Anda di halaman 1dari 18

TUGAS BELAJAR MATA KULIAH TEOLOGI MORAL KELUARGA

(DR. ALBERTUS SUJOKO, S.S., LIC. TH.)

Nama : Johanes Feygthi Sandehang

Prodi/Semester : Teologi/III

PERTANYAAN

1. Cari di Internet mengenai Mas Kawin, Tukar Cincin, Antar Harta dan Belis!
2. Apakah maksud atau arti di balik pemberian mas kawin itu?
3. Sebutkanlah contoh-contoh mas kawin yang hanya bermakna simbolis tanpa nilai
ekonomis!
4. Apakah kalau sudah tukar cincin sudah boleh tidur bersama?
5. Apakah kalau sudah memberikan mas kawin, maka harus menikah?
6. Berikanlah penilaian etis terhadap mas kawin!

1|TUGAS TEOL OGI MORAL KE LUARGA


JAWABAN

1. Pernikahan dalam Tradisi

Allah menciptakan manusia menurut citra-keserupaan-Nya sendiri1. Ia memanggil


manusia menjadi kenyataan karena cinta kasih-Nya, sekaligus untuk mencintai. Allah itu cinta
kasih2, dalam diri-Nya la menghayati misteri persekutuan cinta kasih antar Pribadi. Seraya
menciptakan umat manusia menurut gambar-Nya sendiri dan tiada hentinya melestarikan
keberadaannya, Allah menggoreskan dalam kodrat manusiawi pria maupun wanita panggilan,
dan karena itu juga kemampuan serta tanggung jawab untuk mengasihi dan hidup dalam
persekutuan3. Oleh karena itu cinta kasih merupakan panggilan yang sangat mendasar bagi
setiap manusia, dan sudah tertera dalam kodratnya. Sebagai roh yang meraga, artinya: jiwa
yang mengungkapkan diri dalam badan, dan badan yang dijiwai oleh roh yang tak kunjung
binasa, manusia dipanggil untuk mencintai dengan keseluruhan dirinya yang menyatu. Cinta
kasih mencakup badan manusiawi, dan badan berperan serta dalam kasih yang rohani.

Perwahyuan Kristen mengakui adanya dua cara yang khas dalam mewujudkan panggilan
manusia secara keseluruhan untuk mencintai. Oleh sebab itulah, Gereja menegaskan
mengenai persiapan diri para mempelai sebelum melangsungkan pernikahan dan gereja juga
menghormati kerarifan lokal serta tradisi dalam pernikahan, selama itu masih berada dalam
tujuan pernikahan dan esensi serta hakikat pernikahan itu sendiri.4 Beberapa yang
menyangkut pernikahan dalam tradisi khususnya di daerah-daerah Indonesia yang kemudian
dimasukkan sebagai bagian dalam Gereja Indonesia, seperti halnya dalam upacara
keagamaan. Itu semua yakni sebagai berikut.

Pertama, Mas kawin atau mahar merupakan satu pemberian dari keluarga mempelai pria
berupa harta benda kepada pihak keluarga mempelai wanita pada saat pernikahan
dilangsungkan. Mas kawin yang dibawa ini merupakan satu bentuk pemberian dan jawaban
dari keluarga pria serta bentuk permohonan untuk meminta mempelai wanita untuk mempelai
pria sebagai isterinya. Mas kawin atau ada pula menyebutnya dengan mahar dalam pandangan
antropologi, sering dijelaskan sebagai bentuk lain dari transaksi jual beli sebagai kompensasi
atas kerugian yang diderita oleh pihak keluarga wanita karena kehilangan seseorang yang juga

1
Bdk. Kej 1:26-27.
2
Bdk. 1Yoh 4:8.
3
Bdk. KONSILI EKUMENIS VATIKAN II, Konstitusi pastoral “Gaudium et Spes” tentang Gereja dalam
Dunia Modern, art. 12.
4
Bdk. Ensiklik Familia Consosrtio mengenai hakikat pernikahan.

2|TUGAS TEOL OGI MORAL KE LUARGA


merupakan faktor pendukung dalam keluarga yakni tenaga kerja dan berkurangnya tingkat
fertilitas5 dalam kelompok.

Mas kawin atau mahar didefinisikan dengan beberapa pengertian ini yaitu: Berbentuk
uang atau barang yang dibawa mempelai wanita kepada mempelai laki-laki dalam upacara
pernikahan. Mas kawin ini biasanya akan diserahkan bersamaan dengan penyerahan
mempelai wanita. Mas kawin juga bisa berupa hadiah yang dibayarkan kepada seorang calon
istri. Bisa juga diartikan sebagai hadiah, keberuntungan dan pemberian. Di negara seperti
India, mas kawin ini dibayar oleh pihak wanita kepada pihak pria. Sementara di banyak suku
lain seperti di Afrika, mas kawin justru diberikan oleh pihak pria kepada pihak wanita.

Tradisi ini pula yang dijalankan di negara-negara Timur Tengah seperti yang bisa kita
lihat saat Abraham membayar mas kawin kepada keluarga Ribka untuk putranya Ishak. Ishak
bahkan harus bekerja selama 14 tahun untuk mertuanya sebagai mas kawin atas Ribka. Begitu
juga dengan kisah Yakub saat hendak mempersunting Leah dan juga Rachel. Dituliskan
bahwa Yakub harus bekerja selama tujuh tahun dengan mertuanya Laban 6. Demikian juga
dengan Daud yang membayar mas kawin untuk putri Saul, Michal dalam bentuk seratus kulit
khatam orang Filistin7. Otniel juga harus membayar mas kawin untuk calon istrinya Akhsa
dengan berperang8.

Alkitab menyebutkan beberapa kali soal mas kawin ini. Karena hal itu dianggap penting
dalam prosesi sebuah pernikahan bagi bangsa Yahudi. Beberapa ayat yang menyebutkan hal
ini diantaranya: “Jika ayah perempuan itu sungguh-sungguh menolak memberikannya
kepadanya, maka ia harus juga membayar perak itu sepenuhnya, sebanyak mas kawin anak
perawan.” (Kel 22: 17). “Jika ayah perempuan itu sungguh-sungguh menolak memberikannya
kepadanya, maka ia harus juga membayar perak (mas kawin) itu sepenuhnya, sebanyak mas
kawin anak perawan” (Kej 30: 20). “Walaupun kamu bebankan kepadaku uang jujuran dan
uang mahar seberapa banyakpun, aku akan memberikan apa yang kamu minta; tetapi berilah
gadis itu kepadaku menjadi isteriku.”( Kej 34: 12).

