Anda di halaman 1dari 21

PPH.

BADAN
“SUBJEK DAN OBJEK PPH BADAN SERTA
REKONSILIASI FISKAL”
Dosen Pengampu : Dr. Tjok Gde Indraputra, SE.SH.M.Ak.MAP

OLEH
KELOMPOK 1
KELAS IV A AKUNTANSI SORE

NAMA KELOMPOK :
06. MADE HARI KRISNAYANTI (2002022456)

32. NI WAYAN TIRTAYANTI (2002022497)

33. PUTU AYU DIANA GITA MAHARANI (2002022499)

38. NI KOMANG DEVI KRISTIANTI (2002022508)

FAKULTAS EKONOMI BISNIS DAN PARIWISATA

UNIVERSITAS HINDU INDONESIA

2021/2022
KATA PENGANTAR

Puja dan puji syukur kami panjatkan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa, karena
berkat limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah tentang
“Subjek dan Objek PPH. Badan serta Rekonsiliasi Fiskal” tepat pada waktunya.

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas PPH Badan dengan tujuan untuk memaparkan
beberapa materi mengenai Subjek dan Objek PPH Badan serta Rekonsiliasi Fiskal. Kami berharap
agar materi yang kami sampaikan dapat dimengerti dan dipahami oleh semua pihak yang membaca
sehingga dapat menambah pengetahuan dan wawasan kita bersama.

Dengan kerendahan hati kami meminta maaf jika terdapat kesalahan dalam penulisan
maupun pemaparan dalan makalah yang kami buat ini. Demikian makalah ini kami susun agar
bermanfaat bagi kita semua.

Denpasar, 14 Februari 2022

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................................... ii

DAFTAR ISI .................................................................................................................. iii

BAB I ............................................................................................................................... 1

PENDAHULUAN ............................................................................................................ 1

1.1 LATAR BELAKANG ........................................................................................... 1

1.2 RUMUSAN MASALAH ....................................................................................... 2

1.3 TUJUAN PEMBAHASAN ................................................................................... 2

BAB II .............................................................................................................................. 3

PEMBAHASAN .............................................................................................................. 3

2.1 Subyek Pajak ......................................................................................................... 3

2.2 Klasifikasi Obyek PPH Badan ............................................................................... 4

2.3 Cara Menghitung PPH Terutang ............................................................................ 6

2.4 Tarif Pajak .............................................................................................................. 7

2.5 Kasus ...................................................................................................................... 8

2.6 Regulasi ASP di Era Pra Reformasi....................................................................... 8

2.7 Rekonsiliasi Fiskal ................................................................................................. 9

2.8 Kompensasi Kerugian .......................................................................................... 11

BAB III ........................................................................................................................... 14

PENUTUP ...................................................................................................................... 14

iii
3.1 Kesimpulan .......................................................................................................... 15

3.2 Saran .................................................................................................................... 15

DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................... 17

iv
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Bagi penduduk yang tidak melakukan penyetoran maka ia diwajibkan


