Anda di halaman 1dari 56

SEMINAR KASUS

ASUHAN KEPERAWATAN PADA AN. R DENGAN HIDROSEFALUS DI


RUANG AKUT IRNA KEBIDANAN DAN ANAK RSUP
DR. M. DJAMIL PADANG
TAHUN 2023

1. 2. Rahmadhoni
3. Pamella Yulandari

4. 5. Sella Febrianti
6. 7. Vinna Wahyu Marsilina
8. 9. Rahmadhoni
10. Widiati Mawaddah

Pembimbing Klinik Pembimbing Akademik

( ) ( )
Disusun oleh

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


STIKES SYEDZA SAINTIKA PADANG
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kelompok panjatkan kepada Allah Subhanallah wa Ta’ala atas
berkat dan rahmat-Nyalah sehingga kelompok dapat menyelesaikan seminar kasus
keperawatan dalam rangka memenuhi tugas Profesi Ners STIKes Syedza Saintika Padang
dengan judul “Asuhan Keperawatan pada An.A dengan Hidrosepalus di Ruang Akut
IRNA Kebidanan dan Anak RSUP Dr. M. Djamil Padang Tahun 2023”.
Pada kesempatan ini, kelompok hendak menyampaikan terima kasih kepada semua
pihak yang telah memberikan dukungan moril maupun materil sehingga seminar kasus ini
dapat selesai. Ucapan terima kasih kami tujukan kepada:
1. Ibu Etry Yanti, S.Kp. M. biomed, ibu Ns. Nova Fridalni, S. Kep, M. Biomed dan ibu
Ns. Veoina Irman, M. Kep selaku pembimbing akademik di STIKes Syedza Saintika
Padang.
2. Ibu Ns. Rahmi Ramadhani, S. Kep. Dan ibu Ns.Elnofia, S. Kep selaku pembimbing
klinik diruang anak RSUP Dr. M. Djamil Padang.
Kelompok menyadari bahwa seminar kasus ini masih banyak kekurangan. Oleh
karena itu, kelompok mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari para pembaca
guna menyempurnakan segala kekurangan dalam penyusunan seminar kasus ini.

Padang, 14 Januari 2023

Kelompok IV

ii
DAFTAR ISI

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Hydrocephalus telah dikenal sajak zaman Hipocrates, saat itu

hydrocephalus dikenal sebagai penyebab penyakit ayan. Di saat ini

dengan teknologi yang semakin berkembang maka mengakibatkan

polusi didunia semakin meningkat pula yang pada akhirnya menjadi

factor penyebab suatu penyakit, yang mana kehamilan merupakan

keadaan yang sangat rentan terhadap penyakit yang dapat

mempengaruhi janinnya, salah satunya adalah Hydrocephalus. Saat ini

secara umum insidennya dapat dilaporkan sebesar tiga kasus per seribu

kehamilan hidup menderita hydrocephalus. Dan hydrocephalus

merupakan penyakit yang sangat memerlukan pelayanan keperawatan

yang khusus. Hydrocephalus itu sendiri adalah akumulasi cairan serebro

spinal dalam ventrikel serebral, ruang subaracnoid, ruang subdural

(Suriadi dan Yuliani, 2010).

Hydrocephalus dapat terjadi pada semua umur tetapi paling

banyak pada bayi yang ditandai dengan membesarnya kepala melebihi

ukuran normal. Meskipun banyak ditemukan pada bayi dan anak,

sebenarnya hydrosephalus juga biasa terjadi pada orang dewasa, hanya

saja pada bayi gejala klinisnya tampak lebih jelas sehingga lebih mudah

dideteksi dan diagnosis. Hal ini dikarenakan pada bayi ubun- ubunnya

masih terbuka, sehingga adanya penumpukan cairan otak dapat


1
dikompensasi dengan melebarnya tulang-tulang tengkorak. Sedang

pada orang dewasa tulang tengkorak tidak mampu lagi melebar.

2
Hidrosefalus adalah suatu penyakit dengan ciri-ciri pembesaran pada sefal

atau kepala yang mengakibatkan bertambahnya cairan serebrospinal (CSS) dengan

atau karena tekanan intrakranial yang meningkat sehingga terjadi pelebaran ruang

tempat mengalirnya cairan serebrospinal (CSS) (Ngastiah). Bila masalah ini tidak

segera ditanggulangi dapat mengakibatkan kematian dan dapat menurunkan angka

kelahiran di suatu wilayah atau negara tertentu sehingga pertumbuhan populasi di

suatu daerah menjadi kecil. Menurut penelitian WHO untuk wilayah ASEAN

jumlah penderita Hidrosefalus di beberapa negara adalah sebagai berikut, di

Singapura pada anak 0-9 th : 0,5%, Malaysia: anak 5-12 th 15%, India: anak 2-4 th

4%, di Indonesia berdasarkan penelitian dari Fakultas Ilmu Kedokteran Universitas

Indonesia terdapat 3%. Berdasarkan pencatatan dan pelaporan yang diperoleh dari

catatan register dari ruangan perawatan IKA 1 RSPAD Gatot Soebroto dari bulan

oktober-desember tahun 2015 jumlah anak yang menderita dengan gangguan

serebral berjumlah 159 anak dan yang mengalami Hidrosefalus berjumlah 69 anak

dengan persentase 43,39%.

B. Tujuan
1. Tujuan Umum
Tujuan penulisan ini adalah untuk mendapatkan gambaran, pengalaman dan
menganalisa secara langsung tentang bagaimana menerapkan Asuhan Keperawatan
pada An. R dengan Hidrocefalus di Ruang Kronik IRNA Kebidanan dan Anak RSUP
Dr. M. Djamil Padang Tahun 2022.

2. Tujuan Khusus
a. Mampu melakukan pengkajian secara komprehensif pada klien dengan
Hidrocefalus
b. Mampu merumuskan masalah dan diagnosa keperawatan berdasarkan data yang
diperoleh pada klien dengan Hidrocefalus.

3
c. Mampu membuat intervensi sesuai dengan diagnosa pada klien dengan
Hidrocefalus
d. Mampu melaksanakan implementasi pada klien dengan Hidrocefalus
e. Mampu mengevaluasi tindakan yang telah dilakukan pada klien Hidrocefalus

4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Dasar Hidrocepalus


1. Definisi
Menurut Suriadi,(2016) Hidrocepalus adalah akumulasi cairan

serebrospinal dalam ventrikel cerebral, ruang subarachnoid, atau ruang subdural,

Sedangkan menurut.

Darto Suharso,(2019) Hidrosepalus adalah kelainan patologis otak yang

mengakibatkan bertambahnya cairan serebrospinal dengan atau pernah dengan

tekanan intrakranial yang meninggi, sehingga terdapat pelebaran ventrikel.

Menurut Dwita( 2017) Hidrosefalus berasal dari kata hidro yang berarti air

dan chepalon yang berarti kepala. Hidrosefalus merupakan penumpukan CSS yang

secara aktif dan berlebihan pada satu atau lebih ventrikel otak atau ruang

subarachnoid yang dapat menyebabkan dilatasi sistem ventrikel otak. Sedangkan

menurut.

Suriadi, (2020) Hidrosefalus adalah suatu keadaan patologis otak yang

mengakibatkan bertambahnya cairan serebrospinalis, disebabkan baik oleh

produksi yang berlebihan maupun gangguan absorpsi, dengan atau pernah disertai

tekanan intrakanial yang meninggi sehingga terjadi pelebaran ruangan-ruangan

tempat aliran cairan serebrospinalis.

Menurut pendapat lain Suharso D,(2019) Hidrosefalus adalah kelainan

patologis otak yang mengakibatkan bertambahnya cairan serebrospinal dengan atau

pernah dengan tekanan intrakranial yang meninggi, sehingga terdapat pelebaran

ventrikel.Menurut pendapat.

5
Dari beberapa pendapat di atas, Jadi dapat disimpulkan Hidrosefalus

merupakan penumpukan CSS yang secara aktif dan berlebihan pada satu atau lebih

ventrikel otak atau ruang subrachnoid yang dapat menyebakan dilatasi sistem

ventrikel otak dimana keadaan patologis otak yang mengakibatkan bertambahnya

cairan serebrospinal, disebabkan baik oleh produksi yang berlebihan maupun

gangguan absorpsi, dengan atau pernah disertai tekanan intracranial yang meninggi

sehingga terjadi pelebaran di ruangan – ruangan tempat aliran cairan serebrospinal.

