Anda di halaman 1dari 97

ASUHAN KEPERAWATAN GAWAT DARURAT 1

KASUS KEGAWATDARURATAN PADA SISTEM PERNAFASAN :


STATUS ASMATIKUS, ACUTE RESPIRATION DISTRESS SYNDROME
(ARDS), DAN KANKER PARU

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas
rahmat dan karunia-Nya makalah ini dapat terselesaikan. Tanpa pertolongan
Beliau mungkin penyusun tidak akan sanggup menyelesaikan makalah dengan
judul “Kasus Kegawatdaruratan Pada Sistem Pernafasan : Status Asmatikus,
Acute Respiration Distress Syndrome (ARDS), dan Kanker Paru” ini dengan baik.
Makalah ini disajikan berdasarkan pengamatan dan penyeleksian dari
berbagai sumber. Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Riset
Keperawatan semester VII. Untuk itu, pada kesempatan yang berbahagia ini
perkenankan penulis mengucapkan terima kasih kepada pihak yang telah
membantu dalam menyelesaikan makalah ini. Semoga Tuhan Yang Maha Esa
melimpahkan anugrah-Nya kepada pihak yang telah membantu penyelesaian
Makalah ini.
Penyusun menyadari sesungguhnya bahwa makalah ini masih ada
kekurangan dan masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu penyusun
mengharapkan segala kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan
makalah selanjutnya.

Denpasar, 2 Oktober 2017

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..............................................................................................i

DAFTAR ISI............................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN........................................................................................1

1.1. Latar Belakang..........................................................................................1

1.2. Rumusan Masalah.....................................................................................4

1.3. Tujuan Penulisan.......................................................................................4

1.4. Manfaat Penulisan.....................................................................................4

BAB II PEMBAHASAN.........................................................................................5

2.1. Anatomi Fisiologi Sistem Pernafasan.......................................................5

2.2. Jenis-jenis Kegawatdaruratan pada Sistem Pernafasan...........................15

A. Status Asmatikus.................................................................................15

B. ARDS (Acute Respiratory Distress Syndrome)...................................46

C. Ca. Paru................................................................................................61

BAB III PENUTUP...............................................................................................85

3.1. Kesimpulan..............................................................................................85

3.2. Saran........................................................................................................86

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................87

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Sistem pernapasan atau sistem respirasi adalah sistem organ yang digunakan
untuk pertukaran gas. Manusia dalam bernapas menghirup oksigen dalam udara
bebas dan membuang karbondioksida ke lingkungan. Pada sistem pernafasan,
sudah tentu memiliki gangguan di dalmnya baik yang disadari maupun tidak
disadari. Gangguan sistem pernafasan merupakan penyebab utama morbiditas dan
mortalitas. Infeksi saluran pernafasan jauh lebih sering terjadi dibandingkan
dengan infeksi sistem organ tubuh lain dan berkisar dari flu biasa dengan gejala
serta gangguan yang relatif ringan sampai pneumonia berat.
Pada tahun 1999, sekitar 158.900 orang meninggal dunia karena kanker paru.
Sejak pertengahan tahun 1950, kanker paru menduduki peringkat pertama dari
urutan kematian akibat kanker pada pria, dan pada tahun 1987 kanker paru
menggantikan kanker payudara sebagai penyebab kematian akibat kanker yang
paling sering pada perempuan. Angka insiden kanker paru terus mencuat
ketingkat membahayakan dan prevalensi saat ini kira kira 25 kali lebih tinggi
daripada 50 tahun yang lalu. Insiden penyakit pernafasan kronik, terutama
emfisema paru kronik dan bronchitis semakin meningkat dan sekarang merupakan
penyebab utama cacat kronik dan kematian (Sylvia A. Price dan Lorraine M:
2002)
Berdasarkan data statistik pemerintah setiap kabupaten dan kecamatan
terdapat satu Rumah Sakit dan untuk cakupan daerah yang lebih kecil hanya
diwakili dengan Puskesmas Pembantu. Penyakit pernafasan sangat berpengaruh
terhadap masyarakat secara keseluruhan (dalam hal fisik, sosial maupun
ekonomi), sehingga pencegahan, diagnosis, dan pengobatan gangguan pernafasan
mempunyai makna yang penting sekali.
Di samping itu banyak dilaporkan permasalahan kesehatan lain yang berkaitan
dengan asma tetapi kasusnya belum banyak terungkap. Kasus tersebut tampaknya
sangat penting dan sangat berpengaruh terhadap kehidupan anak, tetapi masih

1
perlu penelitian lebih jauh. Dalam tatalaksanan asma anak tidak optimal, baik
dalam diagnosis, penanganan dan pencegahannya.
Menurut Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 1996, penyakit-penyakit
yang dapat menyebabkan sesak napas seperti bronchitis, emfisema, dan asma
merupakan penyebab kematian ketujuh di Indonesia. Asma yang tidak ditangani
dengan baik dapat mengganggu kualitas hidup anak berupa hambatan aktivitas 30
persen, dibanding 5 persen pada anak non-asma. Banyak kasus asma pada anak
tidak terdiagnosis dini, karena yang menonjol adalah gejala batuknya, bisa dengan
atau tanpa wheezing (mengi).
Sedangkan menurut RISKESDAS (2007) di Indonesia prevalensi penderita
asma diperkirakan masih sangat tinggi. Bedasarakan depkes persentase penderita
asma di indonesia sebesar 5,87% dari keselurahan penduduk Indonesia. Dimana
masih banyak penderita asma yang belum mendapatkan perawatan dokter. Hal itu
membuat angka kematian karena penyakit asma tergolong tinggi di Indonesia.
Dengan perkembangan ilmu pengetahuan teknologi dan dalam globalisasi
khususnya di bidang kesehatan bahwa banyak hal yang perlu diperhatikan dalam
mencegah berbagai penyakit pernafasan salah satunya ARDS yaitu merupkan
Gangguan paru yang progresif dan tiba-tiba ditandai dengan sesak napas yang
berat, hipoksemia dan infiltrat yang menyebar dikedua belah paru akibat kondisi
atau kejadian berbahaya berupa trauma jaringan paru baik secara langsung
maupun tidak langsung.
Sindrom gagal pernafasan merupakan gagal pernafasan mendadak yang timbul
pada penderita tanpa kelainan paru yang mendasari sebelumnya. Sindrom Gawat
Nafas Dewasa (ARDS) juga dikenal dengan edema paru nonkardiogenik
merupakan sindroma klinis yang ditandai penurunan progresif kandungan oksigen
arteri yang terjadi setelah penyakit atau cedera serius. ARDS pertama kali
digambarkan sebagai sindrom klinis pada tahun 1967. Ini meliputi peningkatan
permeabilitas pembuluh kapiler pulmonal, menyebabkan edema pulmonal
nonkardiak. ARDS didefinisikan sebagai difusi akut infiltrasi pulmonal yang
berhubungan dengan masalah besar tentang oksigenasi meskipun diberi suplemen
oksigen dan pulmonary arterial wedge pressure (PAWP) kurang dari 18 mmHg.

2
ARDS sering terjadi dalam kombinasi dengan cidera organ multiple dan
mungkin menjadi bagian dari gagal organ multiple. Prevalensi ARDS
diperkirakan tidak kurang dari 150.000 kasus pertahun. Sampai adanya
mekanisme laporan pendukung efektif berdasarkan definisi konsisten, insiden
yang benar tentang ARDS masih belum diketahui. Laju mortalitas tergantung
pada etiologi dan sangat berfariasi. ARDS adalah penyebab utama laju mortalitas
di antara pasien trauma dan sepsis, pada laju kematian menyeluruh kurang lebih
50% – 70%. Perbedaan sindrom klinis tentang berbagai etiologi tampak sebagai
manifestasi patogenesis umum tanpa menghiraukan factor penyebab. Selain asma
dan ADRS masalah sistem pernafasan yang sering terjadi berikutnya adalah
kanker paru.
Kanker paru adalah salah satu jenis penyakit paru yang memerlukan
penanganan dan tindakan yang cepat dan terarah. Penegakan diagnosis penyakit
ini membutuhkan ketrampilan dan sarana yang tidak sederhana dan memerlukan
pendekatan multidisiplin kedokteran. Penyakit ini membutuhkan kerja sama yang
erat dan terpadu antara ahli paru dengan ahli radiologi diagnostik, ahli patologi
anatomi, ahli radiologi terapi dan ahli bedah toraks, ahli rehabilitasi medik dan
ahli-ahli lainnya (PDPI, 2003).
Menurut data jenis kanker yang menjadi penyebab kematian terbanyak adalah
kanker paru, mencapai 1,3 juta kematian pertahun. Disusul kanker lambung
(mencapai lebih dari 1 juta kematian pertahun), kanker hati (sekitar 662.000
kematian pertahun), kanker usus besar (655.000 kematian pertahun), dan yang
terakhir yaitu kanker payudara (502.000 kematian pertahun) (WHO 2005 dalam
Lutfia, 2008).
Pengobatan atau penatalaksaan penyakit ini sangat bergantung pada kecekatan
ahli paru untuk mendapatkan diagnosis pasti. Penemuan kanker paru pada stadium
dini akan sangat membantu penderita, dan penemuan diagnosis dalam waktu yang
lebih cepat memungkinkan penderita memperoleh kualitas hidup yang lebih baik
dalam perjalanan penyakitnya meskipun tidak dapat menyembuhkannya. Pilihan
terapi harus dapat segera dilakukan, mengingat buruknya respons kanker paru
terhadap berbagai jenis pengobatan. Bahkan dalam beberapa kasus penderita

3
kanker paru membutuhkan penangan sesegera mungkin meski diagnosis pasti
belum dapat ditegakkan.

1.2. Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang masalah tersebut maka dapat dietahui rumusan
masalah sebagai berikut:
A. Bagaimanakah asuhan keperawatan pada pasien dengan gangguan status
asmatikus?
B. Bagaimanakah asuhan keperawatan pada pasien dengan gangguan ARDS?
C. Bagaimanakah asuhan keperawatan pada pasien dengan gangguan Ca Paru?

1.3. Tujuan Penulisan


Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah tersebut maka dapat
diketahui tujuan penulisan sebagai berikut:
A. Untuk mengetahui asuhan keperawatan pada pasien dengan gangguan status
asmatikus.
B. Untuk mengetahui asuhan keperawatan pada pasien dengan gangguan ARDS.
C. Untuk mengetahui asuhan keperawatan pada pasien dengan gangguan Ca
Paru.

1.4. Manfaat Penulisan


Menambah pengetahuan penulis mengenai asuhan keperawatan pada pasien
dengan gangguan sistem pernafasan khususnya gangguan asmatikus, ARDS, dan
ca paru.

4
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Anatomi Fisiologi Sistem Pernafasan


Pernapasan adalah suatu proses yang terjadi secara otomatis walau dalam
keadaan tertidur sekalipun karena sistem pernapasan dipengaruhi oleh susunan
saraf otonom. Menurut tempat terjadinya pertukaran gas maka pernapasan dapat
dibedakan atas dua jenis, yaitu pernapasan luar dan dalam.
A. Pengertian Pernafasan
Pernafasan juga merupakan peristiwa menghirup udara dari luar yang
mengandung O2 dan mengeluarkan Co2 sebagai sisa dari oksidasi dari tubuh.
Penghisapan udara ke dalam tubuh disebut proses inspirasi dan menghembuskan
udara keluar tubuh disebut proses ekspirasi. Manusia membutuhkan suplay
oksigen secara terus-menerus untuk proses respirasi sel, dan membuang kelebihan
karbondioksida sebagai limbah beracun produk dari proses tersebut.
Pertukaran gas antara oksigen dengan karbondioksida dilakukan agar proses
respirasi sel terus berlangsung. Oksigen yang dibutuhkan untuk proses respirasi
sel ini berasal dari atmosfer, yang menyediakan kandungan gas oksigen sebanyak
21% dari seluruh gas yang ada. Oksigen masuk kedalam tubuh melalui
perantaraan alat pernapasan dan pada manusia disebut alveolus yang terdapat di
paru-paru berfungsi sebagai permukaan untuk tempat pertukaran gas.
B. Saluran Pernafasan
Saluran pernafasan dari atas kebawah dapat dirinci sebagai berikut : Rongga
hidung, faring, laring, trakea, percabangan bronkus, paru-paru (bronkiolus,
alveolus). Saluran nafas bagian atas adalah rongga hidung, faring dan laring dan
saluran nafas bagian bawah adalah trachea, bronchi, bronchioli dan
percabangannya sampai alveoli. Area konduksi adalah sepanjang saluran nafas,
berakhir sampai bronchioli terminalis, tempat lewatnya udara pernapasan,
membersihkan, melembabkan & menyamakan udara dengan suhu tubuh hidung,
faring, trakhea, bronkus, bronkiolus terminalis. Area fungsional atau respirasi
adalah mulai bronchioli respiratory sampai alveoli, proses pertukaran udara
dengan darah.

5
1. Hidung
Hidung adalah organ indra penciuman. Ujung saraf yang
mendeteksi penciuman berada di atap (langit-langit) hidung di area
lempeng kribriformis tulang etmoid dan konka superior. Ujung saraf
ini distimulasi oleh bau di udara. Impuls saraf dihantarkan oleh saraf
olfaktorius ke otak di mana sensasi bau dipersepsikan. Ketika masuk
dihidung, udara disaring, dihangatkan, dan dilembabkan. Hal ini
dilakukan oleh sel epitel yang memiliki lapisan mukus sekresi sel
goblet dan kelenjar mukosa. Lalu gerakan silia mendorong lapisan
mukus ke posterior didalam rongga hidung dan ke superior saluran
pernapasan bagian bawah menuju faring. Nares anterior adalah
saluran-saluran didalam lubang hidung.
Saluran-saluran ini bermuara kedalam bagian yang dikenal
sebagai vestibulum hidung. Rongga hidung dilapisi selaput lendir yang
sangat kaya akan pembuluh darah, dan bersambung dengan lapisan
farink dan selaput. Pada proses pernafasan secara khusus rongga
hidung berfungsi antara lain:
- Bekerja sebagai saluran udara pernafasan.
- Sebagai penyaring udara pernafasan yang dilakukan oleh bulu-bulu
hidung.
- Dapat menghangatkan udara pernafasan oleh mukosa

6
- Membunuh kuman-kuman yang masuk, bersama-sama udara
pernafasan oleh leukosit yang terdapat dalam selaput lendir atau
hidung.
Pada bagian belakang rongga hidung terdapat ruangan yang disebut
nasopharing dengan rongga hidung berhubungan dengan :
- Sinus paranasalis, yaitu rongga-rongga pada tulang kranial, yang
berhubungan dengan rongga hidung melalui ostium (lubang). Dan
terdapat beberapa sinus paranasalis, sinus maksilaris dan sinus
ethmoidalis yang dekat dengan permukaan dan sinus sphenoidalis
dan sinus ethmoidalis yang terletak lebih dalam.
- Duktus nasolacrimalis, yang meyalurkan air mata kedalam hidung.
- Tuba eustachius, yang berhubungan dengan ruang telinga bagian
tengah.
Jika terjadi influenza atau hidung buntu, maka kemungkinan adalah
tertutupnya lubang-lubang tersebut (sinus paranasalis, duktus
nasolacrimalis, tuba eustachius), sehingga dapat menimbulkan
penumpukan cairan dan terjadi radang didalam sinus paranasalis dan
ruang telinga tengah akibatnya bisa terjadi sinusitis, otitis media,
keluar air mata, karena duktus nasolacrimalis buntu. Karena itu pada
hidung buntu perlu diberi obat-obatan tetes hidung untuk mengurangi
kemungkinan tertutupnya lubang-lubang tersebut diatas.
2. Faring
Faring adalah pipa berotot yang berjalan dari dasar tengkorak sampai
persambungannya dengan oesofagus pada ketinggian tulang rawan
krikoid. Bila terjadi radang disebut pharyngitis. Saluran faring
rnemiliki panjang 12-14 cm dan memanjang dari dasar tengkorak
hingga vertebra servikalis ke-6. Faring berada di belakang hidung,
mulut, dan laring serta lebih lebar di bagian atasnya. Dari sini partikel
halus akan ditelan atau di batukkan keluar. Udara yang telah sampai ke
faring telah diatur kelembapannya sehingga hampir bebas debu,
bersuhu mendekati suhu tubuh. Lalu mengalir ke kotak suara (Laring).
Beberapa fungsi faring:

7
- Saluran nafas dan makanan, faring adalah organ yang terlibat
dalam sistem pencernaan dan pernapasan: udara masuk melalui
bagian nasal dan oral, sedangkan makanan melalui bagian oral dan
laring.
- Penghangat dan pelembab, dengan cara yang sama seperti hidung,
udara dihangatkan dan dilembapkan saat masuk ke faring.
- Fungsi bahasa, fungsi faring dalam bahasa adalah dengan bekerja
sebagai bilik resonansi untuk suara yang naik dari laring, faring
(bersama sinus) membantu memberikan suara yang khas pada tiap
individu
- Fungsi Pengecap, terdapat ujung saraf olfaktorius dari indra
pengecap di epitelium oral dan bagian faringeal.
- Fungsi Pendengaran, saluran auditori (pendengaran), memanjang
dari nasofaring pada tiap telinga tengah, memungkinkan udara
masuk ke telinga tengah. Pendengaran yang jelas bergantung pada
adanya udara di tekanan atmosfer pada tiap sisi membran timpani.
- Fungsi Perlindungan, Jaringan limfatik faring dan tonsil laring
menghasilkan antibodi dalam berespon terhadap antigen, misal
mikroba. Tonsil berukuran lebih besar pada anak dan cenderung
mengalami atrofi pada orang dewasa.
Faring terbagi menjadi 3 bagian yaitu nasofaring, orofaring dan
laringofaring.
a. Nasofaring
Bagian nasal faring terletak di belakang hidung dan di atas palatum
molle. Pada dinding lateral, terdapat dua saluran auditori, tiap
saluran mengarah ke masing-masing bagian tengah telinga. Pada
dinding posterior, terdapat tonsil faringeal (adenoid), yang terdiri
atas jaringan limfoid. Tonsil paling menonjol pada masa kanak-
kanak hingga usia 7 tahun. Selanjutnya, tonsil mengalami atrofi.
b. Orofaring
Bagian oral faring terletak di belakang mulut, memanjang dari
bagian bawah palatum molle hingga bagian vertebra servikalis ke-

