Anda di halaman 1dari 45

   
Menebar Senyum Memasuki
Kolam Tujuh Mustika

Dikutip Dari :

Ceramah Master Dao Zheng

Judul :

笑著進入七寶池

Dipersembahkan Dengan Setulusnya Oleh :

Sukacita Melafal Amituofo

www.smamituofo.blogspot.com

Untuk kalangan sendiri, disebarluaskan dengan gratis, dilarang


memperjualbelikan.

 
Daftar Isi
Hal
Kisah Chen Jin-chi
Bagian 1……………………………………… 4
Bagian 2……………...……………………… 9
Bagian 3…………………………………….. 14
Bagian 4……………….……...…………….. 20
Bagian 5…………….………………………. 26
Bagian 6…………….…….………………… 32
Bagian 7…………………….………………. 38

 
Kisah Chen Jin-chi

Bagian 1

Walaupun jalan hidup ini penuh liku-liku, namun kita masih dapat
menggunakan suasana hati yang baik untuk melewatinya.

 
Menebar Senyum Memasuki Kolam Tujuh Mustika 

Kisah Chen Jin‐chi 

Bagian 1 
 

Tokoh utama dalam kisah nyata ini adalah Chen Jin-chi. Jin artinya
masuk, sedangkan chi artinya kolam. Menurut penuturan istrinya, pada
mulanya nama yang bermakna demikian tidak memiliki masa depan
yang bagus, makanya mereka bermaksud untuk mengganti nama. Tidak
disangka pada detik yang amat penting, barulah tahu bahwa nama yang
bermakna “masuk ke kolam” ini ternyata bertanda baik, masuk ke kolam
tujuh mustika di Alam Sukhavati. Dapat memasuki kolam tujuh mustika
Buddha Amitabha berarti dia dapat mencapai KeBuddhaan dan
menyelamatkan para makhluk; ini adalah masa depan yang gemilang!

Mengapa kita memperkenalkan Bodhisattva ini? Dia adalah pasien


penderita kanker limfoma yang secara perlahan menyebar menyerang
seluruh tubuhnya. Namun drama yang pada awalnya dikira akan
berakhir dengan menyedihkan ini, melalui pemberkatan kekuatan
Buddha akhirnya menjadi drama yang berakhir denga penuh sukacita.

Saat menjelang ajalnya, setiap insan yang hadir untuk membantunya


melafal Amituofo, tiada satupun yang tidak merasa bersukacita untuknya,
karena pada detik terakhir, dia mampu mengangkat tangannya yang
sudah mati rasa, kemudian melambaikan tangan sambil tersenyum pada
semua hadirin. Sejak mengetahui penyakit yang dideritanya, dia tidak
pernah tersenyum, senyumannya ini, sampai sang istri yang sedang

 
melafal Amituofo, dalam sekejab seluruh kerisauannya jadi lenyap,
akhirnya juga turut menebarkan senyum sambil melafal Amituofo!

Demikianlah dia mengakhiri peranannya dan dengan tersenyum


mengikuti Buddha Amitabha memasuki kolam tujuh mustika. Dia
pernah memiliki tekad besar, yakni ingin membantu para pasien lainnya
yang senasib dan seluruh pasien lainnya dengan tahap-tahap saat dirinya
akan terlahir ke Alam Sukhavati, kebetulan dapat membuktikan kalimat-
kalimat yang tercantum dalam sutra Buddha, sehingga dapat
membangkitkan keyakinan pada mereka yang belum memiliki
keyakinan sepenuhnya.

Istrinya yang baik, dan dua orang anak yang berbakti, saat dirinya jatuh
sakit, terus memberi dukungan padanya, ketika tangannya pegal karena
kanker, anaknya segera membantu memijatnya, menjaganya siang
malam, tidak hanya menjaganya, namun juga terus memotivasinya untuk
membangkitkan keyakinan pada Buddha, akhirnya menjadi barisan yang
mengantarnya ke Alam Sukhavati untuk mencapai KeBuddhaan,
sehingga pada kelahiran ini dia memperoleh manfaat yang terbesar dan
keberhasilan yang tertinggi. Dapat dilihat Chen Jin-chi begitu
berterimakasih pada keluarganya, bagaimana keluarganya menjadi
keluarga teladan, mengantarnya dari tempat penuh penderitaan ini ke
pantai seberang. Semangat mereka patut kita teladani, karena itu
mengapa saya memperkenalkan kisah ini di sini:

20 tahun yang lalu saya telah mengenal Upasaka Chen, beliau adalah
sahabat abang saya, pertama kali bertemu saya merasa dia amat jujur
dan bepengertian. Pada saat itu saya bilang ke abang saya : “Diantara

 
teman-temanmu, tampaknya Chen Jin-chi yang paling tulus”. Sejak itu
saya tidak berkesempatan bertemu Chen Jin-chi lagi. Sampai akhirnya di
punggung belakangnya muncul tumbuh tumor sebesar kepiting. Saat
pertama berpapasan dengannya, kebetulan dia sedang diopname di
rumah sakit, hatinya merasa amat menderita dan sangat tegang, dia
memberitahuku : ”Di ranjang sebelah sini terdengar nafas sepenggal-
penggal, di ranjang sebelah sana tinggal tulang terbalut kulit, saya
merasa amat takut”. Dia melanjutkan lagi : “Saya tidak ingin hidup
demikian, saya tidak ingin hidupku berakhir dengan cara demikian”.

Saya berkata padanya : “Hanya dengan yakin pada Buddha dan melafal
Amituofo, maka takkan ada ketakutan lagi! Cobalah berpikir dengan
seksama, setelah divonis kanker maka harus bagaimana melewati hari-
hari? Tiada lain, mulai sekarang mengerahkan segenap kemampuan
melewati kehidupan dengan sukacita, sampai pada detik terakhir, dengan
penuh sukacita mengikuti Buddha Amitabha terlahir ke Alam Sukhavati
melewati kehidupan yang lebih bahagia, ini yang paling baik. Apakah
anda ada cara yang lebih baik?” Setelah mendengar ucapanku, dia
tertawa, sepertinya dia telah tercerahkan, dan kemudian dia berkata :
“Betul, sakit juga boleh melewati hari-hari dengan sukacita, jangan
berpikir sembarangan untuk menakuti diri sendiri, hari-hari masih
cemerlang”. Kami berbincang panjang lebar, walaupun jalan hidup
penuh liku-liku, namun kita masih dapat menggunakan suasana hati
yang baik untuk melewatinya.

Akhirnya dia berkata padaku : “Di Kaohsiung saya memiliki beberapa


kenalan, saya ingin menyewa hall besar di sana, saya ingin
menghubungi para dokter di rumah sakit agar memberitahukan para
pasien yang senasib denganku, untuk mengundang mereka agar
bersama-sama, saya ingin agar ucapan anda tadi juga dapat disampaikan

 
kepada mereka semuanya, agar mereka dapat mengakhiri kegelapan,
ketakutan dan kehilangan arah”. Dia amat serius sampai
mengucapkannya tiga kali. Namun saat itu saya merasa masih belum
memiliki kekuatan itu, maka hanya senyum-senyum berkata padanya :
“Anda memiliki niat ini adalah hati maha karuna, Bodhicitta, dengan
hati ini melafal Amituofo, maka akan terjalin dengan Hati Buddha. Kita
harus mengamalkan apa yang diajarkan oleh Buddha, apalagi dapat
membuktikan Ajaran Buddha, maka semua orang akan percaya. Mereka
akan memiliki keyakinan pada Buddha, dengan sendirinya takkan takut
lagi, maka ini barulah dapat membantu mereka”.

Kini pada detik terakhirnya, dia memperoleh penjemputan dari Buddha


Amitabha, dari wajahnya terpancar senyuman dan lambaian tangan,
dengan penuh sukacita menuju Alam Sukhavati dan kuliah di sana.
Drama yang penuh sukacita ini, sungguh telah menenangkan hati banyak
insan, menwujudkan tekad maitri karunanya untuk membantu para
pasien lainnya. Keberhasilannya ini telah memotivasi mereka yang telah
putus asa, kini saya akan menceritakan pengalamannya untuk kita simak
bersama, juga untuk menwujudkan tekadnya, serta memberitahukan kita
semua bahwa kita juga dapat serupa dengannya, menebar senyum
memasuki kolam tujuh mustika.