2. Klasifikasi

3. Etiologi

Menurut Darsono,(2012) Cairan Serebrospinal merupakan cairan jernih

yang diproduksi dalam ventrikulus otak oleh pleksus koroideus, Cairan ini

mengalir dalam ruang subaraknoid yang membungkus otak dan medula spinalis

untuk memberikan perlindungan serta nutrisi(Cristine Brooker:The Nurse’s Pocket

Dictionary). CSS yang dibentuk dalam sistem ventrikel oleh pleksus khoroidalis

kembali ke dalam peredaran darah melalui kapiler dalam piamater dan arakhnoid

yang meliputi seluruh susunan saraf pusat (SSP). Cairan likuor serebrospinalis

terdapat dalam suatu sistem, yakni sistem internal dan sistem eksternal. Pada orang

dewasa normal jumlah CSS 90-150 ml, anak umur 8-10 tahun 100-140 ml, bayi

40-60 ml, neonatus 20-30 ml dan prematur kecil 10-20 ml. Cairan yang tertimbun

dalam ventrikel 500-1500 ml.

DeVito EE et al, (2007:32) Aliran CSS normal ialah dari ventrikel lateralis

melalui foramen monroe ke ventrikel III, dari tempat ini melalui saluran yang

sempit akuaduktus Sylvii ke ventrikel IV dan melalui foramen Luschka dan

Magendie ke dalam ruang subarakhnoid melalui sisterna magna. Penutupan

sisterna basalis menyebabkan gangguan kecepatan resorbsi CSS oleh sistem


6
kapiler.

Allan H. Ropper, (2011) Hidrosefalus terjadi bila terdapat penyumbatan

aliran cairan serebrospinal (CSS) pada salah satu tempat antara tempat

pembentukan CSS dalam sistem ventrikel dan tempat absorbsi dalam ruang

subaraknoid. Akibat penyumbatan, terjadi dilatasi ruangan CSS diatasnya).

Allan H. Ropper, (2011) Teoritis pembentukan CSS yang terlalu banyak

dengan kecepatan absorbsi yang abnormal akan menyebabkan terjadinya

hidrosefalus, namun dalam klinik sangat jarang terjadi. Penyebab penyumbatan

aliran CSS yang sering terdapat pada bayi dan anak ialah :

1) Kelainan Bawaan (Kongenital)

a. Stenosis akuaduktus Sylvii

Merupakan penyebab terbanyak pada hidrosefalus bayi dan anak

(60-90%). Aqueduktus dapat merupakan saluran yang buntu sama sekali

atau abnormal, yaitu lebih sempit dari biasa. Umumnya gejala hidrosefalus

terlihat sejak lahit atau progresif dengan cepat pada bulan-bulan pertama

setelah kelahiran.

b. Spina bifida dan kranium bifida

Hidrosefalus pada kelainan ini biasanya yang berhubungan dengan

sindrom Arnould-Jhiari akibat tertariknya medulla spinalis dengan medulla

oblongata dan cerebellum letaknya lebih rendah dan menutupi foramen

magnum sehingga terjadi penyumbatan sebagian atau total.

c. Sindrom Dandy-Walker

Merupakan atresia congenital Luscha dan Magendie yang

menyebabkan hidrosefalus obtruktif dengan pelebaran system ventrikel

terutama ventrikel IV, yang dapat sedemikian besarnya sehingga merupakan

7
suatu kista yang besar di daerah fosa pascaerior.

d. Kista araknoid dan anomali pembuluh darah

Dapat terjadi congenital tapi dapat juga timbul akibat trauma sekunder

suatu hematoma.

2) Infeksi

Akibat infeksi dapat timbul perlekatan meningen sehingga dapat

terjadi obliterasi ruangan subarahnoid. Pelebaran ventrikel pada fase akut

meningitis purulenta terjadi bila aliran CSS terganggu oleh obstruksi mekanik

eksudat pirulen di aqueduktus sylviin atau system basalis. Hidrosefalus

banyak terjadi pada klien pasca meningitis. Pembesaran kepala dapat terjadi

beberapa minggu sampai beberapa bulan sesudah sembuh dari meningitis.

Secara patologis terlihat pelebaran jaringan piamater dan arahnoid sekitar

system basalis dan daerah lain. Pada meningitis serosa tuberkulosa, perlekatan

meningen terutama terdapat di daerah basal sekitar sistem kiasmatika dan

interpendunkularis, sedangkan pada meningitis purunlenta lokasisasinya lebih

tersebar.

3) Neoplasma

Hidrosefalus oleh obstruksi mekanik yang dapat terjadi di setiap

tempat aliran CSS. Pengobatannya dalam hal ini di tujukan kepada penyebabnya

dan apabila tumor tidak di angkat, maka dapat di lakukan tindakan paliatif

dengan mengalihkan CSS melalui saluran buatan pada anak, penyumbatan

ventrikel IV atau akuaduktus Sylvii biasanya suatu glioma yang berasal dari

serebelum, penyumbatan bagian depan ventrikel III disebabkan

kraniofaringioma.

8
4) Perdarahan
Menurut Allan H. Ropper, 2011:360 Perdarahan sebelum dan

sesudah lahir dalam otak, dapat menyebabkan fibrosis leptomeningen terutama

pada daerah basal otak, selain penyumbatan yang terjadi akibat organisasi dari

darah itu sendiri.

4. Patofisiologi
Menurut pendapat Harsono (2015). Pembentukan cairan serebrospinal terutama

dibentuk di dalam sistem ventrikel. Kebanyakan cairan tersebut dibentuk oleh

pleksus koroidalis di ventrikel lateral, yaitu kurang lebih sebanyak 80% dari total

cairan serebrospinalis. Kecepatan pembentukan cairan serebrospinalis lebih kurang

0,35- 0,40 ml/menit atau 500 ml/hari, kecepatan pembentukan cairan tersebut sama

pada orang dewasa maupun anak-anak. Dengan jalur aliran yang dimulai dari

ventrikel lateral menuju ke foramen monro kemudian ke ventrikel 3, selanjutnya

mengalir ke akuaduktus sylvii, lalu ke ventrikel 4 dan menuju ke foramen luska dan

magendi, hingga akhirnya ke ruang subarakhnoid dan kanalis spinalis. Secara teoritis,

terdapat tiga penyebab terjadinya hidrosefalus, yaitu:

1. Produksi likuor yang berlebihan. Kondisi ini merupakan penyebab paling

jarang dari kasus hidrosefalus, hampir semua keadaan ini disebabkan oleh

adanya tumor pleksus koroid (papiloma atau karsinoma), namun ada pula yang

terjadi akibat dari hipervitaminosis vitamin A.

2. Gangguan aliran likuor yang merupakan awal kebanyakan kasus hidrosefalus.

Kondisi ini merupakan akibat dari obstruksi atau tersumbatnya sirkulasi cairan

serebrospinalis yang dapat terjadi di ventrikel maupun vili arakhnoid. Secara umum

terdapat tiga penyebab terjadinya keadaan patologis ini, yaitu:

a. Malformasi yang menyebabkan penyempitan saluran likuor, misalnya

stenosis akuaduktus sylvii dan malformasi Arnold Chiari.

9
b. Lesi massa yang menyebabkan kompresi intrnsik maupun ekstrinsik

saluran likuor, misalnya tumor intraventrikel, tumor para ventrikel, k

ista arakhnoid, dan hematom.

c. Proses inflamasi dan gangguan lainnya seperti mukopolisakaridosis,

termasuk reaksi ependimal, fibrosis leptomeningeal, dan obliterasi

vili arakhnoid.

d. Gangguan penyerapan cairan serebrospinal. Suatu kondisi seperti

sindrom vena cava dan trombosis sinus dapat mempengaruhi

penyerapan cairan serebrospinal. Kondisi jenis ini termasuk

hidrosefalus tekanan normal atau pseudotumor serebri.

Dari penjelasan di atas maka hidrosefalus dapat diklasifikasikan dalam

beberapa sebutan diagnosis. Hidrosefalus interna menunjukkan adanya dilatasi

ventrikel, sedangkan hidrosefalus eksterna menunjukkan adanya pelebaran rongga

subarakhnoid di atas permukaan korteks. Hidrosefalus komunikans adalah keadaan

di mana ada hubungan antara sistem ventrikel dengan rongga subarakhnoid otak

dan spinal, sedangkan hidrosefalus non- komunikans yaitu suatu keadaan dimana

terdapat blok dalam sistem ventrikel atau salurannya ke rongga subarakhnoid.

Hidrosefalus obstruktif adalah jenis yang paling banyak ditemui dimana aliran

likuor mengalami obstruksi. Terdapat pula beberapa klasifikasi lain yang dilihat

berdasarkan waktu onsetnya, yaitu akut (beberapa hari), subakut (meninggi), dan

kronis (berbulan-bulan). Terdapat dua pembagian hidrosefalus berdasarkan

gejalanya yaitu hidrosefalus simtomatik dan hidrosefalus asimtomatik.

