Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH

KEPRIBADIAN DALAM KONTEKS :


HUBUNGAN INTERPERSONAL, PERKEMBANGAN, DAN KULTUR

Disusun untuk memenuhi tugas pada mata kuliah Psikologi Kepribadian


Dosen Pengampu: Arifatul Bahirah, S. Psi., M. Psi., Psikolog.

Kelompok 10 :

Wijdan Syahla 20220701008


Rika Dwi Mustikaningrum 20220701020
Fatma Raisyah 20220701061
Nurhaliza Aziza 20220701176
Fatika Rahmawati 20220701182
Carladita Anggreany 20220701186

FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS ESA UNGGUL
TANGERANG
2023
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI 2
KATA PENGANTAR 2
BAB I 2
PENDAHULUAN 2
A. Latar Belakang 2
B. Rumusan Masalah 2
C. Tujuan 2
BAB II 3
PEMBAHASAN 3
A. Kepribadian dalam Konteks Hubungan Interpersonal 3
B. Kepribadian dalam Konteks Kultur 8
C. Kepribadian dalam Konteks Perkembangan (Life Span Development) 14
BAB III 18
PENUTUP 18
A. Studi Kasus 18
B. Kesimpulan 19
DAFTAR PUSTAKA 20

ii
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami ucapkan kehadirat Allah Swt. atas segala rahmat-Nya
sehingga makalah ini dapat tersusun sampai selesai. Tidak lupa kami mengucapkan
terima kasih terhadap bantuan dari pihak yang telah berkontribusi dengan memberikan
sumbangan baik pikiran maupun materi.
Penulis sangat berharap semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan
dan pengalaman bagi pembaca. Bahkan kami berharap lebih jauh lagi agar makalah
ini bisa pembaca praktikkan dalam kehidupan sehari-hari.
Bagi kami sebagai penyusun merasa bahwa masih banyak kekurangan dalam
penyusunan makalah ini karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman kami.
Untuk itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca
demi kesempurnaan makalah ini.

Tangerang, 16 Desember 2023

Penulis

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Menurut banyak psikolog kepribadian kontemporer, kepribadian harus
dipahami "dalam konteks". Karena kita belajar tentang kepribadian individu melalui
observasi, ketika ia berinteraksi dalam suatu "konteks" dan dari satu "konteks" dengan
"konteks" yang lain akan berbeda dari perilaku dan cara berpikiran. Contohnya, ketika
mengobservasi teman kampus, kita hanya mengobservasi saat ia berada di kampus.
Cara ia berperilaku di kampus dengan di rumah tentu saja bisa berbeda. Maka dari itu
hasil observasi tidak bisa digeneralisasikan. Hasil analisis kepribadian teman kampus
tidak bisa secara langsung dijadikan patokan "bagaimana individu tersebut di segala
situasi", observer harus mengetahui interaksi individu dari berbagai konteks.
Interaksi antar individu terjadi sejak awal kehidupan seseorang, seperti halnya
interaksi bayi dengan orang tua khususnya ibu. Interaksi bayi dengan ibu akan
membentuk ikatan emosional yang ditunjukan oleh perilaku bayi yang selalu ingin
dekat dengan ibunya. Semakin bertambah usia individu semakin kompleks hubungan
sosial yang dijalinnya, tidak hanya hubungan dengan keluarga tetapi juga menjalin
kedekatan dengan individu lain di luar keluarga. Bowlby dan Ainsworth (dalam Baron
& Byrne, 2005) menyatakan bahwa Attachment merupakan suatu ikatan emosional
yang kuat yang dikembangkan melalui interaksinya dengan orang yang mempunyai
arti khusus dalam kehidupannya. Kelekatan yang dibentuk oleh individu pada saat
bayi akan berpengaruh pada pembentukan hubungan sosial yang akan dijalinnya.
Karena, pengalaman hubungan antara orang tua dengan anak dapat menjadi dasar
dalam pembentukan hubungan persahabatan yang berkaitan dengan penyesuaian
psikososial. Santrock (2002) Attachment yang kokoh atau keterkaitan dengan orang
tua meningkatkan relasi teman sebaya yang kompeten dan relasi erat yang positif di
luar keluarga.
Konteks yang membedakan perilaku individu adalah konteks hubungan sosial,
konteks kultural dan konteks perkembangan. Kepribadian dalam konteks hubungan
interpersonal menjelaskan mengenai bagaimana individu berperilaku dalam hubungan
interpersonal. Di mana tiap perilaku tersebut dipengaruhi hal-hal yang dijelaskan
dalam riset. Kepribadian dalam konteks kultur menjelaskan tentang kepribadian yang
terbentuk dipengaruhi oleh budaya tempat individu tinggal. Sedangkan kepribadian
dalam konteks perkembangan menjelaskan tentang kemungkinan perubahan
kepribadian seorang individu yang dikarenakan oleh tahap-tahap perkembangan yang
dialaminya.

1
2

Keunikan dan perbedaan tiap individu tidak bisa diketahui hanya dengan
perilaku general. Maka dari itu, pemahaman mengenai kepribadian individu hanya
bisa didapat jika seseorang mengeksplor bagaimana mereka menghadapi berbagai
situasi yang berbeda dalam kehidupan mereka. Mengapa demikian? Menurut teori
Psikologi Self Carl Rogers yang tertera pada bukunya Client-centered therapy (1951),
"Organisme bereaksi terhadap medan sebagaimana Medan itu dialami dan diamatinya.
Bagi individu dunia pengamatan ini adalah kenyataan (realitas)". Artinya individu
selalu mengamati, mencerna,berpikir kembali, dan membangun makna dari segala
stimulus, peristiwa sosial dan personal yang ditemui (medan phenomenal).
Hubungan dinamis dalam diri individu sebagai sistem psikofisik yang
menentukan cara yang khas dalam menyesuaikan diri terhadap lingkungannya.
peneliti menyimpulkan bahwa kepribadian merupakan sifat-sifat dasar yang unik.
Sifat-sifat tersebut dimiliki masing-masing individu yang termanifestasi dalam setiap
tingkah laku individu. Sifat dasar tersebut telah diwakili oleh kelima faktor dominan
yang terdiri dari Extraversion, Agreeableness, Conscientiousness, Neuroticism,
Openness yang masing-masing memiliki ciri khas tersendiri.

B. Rumusan Masalah
1. Mengapa kepribadian terhubung dalam beberapa konteks?
2. Apa saja yang mempengaruhi kepribadian berubah?
3. Apa yang membedakan individu dengan gaya berpikir optimistik dan individu yang
berpikir pesimistik?
4. Mengapa setiap individu memiliki kepribadian yang berbeda?