 
Kisah Chen Jin-chi

Bagian 2
 

Kekuatan dari ketulusan doa ini tak terhingga dan tak


terbayangkan, sehingga para Buddha dan Bodhisattva serta siapa
saja juga tidak sanggup menolaknya.
 

 
Menebar Senyum Memasuki Kolam Tujuh Mustika 

Kisah Chen Jin‐chi 

Bagian 2 
 
Upasaka Chen juga seperti kita pada umumnya adalah orang awam,
hanya saja dia orangnya baik dan ramah, kehidupannya teratur,
memperlakukan orang lain dengan tulus, tak peduli terhadap orang lain
maupun keluarganya tidak pernah murka dan berkata kasar. Hanya saja
kemudian dia memiliki hobi makan seafood dan kepiting; ada orang
yang melihat bentuk tumor di punggung belakangnya dan berkata :
“Seperti kepiting, ada kakinya lagi”. Dia sama dengan orang awam
lainnya, selalu merisaukan jika dirinya tidak cukup gizi, maka itu tidak
sudi melepaskan makanan daging. Ketika sel kanker limfoma menekan
saraf-saraf di pembuluh darah tangan kanannya, dia kesakitan sampai
mati rasa, dia seperti anak-anak mengatakan kepadaku, tangannya sakit
dan kaku, sulit untuk bergerak.

Saya berkata padanya : “Sekarang anda baru menyadari betapa


menderitanya jika tangan kesakitan. Coba renungkan kembali, ketika
kita makan kepiting, apakah kita pernah memikirkan penderitaannya,
saat kakinya diikat, kemudian kita mencabut tangan dan kakinya,
sesungguhnya dia amat menderita, apakah kita mengetahui dia sedang
menangis? Kita harus belajar dari penderitaan ini, kemudian
membangkitkan maha maitri maha karuna, semoga semua makhluk,
janganlah karena nafsu makan saya sehingga harus menderita dan
kesakitan. Semoga kita dapat serupa dengan Buddha, mencabut
penderitaan semua makhluk”. Mendengar ucapanku, airmatanya
berlinang kemudian dia menganggukkan kepalanya.

10 

 
Kemudian dia berkata lagi padaku : “Sewaktu dirawat di rumah sakit,
suatu hari di tengah malam, hujan amat deras, dia mendengar ada suara
yang ingin menangkapnya, sehingga dia amat menderita dan tidak dapat
tidur, untunglah ikan yang pernah saya lepas datang menolongku”.
Setelah dia meninggal dunia, kami menemukan buku hariannya di
rumah sakit yang salah satu kalimatnya tertulis : “Semua makhluk
memiliki saling keterkaitan, bila anda melindunginya, maka dia juga
akan datang menolong dirimu, maka itu melepaskan satwa ke alam
bebas itu amat penting, setelah keluar dari rumah sakit, saya akan
melepaskan satwa lagi”.

Banyak insan yang telah melafal Amituofo untuk kurun waktu yang
lama, namun tidak memiliki keyakinan untuk terlahir ke Alam Sukhavati,
selalu merisaukan apakah dirinya sendiri akan berhasil terlahir atau tidak,
selalu merasa ragu, tidak percaya bahwa diri sendiri memiliki Jiwa
KeBuddhaan, tidak sudi memastikan bahwa Buddha Amitabha yang
maha maitri maha karuna tentu takkan mengabaikan diriku. Banyak
orang yang akan terpikir : “Saya memiliki banyak kelemahan, tidak
serius melatih diri, melatih Amituofo juga jarang, tidak seperti guru
sesepuh yang sehari melafal 80 ribu atau 100 ribu lafalan. Saya takut
sakit, menjelang ajal apakah akan kesakitan? Apakah saya akan koma?
Yang pasti banyak sekali hal yang dirisaukannya.

Pandangan kita selalu dijatuhkan ke dalam pandangan orang awam,


yang berpihak pada rintangan karma, maka itu merasa tidak mungkin
bisa berhasil terlahir ke Negeri Buddha; kita selalu menempatkan koin di
depan pupil mata kita, sehingga cukup untuk menutupi cahaya mentari
yang menyinari seluruh dunia. Andaikata kita sudi mengarahkan
pandangan kita ke mentari yang terang, angkasa yang luas, sehingga
walaupun seribu bahkan sepuluh ribu koin juga tidak dapat menutupi
cahaya mentari, juga tidak dapat menghasilkan halangan apapun. Kita
selalu menggunakan penutup untuk melihat mentari, demikian juga
11 

 
menggunakan rintangan karma untuk melihat Cahaya Buddha.
Keyakinan, tekad dan pengamalan hanyalah sebuah niat pikiran dan
perputaran saja. Namun jika kita tidak berhasil memutarnya, sanak
keluarga dan teman-teman kita juga dapat membantunya, sehingga kita
dapat beralih dari kesakitan dan kemelekatan menjadi dituntun Cahaya
Buddha.

Upasaka Chen Jin-chi memiliki tubuh tinggi dan kuat, sedangkan


istrinya, sejak dia jatuh sakit, harus menjaganya, terutama saat dia
menjalani radioterapi dan kemoterapi, sungguh sibuk dan lelah, menjadi
kurus dan kecil. Wanita yang kurus dan kecil ini telah memerankan
sebuah peranan yang mulia; dia selalu menjaga suaminya dengan tegar
dan tabah. Segala jenis obat dan makanan bergizi dimasaknya sendiri,
sehingga suaminya walaupun harus menjalani radioterapi dan
kemoterapi serta kurang selera makan, namun berat badannya masih bisa
bertambah 2 kg. Ketika mereka berdua muncul di klinik, suster akan
mencari Nyonya Chen agar sudi disuntik, karena dia kurusnya sudah
seperti orang sakit, sedangkan suaminya malah dirawatnya sampai
tampak begitu kuat.

Sampai saat menjelang ajal, wajah Upasaka Chen tetap berwibawa,


merah merekah tidak berubah. Nyonya Chen terus memberikan
ketenangan kepada suaminya, sedangkan dia sendiri hanya dapat
menyerahkan kerisauannya kepada Buddha Amitabha dengan
berlinangan airmata, bagi orang awam betapa sulitnya menjalani tahapan
hidup ini, dia hanya dapat bersujud di hadapan Buddha, memohon
bantuan dari Buddha. Asalkan tulus pasti akan berhasil!

Dapat dikatakan bahwa setiap Bhiksu, sahabat sedharma, begitu


mendengar ketulusannya, pasti akan datang saling bergandengan tangan
dengannya, menemaninya melewati jalan yang berliku-liku ini. Dari sini
kita dapat mempelajari satu hal, bahwa dalam ketulusan dan
penghormatan, yang lemah sekalipun akan menjadi kuat, jika tiada yang
12 

 
datang mengulurkan tangan maka Buddha sendiri yang akan datang
menolong!

Ketika seseorang telah mengerti akan jalan kehidupan dan kematian,


saat kekuatan seorang manusia awam terasa begitu lemah, rendahkanlah
hati memohon perlindungan dari Buddha, saat ini rasa rendah hati dan
kelembutan hati muncul, barulah dapat berlindung dengan sesungguhnya
pada Buddha, mengandalkanNya, barulah dapat menyandarkan diri ke
dalam pelukan Buddha, terjalin dengan Buddha tanpa ada halangan lagi.
Ketika “keakuan” yang begitu sulit ditaklukan menjadi begitu lemah,
mengalahlah, pintu Jalan KeBuddhaan telah terbuka lebar. Seseorang
yang dengan rendah hati berdoa pada Buddha, sesungguhnya sedang
membangkitkan kebajikan di dalam hatinya. Kekuatan dari ketulusan
doa ini tak terhingga dan tak terbayangkan, sehingga para Buddha dan
Bodhisattva serta siapa saja juga tidak sanggup menolaknya.

