Anda di halaman 1dari 15

Nama : Angelos Gogo Siregar

NPM : 110110170303

Matkul : Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional (D)

RESUME MAHKAMAH INTERNASIONAL BAGIAN 2 : PROSES BERACARA DI


MAHKAMAH INTERNASIONAL

1) Prosedur Beracara Dalam :


a) Contentious Cases

Hanya Negara (meliputi Negara Anggota PBB dan Negara lain yang telah menjadi pihak dalam
Statuta Pengadilan atau yang telah menerima yurisdiksinya dalam kondisi tertentu) yang dapat
menjadi pihak dalam Contentious Cases. Prosedur dibawah ini merupakan prosedur beracara
secara umum dalam Mahkamah Internasional yang terdapat dalam Statuta Mahkamah
Internasional Bab III tentang Proceedings In Contentious Cases dalam poin C. Proceedings
Before the Court pasal 38-100 terhadap kasus-kasus yang bersifat contentious, meliputi 5
bagian, yaitu:1

I. Penyerahan Perjanjian Khusus (atau Notification of Special Agreement) atau


Aplikasi (Application)
Bagian ini merupakan bagian awal dalam proses beracara Contentious Cases pada
Mahkamah Internasional, yang pertama dapat dilakukan dengan mengadakan
penyerahan perjanjian khusus (atau bilateral) antara kedua belah pihak untuk menerima
jurisdiksi dari Mahkamah Internasional dan untuk mengajukan perselisihan ke
Mahkamah Internasional. Perjanjian khusus ini harus berisi inti sengketa dan identitas
dari para pihak. Sebelumnya tidak ada pembagian mengenai apakah negara A disebut
sebagai Respondent atau Applicant, maka Mahkamah Internasional dalam hal ini
membedakan para pihak dengan cara memakai stroke oblique atau garis miring
pembeda, misalnya “Colombia/Peru”. Dalam proses ini terdapat bentuk lain dari proses
awal beracara di Mahkamah Internasional, yaitu dengan penyerahan aplikasi (unilateral)
oleh salah satu pihak. Pihak yang menyerahkan aplikasi disebut sebagai Applicant,
dimana aplikasi tersebut berisi identitas dari Applicant, Negara yang menjadi pihak
lawan dan subjek dari konflik. Sementara negara yang menjadi pihak lawan atau negara
yang lain disebut sebagai Respondent. Mahkamah Internasional menggunakan
1
Website resmi https://legal.un.org/avl/pdf/ha/sicj/icj_statute_e.pdf diakses pada tanggal 2 April pada pukul
17.21 WIB
singkatan v. atau versus dalam bahasa latinnya guna membedakan para pihak yang
bersengketa, contoh “Colombia v. Peru”. Perjanjian khusus atau aplikasi tersebut
biasanya ditandatangani agent atau wakil yang dilampirkan juga surat dari Menteri Luar
Negeri atau Duta Besar di Hague dari negara yang bersangkutan.
Setelah diterima oleh Registrar (selanjutnya disebut dengan sebutan register) dari
Mahkamah Internasional dan dilengkapi apabila ada kekurangan-kekurangan sesuai
dengan statuta Mahkamah Internasional dan Aturan Mahkamah, maka register
Mahkamah Internasional akan mengirimkan perjanjian atau aplikasi tersebut kepada
kedua belah pihak dan negara anggota dari Mahkamah Internasional. Kemudian hal
tersebut akan dimasukan ke dalam Daftar Umum Mahkamah (Court’s General Lists).
II. Pembelaan Tertulis (atau Written Pleadings)
Mahkamah Internasional sendiri pada dasarnya tidak mengatur mengenai bentuk dari
pembelaan yang akan disampaikan, dalam hal ini pihak Mahkamah Internasional
memberikan kebebasan kepada para pihak mengenai jenis pembelaan utama yang
akan dipakai, baik itu pembelaan jenis tertulis maupun presentasi pembelaan.
Pada tahap pembelaan tertulis ini jika tidak ditentukan urutan pembelaannya oleh para
pihak, baik dalam hal perjanjian khusus maupun aplikasi, maka berlaku Memorial dan
Counter Memorial (Tanggapan Memorial). Jika ternyata para pihak meminta
kesempatan pertimbangan dan Mahkamah Internaisonal menyetujuinya, maka dapat
diberikan kesempatan untuk memberikan Jawaban (Reply). Jika kedua belah pihak tidak
mengatur mengenai ketentuan bahasa atau batasan waktu dalam menyusun memorial
ataupun counter memorial, maka baik mengenai ketentuan bahasa resmi yang akan
dipakai dalam memorial serta batasan waktu yang diberikan untuk menyusun memorial
maupun counter memorial ditentukan secara adil dan sama untuk kedua belah pihak
oleh Mahkamah Internasional.
Isi dari sebuah memorial meliputi pernyataan fakta, hukum yang relevan dan
submissions yang diminta, sedangkan counter memorial harus berisikan argumen
pendukung atau penolakan atas fakta yang disebutkan di dalam memorial, tambahan
fakta baru jika diperlukan, jawaban atas pernyataan hukum memorial dan petitum yang
