskan bahwa Evaluasi pendidikan di
terapkan sebagai satu proses bagaimana mendefenisikan pencapaian
tujuan/target pendidikan dari kurikulum atau program sekolah.
Evaluasi program goals-oriented Tyler dirancang untuk
mendeskripsikan pencapaian tujuan suatu program. Tyler menerapkan
kesenjangan antara harapan dan yang teramati sebagai masukan atau
pertimbangan pada kekurangan dari kegiatan program orientasi tersebut
yang menitik beratkan pada goal khusus suatu kegiatan serta bagimana
hasil pencapaian program tersebut. Menentukan pencapaian tujuan
kegiatan/program pendidikan, Tyler menguraikan beberapa tahap penilaian
pendidikan, yakni penetapan tujuan global atau umum,
mengelompokkan/mendeskripsikan sasaran/target, menentukan situasi
pencapaian tujuan yang ditetapkan, mengembangkan teknik penilaian,
menghimpun serta membandingkan data unjuk kerja dengan sikap/karakter
yang mendeskripsikan tujuan. Setelah setiap tahap berakhir, dapat

28
diketahui ketimpangan antara tujuan dan hasil yang diharapkan.
Selanjutnya hasil tersebut dipakai sebagai pengoreksi kelemahan program,
kemudian pengulangan dapat dilakukan kembali pada tahap tersebut.
Pandangan Tyler secara rasional dapat disambut baik dan digunakan oleh
para praktisi pendidikan dalam kegiatan evaluasi. Tyler juga menerapkan
posttest dan pretest untuk dipakai sebagai instrument dalam penilaian.
Teknik pretest-posttest bertujuan untuk menetapkan perubahan yang
berlaku bagi perseorangan, program/kegiatan serta banyaknya perubahan.
Tyler menguraikan 6 (enam) goals-oriented dari sekolah, yaitu:
memperoleh informasi; mengembangkan keterampilan atau kompetensi
belajar; membangunberpikir yang inovatif dan efektif; penanaman perilaku,
minat, kepekaan sosial, danapresiasi; serta menumbuhkan falsafah hidup
(makin lama seseorang belajar, maka filosofis hidupnya akan
meningkatkan, dari tidak mengerti menjadi mengerti). Tyler menerangkan
pentingnya mencermati aspek sikap dalam mengembangkan tujuan
pembelajaran di sekolah. Tyler menegaskan pentingnya filtrasi tujuan umum
sebagai dasar untuk melakukan evaluation program. Dibidang pendidikan,
cara mengfiltrasinya untuk menyusun pertanyaan-pertanyaan yang
berfaedah tentang pedagogis, filsafat maupun sosial.

E. Prosedur Evaluasi Pelaksanaan Program Bimbingan dan Konseling di


Sekolah
Dalam mengadakan evaluasi terhadap pelaksanaan program bimbingan
dan konseling di sekolah harus memiliki prosedur. Menurut Farid Mashudi
(2018:36-38) prosedur tersebut sebagai berikut:
1. Fase Persiapan
Fase persiapan ini terdiri dari kegiatan penyusunan kisi-kisi
evaluasi. Dalam kegiatan penyusunan kisi-kisi evaluasi, diperlukan
beberapa langkah yang harus dilalui.
a. Langkah pertama, penetapan aspek-aspek yang dievaluasi. Aspek-
aspek yang dievaluasi adalah:
a) penentuan dan perumusan masalah yang hendak dipecahkan
atau tujuan yang akan dicapai
b) program kegiatan bimbingan
c) personel atau ketenagaan
d) fasilitas teknik dan administrasi bimbingan
e) pembiayaan
f) partisipasi personel
g) proses kegiatan

29
h) akibat sampingan
b. Langkah kedua, penetapan kriteria keberhasilan evaluasi. Misal, bila
proses aspek kegiatan yang akan dievaluasi maka kriteria yang dapat
dievaluasi ditinjau dari lingkungan bimbingan, sarana yang ada, dan
situasi daerah.
c. Langkah ketiga, penetapan alat-alat atau instrument evaluasi. Misal,
aspek proses kegiatan yang hendak dievaluasi dengan kriteria langkah
kedua, maka instrumen yang harus digunakan adalah check list,
observasi kegiatan, tes situasi, wawancara, dan angket.
d. Langkah keempat, penetapan prosedur evaluasi. Seperti contoh pada
langkah kedua dan ketiga, maka prosedur evaluasinya melalui
penelaahan, kegiatan, penelaahan hasil kerja, konferensi kasus, dan
lokakarya.
e. Langkah kelima, penetapan tim penilaian atau evaluator. Berkaitan
dengan contoh sebelumnya, maka yang harus menjadi evaluator dalam
penilaian proses kegiatan ialah ketua bimbingan dan konseling, kepala
sekolah, tim bimbingan dan konseling, serta konselor.

