Anda di halaman 1dari 33

MAKALAH

Sumber ajaran Islam antara Al-quran Hadis ijtihad qiyas istihsan dan istihsab

Dosen Pengampu : Ahmad Liza, M.Pd

Disusun Oleh :
Nadila ( 202225014 )
Sovia Rahmadani Hrp ( 202225010 )
Juli Ariza ( 202225012 )

JURUSAN PENDIDIKAN ISLAM ANAK USIA DINI


FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI LHOKSEUMAWE (IAIN)
TAHUN 2023/2024

1
KATA PENGANTAR
Dalam era modern ini, pengetahuan mengenai sumber-sumber ajaran Islam menjadi sangat
penting. Islam sebagai agama yang kaya akan nilai-nilai dan pedoman hidup, memiliki beberapa sumber
utama yang menjadi dasar dalam memahaminya. Makalah ini bertujuan untuk menjelajahi sumber-sumber
ajaran Islam yang paling signifikan, yaitu Al-Quran, Hadis, Ijtihad, Qiyas, Istihsan, dan Istihsab. Setiap
sumber ini memiliki peran dan fungsi tersendiri dalam membentuk ajaran dan praktik Muslim.

Dalam makalah ini, kami akan memperkenalkan dan menganalisis masing-masing sumber ajaran
tersebut, secara bertahap memahami esensi dan kepentingannya dalam kehidupan Muslim. Pertama-tama,
akan dipelajari Al-Quran sebagai sumber utama Islam. Al-Quran mengandung wahyu langsung dari Allah
kepada Nabi Muhammad, dan dianggap sebagai kitab suci yang memiliki otoritas tertinggi. Selanjutnya,
Hadis - koleksi perkataan, perbuatan, dan persetujuan Nabi Muhammad - akan dieksplorasi sebagai
sumber ajaran Islam yang berperan penting dalam penjelasan dan penerapan Al-Quran.

Selanjutnya, Ijtihad, Qiyas, Istihsan, dan Istihsab akan diperkenalkan sebagai metode interpretasi
dan penalaran yang digunakan dalam memahami dan menggali makna hukum Islam. Ijtihad adalah proses
penalaran dan analisis yang dilakukan oleh ulama dalam menghadapi isu-isu baru yang tidak dijelaskan
secara langsung dalam Al-Quran atau Hadis. Qiyas menggunakan analogi untuk menentukan hukum baru
berdasarkan prinsip-prinsip hukum yang sudah ada. Sementara itu, Istihsan berfokus pada prinsip
keadilan dan kemaslahatan umat, sedangkan Istihsab adalah menggunakan asas pengulangan dalam
menyatakan hukum.

i2
DAFTAR ISI

Kata Pengantar i
Daftar Isi ii
BAB 1 PENDAHULUAN 1
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Rumusan Masalah 2
1.3 Tujuan 2
1.4 Manfaat 2
BAB II PEMBAHASAN 3
2.1 Sumber Ajaran Islam Antara al quran dan hadis 3

2.2 Sumber ajaran islam ijtihad dan Qiyas 10


2.3 Pengertian Istihsan dan Istishab 20
BAB III PENUTUP 20
3.1 Kesimpulan 29
DAFTAR PUSTAKA 30

3ii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Islam sebagai agama yang sempurna dan rahmat bagi seluruh alam semesta, memiliki sumber
ajaran yang menjadi landasan utama dalam mengatur kehidupan umat manusia. Sumber-sumber
ajaran tersebut adalah Al-Quran, Hadis, Ijtihad, Qiyas, Istihsan, dan Istihsab. Sumber-sumber ajaran
ini memiliki peran yang sangat penting dalam menjelaskan hukum-hukum Islam serta memberikan
petunjuk bagi umat muslim dalam menjalankan kehidupan sehari-hari.

Al-Quran, sebagai sumber utama ajaran Islam, adalah kitab suci yang diwahyukan kepada Nabi
Muhammad SAW melalui perantaraan Malaikat Jibril. Dalam Al-Quran terdapat petunjuk tentang
aqidah, ibadah, dan hukum-hukum syariat yang harus diikuti oleh umat muslim. Setiap ayat dalam
Al-Quran dianggap sebagai wahyu langsung dari Allah SWT, sehingga Al-Quran dianggap sebagai
sumber ajaran paling autentik dan sempurna dalam agama Islam.

Selain Al-Quran dan Hadis, terdapat juga metode- metode pemahaman dalam menafsirkan ajaran
Islam, yaitu Ijtihad, Qiyas, Istihsan, dan Istihsab. Ijtihad merupakan upaya ijtima' dalil oleh seorang
mujtahid (ahli hukum Islam) untuk mencari hukum baru dalam Islam dengan cara meneliti dalil-dalil
Al-Quran dan Hadis yang ada. Qiyas adalah metode penalaran analogi yang digunakan untuk
menjelaskan hukum yang belum tertulis dalam Al-Quran dan Hadis dengan membandingkannya
dengan kasus-kasus yang serupa yang sudah ada hukumnya.

Istihsan adalah metode penafsiran hukum dengan menggunakan pertimbangan yang baik (ra'y)
untuk membawa kemaslahatan kepada umat muslim. Sedangkan Istihsab adalah metode penafsiran
yang digunakan untuk mempertahankan suatu hukum yang sudah ada serta menghindarkan adanya
perubahan yang tidak diperlukan.

Dalam makalah ini, akan dipaparkan mengenai beragam sumber ajaran Islam antara Al-Quran,
Hadis, Ijtihad, Qiyas, Istihsan, dan Istihsab. Penjelasan tentang kedudukan dan peran masing-masing
sumber ajaran tersebut dalam menentukan hukum-hukum Islam akan diuraikan secara lebih
mendalam. Hal ini diharapkan dapat memberikan pemahaman yang komprehensif tentang asal-usul
ajaran Islam dan proses pemahamannya dalam mengatur hukum-hukum syariat.

1
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana sumber-sumber ajaran Islam seperti Al-Quran, Hadis, Ijtihad, Qiyas, Istihsan, dan
Istihsab saling berhubungan?
2. Apa peran masing-masing sumber ajaran Islam dalam menentukan hukum dan pengambilan
keputusan dalam Islam?
3. Bagaimana pengaruh interpretasi Al-Quran dan Hadis terhadap praktik ijtihad, qiyas,
istihsan, dan istihsab?

1.3 Tujuan
1. Menganalisis dan menggambarkan peran dan pentingnya sumber ajaran Islam seperti Al-Quran,
Hadis, Ijtihad, Qiyas, Istihsan, dan Istihsab dalam pembentukan hukum Islam.
2. Menjelaskan cara-cara interpretasi dan penggunaan sumber ajaran tersebut dalam konteks ajaran
dan praktik Islam.
3. Memahami konsep dan implikasi dari masing-masing sumber ajaran, serta bagaimana mereka
saling berinteraksi dalam membentuk pemahaman dan penerapan hukum Islam.
1.4 Manfaat
1. Pemahaman yang lebih mendalam: Melalui penelitian dan penulisan dalam makalah ini, Anda
akan dapat memahami dengan lebih baik sumber-sumber ajaran Islam yang menjadi dasar dalam
mengambil keputusan dan menentukan hukum Islam.
2. Pengetahuan tentang Al-Quran: Makalah ini akan memberikan wawasan tentang pentingnya Al-
Quran sebagai sumber utama ajaran Islam. Anda akan mempelajari bagaimana Al-Quran
dianggap sebagai wahyu langsung dari Allah dan menjadi pedoman utama dalam mengambil
hukum dan keputusan dalam Islam.
3. Memahami Hadis: Hadis juga menjadi salah satu sumber penting dalam ajaran Islam. Dalam
makalah ini, Anda akan mempelajari metode pengumpulan dan klasifikasi Hadis, serta peran
pentingnya dalam memahami dan mengimplementasikan ajaran agama.Dengan penulisan
makalah ini, Anda dapat memperdalam pemahaman serta memberikan wawasan yang lebih jelas
mengenai sumber-sumber ajaran Islam yang penting.

2
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Sumber Ajaran Islam Antara al quran dan hadis

A. Al – Qur’an sebagai sumber ajaran

Al-Qur’an secara bahasa berasal dari kata qara’a – yaqra’u – qira’atan – qur’anan, yakni sesuatu
yang dibaca atau bacaan. Sedangkan secara istilah merupakan Kalamullah yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad saw. dan sampai kepada kita secara mutawatir serta membacanya berfungsi sebagai ibadah.

Penyebutan lafadz Allah dalam pengertian al-Qur’an dimaksud untuk membedakan antara
perkataan malaikat, jin, dan manusia dengan kalamullah (al-Qur’an) itu sendiri. Adapun kata al-munazzal
maksudnya membedakan al-Qur’an dari kalamullah yang lainnya, karena langit dan bumi beserta isinya
juga bagian dari kalamullah. Sedangkan kalimat ‘ala Muhammad saw. dimaksud untuk membedakan
wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad dengan wahyu yang diturunkan kepada Nabi dan Rasul
sebelum beliau. Adapun redaksi al-muta’abbad bi tilawatihi maksudnya al-Qur’an merupakan firman
Allah yang dibaca setiap melaksanakan ibadah

Al-Quran adalah kitab suci bagi umat Islam yang diyakini berisi wahyu langsung dari Allah SWT
kepada Nabi Muhammad SAW melalui perantaraan Malaikat Jibril. Al-Quran terdiri dari 114 surat yang
terdiri dari ayat-ayat yang merupakan petunjuk bagi umat Islam dalam menjalani kehidupan sehari-hari.
Al-Quran dianggap sebagai sumber ajaran tertinggi dalam agama Islam dan dianggap tak tergantikan.
Kata Al-Qur'an yang secara harfiah berarti 'bacaan sempurna', menurut Quraish Shihab ( 1996:3 ). Wahyu
Allah dalam Al-Quran disampaikan melalui ayat-ayat yang mengandung pelajaran dan petunjuk bagi
manusia agar menjalani hidup dengan bimbingan yang benar.