diminta. Di dalam tahap tertulis ini, Mahkamah Internasional dapat meminta dokumen
dan penjelasan yang relevan dari para pihak yang bersengketa.
III. Presentasi Pembelaan (atau Oral Pleadings)
Setelah pembelaan tertulis dalam bentuk memorial diserahkan oleh para pihak kepada
Mahkamah Internasional, maka dimulailah proses presentasi pembelaan (Oral
Pleadings). Dalam tahap ini, Mahkamah Internasional akan menentukan tanggal hearing
dari kasus yang diajukan dengan pertimbangan dari Mahkamah Internasional dan para
pihak. Tahap ini bersifat terbuka untuk umum (open for public), kecuali jika para pihak
menentukan hal lain dan disetujui oleh pihak Mahkamah Internasional.
Masingh-masing para pihak akan mendapat dua kali kesempatan yang sama untuk
memberikan presentasi pembelaan di depan Mahkamah Internasional. Jika para pihak
menginginkan pengunaan bahasa selain bahasa resmi dari Mahkamah Internasional.
Maka pihak tersebut harus memberitahukan terlebih dahulu kepada register pada
sebelumnya agar dapat disiapkan terjemahan secara simultan.
Proses hearing pada presentasi pembelaan ini memakan wakttu kurang lebih selama 2
atau 3 minggu, akan tetapi jika Mahkamah Internasional menganggap membutuhkan
waktu yang lebih lama dalam proses hearing ini, maka waktu untuk hearing tersebut
dapat diperpanjang lebih dari 3 minggu. Lalu, menurut Aturan Mahkamah tahun 1978,
pada pasal 60, juga ditegaskan bahwa proses hearing tersebut berada dibawah
pengawasan Mahkamah Internasional dan waktu hearing disesuaikan dengan
pertimbangan Mahkamah Internasional.
IV. Perihal Khusus
Beberapa perihal khusus dapat mempengaruhi jalannya proses beracara dalam
Contentious Cases. Perihal tersebut meliputi tahap Keberatan Awal (Preliminary
Objection), Ketidakhadiran Salah Satu Pihak (Non-Appearance), Keputusan
Sela/Sementara (Provisional Measures), Beracara Bersama (Joinder Proceedings) dan
Intervensi (Intervention).
 Preliminary Objection: tahap ini diajukan oleh respondent atas dasar aplikasi yang
diajukan oleh pihak applicant untuk mencegah Mahkamah Internasional dari proses
pengambilan keputusan. Pada umumnya dasar yang biasanya digunakan untuk
melakukan tahap ini adalah dasar bahwa Mahkamah Internasional tidak mempunyai
jurisdiksi, aplikasi yang diajukan tidak sempurna dan hal lain yang dianggap
signifikan oleh Mahkamah Internasional.
 Non-Appearance: tahap ini biasanya dilakukan oleh pihak respondent dengan alasan
menolak jurisdiksi MI. Akan tetapi ketidakhadiran pihak respondent dalam hal ini
tidak mempengaruhi jalannya proses beracara dalam Mahkamah Internasional (tidak
menghentikan jalannya proses).
 Provisional Measures: tahap ini dapat terjadi jika sewaktu-waktu dalam proses
beracara terjadi hal-hal yang akan membahayakan subjek dari aplikasi yang telah
diajukan kepada Mahkamah Internasional, maka pihak applicant dapat meminta
Mahkamah Internasional untuk mengindikasikan usaha-usaha perlindungan (interim
measures of protection) atau keputusan sela (provisional measures).
 Joinder Proceedings: tahap ini baru dapat terjadi jika Mahkamah Internasional
menemukan fakta bahwa terdapat dua pihak atau lebih dari suatu proses beracara
yang berbeda, tetapi mempunyai argumen dan petitum yang sama atas satu pihak
lawan yang sama, atas dasar hal tersebut Mahkamah Internasional dapat
memerintahkan adanya proses beracara bersama (joinder proceedings).
 Intervention: adanya Intervensi dari pihak lain diluar sengketa, pada tahap ini
Mahkamah Internasional akan memberikan hak kepada Negara lain (non-disputant
party) yang bukan pihak dari sengketa di MI untuk melakukan intervensi atas
sengketa yang diajukan.
V. Keputusan (Judgement)
Terdapat tiga cara agar sebuah kasus dapat dianggap telah selesai.
 Pertama, para pihak telah mencapai kesepakatan sebelum proses beracara
berakhir.
 Kedua, pihak applicant atau kedua belah pihak telah sepakat untuk menarik diri dari
proses beracara dimana secara otomatis kasus itu akan dianggap selesai.
 Ketiga, Mahkamah Internasional memutus kasus tersebut dengan keputusan yang
dibuat berdasarkan pertimbangan dari proses beracara yang telah dilakukan. Dalam
putusan, pendapat hakim Mahkamah akan dibagi kedalam tiga bagian, yaitu bagian
pendapat yang menolak (dissenting opinion), pendapat yang menyetujui tetapi
berbeda dalam hal tertentu (separate opinions) dan pendapat yang menyetujui
(declarations).