melakukan pekerjaan-pekerjaan untuk kepentingan umum untuk beberapa hari
lamanya dalam satu tahun. Penghasilan negara berasal dari rakyatnya melalui
pungutan pajak, dan dari hasil kekayaan alam yang ada dalam negara itu. Dua sumber
itu merupakan sumber terpenting yang memberikan penghasilan kepada negara.
Penghasilan itu untuk membiayai kepentingan umum yang akhirnya juga mencakup
kepentingan pribadi individu seperti kesehatan masyarakat, pendidikan,
kesejahteraan dan sebagainya. Jadi, dimana ada kepentingan masyarakat, disana
timbul pungutan pajak sehingga pajak adalah senyawa dengan kepentingan umum.
Pungutan pajak mengurangi penghasilan atau kekayaan individu tetapi sebaliknya
merupakan penghasilan masyarakat yang kemudian di kembalikan lagi kepada
masyarakat, melaui pengeluaran-pengeluaran rutin dan pengeluaran pembangunan
yang akhirnya kembali lagi kepada seluruh masyarakat yang bermanfaat bagi rakyat,
baik yang membayar maupun tidak.
Selain itu,tarif pajak harus ditentukan berdasarkan ketentuan yang berlaku
saat itu. Dengan demikian para wajib pajak dapat rutin dan patuh membayar pajak.
Subjek pajak adalah orang, badan atau kesatuan lainnya yang telah memenuhi syarat-
syarat subjektif, yaitu bertempat tinggal atau berkedudukan di Indonesia. Subjek
pajak baru menjadi wajib pajak bila telah memenuhi syarat-syarat obyektif. Objek
pajak adalah apa yang dikenakan pajak. Mengingat penting dan strategisnya objek
pajak karena menyangkut apa yang dikenakan atau tidak dikenakannya pajak atas
objek dimaksud, sehingga dalam UU perpajakan kita selalu dengan tegas dinyatakan
apayang menjadi objek setiap jenis pajak. Sumber penerimaan negara dari sektor
pajak ada banyak macam. Salah satunya adalah pajak penghasilan badan (PPh badan),
yaitu pajak penghasilan yang dikenakan kepada sebuah badan usaha atas penghasilan
atau laba usahanya baik dari dalam negeri maupun pendapatan di luar negeri. Salah

1
satu kewajiban wajib pajak khususnya wajib pajak badan adalah membuat
pembukuan sebagai suatu proses yang dilakukan secara teratur untuk menyusun suatu
laporan keuangan yang didalamnya berisi neraca atau laporan posisi keuangan,
laporan laba rugi komprehensif, laporan arus kas beserta rincian masing-masing pos
dalam laporan keuangan. Untuk memenuhi kebutuhan pelaporan pajak maka
perusahaan melakukan Rekonsiliasi (koreksi) fiskal. Dalam mengakui penghasilan
dan beban, terdapat perbedaan antara akuntansi komersial dan akuntansi pajak baik
karena beda cakupan maupun perbedaan saat pengakuan dalam menetapkan laba
sebelum pajak. Laporan keuangan komersial yang telah dikoreksi dinamakan laporan
keuangan fiskal.

1.2 Rumusan Masalah


1.2.1 Apa saja subyek pajak dalam PPH Badan?
1.2.2 Bagaimana klasifikasi obyek pajak dalam PPH Badan?
1.2.3 Bagaimana cara menghitung PPH Terutang?
1.2.4 Berapakah tarif pajak dalam PPH Badan ?
1.2.5 Bagaimana contoh kasus dalam PPH Badan?
1.2.6 Bagaimana regulasi ASP di Era Pra Reformasi?
1.2.7 Apa itu Rekonsiliasi Fiskal?
1.2.8 Bagaimana kompensasi kerugian dalam rekonsiliasi fiskal?

1.3 Tujuan Pembahasan


1.3.1 Untuk mengetahui subyek pajak dalam PPH Badan.
1.3.2 Untuk mengetahui klasifikasi obyek pajak dalam PPH Badan.
1.3.3 Untuk mengetahui cara menghitung PPH Terutang
1.3.4 Untuk mengetahui jumlah tarif pajak dalam PPH Badan.
1.3.5 Untuk mengetahui contoh kasus dalam PPH Badan.
1.3.6 Untuk mengetahui regulasi ASP di Era Pra Reformasi.
1.3.7 Untuk mengetahui Rekonsiliasi fiskal dan penjelasannya.
1.3.8 Untuk mengetahui kompensasi kerugian dalam rekonsiliasi fiskal.