C. Tujuan
1. Menjelaskan mengapa kepribadian terhubung dalam beberapa konteks
2. Menjelaskan apa yang mempengaruhi kepribadian dapat berubah
3. Memaparkan perbedaan individu yang berpikir dengan gaya optimistik dan optimistik
4. Menjelaskan mengapa setiap individu memiliki kepribadian yang berbeda
BAB II

PEMBAHASAN

A. Kepribadian dalam Konteks Hubungan Interpersonal


Komunikasi antara dua orang atau lebih dalam bidang psikologi dikenal
dengan istilah komunikasi interpersonal. Komunikasi interpersonal adalah proses
pertukaran informasi antara seseorang dengan paling kurang seorang lainnya atau
biasanya di antara dua orang yang dapat langsung diketahui balikannya (Muhammad,
2004).
Pada dasarnya, setiap individu memiliki kepribadian masing-masing.
Kepribadian dan hubungan interpersonal saling mempengaruhi. Kepribadian menjadi
penentu dalam hubungan interpersonal karena ciri-ciri kepribadian menentukan semua
aktivitas manusia. Namun tergantung pada perspektif dalam memahami kepribadian,
apakah kepribadian yang mempengaruhi hubungan interpersonal, atau perilaku dan
interaksi dalam hubungan interpersonal yang membentuk kepribadian. Kepercayaan
pada kepribadian adalah kumpulan dari banyak trait menjadikan penelitian harus
diarahkan untuk "menemukan karakteristik kepribadian yang penting bagi hubungan
interpersonal manusia (Mihailpvić dan Lokić, 2003).
Seperti yang kita ketahui, hubungan interpersonal dapat terjalin dimana saja
dan kapan saja, mulai dari kedekatan antar individu yang cukup intim, atau bahkan
hanya sekedar sikap profesionalitas seseorang dalam pekerjaan. Namun tetap saja
koneksi sosial tersebut sebenarnya memiliki tujuan atau minat yang sama. Berbagai
riset dilakukan sebagai acuan untuk menilai alasan individu saat ia berperilaku dalam
hubungan interpersonal yang menunjang untuk mengetahui kepribadian mereka.

1. Riset kontemporer mengenai kepribadian dalam konteks hubungan


interpersonal:
a. Kepribadian baru dapat dipahami apabila diuji interaksi antara
individu dengan konteks dimana mereka tinggal, termasuk dalam
hubungan interpersonal.
Riset ini menunjukkan bagaimana kita dapat memahami
kepribadian melalui hasil pengujian interaksi antara trait kepribadian
dengan relasi romantis keluarga. Sebagai contoh, pengalaman yang
dilakukan oleh Masarik, dkk., (2013). yaitu mengkaji pengalaman
keluarga di usia remaja dan perbedaan kepribadian individu, sebagai
faktor tingkat romantisme individu tersebut pada dewasa awal.
Individu dalam keluarga kurang harmonis, pernikahan orang tuanya
yang tidak berjalan baik, sejalan dengan tingkat neurotisme yang tinggi
karena ia kurang yakin bahwa pernikahan dapat menjanjikan
kebahagiaan di masa dewasa. Semakin kuat keyakinannya, semakin

3
4

rendah interaksi positif pada orang lain dan rendahnya kualitas


hubungan romantis remaja.
Keluarga kurang harmonis >> kepercayaan akan tiadanya cinta >>
neurotisme tinggi >> hubungan interpersonal yang negatif.
Mereka akan menjaga interaksi hubungan interpersonal yang
berbau romantis karena adanya penolakan dalam kepribadiannya.
Sedangkan keluarga yang hubungannya harmonis, cenderung membuat
anggota keluarga membangun hubungan interpersonal yang positif.

b. Kemungkinan individu mentransfer pemikiran dan perasaan dari


hubungan masa lalu ke pasangan baru.
Sesuai dengan teori Relasi Objek, Melanie Klein. Konsep
utama teori relasi objek adalah menekan pentingnya pola yang
konsisten dalam hubungan interpersonal. Terlebih pada interaksi ibu
dengan anaknya. Seperti spekulasi ahli-ahli teori relasi objek bahwa
interaksi-relasi awal antara bayi dengan ibunya menjadi model bagi
semua relasi interpersonal di kemudian hari.
Teori ini berfokus pada bagaimana pengalaman individu
dengan signifikan people mereka (individu-individu yang dianggap
penting), di mana penilaian dari signifikan people terhadap mereka
direpresentasikan sebagai bagian dari "diri" yang kemudian
mempengaruhi perilaku dengan orang lain di masa kini. Karena
pengalaman itu juga diproyeksikan pada objek eksternal atau pasangan
yang baru.
Singkatnya, pengalaman interaksi dari pemikiran dan perasaan
hubungan individu dengan signifikan people di masa lalu, digunakan
kembali pada interaksi individu tersebut pada orang lain. Maka dari itu
disebut "relasi objek". Contohnya dalam teori relasi objek adalah ibu
yang memberi kasih sayang diidentifikasi sebagai good mother, akan
membangun interaksi positif dan perasaan positif anak pada ibunya
karena meyakini ibunya sudah merawatnya sejak bayi. Membuat
interaksi, pemikiran, dan perilaku anak tersebut akan positif terhadap
ibu-ibu lainnya.
Contoh lainnya yang sering kita rasakan adalah dalam
hubungan interpersonal dengan pacar. Apabila hubungan masa lalu
dengan pacar penuh dengan kebohongan bahkan perselingkuhan,
menghasilkan perasaan negatif yang tetap terhadap laki-laki. Membuat
pemikiran dan perasaan terhadap laki-laki baru menjadi negatif yang
berakibat pada perilaku negatif, seperti positif karena takut dibohongi
dan diselingkuhi lagi, atau bahkan menjaga jarak dengan laki-laki
seakan-akan "jutek", dan "tidak peduli". Apabila observer
mengobservasi pada situasi seperti ini, mungkin saja dapat
menimbulkan penilaian kepribadian yang kurang tepat, karena tidak
mengetahui "konteks"nya.
5

