NPM : 110110170303
Hanya Negara (meliputi Negara Anggota PBB dan Negara lain yang telah menjadi pihak dalam
Statuta Pengadilan atau yang telah menerima yurisdiksinya dalam kondisi tertentu) yang dapat
menjadi pihak dalam Contentious Cases. Prosedur dibawah ini merupakan prosedur beracara
secara umum dalam Mahkamah Internasional yang terdapat dalam Statuta Mahkamah
Internasional Bab III tentang Proceedings In Contentious Cases dalam poin C. Proceedings
Before the Court pasal 38-100 terhadap kasus-kasus yang bersifat contentious, meliputi 5
bagian, yaitu:1
Dalam tahap ini, para pihak dapat meminta pengadilan untuk melepaskan tugasnya
sebagai pengadilan secara penuh, tetapi dalam hal ini pengadilan juga dapat membentuk ruang
ad hoc untuk memeriksa kasus-kasus tertentu.
Beberapa sumber hukum yang harus diterapkan oleh Mahkamah Internasional dalam
memutus suatu perkara meliputi: perjanjian dan konvensi internasional yang berlaku, kebiasaan
internasional, the general principles of law, keputusan pengadilan, dan ajaran para publis yang
berkualifikasi. Selain itu, jika para pihak sepakat, Pengadilan Mahkamah Internasional dapat
memutus kasus agar kasus tersebut ex aequo et bono, yaitu, agar tidak membatasi diri dengan
aturan hukum internasional yang ada.
Pada proses ini, negara pemohon (applicant) dapat setiap saat memberitahu Pengadilan bahwa
mereka tidak ingin melanjutkan proses, atau kedua pihak dapat menyatakan bahwa mereka
telah setuju untuk menarik kasus tersebut. Jika hal tersebut terjadi, maka selanjutnya
Pengadilan akan menghapus kasus yang bersangkutan dari daftarnya.
b) Advisory Proceedings
Penyelesaian sengketa dari advisory proceedings sendiri dicantukan dalam pasal 65-67 dalam
Statuta ICJ yang jika disederhanakan maka proses-proses beracaranya adalah :2
a) Proses konsultasi dimulai dengan pengujian tertulis untuk pendapat nasihat yang ditujukan
Panitera oleh Sekretaris Jendral PBB atau direktur atau sekretaris jenderal entitas untuk
meminta pendapat tersebut. Dalam kasus-kasus mendesak, Pengadilan dapat mengambil
semua langkah yang tepat untuk mempercepat proses persidangan. Untuk mengumpulkan
semua informasi yang diperlukan tentang pertanyaan yang diajukan kepadanya,
Pengadilan diberi wewenang untuk mengadakan proses tertulis dan lisan.
b) Beberapa hari setelah permintaan diajukan, Pengadilan menyusun daftar Negara-negara
dan organisasi-organisasi internasional yang mungkin dapat memberikan informasi
mengenai pertanyaan di hadapan Pengadilan. Biasanya, Negara-negara yang terdaftar
adalah Negara-negara anggota organisasi yang meminta pendapat, sementara kadang-
kadang Negara-negara lain di mana Pengadilan terbuka dalam proses pertikaian juga
termasuk. Sebagai aturan, organisasi dan Negara yang berwenang untuk berpartisipasi
dalam proses dapat mengajukan pernyataan tertulis, diikuti, jika Pengadilan menganggap
perlu, dengan komentar tertulis atas pernyataan orang lain. Pernyataan tertulis ini
umumnya tersedia untuk umum pada awal proses lisan, jika Pengadilan menganggap
bahwa proses tersebut harus dilakukan.
Dalam kasus Gambia v Myanmmar sendiri secara kronologisnya dimana pengajuan Daftar
Pengadilan Permohonan ke Mahkamah Internasional atas dugaan pelanggaran Konvensi
Pencegahan dan Hukuman Kejahatan Genosida yang diajukan pada tanggal 11 November
2019. Pihak Gambia berpendapat bahwa Myanmar telah melakukan genosida terhadap
anggota kelompok Rohingya. Dasar dari Mahkamah Internasional menyetujui hal tersebut
karena pada bulan 8 Agustus 2016, Majelis PBB membentuk Independen Misi Pencari Fakta
Internasional tentang Myanmar yang dibentuk oleh Dewan Hak Asasi Manusia. Dalam hal ini
ada 2 sudut pandang dimana laporan dari Misi Pencari Fakta yang dibentuk PBB menerbitkan
laporan bahwa Myanmar melindungi negaranya sesuai dengan Konvensi Genosida. Hal
tersebut berbeda dengan apa yang dikatakan oleh Pihak Gambia yang menyatakan bahwa
Myanmar melanggar dari konvesi Genosida yang mereka ratifikasi dimana dari pasukan militer
dan keamanan Myanmar dan orang atau entitas yang bertindak berdasarkan instruksi atau di
bawahnya atau control mereka telah bertanggung jawab untuk perbuatanpembunuhan,
perkosaan dan bentuk seksual lainnyakekerasan, penyiksaan, pemukulan, perlakuan kejam,
dan untuk penghancuran atau penolakan akses ke makanan, perlindugan terhadap hal-hal
dirinya, untuk menghancurkan kaum rohingya sendiri.5
Bahwa dilihat dari pernyataan Myanmar di persidangan yang menyatakan pihak Gambia
yang menyatakan bahwa hal tersebut merupakan pelanggaran hukum humaniter
memungkinkan tindakan yang dilakukan Myanmar untuk mengeluarkan kaum Rohingya
secara halus di Negara Bagian Rakhine pada tahun 2017. Pengadilan selanjutnya
merujuk pada resolusi 73/264 yang diadopsi pada 22 Desember 2018 oleh Majelis
Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa, di mana yang terakhir dikutuk kejahatan meluas
4
Ibid.