Dalam tahap ini, para pihak dapat meminta pengadilan untuk melepaskan tugasnya
sebagai pengadilan secara penuh, tetapi dalam hal ini pengadilan juga dapat membentuk ruang
ad hoc untuk memeriksa kasus-kasus tertentu.

Beberapa sumber hukum yang harus diterapkan oleh Mahkamah Internasional dalam
memutus suatu perkara meliputi: perjanjian dan konvensi internasional yang berlaku, kebiasaan
internasional, the general principles of law, keputusan pengadilan, dan ajaran para publis yang
berkualifikasi. Selain itu, jika para pihak sepakat, Pengadilan Mahkamah Internasional dapat
memutus kasus agar kasus tersebut ex aequo et bono, yaitu, agar tidak membatasi diri dengan
aturan hukum internasional yang ada.
Pada proses ini, negara pemohon (applicant) dapat setiap saat memberitahu Pengadilan bahwa
mereka tidak ingin melanjutkan proses, atau kedua pihak dapat menyatakan bahwa mereka
telah setuju untuk menarik kasus tersebut. Jika hal tersebut terjadi, maka selanjutnya
Pengadilan akan menghapus kasus yang bersangkutan dari daftarnya.

b) Advisory Proceedings

Penyelesaian sengketa dari advisory proceedings sendiri dicantukan dalam pasal 65-67 dalam
Statuta ICJ yang jika disederhanakan maka proses-proses beracaranya adalah :2

a) Proses konsultasi dimulai dengan pengujian tertulis untuk pendapat nasihat yang ditujukan
Panitera oleh Sekretaris Jendral PBB atau direktur atau sekretaris jenderal entitas untuk
meminta pendapat tersebut. Dalam kasus-kasus mendesak, Pengadilan dapat mengambil
semua langkah yang tepat untuk mempercepat proses persidangan. Untuk mengumpulkan
semua informasi yang diperlukan tentang pertanyaan yang diajukan kepadanya,
Pengadilan diberi wewenang untuk mengadakan proses tertulis dan lisan.
b) Beberapa hari setelah permintaan diajukan, Pengadilan menyusun daftar Negara-negara
dan organisasi-organisasi internasional yang mungkin dapat memberikan informasi
mengenai pertanyaan di hadapan Pengadilan. Biasanya, Negara-negara yang terdaftar
adalah Negara-negara anggota organisasi yang meminta pendapat, sementara kadang-
kadang Negara-negara lain di mana Pengadilan terbuka dalam proses pertikaian juga
termasuk. Sebagai aturan, organisasi dan Negara yang berwenang untuk berpartisipasi
dalam proses dapat mengajukan pernyataan tertulis, diikuti, jika Pengadilan menganggap
perlu, dengan komentar tertulis atas pernyataan orang lain. Pernyataan tertulis ini
umumnya tersedia untuk umum pada awal proses lisan, jika Pengadilan menganggap
bahwa proses tersebut harus dilakukan.