2. Fase Persiapan Alat atau Instrumen Evaluasi


Dalam fase kedua ini, dilakukan kegiatan-kegiatan seperti berikut.
a. Memilih alat-alat atau instrumen evaluasi yang ada atau menyusun
dan mengembangkan alat-alat evaluasi yang diperlukan.
b. Penggandaan alat-alat instrumen evaluasi yang akan digunakan.
c. Fase pelaksanaan kegiatan evaluasi. Dalam fase pelaksanaan
evaluasi ini, evaluator melalui kegiatan, yaitu persiapan pelaksanaan
kegiatan evaluasi dan melaksanakan kegiatan evaluasi sesuai dengan
jadwal yang telah ditetapkan.

3. Fase Menganalisis Hasil Evaluasi


Dalam fase analisis hasil evaluasi dan pengolahan data hasil
evaluasi ini dilakukan dengan mengacu pada jenis datanya. Data-data
tersebut, di antaranya tabulasi data dan analisis hasil pengumpulan data
melalui statistik atau nonstatistik.

4. Fase Penafsiran atau Interpretasi dan Pelaporan Hasil Evaluasi


Pada fase ini, dilakukan kegiatan membandingkan hasil analisis
data dengan kriteria penilaian keberhasilan, kemudian diinterpretasikan
dengan menggunakan kode-kode tertentu, untuk kemudian dilaporkan
serta digunakan dalam rangka perbaikan atau pengembangan program
layanan bimbingan konseling.

30
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Metode evaluasi program bk antara lain Before and After Method,
comparison Method, The How do We Stand Method, Model Evaluasi Goal
Attainment, Model Evaluasi Formative dan Summative, Model Evaluasi
Responsif, Model Judgment l, Model Evaluasi CIPP, Model Evaluasi Program
Jembatan Akuntabilitas, Evaluasi Model Gysbers dan Hendarson, Model
Evaluasi Brige (Jembatan),Jembatan Komunikasi, Goal oriented evaluation
model, Decision oriented evaluation model, Transactional evaluation model,
Evaluation research model, Goal-free evaluation model, Adversary evaluation
model. Sedangkan pendekatan evaluasi bk antara lain Pendekatan
berdasarkan system nilai yang diacu, Pendekatan Berdasarkan Dasar Evaluasi,
Pendekatan Berdasarkan Kriteria Evaluasi, Pendekatan Evaluasi Berorientasi
(Goals-Oriented),Evaluasi program goals-oriented Tyler dirancang, Pendekatan
kesepadanan dan ketaatan atau congruency and compliance, Pendekatan
pembuatan keputusan (decision making), Pendekatan responsif (responsive),
Pendekatan objectives based, Pendekatan naturalisric, Pendekatan
eksperimental, Pendekatan cos analysis, serta Pendekatan pengembangan
organisasi (organisational development).

B. Saran
Kami sebagai penulis menyadari bahwa makalah yang kami buat ini
masih banyak sekali kekurangan, kesalahan dan sangat jauh dari kata
kesempurnaan. Tentunya kami sebagai penulis akan terus memperbaiki
makalah dengan mengacu pada sumber yang dapat dipertanggung jawabkan
nantinya. Oleh karena itu, kami sebgai penulis sangat mengharapkan kritik dan
saran tentang pembahasan makalah diatas.

31
DAFTAR PUSTAKA

Ananda, R., & Rafida, T. 2017. Pengantar Evaluasi Program Pendidikan. Edisi
Pertama. Perdana Publishing. Medan. ISBN 978-602-6462-54-1.

Azizah, F. Ginting, F. H. Utami, D.R. 2017.EVALUASI PELAKSANAAN


PROGRAM LAYANAN BIMBINGAN DAN KONSELING DI SEKOLAH.
Prosiding Seminar Bimbingan dan Konseling.1. 184-185. ISSN: 2579-
9908

Kamaruzzaman. 2016. Bimbingan dan Konseling. Edisi Pertama. Pustaka


Rumah Aloy. Pontianak

Lubis. S. N. & Anriani. N. 2023. Implementasi Model Center for the Study of
Evaluation University of California in Los Angeles (CSE-UCLA) dalam
penilaian kinerja Guru. Jurnal Ilmiah Ilmu Pendidikan. 860-866.

Mashudi, Farid. 2018. Panduan Praktis Evaluasi dan Supervisi Bimbingan dan
Konseling. Cetakan Pertama. DIVA Press. Yogyakarta

Mustafa. S. P. 2021. Model Discrapancy Sebagai Evaluasi Program Pendidikan.


Jurnal Studi Keislaman dan Ilmu Pendidikan. 182-198.

Novalida. R. ,Ambiyar., & Rizal. F. 2020. Pendekatan Evaluasi Program Tyler:


Goal-Oriented. Jurnal Pendidikan. 137-146.

Siregar, S.W. 2017. Model dan Rancangan Evaluasi Program Bimbingan dan
Konseling. Hikmah.11(2). 273-284

Yuwono, Sudharno Dwi, & Asni. 2017. Evaluasi Program Bimbingan dan
Konseling. Edisi Pertama. Buku Ajar Universitas Muhammadiyah Prof Dr.
HAMKA. Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai