Anda di halaman 1dari 14

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/356412797

SEJARAH PERKEMBANGAN KURIKULUM

Presentation · January 2018


DOI: 10.13140/RG.2.2.23499.52002

CITATIONS READS

0 3,712

1 author:

Denis Guritno Sri Sasongko


SMP Santo Yakobus
49 PUBLICATIONS   0 CITATIONS   

SEE PROFILE

All content following this page was uploaded by Denis Guritno Sri Sasongko on 20 November 2021.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


SEJARAH PERKEMBANGAN KURIKULUM

Makalah Ilmiah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah


Kurikulum Pendidikan IPS

Oleh:

Denis Guritno Sri Sasongko


NPM. 20177379144

Fakultas Pascasarjana
Magister Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial
UNIVERSITAS INDRAPRASTA PGRI

2018
SEJARAH PERKEMBANGAN KURIKULUM

1. Sejarah Kurikulum Dunia


Pada mulanya, kurikulum dipopulerkan dalam dunia olah raga pada zaman Romawi
Kuno di Yunani. Dalam bahasa Latin, kurikulum berasal dari kata kerja currere yang artinya
berpacu atau berlari. Kurikulum diartikan sebagai jarak yang harus ditempuh oleh pelari.
Sedangkan dalam dunia pendidikan, kurikulum diartikan sebagai sejumlah mata pelajaran
yang harus ditempuh atau diselesaikan oleh peserta didik untuk memperoleh ijazah.
Isi dari kurikulum adalah sejumlah mata pelajaran (subject matter) yang diberikan
oleh institusi pendidikan yang kemudian diperluas dengan kegiatan intra kurikuler dan ekstra
kurikuler. Tujuan utama pendidikan atau kurikulum adalah agar peserta didik menguasai
pengetahuan atau mata pelajaran yang disimbolkan dalam bentuk ijazah atau surat tanda
belajar.
Secara terminologis, istilah kurikulum yang digunakan dalam dunia pendidikan
mengandung pengertian sebagai sejumlah pengetahuan atau mata pelajaran yang harus
ditempuh atau diselesaikan peserta didik untuk mencapai satu tujuan pendidikan atau
kompetensi yang ditetapkan. Tanda atau bukti bahwa seorang peserta didik telah mencapai
standar kompetensi tersebut adalah dengan ijazah atau sertifikat yang diberikan kepada
peserta didik.
Menurut UU No. 20 Tahun 2003 Sisdiknas (Bab I, Pasal 1 ayat 19), “kurikulum adalah
seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang
digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan
pendidikan tertentu.”
Pada awal abad 20, terutama di Amerika muncul beberapa jenis organisasi kurikulum
yang baru sebagai reaksi terhadap kurikulum subject matter, yakni organisasi kurikulum
paling tua. Pertentangan muncul antara subject matter dengan lawannya yaitu activity
curriculum. Dalam dunia pendidikan kita mengenal tiga jenis kurikulum, yaitu subject matter
curriculum, activity curriculum, dan core curriculum.
Subject matter curriculum merupakan kurikulum yang tertua yaitu organisasi
kurikulum berupa isi pendidikan dalam bentuk mata pelajaran yang diklasifikasikan
berdasarkan bidang keilmuan dan kebutuhan peserta didik. Penyampaiannya diberikan secara
terpisah satu sama lain kepada para peserta didik. Kurikulum subject matter memiliki
beberapa kelemahan antara lain:
1. Terlalu fragmentalis (terpecah),
2. Mengabaikan minat dan bakat peserta didik,
3. Penyusunan yang tidak efisien,
4. Mengabaikan masalah sosial, dan
5. Gagal mengembangkan cara berpikir kreatif.
Akibat kritikan-kritikan tersebut, dikembangkan beberapa kurikulum untuk
menyempurnakan kurikulum subject matter, antara lain correlated curriculum (kurikulum
korelasi) yang dikembangkan oleh Herbat pada awal abad 19. Kurikulum ini menekankan
adanya hubungan antara beberapa mata pelajaran tanpa menghilangkan batas-batas setiap
mata pelajaran, seperti Broadfield Curriculum yang dipelopori oleh Thomas Huxley pada

Sejarah Perkembangan Kurikulum 1


1969 di London dan di Amerika. Di Indonesia, prinsip broadfield sudah digunakan sejak
tahun 1975 dengan mengembangkan bidang studi IPA, IPS, Bahasa, dan Matematika.
Kurikulum aktifitas (activity curriculum) disebut juga kurikulum proyek atau
kurikulum pengalaman. Kurikulum ini pertama kali diperkenalkan di Amerika Serikat
melalui sekolah percobaan yang dipimpin oleh John Dewey pada 1897 di Chicago. Perbedaan
antara kurikulum subject matter dan activity curriculum adalah program pendidikan yang
menunjukkan perhatiannya pada anak (child centre) bukan subject centre, belajar bersama
merupakan hasil usaha perhatian bersama, tidak ada perencanaan yang mendahului, namun
guru tetap bertanggungjawab terhadap beberapa tugas penting yang menuntut perencanaan.
Pengembangan kurikulum selanjutnya adalah kurikulum inti (core curriculum) yang
berpandangan bahwa pendidik memberikan tekanan kepada dua aspek yang berbeda, yaitu:
1. Adanya reaksi terhadap mata pelajaran yang berceraiberai dan mengakumulasikan bahan
pengetahuan.
2. Perubahan konsep mengenai peran sosial pendidikan di sekolah.
Perbedaan kurikulum inti dengan kurikulum subject matter dan activity curriculum
adalah menekankan nilai-nilai sosial. Struktur kurikulum inti ditentukan oleh problem sosial
dan pri-kehidupan sosial. Ciri pokok kurikulum inti yakni belajar umum yang diperlukan bagi
semua siswa. Sedangkan, kelemahan dari kurikulum ini lebih menekankan pada lapangan
sosial.