13 

 
Kisah Chen Jin-chi

Bagian 3
 

Sepatah kata baik akan menghangatkan musim dingin, sama halnya


pula sepatah kata dingin akan membekukan musim panas.
 

14 

 
Menebar Senyum Memasuki Kolam Tujuh Mustika 

Kisah Chen Jin‐chi 

Bagian 3 
 
Saya telah pernah memeriksa banyak pasien, walaupun setiap insan
berharap dapat terlahir ke Alam Sukhavati, namun ketika diserang
penyakit, tetap saja tidak dapat menghindari perasaan takut. Ketika jatuh
sakit, tubuh melemah, ketika penyakit bertambah parah, tentu tak luput
dari kesulitan untuk bersabar menahan penderitaan, ini merupakan
sesuatu yang sulit dihindarkan oleh orang awam yang masih memiliki
kemelekatan pada tubuh jasmani; mungkin saja ketika anda dan saya
bertemu dengan kondisi ini, juga akan sedemikian, kemelekatan pada
jalinan kasih sayang.

Terkadang pihak keluarga bersikap tergesa-gesa akan


kesembuhannya atau sebaliknya, terkadang juga akan memberikan
mimik muka yang kurang menyenangkan padanya, ini akan menambah
penderitaannya, menambah kemelekatannya pada tubuh jasmani. Namun
jika pihak keluarga begitu kabur pada penderitaan pasien, hanya
menyuruhnya melepaskan rasa sakitnya, melafal Amituofo dan bertekad
lahir ke Alam Sukhavati, ini hanya akan menambah penderitaan pasien
yang tak terkatakan, juga tidak ada yang dapat memahami dan
merasakan penderitaan yang dialaminya, sehingga dia akan makin
menolak untuk melafal Amituofo. Pihak keluarga jika tidak
menunjukkan kepedulian dan perhatian serta ketulusan dan welas asih,
maka pasien akan merasa “kalian tidak menghendaki saya lagi, saya
sudah sakit kelamaan, kalian telah merasa jenuh, berharap agar saya
cepat mati”. Perasaan ini akan menambah penyesalan dan kebenciannya.
Kebencian ini lebih sulit dilepaskan daripada kemelekatan pada sanak
15 

 
keluarganya. Banyak pihak keluarga praktisi Ajaran Sukhavati yang
pada awalnya bermaksud ingin membantu si pasien agar dapat terlahir
ke Alam Sukhavati, namun karena terlalu memaksa si pasien agar
menfokuskan diri melafal Amituofo dan melepaskan segala kemelekatan,
akhirnya menimbulkan kesalahpahaman pada si pasien, yang
menganggap diri si pasien adalah arahat yang sudah kebal akan
kesakitan.

Dikarenakan pihak keluarga yang tidak mau mengerti akan


“kesakitan dan penderitaan” yang sedang dialami pasien, tidak mau
membandingkan si pasien sebagai dirinya sendiri, sehingga dapat
membantunya untuk mengurangi penderitaannya, maka itu pasien
merasa “keluarganya yang sudah belajar Buddha Dharma”, namun tidak
mampu dengan bermaitri karuna peduli dan memberi perhatian pada
dirinya; bila sudah demikian maka si pasien akan sulit dengan hati yang
berterimakasih dan bersukacita melafal Amituofo, juga akan lebih sulit
lagi memahami maitri karuna Buddha Amitabha.

Maka itu, untuk membantu pasien melafal Amituofo, tidak bisa


hanya bersikap kaku dan dingin dalam memberi nasehat dan anjuran, dia
malah takkan mau menerimanya dan menentang. Si pasien akan
berpikir :”Yang menderita itu bukan kamu, barulah kamu bisa saja
omong seenaknya, huh! Andaikata tiba giliranmu nanti, lihat saja apakah
kamu bisa melepaskan lalu melafal Amituofo!”. Bahkan ada pasien yang
sampai terpikir :”Kalian para praktisi Ajaran Buddha begitu dingin tidak
memperhatikan penderitaanku, saya takkan mau belajar Ajaran Buddha
dan juga tak sudi melafal Amituofo!” Begitu si pasien memiliki niat
menentang, maka dia sangat sulit menerima bantuan dari mereka yang
bermaksud menasehatinya; poin ini harap diperhatikan oleh pihak
keluarga pasien.

16 

 
“Ucapan” akan lebih berkhasiat daripada obat, poin ini harus
diperhatikan dengan lebih seksama oleh kita semuanya. Sepatah kata
baik akan menghangatkan musim dingin, sama halnya pula sepatah kata
dingin akan membekukan musim panas. Sepatah kata dingin atau kasar
mungkin akan membuat pendengarnya selama 10 tahun juga takkan bisa
melupakan kebencian ini. Kita dapat mengamatinya dengan seksama,
Buddha memiliki kemampuan tanpa batas, namun manusia lebih suka
memuja Buddha dengan kalimat “maha maitri maha karuna” Buddha
Amitabha, “maha maitri maha karuna” Bodhisattva Avalokitesvara,
tidak ada yang memuja dengan menyebut “maha bijaksana” atau “maha
kekuatan” Buddha Amitabha. Karena kita memerlukan maha maitri
maha karuna Buddha, karena betapa sulitnya melalui sebuah kesulitan
besar, sungguh kita mengharapkan uluran tanganNya untuk membawa
kita keluar dari penderitaan menuju kebahagiaan, ini adalah harapan
semua makhluk.

Bila Buddha hanya memiliki kebijaksanaan, namun tidak memiliki


maitri karuna, maka Buddha takkan memiliki sedikitpun hubungan
dengan para makhluk, ini merupakan hal yang harus kita pahami.
Takkan ada Buddha yang mengabaikan penderitaan para makhluk.
Ketika kita akan mencapai KeBuddhaan, haruslah terlebih dahulu
dengan maha maitri maha karuna memberi manfaat kepada para
makhluk; karena semua makhluk dengan Buddha adalah satu. Kemudian
dalam membantu para pasien, terutama saat membantu mereka melafal
Amituofo, juga sedemikian. Maitri karuna merupakan kebijaksanaan
yang paling mendalam, barulah bisa paham bagaimana seharusnya
mencabut penderitaan dan memberikan kebahagiaan, sehingga setiap
saat dapat membantu para makhluk, menwujudkan maitri karuna.

Ketika Nyonya Chen bertanya padaku : “Bagaimana cara membantu


suamiku”, saya hanya menjelaskan apa yang telah kita bahas
sebelumnya. Dia bertanya lagi apa yang harus dilakukannya? Dia amat
17 

 
merisaukan jika dirinya belum berbuat dengan baik, tidak dapat
memberikan dukungan terbesar buat suaminya. (Yang dimaksud dengan
dukungan adalah semasa hidup si pasien, kita berusaha dengan segenap
tenaga memberikannya ketenangan dan kedamaian; saat ajalnya tiba,
dapat membantunya mengikuti Buddha Amitabha terlahir ke Alam
Sukhavati).

Kemudian saya memberinya anjuran : “Anda harus mempunyai


tekad, memastikan anda adalah utusan Buddha Amitabha yang khusus
datang untuk membantunya mencapai KeBuddhaan, anda pasti akan
melakukannya dengan baik; anda dapat senantiasa berdoa dalam hati,
memohon bimbingan dari Buddha, agar kamu dapat memahami
bagaimana seharusnya agar dapat berbuat dengan sebaiknya. Ketika dia
mengeluh kesakitan, maka yang paling baik anda lakukan adalah
mendampinginya melafal Amituofo dan berdoa, anda harus bersujud
dengan setulusnya beranjali dan melafal keluar nama Buddha dari
dalam sanubari anda yang paling tulus, agar pasien juga turut
mendengarnya. Doa dapat berupa : “Murid istri Chen Jin-chi memohon
pada Buddha Amitabha untuk membantu suamiku agar penderitaannya
dapat reda, bebas dari segala kerisauan, jiwa raganya damai, dapat
dengan hati yang tenang melafal Amituofo…….”

