Anda di halaman 1dari 60

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEBIDANAN KOMPREHENSIF


PADA MASA PRA KONSEPSI DAN PERENCANAAN
KEHAMILAN SEHAT

Disusun Oleh :
MAZNAH
PO.71242220018

Dosen Pembimbing :
PAULINE KUSMARYATI, SST, M.Bmd

POLITEKNIK KESEHATAN KEMEKES JAMBI

PRODI PROFESI JURUSAN KEBIDANAN


TAHUN 2022/2023
TINJAUAN TEORI

A. Tinjauan Umum Tentang Prakonsepsi

1. Definisi Prakonsepsi

Masa prakonsepsi merupakan masa sebelum hamil atau masa


sebelum terjadi pertemuan sel ovum (sel telur) dengan sperma. Wanita
prakonsepsi diasumsikan sebagai wanita dewasa atau wanita usia subur
yang siap menjadi seorang ibu. Kebutuhan gizi pada masa ini berbeda
dengan masa anak-anak, remaja, ataupun lanjut usia. Perbaikan kesehatan
prakonsepsi berdampak pada peningkatan kesehatan reproduksi dan dapat
menurunkan resiko pengeluaran biaya yang mungkin muncul karena
masalah kesehatan reproduksi. Pelayanan prakonsepsi dianggap sebagai
komponen utama pelayanan kesehatan pada wanita usia subur (Dieny,
dkk., 2019).
Prakonsepsi merupakan penggabungan dua kata, yaitu pra yang
berarti sebelum, konsepsi yang berarti pertemuan sel telur wanita dan sel
sperma pria. Prakonsepsi adalah masa sebelum terjadi pertemuan sel telur
atau diasumsikan sebagai wanita usia subur yang siap menjadi
seorangibu.
Wanita usia subur (WUS) adalah wanita yang berada dalam
peralihan masa remaja akhir hingga usia dewasa awal. KarakteristikWUS
yang paling utama adalah ditandai dengan peristiwa fisiologis, seperti
menstruasi dan tercapainya puncak kesuburan dengan fungsi organ
reproduksi yang sudah berkembang dengan baik. WUS diasumsikan
sebagai wanita dewasa yang siap menjadi seorang ibu.
Masa pranikah dapat dikaitkan dengan masa prakonsepsi, karena
setelah menikah wanita akan segera menjalani proses konsepsi. Masa
prakonsepsi merupakan masa sebelum kehamilan. Periode prakonsepsi
adalah rentang waktu dari tiga bulan hingga satu tahun sebelum konsepsi
dan idealnya harus mencakup waktu saat ovum dan sperma matur, yaitu
sekitar 100 hari sebelum konsepsi. Status gizi wanita usia subur selama
tiga sampai enam bulan pada masa prakonsepsi merupakan kunci

1
2

kelahiran bayi normal dan sehat.

Pelayanan prakonsepsi dianggap sebagai komponen utama


pelayanan kesehatan pada wanita usia subur. Tujuan pelayanan
prakonsepsi adalah menyediakan sarana promosi, skrining, dan intervensi
pada wanita usia subur dalam rangka menurunkan faktor resiko
yangmempengaruhi kehamilan yang akan datang. Wanita usia subur
adalah wanita yang berada dalam peralihan masa remaja akhir hingga usia
dewasa awal. Karakteristik wanita usia suburyang paling utama adalah di
tandai dengan peristiwa fisiologis, seperti menstruasi dan tercapainya
puncak kesuburan dengan fungsi organ reproduksi yang sudah
berkembang dengan baik. Wanita usia subur diasumsikan sebagai wanita
dewasa yang siap menjadi seorang ibu. Kebutuhan gizi pada masa ini
berbeda dengan masa anak-anak, remaja, ataupun lanjut usia. Kebutuhan
zat gizi pada masa ini menjadi penting karena merupakan masa dalam
mempersiapkan kehamilan dan menyusui(Dieny, dkk., 2019).
2. Tujuan Asuhan masa Prakonsepsi
Penelitian (Yulizawati, dkk., 2016) tujuan pemberian perawatan
pada masa prakonsepsi antara lain:
a. Mengurangi angka kematian ibu dan anak
b. Mencegah kehamilan yang tidak diinginkan
c. Mencegah komplikasi selama kehamilan dan persalinan
d. Mencegah bayi lahir mati, lahir premature, dan berat bayi lahir rendah
e. Mencegah bayi lahir cacat
f. Mencegah infeksi neonatal
g. Mencegah berat badan rendah dan stunting
h. Mencegah penularan vertikal HIV/IMS
i. Menurunkan resiko beberapa bentuk kangker pada anak
j. Menurunkan resiko diabetes tipe 2 dan kardiovaskuler penyakit
dikemudian hari.
3

Penelitian (Yulizawati, dkk., 2016) skrining pranikah atau disebut


juga perawatan prakonsepsi adalah serangkaian intervensi yang bertujuan

mengidentifikasi dan memodifikasi resiko biomedis, perilaku, dan sosial


yang berkaitan dengan kesehatan wanita serta hasil kehamilan nantinya.
Skrining prakonsepsi dilakukan sebagai langkah pertama untuk
memastikan kesehatan calon ibu serta calon anak sedini mungkin, bahkan
sebelum proses pembuahan terjadi. yang termasuk dalam perawatan masa
prakonsepsi yaitu pada masa sebelum prakonsepsi dan masa antara
konsepsi yang dapat dimulai dalam jangka waktu dua tahun sebelum
konsepsi.

3. Manfaat Skrining Pranikah

a. Bagi seorang wanita, skrining pranikah tidak hanya sekedar untuk


merencanakan kehamilan, tetapi untuk, menjaga dan memilih
kebiasaan untuk hidup sehat
b. Bagi seorang laki-laki, skrining pranikah berguna untuk memilih
untuk menjaga tetap sehat dan membantu orang lain untuk melakukan
hal yang sama, dan sebagai mitra wanita berarti mendorong dan
mendukung kesehatan pasanganya dan jika menjadi seorang ayah, ia
akan melindungi anak-anaknya. Jadi kesehatan prakonsepsi yaitu
tentang menyediakan diri sendiri dan orang yang anda cintai dengan
masa depan yang cerah dan sehat.

c. Bagi bayi. Skrining pranikah akan membuat orang tua melaksanakan


hidup sehat sebelum dan selama kehamilan sehingga akan melahirkan
bayi tanpa cacat atau keadaan yang tidak normal lainya dan memberi
kesempatan pada bayi untuk memenuhi kehidupanya dengan sehat.
d. Bagi keluarga. Skrining pranikah akan menciptakan keluarga
yangsehat dan akan menciptakan kualitas keluarga yang lebih baik
dimasa yang akan datang.
4. Asuhan Wanita Prakonsepsi

Penelitian (Anggraeny dan Dian, 2017) asuhan kesehatan prakonsepsi


merupakan asuhan kesehatan bagi laki-laki dan perempuan yang
diberikan oleh dokter atau tenaga kesehatan profesional lainya yang
4

fokusnya pada upaya untuk memiliki anak yang sehat dimana dengan
asuhan tersebut dapat menurunkan angka kesakitan dan kematian pada
ibu dan bayi (WHO, 2014).
Penelitian (Yulizawati, dkk., 2016) mengeluarkan beberapa
rekomendasi untuk meningkatkan pelayanan kesehatan prakonsepsi yaitu:
a. Kunjungan ke tempat pelayanan kesehatan secara teratur (terjadwal)

b. Pemberian edukasi terkait kesehatan prakonsepsi dan kehamilan


seperti skrining berat badan, vaksinasi, status zat besi dan asam folat,
pengkajian konsumsi alkohol, dan riwayat penyakit.

c. Pemberian konseling terkait modifikasi kebiasaan individu skrining


kesehatan prakonsepsi dapat dilakukan dengan menggunakan formulir
untuk mempermudah mendapatkan data. Point-point yang dapat
dicantumkan dalam formulir tersebut antara lain riwayat diet,
aktivitas fisik, pola hidup, riwayat kesehatan individu dan keluarga, obat-
obatan yang dikonsumsi, riwayat kesehatan seperti pola menstruasi, faktor
genetik, dan lingkungan. Berbagai faktor juga harus dikaji melalui
pemeriksaan fisik secara rutin. Pengkajian meliputi komposisi makanan
(diet) seimbang, aktivitas fisik, antropometri (berat badan, tinggi badan,
indeks masa tubuh), anemia, dan resiko defisiensi zat gizi (asam folat, zat
besi, seng, kalsium, yodium, vitamin). Petugas kesehatan yang ikut berperan
dalam suplementasi zatbesi maupun asam folat.

5. Kebutuhan Gizi Wanita Prakonsepsi

Penelitian (Winarsih, 2018) dijelaskan bahwa gizi adalah


rangkaianproses secara organik makanan yang dicerna oleh tubuh untuk
memenuhi kebutuhan pertumbuhan dan fungsi normal organ, serta
mempertahankan kehidupan seseorang. Gizi berasal dari bahasa arab
“ghidza”, yang memiliki arti sebagai makanan. Di indonesia, gizi
berkaitan erat dengan pangan, yaitu segala bahan yang dapat digunakan
sebagai makanan.
Makanan adalah bahan yang mengandung zat-zat gizi dan unsur-
unsur ikatan kimia yang dapat direaksikan oleh tubuh menjadi zat gizi
5

sehingga berguna bagi tubuh. Zat gizi atau nutrients adalah ikatan kimia
yang diperlukan tubuh untuk menghasilkan energi, membangun dan
memelihara jaringan, serta mengatur proses-proses kehidupan. Berkaitan
dengan asupan gizi seseorang, setidaknya kondisi seseorang akibat
mengonsumsi makanan dapat digolongkan menjadi tiga, yaitu gizi buruk,
baik, dan lebih (Winarsih, 2018).
Berdasarkan informasi di atas, dapat disimpulkan bahwa ilmu gizi
adalah ilmu yang mempelajari segala sesuatu tentang makanan dalam
hubunganya dengan kesehatan optimal. Ilmu gizi juga bisa didefinisikan
sebagai ilmu yang mempelajari segala sesuatu tentang makanan dalam
hubunganya dengan kesehatan optimal (Winarsih, 2018).
Energi dibutuhkan supaya metabolisme tubuh berjalan dengan baik.
Kecukupan yang dianjurkan dibedakan sesuai dengan usia dan
jeniskelamin. Kebutuhan energi pada laki-laki lebih kurang 2600-2750
Kkal,sedangkan pada wanita 2100-2250 Kkal. Energi tersebut paling
banyak diperoleh dari karbohidrat, lemak, dan protein (Dieny, dkk., 2019)
Kebutuhan yang diperlukan pada masa prakonsepsi yaitu:
a. Karbohidrat
Karbohidrat merupakan sumber energi utama tubuh. Setiap 1 gram
karbohidrat yang dikonsumsi menghasilkan energi sebesar 4
Kkal.Contoh bahan makanan sumber karbohidrat adalah nasi,
kentang, jagung, singkong, ubi, roti, dan mie. Konsumsi karbohidrat
dianjurkan sebesar 55-70% dari kebutuhan energi sehari.
b. Protein
Kebutuhan protein pada masa prakonsepsi sebesar 10-30%
darikebutuhan energi sehari. Protein berfungsi sebagai zat
pembangun, pengatur, serta perbaikan jaringan dan sel-sel yang rusak.
Fungsi utama protein bukanlah sebagai sumber energi, tetapi protein
dapat menjadi sumber energi dengan menyediakan 4 Kkal per gram.
Kebutuhan protein dapat dipenuhi dengan mengkonsumsi bahan
makanan sumber protein hewani, seperti ikan, telur, daging, daging
ayam, susu, serta bahan makanan sumber protein nabati, seperti
6

kacang-kacangan, tahu dan tempe.


c. Lemak

Lemak merupakan seumber energi terbesar dibandingkan dengan


karbohidrat dan protein. Satu gram lemak menghasilkan 9 Kkal,
anjuran asupan lemak per hari adalah 20-30%. Lemak berperan dalam
penyerapan vitamin A,D,E, dan K. Asupan lemak akan memengaruhi
jumlah lemak tubuh yang berhubungan dengan produksi hormon, baik
pada wanita maupun pria, sel lemak yang menjaga ketersediaan
hormon dalam tubuh akan memengaruhi siklus menstruasi pada
wanita dan produksi serta kematangan sperma pada pria. Sumber
makanan yang mengandung lemak banyak ditemukan pada daging
merah, ayam,ikan, udang, susu, keju, dan minyak.
d. Serat

Serat merupakan komponen yang sangat penting pada asupan setiap


orang. Asupan serat yang kurang dapat mengakibatkan susah buang
air besar (sambelit/konstipasi), hemmoroid (ambeien), dan obesitas.
Untuk mencegah terjadinya gangguan pencernaan, tiap individu harus
mengkonsumsi serat dalam jumlah cukup untuk membantu menjaga
kesehatan sistem pencernaan. Kebutuhan serat pada masa prakonsepsi
untuk pria adalah 37- 38 gram dan wanita sebesar 30-32 gram.
Sumber serat yang baik adalah sayuran, buah- buah, dan kacang-
kacangan.

e. Cairan

Kebutuhan cairan pada setiap orang dapat berbeda, tergantung dari


usia, jenis kelamin, suhu lingkungan, jenis makanan yang
dikonsumsi, dan jenis aktivitasnya. Rekomendasi asupan cairan
adalah 1,5-2 liter air/hari atau setara dengan 8 gelas air/hari.
Kebutuhan cairan dapat dipenuhi dari air minum dan air dalam
makanan. Air putih lebih disarankan daripada kopi, teh, muniman
bersoda, atau sirup.
7

f. Vitamin A

Vitamin A berperan penting dalam sistem kekebalan tubuh, fungsi


penglihatan, dan sebagai sumber antioksida. Angka kecukupan Gizi
(AKG) vitamin A pada pria dimasa prakonsepsi adalah 600 mcg,
sedangkan pada wanita adalah sebesar 500 mcg. Bahan makanan
sumber vitamin A, antara lain daging, kuning telur, susu, mentega,
wortel, tomat, kacang panjang, dan bayam.
g. Vitamin D

Vitamin D adalah vitamin yang larut dalam lemak dan berperan


dalam mengoptimalkan kesehatan tulang serta fungsi otot. Vitamin D
terdapat dalam bahan makanan seperti hati, telur, dan ikan. Selain itu,
konsumsi bahan makanan yang berasal dari hewan ataupun tumbuhan
yang mengandung provitamin D akan berubah menjadi vitamin D bila
terkena sinar matahari. Kebutuhan vitamin D menurut AKG 2013
untuk pria dan wanita pada masa prakonsepsi sebanyak 15 mcg.

h. Vitamin E

Vitamin E berperan sebagai antioksida dan berfungsi dalam sistem


kekebalan tubuh. Vitamin E ditemukan secara alami dalam beberapa
makanan dan suplemen makan. Sumber utama vitamin E adalah
minyak nabati (seperti minyak, jagung, minyak bunga matahari, dan
minyak zaitun), kacang-kacangan dan biji-bijian (seprti biji bunga
matahari, kacang kenari), serta alpukat. Angka kecukupan gizi (AKG)
vitamin E pria dan wanita pada masa prakonsepsi adalah 15 mg/hari.
i. Vitamin K