8
3. Dinding lateral bersatu dengan palatum molle untuk membentuk
lipatan di tiap sisi. Antara tiap pasang lipatan, terdapat kumpulan
jaringan limfoid yang disebut tonsil palatin. Saat menelan, bagian
nasal dan oral dipisahkan oleh palaturn molle dan uvula. Uvula
(anggur kecil) adalah prosesus kerucut (conical) kecil yang
menjulur kebawah dari bagian tengah tepi bawah palatum lunak.
Amandel palatinum terletak pada kedua sisi orofaring posterior.
c. Laringofaring
Bagian laringeal faring memanjang dari atas orofaring dan
berlanjut ke bawah esofagus, yakni dari vertebra servikalis ke-3
hingga 6. Mengelilingi mulut esophagus dan laring, yang
merupakan gerbang untuk system respiratorik selanjutnya. Suplay
darah pada faring kebutuhan darah pada faring disuplai oleh
beberapa cabang dari arteri wajah. Aliran balik vena menuju vena
fasialis dan jugularis interna. Faring dipersarafi oleh pleksus
faringeal yang dibentuk oleh saraf vagus dan glosofaringeal
(parasimpatik) serta ganglia servikalis superior (simpatik). Faring
dilapisi oleh tiga jaringan yaitu membran mukosa, jaringan fibrosa,
dan otot polos.
3. Laring
Terdiri dari rangkaian cincin tulang rawan yang dihubungkan oleh
otot-otot yang mengandung pita suara, selain fonasi laring juga
berfungsi sebagai pelindung. Laring berperan untuk pembentukan
suara dan untuk melindungi jalan nafas terhadap masuknya makanan
dan cairan. Laring dapat tersumbat, antara lain oleh benda asing
(gumpalan makanan), infeksi (misalnya difteri) dan tumor. pada waktu
menelan, gerakan laring keatas, penutupan glotis (pemisah saluran
pernapasan bagian atas dan bagian bawah) seperti pintu epiglotis yang
berbentuk pintu masuk. Jika benda asing masuk melampaui glotis
batuk yang dimiliki laring akan menghalau benda dan sekret keluar
dari pernapasan bagian bawah.
Di bagian laring terdapat beberapa organ yaitu :

9
- Epiglotis, merupakan katup tulang rawan untuk menutup larynx
sewaktu orang menelan. Bila waktu makan kita berbicara
(epiglottis terbuka), makanan bisa masuk ke larynx (keslek) dan
terbatu-batuk. Pada saat bernafas epiglotis terbuka tapi pada saat
menelan epiglotis menutup laring. Jika masuk ke laring maka akan
batuk dan dibantu bulu-bulu getar silia untuk menyaring debu,
kotoran-kotoran.
- Jika bernafas melalui mulut udara yang masuk ke paru-paru tak
dapat disaring, dilembabkan atau dihangatkan yang menimbulkan
gangguan tubuh dan sel-sel bersilia akan rusak adanya gas beracun
dan dehidrasi.
- Pita suara, terdapat dua pita suara yang dapat ditegangkan dan
dikendurkan, sehingga lebar sela-sela antara pita - pita tersebut
berubah-ubah sewaktu bernafas dan berbicara. Selama pernafasan
pita suara sedikit terpisah sehingga udara dapat keluar masuk.
4. Trakea
Trakea, merupakan lanjutan dari laring yang dibentuk oleh 16
sampai 20 cincin kartilago yang terdiri dari tulang-tulang rawan yang
terbentuk seperti C. Trakea dilapisi oleh selaput lendir yang terdiri atas
epitilium bersilia dan sel cangkir. Trakea hanya merupakan suatu pipa
penghubung ke bronkus. Dimana bentuknya seperti sebuah pohon oleh
karena itu disebut pohon trakeobronkial. tempat trakea bercabang
menjadi bronkus di sebut karina. di karina menjadi bronkus primer kiri
dan kanan, di mana tiap bronkus menuju ke tiap paru (kiri dan kanan),
Karina memiliki banyak saraf dan dapat menyebabkan bronkospasme
dan batuk berat jika dirangsang. Trakea terdiri atas tiga lapis jaringan
yaitu: a. Lapisan luar terdiri atas jaringan elastik dan fibrosa yang
membungkus kartilago. b. Lapisan tengah terdiri atas kartilago dan pita
otot polos yang membungkus trakea dalam susunan helik.
5. Percabangan Bronkus
Bronkus, merupakan percabangan trachea. Setiap bronkus
primer bercabang 9 sampai 12 kali untuk membentuk bronki sekunder

10
dan tersier dengan diameter yang semakin kecil. Struktur mendasar
dari paru-paru adalah percabangan bronchial yang selanjutnya secara
berurutan adalah bronki, bronkiolus, bronkiolus terminalis, bronkiolus
respiratorik, duktus alveolar, dan alveoli. Dibagian bronkus masih
disebut pernafasan extrapulmonar dan sampai memasuki paru-paru
disebut intrapulmonar. Bronkus utama kanan lebih pendek dan lebar
serta hampir vertikal dengan trakea. Sedangkan bronkus utama kiri
lebih panjang dan sempit. Jika satu pipa ET yang menjamin jalan udara
menuju ke bawah, ke bronkus utama kanan, jika tidak tertahan baik
pada mulut atau hidung, maka udara tidak dapat memasuki paru kiri
dan menyebabkan kolaps paru (atelekteasis).
Namun demikian arah bronkus utama kanan yang vertikal
menyebabkan mudahnya kateter menghisap benda asing. Cabang
Bronkus kanan dan kiri bercabang lagi menjadi bronkus lobaris dan
segmentalis. Percabngan ini terus menjadi kecil sampai akhirnya
menjadi bronkiolus terminalis(saluran udara terkecil yang tidak
mengandung alveoli). bronkiolus,tidak diperkuat oleh cincin tulang
rawan. hanya otot polos sehingga ukurannya dapat berubah. Setelah iu
terdapat asinus yang merupakan unit fungsional paru, yaitu tempat
pertukaran gas. Asinus (lobulus primer), terdiri dari bronkiolus
respiratorius, duktus alveolaris, sakus alveolaris terminalis (akhir paru)
yang menyerupai anggur dipisahkan oleh septum dari alveolus di
dekatnya. Dalam setiap paru terdapat 300 juta alveolus dengan luas
permukaan seluas sebuah lapangan tenis.
6. Paru-paru
Paru-paru berada dalam rongga torak, yang terkandung dalam
susunan tulang-tulang iga dan letaknya disisi kiri dan kanan
mediastinum yaitu struktur blok padat yang berada dibelakang tulang
dada. Paru-paru menutupi jantung, arteri dan vena besar, esofagus dan
trakea. Paru-paru berbentuk seperti spons dan berisi udara dengan
pembagaian ruang sebagai berikut : a. Paru kanan, memiliki tiga lobus
yaitu superior, medius dan inferior. b. paru kiri berukuran lebih kecil

11
dari paru kanan yang terdiri dari dua lobus yaitu lobus superior dan
inferior. Tiap lobus dibungkus oleh jaringan elastik yang mengandung
pembuluh limfe, arteriola, venula, bronchial venula, ductus alveolar,
sakkus alveolar dan alveoli. Diperkirakan bahwa setiap paru-paru
mengandung 150 juta alveoli, sehingga mempunyai permukaan yang
cukup luas untuk tempat permukaan/pertukaran gas.
7. Bronkus
Dua bronkus primer terbentuk oleh trakea yang membentuk
percabangan a. Bronkus kanan, bronkus ini lebih lebar, lebih pendek,
dan lebih vertikal daripada bronkus kiri sehingga cenderung sering
mengalami obstruksi oleh benda asing. Panjangnya sekitar 2,5 cm.
Setelah rnemasuki hilum, bronkus kanan terbagi menjadi tiga cabang,
satu untuk tiap lobus. Tiap cabang kemudian terbagi menjadi banyak
cabang kecil. b. Bronkus kiri, panjangnya sekitar 5 cm dan lebih
sempit daripada bronkus kanan. Setelah sampai di hilum paru, bronkus
terbagi menjadi dua cabang, satu untuk tiap lobus. Tiap cabang
kemudian terbagi menjadi saluran-saluran kecil dalam substansi paru.
Bronkus bercabang sesuai urutan perkembangannya menjadi
Bronkiolus, bronkiolus terminal, bronkiolus respiratorik, duktus
alveolus, dan akhirnya, alveoli.
8. Bronkiolus dan Alveoli Pernapasan
Dalam tiap lobus, jaringan paru lebih lanjut terbagi menjadi
selubung halus jaringan ikat, yaitu lobulus. Tiap lobulus disuplai oleh
udara yang berasal dari bronkiolus terminalis, yang lebih lanjut
bercabang menjadi bronkiolus respirarorik, duktus alveolus, dan
banyak alveoli (kantong-kantong udara). Terdapat 150 juta alveoli di
paru-paru orang dewasa. Hal ini memungkinkan terjadinya pertukaran
gas. Saat jalan napas bercabang-cabang menjadi bagian yang lebih
kecil, dinding jalan napas menjadi semakin tipis hingga otot dan
jaringan ikat lenyap, menyisakan lapisan tunggal sel epitelium
skuamosa sederhana di duktus alveolus dan alveoli. Saluran napas
distal ditunjang oleh jaringan ikat elastik yang longgar di mana

12
terdapar makrofag, fibroblas, saraf, pembuluh darah, dan pembuluh
limfe.
Alveoli dikelilingi oleh jaringan kapiler padat. Pertukaran gas
di paru (respirasi eksternal) berlangsung di membran yang disusun
oleh dinding alveolar dan dinding kapiler yang bergabung bersama.
Membran ini disebut membran respiratorik. Di antara sel skuamosa
terdapat sel septal yang menyekresi surfaktan, suatu cairan fosfolipid
yang mencegah alveoli dari kekeringan. Selain itu, surfaktan berfungsi
mengurangi tekanan dan mencegah dinding aiveolus mengalami
kolaps saat ekspirasi. Sekresi surfaktan ke saluran napas bawah dan
alveoli dimulai saat janin berusia 35 minggu
9. Pleura
Paru-paru dibungkus oleh pleura yang menempel langsung ke paru,
disebut sebagai pleura visceral. Sedangkan pleura parietal menempel
pada dinding rongga dada dalam. Diantara pleura visceral dan pleura
parietal terdapat cairan pleura yang berfungsi sebagai pelumas
sehingga memungkinkan pergerakan dan pengembangan paru secara
bebas tanpa ada gesekan dengan dinding dada.
C. Proses terjadinya Pernafasan
Pernafasan adalah proses inspirasi udara kedalam paru-paru dan
ekspirasi udara dari paru-paru kelingkungan luar tubuh. Inspirasi terjadi
bila muskulus diafragma telah dapat rangsangan dari nervus pernikus lalu
mengkerut datar. Saat ekspirasi otot akan kendor lagi dan dengan
demikian rongga dada menjadi kecil kembali maka udara didorong keluar.
Jadi proses respirasi terjadi karena adanya perbedaan tekanan antara
rongga pleura dan paru-paru. Fungsi paru – paru adalah sebagai tempat
pertukaran gas oksigen dan karbon dioksida. Pada pernapasan melalui
paru-paru atau pernapasan eksterna, oksigen dipungut melalui hidung dan
mulut pada waktu bernapas; oksigen masuk melalui trakea dan pipa
bronkial ke alveoli, dan dapat berhubungan erat dengan darah di dalam
kapiler pulmonaris.

13
Oksigen menembus membran ini dan dipungut oleh hemoglobin
sel darah merah dan dibawa ke jantung. Dari sini dipompa di dalam arteri
ke semua bagian tubuh. Darah meninggalkan paru – paru pada tekanan
oksigen 100 mm Hg dan pada tingkat ini hemoglobinnya 95 persen jenuh
oksigen. Di dalam paru-paru, karbon dioksida, salah satu hasil buangan
metabolisme, menembus membran alveoler-kapiler dari kapiler darah ke
alveoli dan setelah melalui pipa bronkial dan trakea, dinapaskan keluar
melalui hidung dan mulut. Empat proses yang berhubungan dengan
pernapasan pulmoner atau pernapasan eksterna:
1) Ventilasi pulmoner, atau gerak pernapasan yang menukar udara dalam
alveoli dengan udara luar. Arus darah melalui paru – paru. Distribusi
arus udara dan arus darah sedemikian sehingga dalam jumlah tepat
dapat mencapai semua bagian tubuh
2) Difusi gas yang menembusi membran pemisah alveoli dan kapiler.
CO2 lebih mudah berdifusi daripada oksigen
3) Pefusi, yaitu pernapasan jaringan atau pernapasan interna. Darah yang
telah menjenuhkan hemoglobinnya dengan oksigen (oksihemoglobin)
megintari seluruh tubuh dan akhirnya mencapai kapiler, di mana darah
bergerak sangat lambat. Sel jaringan memungut oksigen dari
hemoglobin untuk memungkinkan oksigen berlangsung, dan darah
menerima, sebagai gantinya, yaitu karbon dioksida. Semua proses ini
diatur sedemikian sehingga darah yang meninggalkan paru-paru
menerima jumlah tepat CO2 dan O2. Pada waktu gerak badan, lebih
banyak darah datang di paru – paru membawa terlalu banyak CO2 dan
terlampau sedikit O2; jumlah CO2 itu tidak dapat dikeluarkan, maka
konsentrasinya dalam darah arteri bertambah. Hal ini merangsang
pusat pernapasan dalam otak untuk memperbesar kecepatan dan
dalamnya pernapasan. Penambahan ventilasi ini mngeluarkan CO2 dan
memungut lebih banyak O2. Perubahan – perubahan berikut terjadi
pada komposisi udara dalam alveoli, yang disebabkan pernapasan
eksterna dan pernapasan interna atau pernapasan jarigan.
Udara (atmosfer) yang di hirup:

14
- Nitrogen 79 %
- Oksigen 20% %
- Karbon dioksida 0-0,4%
Udara yang masuk alveoli mempunyai suhu dan kelembapan
atmosfer Udara yang diembuskan:
- Nitrogen 79%
- Oksigen 16%
- Karbondioksida 4-0,4%

2.2. Jenis-jenis Kegawatdaruratan pada Sistem Pernafasan


A. Status Asmatikus
1. Konsep Dasar Teori
a. Pengertian
Asmatikus adalah suatu serangan asma yang berat, berlangsung dalam
beberapa jam sampai beberapa hari, yang tidak memberikan perbaikan
pada pengobatan yang lazim.
Status asmatikus adalah asma yang berat dan persisten yang tidak
berespons terhadap terapi konvensional. Serangan dapat berlangsung lebih
dari 24 jam. Infeksi, ansietas, penggunaan tranquiliser berlebihan,
penyalahgunaan nebulizer, dehidrasi, peningkatan blok adrenergic, dan
iritan nonspesifik dapat menunjang episode ini. Epidsode akut mungkin
dicetuskan oleh hipersensitivitas terhadap penisilin.
Status asmatikus adalah suatu keadaan darurat medic berupa serangan
asam berat kemudian bertambah berat yang refrakter bila serangan 1 – 2
jam pemberian obat untuk serangan asma akut seperti adrenalin subkutan,
aminofilin intravena, atau antagonis β2 tidak ada perbaikan atau malah
memburuk.
Status asmatikus merupakan kedaruratan yang dapat berakibat
kematian, oleh karena itu :
 Apabila terjadi serangan, harus ditanggulangi secara tepat dan
diutamakan terhadap usaha menanggulangi sumbatan saluran
pernapasan.

15
 Keadaan tersebut harus dicegah dengan memperhatikan faktor-faktor
yang merangsang timbulnya serangan (debu, serbuk, makanan tertentu,
infeksi saluran napas, stress emosi, obat-obatan tertentu seperti aspirin
dll).
Status asmatikus adalah asma yang berat dan persisten yang tidak
berespons terhadap terapi konvensional. Serangan dapat berlangsung lebih
dari 24 jam. Infeksi, ansietas, penggunaan tranquiliser berlebihan,
penyalahgunaan nebulizer, dehidrasi, peningkatan blok adrenergic, dan
iritan nonspesifik dapat menunjang episode ini. Epidsode akut mungkin
dicetuskan oleh hipersensitivitas terhadap penisilin.
Status asmatikus adalah suatu keadaan darurat medic berupa serangan
asam berat kemudian bertambah berat yang refrakter bila serangan 1 – 2
jam pemberian obat untuk serangan asma akut seperti adrenalin subkutan,
aminofilin intravena, atau antagonis tidak ada perbaikan atau malah
memburuk.
Dari beberapa pengertian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa status
asmatikus merupakan asma yang berat dan persisten yang tidak berespons
terhadap terapi konvensional dan status asmatikus termasuk dalam suatu
keadaan darurat medic berupa serangan asam berat kemudian bertambah
berat yang refrakter bila serangan 1 – 2 jam yang terjadi akibat adanya
infeksi, ansietas, penggunaan tranquiliser berlebihan, penyalahgunaan
nebulizer, dehidrasi, peningkatan blok adrenergic, dan iritan nonspesifik
dapat menunjang episode ini.

b. Etiologi
1) Faktor Intrinsik
a) Alergen
Faktor alergi dianggap mempunyai peranan penting pada
sebagian besar anak dengan asma (William dkk 1958, Ford
1969). Di samping itu hiperreaktivitas saluran napas juga
merupakan factor yang penting. Sensitisasi tergantung pada
lama dan intensitas hubungan dengan bahan alergenik sehingga

16
dengan berhubungan dengan umur. Pada bayi dan anak kecil
sering berhubungan dengan isi dari debu rumah. Dengan
bertambahnya umur makin banyak jenis alergen pencetusnya.
Asma karena makanan biasanya terjadi pada bayi dan anak
kecil.
b) Infeksi
Biasanya infeksi virus, terutama pada bayi dan anak kecil.
Virus penyebab biasanya respiratory syncytial virus (RSV) dan
virus parainfluenza. Kadang-kadang juga dapat disebabkan
oleh bakteri, jamur dan parasit.
c) Cuaca
Perubahan tekanan udara (Sultz dkk 1972), suhu udara, angin
dan kelembaban (Lopez dan Salvagio 1980) dihubungkan
dengan percepatan dan terjadinya serangan asma.
d) Iritan
Hairspray, minyak wangi, asap rokok, cerutu dan pipa, bau
tajam dari cat, SO2, dan polutan udara yang berbahaya lainnya,
juga udara dingin dan air dingin.Iritasi hidung dan batuk dapat
menimbulkan refleks bronkokonstriksi (Mc. Fadden 1980).
Udara kering mungkin juga merupakan pencetus hiperventilasi
dan kegiatan jasmani (strauss dkk 1978, Zebailos dkk 1978).
e) Kegiatan jasmani
Kegiatan jasmani yang berat dapat menimbulkan serangan pada
anak dengan asma (Goldfrey 1978, Eggleston 1980). Tertawa
dan menangis dapat merupakan pencetus. Pada anak dengan
faal paru di bawah normal sangat rentan terhadap kegiatan
jasmani.
f) Infeksi saluran napas bagian atas
Disamping infeksi virus saluran napas bagian atas, sinusitis
akut dan kronik dapat mempermudah terjadinya asma pada
anak (Rachelesfsky dkk 1978). Rinitis alergi dapat
memperberat asma melalui mekanisme iritasi atau refleks.

17
g) Refluks gastroesofagitis
Iritasi trakeobronkial karena isi lambung dapat memberatkan
asma pada anak dan orang dewasa (Dess 1974).
h) Psikis
Tidak adanya perhatian dan tidak mau mengakui persoalan
yang berhubungan dengan asma oleh anak sendiri atau
keluarganya akan memperlambat atau menggagalkan usaha-
usaha pencegahan. Dan sebaliknya jika terlalu takut terhadap
serangan asma atau hari depan anak juga tidak baik, karena
dapat memperberat serangan asma. Membatasi aktivitas anak,
anak sering tidak masuk sekolah, sering bangun malam,
terganggunya irama kehidupan keluarga karena anak sering
mendapat serangan asma, pengeluaran uang untuk biaya
pengobatan dan rasa khawatir, dapat mempengaruhi anak asma
dan keluarganya.
Serangan asma sering timbul karena kerja sama
berbagai pencetus. Dengan anak pencetus alergen sering
disertai pencetus non alergen yang dapat mempercepat dan
memperburuk serangan asma. Pada 38% kasus William dkk
(1958) Faktor pencetusnya adalah alergen dan infeksi. Diduga
infeksi virus memperkuat reaksi terhadap pencetus alergenik
maupun nonalergenik
Berbagai pencetus serangan asma dan cara
menghindarinya perlu diketahui dan diajarkan pada si anak dan
keluarganya, debu rumah dan unsur di dalamnya merupakan
pencetus yang sering dijumpai pada anak. Pada 76,5% anak
dengan asma yang berobat di poliklinik Subbagian
Pulmonologi Anak Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI RSCM
Jakarta, debu rumah diduga sebagai pencetusnya.
Serangan asma setelah makan atau minum zat yang
tidak tahan, dapat terjadi tidak lama setelah makan, tetapi dapat
juga terjadi beberapa waktu setelahnya.