Di dalam penderitaannya, asalkan dapat mendengar bahwa Buddha


Amitabha akan datang menyelamatkannya, maka lama kelamaan
bagaikan semerbak harum dupa yang juga mengenai insan yang
menyalakannya, maka di dalam dirinya akan timbul keyakinan bahwa
Buddha Amitabha akan datang menyelamatkannya, sebersit niat pikiran
ini akan membawanya keluar dari penderitaan dan terjalin dengan
Buddha. Niat pikiran pihak keluarga begitu pentingnya karena dapat
mengantar si pasien meninggalkan dunia saha yang begitu menderita ke
dalam pelukan Buddha yang begitu bahagia tanpa batas”.

18 

 
Yang membuatku salut adalah Nyonya Chen begitu setia
mengamalkannya bahkan dia telah berhasil melakukannya.

  
   

19 

 
Kisah Chen Jin-chi

Bagian 4
 

Kita adalah manusia yang memiliki darah dan airmata, Buddha


akan memaafkan kita, hapuslah airmata dan melangkah lagi ke
depan, kita semua saling membantu dengan penuh sukacita pulang
ke kampung halaman Alam Sukhavati.
20 

 
Menebar Senyum Memasuki Kolam Tujuh Mustika

Kisah Chen Jin-chi

Bagian 4
 

Nyonya Chen memiliki sepatah kata yang bagus, yang dapat


memotivasi pasien yang telah putus asa; dia berkata : “Oleh karena saya
terlalu mencintai suamiku, tidak tega melihatnya menderita, maka itu
saya menyerahkan hatiku yang mencintainya ini kepada Buddha
Amitabha, agar dia jangan menderita lagi, mencapai KeBuddhaan dan
menyelamatkan semua makhluk”. Betapa baiknya niat hatinya ini,
betapa patut dirinya itu dipuji karena telah mengubah cinta individunya
menjadi maha karuna Buddha; dari cinta individu maupun jalinan kasih
antar keluarga, ditingkatkan menjadi jalinan keluarga Bodhi yang
melangkah di Jalan KeBuddhaan.

Dia merupakan istri yang berbudi luhur, mendampingi suaminya


melewati jalanan berliku-liku, sampai pada saat menjelang ajal dan
membantunya melafal Amituofo, walaupun lelah sekalipun dia juga
tidak berani beristirahat, tubuhnya kurus sampai hanya tersisa 30 kg
lebih. Wanita kurus dan lemah ini telah menwujudkan semangat
Bodhisattva, mengantar suaminya mengakhiri penderitaan dan
memperoleh kebahagiaan buat selama-lamanya, dengan senyum dan
lambaian tangan pergi ke Alam Sukhavati, menanti kedatangan sang istri,
keluarga dan seluruh makhluk di Alam Sukhavati.

Dan akhir yang menyenangkan dari kisah ini, diantaranya tidaklah


semulus yang kita bayangkan, namun juga penuh dengan liku-liku.
21 

 
Karena hati orang awam tidaklah kekal, ketika “kekuatan kesabaran”
belum sempurna, terkadang juga akan mengalami kemunduran. Ketika
pasien karena penderitaan sakitnya dan keyakinannya jadi goyah, tidak
dapat meneruskan melafal Amituofo lagi, maka peranan orang-orang di
sekitarnya amat penting, haruslah dengan maitri karuna dan kelembutan
untuk mengerti akan penderitaannya, agar pasien tahu bahwa mereka
merasakan apa yang dideritanya, kemudian baru memotivasinya agar
membangkitkan kembali keyakinannya; jangan malah sebaliknya
menyalahkan diri si pasien dan merasa kecewa pada dirinya, serta
mengabaikannya.

Orang-orang yang berada di sekelilingnya, harus membandingkan


dirinya dengan si pasien, andaikata saya juga berada dalam kondisi yang
sama dengannya, saya akan bagaimana? Apakah keyakinanku juga
takkan berubah, kemudian senantiasa tersenyum? Andaikata kita saja
tidak bisa, maka ketika keyakinan pasien goyah, kita harus
memakluminya, ini merupakan kesempatan bagi kita untuk memupuk
berkah dan kebijaksanaan.

Nyonya Chen begitu telaten menwujudkan hal ini, dia menggunakan


hatinya untuk memaklumi bahkan juga mewakili suaminya untuk
melakukan pertobatan. Kekuatan dari ketulusan sungguh tak
terbayangkan, bertobat dan memohon perlindungan dari Buddha juga
merupakan kekuatan yang tak terbayangkan. Ketika kita diperlakukan
dengan tidak adil dan tidak menyenangkan, janganlah bersedih,
gunakanlah ketulusan hati untuk bertobat, memohon bimbingan dari
Buddha, ketahuilah kita tidak kurang sesuatu apapun dari Buddha, kita
hanya kelebihan sedikit benda kotor yakni “lobha, dosa, moha,
keangkuhan dan kecurigaan”. Bila kita sudi membersihkannya maka
Jiwa KeBuddhaan yang cemerlang akan muncul keluar.

22 

 
Pada tahun 85 musim dingin, karena sel kankernya telah menyerang
ke bagian otak sehingga dia sulit bersuara, lengan tangannya mati rasa.
Selama ini dia begitu sehat, tiba-tiba divonis kanker, membuatnya amat
menderita dan risau, karena emosinya labil maka sulit untuk
menfokuskan diri melafal Amituofo. Dalam hatinya menyalahkan
Buddha dan Bodhisattva yang tidak membuat pengaturan yang baik buat
dirinya, begitu emosi tasbih pun langsung dilepaskannya.

Sedangkan Buddha dan Bodhisattva begitu bermaitri karuna, selalu


tidak tega melihat penderitaan para makhluk, terhadap para makhluk
senantiasa memiliki hati bagaikan ayahbunda yang merisaukan anak-
anaknya, walaupun penderitaan para makhluk yang dikarenakan
perbuatannya di masa kelahiran lampau; namun masih menyalahkan
Buddha dan Bodhisattva, tetapi Buddha dan Bodhisattva masih tetap
ingin mewakili para makhluk menerima penderitaan mereka, menanti
sampai saat yang tepat untuk mempengaruhinya.

Kebetulan sekali ketika Upasaka Chen sudah tidak mampu


mempertahankan keyakinannya yang telah goyah, mungkin juga ini
adalah wujud dari doa mereka setiap hari kepada Buddha dan
Bodhisattva, saya bermimpi melihat Upasaka Chen menangis kesakitan.
Maka itu saya segera menelepon ke rumahnya dan putranya menjawab
bahwa ayahnya sedang diantar ke Unit Gawat Darurat di rumah sakit,
Nyonya Chen menyampaikan salam saya kepadanya di UGD dan dia
menangis seperti seorang anak-anak. Saya mengunjunginya, dia berkata
padaku dengan gaya yang agak lucu : “Saya sudah bilang ke Buddha dan
Bodhisattva, saya sudah menyerah, tidak ingin melafal Amituofo lagi,
akhirnya setelah Buddha dan Bodhisattva tahu akan hal ini, anda juga
diberitahu Mereka. Sekarang jalinan komunikasi antara diriku dengan
Buddha lancar kembali, saya akan melafal Amituofo lagi, walaupun saya
tidak dapat melafal dengan bersuara, namun aku akan melafalnya di
dalam hati”.
23 

 
Mendengar ucapannya serta perjuangan berat keluarganya, saya
sungguh merasa sedih dan perih, hanya dapat berkata padanya : “Jalan
ini sungguh sulit, untunglah ada Buddha Amitabha ikut serta”. Setelah
itu dia menangis dan saya juga turut menangis. Kita adalah manusia
yang memiliki darah dan airmata, Buddha akan memaafkan kita,
hapuslah airmata dan melangkah lagi ke depan, kita semua saling
membantu dengan penuh sukacita pulang ke kampung halaman Alam
Sukhavati. Menangis sejenak, beban di hati pupus sudah, saya mencoba
berbincang dengannya : “Saat menderita kita juga harus memikirkan
pada masa lampau kita juga membuat makhluk lain menderita, kini saya
telah merasakannya sendiri, maka itu dengan tulus kita meminta maaf
pada mereka, bertobat, melafal Amituofo dan melimpahkan jasa
kebajikan ini agar mereka memperoleh kedamaian”. Dia
menganggukkan kepalanya dan mengiyakan.

Segala penderitaan dan kegelapan pasti akan berlalu, seperti


khayalan dan bayangan, asalkan kita bertekad ke arah yang gemilang,
bertobat dengan setulusnya. “Semua karma buruk yang dilakukan di
masa kelahiran lampau, yang berasal dari lobha, dosa dan moha yang
tanpa awal, yang diperbuat melalui tubuh, ucapan dan pikiran, kini saya
bertobat atas semua ini”. Karma buruk yang kita lakukan di masa
lampau, karena di hati kita ada ketamakan, amarah dan kebodohan, dan
lobha, dosa, moha ini menggerakan kita untuk berbuat melalui pikiran,
ucapan dan tindakan, yang melukai makhluk lain, sehingga makhluk lain
menjadi menderita. Dan kini penderitaan itu kembali pada diri kita
sendiri, kita harus segera bertobat. Andaikata anda atau keluarga anda
memiliki keyakinan yang tidak kokoh, janganlah berkecil hati,
pikirkanlah bagaimana Upasaka Chen juga sedemikian menjalaninya.
Ketika kita berniat kembali melafal Amituofo, Buddha juga akan
bermaitri karuna mengulurkan tanganNya, lihat saja Upasaka Chen ini,

24 

 
dia masih dapat tersenyum bergandengan tangan dengan Buddha pulang
ke Alam Sukhavati.

25 

 
Kisah Chen Jin-chi

Bagian 5
 

Janganlah kikir untuk membangkitkan sebersit niat baik, juga


jangan pelit untuk mengucapkan sepatah kata baik.

26 

 
Menebar Senyum Memasuki Kolam Tujuh Mustika 

Kisah Chen Jin‐chi 

Bagian 5 

Setelah melewati berbagai cobaan, akhirnya dia kembali ke tekadnya


semula, niatnya yang paling berharga adalah dapat mengalihkan
penderitaannya menjadi niat untuk membantu makhluk lainnya. Dia
memberitahukan diriku bahwa dia memiliki sebidang tanah, dimana dia
ingin mendirikan tempat peristirahatan bagi para pasien sambil melafal
dan bernamaskara pada Buddha Amitabha, membantu mereka yang
menderita. Saya merasa bahwa kala seseorang berada di ranjang
pesakitan namun bisa mengikrarkan tekad sedemikian, sungguh
bukanlah hal yang mudah. “Satu niat baik dapat melenyapkan ribuan
malapetaka, tekad besar menguraikan ribuan kecemasan”. Dengan
kekuatan niat baiknya itu telah mengalihkan penderitaannya ke arah
yang lebih baik, ketika tekad agung diikrarkan maka lepaslah segala
penderitaan.

Sesungguhnya saya tidak terlalu memahami tentang pendirian


bangunan, namun saya memberinya ucapan selamat, tidak mudah bagi
seseorang yang sedang berada di ranjang pesakitan dimana otaknya telah
mengalami tekanan dan sulit mengeluarkan suara, namun masih
memiliki niat demikian. Tak peduli bagaimana jalinan jodoh berakhirnya
kehidupan ini, namun yang penting telah membangkitkan sebersit niat
baik untuk memberi manfaat bagi makhluk lain, yang juga berarti telah
memupuk bunga dan buah kebijaksanaan Buddha dan Bodhisattva.

27 

 
Pada mulanya saya tidak mengira dia begitu serius, tidak disangka
dia menggunakan tangannya yang telah kaku itu untuk menggambar
sebuah denah bangunan, di atas denah ditulis “Namo Amitabha
Buddhaya” yang menunjukkan bahwa bangunan itu adalah vihara.
Setelah dia wafat, seorang sanak keluarganya bermimpi melihat dirinya
berada di sebuah bangunan yang indah dan megah, mungkin ini adalah
mujizat dari keinginannya untuk mendanakan sebuah bangunan bagi
para pasien untuk melafal Amituofo!

Karena itu janganlah kikir untuk membangkitkan sebersit niat baik,


juga jangan pelit untuk mengucapkan sepatah kata baik. Kita harus
senantiasa membangkitkan pikiran baik, mengucapkan kata baik, di
dalam kondisi yang tidak menyenangkan segera mengembalikan pikiran
ke jalan yang benar, mengarah kepada Buddha dan cahayaNya.
Walaupun dia berada di ranjang pesakitan, namun niatnya yang kuat
untuk membantu insan lain melafal Amituofo, bunga teratai di Alam
Sukhavati bermekaran, istana tujuh mustika yang seharusnya juga
menjadi miliknya seketika terwujud. Segala kondisi tercipta dari pikiran!
Pikiran dapat menciptakan Alam Sukhavati, hati dapat menikmati
kebahagiaan.

Pertama kali ketika kami bersua, telah ada seorang Bodhisattva yang
bernama Nyonya Wang, setelah mengetahui kondisi penyakit yang
dideritanya maka segera memberinya Sutra Bhaisajyaguru dan
memotivasinya untuk membaca, karena selama ini Upasaka Chen sehat-
sehat saja, mendadak divonis dokter dan dia tidak dapat menerima
kenyataan ini. Seperti juga para pasien lain yang pada umumnya setelah
mendengar vonis dokter, tangan dan kaki akan gemetaran, dia berharap
keajaiban dapat muncul dan sembuh dari penyakitnya, tidak berharap
kehidupan ini berakhir, tidak ingin berpisah dengan keluarganya. Maka
itu sebagus apapun Alam Sukhavati, dia juga tidak sudi ke sana, inilah
kondisi manusia pada umumnya.
28 

 
Ketika tubuhnya masih sehat, dia tidak ingin memilikirkan masalah
bahwa “suatu hari nanti kehidupan ini pasti berakhir”, juga tidak
berminat untuk menerima maitri karuna Buddha Amitabha. Sikap ini
dapat kita maklumi, sebagian besar orang juga sedemikian. Dalam
keadaan serupa ini jika begitu bertatap muka langsung minta dia
melepaskan kemelekatan dan bertekad lahir ke Alam Sukhavati,
mungkin saja kehendaknya adalah memohon penyembuhan, maka itu
dia akan menentang maksud baik kita, sehingga merusak jodohnya
dengan Buddha. Maka itu saya menuruti keinginannya, memberikan
perhatian agar emosi pasien selalu stabil, menjaganya agar jangan ada
rasa takut atau perasaan diabaikan, sendirian menuju jalan kematian
yang ditakutkan setiap insan, saya senantiasa menasehati pasien :
“Jangan cemas, sesulit apapun jalan yang akan ditempuh, kami akan
menemanimu melangkah ke sana, Buddha Amitabha akan menuntun kita,
melewati perjalanan ini dengan selamat”. Bahkan juga menekankan
bahwa Buddha Amitabha adalah Cahaya Sukacita, Cahaya
Kebijaksanaan, Cahaya Maitri Karuna,……………..Buddha Amitabha
adalah cahaya tanpa batas dan usia tanpa batas, jika melafal sampai
terjalin denganNya maka akan melenyapkan malapetaka dan
memperpanjang usia.

Atau mungkin saja jalinan jodoh masing-masing tidak sama, masing-


masing memiliki jembatan penyeberang dan perahu penyelamat yang
berbeda-beda, walaupun Buddha Amitabha juga dapat melenyapkan
malapetaka dan memperpanjang usia, namun mulanya Upasaka Chen
lebih suka pada Buddha Bhaisajyaguru (yang juga merupakan Buddha
yang melenyapkan malapetaka dan memperpanjang usia). Setiap pasien
suka pada melenyapkan malapetaka dan memperpanjang usia, jarang
sekali ada pasien yang begitu jatuh sakit langsung menyadari
ketidakkekalan, dan langsung mempersiapkan urusan menjelang ajal

29 

 
yang harus dilalui oleh setiap manusia, maka itu harus menuruti
keinginan insan lain, membimbing mengikuti jodoh.