10
5. Manifestasi Klinis
Darsono, (2019) mengatakan bahawa Tanda awal dan gejala hidrosefalus

tergantung pada derajat ketidakseimbangan kapasitas produksi dan resorbsi CSS

Gejala-gejala yang menonjol merupakan refleksi adanya hipertensi intrakranial.

Manifestasi klinis dari hidrosefalus pada anak dikelompokkan menjadi dua golongan,

yaitu :

1) Hidrosefalus terjadi pada masa neonates

Meliputi pembesaran kepala abnormal, gambaran tetap hidrosefalus kongenital dan

pada masa bayi. Lingkaran kepala neonatus biasanya adalah 35-40 cm, dan pertumbuhan

ukuran lingkar kepala terbesar adalah selama tahun pertama kehidupan. Kranium terdistensi

dalam semua arah, tetapi terutama pada daerah frontal. Tampak dorsumnasi lebih besar dari

biasa. Fontanella terbuka dan tegang, sutura masih terbuka bebas. Tulang-tulang kepala

menjadi sangat tipis. Vena- vena di sisi samping kepala tampak melebar dan berkelok.

2) Hidrosefalus terjadi pada akhir masa kanak- kanak

Pembesaran kepala tidak bermakna, tetapi nyeri kepala sebagai manifestasi

hipertensi intrakranial. Lokasi nyeri kepala tidak khas. Dapat disertai keluhan

penglihatan ganda (diplopia) dan jarang diikuti penurunan visus. Secara umum

gejala yang paling umum terjadi pada pasien-pasien hidrosefalus di bawah usia

dua tahun adalah pembesaran abnormal yang progresif dari ukuran kepala.

Makrokrania mengesankan sebagai salah satu tanda bila ukuran lingkar kepala

lebih besar dari dua deviasi standar di atas ukuran normal.

11
6. Web Of Caution
WOC Hidrosefalus (Harsono 2019)

12
7. Komplikasi
1. Infeksi

Infeksi dapat menyebabkan meningitis (peradangan pada selaput otak),

peritonitis (peradangan pada selaput rongga perut), dan peradangan sepanjang

selang Penggunaan antibiotik dapat meminimalkan risiko terjadinya infeksi dan

terkadang diperlukan tindakan pencabutan selang shunt.

2. Perdarahan subdural

(lokasi yang berada di bawah lapisan pelindung otak duramater) Perdarahan

subdural terjadi karena robekan pada pembuluh darah balik (vena). Risiko

komplikasi ini dapat diturunkan dengan penggunaan shunt yang baik.

3. Obstruksi atau penyumbatan selang shunt

Yang terjadi pada selang shunt mengakibatkan gejala yang terus menerus ada

atau timbulnya kembali gejala yang sudah mereda. Sekitar sepertiga kasus

hidrosefalus dengan pemasangan shunt memerlukan penggantian dalam waktu

1 tahun. Sebagian besar kasus (80%) memerlukan revisi dalam 10 tahun.

4. Keadaan tekanan rendah

(low pressure) Bila cairan yang dialirkan terlalu berlebihan, maka dapat

menjadi keadaan dengan tekanan rendah. Gejaala yang timbul berupa sakit

kepala dan muntah saat duduk atau berdiri. Gejala ini dapat membaik dengan

asupan cairan yang tinggi dan perubahan posisi tubuh secara perlahan.

Komplikasi sering terjadi karena pemasangan VP shunt adalah infeksi

dan malfungsi. Malfungsi disebakan oleh obstruksi mekanik atau perpindahan

didalam ventrikel dari bahan–bahan khusus (jaringan /eksudat) atau ujung

distal dari thrombosis sebagai akibat dari pertumbuhan. Obstruksi VP shunt

sering menunjukan kegawatan dengan manifestasi klinis peningkatan TIK yang

13
lebih sering diikuti dengan status neurologis buruk. Komplikasi yang sering

terjadi adalah infeksi VP shunt. Infeksi umumnya akibat dari infeksi pada saat

pemasangan VP shunt. Infeksi itu meliputi septik, Endokarditis bacterial,

infeksi luka, Nefritis shunt, meningitis, dan ventrikulitis. Komplikasi VP shunt

yang serius lainnya adalah subdural hematoma yang di sebabkan oleh reduksi

yang cepat pada tekanan intrakranial dan ukurannya. Komplikasi yang dapat

terjadi adalah peritonitis abses abdominal, perforasi organ-organ abdomen oleh

kateter atau trokar (pada saat pemasangan), fistula hernia, dan ilius.

8. Pemeriksaan Penunjang

a. Rontgen foto kepala, dengan prosedur ini dapat diketahui :

1. Hidrosefalus tipe kongenital/infantile, yaitu: ukuran kepala, adanya

pelebaran sutura, tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial kronik

berupa imopressio digitate dan erosi prosessus klionidalis posterior.

2. Hidrosefalus tipe juvenile/adult oleh karena sutura telah menutup maka dari

foto rontgen kepala diharapkan adanya gambaran kenaikan tekanan

intrakranial.

b. Transimulasi

Syarat untuk transimulasi adalah fontanela masih terbuka, pemeriksaan

ini dilakukan dalam ruangan yang gelap setelah pemeriksa beradaptasi selama

3 menit. Alat yang dipakai lampu senter yang dilengkapi dengan rubber

adaptor. Pada hidrosefalus, lebar halo dari tepi sinar akan terlihat lebih lebar 1-

2 cm.

c. Lingkaran kepala

Diagnosis hidrosefalus pada bayi dapat dicurigai, jika penambahan

lingkar kepala melampaui satu atau lebih garis- garis kisi pada chart (jarak

14
antara dua garis kisi 1 cm) dalam kurun waktu 2-4 minggu. Pada anak yang

besar lingkaran kepala dapat normal hal ini disebabkan oleh karena

hidrosefalus terjadi setelah penutupan suturan secara fungsional. Tetapi jika

hidrosefalus telah ada sebelum penutupan suturan kranialis maka penutupan

sutura tidak akan terjadi secara menyeluruh.

e. Ventrikulografi

Yaitu dengan memasukkan kontras berupa O2 murni atau kontras lainnya

dengan alat tertentu menembus melalui fontanela anterior langsung masuk ke

dalam ventrikel. Setelah kontras masuk langsung difoto, maka akan terlihat

kontras mengisi ruang ventrikel yang melebar. Pada anak yang besar karena

fontanela telah menutup untuk memasukkan kontras dibuatkan lubang dengan

bor pada kranium bagian frontal atau oksipitalis. Ventrikulografi ini sangat

sulit, dan mempunyai risiko yang tinggi. Di rumah sakit yang telah memiliki

fasilitas CT Scan, prosedur ini telah ditinggalkan.

f. Ultrasonografi

Dilakukan melalui fontanela anterior yang masih terbuka. Dengan USG

diharapkan dapat menunjukkan system ventrikel yang melebar. Pendapat lain

mengatakan pemeriksaan USG pada penderita hidrose falus ternyata tidak

mempunyai nilai di dalam menentukan keadaan sistem ventrikel hal ini

disebabkan oleh karena USG tidak dapat menggambarkan anatomi sistem

ventrikel secara jelas, seperti halnya pada pemeriksaan CT Scan.

g. CT Scan kepala

Pada hidrosefalus obstruktif CT Scan sering menunjukkan adanya

pelebaran dari ventrikel lateralis dan ventrikel III. Dapat terjadi di atas

ventrikel lebih besar dari occipital horns pada anak yang besar. Ventrikel IV

15
sering ukurannya normal dan adanya penurunan densitas oleh karena terjadi

reabsorpsi transependimal dari CSS. Pada hidrosefalus komunikans gambaran

CT Scan menunjukkan dilatasi ringan dari semua sistem ventrikel termasuk

ruang subarakhnoid di proksimal dari daerah sumbatan.

h. MRI (Magnetic Resonance Imaging)

Untuk mengetahui kondisi patologis otak dan medula spinalis dengan

menggunakan teknik scaning dengan kekuatan magnet untuk membuat

bayangan struktur tubuh.

9. Penatalaksanaan
a. Keperawatan

Penanganan hidrocefalus masuk pada katagori ”live saving and live

sustaining” yang berarti penyakit ini memerlukan diagnosis dini yang

dilanjutkan dengan tindakan bedah secepatnya. Keterlambatan akan

menyebabkan kecacatan dan kematian sehingga prinsip pengobatan

hidrocefalus harus dipenuhi yakni :

1. Mengurangi produksi cairan serebrospinal dengan merusak pleksus

koroidalis dengan tindakan reseksi atau pembedahan, atau dengan

obat azetasolamid (diamox) yang menghambat pembentukan cairan

serebrospinal.

2. Memperbaiki hubungan antara tempat produksi caira serebrospinal

dengan tempat absorbsi, yaitu menghubungkan ventrikel dengan

subarachnoid.

3. Pengeluaran cairan serebrospinal ke dalam organ ekstrakranial,

yakni:

a) Drainase ventrikule-peritoneal.

b) Drainase Lombo-Peritoneal.
16
c) Drainase ventrikulo-Pleural.

d) Drainase ventrikule-Uretrostomi.

e) Drainase ke dalam anterium mastoid.

d. Mengalirkan cairan serebrospinal ke dalam vena jugularis dan jantung

melalui kateter yang berventil (Holter Valve/katup Holter) yang

memungkinkan pengaliran cairan serebrospinal ke satu arah. Cara ini

merupakan cara yang dianggap terbaik namun, kateter harus diganti sesuai

dengan pertumbuhan anak dan harus diwaspadai terjadinya infeksi sekunder

dan sepsis.

Tindakan bedah pemasangan selang pintasan atau drainase dilakukan

setelah diagnosis lengkap dan pasien telah di bius total. Dibuat sayatan kecil

di daerah kepala dan dilakukan pembukaan tulang tengkorak dan selaput

otak, lalu selang pintasan dipasang. Disusul kemudian dibuat sayatan kecil

di daerah perut, dibuka rongga perut lalu ditanam selang pintasan, antara

ujung selang di kepala dan perut dihubiungakan dengan selang yang ditanam

di bawah kulit hingga tidak terlihat dari luar.

e. Pengobatan modern atau canggih dilakukan dengan bahan shunt atau

pintasan jenis silicon yang awet, lentur, tidak mudah putus. Ada 2 macam

terapi pintas / “ shunting “:

1. Eksternal

CSS dialirkan dari ventrikel ke dunia luar, dan bersifat hanya

sementara. Misalnya: pungsi lumbal yang berulang-ulang untuk terapi

hidrosefalus tekanan normal.

17
2. Internal

a) CSS dialirkan dari ventrikel ke dalam anggota tubuh lain Ventrikulo-

Sisternal, CSS dialirkan ke sisterna magna(Thor-Kjeldsen).

b) Ventrikulo-Atrial, CSS dialirkan ke sinus sagitalis superior.

c) Ventrikulo-Bronkhial, CSS dialirkan ke Bronhus.

d) Ventrikulo-Mediastinal,CSS dialirkan ke mediastinum.

e) Ventrikulo-Peritoneal, CSS dialirkan ke rongga peritoneum.

3. “Lumbo Peritoneal Shunt”

CSS dialirkan dari Resessus Spinalis Lumbalis ke rongga peritoneum

dengan operasi terbuka atau dengan jarum Touhy secara perkutan.

Teknik Shunting:

a) Sebuah kateter ventrikular dimasukkan me lalui kornu oksipitalis atau

kornu frontalis, ujungnya ditempatkan setinggi foramen Monroe.

b) Suatu reservoir yang memungkinkan aspirasi dari CSS untuk dilakukan

analisis.

c) Sebuah katup yang terdapat dalam sistem Shunting ini, baik yang

terletak proksimal dengan tipe bola atau diafragma (Hakim, Pudenz,

Pitz, Holter) maupun yang terletak di distal dengan katup berbentuk

celah (Pudenz). Katup akan membuka pada tekanan yang berkisar

antara 5-150 mm, H2O.

d) Ventriculo-Atrial Shunt. Ujung distal kateter dimasukkan ke dalam

atrium kanan jantung melalui v. jugularis interna (dengan thorax x-ray

ujung distal setinggi 6/7).

e) Slang silastik ditanam dalam lapisan subkutan. Ujung distal kateter

18
ditempatkan dalam ruang peritoneum. Pada anak-anak dengan kumparan

silang yang banyak, memungkinkan tidak diperlukan adanya revisi

walaupun badan anak tumbuh memanjang.

19
20
21
22
23
B. Asuhan Keperawatan Teoritis pada Hidrocefalus
1. Pengkajian Keperawatan
a. Identitas pasien: meliputi nama, usia, jenis kelamin, pendidikan, alamat,
pekerjaan, agama, suku bangsa, diagnosa medis (apabila mengetahui) dan
identitas orang tua/ penanggung jawab yang bertujuan untuk mempermudah
komunikasi serta menyesuaikan diri terhadap kebiasaan (keyakinan dan adat
istiadat) pasien.
b. Riwayat kesehatan
Keluhan utama: Hal yang sering menjadi alasan klien untuk meminta

pertolongan kesehatan bergantung seberapa jauh dampak dari hidrosefalus

pada peningkatan tekanan intracranial, meliputi muntah, gelisah nyeri kepala,

letargi, lelah apatis, penglihatan ganda, perubahan pupil, dan kontriksi

penglihatan perifer.

1) Riwayat penyakit saat ini: kaji mengenai kondisi anak saat ini, apakah anak
mengalami infeksi, adakah tanda-tanda infeksi, demam, apakah anak
mengalami pendarahan, apakah anak mengalami penurunan nafsu makan,
apakah anak mengalami kesulitan menelan, apakah ada sariawan (stomatitis),
apakah anak merasakan mual, kapan anak merasakan mual, apakah anak
muntah saat atau setelah makan, apakah anak demam, apakah ada bagian tubuh
yang bengkak dan nyeri.
2) Riwayat kesehatan dahulu: kaji apakah klien perah dirawat sebelumnya,
kapan dan dimana dirawat, obat apa yang pernah digunakan, dan kaji
apakah klien ada alergi terhadap obat ataupun makanan.
3) Riwayat penyakit keluarga: Kaji apakah anggota keluarga lain ada yang
menderita penyakit kanker khususnya kanker darah atau leukemia seperti
yang di derita klien saat ini.
4) Riwayat tumbuh kembang: kaji riwayat prenatal, intranatal dan riwayat
tumbuh kembang klien sesuai usianya.
c. Pemeriksaan fisik
1) Keadaan umum klien.

24
2) Tingkat kesadaran: klien biasanya sadar (composmentis).
3) Tanda-tanda vital: meliputi suhu, pernapasan, nadi, dan skrinning nyeri.
4) Kepala:m e n g a l a m i p e m b e s a r a n p a d a b a g i a m k e p a l a
5) Mata: biasanya konjungtiva pasien anemis karena anemia, adanya
perdarahan retina.
6) Hidung: biasanya terjadi epistaksis.
7) Mulut: biasanya terjadi perdarahan pada gusi.
8) Telinga: biasanya tidak ditemukan masalah pada telinga, telinga simetris
kiri dan kanan, tidak ada lesi/ luka, tidak ada sekret, membran timpani
tidak ada masalah.
9) Leher: biasanya ditemukan pembesaran kelenjer getah bening.
10) Thoraks: biasanya tidak ada nyeri tekan pada dada.
11) Abdomen: biasanya hepatomegali, splenomegali, limfadenopati, nyeri
abdomen.
12) Kulit: biasanya kulit tampak pucat, terdapat ptekie pada tubuh akibat
perdarahan.
13) Ekstremitas: biasanya teraa nyeri sendi terutama pada persendian apabila
digerakkan.
d. Hasil pemeriksaan penunjang: meliputi hasil pada pemeriksaan yang
dilakukan.
e. Terapi yang diberikan

2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan HIDROCEFALUS berdasarkan Standar Diagnosis
Keperawatan Indonesia (SDKI), 2018 yaitu:
1. Resiko ketidakefektifan perfusi serebral
2. Defisit nutrisi ditandai dengan ketidakmampuan mencerna makanan.
3. Keletihan berhubungan dengan program perawatan.

25
3. Intervensi Keperawatan
Diagnosa Standar Luaran Standar Intervensi
No.
Keperawatan Keperawatan Indonesia (SLKI) Keperawatan Indonesia (SIKI)
1 resiko Setelah dilakukan intervensi selama Manajemen penigkatan intrakranial
ketidakefektifan 3x24 jam, maka tingkat resiko b. Observasi:
perfusi serebral ketidakefektifan perfusi serebral 1. Identifikasi penyebab peningkatan TIK
dengan kriteria hasil: 2. Monitor tanda dan gejala peningkatan TIK
1. Tingkat kesadaran kognitif
meningkat c. Terapeutik:
2. Gelisah menurun 1. Minimalkan stimulus dengan menyediakan
3. Tekanan intrakranial membaik lingkungan yang tenang
2. Berikan posisi semi fowler
3. Cegah terjadinya kejang
4. Pertahankan suhu tubuh normal
d. Edukasi:
Kolaborasi pemberian pelunak tinja, jika perlu
2 Risiko defisit Setelah dilakukan intervensi selama Manajemen Nutrisi
nutrisi ditandai 3x24 jam, maka status nutrisi a. Observasi:
dengan membaik dengan kriteria hasil: 1. Identifikasi status nutrisi.

26
ketidakmampua 1. Porsi makanan yang dihabiskan 2. Identifikasi alergi dan intoleransi terhadap
n mencerna dipertahankan pada cukup makanan.
makanan menurun (2) ditingkatkan ke 3. Monitor asupan makanan.
cukup meningkat (4). b. Terapeutik:
2. Frekuensi makan dipertahankan 1. Lakukan oral hygiene sebelum makan, jika perlu.
pada sedang (3) ditingkatkan ke 2. Berikan makanan tinggi kalori dan tinggi protein.
membaik (5). c. Edukasi:
Nafsu makan dipertahankan pada Anjurkan posisi duduk, jika mampu.
cukup memburuk (2) ditingkatkan
ke cukup membaik (4).
3 Keletihan Setelah dilakukan intervensi selama Edukasi Aktivitas Dan Istirahat
berhubungan 3x24 jam, maka tingkat keletihan a. Observasi:
dengan program membaik dengan kriteria hasil: 1. Identifikasi kesiapan dan kemampuan menerima
perawatan 1. Verbalisasi kepulihan energi informasi.
dipertahankan pada cukup
menurun (2) ditingkatkan ke cukup
meningkat (4). b. Terapeutik:

2. Kemampuan melakukan aktivitas 5. Sediakan materi dan media pengaturan aktivitas

rutin dipertahankan pada cukup dan istirahat.

27
menurun (2) ditingkatkan ke cukup 6. Jadwalkan pemberian pendidikan kesehatan sesuai
meningkat (4). kesepakatan.
3. Verbalisasi lelah dipertahankan 7. Berikan kesempatan kepada pasien dan keluarga
pada cukup meningkat (2) untuk bertanya.
ditingkatkan ke cukup menurun c. Edukasi:
(4). 1. Jelaskan pentingnya melakukan aktivitas fisik atau
4. Lesu dipertahankan pada cukup olahraga secara rutin.
meningkat (2) ditingkatkan ke 2. Anjurkan menyusun jadwal aktivitas dan istirahat.
cukup menurun (4). 3. Anjurkan terlibat dalam aktivitas kelompok,
Gelisah dipertahankan pada cukup aktivitas bermain, dan aktivitas lainnya.
meningkat (2) ditingkatkan ke Ajarkan cara mengidentifikasi kebutuhan istirahat.
cukup menurun (4).

28
4. Implementasi Keperawatan
Implementasi keperawatan merupakan insiatif dari rencana tindakan
untuk mencapai tujuan yang spesifik. Tahap pelaksanaan dimulai setelah
rencana tindakan disusun dan ditujukan pada nursing orders untuk
membantu klien mencapai tujuan yang diharapkan. Oleh karena itu
rencana tindakan yang spesifik dilaksanakan untuk memodifikasi faktor-
faktor yang mempengaruhi masalah kesehatan klien

5. Evaluasi Keperawatan
Evaluasi keperawatan adalah penilaian terakhir didasarkan pada
tujuan keperawatan yang ditetapkan. Penetapan keberhasilan suatu asuhan
keperawatan didasarkan pada kriteria hasil yang telah ditetapkan, yaitu
terjadinya adaptasi pada individu.

29
BAB III
TINJAUAN KASUS

A. Pengkajian Keperawatan
2. Identitas Pasien
Nama : An. R
Tanggal Lahir/ : 13 Agustus 2022 / 5 bulan
Umur
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Pendidikan Belum Sekolah
Tanggal Masuk : 08 Desember 2022
Tanggal Pengkajian : 16 Januari 2023
Diagnosa Medis : Hidrosepalus

3. Identitas Orang Tua


Ayah Ibu
Nama Tn. D Ny. I
Usia 42 Tahun 41 Tahun
Pendidikan SMA SMA
Pekerjaan Petani Ibu Rumah Tangga
Agama Islam Islam

4. Riwayat Kesehatan
a. Keluhan Utama Masuk Rumah Sakit
Ibu klien Masuk dengan keluhan demam sejak 1 minggu yang
lalu, batuk sejak 1 minggu yang lalu, berdahak, batuk semakin
bertambah sejak 2 hari yang lalu, dahak suid di keluarkan disertai batuk
pilek.
b. Riwayat Penyakit Saat Ini

30
Keluarga mengatakan anak sudah tidak ada lagi demam, batuk masih
ada sesekali, sesak nafas tidak ada.

c. Riwayat Kesehatan Dahulu


Ibu klien mengatakan klien pernah masuk rumah sakit daerah
solok pada usia 4 hari karena anak tampak biru di sertai demam.
Kemudian anak di bawa keluarga ke rumah sakit BMC Padang untuk
mendapatkan perawatan lanjutan. Di BMC anak di curigai
Hidrosepalus karena kepala anak tampak membesar kemudian di
lakukan pemeriksaan CT Scan di dapatkan anak di diagnosa
Hidrosepalus
d. Riwayat Penyakit Keluarga
Ibu klien mengatakan tidak ada anggota keluarga yang mengalami
penyakit yang sama dengan klien dan tidak ada keluarga yang
menderita pemyakit keturunan lainnya.
e. Riwayat kehamilan dan kelahiran
1) Prenatal: ibu klien mengatakan selama hamil memeriksakan
kehamilannya secara teratur. Ibu klien hamil pada usia 38 tahun.
2) Intranatal: ibu klien mengatakan melahirkan klien di tolong oleh
bidan dengan BBL 2,1 Kg.
3) Riwayat Imunisasi
Jenis Waktu Reaksi setelah
No. Frekuensi
Imunisasi Pemberian pemberian
1 BCG Setelah lahir 1 Ada
2 Hepatitis 12 jam setelah 2 Tidak ada
lahir dan usia 1
bulan
3 DPT Usia 6 minggu, 3 Tidak ada
4 bulan, dan 6
bulan
4 Polio Usia 0 bulan, 2 4 Tidak ada

31
bulan, 4 bulan,
dan 6 bulan
5 Campak Usia 9 bulan 1 Tidak ada

5. Pemeriksaan Fisik
1) Keadaan umum : Sedang
2) Tanda-tanda vital : Suhu: 36,6o C
Pernapasan: 30x/ menit
Nadi:92x/ menit
TB: 50 cm, BB: 3,3 Kg
3) Pernapasan : Irama: regular
Retraksi dinding dada: tidak ada
Alat bantu napas: spontan
4) Mata : Simetris kiri kanan, tidak ada sekresi,
tidak ada purulen, tidak ada edema,
konjungtiva anemis, sklera tidak ikterik.
5) Hidung : Bersih, tidak ada secret, tidak ada polip.
6) Mulut dan : Mulut bersih, tidak ada edema, tidak ada
tenggorokan peradangan, tidak ada kesulitan menelan,
gigi belum tumbuh.
7) Telinga : Bentuk normal, bersih, pendengaran baik,
tidak ada edema, tidak ada sekresi.
8) Leher : Tidak ada pembesaran kelenjar getah
bening, tidak ada pembesaran kelenjar
tiroid, tidak ada pembesaran JVP.
9) Thorak : Inspeksi: bentuk dada simetris, tidak ada
pembengkakan.
Palpasi: tidak ada nyeri tekan.
Perkusi: sonor.

32
Auskultasi: vesikuler, tidak ada bunyi
napas tambahan. BJ I dan BJ II normal,
irama jantung teratur.
10) Abdomen : Inspeksi: normal, tidak ada asites, tidak
ada lesi.
Palpasi: tidak ada nyeri tekan.
Perkusi: timpani.
Auskultasi: bising usus terdengar 22x/
menit.
11) Sirkulasi : Tidak ada sianosis, pucat, CRT < 3 detik,
akral teraba hangat. Turgor kulit buruk
12) Neurologi : Kesadaran komposmentis, GCS 15
(E4V5M6).
13) Gastrointestinal : Mulut: mukosa lembab, tidak ada
stomatitis, tidak ada perdarahan gusi.
Mual: tidak Muntah: tidak.
14) Eliminasi : Ibu mengatakan anak BAB 1 kali sehari.
BAK spontan dengan konsistensi warna
kekuningan dan berbau khas.
15) Integumen : Warna kulit normal, tidak ada luka.
16) Muskuloskletal : Tidak ada kelainan tulang.
17) Genitalia : Labia mayora dan minora tampak normal,
tidak ada edema, tidak ada kemerahan.
18) Ektremitas : Klien tidak ada masalah pada ekstremitas.
Klien mampu menggenggam.
19) Skrining nyeri : Tidak ada nyeri.