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Subyek Pajak

Subjek pajak Badan atau subjek PPh Badan adalah setiap Badan Usaha yang
diberikan kewajiban untuk membayar pajak, baik dalam periode bulan maupun tahun
dan disetor ke kas negara. Berdasarkan Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata
Cara Perpajakan (UU KUP), yang termasuk dalam pengertian Badan adalah sebagai
berikut:

a. Perseroan Terbatas (PT) j. Persekutuan

b. Perseroan Lainnya k. Perkumpulan

c. Badan Usaha Milik Negara l. Yayasan


(BUMN)
m. Organisasi Masyarakat
d. Badan Usaha Milik Daerah
n. Organisasi Sosial Politik
(BUMD)
o. Organisasi lainnya dengan
e. Badan Usaha Milik Desa
nama dan bentuk apapun
(BUMDes)
p. Lembaga dan bentuk badan
f. Firma
lainnya
g. Kongsi
q. Kontrak Investasi Kolektif
h. Koperasi (KIK)

i. Dana Pensiun r. Bentuk Usaha Tetap

3
2.2. Klasifikasi Obyek PPH Badan

Objek PPh Badan adalah penghasilan yang diterima atau diperoleh badan. Bagi Subjek
Badan dalam negeri yang menjadi objek PPh adalah semua penghasilan baik dari dalam
maupun dari luar negeri.
Penghasilan yang sebagai objek Pajak Penghasilan Badan sebagaimana tercantum
dalam Pasal 4 Ayat (1) Undang-Undang PPh ini meliputi:
1. Hadiah dari kegiatan dan penghargaan
2. Laba usaha
3. Keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta (selain tanah dan
bangunan)
4. Penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya
5. Bunga, termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian
utang
6. Dividen
7. Royalti atau imbalan atas penggunaan hak
8. Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta
9. Keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan jumlah tertentu yang
ditetapkan
10. Peraturan Pemerintah
11. Keuntungan karena selisih kurs mata uang asing
12. Selisih lebih karena penilaian kembali aktiva tetap
13. Iuran yang diterima perkumpulan dari anggotanya yang terdiri dari Wajib Pajak
yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas
14. Penghasilan dari usaha berbasis syariah
15. Surplus Bank Indonesia

4
Ada beberapa jenis pajak penghasilan badan atau PPh Badan yang harus dibayar dan
dilaporkan oleh perusahaan atau WP Badan, di antaranya:
a. Pajak Penghasilan Pasal 21
PPh Pasal 21 mengatur tentang pemotongan dari hasil pekerjaan jasa atau kegiatan
dengan nama dan dalam bentuk apapun yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak atau
karyawan Sobat Klikajak, dan harus dibayarkan setiap bulannya.
Perusahaan melakukan pemotongan langsung atas penghasilan para karyawan untuk
selanjutnya disetorkan ke kas negara melalui bank persepsi.
b. Pajak Penghasilan Pasal 22
PPh 22 mengatur atas pemungutan pajak dari Wajib Pajak yang dibebankan pada badan
usaha tertentu karena melakukan aktivitas perdagangan terkait dengan ekspor, impor,
maupun re-impor.
c. Pajak Penghasilan Pasal 23
PPh Pasal 23 mengatur atas pemotongan pajak yang dilakukan oleh pemungut pajak
dari Wajib Pajak ketika terjadi transaksi yang merujuk pada:
 Transaksi dividen atau pembagian keuntungan saham
 Royalti, bunga, hadiah dan penghargaan
 sewa, dan penghasilan lain yang berkaitan dengan penggunaan aset selain tanah
dan transfer bangunan atau jasa.
d. Pajak Penghasilan Pasal 25
PPh Pasal 25 mengatur atas angsuran pajak yang berasal dari jumlah pajak penghasilan
terutang menurut SPT PPh dikurangi PPh yang telah dipungut serta PPh yang dibayar
atau terutang di Luar Negeri dan boleh dikreditkan.
e. Pajak Penghasilan Pasal 26
PPh Pasal 26 mengatur pajak yang dikenakan atas penghasilan yang bersumber dari
Indonesia dan diterima Wajib Pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap (BUT) di
Indonesia.