18
Anggota keluarga yang sedang menderita “flu” tidak
boleh mendekati anak yang asma atau kalau dekat anak yang
asma lebih-lebih bila bicara, batuk atau bersin perlu menutup
mulut dan hidungnya. Hindarkan anak dari perubahan cuaca
atau udara yang mendadak, lebih-lebih perubahan ke arah
dingin.
Aktivitas fisik tidak dilarang bahkan dianjurkan tetapi
diatur. Jalan yang dapat ditempuh supaya anakdapat tetap
beraktivitas adalah :
a) Menambah toleransi secara bertahap, menghindari percepatan
gerak yang mendadak, Mengalihkan macam kegiatan, misalnya
lari, naik ke sepeda, berenang.
b) Bila mulai batuk-batuk istirahat dahulu sebentar, minum air dan
kemudian bila batuk-batuk sudah mereda kegiatan dapat
dimulai kembali.
c) Ada beberapa anak yang memerlukan makan obat atau
menghirup obat aerosol dahulu beberapa waktu sebelum
kegiatan olahraga.
2) Faktor Ekstrinsik
Asma yang timbul karena reaksi hipersensitivitas yang
disebabkan oleh adanya IgE yang bereaksi terhadap antigen yang
terdapat di udara (antigen-inhalasi ), seperti debu rumah, serbuk-
serbuk dan bulu binatang.
c. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinik status asmatikus adalah sama dengan manifestasi
yang terdapat pada asma hebat – pernapasan labored, perpanjangan
ekshalasi, perbesaran vena leher, mengi. Namun, lamanya mengi tidak
mengindikasikan keparahan serangan. Dengan makin besarnya obstruksi,
mengi dapat hilang, yang sering kali menjadi pertanda bahaya gagal
pernapasan.
Mengenal suatu serangan suatu asma akut pada dasarnya sangat
mudah. Dengan pemeriksaan klinis saja diagnosis sudah dapat

19
ditegakkan, yaitu dengan adanya sesak napas mendadak disertai bising
mengi yang terdengar diseluruh lapangan paru. Namun yang sangat
penting dalam upaya penganggulangannya adalah menentukan derajat
serangan terutama menentukan apakah asam tersebut termasuk dalam
serangan asma yang berat.
Asma akut berat yang mengancam jiwa terutama terjadi pada
penderita usia pertengahan atau lanjut, menderita asma yang lama sekitar
10 tahun, pernah mengalami serangan asma akut berat sebelumnya dan
menggunakan terapi steroid jangka panjang. Asma akut berat yang
potensial mengancam jiwa, mempuyai tanda dan gejala sebagai berikut.
1) Bising mengi dan sesak napas berat sehingga tidak mampu
menyelesaikan satu kalimat dengan sekali napas, atau kesulitan dalam
bergerak.
2) Frekuensi napas lebih dari 25 x / menit
3) Denyut nadi lebih dari 110x/menit
4) Arus puncak ekspirasi ( APE ) kurang dari 50 % nilai dugaan atau
nilai tertinggi yang pernah dicapai atau kurang dari 120 lt/menit
5) Penurunan tekanan darah sistolik pada waktu inspirasi. Pulsus
paradoksus, lebih dari 10 mmHg.

Ada beberapa tingkatan penderita asmatika yaitu :


1) Tingkat I :
a) Secara klinis normal tanpa kelainan pemeriksaan fisik dan fungsi
paru.
b) Timbul bila ada faktor pencetus baik didapat alamiah maupun
dengan test provokasi bronkial di laboratorium.
2) Tingkat II :
a) Tanpa keluhan dan kelainan pemeriksaan fisik tapi fungsi paru
menunjukkan adanya tanda-tanda obstruksi jalan nafas.
b) Banyak dijumpai pada klien setelah sembuh serangan.
3) Tingkat III :
a) Tanpa keluhan.

20
b) Pemeriksaan fisik dan fungsi paru menunjukkan adanya obstruksi
jalan nafas.
c) Penderita sudah sembuh dan bila obat tidak diteruskan mudah
diserang kembali.
4) Tingkat IV :
a) Klien mengeluh batuk, sesak nafas dan nafas berbunyi wheezing.
b) Pemeriksaan fisik dan fungsi paru didapat tanda-tanda obstruksi
jalan nafas.
5) Tingkat V :
a) Status asmatikus yaitu suatu keadaan darurat medis berupa
serangan asma akut yang berat bersifat refrator sementara
terhadap pengobatan yang lazim dipakai.
b) Asma pada dasarnya merupakan penyakit obstruksi jalan nafas
yang reversibel.

d. Patofisiologi
Asma ditandai dengan kontraksi spastic dari otot polos bronkhiolus
yang menyebabkan sukar bernapas. Penyebab yang umum adalah
hipersensitivitas bronkhiolus terhadap benda-benda asing di udara. Reaksi
yang timbul pada asma tipe alergi diduga terjadi dengan cara sebagai
berikut : seorang yang alergi mempunyai kecenderungan untuk
membentuk sejumlah antibody Ig E abnormal dalam jumlah besar dan
antibodi ini menyebabkan reaksi alergi bila reaksi dengan antigen
spesifikasinya. (Tanjung, 2003) Pada asma, antibody ini terutama melekat
pada sel mast yang terdapat pada interstisial paru yang berhubungan erat
dengan brokhiolus dan bronkhus kecil. Bila seseorang menghirup alergen
maka antibody Ig E orang tersebut meningkat, alergen bereaksi dengan
antibodi yang telah terlekat pada sel mast dan menyebabkan sel ini akan
mengeluarkan berbagai macam zat, diantaranya histamin, zat anafilaksis
yang bereaksi lambat (yang merupakan leukotrient), faktor kemotaktik
eosinofilik dan bradikinin.

21
Efek gabungan dari semua faktor - faktor ini akan menghasilkan edema
lokal pada dinding bronkhioulus kecil maupun sekresi mucus yang kental
dalam lumen bronkhioulus dan spasme otot polos bronkhiolus sehingga
menyebabkan tahanan saluran napas menjadi sangat meningkat. (Tanjung,
2003) Pada asma, diameter bronkiolus lebih berkurang selama ekspirasi
daripada selama inspirasi karena peningkatan tekanan dalam paru selama
eksirasi paksa menekan bagian luar bronkiolus. Karena bronkiolus sudah
tersumbat sebagian, maka sumbatan selanjutnya adalah akibat dari tekanan
eksternal yang menimbulkan obstruksi berat terutama selama ekspirasi.
Pada penderita asma biasanya dapat melakukan inspirasi dengan baik dan
adekuat, tetapi sekali-kali melakukan ekspirasi. Hal ini menyebabkan
dispnea. Kapasitas residu fungsional dan volume residu paru menjadi
sangat meningkat selama serangan asma akibat kesukaran mengeluarkan
udara ekspirasi dari paru. Hal ini bisa menyebabkan barrel chest.
(Tanjung, 2003)
 Pencetus serangan (alergen, emosi/stress, obat-obatan, infeksi)
 Kontraksi otot polos
 Edema mukusa
 Hipersekresi
 Penyempitan saluran pernapasan (obstruksi)
 Hipoventilasi
 distribusi ventilasi tak merata dengan sirkulasi darah paru
 Gangguan difusi gas di alveoli
 Hipoxemia
 Hiperkarpia

e. Pathway (terlampir)
f. Pemeriksaan Penunjang
1) Pemeriksaan Laboratorium
a) Pemeriksaan sputum
Pemeriksaan sputum dilakukan untuk melihat adanya:

22
1) Kristal-kristal charcot leyden yang merupakan degranulasi
dari Kristal eosinopil.
2) Spiral curshmann, yakni yang merupakan cast cell (sel
cetakan) dari cabang bronkus.
3) Creole yang merupakan fragmen dari epitel bronkus.
4) Netrofil dan eosinopil yang terdapat pada sputum,
umumnya bersifat mukoid dengan viskositas yang tinggi
dan kadang terdapat mucus plug.
b) Pemeriksaan darah
1) Analisa gas darah pada umumnya normal akan tetapi dapat
pula terjadi hipoksemia, hiperkapnia, atau asidosis.
2) Kadang pada darah terdapat peningkatan dari SGOT dan
LDH.
3) Hiponatremia dan kadar leukosit kadang-kadang di atas
15.000/mm3 dimana menandakan terdapatnya suatu infeksi.
4) Pada pemeriksaan faktor-faktor alergi terjadi peningkatan
dari Ig E pada waktu serangan dan menurun pada waktu
bebas dari serangan.
c) Pemeriksaan Radiologi
Gambaran radiologi pada asma pada umumnya normal.
Pada waktu serangan menunjukan gambaran hiperinflasi pada
paru-paru yakni radiolusen yang bertambah dan peleburan
rongga intercostalis, serta diafragma yang menurun. Akan
tetapi bila terdapat komplikasi, maka kelainan yang didapat
adalah sebagai berikut:
1) Bila disertai dengan bronkitis, maka bercak-bercak di hilus
akan bertambah.
2) Bila terdapat komplikasi empisema (COPD), maka
gambaran radiolusen akan semakin bertambah.
3) Bila terdapat komplikasi, maka terdapat gambaran infiltrate
pada paru.
4) Dapat pula menimbulkan gambaran atelektasis lokal.

23
5) Bila terjadi pneumonia mediastinum, pneumotoraks, dan
pneumoperikardium, maka dapat dilihat bentuk gambaran
radiolusen pada paru-paru.
d) Pemeriksaan tes kulit
Dilakukan untuk mencari faktor alergi dengan berbagai
alergen yang dapat menimbulkan reaksi yang positif pada asma.
e) Elektrokardiografi
Gambaran elektrokardiografi yang terjadi selama serangan
dapat dibagi menjadi 3 bagian, dan disesuaikan dengan
gambaran yang terjadi pada empisema paru yaitu :
1) perubahan aksis jantung, yakni pada umumnya terjadi right
axis deviasi dan clock wise rotation.
2) Terdapatnya tanda-tanda hipertropi otot jantung, yakni
terdapatnya RBB (Right bundle branch block).
3) Tanda-tanda hopoksemia, yakni terdapatnya sinus
tachycardia, SVES, dan VES atau terjadinya depresi
segmen ST negative.
f) Scanning paru
Dengan scanning paru melalui inhalasi dapat dipelajari
bahwa redistribusi udara selama serangan asma tidak
menyeluruh pada paru-paru.
g) Spirometri
Untuk menunjukkan adanya obstruksi jalan nafas
reversible, cara yang paling cepat dan sederhana diagnosis
asma adalah melihat respon pengobatan dengan bronkodilator.
Pemeriksaan spirometer dilakukan sebelum dan sesudah
pamberian bronkodilator aerosol (inhaler atau nebulizer)
golongan adrenergik. Peningkatan FEV1 atau FVC sebanyak
lebih dari 20% menunjukkan diagnosis asma. Tidak adanya
respon aerosol bronkodilator lebih dari 20%. Pemeriksaan
spirometri tidak saja penting untuk menegakkan diagnosis
tetapi juga penting untuk menilai berat obstruksi dan efek

24
pengobatan. Benyak penderita tanpa keluhan tetapi
pemeriksaan spirometrinya menunjukkan obstruksi.

g. Komplikasi
Komplikasi yang ditimbulkan oleh status asmatikus adalah
1) Atelaktasis
2) Hipoksemia
3) Pneumothoraks Ventil
4) Emfisema
5) Gagal napas.

h. Penatalaksanaan Medis
1) Penatalaksanaan Medis
Semua penderita yang dirawat inap di rumah sakit memperlihatkan
keadaan obstruktif jalan napas yang berat.Perhatian khusus harus
diberikan dalam perawatan, sedapat mungkin dirawat oleh dokter dan
perawat yang berpengalaman. Pemantauan dilakukan secara tepat
berpedoman secara klinis, uji faal paru ( APE ) untuk dapat menilai
respon pengobatan apakah membaik atau justru memburuk.
Perburukan mungkin saja terjadi oleh karena konstriksi bronkus yang
lebih hebat lagi maupun sebagai akibat terjadinya komplikasiseperti
infeksi, pneumothoraks, pneumomediastinum yang sudah tentu
memerlukan pengobatan lainnya. Efek samping obat yang berbahaya
dapat terjadi pada pemberian drips aminofilin. Dokter yang merawat
harus mampu dengan akurat menentukan kapan penderita meski
dikirim ke unit perawatan intensif.
Penderita status asmatikus yang dirawat inap di ruangan, setelah
dikirim dari UGD dilakukan penatalaksaanan sebagai berikut:
a. Pemberian terapi oksigen dilanjutkan
Terapi oksigen dilakukan megnatasi dispena, sianosis,
danhipoksemia.Oksigen aliran rendah yang dilembabkan baik dengan
masker Venturi atau kateter hidung diberikan.Aliran oksigen yang

25
diberikan didasarkan pada nilai – nilai gas darah. PaO 2 dipertahankan
antara 65 dan 85 mmHg.Pemberian sedative merupakan
kontraindikasi.Jika tidak terdapat respons terhadap pengobatan
berulang, dibutuhkan perawatan di rumah sakit.
b. Agonis β2
Dilanjutkan dengan pemberian inhalasi nebulasi 1 dosis tiap jam,
kemudian dapat diperjarang pemberiannya setiap 4 jam bila sudah ada
perbaikan yang jelas. Sebagian alternative lain dapat diberikan dalam
bentuk inhalasi dengan nebuhaler / volumatic atau secara injeksi. Bila
terjadi perburukan, diberikan drips salbutamol atau terbutalin.
c. Aminofilin
Diberikan melalui infuse / drip dengan dosis 0,5 – 0,9 mg/kg BB /
jam. Pemberian per drip didahului dengan pemberian secara bolus
apabila belum diberikan. Dosis drip aminofilin direndahkan pada
penderita dengan penyakit hati, gagal jantung, atau bila penderita
menggunakan simetidin, siprofloksasin atau eritromisin. Dosis tinggi
diberikan pada perokok.Gejala toksik pemberian aminofilin perlu
diperhatikan.Bila terjadi mual, muntah, atau anoreksia dosis harus
diturunkan.Bila terjadi konfulsi, aritmia jantung drip aminofilin segera
dihentikan karena terjadi gejala toksik yang berbahaya.
d. Kortikosteroid
Kortikosteroid dosis tinggi intraveni diberikan setiap 2 – 8 jam
tergantung beratnya keadaan serta kecepatan respon. Preparat pilihan
adalah hidrokortison 200 – 400 mg dengan dosis keseluruhan 1 – 4 gr /
24 jam. Sediaan yang lain dapat juga diberikan sebagai alternative
adalah triamsiolon 40 – 80 mg, dexamethason / betamethason 5 – 10
mg. bila tidak tersedia kortikosteroid intravena dapat diberikan
kortikosteroid per oral yaitu predmison atau predmisolon 30 – 60 mg/
hari.
e. Antikolonergik
Iptropium bromide dapt diberikan baik sendiri maupun dalam
kombinasi dengan agonis β2 secara inhalasi nebulisasi terutama

26
penambahan – penambahan ini tidak diperlukan bila pemberian agonis
β2 sudah memberikan hasil yang baik.
f. Pengobatan lainnya
 Hidrasi dan keseimbangan elektrolit
Dehidrasi hendaknya dinilai secara klinis, perlu juga
pemeriksaan elektrolit serum, dan penilaian adanya asidosis
metabolic.Ringer laktat dapat diberikan sebagai terapi awal untuk
dehidrasi dan pada keadaan asidosis metabolic diberikan Natrium
Bikarbonat.
 Mukolitik dan ekpetorans
Walaupun manfaatnya diragukan pada penderita dengan
obstruksi jalan berat ekspektorans seperti obat batuk hitam dan
gliseril guaikolat dapat diberikan, demikian juga mukolitik
bromeksin maupun N-asetilsistein.
 Fisioterapi dada
Drainase postural, fibrasi dan perkusi serta teknik fisioterapi
lainnya hanya dilakukan pada penderita hipersekresi mucus sebagai
penyebab utama eksaserbasi akut yang terjadi.
 Antibiotic
Diberikan kalau jelas ada tanda – tanda infeksi seperti
demam, sputum purulent dengan neutrofil leukositosis.
 Sedasi dan antihistamin
Obat – obat sedative merupakan indikasi kontra, kecuali di
ruang perawatan intensif.Sedangkan antihistamin tidak terbukti
bermanfaat dalam pengobatan asma akut berat malahan dapat
menyebabkan pengeringan dahak yang mengakibatkan sumbatan
bronkus.
2) Penatalaksanaan lanjutan
Setelah diberikan terapi intensif awal, dilakukan monitor yang ketat
terhadap respon pengobatan dengan menilai parameter klinis seperti
sesak napas, bising mengi, frekuensi napas, frekuensi nadi, retraksi
otot bantu napas. APE, fotothoraks, AGD, kadar serum aminofilin,

27
kadar kalium dan gula darah diperiksa sebagai dasar tindakan
selanjutnya.
3) Indikasi perawatan intensif
Penderita yang tidak menunjukkan respon terhadap terapi intensif
yangdiberikan perlu dipikirkan apakah penderita akan dikirim ke unit
perawatan intensif. Adapun penderita yang memerlukan perawatan
intensif yaitu:
a) Terdapat tanda- tanda kelelahan
b) Gelisah, bingung, kesadaran menurun
c) Terjadi henti napas ( PaO 2< 40 mmHg atau PaCO2> 45 mmHg )
sesudah pemberian oksigen.
4) Penatalaksanaan lanjutan diruangan
Pada penderita yang telah menunjukkan respon yang baik terhadap
pengobatan, terapi intensif dilanjutkan paling sedikit 2 hari.Pada 2 – 5
hari pertama semua pengobatan intravena diganti, diberikan steroid
oral dan aminofilin oral serta agonis β2 dengan inhaler dosis terukur 6 –
8 x/ hari atau preparat oral 3 – 4 x/hari. Pada hari 5 – 10, steroid oral
( predmison, predmisolon ) diturunkan, obat agonis β2 dan aminofilin
diteruskan.

2. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan Gawat Darurat


a. Primary Survey
1) Airway
Pengkajian:
Pada pasien dengan status asmatikus ditemukan adanya
penumpukan sputum pada jalan nafas. Hal ini menyebabkan
penyumbatan jalan napas sehingga status asmatikus ini
memperlihatkan kondisi pasien yang sesak karena kebutuhan akan
oksigen semakin sedikit yang dapat diperoleh.
Diagnose keperawatan :
Ketidakefektifan bersihan jalan napas b/d penumpukan sputum
Intervensi :

28
a) Amankan pasien ke tempat yang aman
b) Kaji tingkat kesadaran pasien
c) Segera minta pertolongan
d) Auskultasi bunyi napas dengan mendekatkan telinga ke mulut
pasien
e) Berikan teknik membuka jalan napas dengan cara memiringkan
pasien setengah telungkup dan membuka mulutnya.
2) Breathing
Pengkajian :
Adanya sumbatan pada jalan napas pasien menyebabkan
bertambahnya usaha napas pasien untuk memperoleh oksigen yang
diperlukan oleh tubuh.Namun pada status asmatikus pasien
mengalami nafas lemah hingga adanya henti napas.Sehingga ini
memungkinkan bahwa usaha ventilasi pasien tidak
efektif.Disamping itu adanya bising mengi dan sesak napas berat
sehingga pasien tidak mampu menyelesaikan satu kalimat dengan
sekali napas, atau kesulitan dalam bergerak.Pada pengkajian ini
dapat diperoleh frekuensi napas lebih dari 25 x / menit.Pantau
adanya mengi.
Diagnose keperawatan :
Ketidakefektifan pola napas b/d penurunan kemampuan bernapas
Intervensi :
a) Kaji usaha dan frekuensi napas pasien
b) Auskultasi bunyi napas dengan mendekatkan telinga pada
hidung pasien serta pipi ke mulut pasien
c) Pantau ekspansi dada pasien
3) Circulation
Pengkajian :
Pada kasus status asmatikus ini adanya usaha yang kuat untuk
memperoleh oksgien maka jantung berkontraksi kuat untuk
memenuhi kebutuhan tersebut hal ini ditandai dengan adanya
peningkatan denyut nadi lebih dari 110 x/menit.Terjadi pula

29
penurunan tekanan darah sistolik pada waktu inspirasi.Pulsus
paradoksus, lebih dari 10 mmHg. Arus puncak ekspirasi ( APE )
kurang dari 50 % nilai dugaan atau nilai tertinggi yang pernah
dicapai atau kurang dari 120 lt/menit. Adanya kekurangan oksigen
ini dapat menyebabkan sianosis yang dikaji pada tahap circulation
ini.
Diagnose Keperawatan :
Perubahan perfusi jaringan perifer b/d kekurangan oksigen
Intervensi :
Pantau tanda – tanda vital ( nadi, warna kulit ) dengan menyentuh
nadi jugularis
4) Disabillity
Pengkajian :
Pada tahap pengkajian ini diperoleh hasil bahwa pasien dengan
status asmatikus mengalami penurunan kesadaran. Disamping itu
pasien yang masih dapat berespon hanya dapat mengeluarkan
kalimat yang terbata – bata dan tidak mampu menyelesaikan satu
kalimat akibat usaha napas yang dilakukannya sehingga dapat
menimbulkan kelelahan .Namun pada penurunan kesadaran semua
motorik sensorik pasien unrespon.
5) Exposure
Pengkajian :
Setelah tindakan pemantauan airway, breathing, circulation,
disability, dan exposure dilakukan, maka tindakan selanjutnya
yakni transportasi ke rumah sakit untuk mendapatkan pertolongan
yang lebih intesif.

b. Secondary Survey
1) Anamnesis
Anamnesis pada penderita asma sangat penting, berguna untuk
mengumpulkan berbagai informasi yang diperlukan untuk menyusun
strategi pengobatan. Gejala asma sangat bervariasi baik antar individu

30
maupun pada diri individu itu sendiri (pada saat berbeda), dari tidak
ada gejala sama sekali sampai kepada sesak yang hebat yang disertai
gangguan kesadaran. Keluhan dan gejala tergantung berat ringannya
pada waktu serangan. Pada serangan asma bronkial yang ringan dan
tanpa adanya komplikasi, keluhan dan gejala tak ada yang khas.
Keluhan yang paling umum ialah : Napas berbunyi, Sesak, Batuk,
yang timbul secara tiba-tiba dan dapat hilang segera dengan spontan
atau dengan pengobatan, meskipun ada yang berlangsung terus untuk
waktu yang lama.
2) Pemeriksaan Fisik
Berguna selain untuk menemukan tanda-tanda fisik yang
mendukung diagnosis asma dan menyingkirkan kemungkinan penyakit
lain, juga berguna untuk mengetahui penyakit yang mungkin
menyertai asma, meliputi pemeriksaan :
a) Status kesehatan umum
Perlu dikaji tentang kesadaran klien, kecemasan, gelisah,
kelemahan suara bicara, tekanan darah nadi, frekuensi
pernapasan yang meningkatan, penggunaan otot-otot pembantu
pernapasan sianosis batuk dengan lendir dan posisi istirahat
klien.
b) Integumen
Dikaji adanya permukaan yang kasar, kering, kelainan
pigmentasi, turgor kulit, kelembapan, mengelupas atau bersisik,
perdarahan, pruritus, ensim, serta adanya bekas atau tanda
urtikaria atau dermatitis pada rambut di kaji warna rambut,
kelembaban dan kusam.
c) Thorak
 Inspeksi
Dada di inspeksi terutama postur bentuk dan kesemetrisan
adanya peningkatan diameter anteroposterior, retraksi
otot-otot Interkostalis, sifat dan irama pernafasan serta
frekwensi peranfasan.

31
 Palpasi.
Pada palpasi di kaji tentang kosimetrisan, ekspansi dan
taktil fremitus.
 Perkusi
Pada perkusi didapatkan suara normal sampai hipersonor
sedangkan diafragma menjadi datar dan rendah.
 Auskultasi.
Terdapat suara vesikuler yang meningkat disertai dengan
expirasi lebih dari 4 detik atau lebih dari 3x inspirasi,
dengan bunyi pernafasan dan Wheezing.
d) Sistem pernafasan
 Batuk mula-mula kering tidak produktif kemudian makin
keras dan seterusnya menjadi produktif yang mula-mula
encer kemudian menjadi kental. Warna dahak jernih atau
putih tetapi juga bisa kekuningan atau kehijauan terutama
kalau terjadi infeksi sekunder.
 Frekuensi pernapasan meningkat
 Otot-otot bantu pernapasan hipertrofi.
 Bunyi pernapasan mungkin melemah dengan ekspirasi
yang memanjang disertai ronchi kering dan wheezing.
 Ekspirasi lebih daripada 4 detik atau 3x lebih panjang
daripada inspirasi bahkan mungkin lebih.
 Pada pasien yang sesaknya hebat mungkin ditemukan:
 Hiperinflasi paru yang terlihat dengan peningkatan
diameter anteroposterior rongga dada yang pada
perkusi terdengar hipersonor.
 Pernapasan makin cepat dan susah, ditandai dengan
pengaktifan otot-otot bantu napas (antar iga,
sternokleidomastoideus), sehingga tampak retraksi
suprasternal, supraclavikula dan sela iga serta
pernapasan cuping hidung.

32
 Pada keadaan yang lebih berat dapat ditemukan pernapasan
cepat dan dangkal dengan bunyi pernapasan dan wheezing
tidak terdengar(silent chest), sianosis.
e) Sistem kardiovaskuler
 Tekanan darah meningkat, nadi juga meningkat
 Pada pasien yang sesaknya hebat mungkin ditemukan:
 Takhikardi makin hebat disertai dehidrasi.
 Timbul Pulsus paradoksusdimana terjadi penurunan
tekanan darah sistolik lebih dari 10 mmHg pada waktu
inspirasi. Normal tidak lebih daripada 5 mmHg, pada
asma yang berat bisa sampai 10 mmHg atau lebih.
 Pada keadaan yang lebih berat tekanan darah menurun,
gangguan irama jantung.
c. Diagnosa
Diagnosa yang mungkin muncul dalam kasus asma adalah :
1) Ketidakefektifan bersihan jalan napas
2) Ketidakefektifan Pola Napas
3) Gangguan Pertukaran Gas
4) Nyeri Akut
5) Fatigue (kelelahan)
6) Nausea
7) Penurunan Curah Jantung

d. Intervensi
NOC NIC
Diagnosa
(Tujuan) (Intervensi)
Ketidakefektifan Respiratory status: Airway Airway Management
bersihan jalan napas patency 1. Buka jalan nafas, gunakan
Respiratory status: Ventilation teknik chin lift atau jaw thrust
Setelah diberikan asuhan bila perlu
keperawatan selama …x… 2. Posisikan pasien untuk
masalah ketidakefektifan memaksimalkan ventilasi

33
bersihan jalan napas klien dapat (semifowler)
teratasi dengan kriteria hasil : 3. Identifikasi pasien perlunya
1. Mampu mengeluarkan secret pemasangan alat jalan nafas
2. Kedalaman inspirasi dalam buatan
batas normal 4. Lakukan fisioterapi dada jika
3. Irama pernapasan dalam perlu
batas normal 5. Keluarkan sekret dengan
4. Tidak ada dispneu ketika batuk atau suction
istirahat 6. Auskultasi suara nafas, catat
5. Tidak ada dispneu ketika adanya suara tambahan
selesai beraktivitas 7. Berikan bronkodilator bila
6. Tidak memakai otot bantu perlu
napas 8. Menganjurkan klien untuk
7. Klien tidak batuk batuk efektif
8. Saturasi oksigen dalam batas 9. Monitor respirasi dan status
normal (95-100%) O2
10. Kolaborasi pemberian terapi
nebulizer
11. Kolaborasi pemberian terapi
oksigen
Oxygen Therapy
1. Bersihkan mulut, hidung, dan
secret trakea
2. Pertahankan jalan napas yang
paten
3. Atur peralatan oksigenasi
4. Monitor keefektifitasan aliran
oksigen
5. Pertahankan posisi pasien
6. Observasi adanya tanda-tanda
hipoventilasi
7. Monitor adanya kecemasan

34
pasien terhadap oksigenasi
Ketidakefektifan pola NOC Airway Management
napas Respiratory Status 1. Buka jalan napas, gunakan
Respiratory Status : teknik chin lift atau jaw thrust
Ventilation bila perlu
Setelah dilakukan asuhan 2. Posisikan pasien untuk
keperawatan selama …x… memaksimalkan ventilasi
masalah ketidakefektifan pola 3. Identifikasi pasien perlunya
napas klien dapat teratasi dengan pemasangan alat jalan napas
kriteria hasil : buatan
1. Jalan napas paten 4. Pasang mayo bila perlu
2. Kedalaman inspirasi dalam 5. Lakukan fisioterapi dada jika
batas normal perlu
3. Irama pernapasan dalam 6. Keluarkan sekret dengan
batas normal batuk atau suction
4. Tidak ada dispneu ketika 7. Auskultasi suara napas, catat
istirahat adanya suara tambahan
5. Tidak ada dispneu ketika 8. Lakukan suction pada mayo
selesai beraktivitas 9. Berikan bronkodilator bila
6. Tidak memakai otot bantu perlu
napas 10. Berikan pelembab udara kassa
7. Saturasi oksigen dalam batas basah NaCl lembab
normal (95-100%) 11. Atur intake untuk cairan
mengoptimalkan
keseimbangan
12. Monitor respirasi dan status
O2
Oxygen Therapy
1. Bersihkan mulut, hidung, dan
secret trakea
2. Pertahankan jalan napas yang
paten

35
3. Atur peralatan oksigenasi
4. Monitor keefektifitasan aliran
oksigen
5. Pertahankan posisi pasien
6. Observasi adanya tanda-tanda
hipoventilasi
7. Monitor adanya kecemasan
pasien terhadap oksigenasi
Gangguan Pertukaran NOC : Airway Management
Gas Respiratory Status : Gas 1. Buka jalan nafas, gunakan
Exchange teknik chin lift atau jaw thrust
Mechnical Ventilation bila perlu
Response : Adult 2. Posisikan pasien untuk
Setelah dilakukan asuhan memaksimalkan ventilasi
keperawatan selama …x… (semifowler)
masalah kerusakan pertukaran 3. Identifikasi pasien perlunya
gas klien dapat teratasi dengan pemasangan alat jalan nafas
kriteria hasil : buatan
1. Saturasi oksigen dalam batas 4. Lakukan fisioterapi dada jika
normal perlu
2. Irama pernapsan dalam batas 5. Keluarkan sekret dengan
normal batuk atau suction
3. Kedalaman pernapasan 6. Auskultasi suara nafas, catat
dalam batas normal adanya suara tambahan
4. Keseimbangan ventilasi 7. Berikan bronkodilator bila
perfusi perlu
5. PaO2 dalam batas normal 8. Menganjurkan klien untuk
6. PaCO2 dalam batas normal batuk efektif
7. Tidak ditemukan masalah 9. Monitor respirasi dan status
pada Thorax Photo O2
10. Kolaborasi pemberian terapi
nebulizer

36
11. Kolaborasi pemberian terapi
oksigen
Oxygen Therapy
1. Bersihkan mulut, hidung, dan
secret trakea
2. Pertahankan jalan napas yang
paten
3. Atur peralatan oksigenasi
4. Monitor keefektifitasan aliran
oksigen
5. Pertahankan posisi pasien
6. Observasi adanya tanda-tanda
hipoventilasi
7. Monitor adanya kecemasan
pasien terhadap oksigenasi
Nyeri akut NOC Pain Management
Pain Level 1. Lakukan pengkajian nyeri
Pain Control secara komprehensif termasuk
Setelah dilakukan asuhan lokasi, karakteristik, durasi,
keperawatan selama …x… frekuensi, kualitas, dan faktor
masalah nyeri akut klien dapat presipitasi.
teratasi dengan kriteria hasil : 2. Observasi reaksi verbal dan
1. Melaporkan nyeri non verbal dari
2. Klien tidak tampak ketidaknyamanan
memegang area yang nyeri 3. Gunakan teknik komunikasi
3. Tidak mengekpresikan wajah terapeutik untuk mengetahui
meringis pengalaman nyeri pasien
4. Tidak gelisah 4. Kaji kultur yang
5. Melaporkan nyeri dapat mempengaruhi nyeri
terkontrol 5. Evaluasi pengalaman nyeri
6. Menjelaskan factor penyebab lampau
nyeri 6. Evaluasi bersama pasien dan

37
7. Respirasi dalam batas normal tim kesehatan lain tentang
8. Nadi dalam batas normal ketidakefektifan kontrol nyeri
9. Tekanan darah dalam batas masa lampau
normal 7. Bantu pasien dan keluarga
untuk mencari dan
menemukan dukungan
8. Kontrol lingkungan yang
dapat mempengaruhi nyeri
seperti suhu ruangan,
pencahayaan dan kebisingan
9. Kurangi faktor presipitasi
nyeri
10. Pilih dan lakukan penanganan
nyeri (farmakologi, non
farmakologi, dan inter
personal)
11. Kaji tipe dan sumber nyeri
untuk menentukan intervensi
12. Ajarkan tentang teknik non
farmakologi
13. Berikan analgetik untuk
mengurangi nyeri
14. Evaluasi kefektifan kontrol
nyeri
15. Tingkatkan istirahat
16. Kolaborasikan dengan dokter
jika ada keluhan dan tindakan
nyeri tidak berhasil
17. Monitor penerimaan pasien
tentang manajemen nyeri.
Analgesic Administration
1. Kolaborasi pemberian obat

38
analgesic dengan dokter
2. Tentukan lokasi, karakteristik,
kualitas, dan derajat nyeri
sebelum pemberian obat
3. Cek instruksi dokter tentang
jenis obat, dosis, dan
frekuensi
4. Cek riwayat alergi
5. Pilih analgesik yang
diperlukan atau kombinasi
dari analgesik ketika
pemberian lebih dari satu
6. Tentukan analgesik pilihan,
rute pemberian, dan dosis
optimal
7. Pilih rute pemberian secara
IV, IM untuk pengobatan
nyeri secara teratur
8. Monitor vital sign sebelum
dan sesudah pemberian
analgesik pertama kali
9. Berikan analgesik tepat waktu
terutama saat nyeri hebat
10. Evaluasi afektivitas analgesik,
tanda dan gejala.
Nausea (Mual) NOC NIC
Nausea and Vomiting Control Nausea Management
1. Klien melaporkan 1. Monitor gejala subjektif mual
terjadinya penurunan klien pada pasien
merasa mual 2. Monitor warna, berat jenis dan
2. Mampu menjelaskan faktor jumlah urine
apa saja yang menyebabkan 3. Kaji penyebab mual

39
mual. 4. Monitor kecenderungan
3. Klien melaporkan dapat peningkatan atau penurunan
mengendalikan mual. berat badan
4. Klien mampu 5. Perhatikan perubahan status
menggunakan tindakan nutrisi yang signifikan dan
pencegahan untuk sesegera lakukan penanganan,
mengatasi mual jika perlu
5. Klien mampu 6. Monitor adanya kulit kering
menggunakan antiemetik dan pecah-pecah yang disertai
seperti yang di depigmentasi
rekomendasikan 7. Monitor turgor kulit jika
diperlukan
8. Monitor adanya
pembengkakan atau pelunakan,
penyusutan dan peningkatan
perdarahan pada gusi
9. Monitor tingkat energy,
malaise, keletihan dan
kelemahan
10. Monitor asupan kalori dan
makanan

Fluid Management

1. Pertahankan keakuratan
pencatatan asupan dan
haluaran urin
2. Monitor TTV jika perlu
3. Monitor makanan dan cairan
yang dikonsumsi dan hitung
asupan kalori setiap hari, jika
perlu
4. Monitor status hidrasi, jika

40
perlu
5. Jelaskan penyebab mual
6. Apaila memungkinkan,
beritahu pasien seberapa lama
kemungkinan mual akan
terjadi
7. Ajarkan pasien menelan untuk
secara sadar atau napas dalam
untuk menekan reflek muntah
8. Ajarkan untuk makan secara
perlahan
9. Ajarkan untuk membatasi
minum 1 jam sebelum, 1 jam
setelah, dan selama makan
10. Berikan terapi IV, sesuai
dengan anjuran

Environmental Management

1. Tinggikan bagian kepala


tempat tidur atau ubah posisi
pasien lateral untuk mencegah
aspirasi
2. Pertahankan kebersihan klien
dan tempat tidur saat terjadi
muntah
3. Pindahkan segera benda-benda
yang menimbulkan bau
4. Jangan menjadwakan tindakan
yang menyebabkan nyeri atau
mual sebelum atau sesudah
makan
5. Berikan perawatan mulut

41
setelah terjadi muntah
6. Berikan kain basah yang
dingin dipergelangan tangan,
leher dan dahi pasien
7. Tawarkan makanan dingin dan
makanan lainnya dengan
aroma minimal

Colaboration Activity

1. Berikan obat antiemetic sesuai


anjuran
2. Konsultasikan dengan dokter
untuk memberikan obat
pengendali nyeri yang adekuat
dan tidak menyebabkan mual
pada pasien

Keletihan (Fatigue) NOC NIC


Endurance Energy Management
Concentration 1. Observasi adanya
Energy Conservation pembatasan klien dalam
Nutritional Status Energy melakukan aktivitas
Kriteria hasil : 2. Dorong klien untuk
1. Memverbalisasikan mengungkapkan perasaan
peningkatan energy dan terhadap keterbatasan
merasa lebih baik 3. Kaji adanya faktor yang
2. Menjelaskan penggunaan menyebabkan kelelahan
energy untuk mengatasi 4. Monitor nutrisi dan sumber
kelelahan energy yang adekuat
3. Kecemasan menurun 5. Monitor pasien akan adanya
4. Glukosa darah adekuat kelelahan fisik dan emosi
5. Kualitas hidup meningkat secara berlebihan
6. Istirahat cukup 6. Monitor respon