2) Tindakan perlindungan sementara, Kasus: “The Gambia”, Application of the


Convention on the Prevention and Punishment of the Crime of Genocide (The
Gambia v. Myanmar)
Tindakan perlindungan sementara masuk kedalam yurisdiksi mahkamah yang
disebut dengan (incidental jurisdiction) dimana Mahkamah memiliki wewenang untuk
memberlakukan hal tersebut dibolehkan suatu intervensi dan menafsirkan atau
mengubah suatu putusan. 3 Dalam tindakan perlindungan sementara yang ditetapkan
oleh Mahkamah sendiri untuk melindungi perlindungan hak-hak para pihak
2
Website resmi https://www.icj-cij.org/en/advisory-jurisdiction diakses pada 2 April pada pukul 15.12 WIB
3
J.G. Merrils, International Dispute Settlement, (Cambridge :Grotius Publication,1991) hal.16
sementara pokok sengketanya masih berlangsung. Dasar dari pemberian
perlindungan sementara ini berasal dari prinsip hukum mendasar yaitu putusan
pengadilan haruslah efektif. Dan, hal tersebut sangatlah penting untuk mencegah
situasi yang tidak diinginkan salah satu atau kedua belah pihak sendiri maupun
pihak lainnya fait accompli.4

Dalam kasus Gambia v Myanmmar sendiri secara kronologisnya dimana pengajuan Daftar
Pengadilan Permohonan ke Mahkamah Internasional atas dugaan pelanggaran Konvensi
Pencegahan dan Hukuman Kejahatan Genosida yang diajukan pada tanggal 11 November
2019. Pihak Gambia berpendapat bahwa Myanmar telah melakukan genosida terhadap
anggota kelompok Rohingya. Dasar dari Mahkamah Internasional menyetujui hal tersebut
karena pada bulan 8 Agustus 2016, Majelis PBB membentuk Independen Misi Pencari Fakta
Internasional tentang Myanmar yang dibentuk oleh Dewan Hak Asasi Manusia. Dalam hal ini
ada 2 sudut pandang dimana laporan dari Misi Pencari Fakta yang dibentuk PBB menerbitkan
laporan bahwa Myanmar melindungi negaranya sesuai dengan Konvensi Genosida. Hal
tersebut berbeda dengan apa yang dikatakan oleh Pihak Gambia yang menyatakan bahwa
Myanmar melanggar dari konvesi Genosida yang mereka ratifikasi dimana dari pasukan militer
dan keamanan Myanmar dan orang atau entitas yang bertindak berdasarkan instruksi atau di
bawahnya atau control mereka telah bertanggung jawab untuk perbuatanpembunuhan,
perkosaan dan bentuk seksual lainnyakekerasan, penyiksaan, pemukulan, perlakuan kejam,
dan untuk penghancuran atau penolakan akses ke makanan, perlindugan terhadap hal-hal
dirinya, untuk menghancurkan kaum rohingya sendiri.5

Pertimbangan hakim sendiri yang mengabulkan permohonan Gambia untuk memberi


perlindungan sementara dapat dibuat 2 pertimbangan, yaitu :

 Bahwa dilihat dari pernyataan Myanmar di persidangan yang menyatakan pihak Gambia
yang menyatakan bahwa hal tersebut merupakan pelanggaran hukum humaniter
memungkinkan tindakan yang dilakukan Myanmar untuk mengeluarkan kaum Rohingya
secara halus di Negara Bagian Rakhine pada tahun 2017. Pengadilan selanjutnya
merujuk pada resolusi 73/264 yang diadopsi pada 22 Desember 2018 oleh Majelis
Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa, di mana yang terakhir dikutuk kejahatan meluas

4
Ibid.
5
Website resmi International Court of Justice https://www.icj-cij.org/files/case-related/178/178-20200123-PRE-
01-00-EN.pdf diakses pada tanggal 2 April pada pukul 13.03 WIB
dan sistematis yang dilakukan oleh pasukan Myanmar terhadap Rohingya di Jakarta,
Negara Bagian Rakhine serta laporan-laporan Misi Pencari Fakta yang menegaskan
bahwa ada alasan logis pada komisi Genosida terhadap Rohingya.
 Indikasi dari laporan Misi Pencari Fakta pada bulan Oktober 2016, dilihat bahwa pihak
Rohingya yang tidak mampu mempertahankan kehidupan mereka karena tindakan-
tindakn yang dituduhkan pihak Gambia dan juga dari laporan terakhir pada September
2019 penduduk Rohingya tetap tinggal dalam dalam resiko genosida.

Mengenai hal tersebut sambil berjalannya proses sengketanya, maka mahkamah membuat
keputusan untuk memberi perlindungan sementara yang diajukan pihak pemohon (Gambia)
yang merekan nyatakan dasar hukumnya sesuai pasal IX Konvensi Genosida. Aplikasi
berisi a permintaan indikasi tindakan sementara, berusaha untuk melestarikan, sambil
menunggu final Pengadilan dan Myanmar harus melindungi warga Rohingya sampai adanya
keputusan final dari ICJ.