Dengan memperhatikan hubungan ibu dengan anak pada teori


relasi objek, maka attachment style atau gaya kelekatan dalam teori
Attachment Bowlby juga diperhatikan untuk melihat bagaimana
kelekatan anak dengan ibunya. Terdapat dua gaya kelekatan yang diuji
dengan kepribadian, yaitu anxiety attachment dan avoidance
attachment. Kedua gaya kelekatan itu diuji dengan trait kepribadian
Big Five. Hasilnya, kedua gaya kelekatan tersebut rentan terhadap
tingginya neurotisme. Menunjukkan individu tersebut kurang mampu
mengendalikan hubungan interpersonal.
Dua tipe ini juga berhubungan negatif dengan
Conscientiousness terlebih pada dimensi pengendalian diri dan
tanggung jawab. Individu dengan Conscientiousness yang rendah akan
memiliki hubungan interpersonal yang kurang memuaskan karena
mereka tidak mampu mengambil keputusan dengan cermat dan
komitmen terhadap sesuatu (Noftle dan Shaver, 2006). Selanjutnya
sama-sama memiliki agreeableness yang rendah terutama pada aspek
kepercayaan dan altruisme, juga faktor ekstraversion pada aspek emosi
positif dan kehangatan.
Maka singkatnya individu dengan gaya kelekatan attachment
anxiety dan attachment avoidance dengan ibunya membuat rentan
mengalami emosi negatif, tidak ada kepercayaan pada pasangan,
perilaku defensif, dan tidak ada kehangatan, lalu terekam dalam
pemikiran juga perasaannya, tidak mampu mengendalikan hubungan
interpersonal dan memproyeksikannya pada pasangan barunya.
Didapatkan pada individu dengan attachment anxiety memiliki
neurotisme yang tinggi begitu juga attachment avoidance dengan
neurotisme tinggi dan agreeableness yang rendah dan berhubungan
negatif dengan Conscientiousness.

c. Riset strategi coping dengan optimisme dan pesimisme defensif


menunjukkan bagaimana individu dapat menghindari tekanan
sosial yang sama dengan strategi yang berbeda, mencakup gaya
berpikir optimistik vs. pesimistik
Pada riset ini dibahas kepribadian individu dalam konteks
hubungan interpersonal dilihat dari gaya berpikir optimistik dan
pesimistik. Tekanan sosial yang dimaksud pada pernyataan tersebut
juga mencakup hubungan interpersonal. Gaya berpikir dapat
mempengaruhi cara individu berperilaku sampai menghindari tekanan
sosial karena dorongan dipengaruhi oleh sikap diri seseorang. Dan
sikap baik yang positif dan negatif terbentuk dengan adanya persepsi
terhadap suatu stimulus, objek atau peristiwa.
Singkatnya, cara individu menjelaskan, menilai, mengamati
stimulus atau peristiwa kepada diri kita sendiri (dengan gaya berpikir
individu tersebut), adalah faktor kunci individu itu berperilaku. Maka
6

dari itu dapat menghindari tekanan sosial yang sama dengan strategi
berbeda karena gaya berpikir tiap individu berbeda.
Pesimisme defensif adalah strategi coping individu
menggunakan pemikiran negatif sebagai cara untuk menghadapi stres.
Individu dengan gaya berpikir pesimistik, cenderung mengharapkan
hasil yang tidak menguntungkan ketika dihadapkan peristiwa yang
dampak emosionalnya tidak diketahui (Herwig et al., 2010).
Ia juga akan menganggap peristiwa negatif sebagai peristiwa
internal (terjadi karena dirinya "locus of control internal"), sehingga
mereka cenderung tidak merasa tangguh saat menghadapi stresor
karena merasa kendali atau kompetensi diri mereka yang kurang.
Sedangkan pada peristiwa positif akan dinilai karena faktor eksternal
("locus of control eksternal"). Artinya diri dia tidak ikut andil dalam
mencapai peristiwa positif itu, hanya tercapai karena bantuan orang
lain.
Sedangkan optimistic adalah strategi coping dengan
berekspektasi relatif realistis ttg kemampuannya. Optimisme
merupakan cara berpikir positif saat dihadapkan dengan situasi tidak
terkendali (Carver & Scheier, 1993). Maka individu dengan gaya
berpikir optimis adalah orang dengan ekspektasi positif, harapan yang
baik pada masa depan dan aspek kehidupannya (Scheier & Carver,
dalam Snyder, 2002). Optimisme selalu mendorong individu merasa
bahwa yang terjadi adalah sesuatu yang terbaik untuk dirinya. Maka
contoh individu dengan gaya berpikir pesimisme dan optimisme dalam
menghindari tekanan sosial dalam hubungan interpersonal adalah:

- Masalah : diarahkan ke jurusan yang tidak disukai,


oleh ayah
- Pesimistik : melihat jurusan itu sebagai Black
hole yang akan menyakitinya secara perlahan
dan tidak terlihat. Dan menghindari tekanan itu
dengan menolak jurusan tersebut dengan tidak
mengerjakan tugas, bahkan menggunakan joki,
atau berpakaian untuk memanfaatkan pacarnya
agar mengerjakan tugasnya juga. Sampai kita
menilai bahwa ia “tidak mau berusaha dan
kepercayaan pada dirinya bahkan
menyia-nyiakan ayahnya yang membayar kuliah
dan segala hal”

- Optimistik : melihat jurusan sebagai pintu emas


yang mampu membawanya keluar dari zona
nyaman dan mengenal dunia. Dia menghindari
tekanan itu dengan berpikir bahwa segala hal
7

buruk yang terjadi padanya saat belajar di


jurusan itu adalah bukan dari dirinya dan ia tetap
yakin bisa melewatinya. Ia akan berusaha lebih
keras misalnya dengan terus belajar bahkan
menolak setiap ajakan teman untuk bermain.
Sampai kita menilai bahwa ia “asik sendiri
dengan dunianya dan tidak mau bergaul”.
Dua penilaian yang sangat berbeda
karena gaya berpikir yang berbeda juga. Bisa
saja individu dengan pesimistik akan berusaha
keras dan akan membanggakan ayahnya pada
jurusan yang individu itu pilih secara otonomi.
Individu yang akan berusaha keras juga bisa
lebih santai bersosialisasi dengan temannya
apabila di jurusan yang ia pilih.

d. Riset Terhadap konferensi pengetahuan, penilaian, dan konferensi


lintas situasional mengilustrasikan bagaimana aspek pengetahuan
yang ada dapat bekerja pada konteks yang tampak beragam, dan
dengan demikian menghasilkan penilaian diri yang konsisten
dalam setting yang berbeda.