5
Fertilitas merupakan istilah demografi yang diartikan sebagai hasil reproduksi yang nyata dari seorang wanita
atau sekelompok wanita. Dengan kata lain, fertilitas menyangkut banyaknya bayi yang lahir hidup atau
terlepasnya bayi dari Rahim seorang perempuan dengan ada tanda-tanda kehidupan (live birth) pada suatu
daerah dalam jangka waktu tertentu .
6
Lih. Kej 29: 15-30
7
Lih. 1 Sam 18: 25-27
8
Lih. Hak 1: 11-15.

3|TUGAS TEOL OGI MORAL KE LUARGA


Kedua, Tukar Cincin merupakan upacara yang dilangsungkan sebagai tanda pengikat
bahwa hubungan kedua calon memang sudah serius dan mengarah kepada perkawinan. Dalam
acara tukar cincin biasanya juga sudah diundang keluarga besar dari kedua mempelai untuk
menjadi saksi dan menderikan doa restu semoga kedua calon dapat sampai pada pernikahan.
Upacara tukar cincin itu dapat dilakukan satu tahun, enam bulan, tiga bulan atau satu bulan
sebelum hari pernikahannya. Upacara ini dalam Gereja tidak disatukan dalam perayaan
ekaristi atau hanya dilangsungkan dalam perayaan sabda dan dilanjutkan dengan upacara yang
menyangkut dengan pertunangan atau tukar cincin.

Tradisi tukar cincin pertunangan, diawali pada zaman Mesir kuno dan masa Yunani kuno.
Di jaman tersebut, bukan hanya wanita saja, melainkan laki- laki juga mengenakan cincin
pertunangan. Di zaman mesir kuno, umumnya seorang pria mengenakan cincin sebagai
lambang kekayaan yang mereka miliki.

Awal Mula Tradisi Tukar Cincin Pertunangan. Penggunaan cincin pertunangan pada
pasangan masing-masing, merupakan sebuah tanda jika sang pria akan membagikan
kekayaannya pada sang pujaan hati. Beda mesir, beda pula Yunani Kuno, mereka yang tengah
di mabuk cinta, akan memberikan pasangan mereka cincin emas pada masing- masing
pasangan. Penggunaan cincin emas merupakan tanda resmi ikatan cinta, jika pasangan
tersebut akan menikah secepatnya sekaligus biar gak garuk sana garuk sini lagi hahaha.
Sedangkan di zaman romawi kuno, tukar cincin, juga dilakukan bahkan dengan orang tua dari
masing-masing calon mempelai pasangan.

Sekitar abad XI, pihak gereja menyatakan jika penggunaan cincin memiliki arti yang
penting dalam sebuah ikatan berpasangan. Inilah kenapa memasuki abad ke 16, penggunaan
cincin resmi dilakukan sebagai bagian dari suatu upacara pernikahan. Berdasarkan tradisi dari
Gereja Katolik, penggunaan cincin tunangan, hanya dikenakan bagi wanita saja sementara
laki-laki tidak mengenakannya. Di masa lampau, “sejarah cincin pertunangan”, hanya
dilakukan pada raja dan ratu saja. Cincin pertunangannya pun menggunakan jenis batuan yang
berharga. Sementara rakyat biasa umumnya hanya menggunakan cincin pertunangan yang
berasal dari bahan emas atau pun besi.

Cincin pertunangan yang dimiliki oleh Ratu Victoria Inggris, terlihat indah dengan hiasan
batu berharga dan warna warni yang menyenangkan. Batuan berharga, yang ditemukan pada
era tersebut, awalnya hanya digunakan oleh kalangan bangsawan. Namun seiring dengan
berjalannya waktu, penggunaan cincin pertunangan dari mata berlian, akhirnya populer juga

4|TUGAS TEOL OGI MORAL KE LUARGA


di masyarakat. Penggunaan berlian sebagai cincin tunangan dan pernikahan, semakin populer
setelah De Beers, yang pada era 30-an, menyewa agensi iklan di New York untuk
mempromosikan berlian sebagai penghias cincin. Keberadaan iklan tersebut membuat mata
berlian menjadi sangat laku di pasaran bahkan dijadikan sebagai cerminan cinta setia untuk
sepanjang masa..

Setelah pertunangan, akan tiba saatnya menikah. Pasangan juga akan menggunakan
cincin pernikahan. Penggunaannya menandakan jika kedua orang yang tengah menjalin kasih
tersebut telah resmi menjadi pasangan. Beda dengan dulu, kini cincin pertunangan dan
pernikahan telah mengalami banyak perkembangan dengan bentuk yang beragam dan warna
yang menawan. Bukan hanya sekedar memilih, namun kamu dan pasangan juga bisa
memesannya secara langsung untuk dibentuk sesuka hati.

Cincin sampai saat ini masih dianggap sebagai simbol orang yang menikah, atau tanda
bahwa seseorang sudah menikah, sudah terikat. Pada umumnya orang yang menikah memakai
cincin di jari manis tangan kanan, baik suami maupun istri. Pernikahan tanpa cincin rasanya
kurang lengkap atau bahkan tidak pantas. Tetapi, apakah sesungguhnya arti dan nilai sebuah
cincin kawin? Cincin nikah sudah dikenal sejak zaman dulu, barangkali sekitar kekaisaran
Roma atau bahkan lebih tua dari itu. Orang sudah lama menggunakan cincin sebagai lambang
persatuan, kepemilikan, kesetiaan, kekayaan, dan hadiah. Cincin nikah sudah menjadi tradisi
yang mendunia untuk banyak budaya.

Dalam budaya atau tradisi Katolik, cincin nikah juga dipakai dalam tata perayaan
pernikahan, baik sakramen maupun bukan sakramen. Bahkan dalam liturginya pun, ada
rumusan yang dengan jelas menyatakan berkat atas cincin sebelum masing-masing dikenakan
oleh kedua mempelai yang baru saja mengikrarkan janji. Rumusan yang biasanya ada adalah:
“Kenakanlah cincin ini pada jari manis tangan kiri suami/istri-mu sebagai tanda cinta dan
kesetiaanmu.” Lalu salah satu pihak secara bergantian akan melanjutkan dengan rumusan
yang sama, “Terimalah cincin ini sebagai lambang cinta dan kesetiaanku kepadamu.” 9

Dari pernyataan ini, dapat diketahui bahwa cincin diberikan sesudah kedua mempelai
mengikrarkan janji. Artinya, janji atau komitmen itulah yang terpenting. Kata lambang di situ
tidak menentukan keabsahan janji, melainkan menambah dan mempertegas kehendak melalui
benda-benda yang kelihatan. Semoga Anda masih ingat bahwa hal terutama dan terpenting

9
Lih. Rumusan Upacara Sakramen Perkawinan dalam Gereja Katolik, Rumusan untuk Imam.

5|TUGAS TEOL OGI MORAL KE LUARGA


dalam setiap perkawinan adalah pengikraran janji, dan bukan simbol-simbol pendukungnya.
Janji inilah yang menentukan ada tidaknya dan sahnya suatu perkawinan. Keberadaan janji
mutlak, sedangkan faktor pendukung atau penjelasnya selalu sesuatu yang sekunder, yang
boleh ada boleh tidak. Cincin termasuk dalam bagian sekunder ini. Tidak ada suatu keharusan
apa pun untuk memakai cincin perkawinan sesudah janji diikrarkan oleh kedua mempelai.

