Anda di halaman 1dari 2

Nama : Audrey Anaqi Noor

NIM : J0302211118
Kelas : B1

PERANG BALI
Kerajaan Buleleng merupakan salah satu kerajaan di Pulau Dewata. Berdiri pada 1660
Masehi, sejarah runtuhnya kerajaan ini disebabkan oleh serangan dari Belanda yang terangkai
dalam Perang Bali I pada 1846 hingga 1849 M. Pendiri Kerajaan Buleleng adalah I Gusti
Anglurah Panji Sakti dari Wangsa Kepakisan, putra I Gusti Ngurah Jelantik, Raja Kerajaan
Gelgel yang bertakhta pada 1580 M. Lantaran I Gusti Anglurah Panji Sakti adalah anak dari istri
selir, bukan permaisuri, kehadirannya dianggap mengancam posisi putra mahkota Gelgel. Deni
Prasetyo dalam buku Mengenal Kerajaan-Kerajaan Nusantara (2009) mengungkapkan, Panji
Sakti berbeda dengan anak-anak lainnya. Ia punya keistimewaan, termasuk disebut-sebut
memiliki kekuatan supranatural. Maka, Panji Sakti kemudian diasingkan ke kampung halaman
ibundanya yang bernama Si Luh Pasek Gobleg, yakni di Desa Panji, wilayah Den Bukit, Bali
bagian utara. Panji Sakti tumbuh sebagai sosok pemimpin muda yang cemerlang. Ia berhasil
menyatukan wilayah-wilayah sekitar Den Bukit bahkan kemudian dinobatkan menjadi raja. Dari
sinilah riwayat Kerajaan Buleleng bermula pada 1660 M

I Gusti Anglurah Panji Sakti sebagai pendiri Kerajaan Buleleng langsung mampu
mengantarkan kerajaan yang menganut ajaran Hindu ini ke masa kejayaan. Soegianto
Sastrodiworyo dalam I Gusti Anglurah Panji Sakti Raja Buleleng (1994) menjelaskan, kala itu
wilayah Kerajaan Buleleng meluas hingga Blambangan (Banyuwangi) dan Pasuruan, Jawa
Timur. Namun, sepeninggal sang raja pendiri pada 1704, Kerajaan Buleleng perlahan melemah.
Selain mengalami kekalahan dan takluk dari kerajaan-kerajaan lain, wilayah Buleleng juga
menjadi target serangan penjajah Belanda. Berturut-turut yakni pada 1846, 1848, dan 1849,
Buleleng digempur oleh Belanda. Peperangan ini merupakan rangkaian dari Perang Bali I.

Buleleng membuat Belanda jengkel lantaran penerapan hukum Tawan Karang. Ryan
ver Berkmoes dalam Bali & Lombok (2007) memaparkan, Hak Tawan Karang merupakan aturan
di mana raja-raja Bali berhak menyita kapal yang karam di wilayah perairan kekuasaan mereka.
Hukum tawan karang sejatinya telah diterapkan sejak masa Bali Kuno. Prasasti Bebetin yang
berangka tahun 896 Masehi dan Prasasti Sembiran dengan angka tahun 923 Masehi telah
menyebutkan aturan terkait hukum tawan karang tersebut. Belanda yang tidak suka dengan
penerapan hukum Tawan Karang akhirnya mengirim pasukan ke Buleleng yang kala itu sudah
menjadi bagian dari wilayah Kerajaan Karangasem. Tanggal 25 Mei 1846, seperti dikutip dari
Sejarah Perlawanan Terhadap Imperialisme dan Kolonialisme di Daerah Bali (1983) karya Made
Sutaba dan kawan-kawan, Belanda mulai melancarkan serangan dari laut maupun darat.
Perlawanan rakyat Buleleng dipimpin oleh I Gusti Ketut Jelantik yang masih punya garis
keturunan dengan I Gusti Anglurah Panji Sakti.
Serangan Belanda pertama pada 1846 masih mampu ditangkal oleh pasukan
Buleleng di bawah pimpinan I Gusti Jelantik. Menurut Robert Pringle dalam A Short History of
Bali (2004), Belanda saat itu berkekuatan 2.400 orang tentara. Awal tahun 1848, I Gusti Jelantik
menggerakkan pasukan untuk mengusik Belanda secara gerilya. Pos-pos dan kapal-kapal
Belanda menjadi sasarannya. Belanda membalas, tapi selalu gagal berkat siasat jitu yang
diterapkan I Gusti Jelantik. Sepanjang tahun 1848 itu, Buleleng berkali-kali meraih kemenangan
yang membuat Belanda harus mundur dari Bali untuk kedua kalinya.

Tak ingin kalah lagi, Belanda lantas menerapkan taktik licik andalannya, yakni
devide et impera alias adu domba. Tahun 1849, Belanda menyusupkan utusan untuk menghasut
dan memecah-belah kekuatan rakyat Bali, termasuk Buleleng. Ide Anak Agung Gde Agung
dalam Bali pada Abad XIX: Perjuangan Rakyat dan Raja-raja Menentang Kolonialisme Belanda
1808-1908 (1989) menyebutkan, Belanda menebar isu bahwa sebagian kerajaan di Bali sudah
ditaklukkan. Kabar bohong ini membuat Buleleng cemas. Pasukan gabungan Buleleng tak fokus
lantaran khawatir, bahkan tidak sedikit yang meninggalkan benteng pertahanan mereka di
Jagaraga. Belanda memanfaatkan betul situasi ini. Pagi-pagi buta tanggal 15 April 1849,
Jagaraga digempur dari dua sisi, depan dan belakang. Pihak Buleleng tidak siap menerima
serangan besar ini. Korban tewas berjatuhan, ribuan warga ditawan. D. Surya dalam buku
berjudul Bali (2012) mengungkapkan, I Gusti Jelantik terpaksa mundur ke Gunung Batur.
Namun, di perjalanan dan dalam kondisi terluka serta dikejar-kejar pasukan Belanda, ia tak
mampu bertahan dan akhirnya gugur. Setelah kematian I Gusti Jelantik, Buleleng jatuh ke tangan
penjajah dan menjadi wilayah kekuasaan pemerintah kolonial Hindia Belanda di Nusantara.

Perang Bali II terjadi pada tahun 1848. Perang tersebut berlangsung selang pasukan Belanda
melawan pasukan Bali. Belanda memanfaatkan isu hak tawan karang, di mana raja-raja Bali
dapat merampas kapal yang karam di perairannya, yang tak dapat disetujui oleh hukum
internasional.[1]
Pasukan Belanda ada anggota 2.400 prajurit, sepertiga terdiri dari orang Eropa, sisanya
adalah orang Jawa dan Madura, ditambah dengan 1 kompi yang ada anggota orang kulit hitam
Afrika, probabilitas berasal dari koloni Belanda di Ghana (saat itu Pantai Emas).[2] Angkatan
tersebut mendarat di Sangsit, Buleleng pada tanggal 7 Mei 1848.[2]
Orang Bali berjumlah 16.000 jiwa, temasuk 1.500 orang yang bersenjatakan senapan api di
bawah pimpinan I Gusti Ketut Jelantik.[2] Sesudah Belanda mendarat, orang Bali menarik diri
ke posisi mereka di Jagaraga, hanya 4 kilometer jauhnya.[2]
Belanda menyerang musuh di Jagaraga walaupun udara panas menyengat. Orang Bali
menyerang balik dan menghalau pasukan Belanda, yang di pihaknya jatuh korban 200 orang
tewas, sehingga harus naik kapal kembali Sesudah kekalahan ini, Belanda kembali lagi
dalam ekspedisi berikutnya pada tahun 1849.

Anda mungkin juga menyukai