Vitamin K merupakan vitamin larut lemak yang berfungsi dalam


proses pembekuan darah. Kebutuhan vitamin K berdasarkan AKG
2013 untuk pria dan wanita pada masa prakonsespsi adalah 1,3-1,4
mg/hari. Bahan makanan yang banyak mengandung vitamin K,
diantaranya alpukat, minyak kedelai, sayuran hijau, dan pisang.
8

j. Vitamin C

Vitamin C merupakan vitamin yang larut dalam air. Di dalamtubuh,


vitamin C Berperan penting dalam membantu absorbsi zat besi,
metabolisme asam folat, sebagai antioksidan, dan meningkatkan
kekebalan tubuh. Kebutuhan vitamin C berdasarkan AKG adalah 90
mg/hari pada pria dan wanita 75 mg/hari pada wanita. Sumber utama
vitamin C adalah buah dan sayuran segar.

k. Asam folat

Folat merupakan bagian dari beberapa vitamin B kompleks yang


secara alami terdapat pada bahan makanan atau dalam suplemen.
Asam folat berperan untuk memperoduksi sel darah merah bersama
vitamin B12, metabolisme asam amino, menjaga sistem
kekebalantubuh, dan berperan penting dalam sistem otak serta saraf.
Mengonsumsi folat diketahui dapat menurunkan kejadian ovulasi
infertil pada wanita. Selain itu, asupan asam folat yang cukup juga
berkaitan dengan berkurangnya sperma abnormal pada pria.
Asupan folat harus dijaga kecukupanya hingga masa kehamilan untuk
menghindari kelainan perkembangan janin diawal kehamilan. Angka
kecukupan gizi (AKG) folat pada pria dan wanita saat masa
prakonsepsi adalah 400 mcg/hari. Asam folat terdapat pada berbagai
bahan makanan, seperti daging, buah-buahan, sayuran terutam
asparagus, kacang-kacangan, wijen, dan serelia (biji-bijian).
l. Zat besi

Zat besi diperlukan tubuh untuk pembentukan hemoglobin


danmioglobin yang dibutuhkan dalam proses metabolisme tubuh.
Kekurangan asupan zat besi dapat menyebabkan anemia dan
gangguan ovulasi pada perempuan. Kebutuhan asupan zat besi
meningkat saat kehamilan. Untuk mencegah kekurangan zat besi saat
kehamilan, simpanan zat besi dapat dikaitkan pada masa prakonsepsi,
angka kecukupan gizi (AKG ) zat besi pada pria sebesar 13-
15mg/hari, sedangkan pada wanita sebesar 26 mg/hari, zat besi dapat
9

diperoleh dari daging, ikan, dan unggas. Bahan makanan tersebut


mengandung zat besi heme yang tinggi. Sumber zat besi non-home
adalah dari nabati, seperti kacang- kacangan, sayuran warna hijau,
dan rumput laut. Ketersediaan zat besi dari bahan makanan nabati
(zat besi non-heme) lebih rendah dibandingkan yang terdapat dalam
zat besi yang berasal dari bahan makanan hewani (zat besi heme).
m. Selenium

Selenium mempunyai peranan yang sangat penting sebagai kekebalan


tubuh dan antioksidan. Suplementasi selenium dan vitamin E
diketahui dapat meningkatkan kualitas sperma. Angka kecukupan gizi
(AKG) selenium pria dan wanita pada masa prakonsepsi adalah
30mcg/hari. Selenium banyak terdapat dalam daging, ikan, telur,
kerang, biji-bijian, dan padi-padian.
n. Seng (Zinc)

Seng berperan penting untuk fungsi kekebalan, antioksida, serta


reproduksi. Angka kecukupan gizi (AKG) seng pada pria saat masa
prakonsepsi adalah 13-17 mg/hari. Sementara itu, pada wanita
kebutuhan seng sebesar 10 mg/hari. Kekurangan seng pada pria
menyebabkan rendahnya kualitas sperma. Seng banyak terdapat
dalam bahan makanan seperti ikan.

B. PENELITIAN TERKAIT MASA PRA KONSEPSI

Menurut badan kependudukan dan keluarga berencana nasional atau


BKKBN (2017) usia pra konsepsi yaitu 21-25 tahun. Hasil penelitian (Hubu,
dkk., 2018) menunjukan bahwa masih ada wanita yang menikah bukan pada
usia yang seharusnya, yaitu sebanyak 10% sampel wanita menikah lebih
muda dari kategori usia ideal dan reproduksi (21-25 tahun) dan 6,7% lebih
tua dari kategori usia ideal dan reproduksi (>35 tahun).
Usia pranikah dapat dikaitkan dengan masa prakonsepsi. “pra” berarti
sebelum, “konsepsi” berarti pertemuan sel ovum dengan sperma atau yang
10

disebut dengan pembuahan. Prakonsepsi merupakan masa sebelum terjadi


pertemuan sel sperma dengan ovum atau pembuahan sebelum hamil. Ada
beberapa persiapan yang harus dilakukan sebelum merencanakan kehamilan.
Dimulai dari masa remaja, yaitu dengan menjaga kesehatan organ reproduksi,
kebutuhan akan gizi seimbang, perilaku hidup sehat, dan lain-lain (Dieny,
dkk., 2019).
Kesehatan prakonsepsi adalah kesehatan baik pada perempuan maupun
laki-laki selama usia reproduktif yakni usia yang masih dapat memiliki
keturunan. Tujuan kesehatan prakonsepsi adalah untuk mencapai ibu dan
anak dalam kondisi sehat. Bhutta dan lassi (2015) menyebutkan proporsi
mortalitas dan mordibitas pada ibu dan bayi secara signifikan dapat dicegah
dengan cara pemberian intervensi gizi sederhana sebelum kehamilan. Alasan
pemberian intervensi gizi tersebut adalah status zat gizi mikro adekuat pada
masa prakonsepsi bagi perempuan sangatlah penting, disamping menjaga
berat badan (status gizi) dalam rentang normal (Anggraeny dan Dian. 2017).
Hasil penelitian (Rahman, dkk., 2013) untuk kelompok umur wanita
prakonsepsi diklarifikasi pada beberapa kelompok umur. Umur 18 tahun
yaitu 11 reponden sebanyak (17,2%) pada umur 19-29 tahun terdapat 47
responden (73,4%) dan kelompok umur yang paling sedikit yaitu umur >30
tahun yaitu responden (9,4%). Untuk pekerjaan, responden yang tidak
bekerja sebanyak 2 responden (3,1%). Pekerjaan yang paling dominan
adalah sebagai ibu rumah tangga 39 (40,9%). Lebih lanjut dalam penelitian
ini juga ditemukan 78,86% wanita prakonsepsi tidak memanfaatkan
posyandu prakonsepsi dan mengalami anemia. Hal ini dapat dipengaruhi oleh
makanan sumber kalori dan makanan sumber zat gizi besi yang dikonsumsi
gampang ditemui dan diakses didaerah pedesaan, hal lain yang ditemukan
dalam penelitian ini adalah 11,49% yang memanfaatkan posyandu
prakonsepsi tetapi mengalami anemia, keadaan dilapangan menunjukan
banyak wanita prakonsepsi yang tidak mengkonsumsi tablet besi yang
diberikan pada saat konseling dikarenakan efek samping yang ditimbulkan
yaitu mual dan muntah.
DAFTAR PUSTAKA

Dieny, D. (2019). Gizi Prakonsepsi. (N. Syamsiah (ed.). Bumi Medika. Doloksaribu, L.
G. dan A. M. S. (2019). Pengaruh Konseling Gizi Prakonsepsi Terhadap
Pengetahuan dan Sikap Wanita Pranikah di Kecamatan Batang Kuis.
Wahana Inovasi, 8(1), 63–73.

Yulizawati, D. (2016). Pengaruh Pendidikan Kesehatan Metode Peer Education


Mengenai Skrining Prakonsepsi Terhadap Pengetahuan dan Sikap Wanita
Usia Subur di Wilayah Kabupaten Agam Tahun 2016. 11–20.

Anggraeny, O. dan A. A. D. (2017). Gizi Prakonsepsi, Kehamilan, dan Menyusui.


UB press.

Hubu, D. (2018). Pengetahuan , Asupan Energy dan Zat Gizi Berhubungan


dengan Kekurangan Energy Kronis Pada Wanita Prakonsepsi. 1(April),
15–23.

Rahman, D. (2013). Asosiasi Pengetahuan dan Sikap Wanita Pra Konsepsi


Tentang Kapsul Gizi Mikro Terhadap Kepatuhan Mengkonsumsi di Kota
Makassar. 1, 1– 9.

Winarsih. (2018). Pengantar Ilmu Gizi Dalam Kebidanan. Pustaka Baru Press.
Wulandari, R. (2018). Manajemen Asuhan Kebidanan Antenatal Pada Ny
“R” dengan Kekurangan Energi Kronis di Puskesmas Jumpandang Baru.

11
12
TINJAUAN TEORI

A. Perencanaan Kehamilan Sehat


1. Pengertian
Perencanaan kehamilan merupakan perencanaan berkeluarga yang optimal
melalui perencanaan kehamilan yang aman, sehat dan diinginkan merupakan salah
satu faktor penting dalam upaya menurunkan angka kematian maternal. Menjaga
jarak kehamilan tidak hanya menyelamatkan ibu dan bayi dari sisi kesehatan,
namun juga memperbaiki kualitas hubungan psikologi keluarga (Mirza, 2008).
Perencanaan kehamilan merupakan hal yang penting untuk dilakukan setiap
pasangan suami istri. Baik itu secara psikolog/mental, fisik dan finansial adalah hal
yang tidak boleh diabaikan (Kurniasih, 2010). Merencanakan kehamilan
merupakan perencanaan kehamilan untuk mempersiapkan kehamilan guna
mendukung terciptanya kehamilan yang sehat dan menghasilkan keturunan yang
berkualitas yang diinginkan oleh keluarga (Nurul, 2013).
2. Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Perencanaan Kehamilan
Menurut Mirza (2008) ada beberapa hal yang perlu dipersiapkan dalam
merencanakan kehamilan, antara lain:
a. Kesiapan aspek psikologis
Apabila memutuskan untuk hamil, sebaiknya mulai menjalani konseling
prakonsepsi. Konseling ini merupakan berisi saran dan anjuran, seperti dengan
cara melakukan pemeriksaan fisik (pemeriksaan umum dan kandungan) dan
laboratorium. Sebab, tujuan dari konseling prakonsepsi ini akan
mempersiapkan calon ibu beserta calon ayah dan untuk menyiapkan kehamilan
yang sehat sehingga bisa menghindari hal-hal yang tidak diinginkan. Dengan
begitu, bisa segera dideteksi bila ada penyakit yang diturnkan secara genetis,
misalnya: diabetes militus, hipertensi, dan sebagainya. Konseling prakonsepsi
dilakukan untuk mencegah cacat bawaan akibat kekurangan zat gizi tertentu
atau terpapar zat berbahaya.
b. Kesiapan fisik
Pengaruh fisik juga sangat mempengaruhi proses kehamilan. Tanpa ada
fisik yang bagus, kehamilan kemungkinan tidak akan terwujud dan bahkan

13
14

kalau kehamilan itu terwujud, kemungkinan fisik yang tidak prima akan
memengaruhi janin. Oleh karena itu ada beberapa hal yang harus dilakukan,
antara lain:
1. Mulai menata pola hidup Selain kondisi tubuh, gaya hidup dan lingkungan
juga memengaruhi keprimaan fisik. Akan lebih baik lagi, bila persiapan
fisik ini dilakukan secara optimal kira-kira 6 bulan menjelang konsepsi.
2. Mencapai berat badan ideal Berat badan sangat besar pengaruhnya pada
kesuburan. Karena berat badan kurang atau berlebihan, keseimbangan
homon dalam tubuh akan ikut-ikutan terganggu. Akibatnya siklus ovulasi
terganggu. Berat badan yang jauh dari ideal juga memicu terjadinya
berbagai gangguan kesehatan.
3. Menjaga pola makan Disiplin membenahi pola makan bukannya tanpa
alasan. Karena, zat-zat gizi akan mengoptimalkan fungsi organ reproduksi,
mempertahankan kondisi kesehatan selama hamil, serta mempersiapkan
cadangan energy bagi tumbuh kembang janin. Caranya sebagai berikut:
1. Mengkonsumsi makanan yang bergizi seimbang. Masukkan
karbohidrat, protein, lemak, vitamin, mineral, dan air dalam menu
makanan sehari-hari secara bervariasi dan dalam jumlah yang pas,
sesuai kebutuhan.
2. Hindari zat pengawet atau atau tambahan pada makanan, karena dapat
menyebabkan kecacatan pada janin dan alergi.
3. Perbanyak makan-makanan yang segar dan tidak terlalu lama diolah,
sehingga kandungan zat-zat gizinya tidak hilang.
4. Olahraga secara teratur
Olahraga memang berkhasiat untuk melancarkan aliran darah.
Peredaran nutrisi dan pasokan oksigen ke seluruh organ tubuhpun jadi
efisien, sebab benar-benar bebas hambatan. Jadi, kondisi seperti ini
dibutuhkan untuk pembentukan sperma dan sel telur yang baik.
Berolahraga secara rutin bisa pula memperbaiki mood karena
meningkatnya produksi hormon endoprin. Tubuh juga jadi sehat dan
bugar. Kalau ini yang terjadi, proses kehamilan, persalinan, serta
kembalinya bentuk tubuh ke keadaan semula jadi lebih mudah. Yang
cocok dilakukan yaitu, olahraga joging, jalan kaki, berenang, bersepeda
dan senam.
15

e. Menghilangkan kebiasaan buruk


Kebiasaan buruk seperti merokok, minum minuman beralkohol,
serta mengkonsumsi kafein (kopi, minuman 12 bersoda), sebaiknya
dihentikan saja. Sebab, zat yang terkandung didalamnya bisa
memengaruhi kesuburan. Akibatnya, peluang terjadinya pembuahan
makin kecil. Sering stress juga bukan kebiasaan yang baik. Apalagi,
kalau sibuk kerja dan lupa istirahat.
f. Bebas dari penyakit
Bila mengidap penyakit tertentu, seperti cacar, herpes, campak
jerman, atau penyakit berbahaya lain, sebaiknya periksakan diri ke
dokter. Sebab, penyakit tersebut bisa membahayakan diri dan janin.
g. Stop pakai kontrasepsi
Apabila memutuskan untuk hamil, hentikan penggunaan
kotrasepsi. Apabila belum berkeinginan untuk hamil maka harus
memakai kontrasepsi. Misalnya, pil, obat suntik, serta susuk KB
mengandung hormone yang brtugas terjadinya ovulasi.
h. Meminimalkan bahaya lingkungan
Lingkungan, termasuk lingkungan kerja, bisa juga berdampak
buruk sebelum hamil. Misalnya, gangguan hormonal atau gagguan pada
pembentukan sel telur. Lingkungan yang sarat mikroorganisme (jamur,
bakteri, dan virus), bahan kimia beracun (timah hitam 13 dan pestisida),
radiasi (sinar X, sinar ultraviolet, monitor komputer, dan lainnya), dan
banyak lagi.
c. Kesiapan Finansial
Persiapan finansial bagi ibu yang akan merencanakan kehamilan
merupakan suatu kebutuhan yang mutlak yang harus disiapkan, dimana
kesiapan finansial atau yang berkaitan dengan penghasilan atau keuangan yang
dimiliki untuk mencukupi kebutuhan selama kehamilan berlangsung sampai
persalinan (Kurniasih, 2010).
Ada beberapa hal yang berkaitan dengan kesiapan finansial, diantaranya:
1. Sumber keuangan Memiliki anak memang tidak murah. Makanya, perlu
merancang keuangan keluarga sejak jauh-jauh hari. Disadari atau tidak,
anak ternyata membutuhkan alokasi dana yang cukup besar.
16