5
Website resmi International Court of Justice https://www.icj-cij.org/files/case-related/178/178-20200123-PRE-
01-00-EN.pdf diakses pada tanggal 2 April pada pukul 13.03 WIB
dan sistematis yang dilakukan oleh pasukan Myanmar terhadap Rohingya di Jakarta,
Negara Bagian Rakhine serta laporan-laporan Misi Pencari Fakta yang menegaskan
bahwa ada alasan logis pada komisi Genosida terhadap Rohingya.
Indikasi dari laporan Misi Pencari Fakta pada bulan Oktober 2016, dilihat bahwa pihak
Rohingya yang tidak mampu mempertahankan kehidupan mereka karena tindakan-
tindakn yang dituduhkan pihak Gambia dan juga dari laporan terakhir pada September
2019 penduduk Rohingya tetap tinggal dalam dalam resiko genosida.
Mengenai hal tersebut sambil berjalannya proses sengketanya, maka mahkamah membuat
keputusan untuk memberi perlindungan sementara yang diajukan pihak pemohon (Gambia)
yang merekan nyatakan dasar hukumnya sesuai pasal IX Konvensi Genosida. Aplikasi
berisi a permintaan indikasi tindakan sementara, berusaha untuk melestarikan, sambil
menunggu final Pengadilan dan Myanmar harus melindungi warga Rohingya sampai adanya
keputusan final dari ICJ.
Dalam prinsip dari prinsip Contentious Juruisdiction harus menyatakan bahwa kedua pihak
harus bersepakat dalam menyelesaikan sengketanya di Mahkamah Internasional. Pengakuan
sendiri dapat dilakukan suatu negara melalui penandatanganan perjanjian (acta compromis),
tindakan sepihak, atau cara-cara lainnya.6
Oleh sebab itu, maka jika mengacu pada kasus East Timor antara Portugal v Australia sendiri
dalam kronologisnya pihak Portugal menentang tindakan Australia yang menandatangani
perjanjian tahun 1989 mengenai eksplorasi dan eksploitasi landas kontinen dengan Indonesia
yang dimana landas kontinen tersebut berada antara Australia dan Timor Timur. Pihak Portugal
berpendapat adanya perjanjian tersebut tidak hanya melanggar hak rakyat Timor-Timmur
namun juga melanggar hak Portugal yang secara resmi sebagai negara yang memerintah dan
bertanggung jawab atas rakyat Timor-Timur.
Namun, putusan dari Mahakah sendiri justru mengejutkan yaitu mahkamah menolak mengadili
sengketa tersebut. Hal tersebut karena alasan utama dari ICJ sendiri adalah pihak Indonesia
yang akan terkena pengaruh dari putusan sengketa tersebut yang dimana pihak Indonesia tidak
6
Office of the Legal Affairs, hal.70
memberi persetujuan atau kata sepakatnya kepada Mahkamah untuk mendengar dan memutus
sengketa tersebut.7
Dalam hal ini, maka kata sepakat penting bukan hanya sekedar kedua pihak yang sepakat
mengajukan sengketanya ke ICJ melainkan juga adanya pihak ketiga (negara) yang secara
tidak langsung objeknya terlibat disana juga harus menyatakan kesepakatan juga karena ada
kepentingan terhadap hak yang dimilikinya juga.