2. Sejarah Perkembangan Kurikulum Indonesia


Berbicara tentang sejarah perjalanan kurikulum pendidikan di Indonesia, hal itu tidak
terlepas dari sejarah perkembangan pendidikan bangsa Indonesia itu sendiri. Sejak zaman
kolonialisme, bangsa Indonesia sudah mengenal sekolah dengan kurikulum. Setiap generasi
memiliki sejarah kurikulum yang berbeda antara satu dengan yang lain. Kurikulum
pendidikan di Indonesia pun senantiasa berubah sesuai dengan zamannya. Bahkan tak jarang
didapati terkait dengan unsur-unsur politis di dalamnya. Artinya, kurikulum di Indonesia
kerapkali mengikuti kehendak pemimpin yang berkuasa saat itu. Ketika masa kolonialisme,
kurikulum yang berkembang disesuaikan dengan tujuan melanggengkan imperialisme.
Demikian juga beberapa masa setelahnya.
Sejarah kurikulum pendidikan di Indonesia kerap berubah setiap ada pergantian
Menteri Pendidikan sehingga mutu pendidikan Indonesia hingga kini belum memenuhi
standar mutu yang jelas dan mantap. Dalam perjalanan sejarah, sejak 1945, kurikulum
pendidikan nasional telah mengalami perubahan, yaitu pada 1947, 1952, 1964, 1968, 1975,
1984, 1994, 2004, 2006, 2013, dan revisi 2017. Perubahan tersebut merupakan konsekuensi
logis dari terjadinya perubahan sistem politik, sosial budaya, ekonomi, dan iptek dalam
masyarakat berbangsa dan bernegara.
Kurikulum sebagai seperangkat rencana pendidikan perlu dikembangkan secara
dinamis sesuai dengan tuntutan dan perubahan yang terjadi di masyarakat. Semua kurikulum
nasional dirancang berdasarkan landasan yang sama, yaitu Pancasila dan UUD 1945.
Perbedaannya terletak pada penekanan pokok dari tujuan pendidikan serta pendekatan yang
dipakai untuk merealisasikannya.

Sejarah Perkembangan Kurikulum 2


2.1 Kurikulum Pendidikan Pra-Kemerdekaan
Pendidikan pada pra-kemerdekaan dipengaruhi oleh kolonialisme. Hasilnya, bangsa ini
dididik untuk mengabdi kepada penjajah. Karena pada saat penjajahan semua bentuk
pendidikan dipusatkan untuk membantu dan mendukung kepentingan penjajah. Pada
mulanya, mereka tidak pernah terpikirkan untuk memperhatikan pendidikan. Tujuan mereka
murni hanya mencari rempah-rempah, meskipun memiliki misi penyebaran agama. Oleh
karena itu, pada abad ke-16 dan 17, mereka mendirikan lembaga pendidikan dalam upaya
penyebaran agama Kristen di Nusantara. Pendidikan tersebut tidak hanya diperuntukkan bagi
mereka, tapi juga penduduk pribumi yang beragama Kristen.
Selanjutnya, pihak penjajah yang merasakan perlu adanya pegawai rendahan yang
dapat membaca dan menulis guna membantu pengembangan usaha, khususnya tanam paksa,
maka dibentuklah lembaga-lembaga pendidikan. Namun, kelas ini hanya diperuntukkan
untuk kalangan terbatas, yaitu anak-anak priyayi. Konsep ideal pendidikan kolonialis adalah
pendidikan yang mampu mencetak para pekerja yang dapat dipekerjakan oleh penjajah pula.
Tujuan pendidikan kolonial tidak terarah pada pembentukan dan pendidikan orang muda
untuk mengabdi pada bangsa dan tanah airnya sendiri, akan tetapi dipakai untuk
menanamkan nilai-nilai dan norma-norma masyarakat penjajah agar dapat ditransfer oleh
penduduk pribumi dan menggiring penduduk pribumi menjadi budak dari pemerintahan
kolonial.
Pada masa ini, pendidikan model bentukan Belanda terdapat dua macam. Pertama,
Sekolah Kelas Dua untuk anak pribumi dengan lama pendidikan tiga tahun. Kurikulum yang
diajarkan meliputi berhitung, menulis dan membaca. Kedua, Sekolah Kelas Satu yang
diperuntukkan untuk anak pegawai pemerintah Hindia Belanda. Lama pendidikan ini
awalnya empat tahun, kemudian lima tahun dan terakhir tujuh tahun. Kurikulum yang
diajarkan meliputi ilmu bumi, sejarah, ilmu hayat (menggambar), dan ilmu mengukur tanah.
Dan, bahasa pengantar yang digunakan adalah bahasa Melayu dan bahasa Belanda.
Politik etis yang diberlakukan pada awal abad ke-20 berpengaruh terhadap
perkembangan pendidikan di Indonesia. Pada masa ini, khususnya di Jawa, Sekolah Kelas
Dua yang mulanya hanya tiga tahun berubah menjadi lima tahun. Kemudian, pada 1914,
didirikan sekolah sambungan yang lamanya dua tahun.
Pada prinsipnya, Undang-Undang Hindia Belanda membagi jenis penduduk menjadi
tiga golongan, yaitu Eropa, Timur Asing, dan Bumiputera. Klasifikasi ini berpengaruh pula
terhadap sistem pendidikan pada waktu itu, yaitu:
1. ELS (Europe Lagere School) yaitu sekolah untuk anak-anak Eropa, Tionghoa, dan
Indonesia yang menurut undang-undang disamakan haknya dengan bangsa Eropa.
2. HCS (Holand Chinese School) yaitu sekolah untuk golongan Tionghoa.
3. HIS (Holand Inlandse School) yaitu sekolah untuk rakyat pribumi atau bumiputra
golongan atas.
Demikianlah gambaran pendidikan rendah di Indonesia pada masa Belanda yang berlangsung
sampai pada 1942.
Untuk kelas menengah, didirikan Gymnasium yang terbatas siswanya hanya orang-
orang Barat atau golongan ningrat. Masa belajar pendidikan ini berlangsung selama tiga
tahun. Pendidikan ini bertujuan untuk menciptakan pegawai-pegawai menengah dan tingkat
tinggi. Mata pelajaran yang diajarkan meliputi bahasa Belanda, bahasa Inggris, Ilmu Hitung,