2. Dana yang wajib ada Inilah beberapa dana yang wajib disiapkan sebagai
calon orang tua, yaitu:
a. Saat hamil Yaitu biaya memeriksakan kehamilan, pemeriksaan
penunjang (laboratorium, USG, dan sebagainya), serta mengatasi
penyakit (bila ada).
b. Saat bersalin Meliputi biaya melahirkan (secara normal atau operasi
caesar), “menginap” di rumah sakit pilihan, obatobatan, serta biaya
penolong persalinan.
c. Setelah bayi lahir Prioritas keuangan keluarga jadi berubah dan perlu
memperhitungkan masa depan anak.
d. Persiapan Pengetahuan
Dalam merencanakan kehamilan yang sehat dan aman, maka setiap
pasangan suami istri harus mengetahui hal-hal yang berpengaruh dalam
perencanaan kehamilan atau dalam kehamilan. Diantaranya:
1. Masa subur Masa subur adalah masa dimana tersedia sel telur yang siap
untuk dibuahi. Masa subur berkaitan erat dengan menstruasi dan siklus
menstruasi. Adanya hasrat antara suami dan istri adalah sesuatu yang wajar,
penyaluran hasrat tersebut akan memulai hasil yang baik jika pertemuan
antara suami dan istri diatur waktunya.
2. Kecenderungan memilih jenis kelamin anak Setiap pasangan yang menikah
pastilah mendambakan anak di tengah kehidupan keluarganya. Bagi yang
telah mempunyai anak berjenis kelamin tertentu, pastilah menginginkan
anak dengan jenis kelamin yang belum mereka miliki, sehingga lengkap
yaitu laki-laki dan perempuan (Nurul, 2013).
e. Kesiapan aspek usia
Pada usia dibawah 20 atau diatas 35 tahun merupakan salah satu faktor
yang mempengaruhi perencanaan kehamilan, karena pada usia tersebut apabila
terjadi kehamilan maka akan beresiko mengalami tekanan darah tinggi, kejang-
kejang, perdarahan bahkan kematian pada ibu atau bayinya, dan beresiko
terkena kanker serviks.
OBESITAS

1. Definisi
Obesitas merupakan suatu keadaan yang menunjukan ketidakseimbangan
antara tinggi badan dan berat badan akibat jaringan lemak yang berlebihan dari
dalam tubuh sehingga terjadi berat badan yang berlebih atau obesitas (Pellonperä et
al., 2018). Kelebihan berat badan atau obesitas, umunya dialami pada wanita hamil
di usia berapapun. Namun, obesitas akan meningkat setelah usia 35 tahun (Freitag,
2014). Kenaikan berat badan normal saat kehamilan berkisaran 12-16 kg, jika
kenaikan yang terjadi lebih dari itu berati ibu beresiko mengalami kegemukan atau
obesitas. Ibu hamil yang obesitas akan membawa resiko penyakit yang lain seperti
hipertensi dalam kehamilan, diabetes gastasional dan preeklamsia (Yao, 2014).
Ibu hamil yang obesitas juga lebih banyak disarankan untuk menjalani
persalinan dengan operasi caesar. Alasannya adalah kegemukan akan membuat ibu
sulit bersalin secara alami dan berisiko komplikasi jika tetap melahirkan secara
alami tak hanya itu, bayipun akan ikut terpengaruh oleh berat badan ibu yang
berlebihan (Freitag, 2014).
Penentuan obesitas menggunakan LILA (Lingkar Lengan Atas) lebih sering
digunakan dibandingkan dengan metode lain seperti pengukuran lingkar pinggang,
penghitungan rasio waist-to-hip circumferrencia, termasuk juga dengan
menggunakan alat- 10 alat seperti USG (Ultrasonografi), CT-scan (Computed
Tomography Scanning) dan MRI (Magnetic Resonance Imaging) (Davies et al,
2010).
Manusia memiliki kemampuan untuk menyimpan cadangan energi yang
sangat penting apabila diperlukan secara mendadak untuk mempertahankan hidup.
Lemak disimpan sebagai cadangan energi dijaringan adipose dalam bentuk
trigliserida (lemak dalam aliran darah) dan jika dibutuhkan akan dilepaskan dalam
bentuk asam lemak bebas dan digunakan diseluruh tubuh yang memerlukan
sehingga menusia dapat bertahan pada keadaan kelaparan dalam waktu tertentu,
disisi lain adanya cadangan lemak yang berlebihan akan memberikan dampak yang
buruk bagi kesehatan (Davies et al., 2010).

17
18

2. Epidemiologi
Ibu hamil dengan obesitas mencapai 28% dari keseluruhan kehamilan dengan
8% dikatagorikan sebagai “Extremely obese” dan jumlah penderita mengalami
peningkatan setiap tahunnya. Keadaan ini menunjukan suatu kondisi yang sangat
serius mengingat komplikasi yang ditimbulkan baik terhadap ibu yang dapat
ditimbulkan pada kehidupan selanjutnya serta secara ekonomi akan membutuhkan
biaya yang lebih banyak (Gunatilake, 2011).
Pada tahun 2018 di Indonesia data menunjukan bahwa prevelensi obesitas
pada penduduk usia > 18 tahun sebesar 21,8 %. Data obesitas tiap provinsi
digambarkan pada grafik dibawah ini : 11 Gambar 2.1 Prevelensi status gizi
obesitas penduduk dewasa. Sumber : (Riskesdas, 2018). Obesitas pada perempuan
usia > 18 tahun di indonesia pada tahun 2018 sebesar 21,8%, meningkat 4,3% dari
tahun 2007 (10,5%) dan 7% dari tahun 2013 (14,8%) dimana prevelensi terendah
di nusa tenggara timur 10,3% dan prevelensi tertinggi di sulawesi utara 30,2%
(Riskesdas, 2018).
3. Penyebab obesitas pada ibu hamil
Obesitas dapat disebabkan oleh peningkatan masukan energi, penurunan
dalam mengeluarkan energi atau kombinasi keduanya. Obesitas pada ibu hamil
disebabkan oleh banyak faktor antara lain usia ibu saat hamil, paritas, riwayat
keluarga, pendidikan, status sosial ekonimi dan faktor pola makan. Faktor yang
menyebabkan obesitas pada ibu hamil (Gunatilake, 2011) :
a. Riwayat keluarga
Keturunan adalah salah satu penyebab komponen terbesar yang bisa memicu
obesitas. Hal ini dikarenakan pada saat ibu hamil maka unsur sel lemak yang ada
didalam tubuh yang berjumlah besar dan melebihi batas normal secara otomatis
akan diturunkan pada keluarga. Selain itu riwayat keluarga seperti gaya hidup dan
kebiasaan mengkonsumsi makanan tertentu dapat mendorong terjadinya obesitas.
Penelitian menunjukan bahwa rata-rata riwayat keluarga memberikan pengaruh
sebesar 33% terhadap berat badan. Ibu hamil dengan keturunan obesitas tersebut
juga biasanya membutuhkan waktu lebih lama untuk merasa kenyang (Jeffrey,
2013).
b. Pola makan
Ibu yang sedang hamil membutuhkan banyak sekali makan yang
mengandung nutrisi. Namun, bukan berati ibu hamil boleh memakan apa saja,
19

beberapa harus harus diperhatikan seperti pola makan secara teratur saat
kehamilan, menjaga nutrisi agar seimbang selama kehamilan. Ibu hamil dengan
obesitas akan makan jika ia merasa ingin makan, bukan karena kebutuhan
akibat lapar. Asupan energi yang berlebih dengan kandungan lemak dan
karbohidrat yang tinggi secara terus menerus tanpa di imbangin dengan
aktivitas fisik yang tepat dapat menyebabkan ibu hamil obesitas. Pola makan
abnormal yang dapat menjadi penyebab ibu hamil obesitas yaitu makanan
dalam jumlah sangat banyak tanpa memperhatikan pola makan yang benar
(Irene, 2009).
c. Aktivitas fisik
Pada dasarnya tingkat pengeluran kalori tubuh dipengaruhi oleh 2 faktor
yaitu aktivitas olahraga secara umum dan angka metabolisme basal atau tingkat
energi yang dipertahankan untuk memelihara fungsi minimal tubuh. Ibu hamil
dengan olahraga yang teratur maka pengeluaran kalori tubuhnya juga teratur,
sehingga tanpa adanya kelebihan kalori yang apabila tersimpan dalam tubuh
akan menyebabkan obesitas. Kurang aktivitas fisik kemungkinan merupakan
salah satu penyebab utama dari meningkatnya angka kejadian obesitas pada ibu
hamil. Ibu hamil yang tidak aktif memerlukan lebih sedikit kalori, jika ibu
hamil sering mengkonsumsi makanan kaya lemak dan tidak melakukan
aktivitas fisik yang seimbang selama kehamilan akan mengalami obesitas saat
kehamilan (Irene, 2009).
Berat badan yang berlebihan dapat meningkatkan resiko terserang
penyakit tidak menular diantaranya (Guyton, 2014) :
1. Penyakit kardiovaskular (terutama penyakit jantung dan stroke), yang
merupakan penyebab utama kematian di dunia pada tahun 2012.
2. Diabetes millitus.
3. Kelainan muskuloskeleteal (sendi, otot, saraf dan tulang belakang).
4. Kanker (payudara dan kolon).
4. Patofisiologi
Obesitas terjadi akibat ketidakseimbangan masukan dan keluaran kalori dari
tubuh serta penurunan aktivitas fisik (sedentary life style) yang menyebabkan
penumpukan lemak yang melebihi batas normal. Penelitian yang dilakukan bahwa
mengontrol nafsu makan dan tingkat kekenyangan sesorang diatur oleh mekanisme
saraf dan humoral yang dipengaruhi oleh pola makan, genetik, lingkungan dan
20

aktivitas. Pengaturan keseimbangan energi diperankan oleh hipotalamus melalui 3


proses fisiologis yaitu mengendalikan rasa lapar dan kenyang, mempengaruhi laju
pengeluaran energi dan regulasi sekresi hormon. Proses dalam pengaturan
penyimpanan energi ini terjadi melalui sinyal-sinyal eferen (yang berpusat di
hipotalamus) setelah mendapatkan sinyal aferen (sinyal sensorik) dan perifer
(jaringan adiposa, usus dan jaringan otot) (Lynch et al, 2012).
Sinyal-sinyal tersebut bersifat anabolik (meningkatkan rasa lapar serta
menurunkan pengeluaran energi) dan dapat pula bersifat katabolik (anoreksia,
meningkatnya pengeluaran energi) dan dibagi menjadi 2 katagori yaitu sinyal
pendek dan sinyal panjang. Sinyal pendek mempengaruhi porsi makan dan waktu
makan, serta berhubungan dengan faktor distensi lambung dan peptida
gastrointestinal yang diperankan oleh kolesistokinin (hormon menyebabkan
kontraksi kadung empedu) sebagai stimulator dalam peningkatan rasa lapar. Sinyal
panjang diperankan oleh hormon leptin (hormon untuk metabolisme) dan insulin
yang mengatur penyimpanan dan keseimbangan energi (Jeffrey, 2013).
Asupan energi melebihi dari yang dibutuhkan, maka jaringan adiposa
meningkat disertai dengan peningkatan kadar leptin dalam peredaran darah. Leptin
merangsang anorexigenic center di hipotalamus agar menurunkan produksi Neuro
Peptida Y (NPY) sehingga terjadi penurunan nafsu makan. Demikian pula
sebaliknya bila kebutuhan energi lebih besar dari asupan energi, maka jaringan
adiposa berkurang dan terjadi rangsangan pada anorexigenic center di hipotalamus
yang menyebabkan peningkatan nafsu makan. Pada sebagian besar penderita
obesitas terjadi resistensi leptin sehingga tingginya kadar leptin tidak menyebabkan
penurunan nafsu makan (Jeffrey, 2013).
5. Manifestasi klinis
Obesitas dapat terjadi pada semua golongan umur dan berat badan meningkat
dengan pesat. Berikut bentuk tubuh, penampilan dan raut muka pada penderita
obesitas (Guyton, 2014) :
a. Paha tampak membesar, terutama pada bagian proximal, tangan relatif kecil
dengan jari-jari berbentuk runcing.
b. Kelainan emosi raut muka, hidung dan mulut relatif tampak kecil dengan dagu
berbentuk ganda, wajah bulat dengan pipi tembem.
c. Lengan atas membesar, pada pembesaran lengan atas ditemuka pada bisep dan
trisep.
21

d. Leher relatif pendek.