Turunnya Al-Quran memiliki dampak yang besar dalam pengaruhnya terhadap umat Muslim. Al-
Quran dianggap sebagai pedoman hidup dan sumber ilmu pengetahuan yang sangat penting. Umat
Muslim mempelajari Al-Quran untuk memahami ajaran agama Islam, mengimplementasikannya dalam
kehidupan sehari-hari, dan meraih kehidupan yang lebih baik di dunia dan akhirat. Al-Quran diturunkan
dalam bahasa Arab, yang pada saat itu menjadi bahasa utama di wilayah Arab. Bahasa Arab yang
digunakan dalam Al-Quran memiliki keunikan dan keindahan struktural yang ditampilkan dalam bentuk
sastra dan gaya bahasa yang khas. Hal ini membuat Al-Quran tidak hanya dianggap sebagai petunjuk
spiritual, tetapi juga sebagai karya sastra yang luar biasa.Isi Al-Quran mencakup berbagai aspek
kehidupan manusia, seperti ajaran moral, hukum, etika, panduan kehidupan sehari-hari, dan petunjuk

3
langsung dari Allah SWT. Al-Quran juga mengandung sejarah, kisah-kisah para nabi dan rasul, serta
perintah dan larangan bagi umat Muslim

Turunnya al-Qur’an tidaklah sekali dalam bentuk mushaf yang terdapat pada saat ini, melainkan
al-Qur’an turun secara periodik atau bertahap. Tujuan dari turunnya yang bertahap ini dimaksud agar
memperbaiki umat manusia, diantaranya sebagai penjelas,kabar gembira, seruan, sanggahan terhadap
musyrikin, teguran dan juga ancaman. Akan tetapi ada perbedaan pendapat dikalangan ulama berkenaan
dengan proses turunnya alQur’an, ada pendapat yang mengatakan bahwa al-Qur’an turun pada malam
hari (lailatu al-qadar). Selain itu, terjemahan Al-Quran dalam berbagai bahasa memungkinkan pesan-
pesan dan nilai-nilai yang terkandung dalam Al-Quran untuk dipahami oleh berbagai kelompok
masyarakat di seluruh dunia. Al-Quran juga menjadi sumber inspirasi bagi seni dan sastra Islam, termasuk
seni kaligrafi,dan puisi.

Dengan demikian, turunnya Al-Quran memiliki makna yang mendalam bagi umat Muslim
sebagai wahyu yang suci dan petunjuk ilahi. Al-Quran terus menjadi sumber inspirasi, pedoman moral,
dan pegangan hidup bagi jutaan umat Muslim di seluruh dunia.

Al-Qur'an sebagai sumber ajaran Islam memberikan banyak manfaat bagi umat Muslim.
Beberapa manfaatnya antara lain:

1. Panduan Spiritual: Al-Quran adalah kalam Allah dan dianggap sebagai pedoman hidup bagi umat
Muslim. Ia memberikan petunjuk dan bimbingan dalam menjalani kehidupan ini dengan cara
yang benar dan harmonis dengan Allah dan sesama manusia.
2. Sumber Pengetahuan: Al-Quran mengandung berbagai ajaran kehidupan, baik itu mengenai etika,
moralitas, hukum, aqidah, dan sejarah Islam. Ia juga mengandung pengetahuan ilmiah yang telah
terbukti kebenarannya bahkan sebelum penemuan modern, seperti ilmu astronomi, embryologi,
dan sebagainya.
3. Inspirasi dan Motivasi: Al-Quran mengandung cerita-cerita inspiratif tentang para nabi dan rasul,
kesabaran dan ketabahan orang-orang soleh, serta kisah-kisah perjuangan dan keagungan Islam.
Ia dapat menjadi sumber inspirasi dan motivasi bagi umat Muslim dalam menghadapi berbagai
tantangan dan kesulitan hidup.
4. Penyembuh dan Penyuluh Jiwa: Al-Quran memiliki kekuatan penyembuhan dan pengaruh yang
mendalam terhadap jiwa manusia. Ayat-ayat Allah yang terdapat dalam Al-Quran dapat
memberikan ketenangan pikiran, menghilangkan rasa takut, kesedihan, dan kekhawatiran. Ia juga
memberikan arah hidup yang jelas dan memberi tahu manusia tentang tujuan hidupnya di dunia
ini.

4
5. Ilmu Sebagai Alat Transformasi: Al-Quran mengajarkan ilmu pengetahuan sebagai alat
transformasi diri dan masyarakat. Ia mendorong umat Muslim untuk terus belajar,
mengembangkan diri, dan meraih ilmu pengetahuan sebagai sarana untuk meningkatkan kualitas
hidup dan berkontribusi positif bagi masyarakat dan umat manusia secara luas
6. Al-Quran sebagai sumber ajaran Islam memiliki manfaat yang sangat penting bagi umat Muslim.
Dengan mengamalkan ajaran-ajaran Al-Quran, umat Muslim dapat menjalani kehidupan dengan
penuh kebenaran, keadilan, dan kasih sayang serta mencapai tujuan hidup yang sejati yaitu
mendapatkan ridha Allah.

1.Kandungan Hukum dalam al-Qur’an


Al-Quran merupakan sumber hukum bagi umat Islam. Banyak aturan hukum, baik dalam hubungan
dengan Allah maupun hubungan antara sesama manusia, terdapat dalam Al-Quran. Al-Quran memberikan
panduan tentang tata cara beribadah, pernikahan, warisan, perdagangan, dan lain sebagainya. Al-Quran
juga memuat hukuman yang akan diberikan kepada orang-orang yang melanggar aturan Allah.
Hukum-hukum di dalam Al-Quran mengacu pada instruksi Allah SWT yang diberikan sebagai
petunjuk hidup bagi umat manusia. Al-Quran sebagai sumber hukum memiliki beberapa kandungan
hukum yang meliputi:

 Hukum Ibadah: Al-Quran memberikan petunjuk mengenai kewajiban-kewajiban dalam beribadah


kepada Allah SWT. Misalnya, kewajiban melakukan shalat, puasa, zakat, dan haji.
 Hukum Muamalah: Al-Quran mengatur hubungan antara manusia dalam bermuamalah.
Kandungan hukum dalam hal ini mencakup hukum-hukum tentang perkawinan, waris, jual beli,
sewa-menyewa, dan lain sebagainya. Prinsip-prinsip keadilan, kejujuran, dan saling tolong-
menolong juga ditekankan dalam hukum-hukum ini.

 Hukum Jinayah: Al-Quran memberikan hukum-hukum terkait pelanggaran dan kejahatan yang
mungkin terjadi dalam masyarakat. Contohnya, terdapat hukum-hukum mengenai pencurian,
pembunuhan, zina, dan kekerasan.
 Hukum Pidana: Al-Quran juga memberikan hukum-hukum tentang sanksi dan hukuman terkait
pelanggaran. Misalnya, terdapat ketentuan hukuman bagi pencuri, penjahat, dan orang yang
melakukan dosa-dosa besar.
 Hukum Perwalian: Al-Quran mengatur hukum-hukum terkait tanggung jawab orang tua dalam
mendidik dan memelihara anak-anak mereka.
 Hukum Pembagian Warisan: Al-Quran memberikan petunjuk tentang pembagian harta warisan
secara adil antara ahli waris. Prinsip keadilan dan kesetaraan ditegaskan dalam hukum ini.
Poin-poin di atas hanya merupakan beberapa contoh kandungan hukum dalam Al-Quran. Terdapat
banyak lagi hukum-hukum Islam yang dijelaskan dalam Al-Quran, baik secara langsung maupun melalui
penafsiran oleh ulama dan sarjana Islam.

Merujuk pada pembahasan para ulama’, sebagian dari mereka ada yang membagi hukum
yang terkandung dalam al-Qur’an menjadi tiga, sebagaimana pernyataan Wahbah Zuhaili di
dalam kitab Ushul al-Fiqh al-Islamiyi yang juga dikutip oleh Ernawati, diantaranya:

5
a) Hukum Akidah (I’tiqadiyah) ialah sesuatu yang berkaitan dengan keyakinan
manusia kepada Allah swt. dan juga kepada para Malaikat, Kitab, Rasul, serta hari akhir.
b) Hukum Etika (Khuluqiyyah) adalah suatu perilaku yang berkaitan dengan
kepribadian diri. Diantaranya kejujuran, rendah hati, sikap dermawan dan menghindari
sifat-sifat buruk pada dirinya seperti halnya dusta, iri, dengki, sombog.
c) Hukum Amaliyah (Amaliyah) suatu perilaku sehari-hari yang berhubungan
dengan sesama manusia. Hukum Amaliyah dibagi menjadi dua bagian, yakni: Pertama,
muamalah ma’a Allah atau pekerjaan yang berhubungan dengan Allah, seperti shalat,
puasa, zakat, haji, nadzar, dan lain sebagainya; Kedua, muamalah ma’a an-
Naas atau pekerjaan yang berhubungan langsung dengan manusia baik secara
pribadi maupun kelompok. Contohnya, kontrak kerja, hukum pidana, dan lain
sebagainya.

2. Cara al-Qur’an Menjelaskan Ayat-Ayat Hukum


Al-Quran menjelaskan ayat-ayat hukum dengan menggunakan berbagai cara. Beberapa di
antaranya adalah:
a. Ayat hukum yang bersifat umum: Al-Quran menetapkan prinsip-prinsip dasar
hukum yang umum, yang berlaku untuk semua umat manusia. Contohnya adalah
prinsip-prinsip adil, keadilan, kesetaraan, dan kebebasan. Ini mencakup ayat-ayat
yang memberikan pedoman tentang bagaimana manusia harus berinteraksi dan
berperilaku dalam kehidupan sehari-hari.

b. Ayat hukum yang bersifat khusus: Al-Quran juga mengandung ayat-ayat yang
memberikan hukum-hukum spesifik untuk situasi-situasi tertentu. Contohnya
adalah hukum tentang pernikahan, perceraian, waris, dan pidana. Ayat-ayat ini
memberikan pedoman yang jelas tentang hak dan kewajiban individu dalam
hubungan dengan Allah dan sesama manusia.

c. Ayat hukum yang disampaikan melalui cerita dan perumpamaan: Al-Quran


menggunakan cerita-cerita dan perumpamaan untuk menyampaikan hukum-
hukumnya. Ini dilakukan agar pemahaman hukum lebih mudah dipahami dan
dapat diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Contohnya adalah kisah-kisah
Nabi Musa yang membawa hukum Taurat kepada kaum Bani Israel.

d. Ayat hukum yang disampaikan melalui petunjuk langsung dari Allah: Beberapa
ayat Al-Quran memberikan petunjuk langsung dari Allah dalam bentuk perintah
atau larangan. Contohnya adalah perintah untuk shalat lima waktu, puasa, zakat,
dan larangan untuk mengonsumsi makanan yang haram seperti babi dan alcohol.

6
Selain itu, Al-Quran juga menjelaskan hukum dengan mempertimbangkan konteks sosial,
budaya, dan sejarah umat manusia. Ayat-ayat hukum dalam Al-Quran sering kali
dikaitkan dengan keadaan masyarakat pada saat penurunan wahyu tersebut, dengan
tujuan memberikan solusi dan pedoman yang sesuai dengan situasi tersebut. Al-Quran
juga menekankan pentingnya berpikir kritis dan menggunakan akal sehat dalam
memahami hukum-hukumnya.
Al-Qur’an merupakan sumber hukum Islam yang sifatnya umum, maka sebagian besar
hukum yang dijelaskan bersifat global dan hanya beberapa yang bersifat mendetail. Secara garis
besar penjelasan hukum oleh al-Qur’an terdiri dari tiga cara, sebagaimana berikut:
a) Ijmali (global)
Penjelasan al-Qur’an bersifat umum, sedangkan sunnah Nabi yang nantinya akan
menjelaskan lebih mendetail. Sebagaimana perintah mendirikan shalat, membayar zakat, dan
penjelasan lafadz yang tidak jelas secara makna. Allah swt. berfirman
“Dirikanlah shalat” (Q.S. al-Baqarah: 43). Ayat tersebut berupa perintah untuk
mendirikan sholat, tidak ada penjelasan mengenai tata cara dan waktu pelaksanaannya.

Maka disinilah Sunnah Nabi berperan adanya, “Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat
aku shalat” (Shallu kama ra’aytumuni ushalli).
b) Tafshili (terperinci)
Al-Qur’an memaparkan hukum secara terperinci, dan disertai pejelasan yang mendetail,
adapun sunnah Nabi menjadi penguat bagi penjelasan al-Qur’an tersebut. Contohnya, hukum
waris, tata cara dan hitungan dalam thalaq, mahram (orang yang haram untuk dinikahi), tata
cara li’an (saling melaknat) antara suami dan istri, dan penetapan hukuman dalam kasus
pidana hudud. Firman Allah;

“Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah: "Allah memberi fatwa
kepadamu tentang kalalah (yaitu): jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak
dan mempunyai saudara perempuan, maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari
harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara
perempuan), jika ia tidak mempunyai anak; tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka
bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal. Dan jika mereka
(ahli waris itu terdiri dari) saudara-saudara laki dan perempuan, maka bahagian seorang
saudara laki-laki sebanyak bahagian dua orang saudara perempuan. Allah menerangkan

7
(hukum ini) kepadamu, supaya kamu tidak sesat. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”
Q.S. an-Nisa (4): 176
c) Isyarah (isyarat)
Penjelasan al-Qur’an hanya sebatas pokok hukum, baik secara isyarat maupun secara
ungkapan langsung. Adapun sunnah Nabi memberikan penjelasan hukum yang terkandung
َ َ
dalam pokok bahasan tersebut secara terperinci. Sebagai contoh firman Allah swt. ‫ف ِإذا‬
َ َْ َ َ َ ْ ُ ْ ‫َ َ َ ْ َّ ْ ُ َ َ ى‬ َ َ ْ َ َ ْ َ َّ ْ
‫اب‬
ِ ‫ذ‬ ‫ع‬‫ال‬ ‫ن‬ ‫م‬ِ ‫ات‬
ِ ‫ن‬‫ص‬ ‫ح‬ ‫م‬ ‫ال‬ ‫َل‬ ‫ع‬ ‫ا‬‫م‬ ‫ف‬ ‫نص‬ ‫ن‬ ‫ه‬
ِ ‫ي‬ ‫ل‬ ‫ع‬ ‫ف‬ ‫ة‬
ٍ ‫ش‬‫اح‬
ِ ‫أتْ بف‬
‫أح ِصن ف ِإن ي‬
“… dan apabila mereka telah menjaga diri dengan kawin, kemudian mereka melakukan
perbuatan yang keji (zina), Maka atas mereka separo hukuman dari hukuman wanita-wanita
merdeka yang bersuami…”. Q.S. an-Nisa (4): 25
Pada ayat tersebut memberikan isyarat hukuman yang berlaku kepada budak atau hamba
sahaya yakni setengah dari besaran hukuman yang ditimpakan kepada orang merdeka. Baik
hukuman pidana maupun hak-hak yang berkaitan dengannya. Demikianlah muatan hukum yang
dijelaskan oleh al-Qur’an dengan sifat yang beragam.

B. Hadits sebagai Sumber Ajaran Islam


1. Pengertian Hadits
Hadis adalah catatan mengenai perkataan, perbuatan, dan persetujuan Nabi Muhammad
SAW. Dalam pembahasan ini, kami akan memperkenalkan hadis sebagai sumber ajaran Islam
yang penting dan mendiskusikan beberapa aspek terkait hadis.

Secara etimologi Hadis berasal dari kata (‫ )حدث – يحدث‬artinya al-jadid “sesuatu
yang baru” atau khabar “kabar” Maksudnya jadid adalah lawan dari al-qadim (lama), seakan-
akan dimaksudkan untuk membedakan al-Qur’an yang bersifat qadim. diungkapkan oleh perawi
hadis dan sanadnya bersambung selalu menggunakan kalimat haddatsana (memberitakan kepada
kami) Secara terminology, definisi hadis mengalami perbedaan redaksi dari para ahli hadis,
namun makna yang dimaksud adalah sama. Al-Ghouri memberi definisi sebagai berikut
; .‫ أو صفة‬،‫ أو تقرير‬،‫ أو فعل‬،‫النب من قول‬
‫إل ي‬ ‫ما أضيف ي‬
“Segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi saw. dari perkataan, perbuatan,
taqrir, atau sifat.” Maksud dari qaul (perkataan) adalah ucapan, dan fi’il (perbuatan)
ialah perilaku nabi yang bersifat praktis, dan taqrir (keputusan) sesuatu yang tidak dilakukan
nabi tetapi nabi tidak menginkarinya, dan sifat maksudnya adalah ciri khas dari kepribadian nabi.
Hadis berperan penting sebagai sumber ajaran Islam yang melengkapi Al-Quran. Terkadang Al-
Quran memberikan petunjuk umum, sementara hadis memberikan penjelasan dan aplikasi
spesifik tentang pengertian ayat tersebut. Oleh karena itu, hadis menjadi panduan praktis yang
membantu umat Islam dalam menjalankan ibadah, perilaku sehari-hari, dan

8
kehidupan sosial.Selain pengertian hadis di atas, istilah hadis juga sering disamakan dengan
istilah Sunnah, khabar, dan atsar.
 Sunnah: Sunnah merujuk pada semua tindakan, perkataan, dan persetujuan diam Nabi
Muhammad SAW. Ini mencakup tindakan sehari-hari, doa, adab, dan pedoman perilaku
yang diperlihatkan oleh Nabi. Sunnah merupakan contoh praktis bagaimana seorang
Muslim seharusnya menjalani kehidupan mereka dan adalah salah satu sumber hukum
Islam yang penting. Sunnah disampaikan melalui Hadis (tradisi) yang merupakan catatan
dan riwayat tentang tindakan dan perkataan Nabi.
 Khabar: Khabar atau Hadis adalah narasi dan riwayat tentang apa yang Nabi Muhammad
SAW katakan, lakukan, atau persetujui. Hadis adalah cara utama untuk memahami dan
menjalankan Sunnah. Mereka dikumpulkan dalam koleksi yang disusun oleh ulama Islam
dan digunakan sebagai panduan dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk ibadah, etika,
dan hukum.
 Atsar: Atsar adalah riwayat-riwayat atau laporan-laporan yang menceritakan perbuatan
atau perkataan para sahabat Nabi Muhammad SAW. Para sahabat adalah orang-orang
yang hidup pada zaman Nabi dan belajar dari beliau. Atsar adalah sumber lain yang
digunakan oleh ulama untuk memahami dan mempraktikkan ajaran Islam. Mereka
membantu dalam memahami bagaimana para sahabat menjalankan Sunnah Nabi.
Semua tiga konsep ini bersama-sama membentuk dasar penting dalam Islam dan
digunakan untuk menjalani kehidupan sehari-hari dengan sesuai dengan ajaran
Nabi Muhammad SAW
2. Kedudukan Hadis Terhadap al-Qur’an
Kedudukan hadis (Hadith) dalam Islam adalah suatu aspek yang kompleks dan penting
dalam memahami dan menjalankan ajaran Al-Quran. Kedudukan ini melibatkan hubungan tafsir
(penafsiran), otoritas, dan konteks historis. Berikut adalah penjelasan yang lebih mendalam:
1. Tafsir Al-Quran: Al-Quran adalah kitab suci utama dalam Islam, dianggap sebagai firman
Allah yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW. Hadis, sebagai penjelasan dan contoh
konkret dari ajaran Al-Quran yang diberikan oleh Nabi, digunakan untuk membantu menafsirkan
dan memahami makna Al-Quran. Hadis memberikan wawasan tambahan, contoh nyata, dan
penjelasan terkait ayat-ayat Al-Quran.
2. Otoritas: Hadis memiliki otoritas yang tinggi dalam Islam. Hadis-hadis yang sahih (tepercaya)
dianggap sebagai sumber hukum Islam yang kedua setelah Al-Quran. Mereka digunakan untuk
menjelaskan hukum-hukum, etika, dan tata cara ibadah yang tidak secara eksplisit diuraikan
dalam Al-Quran. Otoritas hadis berasal dari keyakinan bahwa Nabi Muhammad SAW adalah
utusan Allah yang membawa dan menjelaskan ajaran-Nya dengan sempurna, dan oleh karena itu,
petunjuk-petunjuk dan pengajaran-pengajaran tambahan yang diberikannya dalam bentuk hadis
harus dihormati.
3. Konteks Historis: Hadis membantu dalam memahami konteks historis di mana Al-Quran
diwahyukan. Mereka memberikan informasi tentang situasi dan kejadian-kejadian yang terjadi

9
pada masa Nabi. Ini penting karena beberapa ayat Al-Quran diturunkan sebagai respons terhadap
peristiwa tertentu atau untuk mengatasi pertanyaan dan permasalahan pada zamannya. Hadis
membantu menjelaskan latar belakang dan konteks di balik ayat-ayat ini.
4. Penilaian dan Klasifikasi: Hadis diklasifikasikan berdasarkan kualitasnya, yaitu sahih
(tepercaya), hasan (baik), atau dhaif (lemah). Proses penilaian ini memungkinkan ulama Islam
untuk membedakan hadis-hadis yang dapat diandalkan sebagai panduan yang sahih dari yang
tidak dapat diandalkan. Ini membantu menjaga integritas agama dan mencegah penyalahgunaan
hadis.
Dalam ringkasannya, hadis adalah sumber tambahan yang diberikan oleh Nabi
Muhammad SAW untuk membantu dalam pemahaman dan pelaksanaan ajaran Al-Quran.
Hubungan erat antara kedua sumber ini menciptakan kerangka kerja lengkap dalam
menjalani ajaran Islam.

2. Fungsi Hadis Terhadap al-Qur’an


Hadis sebagai sumber hukum Islam adalah topik yang kompleks dan penting dalam pemahaman
hukum Islam. Dalam konteks ini, hadis digunakan untuk menafsirkan, melengkapi, dan mengklarifikasi
hukum-hukum dan prinsip-prinsip yang terdapat dalam Al-Quran. Hadis memiliki peran sentral dalam
hukum Islam. Ini digunakan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan hukum yang tidak secara eksplisit
diuraikan dalam Al-Quran. Dalam banyak kasus, hukum-hukum yang merinci aspek-aspek kehidupan
sehari-hari Muslim, seperti ibadah, muamalah (urusan dunia), dan etika, ditemukan dalam hadis. Fungsi
utama hadis dalam hukum Islam adalah sebagai sumber tafsir dan penjelasan Al-Quran. Hadis Nabi
adalah sejalan dengan al-Qur’an karena keduanya bersumber dari wakyu. Akan tetapi mayoritas
hadis sifatnya adalah operasional, karena fungsi utama hadis adalah sebagai penjelas atas al-
Qur’an.
A. Menegakkan kembali keterangan atau Perintah yang terdapat di dalam al-Qur’an.
Dalam hal ini hadis datang dengan keterangan atau perintah yang sejalan dengan
alqur’an.
B. Menjelaskan dan menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an yang datang secara mujmal
(global). Dalam hal ini kaitannya ada tiga hal (1). Menafsirkan serta memperinci ayat-
ayat yang bersifat umum, (2). Mengkhususkan ayat-ayat yang bersifat umum, (3).
Memberi batasan terhadap ayat bersifat mutlaq.
C. Menetapkan hukum-hukum yang tidak ditetapkan oleh al-Qur’an (bayan Tasyri’)

2.2 Sumber ajaran islam ijtihad dan Qiyas

Sumber ajaran Islam adalah landasan utama bagi umat Muslim dalam memahami
dan menjalankan ajaran agama. Seperti dalam judul di atas, pembahasan ini akan
fokus pada dua sumber ajaran Islam yaitu ijtihad dan qiyas. Dalam konteks ini ijtihad

10
secara bahasa artinya bersungguh-sungguh dalam menggunakan tenaga baik fisik
maupun pikiran. Ijtihad biasa dipakai pada perkara yang mengandung kesulitan.
Tidak dikatakan berijtihad jika hanya menyangkut hal ringan. Sementara itu, qiyas
adalah menyamakan sesuatu yang tidak memiliki nash hukum dengan sesuatu yang
ada nash hukum berdasarkan kesamaan illat atau kemaslahatan yang diperhatikan
syara. Qiyas juga dapat diartikan sebagai kegiatan melakukan padanan suatu hukum
terhadap hukum lain
A. Ijtihad
Ijtihad menurut bahasa ialah percurahan segenap kesanggupan untuk
mendatangkan sesuatu dari berbagai urusan atau perbuatan. Menurut Mahmud
Syaltout, ijtihad artinya sama dengan ar-ra 'yu, yang rinciannya meliputi:
a. Pemikiran arti yang dikandung oleh Al-Qur'an dan Sunnah.
b. Mendapat ketentuan hukum sesuatu yang tidak ditunjukan oleh nash dengan
sesuatu masalah yang hukumnya ditetapkan oleh nash.
c. Pencerahan segenap kesanggupan untuk mendapatkan hukum syara amali
tentang masalah yang tidak ditunjukan hukumnya oleh suatu nash secara langsung.
Ijtihad merupakan aspek penting dalam tradisi hukum Islam yang memungkinkan
orang untuk melakukan interpretasi dan penalaran terhadap ajaran Islam. Dalam
ijtihad, para ulama agama menggunakan akal, pengetahuan, dan pemahaman mereka
untuk menemukan solusi bagi masalah baru yang belum ada penjelasan langsung
dalam Al-Quran dan Hadis Nabi Muhammad SAW. Metode ijtihad mencakup
pemahaman mendalam terhadap teks-teks agama, memperhatikan tujuan dan prinsip-
prinsip Islam, serta menyelidiki kasus-kasus yang telah ada dalam sejarah aplikasi
hukum Islam. Ijtihad dapat menjadi sangat kompleks karena melibatkan berbagai
faktor, seperti bahasa Arab, konteks sejarah, dan beragam pendapat ulama terdahulu.
Selain itu, terdapat berbagai metode ijtihad yang berbeda, seperti ijtihad qiyas
(analogi), ijtihad istihsan (penilaian kebijakan), dan ijtihad ijma' (konsensus ulama).
Setiap metode ini memiliki aturan-aturan tersendiri yang harus dipahami dengan baik
oleh ulama yang melakukan ijtihad.
1. Landasan Ijtihad
Dalam Islam akal sangat dihargai. Banyak ayat-ayat AI-Qur'an yang menyatakan
suruhan untuk mempergunakan akal, sebagaimana dapat dilihat dari ayat ini:

Sesungguhnya penciptaan langit dan bumi dan silih bergantinya malam dan siang
terdapat tanda-tanda bagi orang yang berakal (QS 3: 190).
Untuk memberikan bukti bahwa ijtihad pemah dilakukan oleh para sahabat, bahkan juga pada
masa Nabi sekalipun adalah hadits yang diriwayatkan oleh AI-Baghawi dari Muad bin Jabal:

11
"Pada waktu Rasulullah mengutusnya (Muadz bin Jabal) ke Yaman, Nabi bersabda untuknya:
bagaimana engkau diserahi urusan peradilan? Jawabnya:
saya menetapkan perkara berdasarkan Al-Qur'an. Sabda Rasulullah selanjutnya: bagaimana kalau
kau tak mendapati dalam AI-Qur'an ? Jawabnya: dengan sunnah Rasul. Sabda Nabi selanjutnya:
bila dalam Sunnah pun tak kau dapati ? Jawabnya: Saya akan mengerahlan kesanggupan saya
untuk menetapkan hukum dengan pikirannku. Akhimya Nabi menepuk dada dengan mengucap
segala puji bagi Allah yang telah memberikan taufik (kecocokan) pada utusan
Rasulullah (Muadz).
Ijtihad memiliki beberapa landasan penting dalam Islam:

1. Ijma adalah suatu kesepakatan para ulama dalam menetapkan hukum agama islam
berdasarkanAl-Qur'an dan hadits dalam suatu perkara yang terjadi. Dan hasil dari
kesepakatan para ulamatersebut berupa fatwa yang dilaksanakan oleh umat islam
2. Qiyas adalah penetapan suatu hukum dan perkara yang baru yang
belum ada pada masa sebelumnya namun memiliki kesamaan dalam sebab,
manfaat, bahaya dan berbagaii aspek dengan perkara terdahulu sehingga
dihukumi sama.
3. Maslahah Mursalah adalah suatu cara penetapan hukum berdasarkan pada
pertimbangan manfaat dan kegunaanya.
4. Sududz Dzariah adalah suatu pemutusan hukum atas hal yang mubah,
makruh atau haram demikepentingan umat.
5. Istishab adalah suatu penetapan suatu hukum atau aturan hingga ada alasan tepat
untuk mengubahketetapan tersebut.
6. Urf adalah istilah islam yang dimaknai sebagai adat kebiasaan. Para
ulama fiqih bersepakat bahwa urf yang sah ialah yang tidak bertentangan dengan
Al-Qur'an dan Hadits.
7. Istihsan adalah suatu tindakan meninggalkan satu hukum kepada hukum lainnya
karena adanya dalil syara' yang mengharuskannya.
Landasan ini bersama-sama membentuk kerangka kerja ijtihad dalam Islam, dan
pemahaman yang cermat tentang sumber-sumber ini sangat penting bagi ulama yang
melakukan ijtihad untuk menghasilkan pandangan hukum yang akurat dan relevan.

2. Macam macam Ijtihad


Ditinjau dari segi pelakunya, ijtihad dibagi menjadi dua, yaitu: ijtihad perorangan
dan ijtihad jama'i. Ijtihad perorangan yaitu suatu ijtihad yang dilakukan oleh seorang
mujtahid dalam suatu persoalan hukum. Sedangkan ijtihad jama'i atau ijtihad
kelompok ialah ijtihad yang dilakukan oleh sekelompok mujtahidin dalam
menganalisa suatu
masalah untuk menentukan suatu ketetapan hukum. Dilihat dari Iapangannya, ijtihad
dibagi ke dalam tiga macam, yaitu:
a. Ijtihad pada masalah-masalah yang ada nashnya, tapi bersifat:dzanni.

12
b. Ijtihad untuk mencapai suatu hukum syara dengan penetapan kaidah kulliyah yang
bisa diterapkan tanpa adanya suatu nash.
c. Ijtihad bi ar-ra 'yi yaitu ijtihad dengan berpegang pada tanda-tanda dan wasilah
yang telah ditetapkan syara untuk menunjuk pada suatu hukum.

3. Kedudukkan Ijtihad
Kedudukkan ijtihad dalam hukum Islam sangat penting dan memiliki peran utama
dalam pengembangan hukum Islam seiring dengan perkembangan zaman dan kebutuhan
masyarakat. Berikut adalah beberapa poin penting mengenai kedudukkan ijtihad dalam
Islam:
 Kedudukkan Ijtihad dalam Fikih: Ijtihad adalah salah satu dari empat
sumber hukum Islam, yang disebutkan dalam fikih (ilmu hukum Islam)
sebagai sumber hukum keempat setelah Al-Quran, Hadis (tradisi Nabi
Muhammad), dan ijma' (kesepakatan ulama). Ini menunjukkan pentingnya
ijtihad dalam mengatasi masalah hukum yang belum diatur secara
langsung dalam teks-teks suci.
 Peran Ulama: Ijtihad adalah prerogatif ulama, yaitu cendekiawan Islam
yang memiliki pengetahuan mendalam tentang agama dan hukum Islam.
Ulama menggunakan pengetahuan mereka untuk melakukan ijtihad dalam
berbagai masalah, termasuk yang berkaitan dengan ibadah, muamalah
(urusan dunia), dan akhlak.
 Fleksibilitas dan Penyesuaian: Ijtihad memungkinkan hukum Islam untuk
tetap relevan dan beradaptasi dengan perubahan zaman dan masyarakat.
Ulama menggunakan ijtihad untuk memahami bagaimana prinsip-prinsip
syariah dapat diterapkan dalam situasi-situasi baru yang tidak tercakup
oleh hukum tradisional
 Batasan dan Metodologi: Ijtihad tidak bersifat bebas atau sembarangan.
Ulama yang melakukan ijtihad harus memiliki pengetahuan yang cukup
dan memahami metode-metode penafsiran yang benar sesuai dengan
tradisi Islam. Mereka juga harus mematuhi prinsip-prinsip etika dan
keadilan dalam ijtihad mereka.
 Perbedaan Pendapat: Karena ijtihad melibatkan penafsiran dan
pemahaman manusia, maka wajar ada perbedaan pendapat di antara ulama
dalam hal-hal tertentu. Ini menghasilkan berbagai madzhab (aliran) dalam
hukum Islam yang berbeda dalam pendekatan dan interpretasi.
 Penting untuk dicatat bahwa ijtihad tidak menggantikan teks-teks suci
seperti Al-Quran dan Hadis, tetapi digunakan untuk menginterpretasikan
dan mengaplikasikan prinsip-prinsip yang terkandung dalam teks-teks
tersebut. Kedudukkan ijtihad dalam Islam menunjukkan elastisitas dan
kemampuan agama ini untuk terus berkembang dan relevan dalam
berbagai konteks sosial dan sejarah.

13
4. Rukun Ijtihad
1. Al-Waqi' adalah kasus yang menimpa dan belum dijelaskan dalam nash
Al-Qur'an dan sunnah, atau persoalan yang diyakini akan terjadi nantinya.
2. Mujtahid, yakni seorang yang melakukan ijtihad dan punya kemampuan
untuk berijtihad dengan syarat-syarat tertentu. Menukil buku Pengantar Ilmu Ushul
Fiqh, berikut syarat seorang mujtahid:
 Paham dan menguasai pengetahuan mengenai ayat-ayat hukum dalam Al-
Qur'an.
 Tidak harus menghafal seluruh isi Al-Qur'an, cukup punya keahlian untuk
merujuknya ketika diperlukan. Tetapi bila hafal Al-Qur'an lebih bagus.
 Mengetahui hadits-hadits tentang berkaitan dengan hukum.
 Tahu objek ijma' mujtahid terdahulu agar tidak menentukan hukum yang
menyalahi sebelumnya.
 Mengerti tata cara qiyas, syarat-syarat penerapannya, illat-illat hukum, serta
metodenya.
 Paham berbahasa Arab.
 Mengetahui dan paham mengenai nasakh mansukh.

3. Mujtahid fih, yaitu hukum-hukum syariat yang bersifat amali atau taklifi.
4. Dalil syara, yang menjadi dasar menetapkan suatu hukum bagi mujtahid.

5. Metode Ijtihad
Terdapat beberapa metode ijtihad yang digunakan oleh ulama dalam melakukan
penafsiran dan pemahaman hukum Islam. Berikut adalah beberapa metode ijtihad
yang umum:
1. Ijtihad Ra'y (Ijtihad Berdasarkan Pendapat Pribadi): Metode ini
melibatkan penafsiran hukum Islam berdasarkan penalaran dan pendapat
pribadi ulama. Ulama menggunakan akal dan logika mereka untuk
mencapai pemahaman hukum yang sesuai dengan situasi yang dihadapi.
Meskipun metode ini menghargai penalaran individual, ijtihad ra'y harus
didasarkan pada pemahaman yang mendalam tentang teks-teks suci dan
prinsip-prinsip hukum Islam.
2. Ijtihad Qiyas (Ijtihad Berdasarkan Analogi): Dalam metode ini, ulama
menggunakan analogi untuk menerapkan hukum yang sudah ada pada
kasus-kasus baru yang belum diatur dalam teks-teks suci. Proses ini
melibatkan menemukan kesamaan antara kasus yang sudah diatur dalam
teks dengan kasus yang baru, dan kemudian mengambil hukum yang
sudah ada untuk diterapkan pada kasus baru.
3. Ijtihad Istihsan (Ijtihad Berdasarkan Kepentingan Umum): Metode ini
memungkinkan ulama untuk menggunakan istihsan, yaitu penilaian
subjektif, untuk menentukan hukum yang paling sesuai dengan
kepentingan umum atau kemaslahatan masyarakat. Ini digunakan ketika

14
hukum yang sudah ada dalam teks-teks suci mungkin tidak cukup relevan
atau sesuai dengan kondisi dan perubahan sosial.
4. Ijtihad Maslahah Mursalah (Ijtihad Berdasarkan Kemaslahatan Umum):
Dalam metode ini, ulama dapat menggunakan ijtihad untuk
mengidentifikasi dan menerapkan kemaslahatan umum atau kebaikan
yang tidak diatur dalam teks-teks suci. Tujuan utamanya adalah untuk
mencapai kebaikan dan kemaslahatan bagi masyarakat.
5. Ijtihad Istishab (Ijtihad Berdasarkan Asas Keberlanjutan): Metode ini
mengasumsikan bahwa suatu hukum yang telah ada tetap berlaku kecuali
ada bukti yang kuat untuk mengubahnya. Ini berarti bahwa jika tidak ada
perubahan atau bukti yang signifikan, maka hukum yang sudah ada akan
tetap berlaku.
6. Ijtihad Juristic Preference (Ijtihad Berdasarkan Preferensi Fikih): Dalam
metode ini, ulama dapat memberikan preferensi pada salah satu pendapat
fikih yang ada berdasarkan pertimbangan mereka terhadap dalil-dalil yang
ada dan kemaslahatan umum. Preferensi ini mungkin berdasarkan
interpretasi pribadi atau pandangan ulama.

Setiap metode ijtihad memiliki peraturan dan prosedur yang berbeda, dan ulama
harus mempertimbangkan konteks dan situasi saat melakukan ijtihad. Meskipun
terdapat berbagai metode ijtihad, tujuannya tetap sama, yaitu untuk mencari
pemahaman yang sesuai dengan prinsip-prinsip hukum Islam dan untuk menjawab
pertanyaan hukum dalam konteks yang berbeda.

B. Qiyas
Qiyas adalah salah satu metode ijtihad dalam hukum Islam yang
digunakan untuk melakukan analogi atau perbandingan dalam menentukan
hukum syariah atas suatu kasus atau peristiwa yang tidak secara langsung
diatur dalam teks-teks suci Islam, seperti Al-Quran atau Hadis. Kata "qiyas"
sendiri berasal dari bahasa Arab yang berarti "analogi" atau "perbandingan."
Secara bahasa, kata qiyas (‫ ) قياس‬berasal dari akar kata qaasa-yaqishu-qiyaasan
(‫ )قاس يقيس قياسا‬yang artinya pengukuran. Para ulama ushul fiqih
mendefinisikan qiyas dalam redaksi yang beragam namun memiliki makna
yang sama.
Menurut istilah qiyas adalah menyamakan sesuatu yang tidak memiliki
nash hukum dengan sesuatu yang ada nash hukum berdasarkan kesamaan illat
atau kemaslahatan yang diperhatikan syara. Qiyas juga dapat diartikan sebagai
kegiatan melakukan padanan suatu hukum terhadap hukum lain. Sedang
mengenai definisinya menurut ulama ushul fiqh, qiyas berarti
menghubungkan suatu kejadian yang tidak ada nashnya kepada kejadian lain
yang ada nashnya, dalam hukum yang telah ditetapkan oleh nash karena

15
adanya kesamaan dua kejadian itu dalam illat hukumnya (Abdul Wahab
Khallaf, 2002: 74)
1. Contoh Qiyas
Haram meminum tuak yang dibuat dari lahang kurma, dasarnya
adalah firman Allah berikut:

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya (meminum)


khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah,
adalah Termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu
agar kamu mendapat keberuntungan. (QS. Al Maidah: 90).
Ayat diatas memberi penegasan bahwa haram juga meminum tuak/khamer
yang dibuat dari bahan lainnya yang diqiyaskan dengan tuak kurma karena
bahan lain tersebut juga dapat memabukkan. Hukum minuman bir atau wisky.
Dari hasil pembahasan dan penelitiannya secara cermat, kedua minuman itu
mengandung zat yang memabukkan, seperti zat yang ada pada khamr. Zat
yang memabukkan inilah yang menjadi penyebab di haramkannya khamr. Hal
ini sesuai dengan firman Allah dalam surat al-Maidah 5: 90 – 91. Dengan
demikian, mujtahid tersebut telah menemukan hukum untuk bir dan wisky,
yaitu sama dengan hukum khamr, karena illat keduanya adalah sama.
Kesamaan illat antara kasus yang tidak ada nash-nya dengan hukum yang ada
nash-nya menyebabkan adanya kesatuan hukum.
2. Rukun Qiyas
1. Ashl
Ashl adalah kasus lama yang sudah ada ketetapan hukumnya baik dalam nash maupun
ijma. Ashl sering disebut sebagai musyabbah bih atau yang diserupai dan maqis 'alaih atau
tempat mengqiyaskan. Dalam arti sederhana, ashl adalah kasus yang akan digunakan sebagai
ukuran atau pembanding.
Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi ashl untuk dapat dijadikan qiyas. Ashl harus
memiliki hukum yang bersifat tetap. Ketetapan hukum tersebut harus berdasar pada jalur
sam'isyar'i bukan aqli. Jalur ini juga digunakan untuk mengetahui illat pada ashl.
Selain itu, ketetapan hukum pada ashl harus bukan berdasarkan qiyas, melainkan karena
nash atau ijma. Ashl juga tidak diperbolehkan keluar dari aturan-aturan qiyas.

16
2. Far'u
Far'u adalah kasus yang akan dicari hukumnya atau disamakan dengan kasus yang sudah
ada hukumnya. Beberapa syarat yang menjadikan far'u dapat ditetapkan dalam qiyas antara lain
far'u belum memiliki hukum yang ditetapkan berdasarkan nash atau ijma, harus ditemukan illat
ashl pada far'u dengan kadar sempurna dan tidak boleh kurang dari kadar illat yang terdapat pada
ashl.
3. Hukum Ashl
Hukum ashl adalah hukum syara yang ditetapkan oleh nash dan dikehendaki untuk
menetapkan hukum terhadap far'u.
4. Illat
Secara bahasa, illat dapat diartikan sebagai hujjah atau alasan. Illat menjadi landasan
dalam hukum ashl. Dalam pengertian lain, illat disebut juga dengan kemaslahatan yang
diperhatikan syara. Illat inilah yang menjadi salah satu pertimbangan dalam melakukan qiyas.
3. Syarat Qiyas
Untuk dapat melakukan qiyas terhadap suatu masalah yang belum ada ketentuannya
dalam al-Qur‟an dan hadits harus memenuhi syarat-syarat berikut:
 Hendaklah hukum asalnya tidak berubah-ubah atau belum dinasakhkan artinya hukum
yang tetap berlaku.
 Asal serta hukumnya sudah ada ketentuannya menurut agama artinya sudah ada menurut
ketegasan al-Qur‟an dan hadits.
 Hendaklah hukum yang berlaku pada asal berlaku pula pada qiyas, artinya hukum asal itu
dapat diberlakukan pada qiyas.

4. Qiyas sebagai dalil syara’


Tidak ada dalil atau petunjuk pasti yang menyatakan bahwa qiyas dapat dijadikan dalil
syara‟ untuk menetapkan hukum. Juga tidak ada petunjuk yang membolehkan mujtahid. Dalil
hukum syara' adalah alasan atau bukti yang digunakan dalam pengambilan keputusan hukum
dalam Islam. Qiyas berfungsi sebagai dalil hukum syara' dalam beberapa situasi di mana tidak
ada nash (teks) yang langsung mengaturnya.
Tentang perbedaan pendapat mengenai kedudukan qiyas, dikalangan ahli fiqih terbagi
menjadi tiga kelompok seperti berikut: Pertama, Kelompok Jumhur, yang menggunakan qiyas
sebagai dasar hukum pada hal-hal yang tidak jelas nashnya dalam Qur‟an, hadits, pendapat
sahabat dan ijma‟ ulama. Kelompok ini menggunakan qiyas dengan tidak berlebihan. Kedua,
kelompok Zhahiriyah dan Syiah Imamiyah, kelompok ini menolak qiyas secara penuh dan tidak
mengakui illat nash, juga tidak berusaha mengetahui sasaran dan tujuan nash, termasuk
mengungkap alasan-alasan guna menetapkan suatu kepastian hukum yang sesuai dengan illat.

17
Ketiga, kelompok yang memperluas penggunaan qiyas, mereka berusaha menggabungkan dua
hal yang tidak terlihat kesamaan illat diantara keduanya, bahkan menerapkan qiyas sebagai
pembatas keumuman al-Quran dan hadits.
Alasan ketiga kelompok ulama tentang penggunaan qiyas dapat dibagi lagi kedalam dua
kelompok yaitu kelompok yang menerima dan menolak menggunakan qiyas, yang masing-
masing mengemukakan dalil al-Qur‟an, sunnah, ijma‟ ulama atau sahabat dan dalil akal.
ُ ُ ّْْ ْ َ َ ‫َ َ ْ َ َۗ ى‬
Kelompok yang menerima qiyas sebagai dalil karena didasarkan firman Allah:
َ َ َّ َ َ ‫َ َ َ َ َ َى‬
‫ي‬
َِ ْ ‫ْْ ْ ِْ ْ ىخ ِّلل َْ ّْ َه ْْٓكا ىل م َن ْ ىيَ ْٓ ى‬ ‫و ىضْْب منا مثلْْ ووس‬Allah
ُ ُِْ ْ ُ َ
‫ كل يْْ ِي يتْا الْْْي اوشْاها اول‬.ْ‫ْام ِؼظ َام َو ِهْ ِْ َ ِرم ْي‬
َّ
ُ
‫َم َّرٍة َ ََۗوه َو‬
ْ َ ْ َ ُ ِّ
ْ‫لقْ ػ ِلْي‬ ٍ ‫ِبكْ خ‬
78. dan ia membuat perumpamaan bagi kami; dan Dia lupa kepada kejadiannya; ia berkata:
"Siapakah yang dapat menghidupkan tulang belulang, yang telah hancur luluh?"
79. Katakanlah: "Ia akan dihidupkan oleh Tuhan yang menciptakannya kali yang pertama.
dan Dia Maha mengetahui tentang segala makhluk. (QS. Yasiin: 78-79)
Ayat ini menjelaskan bahwa Allah menyamakan kemampuan-Nya menghidupkan tulang
belulang yang telah berserakan di kemudian hari dengan kemampuan-Nya dalam menciptakan
tulang belulang pertama kali. Artinya bahwa Allah menyamakan menghidupkan tulang tersebut
kepada penciptaan pertama kali.
Jadi bila orang mukmin berbuat seperti apa yang diperbuat oleh orang kafir, akan
mengalami siksaan seperti yang dialami orang kafir. Hal itu berarti: qiyas-kanlah keadaanmu
kepada keadaan mereka. Kelompok ulama Zhahiriyah menolak argumentasi jumhur ulama itu
dengan mengatakan bahwa tidak ada peluang sedikitpun bagi qiyas dalam ayat tersebut. Tidak
satupun ilmu mengenai bahasa arab sebagai bahasa al-Qur‟an yang menjelaskan bahwa al-I‟tibar
berarti qiyas.
Amir Syarifuddin menambahkan, kelompok ulama yang menolak penggunaan qiyas
dalam hukum syara‟ adalah pertama, kelompok Syi‟ah Imamiyah yang membatalkan beramal
dengan qiyas. Mereka tidak membolehkan sama sekali penggunaan qiyas. Dalil yang populer
dikalangan mereka adalah: “agama Allah tidak dapat dicapai melalui akal dan sunnah itu bila
diqiyaskan akan merusak agama. Kedua, kelompok al-Nazham, mengatakan bahwa illat yang
tersebut dalam nash mewajibkan adanya usaha menghubungkan hukum melalui lafaz yang
umum tidak melalui qiyas. Ketiga, kelompok zhahiriyah, pandangan mereka tentang qiyas
sebanarnya kelihatan dari tanggapan mereka atas argumentasi yang dikemukakan jumhur ulama.
Mereka tidak menggunakan qiyas, sebagai penggantinya mereka menggunakan kaidah umum
lafaz nash. Sebagai contoh jumhur ulama menetapkan haramnya memukul orang tua diqiyaskan
kepada haramnya mengucap kata “uf” kepada orang tua. Ulama zhahiri tidak menggunakan
meng-qiyas-kan “uf” dengan memukul orang tua namun menggunakan lafaz umum bahwa
perintah Allah untuk berbuat baik kepada orang tua.

18
Dengan demikian dapat dijelaskan diantara keraguan mereka yang paling jelas
pendapatnya bahwa qiyas didasarkan hanya pada dugaan, seperti illat hukum nash adalah begini.
Dan Allah melarang mengikuti orang-orang yang megikuti dugaan
5. Macam macam qiyas
Dalam hukum Islam, terdapat beberapa macam Qiyas (analogi) yang digunakan oleh
ulama untuk menentukan hukum dalam berbagai konteks. Berikut adalah beberapa macam Qiyas
yang umum:
1. Qiyas Awlawi, qiyas yang berlakunya hukum pada furu‟ lebih kuat dari
pemberlakuan hukum pada ashal karena kekuatan illat pada furu‟. Sebagai contoh meng-qiyas-
kan keharaman memukul orang tua kepada ucapan “uf” (berkata kasar) terhadap orang tua
dengan illat menyakiti. Ditegaskan Allah dalam firman-Nya:

Keharaman pada perbuatan memukul lebih kuat daripada keharaman pada ucapan “uf”,
karena sifat menyakiti yang terdapat pada memukul lebih kuat dari yang terdapat pada ucapan
“uf”.
2. Qiyas Musawi, qiyas yang berlakunya hukum pada furu‟ sama keadaannya
dengan berlakunya hukum pada ashal karena kekuatan illatnya sama. Umpamanya meng-
qiyaskan membakar harta anak yatim kepada memakannya secara tidak pantas dalam
menetapkan hukum haramnya. Firman Allah yang artinya: “Dan berikanlah kepada anak-anak
yatim (yang sudah balig) harta mereka, jangan kamu menukar yang baik dengan yang buruk dan
jangan kamu Makan harta mereka bersama hartamu. Sesungguhnya tindakan-tindakan (menukar
dan memakan) itu, adalahh dosa yang besar.” Baik membakar harta anak yatim atau
memakannya secara tidak patut adalah sama-sama merusak harta anak yatim.

3. Qiyas Adwan, qiyas yang berlakunya hukum pada furu‟ lebih lemah
dibandingkan dengan berlakunya hukum pada ashal meskipun qiyas tersebut memenuhi
persyaratan. Umpamanya meng-qiyas-kan apel kepada gandum dalam menetapkan berlakunya
riba bila dipertukarkan dengan barang yang sejenis. Illatnya bahwa ia adalah makanan.
Memberlakukan hukum riba pada apel lebih rendah daripada berlakunya hukum riba pada
gandum karena illatnya lebih kuat.

19
2.3 Pengertian Istihsan dan Istishab
A. Pengertian istihsan
Secara etimologi, istihsan berarti menganggap baik atau mencari yang baik atau menilai
sesuatu sebagai baik. Sedangkan menururt istilah ushul fiqih, ialah meninggalkan hukum yang
telah ditetapkan pada suatu peristiwa atau kejadian yang ditetapkan berdasarkan dalil syara’,
menuju (menetapkan) hukum lain dari peristiwa atau kejadian itu juga, karena ada suatu dalil
syara’ yang mengharuskan untuk meninggalkannya. Dalil yang terakhir disebut sandaran
istihsan.

Adapun pengertian istihsan menurut istilah, sebagaimana disebutkan oleh Abdul Wahab
Khalaf, istihsan adalah berpindahnya seorang mujtahid dari ketentuan qiyas jali (yang jelas)
kepada ketentuan qiyas Khafi (yang samar), atau ketentuan yang kulli (umum) kepada ketentuan
yang sifatnya istisna’I (pengecualian), karena menurut pandangan mujtahid itu
Adalah dalil (alasan) yang lebih kuat yang menghendaki perpindahan tersebut. Dari
pengertian tersebut jelas bahwa istihsan ada dua, yaitu sebagai berikut:
1.Menguatkan Qiyas Khafi atas qiyas jali dengan dalil. Misalnya, menurut ulama Hanafiyah
bahwa wanita yang sedang haid boleh membaca Al-Qur’an berdasarkan istihsan, tetapi haram
Menurut qiyas
a.) Qiyas wanita yang sedang haid itu di qiyaskan kepada orang junub dengan illat sama-sama
tidak suci. Orang junub haram membaca Al-Qur’an, maka orang yang Haid haram membaca Al-
Qur’an.
b.) Istihsan haid berbeda dengan junub karena haid waktunya lama. Oleh karena itu, wanita Yang
sedang haid dibolehkan membaca Al-Qur’an, sebab bila tidak, maka haid yang panjang itu
wanita tidak memperoleh pahala ibadah apapun, sedang laki-laki dapat beribadah setiap saat.
2.Pengecualian sebagai hukum kulli dengan dalil. Misalnya, jual beli salam (pesanan)
berdasarkan istihsan diperbolehkan. Menurut dalil kulli. Syariat melarang jual beli yang
barangnya tidak ada pada waktu akad. Alasan istihsan ialah manusia berhajat kepada akad
Seperti itu dan sudah menjadi kebiasaan mereka. Dari berbagai definisi diatas, dapat
difahami bahwa pada hakikatnya istihsan itu adalah keterkaitan dengan penerapan ketentuan
hukum yang sudah jelas dasar dan kaidahaya secara umum baik dari nash, ijma atau qiyas, tetapi
ketentuan hukum yang sudah jelas ini tidak dapat diberlakukan dan harus dirubah karena
berhadapan dengan persoalan yang khusus dan spesifik
Macam-macam Istihsan

20
Dari definisi-definisi diatas secara sederhana dapat dikatakan, pada hakikatnya istihsan
terdiri dari dua macam yaitu:

1.Istihsan Qiyasi

Umum, sumur itu sulit untuk dibersihkan dengan mengeluarkan seluruh air sumur
tersebut, karena sumur yang sumbernya dari mata air sulit untuk dikeringkan. Ulama Hanafiyah
mengatakan bahwa dalam dalam keadaan seperti ini, untuk menghilangkan najis cukup dengan
memasukkan beberapa galon air ke dalam sumur, karena keadaan darurat menghendaki agar
orang tidak mendapatkan kesulitan dalam mendapatkan air untuk beribadah dan kebutuhan
lainnya.

d.) Istihsan bi al-‘urf

Yaitu meninggalkan apa yang menjadi konsekuensi qiyas menuju hukum lain yang
berbeda karena urf yang umum berlaku, baik urf yang bersifat perkataan maupun perbuatan.
Contohnya sama dengan contoh istihsan yang berdasarkan ijma’ no dua diatas, yaitu dalam
maslah pemandian umum yang tidak ditentukan banyak aimya dan lama pemandian yang
digunakan oleh seseorang, karena adat kebiasaan setempat bisa dijadikan ukuran dalam
menentukan lama dan banyaknya air yang terpakai.

e.) Istihsan bi al- muslahah

Yaitu mengevualikan ketentuan hukum yang belum berlaku umum


berdasarkanKemaslahatan, dengan memberlakukan ketentuan lain yang memenuhi prisnip
kemaslahatan.Adapun ulama malikiyyah menentohkan dengan membolehkan doktermelihat
aurat wanita dalam berobat.

C.Dasar Hukum Istihsan

Berdasarkan ayat al-Qur’an yaitu “Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan


tidakMenghendaki kesukaran bagimu.”(QS. Al-Baqarah (2): 185) dan hadis Rasulullah yakni
Anas r.a berkata “Rasulullah SAW bersabda, sebaik-baik agamamu adalah lebih mudah
ajarannya,dan sebaik-baik ibadah adalah yang dipahami syarat-syarat dan rukun-rukunnya”.
(IIR.Ibnu Bury

21
Yang berpegang dengan dalil istihsan ialah Mazhab Hanafi menurut mereka, istihsant
sebenarnya semacam qiyas, yaitu memenangkan qiyas khafi atas qiyas jali, karena menetapkan
hukum berdasarkan qiyas jali atau maslahah mursalah diperbolehkan, tentulah melakukan
istihsan juga begitu karena kedua hal itu pada hakekatnya adalah sama. Selain Mazhab Hanafi,
mazhab lain yang menggunakan istihsan ialah sebagai Mazhab Maliki dan sebagian Mazhab
Hambali.

Pendapat istihsan menurut Mazhab Hanafi berbeda dengan Mazhab Syafi’i. Menurut
Mazhab Hanafi istihsan ialah semacam qiyas, dilakukan karena ada suatu kepentingan, bukan
berdasarkan hawa nafsu, sedang menurut Mazhab Syafi’I istihsan itu timbul karena rasa kurang
enak, kemudian pindah kepada rasa yang lebih enak.

Seandainya istihsan itu diperbincangkan dengan baik, kemudian ditetapkan pengertian


yang disepakati, tentulah perbedaan pendapat itu dapat dikurangi. Karena itu Asy-Syathibi dalam
kitabnya 41-Miwafagaut menyatakan: “Orang yang menetapkan hukum berdasarkan istihsan
tidak boleh berdasarkan rasa dan keinginannya semata, akan tetapi haruslah berdasarkan hal-hal
yang benar diketahui bahwa hukum itu sesuai dengan tujuan Allah SWT, menciptakan syara’ dan
sesuai pula dengan kaidah-kaidah syara’ yang umum.

Para ulama yang mempertahankan istihsan mengambil dalil dari al-Qur’an dan Sunnah
yang menyebutkan kata istihsan dalam pengertian denotatif (lafal yang seakar dengan istihsan)
seperti Firman Allah Swt dalam surah Al-Zumar: 18 ‫األنين يستمعون االاقوال فيتبعون أحسنه اوال انك األلذين‬
‫ ولوال انك هم اوالار االالابابز‬. ‫هدهم اال‬

Artinya: “Yang mendengarkan perkotaan lalu mengikuti apa yang paling baik di
antaranya, mereka Itulah orang-orang yang Telah diberi Allah petunjuk dan mereka Itulah orang-
orang yang mempunyai akal” (QS. Az-Zumar: 18).

Ayat ini menurut mereka menegaskan bahwa pujian Allah bagi hambaNya yang memilih
dan mengikuti perkataan yang terbaik, dan pujian tentu tidak ditujukan kecuali untuk sesuatu
yang disyariatkan oleh Allah.

‫واتبعوا احسن ما انزال اال اليكم من ربكم‬Artinya: “Dan turutlah (pimpinan) yang sebaik-baiknya
yang telah diturunkan kepadamu dari Tuhanmu….(QS. Az-Zumar :55)

22
Menurut mereka, dalam ayat ini Allah memerintahkan kita untuk mengikuti yang terbaik,
dan perintah menunjukkan bahwa ia adalah wajib. Dan di sini tidak ada hal lain yang

Memalingkan perintah ini dari hukum wajib. Maka ini menunjukkan bahwa Istibsan
adalah hujjah. Hadits Nabi saw: “Apa yang dipandang kaum muslimin sebagai sesuatu yang
baik, maka la di Sisi Allah adalah baik dan apa-apa yang dipandang sesuatu yang buruk, maka
disisi Allah Adalah buruk pula”.

B.Pengertian Istishab

Secara etimologi, istishab berarti yaitu meminta kebersamaan, atau berlanjutnya


kebersamaan atau mencari sesuatu yang ada hubungannya. Istishab menurut bahasa arab ialah
mengakui adanya hubungan perkawinan. Sedangkan menurut istilah ulama ushul fiqh adalah
tetap berpegang kepada hukum yang telah ada dari suatu peristiwa atau kejadian sampai ada dalil
yang mengubah hukum tersebut Atau dengan perkataan lain, ialah menyatakan tetapnya hukum
pada masa yang lalu, sampai ada dalil yang mengubah ketetapan hukum itu.”

Pengertian Istishab menurut para Ahli Ushul Fiqh yaitu:

" ‫استبقاء االلحكم األلذ ى تبديد ال ايال في األلمانى فانما في االلمحاال حتى يو جدد ال وال يغير هي‬

Membiarkan berlangsungnya suatu hokum yang sudah ditetapkan pada masa

Lampau dan masih diperlukan ketentuannya sampai sekarang kecuali jika ada dalil lain
yang merubahnya” Sedangakan menurut Ibn Qoyyim, Istishah yaitu melanjutkan ketetapan suatu
hukum yang telah ada atau meniadakan suatu hukum yang sejak semula tidak ada.”

Definisi istishab menurut Abu Bakar Ismail Muhammad miqa yaitu : ‫االلحماال في والبسه ليال‬.
‫همسو با هال نجا قا تا واليا رقيا االلماضى في الاها تبة األللي النة األناجا حليم هال ه‬

‫“ يغير‬Melanggengkan hokum suatu masalah yang sudah tetap dari jaman lampau, baik ia

Di cegah maupun diperintahkan ketentuan itu tetap berlaku hingga sekarang sehingga
terdapat dalil yang merubahnya”. Imam Syihab al-Din Abu al-‘Abbas al-Qurafi, dalam karyanya
Syarh Tangih al- Fushul fi Ikhtishar al-Mahshul fi al-Ushul, menjelakan bahwa yang dimaksud
dengan Istishab yaitu: ‫االستقباال او االلحاال في ته نبو من يوجد االلحاضر أو االلماضى في االناشيء الشون اعتقاد‬

23
“Keyakinan (mujtahid) tentang suatu pada masa lalu atau sekarang ini, ia mewajibkan untuk
Menetapkan (hukumnya) berdasarkan dugaan sekarang dan pada masa akan datang.”

Imam al-Syaukani, pengarang kitab Irsyad al-Fukhul menjelaskan bahwa yang dimaksud
dengan Istishab adalah :

‫يغيره ما يوجد باأللم األمر بقاء‬

“Tetapnya sesuatu selama tidak ada sesuatu yang lain mengubahnya”.

Definisi yang dikemukakan oleh al-Syaukani dikomentari oleh Abu Bakar Ismail
Muhammad Miga sebagai berikut: ‫من االاز في عاليم مالکان عالی بقاؤه فاألصاال ضدى االاما في ثبت ما ان‬
‫“ بغيره إيال دال تي يا حتى وااللمستقبال االلمحاضر‬Sesungguhnya sesuatu yang telah tetap pada zaman
lampau, tetap sebagaimana adanya

Hinggga sekarang ini dan mendatang sebelum ada dalil yang mengubahnya”. Ali Hasab
Allah dalam kitab Ushul al-Tasyri’ al-Islami menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan al-
Istishab adalah:

‫“ خالفه عالى الاوال االند قيام لعدم ال منه فيا من أو الله ثابتا لشان بما سيء عال االنحلكم‬Kebenaran ketetapan
(hukum) sesuatu baik ia dibolehkan maupun dicegah karena tidak ada dalil yang mengubahnya”

Abu Bakar Ismail Muhammad Miqa, dalam buku Methodologi Ijtihad Hukum
Islambememberikan defenisi tentang Istishab yaitu: “Ketetapan masa lampau tetap berlaku
selama tidak ada dalil yang mengubahnya.” Artinya, ketentuan masa lampau tetap berlaku
hingga sekarang selama tidak terdapat dalil-dalil Hukum baru yang mengubah kedudukan hukum
lampau tersebut.

Semua definisi yang dikemukakan oleh ulama diatas menuju pada kesamaan arti yang

Didasari oleh tiga segi/aspek yaitu:

a.Segi Waktu

b.Segi ketepatan

c.Segi dalil

24
Dari segi waktu ai-Istishab dihubungkan dengan tiga waktu yaitu lampau, sekarang dan
mendatang. Dari segi ketetapan ada dua kemungkinan yaitu diperbolehkan dan tidak
diperbolehkan. Serta dari segi dalil, ketidak adaan dalil yang mengubah ketetapan masa lalu
merupakan kunci dari Istishah. Apabila terdapat dalil yang mengubah suatu ketetapan. Istishab
tidak berlaku lagi.”

b.Macam-macam Istishab Menurut Abu Zahrah Istishab dibagi dalam emapat macam yaitu:

1. Istishab al-ibahah al-ashliyah

Yaitu Istishab yang didasarkan atas hukum asal dari sesuatu adalah mubah (boleh).
Istishab semacam ini banyak berperan dalam menetapkan hukum di bidang mu’amalat.
Landasannya adalah sebuah prinsip yang mengatakan bahwa hukum dasar dari sesuatu yang
bermanfaat itu boleh dilakukan dalam kehidupan umat manusia selama tidak ada dalil yang
melaranganya. Firman Allah QS Al-Baqarah ayat 29.

“Dialah Allah, yang menjadikan segala yang ada dibumi untuk kamu…” Ayat diatas
menegaskan bahwa segala sesuatu yang ada di bumi untuk umat manusia dalam pengertian boleh
dimakan makanannya boleh dilakukan hal-hal yang membawa manfaat bagiKehidupan

2. Istishab al-baraah al-ashliyah

Istishab yang didasarkan pada dasarnya setiap orang bebas dari tuntutan beban taklif
sampai ada dalil yang mengubah status itu. Seorang yang menuntut bahwa haknya terdapat pada
diri seseorang ia harus mampu membuktikannya karena pihak tertuduh pada dasarnya bebas dari
segala tuntutan, dan setatusnya itu tidak bisa diganggu gugat kecuali ada bukti yang jelas. Jadi
seseorang dengan prinsip istishab akan selalu dianggap berada dalam status tidak bersalah
sampai ada bukti yang mengubah statusnya itu.

3. Istishab al-hukm

Istishab yang didasarkan atas tetapnya status hukum yang sudah ada selama tidak ada
bukti yang mengubahnya. Misalnya: seorang yang memiliki sebidang tanah atau harta bergerak
seperti mobil, maka harta miliknya itu tetap dianggap ada selama tidak terbukti dengan peristiwa
yang mngubah status hukum itu, seperti duijual atau di hibahkan kepada pihak lain.

25
4. Istishab al-washf

Istishab yang didasarkan atas anggapan masih tetapnya sifat yang diketahui ada
sebelumnya sampai ada bukti yang mengubahnya. Misalnya: sifat hidup yang dimiliki seseorang
yang hilang tetap dianggap masih ada sampai ada bukti bahwa ia telah wafat.

C.Dasar Hukum Istishab

Hanafiyah menyatakan bahwa sebenarnya istishab itu tidak lain hanyalah untuk
mempertahankan hukum yang telah ada, bukan untuk menetapkan hukum yang baru. Istishab
bukanlah merupakan dasar atau dalil untuk menetapkan hukum yang belum tetap, tetapi ia
hanyalah menyatakan bahwa telah pernah ditetapkan suatu hukum dan belum ada yang
mengubahnya. Jika demikian halnya istishab dapat dijadikan dasar hijjah.

Contoh Istishab: Telah terjadi perkawinan antara laki-laki A dan perempuan B


Kemudian mereka berpisah dan berada di tempat yang berjauhan selama 15 tahun. Karena telah
lama berpisah itu maka B ingin kawin dengan laki-laki C. Dalam hal ini B belum dapat kawin
dengan C karena ia telah terikat tali perkawinan dengan A dan belum ada perubahan hukum
perkawinan mereka walaupun mereka telah lama berpisah. Berpegang ada hukum yang telah
ditetapkan, yaitu tetap sahnya perkawinan antara A dan B, adalah hukum yang ditetapkan dengan
istishab.”

Dari keterangan dan contoh diatas dapat diambil kesimpulan bahwa sebenarnya istishab
itu bukanlan cara menetapkan hukum (thuruqul istinbath), tetapi ia pada hakikatnya adalah
menguatkan atau menyatakan tetap berlaku suatu hukum yang pernah ditetapkan karena tidak
ada yang mengubah atau yang mengecualikan.

Pernyataan ini sangat diperlukan untuk menjaga jangan sampai terjadi penetapan hukum
yang berlawanan antara yang satu dengan yang lain, seperti dipahami dari contoh di atas.
Seandainya si B boleh kawin dengan si C, maka akan terjadi perselisihan antara si A dan Catau
terjadi suatu keadaan pengaburan batas antara yang sah dengan yang tidak sah dan antara yang
halal dengan yang haram.

26
Jadi diperhatikan proses terjadi atau perubahan undang-undang dalam suatu negara atau
keputusan pemerintah, maka istishab ini adalah kaidah yang selalu diperhatikan oleh setiap
pembuat undang-undang atau peraturan.

D. Perbedaan Pendapat Ulama’ tentang al-Istishab

Para ulama’ Ushul Fiqh seperti dikemukakan oleh Muhammad Abu Zahrah, sepakat
bahwa tiga macam Istishab yang disebut pertama distas adalah sah dijadikan landasan hukum.
Mereka berbeda pendapat pada macam yang ke empat yaitu istishab al- washf. Dalam hal ini ada
dua pendapat:

1.Kalangan Hanabilah dan Syafi’iyah berpendapat bahwa Istishab al-washf dapat dijadikan
landasan secara penuh baik dalam menimbulkan hak yang baru maupun dalam Mempertahankan
haknya yang sudah ada.

2.Kalangan Hanafiyah dan Malikiyah berpendapat bahwa, Istishab al-washf hanya berlaku Untuk
mempertahankan haknya yang sudah ada bukan untuk menimbulkan hak yang baru.

C. Syarat dan Rukun Istihsan dan Istishab

1. Syarat dan Rukun Istihsan

Dalam penetapan hukum Istihsan ini, para Ulama Fiqh menetapkan persayaratan sebagai
berikut:

a. Tidak boleh bertentangan dengan Maqasid Syariah, dalil-dalil kulli, dan juz’I yang
qath’iWurud dan dalalahnya, dari nash al-Qur’an dan As-Sunnah.
b. Kemaslahatan tersebut harus bersifat rasional artinya harus ada penelitian dan Pembahasan,
hingga yakin hal tersebut memberikan manfaat atau menolak kemudaratanBukan
kemaslahatan yang dikira-kirakan.

2.Syarat dan Rukun Istishab

Dari beberapa definisi yang telah dikemukakan oleh para ulama di atas, dapat dipahami
Bahwa yang dimaksud dengan istishab memiliki beberapa ketentuan sebagai berikut:

a. Segala hukum yang telah ditetapkan pada masa lalu, dinyatakan tetap berlaku pada masa
sekarang, kecuali kalau telah ada yang mengubahnya. Contoh: Telah terjadi perkawinan antara

27
laki-laki A dengan perempuan B, kemudian mereka berpisah dan berada di tempat yang
berjauhan selama 15 tahun. Karena telah lama berpisah itu mak B ingin kawin dengan laki-laki
C. Dalam hal ini B belum dapat kawin dengan C karena ia telah terikat perkawinan dengan A
dan nelum ada perubahan hukum perkawinan mereka walaupun mereka telah lama berpisah.
Berpegang dengan hukum yang telah ditetapkan, yaitu tetap sahnya perkawinan antara A dan B.
adalah hukum yang ditetapkan dengan Istishab.

b. Perubahan hukum yang ada hanya dapat terjadi, jika terdapat dalil yang mengubahnya Contoh:
Menurut firman Allah Swt:

“Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu (manusia).”
(QS.al- Baqarah (2): 29) Dihalalkan bagi manusia memakan apa saja yang ada di muka bumi
untuk kemanfaatan dirinya, kecuali kalau ada yang mengubah atau mengecualikan hukum itu.
Karena itu ditetapkanlah kehalalan memakan sayur-sayuran dan binatang-binatang selama tidak
ada yang mengubah atau mengecualikannya.

C. Hukum yang ditetapkan dengan yakin itu tidak akan hilang (hapus) oleh hukum yang
ditetapkan dengan ragu-ragu.

28
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Dalam penelusuran mengenai sumber ajaran Islam, makalah ini telah menguraikan peran
penting Al-Quran, Hadis, Ijtihad, Qiyas, Istihsan, dan Istihsab dalam membentuk kerangka
hukum dan pedoman bagi umat Islam. Setiap sumber memiliki kedudukan dan metodologi
interpretasi yang unik, yang membentuk dasar pemahaman dan implementasi ajaran agama.

Al-Quran, sebagai sumber utama dan tertinggi dalam Islam, memberikan fondasi prinsip-
prinsip ajaran utama. Hadis memberikan penjelasan dan konteks tambahan untuk pemahaman
Al-Quran. Sementara itu, Ijtihad, Qiyas, Istihsan, dan Istihsab merupakan metode interpretasi
yang digunakan oleh ulama untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan baru dalam konteks yang
terus berubah.

Dalam perbandingan antara sumber-sumber ini, terlihat persamaan dan perbedaan yang
relevan. Al-Quran dan Hadis sebagai sumber-sumber utama seringkali memiliki otoritas yang
lebih kuat dalam hal ajaran fundamental, sementara Ijtihad, Qiyas, Istihsan, dan Istihsab
digunakan untuk mengatasi masalah-masalah yang tidak secara langsung diatasi dalam teks-teks
utama.

Pentingnya pemahaman mendalam tentang sumber-sumber ajaran Islam ini adalah bahwa
mereka membentuk pondasi hukum dan moral bagi umat Islam. Dalam menghadapi berbagai
tantangan dalam masyarakat modern, pemahaman yang benar tentang cara menggabungkan
sumber-sumber ini menjadi kunci untuk menjaga relevansi dan kemutakhiran ajaran Islam.

Namun, penggunaan metode interpretasi seperti Ijtihad, Qiyas, Istihsan, dan Istihsab juga
dapat menghadirkan tantangan dan kontroversi. Oleh karena itu, perlu ada dialog dan kajian yang
berkelanjutan di antara para ulama untuk menghadapi masalah-masalah kontemporer.

Dengan demikian, pemahaman yang mendalam tentang sumber-sumber ajaran Islam ini,
bersama dengan kajian yang kritis, adalah kunci untuk menjaga keberlanjutan dan relevansi
agama dalam kehidupan sehari-hari umat Islam.

29
DAFTAR PUSTAKA

Abdul Karim Ibnu Ali Assyaukani, Irsyadul Fuhul, Jakarta: PT. Muasasah Kutub
Atsofoqiyah, hlm. 400-401, 1993
Ali bin Muhammad Al-Amidy. Al-Ihkam fi Ushuli Al-Ahkam.Jilid IV. (Dar As-Shami‟i)
Hlm 190-195, 2003
Amir Syarifuddin, Ushul Fikih, jilid II, Edisi Revisi ,Ciputat: PT. Logos Wacana Ilmu,
hlm. 351, 2008
Efendi Sugianto, Istishab sebagai dalil Syar‟I dan perbedaan ulama tentang
kedudukannya.
Studia Vol.5, No.1, 2020
Kamali, Mohammad Hasyim. “Prinsip Fikih Islam.” Masyarakat Teks Islam, 2003.
Kandir, Nor,. Al-Qur’an Sumber Segala Ilmu. Pustaka Al-Mandiri, 2016.
Khon, Abdul Majid. Ulumul Hadis. Jakarta: Amzah, 2015.
Sulistiani, Siska Lis. “Perbandingan Sumber Hukum Islam.” Tahkim: Jurnal
Peradaban dan Hukum Islam 1, 1 (2018).
Thaib, Zamakhsyari bin Hasballah. “Metode al-Qur’an dalam Menampakkan Ayat-Ayat
plaaa
Hukum.” Suloh: Jurnal Fakultas Hukum Universitas Malikussaleh 7, 1 (2019).
Yuslem, Nawir. Ulumul Hadis. Jakarta: Mutiara Sumber Dewi, 1998.

30

Anda mungkin juga menyukai