3) Ketidakhadiran pihak, kasus : “East Timor Case”, Portugal v. Australia, ICJ


Reports 1995

Dalam prinsip dari prinsip Contentious Juruisdiction harus menyatakan bahwa kedua pihak
harus bersepakat dalam menyelesaikan sengketanya di Mahkamah Internasional. Pengakuan
sendiri dapat dilakukan suatu negara melalui penandatanganan perjanjian (acta compromis),
tindakan sepihak, atau cara-cara lainnya.6

Oleh sebab itu, maka jika mengacu pada kasus East Timor antara Portugal v Australia sendiri
dalam kronologisnya pihak Portugal menentang tindakan Australia yang menandatangani
perjanjian tahun 1989 mengenai eksplorasi dan eksploitasi landas kontinen dengan Indonesia
yang dimana landas kontinen tersebut berada antara Australia dan Timor Timur. Pihak Portugal
berpendapat adanya perjanjian tersebut tidak hanya melanggar hak rakyat Timor-Timmur
namun juga melanggar hak Portugal yang secara resmi sebagai negara yang memerintah dan
bertanggung jawab atas rakyat Timor-Timur.

Namun, putusan dari Mahakah sendiri justru mengejutkan yaitu mahkamah menolak mengadili
sengketa tersebut. Hal tersebut karena alasan utama dari ICJ sendiri adalah pihak Indonesia
yang akan terkena pengaruh dari putusan sengketa tersebut yang dimana pihak Indonesia tidak

6
Office of the Legal Affairs, hal.70
memberi persetujuan atau kata sepakatnya kepada Mahkamah untuk mendengar dan memutus
sengketa tersebut.7

Dalam hal ini, maka kata sepakat penting bukan hanya sekedar kedua pihak yang sepakat
mengajukan sengketanya ke ICJ melainkan juga adanya pihak ketiga (negara) yang secara
tidak langsung objeknya terlibat disana juga harus menyatakan kesepakatan juga karena ada
kepentingan terhadap hak yang dimilikinya juga.

4) Intervensi Pihak ketiga, kasus: “Land, Island and Maritime Frontier Dispute
Case”, El Salvador v. Honduras, Nicaragua Intervening, ICJ Reports 1992

Intervensi negara sendiri dapat dilakukan jika adanya negara ketiga tersebut memiliki
kepentingan hukum. Syarat untuk mengikuti dari suatu sengketa tersebut terdapat dalam pasal
62 Statuta ICJ dan Rules of the International Court of Justice pasal 81-86. Pasal yang utama
dari ketentuan pasal 62 Statuta dan pasal 81 Rules of the Court dan beberapa ketentuan
lainnya, yaitu:8

 Pasal 62 Statuta ICJ :


a) Should a State consider that it has an interest of a legal nature which may be
affected by the decision in the case, it may submit a request to the Court to be permitted
to intervene.
b) It shall be for the Court to decide upon this request.”
 Pasal 81 ayat (1) The Rules of Court, menyatakan bahwa permohonan harus
disampaikan sesegera mungkin dan tidak melewati diakhirinya persidangan secara
tertulis.
 Article 81 ayat (2) :
“(a) the interest of a legal nature which the State applying to intervene considers may be
affected by the decision in that case;
(b) the precise object of the intervention;
(c) any basis of jurisdiction which is claimed to exist as between the State applying to
intervene and the parties to the case”.
 Pasal 81 ayat (3) yang menyatakan bahwa suatu permohonan untuk intervensi “shall
contain a list of the documents in support, which documents shall be attached”.