Riset ini sejalan dengan poin yang tertera pada bukunya


Client-centered therapy (1951), "Organisme bereaksi terhadap medan
sebagaimana Medan itu dialami dan diamatinya. Bagi individu dunia
pengamatan ini adalah kenyataan (realitas)". Singkatnya, individu akan
berperilaku sesuai dengan “bagaimana ia mengamati stimulus itu”.
Akan ada “perbincangan” dalam dirinya antara konsep diri
dengan pengalaman atau situasional yang dialami. Karena individu
tidak bereaksi terhadap stimulus dari luar tetapi bereaksi terhadap hal
yang merangsang dan mendorongnya seperti apa yang dialami.
Menurut Rogers, apa yang dipikirkan individu sebagai hal yang
“benar” (walau betul-betul benar atau tidak), hal tersebut adalah
kenyataan subjektif yang menentukan tingkah lakunya.
Kenyataan subjektif adalah kenyataan yang dihasilkan dari
pemikiran (dari diri kita sendiri), belum terbukti kebenarannya secara
fakta dan nyata. Maka kenapa individu berperilaku dan menilai diri
yang konsisten dalam setting yang berbeda adalah karena ada
pengetahuan (pengalaman) yang membuat individu berperilaku pada
konteks yang beragam, sehingga menghasilkan penilaian diri yang
konsisten walau dalam setting yang berbeda.
8

Contohnya, individu saat diobservasi mendapatkan hasil


dengan penilaian diri “Tidak dapat mengambil keputusan”, ternyata
setelah ditelusuri lebih lanjut ia merupakan individu yang memang
selalu disalahkan saat ia mengambil keputusannya sendiri, di mana
keputusan tersebut tidak sesuai dengan harapan orang-orang
disekitarnya walau menurutnya ia sudah mengambil keputusan yang
tepat sesuai tipe orang di sekitar.
Berdasarkan pengalaman “disalahkan” ini, individu tersebut
akan berpikir untuk “lebih baik menunggu persetujuan orang lain”
daripada ia mengambil keputusannya sendiri. Maka dari itu ia selalu
meminta pendapat dan validasi dari teman atau orang tua untuk
mengambil keputusan yang berkaitan dengan orang lain, agar sesuai
dengan tujuan mereka. Individu ini bisa saja berperilaku lain atau dapat
mengambil keputusan besar untuk dirinya sendiri, dengan pemahaman
dan penilaiannya.
Selain individu mengamati stimulus yang diterima, individu
juga melakukan "penilaian" dalam diri. Bagaimana ia menilai stimulus,
mengintroyeksikan sebagai "bagian dari hidupnya" sehingga menjadi
konsep diri (penilaian diri yang cenderung konsisten dalam
pengalaman yang berbeda).
McCrae dan Costa (1996) mengemukakan bahwa konsep diri
"terdiri dari pengetahuan, pandangan, dan evaluasi tentang diri, dengan
cakupan dari beragam fakta atas sejarah personal sampai identitas yang
memberikan suatu perasaan memiliki tujuan dan kesatuan dalam
hidup". Perilaku dan tindakan individu diadaptasi dari keyakinan,
sikap, dan perasaan yang dimiliki individu terhadap dirinya. Misalnya,
individu yang menilai bahwa dirinya orang yang intelek, akan lebih
senang mendorong dirinya untuk berhubungan dengan situasi yang
menantang secara intelektual. Seperti penjelasan dari Hensley, dkk,
(2012) individu yang menilai dirinya "tidak memiliki kompetensi"
akan takut berkompetisi, cemas menghadapi kekalahan, lebih suka
belajar sendiri.

B. Kepribadian dalam Konteks Kultur


Budaya adalah konstruksi yang lebih luas daripada etnis karena mencakup
proses tingkat makro dan secara khusus berhubungan dengan nilai-nilai dan norma
yang mengatur sekelompok orang, yang mendefinisikan karakteristik dan perilaku
yang dianggap tepat atau tidak pantas untuk sebuah kelompok terorganisir. Budaya
juga menentukan konteksnya dan lingkungan (yaitu, tempat, waktu, dan stimulus) di
mana ada etnis. Tidak semua individu memiliki kesamaan ―ruang budaya. Budaya
dan etnis juga berbeda dari ras, yang di mana dalam ras itu mengacu pada warisan
genetik bersama, yang diekspresikan oleh karakteristik fisik eksternal (seperti wajah,
warna kulit, dan tekstur rambut) (Pervin dan Oliver, 2008).
9

Budaya terdiri dari sistem pemaknaan bersama yang menyediakan standar


untuk memahami, mempercayai, mengevaluasi, berkomunikasi, dan bertindak di
antara mereka yang berbagi bahasa, periode bersejarah, dan lokasi geografis (Triandis
dalam Pervin dan Oliver, 2008). Budaya memainkan peran besar dalam pembentukan
diri dan identitas kita. Budaya juga memiliki pengaruh luas atas seluruh perilaku kita
di semua bidang kehidupan. Dengan demikian, kita dapat dan perlu mengeksplorasi
bagaimana pengertian tentang diri itu pada hakekatnya saling berhubungan dengan
budaya, mempengaruhi kepribadian kita, khususnya perasaan, pikiran, dan motivasi.
Pengertian tentang diri kita dikenal dengan sebutan self-concept atau
self-construal, suatu rujukan penting untuk memahami perilaku kita sendiri, sekaligus
memahami dan memprediksi perilaku orang lain. Konsep tentang diri ada
hubungannya dengan budaya dan dengan adanya budaya yang berbeda-beda, hal itu
telah menyumbang terciptanya konsep diri yang berbeda-beda pula. Budaya dengan
ciri individualistik umumnya memiliki konsep diri yang independen, sementara yang
berbudaya kolektif memiliki konsep diri yang interdependen.