Sejarah Perkembangan Kurikulum 3


Aljabar, ilmu ukur, ilmu alam atau kimia, ilmu hayat, ilmu bumi, sejarah dan tata buku.
Perkembangan selanjutnya, Gymnasium berubah menjadi OSVIA dan HBS. OSVIA sebagian
diperuntukkan bagi golongan ningrat bumiputera, sedang HBS (Hogore Burgere School)
untuk orang Belanda dari golongan tinggi. Dari model pendidikan ini, kemudian menjelma
menjadi MULO (Meer Uifgebried Order Wijs) yang lama pendidikannya ditambahkan satu
tahun dengan dasar bahwa anak-anak pribumi dianggap kesulitan memahami pelajaran.
Bahasa pengantar yang digunakan adalah bahasa Melayu.
Sementara untuk tingkatan atas, Belanda mendirikan AMS (Algemene Midelbare
School). Sekolah ini didirikan pada 1919 sebagai lanjutan dari sekolah lanjutan pertama atau
MULO. Pendidikan ini berlangsung selama tiga tahun yang terbagi ke dalam bagian A dan
bagian B. Bagian A spesifikasinya adalah ilmu kebudayaan yaitu kesusatraan timur dan
kesusatraan klasik barat. Kesusastraan timur meliputi bahasa Jawa, Melayu, Sejarah
Indonesia dan ilmu bangsa-bangsa. Kesusatraan klasik barat lebih kepada bahasa Latin.
Sedangkan bagian B, spesifikasi pelajarannya adalah Ilmu Pengetahuan Kealaman yang
meliputi ilmu pasti dan ilmu alam.
Sementara ketika kependudukan beralih dari Belanda ke Jepang, pendidikan yang
berbau Belanda disingkirkan dengan diganti pendidikan berciri khas Jepang dan sesuai
dengan tujuan mereka. Pada pendidikan tingkat rendahan, Jepang menggantinya dengan
sebutan Kokumin Gako dengan lama pendidikan enam tahun. Kurikulum pendidikan ini lebih
menitikberatkan pada olahraga kemiliteran yang memang bertujuan untuk membantu
pertahanan Jepang. Anak-anak masa ini diajarkan untuk mengumpulkan kerikil dan pasir
untuk pertahanan, serta menanam pohon jarak untuk membuat minyak sebagai kepentingan
perang. Namun, pada masa ini, bahasa pengantar yang digunakan adalah bahasa Indonesia.
Dengan demikian, penggunaan bahasa Indonesia hampir merata di semua sekolah. Materi
yang dipelajari sebenarnya tidak jauh beda dengan masa pendudukan Belanda. Namun, hanya
saja yang awalnya berbau Belanda digantikan dengan model-model Jepang.

2.2 Kurikulum Pendidikan Masa Orde Lama


Sebagaimana yang disebutkan pada pendahuluan, bahwa kurikulum pendidikan
nasional telah beberapa kali mengalami perubahan. Perubahan kurikulum disesuaikan dengan
tujuan yang ingin dicapai oleh para penguasa. Tentu saja, ada beberapa hal yang memang
disesuaikan dengan tuntutan kondisi zaman.
Jika berbicara tentang kurikulum, sudah sepatutnya kita membicarakan seperangkat
rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, bahan pelajaran dan cara yang digunakan
sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan
tertentu. Kurikulum pada era Orde Lama dibagi menjadi dua kurikulum di antaranya:

• Kurikulum 1947
Kurikulum pertama yang lahir pada masa kemerdekaan memakai istilah dalam bahasa
Belanda “leer plan”, artinya rencana pelajaran. Perubahan arah pendidikan lebih bersifat
politis, dari orientasi pendidikan Belanda ke kepentingan nasional. Sedangkan, asas
pendidikan yang ditetapkan adalah Pancasila. Kurikulum inilah yang dikenal dengan sebutan
“Rencana Pelajaran 1947”, yang baru dilaksanakan pada 1950. Orientasinya adalah: (1)
pendidikan watak, (2) kesadaran bernegara, dan (3) bermasyarakat.