7
The East Timor Case (Portugal v Australia), 30 June 1995, ICJ Rep. 1995
8
Huala Adolf, Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional, (Jakarta : Sinar Grafika, cetakan keenam 2016) hal.81-
82
Dalam kasus antara El Salvador v Honduras ini dimana Nikaragua pada bulan 1989,
menyampaikan ke pengadilan untuk menyampaikan permohonan berdasarkan pasal 62
Statuta ICJ yang menyatakan bahwa ia tidak ingin mencampuri urusan tentang batas tanah dari
Salvador maupun Honduras melainkan hanyalah ingin melindungi haknya dalam Teluk Fonseca
yang memang menyatakan bahwa ketiga negara tersebut adalah riparians yaitu hak atas
penggunaan air sebelumnya dimana menyatakan masing-masing negara memiliki hak untuk
menggunakan air di daerah tersebut untuk penggunaan bermanfaat (pertanian, industry atau
rumah tangga) serta memberi tahu Mahkamah Agung tentang hak-hak hukum Nikaragua yang
menjadi masalah dalam perselisihan.
Nikaragua selanjutnya menyatakan bahwa permintaanya untuk campur tangan adalah masalah
eksklusif dalam mandat prosedural pengadilan penuh. Hal tersebut diadopsi dari perintah pada
tanggal 28 Februari 1990 yang menyatakan bahwa Dewan dibentuk untuk menangani kasus
untuk memutuskan apakah permohonan izin untuk campur tangan harus diberikan. Dan, komisi
yang dibentuk oleh El Salvador dan Honduras untuk menyelesaikan sengketa antara kedua
negara menyetujui untuk menerima permohonan intervensi Nikaragua karena mungkin putusan
yang akan dibuat Komisi akan berpengaruh terhadap Nikaragua walaupun dalam putusan
Komisi disebut kan bahwa teluk tersebut bukanlah res judicata bagi Nikaragua sendiri.9
Nikaragua merupakan contoh diterimanya intervensi pihak ketiga jika bisa menjelaskan adanya
kepentingan hukum dari putusan ICJ sendiri. Hal tersebut berbeda dengan Filipina yang tidak
mampu menjelaskan kepentingan hukum dari sengketa Sipadan-Ligitan antara Indonesia
dengan Malaysia. Menurut Huala Adolf, persyaratan mendasar dapat mengajukan intervensi
sendiri adalah:10
a) Suatu negara harus dapat membuktikan secara meyakinkan kepada Mahakmah bahwa
ia memiliki kepentingan hukum;
b) Putusan Mahkamah atas pokok sengketa dapat mempengaruhi kepentingan hukum
tersebut;
c) Pengajuan permohonan harus dimintakan dalam waktu yang secepatnya.

5) Hukum yang Diterapkan


Hukum yang diterapkan dilihat melalui ketentuan pasal 38 Statuta ICJ yang menyatakan
mengenai sumber-sumber hukum ICJ dijelaskan dalam ayat (1) yaitu :11

9
Website resmi Statuta ICJ https://www.icj-cij.org/en/case/75 diakses pada 2 April 2020 pada pukul 14.40 WIB
10
Huala Adolf, Op.Cit, hal.83
11
Website resmi Statuta ICJ , Op.Cit, Mengenai Statuta
a) Konvensi Internasional, baik umum maupun khusus dalam penetapan aturan yang
secara tegas diakui negara peserta.
b) Kebiasaan internasional sebagai bukti praktik umum yang diterima sebagai hukum
c) Prinsip-prinsip umum hukum yang diakui negara-negara beradab.
d) Tunduk dengan ketentuan pasal 59, keputusan yudisial dan ajaran publis yang paling
berkualifikasi dari berbagai negara untuk penentuan aturan hukum.

6) Putusan

a) Judgement
Dalam buku Huala Adolf, dikatakan bahwa putusan (judgement) sendiri masuk kedalam salah
satu unsur penyelesaian sengketa yang dalam hal tersebut terdapat sifat putusan Mahkamah
yang diuraikan yaitu :12

 Putusan Diterbitkan untuk Masyarakat Luas

Yaitu putusan dari ICJ sendiri disebarkan ke publik dimana putusan tersebut juga dimuat dalam
suatu dokumen yang berjudul Reports of Judgements (untuk sengketa antar Negara) dan
Advisory Opinions and Orders (untuk putusan yang bersifat nasihat-nasihat hukum). Putusan
tersebut seringkali dijadikan sumber hukum dan banyak diikuti putusan-putusan selanjutnya.

 Pendapat Para Hakim

Dalam hal ini, dalam putusan yang dinyatakan hakim dalam laporan-laporan putusan ( Report
of the Judgment) yang memuat 2 bentuk pendapat para hakim, yaitu :

 Dissenting Opinion, yaitu pendapat hakim dimana adanya pendapat hakim yang tidak
setuju terhadap satu atau beberapa hal dari putusan Mahkamah, yang khususnya dasar
hukum dan argumentasi dari putusan dan akibatnya mengeluarkan putusan atau
pendapat yang menentang putusan Mahkamah tersebut.
 Separate Opinion, suatu pendapat yang menyatakan dukungan seorang hakim terhadap
putusan Mahkamah khususnya mengenai ketentuan hukum yang digunakan dan
beberapa aspek yang menurutnya penting namun ia sendiri tidak sepaham akan
sebagian argumentasi Mahkamah meskipun isi putusannya sama dengan Mahkamah.