42
7. Mempertahankan kardiovaskuler terhadap
kemampuan untuk aktivitas
berkonsentrasi 7. Monitor pola tidur dan
lamanya tidur/istirahat pasien
8. Dukung pasien dan keluarga
untuk mengungkapkan
perasaan berhubungan
dengan perubahan hidup
yang disebabkan keletihan
9. Bantu aktivitas sehari-hari
sesuai dengan kebutuhan
10. Tingkatkan tirah baring dan
pembatasan aktivitas
(tingkatkan periode aktivitas)
11. Konsultasi dengan ahli gizi
untuk meningkatkan asupan
makanan yang berenergi
tinggi
Penurunan Curah NOC NIC
Jantung Cardiac Pump Effectiveness Cardiac Care
Circulation Status 1. Evaluasi adanya nyeri dada
Vital Sign Status (intensitas, lokasi, durasi)
Kriteria Hasil : 2. Catat adanya disritmia
1. Tanda vital dalam rentang jantung
normal (tekanan darah, 3. Catat adanya tanda dan gejala
nadi, dan respirasi) penurunan cardiac output
2. Dapat mentoleransi 4. Monitor status kardiovaskuler
aktivitas, tidak ada 5. Monitor status pernapasan
keletihan yang menandakan gagal
3. Tidak ada edema paru, jantung
perifer, dan tidak ada asites 6. Monitor abdomen sebagai
4. Tidak ada penurunan indikator penurunan perfusi

43
kesadaran 7. Monitor balance cairan
8. Monitor adanya perubahan
tekanan darah
9. Monitor respon pasien
terhadap efek pengobatan
antiaritmia
10. Atur periode latihan dan
istirahat untuk menghindari
kelelahan
11. Monitor toleransi aktivitas
pasien
12. Monitor adanya dyspneu,
fatigue, takipneu, dan
ortopneu
13. Anjurkan untuk menurunkan
stress
Vital Sign Monitoring
1. Monitor TD, nadi, suhu, dan
RR
2. Catat adanya fluktuasi
tekanan darah
3. Monitor vital sign saat pasien
berbaring, duduk, berdiri
4. Auskultasi tekanan darah
pada kedua lengan dan
bandingkan
5. Monitor tekanan darah, nadi,
RR, sebelum, selama, dan
setelah aktivitas
6. Monitor kualitas nadi
7. Monitor adanya pulsus
paradoksus

44
8. Monitor adanya pulsus
alterans
9. Monitor jumlah dan irama
jantung
10. Monitor bunyi jantung
11. Monitor irama dan frekuensi
pernapasan
12. Monitor suara paru-paru
13. Monitor pola pernapasan
abnormal
14. Monitor suhu, warna, dan
kelembaban kulit
15. Monitor sianosis perifer
16. Monitor adanya chusing triad
(tekanan nadi yang melebar,
bradi kardi, peningkatan
sistolik)
17. Identifikasi penyebab
perubahan vital sign

45
46
47
48
49
50
51
B. ARDS (Acute Respiratory Distress Syndrome)
1. Konsep Dasar Teori
a. Pengertian
Sindrom gangguan pernapasan akut (Acute respiratory distress syndrome-
ARDS) merupakan manifestasi cedera akut paru-paru, biasanya akibat sepsis,
trauma, dan infeksi paru berat. Secara klinis, hal ini ditandai dengan dyspnea,
hipoksemia, fungsi paru-paru yang menurun, dan infiltrat difus bilateral pada
radiografi dada (Udobi et al, 2003).
Sindrom distres respiratorik akut merupakan bentuk edema pulmoner yang
menyebabkan gagal respiratorik akut dan disebabkan oleh meningkatnya
permeabilitas membran alveolokapiler. Cairan terakumulasi dalam interstisium
paru-paru dan ruang alveolar. ARDS parah bisa menyebabkan hipoksemia yang
sulit disembuhkan dan fatal, tetapi pasien yang sembuh mungkin hanya
mengalami sedikit kerusakan paru-paru atau tidak sama sekali (Farid, 2006).

b. Etiologi
Beberapa penyebab terjadinya akut respiratori distres sindrom ialah
 Syok sepsis , hemoragis, kardiogenik dan analfilatik
 Trauma ; kontusio pulmonal dan non pulmonal
 Infeksi : pneumonia dan tuberculosis
 Koagulasi intravaskuler diseminata
 Emboli lemak

52
 Aspirasi kandungan lambung yang sangat asam
 Menghirup agen beracun, asap dan nitrogen oksida dan atau bahan
korosif
 Pankreatitis
 Toksisitas oksigen
 Penyalahgunaan obat-obatan dan narkotika
Sindrom sepsis tampaknya menjadi faktor resiko paling umum, tetapi
secara keseluruhan risiko akan meningkat secara multifaktor. Transfusi darah
merupakan risiko independen faktor. Usia lanjut dan rokok berhubungan dengan
peningkatan risiko ARDS, sementara konsumsi alkohol tampaknya tidak memiliki
pengaruh. Sebuah studi menunjukkan bahwa kematian akibat ARDS pertahun
mengalamipenurunan, tetapi pria dan orang kulit hitam memiliki angka kematian
lebih tinggi dibandingkan dengan perempuan dan groups. ras lainnya(Udobi et al,
2003).
Tabel 1 Kondisi Klinis yang berkaitan dengan kejadian ARDS
Cedera paru-paru langsung Cedera paru-paru tidak langsung
 Pneumonia  Sepsis
 Aspirasi gaster  Trauma berat
 Trauma inhalasi  Pankreatitis Akut
 Tenggelam  Bypass kardiopulmonal
 Kontusi paru  Tranfusi massif
 Emboli lemak  Overdosis obat
 Reperfusi edema paru pasca
transplantasi paru-paru atau
embolectomy paru

c. Patofisologi
Berdasarkan patofisiologinya, ARDS dideskripsikan sebagai gagal nafas
akut yang merupakan akibat dari edema pulmoner oleh sebab non kardiak. Edema
ini disebabkan oleh karena adanya peningkatan permeabilitas membrane kapiler
sebagai akibat dari kerusakan alveolar yang difus. Selain itu, protein plasma

53
diikuti dengan makrofag, neutrofil, dan beberapa sitokin akan dilepaskan dan
terakumulasi dalam alveolus, yang kemudian akan menyebabkan terjadinya dan
berlangsungnya proses inflamasi, yang pada akhirnya dapat memperburuk fungsi
pertukaran gas yang ada. Pada keadaan ini membrane hialin (hialinisasi) juga
terbentuk dalam alveoli (Amin & Purwoto,2007)
Secara lebih terperinci patofisiologi ARDS berjalan melalui 3 fase, yaitu
fase eksudatif, fase proliteratif, fase fibrinolitik.
Fase-fase patologi ARDS :
1) Fase eksudatif
Fase eksudatif merupakan fase pertama yang timbul pada
pasien ARDS, muncul lebih kurang 12 hingga 36 jam, atau hingga
7 hari sejak paparan pertama pasien dengan factor risiko. Pada
fase ini terjadi kerusakan dari sel endothelial kapiler alveolar dan
pneumosit tipe I, mengakibatkan penurunan kemampuan sawar
alveolar untuk menahan cairan dan makromolekul. Gambaran
histologis berupa eosinofilik padat membrane hialin dan kolaps
alveoli. Sel endotel membesar, sambungan interselular melebar
dan vesikel pinocytic meningkat, menyebabkan membrane kapiler
terganggu dan mengakibatkan kebocoran kapiler. Pneumosit tipe I
juga membesar dengan vacuola sitoplasmik, yang sering terlihat di
membrane basal. Lebih lanjut lagi kelainan ini akan
mengakibatkan terjadinya edema alveolar yang disebabkan oleh
akumulasi sel-sel radang, debris selular, protein plasma, surfaktan
alveolar yang rusak, menimbulkan penurunan aerasi dan
atelektaksis. Keadaan tersebut kemudian akan diperburuk dengan
adanya oklusi mikrovascula dan menyebabkan penurunan dari
kemampuan perfusi darah menuju ke daerah ventilasi (Lorrain et
al, 2010)
Kondisi tersebut di atas akan menyebabkan terjadinya
sintas (shunting) interpulmonal dan hipoksemia ataupun pada
keadaan lanjut hiperkarbia, disertai dengan peningkatan kerja
nafas yang ditandai dengan gejala dispnea, takipnea, atau gagal

54
nafas pada pasien. Secara radiologis, kalainan ronsen thorax yang
dapat dijumpai pada fase awal perkembangan ARDS ini, dapat
berupa opasitas alveolar dan interstisial yang melibatkan
setidaknya dua per tiga dari keseluruhan lapangan paru (Udobi et
al, 2003).
2) Fase Proliferatif
Fase perkembangan selanjutnya dari ARDS adalah fase
proliferative yang terjadi pada hari ke-7 hingga ke-21 dari awal
gejala.Fase proliferatif ditandai dengan organisasi eksudat dan
fibrosis. Paru-paru yang tetap berat dan solid, dan secara
mikroskopik integritas arsitektur paru-paru menjadi lebih kaku,
kapiler jaringan rusak dan ada progresifitas penurunan profil
kapiler di jaringan. Proliferasi intimal jelas dalam pembuluh darah
kecil lebih lanjut mengurangi daerah luminal. Ruang interstisial
menjadi nekrosis yang melebar, dan mengisi lumen alveolar
dengan leukosit, sel darah merah, fibrin, dan puing-puing sel. Sel
alveolus tipe II berkembang dalam upaya untuk menutupi epitel
permukaan yang gundul dan berdiferensiasi menjadi sel tipe I.
Fibroblas menjadi jelas dalam ruang interstisial dan kemudian di
alveolar lumen. Hasil dari proses ini adalah penyempitan ekstrem
atau bahkan kolapnya ruang udara. Fibrin dan puing-puing sel
digantikan oleh fibril kolagen. Tempat utama fibrosis adalah ruang
intra-alveolar, tetapi juga terjadi di dalam interstitium (Levy et al,
2007).
3) Fase Fibrotik (Fibrosis Alveolitis)
Fase terakhir dari perkembangan ARDS adalah fase fibrotic
yang hanya akan dialami oleh sebagian kecil dari pasien, yakni
pada minggu ke-3 atau ke-4 penyakit. Pada fase ini, edema
alveolar dan eksudat inflamasi yang terlihat pada fase awal
penyakit akan mengalami perubahan menuju fibrosis duktal dan
interstisial yang intensif. Struktural asiner akan mengalami
kerusakan yang berat, mengakibatkan terjadinya perubahan mirip

55
emfisema dengan munculnya bula-bula yang besar.
Fibroproliferasi intimal juga akan terjadi pada jaringan
mikrosirkulasi pulmoner yang pada akhirnya akan menyababkan
terjadinya oklusi vaskular yang progresif dan hipertensi pulmoner.
Pada akhirnya konsekuensi fisiologis yang muncul dari perubahan
perubahan yang terjadi ini adalah adanya peningkatan resiko dari
pneumothoraks, reduksi dari komplians paru, dan peningkatan dari
ruang mati (dead space) pulmoner (Price & Wilson, 2002).

d. Pathway (terlampir)
e.
f. Manifestasi Klinis
ARDS biasanya timbul dalam waktu 24 hingga 48 jam setelah kerusakan
awal pada paru. Setelah 72 jam 80% pasien menunjukkan gejala klinis ARDS
yang jelas. Awalnya pasien akan mengalami dispnea, kemudian biasanya diikuti
dengan pernapasan yang cepat dan dalam. Sianosis terjadi secara sentral dan
perifer, bahkan tanda yang khas pada ARDS ialah tidak membaiknya sianosis
meskipun pasien sudah diberi oksigen. Sedangkan pada auskultasi dapat ditemui
ronkhi basah kasar, serta kadang wheezing (Farid, 2006).
Analisa gas darah pada awalnya menunjukkan alkalosis respiratorik (PaO 2
sangat rendah, PaCO2 normal atau rendah, serta peningkatan pH). Foto toraks
biasanya memperlihatkan infiltrat alveolar bilateral difus yang mirip dengan
edema paru atau batas-batas jantung, namun siluet jantung biasanya normal (Ware
et al,2000).
PaO2 yang sangat rendah kadang-kadang bersifat menetap meskipun
konsentrasi oksigen yang dihirup (FiO2) sudah adekuat. Keadaan ini merupakan
indikasi adanya pintas paru kanan ke kiri melalui atelektasis dan konsolidasi unit
paru yang tidak terjadi ventilasi. Keadaan inilah yang menandakan bahwa paru
pasien sudah mengalami bocor di sana-sini, bentuk yang tidak karuan, serta
perfusi oksigen yang sangat tidak adekuat (Farid, 2006).

g. Komplikasi

56
Superinfeksi bakteri paru berupa bakteri gram negatif (Klebsiella,
Pseudomonas, dan Proteus spp) serta bakteri gram positif Staphylococcus aureus
yang resisten merupakan penyebab utama meningkatnya mortalitas dan
morbiditas akibat ARDS. Tension pneumothorax juga bisa terjadi akibat
pemasangan kateter vena sentral dengan positive pressure ventilation (PPV) serta
positive end-expiratory pressure (PEEP). Pasien ARDS yang dirawat dengan
bantuan ventilasi mekanis akan mengalami penurunan volume intravaskular serta
penekanan curah jantung hingga berakibat penurunan transpor O 2 dan kegagalan
organ. Lemah, lesu, tak bergairah, seakan di ambang kematian, merupakan gejala
umum yang dirasakan pasien ARDS (Farid, 2006).

h. Pemeriksaan Penunjang
1) Laboratorium
Selain hipoksemia, gas darah arteri sering awalnya menunjukkan
alkalosis pernapasan. Namun, jika ARDS terjadi dalam konteks
sepsis, asidosis metabolik yang dengan atau tanpa kompensasi
respirasi dapat terjadi (Harman, 2011).
Bersamaan dengan penyakit yang berlangsung dan pernapasan
meningkat, tekanan parsial karbon dioksida (PCO2) mulai
meningkat. Pasien dengan ventilasi mekanik untuk ARDS dapat
dikondisikan untuk tetap hiperkapnia (hiperkapniapermisif) untuk
mencapai tujuan volume tidal yang rendah yang bertujuan
menghindaricedera paru-paruterkait ventilator (Harman, 2011).
Kelainan lain yang diamati pada ARDS tergantung pada
penyebab yang mendasarinya atau komplikasi yang terkait dan
mungkin termasuk yang berikut (Harman, 2011).
a) Hematologi. Pada pasien sepsis, leukopenia atau leukositosis
dapat dicatat. Trombositopenia dapat diamati pada pasien
sepsis dengan adanya koagulasi intravaskular diseminata
(DIC). Faktor von Willebrand (vWF) dapat meningkat pada
pasien beresiko untuk ARDS dan dapat menjadi penanda
cedera endotel.

57
b) Ginjal. Nekrosis tubular akut (ATN) sering terjadi kemudian
dalam perjalanan ARDS, mungkin dari iskemia ke ginjal.
Fungsi ginjal harus diawasi secara ketat.
c) Hepatik. Kelainan fungsi hati dapat dicatat baik dalam pola
cedera hepatoseluler atau kolestasis.
d) Sitokin. Beberapa sitokin, seperti interleukin (IL) -1, IL-6, dan
IL-8, yang meningkat dalam serum pasien pada risiko ARDS.
2) Radiologi
Pada pasien dengan onset pada paru langsung, perubahan fokal
dapat terlihat sejak dini pada radiograf dada. Pada paien dengan
onset tidak langsung pada paru, radiograf awal mungkin tidak
spesifik atau mirip dengan gagal jantung kongestif dengan efusi
ringan. Setelah itu, edema paru interstisial berkembang dengan
infiltrat difus. Seiring dengan perjalanan penyakit, karakteristik
kalsifikasi alveolar dan retikuler bilateral difus menjadi
jelas.Komplikasi seperti pneumotoraks dan pneumomediastinum
mungkin tidak jelas dan sulit ditemuakn, terutama pada radiografi
portabel dan dalam menghadapi kalsifikasi paru difus. Gambaran
klinis pasien mungkin tidak parallel dengan temuan radiografi.
Dengan resolusi penyakit, gambaran radiografi akhirnya kembali
normal (udobi et al, 2003)

ARDS menunjukkan perubahan interstisial dan bercak infiltrat


3) Bronkoskopi

58
Bronkoskopi dapat dipertimbangkan untuk mengevaluasi
kemungkinan infeksi pada pasien akut dengan infiltrat paru
bilateral. sampel dapat diperoleh dengan bronkoskop bronkus
subsegmental dalam dan mengumpulkan cairan yang dihisap
setelah meberikan cairan garam nonbacteriostatic
(bronchoalveolar lavage; UUPA). Cairan dianalisis untuk
diferensial sel, sitologi, perak noda, dan Gram stain dan
pemeriksaan kuantitatif (Harman, 2011).

i. Penatalaksanaan Medis
Tujuan terapi
1) Tidak ada terapi yang dapat menyembuhkan, umumnya
bersifat suportif
2) Terapi berfokus untuk memelihara oksigenasi
dan perfusi jaringan yang adekuat
3) Mencegah komplikasi nosokomial (kaitannya dengan
infeksi)
Farmakologi
4) Inhalasi NO2 (nitric oxide) memberi efek vasodilatasi
selektif pada area paru yan terdistribusi, sehingga
menurunkan pirau intrapulmoner dan tekanan arteri
pulmoner, memperbaiki V/Q matching dan oksigenasi
arterial. Diberikan hanya pada pasien dengan hipoksia
berat yang refrakter
5) Kortikosteroid pada pasien dengan usia lanjut ARDS /
ALI atau fase fibroproliferatif, yaitu pasien dengan
hipoksemia berat yang persisten, pada atau sekitar hari
ke 7 ARDS. Rekomendasi mengenai hal ini masih
menunggu hasil studi multi senter RCT besar yang
sedang berlangsung.

59
6) Ketoconazole: inhibitor poten untuk sintesis
tromboksan dan menghambat biosintesisleukotrienes
mungkin bisa digunakan untuk mencegah ARDS
Non-farmakologi
1) Ventilasi mekanis dengan berbagai teknik pemberian,
menggunakan ventilator, mengatur PEEP (positive-end
expiratory pressure)
2) Pembatasan cairan. pemberian cairan harus menghitung
keseimbangan antara :
 Kebutuhan perfusi organ yang optimal
 Masalah ekstra vasasi cairan ke paru dan jaringan : peningkatan
tekanan hidrostatik intravascular mendorong akumulasi cairan
di alveoli.

2. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan Gawat Darurat


a. Primary Survey
1) Airway
DS: Pasien mengeluh sesak nafas
DO: Terlihat pasien kesulitan bernafas, mungkin terjadi crakles,
ronchi, dan suara nafas bronkhial.
2) Breathing
DS : pasien mengeluh sesak nafas
DO: pernafasan cepat dan dangkal, Peningkatan kerja nafas ;
penggunaan otot bantu pernafasan seperti retraksi intercostal atau
substernal, nasal flaring, meskipun kadar oksigen tinggi. Suara
nafas : biasanya normal, mungkin pula terjadi crakles, ronchi, dan
suara nafas bronkhial. Perkusi dada : Dull diatas area konsolidasi.
Penurunan dan tidak seimbangnya ekpansi dada. Peningkatan
fremitus (tremor vibrator pada dada yang ditemukan dengan cara
palpasi. Sputum encer, berbusa.
3) Circulation
DS: pasien mengeluh sesak nafas

60
DO:Tekanan darah bisa normal atau meningkat (terjadinya
hipoksemia), hipotensi terjadi pada stadium lanjut (shock). Heart
rate : takikardi biasa terjadi. Bunyi jantung : normal pada fase awal,
S2 (komponen pulmonic) dapat terjadi. Disritmia dapat terjadi,
tetapi ECG sering menunjukkan normal. Kulit dan membran
mukosa : mungkin pucat, dingin. Cyanosis biasa terjadi (stadium
lanjut).

b. Diagnosa
1) Ketidakefektifan bersihan jalan napas berhubungan dengan
meningkatnya tahanan jalan nafas (edema interstisisial).
2) Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan kehilangan
surfaktan menyebabkan kolaps alveoli
3) Gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan penurunan aliran
balik vena, dan penurunan curah jantung.
4) Ansietas berhubungan dengan penyakit kritis, takut kematian, atau
kecatatan, perubahan peran dalam sosial, atau kecatatan permanen.

c. Intervensi
Rencana keperawatan
Diagnosa Keperawatan/
Tujuan dan Kriteria
Masalah Kolaborasi Intervensi
Hasil
Bersihan Jalan Nafas NOC:
tidak efektif berhubungan  Respiratory status :  Pastikan kebutuhan oral /
dengan: Ventilation tracheal suctioning.
- Infeksi, disfungsi  Respiratory status :  Berikan O2 ……l/mnt,
neuromuskular, Airway patency metode………
hiperplasia dinding  Aspiration Control  Anjurkan pasien untuk
bronkus, alergi jalan Setelah dilakukan istirahat dan napas dalam
nafas, asma, trauma tindakan keperawatan  Posisikan pasien untuk
- Obstruksi jalan nafas : selama …………..pasien memaksimalkan ventilasi
spasme jalan nafas, menunjukkan keefektifan  Lakukan fisioterapi dada jika

61
sekresi tertahan, jalan nafas dibuktikan perlu
banyaknya mukus, adanya dengan kriteria hasil :  Keluarkan sekret dengan
jalan nafas buatan, sekresi  Mendemonstrasikan batuk atau suction
bronkus, adanya eksudat batuk efektif dan suara  Auskultasi suara nafas, catat
di alveolus, adanya benda nafas yang bersih, adanya suara tambahan
asing di jalan nafas. tidak ada sianosis dan  Berikan bronkodilator :
DS: dyspneu (mampu - ………………………
- Dispneu mengeluarkan sputum, - ……………………….
DO: bernafas dengan - ………………………
- Penurunan suara nafas mudah, tidak ada  Monitor status hemodinamik
- Orthopneu pursed lips)  Berikan pelembab udara
- Cyanosis  Menunjukkan jalan Kassa basah NaCl Lembab
- Kelainan suara nafas nafas yang paten (klien
 Berikan antibiotik :
(rales, wheezing) tidak merasa tercekik,
…………………….
- Kesulitan berbicara irama nafas, frekuensi
…………………….
- Batuk, tidak efekotif atau pernafasan dalam
 Atur intake untuk cairan
tidak ada rentang normal, tidak
mengoptimalkan
- Produksi sputum ada suara nafas
keseimbangan.
- Gelisah abnormal)
 Monitor respirasi dan status
- Perubahan frekuensi dan  Mampu
O2
irama nafas mengidentifikasikan
 Pertahankan hidrasi yang
dan mencegah faktor
adekuat untuk mengencerkan
yang penyebab.
sekret
 Saturasi O2 dalam
 Jelaskan pada pasien dan
batas normal
keluarga tentang penggunaan
 Foto thorak dalam
peralatan : O2, Suction,
batas normal
Inhalasi.
Gangguan Pertukaran gas NOC: NIC :
Berhubungan dengan :  Respiratory Status : Gas  Posisikan pasien untuk
è ketidakseimbangan perfusi exchange memaksimalkan ventilasi
ventilasi  Keseimbangan asam  Pasang mayo bila perlu
è perubahan membran Basa, Elektrolit  Lakukan fisioterapi dada jika

62
kapiler-alveolar  Respiratory Status : perlu
DS: ventilation  Keluarkan sekret dengan
è sakit kepala ketika bangun  Vital Sign Status batuk atau suction
è Dyspnoe Setelah dilakukan  Auskultasi suara nafas, catat
è Gangguan penglihatan tindakan keperawatan adanya suara tambahan
DO: selama …. Gangguan  Berikan bronkodilator ;
è Penurunan CO2 pertukaran pasien teratasi -………………….
è Takikardi dengan kriteria hasi: -………………….
è Hiperkapnia  Mendemonstrasikan  Barikan pelembab udara
è Keletihan peningkatan ventilasi  Atur intake untuk cairan
è Iritabilitas dan oksigenasi yang mengoptimalkan
è Hypoxia adekuat keseimbangan.
è kebingungan  Memelihara kebersihan
 Monitor respirasi dan status
è sianosis paru paru dan bebas
O2
è warna kulit abnormal dari tanda tanda
 Catat pergerakan dada,amati
(pucat, kehitaman) distress pernafasan
kesimetrisan, penggunaan
è Hipoksemia  Mendemonstrasikan
otot tambahan, retraksi otot
è hiperkarbia batuk efektif dan suara
supraclavicular dan
è AGD abnormal nafas yang bersih, tidak
intercostal
è pH arteri abnormal ada sianosis dan
 Monitor suara nafas, seperti
èfrekuensi dan kedalaman dyspneu (mampu
dengkur
nafas abnormal mengeluarkan sputum,
 Monitor pola nafas :
mampu bernafas
bradipena, takipenia,
dengan mudah, tidak
kussmaul, hiperventilasi,
ada pursed lips)
cheyne stokes, biot
 Tanda tanda vital
 Auskultasi suara nafas, catat
dalam rentang normal
area penurunan / tidak
 AGD dalam batas
adanya ventilasi dan suara
normal
tambahan
 Status neurologis
 Monitor TTV, AGD,
dalam batas normal
elektrolit dan ststus mental
 Observasi sianosis khususnya

63
membran mukosa
 Jelaskan pada pasien dan
keluarga tentang persiapan
tindakan dan tujuan
penggunaan alat tambahan
(O2, Suction, Inhalasi)
 Auskultasi bunyi jantung,
jumlah, irama dan denyut
jantung
Perfusi jaringan NOC : NIC :
kardiopulmonal tidak  Cardiac pump  Monitor nyeri dada
efektif b/d gangguan Effectiveness (durasi, intensitas dan
afinitas Hb oksigen,  Circulation status faktor-faktor presipitasi)
penurunan konsentrasi Hb,  Tissue Prefusion :  Observasi perubahan ECG
Hipervolemia, cardiac, periferal  Auskultasi suara jantung
Hipoventilasi, gangguan  Vital Sign Statusl dan paru
transport O2, gangguan Setelah dilakukan asuhan  Monitor irama dan jumlah
aliran arteri dan vena selama……… denyut jantung
ketidakefektifan perfusi  Monitor angka PT, PTT
DS: jaringan kardiopulmonal dan AT
- Nyeri dada teratasi dengan kriteria  Monitor elektrolit
- Sesak nafas hasil: (potassium dan
DO  Tekanan systole dan magnesium)
- AGD abnormal diastole dalam  Monitor status cairan
- Aritmia rentang yang  Evaluasi oedem perifer
- Bronko spasme diharapkan dan denyut nadi
- Kapilare refill > 3 dtk  CVP dalam batas  Monitor peningkatan
- Retraksi dada normal kelelahan dan kecemasan
- Penggunaan otot-otot  Nadi perifer kuat dan  Instruksikan pada pasien
tambahan simetris untuk tidak mengejan
 Tidak ada oedem selama BAB
perifer dan asites  Jelaskan pembatasan

64
 Denyut jantung, intake kafein, sodium,
AGD, ejeksi fraksi kolesterol dan lemak
dalam batas normal  Kelola pemberian obat-
 Bunyi jantung obat: analgesik, anti
abnormal tidak ada koagulan, nitrogliserin,
 Nyeri dada tidak ada vasodilator dan diuretik.
 Kelelahan yang  Tingkatkan istirahat
ekstrim tidak ada (batasi pengunjung,
 Tidak ada kontrol stimulasi
ortostatikhipertensi lingkungan)

Kecemasan berhubungan NOC : NIC :


dengan - Kontrol kecemasan Anxiety Reduction
Krisis situasional, - Koping (penurunan kecemasan)
perubahan status kesehatan, Setelah dilakukan asuhan  Gunakan pendekatan yang
perubahan konsep diri. selama ……………klien menenangkan
kecemasan teratasi dgn  Nyatakan dengan jelas
DO/DS: kriteria hasil: harapan terhadap pelaku
- Insomnia  Klien mampu pasien
- Kontak mata kurang mengidentifikasi dan  Jelaskan semua prosedur
- Kurang istirahat mengungkapkan dan apa yang dirasakan
- Berfokus pada diri sendiri gejala cemas selama prosedur
- Iritabilitas  Mengidentifikasi,  Temani pasien untuk
- Takut mengungkapkan dan memberikan keamanan
- Nyeri perut menunjukkan tehnik dan mengurangi takut
- Penurunan TD dan denyut untuk mengontol  Berikan informasi faktual
nadi cemas mengenai diagnosis,
- Diare, mual, kelelahan  Vital sign dalam batas tindakan prognosis
- Gangguan tidur normal  Libatkan keluarga untuk
- Gemetar  Postur tubuh, ekspresi mendampingi klien
- Anoreksia, mulut kering wajah, bahasa tubuh
 Instruksikan pada pasien

65
- Peningkatan TD, denyut dan tingkat aktivitas untuk menggunakan
nadi, RR menunjukkan tehnik relaksasi
- Kesulitan bernafas berkurangnya  Dengarkan dengan penuh
- Bingung kecemasan perhatian
- Bloking dalam  Identifikasi tingkat
pembicaraan kecemasan
- Sulit berkonsentrasi  Bantu pasien mengenal
situasi yang menimbulkan
kecemasan
 Dorong pasien untuk
mengungkapkan perasaan,
ketakutan, persepsi
 Kelola pemberian obat
anti cemas:........

66
C. Ca. Paru
1. Konsep Dasar Teori
a. Pengertian
Tumor paru merupakan keganasan pada jaringan paru (price, patofisiologi,
1995). Kanker paru merupakan abnormalitas dari sel-sel yang mengalami
proliferasi dalam paru (underwood, patologi, 2000). Kanker paru adalah
pertumbuhan sel-sel kanker yang tidak dapat terkendali dalam jaringan paru yang
dapat disebabkan oleh sejumlah karsinogen lingkungan terutama asap rokok (Ilmu
Penyakit Dalam, 2001). Kanker paru adalah pertumbuhan sel epitel yang ganas
pada mukosa saluran nafas bagian bawah (paru-paru) dan termasuk di dalamnya
adalah karsinoma bronkogenik.
Kanker paru adalah tumor ganas paru primer yang berasal dari saluran
napas atau epitel bronkus. Terjadinya kanker ditandai dengan pertumbuhan sel
yang tidak normal, tidak terbatas, dan merusak sel-sel jaringan yang
normal. Proses keganasan pada epitel bronkus didahului oleh masa pra kanker.
Perubahan pertama yang terjadi pada masa prakanker disebut metaplasia
skuamosa yang ditandai dengan perubahan bentuk epitel dan menghilangnya
silia (Robbin & Kumar, 2007). Kanker paru-paru adalah pertumbuhan sel kanker
yang tidak terkendali dalm jaringan paru-paru dapat disebabkan oleh sejumlah
karsinogen, lingkungan, terutama asap rokok (Suryo, 2010).

b. Etiologi
1) Merokok
Merupakan penyebab utama Ca paru. Suatu hubungan statistik
yang defenitif telah ditegakkan antara perokok berat (lebih dari dua puluh
batang sehari) dari kanker paru (karsinoma bronkogenik). Perokok seperti
ini mempunyai kecenderung sepuluh kali lebih besar dari pada perokok
ringan. Selanjutnya orang perokok berat yang sebelumnya dan telah
meninggalkan kebiasaannya akan kembali ke pola resiko bukan perokok
dalam waktu sekitar 10 tahun. Hidrokarbon karsinogenik telah ditemukan
dalam ter dari tembakau rokok yang jika dikenakan pada kulit hewan,
menimbulkan tumor.

67
Menurut Van Houtte, merokok merupakan faktor yang berperan
paling penting, yaitu 85% dari seluruh kasus (Wilson, 2005). Rokok
mengandung lebih dari 4000 bahan kimia, diantaranya telah diidentifikasi
dapat menyebabkan kanker. Kejadian kanker paru pada perokok
dipengaruhi oleh usia mulai merokok, jumlah batang rokok yang diisap
setiap hari, lamanya kebiasaan merokok, dan lamanya berhenti merokok
(Stoppler, 2010). Semakin banyak orang yang tertarik dengan hubungan
antara perokok pasif, atau mengisap asap rokok yang ditemukan oleh
orang lain di dalam ruang tertutup, dengan risiko terjadinya kanker paru.
Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa pada orang-orang yang
tidak merokok, tetapi mengisap asap dari orang lain, risiko mendapat
kanker paru meningkat dua kali (Wilson, 2005).
2) Radiasi.
Insiden karsinoma paru yang tinggi pada penambang kobalt di
Schneeberg dan penambang radium di Joachimsthal (lebih dari 50 %
meninggal akibat kanker paru) berkaitan dengan adanya bahan radioaktif
dalam bentuk radon. Bahan ini diduga merupakan agen etiologi operatif.
3) Zat-zat yang terhirup ditempat kerja
Terdapat insiden yang tinggi dari pekerja yang terpapar dengan
karbonil nikel (pelebur nikel) dan arsenic (pembasmi rumput). Pekerja
pemecah hematite (paru-paru hematite) dan orang-orang yang bekerja
dengan asbestos dan dengan kromat juga mengalami peningkatan insiden.
4) Polusi Udara
Kematian akibat kanker paru juga berkaitan dengan polusi udara,
tetapi pengaruhnya kecil bila dibandingkan dengan merokok kretek.
Kematian akibat kanker paru jumlahnya dua kali lebih banyak di daerah
perkotaan dibandingkan dengan daerah pedesaan. Bukti statistik juga
menyatakan bahwa penyakit ini lebih sering ditemukan pada masyarakat
dengan kelas tingkat sosial ekonomi yang paling rendah dan berkurang
pada mereka dengan kelas yang lebih tinggi. Hal ini, sebagian dapat
dijelaskan dari kenyataan bahwa kelompok sosial ekonomi yang lebih

68
rendah cenderung hidup lebih dekat dengan tempat pekerjaan mereka,
tempat udara kemungkinan besar lebih tercemar oleh polusi.
Suatu karsinogen yang ditemukan dalam udara polusi (juga
ditemukan pada asap rokok) adalah 3,4 benzpiren (Wilson, 2005).Mereka
yang tinggal di kota mempunyai angka kanker paru yang lebih tinggi dari
pada mereka yang tinggal di desa dan walaupun telah diketahui adanya
karsinogen dari industri dan uap diesel dalam atmosfer di kota. Contoh:
Polusi udara, pemaparan gas RT, asap kendaraan/ pembakaran (Thomson,
Catatan Kuliah Patologi,1997).
5) Genetik.
Terdapat bukti bahwa anggota keluarga pasien kanker paru berisiko lebih
besar terkena penyakit ini. Penelitian sitogenik dan genetik molekuler
memperlihatkan bahwa mutasi pada protoonkogen dan gen-gen penekan
tumor memiliki arti penting dalam timbul dan berkembangnya kanker
paru. Tujuan khususnya adalah pengaktifan onkogen (termasuk juga gen-
gen K-ras dan myc), dan menonaktifkan gen-gen penekan tumor
(termasuk gen rb, p53,dan CDKN2) (Wilson, 2005).
Terdapat perubahan/ mutasi beberapa gen yang berperan dalam kanker
paru, yakni :
a) Proton oncogen.
b) Tumor suppressor gene.
c) Gene encoding enzyme.
6) Teori Onkogenesis
Terjadinya kanker paru didasari oleh tampilnya gen suppresor
tumor dalam genom (onkogen). Adanya inisiator mengubah gen
supresor tumor dengan cara menghilangkan (delesi/del) atau
penyisipan (insersi/ inS) sebagian susunan pasangan basanya,
tampilnya gen erbB1 dan atau neu/erbB2 berperan dalam anti
apoptosis (mekanisme sel untuk mati secara alamiahprogrammed cell
death). Perubahan tampilan gen kasus ini menyebabkan sel sasaran
dalam hal ini sel paru berubah menjadi sel kanker dengan sifat
pertumbuhan yang autonom. Dengan demikian kanker merupakan

69
penyakit genetik yang pada permulaan terbatas pada sel sasaran
kemudian menjadi agresif pada jaringan sekitarnya.

c. Klasifikasi
Klasifikasi menurut WHO untuk Neoplasma Pleura dan Paru-paru (1977):
1) Karsinoma Bronkogenik.
a) Karsinoma epidermoid (skuamosa).
Kanker ini berasal dari permukaan epitel bronkus. Perubahan epitel
termasuk metaplasia, atau displasia akibat merokok jangka panjang,
secara khas mendahului timbulnya tumor. Terletak sentral sekitar
hilus, dan menonjol ke dalam bronki besar. Diameter tumor jarang
melampaui beberapa centimeter dan cenderung menyebar langsung ke
kelenjar getah bening hilus, dinding dada dan mediastinum.
b) Karsinoma sel kecil (termasuk sel oat).
Biasanya terletak ditengah disekitar percabangan utama bronki.Tumor
ini timbul dari sel – sel Kulchitsky, komponen normal dari epitel
bronkus. Terbentuk dari sel – sel kecil dengan inti hiperkromatik pekat
dan sitoplasma sedikit. Metastasis dini ke mediastinum dan kelenjar
limfe hilus, demikian pula dengan penyebaran hematogen ke organ –
organ distal.

Ca Paru/Kanker Paru

c) Adenokarsinoma (termasuk karsinoma sel alveolar).