4) Intervensi Pihak ketiga, kasus: “Land, Island and Maritime Frontier Dispute
Case”, El Salvador v. Honduras, Nicaragua Intervening, ICJ Reports 1992
Intervensi negara sendiri dapat dilakukan jika adanya negara ketiga tersebut memiliki
kepentingan hukum. Syarat untuk mengikuti dari suatu sengketa tersebut terdapat dalam pasal
62 Statuta ICJ dan Rules of the International Court of Justice pasal 81-86. Pasal yang utama
dari ketentuan pasal 62 Statuta dan pasal 81 Rules of the Court dan beberapa ketentuan
lainnya, yaitu:8
7
The East Timor Case (Portugal v Australia), 30 June 1995, ICJ Rep. 1995
8
Huala Adolf, Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional, (Jakarta : Sinar Grafika, cetakan keenam 2016) hal.81-
82
Dalam kasus antara El Salvador v Honduras ini dimana Nikaragua pada bulan 1989,
menyampaikan ke pengadilan untuk menyampaikan permohonan berdasarkan pasal 62
Statuta ICJ yang menyatakan bahwa ia tidak ingin mencampuri urusan tentang batas tanah dari
Salvador maupun Honduras melainkan hanyalah ingin melindungi haknya dalam Teluk Fonseca
yang memang menyatakan bahwa ketiga negara tersebut adalah riparians yaitu hak atas
penggunaan air sebelumnya dimana menyatakan masing-masing negara memiliki hak untuk
menggunakan air di daerah tersebut untuk penggunaan bermanfaat (pertanian, industry atau
rumah tangga) serta memberi tahu Mahkamah Agung tentang hak-hak hukum Nikaragua yang
menjadi masalah dalam perselisihan.
Nikaragua selanjutnya menyatakan bahwa permintaanya untuk campur tangan adalah masalah
eksklusif dalam mandat prosedural pengadilan penuh. Hal tersebut diadopsi dari perintah pada
tanggal 28 Februari 1990 yang menyatakan bahwa Dewan dibentuk untuk menangani kasus
untuk memutuskan apakah permohonan izin untuk campur tangan harus diberikan. Dan, komisi
yang dibentuk oleh El Salvador dan Honduras untuk menyelesaikan sengketa antara kedua
negara menyetujui untuk menerima permohonan intervensi Nikaragua karena mungkin putusan
yang akan dibuat Komisi akan berpengaruh terhadap Nikaragua walaupun dalam putusan
Komisi disebut kan bahwa teluk tersebut bukanlah res judicata bagi Nikaragua sendiri.9
Nikaragua merupakan contoh diterimanya intervensi pihak ketiga jika bisa menjelaskan adanya
kepentingan hukum dari putusan ICJ sendiri. Hal tersebut berbeda dengan Filipina yang tidak
mampu menjelaskan kepentingan hukum dari sengketa Sipadan-Ligitan antara Indonesia
dengan Malaysia. Menurut Huala Adolf, persyaratan mendasar dapat mengajukan intervensi
sendiri adalah:10
a) Suatu negara harus dapat membuktikan secara meyakinkan kepada Mahakmah bahwa
ia memiliki kepentingan hukum;
b) Putusan Mahkamah atas pokok sengketa dapat mempengaruhi kepentingan hukum
tersebut;
c) Pengajuan permohonan harus dimintakan dalam waktu yang secepatnya.
9
Website resmi Statuta ICJ https://www.icj-cij.org/en/case/75 diakses pada 2 April 2020 pada pukul 14.40 WIB
10
Huala Adolf, Op.Cit, hal.83
11
Website resmi Statuta ICJ , Op.Cit, Mengenai Statuta
a) Konvensi Internasional, baik umum maupun khusus dalam penetapan aturan yang
secara tegas diakui negara peserta.
b) Kebiasaan internasional sebagai bukti praktik umum yang diterima sebagai hukum
c) Prinsip-prinsip umum hukum yang diakui negara-negara beradab.
d) Tunduk dengan ketentuan pasal 59, keputusan yudisial dan ajaran publis yang paling
berkualifikasi dari berbagai negara untuk penentuan aturan hukum.
6) Putusan
a) Judgement
Dalam buku Huala Adolf, dikatakan bahwa putusan (judgement) sendiri masuk kedalam salah
satu unsur penyelesaian sengketa yang dalam hal tersebut terdapat sifat putusan Mahkamah
yang diuraikan yaitu :12
Yaitu putusan dari ICJ sendiri disebarkan ke publik dimana putusan tersebut juga dimuat dalam
suatu dokumen yang berjudul Reports of Judgements (untuk sengketa antar Negara) dan
Advisory Opinions and Orders (untuk putusan yang bersifat nasihat-nasihat hukum). Putusan
tersebut seringkali dijadikan sumber hukum dan banyak diikuti putusan-putusan selanjutnya.
Dalam hal ini, dalam putusan yang dinyatakan hakim dalam laporan-laporan putusan ( Report
of the Judgment) yang memuat 2 bentuk pendapat para hakim, yaitu :
Dissenting Opinion, yaitu pendapat hakim dimana adanya pendapat hakim yang tidak
setuju terhadap satu atau beberapa hal dari putusan Mahkamah, yang khususnya dasar
hukum dan argumentasi dari putusan dan akibatnya mengeluarkan putusan atau
pendapat yang menentang putusan Mahkamah tersebut.