Dengan pernyataan di atas, maka keberadaan cincin bukanlah yang menentukan


sahnya suatu perkawinan Katolik, melainkan suatu simbol yang ditambahkan oleh tradisi
sebagai tanda ikatan, cinta yang tak putus, kemurnian, dan kesetiaan. Dengan ini, baik bahan
emas atau bukan adalah sesuatu yang tidak mutlak atau relatif.

Kesulitan seputar cincin pernikahan biasanya adalah soal kebiasaan dan adat setempat.
Cincin menjadi lambang kesungguhan seseorang mengikatkan diri pada pasangannya dan
lambang harta benda yang akan diserahkan kepada calon tersebut. Seandainya tidak ada, atau
tidak dapat dipenuhi, maka persoalan yang terjadi adalah soal kekeluargaan, bukan gerejani.
Hal ini tentu saja tetap menjadi pertimbangan pribadi dan bersama calon pasangan, meski
tidak menentukan sahnya pernikahan.10

Tukaar cincin atau pertunangan sangat penting dalam mempersiapka sebuah


pernikahan antara kedua pihak. Paus Fransiskus juga menegaskan hal ini yakni ia mengatakan
“pernikahan adalah pertam-tama suatu penemuan panggilan Allah, bahwa pria „mempelajari‟
wanita dan juga sebaliknya”. Lanjutya, bahwa pertunangan merupakan hal yang sangat
bermakna yang mana menyagkut pembelajaran. Maka, pertunangan adalah sangat penting
dalam proses persiapan pernikahan.11

Ketiga, Antar Harta, dalam upacara tukar cincin itu juga dilakukan acara antar harta.
Pihak pengantin pria membawa harta kepada keluarga pengantin wanita. Diundang petugas
Gereja juga untuk memimpin ibadah dengan upara tukar cincin yang dikenakan pada jari
tangan kiri. Harta yang dibawa ialah: perlengkapan bagi keluarga baru nanti seperti: Tempat
tidur dan kasur; lemari pakaian; alat-alat dapur, kain, bahan makanan: beras, ayam, kelapa dll
dan akhirnya uang. Semua barang yang dibawa dibacakan dan dicek kebenarannya apakah
barang tersebut sungguh ada.

10
Artikel mengenai persiapan sebelum pernikahan oleh Alexander Erwin Santoso MSF.
11
Audiensi umum mingguan pada 27 Mei 2015 di Lapangan Santo Petrus, Vatican City, Vatican.

6|TUGAS TEOL OGI MORAL KE LUARGA


Upacara pertunangan dalam masyarakat budaya Minahasa disebut mehe roko. Ide di balik
praktek tersebut mirip dengan mas kawin yang diberikan oleh pihak mempelai pria kepada
pihak mempelai wanita. Di dalam upacara tersebut juga dilakukan acara tukar cincin sebagai
pengikat tali kasih.12

Ada juga Tradisi belis sangat lekat dengan masyarakat di Indonesia Timur, khususnya
masyarakat di wilayah Nusa Tenggara Timur (NTT). Dalam konteks Indonesia sebenarnya
merupakan tradisi yang relatif umum, yakni pemberian mas kawin dari pihak calon pengantin
laki-laki kepada pihak calon pengantin perempuan.Masing-masing mempunyai ciri khas,
istilah, bentuk, serta warna sendiri-sendiri. Di masyarakat wilayah NTT, tradisi belis juga
berbeda-beda sarana utamanya. Masyarakat Flores Timur (Lamaholot), misalnya,
menggunakan gading gajah, masyarakat Alor dan Pantar menggunakan moko, masyarakat
Sumba dan beberapa masyarakat lain menggunakan hewan.Pada umumnya, tradisi belis
adalah bentuk pemberian atau pertukaran timbal-balik (resiprositas) walaupun dalam
praktiknya bentuk/sarana pemberian tersebut cenderung dilihat hanya dari pemberian pihak
calon pengantin lakilaki.13

Belis dalam masyarakat Sumba merupakan salah satu tradisi yang mempunyai pertautan
erat dengan tradisi-tradisi lain terkait dengan penyelenggaraan dan pengelolaan kehidupan
manusia, serta kondisi lingkungan alam setempat.Banyak tradisi di Sumba mengacu pada
tradisi lisan yang menyatakan bahwa nenek moyang orang Sumba pertama kali tinggal di
Kampung Wunga (Kecamatan Haharu), Sumba Timur, sesudah menempuh perjalanan dengan
perahu dari Semenanjung Malaka. Setelah mengadakan kesepakatan-kesepakatan adat, terkait
tata cara kehidupan dan pembagian kabihu/kabizu (semacam marga), mereka kemudian
menyebar ke seluruh penjuru Sumba.Tradisi ini sangat terkait erat dengan tradisi-tradisi lain
di Sumba untuk menata dan mengelola kehidupan mereka dengan wilayah yang sebagian
besar relatif tandus karena curah hujan relatif minim.Pada umumnya, masyarakat yang hidup
dalam lingkungan geografis yang relatif kurang didukung oleh sumber-sumber alam yang
memadai mempunyai simpul-simpul kuat dalam pengelolaan tradisi mereka untuk bersama-
sama dapat bertahan hidup sampai ke anak keturunan mereka.

12
Bdk. Albertus Sujoko, Teologi Keluarga: Memahami Rencana Allah bagi Keluarga menurut Familiaris
Consortio, Kanisius, Yogyakarta 2011, hal. 105.
13
Media Indonesia mengenai Tradisi Belis dalam kalangan masyarakat NTT.