5
f. Pajak Penghasilan Pasal 29
PPh Pasal 29 mengatur atas jumlah pajak terutang suatu perusahaan dalam satu tahun
pajak lebih besar dari jumlah kredit pajak yang telah dipotong oleh pihak lain, serta telah
disetorkan.
Maka nilai lebih pajak terutang tersebut harus dibayarkan sebelum SPT PPh Badan
dilaporkan.
g. Pajak Penghasilan Pasal 15
PPh Pasal 15 mengatur atas laporan pajak yang berhubungan dengan Norma
Perhitungan Khusus untuk golongan Wajib Pajak tertentu, termasuk Wajib Pajak Badan
yang bergerak pada:
 Sektor pelayaran atau penerbangan internasional
 Perusahaan asuransi luar negeri
 Pengeboran minyak, gas dan geothermal
 Perusahaan dagang asing
 Perusahaan yang melakukan investasi dalam bentuk bangunan serah guna.
h. Pajak Penghasilan Pasal 4 Ayat (2)
PPh Pasal 4 ayat (2) berkaitan dengan pajak yang dipungut dari penghasilan yang
dipotong dari:
 Bunga deposito dan tabungan lainnya
 Bunga obligasi dan surat utang negara
 Bunga simpanan yang dibayarkan koperasi
 Hadiah undian
 Transaksi saham dan sekuritas lainnya
 Serta transaksi lain sebagaimana diatur dalam peraturan yang ditetapkan.

2.3. Cara Menghitung PPH Terutang

Sebelum melakukan perhitungan Pajak Penghasilan Badan Usaha atau PPh Badan,
harus terlebih dulu mengetahui nominal penghasilan kena pajak badan. Caranya dengan
mengurangi penghasilan neto fiskal dengan kompensasi kerugian fiskal. Di mana
penghasilan neto fiskal merupakan penghasilan neto yang diterima oleh wajib pajak dalam

6
negeri, baik dari kegiatan usaha maupun bukan, setelah melewati penyesuaian fiskal yang
berdasarkan ketentuan perpajakan. Sedangkan kompensasi neto fiskal adalah kerugian
yang dialami badan. Apabila menggunakan pembukuan, kerugian tersebut dapat
dikompensasi selama lima tahun secara berturut-turut. Untuk mendapatkan nominal PPh
terutang, dengan mengalikan Penghasilan Kena Pajak dengan tarif pajak yang berlaku.

2.4. Tarif Pajak

Tarif pajak merupakan dasar pengenaan pajak atas objek pajak yang menjadi
tanggung jawab wajib pajak. Biasanya tarif pajak berupa persentase yang sudah
ditentukan oleh pemerintah. Ada berbagai jenis tarif pajak dan setiap jenis pajak pun
memiliki nilai tarif pajak yang berbeda-beda.
UU No. 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan Pasal 17 ayat (1) bagian b
menyatakan bahwa tarif pajak yang dikenakan secara umum kepada WP Badan adalah
sebesar 28% sejak 2009. Kemudian tarif PPh Badan turun menjadi 25%. Tarif ini mulai
diberlakukan untuk tahun pajak 2010. Melalui Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020
tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No. 1/2020,
tarif PPh Badan terbaru diturunkan. Tarif PPh Badan terbaru sesuai Pasal 2 PP No.
30/2020 yang sudah ditetapkan menjadi UU No. 2 Tahun 2020 tersebut adalah:
Tarif PPh Badan terbaru WP Badan dalam negeri dan berbentuk Badan Usaha Tetap
(BUT):
 22% berlaku pada 2020 dan 2021
 20% berlaku pada 2022
Sedangkan khusus untuk WP Badan berbentuk Perseroan Terbuka (Tbk), akan
mendapatkan tarif PPh Badan terbaru 3% lebih rendah dari penurunan PPh Badan secara
umum tersebut. Syarat Perusahaan Terbuka atau Perusahaan Tbk dapat tarif 3% lebih
rendah dari PPh Badan secara umum tersebut adalah:
 Wajib Pajak Dalam Negeri
 Berbentuk Perseroan Tbk
 Jumlah keseluruhan saham yang disetor diperdagangkan pada bursa efek di
Indonesia paling sedikit 40%