6. Kebutuhan Dasar Manusia

1) Nutrisi : Klien hanya mengkonsumsi diit mc


peptijunior 8 x 50 cc via NGT

33
2) Tidur : Pola tidur: siang 8 jam/ hari, malam 9
jam/ hari

3) Personal Hygiene : Mandi 1x sehari


dengan bantuan keluarga
kebersihan kuku: bersih

4) Aktivitas bermain : Dengan orang tua

7. Pemeriksaan penunjang

No. Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai normal

1 Hemoglobin 8,3 g/ Dl 10,4-16,0

2 Leukosit 11,15 10^3/mm^3 6,0-18,0

3 Trombosit 541 10^3/mm^3 150-450

4 Eritrosit 3,06 10^3/mm^3 3,65-5,05

8. Terapi
1) Diet mc peptijunior 50cc /3 jam
2) Vancomisin 4x 50mg
3) Ceftazidim 3x 220 mg
4) Paracetamol 3x 40 mg
5) Diamox 3x 25 mg
6) Bicnat 3x1/3 tab
7) Euthirax 1x 25 mg

34
B. Analisa Data
No. Data Fokus Etiologi Problem
1 Data Subjektif: Gangguan aliran darah ke Risiko Ketidakefektifan
Ibu klien mengatakan klien tidak demam tetapi gelisah. otak akibat peningkatan TIK Perfusi Serebral
Ibu mengatakan kepala anaknya semakin membesar

Data Objektif:
Adanya tanda tanda peningkatan tekanan Intrakranial
Lingkar Kepala 47,5 Cm
Keadaan umum klien sedang
Suhu: 36,3 C
Pernapasan: 20x/ menit
Nadi: 92x/ menit
Akral teraba hangat
2 Data Subjektif: Ketidakmampuan mencerna Defisit nutrisi
Ibu klien mengatakan anak hanya mengkonsumsi diit Mc makanan
peptijunior dari RS
Ibu klien mengatakan anak sering rewel

35
Data Objektif:
Klien tampak lemah
Badan anak tampak kecil
Elstisitas kulit anak buruk
Konjungtiva anemis
HB 8,3 Mg/dl
Crt >3 detik
3 Data Subjektif: Program perawatan Keletihan
Ibu klien mengatakan klien lemah, gelisah dan rewel.
Ibu klien mengatakan klien banyak tidur tetapi masih
tampak lemah

Data Objektif:
Keadaan umum klien sedang
Klien tampak lemah
Klien tampak sering tidur

36
C. Diagnosa Keperawatan
No Diagnosa Keperawatan
.
1 Resiko ketidakefektifan perfusi serebral
2 Defisit nutrisi ditandai dengan ketidakmampuan mencerna makanan.
3 Keletihan berhubungan dengan program perawatan.

D. Intervensi Keperawatan
No Diagnosa Standar Luaran Standar Intervensi
. Keperawatan Keperawatan Indonesia (SLKI) Keperawatan Indonesia (SIKI)
1 resiko ketidakefektifan Setelah dilakukan intervensi selama 3x24 jam, Manajemen penigkatan intrakranial
perfusi serebral maka tingkat resiko ketidakefektifan perfusi b. Observasi:
serebral dengan kriteria hasil: 1. Identifikasi penyebab peningkatan
1. Tingkat kesadaran kognitif meningkat TIK
2. Gelisah menurun 2. Monitor tanda dan gejala peningkatan
3. Tekanan intrakranial membaik TIK

37
c. Terapeutik:
1. Minimalkan stimulus dengan
menyediakan lingkungan yang tenang
2. Berikan posisi semi fowler
3. Cegah terjadinya kejang
4. Pertahankan suhu tubuh normal
d. Edukasi:
1. Kolaborasi pemberian pelunak tinja,
jika perlu
2 Risiko defisit nutrisi Setelah dilakukan intervensi selama 3x24 jam, Manajemen Nutrisi
ditandai dengan maka status nutrisi membaik dengan kriteria a. Observasi:
ketidakmampuan hasil: 1. Identifikasi status nutrisi.
mencerna makanan 1. Frekuensi makan dipertahankan pada 2. Identifikasi alergi dan intoleransi
sedang (3) ditingkatkan ke membaik (5). terhadap makanan.
2. Nafsu makan dipertahankan pada cukup 3. Monitor asupan makanan.
memburuk (2) ditingkatkan ke cukup b. Terapeutik:
membaik (4). 1. Lakukan oral hygiene sebelum
makan, jika perlu.
2. Dukung keluarga dalam pemberian

38
diit secara teratur
3. Sajikan diit di konsumsi dalam
keadaan hangat.
4.
c. Edukasi:
1. Anjurkan posisi duduk, jika mampu.
3 Keletihan Setelah dilakukan intervensi selama 3x24 jam, Edukasi Aktivitas Dan Istirahat
berhubungan dengan maka tingkat keletihan membaik dengan a. Observasi:
program perawatan kriteria hasil: 1. Identifikasi kesiapan dan kemampuan
1. Verbalisasi kepulihan energi dipertahankan menerima informasi.
pada cukup menurun (2) ditingkatkan ke b. Terapeutik:
cukup meningkat (4). 1. Sediakan materi dan media
2. Kemampuan melakukan aktivitas rutin pengaturan aktivitas dan istirahat.
dipertahankan pada cukup menurun (2) 2. Jadwalkan pemberian pendidikan
ditingkatkan ke cukup meningkat (4). kesehatan sesuai kesepakatan.
3. Verbalisasi lelah dipertahankan pada cukup 3. Berikan kesempatan kepada pasien
meningkat (2) ditingkatkan ke cukup dan keluarga untuk bertanya.
menurun (4). c. Edukasi:
4. Lesu dipertahankan pada cukup meningkat 1. Jelaskan pentingnya melakukan

39
(2) ditingkatkan ke cukup menurun (4). aktivitas fisik atau olahraga secara
5. Gelisah dipertahankan pada cukup rutin.
meningkat (2) ditingkatkan ke cukup 2. Anjurkan menyusun jadwal aktivitas
menurun (4). dan istirahat.
3. Anjurkan terlibat dalam aktivitas
kelompok, aktivitas bermain, dan
aktivitas lainnya.
4. Ajarkan cara mengidentifikasi
kebutuhan istirahat.

E. Implementasi
No Hari/ Paraf
. Tanggal/ Implementasi Keperawatan Evaluasi Keperawatan Perawat
DX Jam
1 Senin 1. mengidentifikasi penyebab peningkatan Data Subjektif: Kel.4
15/01/2023 TIK Keluarga klien mengatakan klien tidak
Jam 09.00 2. Memonitor tanda dan gejala peningkatan demam
TIK Keluarga klien mengatakan klien gelisah
Data Objektif:

40
3. Meminimalkan stimulus dengan Keadaan umum klien sedang
menyediakan lingkungan yang tenang Suhu: 36, 6o C
4. memberikan posisi semi fowler Pernapasan: 32x/ menit
5. mencegah terjadinya kejang Nadi: 120x/ menit
6. mempertahankan suhu tubuh normal Analisa: masalah belum teratasi
7. berkolaborasi pemberian pelunak tinja, Planning: pertahankan intervensi
jika perlu (monitor peningkatan TIK)
2 Jam 12.00 1) Mengidentifikasi status nutrisi. Subjektif: Kel.4
2) Mengidentifikasi alergi dan intoleransi Keluarga klien mengatakan nafsu makan
terhadap makanan. klien masih kurang
3) Melakukan oral hygiene sebelum makan. Objektif:
4) Memberikan makanan. Keadaaan umum klien sedang
5) Menganjurkan posisi duduk. Klien tampak lemah
6) Memonitor asupan makanan. Turgor kulit klien masih buruk
Analisa: masalah belum teratasi
Planning: pertahankan intervensi
(monitor asupan makanan)
3 Jam 14.00 1) Mengidentifikasi kesiapan dan Subjektif: Kel.4
kemampuan menerima informasi. Keluarga klien mengatakan klien lemah

41
2) Menjadwalkan pemberian pendidikan dan gelisah
kesehatan sesuai kesepakatan. Keluarga klien mengatakan klien banyak
3) Menyediakan materi dan media tidur
pengaturan aktivitas dan istirahat. Objektif:
4) Memberikan kesempatan kepada pasien Keadaan umum klien sedang
dan keluarga untuk bertanya. Klien tampak lemah dan lesu
5) Menganjurkan menyusun jadwal aktivitas Analisa: masalah belum teratasi
dan istirahat. Planning: pertahankan intervensi
(anjurkan menyusun jadwal aktivitas dan
istirahat)
1 Selasa 1. mengidentifikasi penyebab Data Subjektif: Kel.4
16/01/2023 peningkatan TIK Keluarga klien mengatakan klien tidak
Jam 08.00 2. Memonitor tanda dan gejala demam
peningkatan TIK Keluarga klien mengatakan klien sudah
tidak gelisah
3. Meminimalkan stimulus dengan Data Objektif:
menyediakan lingkungan yang Keadaan umum klien sedang
tenang Suhu: 36, 7o C,
4. memberikan posisi semi fowler Pernapasan: 32x/ menit