Sejarah Perkembangan Kurikulum 4


Pada masa tersebut, siswa lebih diarahkan agar dapat bersosialisasi dengan masyarakat.
Proses pendidikannya sangat kental dengan kehidupan sehari-hari. Aspek afektif dan
psikomotorik lebih ditekankan dengan pengadaan pelajaran kesenian dan pendidikan jasmani.
Oleh karena itu, yang lebih penting adalah bagaimana menumbuhkan kesadaran bela negara.
Kemungkinan model ini masih terkontaminasi dengan model pendidikan yang diterapkan
oleh Jepang.

• Kurikulum 1952-1964
Kurikulum ini lebih merinci setiap mata pelajaran yang disebut “Rencana Pelajaran
Terurai 1952”. Silabus mata pelajarannya sangat jelas. Seorang guru mengajar satu mata
pelajaran. Pada masa ini, kebutuhan peserta didik akan ilmu pengetahuan lebih diperhatikan,
dan satuan mata pelajaran lebih dirinci. Namun, dalam kurikulum ini, siswa masih
diposisikan sebagai objek karena guru menjadi subjek sentral dalam pentransferan ilmu
pengetahuan. Guru berhak menentukan apa saja yang akan diperoleh siswa di kelas. Dan,
guru pun yang menentukan standar-standar keberhasilan siswa dalam proses pendidikan.
Sistem pendidikan masa ini dikenal dengan Sistem Panca Wardana atau sistem lima
aspek perkembangan yaitu perkembangan moral, perkembangan intelegensia, perkembangan
emosional (artistik), perkembangan keprigelan dan perkembangan jasmaniah. Sistem panca
wardana ini dapat diuraikan menjadi beberapa mata pelajaran, yakni:
1. Perkembangan moral: pendidikan kemasyarakatan dan pendidikan agama (budi pekerti).
2. Perkembangan intelegensia: bahasa Indonesia, bahasa daerah, berhitung dan pengetahuan
alamiah.
3. Perkembangan emosional (artistik): seni sastra (musik), seni lukis (rupa), seni tari, seni
drama.
4. Perkembangan keprigelan: pertanian (peternakan), industri kecil (pekerjaan tangan),
koperasi (tabungan) dan keprigelan-keprigelan lain.
5. Perkembangan jasmaniah: pendidikan jasmaniah dan pendidikan kesehatan.
Fokus kurikulum 1964 ini lebih menekankan pada pengetahuan dan kegiatan fungsional
praktis. Pada kurikulum 1964 ini, arah pendidikan mulai merambah lingkup praksis. Artinya,
setiap pelajaran yang diajarkan di sekolah dapat berkorelasi positif dengan fungsional praksis
siswa dalam masyarakat. Kurikulum masa ini dapat dikategorikan sebagai Correlated
Curriculum.

2.3 Kurikulum Pendidikan Masa Orde Baru


Kurikulum pada masa orde baru dibagi menjadi beberapa bagian, yakni kurikulum
1968, kurikulum 1975, kurikulum 1984, dan kurikulum 1994.

• Kurikulum 1968
Kurikulum 1968 merupakan tonggak awal pendidikan masa orde baru. Kelahiran
Kurikulum 1968 bersifat politis, menggantikan Rencana Pendidikan 1964 yang dicitrakan
sebagai produk Orde Lama. Tujuannya adalah untuk membentuk manusia Pancasila sejati.
Dasar pendidikan masa ini adalah Falsafah Negara Pancasila sesuai dengan Ketetapan
MPRS No. XXVI/MPRS/1966. Sedangkan, tujuan pendidikan nasional adalah membentuk
manusia pancasila sejati berdasarkan ketentuan ketentuan seperti yang dikehendaki oleh

Sejarah Perkembangan Kurikulum 5


pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 dan isi Undang-Undang Dasar 1945 (TAP MPRS
No. XXVII/MPRS/1966). Dan, isi pendidikan nasionalnya adalah memperingati mental budi
pekerti dan memperkuat keyakinan agama, mempertinggi kecerdasan dan keterampilan,
membina dan mempertimbangkan fisik yang kuat dan sehat (TAP MPRS No.
XXVII/MPRS/1966).
Pada tingkatan SD, kurikulum 1968 dibagi menjadi tiga kelompok besar, yakni: (1)
kelompok pembinaan Pancasila yang terdiri dari pendidikan agama, pendidikan
kewarganegaraan, pendidikan bahasa Indonesia, bahasa daerah dan olahraga; (2) kelompok
pembinaan pengetahuan dasar yang terdiri dari berhitung, ilmu pengetahuan alam, pendidikan
kesenian, pendidikan kesejahteraan keluarga (termasuk ilmu kesehatan); (3) kelompok
kecakapan khusus yang terdiri dari kejuruan agraria (pertanian, peternakan, dan perikanan),
kejuruan teknik (pekerjaan tangan atau perbekalan), dan kejuruan ketatalaksanaan atau jasa
(koperasi, tabungan).
Pada masa ini, siswa hanya berperan sebagai pribadi yang masif, dengan hanya
menghapal teori-teori yang ada, tanpa adanya kesempatan untuk mengaplikasikan teori
tersebut. Aspek afektif dan psikomotorik tidak ditonjolkan pada kurikulum ini. Praktis,
kurikulum ini hanya menekankan pembentukan peserta didik hanya dari segi intelektualnya
saja.