 Putusan Mengikat Para Pihak


12
Huala Adolf, Op.Cit, hal.90-92
Putusan Mahkamah dari sifat putusan adalah mengikat, final, dan tidak ada banding
berdasarkan pasal 60 yang berlaku pada semua putusan Mahkamah baik yang dikeluarkan
oleh Mahkamah dengan anggota lengkap ( full bench of the Court) atau oleh suatu Chamber. 13
Hal ini merupakan konsekuensi dari ratifikasi aksesi atau penerimaan atas Statuta Mahkah oleh
Negara yang tertuis dalam Pasal 94 piagam PBB dan putusan dari ICJ sendiri sifatnya yang
tidak mengikuti asas stare decisis yang tidak harus diikuti hakim selanjutnya terhadap putusan
yang dia buat.

 Penafsiran dan Perubahan Putusan

Wewenang dari penafsiran dan mengubah berada pada Mahkamah. Dan, ketentuan yang
terkait dengan hal ini yaitu :

 Atas permohonan salah satu pihak, Mahkamah dapat menafsirkan putusannya


manakala ada perbedaan pendapat antara pihak mengenai pengerti putusan
Mahkamah. Namun, tidak semua permintaan tersebut dikabulkan, misalnya dalam
sengketa the Treaty of Neuilly dan the asylum.14
 Salah satu pihak dapat meminta perubahan putusan apabila ada fakta atau hal yang
baru diketahui dan merupakan factor penting yang menentukan dan dapat mengubah isi
putusan.
 Permohonan oleh salah satu pihak yang tidak menyadari adanya factor baru dan bukan
karena kelalaian harus diajukan 6 bulan sebelumnya sejak ditemukan fakta baru
tersebut dan maksimal 10 tahun sejak Mahkamah memberikan putusannya.

b) Advisory Opinion, Kasus : “Legality Of The Threat Or Use Of Nuclear


Weapons Case” (1997)

Advisory Opinion adalah penyelesaian sengketa dimana Mahkamah memberikan


pendapatnya melalui Sekjen PBB sendiri. Hal tersebut seperti yang ada dalam putusan
kasus ini yang kronologisnya diajukan pada tanggal 19 Desember 1994 awalnya dan
dalam surat register sendiri pada 6 Januari 1995.

13
ICJ, International Court of Justice, (The Hague, 1986) hal.63
14
Ibid
Resolusi tersebut mempertanyakan pertanyaan yang sama yaitu apakah ancaman atau
penggunaan senjata nuklir dalam keadaan apapun diizinkan dibawah hukum
internasional? Ada 28 negara yang mengajukan hal tersebut dalam pernyataan tertulis
dan meminta Mahkamah memberikan pendapatnya. Dan, pada 8 Juli 1996, pengadilan
memberikan pendapatnya yaitu terdapat pertentangan dimana hukum humaniter sendiri
tidak mempermasalahkan dari penggunaan senjata karena merupakan hak Negara
untuk penggunaan yang proporsional dibawah hukum bela diri, untuk menjadi sah dan
persyaratan hukum yang berlaku dalam konflik bersenjata termasuk khusunya prinsip
dalam aturan hukum humaniter dimana dicantumkan dalam opini yuris sedangkan dari
hukum adat dan konvensional, adanya lex lata yang melarang penggunaan Oleh
karena itu.

Maka MahkamaH memberi kesimpulan bahwa Negara tidak memiliki kebebasan


memilih tanpa batas dalam senjata yang digunakan karena akan menyebabkan
penderitaan yang tidak perlu untuk warga sipil dan nuklir sendiri merupakan senjata
yang tidak mampu membedakan antara sasaran sipil dan militer sementara. Hal
tersebut mengacu pada klausul Martens yang menyebutkan bahwa warga sipil dan
kombatan tetap berada dibawah perlindungan dan wewenang prinsip-prinsip hukum
internasional yang berasal dari adat, prinsip kemanusiaan dan dikte hati nurani public.