Separate Opinion, suatu pendapat yang menyatakan dukungan seorang hakim terhadap
putusan Mahkamah khususnya mengenai ketentuan hukum yang digunakan dan
beberapa aspek yang menurutnya penting namun ia sendiri tidak sepaham akan
sebagian argumentasi Mahkamah meskipun isi putusannya sama dengan Mahkamah.
Wewenang dari penafsiran dan mengubah berada pada Mahkamah. Dan, ketentuan yang
terkait dengan hal ini yaitu :
13
ICJ, International Court of Justice, (The Hague, 1986) hal.63
14
Ibid
Resolusi tersebut mempertanyakan pertanyaan yang sama yaitu apakah ancaman atau
penggunaan senjata nuklir dalam keadaan apapun diizinkan dibawah hukum
internasional? Ada 28 negara yang mengajukan hal tersebut dalam pernyataan tertulis
dan meminta Mahkamah memberikan pendapatnya. Dan, pada 8 Juli 1996, pengadilan
memberikan pendapatnya yaitu terdapat pertentangan dimana hukum humaniter sendiri
tidak mempermasalahkan dari penggunaan senjata karena merupakan hak Negara
untuk penggunaan yang proporsional dibawah hukum bela diri, untuk menjadi sah dan
persyaratan hukum yang berlaku dalam konflik bersenjata termasuk khusunya prinsip
dalam aturan hukum humaniter dimana dicantumkan dalam opini yuris sedangkan dari
hukum adat dan konvensional, adanya lex lata yang melarang penggunaan Oleh
karena itu.
15
Website resmi ICJ https://www.icj-cij.org/en/case/95 diakses pada tanggal 2 April 2020 pada pukul 19.27 WIB
Kita tahu bahwa dalam ICJ sendiri putusan yang dibuat adalah final dan mengikat. Hal
tersebut merupakan hal mutlak untuk memperoleh asas peradilan yang cepat. Namun,
dalam hal permohonan hal tersebut bisa dilakukan.
Jika melihat pada contoh kasus ini dimana kronologisnya dimulai pada tanggal 24 April
2001 Yugoslavia mengajukan permohonan revisi putusan tentang keberatan awal yang
diajukan dalam kasus yang dilembagakan oleh Bosnia Hrezegovina. Dimana dalam
putusannya menyatakan bahwa Yugoslavia punya yurisdiksi berdasar pasal 9 Konvensi
1948 tentang Pencegahan dan Penghukuman Kejahatan Genosida dan
memberhentikan basis yurisdiksi tambahan yang diandalkan Bosnia Herzegovina yang
menemuakan bahwa aplikasi yang diajukan oleh yang terakhir diterima. Revisi tersebut
diperlukan karena sebelum 1 November 2000 Yugoslavia diaku sebagai anggota PBB
tidak melanjutkan hukum dan politik internasional kepribadian dimana sebelumnya
bukan anggota PBB dan anggota yang meratifikasi Konvensi Genosida.
Hal ini mengacu pada Berdasarkan Art. 61 ICJ Statute, . Permohonan revisi penilaian
hanya dapat dilakukan bila berdasarkan penemuan beberapa fakta sedemikian
sehingga menjadi faktor yang menentukan, yang sebenarnya adalah, ketika
penghakiman itu diberikan, tidak diketahui ke Pengadilan dan juga ke pihak mengklaim
revisi, selalu asalkan ketidaktahuan tersebut bukan karena kelalaian. Selain itu, Proses
untuk revisi akan dibuka oleh putusan Pengadilan tegas merekam adanya fakta baru,
mengakui bahwa ia memiliki semacam karakter untuk meletakkan kasus ini terbuka
untuk revisi, dan menyatakan aplikasi diterima di pengadilan. Adapun Pengadilan
mungkin memerlukan kepatuhan sebelumnya dengan istilah penghakiman sebelum
mengakui proses dalam revisi. Sementara itu, Permohonan revisi harus dilakukan
paling lambat dalam waktu enam bulan dari penemuan fakta baru. Dan perlu untuk
diketahui, bahwa tidak ada aplikasi untuk revisi dapat dilakukan setelah lewat waktu
sepuluh tahun sejak tanggal putusan tersebut.16
16
Website resmi ICJ https://www.icj-cij.org/en/case/122 diakses pada 2 April 2020 pada pukul 19.41 WIB
Bekerja Sama Dengan Pihak Lain. Jika Pernyataan Ini Terbukti Sebaliknya, Saya
Bersedia Menerima Sanksi Akademik Yang Berlaku Di Universitas Padjadjaran.”
DAFTAR PUSTAKA
Buku :
Internet:
Putusan Pengadilan :