• Kurikulum 1975
Kurikulum 1975 menekankan pada tujuan agar pendidikan lebih efektif dan efisien
berdasar MBO (management by objective). Metode, materi, dan tujuan pengajaran dirinci
dalam Prosedur Pengembangan Sistem Instruksional (PPSI), yang dikenal dengan istilah
“satuan pelajaran”, yaitu rencana pelajaran setiap satuan bahasan. Setiap satuan pelajaran
dirinci menjadi: tujuan instruksional umum (TIU), tujuan instruksional khusus (TIK), materi
pelajaran, alat pelajaran, kegiatan belajar-mengajar, dan evaluasi.
Pada kurikulum ini, peran guru menjadi lebih penting karena setiap guru wajib untuk
membuat rincian tujuan yang ingin dicapai selama proses belajar mengajar berlangsung.
Setiap guru harus menyiapkan dengan detail perencanaan pelaksanaan program belajar
mengajarnya. Setiap tatap muka telah diatur dan dijadwalkan sejak awal. Dengan kurikulum
ini, semua proses belajar mengajar menjadi sistematis dan bertahap.
Dasar pendidikan masa ini adalah KTPD, MPR-RI No. IV/MPR/1973, yaitu;
pendidikan nasional berdasarkan atas Pancasila dan bertujuan untuk meningkatkan
ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, kecerdasan, keterampilan, mempertinggi budi
pekerti, memperkuat kepribadian dan mempertebal semangat kebangsaan agar menumbuhkan
manusia-manusia pembangunan yang dapat membangun diri sendiri dan bersama-sama
bertanggungjawab atas pembangunan bangsa.
Tujuan pendidikan dan pengajaran terbagi pada tujuan pendidikan umum, tujuan
institusional, tujuan kurikuler, tujuan instruksional umum dan tujuan instruksional khusus.

• Kurikulum 1984
Kurikulum 1984 mengusung process skill approach. Proses menjadi lebih penting
dalam pelaksanaan pendidikan. Dalam kurikulum ini, peran siswa diaplikasikan dalam
aktivitas mengamati, mengelompokkan, mendiskusikan, hingga melaporkan. Model ini

Sejarah Perkembangan Kurikulum 6


disebut Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA) atau Student Active Leaming (SAL). CBSA
memposisikan guru sebagai fasilitator sehingga bentuk kegiatan ceramah tidak lagi
ditemukan dalam kurikulum ini. Pada kurikulum ini, siswa diposisikan sebagai subjek dalam
proses belajar mengajar. Siswa diperankan dalam pembentukan suatu pengetahuan dengan
diberi kesempatan untuk mengemukakan pendapat, bertanya, dan mendiskusikan sesuatu.
Dasar dan tujuan pendidikan kurikulum ini sama dengan kurikulum 1975.

• Kurikulum 1994
Kurikulum 1994 merupakan hasil upaya untuk memadukan kurikulum-kurikulum
sebelumnya, terutama kurikulum 1975 dan 1984. Dalam ranah pendidikan dasar, isi
kurikulum sekurang-kurangnya wajib memuat bahan kajian dan pelajaran antara lain: (1)
pendidikan pancasila, (2) pendidikan agama, (3) pendidikan kewarganegaraan, (4) bahasa
Indonesia, (5) membaca dan menulis, (6) matematika, (7) pengantar sains dan teknologi, (8)
ilmu bumi, (9) sejarah nasional dan sejarah umum, (10) kerajinan tangan dan kesenian, (11)
pendidikan jasmani dan kesehatan, (12) menggambar, serta (13) bahasa Inggris (PP. No. 28
tahun 1990. Pasal 14:2). Dan, materi muatan lokal disesuaikan dengan kebutuhan daerah
masing-masing, misalnya bahasa daerah kesenian, dan keterampilan daerah.
Dalam kurikulum pendidikan kelas dasar (SD/MI/SMP/MTS) ini, pengantar Sains dan
Teknologi menempati peran penting untuk dipelajari anak didik meskipun tidak mengabaikan
aspek yang lain. Hal ini dimungkinkan sebagai upaya mempersiapkan anak didik memasuki
era industrialisasi abad ke-21 dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat Indonesia.
Untuk isi kurikulum tingkat pendidikan menengah, setidaknya wajib memuat tiga aspek
kajian dan pelajaran yaitu Pendidikan Pancasila, Pendidikan Agama, Pendidikan
Kewarganegaraan. Di samping itu, kurikulum sekolah menengah dapat menjabarkan dan
menambahkan mata pelajaran sesuai dengan keadaan lingkungan dan ciri khas sekolah
menengah yang bersangkutan dengan tidak mengurangi kurikulum yang berlaku secara
nasional (Pasal 15:5).
Atas dasar inilah, berbagai kepentingan kelompok-kelompok masyarakat mendesak
agar isu-isu tertentu masuk dalam kurikulum. Akhirnya, kurikulum 1994 menjelma menjadi
kurikulum super padat. Siswa dihadapkan dengan banyaknya beban belajar yang harus
mereka tuntaskan. Mereka tidak memiliki pilihan untuk menerima atau tidak terhadap
banyaknya beban belajar yang harus mereka hadapi.
Terdapat ciri-ciri yang menonjol dari pemberlakuan kurikulum 1994, di antaranya:
1. Pembagian tahapan pelajaran di sekolah dengan sistem catur wulan.
2. Pembelajaran di sekolah lebih menekankan materi pelajaran yang cukup padat
(berorientasi kepada materi pelajaran atau isi).
3. Kurikulum 1994 bersifat populis, yaitu yang memberlakukan satu sistem kurikulum
untuk semua siswa di seluruh Indonesia. Kurikulum ini bersifat kurikulum inti sehingga
daerah yang khusus dapat mengembangkan pengajaran sendiri disesuaikan dengan
lingkungan dan kebutuhan masyarakat sekitar.
4. Pengajaran dari hal yang konkrit kepada hal yang abstrak, dari hal yang mudah kepada
hal yang sulit dan dari hal yang sederhana kepada hal yang kompleks.
5. Pengulangan-pengulangan materi yang dianggap sulit perlu dilakukan untuk pemantapan
pemahaman.