42
5. mencegah terjadinya kejang Nadi: 97x/ menit
6. mempertahankan suhu tubuh normal Analisa: masalah teratasi sebagian
7. berkolaborasi pemberian pelunak Planning: pertahankan intervensi
tinja (monitor peningkatan TIK)
2 Jam 12.00 1) Mengidentifikasi status nutrisi. Subjektif: Kel.4
2) Melakukan oral hygiene sebelum makan. Keluarga klien mengatakan
3) Memberikan makanan. Keluarga klien mengatakan klien
4) Menganjurkan posisi duduk. menghabiskan diit dari Rumah Sakit
5) Memonitor asupan makanan. Objektif:
Keadaaan umum klien sedang
Turgor kulit masih buruk
Analisa: masalah teratasi sebagian
Planning: pertahankan intervensi
(monitor asupan makanan)

3 Jam 14.00 1) Menganjurkan terlibat dalam aktivitas. Subjektif: Kel.4


2) Menjelaskan pentingnya melakukan Keluarga klien mengatakan klien di
aktivitas fisik. ajarkan untuk melakukan gerakan ringan
3) Mengajarkan cara mengidentifikasi Objektif:

43
kebutuhan istirahat. Keadaan umum klien sedang
Klien tampak di ajarkan untuk
menggerakan tangan dan kakinya oleh
ibunya
Analisa: masalah teratasi sebagian
Planning: pertahankan intervensi
(ajarkan cara mengidentifikasi kebutuhan
istirahat)
1 Rabu, 1. mengidentifikasi penyebab peningkatan Data Subjektif: Kel.4
17/01/2023 TIK Keluarga klien mengatakan klien tidak
Jam 08.00 2. Memonitor tanda dan gejala peningkatan demam
TIK Keluarga klien mengatakan klien tidak
3. Meminimalkan stimulus dengan gelisah
menyediakan lingkungan yang tenang Data Objektif:
4. memberikan posisi semi fowler Keadaan umum klien sedang
5. mencegah terjadinya kejang Suhu: 36, 7o C
6. mempertahankan suhu tubuh normal Pernapasan: 30x/ menit
7. berkolaborasi pemberian pelunak tinja Nadi: 102x/ menit
Analisa: masalah teratasi

44
Planning: hentikan intervensi
2 Jam 12.00 1) Mengidentifikasi status nutrisi. Subjektif: Kel.4
2) Melakukan oral hygiene sebelum makan. Keluarga klien mengatakan nafsu makan
3) Memberikan makanan. klien membaik
4) Menganjurkan posisi duduk. Keluarga klien mengatakan mual dan
5) Memonitor asupan makanan. muntah tidak ada
Keluarga klien mengatakan klien
menghabiskan 1porsi makanannya
Objektif:
Keadaaan umum klien sedang
Klien tampak menghabiskan 1 porsi
makanannya
Klien tampak tidak ada mual muntah
Analisa: masalah teratasi sebagian
Planning: pertahankan intervensi
(monitor asupan makanan)
3 Jam 14.00 1) Menganjurkan terlibat dalam aktivitas Subjektif: Kel.3
terapi bermain. Keluarga klien mengatakan klien rutin di
2) Menganjurkan terlibat dalam aktivitas ajak aktifitas sesuai umur

45
lainnya. Keluarga klien mengatakan klien tidak
3) Mengajarkan cara mengidentifikasi lemas da tidak gelisah
kebutuhan istirahat. Keluarga klien mengatakan klien
beristirahat ketika merasa lelah
Objektif:
Keadaan umum klien baik
Klien tampak di ajarkan ibu untuk
menggerakan annggota tubuhnya.
Klien lebih tenang
Analisa: masalah teratasi
Planning: hentikan intervensi

46
BAB IV
PEMBAHASAN

A. Pengkajian Keperawatan
Pada saat pengkajian tanggal 15 januari 2023, klien dengan hidrosefalus
hari pertama. Ibu mengatakan klien tidak deman tetapi klien gelisah dan ibu
juga mengatakan kepala anaknya yang semakin membesar.Ibu klien
mengatakan anaknya sering rewel dan ibu klien mengatakan klien kurang aktif
dan sering menangis bahkan kurang tidur .Ibu klien juga mengatakan anaknya
mengkonsumsi makanan cair peptijunior dari RS melalui NGT.
Pemeriksaan fisik ditemukan keadaan umum klien sedang, kesadaran
komposmentis dengan GCS 15 (E4V5M6) , nadi: 97x/ menit, suhu: 36,7 °C,
RR: 32x/ menit. leukosit: 3,84 10^3/mm^3, BB: 3,3 kg, TB: 50 cm, IMT: 14,7,
Akral teraba hangat, klien tampak lemah, gelisah, rewel dan turgor kulit buruk.
Penatalaksanaan yang dilakukan pada klien adalah kemoterapi dimana
kemoterapi merupakan perawatan dengan menggunakan obat-obat untuk
membunuh sel-sel kanker yang ada pada penderita. Menurut Nelson (2014)
dalam Ayu (2019), terdapat 3 fase kemoterapi yaitu fase induksi, fase
profilaksis, fase konsolidasi.
Menurut Sudoyo, dkk. (2010) dalam Ayu (2019), ada efek samping dari
beberapa jenis obat kemoterapi yang bisa terjadi pada anak diantaranya adalah
mukositis yaitu suatu peradangan pada mukosa bisa pada rongga mulut
(stomatitis), lidah (glossitis), tenggorokan (esofagitis) dan usus (enteritis),
alopesia (rambut rontok), mual dan muntah yang dapat mengakibatkan
penurunan nafsu makan pada anak.
Asumsi kelompok pada kasus An. U ditemukan klien tampak lemah,
nafsu makan klien menurun, klien juga mengalami mual dan muntah setelah
dilakukan kemoterapi. Efek samping kemoterapi disebabkan dari efek non-
spesifik dari obat-obat sitotoksik sehingga menghambat proliferasi tidak hanya
sel-sel kanker melainkan sel normal.

39
B. Diagnosa Keperawatan
Menurut Ayu (2019) diagnosa yang mungkin muncul pada penyakit
Acute Lymphoblastic Leukemia yaitu risiko infeksi, risiko defisit nutrisi, nyeri
kronis, keletihan, intoleransi aktivitas, dan kecemasan.
Berdasarkan hasil pengkajian, kelompok menemukan tiga masalah
keperawatan pada An. U yaitu:
1. Risiko infeksi ditandai dengan leukopenia
Menurut SDKI (2018), batasan karakteristik untuk menegakkan
diagnosa risiko infeksi yaitu penyakit kronis (mis. diabetes melitus), efek
prosedur invasif, malnutrisi, peningkatan paparan organisme patogen
lingkungan, ketidakadekutan pertahanan tubuh primer (seperti; gangguan
peristaltik, kerusakan integritas kulit, perubahan sekresi PH, penurunan
kerja siliaris, ketuban pecah lama, ketuban pecah sebelum waktunya,
merokok, statis cairan tubuh), ketidakadekuatan pertahanan tubuh
sekunder (seperti; penurunan hemoglobin, imunosupresi, leukopenia,
supresi respon inflamasi, vaksinasi tidak adekuat.
Menurut analisa kelompok pada kasus An. U ditemukan beberapa
batasan karakteristik tersebut yaitu: ibu klien mengatakan klien tidak
demam tetapi gelisah, ibu klien mengatakan klien sudah menjalani
kemoterapi, keadaan umum klien sedang, suhu: 36,6o C, pernapasan: 20x/
menit, nadi: 92x/ menit, leukosit: 3,84 10^3/mm^3, akral teraba hangat.
Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Ningsih
(2017), dimana dalam penelitian tersebut peneliti mengangkat diagnosa
risiko infeksi ditandai dengan rendahnya nilai leukosit karena efek dari
kemoterapi dimana terjadi supresi pada sumsum tulang sehingga produksi
sel darah putih menurun.