7|TUGAS TEOL OGI MORAL KE LUARGA


Sebagai salah satu rangkaian dari upacara perkawinan, tradisi belis menjadi langkah awal
dalam menentukan posisi dalam relasi selanjutnya ketika kabihu/kabizu yang terlibat di
dalamnya belum jelas posisinya apakah sebagai pengambil atau pemberi perempuan. Adapun
bagi kabihu/kabizu yang sudah jelas posisinya, tradisi belis merupakan langkah mempertegas
kembali posisi masing-masing. Dalam konteks ini, kabihu/kabizu di Sumba akan menjadi
jelas mana pihak pengambil perempuan dan mana pihak pemberi perempuan. Kejelasan
hubungan ini akan menentukan hak dan kewajiban masing-masing dalam tradisi-tradisi yang
lain atau dalam pengelolaan kehidupan bersama selanjutnya.Apabila dilihat secara sepintas
atau dengan kacamata „orang luar‟, tradisi belis merupakan acara pemberian atau penyerahan
hewan (biasanya kerbau dan kuda) dari pihak calon pengantin laki-laki kepada pihak calon
pengantin perempuan. Namun, apabila dilihat lebih dalam lagi, pihak calon pengantin laki-
lagi juga menyerahkan Kanataru dan Mamuli (seperti simbol Lingga dan Yoni).Kanataru
adalah hiasan yang merupakan simbol alat kelamin laki-laki, sedangkan Mamuli adalah
hiasan yang merupakan simbol rahim atau alat kelamin perempuan, terbuat dari emas, perak,
atau tembaga. Selain itu, pihak calon pengantin perempuan juga memberikan sejumlah kain
tenun dengan jenis dan motif tertentu, serta ketika strata sosialnya tinggi juga ata (hamba)
perempuan yang harus ikut menemani calon pengantin perempuan.Ketika telah terjadi
kesepakatan, dilanjutkan dengan penyembelihan babi atau kerbau tertentu yang separuh
dagingnya untuk jamuan makan bersama dan separuh yang lain untuk dibawa pulang oleh
pihak calon pengantin laki-laki.

Ada tiga tahapan dalam tradisi belis, yaitu perkenalan dari keluarga calon pengantin laki-
laki, masuk-minta, dan pergi-ambil. Dalam tradisi ini dilakukan negosiasi antara pihak calon
pengantin perempuan dan calon pengantin laki-laki melalui utusan atau wunang masing-
masing. Negosiasi sering kali berjalan alot dalam mencapai kesepakatan berapa jumlah dan
jenis hewan yang harus diberikan (beserta mamuli) oleh pihak calon pengantin laki-laki dan
berapa jumlah dan jenis/motif kain yang harus diberikan (beserta ata perempuan sesuai strata
sosialnya) oleh pihak calon pengantin perempuan. Ketika telah terjadi kesepakatan adat, pihak
tuan rumah pasti akan memotong babi sebagai tanda kesepakatan yang „dimateraikan‟ dengan
darah babi dan dagingnya untuk jamuan para tamunya. Jumlah hewan yang diminta oleh
pihak calon pengantin perempuan biasanya menyesuaikan strata sosialnya, bisa 30 ekor, 50
ekor, atau bahkan ada juga yang mencapai ratusan ekor.

Sekarang ini, jumlah hewan yang diminta juga menyesuaikan status pendidikan atau
jabatan calon pengantin perempuan. Besar-kecilnya babi atau kerbau (bisa juga diukur dari

8|TUGAS TEOL OGI MORAL KE LUARGA


panjang taring atau tanduknya) tergantung strata sosial pihak tuan rumah dan tamunya.
Apabila belum terjadi kesepakatan, para tamu tidak diberi jamuan (makanan) apa-apa.Hewan
lain yang digunakan untuk adat di Sumba ialah kerbau dan kuda oleh pihak calon pengantin
laki-laki serta babi oleh pihak calon pengantin perempuan. Namun, dalam perkembangannya
saat ini, sapi juga terkadang digunakan untuk adat. Sapi masih jarang digunakan sebagai
hewan adat karena sapi dianggap hewan yang relatif „baru‟ dalam konteks Sumba. Tradisi
belis sebenarnya merupakan simbol penghargaan yang relatif tinggi terhadap perempuan.
Karena itu, kurang dikenal istilah perceraian di Sumba.

Selain itu, perempuan hanya bisa diberi belis satu kali selama hidupnya. Ketika
masyarakat Sumba hanya mengenal belis satu kali pada seorang perempuan, maka perempuan
dari golongan ata yang telah di belis (istilah setempat saat ini „dibeli‟) untuk
masuk/membantu dalam keluarga bangsawan tertentu tidak bisa dibelis lagi. Biasanya yang
akan memperistri ata tersebut ialah ata laki-laki dari tuan laki-laki, dan bukan/jarang dari
orang luar, terlebih-lebih keluarga bangsawan. Orang di luar Sumba mungkin melihat tradisi
belis dan kaitannya dengan tradisi-tradisi yang lain maupun prasyarat-prasyarat yang
melingkupinya sangat rumit.Namun, apabila dilihat dari konteks Sumba dengan kondisi
geografis yang relatif gersang, tradisi belis menjadi salah satu bagian yang terkait erat dengan
tradisi-tradisi lain untuk menata dan mengelola kehidupan setempat.Afiliasi dua
kabihu/kabizu pihak calon pengantin perempuan dan pihak calon pengantin laki-laki nantinya
menjadi kabihu/kabizu pemberi perempuan dan pengambil perempuan. Relasi ini akan terus
berlanjut karena tidak mungkin lagi terjadi pihak pemberi perempuan akan mengambil
perempuan pada pihak pengambil perempuan. Artinya, hewan sebagai properti akan terus
berputar yang nantinya kembali lagi ke arah semula.

Di samping itu, berafiliasinya antar-kabihu/kabizu melalui tradisi belis juga memperkuat


kerja sama dalam melakukan aktivitas-aktivitas seperti penyelenggaraan upacara adat,
penggembalaan hewan, tenaga kerja, ekonomi, dan sebagainya. Dengan melihat konteks
Sumba, pengerahan tenaga kerja secara maksimal sangat diperlukan. Untuk itu, ketika
seorang ata perempuan sudah dibelis oleh tuannya, laki-laki (orang luar) yang tertarik
kepadanya harus kawin masuk dan tinggal bersama tuannya.

Keempat, ada juga Acara pembacaan pertama dan kedua di Gereja juga sudah merupakan
pengumuman secara publik dan keluarga biasanya juga sudah menyiapkan makan bersama
dengan mengundang keluarga dari kedua belah pihak. Acaranya biasanya ada sambutan-

9|TUGAS TEOL OGI MORAL KE LUARGA


sambutan, doa dan makan bersama. Ini merupakan tradisi yang biasanya hidup dalam
masyarakat budaya di Minahasa.

2. Maksud dari Mas Kawin

Pertama, Sebagai bantuan pesta pernikahan. Pihak pria menyerahkan sejumlah uang
kepada pihak wanita dengan maksud untuk bantuan pesta. Hal itu terjadi karena biasanya
pihak wanita yang menyelenggarakan pesta. Kalau pihak pria yang menyelenggarakan pesta,
maka bantuan semacam itu tidak perlu. Kalau pesatanya dilaksanakan dengan menyewa
gedung, maka biaya ditanggung berdua; atau tergantung kemampuan ekonomi keluarga
masing-masing. Kalau keluarga mempelai pria miskin, maka semua ditanggung mempelai
wanita yang kaya. Atau sebaliknya. Dan tema miskin-kaya ini sering diangkat dalam ceritera
sinetron yang menarik, namun sama sekali tidak menarik untuk dijalani. Terlebih kalau pihak
pria yang miskin.