7
 Memenuhi persyaratan tertentu yang diatur dalam keterntuan peraturan perundang-
undangan perpajakan

2.5. Kasus
Soal : Pada tahun 2021 PT. ABC yang merupakan Perusahaan Tbk memiliki penghasilan
bruto sebesar Rp 4.000.000.000 dengan Penghasilan Kena Pajak sebesar Rp 700.000.000.
PT. ABC ini tidak termasuk WP yang dikenakan PPh Final atas Peredaran Bruto Tertentu.
Hitunglah PPh Badan PT.ABC.
Jawaban :
Karena Peredaran Bruto PT. ABC tidak melebihi Rp 50 miliar, maka perhitungan PPh
Badan PT.ABC yaitu menggunakan Pasal 31E. Ketentuan tariff menggunakan Pasal 31E
harus memperhatikan peredaran bruto sampai dengan Rp 4,8 miliar, dengan memperoleh
fasilitas pengurangan tarif sebesar 50%
Peredaran bruto = Rp 4.000.000.000
Penghasilan Kena Pajak = Rp 700.000.000
PPh Badan = (Pengurang tarif x Tarif PPh x Penghasilan Kena Pajak)
= 50% x 22% x Rp 700.000.000
= Rp 77.000.000

2.6. Regulasi ASP di Era Pra Reformasi

Perjalanan akuntansi sektor publik di era pra reformasi didasari pada UU Nomor 5
Tahun1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah. Pengertian daerah dalam
era pra reformasi adalah daerah tingkat I yang meliputi provinsi dan daerah tingkat II yang
meliputi kota madya atau kabupaten. Disamping itu,ada beberapa peraturan pelaksanaan
yang diturunkan dari perundang-undangan, antara lain:
1. Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 1975 tentang Pengurusan,
Pertanggungjawaban, danPengawasan Keuangan Daerah
2. Pemerintah Pemerintah Nomor 6 Tahun 1975 tentang Penyusunan APBD,
Pelaksanaan TataUsaha Keuangan Daerah, dan Penyusunan Perhitungan APBD

8
3. Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 900-099 Tahun 1980 tentang Manual
Administrasi Keuangan Daerah
4. Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 2 Tahun 1994 tentang Pelaksanaan APBD
5. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang pajak Daerah dan Retribusi Daerah
6. Keputusan Mendagri Nomor 3 Tahun 1999 tentang Bentuk dan Susunan Perhitungan
APBD

2.7. Rekonsiliasi Fiskal

Penyusunan laporan keuangan suatu perusahaan tentu harus disesuaikan dengan


peraturan fiskal yang berlaku, apalagi ketika laporan keuangan tersebut dijadikan dasar
untuk membuat SPT PPh yang akan dilaporkan ke kantor pajak. Laporan keuangan
umumnya dibuat berdasarkan standar akuntansi keuangan yang belum tentu sama dan
sesuai dengan peraturan/ketentuan perpajakan. Oleh karena itu, dibutuhkan koreksi fiskal
atau yang biasa disebut dengan rekonsiliasi fiskal.
Rekonsiliasi fiskal dapat didefinisikan sebagai salah satu cara untuk mencocokkan
perbedaan yang terdapat dalam laporan keuangan komersial yang disusun berdasarkan
sistem keuangan akuntansi dengan laporan keuangan yang disusun berdasarkan sistem
fiskal. Dokumen ini berbentuk lampiran SPT tahunan PPh badan berupa kertas kerja yang
berisi penyesuaian antara laba rugi komersial sebelum pajak dengan laba rugi berdasarkan
ketentuan perpajakan. Rekonsiliasi ini juga dilakukan kepada seluruh unsur penyusunan
laporan laba rugi yang meliputi pengeluaran (beban) dan pendapatan.
 Koreksi Fiskal Positif & Negatif
Dalam sebuah rekonsiliasi fiskal terdapat koreksi fiskal negatif dan koreksi fiskal positif.
Koreksi fiskal negatif merupakan koreksi fiskal yang mengakibatkan laba fiskal berkurang
atau rugi fiskal bertambah, sehingga laba fiskal lebih kecil dari laba komersial atau rugi
fiskal lebih besar dari rugi komersial.
Koreksi negatif biasanya disebabkan oleh beberapa hal, seperti:
 Adanya selisih komersial di bawah penyusutan fiskal.
 Penghasilan yang dikenakan PPh Final dan penghasilan yang tidak termasuk objek
pajak namun termasuk dalam peredaran usaha.

