Disusun Oleh :
LILIS SUSIANTI
Dosen Pembimbing :
Rosyati Pastuty, S.SiT., M.Kes.
Dengan menghaturkan puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala
limpahan rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “ Tata
Laksana Gangguan Hemodinamik Akibat Diare pada Anak “
Penulis menghantarkan rasa hormat dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Tuhan
Yang Maha Esa dan Ibu Rosyasti Pastuty, S.SiT., M.Kes. selaku dosen pembimbing, tugas
yang telah di berikan ini dapat menambah wawasan terkait bidang yang di tekuni penulis.
Penulis juga mengucapkan terima kasih pada semua pihak yang telah membantu dalam proses
pembuatan makalah ini.
Penulis menyadari bahwa dalam proses penulisan makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan. Namun demikian, tim penulis telah berupaya dengan segala kemampuan dan
pengetahuan yang dimiliki sehingga dapat selesai dengan baik dan oleh karenanya, tim penulis
dengan rendah hati serta dengan tangan terbuka menerima masukan saran dan usul guna
penyempurnaa makalah ini. Semoga dengan selesainya makalah ini dapat bermanfaat bagi
seluruh pembaca.
Penulis
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
Pada tahun 2015, diare merupakan penyebab kematian utama yaitu mencapai 9%
dari seluruh kematian anak balita di dunia. Dengan demikian, terdapat lebih dari 1400
anak meninggal setiap harinya atau lebih dari 530.000 kematian per tahun akibat diare
meskipun sudah tersedia penanganan yang sederhana dan efektif. Di negara berkembang
termasuk Indonesia, diare merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas
terutama pada anak usia dibawah 5 tahun.
Meskipun angka kesakitan dan kematian diare masih tinggi, angka kematian diare
mengalami penurunan lebih dari 50% yaitu dari 1,2 juta menjadi 530.000 kematian
pertahunnya sejak tahun 2000 sampai dengan tahun 2015. Hal ini dikarenakan adanya
perbaikan sistem untuk meningkatkan pencegahan diare dengan melakukan intervensi
dasar pada perbaikan air minum, sanitasi, dan kebersihan, serta imunisasi rotavirus.
Selain itu juga karena luasnya penggunaan terapi rehidrasi oral menggunakan oralit
dalam penanganan dehidrasi, serta suplementasi zink untuk membantu proses
penyembuhan diare. Pada tahun 2012, penanganan diare sesuai standar di fasilitas
kesehatan sebesar 36,6% dengan capaian tertinggi di Provinsi Bali dan Nusa Tenggara 31
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXXI Timur yang masing-
masing sebesar 100%.
Berdasarkan riskesdas tahun 2013, Angka pemakaian oralit dalam mengelola
diare pada penduduk Indonesia adalah 33,3 persen. Oralit mulai ditemukan sejak tahun
1940-an oleh Daniel Harrow di Universitas Yale dan Harold Harrison di RS Baltimore
City. Larutan ini terbukti menyumbangkan peran besar dalam menurunkan angka
mortalitas diare akut. Sejak saat itu larutan oralit terus berkembang hingga saat ini
ditemukan larutan oralit dengan osmolaritas rendah yang sudah digunakan di seluruh
dunia.
1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Agar mahasiswi mengetahui dan memahami derajat dehidrasi diare pada
anak berdasarkan tanda-tanda klinis, tanda-tanda bahaya diare, tatalaksana
pemberian cairan, serta cara pencegahan agar tidak terjadinya diare pada anak.
1.3.2 Tujuan Khusus
Agar mahasiswi mengetahui dan memahami
1. Klasifikasi penilaian derajat dehidrasi pada anak yang mengalami diare
berdasarkan tanda-tanda klinis.
2. Mengenali tanda-tanda bahaya dehidrasi pada anak yang mengalami diare.
3. Tata laksana pemberian cairan pada anak yang mengalami dehidrasi akibat
diare.