Sejarah Perkembangan Kurikulum 7


Selama dilaksanakannya kurikulum 1994, muncul beberapa permasalahan, terutama
sebagai akibat dari kecenderungan kepada pendekatan penguasaan materi (content oriented),
di antaranya: (1) beban belajar siswa terlalu berat karena banyaknya mata pelajaran dan
banyaknya materi atau substansi setiap mata pelajaran, (2) materi pelajaran dianggap terlalu
sukar karena kurang relevan dengan tingkat perkembangan berpikir siswa dan kurang
bermakna karena kurang terkait dengan aplikasi kehidupan sehari-hari.

2.4 Pendidikan pada Masa Reformasi


Era reformasi telah memberikan ruang yang cukup besar bagi perumusan kebijakan-
kebijakan pendidikan baru yang bersifat reformatif dan revolusioner. Bentuk kurikulum
menjadi berbasis kompetensi. Demikian pula halnya dengan bentuk pelaksanaan pendidikan
yang berubah dari sentralistik (orde lama) menjadi desentralistik. Pada masa ini, pemerintah
menjalankan amanat UUD 1945 dengan memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-
kurangnya 20% dari anggaran pendapatan belanja negara. Dengan didasarkan pada UU No.
22 Tahun 1999 tentang pemerintahan daerah, yang diperkuat dengan UU No. 25 Tahun 1999
tentang perimbangan keuangan pusat dan daerah, pendidikan digiring pada pengembangan
lokalitas, di mana keberagaman sangat diperhatikan. Masyarakat dapat berperan aktif dalam
pelaksanaan satuan pendidikan.
Pendidikan di era reformasi 1999 mengubah wajah sistem pendidikan Indonesia
melalui UU No 22 Tahun 1999 menjadi sektor pembangunan yang desentralistis. Pemerintah
memperkenalkan model “Manajemen Berbasis Sekolah”. Dan, untuk mengimbangi
kebutuhan akan sumber daya manusia yang berkualitas, dibuat sistem “Kurikulum Berbasis
Kompetensi” atau disebut juga kurikulum KBK.

• Kurikulum Berbasis Kompetensi (2004)


Pada pelaksanaan kurikulum ini, posisi siswa kembali ditempatkan sebagai subjek
dalam proses pendidikan dengan terbukanya ruang diskusi untuk memperoleh suatu
pengetahuan. Siswa dituntut untuk aktif dalam memperoleh informasi. Peran guru diposisikan
kembali sebagai fasilitator dalam perolehan informasi. KBK berupaya untuk menekankan
ketercapaian kompetensi siswa, baik secara individual maupun klasikal, sekaligus
berorientasi pada hasil belajar (learning outcomes) dan keberagaman.
Kegiatan pembelajaran menggunakan pendekatan dan metode yang bervariasi. Sumber
belajar bukan hanya guru, tetapi juga sumber belajar lainnya yang memenuhi unsur edukatif.
Hal ini mutlak diperlukan mengingat KBK pun memiliki visi untuk memperhatikan aspek
afektif dan psikomotorik siswa sebagai subjek pendidikan.
KBK merupakan seperangkat rencana dan pengaturan tentang kompetensi dan hasil
belajar yang harus dicapai siswa, penilaian, kegiatan belajar mengajar, dan pemberdayaan
sumber daya pendidikan dalam pengembangan kurikulum sekolah. Kurikulum ini
menitikberatkan pada pengembangan kemampuan menyelesaikan tugas-tugas dengan standar
tertentu sehingga hasilnya dapat dirasakan oleh peserta didik, berupa penguasaan terhadap
seperangkat kompetensi tertentu. KBK diarahkan untuk mengembangkan pengetahuan,
pemahaman, kemampuan, nilai, sikap dan minat peserta didik agar dapat melakukan sesuatu
dalam bentuk kemahiran, ketepatan dan keberhasilan dengan penuh tanggungjawab. Terdapat
beberapa karakteristik utama KBK, yaitu:

Sejarah Perkembangan Kurikulum 8


1. Menekankan pencapaian kompetensi siswa, bukan tuntasnya materi
2. Kurikulum dapat diperluas, diperdalam, dan disesuaikan dengan potensi siswa (normal,
sedang, dan tinggi)
3. Berpusat pada siswa
4. Orientasi pada proses dan hasil
5. Pendekatan dan metode yang digunakan beragam dan bersifat kontekstual
6. Guru bukan satu-satunya sumber ilmu pengetahuan
7. Buku pelajaran bukan satu-satunya sumber belajar
8. Belajar sepanjang hayat
9. Belajar mengetahui (learning how to know)
10. Belajar melakukan (learning how to do)
11. Belajar menjadi diri sendiri (learning how to be)
12. Belajar hidup dalam keberagaman (learning how to live together)
Meski demikian, kurikulum 2004 merupakan kurikulum eksperimen yang diterapkan
secara terbatas di beberapa sekolah atau madrasah. Ketentuan ini belum mendapatkan payung
hukum dari peraturan pemerintah. Namun demikian, pemerintah tetap menghargai terhadap
sekolah atau madrasah yang menerapkan kurikulum KBK tersebut. Setidaknya, hal ini
tercermin dari Peraturan Menteri Pendidikan Nasional RI No. 20/2005 tentang Ujian
Nasional Tahun Ajaran 2005-2006 yang menyatakan bahwa bahan ujian nasional disusun
berdasarkan kurikulum 1994 atau standar kompetensi lulusan kurikulum 2004.

• Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) 2006


Secara umum, KTSP tidak jauh berbeda dengan KBK. Namun, perbedaan yang
menonjol terletak pada kewenangan dalam penyusunannya, yaitu mengacu pada
desentralisasi sistem pendidikan. Pemerintah pusat menetapkan standar kompetensi dan
kompetensi dasar, sedangkan sekolah dituntut untuk mampu mengembangkan dalam bentuk
silabus dan penilaiannya, sesuai dengan kondisi sekolah dan daerahnya.
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) merupakan kurikulum operasional yang
disusun oleh dan dilaksanakan di masing-masing satuan pendidikan (sekolah atau madrasah).
Pemerintah pusat hanya memberi rambu-rambu yang perlu dirujuk dalam pengembangan
kurikulum. Pada kurikulum ini, sekolah sebagai satuan pendidikan berhak untuk menyusun
dan membuat silabus pendidikan sesuai dengan kepentingan siswa dan kepentingan
lingkungan. KTSP lebih mendorong pada lokalitas pendidikan. Karena KTSP berdasar pada
pelaksanaan KBK, siswa diberikan kesempatan untuk memperoleh pengetahuan secara
terbuka berdasarkan sistem ataupun silabus yang telah ditetapkan oleh masing-masing
sekolah.
Dalam kurikulum ini, unsur pendidikan dikembalikan kepada tempatnya semula, yaitu
unsur teoritis dan praksis. Namun, dalam kurikulum ini, unsur praksis lebih ditekankan
daripada unsur teoritis. Setiap kebijakan yang dibuat oleh satuan terkecil pendidikan dalam
menentukan metode pembelajaran dan jenis mata pelajaran disesuaikan dengan kebutuhan
siswa dan lingkungan sekitar.