e. Dada membusung dengan payudara membesar.
f. Perut membuncit (pendulous abdomen) dan striae abdomen.
g. Pubertas ginigenu valgum (tungkai berbentuk X) dengan kedua pangkal paha
bagian dalam saling menempel dan bergesekan yang dapat menyebabkan
laserasi kulit.
Pada penderita obesitas sering ditemukan gejala gangguan emosi yang
mungkin merupakan penyebab atau keadaan dari obesitas. Penimbunan lemak yang
berlebihan dibawah diafragma dan di dalam dinding dada bisa menekan paru-paru
sehingga menimbulkan gangguan pernafasan dan sesak nafas, meskipun penderita
penderita hanya melakukan aktivitas yang ringan. Gangguan pernafasan bisa terjadi
saat tidur dan menyebabkan terhentinya pernafasan untuk semetara waktu (apnue),
sehingga pada siang hari penderita merasa ngantuk (Guyton, 2014).
6. Komplikasi obesitas pada ibu hamil
Ibu hamil dengan obesitas akan memerlukan perawatan yang lebih
dibandingkan ibu hamil dengan berat badan normal, obesitas beresiko tinggi
kehilangan darah yang lebih banyak, komplikasi dari tindakan anastesi, kesulitan
dari teknik operasi dan komplikasi berkaitan dengan penyembuhan luka
(Gunatilake, 2011). Komplikasi obesitas pada ibu hamil sebagai berikut :
a. Komplikasi perinatal dan postpartum
Obesitas meningkatkan resiko terjadinya pendarahan dan infeksi postpartum,
termasuk kegagalan dalam proses laktasi (menyusui), hal tersebut
memungkinkan disebabkan oleh respon prolaktin pada wanita dengan obesitas
sehingga akan meningkatkan pengguna susu formula yang mana cendrung
menimbulkan obesitas pada bayi tersebut (Sen et al., 2013). Beberapa literatur
menunjukan bukti bahwa kontraksi uterus pada wanita obesitas terganggu.
Pada obesitas terjadi gangguan proliferasi limfosit (imun tubuh) sehingga
meningkatnya resiko terjadinya infeksi luka jahit pasca persalinan, infeksi
saluran kemih, serta penggunaan antibiotik yang lebih lama dibandingkan
dengan wanita berat badan normal (Sen et al., 2013).
b. Preeklamsia
Preeklamsia merupakan pembengkakan pada ektermitas seperti kaki dan
terjadinya penimbunan cairan tubuh. Akibatnya aliran darah ke janin terhambat
dan dapat berakibat fatal. Obesitas akan meingkat resiko terjadinya
22

preeklamsia pada ibu hamil. Sebagian besar wanita yang mengalami obesitas
dua sampai tiga kali lebih mungkin untuk mengalami preeklamsia
dibandingkan wanita dengan berat badan normal (Puspitasari, Setyabudi,
2013).
c. Diabetes gastasional
Diabetes gastasional merupakan jenis diebetes yang hanya terjadi saat
seseorang wanita hamil. Penyakit ini timbul ketika kadar glukosa tinggi dan
meningkatkan resiko ibu mengalami preeklamsia. Jika wanita memiliki berat
badan berlebihan atau mengalami obesitas sebelum kehamilan, maka resiko
terjadinya diebetes gestasional akan meningkat drastis (Roberts et al., 2011).
d. Operasi caesar
Operasi caesar merupakan proses persalinan dengan melalui pembedahan
dimana irisan dilakukan di perut ibu dan rahim untuk mengeluarkan bayi.
Memiliki berat badan berlebihan atau obesitas akan membuat persalinan
normal menjadi lebih sulit atau bahkan tidak dapat dilakukan. Operasi caesar
sebagai satu-satunya pilihan bersalin. Sebab ibu hamil dengan berat badan 95
kg akan sulit bersalin secara normal dan banyak komplikasi yang akan terjadi
(Guyton, 2014).
Komplikasi yang terjadi pada bayi dari ibu yang mengalami obesitas :
1. Kelainan kongenital
Kelainan kongenital merupakan kelainan dalam struktur bayi yang
timbul sejak awal kelahiran atau kelainan bawaan. Beberapa penelitian
menunjukan peningkatan risiko kelainan kongenital sehubungan dengan
obesitas pada ibu. Kelainan tersebut antara lain Defek Tabung Saraf
(DTS), defek jantung, abnormalitas saluran cerna, dan kelainan kongenital
lainnya pada sistem saraf pusat (Stotland, 2014). Terjadinya kelainan
kongenital tersebut belum sepenuhnnya dipahami patofisiologi,
diperkirakan sehubung dengan kadar hiperglekemia yang memicu radikal
bebas sehingga agen vasokontriktor seperti tromboksan meningkat
dibandingkan dengan agen vasodilator seperti proktasiklin yang menurun
akibat aliran darah terganggu termasuk disini adalah berkurangnya asupan
nutrisi (Stotland et al., 2014).
23

2. Makrosomia atau kelebihan berat badan


Wanita dengan obesitas, diabetes gastasional beresiko untuk
melahirkan bayi dengan makrosomia yaitu bayi dengan berat badan 90
persentil Large for Gastasional Age (LGA) atau 4,5 kg. Dalam penelitian
menunjukan dari 100 bayi yang lahir dengan LGA, 11 diantaranya berasal
dari ibu yang mengalami obesitas sedangkan 4 lahir dari ibu dengan
pregestasional diabetes, hal tersebut menunjukan bahwa prevelensi bayi
dengan LGA lebih sering pada wanita yang mengalami obesitas
dibandingkan dengan wanita dengan pregestasional diabetes (Stotland et
al., 2014).
3. Prematuritas
Prematuritas merupakan suatu keadaan yang belum matang, yang
ditemukan pada bayi yang lahir sebelum usia kehamilan mencapai 37
minggu. Prematuritas disebabkan oleh penyakit yang diderita oleh ibu
yang mana resiko kejadiannya meningkat apabila ibu mengalami obesitas
(Yao et al., 2014).
4. Antepartum stillbirth
Antepartum stillbirth merupakan saat bayi dilahirkan dalam keadaan
tidak bernyawa, setelah 20 minggu kehamilan. Kematian bayi sebelum 20
minggu kehamilan disebut keguguran. Peningkatan berat badan sebelum
kehamilan berhubungan dengan kejadian stillbirth, berhubungan dengan
penyakit yang ditimbulkan oleh obesitas seperti diabetes mellitus dan
hipertensi. Penyebab lainnya kelainan metabolisme ibu seperti
hiperlipidemia sehingga terjadinya radang pada plasenta berakibat
menurunnya aliran darah ke plasenta (Huda, 2010). Resiko terjadinya
stillbirth pada ibu hamil dengan oebsitas 2-5 kali lebih tinggi
dibandingkan dengan ibu dengan berat badan normal dan resikonya
meningkat seiring dengan pertambahan usia kehamilan. Obesitas pada
kelas III resiko terjadinya stillbirth 1,5 lebih tinggi dibandingkan dengan
obesitas kelas I dan II (Yao et al., 2014).
5. Kejadian obesitas
Ibu hamil dengan janin overnutrisi berpotensi untuk tumbuh menjadi
oebsitas. Bayi yang dilahirkan dari ibu yang mengalami obesitas memilili
24

masa lemak lebih banyak dibandingkan dengan bayi lahir dari ibu dengan
berat badan normal (Philippe, et all, 2013).
Penting untuk diperhatikan bahwa bayi yang terlahir dari ibu obesitas
2 kali beresiko untuk menjadi obesitas pada usia 24 bulan dan anak-anak
dengan berat badan yang lebih dari normal cendrung untuk mengalami
berat badan lebih pada usia 12 tahun (Desai et al., 2014). Pada penelitian
di Amerika Serikat mengungkapkan bahwa tiap peningkatan 1 kg berat
badan bayi baru lahir meingkatkan cendrung sebesar 5% untuk terjadinya
obesitas pada saat remaja. Selain itu juga dari penelitian tersebut
menyatakan bahwa bayi yang lahir dengan berat badan lebih sangat
dipengaruhi oleh status berat badan ibu saat sebelum kehamil maupun
selama kehamilan (Paliy et al., 2014).
7. Pencegahan obesitas pada ibu hamil
a. Pengaturan nutrisi dan pola makan
Pengaturan nutrisi dan pola makan pada individu dengan obesitas tidak sekedar
menurunkan berat badan, namun juga mempertahankan berat badan agar tetap
stabil dan mencegah peningkatan kembalinya berat badan yang telah
didapatkan. Kurangi makan yang berlemak, terutama lemak jenuh karena lemak
jenuh akan mempermudahkan terjadinya gumpalan lemak yang menempel pada
dinding pembuluh darah. Konsumsilah sedikit lemak (30% dari jumlah
keseluruhan kalori yang dikonsumsi) dan kurangin konsumsi karbohidrat yang
berlebihan agar berat badan dalam batas normal (Sulistiyoningsih, 2011).
b. Perbanyak aktivitas
Olahraga dan aktivitas fisik memberikan manfaat yang sangat besar dalam
penatalaksanaan overweight dan obesitas. Olahraga akan memberikan
serangkaian perubahan baik fisik maupun psikologis yang sangat bermanfaat
dalam mengendalikan berat badan. Olahraga diperlukan untuk membakar kalori
dan membuang lemak (Miyata, 2010).
c. Modifikasi pola hidup dan perilaku
Perubahan pola hidup dan perilaku diperlukan untuk mengatur atau
memodifikasi pola makan dan aktivitas fisik pada individu dengan overweight
dan obesitas. Hindarilah atau upaya untuk menurunkan kadar kolestrol darah
dan tekanan darah dengan menjaga pola makan. Memodifikasi kebiasaan dalam
gaya hidup jangan hanya mengendalikan nasihat personal semata tetapi harus
25

pula menangani komponen lingkungan fisik, ekonomi dan sosial.


Mengkonsumsi makanan dalam jumlah sedang dan mengandung nutrisi, rendah
lemak dan rendah kalori (Dewi, 2013).

Gambar 2.1
Mind Mapping Obesitas
26

KONTRASEPSI SUNTIK DMPA

1. Pengertian
d. Kontrasepsi Suntikan DMPA yaitu suntikan kontrasepsi diberikan setiap 3
bulan sekali (Purwoastuti, 2015: 203).
d. Kontrasepsi Suntikan DMPA yaitu KB suntik yang berisi hormon progesteron
saja. Jenis kontrasepsi ini sangat efektif, aman dan dapat dipakai oleh semua
wanita usia reproduksi. Kontrasepsi ini juga cocok untuk ibu menyusui karena
tidak menekan produksi ASI. Akan tetapi kembalinya kesuburan cukup lama
yaitu rata-rata 4 bulan (Yuhedi, LT dan Kurniawati, T, 2015:80).
d. Kontrasepsi Suntikan DMPA mengandung 150 mg Depo Medroksiprogesteron
Asetat yang diberikan setiap 3 bulan dengan cara disuntik intramuscular (di
daerah bokong) (Koesno, 2016:MK-43).)
2. Patofisiologi Suntikan DMPA Membuat Tidak Subur
a. Mencegah ovulasi.
b. Mengentalkan lender serviks sehingga menurunkan kemampuan penetrasi
sperma.
c. Menjadikan selaput lender rahim tipis dan atrofi.
d. Menghambat transfortasi gamet oleh tuba (Koesno, 2016: MK-43).
3. Indikasi dan Kontra-indikasi Suntikan DMPA
a. Indikasi
1. Usia reproduksi, yaitu wanita dengan keadaan organ reproduksi yang
berfungsi dengan baik antara umur 20-45 tahun.
2. Nulipara (belum pernah melahirkan janin yang mampu hidup di luar
rahim)dan yang telah memiliki anak.
3. Menghendaki kontrasepsi jangka panjang dan yang memiliki efektifitas
tinggi.
4. Menyusui dan membutuhkan kontrasepsi yang sesuai.
5. Setelah melahirkan dan tidak menyusui.
6. Setelah abortus atau keguguran.
7. Telah banyak anak, tetapi belum menghendaki tubektomi.
27

8. Tekanan darah < 180/100 mmHg, dengan masalah gangguan pembekuan


darah atau anemia bulan sabit.
9. Tidak dapat memakai kontrasepsi yang mengandung astrogen.
10. Sering lupa menggunakan pil kontrasepsi.
11. Anemia defisiensi besi yaitu berkurangnya penyediaan besi untuk
eritropoesis, karena cadangan besi kosong yang mengakibatkan
pembentukan hemoglobin berkurang (Koesno, 2016: MK-45).
b. Kontra-indikasi
1. Hamil atau dicurigai hamil (risiko cacat pada janin 7 per 100.000
kelahiran).
2. Perdarahan pervaginam yang belum jelas penyebabnya.
3. Tidak dapat menerima gangguan haid terutama amenorhea.
4. Menderita kanker payudara atau riwayat kanker payudara.
5. Diabetes mellitus (tingginya kadar glukosa darah) disertai komplikasi
(Koesno, 2016:MK-45).
c. Cara Penggunaan
DMPA disuntikkan intra muskular setiap 12 minggu. Dengan kelonggaran
batas waktu suntik, bisa diberikan kurang dari 1 minggu atau lebih 1 minggu
dari patokan 12 minggu (Suratun, dkk, 2017:69).
4. Kelebihan dan Kekurangan suntikan DMPA
a. Kelebihan
1. Sangat efektif.
2. Pencegahan kehamilan jangka panjang.
3. Tidak berpengaruh pada hubungan suami-istri.
4. Tidak memiliki pengaruh terhadap ASI(Koesno, 2016:MK-44).
b. Kekurangan
1. Sering ditemukan gangguan haid seperti: siklus haid memendek atau
memanjang, perdarahan yang banyak atau sedikit, perdarahan tidak teratur
atau perdarahan bercak (spotting), tidak haid sama sekali.
2. Klien sangat bergantung pada tempat sarana pelayanan kesehatan (harus
kembali untuk suntikan).
3. Tidak dapat dihentikan sewaktu-waktu sebelum suntikan berikut.
4. Permasalahan berat badan merupakan efek samping tersering.
28

5. Tidak menjamin terhadap penularan infeksi menular seksual, hepatitis B


virus atau infeksi virus HIV.
6. Terlambatnya kembali kesuburan setelah penghentian pemakaian (bukan
karena kerusakan/kelainan pada organ genetalia, melainkan karena belum
habisnya pelepasan obat suntikan dari deponya (Koesno, 2016: MK-44).
5. Efek Samping Suntikan DMPA
Gangguan haid
1. Amenorhea, adalah tidak datangnya haid selama akseptor mengikuti KB selama
3 bulan berturut-turut atau lebih (Suratun, dkk, 2017: 72).
Gangguan tidak haid (Amenore) selama menggunakan KB Hormon
(suntik) adalah wajar karena itu pengaruh dari KB Hormonal tersebut. Obat KB
ini berfungsi menekan hormon reproduksi wanita, yaitu estrogen dan
progesteron (Suratun, dkk, 2017: 74).
Walaupun suntikan hormonal dihentikan terkadang tidak langsung
berdampak (langsung bisa haid) karena akumulasi obat tadi yang tersimpan
dalam lemak tubuh yang butuh waktu untuk terurai.
Walaupun telah berhenti ber-KB hormon biasanya butuh waktu tubuh
untuk menguraikan obat yang terakumulasi dan biasanya membutuhkan 6 bulan
lebih.
1. Cara KB yang dipilih tentu berpengaruh terhadap status kesuburan
karena KB berfungsi untuk mencegah ovulasi. Namun hal ini akan
normal kembali saat KB dihentikan.
2. Prinsip obat yang digunakan untuk menyuburkan kembali adalah
memicu ovulasi sel telur dan memicu timbulnya haid.
Konsumsi vitamin oleh suami, tergantung pada kondisi suami terutama
kondisi spermanya.
3. Masa subur pada tiap orang berbeda-beda tergantung dari panjangnya
siklus haid. Sebaiknya berkonsultasi dengan dokter kandungan.
2. Spotting, adalah bercak-bercak perdarahan di luar haid yang terjadi selama
akseptor mengkitui KB suntik.Suntikan DMPA pada umumnya menyebabkan
ketidak seimbangan hormonyaitu hormon progesteron meningkat sedangkan
estrogen menurun, menurunnya estrogen mengakibatkan terhambatnya
pertumbuhan folikel dan menghambat penebalan dinding endometrium
29