9
 Penyusutan fiskal negatif lain.
Sedangkan koreksi fiskal positif merupakan koreksi yang mengakibatkan laba fiskal
bertambah atau rugi fiskal berkurang, sehingga laba fiskal lebih besar dari laba
komersial atau rugi fiskal lebih kecil dari rugi komersial.
Koreksi positif bisa disebabkan oleh beberapa faktor, seperti:
 Biaya yang dibebankan untuk kepentingan pribadi wajib pajak.
 Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa.
 Dana cadangan.
 Jumlah melebihi kewajaran yang dibayarkan kepada pihak yang mempunyai
hubungan istimewa sehubungan dengan pekerjaan yang dilakukan.
 Pajak penghasilan.
 Harta yang dihibahkan.
 Gaji yang dibayarkan kepada pemilik.
 Sanksi administrasi.
 Selisih penyusutan/amortisasi komersial.
 Biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang dikenakan
PPh Final.
 Penyesuaian fiskal positif lain yang tidak berasal dari hal-hal yang telah disebutkan.

Terdapat dua jenis rekonsiliasi fiskal berdasarkan perbedaanya secara komersial dan fiskal,
yaitu:
 Beda Tetap
Rekonsiliasi beda tetap disebabkan oleh adanya transaksi yang diakui oleh wajib
pajak sebagai penghasilan atau biaya yang sesuai dengan standar akutansi keuangan.
Rekonsiliasi beda tetap merupakan perbedaan antara laba kena pajak dan laba
akuntansi sebelum pajak yang timbul akibat transaksi yang menurut UU perpajakan
tidak akan terhapus dengan sendirinya pada periode lain.

10
 Beda Waktu
Rekonsiliasi fiskal beda waktu terjadi karena adanya perbedaan waktu dari sistem
akuntansi dengan sistem perpajakan. Jadi dalam hal ini transaksi menurut akuntasi
komersial dan pajak sama, yang membedakan adalah waktu alokasi biaya.

 Tahapan dalam Rekonsiliasi Fiskal


Langkah-langkah yang perlu ditempuh untuk melakukan rekonsiliasi fiskal di antaranya:
1. Mengenal lebih dulu penyesuaian fiskal yang diperlukan.
2. Menganalisa elemen penyesuaian untuk menentukan pengaruhnya terhadap laba
usaha kena pajak.
3. Mengoreksi fiskal dengan memantau angka koreksi fiskal negatif dan positif.
4. Menyusun laporan keuangan secara fiskal sebagai lampiran SPT tahunan pajak
penghasilan

2.8. Kompensasi Kerugian

Kompensasi kerugian fiskal adalah skema ganti rugi yang dilakukan oleh wajib pajak
badan maupun wajib pajak orang pribadi yang berdasarkan pembukuannya mengalami
kerugian. Kompensasi tersebut akan dilakukan pada tahun berikutnya secara berturut-turut
hingga 5 tahun. Syarat untuk bisa melakukan kompensasi kerugian fiskal adalah melaporkan
spt tahunan badan dan orang pribadi sesuai keadaan sebenarnya. Penyebab perusahaan
menggunakan kompensasi rugi fiskal adalah dipotongnya informasi pajak terutang yang
wajib dibayarkan selama menjalankan transaksi arus kas masuk dan keluar.
 Dasar Hukum Kompensasi Kerugian Fiskal
Dasar hukum kompensasi kerugian fiskal ada pada UU No. 36 Tahun 2008 Pasal 6
ayat 2 tentang Pajak Penghasilan (PPh). Dalam UU tersebut disebutkan bahwa:
“Apabila penghasilan bruto setelah pengurangan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) didapat kerugian, kerugian tersebut dikompensasikan dengan penghasilan mulai
tahun pajak berikutnya berturut-turut sampai dengan 5 tahun.”

