Anda di halaman 1dari 27

MAKALAH

KEPERAWATAN GERONTIK

OLEH :

NAMA : SITI NURBAITI

NIM : 1433 02719

KELAS : B/VII

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN MARANATHA

KUPANG

2022
ii
KATAR PENGANTAR

Puji Syukur kami panjatkan ke Kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah
memberikan kami kemudahan sehingga kami dapat meyelesaikan makalah ini dengan tepat
waktu. Tanpa pertolongan-Nya tentunya kami tidak akan sanggup untuk menyelesaikan
makalah ini dengan baik.

Kami mengucap syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas limpahan nikmat sehat-
Nya, baik itu secara fisik maupun akal pikiran, sehingga saya mampu untuk menyelesaikan
pembuatan makalah sebagai tugas dengan judul “ KEPERAWATAN GERONTIK “.

Kami tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan masih
banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di dalam. Untuk itu, kami mengharapkan kritik
serta saran dari Bapak Ibu Dosen untuk makalah ini, supaya makalah ini nantinya dapat
menjadi makalah yang lebih baik lagi.

Apabila terdapat banyak kesalah pada makalah ini saya mohon maaf yang sebesar-
besarnya.

Demikian, semoga makalah ini dapat bermanfaat. Terimah Kasih.

Kupang, 16 Oktober 2022

Penulis

i
DAFTAR PUSTAKA

Kata Pengantar.................................................................................................. i

Daftar Isi .......................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN ................................................................................ 1

1.1.Latar Belakang ........................................................................................... 1


1.2.Tujuan ....................................................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN ................................................................................. 3

2.1.Pengertian Keperawatan gerontik, gerontologi, geriatrik ......................... 3


2.2.Peran perawat gerontik ............................................................................. 3
2.3.Setting pelayanan kesehatan untuk lansia................................................... 7
2.4.Standar praktik keperawatan lansia .......................................................... 12
2.5 Pengertian dan kalsifikasi lansia ................................................................ 19
2.6 Lansia sebagai populasi berisiko dan rentan.............................................. 20
2.7 Populasi lansia di dunia, indonesia dan peningkatannya............................ 21
BAB III PENUTUP.......................................................................................... 22

3.1.Kesimpulan ................................................................................................ 22
3.2.Saran........................................................................................................... 22
Daftar Pustaka

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Pada zaman dahulu ilmu keperawatan yang berfokus pada pelayan kesehatan
terhadap lansia masih belum dikenal. Selama masa perkembangannya, ilmu keperawtan
ini memiliki nama yang berbeda-beda. Permasalah pemilihan kata ini menjadi sebuah
perdebatan dikalangan parah ahli. Awalanya ilmu keperawatan ini menggunakan kata
geriatrik dan gerontologi sebelum akhirnya berubah menjadi gerontik seperti sekarang
ini. Kata geriatrik, gerontologi, dan gerontik tentu memiliki kata yang berbeda satau
sama lain. Dalam dunia keperawtan sekarang ini, lebih dikenal dengan istilah
keperawatan gerontik daripada keperawatan geriatrik maupun gerontologi.
Geriatik lebih dikenal dengan suatu ilmu yang berhubungan dengan penyakit dan
kecacatan pada orang tua(Touhy & jett, 2014). Sedangkan, gerontologi bersifat
multidisplin yaitu bersii tentang ilmu keperawatan, psikologo, medis, dan lain-lain.
(Miller, 2012) Sehingga para ahli menyimpulkan kata gerontik adalah kata yang paling
tepat untuk digunakan dibidang ilmu keperawtan ini karena gerontik memiliki arti
sebagai spesialisasi keperawtan tentang praktik mengasuh, merawat, dan menghibur
orang dewasa yabg lebih tua (Flaherty, n.d). peran dari seorang perawat dalam
keperwatan gerontik pun masih kurang diketahui.
Bagaimana cara seorang perawat untuk melakukan intervemsi dengan sasaran
lansia masih kurang diketahui kerena perminatan ilmu gerontik belim sebanyak bidang
keperawatan yang lain. Maka dari itu, dalam makalah ini akan dibahas mengenai “
keperawatan gerontik, gerontology, dan geriatik serta peran perawat gerontik, setting
pelayanan kesehatan lansia, standar praktik keperawatan gerontik, pengertian dan
klasifikasi lansia, lansia sebagai populasi berisiko dan rentan, populasi lansia di dunia,
indonesia dan peningkatannya.

1
1.2. Rumusan Masalah
1. Pengertian geriatrik, gerontologi, dan gerontik
2. Peran perawat gerontik
3. Setting pelayan kesehatan untuk lansia
4. Standar praktik keperawatan gerontik
5. Pengertian dan klasifikasi lansia
6. Lansia sebagai populasi berisiko dan rentan
7. Populasi lansia di dunia, indonesia Dn Peningkatanya

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Pengerian Geriatrik, Gerontologi, dan Gerontik


2.1.1 Pengertian Geriatrik
Geriatrik berasal dari kata yunani yaitu “geras“ yang berarti usia tua. Hal
ini mengacu pada cabang kodokteran yang terdiri dari diagnosa, pengobatan
penyakit, dan sidrom yang terjadi terutama pada kalangan dewasa tua
(Flaherty, 2004). Menurut Miller (2012) geriatrik sangat berakaitan dengan
penyakit dan kecacatan orang tua sehingga dapat dimaknai bahwa istilah
geriatrik berfokus pada subspesoalisasi pengobatan penyakit dan praktik
keluarga. Seiring dengan berjalanyanya waktu, terdapat pergeserab orientasi
yaitu fokus geriatrik ini mencakup masalah kualitan hidup, intervensi
mepertahankan fungsi optimal dan promosi kesehatan.
2.1.2 Pengertian Gerontologi
Gerontologi ialah studi tentang penuaan dan orang dewasa yang lebih tua,
yang bersifat multidisiplin sebagai bidang sebagai keparawatan, psikologi,
pekerjaan sosial dan profesi kesehatan tertentu (Millerm 2012). Sedangjab,
menurut Tabloski (2014) gerotologi merupakan studi holistik tentang proses
penuaan dan individu sepanjang kehidupan mereka untuk mengetahui ini ke
kebijakan dan progran pengembangan. Fokus dari keperawtan gerontologi
adalah untuk menpelajari, mendiagnosis penyakit )Tabloski, 2014)
2.1.3 Keperawatan Gerontik
Gerontik berasal dari bahasa yunani yaitu “geron” yang memiliki ari
orang tua atau usia. Gerontik didefinisikan sebagai spesialis keperawatan
tentang praktik mengasuh, merawat, dan menghibur orang dewasa yang lebih
tua. Keperawatan gerontik memiliki tujuan yaitu untuk memenuhi
kenyamanan lansia, mempertahankan fungsi tubuh, dan menabtu lansia
menghadapi kematian dengan tenang dan damia (Mauk, 2014).

3
2.2. Peran perawat gerontik
2.2.1 Peran sebagai Direct Care giver
Peran perawatan dalam hal ini memberikan perawatan langsung kepada
lansia diberbagai situasi kondisi. Umumnya, lansia sering menunjukan gejalah
khas namun terasa sulit dimengerti ucapannya yang menjadi tantangan bagi
perawat dalam menentukan diagnosa dan penangan yang tepat. Oleh
karenanya, perawat sebagai penyedia perawatan harus mengetahui segala
proses penyakit dan gejala yang biasa terlihat pada lansia mencakup
pengetahuan tentang faktor resiko, tanda dan gejala, penangan medis yang
biasa dilakukan, rehabilitas, serta perawatan yang dibutuhkan pada akhir usia
(Hindle & Coates, 2011).
2.2.2 Perawat sebagai advokator
Perawat dalam hal ini bertindak memihak atau memastikan lansia untuk
mendapatkan haknya, pelayanan yang layak, memperkuat otonomi klien dalam
pengambilan keputusan, dan mendidik orang lain mengenai stereotip negatif
dari penuaan (Miller, 2012). Contoh kencilnya seperti menjelaskan prosedur
medis atau perawatan kepada anggota keluarga untuk memili panti werdha
terbaik bagi anggota keluarga yang dicintainya atau mendukung anggota
kelaurga yang berada dalam peran pengasuhan. Hal yang perlu diingat, apapun
situasinya peran advokator tidak berarti membuat keputusan untuk lansia,
tetapi memperdayakan mereka untuk tetap independen dan bermartabat
bahkan dalam situasi sulit sekalipun (Stanley & Beare, 2006
2.2.3 Perawat sebagai Edukator
Perawat yang berperam sebagai edukator memiliki kewajiban untuk
memberi informasi mengenai status kesehatan klien kepada klien serta
keluarga klien dan membantuk klien mencapai perawatan diri sesuai
kemampuannya (Potter, Perry, Stockert & Hall, 2013). Hal ini dapat dilakukan
dengan cara menunjukan prinsip, prosedur dan teknik dalam pemeliharaan
kesehatan kepada labsia. Menurut Tabloski (2014), perawat dapat melakukan
edukasi mengenaik beberapa hal kepada lansia seperti deteksi penyakit,
pemberian edukasi tentang penuaan yang sehat, pengobatan terhadap penyakit,
dan rehabilitasi kepada lansia serta keluarganya. Selain itu, perawat edukator
dapat juga berpartisipasi dalam renah pendidikan sehingga memberikan
pelatihan untuk perawat.

4
Memberikan edukasi kepada lansia menjadi tantangan tersendiri bagi
perawat. Hal ini dikarenakan lansia mengalami cognitive aging yang
mempengaruhi proses belajar (Miller, 2012). Sehingga perawat perlu
menyesuaikan metode dan bahan edukasi agar edukasi yang diberikan dapat
dimengerti dengan baik oleh lansia. Apabila lansia tidak dapat diberikan
edukasi, maka edukasi diberikan kepada keluarganya. Namun, jika lansa masih
memiliki kognitif yang baik, terdapat lima hal yang perlu dilakukan agar
edukasi yang diberikan dapat dipahami dengan bik menurut Miller (2012),
antara lain:
1) Memberikan waktu yang cukup untuk lansia menyerap informasi,
artinya pemberian informasi dilakukan dengan tidak terbutu-buru.
2) Memberikan sejumlah kecil informasi dalam bebrapa sesi, artinya
tidak diberikan banyak informasi pada satu pertemuan.
3) Membeuat rujukan kepda perawat untuk melakukan perawatan
dirumah dengan salah satunya follow up pengajaran yang diberikan.
4) Membuat lingkungan pembelajaran nyaman engan menghilangkan
berbagai hal yang dapat menjadi distraksi.
5) Mengaitkan informasi yang diberikan dengan pengalaman masa lalu
klien agar mudah deserap klien.
2.2.4 Perawat sebagai Manajer
Perawat sebagai manajer bertanggung jawab dalam memberikan
lingkungan yang positif serta profesional di rumah sakit atau komunitas agar
terwujudnya pelayan an yang berkualitas. Selain itu, perawat sebagai menajer
juga harus mampu memimpin dan mengelola tim klinis yang dibentuk. Mauk
(2014), mengemukakan bahwa perawat manajer dalam keperawatan gerontik
perlu memiliki kemampuan dalam beberapa hal antara lain :
1) Membangun dan meningkatkan kemampuan serta ketrampilan anggota
tim keperawtan gerontik. Dalam hal ini, seorang perawat gerontik
harus memilki standar dalam memberikan asuhan keprawatan kepada
lansia. Standar tersebut antara lain, pengetahuan dan ketrampilan untuk
menjaga kesehatan lansia, mencegah penyakit, mengelola penyakit
kronis yang komples, penurunan fungsu fisik dan mental, hingga
perawatan paliatif (ANA, 2010 dalam Touhy & Jett, 2014). Sehingga,

5
manajer perlu memfasilitasi pelatihan atau workshop agar kemapuan
anggota tim dapat meningkat
2) Mementuksn proritas dan tujuan yang realistis, dapat terukur serta
memiliki batasan waktu.
3) Membuat keputusan dalam menyelesaikan masalah baik masalah
internal antara anggota tim dan masalah klien
4) Mendelegasikan tugas kepada seseorang yang dianggap dapat
menjalankan tugas dengan baik
5) Mempu meberikan dorongan, arahan yang jelas, dan harapan terhadap
stafnya.
2.2.5 Perawat sebagai Praktisi Independen
Praktisi independen artinya perawat melakukan praktik keperawatn
secara mandiri. Menurut Tabloski (2014), parameter parameter praktik
keperawatan dapat beerbeda di setiap negara namun perawat harus memiliki
kode etik profesi dan standar praktik keperawatan yang berlaku untuk
menunjukan kopentesi perawat. Menurut undang-Undang No.38 tahu 2014,
untuk membuka praktik keperawtan mandiri, perawat harus memiliki Surat
Ijin Prakti Perawar (SIPP) yang berlaku selama STR masih berlaku. Contoh
praktik mandiri dalam keperawatan gerontik ialah menbuka praktik
keperawatan luka, menerima kontrol perawatan untuk lansia, dan lain-lain.
2.2.6 Perawat sebagai Konselor
Perawat gerontik sebagai konselor bertugas membantu pasien
mengidentifikasi dan mengklarifikasi masalah kesehatan dan memiliki
tindakan-tindakan yang tepat untuk menyelesaikan maslah tersebut (Potter,
Perry, Stockert & Hall, 2013). Contoh peran ini, yaitu perawat membantu
mengidentifikasi dan meyelesaikan masalah kesehatan lansia melalui
konsultan kesehatan berkelanjutan, membantuk keluarga pasien memutuskan
apakah perlu lansia dimasukkan ke panti, memberikan arahan terkait biaya
perawatan lansia yang sesuai dengan kebuthan dan lain-lain. Seperti halnya
pada peran s ebagai advokator, seorang perawat konselor tidak membuat
keputusan untuk klien namun membiarkan klien memliki keputusan
terbaiknya.

6
2.2.7 Perawat sebagai olaborator
Kolaborasi atau bekerja dalam upaya gabungan dengan semua pihak
yang terlibat dalam perawatan perlu mengembangkan rencana yang dapat
diterima bersama demi tercapainya tujuan bersama (Potter, Perry, Stockert &
Hall, 2013). Contoh peran ini, seperti praktisi keparawatan berada pada tim
perawatn berbasis rumah yang berkolaborasi dengan dokter untuk meberikan
layanan perawatan primer kepada pasien yang berisiko tinggi (Touhy & Jett,
2014).
2.2.8 Perawat sebagai Peneliti
Perawat peneliti adalah pemimpi dalam memperluas pengetahuan dalam
bidang keperawatan dan disiplin perawatan kesehatan lainnya. Tugas mereka
adalah memberikan bukti praktik untuk memastikan perawat memiliki bukti
terbaik untuk mendukung praktik mereka. Selain itu perawat peneliti juga
menyelidiki masalah untuk memperluas asuhan keperawatan, mengurangi atau
memperluas cakupan praktik keperawatan (Potter, Perry, Stockert & Hall,
2013). Contoh peran ini , yaitu perawat mengambangkan penelitian mengenai
metode perawatan yang cocok untuk pasien lansia dengan penyakit kronik
tertentu, membantu mengembangkan teori keperawatan modern yang sesuai
dengan kondisi saat ini, dan lain-lain.

2.3. Setting Pelayanan Kesehatan untuk Lansia


2.3.1 Konsep Pelayan Kesehatan Lansia
Konsep pelayanan kesehatan pada populasi lanjut usia direncanakan dan
dilaksanakan. Untuk mengupayakan prinsip holistik yang berkesinambungan,
secara garis besar pelayanan pada kesehatan pada usia dapat dibagi sebagai
berikut :
a. Pelayanan kesehatan geriatri di masyarakat (Community Based Geriatric
Service)
Pada upaya kesehatan pelayanan ini, semua upaya kesehatan yang
berhubungan dan dilaksanakan oleh masyarakat harus diupayakan
berperan serta menangani kesehatan para lanjut usia. Puskesmas dan
dokter praktek swasta merupakan tulang punggung layanan di tingkat ini.
Puskesmas berperan dalam membentuk kelompok/klub lanjut usia. Di
dalam dan melalui klub lanjut usia ini pelayanan kesehatan dapat lebih

7
mudah dilaksanakan, baik usaha promotif, preventif, kuratif, dan
rehabilitatif.
Pada dasarnya layanan kesehatan geriatri di tingkat masyarakat
seharusnya mendayagunakan dan mengikut-sertakan masyarakat
(termasuk para lanjut usia) semaksimal mungkin. Yang perlu dikerjakan
dengan berbagai cara, antara lain ceramah, symposium, lokakarya, dan
penyuluhan-penyuluhan.
b. Pelayanan kesehatan geriatri di masyarakat berbasis rumah sakit (Hospital
Based Comomnity Geriatric Service)
Pada layanan tingkat ini, rumah sakit setempat yang telah
melakukan layanan geriatri bertugas membina geriatri berada di wilayah-
wilayahnya, baik secara langsung atau tidak langsung memalui pembinaan
pada puskesmas yang berada diwilayah kerjanya “Transfer of Knowledge”
berupa lokakarya, ceramah-ceramah, symposium baik kepada tenaga
kesehatan ataupun kepada awam perlu dilaksanakan. Di lain pihak, rumah
sakit harus selalu bersedia bertindak sebagai rujukan dari layanan
kesehatan yang ada di masyarakat.
c. Pelayanan kesehatan geriatri berbasis rumah sakit (Hospital Based
Geriatric Service).
Pada layanan ini rumah sakit, tergantung dari jenis layanan yang
ada, menyediakan berbagai layanan bagi para lanjut usia. Mulai dari
layanan sederhana berupa poliklinik lanjut usia, sampai pada layanan yang
lebih maju, misalnya bangsal akut, klinik siang terpadu (day-hospital),
bangsal kronis dan/atau panti rawat wredha (nursing homes). Disamping
itu rumah sakit jiwa juga menyediakan layanan kesehatan jiwa bagi
geriatri dengan pola yang sama. Pada tingkat ini, sebaliknya dilaksanakan
suatu layanan terkait antara unit geriatri rumah sakit umum dengan unit
psikkogeriatri suatu rumah sakit jiwa, terutama untuk menangani
penderita penyakit fisik dengan komponen gangguan psikis berat atau
sebaliknya.
Tim Pengembangan Pelayanan dan Pendidikan Geriatri PB PAPDI telah menyusun
konsep dasar pelayanan geriatri di berbagai jenis rumah sakit. Tingkatan-tingkatan
pelayanan yang diberikan berdasar pada kemampuan rumah sakit yang bersangkutan,
dan dapat dibagi sebagai berikut (TPPG PAPDI, 1993).

8
1. Tingkat sederhana, hanya menyediakan layanan poliklinik lanjut usia. Jenis
kegiatan yang dapat dilakukan berupa pengkajian, konsultasi, pemeriksaan,
penyuluhan, dan supervisi ke puskesmas. Bentuk fasilitas pelayanannya
berupa poliklinik, sedangkan sumber daya manusia yang diperlukan adalah
internist-geriatrist, perawat geriatri, ahli gizi, dan pekerja sosio-medik.
2. Tingkat sedang, dimana layanan yang diberikan selain poliklinik juga klinik
siang terpadu (day-hospital). Pelayanan sedang merupakan gabungan antara
pelayanan tingkat sederhana yang ditambah terapi fisik, terapi okupasi, terapi
bicara, rekreasi dan pemeriksaan maupun perawatan gigi-mulut sederhana.
Adapun bentuk fasilitas pelayanannya berupa poliklinik dan ‘Day Hospital’.
Dengan demikian sumber daya manusia yang diperlukan disesuaikan dengan
jenis pelayanan tersebut.
3. Tingkat lengkap, sama seperti layanan pada tingkat sederhana ditambah
dengan pengadaan bangsal lanjut usia dengan penyakit akut.
4. Tingkat paripurna, dimana diberikan semua jenis layanan yang ada pada
tingkat lengkap ditambah dengan adanya bangsal lanjut usia dengan penyakit
kronis.
Pada semua tingkatan, pengadaan upaya pendidikan dan pelatihan merupakan suatu
keharusan.

9
2.3.2 Prinsip Pelayanan Kesehatan Pada Lanjut Usia

Mengingat berbagai kekhususan perjalanan dan penampilan penyakit pada


usia lanjut, terdapat 2 prinsip utama yang harus dipenuhi guna melaksanakan
pelayanan kesehatan pada lanjut usia, yaitu pendekatan HOLISTIK atau
lengkap, serta tatakerja dan tatalaksana secara tim. (Hadi Martono, 1995)

A. Prinsip Holistik

Pada pelayanan kesehatan usia lanjut sangat unik karena menyangkut


berbagai aspek, yaitu :

1. Seorang pasien usia lanjut harus dipandang sebagai manusia


seutuhnya, meliputi pula lingkungan kejiwaan (psikologis) dan
sosial ekonomi. Hal ini ditunjukan antara lain bahwa aspek
diagnosis penyakit pada Spasien usia lanjut menggunakan tata cara
khusus yang disebut sebagai pengkajian geriatric, yang bukan saja
meliputi seluruh organ dan sistem, akan tetapi menyangkut pula
aspek kejiwaan dan lingkungan sosial ekonomi.(Hadi-
Martono,1991).

2. Sifat holistik mengandung artian baik secara vertikal atau


horizontal. Secara vertikal dalam arti pemberian pelayanan harus
dimulai dari pelayanan di masyarakat sampai ke pelayanan rujukan
tertinggi, yaitu rumah sakit yang mempunyai pelayanan
subspesialis geriatri. Holistik secara horizontal berarti bahwa
pelayanan kesehatan harus merupakan bagian dari pelayanan
kesejahteraan usia lanjut secara menyeluruh. Oleh karenanya,
pelayanan kesehatan harus bekerja secara lintas sektoral dengan
dinas/lembaga terkait dibidang kesejahteraan, misalnya agama,
pendidikan, dan kebudayaan, serta dinas sosial.

3. Pelayanan holistik juga berarti pelayanan harus mencakup aspek


pencegahan (preventif), promotif, penyembuhan (kuratif), dan
pemulihan (rehabilitatif). Begitu pentingnya aspek pemulihan ini,
sehingga WHO menganjurkan agar diagnosis penyakit pada usia
lanjut harus meliputi 4 tingkatan penyakit, sebagai berikut :

10
a. Disease (penyakit), yaitu diagnosis penyakit pada pasien,
misalnya penyakit jantung iskemik.
b. Impairment (kerusakan atau gangguan), yaitu adanya
gangguan atau kerusakan dari organ akibat penyakit,
misalnya pada keadaan di atas : infark miokard akut atau
kronis.
c. Disability (ketidak-mampuan), yaitu akibat obyektif pada
kemampuan fungsional dari organ atau individu tersebut.
Pada kasus di atas misalnya terjadi dekompensasi jantung.
d. Handicap (hambatan) yaitu akibat sosial dari penyakit. Pada
kasus tersebut di atas ketidakmampuan pasien untuk
melakukan aktivitas sosial baik di rumah, maupun di
lingkungan sosial-nya.
B. Prinsip tatakerja dan tatalaksana dalam tim
Tim geriatri merupakan bentuk kerjasama multidisiplin yang bekerja
secara interdisiplin dalam mencapai tujuan pelayanan geriatri yang
dilaksanakan. Yang dimaksud dengan kata multi-disiplin di sini adalah
berbagai disiplin ilmu kesehatan yang secara bersama-sama melakukan
penanganan pada pasien usia lanjut. Komponenya berbeda dengan
berbagai tim yang kita kenal pada populasi usia lain. Pada tim geriatri,
komponen utama terdiri dari dokter, pekerja sosio medik, dan perawat.
Tergantung dari kompleksitas dan jenis layanan yang diberikan, anggota
tim bisa ditambah dengan tenaga rehabilitasi medik (dokter, fisioterapi,
terapi okupasi, terapi wicara, dan lain-lain), psikolog dan/atau psikiater,
ahli farmasi, ahli gizi, dan tenaga lain yang bekerja dalam layanan
tersebut.
Istilah interdisiplin diberikan sebagai suatu tatakerja dimana masing-
masing anggotanya saling tergantung satu sama lain. Perbedaan dengan
tim multidisplin yang bekerja secara multidisiplin pula (seperti banyak tim
kesehatan lainya) dimana tujuan seolah-oleh dibagi secara kaku
berdasarkan disiplin masing-masing anggota. Pada tim interdisiplin,
tujuan merupakan tujuan bersama. Masing-masing anggota mengerjakan
tugas sesuai disiplinnya sendiri-sendiri, akan tetapi tidak secara kaku.
(pada skema di bawah digambarkan sebagai garis terputus). Disiplin lain

11
bisa memberi saran demi tercapainya tujuan bersama. Secara periodik
dilakukan pertemuan antara anggota tim untuk mengadakan evaluasi kerja
yang telah dicapai, dan kalau perlu mengadakan perubahan demi tujuan
bersama yang hendak dicapai. Dengan kata lain, pada tim multidisiplin
kerjasama terutama bersifat pada pembuatan dan penyerasian konsep,
sedangkan pada interdisiplin kerjasama meliputi pembuatan dan
penyerasian konsep serta penyerasian tindakan. Secara praktis, tatakerja
interdisiplin dari tim geriatri adalah melalui konferensi, bersama-sama
menentukan prioritas masalah (setting priority), menekankan kualitas
hidup, membuat program penanganan dan evaluasi berdasarkan prioritas
masalah, serta menentukan kondisi setting limits.

2.4. Standar Praktik Keperawatan Gerontik


2.4.1 Standar Praktik Keperawatan Gerontik
Standart praktik kep. Gerontik 1987 dari American Nurses’ Association
(ANA), merupakan revisi dari standart asli tahun 1976. Standart ini
menunjukkan tanggung jawab perawat profesional pada saat memberikan
askep kepada lansia. Standar praktik keperawatan gerontik menurut ANA
1987:
1. Semua pelayanan keperawatan gerontik harus direncanakan, diatur oleh
perawat eksekutif.
2. Perawat menggunakan konsep teoritis sebagai petunjuk pelaksanaan
praktik keperawatan gerontik
3. Status kesehatan lansia dikaji secara teratur, komprehensif, akurat dan
sistematis
4. Perawat menggunakan data pengkajian kesehatan untuk menentukan
diagnosa keperawatan
5. Perawat mengembangkan rencana keperawatan
6. Perawat menggembangkan diagnosa keperawatan
7. Evaluasi klien dan keluarga secara berkesinambungan
8. Kolaborasi dengan anggota tim kesehatan lain
9. Perawat berpartisipasi dalam riset untuk menghasilkan badan ilmu
keperawatan gerontik, menyebarkan dan menggunakan dalam praktik
10. Menggunakan kode etik

12
11. Bertanggungjawab terhadap pengembangan profesional
(Antoen, 2012).
“Gerontological Nursing Competencies and Standards of Practice 2010” –
Canadian Gerontological Nursing Association
1. Standard I : Physiological Health
Definisi: Keperawatan gerontik membantu mengatur regulasi homeostatis
melalui asesmen dan manajemen dari perawatan fisiologis untuk
meminimalisir akibat dari pengobatan, diagnosis atau prosedur terapeutik
infeksi nosocomial atau stressor lingkungan.
2. Standar II : Optimizing Functional Health
Definisi : keperawatan gerontik memotivasi lansia untuk mengoptimalkan
fungsi kesehatan termasuk dalam integrasi yang mencakup status fisik,
kognitif, psikologis, sosial, dan spiritual (AACN & Hartford, 2000)
3. Standard III : Responsive Care
Definisi : keperawatan gerontik menyediakan perawatan yang responsive
yang memfasilitasi dan mendukug kemandirian klien melalui perubahan gaya
hidup. Sebuah perawatan yang responsive dengan pendekatan kebiasaan
tertentu tidak terlalu berhubungan dengan patologi itu sendiri, tetapi
meskipun mungkin berhubungan dengan fisik atau sosial lingkungan sekitar
lansia dengan demensia (Wiersman & Dupuis, 2007)
4. Standard IV : Relationship Care
Definisi : Perawat gerontology mengembangkan dan memelihara hubungan
perawatan terapeutik. Perawatan berbasis relationship adalah sebuah
pendekatan khusus yang penting dan unik dari masing-masing hubungan
partisipan dengan lainnya, dan mempertimbangkan hubungan yang terpusat
dalam mendukung perawatan kualitas terbaik, lingkungan kerja yang
berkualitas, dan performa organisasi yang superior (Saffron, Miller &
Beckman, 2006)
5. Standard V : Health System
Definisi : perawat gerontology selalu waspada pada pengaruh ekonomi dan
politik oleh penyedia atau fasilitato perawatan yang mendukung akses
perawatan kesehatan. Sistem untuk mendukung dan menopang perubahan
praktis harus tetap dilakukan, termasuk keberlangsungan pendidikan,
perlindungan, prosedur dan pembagian kerja (Crandall, White, Schuldheis &
Talerico, 2007)
6. Standar VI : Safety and Security
Definisi : perawat gerontology selalu responsive dalam mengkaji klien dan
lingkungan dari bahaya yang dapat mengganggu keamanan, seperti
merencanakan dan mengintervensi lingkungan yang aman (Potter & Perry,
2009)

13
2.4.2 Hukum dan Peraturan Berkaitan dengan Kesejahteran Lansia
1) Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
2) Undang – Undang Negara Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 1998
tentang Kesejahteraan Lanjut Usia ( Lembaran Negara Tahun 1998
Nomor 190, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3796 )
3) Undang – Undang Negara Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999
tentang Hak Asasi Manusia ( Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 165,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3886 )
4) Undang – Undang Negara Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Tahun 2003 Nomor 39,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 4279 )
5) Undang – Undang Negara Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2004
tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (Lembaran
Negara Tahun 2004 Nomor 95, Tambahan Lembaran Negara Nomor
4419)
6) Undang – Undang Negara Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah ( Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor
125, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4437)
7) Undang – Undang Negara Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2004
tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional ( Lembaran Negara Tahun 2004
Nomor 150, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4456 )
8) Undang – Undang Negara Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2009
tentang Kesejahteraan Sosial ( Lembaran Negara Tahun 2009 Nomor 11,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 4967)
9) Undang – Undang Negara Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2009
tentang Pelayanan Publik ( Lembaran Negara Tahun 2009 Nomor 112,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 5038 )
10) Undang – Undang Negara Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009
tentang Kesehatan ( Lembaran Negara Tahun 2009 Nomor 144,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 5063 )
11) Peraturan Pemerintah Negara Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 2004
tentang Pelaksanaan Upaya Peningkatan Kesejahteraan Lanjut Usia
(Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 144, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 4451)

14
12) Peraturan Pemerintah Negara Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2007
tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah,
Pemerintahan Daerah Propinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/
Kota. ( Lembaran Negara Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 4737)
2.4.3 Kode Etik Keperawatan Indonesia
1. Kode Etik Perawat Menurut PPNI
a. Mukadimah
Sebagai profesi yang turut serta mengusahakan tercapainya
kesejahteraan fisik, material, dan spiritual untuk makhluk insane. Dalam
wilayah republic Indonesia, maka kehidupan profesi keperawatan di
Indonesia selalu berpedomen kepada sumber asalnya yaitu kebutuhan
masyarakat Indonesia akan pelayanan keperawatan.
Warga keperawatan Indonesia menyadarii bahwa kebutuhan akan
keperawatan bersifat universal bagi klien (Individu, keluarga,
kellompok, dan masyarakat), oleh karenanya pelayanan yang diberikan
oleh perawat selalu berdasarkan pada cita-cita yang luhur, niat yang
murni untuk keselamatan dan kesejahteraan umat tanpa membedakan
kebangsaan, kesukuan, warna kulit, umur, jenis kelamin, aliran politik
dan agama yang dianut serta kedudukan sosial.
Dalam melaksanakan tugas pelayanan keperawatan kepada klien,
cakupan tanggung jawab perawat Indonesia adalah meningkatkan derajat
kesehatan, mencegah terjadinya penyakit, mengurangi dan
menghilangkan penderitaan, serta memulihkan kesehatan dilaksanakan
atas dasar pelayanan paripurna.
Dalam melaksanakan tugas professional yang berdayaguna dan
berhasil guna, para perawat mampu dan ikhlas memberikan pelayanan
yang bermutu dengan memelihara dan meningkatkan integritas pribadi
yang luhur dengan ilmu dan keterampilan yang memenuhi standart, serta
kesadaran bahwa pelayanan yang diberikan merupakan bagian dari
upaya kesehatan secara menyeluruh.
Dalam bimbingan Tuhan Yang Maha Esa, dalam melaksanakan
tugas pengabdian untuk kepentingan kemanusiaan, bangsa dan tanah air.
Persatuan perawat Indonesia menyadari bahwa perawat Indonesia yang

15
berjiwa pancasila dan berlandaskan pada UUD 1945 merasa terpanggil
untuk menunaikan kewajiban dalam bidang keperawatan dalam penuh
tanggung jawab, berpedoman pada dasar-dasar seperti yang tertera
dibawah ini
b. Perawat dan Klien
1) Perawat dalam memberikan pelayanan keperawatan menghargai
harkat dan martabat manusia, keunikan klien, dan tidak terpengaruh
oleh pertimbangan kebangsaan, kesukuan, warna kulit, umur, jenis
kelamin, aliran politik, dan agama yang dianut serta kedudukan
social.
2) Perawat dalam memberikan pelayanan keperawatan senantiasa
memelihara suasana lingkungan yang menghormati nilai-nilai
budaya, adat istiadat dan kelangsungan hidup beragama dari klien
3) Tanggung jawab utama perawat adalah kepada mereka yang
membutuhkan asuhan keperawatan
4) Perawat wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahui
sehubungan dengan tugas yang dipercayakan kepadanya kecuali jika
diperlukan oleh berwenang sesuai dengan ketentuan hukum yang
berlaku.
c. Perawat dan Praktik
1) Perawat memelihara dan meningkatkan kompetisi dibidang
keperawatan melalui belajar terus menerus
2) Perawat senantiasa memelihara mutu pelayanan keperawatan yang
tinggi disertai kejujuran professional yang menerapkan pengetahuan
serta keterampilan keperawatan sesuai dengan kebutuhan klien.
3) Perawat dalam membuat keputusan didasarkan pada informasi yang
akurat dan mempertimbangkan kemampuan serta kualifikasi
seseorang bila melakukan konsultasi, menerima delegasi dan
memberikan delegasi kepada orang lain
4) Perawat senantiasa menjunjung tinggi nama baik profesi
keperawatan dengan selalu menunjukkan perilaku professional

16
d. Perawat dan Masyarakat
1) Perawat mengemban tanggung jawab bersama masyarakat untuk
memprakarsai dan mendukung berbagai kegiatan dalam memenuhi
kebutuhan dan kesehatan masyarakat.
e. Perawat dan Teman Sejawat
1) Perawat senantiasa memelihara hubungan baik dengan sesama
perawat maupun dengan tenaga kesehatan lainnya, dan dalam
memelihara keserasian suasana lingkungan kerja maupun dalam
mencapai tujuan pelayanan kesehatan secara menyeluruh
2) Perawat bertindak melindungi klien dari tenaga kesehatan yang
memberikan pelayanan kesehatan secara tidak kompeten, tidak etis
dan illegal.
f. Perawat dan Profesi
1) Perawat mempunyai peran utama dalam menentukan standar
pendidikan dan pelayanan keperawatan serta menerapkannya dalam
kegiatan pelayanan dan pendidikan keperawatan
2) Perawat berperan aktif dalam berbagai kegiatan pengembangan
profesi keperawatan
3) Perawat berpartisipasi aktif dalam upaya profesi untuk membangun
dan memelihara kondisi kerja yang kondusif demi terwujudnya
asuhan keperawatan yang bermutu tinggi.

2. Prinsip Etika
Beberapa prinsip etika yang harus dijalankan dalam pelayanan pada
penderita usia lanjut adalah (Kane et al, 1994, Reuben et al, 1996) :
a. Empati : istilah empati menyangkut pengertian : ”simpati atas
dasar pengertian yang dalam”. Dalam istilah ini diharapkan upaya
pelayanan geriatri harus memandang seorang lansia yang sakit
denagn pengertian, kasih sayang dan memahami rasa penderitaan
yang dialami oleh penderita tersebut. Tindakan empati harus
dilaksanakan dengan wajar, tidak berlebihan, sehingga tidak
memberi kesan over-protective dan belas-kasihan. Oleh karena itu
semua petugas geriatrik harus memahami peroses fisiologis dan
patologik dari penderita lansia.

17
b. Yang harus dan yang ”jangan” : prinsip ini sering dikemukakan
sebagai non-maleficence dan beneficence. Pelayanan geriatri
selalu didasarkan pada keharusan untuka mngerjakan yang baik
untuk pnderita dan harus menghindari tindakan yang menambah
penderita (harm) bagi penderita. Terdapat adagium primum non
nocere (”yang penting jangan membuat seseorang menderita”).
Dalam pengertian ini, upaya  pemberian posisi baring yang tepat
untuk menghindari rasa nyeri, pemberian analgesik (kalau perlu
dengan derivat morfina) yang cukup, pengucapan kata-kata
hiburan merupakan contoh berbagai hal yang mungkin mudah dan
praktis untuk dikerjakan.
c. Otonomi : yaitu suatu prinsip bahwa seorang inidividu mempunyai
hak untuk menentukan nasibnya, dan mengemukakan
keinginannya sendiri. Tentu saja hak tersebut mempunyai batasan,
akan tetapi di bidang geriatri hal tersebut berdasar pada keadaan,
apakah penderita dapat membuat putusan secara mandiri dan
bebas. Dalam etika ketimuran, seringakali hal ini dibantu (atau
menjadi semakin rumit ?) oleh pendapat keluarga dekat. Jadi
secara hakiki, prinsip otonomi berupaya untuk melindungi
penderita yang fungsional masih kapabel (sedanagkan non-
maleficence dan beneficence lebih bersifat melindungi penderita
yang inkapabel). Dalam berbagai hal aspek etik ini seolah-olah
memakai prinsip paternalisme, dimana seseorang menjadi wakil
dari orang lain untuk membuat suatu keputusan (mis. Seorang
ayah membuat keuitusan bagi anaknya yang belum dewasa).
d. Keadilan : yaitu prinsip pelayanan geriatri harus memberikan
perlakuan yang sama bagi semua penderita. Kewajiban untuk
memperlakukan seorang penderita secara wajar dan tidak
mengadakan pembedaan atas dasar karakteristik yang tidak
relevan.
Kesungguhan Hati : yaitu suatu prinsip untuk selalu memenuhi semua
janji yang diberikan pada seorang penderita.

18
2.5. Pengertian Dan Klasifikasi Lansia
2.5.1 Pengertian lanjut usia
Lansia merupakan tahap lanjut dari suatu proses kehidupan yang ditandai
dengan penurunan kemampuan tubuh untuk beradaptasi dengan stres lingkungan.
Lansia adalah keadaan yang ditandai oleh kegagalan seseorang untuk
mempertahankan keseimbangan terhadap kondisi stres fisiologis (Efendi &
Makhfudli, 2010).
Lansia adalah seseorang yang telah berusia >60 tahun dan tidak berdaya
mencari nafkah sendiri untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari
(Ratnawati, 2017).
Kedua pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa lansia adalah
seseorang yang telah berusia > 60 tahun, mengalami penurunan kemampuan
beradaptasi, dan tidak berdaya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari seorang
diri.
2.5.2 Batasan – batasan lanjut usia
Di Indonesia lanjut usia adalah usia 60 tahun keatas. Hal ini dipertegas dalam
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1998 tentang kesejahteraan lanjut usia pada
Bab 1 Pasal 1 Ayat 2, bahwa yang disebut dengan lansia adalah seseorang yang
telah mencapai usia 60 tahun ke atas, baik pria maupun wanita (Nugroho, 2014).
Beberapa pendapat para ahli tentang batasan usia adalah sebagai berikut :
a. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) , ada empat tahapan yaitu:
1) Usia pertengahan (middle age) usia 45-59 tahun.
2) Lanjut usia (elderly) usia 60-74 tahun.
3) Lanjut usia tua (old) usia 75-90 tahun.
4) Usia sangat tua (very old) usia > 90 tahun.
b. Menurut Kementerian Kesehatan RI (2015) lanjut usia dikelompokan
menjadi usia lanjut(60-69 tahun) dan usia lanjut dengan risiko tinggi (lebih
dari 70 tahun atau lebih dengan masalah kesehatan).

2.5.3 Klasifikasi lanjut usia


Menurut Depkes RI (2019) klasifikasi lansia terdiri dari :
a. Pra lansia yaitu seorang yang berusia antara 45-59 tahun.
b. Lansia ialah seorang yang berusia 60 tahun atau lebih.
19
c. Lansia risiko tinggi ialah seorang yang berusia 60 tahun atau lebih dengan
masalah kesehatan.
d. Lansia potensial adalah lansia yang masih mampu melakukan pekerjaan dan
kegiatan yang dapat menghasilkan barang atau jasa.
e. Lansia tidak potensial ialah lansia yang tidak berdaya mencari nafkah sehingga
hidupnya bergantung pada bantuan orang lain.

2.6. Lansia sebagai Populasi berisiko dan Rentan


Lansia mengalami banyak perubahan secara biologis pada sel-sel tubuh hingga ke
semua organ tubuh yang dapat menyebabkan penurunan kapasitas fisik dan mental
secara bertahap, meningkatnya risiko penyakit dan berakhir pada kematian. Masalah
kesehatan fisik yang sering terjadi pada lansia diantaranya yaitu kejadian jatuh pada
lansia. Menurut Kane, Ouslander dan Abras (dalam Tri, 2015) masalah kesehatan yang
sering terjadi pada lansia adalah incontinence, depresi, penurunan daya tahan tubuh,
instabilitas yang terdiri dari berdiri dan berjalan yang tidak stabil atau mudah jatuh.
Risiko jatuh merupakan peningkatan kerentanan untuk jatuh yang dapat menyebabkan
bahaya fisik bahkan dapat menyebabkan kematiaan (De Costa, dkk, 2015).
Jatuh karena penuaan menduduki peringkat ke lima yang menyebabkan kematian
pada lansia. Jatuh dapat menyebabkan cidera yang serius, satu per sepuluh dari kejadian
jatuh pada lansia menyebabkan cidera yang serius, seperti tulang pinggul atau cidera
kepala. Kejadian jatuh yang dialami oleh lansia berdampak pada psikologis, sosiologis
serta emosional lansia itu sendiri. Menurut Stanley & Beare (2007), jatuh dapat
menyebabkan berbagai jenis cidera dan kerusakan fisik dan psikologis. Dampak
psikososial yang terjadi setelah jatuh yaitu berupa kecemasan, hilang rasa percaya diri,
menarik diri dari kegiatan sosial, pembatasan dalam kegiatan sehari-hari, sindroma
setelah jatuh, fobia jatuh, hilangnya pengendalian kemandirian, depresi, perasaan rentan
dan rapuh, perhatian tentang kematian dan keadaan menjelang ajal, menjadi beban
keluarga dan teman-teman serta memerlukan institusionalisasi (Stanley & Beare , 2007).
Banyak faktor yang berperan terjadinya jatuh pada lansia, beberapa faktor
tersebut diklasifikasikan menjadi 2, yaitu faktor intrinsic dan ektrinsik. Faktor intrinsik
terdiri dari jenis kelamin, status psikologi (ketakutan akan jatuh, depresi, ansietas),
penurunan kekuatan otot, keseimbangan, fungsi penglihatan yang terganggu, atau fungsi
kognitif. Faktor ektrinsik yaitu faktor 4 dari lingkungan yang dapat menyebabkan risiko
jatuh pada lansia. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Hutomo (2015)

20
menyatakan bahwa kejadian jatuh lansia berdasarkan tempat kejadian terdiri dari : di
dapur sebanyak 8 lansia (18%), di kamar mandi sebanyak 7 lansia (16%), di halaman
rumah sebanyak 7 lansia (16%), dan di kamar tidur sebanyak 4 orang (0,9%)
2.7. Populasi Lansia di Dunia, Indonesia dan Peningkatanya
Jumlah lanjut usia di seluruh dunia saat ini di perkirakan lebih dari 629 juta jiwa (1
dari 10 orang berusia lebih dari 60 tahun), dan pada tahun 2025 lanjut usia akan
mencapai 1,2 milyar (Nugroho, 2008). World Population Data Sheet yang dilansir
Population Reference Bureau (PRB) memperkirakan bahwa penduduk lansia di dunia
yang berusia 65 tahun ke atas pada tahun 2012 mencapai 8% dari 7 milyar penduduk
dunia atau berjumlah sekitar 564 juta jiwa. Sebanyak 53% dari seluruh penduduk lansia
dunia itu berada di Asia. Sampai sekarang ini, penduduk di 11 negara anggota World
Health Organization (WHO) kawasan Asia Tenggara yang berusia di atas 60 tahun
berjumlah 142 juta orang dan di perkirakan akan terus meningkat hingga 3 kali lipat di
tahun 2050 (WHO, 2012). Sedangkan menurut Wilkinson (2016) dalam foundamental of
nursing menyatakan secara jelas bahwa lansia merupakan tahapan dimana individu
berada pada usia tertentu yaitu usia antara 65 sampai 74 tahun dikategorikan sebagai
lansia awal (young old), usia 74 sampai 84 tahun kategori lansia pertengahan (midlle old)
dan usia 85 tahun atau lebih disebut lansia akhir (old old). Sedangkan di Indonesia pada
tahun 2020 diperkirakan jumlah lansia sekitar 80.000.000.
Seiring bertambahnya usia seseorang akan berdampak pada peningkatan Usia
Harapan Hidup (UHH). Meningkatnya usia harapan hidup menandakan populasi lansia
yang juga kian meningkat. Pada tahun 2017, jumlah penduduk berusia 60 tahun atau
lebih yaitu sebanyak 962 juta di seluruh dunia, dan diperkirakan terus mengalami
peningkatan yaitu sebanyak lebih dari dua kali lipat pada tahun 2050 dan lebih dari tiga
kali lipat pada tahun 2100, sehingga menjadi 2,1 miliar pada tahun 2050 dan 3,1 miliar
pada tahun 2100 (Department of Economic and Social Affairs in United Nations, 2017).
Jumlah penduduk lansia di Indonesia pada tahun 2017 terdapat 23,66 juta jiwa atau
sekitar 9,03% dari jumlah penduduk keseluruhan.

21
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Geriatrik, gerontologi, dan gerontik merupakan bukti adanya sejarah lahirnya
keperawatan untuk lanjut usia. Perjalanan penamaan istilah keperawatan dari geriatrik,
lalu diubah menjadi gerontologi, dan terakhir menjadi gerontik memakan waktu kurang
lebih 54 tahun dari tahun 1925 sampai 1979. Geriatrik dianggap cenderung lebih tepat
untuk menggambarkan istilah kedokteran sehingga kata tersebut diganti menjadi
gerontologi pada tahun 1976. Namun, seiring berjalannya waktu, para peneliti menyadari
bahwa istilah gerontologi dimana terdapat kata “logy” hanya menggambarkan sebuah
“ilmu pengetahuan”. Sedangkan, keperawatan bukan hanya tentang pengetahuan namun
juga berfokus pada praktik dalam pemberian asuhan keperawatan. Sehingga, istilah ini
diubah kembaali berdasatkan saran dari Gunter dan Estes pada tahun 1979 yang
menyarankan istilah baru yaitu gerontik untuk menggantikan gerontologi. Kata
“gerontik” dianggap sebagai kata yang paling tepat untuk menggambarkan ilmu
keperawatan yang mengandung ilmu dan seni atau praktik dalam keperawatannitu
sendiri.
3.2 SARAN
Perawat perlu memahami makna dari gerotik. Perawat harus memberikan pelayan
secara holistik sesuai kebutuhan lansia dan mempersiapkannya menghadapi kematian
dengan baik. Perawat pun perlu meyakinkan keluargaa untuk ikut berpartisipasi selama
perawatan tersebut. Lalu, lansia sebagai klien juga diharapkan untuk dapat bekerja sama
demi sering terjadi pada lansia, khususnya bagi keluarga dengan lansiaa. Dengan begitu
lansia dapat menjalani masa tuannya dengan baik, nyaman, dan damai.
Walaupun peran perawat sangat banyak, perawat merupakan profesi yang ideal
untuk menjalankan semua peran tersebut karena perawat memandang klien secara
holistik. Namun, hal yang paling penting ialah perawat harus menyadari tujuan utama
sebagai perawat gerontik adalah untuk membuat klien mencapai tingkat optimal secara
fisik, mental, dan psikososial. Sehingga, dapat tercapai kesejahteraan dan peningkatan
derajat kesehatan untuk klien secara optimal.

22
DAFTAR PUSTAKA
Antoen. (2012). Tren & Issu Keperawatan Gerontik, (online). (http://blogs.unpad.ac.idf,
diakses pada 28 September 2017).
Cahyo, Nur. (2013). Peratran Perlindungan Kesejahteraan Bagi Lanjut Usia di Jawa Timur,
(online). (http://repository.unair.ac.id , diakses pada 28 September 2017)
Dinas Kesehatan. (2016). Kode Etik Kepererawatan Lampang Panji PPNI dan Ikrar
Keperawatan. Jakarta: PPNI.
Mila Triana Sari1 , Susanti GAMBARAN KUALITAS HIDUP LANSIA DI PANTI
SOSIAL TRESNA WERDHA BUDI LUHUR DAN LANSIA DI KELURAHAN PAAL
V - KOTA JAMBI “Jurnal Ilmiah Universitas Batanghari Jambi” Vol.17 No.2 Tahun
2017

Anda mungkin juga menyukai