4. Pencegahan agar tidak terjadinya dehidrasi pada anak yang mengalami
diare.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1.1 Tabel Klasifikasi Penilaian Derajat Dehidrasi Berdasarkan Tanda Klinis Oleh
WHO
Sebagian besar anak dengan diare dapat ditatalaksana di layanan primer, namun
kurangnya panduan untuk klinis dalam mendeteksi anak dengan dehidrasi yang lebih
berat menyebabkan tata laksana yang diberikan kurang tepat. Oleh karena sulitnya
penentuan derajat dehidrasi secara objektif dan tepat sesuai dengan defisit cairan tubuh,
maka dibuatlah sebuah pendekatan klinis yang lebih sederhana oleh National Institute for
Health and Clinical Excellence /NICE guideline tahun 2009. Pasien akan diklasifikasikan
menjadi: ‘tidak ada dehidrasi’, ‘tampak klinis dehidrasi’, dan ‘tampak klinis syok’
(Tabel 2.2.1).
2.2 Mengenali tanda-tanda bahaya dehidrasi pada anak yang mengalami diare.
Penyederhanaan skema ini tidak berarti semua derajat dehidrasi disamakan,
namun karena mengetahui adanya kesulitan dalam penentuan derajat dehidrasi di
lapangan sehingga skema disederhanakan. Semakin banyak tanda dan gejala klinis
dehidrasi yang tampak, maka derajat keparahan dehidrasi yang dialami juga semakin
berat. Penilaian tanda dan gejala syok hipovolemik pada anak dengan diare merupakan
sesuatu yang sangat penting karena membutuhkan tata laksana emergensi yang spesifik
dengan pemberian bolus cairan intravena. Pasien dengan syok hipovolemik umumnya
di samping menunjukkan manifestasi klinis spesifik syok, juga menunjukkan tanda
dehidrasi. Tumpang tindih antara gejala dehidrasi dan syok sering terjadi dan seringkali
menjadi sulit dibedakan, terutama karena keduanya berhubungan dengan perubahan
tingkat kesadaran.
Pada dehidrasi, letargi atau iritabel umumnya lebih sering ditemukan sedangkan
pada syok penurunan kesadaran akan terjadi lebih berat. Sama halnya dengan
peningkatan laju nadi yang dapat terjadi pada dehidrasi maupun syok, namun pada syok
peningkatan yang terjadi lebih signifikan. Pada pasien anak yang menunjukkan tanda
atau gejala dehidrasi dengan tanda bahaya pada kategori ‘tampak klinis dehidrasi’, perlu
diwaspadai adanya kemungkinan progresi menjadi syok. Dengan demikian, pasien
tersebut perlu mendapat pemantauan ketat untuk menilai adanya perburukan.
Berdasarkan sebuah meta analisis yang dilakukan tahun 2011 untuk menilai panduan
gastroenteritis akut ada anak, panduan yang dikeluarkan oleh National Institute for
Health and Clinical Excellence (NICE) guideline tahun 2009 merupakan panduan yang
paling direkomendasikan dibanding panduan-panduan sebelumnya. Pada tahun 2014,
European Society for Paediatric Gastroenterology Hepatology and Nutrition
(ESPGHAN) mengklasifikasikan dehidrasi menurut derajat keparahannya menjadi tanpa
atau dehidrasi minimal, dehidrasi ringan sedang, dan dehidrasi berat yang dinilai
berdasarkan skala klinis dehidrasi (clinical dehydration scale /CDS). Skor 0 menandakan
tidak ada dehidrasi, skor 1-4 menandakan dehidrasi ringan, dan skor 5-8 menandakan
dehidrasi sedang berat.
karakteristik 0 1 2
2.3 Tata laksana pemberian cairan pada anak yang mengalami dehidrasi akibat
diare.
Dehidrasi merupakan penyebab utama kematian pada kejadian diare dan hal ini
seharusnya dapat dicegah dengan pemberian tata laksana cairan yang tepat untuk
menggantikan defisit cairan dan elektrolit yang terjadi. Apabila dehidrasi sudah tampak
secara klinis akibat banyak kehilangan cairan karena diare (dehidrasi primer), maka
rehidrasi perlu dilakukan. Selain itu, setelah mendapat rehidrasi yang cukup, ada
kemungkinan untuk terjadi dehidrasi rekuren (dehidrasi sekunder) dan tata laksana
cairan yang tepat dapat mengurangi kejadian tersebut. Pada panduan sebelumnya yang
diadaptasi dari WHO 2005, terapi cairan diberikan berdasarkan derajat keparahan
dehidrasi, yang terdiri dari rencana terapi A untuk diare tanpa dehidrasi, rencana terapi
B untuk diare dengan dehidrasi ringan sedang dan terapi C untuk diare dengan dehidrasi
berat. Namun tata laksana mengenai syok hipovolemik akibat defisit cairan pada diare
belum dijabarkan pada panduan tersebut.
Tata laksana dehidrasi meliputi dua fase: rehidrasi dan rumatan. Pada fase
rehidrasi, defisit cairan diganti secara cepat (dalam 3-4 jam) dan status klinis 35
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak lXXI hidrasi dinilai. Pada
fase rumatan, diberikan cairan dan kalori sesuai dengan kebutuhan rumatan.Terapi
rehidrasi oral merupakan tata laksana utama untuk semua anak dengan diare kecuali
terdapat indikasi penggunaan cairan intravena. Berdasarkan penelitian yang
membandingkan terapi rehidrasi oral dan intravena, didapatkan bahwa rehidrasi oral
memiliki durasi lama rawat lebih singkat dan pada terapi rehidrasi intravena memiliki
risiko flebitis yang lebih tinggi. Efikasi terapi rehidrasi oral dibandingkan dengan terapi
intravena pada dehidrasi berat juga sudah dibuktikan. Sebuah studi dari Iran
mengevaluasi efektifitas dan keamanan terapi rehidrasi oral dibandingkan dengan terapi
cairan intarvena pada anak dengan dehidrasi berat. Walaupun sebagian besar anak
dengan dehidrasi berhasil ditatalaksana dengan terapi rehidrasi oral, namun pada
beberapa kejadian, terapi rehidrasi cairan intravena menjadi pilihan terapi.
2. Anak dengan tanda bahaya (Tabel 2.2.1) yang tidak menunjukkan perbaikan
setelah terapi rehidrasi oral.
3. Muntah persisten setelah pemberian larutan oralit baik secara oral maupun NGT.
Jika terapi rehidrasi intravena diperlukan pada anak diare dengan dehidrasi (dan
anak tidak menunjukkan gejala hipernatremia), maka:
1. Gunakan cairan isotonik seperti NaCl 0,9%, ringer laktat atau NaCl 0,9%
dengan glukosa 5% sebagai cairan pengganti defisit dan rumatan.
2. Pada anak dengan dehidrasi tanpa syok, maka tambahkan 50 ml/kg sebagai
pengganti defisit cairan ke dalam kebutuhan cairan rumatan dan pantau
respon klinis yang terjadi.
Dengan pemberian terapi rehidrasi secara cepat, maka perfusi gastrointestinal akan
meningkat sehingga terapi oral dapat dimulai lebih cepat. Selain itu terapi rehidrasi
secara cepat juga dapat memperbaiki perfusi ginjal yang dapat berpengaruh pada
keadaan asidosis dan gangguan elektrolit akibat dehidrasi. Terdapat beberapa
rekomendasi dalam menetapkan laju kecepatan rehidrasi misalnya yang diterapkan oleh
WHO yaitu 100 ml/kg dalam 3-6 jam, namun panduan yang dikeluarkan oleh NICE
2009 tidak menyebutkan laju optimal untuk pemberian terapi carian rehidrasi intravena
pada anak diare dengan dehidrasi. European Society for Paediatric Gastroenterology
Hepatology and Nutrition (ESPGHAN) menyebutkan bahwa pada anak dengan
dehidrasi berat yang memerlukan terapi intravena, dapat diberikan terapi rehidrasi
intravena secara cepat yaitu NaCl 0,9% 20 ml/kg/jam selama 2-4 jam dan untuk cairan
rumatan menggunakan cairan yang mengandung dekstrosa.
2.4 Pencegahan agar tidak terjadinya dehidrasi pada anak yang mengalami diare
Pencegahan agar tidak terjadinya dehidrasi pada anak yang mengalami diare adalah
1. Teruskan ASI atau susu yang biasa diminum jika sudah tidak mengkonsumsi
ASI
2. Berikan asupan cairan
3. Hindari meminum jus buah dan minuman bersoda, terutama pada anakanak
yang lebih berisiko untuk mengalami dehidrasi
4. Berikan oralit sebagai tambahan cairan terutama pada anak-anak yang lebih
berisiko untuk mengalami dehidrasi.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dehidrasi merupakan komplikasi utama yang menyumbang angka mortalitas tinggi
pada diare yang seharusnya dapat dicegah dengan pemberian tata laksana cairan yang
tepat. Namun, adanya kesulitan dalam menentukan derajat keparahan dehidrasi kadang
menyebabkan terapi cairan yang diberikan kurang tepat. Selain itu, tanda dan gejala
dehidrasi yang tumpang tindih dengan syok. Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan
Ilmu Kesehatan Anak lXXI hipovolemik seringkali menimbulkan kontroversi dalam
penanganan terapi cairan pada diare. Oleh karena itu, penting bagi klinisi untuk dapat
mewaspadai gejala dehidrasi dengan tanda bahaya karena memiliki kemungkinan untuk
mengalami progresi menjadi syok. Dengan demikian, terapi emergensi spesifik sebagai
penanganan syok hipovolemik juga dapat diberikan
3.2 Saran
1. Bagi Penulis
Diharapkan memahami mengetahui dan memahami derajat dehidrasi diare pada
anak berdasarkan tanda-tanda klinis, tanda-tanda bahaya diare, tatalaksana pemberian
cairan, serta cara pencegahan agar tidak terjadinya diare pada anak.
2. Bagi Pembaca
Diharapkan dapat membaca dan memahami makalah derajat dehidrasi diare
pada anak berdasarkan tanda-tanda klinis, tanda-tanda bahaya diare, tatalaksana
pemberian cairan, serta cara pencegahan agar tidak terjadinya diare pada anak.
DAFTAR PUSTAKA
1. Diarrhoeal disease fact sheet N°330”. World Health Organization. April 2013.
Retrieved 9 July 2014.
2. Guarino A, Ashkenazi S, Gendrel D, Vecchio AL, Shamir R, Szajewska H.
European Society for Pediatric Gastroenterology, Hepatology, and Nutrition/
European Society for Pediatric Infectious Diseases Evidence-Based Guidelines
for the Management of Acute Gastroenteritis in Children in Europe: Update
2014. JPGN. 2014;59:132-42
3. World Gastroenterology Organisation (WGO). World gastroenterology
organisation global guideline: acute diarrhea in adults and children: a global
perspective. Milwakee (WI): World gastroenterology Organisation (WGO);
2012
4. United Nations Children’s Fund (UNICEF). Diarrhoea remains a leading killer
of young children, despite the availability of a simple treatment solution.
[updated 2016 Oct; cited 2016 Oct 13] Available from:
http://data.unicef.org/topic/childhealth/diarrhoeal-disease/
5. Kementerian Kesehatan. Pusat Data dan Informasi Profil Kesehatan Indonesia
2012. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI; 2012.