1. Konsep Independent dan Interdependent tentang Self


Konsep diri independen mengacu pada pandangan diri sebagai individu
yang terpisah dari orang lain, sedangkan konsep diri interdependen mengacu
pada pandangan diri sebagai bagian dari kelompok atau komunitas. Orang
dengan konsep diri independen lebih cenderung fokus pada tujuan dan
keinginan pribadi, sedangkan orang dengan konsep diri interdependen lebih
cenderung fokus pada kebutuhan dan tujuan kelompok.
Studi yang dilakukan oleh Wang (2001: 223-226) tentang
kecenderungan individualistis dan kolektif mahasiswa Jepang dan Amerika
memperlihatkan bahwa ada perbedaan signifikan tentang bagaimana mereka
mengingat kembali peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa-masa kecil
mereka.
Dari hasil penelitian itu, kelihatan hawa ingatan orang-orang Amerika
lebih self-oriented, menekankan pengalaman dan perasaan individual mereka
di masa lalu. Sebaliknya, orang-orang Jepang, lebih other or group oriented,
menekankan pengalaman dan perasaan kolektif mereka, yang dilewati
bersama orang lain.
Peneliti sosial lainnya, Kanagawa, Cross, and Markus (2001: 92)
melaporkan bahwa orang Amerika lebih banyak menggambarkan diri mereka
menggunakan term positif dibandingkan dengan orang Jepang. Ini terjadi
karena orang Amerika lebih bersifat “asertif”, sementara orang Jepang lebih
tidak memperlihatkan atau menonjolkan diri. Kenyataan ini menunjukkan
bahwa orang Amerika lebih banyak memiliki konsep diri independent
dibandingkan dengan orang Jepang, yang lebih memiliki konsep diri
interdependent.
10

Dalam penelitian bersama yang dilakukan oleh Dhawan, Roseman,


Naidu, Thapa, and Retek (1995: 610), mereka menguji hipotesis bahwa orang
Amerika memiliki konsep diri yang lebih independent dibandingkan dengan
orang Indian. Data yang mereka kumpulkan meliputi empat kategori, yakni
social identity, interests, ambitions, dan self-evaluation, dan hasil penelitian
mereka mendukung hipotesis tersebut. Dalam penelitian itu, mereka
menemukan perbedaan gender yang signifikan dalam satu kategori, yaitu
dalam hal social identity. Laki-laki di kedua budaya tersebut cenderung
memiliki social identity yang kuat dibandingkan dengan perempuan.
Sementara itu, penelitian yang dilakukan oleh Bochner (1994:276), dia
menemukan bahwa orang Malaysia memiliki konsep diri interdependent yang
lebih besar dibandingkan dengan orang Australia atau Inggris.
Dari hasil-hasil penelitian yang dilakukan seperti dikemukakan di atas,
terlihat jelas bahwa masyarakat Amerika merasa bersosialisasi secara unik,
termasuk dalam hal mengungkapkan diri mereka, menyatakan, serta
mengaktualisasikan the inner self mereka, dan juga dalam hal mempromosikan
tujuan pribadi mereka. Dalam budaya seperti itu, pemahaman tentang
self-worth atau self-esteem mendapat tempat atau perhatian khusus. Ketika
seorang individu berhasil mewujudkan hal tersebut dalam dirinya (hidup
sesuai dengan karakteristik budayanya), maka dia akan merasakan kepuasan
dalam dirinya sendiri, dan itu akan semakin menambah rasa harga dirinya.
Di bawah pemahaman konsep diri independen, semua individu fokus
pada pribadi, dan pada sifat-sifat internal seperti kemampuan individu,
kecerdasan, ciri pembawaan personal, tujuan dan kecenderungan pribadi,
mengungkapkan hal itu di depan umum, dan secara pribadi menguji serta
memastikannya melalui suatu perbandingan sosial. Sebaliknya, negara-negara
yang berbudaya kolektif lebih menekankan “the fundamental connectedness of
human being”.
Tugas normatif utama adalah menyesuaikan diri dan memelihara saling
ketergantungan di antara individu. Semua individu dalam budaya kolektif
bersosialisasi untuk menyesuaikan diri terhadap hubungan kebersamaan atau
kelompok di mana mereka bergabung, untuk membaca pikiran satu sama lain,
bersimpati, melakukan atau mengikuti aturan yang sudah dibuat bersama, dan
memperlihatkan tindakan-tindakan yang sesuai, yang diterima secara sosial.
11

2. Hubungan kepribadian dalam konteks kultur/budaya


Sebagai bagian dari kebudayaan, istilah kultur subjektif merupakan
penghubung antara kepribadian dan kebudayaan. Hal tersebut sesuai dengan
definisi kepribadian menurut Piedmont (dalam Lonner dan Malpass, 1994)
yang menyatakan bahwa kepribadian adalah organisasi intrinsik dalam
kehidupan mental seseorang yang stabil dari waktu ke waktu dan konsisten
dalam berbagai situasi. Kepribadian tersebut dipengaruhi oleh faktor dalam
diri individu dan dipengaruhi oleh kebudayaan tempat individu hidup. Tujuan
hidup dan konsep hidup ideal dari seorang individu merupakan sebuah produk
kultural yang diperoleh dari tradisi dan nilai-nilai dalam kelompoknya yang
disebut oleh Kymlicka (1995) sebagai societal culture. Hal ini berarti
kepribadian seseorang dibentuk melalui kebudayaannya, sehingga ketika
kebudayaan dicabut dari dirinya atau dipaksakan untuk mengikuti kebudayaan
lain, maka individu akan kehilangan tujuan hidup dan konsep hidup yang
ideal.
Makna kultur subjektif tersebut mengindikasikan bahwa setiap
masyarakat tertentu, memiliki pemahaman yang khas dan menjadi
karakteristik kulturnya untuk kriteria kepribadian yang sehat (Misra &
Mohanty,2002). Dalam membahas antara suatu bentuk kebudayaan dengan
kepribadian seseorang, maka penggunaan unsur dari kultur subjektif akan
menunjukkan suatu stereotype tertentu, sedangkan nilai merupakan hal yang
mendasarinya (Condon & Yousef, dalam Mulyana, 2005). Misalnya kategori
orang Batak, memiliki suatu atribut yaitu bersifat keras, maka dalam
stereotype ini mengandung aspek-aspek dari kepribadian seseorang dari
kebudayaan Batak tersebut. Dalam nilai budaya, misalnya sopan santun dalam
budaya Jawa, juga dapat menggambarkan cara orang Jawa dalam meraih
kepribadian yang bahagia sejahtera.
Kebanyakan ahli teori budaya dan kepribadian yang berpengaruh
berpendapat bahwa praktik sosialisasi secara langsung mempengaruhi pola
kepribadian masyarakat. Jika proses sosialisasi berhasil maka akan
membentuk perasaan, gagasan, tindakan, serta nilai dan konvensi budaya
seseorang. Hal ini akan memungkinkan individu untuk berintegrasi ke dalam
komunitas manusia di sekitarnya dan melakukan peran yang berguna dalam
masyarakat tersebut. Dalam mempelajari budaya dan kepribadian, peneliti
mengamati bagaimana berbagai cara sosialisasi menghasilkan tipe kepribadian
yang berbeda.
Faktor budaya merupakan salah satu faktor lingkungan yang paling
signifikan. Norma dan ekspektasi perilaku ditemukan di semua budaya, dan
standar budaya ini mungkin memandu dalam menentukan aspek kepribadian
seseorang yang dianggap relevan. Sarjana Gordon Allport percaya bahwa
budaya merupakan faktor penting dalam menentukan ciri-ciri kepribadian. Dia
mengklasifikasikan kualitas umum sebagai kualitas yang diakui dalam suatu
komunitas. Faktor budaya juga merupakan pengaruh lingkungan yang besar
terhadap kepribadian. Budaya yang berbeda memberikan nilai yang berbeda
12