Memperlihatkan susunan selular seperti kelenjar bronkus dan dapat
mengandung mukus. Kebanyakan timbul di bagian perifer segmen

70
bronkus dan kadang – kadang dapat dikaitkan dengan jaringan parut
local pada paru –paru dan fibrosis interstisial kronik. Lesi seringkali
meluas melalui pembuluh darah dan limfe pada stadium dini, dan
secara klinis tetap tidak menunjukkan gejala – gejala sampai terjadinya
metastasis yang jauh.
d) Karsinoma sel besar.
Merupakan sel-sel ganas yang besar dan berdiferensiasi sangat buruk
dengan sitoplasma yang besar dan ukuran inti bermacam – macam. Sel
– sel ini cenderung untuk timbul pada jaringan paru - paru perifer,
tumbuh cepat dengan penyebaran ekstensif dan cepat ke tempat –
tempat yang jauh.

d. Patofisiologi
Kanker paru primer biasanya diklasifikasikan menurut histologinya, semuanya
memiliki riwayat alami dan respons terhadap pengobatan yang berbeda-beda.
Walaupun terdapat lebih dari sepuluh jenis kanker primer, namun kanker
bronkogenik merupakan 95% dari seluruh kanker paru. Karsinoma bronkogenik
biasanya dibagi lagi menjadi kanker paru sel kecil dan tidak kecil. Hal ini
bertujuan untuk menentukan terapi.
Dari etiologi yang menyerang percabangan segmen/ sub bronkus
menyebabkan cilia hilang dan deskuamasi sehingga terjadi pengendapan
karsinogen. Dengan adanya pengendapan karsinogen maka menyebabkan
metaplasia, hiperplasia dan displasia. Bila lesi perifer yang disebabkan oleh
metaplasia, hyperplasia dan displasia menembus ruang pleura, biasa timbul efusi
pleura, dan bisa diikuti invasi langsung pada kosta dan korpus vertebra. Lesi yang
letaknya sentral berasal dari salah satu cabang bronkus yang terbesar. Lesi ini
menyebabkan obstuksi dan ulserasi bronkus dengan diikuti dengan supurasi di
bagian distal. Gejala – gejala yang timbul dapat berupa batuk, hemoptysis,
dispneu, demam, dan dingin.Wheezing unilateral dapat terdengar pada auskultasi.
Pada stadium lanjut, penurunan berat badan biasanya menunjukkan adanya
metastase, khususnya pada hati. Kanker paru dapat bermetastase ke struktur-
struktur terdekat seperti kelenjar limfe, dinding esofagus, pericardium, otak,

71
tulang rangka. Kanker paru bervariasi sesuai tipe sel, daerah asal, dan kecepatan
pertumbuhan. Empat tipe sel primer pada kanker paru adalah karsinoma
epidermoid (sel skuamosa), karsinoma sel kecil (sel oat), karsinoma sel besar (tak
terdeferensiasi) dan adenokarsinoma. Sel skuamosa dan karsinoma sel kecil
umumnya terbentuk di jalan napas utama bronkial. Karsinoma sel besar dan
adenokarsinoma umumnya tumbuh di cabang bronkus perifer dan alveoli.
Karsinoma sel besar dan karsinoma sel oat tumbuh sangat cepat sehingga
mempunyai prognosis buruk. Sedangkan pada sel skuamosa dan adenokarsinoma
prognosis baik karena sel ini pertumbuhan lambat.

e. Pathway (terlampir)
f. Manifestasi Klinis
Pada fase awal kebanyakan kanker paru tidak menunjukkan gejala-
gejala klinis. Bila sudah menampakkan gejala berarti pasien dalam
stadium lanjut.
Gejala-gejala dapat bersifat:
1) Lokal (tumor setempat)
- Batuk baru atau batuk lebih hebat pada batuk kronis
- Hemoptisis
- Mengi (wheezing, stridor) karena ada obstruksi saluran napas
- Kadang terdapat kavitas seperti abses paru
- Aelektasis
2) Invasi lokal:
- Nyeri dada
- Dispnea karena efusi pleura
- Invasi ke pericardium terjadi temponade atau aritmia
- Sindrom vena cava superior
- Sindrom Horner (facial anhidrosis, ptosis, miosis)
- Suara sesak, karena penekanan pada nervus laryngeal recurrent
- Syndrome Pancoasta karena invasi pada pleksus brakialis dan saraf
simpatis servikalis
3) Gejala penyakit metastasis :

72
- Pada otak, tulang, hati, adrenal
- Limfadenopati servikal dan supraklavikula (sering menyertai
metastasis
- Sindrom Paraneoplastik : Terdapat pada 10% kanker paru, dengan
gejala
- Sistemik : penurunan berat badan, anoreksia, demam
- Hematologi : leukositosis, anemia, hiperkoagulasi
- Hipertrofi : osteoartropati
- Neurologik : dementia, ataksia, tremor, neuropati perifer
- Neuromiopati
- Endokrin : sekresi berlebihan hormone paratiroid (hiperkalsemia)
- Dermatologi : eritema multiform, hyperkeratosis, jari tabuh
- Renal : syndrome of inappropriate andiuretic hormone (SIADH)
4) Asimtomatik dengan kelainan radiologist :
- Sering terdapat pada perokok dengan PPOK/COPD yang terdeteksi
secara radiologis
- Kelainan berupa nodul soliter
Gejala Klinis lainnya:
1) Batuk yang terus menerus atau menjadi hebat
2) Dahak berdarah berubah warna dan makin banyak
3) Nafas sesak (pendek)
4) Sakit kepala, nyeri dada, bahu dan bagian punggung
5) Kelelahan yang parah
Gejala klinis lain:
1) Gejala Awal
Stridor lokal dan dispnea ringan yang mungkin disebabkan oleh
obstruksi bronkus
2) Gejala Umum
Menurut Price (1995), gejala umum pada klien dengan Ca paru antara
lain yaitu:
a) Batuk

73
Kemungkinan akibat iritasi yang disebabkan oleh massa tumor. Batuk
kering tanpa membentuk sputum, tetapi berkembang sampai titik
dimana dibentuk sputum yang kental dan purulen dalam berespon
terhadap infeksi sekunder.
b) Hemoptisis
Sputum bersemu darah karena sputum melalui permukaan tumor yang
mengalami ulserasi, Anoreksia, lelah , berkurangnya berat badan.

g. Tingkatan Kanker Paru


Tingkatan (staging) kanker paru ditentukan oleh tumor (T), keterlibatan
kelenjar getah bening (N) dan penyebaran jauh (M). Beberapa pemeriksaan
tambahan harus dilakukan dokter spesialis paru untuk menentukan staging
penyakit. Pada pertemuan pertama akan dilakukan foto toraks (foto polos dada).
Jika pasien membawa foto yang telah lebih dari 1 minggu pada umumnya akan
dibuat foto yang baru. Foto toraks hanya dapat metentukan lokasi tumor, ukuran
tumor, dan ada tidaknya cairan. Foto toraks belum dapat dirasakan cukup karena
tidak dapat menentukan keterlibatan kelenjar getah bening dan metastasis luar
paru. Bahkan pada beberapa kondisi misalnya volume cairan yang banyak, paru
kolaps, bagian luas yang menutup tumor, dapat memungkinakan pada foto, tidak
terlihat. Sama seperti pencarian jenis histologis kanker, pemeriksaan untuk
menetukan staging juga tidak harus sama pada semua pasien tetapi masing masing
pasien mempunyai prioritas pemeriksaan yang berbeda yang harus segera
dilakukan dan tergantung kondisinya pada saat datang.
1) Staging (Penderajatan atau Tingkatan) Kanker Paru
Staging kanker paru dibagi berdasarkan jenis histologis kanker paru,
apakah SLCC atau NSLCC. Tahapan ini penting untuk menentukan
pilihan terapi yang harus segera diberikan pada pasien. Staging
berdasarkan ukuran dan lokasi : tumor primer, keterlibatan organ
dalam dada/dinding dada (T), penyebaran kelenjar getah bening (N),
atau penyebaran jauh (M). Tahapan perkembangan kanker paru
dibedakan menjadi 2, yaitu :
1) Tahap Kanker Paru Jenis Karsinoma Sel Kecil (SLCC)

74
- Tahap terbatas, yaitu kanker yang hanya ditemukan pada satu
bagian paru-paru saja dan pada jaringan disekitarnya.
- Tahap ekstensif, yaitu kanker yang ditemukan pada jaringan
dada di luar paru-paru tempat asalnya, atau kanker ditemukan
pada organ-organ tubuh yang jauh.
2) Tahap Kanker Paru Jenis Karsinoma Bukan Sel Kecil (NSLCC)
- Tahap tersembunyi, merupakan tahap ditemukannya sel kanker
pada dahak (sputum) pasien di dalam sampel air saat
bronkoskopi, tetapi tidak terlihat adanya tumor di paru-paru.
- Stadium 0, merupakan tahap ditemukannya sel-sel kanker
hanya pada lapisan terdalam paru-paru dan tidak bersifat
invasif.
- Stadium I, merupakan tahap kanker yang hanya ditemukan
pada paru-paru dan belum menyebar ke kelenjar getah bening
sekitarnya.
- Stadium II, merupakan tahap kanker yang ditemukan pada
paru-paru dan kelenjar getah bening di dekatnya.
- Stadium III, merupakan tahap kanker yang telah menyebar ke
daerah di sekitarnya, seperti dinding dada, diafragma,
pembuluh besar atau kelenjar getah bening di sisi yang sama
atau pun sisi berlawanan dari tumor tersebut.
- Stadium IV, merupakan tahap kanker yang ditemukan lebih
dari satu lobus paruparu yang sama, atau di paru-paru yang
lain. Sel-sel kanker telah menyebar juga ke organ tubuh
lainnya, misalnya ke otak, kelenjar adrenalin, hati, dan tulang.

h. Pemeriksaan Diagnostik
1) Radiologi
a)Foto thorax posterior – anterior (PA) dan leteral serta Tomografi
dada. Merupakan pemeriksaan awal sederhana yang dapat
mendeteksi adanya kanker paru. Menggambarkan bentuk, ukuran

75
dan lokasi lesi. Dapat menyatakan massa udara pada bagian hilus,
effuse pleural, atelektasis erosi tulang rusuk atau vertebra.
b) Bronkhografi.
Untuk melihat tumor di percabangan bronkus.
2) Laboratorium.
a)Sitologi (sputum, pleural, atau nodus limfe). Dilakukan untuk
mengkaji adanya/ tahap karsinoma.
b)Pemeriksaan fungsi paru dan GDA
Dapat dilakukan untuk mengkaji kapasitas untuk memenuhi
kebutuhan ventilasi
c)Tes kulit, jumlah absolute limfosit.
Dapat dilakukan untuk mengevaluasi kompetensi imun (umum
pada kanker paru).
3) Histopatologi.
a)Bronkoskopi.
Memungkinkan visualisasi, pencucian bagian,dan pembersihan
sitologi lesi (besarnya karsinoma bronkogenik dapat diketahui).
b)Biopsi Trans Torakal (TTB).
Biopsi dengan TTB terutama untuk lesi yang letaknya perifer
dengan ukuran < 2 cm, sensitivitasnya mencapai 90 – 95 %.
c)Torakoskopi.
Biopsi tumor didaerah pleura memberikan hasil yang lebih baik
dengan cara torakoskopi.
d)Mediastinosopi.
Untuk mendapatkan tumor metastasis atau kelenjar getah bening
yang terlibat.
e)Torakotomi.
Totakotomi untuk diagnostic kanker paru dikerjakan bila
bermacam-macam prosedur non invasif dan invasif sebelumnya
gagal mendapatkan sel tumor.
4) Pencitraan

76
a) CT-Scanning, untuk mengevaluasi jaringan parenkim paru dan
pleura.
b) MRI, untuk menunjukkan keadaan mediastinum.

Ca Paru/Kanker Paru

i. Penatalaksanaan
Tujuan pengobatan kanker dapat berupa:
1) Kuratif.
Memperpanjang masa bebas penyakit dan meningkatkan angka harapan
hidup klien
2) Paliatif.
Mengurangi dampak kanker, meningkatkan kualitas hidup.
3) Rawat rumah (Hospice care) pada kasus terminal.
Mengurangi dampak fisis maupun psikologis kanker baik pada pasien
maupun keluarga.
4) Suportif.
Menunjang pengobatan kuratif, paliatif dan terminal sepertia pemberian
nutrisi, tranfusi darah dan komponen darah, obat anti nyeri dan anti
infeksi. (Ilmu Penyakit Dalam, 2001 dan Doenges, Rencana Asuhan
Keperawatan, 2000).
Penatalaksanaan klien dengan kanker paru adalah:

77
1) Pembedahan.
Tujuan pada pembedahan kanker paru sama seperti penyakit paru lain,
untuk mengangkat semua jaringan yang sakit sementara
mempertahankan sebanyak mungkin fungsi paru – paru yang tidak
terkena kanker.
a) Toraktomi eksplorasi.
Untuk mengkomfirmasi diagnosa tersangka penyakit paru atau
toraks khususnya karsinoma, untuk melakukan biopsi.
b) Pneumonektomi pengangkatan paru
Karsinoma bronkogenik bilaman dengan lobektomi tidak semua
lesi bisa diangkat.
c) Lobektomi (pengangkatan lobus paru).
Karsinoma bronkogenik yang terbatas pada satu lobus,
bronkiaktesis bleb atau bula emfisematosa, abses paru, infeksi
jamur dan tumor jinak tuberkulosis.
d) Resesi segmental.
Merupakan pengankatan satau atau lebih segmen paru.
e) Resesi baji.
Tumor jinak dengan batas tegas, tumor metas metik, atau penyakit
peradangan yang terlokalisir. Merupakan pengangkatan dari
permukaan paru-paru berbentuk baji (potongan es).
f) Dekortikasi.
Merupakan pengangkatan bahan – bahan fibrin dari pleura
viscelaris.
2) Radiasi
Pada beberapa kasus, radioterapi dilakukan sebagai pengobatan kuratif
dan bisa juga sebagai terapi adjuvant/ paliatif pada tumor dengan
komplikasi, seperti mengurangi efek obstruksi/ penekanan terhadap
pembuluh darah/ bronkus.
3) Kemoterapi.

78
Kemoterapi digunakan untuk mengganggu pola pertumbuhan tumor,
untuk menangani pasien dengan tumor paru sel kecil atau dengan
metastasi luas serta untuk melengkapi bedah atau terapi radiasi.

2. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan Gawat Darurat


a. Primary Survey
Primary survey menyediakan evaluasi yang sistematis, pendeteksian
dan manajemen segera terhadap komplikasi akibat trauma parah yang
mengancam kehidupan. Tujuan dari Primary survey adalah untuk
mengidentifikasi dan memperbaiki dengan segera masalah yang
mengancam kehidupan. Prioritas yang dilakukan pada primary survey
antara lain (Fulde, 2009) :
1) Airway maintenance dengan cervical spine protection
2) Breathing dan oxygenation
3) Circulation dan kontrol perdarahan eksterna
4) Disability-pemeriksaan neurologis singkat
5) Exposure dengan kontrol lingkungan
Sangat penting untuk ditekankan pada waktu melakukan primary
survey bahwa setiap langkah harus dilakukan dalam urutan yang benar
dan langkah berikutnya hanya dilakukan jika langkah sebelumnya
telah sepenuhnya dinilai dan berhasil. Setiap anggota tim dapat
melaksanakan tugas sesuai urutan sebagai sebuah tim dan anggota
yang telah dialokasikan peran tertentu seperti airway, circulation, dll,
sehingga akan sepenuhnya menyadari mengenai pembagian waktu
dalam keterlibatan mereka (American College of Surgeons, 1997).
Primary survey perlu terus dilakukan berulang-ulang pada seluruh
tahapan awal manajemen.
1) Airway
Pengkajian ini untuk menilai apakah jalan nafas pasien paten atau
tidak. Hal ini bisa dikaji dengan mengajukan pertanyaan kepada
pasien. Jika pasien mampu berbicara, berarti pasien responsif dan
jalan nafasnya terbuka. Pada pasien yang tidak sadar, lakukan head

79
tilt chin lift atau jaw thrust bila jalan nafas pasien tersumbat,
meskipun jaw thrust cenderung dilakukan jika pasien dicurigai
trauma tulang belakang.
Chin lift dilakukan dengan menempatkan ibu jari di bawah dagu
dan kemudian diangkat ke depan. Sedangkan jaw thrust dilakukan
dengan menempatkan jari penolongdi belakang angle of mandible
dan didorong ke arah anterior dan superior (Planas, 2017).
Pada Pulmonary Carcinoma, hal yang mampu menggaggu jalan
nafas yakni:
1. Batuk baru atau batuk lebih hebat pada batuk kronis
2. Hemoptisis
3. Mengi (wheezing, stridor) karena ada obstruksi saluran napas
4. Dysphonia (suara serak)
5. Stridor lokal dan dispnea ringan yang mungkin disebabkan oleh
obstruksi bronkus
2) Breathing
Pengkajian pada pernafasan dilakukan untuk menilai kepatenan
jalan nafas dan keadekuatan pernafasan pada pasien. Yang perlu
diperhatikan dalam pengkajian breathing pada pasien antara lain :
a) Look, listen dan feel; lakukan penilaian terhadap ventilasi dan
oksigenasi pasien.
b) Inspeksi dari tingkat pernapasan sangat penting. Apakah ada
tanda-tanda sebagai berikut : cyanosis, penggunaan otot bantu
pernafasan, observasi pergerakan dinding dada pasien
c) Palpasi untuk adanya : pergeseran trakea, fraktur ruling iga,
subcutaneous emphysema.
d) Perkusi berguna untuk diagnosis edema paru.
e) Auskultasi untuk adanya : suara abnormal pada dada.
f) Tentukan laju dan tingkat kedalaman nafas pasien; kaji lebih
lanjut mengenai karakter dan kualitas pernafasan pasien.
g) Penilaian kembali status mental pasien.
h) Dapatkan bacaan pulse oksimetri jika diperlukan

80
i) Pemberian intervensi untuk ventilasi yang tidak adekuat dan /
atau oksigenasi:
(1) Pemberian terapi oksigen
(2) Bag-Valve Masker
(3) Intubasi (endotrakeal atau nasal dengan konfirmasi
penempatan yang benar), jika diindikasikan
(4) Catatan: defibrilasi tidak boleh ditunda untuk advanced
airway procedures
(5) Kaji adanya masalah pernapasan yang mengancam jiwa
lainnya dan berikan terapi sesuai kebutuhan.
3) Circulation
Pada kasus bronchial carcinoma, gambaran klinis dicirikan
dengan cepat terjadinya dyspnea dan sianosis, kemudian diikuti
dengan tanda kegagalan ventrikel kanan pada pasien meskipun
tanpa riwayat penyakit pada paru-paru atau jantung. Gejala
klinis yang mengarah pada sistem sirkulasi yakni:
(1) Tekanan darah rendah
(2) Tachycardia
(3) Denyut jantung yang irreguler
(4) Pembesaran hati (liver)
(5) Edema.
(6) Kelemahan, anoreksia, penurunan berat badan dan anemia
(Storstein, 1951)
4) Disability-pemeriksaan neurologis singkat
Pengkajian yang cepat pada status neurologis pasien diperlukan
pada saat pasien tiba di ruang UGD. Pemeriksaan meliputi
tingkat kesadaran pasien dan status neurologisnya. Pemeriksaan
dilakukan dengan mengkaji GCS (Glasgow Coma Scale) pasien,
ukuran dan reaksi pupil, dan tanda lateralizing. Jika GCS
kurang, bisa menjadi tanda bahwa pasien akan mengalami
penurunan reflex jalan nafas sehingga pasien tidak mampu
mempertahankan jalan nafas yang paten. Dalam keadaan ini,