Di dalam Sutra Bhaisajyaguru tercantum sebuah kalimat yang amat


bermakna, dimana tertera bahwa Buddha Bhaisajyaguru sendiri juga
membantu para makhluk untuk terlahir ke Alam Sukhavati, apabila
makhluk tersebut sebelumnya telah membangkitkan tekad untuk terlahir
di Alam Sukhavati, namun mereka masih belum memiliki keyakinan
penuh, yang belum mencapai tahap “pikiran terfokus tak tergoyahkan”,
jika dapat mengamalkan “Atthanga Sila“ selama tiga bulan, dan lagi
dapat mendengar nama Buddha “Bhaisajyaguru Vaidurya Prabhasa
Tathagata”, saat menjelang ajal, Buddha Bhaisajyaguru akan bersama
dengan delapan Bodhisattvaya Mahasattvaya muncul dan menuntun
jalan sehingga makhluk tersebut sesuai dengan niatnya dapat terlahir ke
Alam Sukhavati.

Dari kalimat sutra tersebut dapat kita ketahui bahwa walaupun


Buddha Bhaisajyaguru adalah pengajar utama di Alam
“Vaidūryanirbhāsā“ yang terletak di penjuru timur, namun karena Hati
Buddha amat lapang dan luas, takkan membedakan satu sama lain,
namun menyesuaikan dengan kekuatan tekad dan jalinan jodoh para
makhluk serta menwujudkan bimbingan yang paling unggul. Setiap
Buddha merupakan kepala sekolah penyelamat besar yang bermaitri
karuna, mereka amat bersukacita saling memperkenalkan siswa-
siswanya untuk saling belajar, takkan ada pembagian partai, saling
berebutan. Kondisi dan jalinan jodoh yang bagaimana yang dapat
membantu makhluk tersebut, sehingga dia akan memperoleh manfaat
dan keberhasilan terbesar, maka dengan dengan demikianlah Buddha
akan menuntunnya.

30 

 
Maka itu bukan hanya dengan melafal Amituofo barulah dapat
terlahir ke Alam Sukhavati, namun sesuai dengan keinginan juga dapat
terkabulkan, dengan melafal Sutra Bhaisajyaguru atau nama Buddha
Bhaisajyaguru lalu melimpahkan jasa kebajikan ke Alam Sukhavati,
niatnya juga dapat terwujud. Bahkan walaupun melafal sutra Mahayana
lainnya, asalkan jasa kebajikannya dilimpahkan ke Alam Sukhavati,
keinginannya untuk terlahir ke Alam Sukhavati juga dapat terkabul, ini
ibaratnya berasal dari SMA berlainan mengikuti ujian masuk ke
perguruan tinggi yang sama, asalkan keyakinan dan tekadnya
memperoleh nilai sepuluh, maka akan diterima, terlahir ke Alam
Sukhavati adalah hal yang nyata dan benar, setiap insan dapat
memilikinya, jadi tidak perlu ragu dan khawatir.

Maka itu Upasaka Chen suka membaca Sutra Bhaisajyaguru, Sutra


Ksitigarbha, karena itu saya tidak memaksakan dia agar harus membaca
Amitabha Sutra atau sutra Aliran Sukhavati lainnya, hanya
menganjurkan agar jasa kebajikan dari membaca sutra dilimpahkan
dengan bertekad lahir ke Alam Sukhavati, Buddha Bhaisajyaguru juga
akan membantu kita terlahir ke Alam Sukhavati!

31 

 
Kisah Chen Jin-chi

Bagian 6
 

Sepatah Amituofo dapat melenyapkan delapan miliar kalpa karma


buruk berat tumimbal lahir, mewakili kita untuk melunasi hutang-
hutang karma kita, tak perlu khawatir tidak mampu sekaligus
melunasi semuanya.
32 

 
Menebar Senyum Memasuki Kolam Tujuh Mustika

Kisah Chen Jin-chi

Bagian 6
 

Setiap kalimat yang tercantum dalam sutra adalah nyata dan tidak
semu, apa yang diucapkan Buddha pasti akan menjadi kenyataan, hanya
saja sampai di mana anda dapat membangkitkan keyakinan dan
mengamalkannya. Bagi kita yang yakin pada kekuatan tekad maitri
karuna Buddha maka dalam seketika juga hidup di dalam Cahaya
Buddha, jika tidak dapat menimbulkan keyakinan maka akan hidup
dalam bayangan gelap rintangan karma. Insan yang yakin sepenuhnya,
maka masa depannya bersinar terang; sedangkan insa yang yakin
setengah hati maka masa depannya adalah setengah terang dan setengah
redup. Yang paling penting adalah, asalkan ada keraguan maka akan
masuk ke kegelapan, maka itu harus lekas membangkitkan keyakinan
hati, membuang kegelapan dan menuju cahaya gemilang.

Sekitar 5-6 hari sebelum kepergian Upasaka Chen, dikarenakan sel


kanker telah menyerang lambungnya hingga mengeluarkan darah, para
dokter juga tidak bisa memastikan apakah mampu menghentikan
pendarahan ini. Jika kita panik dan melupakan Buddha maka akan jatuh
ke dalam kegelapan, dan mengikuti kekuatan karma bertumimbal lahir
untuk menyelesaikan semua hutang piutang. Masa kelahiran lampau kita
memakan daging makhluk lain, kehidupan kini kita harus membayarnya,
masa lalu kita begitu menginginkan makanan bergizi, sehingga
membunuh makhluk lain, ini juga harus dibayar, ketika harus melunasi
hutang barulah kita tahu akan penderitaan.

33 

 
Jujur saja walau hanya satu saja nyawa yang melayang, kita juga
tidak mampu melunasinya; maka itu kita harus menyadari bahwa lebih
baik saat menjelang ajal harus membayar hutang, atau saat masih hidup
cepat-cepat melunasinya! Andaikata karma telah berbuah, apa yang
harus dilakukan? Jika dapat mengerahkan segenap tenaga melafal
Amituofo, maka kekuatan jasa kebajikan dan kewibawaanNya tak
terbayangkan, sepatah Amituofo dapat melenyapkan delapan miliar
kalpa karma buruk berat tumimbal lahir, mewakili kita untuk melunasi
hutang-hutang karma kita, tak perlu khawatir tidak mampu sekaligus
melunasi semuanya.

Saya sendiri begitu yakin akan hal ini, maka itu ketika Nyonya Chen
menghubungiku, dengan keyakinan yang pasti, saya memberitahukan
dirinya : “Menfokuskan pikiran melafal Amituofo, pendarahan akan
berhenti, kekuatan Buddha tak terbayangkan”. Ternyata Nyonya Chen
demi menyelamatkan suaminya, dia melafal Amituofo dengan
setulusnya, tidak lama kemudian pendarahan berhasil berhenti, tekanan
darahnya juga kembali normal.

Nyonya Chen bertanya pada suaminya : “Apakah anda telah bertemu


dengan Buddha Amitabha?” Upasaka Chen menggeleng-gelengkan
kepala. Kemudian dia bertanya lagi : “Apakah anda telah melihat
Bodhisattva Avalokitesvara?” Lagi-lagi dia menggelengkan kepala,
namun dia menjawab telah melihat Bodhisattva Mahasthamaprapta, dan
beberapa Bodhisattva lainnya, suaranya terdengar begitu lemah
sepertinya menyebut nama beberapa Bodhisattva tersebut.

Setiap hari Nyonya Chen begitu sibuk mengurus bisnis dan


rumahtangganya, tidak memiliki waktu untuk membaca sutra, sehingga
34 

 
dia tidak mengenal nama-nama Bodhisattva yang diucapkan suaminya
itu. Begitu mendengarnya, saya langsung bisa mengetahui bahwa itu
adalah delapan Maha Bodhisattva yang disebut dalam Sutra
Bhaisajyaguru, telah terjalin dengan dirinya, mungkin waktunya telah
semakin dekat untuk terlahir ke Alam Sukhavati.