11
Adapun arti dari pengurangan pada ayat (1) pernyataan di atas adalah sebagai berikut:
1. Pengurangan biaya yang secara langsung atau tidak langsung berkaitan dengan
kegiatan usaha.
2. Penyusutan atas pengeluaran agar memperoleh harta berwujud dan amortisasi
atas pengeluaran untuk mendapatkan hak dan atas biaya lain yang memiliki masa
manfaat lebih dari 1 tahun.
3. Iuran ke dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan.
4. Kerugian yang terjadi akibat penjualan dan pengalihan harta yang dimiliki dan
digunakan dalam perusahaan terkait.
5. Kerugian yang disebabkan oleh selisih kurs mata uang asing.
6. Pengurangan atas biaya penelitian dan pengembangan perusahaan yang
dilakukan di Indonesia.
7. Biaya beasiswa, pelatihan, dan magang.
8. Piutang yang ternyata tidak dapat ditagih.
9. Bentuk sumbangan yang dialokasikan dalam rangka penanggulangan bencana
nasional yang mana ketentuannya diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP).
10. Biaya sumbangan dalam rangka penelitian dan pengembangan yang dilakukan di
Indonesia yang mana ketentuannya juga diatur dengan PP.
11. Biaya pembangunan infrastruktur sosial yang ketentuannya juga diatur dengan
PP.
12. Sumbangan untuk fasilitas pendidikan yang ketentuannya diatur dalam PP.
13. Sumbangan dalam rangka pembinaan olahraga yang ketentuannya diatur dengan
PP.
 Kompensasi Kerugian Fiskal Berdasarkan UU PPh
Terdapat beberapa hal penting yang perlu Anda ketahui mengenai kompensasi kerugian
fiskal berdasarkan UU PPh. Mari simak uraiannya berikut ini:
1. Kerugian fiskal sebagaimana dijelaskan dalam UU PPh adalah kerugian
berdasarkan ketetapan pajak yang telah diterbitkan DJP serta kerugian berdasarkan
SPT Tahunan PPh Wajib Pajak (self assessment) dalam hal tidak ada atau belum
diterbitkan ketetapan pajak oleh DJP.

12
2. Kompensasi kerugian fiskal muncul jika dalam tahun pajak sebelumnya terdapat
kerugian fiskal (SPT Tahunan dilaporkan Nihil atau Lebih Bayar tetapi ada
kerugian fiskal).
3. Kerugian fiskal terjadi karena pada saat penghasilan bruto dikurang biaya, hasilnya
mengalami kerugian.
4. Kerugian fiskal dapat dikompensasikan dengan laba neto fiskal dimulai pada tahun
pajak berikutnya secara berturut-turut sampai dengan lima tahun.
5. Ketentuan tentang jangka waktu pengakuan kompensasi kerugian fiskal telah
diberlakukan sejak 2009.
6. Jika di kemudian hari berdasarkan ketetapan pajak hasil pemeriksaan
menunjukkan jumlah kerugian fiskal yang berbeda dari kerugian yang berdasarkan
SPT Tahunan PPh atau hasil pemeriksaan menjadi tidak rugi, kompensasi kerugian
fiskal tersebut harus segera direvisi sesuai dengan ketentuan atau prosedur
pembetulan SPT sebagaimana dalam Undang-Undang Ketentuan Umum
Perpajakan.
Sebagai catatan, kompensasi kerugian fiskal tidak akan berlaku bagi wajib pajak
yang seluruh penghasilannya bersifat final atau bukan merupakan objek pajak.
Selain itu, kerugian yang diterima dari luar negeri tidak bisa diikutsertakan dalam
perhitungan kompensasi kerugian fiskal.