81
penggunaan airway definitive diperlukan. Skor GCS maksimum
(15) mengindikasikan level kedasaran yang optimal, sedangkan
skor minimal (3) mengindikasikan pasien mengalami koma
(Planas, 2017).
Manifestasi klinis lainnya yang dapat muncul yakni nyeri dada
saat menarik nafas dalam-dalam, kekakuan,
5) Exposure and Environmental Control
Pasien harus melepaskan pakaiannya untuk memastikan bahwa
tidak ada injuri atau hal lainnya yang tertinggal. Pasien
kemudian harus ditutupi dengan selimut hangat untuk
mengurangi resiko hipotermia (Planas, 2017).
b. Secondary Survey
Setelah primary survey, secondary survey dilakukan untuk
memastikan evaluasi yang komprehensif dan menyeluruh terhadap
penyakit pasien. Secondary survey care adalah pemeriksaan teliti
dan menyeluruh dari kepala sampai kaki (head to toe examination),
termasuk reevaluasi tanda vital. Secondary survey care baru
dilakukan setelah primary survey care selesai, resusitasi dilakukan
dan ABC dalam keadaan stabil (American College of Surgeons,
2008)
Secondary survey meliputi pemeriksaan fisik, anamnesa, dan
melakukan pemeriksaan penunjang lainnya
1) Pemeriksaan Fisik (Head to Toe)
Pemeriksaan jasmani harus dilakukan secara menyeluruh dan
teliti. Hasil yang didapat sangat bergantung pada kelainan saat
pemeriksaan dilakukan. Kanker yang telah berkembang menjadi
tumor paru ukuran kecil dan terletak di perifer dapat
memberikan gambaran normal pada pemeriksaan. Tumor
dengan ukuran besar, terlebih bila disertai atelektasis sebagai
akibat kompresi bronkus, efusi pleura atau penekanan vena kava
akan memberikan hasil yang lebih informatif. Metastasis
keorgan lain juga dapat dideteksi dengan perabaan hepar,

82
pemeriksaan funduskopi untuk mendeteksi peninggian tekanan
intrakranial dan terjadinya fraktur sebagai akibat metastasis ke
tulang. (Himpunan Dokter Paru Indonesia, 2003)
a) B1 (Sistem Pernafasan)
Data Subyektif : nyeri didada pada saat bernafas, batuk
Obyektif: sputum kadang berwarna merah karena melalui
permukaan tumor yang mengalami ulserasi, penggunaan
otot bantu pernafasan, pernafasan diafragma dan perut
meningkat, dispnea, terdengar stridor, wheezing, clubbing
finger
b) B2 (Sistem Kardiovaskular)
Data Subyektif: Sakit kepala
Obyektif: Denyut nadi meningkat, pembuluh darah
vasokonstriksi, kuantitas darah menjadi menurun, asidosis
ringan/berat.
c) B3 (Sistem Persyarafan)
Data Subyektif: gelisah, penurunan kesadaran
Obyektif: Letargi
d) B4 (Sistem Perkemihan)
Data Subyektif: Peningkatan frekuensi/jumlah urine
(ketidakseimbangan hormonal)
Obyektif: Produksi urine menurun/normal
e) B5 (Sistem Pencernaan)
Data Subyektif : mual, kadang muntah, anoreksia
Data Obyektif: penurunan berat badan
f) B6 (Sistem Muskuloskeletal dan Integumen)
Data Subyektif: Lemah, cepat lelah
Data Obyektif: Tonus otot menurun, nyeri otot/normal,
retraksi paru dan penggunaan otot aksesoris pernafasan,
kulit pucat, sianosis, turgor menurun (akibat dehidrasi
sekunder), banyak keringat, suhu kulit
meningkat/normal.

83
2) Anamnesis
Riwayat “AMPLE” patut diingat (American College of
Surgeons, 2008):
A : Allergy
M : Medication (obat yang diminum saat ini)
P : Past illness (penyakit penyerta)
L : Last meal
E : Event (berhubungan dengan kejadian trauma)
3) Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang pada pasien kanker paru antara lain:
a) Foto toraks AP/lateral merupakan pemeriksaan awal untuk
menilai pasien dengan kecurigaan terkena kanker paru.
Berdasarkan hasil pemeriksaan ini, lokasi lesi dan tindakan
selanjutnya termasuk prosedur diagnosis penunjang dan
penanganan dapat ditentukan. Jika pada foto toraks
ditemukan lesi yang dicurigai sebagai keganasan, maka
pemeriksaan CT scan toraks wajib dilakukan untuk
mengevaluasi lesi tersebut.
b) CT scan toraks dengan kontras merupakan pemeriksaan
yang penting untuk mendiagnosa dan menentukan stadium
penyakit, dan menentukan segmen paru yang terlibat secara
tepat. CT scan toraks dapat diperluas hingga kelenjar
adrenal untuk menilai kemungkinan metastasis hingga regio
tersebut.
c) CT scan kepala / MRI kepala dengan kontras diindikasikan
bila penderita mengeluh nyeri kepala hebat untuk menilai
kemungkinan adanya metastasis ke otak.
d) USG abdomen dilakukan kecuali pada stadium IV
e) Bone Scan dilakukan untuk mendeteksi metastasis ke
tulang-tulang. Bone survey dilakukan jika fasilitas bone
scan tidak ada.
f) PET-Scan dapat dilakukan untuk evaluasi hasil pengobatan

84
c. Diagnosa
1) Bersihan jalan nafas tidak efektif, b/d peningkatan
jumlah/perubahan mukus /viskositas sekret, kehilangan fungsi
silia jalan nafas, meningkatnya tahanan jalan nafas.
2) Nyeri b/d lesi dan melebarnya pembuluh darah.
3) Gangguan pertukaran gas b/d gangguan suplai O2 akibat
perubahan sruktur alveoli.
d. Intervensi
Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi
No Diagnosa Keperawatan
(NOC) (NIC)
1. Ketidakefektifan bersihan Setelah dilakukan tindakan Airway Management
jalan nafas keperawatan ..x.. jam □ Buka jalan nafas
Batasan Karakteristik : diharapkan mampu menggunakan head tilt
□ Batuk yang tidak mempertahankan kebersihan chin lift atau jaw thrust
efektif jalan nafas dengan kriteria : bila perlu
□ Dispnea NOC : □ Posisikan pasien untuk
□ Gelisah Respiratory status : memaksimalkan ventilasi
□ Kesulitan verbalisasi Airway Patency □ Identifikasi pasien
□ Mata terbuka lebar □ Respirasi dalam perlunya pemasangan alat
□ Ortopnea batas normal jalan nafas buatan (NPA,
□ Penurunan bunyi □ Irama pernafasan OPA, ETT, Ventilator)
nafas teratur □ Lakukan fisioterpi dada
□ Perubahan frekuensi □ Kedalaman jika perlu
nafas pernafasan normal □ Bersihkan secret dengan
□ Perubahan pola □ Tidak ada akumulasi suction bila diperlukan
nafas sputum □ Auskultasi suara nafas,
□ Sianosis □ Batuk catat adanya suara
□ Sputum dalam berkurang/hilang tambahan
jumlah yang □ Kolaborasi pemberian
berlebihan oksigen
□ Suara nafas □ Kolaborasi pemberian obat

85
tambahan bronkodilator
□ Tidak ada batuk □ Monitor RR dan status
Faktor yang berhubungan oksigenasi (frekuensi,
: irama, kedalaman dan
Lingkungan : usaha dalam bernapas)
□ Perokok □ Anjurkan pasien untuk
□ Perokok pasif batuk efektif
□ Terpajan asap □ Berikan nebulizer jika
Obstruksi jalan nafas : diperlukan
□ Adanya jalan nafas Asthma Management
buatan □ Tentukan batas dasar
□ Benda asing dalam respirasi sebagai
jalan nafas pembanding
□ Eksudat dalam □ Bandingkan status
alveoli sebelum dan selama
□ Hiperplasia pada dirawat di rumah sakit
dinding bronkus untuk mengetahui
□ Mukus berlebih perubahan status
□ Penyakit paru pernapasan
obstruksi kronis □ Monitor tanda dan gejala
□ Sekresi yang asma
tertahan □ Monitor frekuensi, irama,
□ Spasme jalan nafas kedalaman dan usaha
Fisiologis : dalam bernapas
□ Asma
□ Disfungsi
neuromuskular
□ Infeksi
□ Jalan nafas alergik
2. Nyeri Akut Setelah dilakukan asuhan Analgesic Administration
Batasan Karakteristik keperawatan selama ...x….. □ Tentukan lokasi,
□ Bukti nyeri dengan jam diharapkan nyeri karakteristik, kualitas, dan

86
menggunakan berkurang dengan kriteria derajat nyeri sebelum
standar daftar hasil : pemberian obat
periksa nyeri untuk NOC: □ Cek riwayat alergi
pasien yang tidak Pain Level terhadap obat
dapat □ Melaporkan gejala □ Pilih analgesik yang tepat
mengungkapkannya nyeri berkurang atau kombinasi dari
(mis., Neonatal □ Melaporkan lama analgesik lebih dari satu
Infant Pain Scale, nyeri berkurang jika diperlukan
Pain Assesment □ Tidak tampak □ Tentukan analgesik yang
Checklist for Senior ekspresi wajah diberikan (narkotik, non-
with Limited Ability kesakitan narkotik, atau NSAID)
to Communicate) □ Tidak gelisah berdasarkan tipe dan
□ Diaphoresis □ Respirasi dalam keparahan nyeri
□ Dilatasi pupil batas normal □ Tentukan rute pemberian
□ Ekspresi wajah nyeri (dewasa: 16-20 analgesik dan dosis untuk
(mis., mata kurang kali/menit) mendapat hasil yang
bercahaya, tampak maksimal
kacau, gerakan mata □ Pilih rute IV dibandingkan
berpencar atau tetap rute IM untuk pemberian
pada satu focus, analgesik secara teratur
meringis) melalui injeksi jika
□ Focus menyempit diperlukan
(mis., persepsi □ Evaluasi efektivitas
waktu, proses pemberian analgesik
berfikir, interaksi setelah dilakukan injeksi.
dengan orang dan Selain itu observasi efek
lingkungan) samping pemberian
□ Focus pada diri analgesik seperti depresi
sendiri pernapasan, mual muntah,
□ Keluhan tentang mulut kering dan
intensitas konstipasi.
menggunakan □ Monitor vital sign sebelum

87
standar skala nyeri dan sesudah pemberian
(mis., skala Wong- analgesik pertama kali
Baker FACES, skala
analog visual, skala
penilaian numerik)
□ Keluhan tentang
karakteristik nyeri
dengan
menggunakan
standar isntrumen
nyeri (mis., McGill
Pain Questionnaire,
Brief Pain
Inventory)
□ Laporan tentang
perilaku
nyeri/perubahan
aktivitas (mis.,
anggota keluarga,
pemberi asuhan)
□ Mengekspresikan
perilaku (mis.,
gelisah, merengek,
menangis, waspada)
□ Perilaku distraksi
□ Perubahan pada
parameter fisiologis
(mis., tekanan darah,
frekuensi jantung,
frekuensi
pernafasan, saturasi
oksigen, dan

88
endtidal karbon
dioksida (CO2))
□ Perubahan posisi
untuk menghindari
nyerii
□ Perubahan selera
makan
□ Putus asa
□ Sikap melindungi
area nyeri
□ Sikap tubuh
melindungi
Faktor yang berhubungan
:
□ Agens cedera
biologis (mis.,
infeksi, iskemia,
neoplasma)
□ Agens cedera fisik
(mis., abses,
amputasi, luka
bakar, terpotong,
mengangkat berat,
prosedur bedah,
trauma, olahraga
berlebihan)
□ Agens cedera
kimiawi (mis., luka
bakar, kapsaisin,
metilen klorida,
agens mustard)
3. Gangguan pertukaran gas Setelah dilakukan tindakan NIC

89
Batasan Karakteristik : keperawatan ..x.. jam Acid Base Management
□ Diaforesis diharapkan hasil AGD □ Pertahankan kepatenan
□ Dispnea pasien dalam batas normal jalan nafas
□ Gangguan dengan kriteria hasil : □ Posisikan pasien untuk
pengelihatan NOC: mendapatkan ventilasi
□ Gas darah arteri Respiratory status: Gas yang adekuat(mis., buka
abnormal Exchange jalan nafas dan tinggikan
□ Gelisah □ PaO2 dalam batas kepala dari tempat tidur)
□ Hiperkapnia normal (80-100 □ Monitor hemodinamika
□ Hipoksemia mmHg) status (CVP & MAP)
□ Hipoksia □ PaCO2 dalam batas □ Monitor kadar pH, PaO2,
□ Iritabilitas normal (35-45 PaCO2, dan HCO3 darah
□ Konfusi mmHg) melalui hasil AGD
□ Nafas cuping hidung □ pH normal (7,35- □ Catat adanya
□ Penurunan karbon 7,45) asidosis/alkalosis yang
dioksida □ SaO2 normal (95- terjadi akibat kompensasi
□ pH arteri abnormal 100%) metabolisme, respirasi
□ Pola pernafasan □ Tidak ada sianosis atau keduanya atau tidak
abnormal (mis., □ Tidak ada penurunan adanya kompensasi
kecepatan, irama, kesadaran □ Monitor tanda-tanda gagal
kedalaman) napas
□ Sakit kepala saat □ Monitor status neurologis
bangun □ Monitor status pernapasan
□ Sianosis dan status oksigenasi klien
□ Somnolen □ Atur intake cairan
□ Takikardia □ Auskultasi bunyi napas
□ Warna kulit dan adanya suara napas
abnormal (mis., tambahan (ronchi,
pucat, kehitaman ) wheezing, krekels, dll)
Faktor yang berhubungan □ Kolaborasi pemberian
: nebulizer, jika diperlukan
□ Ketidakseimbangan □ Kolaborasi pemberian

90
ventilasi-perfusi oksigen, jika diperlukan.
□ Perubahan membran
alveolar-kapiler

91
BAB III
PENUTUP

3.1. Kesimpulan
Pernapasan adalah suatu proses yang terjadi secara otomatis walau dalam
keadaan tertidur sekalipun karena sistem pernapasan dipengaruhi oleh susunan
saraf otonom. Dalam makalah ini dibahas 3 jenis kegawatdaruratan pada sistem
pernafasan yaitu status asmatikus, ARDS, dan Ca. Paru.
Status asmatikus merupakan asma yang berat dan persisten yang tidak
berespons terhadap terapi konvensional dan status asmatikus termasuk dalam
suatu keadaan darurat medic berupa serangan asam berat kemudian bertambah
berat yang refrakter bila serangan 1 – 2 jam yang terjadi akibat adanya infeksi,
ansietas, penggunaan tranquiliser berlebihan, penyalahgunaan nebulizer,
dehidrasi, peningkatan blok adrenergic, dan iritan nonspesifik dapat menunjang
episode ini. Terdapat beberapa diagnosa yang dapat ditarik dari permasalahan
status asmatikus antara lain : Ketidakefektifan bersihan jalan napas,
Ketidakefektifan Pola Napas, Gangguan Pertukaran Gas, Nyeri Akut, Fatigue
(kelelahan), Nausea, dan Penurunan Curah Jantung.
Sindrom gangguan pernapasan akut (Acute respiratory distress syndrome-
ARDS) merupakan manifestasi cedera akut paru-paru, biasanya akibat sepsis,
trauma, dan infeksi paru berat. Secara klinis, hal ini ditandai dengan dyspnea,
hipoksemia, fungsi paru-paru yang menurun, dan infiltrat difus bilateral pada
radiografi dada. Terdapat beberapa diagnosa yang dapat ditarik dari permasalahan
ARDS antara lain : Ketidakefektifan bersihan jalan napas berhubungan dengan
meningkatnya tahanan jalan nafas (edema interstisisial), Gangguan pertukaran gas
berhubungan dengan kehilangan surfaktan menyebabkan kolaps alveoli,
Gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan penurunan aliran balik vena, dan
penurunan curah jantung, dan Ansietas berhubungan dengan penyakit kritis, takut
kematian, atau kecatatan, perubahan peran dalam sosial, atau kecatatan permanen.
Kanker paru adalah tumor ganas paru primer yang berasal dari saluran napas
atau epitel bronkus. Terjadinya kanker ditandai dengan pertumbuhan sel yang
tidak normal, tidak terbatas, dan merusak sel-sel jaringan yang normal. Proses

92
keganasan pada epitel bronkus didahului oleh masa pra kanker. Terdapat beberapa
diagnosa yang dapat ditarik dari permasalahan kanker paru antara lain : Bersihan
jalan nafas tidak efektif, b/d peningkatan jumlah/perubahan mukus /viskositas
sekret, kehilangan fungsi silia jalan nafas, meningkatnya tahanan jalan nafas,
Nyeri b/d lesi dan melebarnya pembuluh darah, dan Gangguan pertukaran gas b/d
gangguan suplai O2 akibat perubahan sruktur alveoli.

3.2. Saran
Dalam penulisan intervensi seharusnya diikuti dengan penulisan batasan
karakteristik untuk menjadi dasar pemilahan rencana keperawatan yang akan
diberikan kepada pasien dengan indikasi yang tepat.

93
DAFTAR PUSTAKA

Amin Zulkifli, Purwoto J. (2007). ‘Acute Respiratory Distress Syndrome


(ARDS)’ Dalam : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II; Edisi IV. Pusat
Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam FKUI
Aru W, Sudoyo et al. 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 2 Edisi
4.Departemen Ilmu Penyakit dalam FKUI. Jakarta
Barbara C. Long (2009), Perawatan Medikal Bedah: Suatu Pendekatan Proses
Keperawatan, The C.V Mosby Company St. Louis, USA.
Depkes R.I (2009) Pedoman pengendalian penyakit asma.
Docterman dan Bullechek. Nursing Invention Classifications (NIC), Edition 5,
United States Of America: Mosby Elseveir Acadamic Press, 20
Djojodibroto, Darmanto. (2009). Respirologi (Respiratory Medicine). Penerbit
Buku Kedokteran EGC. Jakarta.
Elizabeth, J. Corwin.2008. Buku Saku Patofisiologis. Jakarta: ECG
Fulde, Gordian. (2009). Emergency medicine 5th edition. Australia : Elsevier.
Guntur AH. (2007). ‘Sepsis’ Dalam : buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II;
Edisi IV. Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam : FKUI
Harman EM. (2011). Acute Respiratory Distress Syndrome Overview.
http://emedicine.medscape.com/article/165139-overview diakses pada 01
April 2013
Maas, Morhead, Jhonson dan Swanson. Nursing Out Comes (NOC), United States
Of America: Mosby Elseveir Acadamic Press, 2004.
Nurkhasanah Ana, 2015.Anatomi dan Fisiologi Sistem Pernafasan(online)
available: http://www.askepkeperawatan.com/2015/10/anatomi-dan-
fisiologi-sistem-pernapasan_15.html diakses pada 30 September 2017,
20.04 WITA
Notoatmojo,Soekidjo.2012. ”Metodologi penelitian kesehatan. Jakarta : Rineka
Cipta.
Planas JH, Waseem M. Trauma, Primary Survey. [Updated 2017 May 1]. In:
StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2017 Jun-.
Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK430800

94
Suryo, Joko. 2010. Herbal Penyembuhan Gangguan Sistem Pernapasan.
Yogyakarta: B First
Tamsuri, Anas .2008.Seri Asuhan Keperawtan Klien Gangguan
Pernafasan.Jakarta : EGC
Wilkinson,J & Ahern, N (2012). Buku Saku Diagnosa Keperawatan Nanda,
Intervensi Nic, Kriteria Hasil Noc. Jakarta : Prima Medika.

95

Anda mungkin juga menyukai