Karena saya pernah berjanji padanya : “Kami akan mendampingimu


melewati jalan ini, kita akan dengan selamat kembali ke dalam pelukan
Buddha, anda jangan khawatir”. Maka itu saya harus menwujudkan janji
ini. Nyonya Chen sendiri pernah memimpikan kami sebanyak tiga kali,
kini tiba waktunya untuk mempersiapkan urusan menjelang ajal dan
membantunya melafal Amtituofo. Menurut penuturannya sejak bertemu
Bodhisattva, tidak ada pendarahan lagi. Tubuhnya juga amat bersih,
mulanya masih harus disuntik anti sakit, sekarang tidak perlu lagi; boleh
dikatakan kondisinya amat tenang, segala penyakit dan penderitaannya
berakhir sudah, ini telah membuktikan isi dalam sutra Buddha. Selama
ini Upasaka Chen begitu takut pada penderitaan sakit, tidak suka
menahan kesulitan, dalam kondisi sakit dia memohon “meninggal
dengan damai, seawal mungkin bertemu dengan Buddha Amitabha”.

Tetapi ketika rombongan kami tiba di rumah sakit, dia masih tidak
mampu merelakan keluarganya, tidak ingin terlahir ke Alam Sukhavati,
saya bertanya padanya : “Bukankah anda suka pada Buddha Amitabha
dan Alam Sukhavati?” Dia bukan saja tidak menggelengkan kepala,
namun juga berlinangan airmata. Sungguh kasihan, pada detik demikian
masih belum menembusi rintangan ini, dia sendiri amat jelas, tubuhnya
hampir tidak bisa digunakan lagi, namun dia masih terus berharap.

35 

 
Saya menjelaskan pada putranya bagaimana kondisi ayahnya saat itu
dan bagaimana cara membantu dia agar terlahir ke Alam Sukhavati, agar
dia jelas keadaan saat itu, kemudian memohon agar Buddha memberkati
sehingga ayahandanya dapat melepaskan kemelekatan dan bersukacita
membangkitkan tekad terlahir ke Alam Sukhavati”.

Saya menasehatinya : “Tubuh jasmani ini ibaratnya mobil yang kita


sewa, dan kini sudah hampir tidak dapat digunakan lagi, jika dipaksakan
akan terasa berat dan susah, walaupun sudah diperbaiki di bengkel, juga
harus diganti dengan sebuah mobil yang baru. Buddha Amitabha sejak
awal telah mempersiapkan mobil baru yang paling bagus dan terunggul
buat dirimu, mobil vajra yang takkan rusak, bagaimana caranya untuk
mengganti dengan yang baru? Mudah saja, menfokuskan diri melafal
Amituofo, begitu mobil lama ditinggalkan, maka segera menempati
mobil baru. Jika memaksakan diri untuk mengendarai mobil rusak itu,
maka pengendaranya juga akan amat bersusah payah. Kami akan
menemanimu bersama-sama mengganti mobil baru, hanya saja kamu
lebih beruntung karena memiliki kesempatan terlebih dulu, lebih awal ke
Alam Sukhavati untuk kembali menjemput kami ke sana. Tenangkan
hatimu dan pergilah. Terlahir ke Alam Sukhavati, bukan berarti berpisah
dengan keluarga. Di Pohon Mustika Alam Sukhavati, anda bisa langsung
melihat istri dan putra putri anda, melihat apa yang sedang mereka
lakukan, lagipula dapat membantu dan melindungi mereka, sama sekali
tiada rintangan. Seperti ketika menonton televisi, berada di layar yang
sama, hanya saja nomor dan frekuensinya tidak sama. Asalkan
salurannya diganti, maka acaranya tidak sama. Kita terlahir ke Alam
Sukhavati juga sama, hanya perlu mengubah nomor dan frekuensi saja.
Bagi para penghuni Alam Sukhavati, sesungguhnya mereka tidak pernah
meninggalkan kita, karena mereka setiap saat dapat melihat dan
membantu kita. Demikian pula ketika anda terlahir ke Alam Sukhavati,
sama sekali tidak terpisah dengan kami. Maka itu terlahir ke Alam
Sukhavati hanyalah mengganti nomor dan frekuensi saja, asalkan anda
36 

 
bersedia melafal Amituofo, maka anda telah mengganti frekuensi anda.
Hanya saja kita manusia yang hidup di dunia saha ini, di hati kita ada
halangan, barulah tidak dapat melihat Alam Sukhavati”.

Nyonya Chen berkata : “Kelak kami juga akan mengikuti dirimu


terlahir ke Alam Sukhavati, anda pergi duluan, kemudian baru kembali
menyelamatkan kami dan para makhluk. Alam saha ini terlalu menderita,
menyiksa dirimu, kami sungguh tidak tega melihatnya. Di Alam
Sukhavati ada kolam tujuh mustika dan air delapan jasa kebajikan, dasar
permukaannya dilapisi emas. “Namamu adalah Jin-chi, anda harus ingat
masuk ke kolam bunga teratai tujuh mustika di Alam Sukhavati!”

Semua orang memotivasi dirinya, mendampinginya melafal


Amituofo. Tidak lama kemudian, hatinya telah melepaskan kemelekatan.
Melepaskan hanyalah sebersit niat pikiran saja, ribuan bahkan puluhan
ribu kalpa tidak dapat melihat segala hal dengan berlapang hati, tidak
bisa melepaskan kemelekatan, sekarang sudah bisa melepaskan, juga
hanyalah sebersit niat pikiran saja!
 

37 

 
Kisah Chen Jin-chi

Bagian 7
 

Sepanjang hidup manusia bisa berpura-pura, hanya saat menjelang


ajal tiada kepalsuan lagi, insan yang tulus dan setia, pada
akhirnya akan memperoleh manfaat besar.
 

38 

 
Menebar Senyum Memasuki Kolam Tujuh Mustika

Kisah Chen Jin-chi

Bagian 7

Kemudian saya melihat raut wajahnya mulai tenang dan damai, tidak
ada kerutan sama sekali, wajahnya tidak memancarkan penderitaan lagi.
Saya melihat para dokter dan suster, dan orang-orang yang menjaganya
malah berwajah pucat dan kurus, sedangkan dia malah berwajah merah
bercahaya, sungguh tak terbayangkan. Ketika dia baru menderita
penyakit ini, wajahnya karena menjalani radioterapi, kelihatan sedikit
berwarna hitam. Dengan menfokuskan pikiran melafal Amituofo,
wajahnya berubah menjadi merah bercahaya. Nyonya Chen
menasehatinya agar pulang rumah dan melafal Amituofo, dia
menyetujuinya, dan dia masih dapat berterimakasih pada dokter dan
suster yang merawatnya; dia berharap bisa mencabut selang infus,
barulah saya menyadari kaki dan tangannya telah lebih lincah daripada
sebelumnya.

Pada saat itu, dia bukan hanya berhasil menghentikan pendarahannya,


bahkan seluruh penderitaan kesakitannya juga telah lenyap, sama sekali
tidak memerlukan anti sakit, juga tak perlu diinfus lagi, tidak
mengerutkan keningnya lagi, tidak ada siksaan lagi. Di dalam lafalan
Amituofo, dalam kondisi damai menghembuskan nafas terakhir. Tanda-
tanda istimewa ini, telah membuktikan bahwa apa yang tertera dalam
Amitabha Sutra dan Maha-karuna-pundarika-sutra yang diterjemahkan
oleh Master Hsuan Tsang adalah benar adanya.

39 

 
Di dalam Amitabha Sutra tertera :

“Insan yang bertekad lahir ke Alam Sukhavati, asalkan melafal


Amituofo berkesinambungan, saat menjelang ajalnya, Buddha Amitabha
dan para Bodhisattva serta makhluk suci Alam Sukhavati lainnya akan
muncul di hadapan praktisi, bermaitri karuna memancarkan cahaya
melindunginya, agar pikirannya tenang tak tergoyahkan”.

Sedangkan dalam Maha-karuna-pundarika-sutra tercantum bahwa:

“Buddha menggunakan kekuatan samadhi untuk memberkati,


bahkan membabarkan Dharma kepada sang praktisi yang sedang
menjelang ajalnya, sehingga sang praktisi membangkitkan sukacita,
karena bersukacita, maka masuk ke dalam samadhi (samadhi benar) dan
memperoleh kekuatan prajna, terlahir ke Alam Sukhavati”.