Jadi, kesimpulannya pengadilan mengindikasikan bahwa walaupun dalam penerapan


nukli pada prinsip dan aturan hukum humaniter tidak diperdebatkan namun dalam segi
lain pengadilan melihat dan menyimpulkan secara definitive terhadap ancama yang
akan ditimbulkan yang mengancam kelangsungan hidup suatu Negara. Mahkamah
menambahkan bahwa ada kewajiban untuk mengejar itikad baik dan jika ada
peluncuran nuklir maka semua dibawah aspek kendali internasional yang ketat dan
efektif.15

7) Peninjauan Kembali, Kasus : Revision Of The Judgment Of 11 July 1996 In The


Case Concerning Application Of The Convention On The Prevention And
Punishment Of The Crime Of Genocide (Bosnia And Herzegovina V.
Yugoslavia), Preliminary Objections (Yugoslavia V. Bosnia And Herzegovina)

15
Website resmi ICJ https://www.icj-cij.org/en/case/95 diakses pada tanggal 2 April 2020 pada pukul 19.27 WIB
Kita tahu bahwa dalam ICJ sendiri putusan yang dibuat adalah final dan mengikat. Hal
tersebut merupakan hal mutlak untuk memperoleh asas peradilan yang cepat. Namun,
dalam hal permohonan hal tersebut bisa dilakukan.

Jika melihat pada contoh kasus ini dimana kronologisnya dimulai pada tanggal 24 April
2001 Yugoslavia mengajukan permohonan revisi putusan tentang keberatan awal yang
diajukan dalam kasus yang dilembagakan oleh Bosnia Hrezegovina. Dimana dalam
putusannya menyatakan bahwa Yugoslavia punya yurisdiksi berdasar pasal 9 Konvensi
1948 tentang Pencegahan dan Penghukuman Kejahatan Genosida dan
memberhentikan basis yurisdiksi tambahan yang diandalkan Bosnia Herzegovina yang
menemuakan bahwa aplikasi yang diajukan oleh yang terakhir diterima. Revisi tersebut
diperlukan karena sebelum 1 November 2000 Yugoslavia diaku sebagai anggota PBB
tidak melanjutkan hukum dan politik internasional kepribadian dimana sebelumnya
bukan anggota PBB dan anggota yang meratifikasi Konvensi Genosida.

Hal ini mengacu pada Berdasarkan Art. 61 ICJ Statute, . Permohonan revisi penilaian
hanya dapat dilakukan bila berdasarkan penemuan beberapa fakta sedemikian
sehingga menjadi faktor yang menentukan, yang sebenarnya adalah, ketika
penghakiman itu diberikan, tidak diketahui ke Pengadilan dan juga ke pihak mengklaim
revisi, selalu asalkan ketidaktahuan tersebut bukan karena kelalaian. Selain itu, Proses
untuk revisi akan dibuka oleh putusan Pengadilan tegas merekam adanya fakta baru,
mengakui bahwa ia memiliki semacam karakter untuk meletakkan kasus ini terbuka
untuk revisi, dan menyatakan aplikasi diterima di pengadilan. Adapun Pengadilan
mungkin memerlukan kepatuhan sebelumnya dengan istilah penghakiman sebelum
mengakui proses dalam revisi. Sementara itu, Permohonan revisi harus dilakukan
paling lambat dalam waktu enam bulan dari penemuan fakta baru. Dan perlu untuk
diketahui, bahwa tidak ada aplikasi untuk revisi dapat dilakukan setelah lewat waktu
sepuluh tahun sejak tanggal putusan tersebut.16

Pernyataan Non-Plagiarisme Berikut:


“Dengan Ini Saya Menyatakan Bahwa Tugas Ini Dibuat Oleh Saya Sendiri Tanpa

16
Website resmi ICJ https://www.icj-cij.org/en/case/122 diakses pada 2 April 2020 pada pukul 19.41 WIB
Bekerja Sama Dengan Pihak Lain. Jika Pernyataan Ini Terbukti Sebaliknya, Saya
Bersedia Menerima Sanksi Akademik Yang Berlaku Di Universitas Padjadjaran.”

DAFTAR PUSTAKA

Buku :

 J.G. Merrils. 1991.International Dispute Settlement.Cambridge :Grotius Publication.


 Huala Adolf. 2016. Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional. Jakarta : Sinar Grafika.

Internet:

 Website resmi Legal United Nation https://legal.un.org/avl/pdf/ha/sicj/icj_statute_e.pdf


 Website resmi International Court of Justice
https://www.icj-cij.org/files/case-related/178/178-20200123-PRE-01-00-EN.pdfhttps://
www.icj-cij.org/en/advisory-jurisdiction

Putusan Pengadilan :

 The East Timor Case (Portugal v Australia). 30 June 1995


 ICJ. 1986. International Court of Justice. The Hague.
 Office of the Legal Affairs

Anda mungkin juga menyukai