sehingga menimbulkan perdarahan bercak dengan durasi yang bervariasi


(Suratun, dkk, 2017: 72).
3. Metrorhagie, adalah perdarahan yang berlebihan diluar siklus haid.
Perdarahan ini terjadi karena rendahnya kadar hormon estrogen sementara
hormon progesteron tetap terbentuk. karena persistensi folikel yang tidak
pecah sehingga tidak terjadi ovulasi pada siklus haid dan pembentukan
corpus luteum. Dalam situasi tertentu terjadilah hiperplasia
endometriumatau endometrium yang terus menebal sehingga terjadi
perdarahan yang berlebihan diluar siklus haid. Pada umumnya akseptor KB
suntikan depo progestin akan mengalami hal ini pada awal pemakaian, hal
tersebut merupakan mekanisme penyesuaian diri terhadap hormone
(Suratun, dkk, 2017: 72).
1. Menometorhagie, adalah datangnya darah haid yang berlebihan jumlahnya
tetapi masih dalam siklus haid. Menometorhagie terjadi akibat ketidak
seimbangan hormon. Pada umumnya akseptor KB suntikan DMPA akan
mengalami hal ini pada awal pemakaian, hal tersebut merupakan
mekanisme penyesuaian diri terhadap hormon (Suratun, dkk, 2017: 72).
h. Perubahan berat badan (Suratun, dkk, 2017:75).
Penggunaaan alat kontrasepsi hormonal dapat menimbulkan berbagai efek
samping yang salah satu di antaranya adalah perubahan berat badan akseptor.
Hal ini disebabkan oleh hormon progesteron yang mempermudah terjadinya
perubahan karbohidrat dan gula menjadi lemak, sehingga lemak di bawah
jaringan kulit bertambah. Penambahan berat badan merupakan salah satu efek
samping yang sering dikeluhkan oleh akseptor kontrasepsi hormonal terutama
kontrasepsi hormonal suntik KB DMPA (Sari, 2015: 68).
Kelebihan zat-zat gizi oleh hormon progesteron dirubah menjadi lemak
dan disimpan di bawah kulit. Perubahan berat badan ini akibat adanya
penumpukan lemak yang berlebih hasil sintesa dari karbohidrat menjadi lemak
(Rahmawati, 2018: 2).
Beberapa studi penelitian didapatkan peningkatan berat badan akibat
penggunaan kontrasepsi DMPA berkaitan dengan peningkatan lemak tubuh dan
adanya hubungan dengan regulasi nafsu makan. Salah satu studi menemukan
peningkatan nafsu makan yang dilaporkan sendiri oleh wanita yang
menggunakan kontrasepsi DMPA setelah 6 bulan. Hal ini dapat dihubungkan
30

dengan kandungan pada DMPA yaitu hormon progesteron, ya ng dapat


merangsang pusat pengendalian nafsu makan di hipotalamus sehingga
menyebabkan terjadinya peningkatan nafsu makan (Sari, 2015: 68).
Bagan 2.1
Pathway Amenore Riwayat Kontrasepsi Suntik

Gambar 2.2
Mind Mapping DMPA
31

DAFTAR PUSTAKA

Anon, 2017. Proceeding of the National Academy of Sciencees [Diakses 11 Januari 2021].

Profil kesehatan indonesia. (2018). Provil Kesehatan Indonesia 2018 (Vol. 1227, Issue July).
https://doi.org/10.1002/qj

Rini, S. dan F. Kumala. 2016. Panduan Asuhan Nifas dan Evidence Based Pratice.
Yogyakarta : Deepublish

Suherni, & Widyastuti, Y. (2015). Pengaruh Kelas Pranikah Terhadap Tingkat Pengetahuan
Tentang Perencanaan Kehamilan Pada Calon Pengantin Perempuan Di Ic{Bupaten
Sleman, Tahun 2014. Semlnar Kesehatan IllowuJudkan Yogyakarta Sebagal Kota
Lnduetrl Rlset, 231–239.

Varney, H. Buku Ajar Asuhan Kebidanan. 2007. Jakarta : EGC.


32

TINJAUAN TEORI

I. Infertilitas
A. Pengertian Infertilitas
Menurut World Health Organization (WHO), infertilitas adalah gangguan
sistem reproduksi yang menyebabkan kegagalan untuk mencapai kehamilan klinis
setelah 12 bulan atau lebih berhubungan intim secara teratur tanpa menggunakan
kontrasepsi (Munir, 2019). Infertilitas merupakan ketidakmampuan pasangan suami
istri untuk mempunyai keturunan dimana wanita belum mengalami kehamilan
setelah berhubungan intim 2-3 kali dalam seminggu tanpa menggunakan alat
kontrasepsi selama 1 tahun. Pada perempuan berumur kurang dari 34 tahun yang
tidak hamil setelah 12 bulan setelah melakukan hubungan intim secara rutin (1-3 kali
seminggu) dan tidak menggunakan kontrasepsi. Pada perempuan berumur lebih dari
35 tahun yang tidak hamil setelah 6 bulan setelah melakukan hubungan intim secara
rutin (1-3 kali seminggu) dan tidak menggunakan kontrasepsi (Fatmawati, 2019).
Infertilitas merupakan kegagalan pasangan suami istri untuk bisa hamil
setelah melakukan hubungan seksual, tanpa kontrasepsi, selama satu tahun.
Ketidaksuburan (infertil) merupakan suatu kondisi dimana pasangan suami istri
belum mampu mempunyai anak meskipun sudah melakukan hubungan intim
sebanyak 2-3 kali seminggu selama satu tahun tanpa memakai alat kontrasepsi
apapun (Dewi A, 2015).
Berdasarkan pengertian infertilitas dari berbagai ahli di atas dapat
disimpulkan infertilitas adalah kegagalan pasangan suami istri untuk mencapai
kehamilan setelah melakukan hubungan seksual tanpa kontrasepsi selama satu tahun.

B. Jenis Infertilitas
Menurut pembagiannya, infertilitas dapat diklasifikasikan sebagai
infertilitas primer dan infertilitas sekunder.
1. Infertilitas Primer
Infertilitas primer ialah kegagalan suatu pasangan untuk mendapatkan
kehamilan sekurang-kurangnya dalam 12 bulan berhubungan seksual secara
teratur tanpa kontrasepsi. Infertilitas primer merupakan suatu kondisi dimana
33

pasangan belum pernah sama sekali mengalami kehamilan (Kamath dan


Bhattcharya, 2012)
2. Infertilitas Sekunder
Infertilitas sekunder yaitu kondisi dimana pasangan pernah mengalami
kehamilan dan kelahiran, namun setelah itu pasangan sulit untuk dapat hamil lagi
(Fatmawati, 2019).

C. Etiologi Infertilitas
1. Etiologi Infertilitas Pada wanita
Penyebab infertilitas pada wanita sebagai berikut:
1) Hormonal
Gangguan glandula pituitaria, thyroidea, adrenalis atau ovarium yang
menyebabkan kegagalan ovulasi, kegagalan endometrium uterus untuk
berproliferasi sekresi, sekresi vagina dan cervix yang tidak menguntungkan
bagi sperma, kegagalan gerakan (motilitas) tuba falopii yang menghalangi
spermatozoa mencapai uterus.
Infertilitas yang disebabkan oleh gangguan ovulasi dapat diklasifikasikan
berdasarkan siklus haid, yaitu amenore primer atau sekunder. Namun tidak
semua pasien infertilitas dengan gangguan ovulasi memiliki gejala klinis
amenorea, beberapa diantaranya menunjukkan gejala oligomenorea.
2) Obstruksi Tuba falopii dan pelvis
Tuba falopii yang tersumbat merupakan sepertiga dari penyebab
infertilitas. Sumbatan tersebut dapat disebabkan oleh kelainan kongenital,
penyakit radang pelvis yang umum contohnya apendisitis dan peritonitis, dan
infeksi tractus genitalis (Chlamidia, Gonorrhoea, TBC) maupun endometriosis.
Gejala yang sering ditemukan pada pasien dengan endometriosis adalah nyeri
panggul, infertilitas dan ditemukan pembesaran pada adneksa. Dari studi yang
telah dilakukan, endometriosis terdapat pada 25%-50% perempuan, dan 30%
sampai 50% mengalami infertilitas. Hipotesis yang menjelaskan endometriosis
dapat menyebabkan infertilitas atau penurunan fekunditas masih belum jelas,
namun ada beberapa mekanisme pada endometriosis seperti terjadinya
perlekatan dan distrorsi anatomi panggul yang dapat mengakibatkan penurunan
tingkat kesuburan. Perlekatan pelvis pada endometriosis dapat mengganggu
34

pelepasan oosit dari ovarium serta menghambat penangkapan maupun


transportasi oosit (ASRM, 2012).
Klasifikasi kerusakan tuba yaitu:
a) Ringan/ Grade 1 : Oklusi tuba proksimal tanpa adanya fibrosis atau
oklusi tuba distal tanpa ada distensi, mukosa tampak baik dan perlekatan
ringan (perituba-ovarium)
b) Sedang/Grade 2 : Kerusakan tuba berat unilateral
c) Berat/Grade 3 : Kerusakan tuba berat bilateral, ditandai dengan
Fibrosis tuba luas, Distensi tuba > 1,5 cm, Mukosa tampak abnormal,
Oklusi tuba bilateral, Perlekatan berat dan luas.
3) Faktor lokal
Faktor-faktor lokal yang menyebabkan infertil pada wanita adalah fibroid
uterus yang menghambat implantasi ovum, erosi cervix yang mempengaruhi pH
sekresi sehingga merusak sperma, kelainan kongenital vagina, cervix atau uterus
yang menghalangi pertemuan sperma dan ovum, mioma uteri oleh karena
menyebabkan tekanan pada tuba, distrorsi, atau elongasi kavum uteri, iritasi
miometrium, atau torsi oleh mioma yang bertangkai.

2. Etiologi Infertilitas Pada Pria


Penyebab infertilitas pada pria adalah sebagai berikut:
1) Gangguan Spermatogenesis
Analisis sperma dapat mengungkapkan jumlah spermatozoa normal atau
tidak. Pengambilan spesimen segar dengan cara masturbasi di laboratorium.
Standar untuk spesimen semen normal telah ditetapkan oleh Badan Kesehatan
Dunia (WHO).
2) Obstruksi
Obstruksi atau sumbatan merupakan salah satu penyebab infertil pada pria.
Obstruksi dapat terjadi pada duktus atau tubulus yang di sebabkan karena
konginetal dan peradangan (inflamasi) akut atau kronis yang mengenai
membran basalais atau dinding otot tubulus seminiferus misalnya orkitis, infeksi
prostat, infeksi gonokokus. Obstruksi juga dapat terjadi pada vas deferens
penyakit.
35

3) Ketidak mampuan koitus atau ejakulasi


Faktor-faktor fisik yang menyebabkan ketidak mampuan koitus dan
ejakulasi, misalnya hipospadia, epispadia, deviasi penis seperti priapismus atau
penyakit peyronie. Faktor-faktor psikologis yang menyebabkan
ketidakmampuan untuk mencapai atau mempertahankan ereksi dan kebiasaan
pria alkoholisme kronik.
4) Faktor Sederhana
Faktor sederhana seperti memakai celana jeans ketat, mandi dengan air
terlalu panas, atau berganti lingkungan ke iklim tropis dapat menyebabkan
keadaan luar panas yang tidak menguntungkan untuk produksi sperma sehat.
Menurut WHO (2000), Fertilitas laki-laki dapat menurun akibat dari:
a) Kelainan urogenital kongenital atau didapat
b) Infeksi saluran urogenital
c) Suhu skrotum yang meningkat (contohnya akibat dari varikokel)
d) Kelainan endokrin
e) Kelainan genetik
f) Faktor imunologi

D. Faktor Risiko Infertilitas


Menurut HIFERI dkk (2013), factor-faktor risiko infertilitas antara lain:
1. Gaya Hidup
a. Konsumsi Alkohol
Alkohol dikatakan dapat berdampak pada fungsi sel Leydig dengan
mengurangi sintesis testosteron dan menyebabkan kerusakan pada membran
basalis. Konsumsi alkohol yang berlebihan dapat menyebabkan gangguan
pada fungsi hipotalamus dan hipofisis (Balen dalam HIFERI, 2013).
Konsumsi alkohol yang berlebihan pada laki-laki dapat menyebabkan
penurunan kualitas semen.
b. Merokok
Rokok mengandung zat berbahaya bagi oosit (menyebabkan
kerusakan oksidatif terhadap mitokondria), sperma (menyebabkan tingginya
kerusakan morfologi), dan embrio (menyebabkan keguguran). Kebiasaan
merokok pada perempuan dapat menurunkan tingkat fertilitas. Kebiasaan
merokok pada laki-laki dapat mempengaruhi kualitas semen, namun
36

dampaknya terhadap fertilitas belum jelas. Berhenti merokok pada laki-laki


dapat meningkatkan kesehatan pada umumnya.
c. Olahraga
Olahraga ringan-sedang dapat meningkatkan fertilitas karena akan
meningkatkan aliran darah dan status anti oksidan tetapi olahraga berat
dapat menurunkan fertilitas
o Olahraga > 5 jam/minggu, contoh: bersepeda untuk laki-laki
o Olahraga > 3-5 jam/minggu, contoh: aerobik untuk perempuan.
d. Suplementasi Vitamin
Konsumsi vitamin A berlebihan pada laki-laki dapat menyebabkan
kelainan kongenital termasuk kraniofasial, jantung, timus, dan susunan saraf
pusat.
e. Obat-obatan
a) Spironolakton akan merusak produksi testosteron dan sperma
b) Sulfasalazin: mempengaruhi perkembangan sperma normal (dapat
digantikan dengan mesalamin)
c) Kolkisin dan allopurinol dapat mengakibatkan penurunan sperma untuk
membuahi oosit.
d) Antibiotik tetrasiklin, gentamisin, neomisin, eritromisin dan
nitrofurantoin pada dosis yang tinggi berdampak negatif pada pergerakan
dan jumlah sperma.
e) Simetidin terkadang menyebabkan impotensi dan sperma yang abnormal
f) Siklosporin juga dapat menurunkan fertilitas pria
g) Penelitian yang dilakukan di California menemukan bahwa konsumsi
obat-obatan herbal dalam jumlah minimal seperti ginko biloba, dicurigai
menghambat fertilisasi, mengubah materi genetik sperma, dan
mengurangi viabilitas sperma.
2. Pekerjaan
Beberapa jenis pekerjaan tertentu dapat mempengaruhi produksi sperma
seorang pria seperti petugas pemadam kebakaran dan pengemudi truk (HMKU
FKUNUD, 2017).
Menurut HIFERI dkk (2013), setidaknya terdapat 104.000 bahan fisik dan
kimia yang berhubungan dengan pekerjaan yang telah teridentifikasi, namun
efeknya terhadap kesuburan, 95% belum dapat diidentifikasi. Bahan yang telah
37

teridentifikasi dapat mempengaruhi kesuburan diantaranya panas, radiasi sinar-


X, logam dan pestisida.

Tabel 2.1
Bahan dan Efek terhadap Kesuburan Laki-laki
38

Tabel 2.2
Bahan dan Efek Terhadap Kesuburan Perempuan

Sumber : HIFERI, dkk (2013)


3. Peningkatan Usia
Prevalensi infertilitas meningkat bila terjadi peningkatan usia. Kejadian
infertilitas berbanding lurus dengan pertambahan usia pada wanita. Wanita
dengan rentan usia 19-26 tahun memiliki kesempatan untuk hamil dua kali
lebih besar daripada wanita dengan rentan usia 35-39 tahun. Bertambahnya usia
maka kadar FSH meningkat, fase folikuler semakin pendek, kadar LH dan
durasi fase luteal tidak berubah, siklus menstruasi mengalami penurunan.
39

Jumlah sisa folikel ovarium terus menurun dengan bertambahnya usia, semakin
cepat setelah usia 38 tahun dan folikel menjadi kurang peka terhadap stimulasi
gonadotropin sehingga terjadi penurunan kesuburan wanita dengan
meningkatnya usia.
4. Berat Badan
Badan yang terlalu kurus atau badan yang terlalu gemuk dapat
mempengaruhi infertilitas. Tindakan menurunkan berat badan pada perempuan
yang memiliki IMT >29 dan mengalami anovulasi akan meningkatkan peluang
untuk hamil. Upaya meningkatkan berat badan pada perempuan yang memiliki
IMT <19 serta mengalami gangguan haid akan meningkatkan kesempatan
terjadinya pembuahan (HIFERI dkk, 2013).
Hasil penelitian Najakhatus dan Windhum (2016) menunjukkan bahwa
obesitas pada wanita memiliki risiko 78% lebih besar mengalami infertilitas
dibandingkan dengan wanita yang tidak obesitas. Penelitian Juwarnis (2009),
juga menyebutkan bahwa obesitas mempunyai hubungan dengan kejadian
infertilitas. Pasangan usia subur yang mengalami obesitas mempunyai peluang
13,6 kali untuk mengalami infertilitas dibanding pasangan yang tidak obesitas.
Hasina (2011) menyebutkan jika seorang memiliki berat badan yang
berlebih (over weight) atau memiliki lemak tubuh 10-15% dari persentase
lemak tubuh normal atau mengalami obesitas, maka seseorang tersebut
kemungkinan besar akan menderita gangguan keseimbangan hormon dan
pertumbuhan folikel di ovarium meningkat yang disebut Polycistic Ovarium
Syndrome (PCOS). Pada wanita yang memiliki persentase lemak tubuh tinggi
terjadi peningkatan produksi androstenedion yang merupakan androgen yang
berfungsi sebagai prekusor hormon reproduksi. Androgen digunakan untuk
memproduksi estrogen di dalam tubuh dengan bantuan enzim aromatase.
Proses aromatisasi androgen menjadi estrogen ini terjadi di sel-sel granulosa
dan jaringan lemak. Semakin banyak persentase jaringan lemak tubuh, semakin
banyak pula estrogen yang terbentuk yang kemudian dapat mengganggu
keseimbangan hormon di dalam tubuh sehingga menyebabkan gangguan
menstruasi. Gangguan siklus menstruasi tersebut diakibatkan karena adanya
gangguan umpan balik dengan kadar estrogen yang selalu tinggi sehingga kadar
Follicle Stimulating Hormone (FSH) tidak mencapai puncak. Pertumbuhan
folikel terhenti sehingga tidak terjadi ovulasi. Keadaan ini berdampak pada
40

perpanjangan siklus menstruasi (oligomenore) ataupun kehilangan siklus


menstruasi/amenore (Alaa, 2015).
Sedangkan pada pria obesitas memiliki risiko 49% lebih tinggi
dibandingkan yang berat badan normal sedangkan pasangan usia subur yang
keduanya obesitas memiliki risiko 2.74 kali untuk mengalami infertilitas
dibandingkan pasangan subur yang tidak obesitas. Beberapa kasus infertilitas
pada pria yang disebabkan obesitas mempunyai hubungan dengan tingginya
estrogen yang dihasilkan yang disebabkan persentase lemak yang berlebih
dibanding dengan pria yang memiliki berat badan normal. Obesitas
mengakibatkan rendahnya produksi sperma, sperma yang abnormal, disfungsi
ereksi dan kemandulan (Sallmen M, dkk, 2006).

5. Stres
Stress pada wanita dapat mempengaruhi komunikasi antara otak, hipofisis,
dan ovarium. Stres memicu pengeluaran hormon kortisol yang mempengaruhi
pengaturan hormon reproduksi dan mempengaruhi maturisasi pematangan sel
telur pada ovarium. Saat stress terjadi perubahan suatu neurokimia di dalam
tubuh yang dapat mengubah maturasi dan pengelepasan sel telur. Contohnya, di
saat wanita dalam keadaan stress, spasme dapat terjadi pada tuba falopi dan
uterus, dimana hal itu dapat mempengaruhi pergerakan dan implantasi pada sel
telur yang sudah matang.
6. Infeksi Organ Reproduksi
Rongga perut pada wanita diperantarai organ reproduksi wanita yang
langsung berhubungan dengan dunia luar. Infeksi rongga perut jarang terjadi
disebabkan karena sifat baktericide dari vagina yang mempunyai pH rendah
dan lendir yang kental pada canalis cervikalis yang menghalangi masuknya
kuman. Infeksi organ reproduksi sering terjadi di negara tropis karena hygine
kurang, perawatan persalinan dan abortus belum sempurna. Infeksi organ
reproduksi dapat menurunkan fertilitas, mempengaruhi keadaan umum dan
kehidupan sex Infeksi apabila terjadi pada vagina akan menyebabkan kadar
keasamaan dalam vagina meningkat, sehingga menyebabkan sperma mati
sebelum sempat membuahi sel telur (Kauffman, 2010).
41

E. PEMERIKSAAN INFERTILITAS
1. Pemeriksaan pada Perempuan
a. Anamnesis
Anamnesis dilakukan terhadap pasien dengan menanyakan identitas
pasangan suami istri meliputi umur, pekerjaan, lama menikah dan evaluasi
dari pasien wanita mengenai ketidakteraturan siklus haid, dismenorea,
infeksi organ reproduksi yang pernah dialami, riwayat adanya bedah pelvis,
riwayat sanggama, frekuensi sanggama, dispareunia, riwayat komplikasi
pascapartum, abortus, kehamilan ektopik, kehamilan terakhir, konstrasepsi
yang pernah digunakan, pemeriksaan infertilitas dan pengobatan
sebelumnya, riwayat penyakit sistematik (tuberkulosis, diabetes melitus,
tiroid), pengobatan radiasi, sitostatika, alkoholisme (Tono dkk, 2012).
b. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik yang dilakukan untuk mendiagnosis infertil adalah:
1) Vital Sign Pemeriksaan vital sign yang terdiri dari tekanan darah, nadi,
respiratory rate, suhu badan.
2) Penghitungan BMI Penghitungan indeks massa tubuh (body mass index
(BMI)) dihitung dari tinggi dan berat badan (kg/m2), kisaran normal
BMI adalah 20-25 kg/m2. Wanita dengan tampilan overweight atau
obesitas mengalami kelainan berupa resistensi insulin atau bahkan
42

sindroma metabolik. Wanita dengan siklus menstruasi yang tidak teratur


dan tampilan fisik obesitas mungkin saja berhubungan dengan diagnosis
sindrom ovarium polikistik.
3) Pemeriksaan gangguan endokrin
Penampilan/rupa pasien secara keseluruhan dapat memberikan petunjuk
mengenai penyakit sistemik ataupun masalah endokrin. Keberadaan
ciri-ciri seksual sekunder normal sebaiknya diamati seperti pemeriksaan
payudara. Pemeriksaan fisik yang dilakukan untuk mencari penyebab
dari gangguan endokrin seperti jerawat, hirsutisme, kebotakan,
acanthosis nigrican, virilisasi, gangguan lapang pandang, gondok, dan
adanya ciri penyakit tiroid.
4) Pemeriksaan pelvis
Pemeriksaan pelvis sebaiknya dilakukan untuk mencari dugaan
endometriosis yang ditandai dengan adanya nodul pada vagina,
penebalan forniks posterior, nyeri tekan, nyeri pada organ-organ pelvis.
Jika saat pemeriksaan muncul rasa nyeri, sebaiknya diwaspadai adanya
kemungkinan patologi pelvis (Djuwantono, 2011).
c. Pemeriksaan Penunjang Infertilitas
Pemeriksaan penunjang diperlukan untuk mendiagnosis infertilitas pada
wanita, yaitu biopsi endometrium pada hari pertama menstruasi,
histerosalfingorafi, histeroskopi, laparaskopi atau laparatomi. Tujuan
pemeriksaan penunjang infertilitas adalah mengetahui keadaan ovarium
yaitu folikel graaf atau korpus luteum, mengetahui faktor peritonium,
melepaskan perlekatan, dan tuboplasti-melepaskan fimosis fimbrie tuba.
Penilaian kadar progesteron pada fase luteal madia yang kurang lebih 7
hari sebelum perkiraan datangnnya haid. Penilaian kadar progesteron pada
fase luteal madia menjadi tidak memiliki nilai diagnostik yang baik jika
terdapat siklus haid yang tidak normal. pemeriksaan kadar TSH dan
prolactin hanya dilakukan jika terdapat indikasi berupa siklus yang tidak
berevolusi, terdapat kekuhangalatore atau kelainan kelenjer tiroid.
Pemeriksaan kadar LH dan FSH dilakukan pada fase proliferasi awal (hari
ke 3-5) terutama jika dipertimbangkan terdapat peningkatan LH atau FSH
pada kasus sindrom ovarium polikistik (Dillasamola, 2020).
43

2. Pemeriksaan Pada Laki-laki


a. Anamnesis
Anamnesis ditujukan untuk mengidentifikasi faktor risiko dan kebiasaan
hidup pasien yang dapat secara bermakna mempengaruhi fertilitas pria.
Anamnesis meliputi:
1) riwayat medis dan riwayat operasi sebelumnya,
2) riwayat penggunaan obat-obatan (dengan atau tanpa resep) dan alergi, 3)
gaya hidup dan riwayat gangguan sistemik,
4) riwayat penggunaan alat kontrasepsi
5) riwayat infeksi sebelumnya, misalnya penyakit menular seksual dan
infeksi saluran nafas.

Sumber : HIPEKI, 2013

b. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik pada laki-laki penting untuk mengidentifikasi adanya
penyakit tertentu yang berhubungan dengan infertilitas. Penampilan umum
harus diperhatikan, meliputi tanda-tanda kekurangan rambut pada tubuh
atau ginekomastia yang menunjukkan adanya defisiensi androgen. Tinggi
badan, berat badan, IMT, dan tekanan darah harus diketahui.
44

 Palpasi skrotum saat pasien berdiri diperlukan untuk menentukan


ukuran dan konsistensi testis. Apabila skrotum tidak terpalpasi pada
salah satu sisi, pemeriksaan inguinal harus dilakukan. Orkidometer
dapat digunakan untuk mengukur volume testis. Ukuran rata-rata testis
orang dewasa yang dianggap normal adalah 20 ml.
 Konsistensi testis dapat dibagi menjadi kenyal, lunak, dan keras.
Konsistensi normal adalah konsistensi yang kenyal. Testis yang lunak
dan kecil dapat mengindikasikan spermatogenesis yang terganggu.
 Palpasi epididimis diperlukan untuk melihat adanya distensi atau
indurasi. Varikokel sering ditemukan pada sisi sebelah kiri dan
berhubungan dengan atrofi testis kiri. Adanya perbedaan ukuran testis
dan sensasi seperti meraba “sekantung ulat” pada tes valsava
merupakan tanda-tanda kemungkinan adanya varikokel (Karavolos,
2013)
c. Analisis sperma
Penapisan antibodi antisperma tidak dianjurkan karena tidak ada bukti
pengobatan yang dapat meningkatkan fertilitas. Jika hasil pemeriksaan
analisis sperma dikatakan abnormal, pemeriksaan ulang untuk konfirmasi
sebaiknya dilakukan.

Table 4
Analisis sperma menurut WHO (2013)
45

sumber : HIFERI (2013)


Analisis sperma ulang untuk mengkonfirmasi pemeriksaan sperma yang
abnormal, dapat dilakukan 3 bulan pasca pemeriksaan sebelumnya sehingga
proses siklus pembentukan spermatozoa dapat terjadi secara sempurna.
Namun jika ditemukan azoospermia atau oligozoospermia berat
pemeriksaan untuk konfirmasi harus dilakukan secepatnya.
Penilaian antibodi antisperma merupakan bagaian standar analisis semen.
Menurut kriteria WHO, pemeriksaan ini dilakukan dengan pemeriksaan
imunologi atau dengan cara melihat reaksi antiglobulin. Namun saat ini
pemeriksaan antibodi antisperma tidak direkomendasikan untuk dilakukan
sebagai penapisan awal karena tidak ada terapi khusus yang efektif untuk
mengatasi masalah ini (WHO, 2013)

F. Penatalaksanaan Infertilitas
Penanganan infertilitas pada prinsipnya didasarkan atas 2 hal yaitu Mengatasi faktor
penyebab / etiologi dan meningkatkan peluang untuk hamil.
1) Gangguan Ovulasi
Tindakan untuk mengatasi faktor penyebab infertilitas salah satunya adalah
dengan melakukan induksi ovulasi (pada kasus anovulasi), reanastomosis tuba
(oklusi tuba fallopii) dan pemberian obat-obatan secara terbatas pada kasus faktor
sperma. Apabila induksi ovulasi tidak berhasil, metoda dikembangkan untuk
46

meningkatkan peluang satu pasangan mendapatkan kehamilan, seperti stimulasi


ovarium, inseminasi dan fertilisasi in vitro. Kasus terbanyak gangguan ovulasi
pada perempuan usia reproduksi adalah sindrom ovarium polikistik. Lini pertama
induksi ovulasi: klomifen sitrat (KS): pemberian KS sebanyak 3 siklus (dosis
maksimal 150 mg/hari) terjadi ovulasi selama 3-6 siklus, tetapi tidak terjadi
kehamilan. Lini kedua: gonadotropin atau laparoskopi ovarian drilling (LOD).
Lini ketiga: fertilisasi in vitro.
2) Faktor sperma
Karakteristik sperma tidak terkait langsung dengan laju kehamilan, tidak terdapat
bukti cukup kuat bahwa pengobatan varikokel memberikan hasil yang baik
terhadap terjadinya kehamilan. Pemberian vitamin, anti oksidan dan carnitine
tidak memiliki bukti cukup kuat terhadap kualitas sperma (Cunningham, 2012).
3) Endometriosis
Bila dijumpai endometriosis derajat minimal dan ringan pada laparoskopi
diagnostik, tindakan dilanjutkan dengan laparoskopi operatif. Endometriosis
derajat sedang-berat merupakan indikasi fertilisasi in vitro.
4) Faktor tuba, oklusi tuba
Tindakan laparoskopi dianjurkan bila dijumpai hasil pemeriksaan HSG abnormal.
Fertilisasi in vitro memberikan luaran yang lebih baik dalam hal kehamilan
dibandingkan bedah rekonstruksi tuba pada kasus oklusi tuba bilateral. Faktor
idiopatik infertilitas ditegakkan atas 3 pemeriksaan dasar infertilitas yang
memberikan hasil normal, yaitu deteksi ovulasi, patensi tuba fallopii dan analisis
sperma. Penanganan pasangan infertilitas idiopatik dapat dilakukan inseminasi
intra uterin (IIU) sebanyak 4-6 x. Stimulasi ovarium dalam IIU terutama
dilakukan pada kasus endometriosis dan infertilitas idiopatik.
Fertilisasi in vitro (FIV) Tindakan fertilisasi in vitro terutama dilakukan atas
indikasi: Faktor sperma yang berat dan tidak dapat dikoreksi, oklusi tuba bilateral,
endometriosis derajat sedang ‐ berat, infertilitas idiopatik yang telah menjalani
IIU 4-6 x dan belum berhasil hamil, gangguan ovulasi yang tidak berhasil dengan
induksi ovulasi lini pertama dan lini kedua
TINJAUAN TEORI