Sejarah Perkembangan Kurikulum 9


• Kurikulum 2013
Kurikukulum 2013 lebih memberi tekanan pada kompetensi dengan pemikiran
kompetensi berbasis sikap, keterampilan, dan pengetahuan. Kurikulum 2013 menuntut
kemampuan guru dalam mencari tahu pengetahuan sebanyak-banyaknya karena siswa zaman
sekarang telah mudah mencari informasi dengan bebas melalui perkembangan teknologi dan
informasi. Siswa didorong untuk bertanggungjawab terhadap lingkungan, kemampuan
interpersonal, antarpersonal, maupun memiliki kemampuan berpikir kritis. Tujuannya adalah
membentuk terbentuk generasi produktif, kreatif, inovatif, dan afektif. Khusus untuk tingkat
SD, pendekatan tematik integratif memberi kesempatan siswa untuk mengenal dan
memahami suatu tema dalam berbagai mata pelajaran. Pelajaran IPA dan IPS diajarkan
dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia.
Empat aspek yang harus diberi perhatian khusus dalam rencana implementasi dan
keterlaksanaan kurikulum 2013 adalah:
1. Kompetensi guru dalam pemahaman substansi bahan ajar, yang menyangkut metodologi
pembelajaran.
2. Kompetensi akademik, yang menyangkut penguasaan metode penyampaian ilmu
pengetahuan kepada siswa
3. Kompetensi sosial, yang harus dimiliki guru agar tidak bertindak asosial kepada siswa
dan teman sejawat lainnya
4. Kompetensi manajerial atau kepemimpinan, yang menyangkut kapasitas guru sebagai
seorang yang akan digugu dan ditiru siswa
Perjalanan kurikulum pendidikan di Indonesia sejalan dengan sejarah perkembangan
bangsa Indonesia itu sendiri. Ketika Indonesia dalam cengkeraman kolonial, kurikulum
pendidikan yang dikembangkan adalah demi kepentingan penjajah itu sendiri, baik
penjajahan Belanda maupun Jepang. Masa kolonialisme yang panjang dan begitu mengakar
dalam kebudayaan Indonesia, disadari ataupun tidak, ikut berpengaruh terhadap pola
pendidikan Indonesia.
Pendidikan di Indonesia pun tidak jarang masuk dalam bidikan politisi. Ketika orde
lama berkuasa, pertentangan ideologi ikut menyusupi kurikulum pendidikan di Indonesia.
Sekolah dijadikan tempat proses internalisasi sosial komunis. Demikian pula, ketika orde
baru memimpin, pendidikan dipakai untuk melangsungkan kekuasaan pemerintahan.
Meski demikian, sejarah kurikulum pendidikan nasional senantiasa mencari formula
sesuai dengan perkembangan zaman. Ketika posisi sentralisasi pendidikan dianggap sudah
usang dan kurang relevan dengan otonomi daerah, pendidikan pun turut mengalami
desentralisasi dengan memberikan daerah otonomi sendiri. Bahkan terakhir, pemerintah pusat
memberikan kebijakan kepada masing-masing satuan pendidik untuk menentukan silabus
yang sesuai dengan kondisi peserta didik. Pemerintah pusat dalam hal ini hanya menentukan
standar kompetensi dan kompetensi dasarnya.

3. Perkembangan IPS di Indonesia


Ilmu Pengetahuan Sosial adalah ilmu yang dinamis. Hal ini tidak terlepas dari cepatnya
perkembangan yang terjadi dalam masyarakat. Dengan demikian, pengembangan kurikulum
Ilmu Pengetahuan Sosial menjadi jawaban atas tuntutan kebutuhan masyarakat yang meliputi:

Sejarah Perkembangan Kurikulum 10


• Kebutuhan untuk menyiapkan masa depan yang lebih mantap dan utuh sebagai suatu
bangsa
• Kebutuhan untuk mengimbangi laju pendidikan, teknologi, dan budaya Indonesia
dengan kebijakan pendidikan yang dapat mengimbangi laju perkembangan tersebut.
• Kebutuhan untuk menghasilkan output pendidikan yang benar-benar lebih relevan
dengan yang dibutuhkan oleh masyarakat.
Pengembangan kurikulum ilmu-ilmu sosial menjadi Ilmu Pengetahuan Sosial sejak
1975 dilatarbelakangi oleh dua hal penting, yakni sejarah atau pengalaman hidup masyarakat
yang labil di masa lalu dan laju perkembangan teknologi ke depan yang perlu disikapi agar
peserta didik yang dihasilkan relevan dengan kondisi yang akan dihadapi dalam
masyarakatnya.
Sejak kurikulum 1964-1968, program pengajaran ilmu-ilmu sosial digunakan istilah
kurikulum pendidikan ilmu-ilmu sosial, dengan struktur kurikulum mata pelajaran kelompok
dasar dan kelompok cipta atau kelompok khusus untuk kurikulum tingkat SMA. Pada waktu
kurikulum 1975-1994 diimplementasikan, istilah Ilmu Pengetahuan Sosial digunakan untuk
penamaan kurikulum pada setiap jenjang, dengan struktur mata pelajaran inti dan tambahan
untuk kurikulum SMA.
Materi pembelajaran yang dipelajari pada setiap kurikulum pun mengalami
perkembangan. Pada kurikulum 1964-1968, materi yang termuat dalam kurikulum IPS
meliputi sejarah, geografi, ekonomi dan civic atau Pendidikan Moral Pancasila atau
Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan. Pada kurikulum 1975, kurikulum IPS memuat
materi-materi sosial: sejarah, geografi, ekonomi koperasi, PPKn, dan tata buku dan hitung
dagang untuk pendidikan menengah. Sementara pada kurikulum 1994, muatan materi
kurikulum IPS untuk jenjang pendidikan menengah mengalami perkembangan dengan
dimuatnya mata pelajaran sosiologi, antropologi, dan politik dengan pendekatan yang
terpisah.

Sejarah Perkembangan Kurikulum 11


DAFTAR PUSTAKA

Idi, Abdullah. (2011). Pengembangan Kurikulum: Teori dan Praktik. Yogyakarta: Arruz
Media
Hasan, Hamid. (1996). Pendidikan Ilmu Sosial. Jakarta: Depertamen Pendidikan dan
Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Proyek Pendidikan Tenaga
Akademik
Rusdi, Muhammad. dkk. (1983). Pengantar Ilmu Pengetahuan Sosial. Surabaya: Tim IPS
FPIS IKIP Surabaya
_____, http://ebookbrowse.com/sejarah-pendidikan-dari-zaman-kolonial-belanda-sampai-
kurikulum-ktsp-pdf-d339796568, diakses pada Sabtu, 06 Oktober 2018, pkl. 13.39

Sejarah Perkembangan Kurikulum 12

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai