Kelompok 10 :
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS ESA UNGGUL
TANGERANG
2023
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI 2
KATA PENGANTAR 2
BAB I 2
PENDAHULUAN 2
A. Latar Belakang 2
B. Rumusan Masalah 2
C. Tujuan 2
BAB II 3
PEMBAHASAN 3
A. Kepribadian dalam Konteks Hubungan Interpersonal 3
B. Kepribadian dalam Konteks Kultur 8
C. Kepribadian dalam Konteks Perkembangan (Life Span Development) 14
BAB III 18
PENUTUP 18
A. Studi Kasus 18
B. Kesimpulan 19
DAFTAR PUSTAKA 20
ii
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami ucapkan kehadirat Allah Swt. atas segala rahmat-Nya
sehingga makalah ini dapat tersusun sampai selesai. Tidak lupa kami mengucapkan
terima kasih terhadap bantuan dari pihak yang telah berkontribusi dengan memberikan
sumbangan baik pikiran maupun materi.
Penulis sangat berharap semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan
dan pengalaman bagi pembaca. Bahkan kami berharap lebih jauh lagi agar makalah
ini bisa pembaca praktikkan dalam kehidupan sehari-hari.
Bagi kami sebagai penyusun merasa bahwa masih banyak kekurangan dalam
penyusunan makalah ini karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman kami.
Untuk itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca
demi kesempurnaan makalah ini.
Penulis
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Menurut banyak psikolog kepribadian kontemporer, kepribadian harus
dipahami "dalam konteks". Karena kita belajar tentang kepribadian individu melalui
observasi, ketika ia berinteraksi dalam suatu "konteks" dan dari satu "konteks" dengan
"konteks" yang lain akan berbeda dari perilaku dan cara berpikiran. Contohnya, ketika
mengobservasi teman kampus, kita hanya mengobservasi saat ia berada di kampus.
Cara ia berperilaku di kampus dengan di rumah tentu saja bisa berbeda. Maka dari itu
hasil observasi tidak bisa digeneralisasikan. Hasil analisis kepribadian teman kampus
tidak bisa secara langsung dijadikan patokan "bagaimana individu tersebut di segala
situasi", observer harus mengetahui interaksi individu dari berbagai konteks.
Interaksi antar individu terjadi sejak awal kehidupan seseorang, seperti halnya
interaksi bayi dengan orang tua khususnya ibu. Interaksi bayi dengan ibu akan
membentuk ikatan emosional yang ditunjukan oleh perilaku bayi yang selalu ingin
dekat dengan ibunya. Semakin bertambah usia individu semakin kompleks hubungan
sosial yang dijalinnya, tidak hanya hubungan dengan keluarga tetapi juga menjalin
kedekatan dengan individu lain di luar keluarga. Bowlby dan Ainsworth (dalam Baron
& Byrne, 2005) menyatakan bahwa Attachment merupakan suatu ikatan emosional
yang kuat yang dikembangkan melalui interaksinya dengan orang yang mempunyai
arti khusus dalam kehidupannya. Kelekatan yang dibentuk oleh individu pada saat
bayi akan berpengaruh pada pembentukan hubungan sosial yang akan dijalinnya.
Karena, pengalaman hubungan antara orang tua dengan anak dapat menjadi dasar
dalam pembentukan hubungan persahabatan yang berkaitan dengan penyesuaian
psikososial. Santrock (2002) Attachment yang kokoh atau keterkaitan dengan orang
tua meningkatkan relasi teman sebaya yang kompeten dan relasi erat yang positif di
luar keluarga.
Konteks yang membedakan perilaku individu adalah konteks hubungan sosial,
konteks kultural dan konteks perkembangan. Kepribadian dalam konteks hubungan
interpersonal menjelaskan mengenai bagaimana individu berperilaku dalam hubungan
interpersonal. Di mana tiap perilaku tersebut dipengaruhi hal-hal yang dijelaskan
dalam riset. Kepribadian dalam konteks kultur menjelaskan tentang kepribadian yang
terbentuk dipengaruhi oleh budaya tempat individu tinggal. Sedangkan kepribadian
dalam konteks perkembangan menjelaskan tentang kemungkinan perubahan
kepribadian seorang individu yang dikarenakan oleh tahap-tahap perkembangan yang
dialaminya.
1
2
Keunikan dan perbedaan tiap individu tidak bisa diketahui hanya dengan
perilaku general. Maka dari itu, pemahaman mengenai kepribadian individu hanya
bisa didapat jika seseorang mengeksplor bagaimana mereka menghadapi berbagai
situasi yang berbeda dalam kehidupan mereka. Mengapa demikian? Menurut teori
Psikologi Self Carl Rogers yang tertera pada bukunya Client-centered therapy (1951),
"Organisme bereaksi terhadap medan sebagaimana Medan itu dialami dan diamatinya.
Bagi individu dunia pengamatan ini adalah kenyataan (realitas)". Artinya individu
selalu mengamati, mencerna,berpikir kembali, dan membangun makna dari segala
stimulus, peristiwa sosial dan personal yang ditemui (medan phenomenal).
Hubungan dinamis dalam diri individu sebagai sistem psikofisik yang
menentukan cara yang khas dalam menyesuaikan diri terhadap lingkungannya.
peneliti menyimpulkan bahwa kepribadian merupakan sifat-sifat dasar yang unik.
Sifat-sifat tersebut dimiliki masing-masing individu yang termanifestasi dalam setiap
tingkah laku individu. Sifat dasar tersebut telah diwakili oleh kelima faktor dominan
yang terdiri dari Extraversion, Agreeableness, Conscientiousness, Neuroticism,
Openness yang masing-masing memiliki ciri khas tersendiri.
B. Rumusan Masalah
1. Mengapa kepribadian terhubung dalam beberapa konteks?
2. Apa saja yang mempengaruhi kepribadian berubah?
3. Apa yang membedakan individu dengan gaya berpikir optimistik dan individu yang
berpikir pesimistik?
4. Mengapa setiap individu memiliki kepribadian yang berbeda?
C. Tujuan
1. Menjelaskan mengapa kepribadian terhubung dalam beberapa konteks
2. Menjelaskan apa yang mempengaruhi kepribadian dapat berubah
3. Memaparkan perbedaan individu yang berpikir dengan gaya optimistik dan optimistik
4. Menjelaskan mengapa setiap individu memiliki kepribadian yang berbeda
BAB II
PEMBAHASAN
3
4
dari itu dapat menghindari tekanan sosial yang sama dengan strategi
berbeda karena gaya berpikir tiap individu berbeda.
Pesimisme defensif adalah strategi coping individu
menggunakan pemikiran negatif sebagai cara untuk menghadapi stres.
Individu dengan gaya berpikir pesimistik, cenderung mengharapkan
hasil yang tidak menguntungkan ketika dihadapkan peristiwa yang
dampak emosionalnya tidak diketahui (Herwig et al., 2010).
Ia juga akan menganggap peristiwa negatif sebagai peristiwa
internal (terjadi karena dirinya "locus of control internal"), sehingga
mereka cenderung tidak merasa tangguh saat menghadapi stresor
karena merasa kendali atau kompetensi diri mereka yang kurang.
Sedangkan pada peristiwa positif akan dinilai karena faktor eksternal
("locus of control eksternal"). Artinya diri dia tidak ikut andil dalam
mencapai peristiwa positif itu, hanya tercapai karena bantuan orang
lain.
Sedangkan optimistic adalah strategi coping dengan
berekspektasi relatif realistis ttg kemampuannya. Optimisme
merupakan cara berpikir positif saat dihadapkan dengan situasi tidak
terkendali (Carver & Scheier, 1993). Maka individu dengan gaya
berpikir optimis adalah orang dengan ekspektasi positif, harapan yang
baik pada masa depan dan aspek kehidupannya (Scheier & Carver,
dalam Snyder, 2002). Optimisme selalu mendorong individu merasa
bahwa yang terjadi adalah sesuatu yang terbaik untuk dirinya. Maka
contoh individu dengan gaya berpikir pesimisme dan optimisme dalam
menghindari tekanan sosial dalam hubungan interpersonal adalah:
pada sifat yang berbeda, dan apa yang dianggap sebagai sifat positif dalam
satu budaya mungkin dianggap negatif di budaya lain, sehingga menghasilkan
ekspresi kepribadian yang berbeda di setiap negara. Dua aspek yang
memperumit peran budaya dalam pembentukan kepribadian adalah derajat
integrasi budaya dalam diri seseorang, begitu pula sebaliknya, dan fenomena
budaya tidak ada secara terpisah. Artinya, jenis kelamin, ras, agama, dan
sebagainya merupakan faktor budaya yang mempengaruhi perkembangan
kepribadian. Pendekatan budaya-komparatif, pribumi, dan gabungan dapat
meneliti kepribadian dalam konteks budaya.
Jika diamati, saat ini manusia sering kali menghadapi permasalahan
yang disebabkan oleh budaya yang tidak mendukung. Ketika pengaruh budaya
buruk mempengaruhi kepribadiaan seseorang maka dengan sendirinya
berbagai masalah yang tidak diinginkan akan terjadi secara terus-menerus.
Berry, dkk (1999: 356) mengemukakan pandangan teori konfigurasi
tentang kebudayaan dan kepribadian dan menyatakan “budaya adalah
kepribadian suatu masyarakat, budaya adalah psikologi individual yang
dibiasakan, di beri proporsi raksasa dan suatu masa yang begitu lama“. Dalam
hal ini Kroeber dan Kluckhohn (dalam Tilaar, 1999) mengemukakan
hubungan kepribadian dan kepribadian sebagai hubungan “sebab akibat
struktur“ yang berarti antara kepribadian dan kebudayaan terdapat suatu
interaksi yang saling menguntungkan. Bahwa di dalam pengembangan
kepribadian memerlukan kebudayan dan di dalam mengembangkan
kebudayaan memerlukan kepribadian.
Tilaar ( 1999 ) mengemukakan beberapa hal mengenai hubungan
antara kebudayaan dengan kepribadian, yaitu:
● Kepribadian adalah suatu proses kebudayaan juga merupakan suatu
proses. Hal ini berarti antar pribadi dan kebudayaan terdapat suatu
dinamika.
● Kepribadian mempunyai keterarahan dalam perkembangan untuk
mencapai suatu misi tertentu. Keterarah perkembangan tersebut
tentunya tidak terjadi di dalam ruang kosong, tetapi di dalam
masyarakat yang berbudaya.
● Dalam perkembangan kepribadian, salah satu faktor penting ialah
imajinasi. Imajinasi seseorang akan dapat diperoleh secara langsung
dari lingkungan kebudayaan.
● Kepribadian mengadopsi secara harmonis tujuan hidup dalam
masyarakat (termasuk nilai–nilai budaya) agar ia hidup berkembang
● Di dalam pencapaian tujuan oleh pribadi yang sedang berkembang itu
dapat dibedakan antara tujuan dalam waktu yang dekat dan tujuan
jangka panjang. Tujuan–tujuan tersebut sangat diwarnai nilai–nilai
yang hidup dalam masyarakat.
● Berkaitan dengan keberadaan tujuan dalam pengembangan
kepribadian, dapatlah disimpulkan bahwa proses belajar adalah proses
yang ditujukan untuk mencapai tujuan.
13
b. Interdependent Self-construal
Interdependent self-construal adalah pemaknaan individu
bahwa individu adalah hal yang memiliki suatu hubungan dengan
konteks sosial. Individu dengan Interdependent self- construal
memiliki pandangan yang terikat dengan kelompok sosialnya,
pandangan pada individu ini sesuai dengan apa yang dipandang dengan
kelompok sosialnya dan individu ini lebih mementingkan konteks
sosialnya dibandingkan dengan kepribadiannya. Individu dengan
Interdependent self-construal lebih dominan bersifat fluktuatif atau
berubah-ubah yang dikarenakan sering menyesuaikan diri dengan
kelompok sosialnya. Berbeda dengan independent self-construal,
individu dengan Interdependent self-construal tidak dominan
mengapresiasikan atribut pribadinya kepada publik dengan
menunjukan kemampuan dan kecerdasan. Hal tersebut dikarenakan
individu ini hanya mengikuti lingkungan sosialnya (Markus &
Kitayama, 1991).
c. Defensive Pessimism
Defensive Pessimism adalah teknik yang digunakan untuk
meringankan dan mengelola kecemasan dan emosi seputar situasi stres
dengan melakukan refleksi dan perencanaan yang signifikan terhadap
potensi hasil yang buruk.
14
f. Optimism
Optimism mencerminkan keyakinan bahwa hasil dari peristiwa
secara umum akan positif.
a. Pengaruh genetik
Gen mendorong munculnya kondisi fisik yang berkelanjutan/kontinu.
b. Peran kontinuitas/lingkungan
Lingkungan yang konsisten mempertahankan kontinuitas.
15
a. Filibustering
Menunggu tekanan untuk berubah dengan harapan katalisator akan
kehilangan tenaga.
b. Struktur identitas
Kompleksitas identitas menghambat disposisi dari turbulensi
lingkungan
c. Disposisi
Trait tertentu dapat mempengaruhi orang untuk kurang menerima
tuntutan perubahan.
d. Mekanisme sosial-kognitif
Akomodasi, optimalisasi, seleksi, imunisasi, dan mekanisme
pertahanan diri membentuk informasi untuk membelokkan tuntutan
untuk berubah .
PENUTUP
A. Studi Kasus
Riset penelitian yang dilakukan oleh mahasiswa UNY terkait dengan fenomena
culture shock terhadap mahasiswa perantauan di Yogyakarta dilakukan untuk
mengetahui latar belakang proses terjadinya culture shock pada mahasiswa perantau,
serta mengetahui dampak dari culture shock yang dialami oleh mahasiswa perantau.
Mahasiswa perantau yang dijadikan subjek dalam penelitian ini berasal dari luar pulau
jawa. Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan kepada subjek, subjek
menyatakan adanya penyebab internal dan eksternal dari culture shock yang mereka
alami. Penyebab internal-nya yaitu dikarenakan belum memiliki pengalaman lintas
budaya, sehingga menimbulkan masalah ketidaknyamanan dalam kehidupannya
sehari-hari. Sedangkan penyebab eksternal dikarenakan oleh rasa atau jenis makanan
yang berbeda di daerah tersebut, perbedaan bahasa, pendidikan, dan pergaulan. Pada
salah satu penyebab eksternal tersebut (pendidikan), individu perantau menyatakan
bahwa mereka merasa gelisah, cemas, bahkan takut tidak bisa mengikuti
perkembangan pendidikan di daerah tersebut, dikarenakan persaingan yang cukup
kuat dalam bidang pendidikan. Sehingga individu perantau cenderung merasa kurang
percaya diri. Yang di mana jika perasaan seperti itu tidak segera ditanggulangi, maka
akan menghambat keseharian individu di daerah tersebut, baik dalam lingkup
perkuliahan ataupun sehari-hari. Namun, seiring berjalannya waktu dan tingkat
kebutuhan serta kodrat alami manusia yang merupakan makhluk sosial, akhirnya para
mahasiswa perantau ini dapat melakukan adaptasi budaya yang pada akhirnya
diaplikasikan ke kehidupannya sehari-hari. Hal tersebut dikarenakan adanya
kesungguhan dari dalam diri mereka untuk dapat mencapai tujuan awal dari merantau,
yaitu sukses dalam menjalankan studi di daerah lain. Hal ini sejalan dengan
pernyataan Triandis (dalam Pervin dan Oliver, 2008), yaitu bahwa budaya itu terdiri
dari sistem pemaknaan bersama yang menyediakan standar untuk memahami,
mempercayai, mengevaluasi, berkomunikasi, dan bertindak di antara mereka yang
berbagi bahasa, periode bersejarah, dan lokasi geografis. Sehingga dapat disimpulkan
bahwa budaya memang benar memiliki peran besar serta pengaruh luas atas perilaku
manusia di setiap bidang kehidupan.
18
19
B. Kesimpulan
Kepribadian tidak hanya terbentuk karena 1 faktor saja melainkan berbagai
faktor. Adanya konteks, untuk membantu mengetahui individu menganalisis
kepribadian individu lain melalui faktor yang berbeda. Konteks itu sendiri ada
hubungan interpersonal, perkembangan, dan kultur. Banyaknya individu
berhubungan, bercengkrama, banyaknya kejadian selama masa perkembangan, dan
kultur yang berbeda tiap daerah membuat perilaku, cara berpikir, dan menilainya
semakin beragam. Maka dari itu diperlukan observasi yang cukup lama dan untuk
mengenal individu secara luas juga butuh kedekatan dalam rentang waktu yang lama.
Sehingga kita dapat melihat individu berperilaku, berpikir, menilai, dan menemukan
pendapat dari berbagai situasi dan kondisi yang berbeda.
20
DAFTAR PUSTAKA
Casmini. (2016). Kepribadian Sehat ala Orang Jawa (F. A. S. Erdian, Ed.; 1st InIed.). PT
Kanisius.
Feist, J., Feist, G. J., & Roberts, T. A. (2018). Teori Kepribadian (2nd ed.). Salemba
Humanika.
Gea, A. A. (2010, April). Pengembangan Culture,Self, and Personality Dalam Diri Manusia.
HUMANIORA, 1(1).
Hartini, T. (2021, Maret 2). Peran Kebudayaan Dalam Pembentukan Kepribadian. Materi
Konseling.
Positive Psychology.
Rahma, F. O., & Prasetyaningrum, S. (2015, Juni). Kepribadian Terhadap Gaya Kelekatan
Roberts, B. W., & Mroczek, D. (n.d.). Personality Trait Change in Adulthood. Current
Robins, R. W., Caspi, A., & Moffit, T. E. (n.d.). Two Personalities, One Relationship: Both
Therapy.