Seorang pasien yang kesakitan sehingga harus tergantung pada


morfin dalam melalui hari-harinya, hatinya amat risau, organ dalam
tubuhnya, kulit, tangan dan kakinya tidak ada bagian yang tidak diserang
kanker, wajahnya berwarna merah merekah, berwibawa, tidak
mengerutkan kening, tidak sesak nafas dan berteriak-teriak,
kesadarannya masih bagus; tanda-tanda istimewa ini membuat saya
merasa amat jelas bahwa kondisi ini serupa dengan apa yang dikatakan
dalam sutra Buddha, sungguh ini adalah Buddha Amitabha muncul
untuk memberi pemberkatan. Ini juga merupakan ketrampilan yang
dilatihnya dalam keseharian, barulah dapat terjalin dengan Buddha.

Seperti yang dikatakan oleh Master Yin Guang : “Pada saat


menjelang ajal jika wajah tidak berubah maka praktisi ini pasti memiliki
ketrampilan melatih diri yang tinggi”. Sepanjang hidup manusia bisa
40 

 
berpura-pura, hanya saat menjelang ajal tiada kepalsuan lagi, insan yang
tulus dan setia, pada akhirnya akan memperoleh manfaat besar. Saya
bertanya pada dirinya : “Apakah anda ada berkomunikasi dengan
Buddha Amitabha?” Istilah komunikasi ini adalah istilah yang dia pakai
selama ini. Dia diam sejenak kemudian menganggukkan kepalanya.
Saya bertanya lagi : “Apakah anda telah melihat Buddha Amitabha?”
Dia menganggukkan kepala lagi; saya bertanya lagi : “Buddha sedang
memancarkan cahaya menyinari dirimu, apakah kamu telah melihatnya?”
Dia mengangguk lagi. Dia telah menganggukkan kepalanya tiga kali,
saya merasa sudah tenang, mengetahui bahwa dia pasti akan terlahir ke
Alam Sukhavati, kemudian dengan hening dia melafal Amituofo. Ketika
kami mengantarnya sampai ke mobil ambulans, airmatanya berlinang,
namun tidak mengerutkan kening, saya berkata padanya : “Kita sekarang
akan pulang ke rumah untuk melafal Amituofo, pulang ke kampung
halaman Alam Sukhavati”. Dia mengangguk, sepanjang perjalanan kami
melafal Amituofo di dalam mobil ambulans.

Bodhisattva Jiang dan para sahabat Dharma telah selesai


mendekorasi ruang untuk para hadirin melafal Amituofo, ruang ini ditata
menjadi begitu agung. Kemudian ruang ini diberi nama Ruang Melafal
Amituofo, kami sangat memuji, karena sebagian pasien riwayatnya
berakhir di Ruang Perawatan Intensif (ICU), lagipula, begitu
menghembuskan nafas terakhir langsung didorong ke ruang mayat yang
dingin, gelap dan sempit, atau di kamar beku di rumah duka. Sedangkan
di ruang ini begitu terang dan luas, sehingga semua kerabat dapat
melafal Amituofo untuk mengantar Upasaka Chen ke Alam Sukhavati,
membuat akhir drama yang penuh sukacita, memotivasi semua insan,
sungguh berkah kebajikan yang besar. “Manusia memiliki tekad,
Buddha akan memberikan mujizat”, sungguh tak terbayangkan, sampai
para Bhiksu, sahabat Dharma, organisasi yang membantu melafal
Amituofo, juga pada berdatangan, mereka amat tulus dan saling
bergantian untuk menemani Upasaka Chen melafal Amituofo.

41 

 
Ketika Master Jian Yin datang, beliau dengan ramah berbincang
dengan para hadirin serta menceramahkan tentang keistimewaan Alam
Sukhavati, bukan hanya hadirin yang merasa amat bersukacita, bahkan
Upasaka Chen sampai membuka kedua matanya yang telah lama
terpenjam, ketika matanya terbuka dia tersenyum, senyumannya
bercampur baur dengan senyuman hadirin lainnya. Sungguh satu
senyuman dapat menghilangkan segala penderitaan.

Setiap hari Nyonya Chen mencurahkan segala permohonan di


hatinya kepada Buddha Amitabha sampai airmatanya berlinang,
akhirnya kini menjadi kenyataan. Para sahabat Dharma terus
berdatangan silih berganti, ada juga yang biasanya sangat sibuk sehingga
sulit diundang juga turut berdatangan, termasuk guru dan kepala sekolah
yang beragama Kristen, baik yang kenal maupun tak kenal, semuanya
berdatangan menghadiri babak akhir drama yang penuh sukacita ini.
Bahkan ibunda dari Upasaka Chen yang semula menangis tersedu-sedu,
namun karena melihat babak akhir drama yang penuh sukacita ini, juga
jadi tersenyum sambil memuji : “Ini sungguh Buddha telah
membawanya pergi!” Sungguh, Buddha Amitabha dengan kekuatan
tekadNya telah menuntunnya ke Alam Sukhavati!

Betapa menderitanya insan berambut putih harus mengantar


kepergian insan berambut hitam, namun apa daya! Di dalam kekuatan
maha maitri maha karuna Buddha, kepedihan ini telah melebur dan
berubah menjadi kekuatan keyakinan dan tekad. Upasaka Chen dengan
“menebar senyum terlahir ke Alam Sukhavati” telah mempengaruhi
ibundanya untuk meyakini Buddha dan melafal Amituofo, sehingga
telah menunaikan bakti yang tertinggi.

42 

 
Lebih dari sepuluh menit menjelang ajal, dia mengalirkan linangan
airmata yang tidak sedikit, mungkin itu adalah airmata “kesedihan
bercampur dengan kebahagiaan”! Karena telah menderita di tumimbal
lahir selama berkalpa-kalpa, dan kini telah memperoleh pembebasan,
sungguh bahagia tiada taranya, juga mengasihi para makhluk yang
masih tersesat dan tidak bersedia kembali ke jalan yang benar, maka itu
dia mengalirkan airmata kesedihan bercampur bahagia. Kemudian pada
detik terakhir, tiba-tiba dia tersenyum sampai gigi pun terlihat, bunga
bermekar hati terbuka, dan mampu menggerakkan tangannya yang
selama ini telah tidak lincah, melambaikan tangan kepada semua hadirin
tanda pamit.

Nyonya Chen yang sudah lama tidak melihat suaminya tersenyum


begitu bahagia, juga ikut menemaninya tersenyum sambil melafal
Amituofo. Sepasang suami istri yang begitu kompak, yang satu terlebih
dahulu menuju Alam Sukhavati untuk kuliah, yang satunya lagi bertekad
keluar dari perasaan cinta individu untuk mencintai semua makhluk,
membalas budi Buddha. Yakin bahwa seluruh makhluk yang memiliki
tekad agung serupa dengan Buddha, pasti akan mencapai keberhasilan
sempurna. Semasa hidupnya Upasaka Chen pernah tertawa menghibur
Nyonya Chen agar menenangkan hatinya, memang benar, senyum
terakhirnya sungguh membuat semua orang jadi kagum.

Setelah melafal Amituofo selama 8 jam, tubuh jasmaninya masih


begitu lembut, wajahnya masih tersenyum serupa masih hidup, setelah
diperabukan masih meninggalkan kenangan berupa sarira. Saya
memberinya ucapan selamat! Dengan menebar senyum memasuki kolam
tujuh mustika, selamanya tak perlu lagi menjalani penderitaan, hingga
mencapai KeBuddhaan!

43 

 
Terimakasih Buddha Amitabha, mengasihi semua makhluk di
lautan penderitaan, tidak pernah mengabaikan siapapun juga. Buddha
berada di mana saja, dan hanya insan yang tulus sepenuhnya yang dapat
meraih tanganNya.
 

USAI
 

 
44 

 
Daftar Pustaka
笑著進入七寶池

道證法師講述
http://book.bfnn.org/books3/2037.htm 

45 

Anda mungkin juga menyukai