2. Risiko defisit nutrisi ditandai dengan ketidakmampuan mencerna makanan

40
Menurut SDKI (2018), batasan karakteristik untuk menegakkan
diagnosa risiko defisit nutrisi yaitu ketidakmampuan menelan makanan,
ketidakmampuan mencerna makanan, ketidakmampuan mengabsorpsi
nutrien, peningkatan kebutuhan metabolisme, faktor ekonomi (mis.
finansial tidak mencukupi), faktor psikologis (mis. stres, keengganan
untuk makan).
Menurut analisa kelompok pada kasus An. U ditemukan beberapa
batasan karakteristik tersebut yaitu: ibu klien mengatakan setelah
kemoterapi nafsu makan klien menurun, ibu klien mengatakan klien hanya
menghabiskan 2-3 sendok makan dari porsi makanannya, ibu klien
mengatakan klien mual dan muntah, klien tampak lemah, klien tampak
tidak menghabiskan makanannya, BB: 13 kg, TB: 94 cm, IMT: 14,7.
Wong (2009) dalam Ningsih (2017) menyebutkan selain perdarahan,
komplikasi lain yang timbul akibat kemoterapi adalah mual, muntah,
anoreksia, atau penurunan nafsu makan. Hal ini terjadi dikarenakan efek
samping dari kemoterapi dimana obat kemoterapi bekerja tidak hanya
membunuh sel-sel kanker yang sedang membelah diri, tetapi semua sel
yang membelah diri termasuk sel-sel sehat. Obat-obatan yang tadinya
bertujuan untuk meracuni sel-sel kanker menyebabkan rasa sakit pada
anak. Racun dari obat-obatan kemoterapi menyerang sel darah dan
menyebabkan keracunan darah. Sistem pencernaan menjadi syok tidak
terkontrol dan menyebabkan anak mual, muntah, tidak nafsu makan dan
berat badan berangsur menurun.
3. Keletihan berhubungan dengan program perawatan
Menurut SDKI (2018), batasan karakteristik untuk menegakkan
diagnosa keletihan yaitu merasa energi tidak pulih walaupun telah tidur,
merasa kurang tenaga, mengeluh lelah, tidak mampu mempertahankan
aktivitas rutin, tampak lesu, merasa bersalah akibat tidak mampu
menjalankan tanggung jawab, libido menurun, kebutuhan istirahat
meningkat.

41
Menurut Rahma (2021) salah satu penyebab keletihan adalah dari
kanker itu sendiri dimana sistem imun akan mencoba memerangi sel
kanker. Sistem imun akan bekerja menggunakan energi yang ada di dalam
tubuh. Jika sel kanker cukup kecil maka sistem imun dapat memerangi sel
kanker. Tubuh akan terus berusaha untuk mempertahankan imun secara
terus menerus hingga akhirnya tubuh akan kehabisan energi dan
mengalami keletihan. Pasien kanker bisa saja mengalami keletihan akibat
dari penyakitnya, namun pada umumnya keletihan pada pasien kanker
akan mengalami peningkatan karena menjalani terapi pengobatan seperti
kemoterapi. Keletihan adalah keluhan yang paling sering diungkapkan
pada pasien yang menjalani kemoterapi.
Menurut SDKI (2018) batasan karakteristik untuk menegakkan
diagnosa keletihan yaitu merasa energi tidak pulih walaupun telah tidur,
merasa kurang tenaga, mengeluh lelah, tidak mampu mempertahankan
aktivitas rutin, tampak lesu, dan kebutuhan istirahat meningkat.

C. Intervensi Keperawatan
Intervensi merupakan suatu strategi untuk mengatasi masalah klien
yang perlu ditegakkan diagnosa dengan tujuan yang akan dicapai serta
kriteria hasil. Umumnya perencanaan yang ada pada tinjauan teoritis dapat
diaplikasikan dan diterapkan dalam tindakan keperawatan sesuai dengan
masalah yang ada atau sesuai dengan prioritas masalah. (Ayu, 2019)
Intervensi yang dilakukan pada diagnosa pertama yaitu monitor tanda
dan gejala infeksi lokal dan sistemik, batasi jumlah pengunjung, cuci tangan
sebelum dan sesudah kontak dengan pasien dan lingkungan pasien, jelaskan
tanda dan gejala infeksi, jelaskan cara cuci tangan dengan benar, anjurkan
meningkatkan asupan nutrisi, anjurkan meningkatkan asupan cairan.
Intervensi yang dilakukan pada diagnosa kedua yaitu identifikasi status
nutrisi, identifikasi alergi dan intoleransi terhadap makanan, monitor asupan
makanan, lakukan oral hygiene sebelum makan, jika perlu, berikan makanan
tinggi kalori dan tinggi protein, anjurkan posisi duduk, jika mampu.

42
Intervensi yang dilakukan pada diagnosa ketiga yaitu identifikasi
kesiapan dan kemampuan menerima informasi, sediakan materi dan media
pengaturan aktivitas dan istirahat, jadwalkan pemberian pendidikan kesehatan
sesuai kesepakatan, berikan kesempatan kepada pasien dan keluarga untuk
bertanya, jelaskan pentingnya melakukan aktivitas fisik atau olahraga secara
rutin, anjurkan menyusun jadwal aktivitas dan istirahat, anjurkan terlibat
dalam aktivitas kelompok, aktivitas bermain, dan aktivitas lainnya, ajarkan
cara mengidentifikasi kebutuhan istirahat.

D. Implementasi Keperawatan
Implementasi keperawatan harus sesuai dengan perencanaan
keperawatan yang telah ditetapkan pada teori SDKI, SLKI, dan SIKI.
Implmentasi pada masalah keperawatan risiko infeksi yang dilakukan perawat
pada An. U sudah sesuai dengan perencanaan yang telah disusun. Menurut
kelompok implementasi sudah sesuai dengan teori ulang yang ada pada SLKI
SIKI (2018)

E. Evaluasi Keperawatan
Evaluasi keperawatan adalah penilaian terakhir didasarkan pada tujuan
keperawatan yang ditetapkan. Penetapan keberhasilan suatu asuhan
keperawatan didasarkan pada kriteria hasil yang telah ditetapkan, yaitu
terjadinya adaptasi pada individu. Evaluasi keperawatan mengukur
keberhasilan dari rencana dan pelaksanaan tindakan keperawatan yang
dilakukan dalam memenuhi kebutuhan klien. Hal ini bisa dilaksanakan
dengan mengadakan hubungan dengan klien berdasarkan respon klien
terhadap tindakan keperawatan yang diberikan sehingga perawat dapat
mengambil keputusan.

43
BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan
Setelah dilakukan asuhan keperawatan pada An. U dengan ALL
didapatkan kesimpulan:
1. Hasil pengkajian tanggal 09 April 2022 , klien post kemoterapi hari
pertama. Ibu mengatakan setelah kemoterapi klien tampak lemah, gelisah,
dan rewel. Ibu klien mengatakan klien banyak tidur tetapi tetap nampak
lemas. Ibu klien juga mengatakan setelah kemoterapi nafsu makan klien
menurun, klien hanya menghabiskan 2-3 sendok makan dari porsi
makanannya. Ibu klien mengatakan klien juga mengalami mual dan
muntah.
2. Diagnosa keperawatan yang muncul pada An. U yaitu risiko infeksi, risiko
defisit nutrisi, dan keletihan.
3. Rencana keperawatan yang disusun berdasarkan pada masalah
keperawatan yang ditemukan yang sesuai dengan teori yang ada
berdasarkan buku SDKI, SLKI, dan SIKI.
4. Implementasi keperawatan mengacu pada rencana keperawatan yang telah
disusun. Implementasi dilakukan selama 3 hari pada tanggal 10-12 April
2022. Sebagian rencana keperawatan dapat kelompok laksanakan pada
implementasi keperawatan.
5. Evaluasi yang dilakukan pada masalah keperawatan yang muncul pada An.
U diperoleh hasil evaluasi yang menunjukan masalah keperawatan teratasi
pada hari ke-3 yaitu risiko infeksi dan keletihan.

B. Saran
Diharapkan dengan adanya laporan seminar kasus ini pembaca
khususnya mahasiswa keperawatan dapat memperoleh ilmu yang lebih
tentang Asuhan Keperawatan dengan Acute Lymphoblastic Leukemia (ALL) .

44
Semoga makalah ini dapat dijadikan sumber literatur yang layak digunakan
untuk mahasiswa.
DAFTAR PUSTAKA

Ayu, Ratih Okfyta. 2019. Asuhan Keperawatan Gangguan Pemenuhan Nutrisi


pada Anak Prasekolah dengan Acute Lymphoblastic Leukemia (ALL) di
Yayasan Kaih Anak Kanker Indonesia Kota Semarang. Semarang: Poltekkes
Kemenkes Semarang.
Ningsih, Yosi Oktavia. 2017. Asuhan Keperawatan pada An. K dengan Leukemia
di Ruangan Kronis IRNA Kebidanan dan Anak RSUP Dr. M. Djamil Padang.
Padang: Poltekkes Kemenkes Padang.
Rahma, Dina Ayudia. 2021. Kelelahan pada Pasien Kanker yang Menjalani
Kemoterapi di RSUP H. Adam Malik Medan. Medan: Universitas Sumatera
Utara.
Tim Pokja SDKI PPNI. 2018. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia Edisi 1.
Jakarta: DPP PPNI.
Tim Pokja SIKI PPNI. 2018. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia Edisi 1.
Jakarta: DPP PPNI.
Tim Pokja SLKI PPNI. 2019. Standar Luaran Keperawatan Indonesia Edisi 1.
Jakarta: DPP PPNI.

45

Anda mungkin juga menyukai