Kedua, Sebagai hadiah bagi calon isteri Mas kawin diberikan sebagai hadiah cinta bagi
calon isteri. Berarti bentuk mas kawinnya adalah barang material yang diperlukan atau
berguna bagi calon isteri. Hadiah itu merupakan tanda cinta kepada isteri sehingga maknanya
sangat penting bagi relasi mereka berdua. Mungkin hadiahnya dipilih yang tahan lama supaya
menjadi kenangan yang tak terlupakan.

Ketiga, Sebagai tanda bukti dari pria kepada keluarga wanita. Mas kawin bisa
dimaksudkan pula sebagai tanda bukti dari pria kepada keluarga wanita untuk meyakinkan
mereka bahwa putri mereka tidak akan terlantar. Berarti mas kawin itu hanya ditunjukkan saja
dan tidak dimaksudkan untuk diserahkan. Misalnya mempelai pria menunjukkan kebon,
pohon kelapa, pohon durian, konon pece untuk tanam padi dll.

Ketiga, Sebagai pemberian kepada keluarga mempelai wanita Mas kawin bisa pula
dimaksudkan sebagai ucapan terimakasih dan penghargaan kepada keluarga wanita yang telah
melahirkan, membesarkan dan mendidik anak gadisnya sampai menjadi isteri dari pria itu.
Mas kawin itu sering disebut sebagai “pengganti air susu.” Tapi juga sebagai imbalan atas
biaya-biaya selama membesarkan dan mendidik anak itu. Sehingga mas kasin untuk calon
isteri yang sarjana akan lebih banyak dari yang tamat SD.

10 | T U G A S T E O L O G I M O R A L K E L U A R G A
Keempat. Sebagai ungkapan simbolik saja. Sering kita mendengar perkawinan artis atau
orang kaya dengan mas kawin seperangkat alat solat. Kalau artis katolik mungkin dengan mas
kawin Alkitab dan Rosario. Mas kawin semacam itu tidak memiliki nilai ekonomis,
melainkan nilai simbolis atau formalitas saja bahwa perlu diserahkan suatu benda yang
disebut mas kawin.

3. Contoh Mas Kawin sebagai ungkapan Simbolik saja.

Dalam Gereja Katolik mas kawin tidaklah seperti mas kawin yang dalam agama Islam
disebut mahar sebagai sebuah kewajiban atau syariat yang harus dilaksanakan namun, gereja
katolik hanya menyatakannya dalam bentuk simbol. Hal itu didasarkan bahwa perkawinan
dibangun atas dasar cinta kasih yang mana diikrarkan dalam janji suci pernikahan yang
merupakan mas kawin terbesar dan termahal yang tak dapat dinilai secara ekonomis namun,
melebihi nilai ekonomis.

Pernikaha yang disatukan dalam keluarga, yang didasarkan pada cinta kasih serta
dihidupkan olehnya merupakan persekutuan pribadi-pribadi: suami dan istri, orangtua dan
anak-anak, sanak-saudara. Tugasnya yang pertama yakni: dengan setia menghayati kenyataan
persekutuan, disertai usaha terus menerus untuk mengembangkan rukun hidup yang autentik
antara pribadi-pribadi. Asas terdalam tugas itu, kekuatannya yang tetap, serta tujuan akhirnya
ialah cinta kasih. Tanpa cinta kasih itu keluarga bukanlah rukun hidup antar pribadi, dan
begitu pula, tanpa cinta kasih keluarga tidak dapat hidup, berkembang atau menyempurnakan
diri sebagai persekutuan pribadi-pribadi. Yang kami tulis dalam ensiklik “Redemptor
Hominis” pertama-tama dan secara khusus berlaku dalam keluarga: “Manusia tidak dapat
hidup tanpa cinta kasih. Ia tetap makhluk yang tak dapat dimengerti oleh dirinya, hidupnya
tiada artinya, bila cinta kasih tidak diungkapkan terhadapnya, bila ia tidak menjumpai cinta
kasih, bila ia tidak mengalaminya, dan mengenakannya pada dirinya, bila ia tidak secara
mesra mendalam berpartisipasi di dalamnya”4614. Cinta kasih antara suami dan istri, dan
dijabarkan dari situ, secara lebih luas, cinta kasih antar anggota dalam satu keluarga – antara
orangtua dan anak-anak, antara kakak-beradik, kaum kerabat dan para anggota
serumahtangga, – dihidupkan dan ditopang oleh dinamisme intern yang tak kunjung henti,
dan mengantar keluarga kepada persekutuan yang kian mendalam dan intensif, dan itu
mendasari serta menjiwai rukun hidup pernikahan dan keluarga.

14
Ensiklik “Redemptor Hominis”, 10: AAS 71 (1979) hlm.274.

11 | T U G A S T E O L O G I M O R A L K E L U A R G A
Kesatuan persekutuan suami-istri yang tak terceraikan Persekutuan yang pertama ialah:
yang dijalin dan berkembang antara suami dan istri: berdasarkan perjanjian pernikahan pria
dan wanita “bukan lagi dua, melainkan satu daging” 15. Mereka dipanggil untuk tetap
bertumbuh dalam persekutuan mereka melalui kesetiaan dari hari ke hari terhadap janji
pernikahan mereka untuk saling menyerahkan diri seutuhnya. Persekutuan suami-istri itu
berakar dalam sitat saling melengkapi secara alamiah, yang terdapat antara pria dan wanita,
dan makin dikukuhkan oleh kerelaan pribadi suami-istri untuk bersama-sama melaksanakan
seluruh rencana hidup mereka, saling berbagi apa yang mereka miliki dan seluruh kenyataan
mereka. Karena itulah persekutuan itu merupakan buah-hasil dan tanda adanya kebutuhan
manusiawi yang amat mendalam. Akan tetapi dalam diri Kristus Tuhan Allah menampung
kebutuhan manusia itu, meneguhkannya, menjernihkan dan mengangkatnya, serta
menuntunnya menuju kesempurnaan melalui Sakramen Pernikahan. Roh Kudus, yang
dicurahkan dalam perayaan sakramental, memberi pasangan Kristen anugerah persekutuan
cinta kasih yang baru, dan itu merupakan gambar yang hidup dan nyata bagi kesatuan
istimewa, yang menjadikan Gereja Tubuh Mistik Tuhan Yesus yang tidak terbagi.

Kurnia Roh Kudus menjadi perintah seumur hidup bagi suamiistri Kristen, sekaligus juga
daya kekuatan yang mendorong, sehingga setiap hari mereka maju menuju persatuan yang
makin kaya antar mereka di segala tarat – tubuh, watak-perangai, hati, budi dan kehendak,
serta jiwa16, Begitulah persatuan itu menampakkan bagi Gereja dan dunia persekutuan cinta
kasih baru yang dianugerahkan oleh rahmat Kristus. Persekutuan itu secara radikal ditentang
oleh poligami. Memang poligami secara langsung mengingkari Rencana Allah, yang
diwahyukan sejak awal mula; sebab berlawanan dengan kesamaan martabat pribadi pria
maupun wanita; karena dalam pernikahan mereka menyerahkan diri dalam cinta kasih yang
menyeluruh, maka dari itu juga unik dan eksklusif. Tulis Konsili Vatikan II: “Akhirnya,
karena ditetapkan oleh Tuhan, kesatuan pernikahan akan memancar dari kesamaan martabat
pribadi suami dan istri, martabat yang diakui melalui cinta kasih timbal-balik yang
menyeluruh”17. Persekutuan yang tidak dapat dibatalkan Persekutuan suami-istri bercirikan
bukan hanya kesatuan, melainkan juga sifat tak terbatalkan. “Sebagai pemberian diri timbal-
balik antara dua pribadi, persatuan yang mesra itu, begitu pula kepentingan anak-anak,

15
Mat 19:6; bdk. Kej 2:24.
16
Bdk. YOHANES PAULUS II, Amanat kepada para Suami-Istri di Kinshasa (tgl. 3 Mei 1980),4: AAS 72
(1980) hlm.426-427.
17
Konstitusi pastoral “Gaudium et Spes” tentang Gereja dalam Dunia Modern, 49; bdk. YOHANES PAULUS
II, Amanat kepada para Suami-Istri di Kinshasa (tgl. 3 Mei 1980), 4: loc.cit.

12 | T U G A S T E O L O G I M O R A L K E L U A R G A
menuntut kesetiaan seutuhnya dari suami-istri, dan meminta kesatuan yang tak terceraikan
antara mereka”18.

4. Sesudah Tukar Cincin atau Pertunangan

Dalam ajaran Gereja Katolik tidak mengatakan bahwa setelah mereka bertunangan maka
mereka berhak untuk „tidur bersama‟ atau diperbolehkan untuk tidur bersama. Dalam ajara
Gereja ditegaskan bahwa Dengan menciptakan pria maupun wanita menurut citrakeserupaan-
Nya sendiri, Allah memahkotai serta menyempurnakan karya tangan-Nya. la memanggil
mereka untuk secara khusus berperanserta dalam cinta kasih dan kekuasaan-Nya sebagai
Pencipta dan Bapa, melalui kerja sama mereka secara bebas dan bertanggung jawab dalam
menyalurkan kurnia kehidupan manusiawi: “Allah memberkati mereka, dan Allah
bersabda kepada mereka: „Jadilah subur dan berkembang-biaklah, dan penuhi serta
kuasailah bumi”19. Di sini menegaskan bahwa „memberkati dan bersabda‟20 menunjuk pada
ikatan pernikahan yang mana tidur bersama dalam arti tertentu sebelum pernikahan itu
dilarang atau bisa sama dengan konkubinat21 atau kumpul kebo.

Allah menciptakan manusia menurut citra-keserupaan-Nya sendiri22. Ia memanggil


manusia menjadi kenyataan karena cinta kasih-Nya, sekaligus untuk mencintai. Allah itu cinta
kasih23, dalam diri-Nya la menghayati misteri persekutuan cinta kasih antar Pribadi. Seraya
menciptakan umat manusia menurut gambar-Nya sendiri dan tiada hentinya melestarikan
keberadaannya, Allah menggoreskan dalam kodrat manusiawi pria maupun wanita panggilan,
dan karena itu juga kemampuan serta tanggung jawab untuk mengasihi dan hidup dalam
persekutuan24. Oleh karena itu cinta kasih merupakan panggilan yang sangat mendasar bagi
setiap manusia, dan sudah tertera dalam kodratnya. Sebagai roh yang meraga, artinya: jiwa
yang mengungkapkan diri dalam badan, dan badan yang dijiwai oleh roh yang tak kunjung
binasa, manusia dipanggil untuk mencintai dengan keseluruhan dirinya yang menyatu. Cinta
18
KONSILI EKUMENIS VATIKAN II, Konstitusi pastoral “Gaudium et Spes” tentang Gereja dalam Dunia
Modern, 48.
19
Kej 1:28.
20
Menurut paham Gereja Katolik, salah satu syarat yang harus dipenuhi oleh pria dan wanita sebagai suami istri
dan benar-benar sah sebagai keluarga adalah apabila keduanya sudah diberkati oleh imam dan dikukuhkan
menurut tata cara Gereja Katolik (Forma Kanonik) dan sah secara sipil.
21
Konkubinat dari bahasa latin concubinatus artinya hidup bersama tanpa menikah. Concubinus artinya lelaki
yang hidup dengan wanita tanpa menikah dan concubina artinya wanita yang hidup dengan lelaki tanpa
menikah. Konkubinat biasa disebut kumpul kebo atau baku piara, karena hidup bersama layaknya suami-istri
tanpa ikatan nikah, sesuai pandangan masyarakat.
22
Bdk. Kej 1:26-27.
23
Bdk. 1Yoh 4:8.
24
Bdk. KONSILI EKUMENIS VATIKAN II, Konstitusi pastoral “Gaudium et Spes” tentang Gereja dalam
Dunia Modern, art. 12.

13 | T U G A S T E O L O G I M O R A L K E L U A R G A
kasih mencakup badan manusiawi, dan badan berperan serta dalam kasih yang rohani.
Perwahyuan Kristen mengakui adanya dua cara yang khas dalam mewujudkan panggilan
manusia secara keseluruhan untuk mencintai, yakni: pernikahan dan keperawanan atau
selibat. Keduanya menurut pola masing-masing merupakan perwujudan nyata kebenaran yang
terdalam tentang manusia, yakni bahwa ia “diciptakan menurut gambar Allah”.

Oleh karena itu seksualitas, yang bagi pria maupun wanita merupakan upaya untuk saling
menyerahkan diri melalui tindakan yang khas dan eksklusif bagi suami-istri, sama sekali tidak
melulu bersifat biologis, melainkan menyangkut kenyataan pribadi manusiawi yang paling
inti. Seksualitas hanya diwujudkan secara sungguh manusiawi, bila merupakan suatu unsur
integral dalam cinta kasih, yakni bila pria dan wanita saling menyerahkan diri sepenuhnya
seumur hidup. Penyerahan diri fisik seutuhnya akan menjadi suatu kebohongan semata-mata,
bila tidak merupakan lambang serta buah penyerahan pribadi secara total, yang ditandai
kehadiran pribadi seutuhnya, termasuk dimensi sementaranya. Seandainya pribadi tidak mau
melepaskan sesuatu, atau tetap mempertahankan kemungkinan untuk mengambil keputusan
lain di masa mendatang, maka karena kenyataan itu sendiri ia tidak akan menyerahkan diri
sepenuhnya.

Sifat menyeluruh, yang termasuk syarat cinta kasih suami-istri, selaras juga dengan
tuntutan kesuburan yang bertanggung jawab. Kesuburan itu tertujukan kepada lahirnya
manusia. Maka pada hakikatnya mengatasi tata-biologis semata-mata dan menyangkut
seluruh rangkaian nilai-nilai pribadi. Bagi pertumbuhan harmonis nilai-nilai itu dibutuhkan
sumbangan kedua orangtua secara berkelanjutan dan terpadu. Satu-satunya “lingkungan”,
yang memungkinkan penyerahan diri dalam arti yang sepenuhnya itu, ialah pernikahan, yakni
perjanjian cinta kasih antara suami-istri yang dipilih secara bebas dan sadar. Di situ pria dan
wanita menerima perpaduan mesra kehidupan dan cinta kasih seperti dikehendaki oleh Allah
sendiri25, yang hanya dalam perspektif itu mengungkapkan maknanya yang sejati. Lembaga
pernikahan bukan berarti campurtangan tidak wajar dari pihak masyarakat atau penguasa, atau
“pemaksaan” bentuk tertentu dari luar, melainkan suatu tuntutan intrinsik perjanjian cinta
kasih suami-istri, yang secara resmi dinyatakan sebagai unik dan eksklusif, untuk hidup dalam
kesetiaan sepenuhnya terhadap Rencana Allah Pencipta. Kebebasan manusia sungguh tidak
dibatasi oleh kesetiaan itu, melainkan justru dilindungi terhadap setiap bentuk subjektivisme
atau relativisme, dan diikutsertakan dalam Kebijaksanaan Sang Pencipta.

25
Bdk. ibidem, art.48.

14 | T U G A S T E O L O G I M O R A L K E L U A R G A
Dengan demikian, dalam masa pertunangan ini hendaknya Masa persiapan pernikahan
Kristen sendiri sudah merupakan perjalanan iman. Bagi pasangan yang bertunangan masa itu
membuka peluang khusus untuk menggali dan memperdalam iman yang mereka terima pada
saat Baptis dan dikembangkan melalui pendidikan Kristen. Begitulah mereka mulai mengakui
serta menerima dengan bebas panggilan mereka untuk mengikuti Kristus dan membaktikan
diri bagi Kerajaan Allah dalam status hidup menikah.26

Dalam negara pun ditekankan mengenai tidur bersama atau tinggal bersama setelah
tunangan dalam arti ini belum berada dalam ikatan suci perkawinan yang sah. Panja RUU
KUHP telah menyelesaikan draf dan segera membawanya ke rapat paripurna DPR untuk
disahkan menjadi UU pekan depan. Salah satunya Pasal Zina, yang meluaskan definisi 'zina'.

Dalam KUHP saat ini, zina didefinisikan persetubuhan bila salah satu atau dua-duanya terikat
pernikahan. Namun, dalam RUU KUHP, zina diluaskan menjadi seluruh hubungan seks di
luar pernikahan.

"Setiap Orang yang melakukan persetubuhan dengan orang yang bukan suami atau istrinya
dipidana karena perzinaan dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda
Kategori II,"27Dalam penjelasan disebutkan:

1. Laki-laki yang berada dalam ikatan perkawinan melakukan persetubuhan dengan


perempuan yang bukan istrinya;

2. Perempuan yang berada dalam ikatan perkawinan melakukan persetubuhan dengan


laki-laki yang bukan suaminya;

3. Laki-laki yang tidak dalam ikatan perkawinan melakukan persetubuhan dengan perempuan,
padahal diketahui bahwa perempuan tersebut berada dalam ikatan perkawinan;

4. Perempuan yang tidak dalam ikatan perkawinan melakukan persetubuhan dengan laki-laki,
padahal diketahui bahwa laki-laki tersebut berada dalam ikatan perkawinan; atau

5. Laki-laki dan perempuan yang masing-masing tidak terikat dalam perkawinan melakukan
persetubuhan.

26
Ensiklik Familiaris Consortio mengenai persiapan pernikahan.
27
Lih. Pasal 417 ayat 1 RUU KUHP

15 | T U G A S T E O L O G I M O R A L K E L U A R G A
5. Mas Kawin, harus menikah atau tidak?

Pemberian mas kawin tidaklah menentukan perkawinan itu boleh atau tidak boleh
melainkan, apakah kedua mempelai telah memenuhi syarat dan ketentuan untuk menikah
sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan atau tidak. Syarat untuk sah dan dapat menikah
adalah seperti yang tertera dalam Codex Iuris Canonici yakni Secara moral semua pihak harus
yakin bahwa suatu perkawinan adalah sah. Imam peneguh nikah, sang mempelai, para saksi,
keluarganya dan semua yang hadir harus yakin bahwa perkawinan yang dilangsungkan itu
adalah sah. Untuk sahnya perkawinan maka secara garis besar ada 3 syarat yang harus
dipenuhi, yakni:

1) Adanya kesepakatan bebas


2) Bebas dari halangan-halangan
3) Diteguhkan sesuai dengan forma canonica (aturan Gereja) Jika salah satu dari tiga
hal di atas tidak dipenuhi maka nikah tersebut tidak sah, dengan segala
konsekuensinya.

Adanya kesepakatan bebas. Syarat ini sangat penting dan menentukan bagi sahnya
perkawinan. Dan syarat ini dijamin dalam: sumpah waktu penyelidikan kanonik dan
pernyataan kesungguhan untuk menikah dan janji perkawinan dalam upacara peneguhan
nikah itu sendiri. Sudah dikatakan di atas bahwa dalam Kanon 1057 §2 dinyatakan,”
Kesepakatan nikah adalah perbuatan kemauan dengan mana pria dan wanita saling
menyerahkan diri dan saling menerima untuk membentuk perkawinan dengan perjanjian yang
tidak dapat ditarik kembali.”

Karena sesungguhnya dasar dan hakikat pernikahan bukanlah pada mas kawin
melainkan kehendak bebas dan kemauan serta cinta di antara kedua mempelai. Mas kawin
hanyalah simbol yang merupakan hal yang ke sekian setelah syarat di atas.

Dalam hal lainnnya ditegaskan mengenai perjanjian perkawinan yang merupakan


bentuk mas kawin antara kedua belah pihak yang tak tertandingi; Kan. 1055, paragraph 1
diakhiri dengan frasa: „Perjanjian Perkawinan‟… antara orang-orang yang dibaptis dan
diangkat Kristus Tuhan ke martabat sakramen. Ini merupakan frasa induk dari kanon 1055.
Ketentuan inilah yang mau ditegaskan bahwa Kristus tidak mengadakan atau menciptakan
sesuatu yang baru. Perkawinan adalah realitas ciptaan atau lembaga natural yang sudah ada
sejak dunia dan manusia dijadikan. Hal baru yang dibawa dan dianugerahkan oleh Kristus

16 | T U G A S T E O L O G I M O R A L K E L U A R G A
kepada dunia dan manusia ialah menebus dan mengangkat lembaga natural ini ke martabat
sakramen.

Dengan demikian mas kawin bukanlah suatu tolak ukur apakah setelah memberikan
harus menikah atau tidak. Hal itu dikarenakan perkawinan sifatnya tidak memaksa, lahir dari
kehendak dan pilih bebas dari kedua pihak,ingin hidup bersama dengan konsekuensinya yang
akan diterima nantinya. Yang terpenting bahwa keharusan bukanlah suatu hal yang dilakukan
dalm artian, perkawinan membutuhkan jawaban dan tanggapan yang lahir dari akal budi yang
sehat dan hati nurani serta kehendak atas apa yang telah dipilih itu.

6. Pertimbangan Etis Mas Kawin

Beberapa pertimbangan yang bisa diberikan sebagai pedoman atau kode etik dalam
pemberian dan penerimaan mas kawin. Kewajiban memberikan mas kawin dalam budaya
tertentu bisa menjadi beban bagi calon mempelai pria. Praktek pemberian mas kawin juga
bisa memberikan kesan negative terhadap mempeai wanita. Maka dalam memberikan mas
kawin perlu dipertimbangkan hal-hal berikut ini.

Pertama, Perlunya menghindari kesan jual-beli mempelai wanita Mas kawin jangan
sampai menimbulkan kesan membeli wanita dan pihak keluarga wanita menjual anak
gadisnya. Kesan itu akan muncul kalau mas kawinnya terlalu mahal. Dalam budaya tertentu
bukan hanya orangtua, melainkan om dan tante dari mempelai wanita juga minta jatah mas
kawin, sehingga biaya yang dikeluarga pihak pria menjadi besar. Konsekuensi negatifnya
ialah bahwa setelah mas kawin diberikan sebagai sarana “membeli” wanita, maka setelah
menikah wanita harus menggembalikan mas kawin itu dengan kerja keras atau dengan
diperlakukan semena-mena karena harganya sudah dibayar lunas.

Kedua, Mas kawin yang diberikan dengan rela tidak mewajibkan untuk menikah Mas
kawin diberikan dengan sukarela. Tidak ada paksaan atau merasa terpaksa untuk
mengusahakan mas kawin. Dan oleh karena mas kawin itu diberikan pada masa pertunangan
atau belum pada saat pernikahan, maka mas kawin itu juga tidak mengharuskan untuk
menikah. Kalau ternyata setelah pertimbangan masak, mereka tidak jadi menikah, maka mas
kawin tidak bisa menjadi paksaan untuk harus menikah. Kalau misalnya, mas kawin itu

17 | T U G A S T E O L O G I M O R A L K E L U A R G A
terlalu besar dan mereka tidak jadi menikah dan pihak pria meminta mas kawin itu
dikembalikan, maka lebih baik mas kawin itu dikembalikan, dari pada kawin dengan terpaksa.
Kawin dengan terpaksa membuat nikah itu juga tidak sah.

Ketiga, Mas kawin harus sesuai dengan kemampuan ekonomi pria Mas kawin hendaknya
sesuai dengan kemampuan ekonomi pria dan juga sesuai dengan kerelaannya untuk
memberikan. Biarpun ekonominya kuat, kalau ia tidak merasa harus memberikan mas kawin
yang besar, maka mas kawin itu tidak boleh dituntut. Apalagi kalau pemuda itu memang
orang yang tidak mampu, maka mas kawin tidak boleh dituntut melampaui kemampuannya.
Apalagi mas kawin bukanlah syarat bagi sahnya perkawinan menurut tatacara Gereja Katolik.
Biarpun tidak ada mas kawin, pernikahan tetap sah. Mas kawin adalah bagian dari upacara
adat yang lebih bermakna simbolis dan religius. Ada maksud atau pesan-pesan dari orangtua
dan masyarakat di balik praktek mas kawin tersebut. Misalnya, soal perlunya berteimakasih
kepada ibu dan bapa dari calon mempelai wanita. Perlunya menjamin kehidupan wanita itu
supaya tidak terlantar setelah perkawinan. Bagi calon pengantin modern hal yang lebih
penting dari mas kawin ialah soal kesiapan kedua belah pihak untuk menikah. Maka hal-hal
yang lebih penting ialah: pekerjaan tetap, tabungan, tempat tinggal, memeriksa kesehatan dll
sebagai persiapan pelengkap setelah secara batin mereka memutuskan untuk menikah.

Pertimbangan ini mengacu pada dasar mengenai tujuan dari pernikahan yakni
Kebahagiaan dalam perspektif pernikahan mengarah kata lain dari kebahagiaan yakni
kesejahteraan. Kesejahteraan itu meliputi kesejahteraan suami isteri (bonum coniugum),
kesejahteraan anak: kelahiran anak (bonum prolis),28 kesejateraan anak: pendidikan anak
(education prolis), kesetiaan relasi suami isteri dan tak terputuskannya pernikahan (bonum
fidei et sacramenti),29 dan demi masyarakat (bonum societas). Dengan demikian dapat
diketahui bahwa kebahagiaan maupun kesejahteraan sesungguhnya lahir dari perjuangan
keluarga maupun pasangan yang menikah itu dalam mewujudkannya. Ini sesungguhnya yang
memang menjadi tujuan pernikahan yakni kebahagiaan yang di dalamnya ada kesejahteraan
secara merata terhadap semua aspek yang terdapat dalam setiap anggotanya. Dengan
demikian, mas kawin janganlah menjadi suatu penghalang dalam sebuah pernikahan tetapi
menjadi suatu bentuk pengikat antara kedua mempelai yang dipersatukan dalam pernikahan.

28
Aloysius Lerebulan, Keluarga Kristiani antara Idealism dan Tantangan, Kanisius, Yogyakarta 2016, hal. 20.
29
Alf. Catur Raharso, Paham Perkawinan dalam Gereja Katolik, Dioma, Malang 2006, hal. 44

18 | T U G A S T E O L O G I M O R A L K E L U A R G A

Anda mungkin juga menyukai