pada sifat yang berbeda, dan apa yang dianggap sebagai sifat positif dalam
satu budaya mungkin dianggap negatif di budaya lain, sehingga menghasilkan
ekspresi kepribadian yang berbeda di setiap negara. Dua aspek yang
memperumit peran budaya dalam pembentukan kepribadian adalah derajat
integrasi budaya dalam diri seseorang, begitu pula sebaliknya, dan fenomena
budaya tidak ada secara terpisah. Artinya, jenis kelamin, ras, agama, dan
sebagainya merupakan faktor budaya yang mempengaruhi perkembangan
kepribadian. Pendekatan budaya-komparatif, pribumi, dan gabungan dapat
meneliti kepribadian dalam konteks budaya.
Jika diamati, saat ini manusia sering kali menghadapi permasalahan
yang disebabkan oleh budaya yang tidak mendukung. Ketika pengaruh budaya
buruk mempengaruhi kepribadiaan seseorang maka dengan sendirinya
berbagai masalah yang tidak diinginkan akan terjadi secara terus-menerus.
Berry, dkk (1999: 356) mengemukakan pandangan teori konfigurasi
tentang kebudayaan dan kepribadian dan menyatakan “budaya adalah
kepribadian suatu masyarakat, budaya adalah psikologi individual yang
dibiasakan, di beri proporsi raksasa dan suatu masa yang begitu lama“. Dalam
hal ini Kroeber dan Kluckhohn (dalam Tilaar, 1999) mengemukakan
hubungan kepribadian dan kepribadian sebagai hubungan “sebab akibat
struktur“ yang berarti antara kepribadian dan kebudayaan terdapat suatu
interaksi yang saling menguntungkan. Bahwa di dalam pengembangan
kepribadian memerlukan kebudayan dan di dalam mengembangkan
kebudayaan memerlukan kepribadian.
Tilaar ( 1999 ) mengemukakan beberapa hal mengenai hubungan
antara kebudayaan dengan kepribadian, yaitu:
● Kepribadian adalah suatu proses kebudayaan juga merupakan suatu
proses. Hal ini berarti antar pribadi dan kebudayaan terdapat suatu
dinamika.
● Kepribadian mempunyai keterarahan dalam perkembangan untuk
mencapai suatu misi tertentu. Keterarah perkembangan tersebut
tentunya tidak terjadi di dalam ruang kosong, tetapi di dalam
masyarakat yang berbudaya.
● Dalam perkembangan kepribadian, salah satu faktor penting ialah
imajinasi. Imajinasi seseorang akan dapat diperoleh secara langsung
dari lingkungan kebudayaan.
● Kepribadian mengadopsi secara harmonis tujuan hidup dalam
masyarakat (termasuk nilai–nilai budaya) agar ia hidup berkembang
● Di dalam pencapaian tujuan oleh pribadi yang sedang berkembang itu
dapat dibedakan antara tujuan dalam waktu yang dekat dan tujuan
jangka panjang. Tujuan–tujuan tersebut sangat diwarnai nilai–nilai
yang hidup dalam masyarakat.
● Berkaitan dengan keberadaan tujuan dalam pengembangan
kepribadian, dapatlah disimpulkan bahwa proses belajar adalah proses
yang ditujukan untuk mencapai tujuan.
13

● Dalam psikoanalisis di kemukakan peranan super ego dalam


perkembangan kepribadian. Super ego tidak lain adalah dunia masa
depan yang ideal, yang merupakan kemampuan imajinasi yang
dikondisikan serta diarahkan oleh nilai–nilai budaya yang hidup dalam
masyarakat.

● Kepribadian juga ditentukan oleh bawah sadar manusia (ID), bersama


super ego. Energy tersebut perlu dicairkan keseimbangan dengan
kondisi yang ada serta dorongan super ego yang diarahkan oleh nilai
budaya.

3. Konsep-konsep Penting dalam Kepribadian


a. Independent Self-construal
Independent self-construal adalah pemaknaan individu yang
terpisah dari konteks sosial. Individu dengan Independent
self-construal memiliki pandangan yang unik dan berbeda dengan
individu-individu yang lain atau bersifat otonom dari konteks sosial.
Individu dengan Independent self-construal lebih dominan
mengapresiasikan atribut pribadinya kepada publik dengan
menunjukan kemampuan atau skill dan kecerdasaan. (Markus &
Kitayama, 1991).

b. Interdependent Self-construal
Interdependent self-construal adalah pemaknaan individu
bahwa individu adalah hal yang memiliki suatu hubungan dengan
konteks sosial. Individu dengan Interdependent self- construal
memiliki pandangan yang terikat dengan kelompok sosialnya,
pandangan pada individu ini sesuai dengan apa yang dipandang dengan
kelompok sosialnya dan individu ini lebih mementingkan konteks
sosialnya dibandingkan dengan kepribadiannya. Individu dengan
Interdependent self-construal lebih dominan bersifat fluktuatif atau
berubah-ubah yang dikarenakan sering menyesuaikan diri dengan
kelompok sosialnya. Berbeda dengan independent self-construal,
individu dengan Interdependent self-construal tidak dominan
mengapresiasikan atribut pribadinya kepada publik dengan
menunjukan kemampuan dan kecerdasan. Hal tersebut dikarenakan
individu ini hanya mengikuti lingkungan sosialnya (Markus &
Kitayama, 1991).

c. Defensive Pessimism
Defensive Pessimism adalah teknik yang digunakan untuk
meringankan dan mengelola kecemasan dan emosi seputar situasi stres
dengan melakukan refleksi dan perencanaan yang signifikan terhadap
potensi hasil yang buruk.
14

d. Hot vs cool attentional focus hipotesisnya


Hot vs cool attentional focus hipotesisnya adalah bahwa fokus
yang panas dan membangkitkan gairah untuk mewakili pengalaman
penolakan akan meningkatkan rasa marah-permusuhan, namun
mengakses sistem yang dingin melalui gangguan dan menjaga jarak
akan melemahkan respons tersebut.

e. Knowledge and appraisal model of personality architecture


Knowledge and appraisal model of personality architecture
adalah metode untuk menggambarkan proses dan struktur kognitif
sosial. Proses dan struktur kepribadian dijelaskan dalam usulan KAPA
dengan menggabungkan dua ideologi: pembagian (a) antara prosedur
penilaian dan struktur pengetahuan, serta (b) antara kognisi terencana
dengan cara penyesuaian yang berubah, dengan perbedaan akhir yang
membedakan antara keyakinan, evaluatif. tujuan, dan standar
(Cervone, 2004).

f. Optimism
Optimism mencerminkan keyakinan bahwa hasil dari peristiwa
secara umum akan positif.

C. Kepribadian dalam Konteks Perkembangan (Life Span Development)


Ciri-ciri kepribadian menunjukkan kontinuitas dan perubahan. Mengubah
secara istilah kontinuitas mungkin tampak halus, tetapi secara dramatis menggeser
dasar teoritis yang menjadi landasan psikologi kepribadian. Pertama, ini membawa
kita ke prinsip dasar lain dari pengembangan kepribadian, yaitu prinsip plastisitas.
Prinsip ini menyatakan ciri-ciri kepribadian itu adalah sistem terbuka yang dapat
dipengaruhi oleh lingkungan pada usia berapa pun. Prinsip ini kontra dengan asumsi
kepribadian, yaitu sifat tidak berubah asumsi itu banyak yang terus bertahan. Dengan
asumsi itu ciri-ciri kepribadian tidak berubah, peneliti dapat menyederhanakan
pandangan mereka tentang sifat manusia: satu komponen, ciri-ciri kepribadian, stabil
dan tidak berubah (Pervin dan Oliver, 2008).

1. Faktor trait kepribadian konsisten, antara lain:

a. Pengaruh genetik
Gen mendorong munculnya kondisi fisik yang berkelanjutan/kontinu.
b. Peran kontinuitas/lingkungan
Lingkungan yang konsisten mempertahankan kontinuitas.
15

2. Transaksi manusia dan lingkungan:

a. Daya tarik (attraction)


Individu tertarik pada lingkungan yang konsisten dengan kepribadian
mereka.
b. Seleksi (selection)
Individu memilih peran sosial yang sesuai dengan kepribadian mereka.
c. Kemunculan (evocation)
Individu memunculkan reaksi yang memperkuat kepribadian yang
sudah ada.
d. Manipulasi (manipulation)
Individu mengubah lingkungan mereka agar sesuai dengan kepribadian
mereka.
e. Pengurangan (attrition)
Individu meninggalkan lingkungan yang terlalu menuntut banyak
perubahan pada diri mereka.
f. Kejelasan identitas (identity clarity)
Kejelasan identitas memfasilitasi munculnya seleksi, evokasi, dan
reaksi.
3. Menurut (Pervin dan Oliver, 2008) Trait kepribadian berubah seiring
usia karena :
a. Kontingensi peran
Peran seseorang memberikan efek penguat dan hukuman untuk
perilaku tertentu.
b. Melihat diri sendiri
Melihat perubahan dalam perilaku diri sendiri mengarahkan perubahan
persepsi diri atau perubahan dalam reputasi.
c. Melihat orang lain
Perubahan muncul sebagai akibat modeling pada perilaku orang lain.
d. Mendengarkan orang lain
Orang lain memberikan saran atau timbal balik apa yang harus diubah
pada diri kita.
e. Ekspektasi dan tuntutan peran
Peran mengkomunikasikan perilaku yang akan diperkuat dan dihukum.
16

4. Trait kepribadian tidak berubah lagi karena adanya faktor :

a. Filibustering
Menunggu tekanan untuk berubah dengan harapan katalisator akan
kehilangan tenaga.
b. Struktur identitas
Kompleksitas identitas menghambat disposisi dari turbulensi
lingkungan
c. Disposisi
Trait tertentu dapat mempengaruhi orang untuk kurang menerima
tuntutan perubahan.
d. Mekanisme sosial-kognitif
Akomodasi, optimalisasi, seleksi, imunisasi, dan mekanisme
pertahanan diri membentuk informasi untuk membelokkan tuntutan
untuk berubah .

5. Perubahan Trait Kepribadian di Masa Dewasa


Penelitian aging research yang dilakukan secara longitudinal dan
cross-sectional menunjukkan bahwa ciri-ciri kepribadian terus berlanjut
mengalami perubahan di masa dewasa. Dalam penelitian ini, peneliti
mengamati perubahan tingkat rata-rata dalam ciri-ciri kepribadian, juga
perubahan perbedaan individu sepanjang rentang hidup. Dalam hal perubahan
tingkat rata-rata, partisipan menunjukkan peningkatan kepercayaan diri,
kehangatan, pengendalian diri, dan stabilitas emosional seiring berjalannya
usia. Perubahan ini dominan di usia dewasa muda (usia 20–40). Selain itu,
perubahan tingkat rata-rata dalam ciri-ciri kepribadian juga terjadi pada usia
paruh baya dan tua, yang menunjukkan bahwa ciri-ciri kepribadian dapat
berubah pada usia berapa pun.
Dari segi perbedaan individu dalam perubahan kepribadian
menunjukkan pola perkembangan yang unik di semua tahap
kehidupan.Konsep perbedaan individu dalam perkembangan usia mengacu
pada peningkatan atau penurunan (atau ketiadaan) secara absolut tingkat sifat
kepribadian yang dimiliki seseorang sepanjang rentang kehidupan (Roberts
dan Mroczek, 2008). Sejumlah penelitian juga menunjukkan bahwa peristiwa
hidup dan pengalaman kerja berhubungan dengan perubahan dalam ciri
kepribadian. Misalnya orang yang memiliki karir yang sukses dan memuaskan
di masa dewasa muda cenderung meningkatkan trait kepribadian emotional
stability dan conscientiousness-nya (Roberts, Caspi, & Moffitt dalam Roberts
dan Mroczek, 2008).
17

Kebanyakan orang mengalami perubahan kepribadian pada


waktu-waktu tertentu selama perjalanan hidup, terutama di masa dewasa
muda. Secara khusus, usia dewasa muda memiliki peranan sosial yang besar
dalam karir, keluarga, dan komunitas seseorang — proses yang digambarkan
sebagai investasi sosial dan berfungsi sebagai katalisator untuk perubahan
sifat-kepribadian (Roberts dan Wood dalam Roberts dan Mroczek, 2008).