A. Toksoplasmosis
1. Pengertian
47

Toksoplasmosis adalah penyakit infeksi protozoa pada manuaia dan


hewan yang disebabkan oleh parasit intrasel toksoplasma gondii (Fadlun dan
Feryanto, 2013). Toksoplasma adalah parasit protozoa dengan sifat alami,
perjalannya dapat akut atau menahun, simtomatik maupun asimtomatik
(Rukiyah, 2010).
Apabila wanita terinfeksi pada masa hamil, toksoplasmosis dapat
menyebabkan malformasi congenital berat karena protozoa ini dapat menembus
melalui plasenta ke janin.
2. Epidemiologi
Tanah merupakan sumber infeksi untuk herbivore seperti kambing,
domba, babi dan hewan ternak lainnya. Karena infeksi pada kebanyakan
hewan menetap secara menahun, daging yang mentah atau setengah matang
menjadi sumber infeksi untuk manusia dan hewan karnivora (termasuk
kucing). (Rukiyah, 2010: Sofian, 2011).
Hewan kucing merupakan tempat utama bagi toksoplasma gondii
berkembang biak, sementara ditubuh hewan lain dan mabusia hanya
merupakan tempat perantara saja. Seekor kucing dapat menghasilkan 10 juta
kuman Tokso setiap hari selama 2 minggu. Kuman ini dapt hidup lebih dari
satu tahun di tanah atau tempat yang lembab, akan tetapi mudah mati jika
disiram dengan air mendidih (Saifuddin, 2010).
2. Etiologi
Penyakit ini disebabkan oleh protozoa yang tergolong coccodian yaitu
Toksoplasmodium gondii (Saifuddin, 2010). Toksoplasma gondii ada dalam
tiga bentuk di alam :
a. Ookista adalah bentuk yang resisten di alam
b. Trofozoid adalah bentuk vegetative dan proliteratif
c. Kista bentuk yang resisten dalam tubuh
Siklus hidup toksoplasma ini ada dua fase yakni bentuk ploriferatif
yang terjadi pada pejamu prantara (burung, mamalia, dan manusia) dan bentuk
reproduktif terjadi pada usus kucing sebagai pejamu definitive. Kucing
menjadi terinfeksi setelah memakan mamalia, seperti tikus yang terinfeksi,
yang kemudian mengeluarkan oosit. Oosit ini dapat menular tiga hari setelah
diekresi di lingkungan yang lembab. Kotoran kucing di atas permukaan tanah
yang terinfeksi, ingesti daging terinfeksi yang mentah atau tidak dimasak
48

sempurna. Diketahui sekitar 50% pasien pengidap toksoplasmosis tertular


melalui daging yang terinfeksi, terutama daing babi. Habitat toksoplasma
gondii dapat berada pada anjing, kucing, tikus, burung, ayam, kerbau, sapi,
babi dan domba/kambing ( Varney, 2006).
3. Tanda dan Gejala Klinik
Toksoplasmosis tidak menunjukkan tanda-tanda yang jelas. Diagnosa
toksoplasmosis pada orange dewasa sangat sulit karena penyakit ini biasanya
tidak disertai gejala-gejala. Karenagejala klinisnya kurang spesifik, diagnosis
pada umumnya didapat melalui uji serologic rutin pada kehamilan muda.
Tanda dan gejalanya pada wanita hamil samar-samar, sama dengan gejala
infeksi mononucleosis, dengan gejala penyerta sebagai berikut ( Varney, 2006;
Fadlun dan Feriyanto, 2013):
a. Letih dan Malaise
b. Nyeri otot
c. Demam atau kelelahan tanpa demam
d. Luka tenggorokan
e. Pembesran kelenjar limfe pada serviks posterior
Apabila diketahui tes serologi wanita tersebut negative untuk
mononucleosis maka penapisan toksoplasmosis harus dilakukan.
4. Diagnosis
Diagnosis prenatal umunya dilakukan pada usia kehamilan 14-27
minggu (trimester II). Aktivitas diagnosis prenatal meliputi sebagai berikut:
a. Kordosentesis ( pengambilan sampel darah janin melalui tali pusat )
ataupun amniosintesis ( aspirasi cairan ketuban ) dengan tuntunan
ultrasonografi.
b. Pembiakan darah janin ataupun cairan ketuban dalam kultur sel fibroblast
ataupun diinokuasi ke dalam ruang peritoneum tikus diikuti isolasi parasit,
ditunjukkan untuk mendeteksi adanya parasit. Periksaan dengan teknik PCR
guna mendeteksi DNA toksoplasma gondii pada darah janin atau cairan
ketuban.pemeriksaan dengan teknik ELISA pada darah janin guna
mendeteksi antibody IgM janin spesifik (antibodii toksoplama).
c. Pemeriksaan tambahan berupa penetapan enzim liver, platelet, leukosit
( monosit dan eosinofil) dan limfosit khususnya rasio CD4 dan CD8.
Tindakan diagnosis prenatal untuk toksoplasmosis congenital dilakukan
49

secara berulang. Dikatakan prosedur ini relatif aman bila mulai dilakukan
pada umur kehamilan 19 minggu dan seterusnya.
Diagnosis toksoplasmosis congenital ditegakkan berdasarkan hasil
pemeriksaan yang menunjukkan adanya IgM janin spesifik
(antitoksoplasma) dari darah janin.
Menurut Fadlun (2013), hasil dan tindak lanjut dari pemeriksaan
serologi antara lain:
a. IgG (-), IgM (-): belum pernah terinfeksi, oleh karena itu belum kebal
terhadap tokso. Harus dipantau setiap trimester sampai akhir kehamilan.
Lakukan tindakan preventif dengan menjadi sumnber infeksi/penularan.
b. IgG (-), IgM (+) : infeksi sedang terjadi, masih ditahap awal sehingga
IgG belum terbentuk. Lakukan pemeriksaan ulang 2-3 minggu
kemudian, apakah IgG menjadi (+), jika hasilnya tetap (-) berrati IgM
tidak spesifik dan ibu tidak terinfeksi. Lakukan pemntauan kehamilan
dan tindakan preventif dengan menjauhi sumber infeksi/penularan.
c. Ig g (+), IgM (-) : infeksi sudah pernah terjadi sebelumnya dan sudah
memiliki kekebalan terhadap tokso yang nantinya melalui plasenta
dapat diberikan pada janin sehingga janin terlindungi.
d. IgG (+), IgM (+) : ada dua kemungkinan yaitu infeksi primer (pertama
kali dalam selang waktu yang tidak lama) atau infeksi lama dengan sisa
IgM. Dipastikan dengan melakukan pemeriksaan IgG Avidity dan
dengan melihat ada tidaknya kenaikan titer IgG.
5. Komplikasi
Risiko yang terjadi pada bayi adalah kelainan pada syaraf mata dan
infeksi mata yang berat, kelainan sistemik pucat, kuning, demam, pembesaran
atau pendarahan hati dan limfa, anencephalus, hydrocephalus, pertumbuhan
janin terhambat, keterlambatan perkembangan psikomotor dalam bentuk
reardasi mental dan gangguan bicara, kelainan congenital dan kematian.
Komplikasi yang terjadi pada kehamilan dari infeksi toksoplasmosis ini adalah
abortus, kelahiran premature, kematian janin, partus prematurus, kematian
neonatal, kelainan congenital pada bayi (Sofian,2011).
6. Prognosis
Toksoplasma akut untuk pasien imunokompeten mempunyai
prognosis yang baik. Toksoplasmosis akut pada janin dan bayi dapat
50

berkembang menjadi retinokoroiditis. Toksoplasmosis kronik asimtomatis


dengan titer antibody yang persisten, umumnya mempunyai prognosis yang
baik dan hubungan erat dengan imunitas seseorang. Toksoplasmosis pada
pasien imunodefisiensi mempunyai prognosis yang buruk.
7. Pencegahan
Bagi bidan upaya pencegahan melalui penyuluhan tentang
perencanaankehamilan dan perawatan kehamilan bagi mereka yang sudah
hamil. Profilaksis adalah tindakan yang paling efektif berupa perlindungan atas
populasi yang berisiko seperti ibu hamil sengan seronegatif. Upaya tersebut
adalah sebagai berikut:
a. Dianjurkan memakan semua syur-sayuran dan daging yang dimasak.
Ookista mati dengan pemanasan 90°C selama 30 detik, 80°C untuk 1 menit
dan 70°C untuk 2 menit/ makanan yang dibekukan bukan merupakan
sumber kontaminasi.
b. Skrining serologic premarital yang dilanjutkan skrining bulanan selama
kehamilan bagi ibu hamil dengan seronegatif.
Upaya lain berdasarkan rekomendasi CDC (Center for Disease
Control and Prevention) untuk mencegah toksoplasmosis antara lain:
c. Makanan harus dimasak [ada suhu aman. Gunakan temperature untuk
mengatur suhu bagian dalam daging yang sedang dimasak sampai suhu
62,8°C. daging babi, ground meat dan wild meat harus dimasak hingga
suhu 71°C. semntara daging unggas harus dimasak hingga suhu 82°C.
d. Sayur dan buah-buahan harus dikupas dan dicuci menyeluruh sebelum
dimakan
e. Talenan, piring, dan gelas kotor, meja makan dan tangan harus dicuci
dengan air sabun hangnat setiap kali selesai kontak dengan daging, daging
unggas, makan laut atau buah atau sayuran yang belum dicuci.
f. Wanita hamil harus mengenakan sarung tangan jika hendak berkebun.
g. Pada ibu hamil sedapat mungkin untuk tidak membersihkan wadah kotoran
kucing, kalaupun terpaksa kenakan sarung tangan kemudian cuci tangan
dengan menyeluruh.
h. Pendidikan kesehatan bagi wanita usia subur mencakup informasi tentang
mekanisme penularan toksoplasmosis melalui daging dan terinfeksi serta
pencegahannya.
51

8. Penanganan Khusus
Menurut Saifuddin (2009), penanganan khusus toksoplasmosis antara
lain:
a. Konseling yang berkaitan dengan infeksi toksoplasma, risiko terhadap
fungsi reproduksi dan hasil konsepsi.
b. Dapat dilakukan pengobatan secara rawat jalan
c. Selama kehamilan ibu diterapi spiramisin atau setelah kehamilan 14 minggu
ibu diberi terapi dengan pirimethamin dan sulfonamide. Gabungan dari obat
pirimetamin dan sulfonamide atau antibiotika spiramisian dapat
menanggulangi infeksi dan menghambat kelanjutan proses anomaly
congenital (tergantung tahapnya)
d. Evaluasi kondisi antigen dan titerimunoglobulin anti toksoplasma
e. Upayakan persalinan pervaginam dan apabila terjadi disproporsi kepal
panggul yang disebabkan oleh didrosefalus, lakukan kajian USG ketebalan
korteks untuk pilihan penyelesaian persalinan.
9. Pengobatan
Terapi selama hamil dapat menurunkan infeksi 60%. Sebenarnya
pengobatan toksoplasmosis yang tepat belum diketahui (Sofian,2011).
Adapaun terapi diberikan terhadap tiga kelompok penderita berikut:
a. Kehamilan dengan infeksi akut
1) Spiramisin.
Pada orang dewasa diberikan 2-4 g/hari per oral dibagi dalam 4 dosis
untuk 3 minggu, diulang setelah 2 minggu sampai kehamilan aterm.
2) Piretamin dan Sulfadiazin
Kombinasi piemitamin, sulfadiazine dan asam folinik sebagai
penggunaan simultan diberikan selama 21 hari. Sulfadiazine 50-100
mg/kg/hari/oral dibagi 2 dosis serta asam folinik 2x5 mg injeksi
intramuscular tiap minggu selama pemakaian piremitamin.
b. Toksoplasma congenital
Sulfadiazin dengan dosis 50-100 mg/kg/hari dan piremitamin 0,5-1 mg/kg
diberikan setiap 2-4 hari selama 20 hari. Disertakan juga injeksi
intramuscular asam folinik 5 mg setiap 2-4 hari untuk mengatasi efek toksik
piremitamin terhadap multiple sel. Pengobatana dihentikan ketika anak
berumur 1 tahun karena diharapkan imunitas selulernya telah memadai
52

untuk melawan penyakit pada masa tersebut.


c. Penderita imunodefisiensi
Menurut Fadlun dan Feryanto (2013) terapi selama kehamilan sebagai
berikut:
1) Trimester 1 : Spiramisisn 3x3 mIU/hari selama 3 minggu kemudian
diulang setelah interval 2 minggu sampai aterm
2) Trimester II dan III :Spiramisin 3x3 mIU/hari selama 3 minggu diulang
setelah interval 2 minggu sampai aterm, pirimetamin / Sulfonamide/
Asam folat selama 3 minggu dilanjutkan spiramisin 3-6 minggu.

B. Rubella
1. Pengertian
Rubella (campak Jerman) adalah infeksi virus yang menyebabkan
infeksi kronik intrauterine, mengganggu pertumbuhan dan perkembangan
janin. Rubella disebabkan virus plemorfis yang mengandung RNA (Fadlun dan
Feryanto, 2013). Virus penyebab rubella atau campak jerman ini bekerja
dengan aktif khususnya selama masa hamil (Varney, 2006). Infeksi rubella
atau dikenal sebagai German measles menyerupai campak, hanya saja
bercaknya sedikit lebih kasar (Saifuddin, 2010). Virus ini ditularkan melalui
droplet dari ibu hamil kepada janin (Fadlun dan Feryanto, 2013).
2. Tanda dan Gejala
Menurut Fadlun (2013) dan Varney (2006), tanda dan gejala pada
penyakit rubella adalah sebagai berikut:
a. Demam ringan, pusing, mata merah
b. Sakit tenggorokan
c. Ruam kulit setelah demam turun
d. Kelenjar limfe membengkak
e. Persendian bengkak dan nyeri pada beberapa kasus
f. Fotofobia
g. Abortus spontan
h. Radang arthritis atau ensefalitis
i. Pada ibu hamil kadang tanpa gejala
j. Durasinya 3 sampai 5 hari
3. Diagnosis
53

Apabila ibu menyadari bahwa ia telah terpajan rubella dan pada


pemeriksaan laboratorium titer antibodinya dibawah 1:10, maka specimen
darah harus diambil untuk pemeriksaan serologi (IgM dan IgG) untuk
selanjutnya dikonsultasikan kepada dokter. Pada situasi ini kebijakan tentang
pemberian hiperimmune gamma globulin berbeda-beda.
4. Dampak dalam kehamilan
Diluar kehamilan, rubella tidak berbahaya. Namun, dalam kehamilan
penyakit ini menyebabkan kelainan bawaan janin sebagai berikut:
a. Insiden anomaly congenital
Pemaparan pada bulan pertama dapat menyebabkan malformasi jantung,
mata, telinga atau otak. Pemaparan bulan keempat yakni infeksi sistemik,
retardasi pertumbuhan intrauterine.
b. Infeksi Rubella congenital.
Infeksi ini dapat menyebabkan sindrom rubella congenital yang terdiri dari:
1) Pertumbuhan janin yang terhambat
2) Katarak yang dapat terjadi pada satu atau kedua mata
3) Kelainan bawaan jantung misalnya duktus arteriosus persisten,
stenosis pulmonalis dan sputum terbuka.
4) Hilang fungsi pendengaran
5) Radang otak dan selaput otak (meningoensefalitis)
Akibat yang paling sering terjadi adalah keguguran, lahir mati, kelainan
pada janin, dan aborsi terapeutik.
5. Penapisan dalam kehamilan
Penapisan dalam kehamilan dilakukan dengan pemeriksaan
laboratorium sebagai berikut:
1) Antitoksoplasma IgM dan IgG, aviditas IgG bila perlu
2) Pemeriksaan penyaring (skrining) dilakukan pada saat ibu
merencanakan kehamilan, awal kehamilan (1-7 minggu), wanita hamil
yang dicurigai kontak dengan virus atau terdapat gejala klinis.
Hasil dan tindak lanjut dari pemeriksaan laboratorium antara lain:
1) IgG (+) : sudah pernah terinfeksi di masa lalu sehingga sudah kebal
terhadap Rubella. Tidak diperlukan pemeriksaan lanjut sampai dengan
kehamilan berikut.
2) Igg (-), IgM (-)/(+) : periksa ulang 1-4 minggu kemudian jika
54

hasiltetap IgG (-), IgM(-) berarti belum pernah terinfeksi. Oleh karena
itu, hindari sumber infeksi dan lakukan vaksinasi jika kehamilan
belum terjadi. Semnetara itu, jika IgG(-) dan IgM (+) berarti igM
tidak spesifik dan belum pernah terinfeksi. Oleh karena itu lakukan
tindakan preventif dan vaksinasi jika kehamilanbelum terjadi.
6. Pencegahan penularan
Cara paling efektif untuk mencegah penularan virus rubella adalah
dengan pemberian imunisasi (MMR). Imunisasi MMR dapat diberikan kepada
bayi usia 1 tahun, remaja usia 11-12 tahun, wanita usia subur.
7. Pengobatan
Tidak ada obat spesifik untuk mengobati infeksi virus rubella. Obat
yang diberikan biasanya bersifat untuk meringankan gejala yang timbul. Bayi
yang lahir dengan sindrom congenital, biasanya harus ditangani secara
seksama oleh para ahli. Biasanya infeksi rubella congenital dipastikan dengan
pemeriksaan serologi segera setelah bayi lahir yaitu dengan terdeteksinya IgM
rubella pada darah bayi.
C. Cytomegalo Virus (CMV)
1. Pengertian
Cytomegalo virus adalah virus DNA yang merupakan anggota
keluarga herpes virus sehingga menimbulkan kemampuan latensi. Virus ini
merupakan penyebab infeksi perinatal tersering. Bukti infeksi pada janin
ditemukan 0,5 sampai 2% dari semua neonates (fadlun dan Feryanto, 2013).
2. Gejala
Ibu yang terinfeksiCMV biasanya tidak menunjukkan gejala yang
nyata karena biasanya CMV dating pergi tanpa gejala.
3. Cara penularan
Virus ditularkan melalui cara-cara berikut ini:
a. Secara horizontal melalui percikan ludah, air liur (saliva) dan urine.
b. Secara vertical dari ibu ke janin bayi
c. Sebagai penyakit menular seksual
4. Diagnosis
a. Prenatal
Efek infeksi pada janin dideteksi dengan USG, CT scan atau MRI. Dapat
dijumpai mikrosefalus, ventrikulomegali atau klasifikasi serebrum.
55

Amniosintesis dilakukan untuk biakan virus atau kordosintesis untuk


mendeteksi IgM dalam memastikan kecurigaan infeksi primer (Fadlun dan
Feryanto, 2013). Amniosintesis paling baik dikerjakan pada umur
kehamilan 21-23 minggu karena:
1) Mencegah hail negative palsu sebab dieresis janin belum sempurna
sebelum umur kehamilan 20 minggu sehingnga janin belum optimal
mengeksresi virus cytomegalo melalui urin ke dalam cairan ketuban.
2) Dibutuhkakn waktu 6-9 minggu setelah terjadinya infeksi maternal agar
virus dapat ditemukan dalam cairan ketuban
3) Infeksi janin yang berat karena tranmisi CMV pada umumnya bila
infeksi maternal terjadi pada umur kehamilan 12 minggu.
Adanya kemungkinan infeksi CMV intrauterine pada janin bila didapatkan
oligohidramnion, polihidramnion, hidrops ninimun, asites janin, gangguan
pertumbuhan janin, mikrosefali, hidrosefalus, klasifikasi intracranial,
hepatosplenomegali (Sarwono, 2013)
b. Maternal
Dengan mengisolasi virus dalam biakan urine/sekresi atau biji serologi.
5. Dampak pada kehamilan
Infeksi CMV congenital berasal dari infeksi maternal eksogenus atau
endogenus. Infeksi eksogenus dapat bersifat primer yaitu terjadi pada ibu hamil
dengan pola imunologik seronegatif dan non primer bila ibu hamil dalam
keadaan seropositif. Infeksi edogenus adalah hasil suatu reaktivasi virus yang
sebelumnya dalam keadaan paten. Infeksi maternal primer akan memberikan
akibat klinik yang jauh lebih buruk pada janin dibandingkan infeksi rekuren
(Sarwono, 2010).
6. Pemeriksaan laboratorium
a. Anti CRV IgM dan IgG, IgG aviditas
b. Pemeriksaan dilakukan pada saat ibu merencanakan kehamilan, awal
kehamilan, selanjutnya dipantau setiap trimester sampai akhir kehamilan
jika hasil pemeriksaan sebelumnya negative (Fadlun dan Feryanto, 2013).
Hasil dan tindak lanjutnya adalah:
a. IgG(-) : diperiksa ulang beberapa minggu kemudian, jika hasil tetap Igg
(-) berarti tidak terinfeksi dan lakukan langkah pencegahan. Sementara
itu, jika IgG (+) : lakukan pemeriksaan konfirmasi IgM dan IgG
56

aviditas. Jika IgM (+) dan IgG aviditas rendah berarti infeksi primer
perlu pemeriksaan lebih lanjut apakah jann terinfeksi atau tidak.
b. IgG (+) : sudah pernah terinfeksi di masa lalu karena itu sudah kebal
terhadap CMV. Tidak diperlukan pemeriksaan lanjut kecuali pada
kehamilan berikut untuk melihat jumlah liter IgG, apakah masih
mencukupi atau tidak (fadlun dan Feryanto,2013).
7. Pencegahan
Kesehatan perlu dijaga dengan baik pada situasi yang berisiko tinggi.
Misalnya, tersedianya unit rawat intensif neonatal, pusat rawat berobat jalan
dan unit dialysis. Transfuse ibu dengan darah positif CMV harus dihindari
(Fadlun dan feryanto, 2013).
8. Terapi dan pengobatan
Pada umumnya terapi diberikan untuk mengobati infeksi CMV yang
serius seperti retinitis, esofagitis pada penderita AIDS serta tindakanprofilaksis
untuk mencegah infeksi CMV setelah transplantasi organ. Obat yang digunakan
saat ini adalah Ganciclovir, foscarnet, Cidofivir dan Valacidovir tetapi saat ini
belum dilakukan evaluasi di samping obat tersebut dapat menimbulkan
intoksikasi resistensi. Pengembangan vaksin perlu dilakukan guna mencegah
morbiditas dan mortalitas akibat infeksi congenital (Sarwono, 2013).

D. Herpes Simplex
1. Pengertian
Herpes simplex yang disebut juga herpes genitalis adalah infeksi akut
yang disebabkan oleh virus herpes homunis tipe I dan II yang menyerang
daerah mukokutan, seperti adanya vesikel berkelompok di atas dasar kulit yang
sembab dan eritema pada daerah mukokutan (Fadlun dan Feryanto, 2013).
Disebut sebagai herpes genitalis karena infeksi homunis ini terjadi pada traktus
genitalia bagian bawah.
2. Gejala Klinis
a. Gejala primer biasanya timbul dalam 3-7 hari setelah paparan
b. Infeksi asimtomatik : parestesia yang ringan dan rasa panas di daerah
perineum dapat terjadi sebelum lesi kelihatan
c. Jika mukosa vesika urinaria terinfeksi, maka urinisasi sangat nyeri sampai
terjadi retensi urine
57

d. Terjadi vesikel jernih pada labia mayora/minora, kulit perineum, vestibula


bahkan sampai vagina dan mukosa ektoserviks
e. Vesikel yang dialami dalam waktu 1-7 hari membentuk ulkus dangkal dan
nyeri. Bila penyembuhan terjadi, tidak menyebabkan parut/ulserasi.
3. Pencegahan
a. Jika ibu hamil terkena herpes segera lakukan konsultasi dengan tenaga
kesehatan
b. Jika pasangan mempunyai riwayat herpes, sebaiknya menggunkan kondom
saat berhubungan seksual selama hamil.
c. Pemberian antivirus pada ibunyang terinfeksi dan ingin hamil atau sudah
hamil
d. Jika ibu memiliki gejala herpes pada saat melahirkan, maka persalinan
sebaiknya diselesaikan secara SC karena resiko bagi janin cukup besar bila
persalinan dilakukan pervaginam.
4. Komplikasi
Bila mengenai region gebital yang cukup luas dapat menyebabkan
gangguan mobilitas, vaginitis, urethritis, sisitis dan fisura ani herpetika. Pada
janin dapat menyebabkan abortus, anomaly congenital dan infeksi pada
neonates seperti konjungtivitis/keretitis, ensefalitis, vesililitis kutis, ikterus dan
konvulsi (Rukiyah, 2010).
5. Pemeriksaan Laboratorium
a. Anti HSV-1 IgG dan IgM, anti HSV-2 IgG dan IgM
b. Pemeriksaan dilakukan pada saat ibu merencanakan kehamilan dan awal
kehamilan. Bila hasil negative, maka periksa pasangannya. Bila istri (-)
pasangan (+) dengan riwayat herpes genital, maka periksa istri menjelang
akhir kehamilan (Fadlun dan Feryanto,2013).
Hasil dan tindak lanjutnya dalah :
a. IgG (-) : periksa pasangan/suami terhadap anti HSV-2 IgG. Jika suami IgG
(+) lakukan tindakan preventif penularan dengan penggunaan kondom.
Periksa ulang 2 minggu kemudian, jika IgG (-) berarti tidak terinfeksi. Jika
IgG (+) berarti infeksi primer dengan resiko tinggi penularan pada janin.
Segera konsul kedokter, jikaterdapat lesi untuk mencegah penularan pada
bayi, biasanya dokter menganjurkan untuk dilakukan SC.
b. IgG (+) : infeksi kambuhan, risiko penularan pada janin lebih kecil dari
58

infeksi primer. Jika terdapat lesi, biasanya dokter menganjurkan SC untuk


mencegah penularan pada bayi.
6. Penanganan Khusus
Menurut Saifuddin (2009) penanganan khusus herpes simplex pada
ibu hamil yakni:
a. Atasi nyeri dan demam dengan parasetamol 3 x 500 mg
b. Bersihkan lesi dengan larutan antiseptic dan kompres air hangat. Setelah
nyeri berkurang, keringkan dan oleskan asiklovir 5% topical
c. Berikan asiclovir oral 200 mg tuap 4 jam
d. Rawat inap bila terjadi demam tinggi, nyeri hebat, retensi urin, konvulsi,
neurosis, reaksi neurologic local, ketuban pecah dini, partus prematurus
e. Obati pasangan dengan asiklovir oral selama 7 hari
f. Bila diputuskan untuk partus pervaginam, hindari transmisi ke bayi atau
penolong.
g. Obat-obatan antiviral yang diberikan selama 3 bulan (pengawasan dokter)
Tabel 1.1 Terapi Kehailan dengan Herpes menurut Tingkatan Pelayanan
Kesehatan
Tingkat Upaya
Polindes  Diagnosis
 Rujuk
Puskesmas  Diagnosis, Rawat inap
 Terapi : simtomatik suportif, rujuk bila ada
komplikasi
Rumah Sakit  Diagnosis
 Lab rutin
 Lab khusus
 Investigasi : Virologi imunologik bioassay
profil biofisik
 Rawat inap, terapi : tirah baring, diet
khusus, simptomatik, suportif
Sumber : Saifuddin, 2009

DAFTAR PUSTAKA

Fadlun dan Feryanto, Achmad, 2013. Asuhan Kebidanan Patologi, Jakarta: Salemba
Medika
59

Saifuddin AB, dkk, 2009, Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal dan
Neonatal. Jakarta: PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.

Saifuddin AB, dkk, 2010. Ilmu Kebidanan, Ed: 4, Jakarta: PT Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo.

Sitepu, Vilino Melda, 2011. Karakteristik Penderita Hydrochephalus Rawat Inap Di


RSUP. H. adam Malik Medan Tahun 2005-2009. FKM USU Medan.

Sofian A, 2011. Rustam Mochtar Sinopsis Obstetri: Obstetri Fisiologi, Obstetri Patologi,
Jakarta:EGC

Varney, Helen, 2006, Buku Ajar Asuhan Kebidanan, Volume; 1 Ed: 4. Jakarta: EGC

Wildan, Moh. Dan Hidayat, A. 2011, Dokumentasi Kebidanan. Jakarta: Salemba Medika

Yulaikah, Siti dan Dwi, Maryaning, 2009. Gambaran Pengetahuan Ibu Hamil Tentang
Toxoplasmosis Rubella Cytomegalovirus Herpes (TORCH) di Puskesmas Simo Boyolali
Tahun 2009. Jurnal Penelitian.

Anda mungkin juga menyukai