 Jenis Kompensasi Kerugian Fiskal dan Cara Menghitungnya


Kompensasi kerugian fiskal dibagi menjadi dua jenis yaitu kompensasi kerugian
fiskal vertikal dan horizontal. Dalam kompensasi kerugian secara horizontal, apabila
suatu usaha mengalami kerugian dalam satu tahun pajak maka kerugian itu akan
dikompensasikan dengan penghasilan lainnya. Ini disebut dengan kompensasi
horizontal.
Contohnya :
Pak Abdul punya dua usaha yaitu restoran dan laundry. Di tahun 2015, restoran Pak
Abdul menderita kerugian fiskal sebesar Rp. 100 juta. Sebaliknya, usaha laundry Pak
Abdul mendapat laba fiskal Rp. 150 juta. Maka penghasilan neto fiskal dari Pak Abdul
untuk tahun pajak 2015 adalah:

13
(Rp. 100.000.000) – Rp. 150.000.000 = Rp. 50.000.000
Kemudian, untuk kompensasi secara vertikal adalah kerugian fiskal yang
dikompensasikan dengan penghasilan mulai tahun pajak berikutnya sampai 5 tahun
berturut-turut.

14
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Subjek pajak Badan atau subjek PPh Badan adalah setiap Badan Usaha yang
diberikan kewajiban untuk membayar pajak, baik dalam periode bulan maupun tahun
dan disetor ke kas negara. Objek PPh Badan adalah penghasilan yang diterima atau
diperoleh badan. Bagi Subjek Badan dalam negeri yang menjadi objek PPh adalah
semua penghasilan baik dari dalam maupun dari luar negeri. Sebelum melakukan
perhitungan Pajak Penghasilan Badan Usaha atau PPh Badan, harus terlebih dulu
mengetahui nominal penghasilan kena pajak badan. Caranya dengan mengurangi
penghasilan neto fiskal dengan kompensasi kerugian fiskal. Tarif pajak merupakan
dasar pengenaan pajak atas objek pajak yang menjadi tanggung jawab wajib pajak.
Biasanya tarif pajak berupa persentase yang sudah ditentukan oleh pemerintah.
Perjalanan akuntansi sektor publik di era pra reformasi didasari pada UU
Nomor 5 Tahun1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah. Pengertian
daerah dalam era pra reformasi adalah daerah tingkat I yang meliputi provinsi dan
daerah tingkat II yang meliputi kota madya atau kabupaten. Rekonsiliasi fiskal dapat
didefinisikan sebagai salah satu cara untuk mencocokkan perbedaan yang terdapat
dalam laporan keuangan komersial yang disusun berdasarkan sistem keuangan
akuntansi dengan laporan keuangan yang disusun berdasarkan sistem fiskal.
Sedangkan Kompensasi kerugian fiskal adalah skema ganti rugi yang dilakukan oleh
wajib pajak badan maupun wajib pajak orang pribadi yang berdasarkan
pembukuannya mengalami kerugian.

3.2 Saran
Penghasilan Negara terbesar adalah dari pajak. Pajak memiliki peranan
penting dalam pembangunan suatu negara khususnya Indonesia. Oleh karena itu,
pengelolaan pajak harus dikelola dengan baik dan benar agar manfaatnya dapat

15
dirasakan oleh rakyat. Selain itu juga para wajib pajak harus rutin dalam membayar
pajak demi tercapainya pembangunan dan pertumbuhan ekonomi bangsa Indonesia.

16
DAFTAR PUSTAKA

https://klikpajak.id/blog/pajak-penghasilan-badan-jenis-tarif-hitung-dan-lapor-pajak/

https://klikpajak.id/blog/berapa-tarif-pajak-penghasilan-badan/

https://id.scribd.com/document/358409556/Regulasi-regulasi-Akuntansi-Sektor-Publik

https://www.online-pajak.com/tentang-efiling/rekonsiliasi-fiskal

https://www.online-pajak.com/tentang-pajak-pribadi/kompensasi-kerugian-fiskal

https://www.harmony.co.id/blog/memahami-kompensasi-kerugian-fiskal-dan-cara-
menghitungnya

17

Anda mungkin juga menyukai