6. Peristiwa Kehidupan dan Perubahan Kepribadian


Keadaan penelitian saat ini hanya memungkinkan kesimpulan tentatif
tentang dampak peristiwa kehidupan yang berbeda pada perubahan sifat
kepribadian berikutnya. Rata-rata, kami menemukan tiga studi prospektif
dalam setiap peristiwa kehidupan; sebagian besar hanya mencakup dua
penilaian dan sub sampel yang relatif kecil dari partisipan yang mengalami
peristiwa kehidupan tertentu. Temuan paling kohesif muncul untuk dua
peristiwa kehidupan yang biasanya terjadi di masa dewasa. Secara khusus,
transisi ke hubungan romantis pertama mampu meningkatkan trait
agreeableness dan extraversion. Serta transisi dari sekolah ke perguruan tinggi
atau ke pekerjaan mampu meningkatkan trait agreeableness,
conscientiousness, openness, dan penurunan trait neuroticism, sehingga
tampaknya mempengaruhi kepribadian dewasa muda secara positif (Bledorn,
Hopwood, dan Lucas, 2018).
BAB III

PENUTUP

A. Studi Kasus

Fenomena Culture Shock Pada Mahasiswa Perantauan di Yogyakarta

Riset penelitian yang dilakukan oleh mahasiswa UNY terkait dengan fenomena
culture shock terhadap mahasiswa perantauan di Yogyakarta dilakukan untuk
mengetahui latar belakang proses terjadinya culture shock pada mahasiswa perantau,
serta mengetahui dampak dari culture shock yang dialami oleh mahasiswa perantau.
Mahasiswa perantau yang dijadikan subjek dalam penelitian ini berasal dari luar pulau
jawa. Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan kepada subjek, subjek
menyatakan adanya penyebab internal dan eksternal dari culture shock yang mereka
alami. Penyebab internal-nya yaitu dikarenakan belum memiliki pengalaman lintas
budaya, sehingga menimbulkan masalah ketidaknyamanan dalam kehidupannya
sehari-hari. Sedangkan penyebab eksternal dikarenakan oleh rasa atau jenis makanan
yang berbeda di daerah tersebut, perbedaan bahasa, pendidikan, dan pergaulan. Pada
salah satu penyebab eksternal tersebut (pendidikan), individu perantau menyatakan
bahwa mereka merasa gelisah, cemas, bahkan takut tidak bisa mengikuti
perkembangan pendidikan di daerah tersebut, dikarenakan persaingan yang cukup
kuat dalam bidang pendidikan. Sehingga individu perantau cenderung merasa kurang
percaya diri. Yang di mana jika perasaan seperti itu tidak segera ditanggulangi, maka
akan menghambat keseharian individu di daerah tersebut, baik dalam lingkup
perkuliahan ataupun sehari-hari. Namun, seiring berjalannya waktu dan tingkat
kebutuhan serta kodrat alami manusia yang merupakan makhluk sosial, akhirnya para
mahasiswa perantau ini dapat melakukan adaptasi budaya yang pada akhirnya
diaplikasikan ke kehidupannya sehari-hari. Hal tersebut dikarenakan adanya
kesungguhan dari dalam diri mereka untuk dapat mencapai tujuan awal dari merantau,
yaitu sukses dalam menjalankan studi di daerah lain. Hal ini sejalan dengan
pernyataan Triandis (dalam Pervin dan Oliver, 2008), yaitu bahwa budaya itu terdiri
dari sistem pemaknaan bersama yang menyediakan standar untuk memahami,
mempercayai, mengevaluasi, berkomunikasi, dan bertindak di antara mereka yang
berbagi bahasa, periode bersejarah, dan lokasi geografis. Sehingga dapat disimpulkan
bahwa budaya memang benar memiliki peran besar serta pengaruh luas atas perilaku
manusia di setiap bidang kehidupan.

18
19

B. Kesimpulan
Kepribadian tidak hanya terbentuk karena 1 faktor saja melainkan berbagai
faktor. Adanya konteks, untuk membantu mengetahui individu menganalisis
kepribadian individu lain melalui faktor yang berbeda. Konteks itu sendiri ada
hubungan interpersonal, perkembangan, dan kultur. Banyaknya individu
berhubungan, bercengkrama, banyaknya kejadian selama masa perkembangan, dan
kultur yang berbeda tiap daerah membuat perilaku, cara berpikir, dan menilainya
semakin beragam. Maka dari itu diperlukan observasi yang cukup lama dan untuk
mengenal individu secara luas juga butuh kedekatan dalam rentang waktu yang lama.
Sehingga kita dapat melihat individu berperilaku, berpikir, menilai, dan menemukan
pendapat dari berbagai situasi dan kondisi yang berbeda.
20

DAFTAR PUSTAKA

Al Rizky, A. A. (n.d.). Kajian Komparatif antara Independent Self Construal Vs Independent

Self-Construal dalam Mendorong Impulse Buying.

Casmini. (2016). Kepribadian Sehat ala Orang Jawa (F. A. S. Erdian, Ed.; 1st InIed.). PT

Kanisius.

Feist, J., Feist, G. J., & Roberts, T. A. (2018). Teori Kepribadian (2nd ed.). Salemba

Humanika.

Gea, A. A. (2010, April). Pengembangan Culture,Self, and Personality Dalam Diri Manusia.

HUMANIORA, 1(1).

Hartini, T. (2021, Maret 2). Peran Kebudayaan Dalam Pembentukan Kepribadian. Materi

Konseling.

Lonczak, H. S. (2021, April). Pessimism vs. Optimism:How Mindset Impacts Wellbeing.

Positive Psychology.

Rahma, F. O., & Prasetyaningrum, S. (2015, Juni). Kepribadian Terhadap Gaya Kelekatan

Dalam Hubungan Persahabatan. Psympathic, Jurnal Ilmiah Psikologi, 2(2).

Roberts, B. W., & Mroczek, D. (n.d.). Personality Trait Change in Adulthood. Current

Directions in Psychological Science, 17(1), 31-35.

Robins, R. W., Caspi, A., & Moffit, T. E. (n.d.). Two Personalities, One Relationship: Both

Partner’s Personality Traits Shape The Quality Of Their Relationship. Journal of

Personality, 70, 925-964.

Skedel, R. (2022, Desember). Defensive Pessimism: Definition & Effectiveness. Choosing

Therapy.

Anda mungkin juga menyukai